Editor: Jabbar Sabil, MA
MA S J I D B E R S E J A R A H DI NANGGROE
ACEH jilid I
Diterbitkan Oleh: Bidang Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid (Penamas) Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh 2009
Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh (jilid I) Š Kanwil Depag Prov. Aceh Penasehat: Drs. H. A. Rahman TB, Lt. (Kepala Kantor Departemen Agama Provinsi Aceh) Penanggungjawab: H. Abrar Zym, S. Ag. (Kepala Bidang Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh) Pelaksana: Drs. Helmi Zakir ZA (Kasi Pemberdayaan Masjid) Tim Penulis Bid. Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh Kepala Seksi Penamas di masing-masing Kabupaten: Kasi Penamas Kandepag Kota Banda Aceh Kasi Penamas Kandepag Kota Sabang Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Besar Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Pidie Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Bireuen Kasi Penamas Kandepag Kota Lhokseumawe Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Utara Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Timur Kasi Penamas Kandepag Kota Langsa Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Tamiang Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Bener Meriah Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Tengah Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Tenggara Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Gayo Lues Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Jaya Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Barat Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Nagan Raya Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Barat Daya Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Aceh Singkil Kasi Penamas Kandepag Kabupaten Simeulue Editor: Jabbar Sabil, MA Disain artistik: Abay S Diterbitkan pertama kali, Desember 2009 oleh: Bidang Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh Jl. Teungku Abu Lam U No. 9 Telp 0651-22442, 22510, 25103, Fax. 0651-25103, 22510 Banda Aceh, 23242 - Indonesia xvi + 88 hlm.; 16 cm x 24 cm Milik Departemen Agama tidak diperjual belikan.
Sambutan
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang masih memberi kita kesempatan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi anak cucu kita nantinya. Selawat dan salam kepada Rasulullah saw., pembawa risalah yang mengantar kita dalam kehidupan yang bermartabat. Juga kepada keluarga dan sahabat beliau, para pejuang sejati, rela berkorban demi usaha pewarisan ajaran Islam yang humanis ini. Tidak lupa pula kepada para ulama, mereka yang mengabdikan hidupnya demi umat, bukan untuk diri sendiri. Amal sosial mereka ditujukan untuk generasi setelah mereka, agar tetap tahu diri sebagai hamba Allah, dan dapat istiqamah di jalan Allah. Semangat inilah yang menjiwai setiap tindak mereka, semangat yang seringkali tidak disadari dan hargai oleh generasi yang mereka bela dengan darah dan jiwanya. Kini para ulama mujahid kita telah pergi, tapi bukan berarti semangat itu ikut terkubur. Banyak perekam yang terus mengabadikan semangat mereka, salah satunya adalah masjid. Jika rekaman memori manusia bisa lupa, maka masjid terus bercerita selama ia masih ada. Hanya saja kita yang sering alpa, membiarkan telinga kita direcoki hingar-bingar zaman. Mungkin banyak generasi muda Aceh yang tidak sadar, bahwa hidup mereka sekarang menjadi nyaman berkat misi
para pendahulunya, yaitu misi jangka panjang pembangunan umat Islam Aceh. Jika misi ini terputus, maka generasi muda Islam Aceh tidak akan memiliki arah dan berjalan tanpa visi. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya penyambungan misi jangka panjang pembangunan umat, serta pemeliharaan semangat yang dulu menjiwai perjuangan ulama mujahid. Untuk itu, kami mencoba ambil bagian dengan merekamnya dalam buku sederhana ini. Mengajak pembaca melongok kembali ke masjid, yang ternyata menyimpan selaksa kisah, tentang kecintaan kepada sesama, tentang kegigihan, tentang keikhlasan, dan tentang pengorbanan demi misi pembangunan umat. Kami berharap agar buku ini menjadi pembangkit semangat dan sumber inspirasi. Buku ini juga sebentuk penghargaan bagi para pendahulu kita, dan panjatkanlah doa saat kita terkenang. Tidak lupa penghargaan dan luapan rasa terima kasih kami kepada semua pihak yang terlibat dalam penerbitan buku ini. Tentunya tidak mudah meramu tulisan yang bersumber dari ingatan sosial masyarakat, untuk dipadukan dengan catatan fakta sejarah. Demikian pula disain penampilan fisiknya, terlihat betapa besar kreatifitas yang dituangkan sehingga buku ini tampil lebih menarik. Semoga pembaca betah mengkaji buku ini. Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan selamat menikmati, Andalah yang paling berhak menilai. Semoga hasil bacaan Anda akan memberi masukan bagi pengembangan usaha yang sekarang sudah dirintis. Billahittawfiq. Banda Aceh, 9 November 2009 Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh
Drs. H. A. Rahman TB, Lt. NIP. 195401011980031006
viii
Kata Pengantar
Kabid Penamas Kanwil Depag Provinsi Aceh Segenap puji kita persembahkan ke hadirat Allah swt. atas limpahan rahmat-Nya. Selawat dan salam senantiasa Allah limpahkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw., keluarga dan sahabat beliau. Tidak lupa kepada tabiin, dan para ulama mutaqaddimin serta ulama mutaakhkhirin. Pada kesempatan ini kami ingin mempersembahkan sebuah karya yang telah lama kami cita-citakan, sebuah buku yang merekam jejak masjid-masjid bersejarah di Aceh. Buku masjid bersejarah memang bukan barang baru, telah banyak beredar buku tentang masjid bersejarah secara nasional. Namun kami merasa tidak puas, sebab buku-buku tersebut hanya memuat beberapa masjid saja dari Aceh. Buku ini justru ingin merekam semua masjid bersejarah yang ada di Aceh. Oleh karena itu akan diterbitkan secara berjilid sampai dipandang telah mencakup semua masjid bersejarah di Aceh. Memang ini bukan pekerjaan mudah, tapi tidak akan terwujud kalau kita tidak memulainya. Untuk jilid pertama ini, kami membatasi tulisan kepada lima belas masjid dalam lima kabupaten; Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tamiang. Sementara untuk masjid bersejarah di Kabupaten lainnya, akan diketengahkan pada jilid berikutnya.
Jilid pertama ini pun belum mencakup semua masjid bersejarah yang ada di lima kabupaten yang telah kami sebutkan. Keterbatasan waktu dan ruang buku mengharuskan kami secara periodik; menambah dan melengkapinya pada jilid-jilid berikutnya. Oleh karena itu, urutan kabupaten belum bisa diatur secara berurutan dalam terbitan yang masih bersifat eksploratif ini. Kami berharap agar nantinya akan dapat diterbitkan ulang dalam satu edisi lengkap yang lebih teratur saat eksplorasi ini telah tiba pada tahap penyempurnaan, Insya Allah. Mengenai kriteria masjid yang dijadikan objek penulisan, antara lain dilihat dari sisi; 1) kepurbakalaan, atau sudut pandang usia masjid sejak pertama didirikan; 2) arsitektur, yaitu ciri khas rancangan, keunikan material bangunan dan dekorasi; 3) adanya peristiwa penting yang melatarbelakangi berdirinya masjid; 4) tokoh pendiri adalah figur yang mewarnai perjalanan sejarah sebuah daerah; 5) mencatat banyak peristiwa penting sejarah yang terjadi di masjid itu. Memang tidak semua kriteria ini terpenuhi pada sebuah masjid, namun masjid-masjid yang diangkat memiliki dua atau lebih dari kriteria ini. Menurut hemat kami, kebanyakan masjid tua di Aceh memiliki peran penting dalam perkembangan Islam dan sejarah Aceh itu sendiri. Harus disadari bahwa kehidupan sosial di Aceh tidak terlepas dari masjid, bahkan terbukti salah satu pembagian wilayah tradisional Aceh tempo dulu justru terbentuk berdasarkan keberadaan masjid, yaitu mukim. Mukim terbentuk dari persatuan beberapa gampong yang penduduk laki-lakinya lebih 40 orang, mereka mendirikan shalat Jumat pada satu masjid. Selain itu masjid juga menjadi pusat pengembangan agama yang dipimpin seorang Teungku Chik. Di perkarangan masjid didirikan asrama sehingga menjadi pusat pendidikan yang disebut dayah (zawiyah). Kondisi ini terus bertahan sampai meletusnya perang Aceh, jihad melawan Belanda. Para Teungku Chik turun ke medan jihad bersama muridnya dengan menjadikan masjid sebagai markas sekaligus sebagai kuta (benteng).
x
Itulah sebabnya sehingga beberapa masjid menjadi objek pelampiasan amarah serdadu Belanda, dihancurkan atau dibakar. Bersamaan dengan itu dayah juga ikut menjadi hancur karena sentral dayah adalah masjid. Maka tidak heran jika pendidikan di Aceh nyaris lumpuh semasa perang. Prihatin dengan terpuruknya pendidikan generasi muda Aceh, para ulama membuat kesepakatan berbagi tugas. Sebagian dari mereka tetap melancarkan perang gerilya, sementara sebagian yang lain turun gunung untuk melaksanakan tugas kependidikan. Sejak 1910 sebagian ulama membangun kembali dayah-nya. Pola yang digunakan masih tetap sama, menjadikan masjid sebagai sentral dayah. Oleh karena itu, menulis sejarah masjid sama artinya dengan menulis sejarah Aceh itu sendiri. Dengan demikian, buku ini menjadi sumbangan bagi kepustakaan sejarah Aceh. Hanya saja buku ini mengambil titik fokus yang berbeda, yaitu menjadikan masjid sebagai topik utamanya. Bagi kami masjid merupakan bagian dari identitas masyarakat Aceh sebagai muslim. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, mewariskan sejarah masjid sama artinya dengan mempertahankan identitas diri setiap generasi Aceh. Tanpa identitas, apalagi yang bisa mereka banggakan? Menulis sejarah tidak hanya mengabadikan peristiwa yang terjadi di masa lampau, kejadian-kejadian yang terekam dalam ingatan sosial masyarakat untuk kemudian tertimbun. Biasanya ingatan ini akan terpanggil kembali saat ada momentum tertentu, atau ada monumen yang mengingatkan kembali seperti masjid tua misalnya. Masalahnya, apa yang akan diingat oleh orang-orang muda yang tidak pernah mendengar riwayat masjid tua itu? Disini terlihat posisi penting masjid dalam konteks sejarah. Umumnya ia diperlakukan sebagai monumen yang merupakan sumber tak tertulis bagi sejarah, atau hanya jadi pelengkap dalam penulisan materi sejarah. Padahal masjid itu sendiri adalah sebuah sejarah, dan di Aceh hal ini masih belum diperhatikan. Oleh karena itu, penulisan sejarah masjid-masjid di Aceh menjadi sangat
xi
penting, minimal untuk mendokumentasikan rekaman peristiwa bersejarah yang terkait dengannya agar tidak hilang. Melihat sejarah sebagai kejadian masa lampau tentu tidak akan berguna tanpa adanya kaitan dan relevansi dengan masa sekarang dan masa depan. Sejarah juga merupakan bentuk kejiwaan dengan apa sebuah kebudayaan menilai masa lalunya. Perlu diingat bahwa sejarah adalah ilmu, bukan mitologi. Sejarah akan mengantarkan pada sebuah peradaban, di mana peradaban adalah gabungan dari spirit dan moueurs. Yaitu semangat dan sikap, serta cara-cara yang menuntun kehidupan sosial dan perilaku masyarakat, (Kuntowijoyo, 1994: 114 dan 165). Kami berharap buku ini menjadi sumbangsih kami bagi tujuan yang hendak dicapai dari penulisan sejarah. Sebagian amal saleh yang akan bermanfaat bagi peradaban Aceh ke depan. Moga usaha ini mendapat keridhaan Allah swt. dengan kebersihan niat yang ikhlas. Terima kasih kepada segenap pihak yang terlibat. Baik pelaksana di Bidang Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh maupun para kasi Penamas dan jajarannya di Kandepag masing-masing Kabupaten/Kota. Terbitnya buku ini adalah bukti solidnya kerjasama yang selama ini kita bangun bersama. Semoga semangat ini tetap terpelihara dan menjadi modal untuk tugas-tugas ke depan. Akhirul kalam, hanya kepada-Nya kita berserah diri, dan hanya Allah lah yang dapat membalas pengorbanan kita semua. Amin. Banda Aceh, 6 November 2009 Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid (Penamas) Kanwil Depag Prov. Aceh
H. Abrar Zym, S.Ag NIP. 196804261996031001
xii
Catatan Editor:
“Titik Balik Peradaban� Masjid bukanlah sekedar bangunan bisu. Dalam buku ini ia bercerita tentang orang-orang yang mendirikannya, tentang alam pikiran yang melahirkannya. Masjid-masjid megah yang kita dirikan sekarang, akan bertutur kepada anak cucu kita nanti, meski mereka tidak hidup di alam dan zaman kita. Begitu pula lah penuturan yang kita bisa simak dari masjid-masjid tua yang sebagiannya dirangkum dalam buku ringan ini. Jika kita mencoba menyimaknya, kita akan mencerna kepiluan mereka atas kehidupan beragama generasi sekarang. Coba perhatikan pembangunan masjid di masa lalu, selalu terkait dengan pemukim di sekitarnya, selalu terkait dengan pendidikan yang digelar di dalamnya. Sebuah masjid selalu hadir untuk satu mukim dan selalu ada Teungku Chik yang geuseumeubeut di sana. Kini pemukiman di sekitar masjid telah banyak yang tergusur, digantikan oleh pusat-pusat perdagangan yang selalu sibuk. Hal ini mengakibatkan terisolirnya masjid dari jamaah yang seharusnya terdiri dari pemukim yang wajib shalat Jumat. Di sisi lain kesibukan pusat perbelanjaan ikut melalaikan orang dari shalat berjamaah, ditambah lagi dengan hingar bingar pasar dan ruang ber-AC yang bertutup kaca, suara azan menjadi tidak terdengar.
Jika dulu pendirian masjid sangat terikat dengan Teungku Chik yang mengajar dan menjawab persoalan umat. Kini masjid cukup membuat jadwal ceramah tertentu bagi para Teungku Chik yang tinggal di menara gading perguruan tinggi atau dayah yang jauh dari masjid. Akibatnya masjid tidak lagi menjadi pusat studi, tapi hanya tempat shalat. Efek samping lainnya, akan tiba suatu masa di mana masyarakat awam memandang masjid hanya sebagai tempat shalat saja. Ilmu yang minim dan fanatisme yang buta, melahirkan pemahaman distorsif, bahwa pantang melaksanakan kegiatan di masjid, selain shalat. Masjid itu suci! Sakral! Masyarakat berlomba-lomba menyumbang agar masjidnya menjadi yang terindah dan termegah, karena menyumbang untuk masjid adalah ibadah. Orang-orang berpikir bahwa masjid harus indah agar mendatangkan kekhusyukan, sementara imam dan bilal yang memimpin di masjid tersebut tidak mampu mengajarkan apa itu khusyuk, dan bagaimana mencapainya. Maka saat masjid tidak lagi menjadi tempat rujukan bagi masalah umat, tentu tidak heran jika masjid semakin sepi dan hanya dikagumi keindahan material dan kemewahan arsitekturnya saja. Jika saat ini telah tiba, maka alam pikiran yang melahirkan masjid adalah materialisme. Dalam kondisi seperti ini, pembangunan sebuah masjid hanya memperhatikan kemegahan arsitekturnya saja, lalu menjadi tempat shalat yang semakin sepi jamaah. Sangat kontras dengan masjid tempo dulu yang arsitekturnya sederhana, namun dibangun seiring dengan pembangunan manusianya. Terkait dengan arsitektur masjid, ada satu fenomena yang patut diwaspadai. Bahwa masyarakat kita cenderung melihat masjid sebagai bangunan megah dengan kubah bundar sebagai ciri khasnya. Lalu muncul imej bahwa masjid seperti inilah yang paling Islami. Sementara arsitektur masjid kuno dipandang sebagai warisan Hindu yang tidak Islami. Sebagai contoh, gaya disain mimbar pada masjid Indra Purwa yang oleh sebagian orang dipandang bergaya Hindu. Dan fanatisme buta segera memunculkan sikap memusuhi semua yang berbau Hindu.
xiv
Terkait dengan hal ini, perlu dikutip pandangan seorang penulis sejarah Aceh berkebangsaan Perancis, yaitu Denys Lombard. Lombard menyatakan kekagumannya; “Terbuktilah di sini, arsitektur keagamaan yang orisinil berhasil mengakar, lepas dari segala model barat�, (Denys Lombard, 1986: 61). Penilaian ini tidak sebatas amatan lahiriah, tapi apresiasi kepada alam pikiran yang melahirkan arsitektur bangunan itu, alam pikiran moderat. Berhasilnya pembangunan manusia zaman dahulu terbukti dengan mampunya mereka menerima Islam dengan baik, dan mampu memilah dan mengadopsi bagian-bagian budaya dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam. Hanya manusia berpikiran moderat yang mampu berbuat seperti ini. Tentunya ini bukan berarti memvonis kita yang hidup di zaman modern sebagai berpikiran kolot. Tapi ini membuktikan sejauhmana telah terjadi pendangkalan dalam pemahaman ke-Islam-an kita. Akibat dari cara berpikir demikian, dengan mudahnya masjid lama dirobohkan, tanpa sadar bahwa kita sedang mengubur sejarah kita sendiri. Segala yang berbau Hindu dimusnahkan, padahal endatu kita mampu memilah, sehingga budaya yang dipertahankan adalah budaya yang telah disaring berdasarkan ajaran Islam. Fanatisme buta mengakibatkan hilangnya identitas diri, dan sejarah Aceh pun terkubur sebagai misteri. Kedatangan Belanda adalah titik balik peradaban Aceh. Masjid dengan arsitektur baru sempat ditolak oleh umat Islam Aceh kala itu. Namun kemudian justru menjadi kebanggaan dan ikon daerah. Masjid yang dibangun setelah perang masih mengikuti gaya arsitektur tradisional seperti masjid Teungku Fakinah misalnya. Namun kemudian, umumnya berkiblat kepada arsitektur baru versi Belanda, padahal ia bergaya eropa. Hal ini dapat disimak dari sajian buku ini. Dari sudut pandang arsitektur, buku ini telah berhasil merekam dua fase sejarah yang sangat kontras. Pertama, fase Kerajaan Islam Aceh Darussalam dengan arsitektur perseginya yang khas lokal dan mengesankan kesederhanaan. Kedua, fase
xv
kolonialisme Belanda di mana arsitekturnya mengadopsi paduan gaya Eropa-Persia dengan kubah bundar yang mengutamakan kemegahan arsitektur, dan mungkin, kemewahan. Mungkin kita percaya bahwa budaya tidak statis, tapi dinamis dan terus berubah. Namun begitu, seandainya gaya arsitektur baru tidak diperkenalkan, apakah arsitektur tradisional akan begitu-gitu saja? Kiranya tidak, kreatifitas pada masjid Baitul Musyahadah di Seutui - Kota Banda Aceh menjadi bukti, bukankah ini suatu kreatifitas tanpa harus menjiplak? Kontrasnya gaya arsitektur, mewakili kontrasnya alam pikiran yang melahirkan bentuk lahiriah masjid. Secara fisik, peralihan bentuk ini seolah menawarkan style baru yang megah dan segera menjadi kebanggaan. Namun sesegera itu pula, nilai kesederhanaan dalam arsitektur masa lalu nyaris terlupakan. Filosofi ini menjadi hilang seiring dengan menyejarahnya gaya baru itu dalam ingatan sosial masyarakat. Generasi muda Aceh sekarang umumnya hanya mengetahui bangunan fisik Masjid Raya Baiturahman yang sekarang. Dan sebagian mereka meyakini, inilah masjid warisan, peninggalan era kejayaan para sultan Aceh masa lampau. Masjid Raya Baiturrahman sering menjadi alasan dan rujukan, saat masyarakat memutuskan untuk membangun masjid dengan rancangan baru. Masjid Raya Baiturrahman menjadi acuan saat mereka bermusyawarah untuk menggantikan masjid tua yang sudah lapuk, masjid berarsitektur tradisional Aceh yang semakin jarang terlihat di Aceh... Banda Aceh, 2 November 2009 Editor
xvi
Daftar Isi
Sambutan Ka. Kanwil Depag Prov. Aceh Drs. H. A. Rahman TB, Lt. ... ... ... v Kata Pengantar Kabid Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh H. Abrar Zym, S.Ag. ... ... ... vii Catatan Editor “Titik Balik Peradaban” ... ... ... xi 1.
Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh ... ... ... 1
2. Masjid Teungku Di Anjong Peulanggahan - Kota Banda Aceh .. ... ... 13 3.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue - Kota Banda Aceh ... ... ... 21
4.
Masjid Indra Puri Indra Puri - Aceh Besar ... ... ... 27
5.
Masjid Indra Purwa Lam Badeuk - Aceh Besar ... ... ... 33
6.
Masjid Jamik Jantho Jantho - Aceh Besar ... ... ... 41
7.
Masjid Teungku Chik Kuta Karang Kuta Karang - Aceh Besar ... ... ... 45
8.
Masjid Teungku Fakinah Blang Miro - Aceh Besar ... ... ... 51
9.
Masjid al-Muhajirin Mata Ie - Aceh Besar ... ... ... 57
10. Masjid Quba Bebesen - Aceh Tengah ... ... ... 61 11. Masjid Tua Kabayakan Kabayakan - Aceh Tengah ... ... ... 67 12. Masjid Jamik Baiturrahim Celala - Aceh Tengah ... ... ... 69 13. Masjid Asal Penampaan - Gayo Lues ... ... ... 73 14. Masjid al-Huda Tanjung Karang - Aceh Tamiang ... ... ... 81 15. Masjid Al-Furqan Kota Kualasimpang - Aceh Tamiang ... ... ... 85 Daftar Pustaka ... ... ... 87
xviii
KOTA BANDA ACEH
MASJID RAYA BAITURRAHMAN Masjid Raya Baiturrahman terletak di pusat kota Banda Aceh, kota yang menjadi ibukota sekaligus pusat pemerintahan Aceh. Masjid ini telah mengalami beberapa kali perluasan dari bangunan dasarnya yang berukuran 537,91 m2. Dari masjid berkubah satu yang dibangun pemerintah Belanda di tahun 1879-1883. Kini Masjid Raya Baiturrahman berdiri megah dengan tujuh kubah, lima menara, dan luas 3.500 m2.
1
Interior Masjid Raya Baiturrahman, setelah renovasi dan perluasan tahun 1992. Pandangan ke arah bangunan lama masjid.
Pandangan ke arah mihrab dalam Masjid Raya Baiturrahman, setelah renovasi tahun 1992.
Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1980-an. Megah dengan lima kubah dan dua menara yang ditambahkan dalam tahun 1958-1965.
2
Masjid Raya Baiturrahman dengan tiga kubah. Perluasan dengan penambahan dua kubah ini dilakukan oleh Gubernur Van Aken pada tahun 1936.
Masjid Raya Baiturrahman dengan satu kubah, difoto tahun 1900 M. Masjid ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengambil hati rakyat Aceh, mulai dibangun pada hari Kamis, 9 Oktober 1879 M/23 Syawal 1296 H.
Interior Masjid Raya Baiturrahman. Masjid berkubah satu ini dikerjakan konstruksinya oleh seorang pengusaha Cina yang bernama Lie A Sie.
3
Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1890 M, pandangan dari arah samping. Arsitekturnya yang bergaya Eropa menjadi titik balik peralihan gaya arsitektur masjidmasjid di Aceh kemudian hari.
Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1881 M. Pada awalnya rakyat Aceh menolak, karena menurut mereka, masjid ini dibangun oleh kaphe. Masjid ini diserahkan kepada rakyat Aceh pada hari Selasa, 27 Desember 1881 M/6 Safar 1299 H.
Menjelang penyelesaian kubah masjid raya, tahun 1881 M, kota Banda Aceh dilanda banjir besar yang ikut menggenangi daerah sekitar Masjid Raya Baiturrahman. 4
Menurut A. Hasjmy, inilah bentuk Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun oleh Sultanah Nurul 窶連lam Nakiatuddin Syah (1675-1678 M). Masjid inilah yang dibakar pada tanggal 6 Januari 1874 oleh Belanda dalam agresi keduanya.
Sketsa ini (Peter Mundy 1637), menunjukkan bentuk masjid yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda tahun 1614 M. Masjid ini terbakar sekitar tahun 1677 M, saat terjadi pergolakan kaum wujudiyyah di masa Sultanah Nurul 窶連lam Nakiatuddin Syah.
Masjid Raya Baiturrahman dalam sketsa Peter Mundy di tahun 1637. Setidaknya sketsa ini menunjukkan arsitektur tradisional yang menjadi gaya bangunan masjid di Aceh kala itu. Gaya ini berubah setelah Belanda datang. 5
Sejarah Ringkas Masjid Raya Baiturrahman Menurut ensiklopedi Islam Indonesia (1992: 162-163), Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada tahun 691 H/1292 M, di masa Sultan Alaidin Mahmud Syah I. Namun sayangnya pendapat ini tidak memiliki rujukan kepada data primer, jadi tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar pegangan. Dengan tidak adanya informasi tentang masjid ini dalam catatan sejarah masa itu, maka kita hanya bisa berasumsi bahwa raja di Aceh telah mengadopsi sistem pemerintahan Islam -yang berkembang kala itu- sehingga memakai gelar sultan. Tentunya fakta ini mengantar pemikiran kita untuk membenarkan, bahwa di masa itu telah didirikan sebuah masjid induk. Namun tidak dapat dipastikan bahwa masjid itu dibangun di lokasi Masjid Raya Baiturrahman sekarang, dan tidak pula dapat dipastikan, bahwa masjid itu diberi nama Masjid Raya Baiturrahman. Catatan tentang mesjid juga tidak ditemukan di masa berkuasanya Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1529 M). Padahal kala itu telah terjadi penyatuan kerajaan Daruddunia dengan Meukuta Alam. (Amirul Hadi, 2004:13). Tentunya Islam telah lebih luas dianut oleh masyarakatnya. Dari sisi lain, catatan sejarah Aceh sejak masa ini telah dapat dirujuk dan dirunut dengan jelas, namun tetap saja catatan mengenai keberadaan Masjid Raya Baiturrahman tidak ditemukan. Maka sejarah masjid ini sebelum Iskandar Muda, tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan. Satu-satunya keterangan yang dapat dipertanggung jawabkan adalah informasi yang menyatakan bahwa pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Informasi ini dapat kita peroleh, antara lain dari Bustanussalatin (T. Iskandar, 1966: 35-36) dan Hikayat Aceh (T. Iskandar, 1986: 176). Dari informasi ini diperoleh jawaban, bahwa Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada tahun 1614 oleh Sultan Iskandar Muda, bersama beberapa masjid lainnya. Bustanus Salatin menginformasikan:
6
“Tatkala hijrah seribu empat puluh lima tahun‌, ialah yang berbuat Masjid Baiturrahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil. Dan ialah yang mengeraskan agama Islam dan menyuruh segala rakyat shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan, dan puasa sunnah, dan menegahkan sekalian mereka itu minum arak, dan berjudi. Dan ialah yang membaiatkan bayt al-mal, dan ‘ushur (perangkat pemerintahan) negeri Aceh Darussalam, dan cukai pekan. Dan ialah yang sangat murah kurnianya akan segala rakyatnya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berangkat shalat Jumat (T. Iskandar, 1996: 387). Informasi tentang pendirian beberapa masjid oleh Iskandar Muda juga direkam oleh Snouck Hurgronje. Bahwa oleh masyarakat Aceh, semua masjid yang didirikan oleh Iskandar Muda itu disebut meuseujid raya, baik karena luas/besar bangunannya, sebagai tempat ibadah utama, atau karena dibangun oleh Raja. (Snouck Hurgronje, 1996: 64). Semua masjid yang didirikannya memiliki arsitektur yang serupa, disain arsitektur atap bertingkat. Selain masjid Raya Baiturrahman, Snouck mencatat bahwa di kawasan Aceh Besar terdapat tiga mesjid yang juga dibangun oleh Sultan Iskandar Muda, yaitu Masjid Indra Patra (Mukim XXVI), Masjid Indra Puri (Mukim XXII), dan Masjid Indra Purwa (Mukim XXV). Kabarnya, ketiga masjid ini dibangun di atas reruntuhan candi, ini dapat dilihat pada pondasi Masjid Indra Puri yang masih tegak sampai sekarang. Sedangkan Masjid Indra Purwa telah dipindahkan dari lokasi asalnya yang dikikis abrasi, lalu hancur ditelan gelombang tsunami 2004 lalu. Adapun Indra Patra, tidak tampak lagi tanda-tanda pendirian masjid di atasnya, yang tinggal hanya bekas-bekas bangunan purbakala yang sebagiannya masih tegak berdiri. Namun perlu dicatat, bahwa empat orang ahli sejarah Aceh telah meneliti tempat ini, Dr. T. Iskandar, H. M. Zainuddin, M. Junus Djamil dan A. K. Abdullah. Menurut mereka, tidak ada bekas candi atau bekas masjid di sini, bangunan ini diduga sebagai bekas gudang sejata.
7
Masjid lain yang dikabarkan dibangun oleh Iskandar Muda terdapat di wilayah Pidie yang di antaranya dicatat oleh Snouck Hurgronje, yaitu Masjid Labuy di Pidie. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh, karena beberapa masjid tua di Kabupaten Pidie menunjukkan arsitektur yang identik dengan masjid yang dibangun di masa itu. Tentang bentuk bangunannya, ada beberapa persepsi yang berkembang. Sebagian pendatang asing ada yang menggambarkan Masjid Raya Baiturrahman sebagai bangunan berkonstruksi beton dan berkubah bundar. Namun tamu asing lainnya menampilkan sketsa Masjid Raya Baiturrahman dalam konstruksi kayu dan beratap lapis tiga (tiga atau empat tingkat). Dari berbagai deskripsi itu, kiranya dapat disimpulkan bahwa bentuk asli dari Masjid Raya Baiturrahman adalah sebangun dengan Masjid Indra Puri. Beruntung sekali karena Masjid Indra Puri masih bisa disaksikan sampai hari ini sebagai masjid yang masa pembangunannya hampir berbarengan dengan Masjid Raya Baiturrahman sebagai masjid induk, atau masjid kerajaan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Masjid Indra Puri didirikan pada tahun 1618 M. Dari sini maka gambaran yang paling dekat dengan bentuk sebenarnya adalah sketsa yang dibuat oleh Peter Mundy. (Denys Lombard, 1986: 364) Sketsa ini dibuat berdasarkan amatan Peter Mundy ketika ia mengunjungi Aceh. Ia sempat menyaksikan arak-arakan yang dicatatnya tertanggal 26 April 1637 M. Menurut Lombard, tanggal ini salah karena Mundy mengikuti penanggalan Julius, yang benar menurut Lombard adalah 26 Mei 1637 M berdasarkan penanggalan Gregorius, bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1046 H, (Denys Lombard, 1986: 199). Arak-arakan yang dilaksanakan adalah dalam rangka pelaksanan ibadah qurban menyambut hari raya Idul Adha di bulan Zulhijjah 1046 H. Sultan yang berkuasa pada masa ini adalah Sultan Iskandar Thani. Ada versi lain yang juga membuat perhitungan berdasar penanggalan Gregorius, bahwa tanggal itu jatuh pada bulan
8
Muharram 1046 H. Jadi arak-arakan itu diselenggarakan dalam rangka menyambut bulan Muharram, atau syahidnya Husein. Hal ini bisa saja benar atau salah, yang jelas sketsa Peter Mundy tentang Masjid Raya Baiturrahman memberi kita gambaran tentang bentuk fisik bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Informasi lain tentang bentuk fisik Masjid Raya Baiturrahman dapat kita peroleh dari Bustanussalatin: “Ada dalam negeri itu sebuah masjid terlalu besar dan terlalu tinggi kemuncaknya dari pada perak yang berapit dengan cermin balur. Maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak. Maka pada penglihat kami diperhamba yang mengatasi banyak orang sembahyang dari pada dalam masjid itu hanya dalam masjid yang dalam Haram Mekah Allah yang mulia itu jua. Maka masjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam masjid itu... Maka ada luas masjid itu seyojana mata memandang dan ada mimbarnya dari pada mas dan kemuncak mimbar itu dari pada suasa. Maka ada disebutkan orang pada pujipujian dari mulut orang banyak: ‘Sayyidina Sultan Perkasa ‘Alam Johan berdaulat shahib al-barrayn wa al-bahrayn’, ya’ni tuan kami Sultan Perkasa ‘Alam yang mengempukan dua darat dan dua laut ya’ni darat dan laut masyrik-maghrib. Di masa sultan Iskandar Muda, selain untuk shalat, masjid ini juga dipakai sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara keagamaan dan peringatan hari besar Islam lainnya. Misalnya menyantuni rakyat di saat meugang menyambut puasa, meugang hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), laylat al-qadar (i‘tikaf), qurban, tempat pengkajian agama, dan lain-lain. Bangunan Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana yang digambarkan Bustanussalatin telah terbakar di masa Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678 M). Ketika itu terjadi pergolakan yang dipicu oleh kaum wujudiyyah. Mereka menyatakan sikapnya terkait dengan sah-tidaknya kepemimpinan perempuan. Pergolakan ini menimbulkan kepanikan dan berakibat terbakarnya
9
masjid dan istana. Peristiwa ini diperkirakan terjadi dalam tahun 1677 M, lalu Sultanah Nurul 窶連lam mangkat pada tahun 1678, (M. Yunus Jamil, 1968: 47). Mengingat keberadaan Masjid Raya Baiturrahman sebagai masjid induk, dapat diperkirakan bahwa masjid ini segera dibangun kembali oleh Nurul 窶連lam. Lalu pembangunannya diteruskan oleh Sultanah Zakiyyat al-Din (1678-1688 M). Mengenai bentuk fisik masjid yang dibangun setelah kebakaran besar itu tidak diperoleh keterangan yang jelas. Dari buku Ali Hasjmy diperoleh gambaran sebuah sketsa yang dibuat berdasarkan penuturan Teungku Syekh Ibrahim Lambhuk, (A. Hasjmy, 1977: 193). Sketsa ini memperlihatkan bentuk arsitektur yang berbeda dari masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda, (lihat gambar di halaman sebelumnya, bandingkan dengan gambar dalam sketsa Peter Mundy). Masjid yang dibangun oleh sultanah inilah yang dibakar dalam masa perang Kolonial Belanda di Aceh. Dalam masa perang Kolonial Belanda di Aceh, Masjid Raya Baiturrahman menjadi benteng pertahanan para mujahid perang Aceh. Dalam agresi pertama pihak Belanda sempat menguasai Masjid Raya Baiturrahman beberapa waktu. Namun masjid ini berhasil direbut kembali oleh pejuang Aceh di bawah pimpinan Teungku Imum Lueng Bata. Kegagalan Belanda ini diperparah oleh tewasnya Jenderal Kohler tanggal 14 April 1873 M. Pihak Belanda memandang Masjid Raya Baiturrahman sebagai simbol kekuatan pihak Aceh. Maka pada agresi kedua mereka memusatkan serangan ke masjid ini sehingga berhasil merebutnya pada tanggal 6 Januari 1874. Akibat serangan besarbesaran ini, Masjid Raya Baiturrahman hancur, dan disebabkan karena Belanda menganggap masjid ini juga pusat pertahanan para pejuang Aceh yang telah merenggut nyawa banyak serdadu Belanda, termasuk Jenderal J.H.R. Kohler, maka masjid yang telah hancur ini juga dibakar, (Rusdi Sufi, dalam Azman Ismail, et al., 2004: 24). Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman terbakar. Pada pertengahan bulan Safar 1294 H/awal Maret 1877 M, dengan
10
mengulangi janji Jenderal Van Swieten, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Pernyataan itu diumumkan setelah diadakan permusyawarahan dengan kepala-kepala negeri sekitar Kuta Raja. Pihak Belanda berhasrat mengambil hati rakyat Aceh yang justru bertambah semangat perangnya akibat penghancuran masjid raya. Mereka menyatakan menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama rakyat Aceh. Janji ini dilaksanakan oleh Jenderal K. Van der Heyden. Maka dilaksanakanlah peletakan batu pertamanya pada tanggal 9 Oktober 1879. Mengenai arsitekturnya, pihak Belanda meminta masukan dari seorang ulama di Garut, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Masjid senilai f 203.000 (Dua Ratus Tiga Ribu Gulden) ini dibangun di bawah pengawasan arsitek Meneer BRUINS dari Departement van Burgelijke Openbare Werken Batavia, dan selesai pada tahun 1881. Pembangunannya dikerjakan oleh seorang letnan Cina bernama Lie A Sie. Menjelang selesainya pembangunan masjid ini, saat kubah sedang dikerjakan, kota Banda Aceh dilanda banjir besar yang ikut menggenangi sekitar lokasi masjid. Entahkah peristiwa banjir ini dianggap sebagai pertanda tertentu oleh sebagian masyarakat, yang jelas sebagian mereka menolak kehadiran masjid ini. Mereka tidak mau menerima karena menurut mereka masjid ini dibangun oleh kaphe (non muslim). Meskipun ada penolakan dari sebagian masyarakat, namun penyerahannya kepada masyarakat tetap direalisir. Maka diadakan lah upacara penyerahterimaan Masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 27 Desember 1881. Seremoni ini diawali dengan tembakan meriam, dan diakhiri dengan pembacaan doa. Adapun pengelolaan masjid ini, diserahkan kepada seorang ulama dari Pidie bernama Teungku Syekh Murhaban. Ia menjadi imam besar Masjid Raya Baiturahman kala itu. Pada tahun 1936, masjid ini diperluas oleh Gubernur Van Aken dengan biaya sebesar f 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu Gulden). Dalam perluasan ini, Masjid Raya Baiturrahman
11
ditambah dua kubah lagi dengan luas 741 m2. Berikutnya masjid ini mengalami renovasi yang dapat diringkas sebagai berikut: • Perluasan dengan penambahan dua kubah serta dua menara utara-selatan (Surat Keputusan Menteri Agama RI tanggal 31 Oktober 1957). Peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada hari Sabtu, 16 Agustus 1958 oleh Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh K. H. M. Ilyas. Hasil renovasi ini, luas Masjid Raya Baiturrahman menjadi 1.945 m2 dengan lima kubah. • Pada tahun 1981, saat diadakan MTQ Nasional ke XII, Masjid Raya Baiturrahman diperindah dengan tambahan pelataran, pemasangan klimkers di atas jalanjalan di perkarangan, interior, sound system, penambahan tepat wudhuk, pemasangan pintu kriwang, chondelir dan kaligrafi berbahan kuningan. Selain itu juga dipasang instalasi air mancur di kolam depan. • Tahun 1986, Masjid Raya Baiturrahman diperluas menjadi 2240 m2. Selain ruang shalat, juga ditambah ruang para imam dan muazin, ruang tamu, ruang belajar dan pekantoran serta tempat penitipan kende-raan. • Tahun 1992, Masjid Raya Baiturrahman diperluas lagi menjadi tujuh kubah dan lima menara dengan luas 3.500 m2, dan tanah di bagian halaman depan dibebaskan seluas 16.070 m2 dengan biaya sebesar 1.2 M. Di halaman depan didirikan menara utama dengan ketinggian 53 meter.
12
KOTA BANDA ACEH
MASJID TEUNGKU DI ANJONG Masjid ini terletak di Gampong Peulanggahan Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh. Masjid Teungku Di Anjong yang aslinya berkonstruksi kayu telah hancur dilumat gelombang tsunami. Kini telah dibangun masjid baru dengan konstruksi beton, tapi tetap mengikuti arsitektur tradisional Aceh, sebagaimana bentuk Masjid Teungku Di Anjong sebelumnya.
13
Masjid Teungku di Anjong tahun 80-an. Telah ditambahkan teras oleh masyarakat guna mengantisipasi lonjakan jumlah jamaah shalat Jumat.
Masjid Teungku Di Anjong dalam tahun 90-an. Di belakangnya dibangun masjid baru dengan gaya arsitektur yang sama. Namun masjid lama masih tetap dipertahankan.
Beginilah kondisi masjid Teungku Di Anjong sampai tsunami menerjang 26 Desember 2004. Di samping masjid terletak makam Teungku Di Anjong yang sering diziarahi warga. 14
Masjid Teungku Di Anjong dalam sketsa, di tahun 1882 M.
Masjid Teungku Di Anjong, difoto tahun 1882 M.
Masjid Teungku Di Anjong dalam sketsa, di tahun 1876 M.
15
Sejarah Ringkas Masjid Teungku Di Anjong Nama Peulanggahan berasal dari kata persinggahan, karena tempat ini menjadi persinggahan bagi mereka yang hendak menuntut ilmu. Kabarnya di masa hidup Teungku Di Anjong dulu, masjid ini menjadi tempat belajar dan pelatihan manasik haji bagi jamaah calon haji. Peserta pelatihan tidak hanya dari kawasan Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan daerah lain sekitar Aceh, bahkan dari luar Aceh. Letak lokasi dayah ini sangat strategis, yaitu di lembah Krueng Aceh yang menjadi urat nadi penghubung kota Bandar Aceh Darussalam dengan dusun. Sungai ini juga merupakan pintu masuk bagi para pengunjung dari luar negeri yang ingin bertemu sultan di istana di pinggir sungai Krueng Daroy. Gaya bangunan masjid ini mengikuti asitektur tradisional yang berkembang di Aceh kala itu. Konstruksinya dibangun dengan bahan kayu, atap dan kubah berbentuk segi empat mengkerucut ke atas. Menurut masyarakat setempat, bangun atapnya yang berlapis tiga memiliki arti yang merupakan perlambang dari tiga bagian keilmuan dasar Islam, sesuai dengan fungsinya sebagai dayah (zawiyah/pesantren) yaitu: • Lantai pertama merupakan Hakikat • Lantai kedua merupakapan tarekat • Lantai ketiga merupakan makrifat
16
Bangunan ini pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai masjid, tapi dibangun sebagai tempat belajar (Dayah/pesantren). Dayah ini didirikan kira-kira pada tahun 1769 M oleh Teungku Di Anjong yang hidup di masa Sultan Alaidin Mahmud Syah (17601781 M). Teungku di Anjung wafat tahun 1782 M, tidak diketahui siapa yang melanjutkan kepemimpinan dayah ini sepeninggal beliau dan bagaimana kelanjutan dayah ini. Teungku Di Anjong dikebumikan di dayah beliau di Desa Peulanggahan. Tentang makam Teungku Di Anjong, Snouck Hurgronje mencatat, bahwa tempat peristirahatan Sayid Abu Bakr ibn Husayn Bil-Faqih ini sangat dihormati masyarakat. Ia mengasumsikan penghormatan masyarakat terhadap makam Teungku Anjong melebihi penghor-matan kepada makam Teungku di Kuala (Syaikh ‘Abdurra’uf al-Singkili), yang dimakamkan di Syiah Kuala. Menurut catatan Snouck, masyarakat juga sering bernazar kepada Teungku Anjong. (Snouck Hurgronje, 1996: 56 dan 116). Di zaman perang kolonial Belanda di Aceh, dayah ini menjadi markas pertahanan mujahid perang Aceh. Namun kemudian dikuasai Belanda bersamaan dengan dikuasainya wilayah Banda Aceh dan sekitarnya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dayah peninggalan Teungku Di Anjong digunakan sebagai masjid oleh masyarakat setempat. Setelah pemugaran, dayah ini diresmikan penggunaannya sebagai masjid pada tahun 1982. Riwayatnya dapat diringkas sebagai berikut: • Tahun 1899, dilakukan renovasi menggantikan atap rumbia dengan atap dari bahan seng. • Tahun 1982, diusulkan agar digantikan dengan bangunan baru yang permanen, namun usulan ini ditolak oleh Balai Purbakala. • Tahun 2003, Dinas Kebudayaan mengalokasikan dana dari APBD untuk merehab bangunan dayah agar dikembalikan ke bentuk aslinya. • Tahun 2004, renovasi masjid mulai dilakukan, tapi musibah
17
tsunami meluluhlantakkan bangunan dayah ini sehingga yang tersisa hanya pondasinya saja. • Tahun 2005, BRR mengucurkan data tanggap darurat sebesar Rp 49 juta untuk pembenahan. • Tahun 2008, masjid baru berkonstruksi permanen dibangun dengan tetap mengikuti arsitektur tradisional masjid aslinya. Untuk tahap pertama, BRR mengalokasikan anggaran sebesar Rp 300 juta. • Tahun 2009, pembangunan masjid dilanjutkan dengan dana bantuan BRR untuk tahap II sebesar Rp 250 juta. Masjid Teungku Di Anjong merupakan kebanggaan masyarakat sekitar Peulanggahan. Kecintaan masyarakat terhadap masjid ini dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Salah satunya diadopsi dalam logo dan menjadi ikon dalam MTQ ke 30 se-Kota Banda Aceh yang diselenggarakan dalam tahun 2008. Riwayat Ringkas Teungku Di Anjong Nama lengkap Teungku Di Anjong ialah Sayyid Abu Bakar ibn Husayn Bil-Faqih. Dua orang saudara beliau yang lain ialah Ali, dan Umar Bil-Faqih asal keturunan dari dari Tarim Hadralmaut, Yaman. Sayyid Abu Bakar ibn Husayn Bil-Faqih hijrah ke Aceh kira-kira dalam tahun 1742 M. Sesampainya di Aceh beliau mempersunting salah seorang anak dari uleebalang Ulee Kareng (Lam Gapang). Karena beliau seorang miskin yang menikah dengan anak ulebalang, maka beliau bersama isteri tidak bertempat tinggal di rumah ulee balang tersebut. Tetapi ditempatkan di salah satu anjungan rumah (teras rumah). Padahal kebiasaan dan adat yang berlaku di Aceh Besar, rumah diberikan kepada anak perempuan
18
setelah ia menikah. Menurut satu sumber, kondisi ini menyebabkan beliau digelar dengan nama Teungku Di Anjong, karena beliau tinggal di anjungan rumah mertuanya. Dalam versi lain, menurut Panitia Pemugaran Masjid Teungku Di Anjung, gelar Teungku Di Anjong justru diberikan oleh masyarakat sebab beliau disanjung oleh masyarakat karena keluasan ilmunya. Keluasan ilmunya telah mengundang santri dari berbagai daerah datang untuk berguru padanya. Penghormatan masyarakat sangatlah besar padanya, hal ini dapat dipahami dari kisah-kisah yang beredar di kalangan masyarakat. Cerita yang cenderung berlebihan tentang keramatnya Teungku Di Anjong, salah satunya ialah kisah berikut; Diriwayatkan bahwa pada suatu waktu, di kediaman Sayyidil Mukammil, ayah dari sultan Aceh, berlangsung pesta ulang tahun raja. Teungku Di Anjong beserta keluarga dan mertua juga turut diundang ke pesta di kediaman raja itu. Pada saat itu, mertua Teungku Di Anjong meminta kepada Teungku Di Anjong agar membawa tiga buah talam hindangan guna dipersembahkan kepada raja sebagai hadiah. Akan tetapi, Teungku Di Anjong tidak memiliki bekal apa pun, beliau tidak tahu harus memberi hadiah apa kepada raja. Menurut sahibul hikayah, dalam kondisi terdesak Teungku Di Ajong melakukan tindakan luar biasa yang tidak masuk akal. Beliau mengisi talam pertama dengan kotoran ayam, lalu talam kedua diisi dengan kotoran sapi, dan talam ketiga diisi dengan batu kerikil yang diambil di dekat jembatan Pante Perak sekarang. Singkat cerita, ketika ketiga talam tersebut dibawa untuk dipersembahkan kepada raja. Pada saat sang raja memerintah agar talam tersebut dibuka, maka semua yang hadir kala itu terperanjat. Orang semiskin Teungku Di Anjong mampu mempersembahkan hadiah yang bahkan tidak sanggup dibayangkan oleh orang terkaya di Aceh sekalipun. Kata sahibul hikayah, talam yang pertama berisi intan berlian, talam kedua berisi emas, dan talam yang ketiga berisi
19
perak. Sungguh mencengangkan, talam pertama yang diisi kotoran ayam, kini telah berubah menjadi intan berlian. Talam kedua yang diisi kotoran sapi, berubah menjadi emas. Dan talam ketiga yang diisi batu kerikil, berubah menjadi perak. Sejak saat itu, tempat di mana Teungku Di Anjong memungut batu kerikil itu lalu dinamakan Pante Perak. Demikian riwayat ini, tentunya tidak diperlukan suatu upaya untuk meneliti kebenaran kisah seperti ini. Kisah-kisah seperti ini memang lumrah dalam perjalanan catatan sejarah masa lalu. Keberadaan Teungku Di Anjong dalam catatan sejarah Aceh tidak menjadi pudar akibat kisah-kisah seperti ini. Selama tinggal di Aceh, Teungku Di Anjong pernah kembali pulang ke kampung halamannya. Sebuah sumber mengatakan, bahwa setelah isteri pertama beliau wafat, beliau kebali ke Timur Tengah. Tidak diperoleh catatan tentang kapan isteri pertama beliau wafat, hanya diketahui pemakamannya saja di Desa Lam Gapang. Di kampung halamannya Teungku Di Anjong menikah untuk yang kedua kalinya. Istri kedua beliau bernama Syarifah Fathimah binti 窶連bdurrahman 窶連idid. Anak seorang Sayyid keturunan 窶連idid. Kemudian beliau kembali lagi ke Aceh, dan menetap di Kampong Jawa bersama istrinya. Dikatakan bahwa pada masa inilah beliau mendirikan dayah tempat pengajian, di desa yang dikenal sekarang sebagai Gampong Peulanggahan. Isteri Teungku Di Anjong juga sangat disegani masyarakat sebagai guru, terutama oleh kaum perempuan. Beliau wafat di Kampong Jawa dan dimakamkan berdampingan dengan kuburan Teungku Di Anjong. Snouck Hurgronje mencatat, bahwa isteri Teungku Di Anjong bernama Fatimah, wafat tanggal 16 Rajab 1235 H (Mei 1820 M). Menurut Snouck, setiap tanggal 18 bulan molot, masyarakat mengadakan kenduri di makam Fatimah yang sehari-hari disebut Aja Eseutiri, (Snouck Hurgronje, 1996: 171). Sumber: Kandepag Kota Banda Aceh, BKM Masjid Teungku Di Anjong, Imam Masjid, dan masyarakat setempat.
20
KOTA BANDA ACEH
MASJID BAITURRAHIM Masjid Baiturrahim - Ulee Lheue adalah masjid di kemukiman Meuraxa, Desa Ulee Lheue, kira-kira berjarak 5 kilometer dari kota Banda Aceh. Masjid ini dibangun pada tahun 1343 H, bertepatan dengan tahun 1926 M. Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi, terakhir sempat rusak dalam terjangan tsunami 26 Desember 2004. Pada gambar di atas, tampak masjid Baiturrahim yang telah dipugar setelah tsunami.
21
Kondisi Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang direnovasi setelah musibah tsunami.
Masjid Baiturrahim, satu-satunya bangunan yang tertinggal di daerah Ulee Lheue, selamat secara menakjubkan dari terjangan gelombang tsunami. Pemukiman yang padat di sekitarnya tampak telah lapang, tersapu bersih.
Beberapa hari setelah tsunami, kerusakan masjid ini tergolong ringan dibanding kekuatan gelombang yang dahsyat di pagi hari Minggu, 26 Desember 2004.
22
Beginilah kondisi Masjid Baiturrahim Ulee Lheue sebelum tsunami. Foto ini diabadikan beberapa hari sebelum gelombang Tsunami melanda Aceh. Tampak Kubahnya telah dibongkar dalam rangka renovasi.
Di tahun 70-an, Masjid Baiturrahim Ulee Lheue masih terlihat utuh sebagaimana semula ia dibangun.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, tampak dari samping. Gaya arsitektur eropa sangat kentara pada masjid yang dibangun dalam masa pemerintahan Kolonial Belanda ini. 23
Sejarah Ringkas Masjid Baiturrahim - Ulee Lheue Masjid Baiturrahim - Ulee Lheue adalah masjid di kemukiman Meuraxa, Desa Ulee Lheue terletak kira-kira 5 kilometer dari Banda Aceh. Mesjid ini dibangun oleh almarhum Teuku Teungoh, yaitu Uleebalang Kemukiman Meuraxa pada tahun 1343 H, bertepatan dengan tahun 1926 M dengan biaya swadaya masyarakat dan tokohtokoh masyarakat. Di antaranya ialah: • Tgk. H. Muhammad Lamjabat • H. Mahmud Puteh Kampung Blang • H. Bintang Kampung Baro • H. Ali Meuraxa • H. Yoenoes Kampung Blang • H. Nya’ Su’id Kampung Blang • Toke Gam Kampung Surin • H. Neh Kampung Cot Lamkuweuh • H. Ishak Kampung Surin • Tgk. H. Hanafiah Kampung Lambung
24
Konstruksi mesjid ini dibangun dari bahan beton/bata dengan atap seng gelombang ukuran 25 x 18 meter. Dari awal pembangunannya, tata ruang dalam masjid dibuat dalam dua bagian. Bagian pertama digunakan untuk shalat dan bagian belakang dimaksudkan sebagai ruang belajar. Kapasitas masjid sebagaimana awal pendiriannya, diperkirakan mampu menampung lebih kurang 450 orang jamaah shalat. Namun karena pertumbuhan penduduk, ruang shalat mesjid ini sudah tidak dapat lagi menampung jamaah, maka di tahun 1960, ruang bagian belakang pun dijadikan sebagai ruang shalat Jumat. Air untuk berwudhuk pada saat itu diambil dari sumur, dan ditampung di dalam bak berukuran isi 20 m3. Pada tahun 1965, kedua ruangan masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah shalat Jumat. Akibatnya sebagian jamaah shalat Jumat tepaksa shalat di alam terbuka, di perkarangan masjid. Pada tahun 1981 Masjid Baiturrahim Meuraxa mendapat bantuan dari Kerajaan Arab Saudi sebesar Rp 37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta rupiah). Biaya tersebut dipergunakan untuk membangun perluasan mesjid ke samping kiri dan kanan. Dengan pembangunan ini maka jamaah shalat (khususnya Jumat) dapat tertampung. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, pertumbuhan penduduk yang demikian pesat mengakibatkan daya tampung masjid ini segera menjadi tidak memadai. Oleh karena itu, pada tahun 1991 dilakukan renovasi dan perluasan pada bagian belakang bangunan mesjid. Alhamdulillah, dengan renovasi ini mesjid Baiturrahim dapat menampung jamaah shalat lebih kurang 1500 orang. Adapun bagian depan mesjid tidak direnovasi karena telah dijadikan sebagai situs purbakala kesejarahan. Upaya mempertahankan bentuk asli dari bagian depan masjid ini terus dipertahankan sampai masa-masa berikutnya. Bahkan ketika direnovasi kembali setelah hantaman gelombang tsunami.
25
Sungguh sangat menakjubkan dan sekaligus keberuntungan, karena terjangan gelombang tsunami tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal bagi masjid ini. Selamatnya Masjid Baiturrahim adalah bukti Kemahakuasaan Allah. Karena hanya masjid inilah satusatunya bangunan yang luput dari tsunami, padahal rumah-rumah pemukiman yang padat disekelilingnya lenyap tersapu gelombang dahsyat tsunami. Dengan demikian, masjid Baiturrahim Ulee Lheue telah menjadi saksi bisu bagi jejak perjalanan anak manusia di bumi Aceh. Tidak hanya sekedar merekam sejarah sosial masa silam, tapi juga menjadi monumen bagi sejarah bencana alam dunia. Masjid ini patut dilestarikan, tidak hanya sebagai situs sejarah purbakala, tapi juga situs sejarah tsunami.
Sumber: Kandepag Kota Banda Aceh, BKM Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Imam Masjid, dan masyarakat setempat.
26
KABUPATEN ACEH BESAR
MASJID INDRAPURI Mesjid ini terletak di Pasar Indrapuri Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar, berjarak sekitar 24 km ke arah Utara Kota Banda Aceh. Bangunan mesjid berdiri di atas tanah seluas 33.875 m2, dipinggir sungai yang memisahkan Pasar Indrapuri dengan jalan raya Medan-Banda Aceh. Ukuran masjid 18.8 x 18.8 meter, dan tinggi 11.65 meter.
27
Masjid Indrapuri, berdiri megah di atas tembok bekas candi yang di bangun sekitar Abad ke 10 M, sebelum Islam berkembang di Aceh.
Masjid Indrapuri, tampak dari depan.
Ruang dalam masjid Indrapuri, arsitektur tradisional Aceh yang masih kokoh sampai sekarang.
28
Masjid Indrapuri di tahun 1980-an.
Masjid Indrapuri dari pinggir Sungai, foto tahun 1900 M.
Masjid Indrapuri setelah dikuasai Belanda. Sebuah sumber mengatakan bahwa masjid ini pernah dijadikan sebagai kandang kuda oleh Belanda. 29
Sejarah Ringkas Masjid Indrapuri Mesjid ini dibangun di atas pondasi yang diduga merupakan bekas candi, demikian pula Masjid Indrapurwa di Lampageu Kec. Peukan Bada. Kedua bangunan ini berada di kawasan Kabupaten Aceh Besar, dan menurut catatan sejarah, kedua masjid ini dibangun di atas reruntuhan candi oleh Sultan Iskandar Muda. Sayangnya yang masih tertinggal hanya Masjid Indrapuri, sedangkan masjid Indrapurwa telah hancur ditelan abrasi. Bukan hanya sekarang, tapi di masa Snouck Hurgronje berada di Aceh pun bekas masjid ini sudah tidak dapat dilihat lagi, (Snouck Hurgronje, 1996: 64). Kondisi ini menyulitkan Snouck Hurgronje untuk mengungkap keberadaan agama Hindu di Aceh. Ia hanya bisa menunjukkan model bersanggul miring perempuan Aceh sebagai bukti terwarisi dan mengakarnya budaya Hindu dalam masyarakat Aceh, (Mohammad Said, 1981: 23). Bangunan candi yang menjadi pondasi mesjid ini diperkirakan dibangun sekitar abad 10 masehi, atau lebih awal dari perkiraan ini. Sebelum ajaran Islam merata di Aceh, bangunan ini diduga sebagai candi Hindu/Budha milik Kerajaan yang oleh orang Arab disebut Lamuri dan disebut Lambri oleh Marcopolo.
30
Meskipun bentuk candi tidak dapat disaksikan lagi, tapi masih ada peninggalan tembok tebal yang sebagiannya telah terkelupas. Tembok inilah yang menjadi pegangan para ahli sejarah, bahwa bangunan ini adalah sebuah candi. Candi itu terbuat dari batu hitam berbentuk lempengan berukuran panjang sekitar 40 cm dan tebal 20 cm dengan ketebalan 5 cm. Sampai sekarang, tembok (berbentuk seperti punden berundak tiga tingkat dengan ketinggian 1,46 meter masih berdiri dengan kokoh. Di masa Sultan Iskandar Muda, bangunan ini dirombak menjadi masjid agar tidak mubazir. Oleh karena itu, sepulangnya dari Malaka, dibangunlah masjid Indrapuri di atas reruntuhan candi yang telah lama terbengkalai. Pondasi candi yang bertingkattingkat dibongkar sebagiannya sampai tingkat empat. Di tingkat empat inilah tiang-tiang mesjid didirikan, luas lokasinya cukup memadai bagi pertapakan mesjid untuk kadar jumlah jamaah pada waktu itu. Peristiwa pengalihan fungsi ini terjadi pada tahun 1207 H (1618 M). Sebagaimana mesjid tradisional lainnya di Aceh, mesjid Indrapuri dibangun dengan konstruksi kayu. Pintu masuk mesjid berada di sebelah Timur. Di halaman depan terdapat bak penampungan air hujan untuk berwudhuk. Bangunan berukuran 18.8 x 18.8 meter, dan tinggi 11.65 meter ini didirikan dengan 36 buah tiang yang berdiri di atas batu kali sebagai landasan. Di masa kesultanan, masjid Indrapuri tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Tapi juga sebagai tempat belajar (dayah/ pesantren). Namun belum diperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang mendirikan dan mengembangkan dayah di sini. Hanya diketahui bahwa motivasi menghidupkan dayah Indra Puri setelah perang kolonial, termotivasi oleh keberadaan dayah di masjid ini dalam masa kesultanan. Dalam masa perang kolonial Belanda di Aceh, Masjid Indrapuri menjadi saksi bisu bagi banyak peristiwa penting bagi sejarah. Salah satunya adalah penggunaanya sebagai markas besar mujahid Aceh saat pusat pemerintahan sementara berada di
31
Indrapuri. Sebagaimana diketahui dalam catatan sejarah, bahwa setelah Dalam (istana) berhasil direbut Belanda di tahun 1874, Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Indrapuri. Baru kemudian berpindah ke Keumala setelah Montasik jatuh pada tahun 1878. (Mohammad Said, 1981: 100). Dalam masa ini Sultan Mahmud Syah wafat (28 Januari 1874). Kembali masjid Indra Puri menjadi saksi bisu bagi peristiwa penting. Di hari yang sama (28 Januari 1874), Muhammad Daud Syah dinobatkan sebagai Sultan Aceh. Upacara penobatan ini diselenggarakan di Masjid Indrapuri. Teungku Chik Di Tiro juga pernah menjadikan masjid ini sebagai benteng pertahanan, sampai ketika wafatnya, beliau dimakamkan di Gampong Meureu Kecamatan Indra Puri Kabupaten Aceh Besar. Dikabarkan bahwa beliau meninggal karena diracun oleh isterinya sendiri. Setelah ditawannya Sultan Muhammad Daud Syah oleh Belanda pada tahun 1903, para ulama membuat kesepakatan agar sebagian dari mereka turun gunung untuk menghidupkan kembali pendidikan untuk anak-anak Aceh, (A. Hasjmy, 1978: 84-85). Dalam masa itu, Panglima Polem berinisiatif mendirikan dayah di masjid Indrapuri. Lalu beliau memanggil Teungku Hasballah Indrapuri untuk mengajar di Dayah ini. Salah seorang ulama Aceh yang juga sempat belajar dan mengajar di Dayah ini ialah Syeikh Muhammad Waly al-Khalidy dari Labuhan Haji, (Muhibuddin Waly, 1997: 67). Teungku H. Ahmad Hasballah seorang tokoh ulama yang berpikiran moderat, beliau wafat sekitar tahun 1955 di Malaysia, dan dikebumikan di Kampung Yan, Kedah. Di masa kemerdekaan, Masjid Indrapuri dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada saat dilakukan pemugaran, ditemukan 12 koin mata uang Aceh kuno yang bertuliskan Aceh Darussalam.
32
KABUPATEN ACEH BESAR
MASJID INDRAPURWA Menurut keterangan dari imam masjid, masjid ini dulu dibangun di Desa Pante Ara. Akibat abrasi, lokasi itu telah menjadi laut, pondasi mesjid itu masih terlihat saat air surut, kira-kira berjarak sejauh 2 kilometer dari bibir pantai. Kemudian masjid ini dipindahkan ke Desa Lam Badeuk Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar.
33
Kondisi masjid Indrapurwa, foto diambil di tahun 1994.
Masjid Indrapurwa dari arah belakang. Foto ini diabadikan tahun 2004, sebelum musibah tsunami melanda Aceh.
Kubah pada mimbar masjid Indrapurwa. Disain yang terkesan dipengaruhi oleh unsur-unsur seni yang diwarisi dari kebudayaan Hindu.
34
Ukiran dekorasi floral pada mimbar masjid Indrapurwa. Motif ini memperlihatkan perpaduan gaya Persia dan lokal. Di sini tertulis tahun pembuatannya 1276 H. Bisa saja ini adalah tahun pembuatan mimbar, bukan tahun pembuatan masjidnya.
Mimbar masjid Indrapurwa, mencerminkan tingginya seni-budaya masa lalu.
Guci di Masjid Indrapurwa.
35
Sejarah Ringkas Masjid Indrapurwa Masjid Indra Purwa adalah salah satu dari tiga masjid yang oleh Snouck Hurgronje dinyatakan dibangun di atas bekas reruntuhan candi. Masjid lainnya ialah Masjid Indrapuri yang sekarang ini masih mungkin untuk diteliti. Sementara Indrapatra tidak terbukti dibangun sebagai candi, dan tidak berbukti pernah dibangun masjid di atasnya. Keberadaan Masjid Indrapurwa sebagai situs sejarah tidak bisa lagi dilacak karena telah hancur dalam musibah tsunami. Sebelum dihantam tsunami, masjid ini pun sudah tidak pada lokasi aslinya yang dikatakan berada di atas candi. Menurut keterangan dari Imam Masjid, masjid itu dulu berada di Gampong Pante Ara, namun karena dikikis abrasi, lalu dipindahkan ke lokasi baru di Gampong Lam Badeuk Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Sayangnya tahun pemindahan masjid ini ke Gampong Lam Badeuk juga tidak diketahui. Masyarakat setempat percaya, bahwa pemindahan itu telah dilakukan ratusan tahun lalu, malah ada yang menyebut angka 500 tahun. Menurut keterangan penduduk setempat, pondasi masjid itu masih bisa dilihat saat air surut, kirakira jaraknya 2 kilometer dari bibir pantai. Keberadaan Masjid Indrapurwa tidak mungkin lagi diteliti karena telah musnah oleh tsunami. Namun memperhatikan dari foto-fotonya yang diambil sebelum tsunami, dapat diperhatikan bentuk arsitekturnya yang mengikuti gaya tradisional Aceh. Jika benar masjid ini dipindahkan apa adanya dari lokasi semula, maka dapat dibenarkan bahwa masjid ini dibangun semasa dengan masjid Indrapuri. Dapat disimpulkan bahwa masjid ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda dalam abad 17. Pada mimbar yang terdapat di Masjid Indrapurwa terdapat ukiran yang bertuliskan tahun 1276 Hijriyyah. Kalau dikonversi ke
36
tahun miladiyyah, angka ini menunjuk tahun 1859 M, tentunya ini harus diasumsikan sebagai tahun pembuatan mimbarnya. Adapun tentang tahun pendirian masjid, tidak diperoleh keterangan. Satu kemungkinan yang lain, jika diasumsikan mimbar ini dibuat saat pemindahan masjid ke lokasi baru, maka angka itu bisa menjadi petunjuk tentang tahun pemindahan Masjid Indrapurwa dari Gampong Pante Ara ke Gampong Lam Badeuk. Sebab jika diperhatikan, mimbar-mimbar di masjid tua lain di Aceh yang semasa, justru berkonstruksi beton. Dengan demikian, sementara ini dapat diduga, bahwa masjid ini dipindahkan ke lokasi baru di masa Sultan Ibrahim Mansur Syah (1858-1870 M). Dari sudut pandang lain, ukiran yang ada pada mimbar Masjid Indrapurwa juga menunjukkan suatu ciri tersendiri. Pada gaya ukiran telihat adanya pengaruh dekorasi floral Persia. Mungkin saja pembuatnya terinspirasi dari gaya Persia atau Timur Tengah lainnya, namun tidak mengikutinya secara penuh. Bentukbentuk yang diadopsi sebagai unsur disain tidak mengambil pola yang lazim digunakan seniman Persia, tapi pola-pola floral lokal yang dekat dengan keseharian orang Aceh. Pada mimbar ini juga tampak pola lekukan yang lazim ditemukan pada disain arsitektur dan pola dekorasi Hindu yang ditolerir dan berkembang menjadi bagian seni budaya Islam-Aceh. Hal ini dapat diasumsikan sebagai gaya lokal yang dipengaruhi unsur senibudaya Hindu, tapi telah jauh meninggalkan pola-pola kearcaan. Kiranya ini menjadi bukti lain akan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Hindu yang bermukim di Aceh. Sayangnya pengaruh itu juga telah menghilangkan hampir semua catatan tentang keberadaan agama Hindu di Aceh. Akibatnya sejarah Aceh sebelum Islam juga menjadi kabur. Bangunan candi peninggalan Hindu yang masih tersisa pun tidak sanggup mengungkapkannya. Salah satu bangunan purbakala yang diduga peninggalan Hindu di Aceh adalah situs yang dikenal masyarakat sebagai Ben-teng Indrapatra. Benteng ini terletak di muara Krueng Raya,
37
sebelah barat laut Ladong. Kebanyakan penulis meyakini tempat ini sebagai bekas candi yang kemudian dijadikan masjid oleh Sultan Iskandar Muda. Tetapi ketika diteliti lebih jauh, ternyata tidak terdapat satu bukti pun bahwa disini pernah didirikan masjid. Demikian pula tidak terbukti bahwa bangunan tersebut didirikan sebagai candi. H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara, menyatakan pernah melakukan penelitian secara seksama di situs purbakala Indrapatra. Di bulan September 1953, ia bersama Dr. T. Iskandar, Tgk. M. Junus Djamil yang kala itu menjabat wakil ketua Lembaga Kebudayaan Aceh, dan A.K. Abdullah (sekretaris Lembaga Kebudayaan Aceh) melakukan penelitian untuk kedua kalinya di situs purbakala tersebut. Dalam penelitian itu tidak ditemukan bekas-bekas candi ataupun bekas masjid semisal bekas mimbar yang posisinya ke barat sebagaimana lazimnya masjid. Dari penelitian ini, Dr. T. Iskandar menyimpulkan bahwa tempat ini adalah gudang penyimpanan senjata. (H. M. Zainuddin, 1961: 43).
38
Saat ini benteng Indrapatra dibiarkan begitu saja tidak terurus. Tidak ada suatu keterangan yang bisa menjelaskan rasa penasaran bagi orang yang berkunjung ke sana. Akibatnya persepsi bahwa bangunan ini merupakan bekas candi dan sekaligus bekas masjid, terus terpelihara dalam benak sebagian masyarakat. Ada satu pendapat yang berkembang di masyarakat tentang temuan pola segi tiga Aceh yang secara mengejutkan ternyata sesuai dengan pola yang terbangun dari tiga titik posisi Candi. Sebagian masyarakat mengaitkan temuan ini dengan teritori kerajaan Aceh Darussalam yang kerap dikonotasikan sebagai Lhee Sagoe Aceh (wilayah Aceh yang berbentuk tiga segi). Lalu sebagian orang menganggap identitas Lhee Sagoe Aceh sebagai warisan alam pikiran Hindu. Hal ini tentu tidak sertamerta dapat dibenarkan, namun juga tidak mudah untuk segera dibantah. Bagi orang Aceh yang terlahir sebagai muslim, ungkapan seperti itu menimbulkan tanda tanya dan kesan batin yang sulit menerima. Mereka yang menduga Lhee Sagoe Aceh sebagai politik penyebaran Hindu juga kesulitan menunjukkan ketiga titik yang dimaksudnya. Tiga titik yang sering ditunjuk adalah Indrapuri, Indrapurwa, dan Indrapatra. Namun ada yang menyatakan bahwa Indrapurwa bukan terletak di ujung Pancu (Peukan Bada, di lokasi masjid tua Indrapurwa), tapi di wilayah pedalaman dekat perbatasan Pidie dan Aceh Besar. Akibatnya pola ini tidak lagi membentuk ji’e (tampi beras) yang sering dijadikan pelambang. Dari sisi lain, dengan tidak terbuktinya Indrapatra sebagai candi, maka asumsi di atas kehilangan dasar pegangan. Satu dari tiga titik yang ditunjukkan telah hilang dari posisinya. Sedangkan titik lainnya (Indrapurwa), tidak bisa dipastikan karena lokasi sebenarnya telah dikikis abrasi, dan kini menjadi lautan. Hanya Indrapuri satu-satunya titik yang masih bisa diteliti statusnya sebagai candi. Rujukan lain untuk meneguhkan pendapat ini tidak ada. Karena tidak ditemukan sumber primer yang mencatat keberadaan Indrapatra dan Indrapurwa, baik sebagai candi atau sebagai
39
masjid. Informasi tentang ini hanya ditemukan dalam catatan Snouck Hurgronje. Ia mengulas tentang tiga sagi Aceh sambil mengaitkannya dengan tiga mukim yang membentuk konfederasi lhee sagoe Aceh. (Snouck Hurgronje, 1996: 3). Di bagian lain Snouck menyebutkan adanya tiga candi di ketiga mukim tersebut, lalu menyatakan bahwa di atas ketiga candi tersebut telah didirikan masjid. Namun ia menambahkan, bahwa pada dua candi terakhir selain Indra Puri, yang ada hanya bekas-bekas, (Snouck Hurgronje, 1996: 64). Apa yang diungkapkan Snouck ternyata tidak terbukti. Bekasbekas yang disebutkan Snouck ternyata tidak ada. Maka anggapan bahwa segitiga lhee sagoe Aceh terbentuk dari tiga titik candi itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terlepas dari perdebatan ini, ternyata peralihan agama kala itu berjalan dengan damai dan saling terima. Terbukti dengan ditolerirnya sebagian budaya masyarakat yang berunsur Hindu, dan totalitas masyarakat Hindu yang memeluk Islam. Oleh karena itu, kelihatannya sebutan tiga sagi Aceh muncul secara alamiah karena kerajaan Aceh kala itu terbentuk oleh persatuan tiga persekutuan gampong, yaitu Mukim XXVI, Mukim XXII, dan Mukim XXV.
40
KABUPATEN ACEH BESAR
MASJID JAMIK JANTHO Masjid ini terletak di Desa Weu Kemukiman Jantho Kecamatan Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar. Berjarak sekitar 60 km dari Banda Aceh, dan 28 km dari Saree. Informasi dari imam masjid menyebutkan bahwa masjid ini dipindahkan ke lokasi yang sekarang di tahun 1710 M. Sebelumnya masjid ini dibangun di Desa Jantho Lama sekitar tahun 1640 M, di masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)
41
Masjid Jamik kemukiman Jantho, Kabupaten Aceh Besar, sejarah masjid ini diperlu ditelusuri lebih jauh.
Masjid Jamik kemukiman Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang didirikan pada tahun 1939.
Mimbar dalam Masjid Jamik kemukiman Jantho, Kabupaten Aceh Besar.
42
Sejarah Ringkas Masjid Jamik Jantho Pada awalnya masjid ini didirikan di Desa Jantho lama, itulah maka disebut Masjid Jamik Kemukiman Jantho. Kemudian dipindahkan ke desa Weu setelah berdiri selama 150 tahun di Desa Jantho Lama. Belum ditemukan data yang akurat tentang tahun pendirian masjid ini. Ada yang mengatakan masjid ini didirikan pada tahun 1710 M, dan ada pula yang mengatakan bahwa 1710 M adalah tahun pemindahannya ke Desa Weu. Jika diasumsikan pendiriannya pada tahun 1710 M, lalu dipindahkan ke Desa Weu setelah 150 tahun, maka pemindahan masjid Jamik Jantho ke Desa Weu dilakukan kira-kira dalam tahun 1860 M. Dengan asumsi ini, berarti pendirian masjid ini dilakukan dalam masa pemerintahan Sultan Jamal al-Alam (17041726 M), dan dipindahkan dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim Mansur Syah (1858-1870 M). Sebaliknya jika diasumsikan bahwa tahun 1710 M adalah tahun pemindahan masjid ini ke Desa Weu, berarti masjid ini didirikan sekitar tahun 1640 M. Jadi masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M). Mana pun yang benar dari dua kemungkinan ini, tetap tidak menafikan urgennya nilai sejarah yang terekam dari masjid ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam agar fakta sejarah terkuak. Dari sebuah sumber, diperoleh informassi bahwa dalam masa keberadaan masjid di Desa Weu, jabatan imam di masjid ini dipangku oleh Teungku Nago. Sumber ini mengatakan bahwa Teungku Nago meninggal dunia pada tahun 1720 M, lalu jabatan imam dipegang oleh Teungku Ibrahim Desa Bueng. Selama ia menjadi imam baru, masjid direhab dengan melakukan pemasangan atap rumbia. Rehabilitasi ini dilakukan sekitar tahun 1723, dan beliau memimpin sebagai imam selama lebih kurang 20 tahun. Pada tahun-tahin berikutnya terjadi pergantian imam secara alamiah. Informasi yang diperolah mengemukakan nama-nama
43
berikut sebagai yang telah dapat dicatat: • Teungku M. Yusuf (Yah Nek) lebih kurang menjabat sebagai imam sekitar 25 tahun. • Teungku Maun Desa Barueh, lebih kurang menjabat selama 10 tahun. • Teungku Abdullah Cot Agoh, beliau memimpin selama 3,5 tahun. • Teugku Usman Sagop Desa Bueng, lebih kurang memimpin sebagai imam masjid selama 20 tahun. • Teungku Ishak Desa Weu, lebih kurang memimpin sebagai imam selama 3,5 tahun. • Teungku M. Adam Desa Jalin, mulai menjadi imam pada tanggal 1 Agustus 1969 sampai dengan tahun 1994. Selama Teungku Adam memimpin, mesjid telah direhab, yaitu pemasangan dinding dan sisip puncak, serta pembuatan mimbar. Demikian sekilas pandang sejarah ringkas Masjid Jamik Jantho yag dapat disajikan. Semoga tulisan ini menjadi masukan bagi peminat sejarah yang tertarik untuk menelusurinya lebih jauh. Wa Allah A‘lam bissawab.
Sumber: Iman masjid setempat
44
KABUPATEN ACEH BESAR
Mesjid Teungku Chik Kuta Karang terletak di Desa Ulee Susu I Kemukiman Kuta Karang Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Mesjid ini didirikan oleh Tgk. Chik Kuta Karang sekitar tahun 1860, dan telah direnovasi pada tahun 1997. Imam mesjid ini sekarang dipangku oleh Teungku Muhammad, sebagai penanggungjawab pelaksanaan ibadah dan kegiatan lainnya di masjid.
45
Bagian kubah masjid Teungku Chik Kuta Karang, atapnya telah diganti dengan seng, beberapa bagian terlihat telah mulai lapuk.
Tiang utama masjid ini tampak masih kokoh, konstruksi aslinya masih layak dipertahankan.
Tampak dari kiri, masjid ini seperti tidak hendak dipertahankan, padahal sejarah yang direkamnya wajib dilestarikan
46
Mimbar masjid yang terbuat dari beton, kalau masjid ini rubuh, mungkin hanya mimbar ini saja yang akan tersisa.
Sumur tua, kini airnya terancam kering.
Kolam ini dulunya dipakai sebagai tempat berwudhuk.
47
Sejarah Ringkas Masjid Teungku Chik Kuta Karang Masjid Tgk. Chik Kuta Karang terletak di Desa Ulee Susu Kemukiman Kuta Karang, Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Mesjid ini didirikan oleh Teungku Chik Kuta Karang sekitar tahun 1860, dan telah direnovasi pada tahun 1997. Imam masjid ini sekarang dijabat oleh Teungku Muhammad. Masjid ini berada di lokasi Dayah Babussalam, sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh yang dipimpin oleh Teungku Chik Kuta Karang sendiri. Dayah Ulee Susu didirikan pada zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 H/ 1857-1870 M). Sebelum perang kolonial Belanda di Aceh, dayah ini telah mencapai kemajuan yang pesat. Santrinya datang dari berbagai daerah di Aceh. Selain memimpin dayah, Teungku Chik Kuta Karang juga menjadi Qadi Malikul ‘Adil di zaman Sultan ‘Alaiddin Mansur Syah. (A. Hasjmy, 1978: 62). Dalam masa jabatannya sebagai Qadi Malikul ‘Adil, beliau lah yang menyarankan agar Sultan mengumumkan seruan jihad fi sabilillah. Dikisahkan bahwa suatu masa Sultan Aceh bermimpi, lalu ditanyakan ta‘bir-nya kepada Teungku Chik Kuta Karang. Beliau menjelaskan ta‘bir-nya; bahwa Aceh akan berperang dengan Belanda. Teungku Chik Kuta Karang menyatakan, satu-satunya jalan menghindari bahaya itu ialah mengumumkan tekad perang sabil yang harus dijalankan dengan yakin dan sungguh-sungguh. (Mohammad Said, 1981: 707). Keahlian men-ta‘bir adalah salah satu bidang kepakaran Teungku Chik Kuta Karang yang diakui secara luas. Bidang ini didukung oleh penguasaan beliau terhadap ilmu falak (astronomi), ilmu perbintangan dan kedokteran. Satu hal yang menarik, beliau menuliskan ilmu-ilmu yang dikuasainya dalam banyak kitab. Kitabkitab yang beliau tinggalkan menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama yang produktif. Sebagian dari naskah tulisan beliau telah hilang ditelan zaman, oleh karena itu, naskah yang masih
48
tersisa perlu segera direstorasi agar dapat dijadikan bahan studi, kapanpun diperlukan. Karya-karya Teungku Chik Kuta Karang antara lain Kitab ar-Rahmah yang membahas tentang ilmu kedokteran dan obatobatan. Siraj az-Zulam fi ma‘rifat Sa‘adi wa an-Nahas yang berisi tentang ilmu hisab dan perbintangan. Kitab ‘Ilmu Falak wal Mikat yang membahas tentang ilmu astronomi. Taj al-Mulk yang berisi tentang astronomi dan pertanian. Sebagian dari naskah ini masih ada di Dayah Babussalam, Lam Kunyet, Ulee Susu. Namun sayang kondisinya sudah banyak yang dimakan rayap. (Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, 2004: 63). Melihat dari keilmuannya, maka tidak diragukan lagi bahwa Syaikh Abbas ibn Muhammad adalah seorang ulama besar, ahli sufi, dan intelektual reformis. Beliau juga seorang pemimpin perang. Dalam hal ini beliau menulis dua buah kitab mengenai seluk beluk perang sabil, yaitu Maw‘idhatul Ikhwan pada, (Nasehat Kepada Sahabat) tahun 1886 dan Tazkiratur Rakidin (Peringatan untuk Orang yang Berdiam Diri) pada tahun 1889. Mengenai kitab Tazkiratur Rakidin, Paul van’t Veer mengomentarinya sebagai sebuah penemuan yang hebat, (Paul van’t Veer, 1977: 211). Dalam kitab itu, Teungku Chik Kuta Karang juga menulis bahwa Belanda tidak bisa dipercaya, buktinya Jenderal “buta siblah” (Van der Heyden) yang merupakan bangsanya sendiri, ternyata dibuang karena tidak memenuhi keinginan mereka, (H. C. Zentgraaf, 1983: 8-9). Dalam kitab Tazkiratur Rakidin, Teungku Chik Kuta Karang mengajarkan bahwa “Barangsiapa yang memerangi kafir hendaklah dengan mempergunakan alat-alat senjata yang dipakai oleh musuh”. Sumber-sumber sejarah Aceh menunjukkan bahwa dalam pelbagai kesempatan pihak pejuang Aceh memang berusaha merampas dan membawa lari senjata-senjata Belanda. (PDIA, 1990: 146). Di masa perang kolonial Belanda di Aceh, Teungku Chik Kuta Karang sempat menjadi penasehat utama Teungku Chik Di
49
Tiro bersama Teungku Chik Tanoh Abe dan ulama terkemuka lainnya. Keahlian beliau dalam ilmu Falak sangat membantu pemetaan medan perang untuk mengatur strategi perang. (Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, 2004: 62). Selain itu, Teungku Chik Kuta Karang juga sangat aktif menyebarkan tulisan-tulisan yang membangkitkan semangat perang rakyat bertentuk syair. Syair-syair ini menjadi hiburan populer bagi anak muda Aceh yang dibaca di meunasah pada malam hari. (Anthony Reid, 2005: 273) Setelah wafatnya Teungku Chik Di Tiro pada bulan Januari 1891, keadaan berubah. Konsentrasi kekuatan terpecah, dan tekanan pihak Belanda makin menguat. Akibatnya para ulama diharuskan berjuang secara gerilya dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Dalam masa ini, Teungku Chik Kuta Karang kerap bekerjasama dengan Teuku Umar dalam melancarkan serangan jihad gerilyanya. Teungku Chik Kuta Karang berpulang ke rahmatullah pada bulan November tahun 1895. Beliau tidak sempat mengembangkan ilmunya lebih jauh sebagaimana yang dilakukan ulama lain setelah perang. Namun begitu ada murid-muridnya yang meneruskan upaya pewarisan ilmu yang bersumber dari beliau. Setelah perang, ada salah seorang murid Teungku Chik Kuta Karang yang diketahui membangun Dayah Indrapuri.
50
KABUPATEN ACEH BESAR
MASJID TEUNGKU FAKINAH Sebuah sumber mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1915 oleh Teungku Fakinah dan dibantu oleh santriwan dan santriwati yang mengaji di dayahnya. Luas masjid Teungku Fakinah adalah 15 x 15 meter. Bangunan ini terletak di Desa Blang Miro Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Aceh Besar. Masjid ini telah dimasukkan sebagai salah satu cagar budaya oleh Pemerintah Daerah setempat.
51
Masjid Teungku Fakinah, tampak dari samping sebelah kanan masjid.
Ruang shalat masjid Teungku Fakinah, didisain terbuka sehingga mendapat cukup cahaya untuk proses belajar mengajar.
Empat tiang utama yang menjulang menyangga kubah, ciri khas arsitektur tradisional masjid Aceh masa lalu.
52
Mimbar berkonstruksi beton, saksi sejarah yang tak lapuk dimakan waktu.
Sumur dan bak penampungan air untuk berwudhuk. Terletak di sebelah kiri pintu masuk sebagaimana lazimnya masjid-masjid tua lain di Aceh.
Masuk ke masjid harus menaiki tiga anak tangga.
53
Sejarah Ringkas Masjid Teungku Fakinah Sebuah sumber mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1915 oleh Teungku Fakinah dan dibantu oleh santriwan dan santriwati yang mengaji di dayahnya. Luas masjid Teungku Fakinah adalah 15 x 15 meter. Bangunan ini terletak di Desa Blang Miro Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Aceh Besar. Jika informasi di atas benar, maka masjid Teungku Fakinah dibangun sekembalinya Teungku Fakinah dari perang gerilya. Catatan sejarah menginformasikan bahwa Dayah Lam Diran (Lam Krak - Sibreh), telah maju berkembang di bawah pimpinan Teungku Fakinah bersama suaminya Teungku Ahmad, jauh sebelum Belanda menyerang. Lalu apakah di masa ini tidak ada masjid di komplek Dayah Lam Diran, atau masjid itu telah dibakar oleh Belanda saat menyerang benteng Inong Balee? Pada saat Belanda mendarat di pantai Cermin, Teungku Ahmad dan muridnya ikut ber-jihad menghadang pendaratan Belanda. H. M. Zainuddin dalam bukunya Srikandi Aceh, menulis bahwa suami Teungku Fakinah ini syahid dalam pertempuran itu, beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Safar 1290 H/6 April 1873. (H. M. Zainuddin, 1966: 70) Sejak suaminya syahid, Teungku Fakinah memutuskan untuk terjun dalam peperangan bersama para janda yang suaminya telah syahid di medan perang. Lalu di lokasi dekat masjid itu didirikan sebuah benteng yang diberi nama inong balee (perempuan yang sudah janda). Benteng ini merupakan tempat bagi Teungku Fakinah dan para pejuang lainnya berkumpul menyusun strategi
54
perang. Namun sekarang benteng tersebut sudah tidak tampak lagi, bangunannya sudah rata dengan tanah dimakan usia. Pada tanggal 9 Juni 1896, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin oleh J. W. Stempoort untuk menyerang Kuta Inong Balee di Lam Krak. Penyerangan ini memakan waktu selama dua bulan, ini membuktikan kuat dan gigihnya pertahanan Teungku Fakinah. Pada bulan Agustus 1896, benteng Inong Balee di Lam Krak dapat diduduki Belanda. (A. Hasjmy, 1978: 130). Dalam pendudukan ini, bisa saja masjid Teungku Fakinah dibakar seperti halnya masjid Baiturrahman. Sejak kejatuhan benteng Inong Balee, Teungku Fakinah hidup berpindah-pindah dari satu benteng ke benteng lainnya. Dalam pergerakan ini beliau tetap mengajar secara darurat, bahkan sampai ketika beliau bermarkas di Tangse dan Gayo Lues. Pergerakan gerilya ini berakhir setelah ada kesepakatan ulama untuk secara teratur mengurangi gerakan gerilya menyusul ditawannya Sultan 窶連laiddin Muhammad Daud Syah. Terkait dengan hasil keputusan musyawarah ulama ini, maka pada tahun 1911, Teungku Fakinah turun gunung. Beliau kembali ke kampung halamannya di daerah Lam Krak dan membangun kembali Dayah Lam Diran yang telah porak poranda selama perang. Teungku Fakinah dibantu oleh murid-muridnya yang sama-sama baru pulang dari bergerilya. Pada tahun 1915, Teungku Fakinah menunaikan ibadah haji. Beliau menikah dengan Teungku Ibrahim sehingga perjalanan hajinya ditemani oleh suaminya ini. Teungku Fakinah bermukim di Makkah selama empat tahun untuk belajar. Suaminya, Teungku Ibrahim, meninggal di Makkah. Teungku Fakinah kembali ke tanah air pada tahun 1918. Pada tahun 1925, Teungku Fakinah sempat menunaikan ibadah haji untuk kali kedua, dan bermukim di sana selama setahun. Perjalanan haji dimanfaatkannya untuk menambah ilmu yang kemudian dikembangkannya di Dayah Lam Diran. Teungku
55
Fakinah wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 1352 H/3 Oktober 1933 M. (A. Hasjmy, 1978: 130). Demikian perjalanan hidup Teungku Fakinah yang selalu mengabdikan diri untuk agama dan ilmu. Maka tidak heran jika masjid yang didirikannya itu menjadi sentral kegiatan yang digelutinya. Pada waktu itu masjid Teungku Fakinah digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan dan perjuangan selama hidupnya. Demikian pula seninggalnya berpulang ke rahmatullah, masyarakat tetap memanfaatkan tempat itu sebagai pusat pengembangan ilmu agama sekaligus sebagai sarana ibadah. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, masjid berukuran 15 x 15 meter ini tidak lagi mampu menampung jamaah. Maka pada tahun 1983, pelaksanaan shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat dipindahkan ke masjid baru, yaitu masjid at-Taqwa yang terletak tidak jauh dari masjid Teungku Fakinah. Namun begitu, masjid Teungku Fakinah tetap digunakan sebagai tempat pengajian dan pertemuan oleh masyarakat setempat, sampai sekarang ini. Beberapa tahun kemudian di masjid tersebut didirikan pondok pesantren al-Istiqamah Teungku Chik Rangkang Manyang yang santrinya berasal dari penduduk desa setempat. Pemda Aceh Besar melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah menetapkan masjid Teungku Fakinah sebagai salah satu masjid bersejarah. Selain karena nilai historisitas dan religiusitas, penetapan masjid ini sebagai masjid bersejarah juga dikarenakan pendirinya yang merupakan tokoh pejuang kemerdekaan. Teungku Fakinah, menjadi contoh keperkasaan yang berpadu dengan kepakaran seorang wanita di Aceh. Beliau dimakamkan di desa Lambeunot Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar. Sebagian dari tulisan ini bersumber dari hasil wawancara dengan: 1. Ibu Ainal Mardhiah, beliau masih mempunyai hubungan persaudaraan dengan Teungku Fakinah. 2. Drs. Teungku H. M. Radhi Idris, beliau adalah imam masjid Teungku Fakinah sejak tahun 70-an sampai sekarang. Beliau juga menjabat sebagai imam masjid at-Taqwa Lam Krak.
56
KABUPATEN ACEH BESAR
MASJID AL-MUHAJIRIN Masjid Al-Muhajirin berada di lingkungan Rindam Iskandar Muda - Mata Ie. Tepatnya di Desa Lheu-U Kemukiman Daroe Jeumpet Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Masjid ini didirikan pada tahun 1835, bangunan aslinya telah direnovasi menjadi seperti yang terlihat sekarang.
57
Masjid Al-Muhajirin Rindam Iskandar Muda.
Berlatar belakang alam pegunungan, masjid Al-Muhajirin memancarkan suasana khusyuk dan sejuk, menentramkan hati siapa saja yang memandangnya.
Interior masjid dihiasi kaligrafi, mengingatkan jamaah akan kalam Ilahi yang selalu harus dihayati.
58
Mihrab masjid AlMuhajirin, setiap orang yang memenuhi kualifikasi sebagai imam, boleh memimpin di sini.
Mimbar di masjid Al-Muhajirin
Masjid Al-Muhajirin dilihat dari samping.
59
Sejarah Ringkas Masjid Al-Muhajirin Mata Ie Masjid al-Muhajirin terletak di Desa Lheu-Ue Mata Ie Kemukiman Daroi Jeumpet Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Mesjid ini berdiri di atas tanah seluas lebih kurang 8500 m2 dengan luas bangunan 30 x 40 m. Masjid ini didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1835 dan terakhir direnovasi pada tahun 1992. Pada tahun 1905, mesjid al-Muhajirin direnovasi oleh masyarakat Mata Ie dan sekitarnya dengan dana yang bersumber dari swadaya masyarakat Mata Ie dan sekitarnya. • Pada tahun 1958 Mesjid ini direhab oleh pimpinan TNI Depot XIII (Letkol. Holil Juanta). • Pada tahun 1984 Mesjid al-Muhajirin dibangun ulang oleh Dankodiklat I/IM (Kolonel Dolok, atap belum lengkap). • Pada tahun 1992, mesjid ini dilanjutkan pembangunannya oleh Dan Secata Kodan I/BB (Letkol Inf. Rawi). • Pada tahun 2003, Mesjid ini dipasangi lantai keramik untuk lantai di dalam ruangan oleh Dan Secata Kodam IM (Letkol Inf. Jalaluddin S). • Pada tahun 2005, dilakukan penimbunan dan pemasangan keramik di halaman masjid oleh Danrindam IM (Kolonel Inf. Ridwan). • Pada tahun 2007 mesjid ini direnovasi sekaligus pengecatan seluruh dinding masjid, pembuatan taman serta tempat wudhuk oleh Danrindam IM (Kolonel Inf. Toto S. Moerasad, S.Ip, MM). • Pada tanggal 17 September 2007, renovasi mesjid ini diresmikan oleh Pangdam IM (Mayor Jenderal TNI Supiadin AS).
Sumber:
Resimen induk Daerah Militer Iskandar Muda-BKM al-Muhajirin
60
KABUPATEN ACEH TENGAH
MASJID QUBA-BEBESEN Masjid ini terletak di Kampung Bebesen, Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, lebih kurang berjarak 2.5 km dari ibukota Takengon. Di lokasi masjid ini, sebelumnya berdiri masjid kayu beratap ijuk yang didirikan pada masa awal kedatangan Islam ke tanah Gayo. Lalu digantikan dengan masjid bertiang beton dan beratap seng pada tahun 1917. Berikutnya pada tahun 1947 dibangun masjid semipermanen yang kemudian dibakar oknum PKI pada tahun 1965. Maka pada tahun 1966, dimulailah pembangunan masjid Quba yang sekarang ini.
61
Masjid Quba, dilihat dari arah belakang masjid.
Masjid Quba- Bebesan. Tampak dari samping.
Ruang shalat masjid Quba, disain interiornya merupakan perpaduan gaya Timur Tengah dan gaya lokal.
62
Sejarah Ringkas Masjid Quba - Bebesen Bebesen adalah sebuah kejurun (wilayah) yang muncul setelah Kerajaan Aceh menetapkan empat kejurun di Gayo, yaitu Kejurun Bukit, Siah Utama, Linge dan Gayo Lues, (Snouck Hurgronje, 1996: 107). Diriwayatkan bahwa pihak Batak Karo 27 berperang melawan Kejurun Bukit. Pihak Batak Karo 27 memperoleh kemenangan, dan setelah perdamaian Kejurun Bukit terpaksa dipindahkan ke Kampung Kebayakan. Setelah Batak Karo 27 menguasai Bebesen, diangkatlah Lebe Kader (pemimpin pasukan Batak Karo 27) sebagai Raja Cik Bebesen. Raja Cik Bebesen tidak memperoleh pengukuhan resmi dari Sultan Aceh, tapi ia telah memerintah dengan tanpa halangan dari Sultan Aceh. (H. M. Gayo, 1983: 51). Kini Bebesen merupakan Ibukota Kecamatan Bebesen yang terletak di sebelah Barat yang jaraknya lebih kurang 2.5 km dari ibukota Takengon. Sejak zaman Belanda sampai zaman Jepang (tahun 1904-1942), Bebesan merupakan ibukota negeri dari Zelfbestuurder van Cik yang meliputi wilayah Bebesan, Pegasing, Silih Nara dan Katal. Wilayah ini dipimpin oleh seorang Zelfbestuurder. Pada masa permerintahan Jepang (1942-1945) pemerintahan di wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Sunco dari keturunan Zelfbastuurder van Cik. Di zaman kemerdekaan Republik Indonesia, nama wilayah ini dirubah menjadi Kenegerian Bebesen. Pemerintahannya pada saat itu dipimpin oleh beberapa orang yang disebut Bestuur Comisi dengan seorang ketuanya.
63
Pembangunan Mesjid. Sejak masuknya agama Islam ke Bebesen telah dibangun sebuah mesjid beratap ijuk, dinding papan dan lantai tanah liat. Lalu pada tahun 1917, bangunan masjid ini direnovasi menjadi masjid dengan tiang beton, atap seng, dan lantai semen. Mengingat kondisi mesjid yang tidak dapat lagi menampung jamaah yang meliputi Kampung Bebesen, Daling, Tan Saran, Lalabu, Umang, Blang Kolak I, Blang Kolak II, Kemili dan Mongal, maka pada tahun 1947 dimulai pembangunan masjid baru secara swadaya masyarakat dengan ukuran 18 x 12 m. Bangunan masjid ini berkonstruksi semipermanen. Pembangunannya diprakarsai dan dikoordinir oleh Teungku M. Nur Thalib, Teungku Abdurrahman, Teungku M. Saleh, dan Teungku Imam Aman Dolah. Mesjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1950 dan merupakan kebanggaan bagi masyarakat sekitar Bebesen. Masjid ini menjadi tempat ibadah pusat kegiatan masyarakat Bebesen dan sekitarnya (antara lain; Daling, Tan Saran, Lalabu, Umang, Blang Kolak I, Blang Kolak II, Kemili dan Mongal). Masjid Dibakar Oknum PKI Pada hari Rabu malam tanggal 20/21 Juli 1965, di tengah malam buta terdengarlah teriakan masyarakat yang panik karena melihat api menyala di bahagian mimbar masjid. Masyarakat dari beberapa kampung berdatangan menuju masjid untuk berusaha memadamkan api. Namun api terus berkobar walaupun pemadam kebakaran berusaha membantu masyarakat memadamkannya. Usaha tersebut tidak berhasil sehinggga dalam tempo 2.5 jam masjid tersebut musnah dilalap api. Di kala api sedang menyala terdengar dari seorang penduduk yang mengungkapkan bahwa sumber api berasal dari wayer mikrofon yang tidak dilepaskan dari baterai. Akibatnya timbul api dan menjilat sajadah yang terletak dekat mikrofon. Api menyala mulai pukul 22.15 wib dan padam pukul 24.45 wib. Masyarakat amat sedih bercampur geram melihat masjid yang telah runtuh dimakan api, menjadi puing-puing yang berserakan tak karuan. Sebahagian masyarakat terpaku dan tidak beranjak
64
dari lokasi sampai siang hari. Pemerintah dan masyarakat berusaha menyelidiki sebab-sebab terjadinya kebakaran. Petunjuk tentang Sebab Kebakaran Pada tanggal 21 Juli 1965 pukul 09.00 wib, Tripida kecamatan Bebesen bersama masyarakat membongkar puing-puing reruntuhan masjid untuk mencari spiker mikrofon yang mungkin ikut terbakar. Ternyaka spiker tersebut tidak ditemukan dalam reruntuhan. Lalu diambillah kesimpulan sementara, bahwa spiker telah dicuri orang, dan pencurinya diduga sebagai pelaku pembakaran. Di samping penelitian yang dilakukan oleh pihak berwajib, masyarakat melakukan usaha pula dalam bentuk sembahyang hajat. Shalat ini diikuti oleh tidak kurang dari 1000 orang selama dua malam berturu-turut (Kamis dan Jumat tanggal 22 dan 23 Juli 1965). Mereka memohon kepada Allah swt. agar memberikan hukuman setimpal kepada orang yang telah melakukan pembakaran mesjid ini, dan agar memberikan kesabaran kepada masyarakat. Masyarakat Bebesen dan sekitarnya sangat terikat hatinya dengan masjid ini, sehingga shalat Jumat tetap dilakukan di lokasi bekas reruntuhan masjid. Meskipun harus shalat di alam terbuka, namun masyarakat tetap tidak mau beralih ke masjid lain. Masjid Baru Sementara itu pada tanggal 23 Juli 1965 pukul 13.30 wib, atas permintaan asisten Wedana Kecamatan Bebesan, masyarakat Kecamatan Bebesan berkumpul di Meunasah Uken. Mereka bermusyawarah untuk membentuk panitia pembangunaan masjid Bebesan yang baru. Dari musyawarah ini terbentuklah susunan panitia pembangunan masjid sebagai berikut: Ketua I : Mansoer (Asisten Wedana) Ketua II: Tgk. M. Nur A. Thalib Sekretaris I: Amir Abdullah Sekretaris II: Ismail Bendahara; Tgk. H. Abdurrahmah Pembantu-pembantu: Para Keuchik dan Imum dalam Kecamatan Bebesan.
65
Panitia memutuskan untuk membangun mesjid dengan fisik permanen. Masyarakat bergotong-royong, bekerja dan memberi sumbangan yang tidak sedikit, karena terdorong oleh perasaan haru di samping juga sebagai wujud pengabdian kepada Allah swt., akhirnya usaha ini terlaksana. Para tokoh yang terlibat dalam pendirian masjid ini antara lain ialah; Teungku Bilel Ujung, Teungku Aman Bedu Melala, Teungku Umah Uken, Teungku H. Abdurrahman, Teungku M. Thaib Tan, Teungku Aman Raoh Melala dan Teungku Ibrahim Aman Muji. Bapak Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (Brib. Nyak Adam Kamil), juga sempat melihat dari dekat keadaan masjid yang telah terbakar. Dan beliau juga menyampaikan pesan-pesan pembangunan masjid yang baru. Sementara di tengah kesibukan masyarakat membangun masjid yang baru, tersiarlah kabar bahwa PKI melakukan pemberontakan. Akibatnya kegiatan masyarakat membangun masjid agak terganggu. Setelah gerakan penumpasan G. 30 S/PKI berakhir, panitia pembangunan masjid bersama masyarakat meningkatkan usaha pembanguna masjid. Lebih kurang selama 10 tahun berselang, bangunan induk masjid ini dapat dimanfaatkan, yaitu dalam tahun 1977. Pembangunan masjid baru ini menelan biaya sebesar Rp 150.000.000,- dan diberi nama mesjid Quba. Oknum Pembakar Mesjid Dalam proses penumpasan G.30 S/PKI, salah seorang anggota PKI yang tertangkap mengaku dan memberikan keterangan bahwa orang yang membakar Masjid Bebesen adalah anggota PKI. Pelaku pembakaran terdiri dari tujuh orang anggota kelompok. Ketujuh orang ini telah diamankan oleh masyarakat. Sekarang ini masjid Quba telah dilengkapi dengan ruang kantor, perpustakaan dan ruang ganti untuk muazzin/khatib.Hal ini merupakan langkah yang diambil oleh generasi muda guna menjawab kebutuhan zaman. Demikianlah sejarah ringkas masjid Quba, semoga tulisan ini ada manfaatnya.
66
KABUPATEN ACEH TENGAH
MASJID TUA KABAYAKAN Masjid ini didirikan pada tahun 1895 di Kampung Kabayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Pada saat Belanda menyerang Kampung Kabayakan pada 22 Mei 1905, masjid ini hampir rampung dibangun. Pembangunan masjid ini dilakukan secara bergotong-royong oleh masyarakat Kampung Lot Kala, Gunung Bukit, dan Kampung Jongok Meluem (Sagi Onom dan Sagi Lime) yang kepanitiaannya diketuai oleh Teungku Khatib. Arsitektur masjid ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Cina bernama Burik.
67
Masjid Tua Kabayakan, dilihat dari belakang. Konstruksi bangunannya masih tetap kokoh meski telah cukup renta dimakan usia.
Tampak depan. Masjid tua ini meyimpan ribuan kisah kegigihan masyarakat dataran tinggi Gayo dalam mempertahankan imannya dari gempuran missionaris Belanda
Di zaman modern ini, masjid tua Kabayakan juga masih berperan dalam penguatan akidah anak bangsa.
68
KABUPATEN ACEH TENGAH
MASJID JAMIK BAITURRAHIM Masjid ini terletak di Kampung Celala Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Bangunan yang tampak dalam foto di atas adalah konstruksi masjid yang dibangun sekitar tahun 80an. Di pertapakan masjid ini sebelumnya berdiri sebuah masjid dengan arsitektur tradisional Aceh beratap ijuk. Namun sayang masjid kuno tersebut tidak berhasil dilestarikan sehingga posisi masjid itu digantikan oleh masjid baru berkonstruksi beton.
69
Masjid Baiturrahim, kebanggaan masyarakat Celala. Tampak megah dengan kubahnya.
Masjid Baiturrahim Kampung Celala, dilihat dari samping sebelah kanan.
Masjid Baiturrahim Kampung Celala, dilihat dari samping sebelah kiri.
70
Sejarah Ringkas Masjid Baiturrahim Kampung Celala Dahulu, masyarakat Kampung Celala melaksanakan salat Jumat ke Kampung Blang Mancung (Kecamatan Ketol sekarang). Masyarakat Kampung Celala harus menempuh jarak sejauh 30 kilometer untuk mencapai Kampung Blang Mancung di mana masjid berada. Untuk menempuh jarak 30 km, masyarakat Kampung Celala harus mempersiapkan bekal secukupnya dan menginap. Di hari Kamis mereka harus berangkat, menginap di Blang Mancung, dan segera bergegas pulang setelah salat Jumat selesai ditunaikan. Mereka tiba kembali di Kampung Celala setelah hari gelap. Kondisi seperti ini terus berlanjut sampai sekitar tahun 1930an. Pada masa ini masyarakat Kampung Celala bermusyawarah untuk mendirikan sebuah masjid di kampungya. Dari hasil musyawarah ini, secara bergotong-royong, dibangunlah sebuah masjid dengan ukuran 4 x 6 meter. Bangunan masjid dibuat dengan konstruksi kayu dan beratap ijuk. Dindingnya dari kayu bulat yang dibentuk menjadi papan dengan hanya menggunakan kapak sebagai alat, dapat dibayangkan betapa berat usaha yang harus ditempuh. Tokoh masyarakat yang memprakarsai pendirian masjid ini pada waktu itu ialah Teungku Aman Asa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, melalui suatu musyawarah bersama, diputuskanlah untuk melakukan perluasan masjid pada tahun 1945. Tokoh yang terlibat aktif dalam usaha ini ialah Teungku Aman Cut, Teungku Aman Nyak Arif, Teungku Aman Dolah Kuyun, Teungku Aman Kerani dan Teungku Abdurrahman Aman Nir (Pak Sarung Celala). Pada masa ini atap masjid telah menggunakan bahan seng, dan masjid diperluas menjadi 6 x 6 meter. Pada tahun 1955, kembali diadakan musyawarah perluasan masjid. Untuk mengumpulkan penduduk, diadakanlah kenduri dengan memotong seekor kerbau. Tokoh yang memprakarsai
71
renovasi kali ini ialah Reje Bedel, Reje Ali, Abdurrahman, Guru Karim, dan Mude Kilang. Dari hasil musyawarah ini, dibangunlah sebuah masjid berkonstruksi kayu dan beratap seng seluas 6 x 10 meter. Kemudian masjid ini kembali direnovasi pada tahun 1961. Dalam renovasi di masa ini, masjid diperluas sehingga ukurannya menjadi 10 x 16 meter. Konstruksi bangunan pun mengalami perubahan menjadi bangunan semi permanen dengan atap dari bahan seng. Pada renovasi terakhir, bangunan masjid dirombak total menjadi bangunan permanen. Ukurannya diperluas menjadi 21 x 15 meter di atas tanah seluas 26 x 20 meter. Pembangunan masjid ini dilaksanakan oleh panitia yang diketuai oleh Abdul Kadir, sekretarisnya ialah Jamaluddin, dan Abdul Hakim sebagai bendahara. Pembangunan terus dilaksanakan sampai menjadi seperti sekarang ini dengan dana yang dikutip dari masyarakat. Kepada masyarakat dikenakan iuran wajib sebesar 2 gating (10 kaleng padi) dalam setahun ditambah sumbangan tenaga untuk mengangkut pasir dan batu dari sungai secara bergotong-royong. Demikianlah pembangunan masjid ini terlaksana berkat semangat gotong-royong masyarakat Celala.
72
KABUPATEN GAYO LUES
MASJID ASAL Masjid Asal merupakan salah satu peninggalan sejarah terpenting yang harus dilestarikan di dataran tinggi Gayo dan Alas. Sampai saat ini masjid ini masih berdiri megah di pinggir sungai Desa Penampaan Belah Imam dengan pesona masa lalunya. Tepatnya, masjid ini berada di Kecamatan Blangkejeren - Kabupaten Gayo Lues, kira-kira berjarak sekitar 700 meter dari komplek Pendopo Bupati Gayo Lues.
73
Masjid Asal, tidak pudar kharismanya meski diapit bangunan baru yang megah dan permanen..
Tembok masjid Asal yang dibuat dari tanah kuning. Mengabadikan gairah masa lalu untuk generasi masa kini...
Mimbar dalam mihrab masjid Asal, warisan masa lalu yang masih dipertahankan.
74
Suasana khusyuk melingkupi setiap muslim yang shalat di bawah atap ijuk. Atap yang menjaga hawa tetap sejuk.
Semua yang ada di sini seolah bertutur kepada kita, tentang kegigihan syuhada mengembangkan Islam di dataran tinggi Gayo Lues.
Ini adalah contoh, bagaimana bangunan asli masjid Asal masih bisa dipertahankan di tengah tuntutan perluasan masjid.
75
Sekilas Sejarah Masjid Asal - Penampaan Sebuah sumber mengatakan bahwa masjid Asal - Penampaan didirikan pada tahun 815 H/1412 M. Jika informasi ini akurat, berarti masjid Asal didirikan dalam masa Kerajaan Pasai. Sebab setidaknya, Kerajaan Pasai telah berdiri dari tahun 1282 M, (Ibrahim Alfian, 2004: 26) dan jatuh dalam kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1524 M, (Amirul Hadi, 2004: 13). Sejak pendiriannya sampai saat ini masjid Asal-Penampaan tidak pernah dirombak dan tetap difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat ibadah. Masjid ini dipandang keramat oleh masyarakat sekitar, sebab secara logika bangunan berkonstruksi kayu seperti masjid ini tidak mungkin dapat bertahan sampai 500 tahun. Namun kenyataannya, masjid Asal-Penampaan masih tetap berdiri kokoh sampai sekarang. Masjid Asal juga menjadi dasar pemberian nama kampung di mana masjid itu berada. Nama Desa Penampaan berasal dari kata “penampaan” yang artinya “penampakan/tampak atau terlihat”. Konon menurut riwayat, di masa lalu masjid ini bisa dilihat dari berbagai wilayah di Gayo Lues. Mungkin hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah sekitar masjid Asal yang merupakan daerah datar dan masih minim dihuni penduduk. Dengan demikian ia bisa dilihat dari berbagai arah yang umumnya berdataran tinggi. Oleh karena itu, daerah di mana masjid Asal berada disebut Desa Penampaan (yang tampak dari berbagai arah). Masjid Asal-Penampaan didirikan atas prakarsa beberapa tokoh dan pemuka agama. Dari beberapa sumber yang berhasil dihimpun, tokoh pendiri masjid ini adalah sebagai berikut: 1. Datok Masjid 2. Syekh Siti Mulia 3. Syekh Said Ibrahim 4. Syekh Said Ahmad 5. Syekh Abdurrahman 6. Syekh Abdullah 7. Syekh Abdul Wahab
76
8. Said Hasan 9. Said Husin 10. Syekh Abdul Qadir 11. Said Ali Muhammad 12. Datok Gunung Gerudung 13. Mamang Mujra Masjid ini dinamakan masjid Asal karena merupakan masjid yang pertama sekali dibangun di wilayah sekitar Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “Masjid Asal� yang konotasinya adalah asal-muasal pendirian masjid di seluruh Gayo Lues dan sekitarnya. Bangunan fisik masjid Asal dibina dengan kostruksi yang bahan utamanya adalah kayu. Bahan-bahan bangunan masjid ini diperoleh dari pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar desa, bebatuan sungai serta tanah kuning yang ada di sekitar masjid itu sendiri. Bahan-bahan dasar yang digunakan pada saat pembangunan masjid ini masih utuh bertahan sampai sekarang, termasuk dinding dari tanah kuning. Arsitektur masjid Asal Kampung Penampaan mengikuti karakteristik arsitektur masjid tradisional Aceh yang berkembang selama berabad-abad. Arsitektur masjid seperti ini sudah jarang ditemukan di masa sekarang, kecuali pada masjid yang dibangun Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dengan mengadopsi arsitektur masjid Demak. Arsitektur masjid yang khas ini menjadi bukti terhubungnya kerajaan Demak dengan Aceh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Dengan demikian, masjid Asal merupakan salah satu masjid bersejarah yang merekam jejak pengembangan Islam di Aceh dan Indonesia umumnya. Arsitektur tradisional bangunan Masjid Asal segera memberi kesan kepurbakalaan masjid ini. Kesederhanaan konstruksinya memancarkan kharisma dari kemegahan Islam masa lalu. Kubah masjid berbentuk runcing berwarna hitam pekat terbuat dari logam. Atapnya terbuat dari ijuk (serat serabut pohon aren) serta plafon yang dibuat dari pelepah aren yang dirajut dengan rotan.
77
Masjid berukuran luas 8 x 10 meter ini dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari tanah kuning di sepanjang sisi tiang sebelah luar. Empat tiang penyangga utama masjid dihubungkan dengan empat balok kayu sebagai penyokong kubah dan atap Masjid. Menurut masyarakat setempat, keempat tiang tersebut merupakan kayu pilihan yang diambil dari beberapa desa. Dua di antaranya diambil dari desa Gele-Penampaan, menjadi pelengkap keenambelas tiang yang masih berdiri dengan kokoh sampai saat ini. Di bagian luar sebelah kiri masjid terdapat makam para pendiri masjid. Mereka merupakan tokoh agama yang disegani, salah seorang di antaranya dikenal sebagai tokoh penyebaran agama Islam di dataran tinggi tanah Gayo. Di halaman masjid terdapat sebuah sumur tua yang dahulu digunakan sebagai sumber air untuk berwudhuk. Dalam perkembangannya kemudian, sumur ini mulai jarang digunakan. Namun air sumur ini masih tetap diambil masyarakat meskipun untuk maksud yang lain. Konon menurut penuturan masyarakat, sumur tersebut disebut “Telaga Nampak� yang keramat. Air dari sumur ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, menyegarkan jasmani dan digunakan sebagai air untuk tepung tawar (pesijuek) dalam berbagai acara masyarakat. Menilik tahun pendiriannya (1412 M), jika ini valid maka dapat disimpulkan bahwa masjid ini telah berdiri jauh sebelum berdirinya kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan pertama yang menyatukan seluruh wilayah Aceh dalam satu kekuasaan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa upaya penyatuan oleh Kerajaan Aceh Darussalam ini dimulai dengan ditaklukkannya kerajaan Daya pada tahun 1520 M. Di masa kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam, pengelolaan dan perawatan masjid Asal diemban oleh pejabat kerajaan Kejurun Patiambang. Kejurun Patiambang merupakan salah satu dari enam kejurun di daerah Gayo. Keenam teritori tersebut adalah; Kejurun Bukit, Kejurun Linge, Kejurun Siah Utama, Kejurun Patiambang, Kejurun Bebesan, dan Kejurun Ambuq. (lihat Snouck Hurgronje,
78
1996: 107, dst. dan H. M. Gayo, 1983: 51). Untuk pengelolaan masjid Asal, Raja Patiambang mengangkat Reje Cik yang ditugaskan untuk merawat dan mengelola pelaksanaan kegiatan keagamaan di Masjid Asal. Masjid Asal telah mengalami beberapakali renovasi. Pada tahun 90-an masjid ini di rehab bagian luarnya dengan pemasangan tembok keliling di sekitar masjid sampai ke perkuburan. Lalu pada tahun 1989, dilakukan pemasangan kaca pada lubang angin bagian atas (kubah masjid). Rehabilitasi di atas dilakukan dalam masa daerah ini masih masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tenggara. Lalu pada tahun 2002, daerah ini masuk dalam wilayah pemekaran Kabupaten Gayo Lues. Maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues melakukan rehabilitasi Masjid Asal, dan menjadikan masjid ini sebagai icon Kabupaten Gayo Lues. Pada tahun 2008, masjid Asal direhab kembali dengan bantuan dana dari BRR NAD-Nias, namun tidak merombak bangunan dasarnya. Pada masa ini dibangun mesjid baru dengan konstruksi beton berukuran 60 x 40 meter berdampingan dengan mesjid lama yang berkonstruksi kayu. Dengan demikian masjid Asal menjadi dua bagian, bagian utama merupakan bangunan inti, yaitu masjid Asal yang asli. Sedangkan bagian kedua merupakan masjid baru sebagai perluasan masjid Asal, sehingga pengujung akan medapati dua ruang berbeda di dalam masjid. Masjid Asal Penampaan dipadati pengunjung pada setiap hari Jumat, mulai dari subuh sampai masuk waktu shalat Jumat. Para pengunjung berdatangan dari berbagai daerah, baik dari Aceh sendiri maupun dari luar Provinsi Aceh. Biasanya pengunjung datang untuk bersedekah, memenuhi niatan dan melunasi nazar mereka. Selain hari Jumat, masjid akan dipadati pada saat perayaan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi‘raj, Megang Ramadhan dan Megang Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Pada saat-saat seperti ini, masjid akan dipadati pengunjung untuk beribadah dan memenuhi nazar mereka.
79
Masjid Asal-Penampaan masih banyak menyimpan misteri sejarah kehidupan masyarakat Gayo Lues yang belum tergali. Pada masa kejayaan Kerajaan Aceh, daerah ini dipimpin oleh Kejurun Patiambang yang banyak berkontribusi bagi hidupnya beragam adat dan budaya dalam masyarakat. Di masa penyerbuan Kolonialis Belanda ke tanah Gayo, konon masjid ini pernah dibom, tapi anehnya bom itu tidak meledak. Ada pula kisah lain yang mengatakan bahwa mesjid ini pernah dicoba hancurkan oleh Belanda. Upaya ini juga tidak berhasil, dan sampai sekarang bekas tebasan pedang masih terlihat pada tiang mesjid ini. Setidaknya kisah ini menjadi cermin kuatnya upaya masyarakat mempertahankan masjid ini dari serbuan Belanda. Namun sayangnya masih belum bisa terungkap, fakta-fakta itu masih terpendam dalam warisan khasanah masa lalu. Kondisi ini terus menjadi misteri seiring dengan tidak terjawabnya misteri masjid Asal itu sendiri. Misalnya beberapa pertanyaan berikut: 1. Berapa usia masjid Asal sebenarnya? Hendaknya dilakukan penelitian ilmiah semisal penghitungan usia kayu masjid. Mungkin dapat dilakukan dengan karbon isotop 12 (C12) seperti menghitung fosil peninggalan zaman purba. 2. Apa kandungan air sumur di masjid Asal yang dipercaya masyarakat bisa menyembuhkan? 3. Apa benar sumur masjid Asal merupakan air dari Telaga Nampak yang ada di masjid pada masa ulama dan aulia masa lalu? Konon katanya bisa memperlihatkan niat seseorang kala ia berada di Telaga Nampak‌.? Semua pertanyaan ini cukup urgen untuk dijawab, kiranya pihak berwenang perlu melakukan langkah-langkah positif untuk menjawab rasa penasaran masyarakat. Wa Allah a‘lam bissawab.
80
KABUPATEN ACEH TAMIANG
MASJID AL-HUDA Masjid ini terletak di Kampung Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang, berjarak sekitar 2 km dari pusat kota Kota Kuala Simpang. Sampai saat ini, Masjid Al-Huda masih berdiri megah di pinggir jalan negara lintas Kuala Simpang - Langsa. Meskipun sempat direnovasi, namun keaslian dari mesjid yang didirikan pada tahun 1928 ini, masih tetap dipertahankan.
81
Pintu masuk dari arah Timur Masjid Al-Huda, setelah renovasi/perluasan dengan penambahan teras depan.
Masjid Al-Huda dari arah belakang. Di bagian inilah para tokoh pendiri masjid Al-Huda dikebumikan.
Masjid Al-Huda, dilihat dari arah samping sebelah kanan.
82
Ruang dalam masjid Al-Huda, langit-langit yang tinggi memberi kelegaan bagi jamaah.
Mihrab dan mimbar dalam masjid AlHuda. Mimbar ini merupakan peninggalan yang mencerminkan tingginya seni-budaya masa lalu.
Masjid Al-Huda, dilihat dari samping kanan
83
Sejarah Ringkas Masjid Al-Huda Masjid Al-Huda Kampung Tanjung Karang Kecamatan Karang Baru, dibangun pada tahun 1928-1931 dengan luas 14 x 16 meter. Setelah direnovasi luasnya menjadi 18 x 16 m. Pada masa pembangunannya, masjid Al-Huda merupakan satu-satunya masjid yang ada di wilayah kemukiman Benua Raja, Kemukiman Karang, Kemukiman Seruway dan Kemukiman Tamiang Hulu. Hal inilah yang mendasari antusiasme masyarakat untuk bahu membahu membangun masjid ini semegah-megahnya. Pembangunan masjid ini digerakkan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Berdasar keterangan sementara yang berhasil dihimpun, tokoh-tokoh tersebut antara lain ialah; T. M. Arifin, T. M. Khalifah dan T. M. Basyir. Makam tokohtokoh ini berada di belakang masjid, dan telah dipugar oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan. Dilihat dari potongan dan tekstur melengkung pada beberapa bagian bangunan, tampak bahwa arsitektur masjid ini mengadopsi gaya arsitektur Portugis yang kala itu sedang diminati. Di samping masjid juga dibangun sebuah menara dengan gaya yang senada pula. Konstruksi bangunan masjid terbuat dari beton tanpa rangka baja, demikian pula dengan menara pasir setinggi 25 meter, juga dibangun tanpa kerangka baja. Meskipun tidak memakai kerangka baja, namun bangunan ini tetap kokoh sampai sekarang. Sepanjang perjalanan sejarahnya, konstruksi bangunan masjid Al-Huda tidak banyak mengalami perubahan. Renovasi yang dilakukan tidak sampai merubah bangunan aslinya. termasuk mimbarnya. Mimbar masjid ini masih asli sebagaimana pertama kali dibuat. Selain itu, kemakmuran masjid pun masih terus terjaga. Kegiatan keagamaan yang meliputi ceramah agama dan pengajian bagi kaum bapak, ibu-ibu dan remaja mesjid pun masih lestari dan terus dilaksanakan sampai sekarang.
84
KABUPATEN ACEH TAMIANG
MASJID AL-FURQAN Masjid ini terletak di pusat kota Kualasimpang, Kelurahan Kota Kualasimpang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang. Bangunan fisik masjid ini berkonstruksi beton, didirikan pada tahun 1950 dengan luas bangunan 40 x 40 meter.
85
Masjid Al-Furqan Kelurahan Kota Kualasimpang Kecamatan Kota Kualasimpang, masjid ini didirikan pada tahun 1950. Pada awalnya, bangunan fisik ini dimaksudkan sebagai sebuah Meunasah di atas tanah wakaf seluas 1.187 m, dengan luas bangunan 40 x 40 meter. Sehubungan dengan permintaan dari masyarakat sekitar, dan karena minimnya sarana tempat ibadah kala itu, maka meunasah ini dialihfungsikan menjadi masjid. Pengalihan fungsi ini dilaksanakan pada tahun 1973. Sejak saat itu, masjid ini menjadi tempat shalat Jumat bagi masyarakat sekitar kemukiman; Imam Bali, Benua Raja, Bukit Tempurung, Perdamaian, Sriwijaya dan Kota Kualasimpang. Dari informasi yang berhasil dihimpun, pendirian masjid ini diprakarsai oleh beberapa orang tokoh. Antara lain dapat dicatat; Teungku Mahmud, H. Nurdin Shaleh dan Datok Zakaria Helmi. Pada tahun 2000 dilakukan renovasi dan rehabilitasi pada fisik bangunan masjid. Namun rehabilitasi ini tidak merobah bentuk dasar dari arsitektur bangunan masjid. Dari sisi kemakmuran masjid, kegiatan keagamaan yang digelar di masjid ini meliputi pengajian rutin ba‘da shalat Ashar, dakwah Islamiyyah dalam rangka Peringatan Hari Besar Islam dan pengajian anak-anak (Taman Pendidikan Alquran).
86
Daftar Pustaka
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of SevententhCentury Aceh, Leiden: Brill, 2004 Azman Ismail, et al., Masjid Raya Baiturrahman, Lhokseumawe: Nadiya, 2004 Hasjmy, A., Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978 _______, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Hurgronje, Snouck, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya, terj. Sutan Maimoen, Jakarta: INIS, 1996 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai; Sebuah Tinjauan Sejarah, cet. II, Yogyakarta: Cenninets Press, 2004 Kusumo, Sardono W (pengantar), Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press, 2005 Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Winarsih Arifin, Jakarta: Balai Pustaka, 1986 M. H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda, Jakarta: Balai Pustaka, 1983
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981 Muhamad Hasan Basry dan Ibrahim Alfian, (ed), Perang Kolonial Belanda di Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990 Muhibuddin Waly, Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Muda Waly, Jakarta: Intermasa, 1997 Paul van’t Veer, Perang Belanda di Aceh, terj. Aboe Bakar, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1977 Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, terj. Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 Tim IAIN Ar-Raniry, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004 Yunus Jamil, M., Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh: Ajdam I IM, 1968 Zainuddin, H. M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961 ________, Srikandi Aceh, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1966 Zentgraaf, H. C., Aceh, terj. Aboe Bakar, Jakarta: Beuna, 1983
88