ISSN 2085 - 2541
AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah Vol. II, No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
Akad pada Produk Saham Syariah dan Isu Terkait Muhammad
Takaful dalam Pandangan Islam Jamaluddin Thaib
Kompilasi Hukum Islam: Realisasi Pemikiran Fiqh Modern Indonesia Anton Jamal
Diterbitkan oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH ACEH BARAT
AT-TASYRI´
JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH
ISSN: 2085-2541 Volume II Nomor 3 Oktober 2010 - Januari 2011
SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI' Penanggung Jawab Syamsuar Basyariah Ketua Redaksi Asmawati Redaktur Pelaksana Fauzi Saleh Muliadi Kurdi Jamaluddin Thayyib Banta Ali Abdullah Penyunting Ahli Juhaya S. Praja Ahamad Fadhil Lubis Nazaruddin AW Usamah El-Madny Muhammad Maulana Zulkarnain Abdullah Jamaluddin Thayyib Administrasi dan Tata Usaha Amrizal Hamsa Hanifuddin Jamin Setting/Layout Khairul Umami Sirkulasi M. Yunus Nurhayati Maidijar ALAMAT REDAKSI Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id Website: www.staidirundeng.ac.id
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...............................................................................................
v
Akad pada Produk Saham Syariah dan Isu Terkait (Suatu Pengantar Analisis Hedging) Muhammad . ................................................................................................... 239 Takaful dalam Pandangan Islam Jamaluddin Thaib . ........................................................................................ 255 Kompilasi Hukum Islam: Realisasi Pemikiran Fiqh Modern Indonesia (Suatu Kajian Fiqh Mu ‘Amalah) Anton Jamal .................................................................................................... 269 Aplikasi Mudarabah pada Baitul Qiradh Bina Usaha Kecamatan Johan Pahlawan Kab. Aceh Barat Hamdi . ............................................................................................................. 283 Implementasi Murabahah pada Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat Malik Rizwan .................................................................................................. 297
Manajemen Lembaga Bait al-Mal (Kajian Terhadap Sistem Perekonomian Umar Ibn Khattab) Muhammad . ................................................................................................... 309 Pajak Menurut Hukum Islam Dedy Kamarlis ............................................................................................... 319 Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam Ida Fitriana ...................................................................................................... 333
iv
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah menciptakan manusia dan memandunya agar mereka dapat hidup ke arah yang lebih baik, termasuk dalam aspek muamalah. Selawat dan salam kepada Rasulullah saw., yang membina manusia untuk mampu melakukan hablun minallah wa hablun minas dengan kualitas ketakwaan. Alhamdulillah, Jurnal At-Tasyri’ dapat hadir kembali dengan tulisan-tulisan yang responsif terhadap persoalan masyarakat terutama menyangkut problematika muamalah yang bersifat praktis-pragmatis. Muhammad mengemukakan tentang akad dengan judul, “Akad Pada Produk Saham Syariah Dan Isu Terkait�. Tulisan ini menjelaskan bahwa Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar syariah. Semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, di samping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan. Dengan berkembangnya produk-produk investasi syariah di pasar modal Indonesia, diharapkan bisa mewujudkan pasar modal Indonesia
menjadi suatu market yang bisa menarik para investor yang ingin berinvestasi dengan memperhatikan kesesuaian produk dan atau instrumen yang sejalan dengan tujuan syariah. Anton Jamal membahas tentang sebuah regulasi normatif dan aplikatif terkait Kompilasi Hukum Islam yang disingkat dengan KHI. Hal ini menjadi penting karena dalam pelaksanaannya kemudian KHI menjadi rujukan utama oleh para hakim dan juga masyarakat secara umum terkait dengan tiga persoalan hukum, yaitu persoalan, talak cerai, pewarisan dan juga pewakafan. KHI ini bukanlah hukum fqh baru, melainkan sebuah upaya untuk menyatukan berbagai pendapat ulama yang ada, lalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Uraian lain yang menarik untuk dibaca adalah persoalan pajak yang ditulis Dedy Kamarlis dalam tulisannya dengan judul “Pajak Menurut Hukum Islam” Pajak merupakan persoalan yang tidak pernah usang untuk terus dibahas dan dikaji, karena pajak ternyata berlaku sepanjang masa dan di semua Negara, bahkan dalam kajian ini, ternyata Islam juga mengenal dan mempraktekkan pajak, di samping juga zakat. Ada perbedaan mendasar antara pajak dan zakat, yang salah satunya adalah, kalau pajak ditentukan oleh penguasa, sementara zakat diwajibkan oleh Allah dan dikeluarkan juga kepada orang-orang yang teah ditentukan Allah Bila beberapa tulisan di atas lebih menekankan pada aspek teoritis, namun Hamdi lebih menfokuskan kajiannya pada tataran yang lebih aplikatif, dengan judul “Aplikasi Mudarabah Pada Baitul Qiradh Bina Usaha Kecamatan Johan Pahlawan Kab. Aceh Barat” dalam tulisan ini penulis membahas dan mengkaji secara komprehensif terhadap peluang dan tantangan produk syariah yang dijalankan pada unit Baitul Qiradh Bina Usaha ohan Pahlawan Aceh Barat. Tulisan yang sangat dekat dengan kajian di atas, adalah apa yang ditulis oleh Malik Rizwan. Dengan Judul, “Implementasi Murabahah Pada Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat” dimana dalam tulisannya, ia membahas secara tuntas tentang bagaimana proses pelaksanaan produk
vi
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
murabahah pada Bank Aceh syari’ah Cabang meulaboh, serta kendalakendala yang dihadapi, di samping juga keuntungan-keuntungan yang diperolehnya. Tulisan yang menarik lainnya adalah apa yang ditulis oleh Jamaluddin Thaib, dengan goresan tintanya yang berjudul ”Takaful Dalam Pandangan Islam” tulisannya banyak mengupas tentang bagaimana hukum asuransi dalam pandangan Islam, dan juga dasar hukum pelaksanaannya. Kajian ini menjadi sangat penting, karena asuransi sudah dipraktekkan secara meluas dimasyarakat, sementara hukum pelaksanaannya masih terjadi perdebatan yang panjang. Sementara saudari Ida Fitriatna menfokuskan tulisannya pada transaksi perdagangan, khususnya terkait persoalan penimbunan, dengan judul ”Penimbunan dalam Perspektif Hukum Islam” Dalam kajiannya berkesimpulan bahwa menimbun dan menunda penjualan, dengan tujuan agar barang menjadi langka dan ia akan memperoleh keuntungan yang berlipat, baik pada makanan pokok, atau pada makanan penyerta, dan hal itu menjadi kebutuhan orang banyak, maka hukum menimbunnya adalah haram, karena akan menyengsarakan dan memudharatkan orang lain, karena dalam Islam, bila bertentangan antara kebutuhan pribadi dengan kebutuhan orang banyak, maka haruslah lebih dahulu mendahulukan kepentingan orang banyak. Tulisan yang terakhir yang dikupas dalam jurnal ini adalah persoalan managemen, khususnya manajemen baitul mal, hal ini dianggap unik dan menarik karena memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Muhammad menelusuri secara mendalam dan mendasar tentang bagaimana Umar ibn Khattab membangun lembaga ini. hal tersebut secara terperinci dibahas dalam, “Managemen Lembaga Bait Al-Mal (Kajian Terhadap Sistem Perekonomian Umar Ibn Khattab)” Sumbang saran dan kritik membangun selalu dinanti demi kemajuan di masa mendatang. Kepada LKAS kami ucapkan terimakasih atas kerja sama selama ini dan di masa mendatang dalam membina generasi ke arah yang lebih Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
vii
baik. Akhirnya kepada semua penulis tidak lupa kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga atas sumbagsih pemikiran dan tulisan, sehingga jurnal At-Tasyri’ dapat terbit sesuai dengan harapan
Meulaboh, Oktober 2010 Ketua STAI Teungku Dirundeng dto Syamsuar Basyariah
viii
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT (Suatu Pengantar Analisis Hedging)
Muhammad Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh, Mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Syari'ah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abstract The development of Islamic banking industry in Indonesia in the last years has been very exciting. It brought a positive impact on the development of investment system which is expected in accordance with the Islamic principles of the capital market in Indonesia or better known as the Islamic capital market. Kata kunci: Akad, produk saham syari'ah, dan hedging
MUHAMMAD
A. Pendahuluan Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar syariah. Semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, di samping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan. Dengan berkembangnya produk-produk investasi syariah di pasar modal Indonesia, diharapkan bisa mewujudkan pasar modal Indonesia menjadi suatu market yang bisa menarik para investor yang ingin berinvestasi dengan memperhatikan kesesuaian produk dan atau instrumen yang sejalan dengan tujuan syariah. Hal ini tidak hanya terhadap investor lokal akan tetapi yang tidak kalah pentingnya diharapkan pula bisa memberikan daya tarik tersendiri terhadap minat investor dari manca negara. Lalu bagaimana sebenarnya perekonomian Islam menjawab berbagai kebutuhan umat dalam bermuamalah terkait dengan pasar modal dan berbagai isu terkait yang melingkupinya. Tulisan sederhana ini mencoba untuk memberikan jawaban sederhana pula terhadap pertanyaan di atas dan tidak lupa mengikutkan isu yang saat ini sedang digodok pihak terkait yaitu hedging. B. Prinsip dan Kaidah Investasi Syariah di Pasar Modal Dalam Islam, kegiatan berinvestasi dapat dikategorikan sebagai kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia. Sementara itu berdasarkan kaidah fikih bahwa hukum asal dari kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yaitu semua kegiatan dalam pola hubungan antarmanusia adalah mubah kecuali yang jelas ada larangannya (haram). Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang kegiatan tersebut baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari Al-Qur’an dan Hadith yang melarangnya secara implisit maupun eksplisit. 1. Konsep Dasar Investasi Syariah Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam, setidaknya telah memuat beberapa ketentuan mengenai hal tersebut :
240
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
“ …Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS 2;275)
“Hai orang yang beriman, jaunganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (QS. 4: 29)
“Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (QS 5;1) “ Rasulullah saw melarang jual beli (yang mengandung) gharar” (HR. Al Baihaqi dari Ibnu Umar). "Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memiliki” (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam) Berdasarkan Al-Qur’an, Hadith dan pendapat para ahli fiqh bahwa sesuatu yang dilarang atau diharamkan adalah karena ada kriteria berikut: a) Haram karena bendanya (zatnya).1 b) Haram selain karena bendanya (zatnya).2 c) Tidak sah akadnya.3 Pelarangan kegiatan muamalah ini disebabkan karena benda atau zat yang menjadi objek dari kegiatan tersebut berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan Hadist telah dilarang/ diharamkan. Bendabenda tersebut, antara lain : 1. Babi, 2. Khamr (minuman keras), 3. Bangkai binatang, 4. Darah. Lihat dalam Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Mesir: Dar al-Fikr, 2000) 1
Pengertian dari pelarangan atas kegiatan ini adalah suatu kegiatan yang objek dari kegiatan tersebut bukan merupakan benda-benda yang diharamkan karena zatnya artinya bendabenda tersebut benda-benda yang dibolehkan (dihalalkan). Akan tetapi benda tersebut menjadi diharamkan disebabkan adanya unsur : a. Tadlis b. Taghrir/Gharar, c. Riba, d. Terjadinya : Ihtikar dan Bay Najash. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.. 2
Seperti halnya dengan pengharaman disebabkan karena selain zatnya maka pada kegiatan ini benda yang dijadikan objeknya adalah benda yang berdasarkan zatnya dikategorikan halal (dibolehkan) tetapi benda tersebut menjadi haram disebabkan akad atau penjanjian yang menjadikan dasar atas transaksi tersebut dilarang/ diharamkan oleh ajaran Islam. Perjanjian3
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
241
MUHAMMAD
2. Bentuk akad (perjanjian) dalam Islam Akad dalam bahasa Arab artinya perikatan atau perjanjian atau pemufakatan. Adapun pengertian berdasarkan fiqh maka akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.4 Berdasarkan pengertian tersebut maka akad adalah suatu perbuatan hukum yang melibatkan kedua belah pihak atau lebih, yang melakukan perjanjian dan harus sesuai dengan tujuan syariat (hukum Islam). Akad yang paling sering dilakukan di masyarakat adalah : Al-Bay (Jual Beli, perdagangan, perniagaan). Para Ulama mengistilahkan menjadi: tukar menukar harta atas dasar saling ridha.5Adapun yang menjadi objek dari pertukaran dapat berupa Ayn dan Dayn. Ayn adalah benda-benda yang berupa real asset berupa barang maupun termasuk pula jasa dan bisnis. Sedangkan pengertian dayn adalah financial asset yaitu berupa uang dan surat berharga. Pertukaran antara ayn dengan ayn labih dikenal dengan istilah barter. Ajaran Islam mengatur bahwa barter dapat dibolehkan untuk benda-benda yang berlainan jenis, misalnya barter yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan berupa beras dengan hasil pertanian lain. Sedangkan bagi benda yang sejenis tidak diperbolehkan kecuali secara kasat mata benda tersebut sejenis tetapi memiliki mutu yang berbeda serta memuhi persyaratan tertentu. Yang lazim dilakukan di masyarakat modern adalah pertukaran antara ayn dengan dayn. Beberapa akad yang terjadi dari pertukaran ini antara lain: 1. Tunai/ Naqdan, 2. Murabahah, 3. Salam, 4. Istishna, 5. Ijarah, 6. Ju’alah. Selain kegiatan pertukaran, dikenal juga kegiatan percampuran. Pengertian dari percampuran andalah suatu akad antara dua atau lebih pihak yang bertujuan untuk bekerja sama melakukan suatu kegiatan bisnis dimana masing-masing pihak melakukan menyerahkan sejumlah dana atau jasa. Bentuk-bentuk akad untuk kegiatan percampuran tersebut misalnya mudharabah dan musyarakah. perjanjian tersebut, antara lain: 1. Ta’aluq, 2. Terjadi suatu perjanjian dimana pelaku, objek dan periodenya sama. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu... M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam; Fiqh Muamalah, Cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 101. 4
5
242
Imam Santoso, Fiqh Muamalah, Cet. I, (Jakarta:Pustaka Tarbiatuna, 2003), hal. 19.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
Akad-akad tersebut di atas, akan selalu kita temui dalam kegiatan investasi syariah di pasar modal. Hal tersebut dikarenakan selain terjadi pertukaran (al bay/jual-beli) di pasar modal pun kita mengenal suatu kegiatan percampuran misalnya yang terjadi di penerbitan saham suatu perusahaan. Fatwa DSN Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, telah menentukan tentang kriteria produk-produk investasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Produk-produk investasi di pasar Modal yang sesuai prinsip syariah tersebut dapat berupa: a) Saham Produk investsi berupa Saham pada prinsipnya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam teori percampuran, Islam mengenal akad syirkah atau musyarakah yaitu suatu kerjasama antara dua atau lebih pihak untuk melakukan usaha dimana masing-masing pihak menyetorkan sejumlah dana, barang atau jasa. Adapun jenis-jenis syirkah yang dikenal dalam ilmu fikih yaitu: ‘inan, mufawadhah, wujuh, abdan, mudharabah. Pembagian tersebut didasarkan pada jenis setoran masing-masing pihak dan siapa di antara pihak tersebut yang mengelola kegiatan usaha tersebut. b) Obligasi Obligasi berdasarkan definisinya adalah suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi. DSN melalui fatwa Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tanggal 14 September 2002 tentang Obligasi Syariah telah melakukan redefinisi dari pengertian obligasi. Pengertian obligasi syariah dalam fatwa tersebut adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Akad-akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah, antara lain: 1. Mudharabah, 2. Murabahah, 3. Salam, 4. Istishna, 5. Ijarah. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
243
MUHAMMAD
c) Reksa Dana Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Fatwa DSN Nomor: 20/DSN-MUI/ IX/2000 tanggal 18 April 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah telah mendefinisikan tentang Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai milik harta (shahib al-mal/ rabb al-maal) dengan manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi. Dalam rangka menjaga berbagai transaksi di pasar modal tersebut, Lindung nilai atau yang biasa disebut dengan hedging dapat digunakan sebagai langkah strategis untuk menghindari resiko besar dari ketidakpastian pasar. Dalam dunia ekonomi, hedging dipraktikkan dalam transaksi bursa berjangka. Secara teoritis, hedging sangat efektif untuk menunjang kemantapan strategi manajemen perusahaan dari pengaruh timbulnya resiko/ kerugian yang disebabkan karena adanya fluktuasi/volatilitas harga. Selain itu, perdagangan berjangka ini dapat digunakan sebagai sarana alternatif investasi bagi para pihak yang dimaksud untuk menanamkan modalnya di bursa berjangka. Lalu, bagaimana sebenarnya hedging itu? C. Hedging dan Perkembangannya 1. Pengertian Hedging Secara etimologis, hedging berasal dari bahasa Inggris hedge yang berarti “lindung nilai”. Secara terminologis, dalam kamus lengkap ekonomi disebutkan bahwa hedging adalah suatu tindakan untuk mengurangi ketidakpastian mengenai gerak harga di masa yang akan datang dari suatu “komoditi” (commudity) “surat-surat berharga” (financial security) dan “mata uang asing” (foreign currency).6 Praktik ini dapat dilakukan dengan pembelian atau penjualan dari komoditi, surat-surat berharga atau mata uang asing dalam pasar berjangka (futures market), dan mengambil alih opsi (option) yang Christopher Pass dan Bryan Lowes Leslie Davies, Kamus Lengkap Ekonomi, terj. Tumpal Rumapea & Damos O.V.Y Sihombing, Edisi II, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 112. 6
244
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
membatasi keterbukaan pemegang opsi terhadap fluktuasi harga.7 Istilah hedging ini digunakan dalam dunia keuangan yang dipergunakan sebagai suatu investasi yang dilakukan khususnya untuk mengurangi atau meniadakan resiko pada investasi lain. Hedging /lindung nilai bisa pula dipahami sebagai strategi yang diciptakan untuk mengurangi resiko bisnis yang tidak terduga di samping tetap dimungkinkannya memperoleh keuntungan dari investasi tersebut.8 Dalam persaingan global saat ini perusahaan harus memiliki strategi untuk melindungi nilai transaksi untuk memperlancar berlangsungnya arus perdagangan internasional. Untuk mengantisipasi ketidakpastian tersebut maka perusahaan harus melindungi aktiva ataupun kewajiban perusahaannya agar nilainya dapat diprediksi. Tindakan untuk mengamankan atau melindungi yang dilakukan perusahaan tersebut dengan hedging (lindung nilai). Perangkat hedging yang paling banyak dilakukan di dunia antara lain: forward contract, option, future contract, dan swap contract.9 Keseluruhan perangkat hedging di atas pada dasarnya sama-sama suatu perjanjian untuk membeli atau menjual aset pada waktu tertentu dengan harga tertentu pula. Perbedaannya hanyalah komoditas yang diperdagangkan. Forward contract dan swap contract menggunakan instrumen tertentu utamanya pada mata uang, contract future titik beratnya menggunakan komoditas barang, sedangkan option bisa mencakup hampir keseluruhan komoditas termasuk saham, obligasi, mata uang, serta future contract.10 Pengertian hedging bila dilihat dalam kamus berarti memagari, sedangkan menurut Roy Sambel "hedging (lindung nilai) merupakan penggunaan transaksi di pasar derevatif sebagai proteksi terhadap posisi aset yag telah ada atau yang mungkin terealisasi di masa depan".11 Dalam lindung nilai pengguna derivative biasanya mengambil posisi yang berlawanan dengan posisi
Christopher Pass dan Bryan Lowes Leslie Davies, Kamus Lengkap ... , hal. 112.
http://id.wikipedia.org/wiki/lindung_nilai di unduh pada tanggal 15 April 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/lindung_nilai
7 8 9
http://id.wikipedia.org/wiki/lindung_nilai
10
Roy Sambel, Lindung Nilai Usahawan ... , hal. 10-11.
11
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
245
MUHAMMAD
natural yang dihadapinya pada aset dasarnya sehingga dengan mengambil posisi yang berlawanan ini keraguan yang terjadi pada satu posisi dapat ditutup dengan keuntungan yang diperoleh dari posisi sebaliknya. Lindung nilai ini biasanya dijalankan sebagai bagian dari program manajemen resiko finansial. Melalui lindung nilai potensi variasi hasil atau nilai dari suatu aset bisa dikurangi dari kemungkinan mengalami kerugian besar bisa dihindari atau paling sedikit bisa dikurangi secara drastis. Pada umumnya hedging ini mengarah pada pengurangan atau penghapusan kerugian yang ditimbulkan dari resiko perubahan nilai kurs. Sedangkan transaksinya mengarah kepada kemungkinan pengaruhnya terhadap arus kas yang diakibatkan dari fluktuasi nilai kurs atau tarif bunga dalam transaksi yang dilakukan badan usaha. Menurut Dewo,12 hedging dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Straight Hedge yaitu upaya untuk membuat simetris antara arus kas aset dan instrument hedge-nya; b. Opinion Hedge yaitu seperti membeli asuransi (asuransi di sini adalah dilihat dari sisi fungsi dan bukannya dari sisi kelembagaan); c. Speculative Hedge yaitu merupakan yang tinggi resikonya karena merupakan gabungan antara beberapa aset instrument hedge di mana arus kasnya dapat tidak sistematis satu dengan yang lainnya. Menurut Heti, salah satu langkah untuk melindungi perusahaan dari fluktuasi nilai tukar adalah melakukan strategi hedging, strategi ini meliputi balance sheet, operational dan contractual hedges.13 a. Balance Sheet Hedge Penyesuaian pada neraca akibat transaksi maupun translasi mata uang asing, dapat menimbulkan positive dan exposure. Positive exposure terjadi jika exposed asset > exposed liabilities. Negative exposure terjadi jika exposed asset < exposed leabilities. Balanced sheet hedge yang dapat dilakukan tergantung pada positif atau negative exposed yang terjadi. b. Oprational Hedge Bentuk perlindungan ini berfokus pada variabel-variabel yang Setio Anggoro Dewo, Derivatif antara Manfaat dan Resiko ... , hal. 9.
12
Heti Triaswati, Akuntansi Internasional... , hal. 138.
13
246
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
berdampak pada pendapatan dan biaya mata uang asing. Meningkatnya harga jual secara proporsional untuk antisipasi depresiasi mata uang akan menolong untuk melindungi gross margin yang ditargetkan, salah satu dari perlindungan ini adalah penjualan dalam hard currency. c. Contractual Hedge Perusahaan harus berkonsentrasi mengelola transaksinya untuk mengubah resiko, karena hal ini sangat berpengaruh pada aliran kas sekarang dan di masa datang. Berbagai instrumen hedging yang baru dibuat untuk memudahkan perusahaan dalam mengelola resiko nilai tukar. Pelaku hedging juga disebut hedger, yang dipahami sebagai pedagang atau pengusaha yang melakukan bisnis di pasar tunai (pasar fisik) atas komoditi yang kontrak berjangkanya diperdagangkan di pasar berjangka (bursa) dan menggunakan transaksi kontarak berjangka untuk melindungi nilai finansial dan komoditi terhadap resiko perubahan harga yang dapat merugikannya. Hedger dibagi dua, yaitu hedger pembeli (buying hedger) dan hedger penjual (selling hedger).14 Umumnya hedging atau lindung nilai lebih dikenal dalam rangka transaksi yang terkait dengan perbankan. Sebenarnya, hedging ini juga banyak dipakai pada transaksi perdagangan komoditas. Dalam sejarahnya, CBOT (Chicago, Board of Trade) itu dibentuk tahun 1848 oleh para pengusaha pertanian di Amerika sebagai solusi atas fluktuasi harga komoditas biji-bijian (grains). Saat itu diperkenalkan transaksi forward contract yang berkembang menjadi futures contract (kontrak berjangka).15Beberapa instrumen derivatif yang lazim digunakan adalah forward, future, option di mana swap termasuk di dalamnya. Instrumen derivatif ini dapat digunakan untuk tujuan mengurangi resiko atau hedging dan kegiatan untuk spekulasi. Secara historis, hal ihwal derivatif dimulai dengan perdagangan gandum di Amerika. Gandum merupakan makanan pokok sehari-hari sama halnya beras di Indonesia. Waktu panen gandum saat itu mirip dengan padi, yakni dua kali setahun. Perbedaan waktu panen yang hanya dua kali setahun dan konsumsi yang berlangsung secara terus-menerus sepanjang tahun Johanes Arifin Wijaya, Bursa Berjangka ... , hal. 21-22.
14
Ibid..
15
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
247
MUHAMMAD
membuat harga gandum dapat diperkirakan akan rendah saat panen dan akan tinggi di masa tanam.16 D. Hedging dalam Ekonomi Islam 1. Hedging dalam Perspektif Ekonomi Islam Untuk mencari padanan kata yang tepat sebagai term yang sama dalam ekonomi Islam, hedging belum ada pembahasan yang jelas, namun jika dicermati, tampaknya tipologinya ada kemiripan dengan "salam".17 Sehingga tidak sedikit ekonom Islam kemudian yang mengidentikkan salam dengan hedging, di samping itu, secara umum bentuk jual beli model salam lebih familier dan banyak ditemukan dalam praktik masyarakat.18 Sebagaimana praktik pada salam, pada umumnya penjual meminta uang muka terlebih dahulu sebagai tanda pengikat dan sekaligus sebagai modal. Jual beli salam dapat berlaku untuk mengimpor barang-barang dari luar negeri dengan menyebutkan sifat-sifatnya, kualitas dan kuantitasnya. Penyerahan uang muka dan penyerahan barangnya dapat dibicarakan bersama dan biasanya dibuat dalam suatu perjanjian. Tujuan utamanya adalah saling membantu dan menguntungkan kedua belah pihak. 2. Hukum Praktik Hedging dalam Pandangan Ekonomi Islam Meskipun praktek ini dapat ditafsirkan sebagai model bisnis, namun amat sedikit masyarakat Islam ketika itu yang melakukannya. Karena itu, jika ada pembahasan mengenai salam, aspek hedging hampir tidak mendapatkan porsi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak dibahas. Keraguan mulai timbul dari kalangan ulama, ketika terkait dengan komoditi dari nilai currency. Karena tidak jelasnya waktu, kepastian kuantitas dan tempat penyerahannya. Sebagai suatu kasus, Undang-undang modern Kuwait, menentukan bahwa kontrak berjangka termasuk lindung nilai sesuatu yang tidak dilarang, Chandra Pasaribu,â&#x20AC;? Lindung Nilai, Untung atau Buntung?â&#x20AC;?, Kompas, Senin 11 Juni 2007.
16
Jawahir Thonthowi, Perdagangan Berjangka dalam Ekonomi Islam www.bappebti.go.id/ publikasi/displayberita.asp?idi=192, di akses pada tanggal 13 April 2011. 17
Pada dasarnya penulis sendiri kurang sependapat dengan pandangan Jawahir tersebut, mengingat bahwa jual beli salam lebih terkonsentrasi pada jual beli dalam bentuk materinya, sedangkan pada hedging stressingnya lebih kepada nilai. 18
248
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
karena berdasarkan kebiasaan yang berlaku pada pialang-pialang. Menurut hukum perdata Kuwait, bahwa ketentuan harga terhadap kuantitas barang, berat bersih dari barang kecuali jika pihak-pihak sepakat atau kebiasaan memperbolehkannya atau sebaliknya.19 Kondisi khusus juga menerapkan jual beli kepercayaan atau perserikatan, murabahah dan wadiah, di mana penjual memiliki kewajiban membuka secara transparan harga biaya dari suatu obyek jumlah keuntungan atau kembali. Selain itu, para ahli hukum di Kuwait juga mengusahakan kontrak semacam itu dibenarkan, atas dasar syarat adanya ketelitian dan kesepakatan bersama. Karena itu, para ahli hukum telah berupaya untuk menyediakan ketentuan hukum transaksi yang memperkecil sekuat mungkin derajat ketidakpastian dalam transaksi. Situasi darurat inilah yang menawarkan pilihan hukum dengan menggunakan konsep maslahah. Kontrak lindung nilai dalam Perdagangan Berjangka Komoditi, sebenarnya harus terkait dengan beberapa faktor. Di antaranya adalah manfaat yang besar bagi masyarakat ketika perdagangan itu ditawarkan sebagai alternatif dalam mengantisipasi kondisi-kondisi tidak menentu. Mungkin benar, bahwa keadaan tidak bisa diprediksi terjadi, namun force major bukanlah suatu kemutlakan asasi. Karena itu, pihak-pihak dalam perjanjian dapat menyetujui suatu ketentuan khusus di akhir perjanjian, atau ketika melakukan perbaikan untuk menetralkan, mendefinisikan kembali, atau memperluas cakupan atau batasan terhadap keadaan-keadaan tertentu yang menimbulkan musnahnya perjanjian. Umumnya sangat signifikan bahwa mereka sepakat untuk merelokasikan resiko yang timbul dari suatu musibah. Ketentuan ini telah diatur dalam beberapa pasal dalam undang-undang di Mesir, Syria, Libya, Irak, Kuwait, Qatar, Algeria dan Yaman. Dibolehkan untuk menyetujui penanggung terikat atas tanggung jawab karena keadaan tertentu yang bersifat force major. Force major adalah penyebab yang sangat sukar untuk diduga tingkat kemungkinannya, seperti embargo, perang, gempa bumi, revolusi, atau keadaan tertentu yang selalu berakibat terhadap terputusnya perjanjian.
Agustianto, Hedging dan Rekayasa Keuangan, Dokumentasi pada Agustiato Center Jakarta.
19
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
249
MUHAMMAD
3. Dasar Hukum a. Al-Qur'an
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya,... (QS.Al-Baqarah : 282)20 b. Al-Hadith
"Siapa saja yang melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu". (HR. Bukhari-Muslim)21 Berdasarkan ayat Al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an dan Hadith Nabi di atas, praktik jual beli Salam dapat berarti dibenarkan dalam Islam, walaupun mungkin hal ini terlalu cepat divonis mengingat bahwa hanya berlandaskan pada dua dalil tersebut belum memadai untuk dapat dirumuskan sebuah produk hukum. 4. Rukun dan Syarat (Salam) Rukun yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam, menurut mayoritas ulama adalah, pertama, orang yang berakal, baligh, dan berakad. Kedua, barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya, dan harganya. Ketiga, ijab dan kabul. Sedangkan syarat-syarat jual beli salam adalah; pertama, syarat yang terkait dengan modal/harga, harus jelas dan terukur, berapa harga barangnya, berapa uang mukanya, dan berapa lama, sampai pembayaran terakhirnya. Kedua, syarat yang berhubungan dengan barang (obyek) salam harus jelas jenis, ciri-cirinya, kualitas dan kuantitasnya.22 Menurut Imam Malik Syafie dan Ahmad bin Hambal, kebolehan transaksi Al-Qur'an dan Terjemahannya.
20
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi ... hal. 145.
21
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi ... hal. 145-6.
22
250
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
salam, didukung oleh enam syarat: (1) jenis diketahui; (2) sifatnya diketahui; (3) kadarnya diketahui; (4) tempo yang diketahui; (5) harga yang diketahui dan (6) harga yang diserahkan di kala itu juga. Kebolehan transaksi salam, juga berlaku terhadap barang yang belum ada sewaktu diakadkan, sebaliknya Hanafi tidak menyepakati, karena kebolehan salam terletak pada keberadaan benda tersebut dari waktu ke waktu.23 Berpijak dari berbagai pandangan tersebut, serta diperkuat dengan dalil yang ada maka dapat disimpulkan bahwa menggunakan hedging dalam transaksi perbankan tidak bertentangan dengan tujuan syariah. Walaupun ada beberapa hal yang patut diperhatikan yang mana inti dari kesemuanya adalah tidak menyalahi ketentuan yang sudah di atur oleh syariah.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, jual beli salam hanya cukup dengan ijab-kabul saja, lihat dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi ... hal. 146. 23
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
251
MUHAMMAD
DAFTAR PUSTAKA Basic Training; Fiqh and Instrument on Islamic Capital Market Chandra Pasaribu.â&#x20AC;? Lindung Nilai, Untung atau Buntung?â&#x20AC;?, Kompas, Senin 11 Juni 2007. Christopher Pass dan Bryan Lowes Leslie Davies. Kamus Lengkap Ekonomi, terj. Tumpal Rumapea & Damos O.V.Y Sihombing. Jakarta: Gramedia, 2002. Fatwa DSN Nomor: 20/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 18 April 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah. Fatwa DSN Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tanggal 14 September 2002. Fatwa DSN Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah Di Bidang Pasar Modal. Heti Triaswati. Akuntansi Internasional. Jakarta: UI Press, 1999. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: Bank Indonesia-Dewan Syariah Nasional, 2003. Imam Santoso. Fiqh Muamalah. Jakarta:Pustaka Tarbiatuna, 2003. IOSCO Annual Report 2003. M Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam; Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2003. Pengumuman BEJ No. Peng-175/BEJ-DAG/U/06-2004 tanggal 25 Juni 2004. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995. Roy Sambel. Lindung Nilai Usahawan.Yogyakarta: Kanisius, 2003. Setio Anggoro Dewo. Derivatif antara Manfaat dan Resiko. Jakarta: tp, 2005.
252
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
AKAD PADA PRODUK SAHAM SYARIAH DAN ISU TERKAIT
Training Module on Comprehensive training on Sharia Banking, Karim Business Consulting. Wahbah Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Mesir: Dar al-Fikr, 2000.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
253
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
Jamaluddin Thaib Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Tgk. Chik Pante Kulu, dan juga Dosen Luar Biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Abstract Islam proposed the society to build the cooperation among them as zoon politicon. Tafakul in Islam translated as assurance that referred to the Islamic values. The values here basedon on taâ&#x20AC;&#x2122;aruf (know each-other), tarahum (love each other) and tasamuh (be tolerance each other). Among the ulemas who reject the role of takaful absolutely. The moderate ulemas differed with certain characteristics. Nowadays, the function of takaful were applied in all part of the life. Kata kunci: Takaful dan Islam
JAMALUDDIN THAIB
A. Pendahuluan Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, manusia harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan permasalahan dalam kehidupan. Untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut dengan sendirinya manusia dituntut harus merekayasa masa depan dengan suatu rancangan atau perencanaan (planning) komprehensif. Salah satu cara untuk dapat menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan dalam materi dilakukan dengan cara menabung dan salah satu bentuk tabungan itu adalah asuransi. Sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal, al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai tibyānan likulli syaiy’ (penjelasan bagi segala sesuatu) meskipun dalam bentuk global, khususnya dalam bidang muamalat untuk menjadi landasan peraturan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam asuransi ini Islam memberikan beberapa aturan umum yang harus dipedomani agar tidak termasuk dalam katagori yang dilarang agama. Untuk itu diperlukan ijtihad para ulama agar mekanisme per-asuransian yang digagas itu tidak keluar dari ruh dan semangat dasar ajaran Islam dalam upaya mencari kemaslahatan umat manusia. Salah satu dari upaya tersebut adalah dengan mencetuskan sebuah bentuk dan mekanisme asuransi yang berdasarkan syari’at Islam, yang dikenal dengan Takaful. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan Asuransi Syari’ah khususnya asuransi takaful serta pentingnya per-asuransi yang berorientasi syari’ah. B. Pengertian Asuransi Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan dalam hukum Belanda dipakai kata verzekering. Kata ini yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata pertanggungan. Dari kata assurantie ini lalu muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan verzekerde bagi tertanggung.1
1
256
Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 1.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam bahasa Inggris asuransi berasal dari kata assurance yang berarti jaminan,2 dan dalam bahasa Arab asuransi diartikan dengan kata ta’min. penanggung disebut dengan mu’ammin dan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min3 Asuransi dari segi bahasa menurut Prodjodikoro adalah “suatu persetujuan pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang peremi sebagi ganti rugi, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.”4 Sementara dalam pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian dikatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah: Perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan, yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada diantara tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5 Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam suatu masa tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara itu Abdul Mannan seorang ahli ekonomi Islam, mengatakan bahwa hakikat asuransi terletak pada dihilangkannya resiko kerugian yang tak tentu bagi gabungan sejumlah orang yang menghadapi persoalan serupa dan membayar premi kepada suatu perusahaan. Dana ini cukup untuk mengganti semua kerugian
Wojo Warsito dan WJS Peorwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Jakarta: PTHasta), 1979, hal. 9 2
Juhran Mas’ud. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri, jilid.1, (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, t.t.),hal. 352 3
4
Wirjono Projodikoro, Hukum…,hal.1
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 165. 5
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
257
JAMALUDDIN THAIB
yang disebabkan oleh semua anggota.6 Dari pengertian asuransi di atas, baik dari sisi etimologi maupun terminologi dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terdapat tiga unsur. pertama adalah pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi. Sebagai imbalan dari pertangungan ini, kedua yaitu pihak yang ditanggung, diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, dan uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung ini akan menjadi milik pihak yang menanggung, apabila ada unsur ketiga berupa suatu peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Jadi asuransi merupakan suatu alat sosial yang mengalihkan resiko-resiko pribadi kepada semua anggota kelompoknya dengan memanfaatkan dana yang dikumpulkan bersama dari kelompok itu untuk membayar kerugian yang dialami oleh pribadi dalam hal-hal yang telah disepakati. C. Takaful dalam Pengertian Etimologi dan Terminologi Kata “takaful” berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata “kafala” yang didalamnya mengandung beberapa pengertian, yaitu: mencukupi nafkah serta mengurusnya, memelihara, menggabungkan, terus-menerus, menanggung dan membebaskan.7 kemudian kata ini dimasukkan kedalam wazan (bentuk) “takafala”, dan masdarnya (kata benda) adalah “takaful” yang artinya pertanggungan yang berbalasan,, hal saling menanggung.8 Jadi secara etimologis “takaful” adalah saling menanggung” (jointly guarantee)”. Secara etimologis, yang dimaksud dengan “takaful” adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong antara anggota masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadi malapetaka dan bencana sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hal.301. 6
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 1220. dan lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum., pondok Pesantren Krapyak, t.t.), hal.1512. 7
8
258
Ahmad Warson Munawwir….
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Dalam konsepsi Islam muâ&#x20AC;&#x2122;amalah (ibadah sosial kemasyarakatan) merupakan hal yang sangat penting. Ada beberapa alasan tentang urgensi muamalah ini. Pertama, persoalan muamalah mendapat porsi yang lebih besar dari pada urusan ibadah ritual (murni) karena melalui muamalah manusia dapat membina hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah. Dalam hal ini Rahmat9 mengutip Ayatullah Khomeini dalam bukunya alHukumah al-Islamiyyah yang menyatakan bahwa perbandingan antara ayatayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial atau muamalah adalah satu berbanding seratus artinya untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat tentang muamalah. Demikian pula di dalam kitab hadits bab tentang ibadah hanya merupakan bagian kecil dari seluruh hadits. Sebagai contoh dari dua puluh jilid Fath al-Bari, Syarh Shahih Bukhari, hanya empat jilid saja yang berkenaan dengan urusan ibadah. Dari dua jilid Shahih Muslim, hadits tentang ibadah hanya terdapat pada sepertiga jilid pertama. Kedua, bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi pahala yang lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pertentangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamlah. Kelima, melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan, mendapat ganjaran pahala lebih besar daripada ibadah sunnah Dari uraian di atas kiranya semakin memperjelas kedudukan muamalah atau sosisal dalam kehidupan seorang muslim, bahkan lebih dari itu, urusan muamalah dapat menjadi tolak ukur keimanan seorang muslim. Keimanan
9
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 45-54.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
259
JAMALUDDIN THAIB
seorang muslim tidak cukup hanya dengan mengerjakan ibadah mahdlah (ibadah dalam arti khusus) tanpa memperhatikan persoalan muamalah. Misalnya dalam Al-Quran surat al-Muâ&#x20AC;&#x2122;minun ayat 1-9, dijelaskan bahwa tanda-tanda seorang muslim yang beruntung adalah khusyuâ&#x20AC;&#x2122; dalam shalatnya (ibadah); menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (muamalah); menunaikan zakat (ibadah dan muamalah); menjaga farjinya (ibadah); menjaga amanat dan janjinya (muamalah); dan memelihara shalatnya (ibadah). Demikian pula dalam sunnah diperoleh informasi kesempurnaan iman seseorang dikaitkan dengan masalah muamalah. Dalam surat Ali â&#x20AC;&#x2DC;Imran: 133-135 dirincikan tanda-tanda orang yang bertaqwa yaitu; senang mengeluarka infak dalam waktu lapang dan sempit (muamalah); menahan amarah ( muamalah) memaafkan manusia (muamalah); berbuat baik (muamalah dan ibadah); zikir (ibadah) bila berbuat dosa, atau menganiaya dirinya (muamalah dan ibadah); serta memohon ampun atas dosa-dosanya (ibadah). Dari kedua contoh dalam beberapa ayat di atas semakin nyata bahwa persoalan muamalah jauh lebih banyak daripada ibadah dalam arti sempit bahkan kesempurnaan ibadah itu sendiri ada yang harus diiringi dengan muamalah. D. Tujuan Asuransi Tujuan utama asuransi adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain dengan mengganti kerugian. Pihak penerima resiko (penanggung) tidak sematamata melakukan demi peri-kemanusiaan atau mengorbankan kepentingankepentingannya dengan membayar sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa itu. Penanggung menilai resiko yang ditanggung itu atas dasar-dasar kalkulasi untung ruginya.perhitungan premi yang diminta penanggung atas tertanggung didasarkan atas besarnya presentase yang akan diclaim tertanggung seandainya terjadi suatu peristiwa tertentu. Walaupun perhitungan dilakukan secara teliti, dalam prakteknya mungkin saja keliru, artinya masih ada bahaya besar bagi para penanggung, dan penanggung sendiri berupaya agar resiko ini ditanggung pula oleh pihak lain, dan hal ini disebut re-asurans. Dalam kaitan ini Prodjodikoro mengatakan tujuan asuransi adalah bahwa seseorang oleh asurador dijamin tidak akan dirugikan oleh suatu
260
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
peristiwa yang belum tentu terjadi. Disini terlihat bahwa asuransi bertujuan untuk menutupi kerugian seseorang yang tidak diketahui sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kondisi manusia yang senantiasa dihadapkan kepada berbagi kemungkinan yang membuatnya akan mengalami kerugian akibat suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian, tujuan dan manfaat asuaransi bagi kehidupan manusia maka para ulama berijtihad menggali nilai-nilai filosofi asuransi agar dapat diaplikasikan dalam konteks Islam. Dalam perspektif Islam tolong menolong adalah nilai dasar yang paling utama sebagai perekat rasa persaudaraan yang diajarkan al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam reslita kehidupan pembentukan komonitas muslim yang mandiri dan bermartabat serta jauh dari rasa was-was karena kekhawatiran terhadap permasalahan ekonomi umat yang tidak stabil karena sesuatu yang tidak diharapkan. Atas dasar itulah maka dicetuskanlah satu bentuk asuransi yang dianggap sesuai dengan nafas ajaran Islam. E. Hukum Asuransi Salah satu lembaga ekonomi yang ada saat ini adalah perusahaan asuransi. Di dalam al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an dan hadits tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu, persoalan asuransi dalam Islam termasuk dalam area hukum ijtihadiyah, artinya dalam menentukan hukum halal atau haramnya persoalan asuransi ini harus diputuskan melalui ijtihad para ulama dan cendikiawan yang ahli dalam bidang ini. Menurut Zuhdi10 ditemukan empat pandangan ulama tentang hukum asuransi. Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan operasionalnya hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam dan Terakhir, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada dalil syarâ&#x20AC;&#x2122;i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah. (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hal 134.
10
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
261
JAMALUDDIN THAIB
Terlepas dari isu pro-kontra tentang kedudukan hukum asuransi, dalam kehidupan yang semakin terencana dalam menggunakan pedapatan untuk kehidupan masa depan, maka asuransi didalamnya ditemukan beberapa manfaat diantaranya: 1. Membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari resiko kerugian yang mungkin terjadi 2. Menciptakan efisiensi perusahaan (Business eficiencie) 3. Sebagai alat menabung (saving) yang aman dari gejolah ekonomi 4. sebagi sumber pendapatan (earning power), yang didasarkan pada financing business11 Sementara bagi umat Islam masih terdapat keraguan tentang kedudukan hukum asuransi, karena dikhawatirkan mengandung unsur-unsur ketidak pastian (gharar), gambling (maisir), riba dan komersial. Dengan beroperasinya bank-bank syariâ&#x20AC;&#x2122;ah sesuai UU No.7 Th 1992 dan UU No 10 Th 1998 tentang perubahn UU No 7 Th 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksanaannya,. dengan sendirinya umat Islam menginginkan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariâ&#x20AC;&#x2122;ah. Untuk maksud itu, pada 27 juli 1993 ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BNI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri, sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Pada 25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takaful Keluarga yang beroperasi di bawah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia. Berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company disusul dengan adanya dua anak perusahaannya yaitu PT.. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT.. Asuransi Takaful Umum (Asuransi Kerugian). Pembentukan kedua perusahaan asuransi tersebut untuk mengikuti ketentuan UU No 2 Th 1992 tantang Usaha Perasuransian yang mengharuskan perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company ini selanjutnya adalah mengembangkan keuangan Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi (Principles of Insurance), (Jakarta: Rajawali Press.1989), hal 12-13 11
262
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
syari’ah lainnya, seperti: Leasing, Modal Ventura, Pegadaian dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi utama PT. Asuransi Takaful adalah sebagai Investment Company12 F. Asas Asuransi Takaful di Indonesia Bila ditelusuri sejarah umat Islam dimasa pembentukannya perwujudan persaudaraan Islam merupakan titik awal keberhasilan yang memicu terjadinya transformasi sosial budaya dalama segala aspek kehidupan umat. Landasan horizontalnya adalah menjadikan persaudaraan islam sebagai suatu kewajiban yang mendasar unntuk ditegakkan. Dalam konsepsi Islam umat manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Unntuk dapat melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik dalam kehidupan bersama manusia dituntut untuk saling bekerja sama dan tolong menolong, saling bertanggung jawab dan membantu satu dengan lainnya. Perintah tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa termasuk pokok-pokok petuntuk sosial dalam al-Qur’an. al-Qur’ān mewajibkan pada manusia agar saling memberi bantuan sesama saudaranya dalam mengerjakan apa saja yang berguna bagi menusia, baik secara pribadi maupun kelompok, khususnya dalam perkara dunia maupun urusan akhirat. Saling membantu juga diwajibkan salam melakukan perbuatan taqwa sehingga terhindar dari kerusakan yang mengancam keselamatan umat manusia.13 Persaudaraan Islam bertujuan untuk mengikat hati antara kaum muslimin, sehingga mereka menjadi suatu keluarga besar. Seorang muslim akan merasa gembira dengan kegembiraan saudaranya,dan turut bersedih dengan kesedihan yang menimpa saudaranya, membantu apa yang dibutuhkannya,meluruskan dan memberi petunjuk jika saudaranya tersesat, menyayangiyang lemahserta memberi semangat apa yang ingin dikerjakan oleh saudaranya.14 Melalui persaudaraan Islam,akan timbul keutamaan dan keikhlasan tanpa pamrih dalam berkasih sayang sehingga tercipta nilai-nilai Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif ”. Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Qur’an No. 2/VII/1996, hal. 36 12
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. II, (t.t.: t.p.), hal.46
13
Mahmud Syaltout, Islam Aqidah wa al-Syari’ah, Mesir: Dar al-Qalam, 1966,hal 422
14
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
263
JAMALUDDIN THAIB
positif dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka bersifat pemaaf dan senang membantu orang lain dengan kemurahan dan keramahannya. Takaful (saling menanggung) antar umat manusia merupakan dasar pijak kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan dasar pijakan takaful dalam asuransi, para pesertanya diharapkan akan terwujud hubungan manusia yang saling berkasih sayang antara para anggota dan bersepakat untuk menanggungresiko antara mereka yang diakibatkan karena adanya musibah, baik karena kebakaran atau karena sebab lainnya. Semangat asuransi takaful adalah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta. Sifat egoistis yang mengutamakan diri sendiri atau dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tidak tercermin dalam asuransi takaful. Menurut Basyir, Asuransi Takaful ditegakkan atas tiga prinsip: 1. Saling Bertanggungjawab Terdapat beberapa hadits Nabi yang mengajarkan kepada umat Islam untuk saling peduli dan bertanggung jawab terhadap sesamanya, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Turmuzi, yang artinya: “Hubungan umat beriman dalam rasa kasih sayang satu sama lainnya ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota badanya terganggu atau kesakitan, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan,tidak dapat tidur dan terasa panas” (HR.Bukhari).”Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari). “Orang yang tidak menaruh rasa kasihan kepada orang lain tidak akan menerima belas kasihan dari Allah” (HR. Turmuzi). 2. Saling Bekerja Sama atau Saling Bantu Membantu Allah Swt., memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat ditegakkan nilai tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Anugerah harta yang berasal dari Allah semestinya digunakan untuk meringankan beban penderitaan atau untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak yatim, fakir miskin, musafir yang memerlukan bantuan dan sebagainya. Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa orang yang mau meringankan hidupsaudaranya, maka akan diringankan kebutuhannya oleh Allah. Allah akan menolong hambanya selagi ia suka menolong saudaranya. Demikian Islam mengajarkan kepada penganutnya agar senantiasa bersikap
264
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
positif dalam segala kebajikan guna tercapainya kekuatan dan ketentraman hidup. Setiap individu muslim, khususnya yang merasa mampu dan kaya dituntut untuk selalu memiliki rasa tanggung jawab dan kepekaan sosial agar tidak mengabaikan permasalahan saudaranya dimanapun. 3. Saling Melindungi Penderitaan Satu Sama Lain Islam mengajarkan bahwa keselamatan dan keamanan merupakan tuntutan alami dalam hidup manusia seperti halnya mencari rezeki adalah merupakan tuntutan alami dalam hidup manusia. Orang muslim adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari gangguan perkataan dan perbuatannya. Ketiga prinsip Asuransi Takaful tersebut tidak mungkin dapat dijabarkan dalam kehidupan nyata jika tidak dilandasi oleh iman dan takwa kepada Allah SWT secara mantap. Niat yang ikhlas untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan karena musibah, merupakan landasan awal dalam perusahaan Asuransi Takaful. Premi yang dibayarkan kepada pihak perusahaan Asuransi Takaful harus didasarkan kepada tabarru’ (sedekah guna mendapat ridha Allah). Dari sini kiranya dapat diperoleh informasi filosofi Asuransi Takaful yaitu: “penghayatan semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan sosial menuju tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan masyarakat.15 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas utama Asuransi Takaful adalah tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan rasa aman (a- ta’min), yang menjadikan semua peserta asuransi sebagai keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung resiko satu sama lainnya. G. Penutup Asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung, yang timbul Ahmad Azhar Basyir, “Asuransi Takaful sebagai suatu Alternatif ”.
15
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
265
JAMALUDDIN THAIB
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam suatu masa tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara hukum transaksi asuransi terjadi perbedaan pendapat ulama. Ada kelompok ulama mengatakan bahwa hukum asuransi dan prakteknya adalah haram. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Sementara sebagian ulama lagi yang lain membagi asuransi kepada dua kategori, yaitu asuransi sosial dan komersial. Asuransi yang bersifat sosial dibolehkan sedangkan asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam. Namun ada juga sekelompok ulama yang memasukkan hukum asuransi termasuk dalam ketegori syubhat, karena tidak ada dalil syarâ&#x20AC;&#x2122;i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi.
266
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
TAKAFUL DALAM PANDANGAN ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Warson Munawwir. al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 Abbas Salim. Dasar-dasar Asuransi (Principles of Insurance). Jakarta: Rajawali Press.1989 Juhran Mas’ud. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri, jilid.1. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, t.t Jalaluddin Rahmat. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1993 Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung, 1996. Muhammad Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam.Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993 Redaksi Ulumul Qur’an. “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Qur’an No. 2/VII/1996 Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, juz. II, t.t. Mahmud Syaltut. Islam Aqidah wa al-Syari’ah. Mesir: Dar al-Qalam, 1966 Wirjono Projodikoro. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1979 Wojo Warsito dan WJS Peorwadarminta. Kamus Lengkap Inggris Indonesia. Jakarta: Hasta, 1979 Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan Takaful) di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 1996
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
267
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA (Suatu Kajian Fiqh Mu ‘Amalah)
Anton Jamal Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teunku Dirundeng Meulaboh dan alumnus PPs. IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh dengan Konsentrasi Fiqh Modern
Abstract Islam Law Compilation substantially referred to Islamic Law Source, al-Qur’a and Prophetic Tradition and directed hierarchically to the bill implemented in Indonesia Republic. The idea of KHI based on the consideration of the necessary of Classic Fiqh reinterpretation that relevance with the society need. So that, it need to re-study the law product comprehensively of the Qur’an and hadith and the argument of ulemas. So that, KHI will be specific realization of Indonesia Islamic Law. On other words, KHI as form of Indonesian Islamic Law and its implementation based on the decree together between Supreme Court Chief and Religious Affair Minister No. 07/KMA/1985 and No.25 Tahun 1985 date 25 March 1985. The product of law that has been implemented are: married law, inheritance and waqf law. Kata kunci: Kompilasi hukum Islam dan pemikran fiqh modern
ANTON JAMAL
A. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara yang plural dan majemuk. Hal itu dapat terlihat dari kemajemukan bangsa Indonesia, baik dari sisi agama, suku bangsa, warna kulit dan juga rasnya. Adanya hukum Islam, atau disebut juga degan hukum fiqh, bertujuan untuk mengatur semua tatanan kehidupan manusia, agar manusia dapat hidup secara seimbang, terhormat dan berkeadilan, dengan mengacu pada aturan-aturan Allah yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.. Al-Qur’an dan juga hadits merupakan undang-undang yang telah sempurna, tidak boleh ada lagi perubahan dan juga penambahan hukumhukum baru, Ia bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Namun demikian, karena bahasa yang digunakan al-Qur’an kebanyakan masih bersifat umum dan zhanny, maka sangat memungkinkan bagi setiap umat di masanya untuk mengkaji dan memaknai kembali setiap produk-produk hukum fiqh yang telah dihasilkan oleh ulama-ulama dalam kitab-kitab klasik pada zaman dahulu, untuk kemudian direduksi dan disesuaikan kembali dengan kondisi masyarakat di masa sekarang. Pendapat ini juga sejalan dengan pandangan Ibnu Subki yang memasukkan kata al-muktasab dalam defenisi fiqhnya, yang berarti diusahakan, artinya bahwa dalam mengkaji hukum fiqh berdasarkan al-Qur’an dan hadits dibutuhkan usaha dan pemikiran manusia.1 Dari ungkapan di atas dapat terlihat bahwa pemahaman fiqh pada prinsipnya lebih banyak yang bersifat zhanny, dan membutuhkan nalar dan pemikiran untuk memahaminya sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada setiap masa dan periodenya. Oleh karena itu, setiap produk fiqh masa lalu masih terbuka untuk dikaji dan dipahami kembali oleh orang-orang yang hidup sesuai dengan kebutuhannya. Apa lagi dalam realitas sekarang, telah banyak produk-produk fiqh klasik yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan saat ini, terutama terkait dengan persoalan mu’amalah. Pernyataan ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Amir Syarifuddin bahwa sudah banyak hukum-hukum dan ketentuan fiqh pada masa lalu yang telah sulit dilaksanakan secara aktual. Kesulitan tersebut sudah dirasakan hampir diseluruh bidang fiqh,
1
270
Ibnu Subki, Jam’u al-Jawami’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1402 H), hal. 42
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
terutama dalam bidang mu’amalah yang mengatur pergaulan umat Islam dalam berbagai persoalan kehidupannya.2 Oleh karena itu para ulama dan pakar hukum Indonesia, berusaha untuk merumuskan kembali hukum Islam yang bersifat keindonesiaan dengan tujuan agar dapat dipergunakan para hakim dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup, terutama yang terkait dengan masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. B. Pengertian Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang diatur oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut digali dan dirumuskan berdasarkan al-Qur’ân dan hadits, melalui tela’ah dan kajian yang mendalam, serta sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menyeleksi berbagai pendapat para ulama mengenai persoalan kewarisan, perkawinan dan perwakafan, lalu disusun dalam sebuah kitab yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam, yang disingkat dengan KHI. 3 Kompilasi Hukum Islam merupakan istilah yang hanya digunakan di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy, atau dalam konteks tertentu disebut al-Syari’ah al-Islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom Islamic law.4 T.M. Hasbi Ash-Shidieqy yang mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa; syari’at atau hukum Islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hambanya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan manusia, yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarinah, tanda
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2008), hal 253
Yusdani, Amir Mu’amm, Ijtihad dan Legilasi Muslim Kontemporer, (Jakarta: UII Press, 1993)
2 3
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta; Penamadani, 2004), hlm. 7 4
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
271
ANTON JAMAL
tanda dan dalil-dalil.5 Oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagai fiqh ala Indonesia, karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Ia bukan berupa mazhab baru, tapi ia berupaya untuk mempersatukan berbagai pendapat imam mazhab fiqh dalam menjawab satu persoalan-persoalan fiqh. 1. Latar Belakang Lahirnya KHI Sejak adanya kerajaan-kerajaan di Nusantara, Peradilan Agama telah ada, tetapi hakim-hakim agama di Peradilan Agama belum mempunyai kitab hukum khusus sebagai pegangan dalam pemecahan kasus-kasus yang mereka hadapi, yang menyebabkan keberadaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman belum memenuhi persyaratan. Pilarnya masih pincang, karena belum ditopang oleh kitab hukum yang resmi secara otoritatif. Di satu segi keberadaan dan kehadiran Peradilan Agama sudah legal secara konstitusional, serta kehadiran dan keberadaannya telah menjadi kebutuhan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa perkara yang terus mengalir dari hari ke hari. Namun di pihak lain, hukum positif yang diperlukan sebagai landasan rujukan, sama sekali belum ada. Oleh karena itu, dalam menghadapi kasus-kasus, para hakim banyak merujuk kepada kitab-kitab fiqh, sehingga sering terjadi dua kasus yang sama yang ditanggapi oleh dua hakim yang berbeda dengan rujukan kitabnya juga berbeda, yang pada akhirnya melahirkan keputusan yang berbeda-beda. Untuk mengatasi ketidakpastian hukum tersebut, diusulkan beberapa pemikiran, yang salah satunya adalah sebagaimana disampaikan oleh Harahap bahwa; untuk melengkapi adanya hukum materiil yang positif dan unifikatif sebaiknya ditempuh jalur formal perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo, pasal 20 Undang-undang Dasar 1945.6 Pada prinsipnya semua setuju dengan langkah ini, karena dengan melalui jalur formil, hukum materiil yang akan dimiliki menjadi hukum positif yang Niâ&#x20AC;&#x2122;matul Huda, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 305. 5
M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.36 6
272
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
berderajat Undang-undang hukum perdata Islam, yang mengatur tentang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Secara konstitusional keabsahannya benar-benar bersifat legalistik atau legal law. Akan tetapi jika langkah ini ditempuh, akan banyak tahap yang harus dilalui, mulai dari penyusunan Undang-undang sampai pembahasan di DPR. Belum lagi faktorfaktor non teknis, seperti iklim politik dan psikologis. Bahkan faktor-faktor non teknis dikhawatirkan akan lebih besar bobot kendalanya. Memperhatikan prediksi yang dikemukakan di atas, dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak, maka dicapailah kesepakatan antara menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung untuk menempuh jalur terobosan singkat. Selama belum diwujudkan cita-cita memiliki hukum positif Undang-undang perdata Islam melalui jalur formal ketatanegaraan, untuk sementara dicukupkan saja dalam bentuk Kompilasi.7 Lalu pada bulan maret 1985 Presiden RI. mengambil prakarsa dan kebijakan untuk menerbitkan surat keputusan bersama antara ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama untuk membentuk dan membuat proyek Kompilasi Hukum Islam yang disingkat dengan KHI., yang di dalamnya memuat tentang hukum perkawinan (Buku I), tentang hukum kewarisan (buku II), dan tentang hukum perwakafan (buku III). Lalu pada bulan februari 1988 ketiga buku tersebut dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas dari para ulama seluruh Indonesia.8 Berdasarkan hasil lokakarya tersebut, pemerintah, melalui instruksi presiden RI NO.1 tahun 1991 menetapkan dan menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, berdasarkan konsiderensnya sebagai berikut: a. Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 02 s/d tanggal 05 februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu buku I tentang Perkawinan; Buku II tentang kewarisan; dan Buku III tentang perwakafan; b. Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a. oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat
M. Yahya Harahap, Kompilasi..., hlm.36
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm: 121-123
7 8
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
273
ANTON JAMAL
digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut; c. Karena itu, Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut dalam huruf a. perlu disebarluaskan. 2. Kedudukan KHI dalam Tata Hukum Indonesia Dalam konteks sosiologis bahwa kompilasi Hukum Islam merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain itu, KHI juga bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru. 9 Oleh karena itu, Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi terhadap diskursus hukum antara hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan hukum Islam melalui KHI, harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Di sini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara. Dalam paradigma agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan sosial menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum Islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara. 3. Penerapan KHI di Indonesia Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah ketentuan hukum berdasarkan hasil ijtihad kolektif para ulama dan umara Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam Inpres no. 1 Tahun 1991, yang sifatnya tidak mengikat
9
274
Wahid Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal 21.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
dan tidak memaksa warga Negara Indenesia khususnya ummat Islam untuk melaksanakannya, melainkan ia hanya bersifat anjuran dan alternatif hukum. Dalam penerapannya, ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting untuk disosialisasikan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.10 Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum. Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm.
10
7
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
275
ANTON JAMAL
penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Oleh karena itu, adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh alat kekuasaan negara, dalam penerapannya sungguh masih terasa berat, bahkan sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan, di samping juga masih banyak terjadi hal-hal yang lain yang tidak melalui prosedur hukum yang berlaku dalam KHI. 4. Bentuk-bentuk Terapan Hukum Fiqh Modern dalam KHI Sebagaimana telah diketahui, bahwa pembaharuan dan penetapan hukum fiqh melalui KHI adalah suatu usaha yang dilakukan dalam rangka menggali hukum syara‘ sesuai dengan kenyataan dan peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berdasarkan dalil-dalil umum dan tujuan syara’ (maqasid al-syari‘ah) untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, melalui Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Selaku pelaksana pemerintah dan perpanjangan tangan dari pemerintah perlu melaksakan dan membuat kebijakan-kebijakan, agar KHI dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Adapun ketetapan tersebut sebagai berikut: Pertama: Kebijakan Administratif. Bahwa untuk keteraturan suatu perkawinan, ia perlu dicatat secara resmi, itu sudah merupakan kehendak bersama. Demikian pula halnya dengan pembatasan umur pasangan yang akan kawin. Namun yang demikian tidak pernah terdapat dalam kitab-kitab fiqh mazhab apapun, di samping itu Nabi juga tidak mengaturnya secara pasti dan jelas. Kalau perasaan dan kehendak bersama untuk mencatatkan perkawinan dan batas umur itu dirumuskan dalam fatwa agama atau fiqh, tidak semua umat mau mematuhinya, karena aturan tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat ulama sebelumnya yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh. Menghadapi persoalan ini, lalu pemerintah menerapkan kebijakan administratif, yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah yaitu: “Sengketa perkawinan tidak boleh dilayani oleh pengadilan bila perkawinan tersebut tidak terdaftar. Pejabat pendaftaran tidak boleh menerima pendaftaran perkawinan bila pasangan yang kawin belum memenuhi syarat umur yang ditentukan”. Kebijakan
276
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
administratif ini, dilakukan tanpa mengubah fiqh yang ada dan dapat memaksa umat untuk memenuhi ketentuan pencatatan perkawinan dan batas umur orang yang akan kawin.11 Kedua: Aturan Tambahan Adanya aturan tambahan yang dibuat oleh pemerintah, di samping ketentuan fiqh yang ada, merupakan jalan keluar sehingga berbagai persoalan dapat diselesaikan. Tindakan ini ditempuh karena kajian dan ketentuan fiqh yang ada sebelumnya, menurut sebagian orang dan dalam keadaan tertentu belum menjamin suatu keadilan. Oleh karena itu untuk mencari keadilan, dibutuhkan aturan tambahan sesuai dengan kebutuhan saat itu. Dalam contoh kasus, bila seorang kakek meninggal, harta warisannya, menurut seluruh mazhab termasuk Syiâ&#x20AC;&#x2DC;ah, didapat oleh anak laki-lakinya yang masih ada, sedangkan cucu perempuannya yang telah meninggal ayahnya yang merupakan anak laki-laki dari si kakek, tidak mendapat apa-apa karena ter-hijab oleh anak laki-lakinya yang lain yang masih hidup. Seorang cucu yang telah berjasa pada seorang kakek tidak mendapatkan apa-apa, dalam hal ini dirasakan tidak adil. Sementara untuk menetapkannya sebagai ahli waris untuk mencapai keadilan berarti harus mengubah fiqh yang ada. Untuk penyelesaiannya, sebagian negara muslim Timur Tengah yang dipelopori oleh Mesir, memperkenalkan lembaga wasiat wajib, yang dalam contoh kasus di atas, dimana si kakek harus berwasiat dengan 1/3 hartanya untuk si cucu. Bila si kakek meninggal tanpa meninggalkan wasiat kepada si cucu, pengadilan dapat memberikan 1/3 harta kakek kepada si cucu perempuannya. 12 Cara penyelesaian seperti ini kemudian, banyak diikuti negaranegara muslim di dunia. Ketiga: Talfiq Yang dimaksud talfiq dalam hal ini adalah meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihad ulama terdahulu, sehingga dengan ramuan ini muncul satu bentuk lain yang kelihatannya baru. Hal ini diambil dari satu Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 76
11
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad ..., hal. 78
12
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
277
ANTON JAMAL
mazhab fiqh tertentu dalam menghadapi suatu masalah terlihat ada hal-hal yang tidak aktual. Fiqh-fiqh yang ada ini di samping mengandung hal-hal yang sudah tidak aktual masih banyak pula mengandung bagian-bagian yang bersifat aktual. Bagian-bagian yang mengandung daya aktual dari beberapa aliran fiqh itu digabung menjadi satu hingga masalahnya dalam bentuk keseluruhan menjadi aktual dalam arti, mengandung nilai-nilai maslahat.13 Talfiq dalam masalah di atas, sebagai contoh, dengan merujuk pada hukum pernikahan di Turki. Sebelumnya hukum perkawinan di Turki adalah Fiqh Munakahat menurut mazhab Hanafi, namun karena ada bagianbagiannya yang tidak aktual dan dirasakan sulit untuk dijalankan oleh umat Islam di Turki, lalu digabung dengan mazhab lainnya. Sebagai contoh, bahwa dalam mazhab Hanafi, 1. Seorang isteri yang sudah ditinggal lama oleh suami atau selalu dapat perlakuan buruk dari suami, tidak dapat melepaskan diri dari suaminya dalam bentuk perceraian. 2. Penentuan nafkah isteri berdasarkan kepada keperluan isteri, tanpa melihat kepada keadaan suami. 3. Pelaksanaan poligami dengan sangat mudah tanpa mengindahkan dan mempertimbangkan perasaan isteri tua. Menghadapi hal seperti ini, penyusun undang-undang merujuk kepada mazhab Islam lain. Untuk memberi kemungkinan kepada isteri bercerai dari suaminya yang pergi atau sering menyakiti itu, diambil dari mazhab Maliki. Untuk ketentuan nafkah yang mempertimbangkan keadaan ekonomi suami diambil pendapat dari mazhab Syafiâ&#x20AC;&#x2DC;i dan untuk mengurangi terjadinya poligami melalui persyaratan yang diajukan isteri tua diambil dari pendapat mazhab Hambali. Inilah beberapa praktek hukum yang dilaksanakan secara talfiq.14 Demikianlah contoh-contoh tafiq, yang juga akan diterapkan dalam penentuan Kompilasi Hukum Islam Keempat: Reinterpretasi-Reformulasi Reaktualisasi melalui reinterpretasi-reformulasi di sini berarti, bagian-bagian fiqh yang dirasakan tidak aktual (tidak maslahat) lagi dalam suatu kondisi tertentu dikaji ulang dalil-dalilnya, terutama yang menyangkut hubungan hukum dengan dalil. Dalil yang pernah diinterpretasikan oleh Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad..., hal. 79
13
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad,..., hal. 76
14
278
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
mujtahid dahulu dikaji ulang dalil-dalilnya, terutama yang menyangkut hubungan dengan dalil. Direformulasikan sesuai dengan jiwa hukum syara’ dan tuntutan umat saat ini. Formulasi baru berdasarkan interpretasi baru itu ada yang muncul dalam bentuk undang-undang yang akan dilaksanakan oleh negara dan ada pula yang muncul dalam bentuk fatwa ulama. Keluarnya Undang-undang perkawinan Tunis tahun 1952 yang menutup poligami termasuk dalam bentuk ini.15 Munculnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sebagai hasil dari pemikiran dan kesepakatan ulama dalam majelis lokakarya sebagaimana di sebutkan di atas, merupakan langkah baru dalam penentuan hukum fiqh sebagai pedoman dalam menjalankan hukum Islam, khususnya pada persoalan perkawinan, kewarisan dan perwakafan, yang format dan aturannya berbeda dengan fiqh Syafi’iyah yang selama ini dijalankan di Indonesia. Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa, pembangunan hukum syara’ dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran baru tentang hukum Islam dengan maksud menjadikannya aktual dalam mengatur kehidupan sosial dan agama umat Islam, sebenarnya juga telah ada dan terbentuk di Negaranegara Islam lainnya, sehingga pembaharuan hukum fiqh yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukanlah merupakan hal yang baru, sehingga patut untuk ditelaa’ah dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Adapun dasar pemikiran yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemikiran baru ini adalah kemaslahatan umat Islam yang majmu‘ dan juga maqasid syari’ah itu sendiri. C. Penutup Kompilasi Hukum Islam yang disingkat dengan KHI adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang diatur oleh pemerintah berdasarkan kajiankajian yang luas dan komprehensif terhadap al-Qur’an dan Hadis, dengan cara menghimpun dan menyeleksi berbagai pendapat para ulama fiqh dari berbagai mazhab, lalu diadobsi dan disusun dalam sebuah kitab yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad,, hal. 80
15
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
279
ANTON JAMAL
Secara formal, ide kelahirannya disebabkan oleh adanya kekosongan hukum positif bagi setiap hakim di pengadilan agama, dimana para hakim agama di Peradilan Agama belum mempunyai kitab hukum khusus sebagai pegangan dalam pemecahan kasus-kasus yang mereka hadapi, melainkan mereka sering merujuk pada kitab-kitab fiqh, sehingga sering terjadi dua kasus yang sama yang ditanggapi oleh dua hakim yang berbeda dengan rujukan kitabnya juga berbeda, yang pada akhirnya melahirkan keputusan yang berbeda-beda. Secara substansi bahwa kehadiran KHI juga merupakan sebuah keputusan yang mendesak, melihat telah banyak produk-produk hukum fiqh dalam kitab-kitab klasik sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, terutama terkait dengan persoalan-persoalan muâ&#x20AC;&#x2122;amalah, seperti perkawinan, pewarisan dan juga persoalan pewakafan. Sehingga disepakati untuk mereformulasikan hukum fiqh klasik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini, yang dirumuskan dalam bentuk KHI. Sedangkan pelaksanaannya adalah berdasarkan surat keputusan bersama antara ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI. No. 07/KMA/1985 dan No.25 tanggal 25 Maret Tahun 1985, yang di dalamnya berisi 3 buku, yang menyangkut tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan juga hukum perwakafan. Lalu pada bulan februari 1988 ketiga buku tersebut dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas dari MUI dan dan para ulama di seluruh Indonesia. Demikianlah tulisan singkat yang dapat penulis sajikan kehadapan para pembaca, semoga dapat memberikan pemahaman dan pencerahan terhadap hukum-hukum KHI yang telah lama diterapkan di Indonesia.
280
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
KOMPILASI HUKUM ISLAM: REALISASI PEMIKIRAN FIQH MODERN INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo,1992. Amir Syarifuddin. Meretas Kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press, 2005. -------. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008. Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Ibnu Subki. Jam’u al-Jawami’. Beirut: Dar al-Fikr, 1402 H. M. Yahya Harahap. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Ni’matul Huda. Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan. Yogyakarta: FH UII Press, 2007. Said Agil Husin Al-Munawar. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penamadani, 2004. Wahid Marzuki & Rumadi. Fiqh Madzab Negara. Yogyakarta: LKIS, 2001. Yusdani, Amir Mu’amm. Ijtihad dan Legilasi Muslim Kontemporer. Jakarta: UII Press, 1993.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
281
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT Hamdi Dosen Prodi Mu’amalah pada Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng, Meulaboh Aceh Barat
Abstract The concept of mudarabah transaction in bank system has been welknown and applied by many financial shari’ah institutions, among them is Baitul Qiradh Bina Usaha Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat. As institution, it’s service for the society for their capital in the famous form called mudarabah. Mudarabah is form of cooperation between two parties or more which the capital owner trust the worker (mudharib) to operate for running the bussiness with contract: profit sharing. Since it was operated, Baitul Qiradh look more progressive, the consumen reach 520 persons and it overcame the obstacles, such payment of consument, less fund and so forth, till it be exist till now. Kata kunci: Aplikasi, mudarabah dan Baitul Qiradh
HAMDI
A. Pendahuluan Mudarabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudarabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Mudarabah telah menjadi istilah yang sudah tidak asing lagi dalam dunia perbankan, baik di dunia Islam maupun Barat. Istilah tersebut mewakili salah satu bentuk dalam perbankan Islam, dimana sistem pembiayaannya selalu berusaha untuk menyediakan layanan-layanan terhadap nasabah dengan sistem yang bebas bunga. Mudarabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.1 Ini artinya bahwa kegiatan mudarabah merupakan suatu usaha yang dapat memberi keuntungan kedua belah pihak yakni antara pemilik modal (shahibal maal) yang memberikan kepercayaan mengelola modalnya kepada pihak lain yaitu pekerja atau pedagang (mudharib), dimana keuntungannya dibagi sesuai dengan perjanjian bersama antara pemilik modal dengan pedagang sesuai dengan keuntungan yang berlaku. Pelaksanaan mudarabah telah banyak diaplikasi oleh banyak institusi keuangan syariâ&#x20AC;&#x2122;ah, salah satunya adalah Baitul Qiradh Bina Usaha Kecamatan Johan Pahlawan. Sejak beroperasinya hingga saat ini, Baitul Qiradh Bina Usaha telah banyak mengalami kemajuan, bahkan nasabahnya telah mencapai 520 orang yang dalam transaksinya menggunakan produk mudarabah. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana aplikasi mudarabah pada perbankan Islam, khususnya pada Baitul Qiradh Bina Usaha di Meulaboh Aceh Barat. B. Pengertian mudarabah dan Aplikasinya Dalam fiqih Islam mudarabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudarabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh. Mudarabah berasal dari kata dharb, berarti
1
284
Adiwarman Karim, Bank Islam, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 93
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha2. Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan mudarabah atau Qiradh dengan: Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan. Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.3 Sementara yang dimaksud dengan aplikasi adalah penerapan4. Dalam hal ini penerapan yang dimaksud adalah setiap kegiatan ekonomi dalam bentuk transaksi mudarabah dalam rangka meningkatkan perekonomian umat, khususnya di Baitul Qiradh Bina Usaha Kecamatan Johan Pahlawan. Dengan demikian jelaskan bahwa kegiatan mudarabah merupakan suatu kerjasama yang baik antara shahibul maal dengan mudharib sehingga memperoleh keuntungan bersama sesuai dengan keuntungan yang telah ditetapkan. C. Hukum mudarabah dan Dasar Hukumnya. Ayat al-Qur’an tidak menjelaskan secara langsung mengenai hukum transaksi mudarabah, namun demikian, kata-kata mudarabah yang terambil dari asal kata dharb ini, secara eksplisit mengandung makna mudarabah. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mervyn K.Lewis dan Latifa,bahwa kata-kata mudarabah yang dalam al-Qur’an tersebut 58 kali, secara eksplisit memiliki kaitan dengan transaksi mudarabah, meski diakui sebagai kaitan yang agak jauh, yang menunjukkan arti perjalanan atau perjalanan untuk tujuan dagang.5 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, yang dikutip dari M. Qal’aji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, (Beirut: Dar An-Nafs, 1985), hal. 95. 2
Nasrun Haroun, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hal. 175-176.
Badudu, JS.. Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. 1978), hal. 23.
Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik dan Prospek,
3 4 5
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
285
HAMDI
Meskipun mudarabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an, namun ia telah menjadi sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan pada masa rasul dan para sahabat, dimana mereka juga terliat secara langsung dalam transaksi mudarabah, dan terus dipraktekkan sepanjang sejarah umat6. Namun demikian, para Fuqaha sering mengangkat ayat-ayat berikut sebagai landasan tentang kebolehan melakukan transaksi mudarabah, yaitu firman Allah dalam Surah al- Muzzammil ayat 20 :
... dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah... (Al-Muzammil 73: 20)
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu...,â&#x20AC;? (al-Baqarah 2 : 198). Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudarabah, dengan tujuan mulia, yaitu bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Adapun hadis nabi yang terkait dengan hukum mudarabah adalah Sabda Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan oleh Thabrani menjelaskan bahwa; Artinya. Tuan kami, Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudarabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, jangan menempuh lembah-lembah, dan juga tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit, yang tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan oleh Abbas Ibn Abd al-Muthalib itu sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR. Ath-Tabrani). Namun menurut Ibn Taimiyyah bahwa kehalalan mudarabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada praktek nabi dan beberapa (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 5.
6
286
Ibnu Hisyam, al-Sirah An-Nabawiyyahâ&#x20AC;Ś, Jilid I, hal. 188.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
Sahabat, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan, karena keterangan dan hadis tersebut bukanlah Hadits sahih7. Sedangkan menurut ahli fiqh dari madzhab Syafi’i, Syaikhul Islam Zakariya Al-Ansori, mengatakan bahwa dasar hukum dibolehkannya mudarabah adalah Ijma’ (konsensus) dan juga karena kebutuhan umum masyarakat yang sudah mendekati kadar dlarurat.8 Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki menambahkan bahwa akad mudarabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus dan dibolehkan, karena ia bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang dan tidak ada hal yang merugikan mudharib.9 D. Gambaran Umum Baitul Qiradh Bina Usaha a. Sejarah Berdirinya Lembaga Baitul Qiradh Bina Usaha didirikan pada tanggal 27 Pebruari 2006 degan Akta Pendirian nomor 366/ BU/KOP/.i 6/ii/2006 diberi nama Baitul Qiradh Bina Usaha, yang beralamat di Jalan Chik Ali Akbar Kelurahan Ujong Kalak Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.10 Tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk memberi kemudahan bagi masyarakat, khususnya para pengusaha kecil dan menengah dalam mendapatkan modal usaha, karena masyarakat pada waktu itu agak kesulitan untuk mendapatkan modal, sehingga banyak usaha-usaha masyarakat yang terbengkalai malahan ada yang gulung tikar. b. Struktur Kepengurusan Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh ini dikelola oleh beberapa orang yang terdiri dari, ketua, sekretaris, bendahara dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur susunan pengurus Baitul Qiradh Bina Usaha dapat dilihat dalam susunan berikut ini:
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatwa Syaikh Al-Islam…, Jilid XXIX, hal. 101.
Abi Yahya Zakariya Al-Ansori, Fathul Wahab, Juz I, ( Beirut : Dar al-Fikr, tth.,), hal 241
7 8
Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Jilid 2, Penerbit, Dar Ihya’ al-Kitab al-‘Arabiyyah-Indonesia hal. 178. 9
Akta Notaris Nomor 366/ BU/KOP.i/6/ii/2006
10
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
287
HAMDI
I.
Susunan Pengurus 1. Ketua Pengurus 2. Wakil Ketua 3. Sekretaris 4. Bendahara 5. Anggota 6. Anggota
II.
Susunan Dewan Penasehat / Pembina / Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah / Pengawas 1. Ketua : Ismail. IC 2. Sekretaris : Edy Hakim 3. Anggota : Jasa Edy 4. Anggota : S. Nutazarsab
III. Susunan Pengelola 1. Manager Umum 2. Bag.ADM dan Akuntansi 3. Bag.Pembiayaan
: T. Muslem : M. Yusuf : Fery Daud : Ubaidi : T. Jamalludin : Nasruddin
: Ir. Efendi HN : Tgk. Marsrsyuddin : T. Edy Kurniawan, SE
E. Praktek mudarabah di Baitul Qiradh Bina Usaha Mudarabah merupakan salah satu bentuk perekonomian Islam yang mempunyai aturan-aturan yang telah ditetapkan menurut syariâ&#x20AC;&#x2122;at Islam. Praktek Mudharbabah dalam Bank Islam khususnya Baitul Qiradh Bina Usaha kebanyakan digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek (Shortterm Comercial )dan jenis usaha tertentu (specific venture), dengan mengacu pada kontrak yang telah disepakati Dalam kontrak mudarabah, pihak bank memberikan modal, para nasabah memberikan dan mewujudkan keahlian mereka dalam mengelola, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui. Sehingga seorang mudharib akan mengoptimalkan segala kemampuannya dalam memanage usaha yang dilakukannya supaya menghasilkan keuntungan.11 Ini artinya bahwa dalam kontrtak mudarabah, pihak bank memberikan peluang bagi para pebisnis untuk memperoleh modal dengan berbagai M. Abdul Manan. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. ( Yogyakarta: Dhana Bakti Primayasa, 1997), hal. 168 11
288
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak yang meminjam atau nasabah, sehingga dengan sistem ini masyarakat menjadi sangat terbantu dalam meningkatkan ekonomi dan mengembangkan usaha, sehingga akan memperoleh keuntungan untuk dibagi sesuai dengan rasio yang telah disepakati. Mudarabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, yang komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudarabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan hasil atas kerja dan usahanya. Dalam aplikasinya, Mudharib memiliki wewenang penuh dalam menjalankan ushanya dan ia berhak memotong seluruh biaya yang terkait dengan usaha yang sedang dijalankan, dengan mengambil modal mudarabah. Sedangkan pemilik modal hanya bertanggung jawab terhadap modal yang telah disepakati dalam perjanjian. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mervyn bahwa pemilik modal hanya bertangungjawab terhadap modal yang telah disepakati diawal, dan penambahan modal kemudian tidaklah menjadi tanggungjawab pemilik modal. 12 Oleh karena itu, mudharib tidak diizinkan mengikat kongsi mudarabah dengan jumlah yang melebihi modal awal sebagaimana dalam kontrak. Kalau ada penambahan kemudian, haruslah mendapatkan persetujuan dari pemilik modal. Namun jika mudharib melakukan kesalahan dan mengabaikan atas kesepakatan bersama dengan pemilik modal, maka segala kerugian akan menjadi tanggung jawab mudharib. Namun jika mudharib dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan syarat-syarat kontrak dan tidak melakukan salahguna (misuse) atau salah-urus (mismanage) atas modal yang dipercayakan kepadanya, maka segala kerugian tidak menjadi tanggungjawab mudharib. Oleh karena itu, dalam menggunakan produk mudarabah, khususnya pada Baitul Qiradh, para nasabah harus mengikuti semua ketentuan-ketentuan yang berlaku, karena jika dilanggar resiko menjadi tanggung jawab nasabah itu sendiri. Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syariâ&#x20AC;&#x2122;ahâ&#x20AC;Ś, hal. 66.
12
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
289
HAMDI
Ungkapan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh M. Yusuf bahwa sebelum menjadi nasabah, seseorang harus mempelajari kontrak dan mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditentukan oleh Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh.13 Di antara prosedur tersebut adalah; 1. Bagi calon nasabah terlebih dahulu membuat permohonan kepada Baitul Qiradh untuk memohon bantuan modal usaha, lalu diverifikasi, untuk kemudian dinyatakan memenuhi syarat atau tidak. Setelah dinyatakan memenuhi syarat, maka Baitul Qiradh melakukan pembinaan dan bimbingan agar nasabah tersebut dapat menjalankan usahanya dengan baik dan pengembalian modal juga menjadi lancar. Konsep pembinaan tersebut telah tertulis dalam setiap perjanjian kerja sama antara nasabah dengan Baitul Qiradh, sebagaimana tersebut dalam pasal 4 ayat 2, dimana setiap nasabah berhak memperoleh bimbingan dan pembinaan dari pihak pertama selama jangka waktu perjanjian pinjam meminjam berlangsung.14 Pasal tersebut menjadi sangat penting bagi Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh, dalam rangka menjaga dan membina para nasabah agar usahanya dapat berjalan sebagaimana diharapkan, di samping juga untuk menghindari berbagai kecurangan dan kelalaian, sehingga nasabah dan pemilik modal akan memperoleh keuntungan dari transaksi mudarabah. Hal ini sesuai dengan isi pasal 3 ayat 2 perjanjian kerjasama Baitul Qiradh yaitu â&#x20AC;? pihak pertama memberi bimbingan dan pembinaan atas aktivitas usaha pihak kedua agar tercapainya tujuan dan pemanfaatan penggunaan dana pinjaman sesuai tujuan.â&#x20AC;?15 2. Bagi nasabah harus menandatangani surat persetujuan nota kredit, hal ini dilakukan untuk membuat kesepakatan antara shahibal maal dengan mudharib sehingga tidak ada unsur paksaan dalam perjanjian kredit tersebut. Adapun isi dari surat persetujuan nota kredit tersebut Hasil wawancara dengan M Yusuf Wakil Ketua Pengurus Baitul Qiradh Bina Usaha, Desember 2009. 13
Perjanjian Kerjasama Pembiayaan dengan Kesepakatan Bagi Hasil , (Pembiayaan mudarabah) pasal 4 ayat 2 halaman ke 2. 14
Ibid.
15
290
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
mencakup; nilai nota aqad pinjaman, ansuran pokok per bulan, bagi hasil perbulan, biaya administrasi, biaya materai, biaya legalitas agunan nasabah dan deposit tabungan ansuran.16 Kesepakatan dalam perjanjian di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Fahransyah bahwa untuk mendapatkan dana kerjasama antara Baitu Qiradh dengan nasabah, maka nasabah wajib menandatangani perjanjian nota tersebut secara sukarela dan tanpa unsur paksaan.17 Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan guna untuk menghindari terjadinya kegagalan, kelalaian, kecurangan, kerugian sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik. Dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa ikatan tersebut merupakan bentuk kerjasama yang saling ridha meridhai dan saling menguntungkan, sehingga tidak ada unsur gharar di di dalamnya.
F. Pembagian Keuntungan dan Kerugian Harapan akhir dari setiap usaha adalah memperoleh keuntungan, namun bagaimana sistem pembagian keuntungan pada lembaga Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam nota kesepakatan awal antara Baitul Qiradh dengan nasabah, bahwa setiap transaksi keuangan dari hasil usaha yang dilakukan bersama dalam akad mudarabah adalah 30/70, artinya bahwa bagi shahibul maal 30% dan bagi nasabah 70% dari setiap keuntungan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ubaid bahwa; Pembagian keuntungan dari hasil akad mudarabah adalah 30 berbanding 70%, yaitu 30 persen dari keuntungan untuk Baitul Qiradh sebagai shahibal maal dan 70 % keuntungan untuk nasabah sebagai mudharib.18 Perbandingan di atas jelas menuntukkan bahwa pelaksanaan akad mudarabah merupakan sebuah akad yang saling menguntungkan, bahkan Hasil Wawancara dengan Ismail.IC sebagai ketua penasehat / Pembina/ Dewan Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah dan pengawas pada Baitul Qirad Bina Usaha Meulaboh, Desember 2009. 16
Fahransyah, Nasabah Baitul Qiradh dalam Akad Mudharabah, Wawancara, Meulaboh, 14 November 2009. 17
Ubaidi, adalah Bendahara Baitul Qirad Bina Usaha Meulaboh, Wawancara Pribadi, Meulaboh, 20 Desember 2009. 18
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
291
HAMDI
mudharib lebih banyak mendapatan keuntungan dibanding dengan Baitul Qiradh sebagai pemilik modal itu sendiri. Namun setiap keuntungan yang akan didapatkan pada setiap akhir sebuah usaha, haruslah diketahui dan disepakati syarat-syaratnya pada nota kesepakatan awal, dimana kesepakatan tersebut sebagai berikut; 1. Keuntungan harus dibagi bersama. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. 2. Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proposi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 60 % dari keuntungan untuk pemodal dan 40 % dari keuntungan untuk pengelola. 3. kalau jangka waktu aqad mudarabah relatif lama, tiga tahun ke atas, maka pembagian keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu kewaktu. 4. kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena biaya yang dikeluarkan akan mempengaruhi nilai keuntungan.19 G. Kendala-Kendala yang Dihadapi Kendala merupakan suatu hambatan dan rintangan dalam melakukan sesuatu usaha yang dapat membuat usaha menjadi tidak lancar, bahkan bisa mengakibatkan gagalnya sebuah usaha. Setiap usaha, kecil maupun besar, individu maupun lembaga, pasti akan menghadapi berbagai kendala dan tantangan, tak terkecuali lembaga Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh. Lembaga Baitul Qiradh Bina Usaha dalam menjalankan usahanya banyak menghadapi kendala-kendala; di antaranya seperti tersendat-sendat dalam pengembalian modal, bahkan ada juga yang macet sampai berbulan-bulan, di samping juga ada berbagai kendala teknis lainnya. Kondisi ini dikuatkan oleh pernyataan M. Yusuf bahwa Baitul Qiradh dalam kesehariannya sering menghadapai berbagai kendala, baik karena macet dalam pengembalian modal, tidak memperoleh keuntungan, atau Abi Yahya Zakariya Al-Ansori, Fathul..., hal. 176.
19
292
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
bahkan rugi sama sekali, yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan nasabah dalam mengelola usaha dan juga kurang intensifnya pembinaan dari pemilik modal.20 H. Upaya Penanggulangannya Untuk mengatasi segala kendala yang di hadapi Baitul Qiradh Bina Usaha sebagaimana yang telah di sampaikan di atas, maka pihak Baitul Qiradh telah melakukan beberapa upaya yang di antaranya adalah; melihat dan mendatangi langsung ketempat nasabah serta melakukan pembinaanpembinaan serta sosialisasi. Pembinaan dimaksud sesuai dengan kebutuhan nasabah itu sendiri, kalau nasabah membutuhkan suntikan dana ulang dalam rangka pengembalian tersebut, maka modal akan ditambah kembali. Atau kalau tidak mungkin dibina lagi, maka akan dilakukan penyitaan terhadap aset-aset yang ada.Mengadakan sosilaisasi kepada nasabah.21 I. Penutup Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa salah satu konsep muamalah yang terdapat dalam sistem perbankan Islam adalah mudarabah. Sistem ini bertujuan untuk menghindari praktek bunga yang sering dipaktekkan di bank-bank konvensional, dan menggantikannya dengan sistem bagi hasil. Akad mudarabah merupakan suatu usaha yang dapat memberi keuntungan kepada kedua belah pihak yakni antara pemilik modal yang memberikan kepercayaan mengelola modalnya dengan para pekerja atau pedagang, dimana keuntungannya dibagi sesuai dengan perjanjian bersama antara pemilik modal dengan pedagang. Sementara dasar hukum dalam pelaksanaan Mudharabah, di samping memang telah dipraktekkan pada masa nabi dan sahabat, juga berdasarkan ijmaâ&#x20AC;&#x2122; para ulama, terutama ulama dalam mazhab Syafiâ&#x20AC;&#x2122;i, sehingga kehalalan praktek mudarabah tidaklah diragukan lagi. Oleh karena itu, Baitul Qiradh Bina Usaha telah menjadikan produk Hasil Wawancara dengan Ir. Efendi.HN sebagai Manager Umum bidang pengelola pada Baitul Qiradh Bina Usaha Meulaboh Desember 2009. 20
M Yusuf, adalah Wakil Ketua Baitul Qiradh Bina Usaha, Wawancara Pribadi, Meulaboh, 20 Desember 2009. 21
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
293
HAMDI
mudarabah ini sebagai fokus utama dalam pelaksanaan dan pengembangannya, dan dalam aplikasinya juga telah terbukti dapat memberi keuntungan kepada kedua pihak, yaitu nasabah dan juga pihak Baitul Qiradh itu sendiri, walaupun harus diakui bahwa dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari berbagai kendala. Demikianlah makalah singkat ini, semoga akan bermanfaat kepada semua pembaca, kritik dan saran akan sangat berguna bagi penulis dalam penyempurnaan makalah ini. Wassalam.
294
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
APLIKASI MUDARABAH PADA BAITUL QIRADH BINA USAHA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KAB. ACEH BARAT
DAFTAR PUSTAKA Adiwarman Karim. Bank Islam. Cet II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Badudu, JS.. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1978. Ibnu Hisyam. al-Shirah An-Nabawiyyah, Jilid I. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Jilid 2. (Semarang: Dar Ihya’ al-Kitab al‘Arabiyyah-Indonesia, t.th.) Ibn Taimiyah. Majmu’ Fatwa Syaikh Al-Islam. Jilid XXIX . M. Abdul Manan. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dhana Bakti Primayasa, 1997. Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik dan Prospek. (Jakarta: Serambi, 2001). Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, yang dikutip dari M. Qal’aji. Mu’jam Lughah al-Fuqaha. Beirut, Dar An-Nafs, 1985. Nasrun Haroun. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Sutan Remi Syahdeini. Perbankan Islam dan kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007. Abi Yahya Zakariya Al-Ansori. Fathul Wahab. Juz I, Beirut : Darul Fikr, t.t..
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
295
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARI’AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT Malik Rizwan Dosen Prodi Mu’amalah pada Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng, Meulaboh Aceh Barat
Abstract Murabahah is a transaction of trade based on the first prize with the amount of profits. It is a product of bank shari’ah included in Bank Aceh Shariah branch Meulaboh. This product developed annually as the need of society added more and more. The mutualism system has given the profit to society and bank as well. Bank Aceh Syari’ah branch Meulaboh got the great result as proven at data that issued by bank. Kata kunci: Implementasi, Murabahah dan Bank Aceh Syari’ah
MALIK RIZWAN
A. Pendahuluan Perbankan Syari’ah semakin marak manakala diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan perbankan menjalankan dual banking system atau bank konvensional dapat mendirikan divisi syari’ah. Dengan adanya Undang undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syari’ah. Tak heran jika perkembangan perbankan syari’ah cukup pesat. Dalam kurun waktu 15 tahun perbankan syari’ah secara keseluruhan terdiri dari 3 Bank Umum Syari’ah, 25 Unit Usaha Syari’ah dan 109 BPRS. Penambahan kuantitas tersebut diimbangi oleh penetrasi jangkauan layanan. Sebelumnya pada bank maupun unit syari’ah hanya boleh melayani calon nasabah di kantor cabang syari’ah atau kantor cabang pembantu. Namun sejak channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006 dan berlaku efektif kliring dan tarik tunai bisa dilakukan di cabang bank umum yang mempunyai unit syari’ah. Dengan penerapan ini, akselerasi pertumbuhan bisa segera terealisasi. Saat ini total jaringan kantor yang bisa mengakses aktivitas keuangan syari’ah menjadi 686 outlet dengan rincian 386 kantor cabang, 191 kantor cabang pembantu, 109 kantor kas dan 1.046 counter layanan syari’ah dari pembentukan 15 bank konvensional. Sehubungan dengan ini, Karim mengatakan bahwa: Hampir semua bank syari’ah di dunia di dominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Sedangkan sistem bagi hasil mudharabah sangat sedikit diterapkan kecuali di dua negara yaitu Iran (48%) dan Sudan (62%). Di Indonesia sendiri, Bank Muamalat selama lima tahun pertama operasinya tidak menyalurkan pembiayaan dengan sistem bagi hasil mudharabah. 1 Berbicara tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut dengan al-bay'. Ditinjau dari segi harga, al-bay' dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang secara etimologis dapat diartikan dengan (tukar menukar) atau (menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain) atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti). Adiwarman A. Karim, Perbankan Syari’ah : Peluang, Tantangan dan Stategi Pengembangan Orentasi, Jurnal Agama, Filsafat dan Sosial, Edisi Ketiga, tahun 2001, hal 32. 1
298
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARIâ&#x20AC;&#x2122;AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT
Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah akan mengkaji, bagaimana penerapan sistem murabahab pada Bank Aceh Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah cabang Meulaboh, sehingga dari kajian ini diharapkan akan memberi informasi secara jelas kepada setiap nasabah yang ingin memilih produk murabahah dalam transaksi usahanya. B. Konsep Murabahah Murabahah adalah bentuk masdar dari kata raabaha yang berarti keuntungan, laba dan faedah2. Wahbah Zuhaili memberikan definisi bahwa murabahah adalah; Jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan.3 Secara sederhana konsep murabahah dapat diartikan sebagai suatu bentuk jual beli dengan adanya komisi atau suatu bentuk penjualan barang dengan harga awal ditambah keuntungan yang disepakati.4 Transaksi ini menurut Udovict biasanya dilakukan jika si pembeli tidak memperoleh barang yang diinginkan kecuali melalui seorang perantara, atau ketika Si pembeli ingin mendapatkan barang tersebut secara praktis sehingga ia mencari jasa dari seorang perantara. Pada dasarnya konsep Murabahah tidaklah mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Oleh karena itu, produk Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitabkitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadis. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam alQuran atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah berkonsensus akan legitimasi
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 126.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 344.
2 3
Muhammad Syafiâ&#x20AC;&#x2122;i Antonio, Bank Syariah Ulama dan Cendikiawan (Tazkia Insitute, Jakarta, 1999), hal, 15 4
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
299
MALIK RIZWAN
orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati.5 Wahbah al-Zuhaili menambahkan bahwa dalam jual beli murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu : a. Mengetahui harga pokok Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. Syarat ini juga diperuntukan bagi jual beli at-tauliyyah dan al-wadhi'ah. b. Mengetahui keuntungan Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga. Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. c. Harga Pokok Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya. 6 Jual beli murabahah merupakan jual beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Atau dengan kata lain dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah Swt., berfirman dalam surah al-Anfal, yang artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. QS. Al-Anfal 8: 27) Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi jual beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, maka ulama fiqh berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat. Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et. al, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 138 5
6
300
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamâ&#x20AC;Ś, hal. 705.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARI’AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT
C. Struktur Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat. Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat mempunyai 5 bagian dengan 7 orang karyawan dan satu orang kepala, yaitu: a. Kepala : Deddy Nofendy b. Costamer Servis : Yenni Afrida. c. Teller : Mauizza Waly. d. Pengkreditan : Teuku Hardianta dan Faudi Ibrahim. e. Bagian Umum : M. Hanafiah. f. Security : Marzuki dan Ridwan. D. Dasar Hukum Murabahah Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menjelaskan secara langsung tentan Murabahah, kecuali al-Qur’an hanya membahas secara umum saja, yang di antaranya yaitu ayat yang terkait dengan jual-beli, keuntungan dan kerugian. Demikian pula halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada satupun hadist yang membahas atau memiliki rujukan langsung mengenai permasalahan murabahah ini. Adapun yang menjadi landasan dari pembiayaan ini adalah al-Qur’an ayat 29 dari surat an-Nisa’ adalah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’ 3: 29). Para ulama generasi awal seperti Imam Malik dan Syafi’i yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah boleh hukumnya, sekalipun keduanya tidak dapat memperkuat pendapat mereka dengan satu hadispun. Imam Malik misalnya, membenarkan keabsahan pendapatnya hanya dengan merujuk pada adanya praktek penduduk Madinah mengenai transaksi ini : Terdapat kesepakatan dari ahli Madinah mengenai keabsahan seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang disepakati” Sedangkan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-‘Umm mengatakan bahwa : Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
301
MALIK RIZWAN
â&#x20AC;&#x153;Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan berkata belikanlah aku barang seperti ini dan aku akan memberikanmu keuntungan sekian, lalu orang tersebut membelikannya, maka jual beli ini adalah sah hukumnya. Seorang ulama pengikut Mazhab Hanafi menganggap bahwa murabahah ini adalah sah hukumnya dengan pertimbangan terpenuhinya syarat-syarat yang mendukung adanya suatu akad jual beli dan juga karena adanya beberapa pihak yang membutuhkan keberadaan transaksi ini. Begitu juga dengan Imam Nawawi seorang ulama pengikut mazhab Syafiâ&#x20AC;&#x2122;i, sebagaimana dikutip oleh Saeed mengatakan tentang kebolehannya melakukan transaksi tanpa ada penolakan sedikitpun.7 Lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam transaksi murabahah ini persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah: a. Mengetahui harga pokok, dimana penjual diharuskan untuk memberitahukan secara jelas harga pokok atau harga awal dari suatu barang yang akan di jual kepada pembeli untuk menghindari terjadi transaksi yang tidak jelas (gharar) di antara kedua belah pihak. b. Mengetahui keuntungan yang ditetapkan pihak penjual ketika melakukan transaksi, yaitu menjelaskan bagaimana keuntungan (margin keuntungan) yang akan ditetapkan dari barang yang dijualnya .8 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan dalam kajian fiqih Islam transaksi murabahah ini adalah sah dan boleh hukumnya, dengan alasan adanya kebutuhan masyarakat akan jenis transaksi ini. Pertimbangan lainnya adalah keberadaannya merupakan bentuk lain dari transaksi jual-beli atau perdagangan sederhana yang ada dalam Islam berdasarkan terpenuhinya persyaratan jual-beli yang ada di dalam transaksi murabahah ini. E. Pembiayaan Murabahah pada Bank Aceh Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah Cabang Meulaboh Bank pada prinsipnya mempunyai fungsi sebagai lembaga intermediasi
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Jakarta 2005), hal. 138
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamâ&#x20AC;Ś, hal. 15.
7 8
302
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARI’AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT
keuangan yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan uang yang dipercayakan padanya. Untuk menjalankan fungsi tersebut maka aktifitas pembiayaan merupakan kegiatan yang tidak asing dalam dunia perbankan. Di antara pembiayaan yang ditawarkan Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat adalah pembiayaan murabahah. Penerapan murabahah di Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat berdasarkan prosedur yang telah ditentukan oleh Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh Aceh Barat. Di antaranya seperti membuat permohonan terlebih dahulu kepada bank. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Riky bahwa setiap nasabah harus terlebih dahulu membuat permohonan bantuan modal usaha atau kredit kepada pihak Bank, lalu diverifikasi dan ditentukan diterima atau ditolak. Kalau disetujui permohonan tersebut, langkah berikutnya adalah membuat perjanjian kerjasama atau kontrak, bagi nasabah harus menandatangani surat persetujuan nota kesepakatan awal yang dilakukan antara nasabah dan pihak Bank guna membuat keputusan bersama agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. 9 Jadi kesepakatan dalam perjanjian tersebut menimbulkan senang sama senang antara pemilik modal dangan pengelola dalam artian kedua belah pihak ridha atas perjanjian tersebut, sehingga perjanjian itu sejalan dengan syari’at Islam, tidak menimbulkan sakit hati dan saling menguntungkan Di samping itu, akad juga bukan hanya sekedar untuk memenuhi administrasi Bank Aceh Syari’ah Cabang Meulaboh melainkan untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan selama berlansungnya ikatan kerjasama antara kedua belah pihak. Adapun hal-hal yang perlu diketahui selama berlansungnya akad kedua belah pihak antara lain adalah: 1. Nasabah telah mengajukan permohonan kepada bank terlebih dahulu untuk membeli barang sebagai mana didefinisikan dalam keterangan akad ini; 2. Adanya keterangan margin yang disediakan oleh bank sebagai keterangan awal untuk nasabah; Ricky Irvan Bagian Administrator Pembiayaan Bank Aceh Syariah Cabang Meulaboh, Wawancara, Meulaboh, 10 September 2010. 9
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
303
MALIK RIZWAN
3. Adanya resiko yang lahir dikemudian hari yang tidak di atur dalam akad ini maka akan menjadi tanggung jawab nasabah; 4. Barang yang disediakan oleh bank baik melalui cara salam maupun barang yang sudah ada itu dilakukan secara transparan antara kedua belah pihak yang disaksikan langsung disaat akad disepakati; 5. Adanya kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak atau tanda tangan kedua belah pihak10. Dengan demikian jelaslah bahwa produk Murabahah Bank Aceh Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah Cabang Meulaboh merupakan salah satu produk yang dilakukan secara transparan dan dapat dipercaya, sehingga akan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak. Namun keuntungan itu terikat oleh syarat-syarat sebagai berikut: 1. Penentuan margin lebih dahulu ditentukan dalam akad perjajian, sehingga tidak adanya komunikasi yang terputus, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. 2. Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proposi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 48 % dari keuntungan untuk pemodal dan 52 % dari keuntungan untuk pengelola. 3. Kalau jangka waktu akad murabahah relatif lama, tiga tahun ke atas, maka nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu kewaktu. 4. Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.11 Bila dilihat kutipan di atas jelaslah bahwa, margin keuntungan dari pihak nasabah harus sesuai dengan kesepakatan sebagaimana telah tertulis dalam akad perjanjian sebagaimana yang telah disepakati.
Akad Bank Syariah perjanjian jual beli murabahah No. 001/MBH/III/2005 hal, 2
10
Ibid., hal. 176.
11
304
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARIâ&#x20AC;&#x2122;AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT
F. Mekanisme Pembiayaan Murabahah dan Objek Transaksi Murabahah merupakan salah satu produk yang banyak dipakai dalam transaksi perbankan pada Bank Aceh Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah Cabang Meulaboh Aceh Barat. Dan Murabahah yang digunakan pada prinsipnya didasarkan pada dua (2) komponen utama yaitu harga beli dan biaya terkait atas barang serta kesepakatan atas laba (mark-up). Dengan demikian, ciri-ciri mendasar yang dapat disimpulkan pada kontrak murabahah (jual beli dengan pembayaran tunda) ini adalah sebagai berikut : a. Pihak pembeli harus memiliki pengetahuan tentang harga awal dari barang yang dijual pihak bank, biaya-biaya terkait dengannya dan batas laba (mark-up) yang ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya. b. Obyek yang diperjual-belikan adalah berupa barang atau komoditas dan harus dibayar dengan uang. c. Obyek yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh pihak penjual atau wakilnya dan dapat diserahkan secara langsung. d. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak pembeli dapat ditangguhkan (angsuran) Dalam prakteknya di perbankan Islam, sebagian besar kontrak murabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistem murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).12 G. Perjanjian dan Penetapan Harga Pada Pembiayaan Murabahah Untuk penetapan harga dan pembayarannya, bank akan menyesuaikan menurut kemampuan nasabah, yang dilihat dari laporan keuangan usaha, ataupun jika ia seorang PNS, maka akan dilihat dari daftar gaji, selanjutnya melihat jangka waktu pembayaran. Lalu pihak bank menghitung margin secara baik, dan menetapkan besarnya pembiayaan tersebut serta harga yang akan dicicil oleh nasabah setiap bulannya. H. Sistem Penjaminan pada Pembiayaan Murabahah Jaminan untuk pembiayaan murabahah usaha swasta akan dilihat dan di klarifikasi usaha. Apakah Mikro kecil, menengah atau besar karena ketentuan masing-masing klasifikasi berbeda. Untuk usaha biasanya jaminan yang Akad Murabahah, Bank Aceh Syariah Cabang Meulaboh Pasal 5
12
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
305
MALIK RIZWAN
diambil harus memiliki nilai yang dapat menutupi jumlah pembiayaan yang diberikan. Jaminan bisa berupa tanah, rumah, kenderaan ataupun barangbarang lain yang bernilai. Untuk PNS, jaminan biasanya dilampirkan jika pembiayaan yang diajukan jumlahnya diatas Rp 100.000.000,-. Guna menjamin ketertiban pembayaran atau pelunasan utang tersebut pada ayat 1 tepat pada waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak berdasarkan perjanjian ini, maka nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk membuat dan menandatangani pengikatan jaminan dan menyerahkan barang jaminannya kepada bank sebagaimana yang di lampirkan pada surat perjanjian dan karenanya menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan dari surat perjanjian ini.13 Dalam akad murabahah ini sangat berbeda dengan akad rahn, dimana peminjam tidak dituntut untuk memberikan anggunan karena sifatnya hanya diprioritaskan kepada orang-orang kondisi ekonominya sangat rendah, namun demikian anggunan yang dimaksudkan di sini bukan hanya sematamata memberatkan para nasabah atau mitra melainkan sebagai upaya membangun rasa kepedulian dan tanggung jawab bersama terhadap apa yang sudah ia pinjam sehingga upaya semacam ini di samping membangun kesadaran bersama juga membangun hubungan silaturrahmi yang baik antara bank dan nasabah. Setelah dilakukan pembiayaan juga dilakukan pengawasan terhadap nasabah sebagai mana yang sudah dijelaskan dalam akad kesepatan ini, untuk menghindari agar tidak terjadi berbagai macam kendala, seperti kerugian dan juga kemacetan dalam mengembalikan modal. I. Penutup Murabahah adalah; Jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan, dimana secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep murabahah adalah suatu bentuk jual beli yang diesrtai oleh adanya komisi atau keuntungan dalam bentuk penjualan barang, dimana seseorang dipercaya untuk membeli barang, lalu menjual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga awal, dengan keuntungan-keuntungan sebagaimana telah disepakati. Adapun terkait dengan hukum murabahah, bahwa semua ulama Akad perjanjian jual beli murabahah. Pasal 6. ayat 1 dan 2 ( 2010), hal. 5
13
306
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
IMPLEMENTASI MURABAHAH PADA BANK ACEH SYARI’AH CABANG MEULABOH ACEH BARAT
menyepakati tentang kebolehan melakukan transaksi murabahah, sekalipun mereka tidak memperkuat pendapat mereka dengan satu hadispun. Bahkan Imam Nawawi yang merupakan salah seorang ulama pengikut mazhab Syafi’I, mengatakan bahwa kebolehan dan kehalalan melakukan transaksi murabahah tidak ada alasan sedikitpun untuk penolakannya. Sementara transaksi produk murabahah pada bank Aceh Syari’ah merupakan salah satu produk yang paling banyak dilaksanakan, karena transaksi ini memiliki unsur keadilan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak, sehingga pihak bank dan juga nasabah lebih cenderung untuk memilih produk murabahah. Namun demikian, dalam pelaksanaan akad murabahah pihak bank Aceh Syari’ah tetap melakukan pengawasan dan pembinaan, untuk menghindari kemacetan dan bahkan kekeliruankekeliruan dalam melaksanakan usaha. Di samping itu pihak bank dan nasabah juga menyepakati beberapa ketentuan sebelum melakukan transaksi murabahah seperti penentuan margin di awal, penentuan proporsi keuntungan, secara berkala dan lain sebagainya, sehingga transaksi murabahah ini benar-benar merupakan transaksi yang halal secara syari’ah yang didasari oleh prinsip-prinsip keadilan dan saling menguntungkan.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
307
MALIK RIZWAN
DAFTAR PUSTAKA Adiwarman A. Karim. Perbankan Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah : Peluang, Tantangan dan Stategi Pengembangan Orentasi, Jurnal Agama, Filsafat dan Sosial, Edisi Ketiga, tahun 2001. Al-Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Wahbah al-Zuhaili. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Jilid IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1989. Abdullah Saeed. Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga. Terj. Muhammad Ufuqul Mubin. et. al, Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Arison Hendry. Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi. Jakarta: Mu'amalat Institute, 1999. Muhammad Syafiâ&#x20AC;&#x2122;i Antonio. Bank Syariah Ulama dan Cendikiawan. Jakarta: Tazkia Institute, 1999.
308
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
MANAJEMEN LEMBAGA BAIT AL-MAL (Kajian Terhadap Sistem Perekonomian Umar Ibn Khattab)
Muhammad Dosen Prodi Mu'amalah STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Mahasiswa Doktor Konsentrasi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract Bayt al-mal is an institution to build the money trust in Islami system. Umar ibn Khattab was considered the one who promoted the model of Islamic financial system. At his chaliphate, the property of islam especially related to jizyah (tax), faâ&#x20AC;&#x2122;I and ghanimah gain more and more. So that Umar begin to think how to manage this property accurately. The management of Islam of finances formed in Bayt al-Mal system, sarting at the colletion, supervision, evaluation, and so forth. This management should be considered as the initial way to promote the prosperity of Islam and itâ&#x20AC;&#x2122;s ummah. Kata kunci: Manajemen dan lembaga baitulmal
MUHAMMAD
A. Pendahuluan Islam merupakan agama yang universal. Ia merupakan suatu agama yang memberikan tuntunan tidak saja yang berhubungan secara vertikal dengan Tuhan, namun juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak saja berkaitan dengan spritualitas dan ritualitas semata, namun juga merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan, dan aturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia, bahkan Islam merupakan sebuah idiologi yang merupakan wujud dari sebuah kehidupan secara utuh. Islam juga tidak hanya mementingkan unsur immateri semata dan melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi dan meningkatkan taraf hidup manusia untuk mendapatkan pendapatan ekonomi secara materi. Namun, Islam selalu menekankan bahwa materi tersebut bukanlah tujuan akhir, sekalipun ekonomi tersebut dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, bahkan dianggap sama nilainya dengan kata-kata berjihad1 Jadi dalam pandangan Islam bahwa manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi ekonomilah yang diciptakan Allah untuk manusia. Adapun manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk Allah, akal dan hatinya hanya terfokus kepadaNya, sementara ekonomi hanya sebagai sarana untuk menuju ketaqwaan kepada khaliknya. Oleh karena itu setiap aktivitas ekonomi perlu dimenage dan dikontrol serta dituntun secara baik dan professional agar sejalan dengan tujuan syariâ&#x20AC;&#x2122;at Islam dan sesuai dengan keinginan Allah. Namun dalam penyusunan makalah ini, penulis hanya akan fokus pada kondisi ekonomi yang ada pada masa Khalifah amirul Mukminin yang kedua yakni Umar Ibn al-Khattab, khususnya terkait dengan manajemen Baitul Mal, hal ini sangat beralasan mengingat begitu banyaknya inovasi yang dilakukan Umar dalam bidang ekonomi, yang salah satunya adalah manajemen Umar dalam mengelola harta bait al-mal B. Pemikiran Ekonomi Islam Kajian ilmu pengetahuan modern tentang ekonomi Islam baru muncul pada era tujuh-puluhan, namun pemikiran tentang ekonomi Islam sendiri
1
310
www.http;//ekisonline.com/index.php.
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
MANAJEMEN LEMBAGA BAIT AL-MAL
sudah ada bersamaan diturunkannya Islam melalui Nabi Muhammad saw, yang kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabat yang masyhur yang disebut dengan Khulafa al-Rasyidin. salah satunya yang akan dikaji dalam makalah ini adalah Khalifah kedua yakni Umar Ibn al-Khattab, hal ini sangat beralasan mengingat begitu banyaknya inovasi-inovasi baru yang dilakukan oleh Umar, yang tidak hanya dalam bidang hukum tetapi juga dalam bidang ekonomi, salah satu yang menarik untuk dikaji adalah manajemen Umar dalam mengelola harta bait al-mal. C. Umar Ibn Khattab (40 SH-23 H./584-644 M.) Umar Ibn Khattab merupakan khalifah Islam kedua, Ia menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah, pengganti Rasulullah, kemudian Ia juga yang memperkenalkan istilah Amir al-Mukminin -komandan Orang-orang beriman-.2 pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun Ia banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan romawi seperti Syria, Palestina, dan Mesir, serta seluruh wilayah kerajaan Persia. Atas prestasi inilah orang barat menjulukinya sebagai the Saint Paul of Islam.3 Dalam masalah perekonomian Umar Ibn Khattab dipandang banyak melakukan inovasi, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemikiran dan gagasannya yang mampu mengangkat citra Islam pada masanya. Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam Umar mulai memberlakukan administrasi negara juga membentuk jawatan kepolisian serta tenaga kerja.4 Dalam bidang pertanian Umar mengambil langkah-langkah penting, misalnya. Ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat dengan syarat mampu menggarapnya, membuat saluran irigasi, serta mendirikan lembaga yang khusus untuk mendukung programnya tersebut.5 Sedangkan Azyumardi Azra, dkk. Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, tt.) hal. 175. lihat juga dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islamâ&#x20AC;Ś, hal. 37 2
M. A Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rasyida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, Karachi, Vol. 2 No. 4, 1985, hal. 50. yang di nukil juga oleh Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiraâ&#x20AC;Ś, hal. 58 3
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islamâ&#x20AC;Ś, hal. 37-38
Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008), hal. 102 5
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
311
MUHAMMAD
dalam bidang perdagangan Umar juga menyempurnakan hukum perdagangan yang mengatur tentang pajak, dan mendirikan pasar-pasar yang bertujuan untuk mengerakkan roda perekonomian rakyat.6 Selain hal tersebut, Umar juga menjadikan Bait al-Mal yang memang sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya menjadi reguler dan permanent, kemudian dibangun cabang-cabang di ibu kota provinsi. Berbeda dengan Abu Bakar, Umar dalam mendistribusikan harta Bait al Mal menerapkan prinsip keutamaan. Selain itu Umar juga mendirikan Dewan yakni sebuah kantor yang betugas memberikan tunjangan bagi angkatan perang, pensiunan, serta tunjangan lain. Disamping itu Umar juga mendirikan lembaga survey yang dikenal dengan Nassab yang bertugas melakukan sensus terhadap penduduk Madinah.7 Selain itu, Umar juga memperkenalkan system jaga malam dan patroli serta mendirikan dan mensubsidi sekolah dan masjid.8 D. Manajemen Harta Bait al Mal Sebelum membicarakan lebih jauh bagaimana manajemen bait al mal pada Umar dijalankan, penulis merasa perlu untuk memberikan pemahaman yang utuh apa yang dimaksud dengan manajemen. Unsur manajemen tercermin dalam jasa pengaturan yang dilakukan ‘manager’ untuk terlaksananya usaha. Diantara contoh jasa tersebut adalah, penentuan bentuk usaha yang sesuai perundang-undangan dan lokasinya, penentuan bentuk produk dan sifatnya, persiapan system ekonomi, pengawasan pelaksanaan, hingga penilain hasilnya. Secara umum manager adalah orang yang mengambil ketetapanketetapan yang berkaitan dengan produksi dan penanggungan resiko.9 Dalam fikih ekonomi Umar r.a nampak jelas kemandirian unsur manajemen dari pengelolaan harta bait al-mal, demikian itu dapat diketahui dengan jelas pada saat dilakukan berbagai tindakan nyata dalam mengelola harta bait al-mal, dengan perincian sebagai berikut ; lihat dalam Ibid Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 102, serta dalam Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran…,hal. 70-71 6
Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 103
Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran…, hal. 77
7 8
Jaribah Ibn Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khattab, Terj. Asmuni Sholihan Z., (Khalifa, Jakarta : 2006), hal. 95. 9
312
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
MANAJEMEN LEMBAGA BAIT AL-MAL
E. Melakukan pengawasan harta. Di antara sisi terpenting dalam pengawasan ekonomi adalah pengawasan harta, yaitu dengan mengawasi sumber bait al-mal dan memperhatikan cara mendapatkan pemasukan, sisi pengeluaran, serta usaha memenuhi pemasukan, mengarahkan pengeluaran dan lain sebagainya, pengawasan harta bait al-mal ini mengambil perhatian yang besar dalam ekonomi Umar r.a. diantara tanda perhatian tersebut ; Pertama, Dalam hal pengawasan harta umat Islam Umar r.a beranggapan bahwa â&#x20AC;&#x153;barang siapa yang menjaganya, berarti dia telah menjaga urusan umat Islam, dan barang siapa yang menyia-nyiakannya, berarti dia telah menyia-nyiakan umat Islamâ&#x20AC;?. Disamping itu, Islam juga menjadikan diantara kewajiban umat adalah mengawasi penguasa untuk memastikan dia menjaga hal-hal tersebut. F. Independensi Bait al-mal Yang diperlukan untuk keberhasilan dalam pengawasan harta adalah dibentuknya lembaga independent yang dapat memisahkan antara tugas eksekutif dengan lembaga keuangan. Di sisi lain, independensi baitul mal dan konsistensi penguasa terhadapnya, sangatlah penting untuk melindungi baitul mal dari penyimpangan penguasa, jangan sampai seorang penguasa menganggap bahwa dirinya yang berkuasa dan dengan seenaknya bertindak seperti pemilik barang tersebut, mengambil harta sesuai dengan kehendaknya, memberikannya kepada siapapun yang dikehendakinya, tanpa memperbolehkan seseorang untuk mengawasinya apalagi mengaturnya, karena penguasa seperti tidak dapat membedakan harta pribadi dan milik negara. Islam dengan sempurna memberikan pemisahan yang tegas antara harta pribadi penguasa dan harta umat Islam dan mengangap imam sebagai orang yang diberi amanah atas harta umat Islam dan memeperlakukannya sesuai dengan syariâ&#x20AC;&#x2122;at yang dapat mewujudkan kemashlahatan umat Islam. Ini menjadikan umat mempunyai kewajiban untuk mengawasi tindakan para penguasa terhadap harta umat serta mengavaluasinya.10 Umar r.a telah mempelopori penerapan independensi bait al- mal dalam Jaribah Ibn Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomiâ&#x20AC;Ś, hal. 643
10
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
313
MUHAMMAD
Islam dari kekuasan ekskutif, dan menegaskan prinsip tersebut dengan beberapa tindakan, diantaranya; 1. Tujuan dasar dibentuknya baitul mal pada masa Umar r.a adalah untuk mengawasi harta dan mengatur urusan pengumpulan dan pengeluaran, dimana pada saat Umar berkuasa harta bait al- mal sangat banyak dan melimpah, hal ini salah satunya disebabkan kekuasan Islam yang semakin luas dimana negara taklukan Islam harus membayar pajak dan usyur11 serta tambahan dari pemasukan yang berasal dari rampasan perang. Dengan keadaan inilah kemudian Umar berinisiatif menjadikan baitul mal sebagai lembaga independent agar tidak bercampur baur dengan urusan administrsi dan lain sebagainya. 2. Umar r.a bermaksud dengan independensi ini dapat membedakan antara hak kerabatnya dalam baitul mal dan hak mereka dalam harta pribadi, dengan demikian apabila umar hendak memberi salah seorang kerabatnya sesuatu, maka dia memberinya dari harta pribadinya. 3. Umar r.a menegaskan kepada umat Islam tentang prinsip independensi bait al-mal dan menanamkan dalam pikiran mereka. Umar tidak melihat kedudukannya atas rakyatnya dalam memberikan hak-hak mereka, bahwa Umar r.a hendak memberikan ketegasan bahwa tidak ada intervensi penguasa dalam pembagian harta baitul mal, harta baitulmal akan dibagikan berdasarkan haknya. 4. Umar r.a hendak menegaskan bahwa dia tidak mempunyai hak istimewa atas harta baitul mal, bahkan dalam menentukan berapa banyak gaji yang harus diperoleh khalifah (dirinya sendiri) Umar mengumpulkan umat Islam untuk bermusyawarah dalam menentukan gajinya tersebut. G. Membuat Buku besar/ Induk Menarik apa yang dilakukan Umar, r.a dalam memanajemen harta baitul mal, yakni salah satunya adalah membuat buku besar/induk. Yang dimaksud dengan buku besar ini adalah berupa kumpulan lembaran, buku, atau catatan untuk menuliskan nama-nama pasukan dan umat yang berhak menerima gaji, lebih jauh lagi buku besar ini selain berupa daftar penerima gaji juga berisi perjanjian-perjanjian dan apa yang diputuskan untuk menjaga Usyur adalah pajak/ bea yang dikenakan pada harta perdagangan tertentu yang besarnya 10%
11
314
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
MANAJEMEN LEMBAGA BAIT AL-MAL
hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak negara dari pekerjaan dan harta dan siapa saja yang menjalankannya dari tentara dan pegawai.12 Pembuatan buku besar merupakan salah satu cara penting pengawasan harta yang dimasukkan Umar dalam aturan harta Islam, tujuan dibuatnya buku besar ini adalah untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran baitul mal, hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut ; 1. Pengawasan Pemasukan Bisa dipastikan bahwa peran buku besar ini sangat penting dalam mengetahui sumber pemasukan harta negara, kendati ada riwayat yang mengatkan bahwa ide tentang buku besar ini sebenarnya datang dari Persia dan romawi yang mempunyai buku besar untuk menentukan jumlah pajak dan cara mengumpulkannya. Namun demikian, patut dicatat bahwa Umar melakukan ini untuk mengambil pelajaran darinya dalam menentukan dan mengumpulkan harta pajak yang menjadi hak umat Islam atas harta ahl dzimmah yang mencakup pajak, jizyah, dan usyur.13 Kedua, tentang zakat, diriwayatkan bahwa Umar apabila mengeluarkan gaji, Ia menghitung zakat harta para pedagang, kemudian mengambil sebagian dari gaji. Ketiga, buku ini juga mengatur urusan tanah kena pajak, dengan menjelaskan luasnya dan jumlah pajak yang ditentukan, menjelaskan hukumnya dan lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ketika terjadi perang darul jamajim, setelah perang usai mereke berebut menempati tanah yang dekat karena hilangnya buku yang mencatat tentang kepemilikan tanah tersebut. Keempat, buku besar ini selain ada di Madinah, dibuat juga buku besar cabang disebagian besar daerah kekhalifahan, dan tidak bisa dipungkiri keberadaan buku besar itu sangat mempermudah menghitung pemasukan dan juga mempermudah pengeluaran. 14 2. Pengawasan Pengeluaran Sangat dominant bahwa pengawasan pengeluaran harta baitul mal Al- Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid, 4, (Darr Ilm, Beirut : 1986), hal. 443
12
Al- Mawardi, Al-Ahkam al-Suthaniyah,(Darr Fikr, Beirut : 1990), hal. 264
13
Ibn Saad, al-Thabaqat Al-Khamisah min Al-Shahabah, (Al-Maâ&#x20AC;&#x2122;arif, Riyadh : 1991), Jilid II, hal. 153 14
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
315
MUHAMMAD
adalah sebab utama dibuatnya buku besar. Hal ini dilakukan Umar setelah Ia melihat banyaknya harta yang mengalir ke ibu kota ke-khalifaan (Madinah), selanjutnya Umar melakukan musyawarah dengan umat Islam tentang cara pembagian harta yang mengalir tersebut. Yang akhirnya menyimpulkan agar dibuat buku besar untuk memastikan pembagian.15 Sedangkan cara yang dilakukan Umar dalam mengawasi pengeluaran berdasarkan riwayat adalah sebagai berikut. Pertama, mensensus orang yang berhak mendapat gaji dan mendaftarkan namanya dalam buku induk untuk memastikan mereka melakukan tugasnya, dan mengetahui siapa yang sudah dan belum menerima haknya, sehingga tidak ada seorangpun yang luput untuk mendapatkan haknya disamping untuk menghindari memperoleh bagian yang lebih. Kedua, membatasi gaji dengan jumlah batasan pertahun yang tetap, dimana ditetapkan bagi setiap orang jumlah gajinya dari baitul mal sesuai dengan dasar ketentuan ynag berlaku. Ketiga, untuk menjaminnya sampainya hak kepada pemiliknya, Umar mengikuti aturan pengawas. Dengan aturan ini dipilih para pengawas, pemimpin, dan penjaga. Dalam pendistribusiannya gaji diberikan kepeda pemimpin wilayah, kemudian mereka memberikannya yang kepada yang berhak dalam wilayahnya tersebut.16 3. Penghitungan Akhir Pembuatan buku besar tidak bisa dipungkiri telah memberikan kemudahan dalam mengontrol arus kas baik pemasukan maupun pengeluarannya. Seperti buku besar pajak merupakan cara untuk menentukan jumlah pajak. Dan sumber terpentingnya adalah pajak yang diwajibkan atas tanah dinegara yang ditaklukkan dan jizyah yang diwajibkan atas harta ahl dzimmah, demikian juga usyur perdagangan. Adapun tentang pengeluaran, penetuan sector terpentinganya adalah bahwa penyelesaian gaji dapat dilakukan dengan merata dan sampai kepada yang berhak. Disisi lain, setelah pembuatan buku besar, sumber pemsukan lebih terkontrol begitu juga pengeluarannya, yang dimudahkan dengan perhitungan tahunan. Dimana Umar r.a kemudian mengintruksikan untuk memberikan gaji pada bulan muharram setiap tahunnya, dan menarik pajak Ibn Abi Syabah, seperti dikutip dalam Jaribah Ibn Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomiâ&#x20AC;Ś, hal. 646
15
At-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulukâ&#x20AC;Ś, Jilid V, hal. 21- 22
16
316
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
MANAJEMEN LEMBAGA BAIT AL-MAL
pada saat terbit bintang ‘Syira’ yakni ketika musim panen.17 Dalam sebuah atsar dijelaskan bahwa Umar meminta perhitungan akhir dari para pegawainya, yang menjelaskan tentang pemasukan dan pengeluaran untuk memudahkan pengawasan. Misalnya apa yang diriwayatkan dari Abu Musa r.a, bahwasannya Umar memerintahkan untuk menyampaikan kepadanya apa yang dia ambil dan apa yang diberikan dalam satu lembaran, sedangkan Abu Musa mempunyai seorang juru tulis beragama Nasrani, kemudian dia menyampaikan kepada Umar, maka Umar kafum dan berkata, “Orang ini tidak lain adalah orang yang bisa menjaga.”18 H. Penutup Dalam banyak hal terutama inovasinya dalam masalah ekonomi, Umar r.a dapat dijadikan rujukan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis ekonomi. Satu diantaranya adalah bagaimana Umar pada masanya telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap manajemen harta baitul mal, sehingga keadaan ini mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran, dan yang lebih penting dari itu, pengelolan baitul mal tersebut dapat menyejahterakan rakyat, karena harta baitul mal tersebut dapat disampaikan kepada yang berhak tanpa ada satupun yang dirugikan. Salah satu hal penting yang dilakukan Umar terhadap pengelolaan harta Baitul Mal adalah melakukan pengawasan harta, yaitu dengan mengawasi sumber bait al-mal dan memperhatikan cara mendapatkan pemasukan dan juga sisi pengeluarannya Hal penting lain yang dilakukan Umar adalah dengan membentuk sebuah lembaga independen yang dapat memisahkan antara tugas eksekutif dengan lembaga keuangan. Hal ini menjadi sangat bermakna untuk melindungi baitul mal dari penyimpangan kekuasaan penguasa. Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari beberapa hal penting yang dilakukan Umar dalam rangka mengatur dan memenage harta Baitul Mal, sehingga pada akhirnya dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat. At-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk…, Jilid V, hal. 12
17
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an alAdzim, (Darr ilm, Kairo: 1990), hal. 710
18
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
317
MUHAMMAD
DAFTAR PUSTAKA Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam. Jogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995 Azra, Azyumardi dkk.. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, : tt Al-Haritsi, Jaribah Ibn Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab, terj. Asmuni Sholihan Z. Jakarta: Khalifa, 2006 At- Tabari. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Darr Ilm, 1986 Al- Mawardi. Al-Ahkam al-Suthaniyah. Beirut Darr Fikr, 1990 Karim,Adimarwan Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Press, : 2006 Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Kairo: Darr Kutb, 1990 M. A Sabzwari. Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rasyida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance. Karachi, Vol. 2 No. 4, 1985 Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2008 Sya’labi, Ahmad. Sejarah dan kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994 Saad, Ibn. al-Thabaqat Al-Khamisah min Al-Shahabah. Riyadh: Al-Ma’arif, 1991 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Raja: Grafindo Persada, 1994
318
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
Dedy Kamarlis Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng, Meulaboh Aceh Barat
Abstract Tax is a term related to collecting the wealth that used for public interest. Some of moslems feel ambiguity about the position of tax. The question appeared such: what is the different between the tax and zakat.? Which one that must be paid by moslem? Those question need to be answered seriously to make clear the position of tax. Tax in nowadays perception is often related to a fund that used for developing the countries. Other words that appeared similar meaning in Islam such as kharaj, dharibah, jizyah and so forth. Kata kunci: Pajak dan hukum Islam
DEDY KAMARLIS
A. Pendahuluan Pajak merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan oleh penguasa kepada setiap rakyatnya, baik muslim maupun non muslim, dimana penguasa berhak untuk memaksakan orang yang wajib pajak untuk membayarnya. Dalam pemerintahan Islam terdapat beberapa jenis pajak atau pungutan yang pernah dilakukan, seperti jizyah, ghanimah, kharaj dan lain-lain, akan tetapi dalam pembahasan ini, penulis hanya akan membahas salah satunya saja, yaitu kharaj. Kharaj adalah salah satu pajak yang dibebankan kepada kafir dzimmi dan juga dibebankan kepada orang muslim. Kharaj secara bahasa artinya sesuatu yang dikeluarkan, umpamanya sebagian harta yang dikeluarkan dari hasil tanah pertanian atau dari penghasilan pekerja buruh. Sukarna Karya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kharaj adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang dikuasai oleh umat Islam untuk mengeluarkan sebagian dari hasil bumi mereka sedangkan mereka dibolehkan memeluk agama mereka masing-masing.1 Amir Syarifuddin menambahkan bahwa kata kharaj, pada dasarnya memiliki arti sumbangan, yang diserahkan oleh non muslim yang berdiam di tanah dan wilayah muslim. Kemudian kata ini secara khusus berlaku untuk pajak tanah yang dimiliki, selanjutnya berlaku untuk pajak.2 Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, penulis ingin mengkaji apa yang dimaksud degan kharaj, dasar hukumnya dan bagaimana penerapannya dalam dunia perpajakan dewasa ini. B. Pengertian Pajak Kata pajak dalam bahasa Arab disebut dengan dharibah, yang sering diartikan dengan suatu beban yang harus dibayar oleh seseorang kepada penguasa. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa kata pajak atau dharibah diambil dari kata dharaba yang artinya utang pajak tanah atau upeti
Soekarna Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 43. 1
Amir Syarifuddin, â&#x20AC;&#x153;Sumber Pemasukan Negara menurut Islamâ&#x20AC;? dalam buku: Zakat dan Pajak, Munawir Syadzali dkk, (Jakarta: Bina Rena Pariwan, 1991), hal. 83. 2
320
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
dan sebagainya, yang mesti dibayar.3 Ini artinya bahwa pajak atau upeti merupakan sesuatu yang harus dibayar kepada penguasa, dimana penguasa berhak untuk memaksakan orang yang wajib pajak untuk membayarnya. M.Ali Hasan menambahkan bahwa pajak merupakan beban berat yang dibebankan kepada orang dan barang tertentu, yang kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan dan kepentingan Negara.4 Secara harfiah, kharaj berarti kontrak, sewa menyewa atau menyerahkan. Ia merupakan pajak yang berasal dari sebidang tanah. Dalam sejarah Islam klasik belum ada yang mendefinisikan tanah kharaj secara universal, semua penafsir setuju atas sifatnya yang netral, karenanya pembayaran kharaj tergantung bukan pada kepercayaan agama para pembayar pajak atau pada kategori-kategori personal lainnya, melainkan pada status tanah dimana pajak dikeluarkan.5 Sementara dalam terminologi Islam, kata pajak atau yang sering disebut dengan kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara Islam. Dimana setiap Negara yang telah ditaklukkan oleh Islam, para pengelola harus membayar pajak dan sewa dari wilayah yang ditaklukkannya.6 Dalam fiqh Islam, kata pajak atau kharaj sering diartikan adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang dikuasai oleh umat Islam untuk mengeluarkan sebagian dari hasil bumi mereka sedangkan mereka dibolehkan memeluk agama mereka masing-masing.7 Di samping itu, Amir Syarifuddin menyatakan bahwa kata pajak atau kharaj, menurut asalnya berarti sumbangan secara umum yang diserahkan oleh non muslim yang berdiam di tanah dan wilayah muslim. Kemudian kata ini secara khusus berlaku juga untuk pajak tanah yang dimiliki, dan untuk semua pajak.8
3
M. Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Litera Antar Nusa,1990), hal.100.
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah; Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), hal. 29. 4
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah..., hal. 85.
Gusfahmi, S.E., MA, Pajak menurut Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 126.
Soekarna Karya, dkk, Ensiklopedi Miniâ&#x20AC;Ś, hal. 43.
Amir Syarifuddin, Sumber Pemasukan Negara menurut Islam, (Jakarta: Bina Rena Pariwan,
5 6 7 8
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
321
DEDY KAMARLIS
Kharaj adalah hak yang diberikan Allah Swt., kepada kaum muslim dari orang-orang musyrik yang tergolong ke dalam kelompok pendapatan negara fayâ&#x20AC;&#x2122;i yang diwajibkan setelah menunggu satu tahun. Oleh karena itu, berdsarkan beberapa defenisi yang telah dikemukakan para ahli di atas dapat dipahami bahwa kharaj adalah salah satu jenis pungutan yang dikenakan atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah Islam, akan tetapi tanah tersebut tetap berada ditangan pemiliknya untuk digarap dan atasnya dibebankan kewajiban membayar pajak. C. Sejarah Perpajakan dalam Islam Dalam sejarah Islam sebenarnya juga terdapat beberapa pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Islam terhadap umat Islam maupun untuk non muslim, dan hasil pungutan tersebut digunakan untuk kepentingan umat Islam. Tokoh pertama yang telah melakukan pungutan tersebut adalah Amirul Mukminin Umar Ibn Khatab, dimana ia telah melakukan pungutan pajak terhadap tanah yang yang telah dikuasai oleh umat Islam, seperti tanah Syam, Mesir, dan Irak.9 Oleh karena itu, maka Umarlah sebagai pencetus pertama terhadap pungutan kharaj. Hal ini berawal setelah terjadi perdebatan panjang antara Umar bin Khatab dan para Sahabat, akhirnya Umar bin Khatab memutuskan bahwa tanah subur itu adalah hak umat Islam dari masa ke masa. Dalam kitab Al-Kharaj, Abu Yusuf mengatakan bahwa; ketika tentara Iran yang dipimpin oleh Saâ&#x20AC;&#x2122;ad bin Abi Waqas datang kepada Umar Ibn Al-Khatab, lalu beliau bermusyawarah bersama sahabat yang lain terhadap pembagian tanah rampasan yang Allah Swt., berikan kepada kaum muslimin dari tanah penduduk Iran, Mesir dan Syam.10 Dalam musyawarah tersebut, ada sebagian sahabat mengatakan bahwa harta rampasan tersebut harus dibagi sesuai hak-hak mereka. Lalu Umar r.a berkata; Sekiranya harta ini dibagikan, kaum muslimin yang datang kemudian akan mendapatkan tanah dengan sisanya sudah dibagi-bagikan dan sudah digariskan kepada nenek moyang, serta sudah dibatasi, bagaimann pendapat 1991), hal. 83. Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, Jilid III, (Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 176.
9
Sayyid Sabid, Fiqih..., hal. 177.
10
322
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
kalian mengenai pendapatku ini. Abdul Al-Rahman berkata kepadanya; bagaimana anda bisa berpendapat seperti itu, bukankah tanah dan apa yang ada di dalamnya itu adalah termasuk barang-barang rampasan yang telah Allah berikan kepada mrereka. lalu Umar berkata; Apa yang kamu katakan itu memang benar, akan tetapi saya telah berpendapat demikian. Demi Allah tidak ada suatu negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam, kemudian aku berikan barang rampasan sebesar ini, bahkan boleh jadi negeri yang ditaklukkan itu menjadi beban bagi kaum muslimin.11 Apabila tanah penduduk Irak beserta isinya dan tanah penduduk Syam beserta isinya itu akan dibagikan, maka apa yang dijadikan untuk membiayai perang? Kemudian apa yang akan diberikan kepada anak-anak kecil dan janda-janda di kedua Negara tersebut, seandainya itu aku bagikan semua. Atas alasan Umar itulah maka banyak para sahabat kemudian mendukung usulan yang diberikan oleh Umar Ibn Khatab r.a. Untuk mengolahnya penduduk asli dibiarkan tetap bertempat tinggal disitu sambil menggarapnya dengan kewajiban membayar kharaj atas sejumlah harta yang dibebankan kepada ahli kitab yang berada di bawah tanggungan dan perjanjian dengan Islam yang merupakan kewajiban pribadi karena keberadaannya di daerah Islam yang wajib dibayarnya sekali dalam setahun. Pajak-pajak itu dikumpulkan dan kemudian dimasukkan ke kas Negara (Baitul Mal) untuk digunakan bagi kepentingan umum. Hal ini didasarkan kepada adanya ayat al-qurâ&#x20AC;&#x2122;an yang menerangkan tentang sumber keuangan dalam Islam dan teori yang diformulasikan para sahabat dengan jalan ijtihad dan musyawarah bahwa pada dasarnya sumber keuangan ini dipergunakan untuk melengkapi tuntutan kepentingan umum dan merealisasikan kebutuhan persatuan masyarakat.12 D. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Pada kerajaan-kerajaan zaman dahulu, bahwa pajak itu dianggap sebagai hak keistimewaan (privilege) yang melekat pada setiap diri penguasa. Namun dalam Islam bahwa pajak itu dianggap sebagai amanah Allah yang harus Amir Syarifuddin, Sumber Pemasukanâ&#x20AC;Ś, hal. 157.
11
Amir Syarifuddin, Sumber Pemasukan ..., hal. 62.
12
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
323
DEDY KAMARLIS
dilaksanakan oleh setiap penguasa demi kemaslahatan setiap umatnya, di samping juga sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Adapun dasar hukum pajak yang dapat dijadikan hujjah dalam Islam adalah firman Allah;
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Taubah : 103). Kata zakat itulah yang dapat diartikan sebagai pajak, sekalipun dalam prakteknya bahwa pajak berbeda dengan zakat. Masdar F. Mas’udi menyebutkan bahwa pajak itu adalah zakat. Artinya, jika seseorang sudah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat. Masdar menambahkan bahwa zakat adalah landasan teorinya, sedangkan praktik sebenarnya adalah pajak.13 Ayat lain yang dapat juga digunakan sebagai dalil tentang pemungutan pajak adalah firman Allah Swt.:
Atau kamu meminta upah kepada mereka, Maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan dia adalah pemberi rezki yang paling baik”. (Q.S. AlMu’minun (23) : 72) Sejalan dengan itu bahwa dasar hukum untuk pajak atau kharaj dapat digunakan berdasarkan pemahaman ayat-ayat di atas, sekalipun al-Qur’an tidak secara langsung menyebutkan tentang kewajiban pajak. Namun menurut John L. Daposito, karena al-Qur’an tidak menjelaskan secara langsung tentang pajak, maka dasar hukum yang dapat digunakan dalam pemungutan pajak adalah berdasarkan ijma’ dan kesepakatan para ulama14. Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 67. 13
John L Daposito, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: Rineka cipta, 1990), hal. 61.
14
324
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
Oleh karena itu, maka pemerintah Islam berhak memungut pajak dalam rangka meningkatkan pendapatan Negara, yang kemudian diberikan kembali kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umat Islam. E. Bentuk-Bentuk Pungutan yang ada dalam Islam a. Ghanimah Menurut kamus bahasa Arab, ghanimah berasal dari kata yang 15 berarti memperoleh jarahan (rampasan perang). Menurut Saâ&#x20AC;&#x2122;id Hawwa, Ghanimah adalah harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh melalui peperangan dan kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta perang yang memunculkan rasa takut dalam hati kaum Musrykin. Ia disebut ghanimah jika diperoleh dengan melakukan tindakan-tindakan kemiliteran seperti menembak atau mengepung. Sementara harta yang diambil kaum Muslimin tanpa peperangan maka tidak disebut ghanimah, melainkan dinamakan harta fayâ&#x20AC;&#x2122;i.16 Ghanimah ini merupakan sumber pendapatan utama Negara Islam pada periode-periode awal. Dasarnya adalah perintah Allah Swt dalam surat alAnfal ayat 41, yang turun setelah selesai perang Badar, pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah, di mana pada saat itu para sahabat berselisih tentang pembagian ghanimah.17 b. Sedekah Sedekah berasal dari kata shadaqa, yang berarti benar. Ia adalah pembenaran dan pembuktian dari keimanan seseorang kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan materi. Menurut istilah bahwa sedekah sering disamakan dengan infaq, termasuk di dalamnya hukum dan ketentuan-ketentuanya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiliki pengertian yang lebih luas, menyangkut hal
Munawwir A. F. dan Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hal. 548.
15
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, dalam Saâ&#x20AC;&#x2122;id Hawwa, Al-Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Arif Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hal. 237. 16
Abdul Qadim Zallum, Op. cit, hal.4. Lihat juga Ibnu Taimiyah, Op. cit, hal. 296.
17
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
325
DEDY KAMARLIS
yang bersifat materi dan non materi.18 Abu Ubaid menambahkan bahwa; sedekah terdiri dari dua macam, yaitu (1) zakat yang dipungut dari kekayaan kaum Muslimin dan, (2) bea cukai (‘ushr) yang dipungut dari pedagang Muslim sesuai dengan barang dagangan yang melintasi pos-pos pabean.19 c. Infaq Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan tertentu. Termasuk dalam pengertian ini adalah infaq yang dikeluarkan orang-orang kafir untuk kepentingan agamanya. Sedangkan menurut istilah, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika zakat ada nisabnya, infaq tidak mengenal nisab. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia dalam kondisi lapang maupun sempit. Adapun zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 ashnaf), sementara infaq boleh diberikan kepada siapa saja, misalkan kedua orang tua, anak yatim, dan lain sebagainya.20 d. Zakat Zakat berasal dari kata zaka yang bermakna al-Numuw (tumbuh), alZiadah (bertambah), al-Barakah (berkah), dan al-Thathhir (menyucikan).21 Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu. Dengan kata lain bahwa zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu dan untuk orang-orang tertentu sebagaimana yang telah ditentukan oleh agama. 22 Zakat adalah rukun Islam ketiga, diwajibkan di Madinah pada tahun Kedua Hijriah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa perintah ini Sa’id Hawwa, Op. cit, hal. 198.
18
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, hal. 337-338, dalam A. A Islahi, Op. cit, hal. 266.
19
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah…, hal. 277.
20
Muhammad Shiddiq Al Jawi, Definisi Zakat Infaq dan Shadaqah, Loc-cit.
21
M. Nipan Abdul Halim, Mengapa Zakat Disyariatkan, (Bandung: M2S, 2001), hal. 84.
22
326
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
diwajibkan bersamaan dengan perintah kewajiban shalat ketika Nabi masih berada di Makkah. e. Fay’i Fay’i berarti mengembalikan sesuatu.23 Dalam terminologi bahwa fay’i adalah seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa peperangan.24 Jadi yang dimaksud dengan pungutan harta fay’i adalah seluruh harta yang diperoleh dari musuh, baik harta bergerak maupun tidak bergerak, seperti pajak yang dikenakan pada tanah tersebut (kharaj), pajak kepala (jizyah) dan bea cukai (‘ushr) yang dikenakan dari pedagang non-Muslim.25 f. Jizyah Jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti kompensasi.26 Dalam terminologi Islam bahwa yang dimaksud dengan jizyah suatu beban yang diwajibkan kepada penduduk non-Muslim yang tinggal dan menetap di Negara Islam, sebagai biaya perlindungan yang diberikan kepada mereka atas kehidupan dan kekayaan serta kebebasan dalam menjalankan agama mereka. Dengan kata lain, jizyah adalah kewajiban keuangan atas penduduk non-Muslim di Negara Islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup dan property serta kebebasan untuk menjalani agama mereka masingmasing. Jadi Jizyah tersebut diambil sebagai akibat kekafiran mereka. Dan jika mereka masuk islam, maka jizyah tersebut engan sendirinya akan gugur. g. Kharaj Secara harfiah, kharaj berarti kontrak, sewa menyewa atau menyerahkan. Secara istilah bahwa kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada Negara Islam. Negara Islam setelah penaklukan atas suatu wilayah adalah pemilik atas Ibnu Taimiyah, Op. cit, dalam A. A. Islahi, Op. cit, hal. 275.
23
A. A. Islahi, Op. cit, hal. 303.
24
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, hal. 130, dalam Sabahuddin Azmi, Islamic Economics; Public Finance in Early Islamic Thought (Goodword Books, New Delhi,2002), Edisi terj. Oleh Widyawati, Ekonomi Islam, Keuangan Publik dalam Pemikiran Islam Awal, (Bandung: Nuansa, 2005), hal. 111. 25
Sabahuddin Azmi, Op. cit. hal. 112.
26
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
327
DEDY KAMARLIS
wilayah itu, dan pengelola harus membayar sewa kepada Negara Islam. Para penyewa ini menanami tanah untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri sendiri. Jadi, kharaj ibarat penyewa atau pemegang kontrak atas tanah atau pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya.27 F. Perbedaan antara Pajak Dan Zakat Pajak merupakan hasil ijtihad ulama, karena tidak ada ayat yang secara pasti mewajibkan pajak. Pajak pada awalnya adalah sejenis infaq (hukumnya sunnah), yang dapat diwajibkan oleh ulil amri selama masa tertentu, untuk tujuan tertentu dan sejumlah tertentu. Pajak akan dihapus, bila sumber pendapatan primer seperti zakat dan lain-lain sudah memenuhi kebutuhan negara. Kalau kita perhatikan lebih mendalam, sesungguhnya zakat itu jauh berbeda dengan pajak, namun perbedaannya tidak separah yang digambarkan oleh tokoh-tokoh sekuler yang menganggap pajak adalah kewajiban kenegaraan dan zakat kewajiban keagamaan (secularism). Islam sebagai sebuah sistem kehidupan tidak memisahkan penerimaan religius (agama) dan penerimaan sekuler. Oleh sebab itu, sangatlah tidak tepat pendapat yang dikemukakan oleh Nicholas P.Aghnides dalam karyanya Muhammedan Theories of Finance yang menyatakan bahwa : â&#x20AC;Śdalam Islam ada pemisahan istilah antara keduanya. Zakat yang dipungut dari kaum Muslimin, dan Jizyah dan kharaj dari kalangan non Muslim tidak berarti bahwa zakat adalah pajak religius, sedangkan jizyah dan kharaj adalah pajak sekuler.28 Menurut Mannan, Negara Islam bukanlah suatu Negara sekuler yang memisahkan kedua hal itu. Ia mengatakan : Sebuah Negara yang mengakui kedaulatan Allah tidak mungkin membuat perbedaan antara urusan religius dan duniawi. Moralitas universal digabungkan dengan sekularisme sedemikian rupa sehingga keduanya Gusfahmi, S.E., MA, Pajak menurut Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 126.
27
Nicholas P.Aghnides, Muhammedan Theories of Finance, dalam M. Abdul Mannan, Op. cit. hal. 247. 28
328
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
merupakan sisi depan dan sisi belakang mata uang yang sama. Prinsip ini juga berlaku dalam hal pengumpulan penerimaan dalam suatu Negara Islam. Berbeda dengan Negara-negara sekuler, Negara Islam menjadikan agama sebagai dasar untuk mengenakan pajak bagi masyarakat. Dengan demikian, zakat, kharaj dan jizyah juga mempunyai dasar yang sesuai dengan ajaran agama Islam, baik yang terdapat dalam A-qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad Saw. Jadi jelas bahwa perintah membayar pajak tersebut merupakan tindakan religius menurut pandangan Negara Islam.29 Beberapa ekonom Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan. Para ahli menambahkan bahwa sumbangan yang memenuhi tiga persyaratan di bawah ini, dapat dianggap sebagai pajak, yaitu (1) Pembayaran yang diwajibkan, (2) Tidak ada balasan atau imbalan, (3) diwajibkan kepada seluruh masyarakat di suatu Negara. Untuk lebih jelas bagaimana perbedaan antara pajak (kharaj) dengan zakat dapat kita lihat dalam tabel berikut ini sebagaimana yang telah dikasifikasikan oleh Gusfahmi sebagai berikut: Tabel Persamaan dan Perbedaan Zakat dengan Pajak30 URAIAN
PAJAK
ZAKAT
Dasar Hukum
Undang-undang Negara yang mengacu kepada Al-qur’an dan Hadis
Undang-undang Negara yang mengacu kepada Al-qur’an dan Hadis
Subjek
Pribadi Muslim/dan non muslim
Pribadi Muslim
Objek
Kelebihan penghasilan, konsumsi barang bukan kebutuhan pokok
Harta tertentu yang melebihi nisab
Syarat ijab/qabul
Tidak disyaratkan
Disyaratkan
Masa berlaku kewajiban
Temporer/Situasional (tidak sepanjang masa )
Sepanjang masa, walaupun tidak ada fakir miskin
M. Abdul Mannan, Op. cit, hal. 247.
29
Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah..., hal. 221.
30
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
329
DEDY KAMARLIS
Penggunaan dana
Pengeluaran Negara secara umum
Mustahiq Zakat
Imbalan
Tersedianya barang dan jasa untuk masyarakat
Pahala dari Allah Swt
Tarif
Ditetapkan berdasarkan Ijtihad ulama
Ditetapkan berdasarkan Alqurâ&#x20AC;&#x2122;an dan Hadis
Penerima Manfaat
Semua golongan, termasuk orang kaya
Hanya asnaf delapan
Tujuan Perolehan
Untuk kepentingan kemaslahatan umat yang tidak terpenuhi dari zakat
Untuk mencegah ketidakwajaran dan ketidakseimbangan distribusi kekayaan
Saat terutang
Saat diperoleh
Setelah 1 tahun, kecuali zakat pertanian
Inilah beberapa perbedaan antara zakat dengan pajak, termasuk juga pajak kharaj yang telah diwajibkan kepada orang-orang yang mengelola harta kharaj, baik muslim maupun non muslim. G. Penutup Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pajak atau upeti merupakan sesuatu yang harus dibayar kepada penguasa, dimana penguasa berhak untuk memaksakan orang yang wajib pajak untuk membayarnya Ada perbedaan yang mendasar antara zakat dengan pajak. Kalau pajak, diwajibkan kepada semua orang, baik muslim maupun non muslim, sementara zakat hanya diwajibkan hanya kepada orang muslim dengan berbagai ketentuan yang sesuai dengan aturan yang telah digariskan dalam al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an dan hadis. Sementara pajak hanya ditetapkan oleh penguasa semata. Oleh karena itu, maka zakat bukanlah pajak dalam arti yang sebenarnya, melainkan pajak khusus yang hanya diwajibkan kepada umat Islam di suatu Negara. Demikian pula dengan pajak, ia bukanlah zakat dalam arti sesungguhnya. Pajak berada pada posisi kedua sesudah ditunaikan kewajiban zakat. Demikianlah ulasan singkat ini, semoga dapat memberi pemahaman kepada semua orang yang mengkaji terhadap persoalan-persoalan pajak
330
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. dalam Sa’id Hawwa. Al-Islam. Terjemahan oleh. Abdul Hayyie al-Kattani, Arif Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase. Jakarta : Gema Insani, 2004. Amir Syarifuddin. “Sumber Pemasukan Negara menurut Islam” dalam buku: Zakat dan Pajak, Munawir Syadzali dkk.. Jakarta: Bina Rena Pariwan, 1991. Gusfahmi. Pajak menurut Syari’ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. John L Daposito. Islam dan Pembangunan. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah; Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997 M. Nipan Abdul Halim. Mengapa Zakat Disyariatkan. Bandung: M2S, 2001. M. Yusuf Qardhawi. Hukum Zakat. Jakarta: Litera Antar Nusa, 1990. Masdar F. Mas’udi. Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk Rakyat. Bandung: Mizan, 2005. Munawwir A. F. dan Adib Bisri. Kamus Al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics; Public Finance in Early Islamic Thought (Goodword Books, New Delhi, 2002), Edisi terj. Oleh Widyawati. Ekonomi Islam, Keuangan Publik dalam Pemikiran Islam Awal. Bandung: Nuansa, 2005. Sayyid Sabid. Fiqih Sunnah. Jilid III. Bandung: Al-Maarif, 1994. Soekarna Karya, dkk.. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
331
PENIMBUNAN BARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Ida Fitriana Staff Pengajar pada Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh Aceh Barat
Abstract Ihtikar is a term found in fiqh muâ&#x20AC;&#x2122;amalah referred to distribution of society needs. Al-muhtakir (wo performed ihtikar) usually collected the need of society waiting for the time when this thing will expensive, he/she sell it. Cause of the action, the need will ben easy to be found the market and make the complicated condition. So that, Islam did not allow ihtikar especially when it will be related to the public need as mention in several hadits and also the companion statements. Kata kunci: Penimbunan barang dan hukum Islam
IDA FITRIANA
A. Pendahuluan Ekonomi merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat dihajati oleh setiap manusia, bahkan salah satu sarana untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia yang bersifat materi, haruslah terpenuhinya aspek ekonomi. Namun ekonomi yang dibangun oleh Islam, tidak boleh lepas dari ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam norma dan aturan Islam. Islam adalah agama yang membawa keselamatan dan kesejahteraan kepada semua makhluk, dengan cara menawarkan konsep-konsep yang komprehensif dan berkeadilan, termasuk juga dalam hal pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang dibangun oleh umat Islam, tidak boleh ada kecurangan dan saling memudharatkan, baik dengan cara menipu, memaksa, menimbun dan juga cara-cara lainnya yang dapat merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Islam sangat mendorong untuk memulai bisnis dan mendapatkan keuntungan secara jujur dan saling menguntungkan, bahkan Rasulullah Saw. sendiri telah terlibat dalam kegiatan perdagangan selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, setiap muslim tentunya perlu mengikuti jejak rasulullah saw. khususnya yang terkait dengan bagaimana menjadi seorang pedagang yang jujur, dan tidak curang untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan Hal inilah yang menjadi persoalan utama dewasa ini, karena ada sebagian orang terutama umat Islam yang tidak lagi memiliki sikap amanah dan jujur, bahkan tidak jarang kita temukan para pedagang melakukan kecurangankecurangan, seperti menipu, menghalalkan segala cara dan juga melakukan penimbunan-penimbunan dengan harapan memperoleh keuntungan berlipat ganda. Karena itu dalam makalah ini, penulis akan melihat dan mengkaji bagaimana hukum menimbun barang dagangan, barang apa saja yang termasuk haram ditimbun dan kapan waktu diharamkan menimbun, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan dalam ihtikar. B. Pengertian Ihtikar Menimbun (ihtikar) berasal dari kata hakara, lalu dilebihkan bab menjadi ihtakara- yahtakiru- ihtikar yang berarti al-zulm (aniaya) dan isaâ&#x20AC;&#x2122;ah al-muâ&#x20AC;&#x2122;asyarah (merusak pergaulan). Aziz Salim mengatakan bahwa Ihtikar adalah menimbun barang agar yang beredar di masyarakat dapat berkurang,
334
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PENIMBUNAN BARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.1 Al-Ghazali (450-505H/1058-1111M.), sebagaimana dikutip oleh Mustaq Ahmad mengatakan bahwa Ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga, dan menjualnya ketika harga melonjak. 2 Pendapat yang hampir senada juga disampaikan oleh Ulama Malikiyah bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian, dan segala barang yang kemudian dapat merusak harga pasar. 3 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ihtikar adalah membeli sesuatu dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat, lalu menjual kembali dengan memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, sementara masyarakat pembeli akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan barangbarang yang menjadi kebutuhan pokok umat Islam, yang dilakukan secara sengaja untuk kemudian dijual dengan harga yang tinggi. Umar bin Khattab pada masa kekhalifahannya mengeluarkan sebuah peringatan keras terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dia tidak membolehkan seorangpun dari kaum muslimin untuk membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niat untuk ditimbun. Babili menambahkan sebagaimana dikutip oleh Adiwarman mengatakan bahwa penimbunan tidak hanya pada barang, tapi penimbunan juga termasuk pada mengkorupsi komoditas dan kekayaan. Babili menambahkan bahwa Korupsi kekayaan adalah dengan cara menyetop keuntungan dari barang itu untuk sampai pada orang lain. Sementara penimbunan barang akan menghambat dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi kekayaan.4
1
Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, (Jakarta: Gema Insani Press, tt.), hal. 56.
Mustaq Ahmad, Â Etika Bisnis dalam Islam, terj. Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 56. 2
Mustaq Ahmad, Â Etika Bisnis dalamâ&#x20AC;Ś, hal. 56.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo,) hal. 173
3 4
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
335
IDA FITRIANA
Oleh karena itu, penimbunan barang dalam bentuk apapun, baik dalam berbentuk uang tunai maupun dalam bentuk barang dan makan serta menjadi kebutuhan orang banyak sangatlah dilarang, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang menginginkan kesejahteraan dan keadilan. Bahkan Abu Dzar, salah seorang sahabat Rasulullah sangat kritis dalam menyikapi penimbunan harta benda ini, beliau berprinsip dan berkeyakinan bahwasanya penimbunan harta benda itu adalah haram, meskipun telah dibayarkan zakatnya. Yusuf Qardawi menambahkan bahwa perbuatan menimbun menunjukkan adanya motivasi ananiyah (mementingkan diri sendiri), tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, yang penting ia dapat mengeruk keuntungan yang besar.5 C. Dasar Hukum pelarangan Ihtikar Dasar hukum dari pelarangan ihtikar, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama fiqh adalah berdasarkan hasil induksi dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya ihtikar adalah diharamkan. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
Bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan…, (Al-Maidah: 2). Di samping itu, juga dapat terlihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi dan Muslim yang berasal dari Ma’mar, bahwa Nabi Saw. bersabda:
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau lakukan ihtikar? Sa'id menjawab, Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar. (HR. Muslim)
5
336
Yusuf Qardhawi, Min Hady al-Islam Fatawi Mu’assirah, juz 2, (Cairo : Dar al-Wafa’, 1995).
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PENIMBUNAN BARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Hadis di atas juga dikuatkan oleh hadis yang driwayatkan oleh Ahmad, al-hakim, Ibnu Abi Syaibah dan al-Bazzaz, bahwa Nabi Saw. bersabda:
Siapa orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari, ia sungguh telah lepas dari Allah dan Allah lepas dari padanya (HR.Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzaz). Berdasarkan ayat al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an dan hadits Rasulullah Saw di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong kedalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu adalah sebagai berikut : Pendapat pertama, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Syafiâ&#x20AC;&#x2122;iyah, Hanabilah, Malikiyah, zaidiyah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap pemerintah yang berkuasa haruslah dapat mencegahnya, karena perbuatan tersebut akan dapat memberikan mudharat yang besar terhadap stabilitas ekonomi, bahkan kehidupan sosial masyarakat dan negara. Hal ini sejalan dengan semangat ajaran Islam yang menanamkan nilainilai keadilan bagi setiap umatnya dan melarang berbagai bentuk kedhaliman dan keburukan. Kaidah ushul fiqh menyatakan:
Hak orang lain terpelihara secara syara. Artinya bahwa hak-hak orang lain perlu diatur secara benar, sesuai dengan pandangan syaraâ&#x20AC;&#x2122;. Dalam kasus ihtikar, hal yang paling penting dipelihara adalah hak konsumen, karena hal itu menyangkut kebutuhan orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Tatkala kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
337
IDA FITRIANA
Sementara Ulama Syafiâ&#x20AC;&#x2122;iyah menambahkan bahwa hadits yang telah disebutkan di atas khusus terkait dengan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, kata-kata salah tersebut tentunya mengandung makna yang sangat luas dan komprehensif, ini artinya bahwa orang-orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran syaraâ&#x20AC;&#x2122;, sedangkan mengingkari ajaran syaraâ&#x20AC;&#x2122; merupakan perbuatan yang diharamkan. D. Jenis Barang yang Haram Ditimbun Adapun terkait dengan barang yang haram ditimbun. Para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis barang apa saja yang termasuk dalam kategori diharamkan. Demikian juga dengan kapan waktu yang diharamkan untuk menimbun. Terkait dengan jenis barang yang diharamkan. Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf (731-798 M), dan Ibn Abidin (1198-1252 H/17141836 M), menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak. Oleh sebab itu, kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian da hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang. Al-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Taqyuddin tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir (pelaku ihtikar) jika menyimpan barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan al-Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil. Namun , menurut jumhur ulama bahwa kategori ihtikar haruslah dibedakan, karena jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak ada larangan.6 Sejalan dengan itu, sebagian ulama Hanabilah dan al-Ghazali Taqyuddin an-Nabhani, Membangun sistem ekonomi Alternatif Perspektif Islam, terj., Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti,1996). 6
338
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PENIMBUNAN BARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis makanan pokok saja. AlGhazali mengatakan, Adapun yang bukan makanan pokok dan bukan pengganti makanan pokok, seperti obat-obatan, jamu dan zaâ&#x20AC;&#x2122;faran, maka tidaklah dilarang, meskipun hal itu termasuk barang yang dimakan. Yusuf Qardawi menilai bahwa al-Ghazali dan sebagian fuqahaâ&#x20AC;&#x2122;, menganggap alquth (makanan Pokok) itu hanya terbatas pada makanan kering saja, seperti roti, dan nasi (beras) tanpa minyak samin dan lauk-pauk. Sehingga keju, minyak zaitun, madu, biji-bijian, dan sejenisnya dianggap di luar kategori makanan pokok, sehingga tidak diharamkan. Sementara penyerta makanan pokok, seperti daging, buah-buahan dan yang dapat menggantikan makanan pokok dalam suatu kondisi, walaupun tidak mungkin secara terus-menerus, maka hal itu termasuk barang yang dilarang, walaupun ada perbedaan ulama dalam persoalan tersebut. Bahkan ada sebagian ulama yang menetapkan haram menimbun minyak samin, madu, minyak kacang, keju, minyak zaitun, dan yang sejenis dengan itu. Namun menurut ilmuan modern, bahwa yang dimaksud dengan makanan pokok itu, tidak cukup hanya untuk menjadi makanan pokok dan sehat bagi manusia saja, karena untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah unsur pokok, seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu, maka manusia akan menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk. 7 Pada zaman kita sekarang ini obat-obatan telah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, demikian pula halnya pakaian dan lainnya. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi kehidupan mereka. Betapa banyak perkara yang asalnya bersifat tahsiniyyah atau kamali (pelengkap) kini menjadi kebutuhan. Begitupun sesuatu yang semula sebagai kebutuhan dapat berubah menjadi dharuri (kebutuhan yang sangat pokok, yang apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan bencana). Oleh karena itu, Yusuf Qardawi berpendapat bahwa menimbun setiap macam kebutuhan manusia, seperti makanan, obat-obatan, pakaian, alat-alat sekolah, alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja, dan lainnya adalah haram. Sebagai dalilnya ialah keumuman hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :
7
Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
339
IDA FITRIANA
Tidak menimbun kecuali orang yang berbuat dosa. (HR. Muslim).8 Sementara waktu Keharaman Menimbun para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama, khususnya para ulama salaf memberlakukan larangan itu untuk semua waktu, tidak membedakan antara waktu sempit dan waktu lapang, waktu normal dan tidak normal, karena disandarkan pada keumuman larangan. Sementara al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Nasron Haroun memiliki pendapat yang sedikit berbeda, ia mengatakan bahwa keharaman ihtikar terkait dengan persoalan waktu, artinya kalau pada saat penimbunan tersebut, persediaan makannanya sedikit, sementara manusia sangat membutuhkannya, maka menahan dan menunda penjualannya akan menimbulkan mudharat, sehingga pada saat itu hukum menunda dan menimbun termasuk dalam kategori yang diharamkan. Adapun jika makanan itu banyak dan berlimpah sementara manusia tidak memerlukan dan menginginkannya dengan harga yang murah, maka pemilik makanan atau pedagang boleh menahan dan menunda penjualannya. Dan hal itu tidaklah termasuk yang diharamkan, karena tidak menimbulkan keresahan dan kemudharatan bagi orang banyak.9 Adapun apabila menahan dan menimbun madu, minyak samin, minyak kacang, dan sebagainya pada waktu kemarau, yang kemudian dapat mendatangkan kemudharatan maka menahan pada saat itu menjadi diharamkan, karena berdasarkan illat di atas bahwa penyebab haram tidaknya menimbun adalah membawa kepada kemudharatan. Sejalan dengan itu, maka para ahli fiqh dalam menentukan haram tidaknya menimbun memberi persyaratan-persyaratan sebagai: 1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya untuk persiapan selama satu tahun ke-depan.
Yusuf Qardhawi, Min Hady al-Islam Fatawi Muâ&#x20AC;&#x2122;assirah, juz 2, (Kairo : Dar al-Wafaâ&#x20AC;&#x2122;, 1995).
Yusuf Qardhawi, Min Hady al-Islam Fatawi Muâ&#x20AC;&#x2122;assirah, juz 2, (Kairo : Dar al-Wafaâ&#x20AC;&#x2122;, 1995).
8 9
340
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PENIMBUNAN BARANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
2. Bahwa barang yang ditimbun tersebut, dengan sebab ia menimbun, maka akan naik harga dan ia menimbun untuk menunggu harga yang tinggi lalu menjualnya, padahal barang tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lainlain. Jika barang-barang yang ada di tangan pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak menyebabkan kesulitan bagi manusia. 10 E. Penutup Dari berbagai uraian di atas, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa penimbunan merupakan suatu hal yang sangat dilarang oleh Syaraâ&#x20AC;&#x2122;, karena di dalamnya terdapat sifat ananiyah (mementingkan diri sendiri) tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Islam sangat menekankan tentang pentingnya keadilan dan kebersamaan, termasuk juga dalam kegiatan ekonomi, mulai dari tahap produksi, distribusi, dan juga konsumsi. Islam mengakui adanya mekanisme pasar dan harga, tetapi dalam Islam tidak sama dengan mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalisme. Kekuatan penggerak aktivitas pasar dalam Islam adalah taâ&#x20AC;&#x2122;awun (tolong menolong) dan â&#x20AC;&#x2DC;an taradhin minkum (suka sama suka). Adapun jenis barang yang diharamkan ditimbun, para ulama sepakat bahwa barang yang haram ditimbun merupakan bahan makanan pokok, dan menjadi kebutuhan primer setiap manusia, adapaun menyangkut dengan kebutuhan yang sifatnya pelengkap atau penyertaan, maka terjadi ikhtilaf ulama, tapi menurut Yusuf Qardhawi bahwa menimbun setiap macam kebutuhan manusia, seperti makanan, obatobatan, pakaian, alat-alat sekolah, alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja, dan lainnya merupakan hal yang diharamkan, dengan syarat apabila memberi mudharat kepada orang banyak.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).
10
Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah
341
IDA FITRIANA
DAFTAR PUSTAKA Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Raja Grafindo. Aziz Salim Basyarahil. 22 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press, tt.. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, SH.. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1994. Mustaq Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam, terj., Samson Rahman. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001. Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999. Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/ Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Kairo: Dar al-Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1990. Taqyuddin an-Nabhani. Membangun sistem ekonomi Alternatif Perspektif Islam, terj., Maghfur Wachid. Surabaya: Risalah Gusti,1996. Yusuf Qardhawi. Min Hady al-Islam Fatawi Mu’assirah, juz 2. Kairo : Dar alWafa’, 1995.
342
At-Tasyri' | Volume II. No. 3, Oktober 2010 - Januari 2011
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL
PETUNJUK UMUM 1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah dipublikasikan di media manapun. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa Arab. 3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan terjemahan dari bahasa asing. 4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda. 5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy PETUNJUK TEKNIS 1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan. 2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata. 3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata. 4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang dipergunakan. 5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field research). 6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik yang dibahas. 7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat
berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu. 8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian. 9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi. 10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah. CATATAN 1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan perbaikan seperlunya. 2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyriâ&#x20AC;&#x2122;" empat kali dalam setahun.
AT-TASYRIâ&#x20AC;&#x2122; adalah jurnal Prodi Muâ&#x20AC;&#x2122;amalah memuat solusi problematika ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.
Redaksi mengundang para penulis, peneliti dan peminat ekonomi Islam agar dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk tulisan ilmiah. Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi : Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id Website: www.staidirundeng.ac.id