EDISI 01/2012
Masih Sekadar
Peristiwa
penerbitan ini didukung oleh
REVIEW
Kabur Fakta
hal. 04
ANALISIS
Luput Menulis Proses Hukum sharianewswatch 01/2012
01
hal. 06
salam. Aceh memasuki babak baru. Provinsi ujung barat Indonesia ini baru saja menyelesaikan tugas besar. Pemilihan umum kepala daerah atau Pemilukada pada 9 April 2012 lalu, sukses memilih pemimpin baru. Terlepas ada pihak tidak puas, yang pasti gerbong baru demokrasi Aceh akan mencerminkan visi dan misi serta strategi pembangunan Aceh ke depan. Era partai. Ya, begitulah terminologi yang muncul di lapangan. Selain calon gubernur dan wakil gubernur terpilih adalah yang diusung partai, bupati dan walikota juga dimenangkan calon dari partai, baik partai politik lokal maupun partai politik berbasis nasional. Hasil pemilihan menempatkan calon Partai Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Partai Aceh juga meraih kemenangan untuk beberapa bupati dan walikota di Aceh. Tentu saja, munculnya pemimpin baru akan banyak harapan. Rakyat menginginkan perhatian dengan jaminan keamanan dan kedamaian, juga kemakmuran. Rakyat tak cukup dengan suguhan kata ‘damai dan aman’, jika masih kelaparan dan melarat. Demikian juga dengan kebutuhan rohani seperti kehidupan spriritual dan informasi yang sehat dan cerdas akan memberi rasa tenang bagi mereka. Kehidupan keagamaan berlandaskan Islam, bagian yang bersenyawa dengan naluriah rakyat Aceh. Syariat Islam sebagai keharusan menjadi bagian integral bagi kebutuhan informasi. Juga informasi yang sehat dan berguna menjadi keniscayaan media yang sehat untuk disajikan kepada publik. Namun, ekspektasi masyarakat ternyata belum sepenuhnya diwujudkan media yang ada di Aceh. Kecenderungan media menyajikan sensasi dan berita yang tidak sehat menjadi kekhawatiran kita semua. Kondisi ini tak mungkin dibiarkan bila ingin masyarakat yang religius tidak terbelenggu dengan hal-hal negatif karena pengaruh pemberitaan media. Berdasarkan kenyataan inilah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh menggagas program pemantauan pemberitaan syariat Islam. “Program Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh” yang digagas AJI Banda Aceh ini sebagai bentuk kepedulian organisasi profesi terhadap kondisi pemberitaan syariat Islam di Serambi Mekkah. Program ini berusaha menghadirkan berbagai pantauan
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
riil, khususnya terhadap pemberitaan syariat Islam. Minimnya perhatian media terhadap hak publik dan hak korban menjadi catatan penting pemantauan AJI Banda Aceh. Hasil pantauan yang dituangkan dalam bentuk analisis media akan disajikan secara tertulis dalam bentuk newsletter yang diberi nama “Sharia News Watch”. Sharia News Watch (SNW) yang akan terbit enam kali dalam setahun berisi analisis pemberitaan sejumlah media yang dipantau. Nah, edisi perdana SNW ini adalah bagian dari lima edisi selanjutnya yang akan terbit hingga awal tahun 2013. Nama SNW telah melalui diskusi panjang dan mendalam sesama awak redaksi. Sharia adalah istilah bahasa Inggris yang melekat dengan objek berita yang dipantau. Sementara News Watch, dua istilah umum yang sering digunakan dalam penerbitan media pemantauan. Dalam edisi perdana dapat dinikmati kecenderungan media yang terbit dan beredar di Aceh belum menyahuti suara publik dan hak korban khususnya perempuan sebagai kaum yang sering dianggap “terpinggirkan dan tersuarakan”. Edisi ini juga menyajikan beberapa temuan yang selama ini memang sudah menjadi rahasia umum. Kecenderungan media menempatkan pejabat peme rintah sebagai narasumber utama adalah bukti bahwa pemberitaan media tentang syariat Islam belum berpihak kepada publik. Demikian juga, ketidakmampuan media memilah pemberitaan kriminal dengan Syariat Islam menjadi catatan penting bagi program pemantauan ini. Tentunya, newsletter edisi pertama ini tidak luput dari kekurangan. Karena itu, besar harapan kami, pembaca dan pemantau media untuk tidak segan-segan menyampaikan saran dan kritik bagi penyempurnaan newsletter SNW ke depan. Selamat membaca.[]
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh. Penanggungjawab: Mukhtaruddin Yakob. Editor: Nurdin Hasan, Adi Warsidi. Tim Penulis: Maimun Saleh, Daspriani Yuli Zamzami, Muhammad Riza Nasser. Sidang Redaksi: Alaidin Ikrami, Salman Mardira, Zulkarnaini Muchtar. Manajer Keuangan: Abdul Munar. Manajer Administrasi: Reza Fahlevi. Supervisi: AJI Indonesia. Dukungan dana: Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama. Alamat Redaksi: Sekretariat AJI Banda Aceh Jl. Angsa No. 23 Batoh, Banda Aceh. Telp: +62-651-637708 Faksimile: +62-651-637708 Website: http://mediasehat.ajibanda.org Facebook: ajibanda Twitter: aji_banda Foto cover; Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
02
sharianewswatch 01/2012
Kabar dari FGD
Jauh dari Harapan Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
Pada 21 Maret 2012 lalu, AJI Banda Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD). Diskusi kelompok terfokus itu adalah bagian dari rangkaian kegiatan program “Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh” disingkat Media Sehat Aceh (MSA). Acara sehari itu dihadiri perwakilan media terbitan Banda Aceh, para pemangku kepentingan di Aceh, dan kalangan akademisi. Tujuan FGD adalah untuk mencari masukan dan tanggapan terhadap hasil pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh pada 18 media cetak dan online. Hasil pendataan dan pemantauan periode Februari 2012 ditanggapi secara beragam peserta diskusi. Paparan hasil pemantauan disampaikan Ketua AJI Banda Aceh, Maimun Saleh di awal diskusi. Salah satu kesimpulannya, pemberitaan syariat Islam masih terbelenggu format pemberitaan kriminal sehingga pembaca seperti kurang tercerahkan. Kesimpulan serupa juga disampaikan Fahmi Yunus, pmerhati media di Aceh. Fahmi lebih menekankan metode pemantauan dan pembagian media menurut karakter masing-masing. Fahmi juga memberi beberapa catatan terhadap hasil pemantauan di antaranya validitas data sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dia menyambut baik inisiasi AJI Banda Aceh terhadap pemantauan media itu. Karena selama ini sangat sedikit lembaga pers yang peduli dengan kualitas pemberitaan media massa. “Ini langkah bagus bagi pembangunan media dan pemberitaan khususnya soal syariat Islam,” ujarnya. Untuk memperkaya referensi penelitian dan diskusi, AJI Banda Aceh mengundang Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers yang menangani pengaduan masyarakat dan penegakan etika media. Agus memberikan penekanan khusus pada metode dan hasil pemantauan yang menurutnya perlu fokus dan perbaikan. Selain itu, ia menyarankan perlu mapping atau pemetaan media yang dipantau dan pembagian space atau karakter media masing-masing. “Pemantauan media jangan bias, karena bisa menimbulkan persepsi berbeda dalam masyarakat,” katanya. Agus mendukung pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh yang dilaksanakan AJI Banda Aceh.
Oleh Mukhtaruddin Yakob Program ini, menurutnya, membantu tugas Dewan Pers secara tidak langsung. “Karena salah satu tugas Dewan Pers adalah mengawasi penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” katanya. Sementara penanggap lain memberikan berbagai masukan. Sayangnya, dari 20 peserta FGD yang hadir, hanya sebagian memahami atmosfir FGD. Dinas Syariat Islam Aceh hanya mengirimkan stafnya. Padahal, sehari sebelum acara, pihak Dinas Syariat Islam sudah positif dihadiri oleh kepala dinas. Kondisi serupa terjadi di kalangan media. Hanya acehkita.com yang dihadiri pemimpin redaksinya. Bahkan, penanggap aktif dari Harian Serambi Indonesia tidak memberikan respon terhadap undangan tersebut. Serambi bahkan tidak mengirimkan utusannya ke FGD. Untung kalangan akademis, unsur MPU Aceh, dan Satpol PP/WH Aceh mengutus kepala bidang, sehingga FGD bisa mendapatkan inti dari masukan yang harus diserap untuk penyempurnaan hasil pendataan dan bahan analisis media nanti. Sebagian peserta malah menggugat peran lembaga pers untuk menertibkan wartawan yang menurut mereka sangat meresahkan. Mungkin harapan peserta terhadap saluran “curhat” yang tersumbat dicurahkan dalam FGD itu. Padahal FGD ini tidak membahas perilaku media dan pekerjanya secara umum, namun khusus soal pemberitaan syariat Islam. Harapan terhadap lembaga “pengawas” selain Dewan Pers cukup tinggi, sehingga topik pembahasan sedikit keluar dari format diskusi. Namun, FGD pertama ini mendapatkan berbagai masukan penting. FGD pertama berjalan tak maksimal. Selain keter batasan pengetahuan peserta terhadap pendataan dan pemantauan media, ada mispersepsi di kalangan peserta terhadap posisi mereka. Padahal, dalam undangan sudah disampaikan bahwa peserta merupakan para pihak yang memiliki otoritas di lembaga masing-masing. Kenyataannya, yang hadir tidak semuanya personal yang memiliki kewenangan dan pengambil kebijakan di lembaganya. Sehingga, harapan mendapatkan masukan dan tanggapan kritis tidak berjalan maksimal. Kondisi ini akan menjadi bahan evaluasi dan perbaikan pada diskusi berikutnya.[] sharianewswatch 01/2012
03
Review #BAHASA
Kabur Fakta
Halus dan kasar pemberitaan syariat Islam menyampingkan fakta dan etika.
Oleh Maimun Saleh
Pelaksanaan syariat islam di Aceh, menjadi isu penting yang terus disorot media massa. Sepanjang Februari 2012, tercatat 70 berita disajikan 18 media berbasis teks baik cetak maupun online terbitan nasional dan lokal yang dipantau Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh. Kajian ini fokus pada gaya bahasa yang menjadi tren pemberitaan. Secara kuantitatif, ditemukan eufemisme (penghalusan) ada delapan berita. Temuan itu menarik di bahas, setidaknya untuk memperlihatkan misrepresentasi; ketidaktepatan penggam baran, ketidakbenaran penyampaian fakta, kekeliruan menyampaikan pesan. Media sebagai sarana komunikasi massa, punya andil besar dalam pencitraan kondisi, pembangunan opini dan sikap pembacanya. Setiap kata yang disuguhkan terikat makna. Eufemisme dan disfemia (pengasaran), adalah pilihan redaksi dalam menyimpulkan peristiwa. Sebagaimana diketahui, gaya bahasa REPRO
04
sharianewswatch 01/2012
dalam media merupakan kesepakatan kolektif. Sebelum berita disajikan pada khalayak, tentu melewati jenjang struktural dan mekanis. Berdasarkan logika itu, maka diksi mewakili wacana redaksi dan bahasa menyiratkan perspektif pengelola media. Eufemisme, dalam sastra hal lumrah. Peristiwa dan fakta muncul dari imajinasi. Seringkali pula bertujuan menghalus cita rasa diksi, misalnya; penis diganti kemaluan, senggama disebut bercinta, perkosaan ditulis menggagahi. Praktik berbahasa ini, lazim dipakai agar tidak berbenturan dengan tabu serta budaya masyarakat. Bahasa lugas, bahkan cenderung dipahami tidak sastrawi. Dalam musik, eufemisme juga bertujuan agar tidak transparan supaya tidak tabrakan dengan tata nilai yang tumbuh di tengah ma syarakat. Bahasa yang memunculkan ragam interprestasi justeru menjadi pemikat. Mau contoh? “Aku sedang ingin bercinta, karena mungkin ada kamu di sini.” Kata bercinta dalam lirik tembang Dewa 19 itu berarti apa? Senggama, bercumbu, atau apa. Apapun interprestasi anda, jelas tidak berefek meningkatnya kekerasan, seks bebas atau pemerkosaan. Bagaimana bila eufemisme jadi pilih an media? “Menjadi masalah ketika peng halusan dipakai menandai dan menamai suatu realitas,” tulis Eriyanto dalam buku nya Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2008). Praktik eufemisme sering rawan penga buran fakta dan berpeluang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 1 mengharuskan, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sementara
REPRO
pasal 3 berbunyi, ”Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Pada 18 Februari lalu, harian Prohaba menstigma pria berinisial AI, 70 tahun dan perempuan berinisial RN, 50 tahun. Eufemisme, pertama ditempatkan pada judul; Kakek dan Nenek Juga Dimandikan. Kata dimandikan itu sesungguhnya berarti; menyiram tubuh dengan air bermaksud membersihkan. Tapi fakta, dalam beritanya, menyiram dengan air sumur pukul 21:30 WIB sebagai penghukuman. Aksi massa di Meunasah Krueng, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, itu seakan kebenaran. Pembenaran kekerasan selanjutnya, di lindungi dengan eufemisme; pengadilan ala gampong. Sesungguhnya, pengadilan formal maupun adat punya prosedur dan struktur. Tak ada keterangan korban amuk massa maupun masyarakat tentang peristiwa tersebut. Namun, publik akan menganggap AI dan RN adalah pendosa yang pantas diperlakukan demikian, hanya karena AI bertamu saat maghrib tiba. Berita tersebut juga tidak menyebutkan secara jelas apa salahnya kedua warga itu. Selain pengadilan dan dimandikan, media sering menggunakan diksi diamankan, krisis moral, pemberdayaan, kelakuan miring, gauli dan penegakan. Eufemisme sering terlihat dalam pemberitaan peristiwa dan pernyataan pejabat berwenang. Acap kali bertujuan membenarkan kekerasan dan stigma. Kata-kata itu pula yang hingga saat ini menjadi justifikasi massa melakukan aksi kekerasan. Pengaruh media kriminal Kuantitas pemberitaan syariat Islam di dominasi media berhaluan kriminal. Tak ayal, rangkaian kata yang disajikan pada pembaca dengan cita rasa negatif, keras dan tabu. Lihat saja contoh judul; Kuli Bangunan Kencani Janda Jablay di Rumah. Kata kuli, jelas terasa kasar dibandingkan buruh atau pekerja. Kata kuli dipilih seakan-akan untuk mengidentikkan pekerjaan yang dipandang rendah dengan kelakuan amoral. Jablai sendiri merupakan akronim dari jarang dibelai. Makna jarang, berarti pernah
kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. —Bill Kovack—
atau sekali-kali. Bila digabung, kata janda dan jablai berarti ingin mengarahkan pembaca, bahwa si janda merupakan perempuan asusila. Namanya saja janda, sudah pasti tak ada lagi yang membelai. Ditemukan pula media dengan karak teristik memilih kata lokal. “Empat pemain domino dibeureukah,” judul salah satu media lokal haluan kriminal. Kata itu sendiri dalam bahasa Aceh berarti sepadan dengan diciduk. Artinya, tetap saja kasar. Harusnya memakai; didrop (ditangkap). Pengasaran (disfemia), memang karak ter lazim model bahasa media berhaluan kriminal. Wijana dalam bukunya; Semantik (1999) menyatakan disfemia merupakan penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan yang mempunyai nilai rasa tidak sopan atau yang ditabukan. Digunakan untuk menegaskan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum dan akibat yang diterima oleh pelaku kejahatan tersebut. Dalam konteks pemberitaan syariat Islam, sulit membedakan pelanggaran qanun dan kriminal. Periode pemantauan 1-29 Februari tercatat, 20 berita menggunakan disfemia. Baik eufemisme dan disfemia, sama-sama mengaburkan fakta, jika begitu jelas bertentangan dengan kode etik. Mungkin baik sebagai jurnalis, sejenak merenung bagaimana seharusnya mem beritakan syariat Islam. Kata Bill Kovack, “kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.” sharianewswatch 01/2012
05
Review #ANALISIS Isu Syariat di Media
Luput Menulis Proses Hukum
Oleh Riza Nasser
Pemberitaan terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih menjadi sorotan yang menarik bagi media dan pembaca. Tak hanya di Aceh, tapi juga bagi beberapa media nasional dan internasional. Apalagi hanya Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara parsial sejak 2001 lalu meski undang-undang tentang itu ditetapkan tahun 1999. Ide awal pemberlakuan syariat Islam di Aceh dianggap bagian upaya penyelesaian konflik ber senjata. Kendati pencanangan pemberlakuan syariat Islam secara kaffah dilakukan pada 2001, tetapi aturan pelaksananya berupa qanun baru disahkan tahun 2003. Sejak itu, berita tentang kasus mesum, judi, minuman keras, prosesi cambuk dan pelanggaran syariat menjadi primadona tersendiri bagi sejumlah media massa. Sepanjang Februari 2012, Sharia News Watch memantau pembe ritaan tentang syariat Islam pada 18 media baik cetak dan online di Aceh dan nasional. Media cetak yang dipantau itu adalah Serambi Indonesia, Harian Aceh, Rakyat Aceh, Metro Aceh, Prohaba, Tabloid Modus, Waspada, Analisa, Kompas, Republika, Media Indonesia, The Jakarta Post dan Koran Tempo. Sedangkan, media online yaitu acehkita.com, acehcorner.com, atjehpost.com, theglobejournal.com, dan thejakartaglobe.com. Selama Februari, terdapat 70 berita terkait syariat Islam meng hiasi wajah media. Berita terkait penangkapan warga yang diduga melanggar syariat jadi isu terba nyak diproduksi media. Prohaba
06
sharianewswatch 01/2012
paling getol memberitakan soal pe nangkapan dengan 10 berita. Posisi kedua ditempati media beraliran serupa, Metro Aceh, delapan berita. Berita penangkapan juga disajikan atjehpost.com dan The Jakarta Post, masing-masing satu berita. (lihat tabel). Dari 10 berita yang dimuat Prohaba, sembilan di antaranya berita penangkapan warga yang diduga berbuat mesum. Satu lagi, penangkapan warga yang kedapatan berjudi. Harian Metro Aceh juga serupa. Dari delapan berita pe nangkapan, tujuh di antaranya adalah terduga mesum dan satu berita terkait judi. Atjehpost.com juga memuat kasus penangkapan terduga mesum. Sementara harian berbahasa Inggris The Jakarta Post memuat penangkapan anak punk di Banda Aceh yang dikemas dalam bentuk news feature. Berita penangkapan warga yang diduga berbuat mesum masih memprihatinkan. Media lebih ba nyak mengutip pernyataan resmi pejabat Wilayatul Hisbah atau tetua gampong. Saksi mata atau orang yang dituduh pelaku nyaris tidak diwawancarai. Akibatnya suara me reka terpinggirkan. Misalnya berita “Nginap di Rumah Pacar, Mekanik Motor Dibereukah” yang dimuat Prohaba edisi 14 Februari 2012 di halaman utama. Berita itu berisi penangkapan pria berinisal ZA yang menginap di rumah pacarnya di Desa Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. ‘Sekitar pukul 02.30 WIB petugas kami menjemput keduanya dan membawa mereka ke markas Satpol PP dan WH Banda Aceh,’ kata
Fadhil, Kasatpol PP dan WH Banda Aceh,” tulis Prohaba. Rekonstruksi peristiwa berdasarkan wa wancara dengan Fadhil ditulis dengan runut wartawan Prohaba. Padahal saat kejadian sang wartawan tak berada di lokasi, dan mewawancarai Fadhil esok pagi. Tidak ada satupun kutipan dari orang yang dituduh sebagai pelaku pelanggar syariat dalam berita itu. Akibatnya berita tak berimbang. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik mewajibkan wartawan untuk menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Dalam penafsiran pasal kode etik itu, akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika suatu peristiwa terjadi. Sementara berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Hasudungan Sirait, jurnalis dan pengajar jurnalistik, dalam buku “Jurus Menulis dan Mengelola Media Komunitas,” menyebutkan, dasar pemilihan narasumber untuk tulisan apapun adalah kompetensi. Pelaku atau korban berada pada kasta tertinggi dalam derajat kompetensi narasumber. Dengan demikian, ada derajat kompetensi narasumber sesuai keterlibatannya. Semakin terlibat seseorang dalam satu peristiwa, maka ia kian pantas dijadikan narasumber. Hasudungan merunut, yang pertama layak menjadi narasumber adalah pelaku dan korban. Suara pelaku juga punya nilai yang tinggi sebagai penyeimbang atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dari 10 berita penangkapan orang yang dituduh mesum yang ditulis Prohaba, hanya satu berita yang memuat keterangan terduga pelanggar syariat. Berita berjudul “Kuli Bangunan Kencani Janda Jablay di Rumahnya” mengisahkan tentang penangkapan dua pelaku mesum yang didasarkan atas laporan istri RS, pria yang diduga bercinta dengan K di rumah RS, yang belakangan diketahui berstatus janda tiga anak. Saat peristiwa itu terjadi, istri RS tak di rumah.
bendung berkembangnya aliran sesat. “Aliran sesat di Aceh saat ini berkembang pesat, mereka masuk dari berbagai lini, sehingga dibutuhkan pemagaran yang kuat dari para ulama juga keluarga, sehingga tidak sampai menjerumuskan generasi Aceh ke dalam Aqidah yang salah,” kata Nazar seperti ditulis Waspada. Pernyataan Nazar dalam kesem patan haul seorang tokoh ulama di Aceh Selatan itu tak dikritisi lebih jauh oleh media ini. Harusnya media menguatkan pernyataan itu dengan data berapa jumlah generasi muda Aceh yang telah terjerumus ke dalam aqidah salah. Apa saja aliran sesat yang berkembang di Aceh selama ini? Bagaimana antisipasi yang telah dilakukan otoritas terkait? Ingat, fungsi media tak sebatas menyampaikan informasi. Ada unsur edukasi yang harus dipenuhi, dalam menyajikan setiap berita. Riset data juga dibutuhkan agar berita yang disajikan tak kering dan bernilai sehingga tidak menjadi berita sekadar omongan saja alias talking news. Isu yang tak terlalu menarik bagi media dalam kurun waktu Februari 2012 adalah berita terkait proses hukum terduga mesum yang masuk ke pengadilan. Dari 70 berita yang dimuat media lokal dan nasional, hanya dua berita pada Prohaba yang mengangkat tentang proses hukum pengadilan. Berita itu berjudul “Kasus Mesum Mahasiswa ke Jaksa” dimuat di halaman utama pada 8 Februari 2012 dan “Lima Cambukan untuk Mahasiswa Mesum”
Prohaba memberikan “ruang” bagi keduanya untuk bicara dalam berita itu. Malah menyajikan perdebatan kedua orang yang diduga melakukan mesum itu secara blak-blakan. “Saya tahu dia janda di kantor polisi, setelah dia meng aku sudah mempunyai anak dua,” tulis Prohaba mengutip RS, dalam beritanya. Selain berita menyangkut penang kapan, berita terkait sosialisasi dan kendala dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh juga banyak diberitakan media. Sharia News Watch mencatat ada 20 berita berisi pernyataan. Media yang terbanyak memuat pernyataan adalah Waspada dengan delapan berita, diikuti Rakyat Aceh tujuh laporan dan thejakartaglobe.com, Metro Aceh, Analisa dan theglobejournal.com masing-masing satu berita. Dari berita-berita itu beberapa di antaranya hanya bersifat talking news yang hanya mengutip komentar pejabat atau tokoh, yang kadang tak berbading dengan realitas dalam ma syarakat. Media cenderung malas mengkomparasikan pernyataan pejabat dengan data dan mengutip pernyataan itu mentah-mentah. Contohnya berita berjudul “Wagub: Aliran Sesat di Aceh Berkembang Pesat,” yang dimuat Waspada pada 6 Februari 2012 halaman C2 Rubrik Aceh. Dalam berita itu, Muhammad Nazar mengatakan bahwa saat ini Aceh disusupi sejumlah ajaran yang menyimpang dari Islam sebagai aga ma mayoritas warga Aceh. Dia meng ingatkan ulama dapat berperan mem
yang dimuat pada 10 Februari 2012. Sayangnya isu yang terpinggirkan dan kalah seksi ketimbang penangkapan terduga mesum juga tak bersumber dari observasi wartawan di persidangan atau mewancarai terdakwa. Lagi-lagi berita bersumber dari hasil wawancara pejabat, yakni Kepala Satpol PP dan WH Provinsi Aceh, Marzuki. Proses hukum penegakan syariat yang sedang berjalan seharusnya bisa menjadi isu menarik untuk diliput. Media belum mau mengkritisi hal-hal yang terjadi di tengah masyarakat. Misalnya apakah proses pengadilan sudah sesuai dengan hukum acara pidana? Apakah penangkapan para terduga mesum oleh warga dan WH sudah sesuai prosedur? Apakah layak pelanggar syariat dimandikan air comberan? Atau apakah telah sesuai syariatkah penzina dicambuk? Kenapa selama ini yang dihukum cambuk hanya terkesan rakyat biasa, sementara pejabat, politisi, anggota TNI dan polisi yang melanggar syariat tidak pernah terdengar dicambuk? Dari itu pula dapat dilihat bahwa berita-berita terkait penegakan syariat Islam yang dimuat media masih jauh dari apa yang diharapkan. Satu fungsi media sebagai alat kontrol sosial dalam pelaksanaan syariat Islam dapat dikatakan masih lemah. Media dalam pemberitaan syariat baru mampu sebagai pemberi in formasi saja dan belum bisa menjadi alat kontrol sosial, padahal media merupakan pemegang mandat pilar keempat demokrasi.[]
2
5
1
2
10 12
1
16
8 14
-
9
Kompas
Analisa 3 1
4
-
-
-
-
1 2
1 1
3
1
1
9 17 20
1
4
1 1
1
2
2
1
sharianewswatch 01/2012
2
JUMLAH
Acehkita.Com
The Atjeh Post.Com
1 8
Koran Tempo
Media Indonesia
Republika
Waspada
1
Aceh Corner. Com
4
The Globe Journal.Com
1 8 7
The Jakarta Globe.Com
Modus
Prohaba
1
The Jakarta Post
2 1
Metro Aceh
Rakyat Aceh
CAMBUK RAZIA SOSIALISASI PERNYATAAN PELAKSANAAN EKSEKUSI PELAKSANAAN PROJUSTISIA PENANGKAPAN JUMLAH
Serambi Indonesia
Isu
Harian Aceh
Isu Pemberitaan Syariat Islam di Media
20 71
07
FOTO
08
sharianewswatch 01/2012
Warna-warni Penerapan
Syariat Islam di Aceh Foto-foto: Suparta AZ
sharianewswatch 01/2012
09
Review
#TRENLIPUTAN
Oleh Despriani Zamzami
S
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
10
sharianewswatch 01/2012
ejak disahkan pemberla kuan syariat Islam di Aceh melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan dideklarasikan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah pada 2001, pem beritaan implementasi syariat Islam menjadi primadona bagi media massa. Apalagi setelah empat qa nun terkait syariat Islam disahkan pada 2003, pemberitaan tentag syariat Islam pun semakin digandrungi berbarengan dengan konflik bersenjata yang cukup memanas dalam kurun waktu tersebut. Berita-berita pelaksanaan syariat Islam tak hanya menghiasi media lokal, tapi juga media nasional, bahkan internasional. Misalnya, jurnalis berbon dong-bondong meliput ekse kusi hukuman cambuk pertama bagi pelaku pelanggaran syariat Islam di Kabupaten Bireuen. Seperti diketahui bahwa
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
Bireuen tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perjudian (Maisir). Belasan warga yang didakwa melanggar syariat Islam dihu kum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen dengan disaksikan ribuan warga dan diliput besar-besaran oleh jurnalis dalam dan luar negeri pada 24 Juni 2005. Syariat Islam dan imple mentasinya tetap menarik di beritakan dari pelanggaran sampai sanksi hukuman cam buk. Sejak tahun 2001 hingga 2012, pemberitaan syariat Islam tak pernah ditinggalkan. Jika di awal-awal penerapan syariat Islam di Aceh, banyak media mengupas dengan ber bagai metode penulisan berita, tapi kini pemberitaan tidak lebih dari sekadar memberitakan peristiwa yang terjadi melalui sebuah kasus. Melalui pemantauan penu lisan berita syariat Islam terhadap 18 media yang dilakukan
AJI Banda Aceh, pada periode 1-29 Februari 2012, ditemukan 70 pemberitaan terkait implementasi syariat Islam di media lokal, regional, dan nasional— termasuk media online. Sebagian besar pemberitaan ini ditemukan pada media lokal atau 77,14 persen. Media-media itu adalah Harian Serambi Indonesia, Harian Rakyat Aceh, Harian Prohaba, Harian Metro Aceh, Harian Aceh, acehkita. com, acehcorner.com, theglobejournal.com dan atjehpost.com. Sedangkan, beberapa media regional (terbitan Medan, Sumatera Utara, namun memiliki halaman Aceh) dan media nasional hanya ditemui beberapa berita saja. (Lihat Tabel 1) Daud Ali Muhammad da lam bukunya Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, menulis, syariat dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat ada lah seperangkat norma Ilahi
Tabel 1: Jumlah Pemberitaan Masalah Syariat Islam No
Nama Media
Jumlah Berita
1
Harian Serambi Indonesia
5
2
Harian Rakyat Aceh
16
3
Harian Prohaba
12
4
Harian Metro Aceh
14
5
Harian Aceh
1
6
Acehkita.com
2
7
Acehcorner.com
1
8
The Globe Journal.com
2
9
Atjehpost.com
1
10
Tabloid Modus
-
11
Harian Waspada
9
12
Harian Analisa
4
13
Harian Kompas
-
14
Harian Republika
-
15
Harian Media Indonesia
-
16
Koran Tempo
-
17
The Jakarta Post
1
18
The Jakarta Globe.com
2
Jumlah
70 sharianewswatch 01/2012
11
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubung an manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi tersebut berupa ibadah yang mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung dengan Tuhan, dan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Syariat Islam di Aceh, meskipun sudah disahkan qanun (peraturan daerah), tapi dalam implementasinya tak semua daerah menggunakan sebagai rujukan. Pelaksanaan qanun itu tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat dan kalangan praktisi hukum me nanggapi pro-kontra. Beberapa alasan yang mendasarinya an tara lain; pelaksanaan qanun dinilai diskriminatif, hanya membidik masyarakat kecil. Ada yang menganggap seharusnya qanun tentang korupsi diberlakukan lebih dulu kareAbdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
12
sharianewswatch 01/2012
na paling merugikan rakyat banyak dibandingkan empat qanun yang mengatur syariat Islam. Penerapan syariat Islam menimbulkan perdebatan ber bagai kalangan. Setidaknya ada tiga permasalahan yang dipandang paling mencolok. Pertama, masalah menyangkut kehendak politik (political will) pemerintah daerah mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, implementasi syariat Islam terkesan kurang maksimal, diskriminatif, tidak adil, dan bias. Dan terakhir, adanya dualisme dasar hukum antara hukum positif yang berlaku secara nasional dan syariat. Qanun yang mengatur soal syariat diyakini masih mengandung sejumlah kekurang an. Misalnya dalam Qanun Nomor 12/2003 tentang Khamar yang masih tidak tegas sanksi bagi si pemilik atau penjual minuman keras tersebut. Dari sisi pemberitaan me dia, sepanjang Februari 2012, tak ditemui adanya pemberi
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
taan yang memberikan pen jelasan mendalam kepada masyarakat akan implementasi syariat Islam, selain daripada peristiwa penggerebekan dan patroli yang dilakukan petugas Polisi Syariat Islam (Wilayatul Hisbah) dan Satuan Polisi Pamong Praja. Pemberitaannya pun hanya dikemas dalam bentuk berita lugas alias straight news, sangat jarang ditulis dalam bentuk feature atau karangan khas atau bahkan laporan dalam bentuk in-depth, apalagi investigative report. Dari 18 media yang di pantau AJI Banda Aceh, ter dapat 64 dari 70 berita ditulis dalam bentuk straight news atau sekitar 91,43 persen. Selebihnya atau enam laporan ditulis dalam bentuk news feature. (Lihat Tabel 2) Beberapa jurnalis yang ber tugas di Dinas Satpol PP-WH Kota Banda Aceh, mengaku jarang menulis features dalam kaitan pemberitaan syariat Islam, karena terbatasnya wak tu liputan yang selalu dekat dengan deadline. Dian Emsaci, jurnalis Rak
yat Aceh/Metro Aceh, mengaku deadline yang terlampau cepat, membuatnya lebih sering menulis straight news ketimbang feature. “Koran kami dicetak di Medan, jadi deadline sangat sempit jaraknya dengan waktu peliputan. Setiap hari deadl ine adalah pukul 16.00 WIB, sementara waktu listing pukul 13.00 WIB, sehingga saya hampir tidak pernah punya waktu mencari informasi lebih jauh tentang satu kasus terkait pelanggaran syariat Islam, misalnya melakukan wawancara dengan pelaku atau korban,” ungkap Dian. Hal senada juga diungkap
kan Saniah, LS, kontributor Serambi Indonesia (saat proses pemantauan pemberitaan pada Februari 2012, Saniah masih bekerja di Serambi Indonesia, red). Selain jarak deadline yang sempit dengan waktu peliputan di lapangan, Serambi Indonesia memiliki ruang sangat terbatas untuk laporan feature. Wakil Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, Asnawi Kumar, mengatakan, sistem pengemasan berita “secara multi-angle” untuk satu isu yang menonjol di harian itu juga menjadi alasan sempitnya peluang bagi news features. “Multi-angle tidak hanya
Dari 18 media yang dipantau AJI Banda Aceh, terdapat 64 dari 70 berita ditulis dalam bentuk straight news atau sekitar 91,43 persen.
Tabel 2: Jumlah Pemberitaan Berdasarkan Jenis Berita No
Nama Media
1
Jenis Berita Straight News
News Feature
Indepth Reporting
Harian Serambi Indonesia
5
-
-
2
Harian Rakyat Aceh
16
-
-
3
Harian Prohaba
12
-
-
4
Harian Metro Aceh
10
4
5
Harian Aceh
1
-
-
6
Acehkita.com
2
-
-
7
Acehcorner.com
1
-
-
8
The Globe Journal.com
2
-
-
9
Atjehpost.com
1
-
-
10
Tabloid Modus
-
-
-
11
Harian Waspada
9
-
-
12
Harian Analisa
4
-
-
13
Harian Kompas
-
-
-
14
Harian Republika
-
-
-
15
Harian Media Indonesia
-
-
-
16
Koran Tempo
-
-
-
17
The Jakarta Post
-
1
-
18
The Jakarta Globe.com
-
1
-
Jumlah
70
berlaku untuk halaman satu, tapi juga untuk setiap headline di semua halaman. Jadi jika ada suatu peristiwa yang sifatnya tidak menonjol, agak susah mendapat tempat jika ditulis dalam bentuk features, jadi hanya ditulis straight news saja,” kata Asnawi. Minimnya penulisan fea tures dan laporan yang agak mendalam membuat pendapat masyarakat menjadi minim di tampilkan dalam media massa, terutama suara korban. Selanjutnya, masyarakat “terpaksa” membaca laporan kurang komprehensif tentang syariat Islam. Mereka hanya sekadar tahu sebuah peristiwa: pelang garan lalu hukuman cambuk, bukan fakta di balik peristiwa tersebut. Jarang sekali media menu liskan atau mengulang penulis an awal mula syariat ada, juga kenapa hanya khalwat, maisir dan khamar yang masuk kategori dalam syariat dengan cambuk sebagai hukumannya. Fungsi edukasi tak diperankan media dengan benar. Masyarakat awam kemu dian (mungkin) mengangap syariat Islam hanya pada tataran khalwat, maisir dan khamar. Padahal syariat pu nya pengertian luas dalam kehidupan umat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia lain maupun manusia dengan benda dan alam lingkungannya. Pertanyaan pun muncul, apakah syariat Islam benarbenar sudah terimplementasikan dengan baik di kalangan masyarakat atau belum sama sekali? Mungkin juga masyarakat Aceh tidak mau tahu akan aturan syariat Islam yang sudah diberlakukan. Media massa punya tanggung jawab mengurainya.[] sharianewswatch 01/2012
13
Opini
Kekerasan oleh Media
Oleh Fahmi Yunus
Saya tidak dalam posisi pro atau kontra merespon perdebatan tentang penerapan syariat Islam di Aceh yang dikaitkan dengan perilaku kekerasan atau bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM) yang sempat dimuat beberapa media cetak. Saya justru ingin mengambil posisi bahwa kekerasan sebenarnya dilakukan oleh media cetak itu sendiri. Apa pasal? Begini, dalam kajian ilmu komunikasi kita mengenal analisis semiotika atau kajian tentang tanda dan yang berkaitan dengan cara berfungsinya, bahkan hubungannya. Mengutip Yasraf A Piliang dalam Transpolitika, Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualitas (2005), kekerasan semiotika adalah kekerasan yang terdapat pada ungkapan bahasa atau tanda itu sendiri. Misalnya, kata-kata “libas” atau “habisi” atau gambar-gambar korban kekerasan yang ditampilkan secara terbuka dan vulgar. Untuk pemberitaan tentang syariat Islam, tidak sedikit saya temukan penggunaan kata-kata seperti “dibajak”, “seret”, “garap”, “aksi bar-bar”, dan lain-lain. Tidak cukup itu, potensi kekerasan hadir melalui pemberitaan yang mengutip pernyataan narasumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, hanya karena narasumber tersebut memiliki legitimasi jabatan. Ditambah pemberitaan antara judul dan isi berita yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
14
sharianewswatch 01/2012
Masih ada fakta-fakta lain yang menarik, beberapa media cetak pada periode Februari 2012 melakukan dramatisasi hingga pelabelan atau labelisasi. Bukti-bukti kekerasan antara lain mengutip kata-kata kontroversial plus pemilihan kata-kata bermakna ganda. Memang tidak semua media yang dipantau mempunyai kecenderungan penggunaan kata seperti ini. Saya mendapatkannya pada mediamedia ProHaba, Rakyat Aceh dan Metro Aceh. Simak saja juduljudul seperti, “Suami Garap Janda di Rumah Istri”, “Naas Sepulang Mengaji Dua Pelajar Digimbali…”, “Massa Seret Pasangan Mesum..”, “Kuli Bangunan Kencani Janda Jablay di Rumah” dan sebagainya. Tidak sedikit konsumen media sempat mengeluh melihat judul berita yang disajikan secara bombastis namun berbeda isinya saat dibaca tuntas. Fenomena penggunaan kata-kata bombastis, isi tak sesuai judul mengingatkan saya akan pemberitaan saat Aceh masih didera konflik. Media dan Agenda Setting Penerapan syariat Islam di Aceh sejak awal kehadirannya mendapat tempat tersendiri di ranah media. Ada diskursus tentang sosial, budaya, ekonomi, budaya hingga politik dan pasti agama. Tidak hanya media di Aceh, media nasional bahkan internasional pun mempunyai minat tersendiri memantau perkembangan implementasinya. Kesediaan media atau seberapa
besar perhatian media terhadap suatu isu yang lebih dikenal dengan agenda setting menjadi sangat relevan dalam mencermati dinamika pemberitaan tentang syariat Islam. Teori agenda setting ini juga melihat seberapa besar perhatian media terhadap isu tertentu akan mempengaruhi perhatian masyarakat terhadap isu tersebut. Contohnya, bagaimana pemberitaan tentang razia atau penangkapan anak punk yang sempat menjadi sorotan media massa baik lokal maupun internasional pada bulan Desember 2011. Kisah penangkapan anggota komunitas ini bermula di Taman Budaya, hingga pembinaannya di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah pun tak luput menjadi perhatian media asing sekelas Washington Post, CBS News, Strait Times, dan sebagainya. Simpati juga bermunculan dari komunitas punk seluruh dunia. Bahkan salah satu grup music punk asal Amerika Serikat sempat ikut bersuara. Melalui akun twitter, protes dan dukungan dilayangkan. Pada bulan Februari lalu, koran berbahasa Inggris terbitan ibukota The Jakarta Post, masih mengulas perkembangan berita komunitas punk di Aceh. Selain pemberitaan tentang penerapan syariat Islam, berita-berita tentang politik atau konflik Aceh serta berita tentang bencana gempa dan tsunami merupakan tema yang masih menarik oleh media-media nasional dan internasional.
Kembali tentang pemberitaan syariat Islam dan kaitannya dengan agenda setting yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan. Di antaranya, muncul suatu gambaran realitas yang melekat benak masyarakat konsumen media. Jika media mendeskripsikan sesuatu baik, masyarakat akan memandang itu baik. Begitu pula sebaliknya. Maka, jika media mengkonstruksikan penerapan syariat Islam identik dengan kekerasan melalui penggunaan kata-katanya, niscaya benak masyarakat akan mempunyai gambaran yang sama. Setidaknya itulah gambaran menurut teori ini, walaupun pembuktiannya masih perlu kajian yang lebih komprehensif dan serius. Lebih jauh lagi, saya agak khawatir jika pemberitaan tentang penerapan syariat Islam masih menghadirkan pemberitaan dengan menggunakan bahasabahasa kekerasan atau kekerasan yang diproduksi oleh media terus disajikan, maka bisa jadi Islam juga akan terus dicitrakan secara negatif. Padahal kita paham bahwa syariat Islam tidak hanya masalah razia, pakaian atau hal lain yang tidak subtansial. Masih banyak ruang dan peluang bagi media untuk memberitakan syariat secara lebih komprehensif dan tidak parsial.[] Fahmi Yunus, Pemerhati Media e-mail: fahmiyunus@gmail.com
sharianewswatch 01/2012
15
advert credit to WAN-IFRA/Sanjeev Saikia/Sanjeev Singh