Sharia News Watch #02

Page 1

EDISI 02/2012

Sebatas Corong, Kurang Etika

penerbitan ini didukung oleh

Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh. Penanggungjawab: Mukhtaruddin Yakob. Editor: Nurdin Hasan, Adi Warsidi. Tim Penulis: Maimun Saleh, Daspriani Yuli Zamzami, Muhammad Riza Nasser. Sidang Redaksi: Alaidin Ikrami, Salman Mardira, Zulkarnaini Muchtar. Manajer Keuangan: Abdul Munar. Manajer Administrasi: Reza Fahlevi. Supervisi: AJI Indonesia. Dukungan dana: Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama. Alamat Redaksi: Sekretariat AJI Banda Aceh Jl. Angsa No. 23 Batoh, Banda Aceh. Telp: +62-651-637708 sharianewswatch Faksimile: +62-651-637708 Website: http://mediasehat.ajibanda.org Facebook: ajibanda Twitter: 02/2012aji_banda

01


Kabar dari Workshop

Butuh Pelatihan Lagi Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh

SATU workshop digelar bagi jurnalis yang medianya masuk dalam program pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh. Kegiatan pada 18 - 19 Juni 2012 silam menjadi penting untuk pembelajaran terkait pemberitaan, terutama etika. Sebanyak 15 jurnalis mengikuti workshop yang menghadirkan pemateri dari Jakarta dan Aceh. Selain kalangan praktisi media dan jurnalis, panitia juga mengundang advokat dan mentor program “Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh”, Anggara Suwahju. Anggara adalah pendiri Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), lembaga yang meneliti persoalan kriminal dan reformasi keadilan. Ia juga pernah terlibat selama dua tahun dalam bidang advokasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Anggara yang tampil di sesi pembuka workshop menyorot persoalan etika jurnalistik yang masih diabaikan pengelola media di Indonesia. Menurut dia, imbas kecerobohan jurnalis dan media dalam memberitakan kasus pelanggaran, termasuk pelanggaran syariat Islam, telah mengabaikan hak korban, bahkan cenderung menghakimi perempuan dan anakanak sebelum proses hukum berjalan. Advokat ini juga mengingatkan media saat memberitakan identitas korban anak-anak yang berakibat buruk pada masa depannya. Dalam beberapa kasus, media terkesan menghakimi pelaku anakanak sebelum diputuskan pengadilan. Dia menyontohkan kasus anak mencuri sandal dan pencurian pulsa yang ramai diberitakan media tanpa memperhatikan etika dan hak anak.

02

sharianewswatch 02/2012

Oleh Mukhtaruddin Yakob Sebenarnya, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Hak Jawab dan Pelayanan Hak Jawab secara jelas mengatur masalah etika. Sehingga dia menjadi rambu yang sangat aman bagi media dalam peliputan dan pemberitaan, termasuk soal isu syariat Islam. “Ingat, media bisa melakukan pembunuhan karakter jika mengabaikan ketentuan-ketentuan tersebut,” tegas Anggara. Dicontohkan beberapa kasus per­ lakuan media yang tidak seimbang ter­ hadap narasumber atau publik. Porsi hak jawab cuma ditayangkan sekali, padalah berita sudah berulang kali. Kondisi lain adalah image muncul akibat pemberitaan yang salah. Publik biasanya percaya atau membaca berita pertama. Mereka jarang sekali mengikuti soal hak jawab. “Yang paling ideal adalah menghindari kesalahan dan menghilangkan tindakan menghakimi terhadap korban,” katanya. Workshop yang dikemas dengan diskusi itu banyak melahirkan berbagai pertanyaan yang intinya konfirmasi soal pemberitaan di media selama ini. Materi lain dari para penanya adalah etika penyebutan status dan pemberitaan yang benar. Sesi pertama berlangsung setengah hari. Peserta workshop mengaku banyak mendapatkan pencerahan saat diskusi berlangsung. Nurdin Hasan yang tampil pada sesi kedua lebih banyak menyoroti persoal­an syariat Islam yang dinilai terkesan politis. Penerapan syariat Islam merupakan upaya pemerintah pusat sebagai bagian penyelesaian konflik bersenjata di Aceh. Selama ini yang jadi perhatian pun sangat terbatas yaitu masalah maisir, khamar, khalwat dan pakaian ketat, padahal Islam mengatur seluruh sisi kehidupan

manusia. “Kenapa tidak diupaya­kan untuk menerapkan perekonomian berbasis syariat di Aceh,” ujarnya. Media selama ini cenderung terjebak pada polarisasi kebijakan stakeholder. Media sangat kurang proaktif mengutip keterangan masyarakat atau saksi mata dalam memberitakan kasus pelanggaran syariat, terutama jika terjadi penggerebekan. “Sadar atau tidak, jurnalis termasuk media, hanya mengutip keterangan dari aparat Satpol PP dan WH,” tegas jurnalis freelance ini. Sebagai jurnalis, sewajarnya mengutip keterangan korban, terlepas mereka itu salah atau tidak. Azas praduga tak bersalah satu dari beberapa hal yang harus dikedepankan jurnalis dalam meliput dan memberitakan, termasuk masalah pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Persoalan lain adalah proses produksi berita di tingkat editor. Karena alasan menjual, judul berita ditulis secara bombastis, bahkan kadang tak sesuai dengan isinya. Jika hal ini terjadi, jurnalis berhak memprotes editor. “Tidak dilarang memprotes editor, jika memang benar, dan menyelamatkan publik,” ujar Nurdin. Memberikan pelajaran atau pen­ didikan bagian penting dari peliputan dan pemberitaan. Misalnya, mengkritisi penerapan qanun syariat Islam yang hanya berkutat pada persoalan pakaian, khususnya pakaian perempuan. Padahal, masih banyak bisa didorong, termasuk penerapan ekonomi syariat yang memberikan identitas diri sebagai daerah bersyariat. Mantan ketua AJI Banda Aceh juga menyorot persoalan ketajaman jurnalis dalam menulis isu syariat Islam. Banyak


salam. sisi yang terlupakan oleh jurnalis saat melakukan peliputan di lapangan karena “terjebak” rutinitas pada keterangan petugas Satpol PP dan WH. Workshop hari kedua menghadirkan Fahmi Yunus, seorang pemerhati media di Aceh. Fahmi yang berlatar belakang pekerja kemanusiaan pernah terlibat aktif memantau media saat Aceh sedang diberlakukan darurat militer, tahun 2003 - 2004. Saat itu, pemantauan media yang didukung ISAI Jakarta memantau media cetak dan elektronik yang memberitakan apa pun peristiwa di Aceh saat darurat. Fahmi dihadirkan untuk memberikan gambaran pemantauan yang sebaiknya dilakukan jurnalis saat meliput dan menulis laporan. Suara korban dan cover both side menjadi dua kata kunci yang disuguhkan pada hari kedua. “Menghindari Penghakiman oleh Media”, itulah judul yang disampaikan pada hari itu. Pers atau media bertanggungjawab penuh menghindari upaya menghakimi korban atau objek, khususnya dalam peliputan dan pemberitaan sya­ riat Islam. Fahmi yang pernah terlibat dalam media center Damai Melalui Dialog pada 2002, banyak menyorot soal ketidak­ berimbangan pemberitaan di media. “Perlu sering ada pencerahan untuk jurnalis agar tak mengorbankan sumber dan publik dalam menulis berita,” katanya. Maimun Saleh, Ketua AJI Banda Aceh, yang tampil pada sesi terakhir menyajikan materi soal peran organisasi pers dalam pemberitaan syariat Islam. Pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat. Kata “kontrol” juga ada dalam UU. Ada dua ukur­an yang memperbolehkan pers dikontrol oleh masyarakat, pengantar KEJ dan UU. Maka, pers tidak boleh alergi ketika dikontrol atau dikritisi masyarakat. Dalam bekerja, Maimun memper­ tanyakan sejauhmana pers sudah sampaikan kebenaran kepada publik. Sedikit ketahuan ketika melihat hasil kajian AJI terkait pemberitaan syariat Islam yang lebih banyak mengaburkan fakta dan kebenaran. “Ada banyak lembaga yang datang ke AJI mempertanyakan integritas warta­ wan. Ini tolok ukur bahwa integritas jurnalis dan media masih diragukan oleh masyarakat,” tegas jurnalis Seputar Indonesia ini.[]

Tanpa terasa, kegiatan pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh telah memasuki bulan keenam. Dimulai Februari 2012 lalu, pemantauan pemberitaan akan berlangsung hingga Januari 2013. Hasil pemantauan perdana telah dituangkan dalam newsletter ‘Sharia News Watch (SNW)’. Newsletter yang ada di tangan Anda ini adalah hasil pemantauan berikutnya. Ada yang berbeda dengan SNW edisi kedua. Selain ada penambahan item dalam sajian, hasil pemantauan yang dituangkan adalah rangkuman pemantauan periode Maret hingga Juni 2012. Kami memilih merangkum pemantauan empat bulan, selain alasan efektif, objek pemantauan sedikit mengerucut dibandingkan pemantauan dan analisis pemberitaan pada SNW edisi perdana. Beberapa perubahan terjadi pada pemantauan periode tersebut. Kami mulai mengurangi jumlah media per Mei 2012, sebagai tindak lanjut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada 21 Maret 2012. Dengan alasan isu lokal, pelaksana program tidak lagi memantau media nasional secara luas. Enam media nasional yang dipantau sebelumnya, tinggal 3 lagi yang dipantau; Harian Kompas, The Jakarta Globe (TJG) dan The Jakarta Post (TJP). Kami memilih Kompas karena ke­ terwakilan media nasional dengan jangkuan yang lebih luas. Demikian juga dengan TJP. Koran berbahasa Inggris ini memuat pemberitaan syariat Islam dengan sasaran ekspatriat. Pencitraan pemberitaan syariat Islam kepada warga asing di Indonesia, salah satunya di­ sampaikan lewat TJP. Pengurangan media juga terjadi pada Tabloid Modus, sebagai media cetak lokal yang terbit mingguan secara reguler. Modus dikeluarkan dari objek

Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh

pemantauan karena kurang signifikan menganalisis dari unsur kedalaman dan proporsional pemberitaan. Mingguan lebih banyak memiliki waktu untuk menggali, sehingga kurang tepat jika disandingkan dengan harian. SNW edisi kedua tetap menghadirkan analisis terhadap penempatan narasumber, galeri, dan tren liputan. Tapi pada edisi kedua kami tambah dengan analisis foto jurnalistik yang tersebar di media selama ini. Analisis foto ini ditulis fotografer yang menyorot sisi etika dari sebuah foto. Foto adalah bagian dari berita, maka tidak terlalu berlebihan, jika foto tetap menjadi objek pemantauan dan analisis kali ini. Sementara untuk rubrik lain, kami masih tetap menurunkan tulisan de­ ngan fokus serupa. Perubahan sedikit terjadi pada mapping atau pemetaan terhadap pemberitaan. Kami coba memperdalam objek pemantauan pemberitaan khususnya terhadap perempuan dan anak. Sajian lain pada edisi ini adalah workshop yang melibatkan 15 jurnalis media lokal dan Sumatera Utara. Workshop tersebut sebagai bentuk kepedulian AJI Banda Aceh terhadap kapasitas jurnalis di Aceh. Pada Rubrik Opini, kami tetap menurunkan analisis Fahmi Yunus, pemerhati media yang sudah lama terlibat dalam berbagai pemantauan media. Kami menyadari masih ada keku­ rang­an dalam penulisan maupun analisis lainnya terkait pemantauan media. Dengan tangan terbuka, kami mengharapkan masukan dan kritikan dari rekan, sahabat serta pembaca demi perbaikan ke depan, sehingga pemberitaan tentang syariat Islam di Aceh benarbenar sehat. Kami persembahkan sajian ini kepada publik dan pembaca budiman. Selamat membaca.[]

sharianewswatch 02/2012

03


Review #BAHASA

Candu Reasoning Oleh Maimun Saleh

Media merupakan motor aktif yang meng­­arahkan pendapat umum, bahkan pemberian nilai atas fakta. Bagi media, bahasa merupakan bingkai yang membatasi lingkup pemahaman pembaca. Lewat rangkaian kalimat-kalimat di setiap berita, media menyampaikan pesan dan tujuan. Kajian kebahasaan media, merupakan salah satu cara melihat tujuan media atas realitas. Media massa sebagai perangkat materil komunikasi massa, memiliki andil besar membangun konstruksi sosial. Dalam teori; konstruksi sosial media massa, dua konstruksi lazim dibangun yakni pembaca cenderung membenarkan sajian media sebagai realitas, dan pembaca bersedia pikiran-pikirannya dikontruksi. Dengan demikian, kalimat-kalimat yang membentuk berita merupakan medium vital menjalin wacana. Berdasarkan itu, kajian ‘kebahasaan media’ dalam pemberitaan pemberlakuan syariat Islam mutlak dibutuhkan. Jika edisi sebelumnya, ditemukan media tanpa sadar telah mengaburkan fakta melalui pemilihan eufemisme (penghalusan makna) dan disfemia (pengkasaran makna), edisi ini mencoba menjabarkan tren terkini media dalam memilih gaya. Tujuannya sederhana, melihat bagaimana media membangun wacana pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Sejak Januari, AJI Kota Banda Aceh memantau 15 media cetak dan online terbitan nasional maupun lokal. Khusus bahasa, pemantauan berfokus pada delapan gaya yang umum digunakan media memberitakan syariat Islam. Diantaranya eufemisme, disfemia, stigma, hiperbola,

04

sharianewswatch 02/2012

technical reasoning (bahasa teknis), metafora, akronimisasi, serta slogan. Edisi ini, pemantauan dilakukan selama empat bulan terhitung sejak Maret 2012. Hasil pemantauan edisi ini sungguh menarik diulas, media cenderung meng­ gunakan technical reasoning. Dari 229 jumlah berita, 210 diantaranya memilih technical reasoning (penalaran teknis). Itu artinya sekitar 91,3 % berita syariat Islam berupaya merasionalkan fakta. Intensitas itu cukup tinggi, jika dibandingkan dengan delapan gaya bahasa lainnya, technical reasoning mewarnai lembaran surat kabar maupun laman website hingga 45 %, itu sudah termasuk menalarkan pernyataan narasumber pada pembaca. Secara teoritis, tentu bahasa teknis disajikan dengan maksud fakta peristiwa maupun psikologis dipandang rasional. Empat bulan terakhir, media lebih cenderung membenarkan proses penangkapan warga yang dijerat melanggar qanun. Skeptisme media atau sikap kritis atas proses REPRO


” penangkapan sama sekali tak terlihat. Indikatornya, 84 berita penangkapan se­ luruhnya menggunakan technical reasoning. Sayangnya, teknik ini hanya dipakai pada pernyataan narasumber resmi seperti Wilayatul Hisbah (polisi syariah). Sementara masyarakat yang tersangkut perkara, sama sekali tidak memiliki tempat di media. Razia-razia yang gencar digelar Wilayatul Hisbah dan Satpol PP juga tidak dilihat media secara kritis. Setidaknya inilah yang terlihat dari 44 berita razia. Pada pemberitaan razia, media seakan berfungsi semata-mata sebagai penerus informasi dan pesan dari dua lembaga tersebut. Sementara ‘fungsi kontrol’ sama sekali tak tercermin lewat pemberitaan. Segala hal yang dilakukan pihak berwenang saat razia, dicitrakan media seluruhnya sudah tepat sesuai prosedur. Mudah ditebak isi surat kabar dan laman website usai razia syariat Islam. Lazimnya; sekedar laporan berapa perempuan terjaring razia, dimana razia digelar, dan intinya aturan apa yang telah dilanggar warga yang terjaring tersebut. Technical reasoning dipakai; qanun no 11 tentang aqidah, ibadah dan syiar Islam, qanun no 12 tentang minuman keras (khamar), qanun no 13 tentang perjudian (maisir), qanun no 14 tentang mesum (khalwat). Selain penangkapan dan razia, porsi besar juga diberikan media pada pernyataan atau keterangan Wilayatul Hisbah dan Satpol PP. Tercatat 43 berita disajikan sepanjang masa pemantauan. Mirisnya, baik warga yang ditangkap dan terjaring razia tidak satu paragrafpun dalam pemberitaan memuat pernyataan mereka. Pada praktik pemberitaan syariat Islam,

cover both side, tentu bukan sekedar menghadirkan suara dari narasumber berbeda, melainkan juga memberi porsi setara.

media memilih menggunakan klaim hukum dan ketentuan yang telah disepakati sebagai pembenar bahwa yang ditangkap atau terjaring razia telah melakukan kesalahan. Penggunaan bahasa teknis memang lumrah, tapi jika dipergunakan semata-semata sebagai upaya membenarkan tindakan aparat penegak syariat dan massa, disinilah letak perkara. Apalagi pada kenyataannya, kekerasan fisik dan verbal sering terjadi saat penangkapan maupun razia baik pemukulan dan pelecehan yang dilakukan warga, atau tindak mempermalukan di depan khalayak. Hanya cambuk, tindak kekerasan serta mempermalukan yang dilegalkan di Aceh dalam konteks syariah Islam. Dengan maksud menimbulkan efek jera, hingga pada akhirnya tidak mengulangi. Namun tindakan tersebut dilangsungkan selepas vonis dan dinyatakan bersalah. Qanun-qanun terkait syariat Islam, tidak satupun menyebutkan legalitas kekerasan saat razia maupun penangkapan. Namun kekerasan dalam penegakkan syariat Islam, sama sekali tak tersentuh. Dukungan terhadap penegakan hukum, bukan berarti harus menghilangkan watak dasar pers; kritis dan berperan sebagai alat kontrol. Saya berasumsi, hilangnya kritisme merupakan dampak terjebaknya media dalam paradigma patnership dengan institusi yang dikultuskan menegakkan syariat Islam. Walhasil, technical reasoning dipandang sebagai jalan utama mewujudkan dukungan. Maka wajar, empat bulan terakhir media tidak memilih narasumber alternatif sebagai penyeimbang. Cover both side, tentu bukan sekedar menghadirkan suara dari narasumber berbeda, melainkan juga memberi porsi setara. Walau tak berpengaruh langsung, technical reasoning dalam pemberitaan menyumbang dua efek dalam konstruksi wacana. Membuat pihak berwenang atau yang merasa berwenang dalam penanganan syariat Islam tak terkontrol, lalu terus mengulang kesalahan. Selanjutnya kekeliruan cara penanganan dapat diyakini sebagai kebenaran. Jika itu benar, berarti pengunaan technical reasoning “berlebihan” dalam pemberitaan, serupa mencicipi candu; media jadi tak sehat. [] sharianewswatch 02/2012

05


Review

SEBATAS CORONG, KURANG ETIKA Oleh Riza Nasser

“Skandal, kematian dan kehancuran selalu menarik penonton, karena itu bagian dari hidup. Apa yang jur­nalis dapat lakukan adalah tidak mengatakan ceritacerita de­ngan cara yang memalukan dan sensasional, tetapi dengan cara yang memungkinkan penonton untuk mengerti, bersimpati dan belajar dari pengalaman orang lain.” Kutipan tokoh jurnalistik Bill Kovach di atas memiliki makna yang dalam jika ingin melihat bagaimana seharusnya jurnalis dan media berperan dalam menyikapi suatu isu atau kejadian di masyarakat. Ada tuntutan besar bagi seorang jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik. Tugas jurnalis dan media tidak hanya berfungsi sebagai pemberi kabar saja. Lebih dari itu. Jurnalis dituntut untuk menghasilkan berita yang mampu membuat masyarakat mengerti dan dapat mengambil hikmah dari pemberitaannya. Tugas mulia itu belum tergambar dalam pemberitaan media terkait isu penerapan syariat islam di Aceh kurun waktu empat bulan terakhir. Media kita masih sebatas menjadi corong dan belum benar-benar mendidik masyarakat untuk dapat mengambil hikmah dari sebuah pemberitaan. Hasil pemantauan yang dilakukan Sharia News Watch terhadap 15 media lokal dan nasional selama Maret

hingga Juni 2012, menunjukkan tren pemberitaan masih berkutat pada isu penangkapan terduga mesum dan razia penegakan syariat. Dua isu ini masih dianggap seksi dan menjadi berita terbanyak diproduksi media yang dipantau. Ada 88 berita terkait penang­kap­an terduga mesum yang di­publikasikan. Sementara berita razia berada diurutan kedua terbanyak dengan jumlah berita 44 berita. Harian Waspada berada di urutan puncak yang memproduksi berita terkait penangkapan terduga mesum, de­ngan jumlah 23 berita. Pro Haba dan Metro Aceh berada di posisi kedua dengan jumlah berita yang sama, masing-masing 21 berita. (Lihat Tabel) Ada banyak pelanggaran etika dalam pemberitaan menyangkut kasus penangkapan para terduga mesum di media-media ini. Selain tidak memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk berbicara, media juga telah berpe­ran sebagai hakim dan memvonis para terduga. A m b i l saja con­­ toh be­rita berjudul “Karyawan M e s u m di Rumah J a n d a , ”

yang dimuat Metro Aceh pada 26 Maret 2012. Dengan berani­nya Metro Aceh menghakimi terduga lewat judul bahwa kedua orang yang disebutkan dalam berita telah melakukan perbuatan mesum. Padahal dalam tubuh berita yang menceritakan kronologis kejadian penangkapan, tidak ada satu kalimat pun dari narasumber menyatakan bahwa kedua pelaku ditang­kap sedang berbuat mesum. Mereka digerebek oleh seorang pemuda yang mendobrak pintu belakang rumah, saat keduanya hanya sedang ngobrol di ruang tamu. Seperti mengambil kesimpulan sendiri, media yang memberitakan kasus ini juga tidak mempedulikan klarifikasi yang diberikan terduga seperti dikutip dalam berita itu, dan langsung menarik kesimpulan dalam lead bahwa “SY, pemuda 29 tahun, dibuat cenatcenut oleh pesona janda sehingga dia tertangkap basah di rumah WY, 23 tahun, saat asik bermesraan.”

REPRO

Tabel Berita Berdasarkan Isu Isu CAMBUK RAZIA SOSIALISASI PERNYATAAN EKSEKUSI PROYUSTISI PENANGKAPAN

SI 2 5 2 4 0 1 3

HA 2 3 4 11 1 0 9

PRO 0 4 0 1 0 1 21

RA 2 2 3 5 0 0 1

MA 0 4 0 1 0 1 21

WSP 3 10 1 2 0 5 23

ANS 2 1 6 6 0 0 1

TJP 0 0 0 3 0 0 0

TJG 1 1 1 0 0 0 0

TAP 2 1 0 5 0 0 1

TGJ 0 5 2 4 0 0 2

AC 1 1 1 0 0 0 0

AK 2 3 1 0 0 0 2

ANT 1 0 0 0 0 0 0

PM 0 4 1 2 0 0 0

JUM 18 44 22 43 1 8 84

Keterangan: SI (Serambi Indonesia), HA (Harian Aceh), PRO (Pro Haba), RA (Rakyat Aceh), MA (Metro Aceh), WSP (Waspada), ANS (Analisa), TJP (The Jakarta Post), TJG (The Jakarta Globe), TAP (The Atjeh Post), TGJ (The Globe Journal), AC (Aceh Corner), AK (Acehkita), ANT (LKBN Antara), PM (Pikiran Merdeka)

06

sharianewswatch 02/2012


Judul berita seperti di atas, tentu sangat menarik bagi pembaca. Apalagi bagi masyarakat menengah kebawah yang memang menjadi pasar media berhaluan kriminal seperti Pro Haba dan Metro Aceh. Judul sensasional yang kadang tidak sesuai dengan isi berita seakan menjadi lumrah bagi kalangan redaksi media-media tersebut padahal ada etika jurnalistik yang telah dilabrak. Seperti telah menjadi agenda setting dari media-media ini bahwa masyarakat tidak penting tahu bagaimana kejadian sesungguhnya, yang penting ada peristiwa penangkapan orang diduga berbuat mesum. Tidak ada pembelajaran yang bisa diambil dari berita selintas yang tak jelas akar persoalannya itu. Melabrak etika sama saja menyulut bara kebencian dan tuntutan hukum terhadap media. Tetapi boleh jadi SY, pemuda yang dilaporkan dalam berita diatas tak akan menggunakan hak jawabnya atau melayangkan surat keberatan ke Dewan Pers, karena mungkin dia tak paham mekanismenya. Jika model berita seperti ini terus dibiarkan terbit di media, maka bersiap sajalah akan ada tuntutan ataupun mungkin penyerangan terhadap jurnalis yang menulis berita yang tidak mematuhi etika sehingga merugikan pembaca atau narasumber. Selain tak menghormati etika, berita terkait penangkapan terduga pelanggar syariat juga banyak ditemukan hanya sekedar mengulas peristiwa. Media yang melaporkan suatu kasus tak mengkiritisi lebih jauh peristiwa yang dipublikasi. Misalnya berita “Mesum, Warga Tangse Diamuk Wargaâ€?, yang dimuat Harian Aceh pada 13 Maret 2012. Be­ rita itu bercerita tentang penangkapan seorang pria berusia 45 tahun yang sedang bertandang ke rumah seorang janda di sebuah desa di Pidie. Sang pria dipukuli hingga babak belur dan ke­duanya dimandikan dengan air com­beran. Alasan penangkapan hanya karena mereka sering dilihat warga sering jalan berdua, dan sang wanita berstatus janda. Dalam berita itu tidak disebutkan apakah keduanya sedang melakukan perbuatan mesum atau tidak, sehingga akhirnya mereka dihakimi warga. Yang dianggap paling menarik dari berita ini adalah proses penangkapan mereka.Padahal jika dibaca kembali ada

perbuatan warga yang tak patut dibiarkan yaitu penghakiman oleh massa. Ingin menegakkan peraturan daerah, tapi kok malah melakukan tindak pidana?

REPRO

Jurnalis yang mengutip komentar dari Kapolsek Tangse juga tidak menayakan tindak lanjut penghakiman massa. Tindakan pemukulan dan pemandian keduanya dengan air comberan adalah perbuatan tidak terpuji yang seharusnya tak boleh dibiarkan. Apalagi alibi yang menjadi dasar penggerebekan adalah untuk menegakkan syariat Islam. Jurnalis kadang terjebak pada suara terbanyak yang belum tentu benar. Bisa jadi warga yang mengerebek Rs dan memukulinya hingga babak belur itu iri karena tak bisa memikat hati wanita yang bersama Rs. Harusnya media juga tak boleh membiarkan penghakiman massa dengan dalih menegakkan syariat Islam. Selain berita penangkapan dan razia, berita terkait penerapan syariat Islam yang banyak disajikan media yaitu berita hanya bersumber dari komentar atau tanggapan dari pejabat atau tokoh masyarakat. Harian Aceh berada diposisi puncak yang sering membuat berita pernyataan dengan 11 berita, disusul harian Analisa dengan enam berita dan Waspada serta AtjehPost.com dengan lima berita. Berita-berita itu dibuat kadang hanya untuk menutupi agar kegiatan seremonial pejabat memiliki nilai berita saja karena tak dibarengi dengan kekuatan materi dan data, sehingga kebanyakan hanya berisi retorika yang tak dikritisi lebih lanjut. Sepertinya berita semacam itu hanya dibuat untuk kepentingan pencitraan dan juga kepentingan sang jurnalis dalam mengumpulkan kredit di medianya. Ada yang menarik dari pemberitaan

mengenai prosesi cambuk. Misalnya proses eksekusi cambut yang dilakukan Wilayatul Hisbah (WH) Kota Langsa padaJumat 9 Maret 2012. Tiga media yang melaporkannya yakni media online AtjehPost.com dan Acehcorner. comsertaAnalisa menulis berita yang sama persis kalimat per kalimat, dari mulai lead, tubuh berita hingga penutup berita serta kutipan narasumber. Harian Aceh juga memberitakan prosesi cambuk ini namun sedikit berbeda dalam pengolahan bahasanya, tak sama persis seperti ketiga media tersebut. Entah siapa yang melakukan plagiat, atau memang wartawan yang menulis berita ini bekerja di tiga media sekaligus hingga berita yang dikirimnya seragam? Atau mungkin ini rilis berita? Jikapun ini siaran pers, mustinya media berani menyebut langsung sumber beritanya. Isi berita juga sangat seremonial dengan menonjolkan prosesi cambuk dihadiri sejumlah pejabat, sehingga pembaca tak mengetahui jelas jenis perbuatan judi seperti apa yang akhirnya menyebabkan lima warga Langsa itu harus dicambuk dengan hukuman yang berbeda-beda. Tidak ada penjelasan detil terkait hal itu. Dalam empat bulan terakhir, media juga masih malas menyuguhkan beritaberita terkait proses peradilan para terdakwa pelanggar syariat Islam di Aceh. Hanya harian Waspada, Serambi Indonesia dan Pro Haba mulai menyajikan berita terkait proses hukum. Namun hanya sebatas pada putusan akhir, yang kebanyakan hanya bersumber pada jaksa. Berita-berita itu belum mampu menyajikan hasil persidangan secara utuh, dan mengkritisinya apakah prosesnya telah sesuai prosedur yang diatur dalam Hukum Acara atau tidak karena selama ini para tersangka jarang didampingi penasihat hukum. Sayangnya, selama kurun waktu empat bulan terakhir, media kita hanya mampu menjadi corong dalam memberitakan syariat Islam. Media yang dipantau Sharia News Watch masih suka memberitakan drama penangkapan atau aksi kekerasan massa, tapi tak menunjukkan rasa berempati seperti diharapkan Bill Kovack bahwa media tidak seharusnya mengangkat cerita-cerita memalukan dan sensasional agar menjadi pembelajaran bagi semua orang.[]

sharianewswatch 02/2012

07


GALERI

Giatnya pemberitaan syariat Islam di berbagai media yang terbit dan beredar di Aceh menyebabkan kondisi pemberitaan nyaris tak terkontrol. Persoalan etika kelayakan sumber serta independensi berita menjadi persoalan utama pemberitaan soal syariat Islam. Media yang masih mengabaikan soal etika dan nyaris “jualan� kekerasan mendorong lembaga pers – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh menggagas program pemantauan pemberitaan syariat Islam. Program yang mulai berjalan Januari 2012 lalu memantau sejumlah media yang memberitakan lika-liku penerapan syariat Islam. Selama pemantauan itu pula, kondisi pemberitaan masih belum beranjak dari persoalan klasik seperti penghakiman media massa. Workshop menjadi satu dari beberapa kegiatan program yang tujuannya meningkatkan kapasitas jurnalis dan mendorong kualitas pemberitaan yang sehat dan mendidik.

08

sharianewswatch 02/2012

Rapat koordinasi dan evaluasi dengan mentor Anggara Suwahju untuk menyempurnakan program Juni 2012. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh.

Sejumlah jurnalis media lokal yang terbit dan beredar di Aceh tengah mengikuti workshop peliputan dan pemberitaan syariat Islam bersama Nurdin Hasan, pada Juni 2012. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh

Dian Emsaci, peserta workshop jurnalis peliputan dan pemberita syariat Islam menyatakan pandangannya terhadap kondisi pemberitaan terkait syariat Islam, Juni 2012. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh.


sharianewswatch 02/2012

09


Review

NARASUMBER BERITA SYARIAT Oleh Despriani Zamzami

Nama-nama M Fadhil, Syamsuddin, dan Reza Kamilin, sudah tak asing lagi bagi jurnalis yang bekerja di Banda Aceh. Mereka adalah orang-orang yang selalu menjadi incaran awak mediaapabila kasus pelanggaran syariat Islam terjadi di ibukota Provinsi Aceh. Para jurnalis sudah “menunjuk” tiga nama ini menjadi narasumber utama yanglayak jika kasus pelanggaran syariat Islam terjadi. “Bahkan jika tak sempat ikut razia, mereka akan jadi sasaran telepon jurnalis untuk mengetahui kronologis dan detil peristiwa pelanggaran yang terjadi,” tutur Saniah LS, jurnalis yang ngepos di Kantor Satpol PP-WH Kota Banda Aceh dan kini bekerja di Koran Mingguan Harian Aceh. Ketiga nama itu adalah petinggi di jajaran Satpol PP dan WH. M Fadhil adalah Kepala Satpol PP-WH Kota Banda Aceh.Sementara itu, Reza Kamilin menjabat Kepala Tata Usaha Satpol PP/WH Kota Banda Aceh, yang notabenenya selalu berada dilapangan manakala razia dan operasi berlangsung. Sedangkan Syamsuddinmerupakan Kepala Seksi Pelanggaran Satpol PP-WH Provinsi Aceh. Menentukan narasumber untuk sebuah karya jurnalistik haruslah akurat, artinya sesuai topik yang digarap. Hubungan antara narasumber dan topik liputan harus diperhatikan. Wa­ wancara haruslah dilakukan

10

sharianewswatch 02/2012

pada orang yang kaya wawasan dan tepat dengan topik serta mudah ditemui untuk wawancara. Hendaknya hindarilah orang yang mudah ditemui tetapi tidak menguasai topik pembahasan. (Jurnalisme Investigasi: Dhandy Dwilaksono) Pembahasan kali ini, pemberitaan terkait isu syariat Islam dirangkum dari 15 media massa cetak dan online. Tim coding Sharia News Watch berhasil mengumpulkan 229 berita yang mewartakan syariat Islam di Aceh untuk periode Maret-Juni 2012.(Lihat Tabel 1) Dari pemberitaan itu, petu-

gas Wilayatul Hisbah (WH) adalah narasumber yang memiliki peringkat utama yang dipilih oleh juru warta untuk dimintai keterangan. (Lihat Tabel 2) Sejumlah jurnalis mengatakan karena pelaksanaansyariat Islam berhubungan erat dengan wilayah kerja Wilayatul Hisbah, sehingga mereka layak menjadi narasumber utama. Pada pemberitaan syariat Islam yang dihimpun dari 15 media lokal dan nasional, untuk periode Maret-Juni 2012, WH tercatat sebanyak 91 kali menjadi narasumber dalam pemberitaan syariat Islam.

Tabel 1 : Jumlah berita yang diterbutkan media pantauan periode Maret-Juni 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Media Hr Serambi Indonesia Hr Prohaba Hr Rakyat Aceh Hr Metro Aceh Hr Waspada Hr Analisa Harian Aceh Hr Pikiran Merdeka Hr The Jakarta Post The Jakarta Globe(Online) Acehkita.com The Globe Journal.com The Atjeh Post.com Aceh Corner.com Antara Aceh News.com Jumlah

Jumlah Maret 4 7 4 4 6 5 14 1 1 1 3 2 1 1 54

April 4 6 4 6 10 5 8 2 2 1 3 3 54

Mei 9 10 2 8 18 5 8 7 1 2 5 3 2 80

Juni 3 4 3 8 10 1 4 2 6 41


Narasumber Wilayatul Hisbah (WH) Polisi Tentara Hakim Jaksa Massa Ormas LSM Santri Pemerintah Akademisi

Bulan Maret 13 3 1 6 6 3 1 3 30 2

Dian Emsaci, reporter Harian Rakyat Aceh mengakui pihaknya mengutamakan petugas WH menjadi narasumber karena semua kasus pelanggaran sya­ riat Islam ditangani oleh polisi syariah. “Kalau dalam kasus implementasi di lapangan semisal razia, dan hal sejenis lain, pastilah yang kitamintai keterang­ an adalah WH, karena mereka pelaku utama dilapangan selain ada korban-korban dari razia tersebut,” jelas Dian. Dia menambahkan bahwa jika mengambil narasumber diluar itu, akan menimbulkan bias dan ketimpangan dalam pemberitaan bahkan tidak menutup kemungkinan akan terlihat keberpihakan sang jurnalis. Mursal, jurnalis Serambi Indonesia, mengatakan hal yang sama. Pemberitaan didasarkan pada peristiwa, sebut Mursal, tentulah akan mengutamakan narasumber yang menjadi “pemeran utama“ dalam penanganan peristiwa tersebut. “Saat ini kami khususnya di Serambi Indonesia, karena media harian, tentu mengutama­ kan peristiwa yang terjadi. Jika peristiwa yang terjadi itu bukan kasus yang begitu menonjol, maka itu akan menjadi peristiwa biasa. Misalnya razia WH, saat ini itu sudah menjadi peristiwa biasa dan hampir tidak pernah diikuti dengan berita ikutannya,” ujarnya. Pemberitaan tentang syariat Islam di Aceh, bagi sebagian

April 21 4 4 11 2 1 20 2

Mei 36 15 1 21 4 1 1 15 -

Juni 21 9 7 1 7 -

media terbitan Aceh, saat ini kerap sekadar menjadi berita biasa yang menuliskan peristiwa untuk memenuhi tugas media menjalankan fungsi informasi­ nya. Malah tidak jarang pembe­ ritaan berkaitan dengan sya­riat Islam, kini mendapat tempat sebagai berita kriminal biasa, yang kemudian akan mendapatkan porsi di halaman kriminal sebuah koran, seperti Pro Haba dan Metro Aceh. “Memang lebih sering beritaberita razia WH sekarang porsi­ nya lebih ke koran Pro Haba,” sebut Mursal. Pro Haba merupakan harian kriminal yang masih satu grup dengan Serambi Indonesia. Jika media ingin menjalan­ kan fungsinya sebagai pendidik masyarakat, pemberitaan sya­ riat Islam hendaknya tak sekadar menjadikan berita peristiwa rutin saja, melainkan juga harus diulas secara mendalam dan dianalisis secara kritis sehingga bisa mencerdaskan pembaca. Peringkat kedua yang dipilih para jurnalis untuk menjadi narasumber dalam pemberitaan syariat Islam ialah pejabat pemerintah. Pemerintah disini adalah kepala daerah mulai dari pejabat tingkat provinsi hingga aparat desa. Di sini juga termasuk kepala dinas terkait yaitu kepala dinas syariat Islam dan kepala kantor agama. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa ada 72 pemberitaan syariat Islam yang menjadikan pejabat pemerintah

Jumlah 91 31 2 10 45 10 3 4 72 4

sebagai narasumber. Hadirnya pejabat pemerintah sebagai narasumber karena ada beberapa kebijakan terkait syariat Islam yang menjadi pembahasan dan harus disosialisasikan kepada masyarakat. Misalnya dalam pemberitaan yang dilansir Analisa terbitan 5 Mei 2012. Dalam pemberitaan ini, Pj Walikota Banda Aceh menjadi narasumber utama. (Lihat Gambar 1) Namun lagi-lagi pemberitaan hanya sebatas informasi saja, dan jauh dari unsur sosialisasi yang bila ditelusuri bahwa makna sosialisasi adalah: upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat (Kamus Besar bahasa Indonesia Online).Tapi, dalam berita tersebut kurang informasi sehingga target sosialisasi tak maksimal tercapai. Bila hal itu terjadi, bisa saja dikatakan media menjadi corong pemerintah, memberitakan hanya sebatas apa yang dikatakan pejabat pemerintah semata, tanpa perbandingan dari narasumber lain. Akan menjadi sebuah informasi menarik jika dalam pemberitaan tersebut dimintai pula tanggapan masyarakat sebagai objek kebijakan dan proses pembangunan sebuah daerah. Alangkah lebih baik kalau diminta pendapat pakar baik dari aktivis maupun akademisi. Narasumber peringkat ketiga dalam pemberitaan syariat Islam di media yang dipantau adalah warga. Masyarakat seringkali dimintai keterangan pada pembe­ ritaan terkait dengan kasus dan peristiwa terjadi. Seperti pemberitaan Analisa terbitan 21 Mei 2012, dimana ada masyarakat yang mengeluhkan pantai sering dijadikan lokasi pelanggaran syariat Islam. (Lihat gambar 2). Tapi sayang, pada pemberitaan tersebut hanya satu anggota masyarakat saja yang dimintai keterangannya. Selain itu, tidak dimintai tanggapan dari peme­ rintahan, sehingga berita yang ditulis minim konfirmasi dan tak sharianewswatch 02/2012

11


Gambar 1 : Cuplikan pemberitaan Harian Analisa 5/5/2012

Gambar 2 : Cuplikan pemberitaan Harian Analisa 21/5/2012

Gambar 3: Cuplikan pemberitaan web acehkita.com 9/3/2012

berimbang. Bisa saja, keingin足an dan kebutuhan warga tersebut terlupakan penanganannya oleh pemerintah. Narasumber yang juga bagian penting dari pemberitaan syariat Islam adalah hakim dan jaksa. Namun justru kedua narasumber ini jarang ditemui dalam pemberitaan, padahal pelang-

12

sharianewswatch 02/2012

gar syariat Islam harusnya melalui proses penanganan hukum hingga si pelanggar mendapatkan vonis.(Lihat Gambar 3) Ini membuktikan bahwa pemberitaan satu kasus pelanggaran syariat Islam memang jarang diliput secara berkelanjutan, sehingga warga tidak memahami bagaimana proses

hukum yang berlaku terhadap pelanggar mulai dari ditangkap hingga mendapatkan vonis. Tak ayal hukum rimba dari massa sering dialami terduga pelanggar syariat tanpa bisa dihalangi oleh aparat hukum yang sebenar足nya. Dari data yang ada, unsur pemilihan narasumber sudah bisa dikatakan tepat, tetapi belum bisa menyeluruh. Seringkali jurnalis terjebak menulisstraight news, sehingga tidak jarang hanya mengandalkan satu narasumber, sehingga pembaca kurang tercerahkan.[]


Opini

Siapa Main Hakim Sendiri?

Oleh Fahmi Yunus

Saat darurat militer ditetapkan di Aceh, tahun 2003, pemberitaan media massa baik lokal maupun nasional memberikan porsi sangat kecil pada suara masyarakat. Mayoritas narasumber media berasal dari pihak-pihak resmi seperti penguasa darurat militer atau TNI. Suara masyarakat terpinggirkan karena kebenaran seolah-olah hanya datang dari otoritas berwenang saat itu. Media mainstream cenderung menurunkan beritaberita tak kritis, tanpa cover-both sides, dan minim verifikasi atau cek dan ricek. Pembenarannya: dalam status darurat militer ruang gerak media dibatasi, pemberitaan dipantau otoritas, media kehilangan independesi. Saat itu pula, tidak sedikit warga sipil dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau partisannya. Label separatis pun disematkan. Ada yang ditangkap hidup-hidup, ada pula yang tinggal nama. Tanpa pengadilan mereka langsung dihakimi, tanpa hakim mereka langsung divonis bersalah. Salah satu yang sempat menarik perhatian media massa adalah kasus penembakan Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) Aceh Utara, Teuku Adnansyah. Beberapa media meliput kasus ini dengan cara berbeda. Harian Kompas, 4 Oktober 2003, yang mengutip pernyataan pihak kepolisian cenderung membenarkan penembakan tersebut. Beliau memang sempat ditangkap polisi karena dituduh terlibat sebagai penyandang dana pihak GAM, tetapi saat akan dibawa ke kantor polisi disebutkan dia coba melarikan diri dengan melompat dari mobil, akibatnya polisi terpaksa menembak Adnansyah. Sementara majalah Gatra, punya cerita lain. Media ini menganggap alasan penembakan tersebut adalah janggal. Alasannya bagaimana mungkin korban bisa melompat dan lari dari mobil sementara ia saat itu juga diapit oleh dua petugas. Plus beberapa hal lain yang dianggap media ini sebagai keanehan. Contoh lain yaitu pemberitaan tentang terorisme. Ada masyarakat yang tidak tahu apa-apa, karena pernah punya hubungan dengan pelaku teror langsung dituduh media sebagai anggota jaringan teroris. Tanpa pengadilan, media memvonis mereka sebagai teroris. Serta masih banyak contoh kasus lainnya, seperti kasus korupsi dan kriminalitas lain. Dalam kajian jurnalisme dinamika seperti itu dikenal dengan nama trial by the media, atau penghakiman oleh media atau pers. Media mengkonstruksikan persepsi

baik bersalah atau tidak terhadap seseorang atau kasus sebelum adanya putusan pengadilan. Media seolah-olah menjadi hakim yang tanpa sadar telah terjebak dalam memutuskan kebenaran suatu perkara. Dampaknya jelas, terbentuknya opini publik baik itu maupun buruk terhadap seseorang, pencemaran nama baik hingga pembunuhan karakter. Dinamika seperti ini marak terjadi pada pemberitaan tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dengan menghadirkan judul sensasional dan bombastis, media sering memakai kata-kata seakan-akan pihak yang diberitakan telah terbukti melanggar syariat. Parahnya, selain menemukan berita antara judul dan isinya tidak konsisten, saya juga menemukan judul berita yang telah menegaskan terduga pelaku pelanggaran, seperti pelaku mesum. Parahnya saat ditelusuri isi beritanya lebih lanjut, tak ada satu bukti pun yang menjelaskan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar syariat. Bahkan para saksi yang diwawancarai juga tidak dapat membuktikannya. Berita-berita seperti ini jelas tidak ada verifikasi atau cek dan ricek langsung ke lapangan. Artinya berita yang kita baca tersebut, hanyalah berasal dari keterangan dengan para saksi, pelaku penggerebekan, atau aparatur pemerintah seperti WH dan Dinas Syariat Islam. Mengutip Entman—dengan menggunakan pisau analisis framing—media sering menyeleksi sumber berita, memanipulasi pernyataannya, tidak menampilkan fakta secara apa adanya namun diberi bingkai yang akan menghasilkan makna yang spesifik. Saya sering membayangkan bagaimana perasaan keluarga, anak, istri, suami, atau orang tua seseorang yang dituduh media telah melakukan tindak asusila atau kriminal, padahal dia belum terbukti bersalah. Atau mungkin tidak bersalah. Sadar atau tidak, media telah “terjebak� dan ikut dalam memberitakan penghakiman ala massa serta terkesan membenarkan tindakan-tindakan massa dan menulisnya dengan cara menghakimi pula. Kalau sudah begini siapa yang main hakim sendiri? Akhirnya, saban hari kita disuguhkan oleh pemberitaan syariat yang selalu menempatkan masyarakat sebagai pelaku pelanggaran, dan masyarakat adalah pihak yang paling mudah untuk disalahkan. Kondisi ini, hampir tak ada bedanya dengan pemberitaan di era darurat militer.[] sharianewswatch 02/2012

13


Review #ANALISIS FOTO

Antara etika dan sensasi Oleh Hotli Simanjuntak

Dalam fotografi ada satu pepatah terkenal: “Sebuah foto mewakili ribuan kata”. Tamsil ini tiada debat, karena memang kenyataannya sebuah foto mampu membuat deretan kata, merepresentasikan sesuatu lewat bahasa visual yang tergambar di dalamnya. Apalagi jika fotonya kuat secara konten dan sangat “berbicara”. Namun pepatah ini juga dapat menjadi bumerang, jika penikmat foto atau audiens menginterpretasikan sebuah foto berdasarkan bahasa masingmasing. Setiap penikmat memiliki interpretasi bebas terhadap sebuah foto yang terpampang dihadapannya. Bahkan dapat dengan bahasa yang sangat liar. Karenanya, dalam foto jurnalistik, ada cara tertentu untuk membatasi dan membingkai interpretasi audiens terhadap foto yang mereka amati. Caranya dengan memberikan caption atau keterangan foto. Dengan keterangan foto, audiens dipaksa untuk tidak keluar dari interpretasi yang diharapkan pemotret. Kalaupun masing-masing memiliki pemaknaan tersendiri terhadap sebuah foto jurnalistik, paling tidak masih terikat dengan caption yang disuguhkan oleh si fotografer. Itulah sebabnya seorang fotografer bisa dan memiliki kemampuan untuk menggiring opini audiens terhadap apa yang diinginkannya, lewat hasil karya. Ada banyak foto jurnalistik mampu membang-

14

sharianewswatch 02/2012

kitkan interpretasi publik terhadap sebuah peristiwa, positif maupun negatif yang berdampak pada per­ ubahan sosial di tengah masyarakat. Bahkan dapat mengubah opini publik secara global. Sebagai contoh, foto karya Kevin Carter yang memotret seorang gadis cilik kelaparan terlihat ditunggui oleh seekor burung pemakan bangkai ketika terjadi bencana kelaparan di Sudan, tahun 1993. Atau foto “The Tank Man” yang menggambarkan seorang mahasiswa yang berdiri membisu dan mencoba menghadang laju tank yang akan menggempur rekan-rekannya di lapangan Tianamen RRC. Foto-foto tersebut mampu menggugah opini publik baik secara sosial maupun politik. Foto Kevin Carter mampu mengubah pola hidup masyarakat dunia untuk selalu menghargai makanan, khususnya saat mereka makan bersama di meja makan yang mewah. Orangmulai berfikir bahwa ketahanan satu negara sangat bergantung dengan ketahanan pangan. Sementara foto “The Tank Man” mampu mengubah situasi politik di RRC sebagai negara komunis otoriter untuk lebih terbuka terhadap demokrasi, khusunya demokrasi global yang sedang tren pada masa itu. Pengaruh sebuah foto yang kuat ternyata mampu mengubah dunia.Namun penggiringan interpretasi melalui foto bukan tidak rentan terhadap kecurangan

oleh fotografer. Ada banyak dampak positif atau sebaliknya jika sebuah foto dimanfaatkan untuk kepentingan dan tujuan tertentu oleh kelompok tertentu pula. Ada banyak contoh foto digunakan bagi kepentingankelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Pencitraan melalui foto untuk menggiring opini masyarakat terhadap sesorang atau kasus tertentu sudah sering dilakukan. Bahkan secara terbuka. Dalam pemberitaan syariat Islam di Aceh, peranan foto jurnalistik dan foto jurnalis tidak lepas dari sensasi. Sudah bukan rahasia bagi kalangan foto jurnalis di Aceh, bahwa foto-foto bertemakan syariat menjadi tema bernilai jual. Khususnya bagi kantor berita asing semisal Associated Press(AP), Agence France Presse (AFP), Reuters, European Pressphoto Agency (EPA), kantor berita Jerman dan berbagai media massa asing lainnya. Hampir semua kantor berita maupun media asing tertarik dengan berita maupun foto-foto bertema syariatIslam dari Aceh. Sebut saja misalnya foto prosesi hukuman cambuk. Sama ketika konflik berkecamuk di Aceh, foto bertema perang laku jual saat itu. Kemudian juga foto pascabencana dan rekonstruksi di Aceh setelah tsunami delapan tahun silam, menjadi kisah yang digandrungi oleh media-media lokal, nasional maupun international. Media lokal di Aceh juga mempunyai ketertarikan yang


sama dalam menyuguhkan berita maupun foto bertema syariatIslam. Dari hasil coding data terhadap 12 media lokal di Aceh oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, hampir setiap hari ada berita dan foto bertemakan syariat Islamdimuat media yang dipantau. Namun miris, hampir semua foto yang ditampilkan di media selalu memperlihatkan orang-orang sebagai tersangkayang berurusan dengan polisi syariah. Dan lagilagi, hampir semua korban adalah perempuan yang terjerat dalam operasi penegakan syariat Islam maupun ketika tertangkap karena diduga melakukan mesum. Pantauan AJI Banda Aceh, selama Februari 2012 – Juni 2012, ada sekitar 52 foto bertema syariat Islam yang ditampilkan media. Dari 52 foto tersebut, 22 di antaranya memotret perempuan yang sedang menjalani pemeriksaan sebagai (diduga) pelanggar syariat oleh polisi syariah. Yang terbanyak memuat foto perempuan sedang dirazia adalah harian Metro Aceh dengan jumlah delapan foto.

REPRO Rakyat Aceh (23/5)

REPRO

Sebagian foto tak juga memenuhi unsur 5W + 1H. Penjelasan foto atau caption juga terlihat lemah dan justru mengarahkan pembaca untuk mengadili, bahwa orang yang ada di foto memang benar pelanggar syariat. Malah tak jarang foto ditampilkan secara vulgar dengan menonjolkan wajah maupun pakaian ketat melalui sudut pengambilan yang rendah. Efek yang timbul adalah cibiran dari pembaca terhadap objek foto. Padahal belum tentu orang tersebut bersalah saat tertangkap dalam razia penegakan syariat Islam. Penggiringan opini publik lewat berita foto seperti itu menimbulkan efek negatif bagi seseorang yang kebetulan tertangkap kamera. Hal ini agaknya kurang disadari oleh fotojurnalis, bahwa setiap karya foto yang dimuat di media pasti memiliki efek tertentu bagi orang lain, khususnya orang-orang yang berurusan dengan persoalan hukum, seperti hukum syariat Islam. Selain foto perempuan yang sedang menjalani interogasi, foto eksekusi cambuk merupakan foto paling banyak dimuat media. Media lokal, nasional dan internasional menempatkan foto cambuk sebagai representasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Bahwa benar, fotografer punya kewajiban memotret sebuah kebenaran, menjunjung tinggi hak masyarakat untuk memperoleh informasi visual dalam karya foto jurnalistik yang jujur dan bertanggung jawab. Namun perwarta foto juga memiliki kewajiban menjunjung tinggi kepentingan umum de­ ngan tidak mengabaikan kehidupan pribadi sumber berita. Ada beberapa etika yang harus dipatuhi oleh setiap foto jurnalis dalam bekerja, khususnya berkait­ an dengan hal-hal sensitif. Misalnya terkait foto kekerasan seksual yang melibatkan perempuan maupun anak-anak, fotografer harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah setiap narasumber yang ada dalam bidikannya. Fotografer harus menghindari visualisasi yang menggambarkan atau mengesankan sikap kebencian, merendahkan, diskriminasi terhadap ras, suku bangsa, agama dan golong­an. Kurangnya pemaham­ an etika foto jurnalis saat bekerja menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap mis-interpretasi audiens terhadap hasil karya foto jurnalistik, khususnya berkaitan dengan syariat Islam. Sensasi dan nilai berita terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditambah keinginan mencari ekslusifitas, kerap membuat fotografer lupa terhadapetika dan aturan-aturan yang harus diikuti saat bekerja di lapangan. Etika menjadi keharusan, sehingga fotografer dapat menghindari timbulnya interpretasi negatif dari karya yang dihasilkannya. Di zaman multimedia saat ini, fungsi fotojurnalistik bukan lagi sekadar pelengkap berita. Dengan etika fotografernya, peranan foto sudah jauh melebihi fungsi terdahulu. Selembar foto mampu mendatangkan perubahandunia dari fakta dan kejujuran yang diceritakannya melalui gambar, penuh warna-warni apa adanya.[] sharianewswatch 02/2012

15


Sekolah Jurnalistik

Pertama di Aceh

Menggali Talenta Mengasah Karya Jl. Angsa No. 23 Desa Batoh, Lueng Bata Banda Aceh, Indonesia Telp./Faks.: +62 651 637708 http://mjc.ajibanda.org email: mjc@ajibanda.org


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.