Jurnal At-Tasyri'

Page 1

ISSN 2085 - 2541

AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah Vol. I, No. 2, Juni - September 2009

Konsep Perlindunga Konsumen dalam Memperoleh Makanan Menurut Islam Asmawati

Eksistensi dan perkembangan Bank Syari'ah Deddy Nofendy

Asuransi dalam Perspektif Islam Amrizal hamsa

Diterbitkan oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH ACEH BARAT



AT-TASYRI´

JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH


ISSN: 2085-2541 Volume 1 Nomor 2 Juni - September 2009

SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI' Penanggung Jawab Syamsuar Basyariah Ketua Redaksi Asmawati Redaktur Pelaksana Fauzi Saleh Jamaluddin Thayyib Muliadi Kurdi Banta Ali Abdullah Penyunting Ahli Juhaya S. Praja Nur Ahamad Fadhil Lubis Nazaruddin AW Usamah El-Madny Muhammad Maulana Zulkarnain Abdullah Jamaluddin Thayyib Administrasi dan Tata Usaha Amrizal Hamsa Hanifuddin Jamin Setting/Layout Khairul Umami Sirkulasi M. Yunus Nurhayati Maidijar ALAMAT REDAKSI Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id Website: www.staidirundeng.ac.id


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................

vii

Eksistensi dan Perkembangan Bank Syari'ah Deddy Nofendy .............................................................................................

99

Asuransi dalam Perspektif Islam Amrizal Hamsa .............................................................................................. 115 Ijtihad ’Umar Ibn Khattab dan Pembaharuan Hukum Islam Asra Febriani .................................................................................................. 131 Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-Nunda Pembayaran Hutang; Studi Atas Fatwa DSN Mahli Ismail ................................................................................................... 149 Hukum Dharūriyyat, Hãjiyãt Dan Tahsiniyãt Dalam Pandangan Syari’ah Irwansyah ........................................................................................................ 167 Konsep Perlindungan Konsumen dalam Memperoleh Makanan Menurut Islam Asmawati . ....................................................................................................... 185 Pengembangan Mu’amalah Iqtisadiyyah Modern: Prospek Pengembangan Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh Syahril .............................................................................................................. 203 Perbuatan Pidana Bughah Dalam Hukum Islam Dan Dampaknya terhadap Muamalah Riswandi . ........................................................................................................ 221



KATA PENGANTAR

Segala puji ke hadirat Allah swt. yang telah menurunkan tuntunan dan hukum sebagai guidance (bimbingan) kepada manusia agar dapat hidup dengan aman dan tenteram baik secara individual maupun kolektif. Selawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad saw. yang ucapan, perbuatan dan diamnya menjadi landasan yang patut dan pantas diteladani dalam berbagai aspek dan sisi kehidupan manusia. Jurnal Tasyri’ kali ini menghadirkan beberapa tulisan yang sangat urgen dalam respon problematika sosial kemasyarakat khususnya dalam ranah hukum Islam. Tulisan tersebut diharapkan akan menjadi wacana, bahan diskusi, renungan dan bahkan acuan dalam menghadapi issu yang beredar dalam masyarakat dewasa ini. Pergumulan perbankan syari’ah dan perkembangannya dari aspek historis, filosofis dan operasionalnya dibahas secara baik oleh Deddy Nofendy dalam tulisannya yang berjudul: Eksistensi dan Perkembangan Bank Syari'ah. Dalam tulisannya, penulis menerangkan bagaimana resistensi perbankan syari’ah dalam merespon krisis ekonomi global yang melanda dunia hari


ini termasuk ‘trik’ yang dimainkannya dalam kancah ekonomi dunia yang semakin bersanding dan bertanding. Dari sisi lain, isu hangat tentang asuransi, menjadi persoalan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Di dunia maju, asuransi menjadi kebutuhan primer, yang tidak boleh tidak. Hal tersebut akan terasa sangat aplikatif ketika Amrizal Hamsa, membicarakan tentang asuransi dalam tulisannya: “Asuransi dalam Perspektif Islam” Hukum-hukum tersebut di atas tentu tidak dapat dipisahkan dari kemampuan ijtihad dan istinbat ulama zaman dahulu. Bagaimana kompetensi mereka dalam hal ini? Asra Febriani mengupas tuntas tentang kemampuan salah seorang sahabat besar, seorang ulama dan umara, ’Umar ibn Khattab dalam menginstibatkan dan berijtiihad sebuah produk hukum. Tulisan tersebut dikupas dalam judul ”Ijtihad ’Umar Ibn Khattab dan Pembaharuan Hukum Islam”. Persoalan yang lain yang muncul dalam mu’amalah iqtisadiyyah adalah kenakalan nasabah dalam menunaikan kewajibannya. Hal tersebut akan mengganggu kenyamanan berbisnis. Karena itu, Islam memberikan arahan normatif bahkan repressif dalam bentuk sanksi (’uqubah). Lebih lanjut dapat ditelaah dalam tulisan Mahli Ismail dengan judul ”Sanksi atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran Hutang; Studi Atas Fatwa DSN”. Pemetaan hukum Islam terutama dalam kaitan dengan konsep kemaslahatan dibahas oleh Irwansyah. Dalam tulisannya yang berjudul ”Hukum Dharūriyyat, Hãjiyãt Dan Tahsiniyãt Dalam Pandangan Syari’ah” akan menekankan skala prioritas hukum Islam baik secara teoritis maupun praktis. Aspek maslahat ini secara kasuistik umpamanya, bagaimana seseorang mendapat perlindungan makanan yang baik, halalan tayyiban. Pentingnya pengangkatan problematika ini apalagi di zaman yang mengglobal seperti sekarang menjadi salah satu alasan bagi Asmawati untuk menulis sebagai kajian tentang ”Konsep Perlindungan Konsumen Dalam Memperoleh

viii

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


Makanan Menurut Islam”. Kemaslahatan lain yang perlu diberikan porsi perhatian yang memadai adalah jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi modern menjadikan dunia semakin dekat. Syahril mencoba membahas dalam lingkup lokal sebagai kasus penelitiannya. Hal tersebut secara detail dapat ditelaah dalam tulisannya yang berjudul ”Pengembangan Mu’amalah Iqtisadiyyah Modern:Prospek Pengembangan Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh”. Untuk menjadi kenyamanan mu’amalah, dibutuhkan suasana yang harmoni dan bersahabat. Riswandi mengupas bagaimana Islam merespon problematika yang mengganggu suasana kenyamanan dalam bughat dalam judul ”Perbuatan Pidana Bughah Dalam Hukum Islam dan Dampaknya Terhadap Mu’amalah”. Akhirnya, Redaksi Jurnal at-Tasyri’ STAI Teungku Dirundeng Meulaboh memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para penulis atas sumbangan pikirannya yang mencurahkan dalam edisi kali ini. Redaksi juga berterima kasih atas kerja sama yang baik dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) sehingga terbitnya edisi ini. Meulaboh, April 2010 Ketua STAI Teungku Dirundeng, dto Syamsuar Basyariah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

ix



EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

Deddy Nofendy Dosen Prodi Mu’āmalah, Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh, dan Direktur BPD Aceh Syari‘ah, Cabang Meulaboh.

Abstract The interest system that developed in conventional banks, as matter of fact, is not relevant with the Islamic mission. According to Islam, the system included the ribawi category that not recognize practically which is haram and halal. The system has produced the uncomfortable condition among the moslems. To solve the problem, the Moslem economists have found the new system called it syari’ah bank. Practically, the bank pursues and emphasizes the profit and loss sharing (PLS) through variety of transactions such musyarakah, mudarabah and so on. With this system, the bank proved be able to face the economic crisis and accelerate the economic growth. So that, the system is not only applied in Moslem countries, but also in non-Moslem do the same thing as well.

Key words: Eksistensi, Perkembangan dan Bank Syarī'ah


DEDDY NOFENDY

A. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan waktu dan pendapatan masyarakat yang semakin bertambah, maka kebutuhan akan transaksi perbankan semakin hari semakin terasa. Masyarakat yang sebelumnya hanya menyimpan uangnya di rumah-rumah, namun sekarang hampir semua masyarakat dalam menyimpan uangnya menggunakan jasa perbankan, apalagi dengan sejumlah tawaran bunga yang sekian persen, sehingga masyarakat berlombalomba untuk menyimpan uangnya melalui jasa perbankan. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah sejumlah persen bunga yang ditawarkan oleh perbankan bagi setiap masyarakat yang menabung dan mengambil uangnya di bank-bank tertentu, sehingga hal ini tentunya menimbulkan masalah baru di kalangan umat Islam, karena sistem yang ditawarkan ini tidaklah sejalan dengan sistem transaksi yang diatur dalam syari’at Islam. Kebanyakan ulama menentang secara mutlak sistem bunga ini, karena sistem ini dapat dikategorikan sebagai ribā al-nasīah, sehingga keharamannya tidak dapat diragukan lagi, walaupun ada juga sebahagian kecil ulama yang tidak mengharamkannya, namun memberikan beberapa catatan. Berangkat dari berbagai masalah tersebut, kemudian para pakar ekonomi Islam berfikir bagaimana cara mengatasi sistem ribawi ini, sehingga muncullah ide untuk membentuk sistem perbankan yang berlandaskan syari’ah, artinya bahwa dalam setiap transaksi ekonomi perbankan harus menggunakan sistem keuangan yang diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, supaya masyarakat muslim dapat dengan tenang menggunakan sistem perbankan yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, maka dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menggambarkan bagaimana eksistensi perbankan syari’ah, fungsinya, tujuannya, prinsip-prinsipnya dan juga perkembangannya hingga saat ini, baik di Indonesia maupun di berbagai dunia lainnya.

100

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

B. Pembahasan 1. Pengertian Bank dan Fungsinya Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis dan kata banco dalam bahasa Itali, yang berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini menunjukkan fungsi dasar bank secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, berlian, uang dan sebagainya.1 Pada abad kedua belas kata banco di Italia merujuk pada meja, counter atau tempat usaha menukar uang (money changer) dan dalam arti transaksi bisnis yang lebih luas yaitu membayar barang dan jasa. Jadi fungsi dasar bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa. Sementara pada era modern ini, makna dan fungsi bank khususnya bank konvensional tidak hanya sebagai tempat membayar barang dan jasa, namun lebih luas lagi, yaitu sebagi lembaga intermediasi.2 Ia berfungsi sebagai lembaga yang menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya kepada nasabah lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah itu bank memberi imbalan berupa bunga, demikian juga untuk pemberian pinjaman, bank juga mengenakan bunga.3 Dengan demikian bahwa bank konvensional dalam melakukan transaksi tidak mengenal prinsip-prinsip syari’ah, halal ataupun haram, baik ataupun tidak, yang penting dalam prinsipnya adalah bagaimana harus memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, tidak masalah bagi bank, apakah uang yang dipinjamkan itu, digunakan untuk memproduksi dan menjual barang1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga +Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, (Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1. 2 Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa bank adalah Badan Usaha yang mernghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182 3 Iswardono Sp, Uang dan Bank‌, hal. 1

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

101


DEDDY NOFENDY

barang yang diharamkan ataupun tidak. Berdasarkan makna dan fungsi bank-bank konvensional tersebut, maka dapat terlihat bahwa bank-bank konvensional yang ada saat ini, pada hakikatnya banyak sekali memberikan kemudahan-kemudahan dan membantu masyarakat dalam mengembangkan usahanya, walaupun tidak sedikit juga masyarakat yang sangat terbebani dengan sistem pembungaan (ribawī) yang sangat mencekik. Namun terlepas manfaat dan mudharatnya bahwa bahwa fungsi dan prinsip kerja bank konvensional yang lahir di benua Eropa ini, telah diadopsi secara luas oleh seluruh negara di dunia, termasuk negaranagara yang berpenduduk muslim. Sementara di sisi lain, telah ada upaya lembaga-lembaga keuangan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syari’ah, seperti bank mu’amalat, mandiri syari’ah, namun ternyata hasilnya, masih jauh dari yang diharapkan, bahkan dalam lingkup Aceh yang sedang menjalankan syari’ah, Islam, pemerintah Aceh sendiri pun, masih belum mwnjadikan bank-bank syari’ah, sebagai landasan dan prinsip dalam melakukan transaksi perbankan. 2. Asal Usul Bank syari’ah, Pada awal abad kedua puluh, perbankan syari’ah, masih merupakan bahan diskusi para akademisi bidang ahli hukum dan ahli ekonomi Islam, belum ada bank syari’ah yang berdiri secara nyata. Namun setelah krisis demi krisis terjadi dan ternyata bank yang tidak mengalami pailit dan mampu bertahan hanyalah perbankan syari’ah, sehingga semakin membuka mata para ekonom bahwa perbankan yang mampu bertahan dan tidak berdampak sekalipun sedang terjadi krisis ekonomi hanyalah perbankan syari’ah, sehingga kemudian perbankan syari’ah, mulai diminati dan dikembangkan, bahkan tidak hanya di negara muslim, di negara non muslim pun bank syari’ah, terus mengalami kemajuan.4 Sebenarnya Pada tahun 1963 di Mesir telah beroperasi perbankan syari’ah, yang 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Kerjasama Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999), hal. 271.

102

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

bernama; Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank inilah yang menjadi tonggak sejarah perkembangan sistem perbankan syari’ah,. Mit Ghamr yang dibina oleh. Ahmad Najjar adalah lembaga keuangan yang beroperasi di pedesaan (rural social bank) di sepanjang delta sungai Nil dan berskala kecil.5 Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pengenalan pelayanan sistem perbankan yang berdasarkan Islam yang dilakukan Mit Ghamr mendapat sambutan yang hangat dari penduduk setempat. Hal ini terbukti dari jumlah nasabah yang pada akhir tahun buku 1963/1964 tercatat sebanyak 17.560 menjadi sebanyak 251.152 pada akhir tahun buku 1966/1967. Jumlah deposito juga meningkat tajam dari LE 40.944 pada akhir tahun buku 1963/1964 menjadi LE 1.828.375 pada akhir tahun buku 1966/1967.6 Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan ini adalah adanya rasa saling memiliki di antara masyarakat terhadap sistem ini. Namun kemudian terjadi kekacauan politik di Mesir pada masa rejim Gamal Abdul Nasser hingga Mit Ghar mengalami kemunduran, operasionalnya diambil alih oleh National bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada akhir 1967. Dampaknya prinsip dasar peniadaan bunga dalam setiap dasar transaksi bank mulai diabaikan dan selanjutnya beroperasi atas dasar riba. Pada tahun 1971, di bawah pemerintahan Anwar Sadat, keinginan mewujudkan sistem perbankan yang bebas bunga kembali bangkit, dan ditandai dengan didirikannya Nasser Social Bank yang mengambil alih bisnis yang bebas bunga yang dulu dilaksanakan Mit Ghamr. Namun berbeda dengan Mith Ghamr yang diprakarsai dan dimodali oleh masyarakat, sementara modal Nasser Social Bank berasal dari pemerintah, yang bersumber dari dana wakaf yang dikumpulkan oleh negara. Basis operasinya juga tidak lagi di pedesaaan tetapi di perkotaan.7 Namun karena manajemennya kurang baik, 5 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah..., hal. 271 6 Suharto, dkk, Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 21. 7 Adimarwan Karim, Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan,(Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hal. 27.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

103


DEDDY NOFENDY

akhirnya bank tersebut tidak bertahan lama dan kemudian pada tahun 1976 operasionalnya harus dihentikan dan ditutup.8 Kesuksesan Mit Ghamr, walaupun belum mencapai kematangan dan menyentuh semua sektor bisnis ini memberi inspirasi bagi umat muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis modern. Fenomena ini telah membangun semangat para pemikir muslim di seluruh dunia, mereka mulai mengkaji dan mempelajari sistem operasional yang pernah dilaksanakan Mit Ghamr. 3. Tujuan Bank Syari’ah, M.M. Metwally seorang profesor perbandingan sistem ekonomi di University of Wollongong Australia menjelaskan dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Teori dan Model Ekonomi Islam, bahwa secara umum tujuan utama bank Islam adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan semua kegiatan perbankan, finansial, komersial dan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi kegiatan bank-bank Islam haruslah didasarkan atas: a. Larangan bunga pada semua bentuk transaksi b. Pelaksanaan aktivitas bisnis dan perdagangan atas dasar kejujuran dan keuntungan yang sah. c. Pemupukan dana serta menggunakannya di negara-negara Islam d. Pembinaan kebiasaan menabung di kalangan umat Islam e. Penataan aktivitas bisnis yang dapat diterima oleh, dan sesuai dengan syari’ah. f. Mengembangkan kompetisi/daya saing bank Islam. g. Pembayaran zakat h. Kerjasama dengan bak-bank Islam lain di luar negeri untuk mendorong pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial masyarakat muslim.9 8 www.dilibrary.com, Bagaimana Prospek Bank Syari’ah di 2004 ?, M Dawam Raharjo, jawaban atas pertanyan Sunaryo, 3 Januari 2004. 9 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. M. Husein Sawit, (Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995), hal. 141-142.

104

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

Menurut Suharto. dkk yang tergabung dalam tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, menekankan bahwa tujuan bank Syari’ah adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, finansial, komersial dan inestasi sesuai dengan prinsip Islam. Upaya ini tentu saja harus didasari oleh larangan atas bunga pada setiap transaksi; prinsip kemitraan pada semua aktifitas bisnis yang atas dasar kesetaraan, keadilan dan kejujuran; hanya mencari keuntungan yang sah semata-mata; pembinaan manajemen keuangan pada masyarakat; mengembangkan kompetisi yang sehat; menghidupkan lembaga zakat; dan pembentukan ukhuwah (networking) dengan lembaga keuangan Islam lainnya baik di dalam maupun di luar negeri.10 Jadi tujuan lahirnya perbankan yang berlandaskan syari’ah adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat dengan penuh toleransi dan berkeadilan, tidak boleh saling mendhalimi dan didhalimi, serta merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. 4. Prinsip-prinsip Keuangan Perbankan Syari’ah dan Perkembangannya Dalam komfrensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta di antaranya memutuskan beberapa prinsip dalam setiap transaksi keuangan, yaitu: a. Tiap keuntungan, haruslah tunduk kepada untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba sedikit atau banyak hukumnya haram b. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Islam yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin c. Sementara menunggu berdirinya Bank Islam, bank yang menggunakan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.11 Pembentukan bank Islam semula banyak diragukan, pertama banyak orang yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah 10 Suharto, dkk., Tim Pengembangan Perbankan Syariah..., hal. 20-21. 11 Muslim Ibrahim, Bank Syariah Prospek.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

105


DEDDY NOFENDY

sesuatu yang sulit. Pada Sidang Menteri Luar-Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi-Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syari’ah. Proposal tersebut menjelaskan tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi bank Islam (Federation of Islamic Banks) yang dikaji oleh para ahli dari 18 negara Islam. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Proposal tersebut antara lain diusulkan untuk: a. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam. b. Mengatur institusi pembangunan dan investasi. c. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar banksentral di negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang terpadu. d. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syari’ah di negara Islam. e. Mendukung upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam. f. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat. g. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral negara Islam.12 Selain hal tersebut di atas, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebut 12 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syaria..., hal. 19-20

106

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

akan berfungsi sebagai berikut a. Mengatur investasi modal Islam. b. Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di negara Islam. c. Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya. d. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara Islam.13 Pada Sidang Menteri Luar-Negeri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973, usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar Dinar atau ekuivalen 2 Milyar SDR (Special Drawing Right), semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.14 Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat dari 22 menjadi 43 negara. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank syari’ah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, bank-bank syari’ah mulai bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Bank Islam yang pertama adalah bank Islam Dubai yang didirikan 13 Ibid. 14 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Wacana..., hal. 273

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

107


DEDDY NOFENDY

di Uni Emirat Arab pada tahun 1973 dengan modal 14 juta dular AS. Bank ini kemudian diikuti oleh bank Pembangunan Islam di Jeddah, Arab Saudi tahun 197515. Berikut perkembangan bank syari’ah di beberapa negara: a. Pakistan Pakistan merupakan negara pelopor di bidang perbankan syariah pada awal Juli 1979, sistem bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi, yaitu National Investment (Unit Trust), House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan (kerjasama investasi) pada 1979-1980, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan. Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang perusahaan Mudārabah dan Murābahah, mulailah beroperasi 7.000 cabang bank komersial nasional di seluruh Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem syari’ah. b. Mesir Bank syari’ah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic bank. Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978, dan berhasil membukukan hasil mengesankan dengan total aset sekitar 2 milyar dolar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain Faisal Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank for Investment and Development yang beroperasi menggunakan instrumen keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank). c. Kuwait Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki 8 cabang di Kuwait dan 15 M.M . Metwally, Teori dan Model..., hal. 142

108

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

telah menunjukkan perkembangan yang cepat. Selama 2 tahun saja, yaitu 1980-1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD 803 dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta. d. Uni Emirat Arab Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor bank syariah. Didirikan pada tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyekproyek industri dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional. e. Malaysia Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30 persen modal merupakan milik pemerintah federal. Sekarang BIMB telah memiliki lebih dari 70 cabang tersebar hampir di setiap negara bagian dan kota-kota Malaysia. f. Iran Perkembangan bank syariah di Iran dimulai sejak Januari 1984 berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui Pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 milyar Rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah. Hingga bulan Oktober 1983, sebanyak 20.000 orang karyawan bank di Iran telah mengikuti pelatihan sistem perbankan syariah. g. Turki Baru pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Dar Al-Mal Al-Islami untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan bagi hasil. Hal ini karena menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syariah diatur dalam satu yuridiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan Desember 1984 di didrikan pula Faisal Finance Institution dan mulai

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

109


DEDDY NOFENDY

beroperasi pada bulan April 1985.16 Tabel 21 bank-bank Islam di berbagai negara17 Nama Bank Dubai Islamic Bank Islamic Development Bank Faisal Islamic Bank Kuwait Finance House Jordan Islamic Bank Faisal Islamic bank (Sudan) Kuwait Finance House Bahrain Islamic Bank Masraf Faisal Al-Islami Banque Mier Islamic International bank of Investment and Development Al-Raijhi Company for Islamic Investment Iranian Banking System Masraf Faisal Islami Masraf Faisal Islami Kibris Islamic Bank Islamic Bank International Dar Al-mal Al-Islamia Trust Islamic Banking System International Holding S.A (27 negara) Bank Islam Malaysia Masraf Faisal Islami Masraf faisal Islami Pakistani Banking System Dar Al-Mal Tadamon Islamic Bank Sudanse Islamic Bank Qaton Islamic Bank

Tahun Berdiri 1973 1975 1977 1977 1978 1978 1978 1979 1980 1980

Modal Setor (dalam juta US$) 14 --21 30 9 9 10 15 20 ---

1981

---

1981 1982 1982 1982 1982 1982 1982

--20 20 20 21 Kr25 m 16

1982

20

Luxemburg

1983 1983 1983 1983 Subsidi 1983 1983 1984

42 20 20 20 ---------

Malaysia Nigeria Senegal Pakistan Swiss Sudan Sudan Sudan

Negara U.E.A Arab Saudi Mesir Kuwait Yordania Sudan Turki Bahrain Bahrain Mesir Mesir Inggris Iran Turki Guinea Cyprus Denmark Bahama

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa bank-bank Islam tidak terbatas hanya pada negara-negara Islam saja, negara-negara non muslim seperti Bahamas, Swiss, Denmark dan Luxemburg juga mempunyai bank-bank Islam, dan Islamic Bank International di Denmark sebagai bank Islam pertama yang berdiri di Eropa. Pendirian bank Islam di negara non muslim mungkin tidak 16 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syaria..., hal. 22-25 17 M.M. Metwally, Teori dan Model..., hal. 143-145

110

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

mempunyai tujuan yang sama persis dengan di negara muslim, yaitu lebih menekankan pada profit, namun selama tidak melanggar prinsip Islam keberadaannya disambut dengan baik. Analisa MM Metwally bahwa kebanyakan bank Islam didirikan antara tahun 1981-1983 dikarenakan pada periode tersebut merupakan periode likuiditas tinggi (high liquidity) pada negara-negara penghail minyak dan belum semua negara muslim mempunyai bank Islam.18 Saat ini, perbankan syari’ah telah mengalami perkembangan cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, juga negara-negara Barat. Bank-bank besar dari negara barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic window19 agar dapat memberikan jasajasa perbakan yang sesuai dengan syari’at Islam.20 HSBC (Hongkong and Shanghai banking Corporation Limited) adalah bank yang beroperasi di 79 negara yang 19 di antaranya berpenduduk mayoritas muslim. HSBC berpusat di London dan pertama sekali mendirikan Bank Syari'ah di Malaysia pada tahun 1994, dewasa ini cabang-cabangnya meluas ke Timur Tengah, Amerika Serikat maupun Inggris. HSBC Malaysia adalah yang pertama meluncurkan produk “Kartu Kredit Islam” bekerjasama dengan Master Card, yaitu Amanah Charge Card pada tahun 2000 dan jumlah nasabahnya pun meningkat. Hal ini diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad yang juga meluncurkan Islamic Credit Card pada penghujung tahun 2001 dengan menggandeng Visa. Nasabah bank Islam inipun tidak terbatas kaum muslim seperti dalam kasus OCBC (Oversea Chinese Banking Coorporation) Malaysia sebagai bank yang membawa identitas kecinaan, sangat wajar 18 M.M. Metwally, Teori dan Model..., hal. 145. 19 Islamic Window, artinya adalah bank konvensional yang menerapkan 2 azas perbankan sekaligus, yaitu ada Counter Syariah dan ada Counter Bunga/Konvensional. Di Indonesia, bank umum konvensional dapat mendirikan suatu unit syariah atau cabang syriah yang dimungkinkan dengan keluarnya Peraturan Bank Indonesia No.: 4/1/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh Bank umum konvensional. 20 Adimarwan Karim, Bank Islam..., hal. 27

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

111


DEDDY NOFENDY

mayoritas nasabahnya adalah masyarakat cina termasuk nasabah Islamic windownya.21 5. Hambatan Bank Syari’ah Walaupun bank syari’ah terus mengalami peningkatan, namun tidak sedikit juga terjadinya berbagai hambatan dan tantangan, terutama setelah peristiwa 11 September 2001, yaitu paska penabrakan dan peledakan gedung Worl Trade Center di Amerika yang menewaskan lebih dari 4000 orang dan memunculkan isu terorisme dan sentimen terhadap Islam. Bank Islampun tidak luput menjadi target penyelidikan tim penyidik asing. Dana jutaan dolar dan sejumlah rekening dibekukan, bank Islam menderita kerugian bukan hanya materi, namun juga nama baik karena dituduh melakukan transaksi bagi kelompok Al-Qaeda dan jaringan teroris lainnya. Seiring perjalanan waktu, selama hampir tiga tahun ini bank-bank Islam mulai bangkit kembali dengan pertumbuhan mencapai 15 % pertahun. Ketua Dewan Bank Islam dan Lembaga Keuangan Kamel Saleh mengungkapkan, jumlah Bank Islam dan investasi di Bank-bank Islam terus meningkat, jumlahnya mencapai 270 bank dengan jumlah asset mencapai 260 Milyar dollar dan jumlah simpanan nasabah lebih dari 200 milyar dollar. Konsep bank Islam juga mampu menarik minat yang besar dari kalangan non muslim. Konsep yang melarang adanya bunga, bisa diterima oleh mereka yang bukan muslim, pakar keuangan Inggris Warren Sofies setuju kalau prinsip bunga bisa menyebabkan menurunnya kesempatan kerja, krisis keuangan dan berbagai persoalan dalam perdagangan. Dari perkembangan bank Syariah beberapa tahun terakhir ini adalah konsekuensi dari kampanye anti Islam yang dilancarkan pihak barat, dimana setelah maraknya kampanye itu berdasarkan studi Institute for Islamic Banking and Insurance, 55 persen komunitas muslim dunia lebih menyukai bank Islam. 22 C. Penutup 21 www.tazkiaonline.com. Sekarang, atau Kehilangan Meomentum, (Luqyan Tamanni, Staf pengajar STEI Tazkia), 20 Maret, 2003. 22 www.eramuslim.com. Bank Syriah Mulai Mendunia dan Diminati Non Muslim, tanggal 28 Mei 2004

112

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN BANK SYARI'AH

Eksistensi perbankan syari’ah adalah bertujuan untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, finansial, komersial dan inestasi sesuai dengan prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Artinya bahwa semua transaksi yang dilakukan menekankan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kejujuran, tidak saling mendhalimi dan didhalimi, serta adanya keseimbangan antara keuntungan dunia dan akhirat. Di samping juga berusaha untuk membangun sistem manajemen yang berbasis pada masyarakat; mengembangkan kompetisi yang sehat; menghidupkan lembaga zakat; dan pembentukan ukhuwwah (networking) dengan lembaga keuangan Islam lainnya, baik secara mikro maupun makro. Sementara perkembangan bank-bank syari’ah, walaupun banyak mendapat tantangan, terutama pasca kejadian 11 September 2001, dengan penabrakan dan peledakan gedung Worl Trade Center di Amerika yang menewaskan lebih dari 4000 orang dan memunculkan isu terorisme dan sentimen terhadap Islam, dan pembekuan sejumlah rekening bank dengan dana jutaan dolar, karena dituduh melakukan transaksi bagi kelompok Al-Qaeda dan jaringan teroris lainnya, ternyata bank-bank syari’ah mampu bertahan dan tetap eksis, bahkan beberapa tahun kemudian bank-bank syari’ah terus mengalami pertumbuhan hingga mencapai 15 % pertahun. Dan yang lebih menggembirakan lagi bahwa ternyata bank-bank syari’ah tidak hanya berkembang di negara-negara Islam saja, di negara-negara yang non Islampun bank syari’ah telah tumbuh dan berkembang, apa lagi setelah terbukti bahwa bank syari’ah mampu menahan badai krisis ekonomi global yang melanda dunia beberapa waktu yang lalu.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

113


DEDDY NOFENDY

Daftar Pustaka Karim, Adimarwan. Bank Islam Analisa Fiqh dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003. Iswardono Sp. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE, 1994. Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam. terj. M. Husein Sawit. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan. Jakarta: Kerjasama Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182. Suharto dkk.. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan, 2003. www.dilibrary.com. Bagaimana Prospek Bank Syari’ah di 2004?, M Dawam Raharjo, jawaban atas pertanyan Sunaryo. 3 Januari 2004. www.eramuslim.com. Bank Syriah Mulai Mendunia dan Diminati Non Muslim. Tanggal 28 Mei 2004. www.tazkiaonline.com. Sekarang atau Kehilangan Meomentum. Luqyan Tamanni, Staf pengajar STEI Tazkia. 20 Maret, 2003. Zainul Arifin. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah. Jakarta: AlvaBet, 2003.

114

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Amrizal Hamsa Penulis adalah Sekretaris Prodi Mu'amalah pada STAI Teungku Dirundeng, Meulaboh, Aceh Barat.

Abstract Insurance is a contract between two parties or more where who insure take part to respond the problem of who is insured with receiving premium of insurance, or giving the compensation to who is insured for failure, damage, or lose of the profit or law responsible toward the third party that affected the who is insured, appeared because of a case, or to pay (the debt) as whom insured died or some insured live. There is a significant difference between conventional insurance and syari’ah one. The conventional one present the contract of trade, meanwhile the syari’ah one present the cooperation system.

Key words: Asuransi dan Perspektif Islam


Amrizal Hamsa

A. Pendahuluan Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, manusia harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan permasalahan dalam kehidupan ini. Untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut dengan sendirinya manusia dituntut harus merekayasa masa depan dengan suatu rancangan atau perencanaan (planning) secara komprehensif. Salah satu cara untuk dapat menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan dari sisi materi dapat dilakukan dengan cara menabung, khususnya tabungan dalam bentuk asuransi. Sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi setiap umat manusia, khususnya umat Islam, Alquran tidak menyatakan secara langsung tentang bentuk-bentuk asuransi, namun secara eksplisit banyak sekali ayat Alquran yang menyatakan tentang pentingnya sebuah planning dalam suatu pekerjaan, termasuk juga dalam perencanaan masa depan, di antara ayatayat tersebut seperti yang termaktub dalam surah al-Hasyr, “Hai orangorang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan“. (Qs. Al-Hasyr 59: 18) Kaitan dengan asuransi, Islam tidak memberikan aturan yang jelas dan tegas tentang boleh tidaknya praktek asuransi, karena itu diperlukanlah ijtihad para ulama agar mekanisme per-asuransian yang digagas yang sedang berkembang sekarang tidak keluar dari ruh dan semangat dasar ajaran Islam. Dimana tujuan dari asuransi adalah untuk mewujudkan kemudahankemudahan dan kemaslahatan bagi setiap umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Salah satu dari upaya tersebut adalah dengan mencetuskan sebuah bentuk dan mekanisme asuransi yang berdasarkan syari’at Islam, yang lebih dikenal dengan Asuransi takaful. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan asuransi syariah serta pentingnya per-asuransi yang berorientasi syariah.

116

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

B. Pembahasan 1. Pengertian Asuransi Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda sering dipakai kata ini dengan kata verzekering yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Dari kata assurantie ini lalu muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan verzekerde bagi tertanggung.1 Dalam bahasa Inggris asuransi berasal dari kata assurance yang berarti jaminan,2dan dalam bahasa Arab asuransi diartikan dengan kata ta’min. penanggung disebut dengan mu’ammin dan tertanggung disebut mu’ammanlah atau musta’min3. Asuransi dari segi bahasa menurut Prodjodikoro, “Suatu persetujuan pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang peremi sebagi ganti rugi, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.”4 Sedangkan asuransi menurut pengertian ekonomi adalah suatu aransemen ekonomi, untuk menghilangkan atau mengurangi akibat yang diperkirakan akan merugikan pada masa yang akan datang karena berbagai sebab dan kemungkinan, baik menyangkut dengan kekayaan (Varmoegen) jiwa maupun harta benda. Dalam pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian dikatakan, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena 1 Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 1. 2 Wojo Warsito dan WJS Peorwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Jakarta: Hasta, 1979), hal. 9 3 Uhran Mas’ud. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri, jilid.1, (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, t.t.), hal. 352. 4 Wirjono Projodikoro, Hukum…,hal.1.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

117


Amrizal Hamsa

kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan, yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada diantara tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5 Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam suatu masa tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara itu Abdul Mannan seorang ahli ekonomi Islam mengatakan, hakikat asuransi terletak pada dihilangkannya resiko kerugian yang tak tentu bagi gabungan sejumlah orang yang menghadapi persoalan serupa dan membayar premi kepada suatu perusahaan. Dana ini cukup untuk mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh semua anggota.6 Dari pengertian asuransi di atas baik dari sisi etimologi maupun terminologi dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terdapat tiga unsur. Pertama, pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi. Sebagai imbalan dari pertangungan ini, Kedua, pihak yang ditanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, dan uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung ini akan menjadi milik pihak yang menanggung, apabila ada unsur Ketiga, berupa suatu peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Berdasarkan definisi tesebut dapat disimpulkan, asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, 5 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 165. 6 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1993), hal. 301.

118

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

yang dananya di ambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi yang digunakan. 2. Sejarah Asuransi Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi di mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman seperti mengatasi kekurangan bahan makanan pada zaman Mesir kuno, dalam kisah Nabi Yusuf as., yang diminta untuk menerjemahkan mimpi seorang raja. Inti dari mimpi tersebut, Nabi Yusuf as., menerjemahkan bahwa selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian akan diikuti masa paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga dari bencana kelaparan itu, Raja mengikuti saran Nabi Yusuf as., dengan menyisihkan sebagian harta dari hasil panen tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Sehingga pada masa tujuh tahun paceklik, rakyat Mesir dapat terhindar dari resiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. Masyarakat Arab kuno juga telah mengenal tentang prinsip-prinsip asuransi sejak dahulu kala. Ketika kehidupan masih di dominasi oleh berbagai sukusuku, saling serang dan penculikan masih sering terjadi. Wanita dan anakanak merupakan sasaran penculikan yang paling sering terjadi. Dari hasil penculikan anak-anak dan wanita tersebut, kemudian mereka meminta uang tebusan kepada pihak yang kehilangan. Apabila ternyata di tengah jalan tawanan tersebut terbunuh maka akan berlaku uang darah (uang ganti rugi) yang akan di bayar kan oleh pihak yang membunuh kepada pihak yang terbunuh. Dari sinilah asal muasal asuransi mutual mulai terbentuk. Meskipun bentuk asuransi mutual ini merupakan bentuk asuransi yang paling primitiv, dan terdapat banyak perbedaan dengan asuransi yang ada sekarang, namun kalau diperhatikan, tentunya juga ada kesamaan-kesamaannya. Dasar- dasar asuransi mutual adalah anggota baik secara individu maupun secara bersama-sama sebagai penaggung sekaligus tertanggung. Ditinjau dari sifat organisasinya, tidak ada maksud-maksud mencari keuntungan juga tidak ada maksud eksploitasi memperkaya salah satu pihak dengan memeras yang lain. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

119


Amrizal Hamsa

Adapun perbedaan yang sangat mendasar antara asuransi mutual dengan asuransi modern adalah kalau asuransi modern mengandung unsur kejahatan seperti eksploitasi yang beriorentasi pada keuntungan, berusaha memperkaya diri dengan memeras orang lain dan sebagainya. Lebih dari itu asuransi modern merubah resiko yang akan datang yang tidak dapat diperhitungkan menjadi harga yang pasti dan kemudian mentransfernya, serta mewajibkan antaranggota untuk membayar kerugian sehingga membentuk perjudian dan taruhan. Di samping itu dalam asuransi modern, perhitungan kemungkinan kerugian dilakukan di muka dan tidak dipikul seluruh anggota tetapi persediaan dana dilakukan oleh suatu perusahaan asuransi untuk membayar kerugian. Sementara itu asuransi mutual kerugian di pikul bersama setelah peristiwa itu terjadi. Karena itu asuransi modern justeru menghilangkan prinsip utama yang terkandung di dalam asuransi mutual.7 3. Tujuan Asuransi Tujuan utama asuransi adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain dengan mengganti kerugian. Pihak penerima resiko (penanggung) tidak sematamata melakukan demi perikemanusiaan atau mengorbankan kepentingankepentingannya dengan membayar sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa itu. Penanggung menilai resiko yang ditanggung itu atas dasar-dasar kalkulasi untung ruginya.perhitungan premi yang diminta penanggung atas tertanggung didasarkan atas besarnya presentase yang akan diklaim tertanggung seandainya terjadi suatu peristiwa tertentu. Walaupun perhitungan dilakukan secara teliti, dalam prakteknya mungkin saja keliru, artinya masih ada bahaya besar bagi para penanggung, dan penanggung sendiri berupaya agar resiko ini ditanggung pula oleh pihak lain, dan hal ini disebut re-asurans.

7 Muslehuddin Muhammad, Menggugat Asuransi Modern, (Jakarta: Lentera, 1999), hal.

37.

120

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam kaitan ini Prodjodikoro mengatakan tujuan asuransi adalah bahwa seseorang oleh asurador dijamin tidak akan dirugikan oleh suatu peristiwa yang belum tentu terjadi. Di sini terlihat bahwa asuransi bertujuan untuk menutupi kerugian seseorang yang tidak diketahui sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kondisi manusia yang senantiasa dihadapkan kepada berbagi kemungkinan yang membuatnya akan mengalami kerugian akibat suatu peristiwa.8 Berdasarkan pengertian, tujuan dan manfaat asuaransi bagi kehidupan manusia maka para ulama berijtihad menggali nilai-nilai filosofi asuransi agar dapat diaplikasikan dalam konteks Islam. Dalam perspektif Islam tolong menolong adalah nilai dasar yang paling utama sebagai perekat rasa persaudaraan yang diajarkan Alquran sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., dalam reslita kehidupan pembentukan komonitas Muslim yang mandiri dan bermartabat serta jauh dari rasa was-was karena kekawatiran terhadap permasalahan ekonomi umat yang tidak stabil karena sesuatu yang tidak diharapkan. Atas dasar itulah maka dicetuskanlah satu bentuk asuransi yang dianggap sesuai dengan nafas ajaran Islam. 4. Hukum Asuransi Salah satu lembaga ekonomi yang ada dan berkembang saat ini adalah perusahaan asuransi. Di dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan ketentuan secara khusus yang mengatur tentang hukum asuransi, namun secara umum ada beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya sebuah persiapan atau planning agar memberikan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Di antaranya seperti firman Allah surat Yusuf yang artinya, “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan“. (Qs. Yusuf (12): 41-49). Dan juga disebutkan dalam surah al-Hasyr, “Hai orang – orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di perbuat untuk hari esok ( masa depan ) dan bertaqwalah kamu kepada Allah , sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan“. (Qs. al-Hasyr (53): 18) 8 Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 73.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

121


Amrizal Hamsa

Oleh karena itu persoalan asuransi dalam Islam termasuk dalam area hukum ijtihadiyah, artinya dalam menentukan hukum halal atau haramnya persoalan asuransi ini harus diputuskan melalui ijtihad para ulama dan cendikiawan yang ahli dalam bidang ini. Menurut Zuhdi9ditemukan empat pandangan ulama tentang hukum asuransi. Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan operasionalnya hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam dan keempat, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi. Terlepas dari berbagai pandangan ulama di atas tentang boleh tidaknya praktek asuransi, namun dalam kehidupan yang semakin terencana dalam menggunakan berbagai pedapatan untuk kehidupan masa depan, maka asuransi di dalamnya ditemukan beberapa manfaat yang positif antara lain: a. Membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari resiko kerugian yang mungkin terjadi; b. Menciptakan efisiensi perusahaan (business eficiencie); c. Sebagai alat menabung (saving) yang aman dari gejolah ekonomi; d. Sebagai sumber pendapatan (earning power), yang didasarkan pada financing business10 Sementara bagi umat Islam sendiri secara umum masih terdapat keraguan tentang kedudukan hukum asuransi, karena dikawatirkan mengandung unsur-unsur ketidak pastian (gharar), gambling (maisir), riba dan komersial. Namun dengan beroperasinya bank-bank syari’ah sesuai UU No.7 Th 9

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hal. 134.

10 Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi; Principles of Insurance, (Jakarta: Rajawali Press.1989), hal. 12-13.

122

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

1992 dan UU No 10 Th 1998 tentang perubahn UU No 7 Th 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksanaannya,. dengan sendirinya umat Islam menginginkan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syari’ah. Untuk maksud itu, pada 27 Juli 1993 ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BNI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri, sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Pada 25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takaful Keluarga yang beroperasi di bawah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia. Berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company disusul dengan adanya dua anak perusahaannya yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT.. Asuransi Takaful Umum (Asuransi Kerugian). Pembentukan kedua perusahaan asuransi tersebut untuk mengikuti ketentuan UU No 2 Th 1992 tantang Usaha Perasuransian yang mengharuskan perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company ini selanjutnya adalah mengembangkan keuangan syari’ah lainnya, seperti Leasing, Modal Ventura, Pegadaian dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi utama PT. Asuransi Takaful adalah sebagai Investment Company11 5. Asas dan Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah Bila ditelusuri sejarah umat Islam dimasa pembentukannya perwujudan persaudaraan Islam merupakan titik awal keberhasilan yang memicu terjadinya transformasi sosial budaya dalam segala aspek kehidupan umat. Landasan horizontalnya adalah menjadikan persaudaraan Islam sebagai suatu kewajiban yang mendasar untuk ditegakkan. Dalam konsepsi Islam umat manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. 11 Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996, hal. 36.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

123


Amrizal Hamsa

Unntuk dapat melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik dalam kehidupan bersama manusia dituntut untuk saling bekerja sama dan tolong menolong, saling bertanggung jawab dan membantu satu dengan lainnya. Perintah tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa termasuk pokok-pokok petuntuk sosial dalam Alquran. Alquran mewajibkan pada manusia agar saling memberi bantuan sesama saudaranya dalam mengerjakan apa saja yang berguna bagi menusia, baik secara pribadi maupun kelompok, khususnya dalam perkara dunia maupun urusan akhirat. Saling membantu juga diwajibkan salam melakukan perbuatan taqwa sehingga terhindar dari kerusakan yang mengancam keselamatan umat manusia.12 Persaudaraan Islam bertujuan untuk mengikat hati antara kaum muslimin, sehingga mereka menjadi suatu keluarga besar. Seorang muslim akan merasa gembira dengan kegembiraan saudaranya,dan turut bersedih dengan kesedihan yang menimpa saudaranya, membantu apa yang dibutuhkannya, meluruskan dan memberi petunjuk jika saudaranya tersesat, menyayangiyang lemahserta memberi semangat apa yang ingin dikerjakan oleh saudaranya.13 Melalui persaudaraan Islam, akan timbul keutamaan dan keikhlasan tanpa pamrih dalam berkasih sayang sehingga tercipta nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka bersifat pemaaf dan senang membantu orang lain dengan kemurahan dan keramahannya. Takaful (saling menanggung) antar umat manusia merupakan dasar pijak kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan dasar pijakan takaful dalam asuransi, para pesertanya diharapkan akan terwujud hubungan manusia yang saling berkasih sayang antara para anggota dan bersepakat untuk menanggungresiko antara mereka yang diakibatkan karena adanya musibah, baik karena kebakaran atau karena sebab lainnya. Semangat asuransi takaful adalah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta. Sifat egoistis yang mengutamakan diri sendiri atau dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tidak 12 Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. II, (t.t.: t.p. t.th.), hal.46. 13 Mahmud Syaltout, Islam Aqidah wa al-Syariah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), hal. 422

124

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

tercermin dalam asuransi takaful. Menurut Basyir, Asuransi takaful atau asuransi yang berlandaskan syari’ah dapat ditegakkan atas tiga prinsip:

a. Saling bertanggung jawab Terdapat beberapa hadis Nabi yang mengajarkan kepada umat Islam untuk saling peduli dan bertanggung jawab terhadap sesamanya, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Turmuzi, yang artinya, “Hubungan umat beriman dalam rasa kasih sayang satu sama lainnya ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggota badanya terganggu atau kesakitan, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan,tidak dapat tidur dan terasa panas” (HR. Bukhari).” Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari). “Orang yang tidak menaruh rasa kasihan kepada orang lain tidak akan menerima belas kasihan dari Allah”. (HR. Turmuzi) b. Saling bekerja sama atau saling bantu membantu Allah Swt., memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat ditegakkan nilai tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Anugerah harta yang berasal dari Allah semestinya digunakan untuk meringankan beban penderitaan atau untuk memenuhi kebutuhan keluarga, anak yatim, fakir miskin, musafir yang memerlukan bantuan dan sebagainya. Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang mau meringankan hidupsaudaranya, maka akan diringankan kebutuhannya oleh Allah. Allah akan menolong hambanya selagi ia suka menolong saudaranya. Demikian Islam mengajarkan kepada penganutnya agar senantiasa bersikap positif dalam segala kebajikan guna tercapainya kekuatan dan ketentraman hidup. Setiap individu muslim, khususnya yang merasa mampu dan kaya dituntut untuk selalu memiliki rasa tanggung jawab dan kepekaan sosial agar tidak mengabaikan permasalahan saudaranya dimanapun. c. Saling melindungi penderitaan satu sama lain Islam mengajarkan bahwa keselamatan dan keamanan merupakan

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

125


Amrizal Hamsa

tuntutan alami dalam hidup manusia seperti halnya mencari rezeki adalah merupakan tuntutan alami dalam hidup manusia. Orang muslim adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari gangguan perkataan dan perbuatannya. Ketiga prinsip Asuransi Takaful atau asuransi yang berperinsip syari’ah tersebut tidak mungkin dapat dijabarkan dalam kehidupan nyata jika tidak dilandasi oleh iman dan takwa kepada Allah Swt., secara mantap. Niat yang ikhlas untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan karena musibah, merupakan landasan awal dalam perusahaan Asuransi Takaful. Premi yang dibayarkan kepada pihak perusahaan Asuransi Takaful harus didasarkan kepada tabarru’ (sedekah guna mendapat ridha Allah). Dari sini kiranya dapat diperoleh informasi filosofi Asuransi Takaful yaitu: “penghayatan semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatankegiatan sosial menuju tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan masyarakat.14 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas utama Asuransi Takaful atau asuransi syari’ah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan rasa aman (ta’min), yang menjadikan semua peserta asuransi sebagai keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung resiko satu sama lainnya. 6. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional Asuransi secara umum tidaklah berbeda antara syari’ah dan bukan, dimana tujuannya adalah untuk memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat memberikan jaminan dari berbagai kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh suatu akibat, baik untuk diri, keluarga maupun harta benda, namun dalam prakteknya terjadi perbedaan yang mendasar antara asuransi syari’ah dan noin syari’ah. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Prinsip asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong) dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat 14 Ahmad Azhar Basyir, “Asuransi Takaful…”

126

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

b.

c.

d.

e.

f.

tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan); Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi Syariah (premi) di insvestasikan berdasarkan syariah dengan system bagi hasil (mudharabah) sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana di lakukan pada sembarang sektor dengan system bunga; Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut; Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah, dana di ambil dari rekening tabarru’ (dana social) seluruh peserta yang sudah di ikhlaskan untuk keperluan tolong menolong. Sedangkan dalam asuransi Konvensional dan pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan; Keuntungan investasi di bagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan, jika tidak ada klaim nasabah yang memperoleh apa- apa; Adanya Dewan Pengawas Syari’ah dalam perusahaan asuransi syari’ah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan sengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi Konvensional maka hal itu tidak mendapat perhatian.15

C. Penutup Asuransi syariah adalah bersifat takafuli (tolong menolong), ia merupakan sebuah asuransi yang berlandaskan pada aturan-aturan agama, dimana dalam aplikasinya, semua nasabah atau anggota yang tergabung dalam anggota asuransi mempunyai prinsip saling membantu tabarru’ kepada anggota yang lain juka mengalami kesulitan-kesulitan. 15 Astiwara, Endy M, Pembedaan Secara Syariah Asuransi Takaful dengan Asuransi Konvensional , Mu’amalatuna Vol.I/ Edisi I/ Th .1/25 Mei 2001.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

127


Amrizal Hamsa

Sedangkan akad asuransi konvensional adalah bersifat tabadduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan), artinya bahwa semua nasabah telah membuat perjanjian-perjanjian langsung dengan perusahaan asuransi, sehingga banyak sekali dalam prakteknya sangat merugikan nasabah. Namun sangat disayangkan, ternyata asuransi syari’ah dalam dunia asuransi di Indonesia ternyata masih belum sebanding bila dibandingkan dengan asuransi konvensional. Data departemen keuangan menunjukan market share asuransi syariah pada tahun 2007 baru mencapai 1,7 % dari total premi asuransi Nasional. Walaupun demikian, peluang untuk pengembangan asuransi syari’ah sebagai alternatif pilihan terbaik dalam rangka memproteksi pemeluk agama Islam yang menginginkan setiap produk yang dihasilkan harus sesuai dengan hukum Islam. Dan Perkembangan perbankan Islam menuntut peranan asuransi syari’ah untuk pengamanan asset dan transaksi perbankan. Demikianlah gambaran singkat tentag asuransi syari’ah, dasar hukum, aplikasi dan juga sebagai perbandingan antara asuransi syari’ah dan konvensional, sehingga dapat menambah pengetahuan baru tentang perkembangan pengasuransian di Indonesia. Akhirnya hanya kepada Allah jualah saya berserah diri, semoga tulisan ini akan memberi manfaat kepada semua pembaca.

128

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DAFTAR PUSTAKA Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993. Abdul Mannan, Mustafa. Tafsir al-Maraghi, juz. II, t.t.: t.p. Astiwara, Endy M. Pembedaan Secara Syariah Asuransi Takaful dengan Asuransi Konvensional. Mu’amalatuna. Vol.I/ Edisi I/ Th .1/25 Mei 2001. Mas’ud, Juhran. TT., al-Raid Mu’jam Lughāwī ‘Asri. jilid.1. Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, t.th.. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung, 1996. Muslehuddin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta: Lentera, 1999. Projodikoro,Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1979. Redaksi Ulumul Quran. “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”: Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996. Salim, Abbas. Dasar-dasar Asuransi; Principles of Insurance. Jakarta: Rajawali Press.1989. Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, BMUI dan Takaful di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 1996. Syaltut, Mahmud Islam Aqidah wa al-Syari’ah. Mesir: Dar al-Qalam, 1966 Warsito dan WJS Peorwadarminta. Kamus Lengkap Inggris Indonesia. Jakarta: Hasta, 1979.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

129


130

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Asra Febriani Dosen prodi Mu’amalah pada STAI Teungku Dirundeng, Meulaboh, Aceh Barat.

Abstract ‘Umar ibn Khattab was a figure that gave the inspiration to mujtahid either salaf ulemas or khalaf ones to be brave for recht finding especially toward the problem that not mentioned explicitly in the nass. ‘Umar understood the dalil of Alquranand hadith comprehensively. He did understood the characteristics, aims and goals of those nass. The Genius Umar could build a synergy relationship between nass and its goal based on maslahat ‘ammah (public interest) that appeared from the nass.. The method of ‘Umar in the way of ijtihad could inspire to present ijtihad mustaqil especially for the current ulemas in solving the varieties of contemporary fiqh problems.

Key words: 'Umar ibn Khattāb, Pembaharuan, Hukum Islam


Asra Febriani

A. Pendahuluan Umar bin Khattab adalah seorang sahabat Rasulullah saw., khulafa al-rasyidin kedua yang terkenal jenius, berani, zuhud dan cemerlang pemikirannya. Perjalanan hidupnya senantiasa memiliki makna yang luar biasa; baik sebelum maupun sesudah keislamannya. Karena itu, sebelum Islam mendapat tempat yang kokoh di hati para pemeluknya dan umat Islam selalu dihantui ancaman dari kaum kafir, Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah, perkuatlah Islam dengan salah seorang dari dua ‘Amr yang paling Engkau cintai, ‘Amr ibn Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab.” Dan ternyata yang paling dicintai Allah adalah Umar bin Khattab. (HR. Ahmad) Umar bin Khattab adalah seorang negarawan ulung, beliaulah yang memprakarsai pembentukan diwān (catatan rekapitulasi) untuk negara seperti daftar nama kabilah dan daftar bagian mereka dalam mendapatkan harta fai’ (harta rampasan perang) yang belum pernah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Umar bin Khattab tak hanya piawai dalam mengurus kekhalifahan. Kontribusi Umar juga terlihat dalam pemikiranpemikiran fiqh. Amirul Mukminin dengan kecerdasan intelektual dan kedalaman pemahamannya atas nash-nash Alquran dan sunnah Rasulullah, telah menyumbangkan karya-karya ijtihad yang brilian. Ijtihad ialah upaya mengerahkan kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’ī dari dalil-dalil syara’ yakni Alquran dan sunnah. Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah ditunjuk oleh dalil sarīh yang qath’i al-wurūd (pasti kedatangannya dari syar’ī dan qat’i dalālah (pasti penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan. Ijtihad hanya berlaku dalam tiga keadaan, yaitu: 1. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang dhanniyul wurud (hadis-hadis ahad) dan dann dalālah (nash Alquran dan hadis yang masih dapat ditafsirkan dan ditakwilkan). 2. Peristiwa yang tidak ada nash sama sekali, dalam hal ini mujtahid dapat menetapkan hukum dengan perantaraan qiyās, istihsān, istishāb, ‘uruf dan maslahah mursalah.

132

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

3. Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nash yang qath’iyut tsubut dan qath’iyud dalālah. Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh Umar bin Khattab. Beliau meneliti nash-nash tersebut tentang tujuan syar’ī dalam mensyariatkan hukum, kemudian beliau menerapkan ijtihadnya pada suatu peristiwa meskipun sudah ada nash yang qath’i.

Metode Umar dalam berijtihad menjadi inspirasi hadirnya ijtihad mustaqil (mandiri). Dengan demikian dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh kontemporer, para ulama dapat mengedepankan ijtihad mustaqil dengan asas maslahah ‘āmmah dalam memahami nash secara tekstual maupun konstektual dengan tepat dan benar. Karena hanya muqallid yang bertaqlid butalah yang mencukupkan dirinya dengan apa yang telah digali oleh ulama-ulama terdahulu, dan tidak berani melakukan terobosan ijtihad seperti yang pernah dilakukan Imam Syafii, Abu Hanifah dan para ulama lain yang bergelar mujtahid mustaqil. B. Pembahasan 1. Pengertian Ijtihad dan Dasar Hukum Ijtihad Umar bin Khattab Ijtihad ialah upaya mengerahkan kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’ī dari dalil-dalil syara’ yakni Alquran dan sunnah. Sementara yang menjadi dasar atau landasan Umar dalam melakukan ijtihad adalah berdasarkan ladasan-landasan sebagai berikut: a. Alquran Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam mencari kebahagian di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan selalu membacanya. Kehujjahan Alquran dapat terlihat pada isi kandungannya yang memuat banyak hukum. Secara general, hukum-hukum dalam Alquran terbagi tiga, yaitu: 1. Hukum-hukum i’tiqadiyah. Yaitu hukum-hukum yang berkaitan Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

133


Asra Febriani

dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhirat dan iman kepada qadha dan qadar. Hukum-hukum i’tiqadiyah ini terangkum dalam rukun iman. 2. Hukum-hukum akhlak yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifatsifat terpuji dan menjauhkan diri dari sifat tercela. Hukum akhlaqiyah ini melahirkan suatu cabang ilmu yang disebut ilmu tasawuf yang mengajarkan cara mendekatkan diri kepada Allah. 3. Hukum-hukum ‘amaliyah yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian dan hubungan sosial kemasyarakatan antar sesama manusia.1 Dari segi dalālah, nash Alquran terbagi dua macam yaitu Qat’iyud dalālah dan Dhann al-dalālah. Qat’i al-dalālah ialah nash yang menunjukkan arti yang jelas dan mudah di pahami serta tidak bisa di takwilkan kepada makna lain, seperti firman Allah. “Dan bagimu (suami) sebagian dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” (Qs. An-Nisa’ (3): 12) Ayat tersebut dengan tegas menyebutkan bagian suami yang ditinggal mati istrinya ialah setengah jika tidak ada anak, tidak perlu ditakwilkan lagi maknanya karena dalālahnya qath’ī. Dhann dalālah ialah nash yang menunjukkan kepada arti yang masih bisa ditakwilkan kepada makna yang lain. seperti firman Allah, ”Wanitawanita yang di talak hendaklah menahan dirinya tiga kali quru.” (Qs. AlBaqarah (2): 228) Lafaz quru’ disebut dengan lafaz musytarak karena lafaz ini mempunyai makna lebih dari satu. Quru’ dapat berarti suci dan bisa diartikan haid. 1 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: AlMa’arif, 1986), hal. 56.

134

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Atas dasar tersebut para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan lamanya ‘iddah perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak hamil atau bukan karena kematian suaminya. Karena sebagian ulama mengartikan tiga kali quru’ dengan tiga kali haid dan sebagian ulama lain mengartikan tiga quru’ dengan tiga kali suci. Perbedaan ketentuan masa iddah tersebut menyebabkan perbedaan lamanya masa iddah. b. Sunnah Sunnah menurut istilah syara’ ialah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan dan citacita. Sunnah merupakan sumber hukum paling kuat setelah Alquran. Terkadang sunnah menjelaskan makna ayat-ayat yang mujmal dalam Alquran seperti perintah shalat. Dalam Alquran hanya disebutkan perintahnya saja sedangkan cara-caranya tidak disebutkan. Sunnahlah yang menerangkan hal-hal tersebut. Terkadang sunnah juga berfungsi untuk mentakhsis hukum yang disebutkan dalam Alquran. Misalnya hukuman rajam bagi pezina muhsan. Dalam Alquran hanya disebutkan pezina perempuan dan laki-laki, tidak disebutkan muhsan (sudah pernah menikah) atau bikr (belum pernah menikah). Dalam mengistinbatkan suatu hukum, Umar bin Khattab selalu berpegang kepada Alquran dan sunnah. Selain itu ia tidak serta merta mengambil pendapat orang lain, karena menurutnya, pendapat selain Rasulullah punya kemungkinan terjadi kekeliruan. Sebab Rasulullah diawasi langsung oleh Allah, sehingga semua pendapatnya selalu berdasarkan wahyu, sebagaimana firman Allah surat An-Najm, “Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara menurut nafsunya. Kecuali wahyu yang diturunkan padanya”. (Qs. An-Najm (53):3-4) Ada dua model pembagian tasyri’ yang dipraktekkan Umar, yaitu: 1. Tasyri’ yang telah dijelaskan dengan nash yang jelas, baik dari Alquran maupun sunnah sehingga tetap relevan sepanjang masa. 2. Tasyri’ yang berasal dari ijtihad Umar sendiri yang tidak berhubungan dengan nash, dalam hal ini ia berijtihad dan mempraktekkan hukumnya menurut yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

135


Asra Febriani

serta paling mendekati kebenaran. Ia tidak menetapkan ijtihadnya itu berlaku sepanjang masa, karena menurutnya ijtihadnya bisa berubah jika situasi dan kondisi zaman sudah berubah.2 c. Ijma’ Ijma’ menurut ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa sepeninggal Rasulullah saw. Kehujjahan ijma’ dapat dibuktikan dengan dalil-dalil dari Alquran maupun hadis, antara lain sebagaimana terdapat dalam surat Al-Nisa’, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu.” (Qs. An-Nisa (4): 59) Dan juga sabda Rasulullah saw.,“Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” (HR. Ibnu Majah) d. Qiyās Qiyās menurut ahli ushul ialah menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada dalil nash karena adanya persamaan ‘illat hukum dari kedua peristiwa tersebut. Umar bin Khattab sering menggunakan qiyās dalam mengistinbathkan suatu hukum. Hal ini dapat kita temukan dalam banyak model tasyri’ yang ditetapkan Umar. Misalnya dalam peristiwa pembatalan had (hukuman) potong tangan bagi pencuri yang mencuri karena terpaksa, sehingga dihalalkan mengambil barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, kemungkinan dikiaskan dengan bolehnya memakan bangkai dalam keadaan terpaksa, meskipun hukum asal memakannya adalah haram. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh yang berbunyi al-darūratu tubīh al-mahdhūrāt (kemudharatan membolehkan hal yang terlarang). Umar mengqiyaskan beberapa hadd selain hadd sariqah karena Rasulullah 2 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab, (Kairo: Dar as-Salam, 2003), hal. 24.

136

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

telah memerintahkan untuk ditangguhkannya hadd- hadd tersebut ketika dalam keadaan perang. Beliau melarang pelaksanaan hadd dalam bentuk apapun ketika perang sedang berkecamuk. Umar juga menggunakan qiyās pada zakat barang dagangan dengan mengqiyaskan pada emas dan perak karena persamaan ‘illat keduanya yaitu sama-sama memiliki nilai. Umar juga mengkiyaskan pada penerimaan diyyat dengan selain unta berdasarkan penerimaan Rasulullah saw. atas pembayaran pajak dengan memakai selain uang yaitu membayarnya dengan kain dan hewan piaraan. C. Bidang Ijtihad Umar Bin Khattab Ada beberapa bidang yang menjadi simbol ijtihad umar yang dapat diadikan rujukan dan menjadi sebuah inspirasi bagi para ulama tentang masih selalu terbukanya ijtihad-ijtihad baru sebagai refleksi dinamisasinya hukum Islam dan sesuai dengan konteks dan realita. Di antara masalah-masalah, sebagai hasil dari ijtihad Umar bin Khattab adalah: 1. Standarisasi Ukuran Diyyat Abu Yusuf telah meriwayatkan bahwa Rasulullah menetapkan diyyat kepada masyarakat sesuai dengan harta yang dimiliki. Seorang pembunuh bisa membayar diyyat dengan seratus ekor unta, atau dua ribu kambing atau dua ratus sapi atau dua ratus potong pakaian, tergantung pada harta yang dimiliki. Dan bagi yang memiliki emas maka diyyatnya adalah seribu dinar.3 Umar bin Khattab menentukan ukuran diyyat sebesar seribu dinar, atau sepuluh ribu dirham, atau seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus potong pakaian bagi yang memiliki pakaian. Pembunuh bisa memilih membayar diyyat sesuai keinginannya dengan harta yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa diyyat dapat disesuaikan dengan kondisi orang yang membayarnya.

3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jilid II, (Mesir: Ahmad Kamil, 1333 H), hal. 344.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

137


Asra Febriani

Tujuan tasyri’ Islami dalam menyikapi persoalan maliyah (harta) adalah dengan menyesuaikan harga dan ukurannya, bukan pada jenis dan bentuk barangnya. Selama kita berpegang pada nilai dan ukuran yang telah ditetapkan Rasulullah, kita bisa menggunakan barang lain yang sama harga dan nilainya, hal itu adalah untuk memudahkan masyarakat dalam melaksanakan hukum Islam. Maka tidak ada salahnya ‘Umar ibn Khattab menentukan pembayaran diyyat dengan uang dengan nilai yang sama dengan harga unta. Umar juga memberi penangguhan dalam pembayaran diyyat agar tidak memberatkan mereka. Menurutnya diyyat bisa dibayar dengan cara dicicil sampai tiga tahun. Dalam kurun dua tahun diyyat boleh dibayar dua pertiga atau setengahnya dan dilunasi pada tahun ketiga. Oleh karena itu, setelah masa ‘Umar ibn Khattab para ulama tidak mengharuskan membayar diyyat sesuai dengan ketetapan ‘Umar ibn Khattab, karena kondisi perekonomian masa mereka berbeda dengan kondisi perekonomian pada masa ‘Umar ibn Khattab. Sebab yang terpenting adalah kesesuaian harga dengan seratus ekor unta dan dibayar dengan barang yang mudah ditemukan untuk menghindari kesulitan. 2. Pembagian Zakat Terhadap Muallaf Di antara orang-orang yang berhak menerima zakat adalah muallaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. Al-Tawbah (9): 60) Pemberian zakat pada masa Rasulullah saw., kepada muallaf bertujuan agar orang-orang kafir tertarik memeluk agama Islam sehingga jumlah kaum muslimin semakin banyak. Pemberian tersebut diberikan untuk melunakkan hati mereka agar mereka tidak berpikir untuk memusuhi Islam dan untuk menarik simpati agar mereka mau menerima dakwah Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa harta adalah salah satu cara untuk menaklukkan hati seseorang. Dan pemberian zakat ini menjadi salah satu cara agar Islam yang kekuatannya belum besar ketika itu mampu ditingkatkan secara bertahap.

138

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Pemberian zakat kepada muallaf tetap berlanjut sampai Rasulullah wafat. Di saat pemerintahan khalifah Abu Bakar, datang dua orang muallaf yang meminta bagian zakat berupa tanah, lalu Abu Bakar membuat sertifikat (surat kepemilikan) dan memberikan kepada mereka. Setelah itu mereka menemui Umar bin Khattab untuk menguatkan sertifikat itu, namun ketika Umar mengetahui isi surat tersebut segera ia hapus isi surat tersebut seraya berkata: ”Dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf, ketika itu Islam masih kecil dan pemeluknya masih sediki, namun karena sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja. Kebenaran berasal dari Tuhan kalian. Barangsiapa mau beriman maka berimanlah, dan barangsiapa tidak mau beriman maka kufurlah!” Akhirnya dengan menggerutu dan uring-uringan mereka kembali menghadap Abu Bakar. Namun setelah mereka bermusyawarah akhirnya Abu bakar sepakat untuk menarik kembali keputusannya. Melihat itu kedua muallaf tersebut bertambah jengkel dan mereka bertanya,”Sebenarnya siapa yang menjadi khalifah, anda atau ’Umar?” spontan Abu Bakar menjawab,”Dia, jika ia mau.” Ijtihad ‘Umar ibn Khattab tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, karena pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar tidak ditemui lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafat qulubuhum (orang-orang yang ditaklukkan hatinya). Pada saat itu Islam sudah menjadi superpower, yang mampu mengalahkan imperium Roma dan Persi, sehingga ’Umar berpendapat tidak perlu menghambur-hamburkan harta untuk menarik simpati orang-orang kafir agar memeluk Islam. 3. Al-Sawafi Setiap menaklukkan suatu daerah tertentu, Khalifah ‘Umar ibn Khattab menetapkan bahwa tanah-tanah yang ada di daerah tersebut diserahkan kepada pengelola (yang akhirnya menjadi pemilik) dan hanya mewajibkan kepada mereka untuk membayar pajaknya. Hal ini berlaku pada tanah yang mempunyai pemilik yang ditemukan ditengah berkecamuknya peperangan Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

139


Asra Febriani

dalam penaklukan daerah tersebut. Namun ada juga tanah yang tidak bisa dimiliki oleh seorang pun dari penduduk setempat. Tanah tersebut dinamakan Al-Sawafi yaitu tanah yang pada awalnya milik Kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik prajurit negara atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang yang ikut membantu dalam distribusi logistik perang. Status tanah tersebut diserahkan kepada penguasa atau imam. Disebut Al-Sawafi karena ‘Umar ingin memurnikannya dengah mengalokasikan seluruh hasil dari tanah tersebut kepada Baytl Mal. AlSawafi disebut juga Al-Qata’i karena dalam perkembangannya tanah tersebut dibagikan kepada orang-orang yang berkompeten dalam mengurusnya. Umar memberikan sebagian hasil dari tanah tersebut kepada penggarapnya, bagian tersebut tergantung kepada income yang diperoleh dari hasil produksi tanah tersebut. Salah satu tujuan ‘Umar membagikan tanah Al-Sawafi adalah agar si penggarap bisa menjadi intel untuk melakukan spionase terhadap penyusuppenyusup dari kalangan musuh Islam dan sekaligus mempertahankan tanah tersebut dari serangan musuh terutama di daerah perbatasan. Hal ini demi mewujudkan kemaslahatan umat Islam karena pembagian tanah yang dilakukan Rasulullah saw, Abu Bakar dan ‘Umar berasaskan prinsip maslahat. Dan pada dasarnya tanah ini adalah tanah wakaf yang pemanfaatannya tergantung kepada imam selama bervisi maslahat. 4. Mengqisas Orang Banyak Sebab Membunuh Satu Orang Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 178, “Diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba.” (Qs. Al-Baqarah (2): 178) Menerapkan qisas terhadap pembunuh adalah balasan yang setimpal terhadap jiwa yang dibunuhnya. Namun bagaimanakah jika pelaku pembunuhan berjumlah lebih dari satu orang dan mereka membunuh satu nyawa? Menurut riwayat dari Imam Malik dan Al-Syafi’i, bahwa ’Umar pernah

140

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

membunuh sekelompok orang (antara lima atau tujuh pelaku pembunuhan) karena mereka membunuh satu orang. Ia berkata,”sekalipun pembunuh orang tersebut adalah seluruh penduduk Shan’a, maka aku akan membunuh mereka semua.”4 Diriwayatkan oleh Al-Jasas bahwa ’Umar pernah membunuh beberapa orang laki-laki karena mereka telah membunuh seorang wanita. Keputusan ini sangat popular dan jelas sehingga hampir dapat disebut sebagai ijma’ ulama.5 Keputusan Umar ini dilaksanakan untuk mewujudkaan kemaslahatan umat karena jika mereka dibebaskan dari qishash maka akan banyak pembunuhan dilakukan bersama-sama. Mereka akan membunuh dengan cara bersamasama agar terhindar dari qishash. Dan ini akan menggugurkan maksud dari firman Allah dalam ayat tadi. Tujuan pelaksanaan qisas ialah untuk menciptakan maslahat ’āmah dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan saddu adz-zarī’ah. Oleh karena itu keputusan Umar dalam masalah ini tidak bertentangan dengan nash syar’ī yaitu “jiwa dengan jiwa”. Oleh karena itu kalangan jumhur sepakat dengan keputusan ini termasuk imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ath-Thawrī dan imam Ahmad. 5. Subsidi Terhadap Rakyat Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah didatangi pegawainya dengan membawa harta fay’i (harta rampasan perang) yang sangat banyak, lalu ia berkata,”Demi Allah yang tidak ada yang bisa menyamai-Nya, semua orang berhak atas harta itu. Berikanlah penggembala di gunung satu sa’ bagiannya, karena wajahnya turut mengalirkan darah (ikut berperang).”6 Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa ‘Umar pernah menulis surat kepada Hudhaifah,” Berikanlah mereka (setiap warga) bagiannya dan rezekinya.” Dalam 4

Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, Jilid II, (Kairo: Asy-Syarfiyyah, 132 H), hal. 188.

5

Al-Jashash, Ahkam Al-Qura=n, Jilid I, (Mesir: Al-Bahiyyah, 1347 H), hal. 162-163.

6

Ahmad ibn Hanbal, Al-Musnad, Jilid I, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1954), hal. 282

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

141


Asra Febriani

surat balasannya Hudzaifah mengatakan,”Kami sudah memberi mereka semua bagian, akan tetapi masih banyak tersisa.” Mendengar laporan itu ‘Umar kembali menulis surat yang isinya,”Harta itu adalah hasil fa’I mereka sendiri yang telah diberikan Allah, dan bukan milik ‘Umar dan keluarganya. Bagikan lagi harta itu kepada mereka.”7 Sejarah mencatat bahwa ‘Umar melaksanakan pembagian subsidi terhadap rakyat sepanjang masa pemerintahannya. Menurutnya kebutuhan semua rakyat adalah tanggung jawab negara Islam dan kakayaan negara adalah hak seluruh rakyat, bukan haknya atau keluarganya atau hak golongan tertentu. Ia juga berinisiatif untuk mendirikan Baytul Mal dan Dīwan, ia memerintahkan kepada pegawainya untuk mencatat setiap bayi yang baru lahir dan memberinya seratus dirham dan dua kantong makanan setiap bulannya dan diserahkan kepada keluarganya, baik yang kaya maupun miskin. Tidak ada perbedaan karena parameter pemberian tersebut adalah setiap anak yang lahir, bukan standar kekayaan keluarganya. Jika anak tersebut sudah menginjak usia anak-anak, Umar menambah bagian mereka menjadi dua ratus dirham setiap anak. Ketika anak sudah baligh, ia menambah menjadi lima ratus atau enam ratus dirham, ia juga tidak membedakan antara setiap anak yang lahir tersebut. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak jalanan, ia memberi uang kepada anak itu sebanyak seratus dirham dan memerintahkan wali anak tersebut agar mengambil bagian makanan anak itu setiap bulan. Ia juga berpesan kepada para wali dari anak-anak tersebut agar selalu berbuat baik kepada mereka, sedangkan nafkah mereka ditanggung oleh Baytul Mal. Perhatian Umar kepada anak jalanan melebihi perhatiannya kepada anak yang berada dalam keluarga yang normal, Umar menetapkan bahwa anak jalanan adalah bagian dari orang merdeka yang harus diperlakukan dengan layak seperti orang merdeka lainnya. 8 Khalifah ‘Umar bin Khattab tidak hanya berpikir bahwa tanggung jawabnya 7

Muhammad bin Saad, Ath-Thabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H),

hal. 215.

8 Syams Al-Din Al-Sarakhasi, Al-Mabsut, Jilid X, (Mesir: Al-Sa’adah, 1324 H), hal. 210.

142

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

selesai setelah ia memberi uang itu kepada rakyatnya, tetapi ia juga memikirkan pemanfaatan dari uang tersebut agar digunakan untuk kemaslahatan. Bahkan ia juga berpikir untuk masa depan orang-orang sesudahnya. Ibnu Sa’ad dan Al-Baladhri meriwayatkan bahwa Khalid bin Arfatah AlUdhri menemui ’Umar untuk menanyakan keadaan orang-orang setelah mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, engkau tinggalkan mereka sesudahku, padahal mereka berdoa kepada Allah agar menambah umurmu dan agar umurmu lebih panjang dari umur mereka. Orang-orang yang ikut perang Qadisiyah mendapat dua ribu dirham atau seribu lima ratus dirham. Setiap anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan diberikan seratus dirham dan dua kantong makanansetiap bulannya. Dan jika mereka sudah baligh, mereka mendapatkan lima ratus atau enam ratus dirham. Jika bagian-bagian ini diberikan kepada keluarga mereka padahal anak-anak itu ada yang sudah makan dan ada yang masih menyusui , apa pendapatmu?” Maksud dari pertanyaan Khalid bin Arfathah Al-Udri adalah agar ’Umar hanya member bagian kepada orang yang membutuhkan saja. Mendengar ini Umar menjawab, ”Demi Allah, jika itu memang hak mereka, maka aku akan memberikannya. Aku akan sangat bahagia jika memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Kalian jangan memujiku, karena jika harta itu dari keluarga Al-Khattab, maka aku tidak akan memberikan bagian kepada mereka dari harta itu. Akan tetapi aku tahu bahwa pemberian itu adalah suatu anugerah sehingga aku tidak berhak untuk menahannya. Jika salah satu diantara mereka ada yang bekerja sebagai penggembala kambing, iapun akan diberi bagian. Wahai Khalid, aku khawatir jika para pemimpin setelahku tidak memberi bagian kepada orang yang berhak menerima bagian tersebut. Jika nanti diantara mereka ada yang menyimpan dan mengkorupsi kekayaan negara, maka cari dan kejarlah mereka sampai apa yang diambilnya itu dikembalikan. Nasehatku kepadamu ini seperti nasehat tokoh-tokoh Islam sebelumku, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, maka ia tidak akan dapat mencium bau surga.” 9

9 Ahmad bin Yahya Al-Biladzari, Futuh al-Buldan, (Beirut: Dar Al-Nasr, 1957), hal. 635

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

143


Asra Febriani

‘Umar memberikan subsidi kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, ras, warna kulit, Arab atau a’jam sebagai salah satu implementasi tasyri’ Islami. Bahkan ia memberikan bagian kepada orang yang berbeda akidah sekalipun. Hal ini terbukti dalam riwayat Abu Yusuf bahwa ‘Umar memberi bagian dari jizyah (pajak) kepada laki-laki Yahudi renta. Pemberian bagian terhadap nan muslim oleh ‘Umar berdasarkan pada tasyri’ islam dan sesuai kaidah umum yaitu perintah berinfak secara mutlak. Sumber keuangan negara Islam pada masa ‘Umar bin Khattab berasal dari zakat kaum muslimin, seperlima dari hasil rampasan perang, pajak dari daerah-daerah ekspansi baru yang ditaklukkan Islam, pajak yang dibayar oleh orang-orang kafir mu’ahidin yaitu orang-orang kafir yang telah mengikat perjanjian dengan orang Islam dengan syarat mereka ikut berperang bersama umat Islam untuk mempertahankan negara sebagai ganti dari jaminan keamanan yang diberikan pasukan Islam kepada mereka dan dari sepersepuluh jumlah barang dagangan kafir dhimmi dan Harbi sebagai biaya cukai. Jika sudah demikian adakah orang yang tidak mau tunduk kepada negara Islam yang telah memberi subsidi tanpa pandang bulu pada masa ‘Umar? Oleh sebab itu Umar bin Khattab berhasil membuat negara Islam mencapai kegemilangannya dalam sejarah umat manusia. 6. Membagi Lima Bagian Al-Salab As-salab ialah segala sesuatu yang diambil dari apa yang dibawa oleh orang yang dibunuh dalam peperangan. Rasulullah saw telah mengizinkan mengambil al-salab dalam sabdanya. Artinya “Barangsiapa yang bisa membunuh musuh (orang kafir), maka ia berhak atas barang yang ada pada musuh itu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Asbab wurūd hadis tersebut adalah ketika Zubayr bin ‘Awwam berkelahi dengan seseorang dan ia berhasil membunuhnya lalu Rasulullah memberi semua harta salab kepada Zubayr. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa alBarra’ bin Malik pernah berkelahi dengan Marhaban Al-Zarah dalam suatu peperangan antara kaum muslimin dan bangsa Persi pada masa kekhlalifahan

144

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

‘Umar. Al-Barra’ berhasil membunuh Marhaban dan mengambil hartanya berupa dua gelang, baju Persi dari sutera, sabuk berlapis emas dan permata yang semuanya bernilai delapan puluh ribu dirham. Melihat hal tersebut Umar mengatakan,”pada zaman Rasulullah dulu kita tidak membagi lima salab, akan tetapi salab yang diperoleh Al-Barra’ jumlahnya terlalu besar, aku akan menariknya dan membagi seperlima saja. Dan Umar adalah orang pertama yang membagi salab menjadi lima bagian. Jadi Umar telah mempraktekkan hukum ghanimah kepada salab ketika salab tersebut berjumlah banyak. Hal itu bertujuan untuk kemaslahatan dan masalah salab adalah masalah furu’iyah yang tidak ada nash Alquran sehingga ia berpendapat keputusannya diserahkan kepada imam atau hakim yang bisa dilaksanakan selama berpegang pada prinsip maslahat. Menurut Umar, Rasulullah memberi seluruh harta salab karena salab ketika itu bernilai sedikit yang tidak mungkin dibagi lima. Oleh karena itu ia menyamakan salab yang diperoleh Al-Barra’ dengan hukum ghanimah karena nilainya yang besar. Salah satu penyebab Umar melakukan hal tersebut adalah karena ia khawatir akan tersebarnya berita salab yang bernilai besar itu dikalangan muslimin yang ikut berperang, sehingga dapat menyebabkan mereka tidak mau berperang jika musuh mempunyai salab sedikit. Umar sangat menekankan keikhlasan dalam berperang yaitu semata-mata menegakkan agama Allah, bukan karena materi yang sudah menjadi tabiat manusia. C. Penutup ‘Umar ibn Khattab adalah salah seorang tokoh yang memberikan inspirasi kepada mujtahid untuk berani memberi terobosan ijtihad terhadap masalahmasalah yang tidak disinggung dalam nash-nash syar’i, bahkan mencoba menginterpretasi kembali terhadap berbagai nash yang telah ada, untuk disesuaikan dengan kontek kekinian, dengan tetap berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah. ‘Umar ibn Khattab merupakan orang yang sangat jenius yang mampu mensinergikan antara pemahaman yang benar terhadap nash dan tujuan Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

145


Asra Febriani

nash-nash itu sendiri dengan maslahat ‘ammah (kamaslahatan umum) yang timbul dari nash-nash tersebut. Ia menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa berdasarkan pada nash yang qat’i thubut dan juga pada nash yang qath’iyud dalalah. Beliau meneliti nash-nash tersebut secara mendalam dan hati-hati, lalu menetapkan tujuan syar’i dalam mensyariatkan suatu hukum, di samping itu Umar juga mencoba menerapkan ijtihadnya pada berbagai peristiwa secara kontekstual, meskipun sudah ada nash yang qat’i. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Umar bin Khattab dalam menetapkan suatu hukum, tetap meruju’ kepada Alqurandan Hadis sebagai dasar hukum dalam membuat suatu keputusan dan kesimpulan-kesimpulan hukum, namun dalam menerjemahkan teks-teks tersebut, tentunya perlu disesuaikan dengan kontek dan situasi tertentu, sehingga hukum Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin di sepanjang masa.

146

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


IJTIHAD ’UMAR IBN KHATTĀB DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

DAFTAR PUSTAKA Bin Hambal, Ahmad. Al-Musnad, Jilid I, Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1954. Bin Yahya Al-Biladzari, Ahmad. Futuh Al-Buldan, Beirut: Dar Al-Nasr, 1957. Al-Jashash, Ahkam Alquran, Jild I, Mesir: Al-Bahiyyah, 1347 H. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Mesir: Ahmad Kamil, 1333 H. Bin Anas, Malik. Al-Muwatta’, Jilid II, Kairo: Asy-Syarfiyyah, 132 H. Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattab, Kairo: Dar alSalam, 2003. Bin Sa’ad, Muhammad. Al-Tabaqat Al-Kabīr, Jilid III, (Leiden Press, 1325 H). Fathur Rahman, Mukhtar Yahya. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986). Al-Sarkhasi, Syams al-Din. Al-Mabsuth, Jilid X, (Mesir: al-Sa’adah, 1324 H).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

147


148

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG (Studi atas Fatwa DSN)

Mahli Ismail Fakultas Syari`ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Asrama Pascasarjana Kota Banda Aceh NAD, 23111, Email: Mahli_Ismail@yahoo.Com

Abstract Establishing the financial body based on the syariah law that influence to apply the economic values in activity of society. The existence of Syari’ah Bank is to develop the syariah principle especially to apply its model in the bussiness, such if the debitor does not execute the obligation meanwhile he has an ability for it, so he due to be punished.

Key words: Nasabah, sanksi, utang


Mahli Ismail

A. Pendahuluan Eksistensi perbankan sebenarnya untuk memudahkan kegiatan manusia secara umum dengan prinsip mutualisme (saling menguntungkan). Untuk mewujudkan prinsip tersebut, maka perbankan dan penggunanya (nasabah) mesti mentaati aturan-aturan yang berlaku sehingga memberikan kenyamanan dalam bertransaksi. Dalam konteks ini, penulis hanya menfokuskan uraian tentang bagaimana prilaku mereka yang menundah pembayaran utang dan solusi yang harus tempuh agar kegiatan perbankan tidak menjadi terkendala karenanya. Tulisan ini akan diuraikan secara sistematis dimulai dengan pengertian bank hingga ke pokok permasalahan yang dimaksud. 1. Pengertian Bank Bank berasal dari kata banque bahasa Perancis dan banco dalam bahasa Itali, berarti peti atau bangku. Konotasi kata ini menunjukkan fungsi dasar bank secara komersial, yaitu menyiratkan fungsi sebagai tempat penyimpan benda-benda berharga seperti emas, berlian, uang dan sebagainya.1 Pada abad 12 banco di Italia merujuk pada meja, tempat usaha menukar uang (money changer) dalam transaksi bisnis yang luas yaitu membayar uang dan jasa. Jadi fungsi dasar bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa. 2. Sejarah Hukum Perbankan Syari`ah di Indonesia Pada era modern ini, fungsi bank konvensional sebagai lembaga Intermediasi2 adalah menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkan kepada nasabah lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah itu, bank 1 Iswardono Sp, Uang dan Bank, ( Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 50. Lihat juga Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari`ah, ( Jakarta: AlvaBet, 2003), hal. 1 2 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182. tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang perbankan, disebutkan bahwa bank adalah Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

150

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

memberi imbalan berupa bunga, demikian pula atas pemberian pinjaman itu bank mengenakan bunga.3 Peran Bank Konvesional amat besar dalam memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi dan kerja Bank Konvesional ini telah mengadopsi secara meluas di dunia termasuk negara-negara yang berpenduduk muslim. Dalam operasional Bank Konvesional terdapat kegiatan-kegiatan yang belum sesuai dengan syari`at Islam seperti menerima dan membayar bunga yang sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi Islam di sisi lain. Karena itu untuk mengembangkan perekonomian Islam perlu digalakkan dan ditingkatkan pendirian Bank Syari`ah dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kelancaran proses ekonomi Islam secara meluas. Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu yang ada di atas, dibalik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicitacitakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan. Kesimpulan bahwa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil� merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat dipahami dari Penjelasan Pasal 1, ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.4 Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip mu`amalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha Bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan Syari`at Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. `Pembatasan hanya diberikan dalam hal: 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu 3 Ahmad Arif Rifan, MSI-UII.Net, 8-8-2005. 4 Iswardono Sp, Uang dan Bank, hal. 1.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

151


Mahli Ismail

pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh Bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip Syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-Bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal�, yakni pendapatan yang didapatkan dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan Syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan Syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi

152

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/ XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘Badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan Syari`ah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrul zaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalah yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut : “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”. Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).” Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap identitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syari`ah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No.10 Tahun 1998, yakni: 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

153


Mahli Ismail

Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari`ah; dan 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari`ah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni: 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar bank berdasarkan prinsip syariah; dan 3.Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syari`ah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syari`ah dalam melakukan pengendalianmoneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesi untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberika pembiayaan berdasarkan prinsip syari`ah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

154

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

Di samping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syari`ah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah,s erta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syari`ah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syari`ah. Kerjasama pemerintah dan para ulama untuk menyampaikan pesan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam hendaknya terus dilakukan. Untuk menjembatani kesenjangan para ulama dan ilmu ekonomi Islam, dilakukan pelatihan dan pendidikan ekonomi/perbankan Islam kepada para ulama dan di sisi lain para ekonom Islam dan Islamic bankers diharapkan juga terjun menjadi tenaga pendidik di berbagai institusi pendidikan syariah. Kemajuan sistem informasi dan teknologi dewasa ini juga membuka peluang belajar syariah melalui internet. Dengan kemudahan ini seyogyanya tugas institusi pendidikan di tanah air juga akan sangat terbantu. Eksistensi Bank Syariah di Tanah Air telah mendapat tempat di masyarakat luas. Karena itu, sosialisasi bank syariah di masa mendatang harus lebih menonjolkan pemberian pemahaman tentang nilai tambah bank tersebut. Sistem pendidikan keuangan Islam di berbagai tingkatan, berperan penting untuk mendidik masyarakat tentang keunggulan bank syariah. Faktor Sumber daya insani (SDI) dalam sistem perbankan Syariah tidak hanya menentukan kinerja Bank Syariah, namun juga alat promosi dan edukasi bagi masyarakat. Menciptakan masyarakat yang cenderung bertransaksi dengan Bank Syariah mutlak ditentukan oleh sistem pendidikan yang akan mencetak SDI yang beriman dan berilmu, ditambah peran serta para ulama. 3. Pengertian Murabahah Murabahah merupakan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

155


Mahli Ismail

keuntungan yang desepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu harga pokok produk yang ia beli/pesanan dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya sesuai kesepakatan/`aqad. Pada dasarnya murabahah memiliki fleksibilitas yang luas yang diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi berupa domestic/ elektronik dan perumahan, dalam kontrak jangka pendek dengan sekali `aqad. 4. Hukum Jaminan Hukum jaminan diatur dalam buku ke II KUHPerdata yang berisi tentang benda, hak kebendaan, warisan, tentang piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotik. Tentang benda dan hak kebendaan merupakan asas dari buku ke II KUH Perdata. Waris dimasukkan ke dalam buku ke II KUHPerdata karena pengaruh dari hukum Romawi. Sedangkan tentang piutang yang diistimewakan mempunyai hubungan yang erat mengenai gadai dan hipotik. Buku KUHPerdata memliki sistem tertutup. Artinya hak-hak kebendaan di luar dari buku ke II tidak diperkenankan dan para pihak yang membuat perjanjian tidak bebas dalam memperjanjikan hak kebendaan yang baru. Namun pada kenyataannya pembuat undang-undang sendiri yang menciptakan hak kebendaan yang baru dalam suatu perundang-udangan di luar KUHPerdata, seperti: Creditverband dan Oogstverband. Selain itu praktek dan yurisprudensi juga mengenal adanya lembaga hukum baru, yang mempunyai ciri hak-hak kebendaan (fiducia). Hukum Jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Untuk pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan keterlibatan pemerintah selain Bank Syari`ah sebagai intermediator, dengan menerbitkan instrumen sukuk. Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan di Tanah Air, diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti. Bahkan potensi dana-dana simpanan Syariah yang ditanam dalam bentuk sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pemerintah. Di samping memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka panjang, sukuk juga dikenal sebagai instrumen yang likuid sehingga keberadaanya di pasar keuangan Syariah diharapkan dapat mengatasi kendala risiko

156

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

likuiditas, risiko pasar, dan lain-lain. Kerjasama antara Dewan Syariah Nasional (DSN), Bank Indonesia, lembaga kajian perbankan syariah dan perbankan Syariah sendiri akan berkontribusi dalam melihat kemungkinan pengembangan instrumen (produk) Bank Syariah. Proses financial engineering yang sedang dan terus dilakukan berbagai bank syariah dunia dapat menjadi salah satu rujukan terkait dengan hal tersebut. Secara umum salah satu faktor struktural yang menjadi penyebab keterpurukan ekonomi rakyat adalah meluasnya kolusi, korupsi dan nepotisme antara para biokrat, pengusaha besar dan para banker di Indonesia dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Dunia perbankan nasional dijadikan pintu dan sarana tempat pencurian dan perampokan uang rakyat dan Negara secara sestimatis, salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan payung hukum dalam dunia perbankan dan rusaknya system politik nasional, yang selanjutnya hal ini melahirkan sebuah fenomina yang disebut dengan kredit mancet.5 Pada prinsipnya pembeli/pemesan/debitur setelah barang diterima, ia punya kewajiban untuk melunasi hutangnya. Namun hutangnya belum lunas ia telah menjual/mengalihkan hak milik barang/benda tersebut kepada pihak ketiga, dan sekaligus menunda-nunda pembayan hutang. Oleh karena itu pihak Bank akan mengambil sikap: Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang (harga barang) dan mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan pembayaran hutang. Bagaimana sistem pengambilan dan penyitaan barang/benda sebagai jaminan dari pembeli/pemesan/debitur yang sudah berada pada pihak ketiga.6 Bagaimana pandangan Islam terhadap hutang dan tindakan terhadap orangorang atau para pihak yang tidak memenuhi kewajibannya (bayar Hutang). 5 Ahmad Arif Rifan, MSI-UII.Net, 8-8-2005. 6 Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainbal Arifin dan Dahlia Husin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 149.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

157


Mahli Ismail

Hutang timbul apabila terjadi pinjaman uang atau transaksi yang tidak tunai. Islam menganjurkan sedapat mungkin untuk tidak berutang, namun jika terpaksa berhutang diwajibkan segera membayar atau menepati akad atau janji yang telah disepakati.7 Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercaya kepadanya. Apabila seseorang telah mendapat keredit atau pembiayaan dari Bank, maka ia setelah mendapat amanah dari orang lain (deposan atau sahib al-mal di Bank). Jika debitur tersebut melakukan cidera janji, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, dapat/bisa dilakukan tindakan sesuai dengan kondisi dan alasannya.8 Pada zaman sekarang ini dalam perbankan syari`ah ada muncul sikap menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah Bank terhadap akad Murabahah. Akibatnya Bank mengalami kerugian material (biaya penagihan dan penyewaan pengacara) dan non material (waktu dan tenaga serta pikiran). Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan Syariah akan pentingnya penagihan ganti rugi dan pengenaan saksi ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah pembiayaan yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran hutang). Berdasarkan alasan tersebut, Dewan Syari`ah Nasional Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa9 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. 10 7 Lebih lanjut tentang penanganan pembiayaan bermasalah lihat Muhammad, Manajemen Bank Syari`ah, (Yogyakarta: UPP APM YKPN, 2002), hal. 267. 8 Komentar Direktur Utama Bank Mu`amalah Indonesia, A. Ridwan Amin Dalam Ta`widh, Pembayaran Bagi Nasabah Nakal dalam Republika, senin, 4 Oktober 2004. 9 DSN-MUI, Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000. 10 Fit Elfani, Kepala Devisi Unit Usaha Syari`ah Bank Rakyat Indonesia, menunda-nunda pembayaran, contohnya adalah mendahulukan pelunasan pada pihak lain, atau menggunakan dahulu uangnya untuk kepentingan lain, atau mengunakan modal kerja yang diberikan bank pada usaha lain sehingga usahanya mengalami kegagalan ( dalam repoblika, senin 4 Oktober 2004).

158

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

B. Fatwa Dewan Syariah Nasinal tentang sanksi atas nasabah mampu yang menuda-nunda pembayaran Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional11 adalah No. 17/DSN-MUI/IX/2000, tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, sebagaimana berikut 12: Pertama : Ketentuan Umum 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menundanunda pembayaran dengan sengaja. 2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force major tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 6. Dan yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah terjadi kesepakatan melalui musyawarah. Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkannya dengan ketentuan jika di 11 Dewan Syari’ah Nasional dibentuk oleh MUI pada Tahun 1999. Lembaga ini saat ini beranggotakan para ahli hukum islam, dan para ahli serta para praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non-bank. Dimana fungsi utama lain dari lembaga ini adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang di kembangkan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS). Lebih lanjut lihat Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 235. Lihat juga Arifin. Z, Memahami Bank Syari’ah : Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek. (Jakarta : ALVABET, 1999). 12 Himpuna Fatwa Dewan Syari`at Nasional, Diterbitkan oleh DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari`ah Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2003).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

159


Mahli Ismail

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. a. Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut13: 1. Bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran. 2. Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayarannya baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak. 3. Bahwa masyarakat dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tersebut menurut Syariah Islami. 4. Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran menurut prinsip Syariah Islam, untuk dijadikan pedoman bagi LKS. b. Dalil-dalil yang digunakan oleh Dewan Syariah Nasional dalam menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. 1. Firman Allah Qs. Al-Maidah (5) : 1: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.….” 2. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dan ‘Amr bin ‘Auf. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat degan syarat yang mengharapkan yang halal dan menghalalkan yang halal.” 3. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I, Abu Daud, Tirmidzi, Malik, al-Darimi dari Abu Hurairah, Ibn 13 Ibid, hal. 103-105.

160

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

Majah dan Abu Hurairah dan Ibn Umar). “menunda-nunda (pembayaran) dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” 4. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Syraid bin Suwaid : “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 5. Hadis Nabi riwayat Ibn Majah dari ‘Ubaidah bin Samit, riwayat Ahmad dari Ibn ‘Abbas, dan Malik dari Yahya : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” 6. Kaidah Fiqih : “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” “bahaya (beban berat) harus dihilangkan.” c. Telaah terhadap fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Berdasarkan fatwa ini, para nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dapat dikenakan sanksi yang didasarkan pada prinsip ta’zir14, yaitu bersifat menyerahkan dan demi perbaikan serta bertujuan agar nasabahnya lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Selama ini bila nasabah lalai melunasi pembiayaan bank mereka dikenakan denda. Denda tersebut ditujukan guna mendisplinkan nasabah dan bertanggungjawab atas janji yang dibuatnya kepada bank. Lalu 14 Ta’zir menurut bahasa adalah amshdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Dalam al-Qur’an disebutkan : Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dna hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dna mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak dianzam dengan hukuman had atau kaffarah. (Lebih lanjut lihat, Abu Ishaq al-Syirazi, AlMuhadzdzab, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi,t.t, hal. 289).

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

161


Mahli Ismail

dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial, karena sifatnya, denda yang dibayar nasabah tidak boleh dijadikan sebagaimana pendapatan, akan tetapi dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan aqad Al-Qard alHasan. 15 Sementara itu, dalam sistem Bank Konvensional selama ini, bila nasabah lalai melunasi hutangnya pada Bank atau lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap Bank pada waktu yang telah ditentukan, mereka dikenakan denda. Dan denda tersebut dapat diklaim sebagai pendapatan oleh pihak Bank. Sedangkan dalam sistem perbankan Syariah denda tersebut tidak dapat diklaim sebagai pendapatan, bahkan dana yang didapat dari denda tersebut harus dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan. Perbedaan inilah yang terjadi antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. Dalam sistem Konvensional denda biasanya didasarkan pada teori Time value of money, yaitu teori yang menyatakan bahwa uang dengan jumlah yang sama sekarang atau saat ini adalah lebih bernilai dibandingkan dengan yang saat nanti. Dalam ekonomi Konvensional time value of money biasanya juga didefinisikan sebagai “a dollar is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return.”16 Namun jika time value of money ini hanya masalah 15 Qard Hasan (Pinjaman Kebijakan). Ini adalah jenis pinjaman tanpa laba (zero-return) di manaAlquran an mendorong kaum muslim agar mengadakannya untuk kalangan yang membutuhkan. Peminjam berkewajiban mengembalikan hanya pokok pinjamannya saja, tetapi boleh memberikan kelebihan (marjin) menurut kebijaksanannya. Peminjam qard hasan juga mendapatkan manfaat dari berbagai macam layanan dan keuangan serta diberikan kepada lembaga-lembaga amal untuk mendapat aktivitas-aktivitas mereka. Pembayaran kembali dilakukan selama suatu periode yang disepakati oleh kedua pihak. Pungutan biaya layanan yang tidak seberapa atas pinjaman ini dibolehkan asalkan berdasarkan atas biaya pengurusan pinjaman yang sesungguhnya, dan tidak dikaitkan dengan jumlah atau batas waktu pinjaman. (lebih lanjut lihat Latifa M. Alqaud dan Merryn K. Lewis, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktek dan Prospek, alih bahasa Burhan Wirasubrata, Jakarta : Serambi, 2003), hal. 90-91). 16 Aswath Damodaran, Corporate Finance : Theory and Practise (New York : John Wiley and Sons, 2001), h. 34.

162

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

keuntungan dan resiko, maka Islam menolaknya, hal ini disebabkan oleh masalah ketidakpastian di dunia ini, juga sifat seluruh manusia dan tidak seorang pun berhak mengecualikan dirinya dari hal itu dengan sebesar biaya apapun.17 Namun selanjutnya ternyata yang menjadi masalah adalah biaya dalam proses penagihan terhadap nasabah yang mampu tetapi menunda-nunda pembayaran. Dalam sistem Bank Konvensional biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan sebagian dapat ditutupi dari dana denda, misalnya biaya yang relatif kecil seperti biaya administrasi hingga biaya yang besar seperti menyewa pengacara, jika kasusnya serius. Sementara itu dalam sistem Bank Syariah biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan tidak dapat ditutupi oleh dana denda, karena dana tersebut menjadi dana sosial, sehingga hal ini menjadi beban tersendiri bagi pihak Bank Syariah dan hal ini dirasa kurang adil (bagi pihak Bank Syariah). Sekilas bila dicermati pasal 4, 5 dan 6 dari ketentuan umum dalam fatwa DSN tentang sanksi atas masalah mampu yang menunda-nunda pembayaran, tampak bahwa pihak Bank Syariah kurang diuntungkan dalam hal pembiayaan terhadap proses penagihan, bahkan cenderung menjadi rugi. Namun saat ini sepertinya kekurangan yang ada dalam fatwa tentang sanksi atas masalah mampu menundanunda pembayaran ini dapat diatasi dengan telaah terbitnya fatwa DSN yang lain, yaitu fatwa tentang ta’wid18 yaitu fatwa ganti rugi dalam hal ini adalah ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan. Akan tetapi syarat pengenaan biaya ganti rugi adalah adanya kerugian riil yang diderita Bank Syariah. Dan angka kerugiannya harus nyata, jelas besarannya dan bisa dihitung serta bukan semata berdasarkan persentase. Selain itu, kerugian hanya dibebankan kepada nasabah yang nakal dan lalai membayar, bukan 17 Muhammad, Manajmen Bank Syari’ah, (yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002), hal. 66. 18 Fatwa ini telah dikeluarkan oleh DSN pada hari Jum’at., 01 Oktober dan menjadi produk fatwa ke-43 dari Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

163


Mahli Ismail

karena force major.19 Jika kejadiannya adalah force majeour maka tidak perlu ada ganti rugi. d. Analisis terhadap Teks dan Fonomena 1. Orang yang berjanji wajib memenuhi janji, pelanggaran dari janji merupakan perbuatan tercela. 2. Menunda-nunda (pembayaran) oleh orang mampu adalah suatu kezaliman 3. Menunda-nunda (pembayaran) oleh orang mampu boleh dikenakan sanksi 4. Menunda-nunda (pembayaran) kepada pihak lain berarti membuat orang lain rugi 5. Besarnya ganti rugi boleh diselesaikan dengan perdamaian kedua belah pihak e. Kategori: - Menunda pembayaran, dapat merugikan orang lain dan merupakan perbuatan melawan hukum, - Sanksinya; wajib ganti rugi, yang besarnya merurut kesepakatan. D. Penutup Dari uraian dan telaah terhadap fatwa tersebut pada bagian B dapat diambil kesimpulan: 1. Bahwa sanksi bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tetap berlaku. Sanksi ini didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 2. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang didapat dari denda itu tidak dapat diklaim sebagai pendapatan Bank Syariah tetapi harus dimasukkan pada dana sosial yang selanjutnya akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan.20 19 Suatu kesalahan. Akibat yang bukan karena suatu kesengajaan, atau akibat dari sesuatu yang berada di luar kemampuan dan kontrol nasabah, misalnya adalah yang diakibatkan oleh bencana alam. 20 Pembiayaan qard hasan bisa juga menjadi jalan untuk membererat dan memfasilitasi

164

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

3.  Jika dalam proses penagihan Bank Syariah ternyata mengalami kerugian, maka Bank Syariah dapat mengenakan biaya ganti rugi pada nasabah dengan syarat perhitungannya bukan berdasar pesentase atau time value of money melainkan biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh Bank akibat kelalaian nasabah, dan hal ini telah diatur dalam fatwa DSN yang lain yaitu fatwa tentang ta’widh atau ganti rugi.

hubungan bisnis yang ada. Al-Harran (1993, h.99) memberikan beberapa contoh keadaan di mana sebaiknya institusi-institusi keuangan Islam menggunakan model pembiayaan qardh hasan.(a) Dalam musyarakah antara institusi dan klien, sering kali tidak semua saham institusi dalam proyek dapat diarahkan untuk mendapatkan hak partisipasi dalam keuntungan proyek. Partisipasi institusi bisa terpecah ke dalam dua bagian: saham dalam modal kemitraan dan saham dalam modal kerja yang disediakan melalui qard hasan. Namun, dalam hukum Islam muncul tanda tanya tentang qardh ini karena keuntungan yang diambil darinya. (b) Qardh hasan dapat juga diberikan kepada klaim. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

165


Mahli Ismail

DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah : Dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari`ah. Jakarta: AlvaBet, 2003. Arifin. Z. Memahami Bank Syari’ah: Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek. Jakarta : ALVABET, 1999. Damodaran, Aswath. Corporate Finance : Theory and Practise. (New York : John Wiley and Sons, 2001. DSN-MUI, Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000. Himpuna Fatwa Dewan Syari`at Nasional. Diterbitkan oleh DSN-MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syari`ah Nasional. Jakarta: Intermasa, 2003. Iswardono. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE, 1994. M. Alqaud, Latifa dan Merryn K. Lewis. Perbankan Syariah : Prinsip, Praktek dan Prospek, alih bahasa Burhan Wirasubrata. Jakarta : Serambi, 2003. Muhammad. Manajmen Bank Syari’ah. Yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002. Qardawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Republika. senin 4 Oktober 2004. Rifan, Ahmad Arif. MSI-UII.Net, 8-8-2005. Al-Syirazi, Abu Ishaq. AlMuhadhdab. Mesir: Isa al-Bai al-Halabi, t.th. Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182.

166

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

Irwansyah Mahasiswa program Doktor, Jurusan Fiqh Modern, Pascasarjana IAIN Al-Raniry Banda Aceh.

Abstract Everyone is to fulfill the need of the life. Each of the need generally can be classified to be primary (darūriyyat) and secondary (hājiyāt). Dharūri is the main need in human life, if it is not be fulfilled will effected the loss in the world and be punished in hereafter. Meawhile hājī is everything that impact the main elements, without that, it will be hard to get darūri. But it could not be reached, the life will not loss. The end is tahsinī, it means that the things are related to eligible and good, a costume put it in a good perspective and all of that can be positioned in a part of akhlāk al-karīmah. In other word, the three terms can be explained that dharūri is related to keep five principle of life; religion, sense, soul, wealth and off-spring. Hājī is to avoid from the hardness to get the five. Meanwhile tahsinī is an effort of human being to do something better or in a way of a good manner.

Key words: Dharūriyyat, Hājiyāt dan Tahsiniyāt


Irwansyah

A. Pendahuluan Objek kajian hukum Islam mencakup berbagai aspek. Selain persoalan antar manusia dengan sesama, manusia dengan pencipta (Allah), dan juga persoalan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Semua pengkajian dan pengaturan tersebut yang tujuan inti adalah demi kemaslahatan manusia itu, agar dapat memperoleh kehidupan yang yang terbaik, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka pembebanan hukum dalam Islam didasarkan atas asas kemaslahatan. Maslahah yang dimaksud itu tidak saja untuk manusia sebagai khalifat Allah di permukaan bumi, tapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya juga akan merasakan manfaatnya. Sebagai contoh bagi bukan manusia dapat diilustrsikan bahwa hewan hanya boleh dimakan bila dilakukan dengan penyembelihan; penebangan liar dilarang, karena membahayakan lingkungan. Dengan aturan demikian, hewan tidak boleh dibunuh sesuka hati. dan memotong pepohonan hanya bilamana hasil yang diperoleh baik untuk kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aturan hukum Islam diarahkan untuk mengatur kehidupan manusia, dikarenakan faktor buruk (qabh) dan baik (husn).1 Perbuatan yang baik menurut syara’ adalah suatu perbuatan yang menyuruh kepada manusia untuk melaksanakannya. Sementara perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dilarang untuk mengerjakannya. Dengan bahasa lebih sederhana bahwa hukum Islam menjadikan nilai-nilai etika dalam menentukan formulasi hukumnya. Dua pembagian qabh dan husn tersebut dapat dikelompokkan kepada tiga tingkatan; harus dilakukan, lebih baik dilakukan, dan alangkah baik untuk dilakukan. Artinya, perbuatan yang baik tidak semuanya wajib dilakukan, tetapi mungkin saja pembebanannya lebih baik atau baik dilakukannya. Tiga tingkatan ini dalam kajian nilai hukum ekplisitnya diberi nilai hukum wajib, haram, sunat, makruh dan mubah 1 Asaf A. A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam, terj. Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas,

1965), hal 21. lihat J.N.d Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 3.

168

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

Dalam metodologi hukum Islam, ketiga tingkatan itu diberi nama, tingkatan wajib dilakukan disebut darūri, tidak wajib dilakukan namun dengan melakukannya akan menyempurnakan yang wajib disebut hājī, dan baik melakukannya atau pelengkap dua yang pertama disebut dengan tahsinī. Ketiga tingkatan itu, sesuai dengan prinsip kemaslahatan dimaksudkan untuk menjaga atau memelihara unsur yang lima; yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pemeliharaan masing-masing lima jenis ini, dilakukan berbagai ketentuan perbuatan hukum. Dan pelaksanaan ketentuan dimaksud berada pada tiga tingkatan darūri, hājī dan tahsinī. Untuk tiga tingkatan dimaksud, syara’ tidak memberi suatu uraian secara ekplisit. Pengelompokan itu merupakan ijtihad para ulama. Usaha fuqahā dalam memformulasinya untuk sebuah tujuan, yaitu menjelaskan hukumhukum syara’ agar dapat diamalkan sesuai dengan tiga tingkatan itu. Oleh karena, dalam kajiannya nanti selain ketiga istilah itu, perlu juga dijelaskan landasan pengelompokkan dan perbuatan yang termasuk dalam masingmasing kelompok. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut. B. Pembahasan 1. Pengertian Syara’dan Hukumnya syari’ah, adalah ketetapan-ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.2 Dengan demikian dapat dipahami bahwa syari’ah, adalah sebagai jalan yang ditetapkan Tuhan bagi manusia agar dapat menjalankan kehidupannya sesuai aturan yang dibenarkannya. Aturan ini secara umum dibentuk dalam suatu bagiannya yang dinamakan dengan hukum syara’. Hukum tersebut mengatur tata kehidupan manusia, dalam usahanya mencari kebutuhan hidup, baik yang bersifat batin maupun lahir.3 2

Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998), hal. 41

3 Berbicara tentang hukum, antara konsep Islam dan Barat mempunyai perbedaan. Hukum

Islam: memasukkan seluruh perbuatan manusia ke dalam cakupannya. Sedangkan hukum dalam pandangan Barat adalah sesuatu yang diberlakukan oleh badan-badan peradilan. khusus pembahasan hukum Islam dapat dilihat dari materi literatur fiqh. Anderson memandang hukum Islam sebagai ajaran (doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban setiap Muslim. J.N.d Anderson, Hukum Islam…, hal. 4-6. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

169


Irwansyah

Aturan hukum syara’ mempunyai asas yang umum. Artinya tidak hanya membicarakan masalah yang timbul ketika aturan itu disampaikan, tetapi juga mepunyai celah yang besar untuk dimasukan persoalan baru yang muncul kemudian.4 Karena itu, aturan ini disebutkan dengan teks yang global, namun memiliki nuansa yang luas untuk dipahami. Bentuk aturan tersebut dapat dipahami sebagai jalan untuk dapat diaplikasi dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas.5 Selain itu, aturan yang disebutkan dalam dua sumber dasar agama tersebut tidak memberi nilai yang kongkret terhadap suatu masalah. Oleh karena itu, ketika para ahli hukum menelaahnya, akan menemukan hukum yang bervariasi antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Faktor yang menyebabkannya adalah pengaruh redaksi yang tersedia berpeluang untuk ditafsir dalam bentuk yang berbeda. Berbagai bentuk aturan yang disampaikan itu dapat dilihat dari aspek yang diatur dalam objek kajian hukum syara’, yakni meliputi hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,6 dan berbagai bidang lain yang dikehendaki syar’ī.7 Kesemuaannya disampaikan secara global (absolut), dan dalam bentuk yang juz-iyyah. Dan telah diformulasi .8 dalam sebuah kaidah umum:

4 Said Ramadhan, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh, (Jakarta: Firdaus, 1991), hal. 8. 5 Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok:Hukum-hukum

ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu; Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya; Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat. Kaidah ushul mengatakan: ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab (‘illatnya). Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 72. 6 Daud Ali, Hukum …, hal. 38. 7 Yusuf Qaradhawi, Syariat Islam Ditentang Zaman, terj. Abdul Zaki, ( Surabaya: Pustka Progresif, 1993), hal.17. 8 Muhammad Salim’Awa, Fi Ushul al-Nidham al-Jina’I al-Islami, (Qahirah: Dar alMa’arif, 1983), hal 46.

170

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

H.A.R. Gibb menulis, Hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat. Seperti disebutkan di atas, bahwa hukum Islam diformulasikan atas dasar normanorma etika, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan semua aspek lainnya.9 Hukum Islam merupakan hukum yang komprehensif. Ia tidak ditetapkan hanya untuk seorang individu, tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkungan umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsabangsa dunia yang lainnya baik bangsa penganut agama ahlu kitab maupun kaum penyembah berhala.10 Hukum Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu, melainkan mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri. Jadi, pengaturan itu dimaksudkan untuk menjaga individu dalam kehidupan bermasyarakat. Ini menunjukkan, hukum memainkan peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan masyarakat. Individu diperbolehkan mengembang hak pribadinya dengan syarat tidak menganggu kepentingan masyarakat.11 Dalam aplikasinya ketentuan hukum yang diberikan Islam tidak mendhalimi dan didhalimi. Sistem hukum itu mampu memberikan kebahagiaan kepada orang yang mendapat putusan hukum darinya. Ini terjadi karena ia memenuhi syarat-syarat keadilan, keamanan, ketentraman, dan kepuasan batin.12 Dengan bahasa lain, aturan hukum Islam mengandung nilai maslahah yang besar bagi dan kehidupan manusia. 9

Fathurrahman Djamil, Filsafat…hal.156.

10 Yusuf Qaradhawi, Pengantar Kajian Islam, terj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), hal. 146. 11 Fathurrahman Djamil, filsafat…hal. 157. 12 Yusuf Qaradawi, Syariat Islam …, hal 15.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

171


Irwansyah

Rincian maslahah yang difokus hukum Islam terlihat dari tujuan pemeliharaannya pada lima aspek berikut: a). memelihara kemaslahatan agama b). memelihara jiwa c). memelihara akal d). memelihara keturunan e). memelihara harta benda dan kehormatan.13 Kelima perkara itu merupakan hal yang pokok bagi manusia. Jadi, dengan memperhatikan keutuhan lima bidang tersebut, kebaikan diduga akan terwujud. Oleh karena itu, maslahah dijadikan sebagai unsur yang mendasar dalam penerapan hukum Islam. Beberapa nash menunjukkan bahwa syari’at tidaklah diturunkan kecuali untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga pemikiran demi kemaslahatan adalah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh tasyrī’. Keseluruhan tasyrī’ berpijak atas dasar maslahat, meskipun terkadang akal manusia tidak dapat mengetahui maslahah dibalik nass-nass tasyri’iyah. “sesungguhnya Allah memerintahkan kepada yang ma’ruf atau kebaikan, dan melarang setiap kejelekan dan kemungkaran. Oleh karena itu, dalam setiap sesuatu yang mungkin terjadi pada masyarakat, harus masuk dalam salah satu dari dua bagian tersebut (baik atau buruk.14 2. Maslahat Sebagai Prinsip Dasar Hukum Syara’ Hasbi Ash-Shiddieqy mengambarkan tentang maslahah, yang mana unsur tersebut merupakan hal yang utama dalam pemberlakuan sebuah hukum, yakni Orang yang mempunyai rasa dalam melaksanakan syari’at dan memperhatikan kesempurnaan-kesempurnaannya, pastilah akan melihat semua permasalahan yang menyangkut dengan kehidupan, pastilah mengandung sebuah tujuan yang baik, yaitu demi kemaslahatan seorang hamba, baik di dunia dan di akhirat, Ia meyakini bahwa tidak ada kemaslahatan 13 Fathurrahman Djamil, Filsafat…hal. 73. 14 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab, terj. Masturi Irham, Jakarta, Khalifah, 2005, Hal. 480.

172

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

yang lebih baik dari apa yang terkandung dalam syari’at Islam. 15 Seperti halnya Hasbi Ash-Shiddieqy, kebanyakan para pemikir hukum Islam lainnya memandang bahwa syari’at Islam yang diberikan Allah SWT. kepada umat manusia dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.16 Syari’at Islam merupakan hukum yang manusiawi, karena isi yang dikandungnya memberi kebaikan besar bagi umat manusia khususnya dan makhluk lain pada umumnya. Di antara hikmah yang terkandung dalam hukum yang di bawanya adalah masing-masing jenis makhluk memperoleh penghidupan yang layak, serta mendapat hak kepribadiannya masing-masing. Dan dengan hukum itu pula masing-masing mereka akan berada di tempat yang baik. Oleh karena itu, hukum ini dipandang sesuatu yang sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas, etika dan hak-hak pribadinya. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja dengan aturan-aturan mereka sendiri.17 Artinya bahwa ajaran Islam sangat sejalan dan koheren dengan segala isi jagat raya. Meskipun sebagian hukum Islam terkesan keras dan kasar yang terlihat secara kasat mata, namun maksud asasi dari aturan itu bila dikaji secara mendalam juga mengandung makna kemaslahatan. Sebagai contoh, Jihad yang dilakukan beresiko besar merupakan suatu hukum yang disyari’atkan untuk memelihara agama dan jiwa umat Islam. Seperti dimaksud dalam asas umum yang digunakan dalam memahami masalah ini adalah tujuan peperangan dalam Islam hanyalah ta’mīnul ‘aqīidah dan himmayat al- da’wah al-Islāmiyyah

15 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 124. 16 Ibnu Qayim mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu fondasi dan asasnya adalah

hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Asy-Syathibi mengatakan dibuat hukum hanyalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah diillatkan dengan keharusan memelihara kemaslahatan hamba. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum… , hal. 80 . 17 Fathurrahman Djamil, Filsafat…,hal. 154.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

173


Irwansyah

dan daf’ul i’tidā-i ‘anil muslimin wa bilādihim.18Jadi, jihad yang terlihat berat toh juga mempunyai makna yang tinggi bagi kehidupan manusia. Karena dengannya agama dan jiwa akan terjamin dan terpelihara. Izzuddin Ibn Abdi Salam membagi maslahat kepada tiga tingkatan; maslahat yang utama, kurang utama, dan pertengahan. Yang utama adalah maslahat yang menolak segala kerusakan yang paling buruk, dan mendatangkan maslahatnya yang paling kuat. Bahagian ini wajib untuk dijalankan.19 Ada pun yang kurang utama dan pertengahan ia menyebutnya dengan perbuatan yang sunat dan mubah untuk dikerjakan. Salam menambahkan bahwa dalam hal-hal yang dilarang, tujuan utama adalah menolak kefasadan dan mencegah kemudharatan. Apabila kefasadatannya besar maka wajib ditinggalkan. Kurang dari itu dapat dimasukkan dalam makruh. Sebagi contoh, keharaman zina karena akan sangat membahayakan, maka wajib ditinggalkan. Dan perbuatan ini tentulah lebih tinggi dari pada keharaman memeluk dan mencium, mungkin perbuatan terakhir tidak sebarat yang dipengaruhi oleh zina, walaupun kedua-duanya haram.20 Prinsip lain yang ditetapkan dalam hukum Islam mencegah kemudharatan bagi umat manusia. Sebenarnya, prinsip ini perluasan dari konsep maslahah yang dijelaskan di atas. Namun, untuk lebih jelas dipandang perlu untuk dijelaskan secara terperinci, sehingga prinsip utama dari hukum Islam dapat dipahami lebih mendalam. Perlu dipahami bahwa kadang-kadang aturan yang ditetapkan hukum syara’ memberi kesulitan bagi mukallaf untuk mengamalkannya. Kondisi ini oleh syara’ membolehkan mencari jalan yang lain, yang memberi kebaikan bagi manusia. Inilah yang dinamakan dengan keadaaan dharurat. Keadaan ini oleh syara’ memberi aturan baru yang dinamakan dengan rukhsah. Beberapa kaidah akan dijadikan dasar (keadaan dharurat berkaitan dengan penjelasan ini; membolehkan yang terlarang), demikian juga 18 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal 149. 19 Ibid., hal. 192. 20 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 194-195 .

174

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

(keadaan dharurat mewajibkan kita mengerjakan yang terlarang), dan (kemudharatan yang besar ditolak dengan mengerjakan kemedharatan yang kecil). 3. Pengelompokan Hukum Kepada Dharūrī, Hājī, dan Tahsinī a. Pengertian Dharūrī, Hājī, dan Tahsinī Apa bila kita membaca literatur yang membahas tentang maqāsid al-tasyrī’, maka istilah dharūrī, hājī, dan tahsinī dapat kita temukan di dalamnya, dan disebut sebagai tataran pembebanan hukum dalam pensyariatannya. Jadi, istilah yang tiga ini merupakan term yang digunakan untuk melihat tingkatan pensyariatan hukum yang disampaikan oleh syara’. Disebutkan hukum adakala bersifat dharūrī, (pokok), hājī (skunder) dan tahsinī (tersier, sebuah istilah yang dipinjam dari ilmu hukum). Untuk lebih lengkapnya, pengertian ketiga istilah itu akan dijelaskan berikut ini. Dharūrī adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, baik diniyah maupun dunyawiyah, dalam arti apabila dharuri itu tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta wajiblah atasnya azab yang pedih di akhirat. Jadi, unsur yang keberadaanya sebagai pokok bagi keberadaan agama dan kehidupan manusia, menjadi bagian dari dharūri. Demikian juga, persoalan yang memungkinkan hancurnya agama dan kehidupannya, maka memelihara keduanya dari gangguan menjadi bagian darūri juga.21 Pengertian tersebut mengisyarahkan bahwa dharūri dapat dilihat dari dua faktor: Pertama, mengwujudkan segala yang mengokohkan perwujudannya, yakni yang meneguhkan sendi-sendinya dan mengokohkan fondasi-fondasinya, dengan memelihara dari keeksistensinya. Kedua, mengerjakan segala sesuatu yang bersifat menolak kesadaran yang mungkin atau diduga menimpa pada unsur pokok. Artinya 21 Abu Ishaq Al-Syatibi, Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid 2, (Qahirah: Maktabah Taufiqaiyah, 2003), hal. 6.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

175


Irwansyah

menolak segala yang terjadi atau dikhawatirkan akan merusak dengan sebab terjadinya sesuatu. Hal itu ibarat memelihara dari segala ketiadaan (menghindari segala hal yang memberi efek hilang atau musnahnya sendi-sendi sebagai fondasi itu).22 Adapun hājī adalah segala yang dihajatkan masyarakat untuk menghindarkan masyaqah, dan menghilangkan kesulitan. Namun, apabila suatu hajiyat ini tidak terwujud, kehidupan manusia tidak merusak, hanya saja menimbulkan kekurangan dan kesempitan an sich. Hājī ini berlaku dalam bidang ibadah, bidang adat, bidang mu’amalat, dan jinayat.23 Ada juga yang mengartikan hājī dengan sesuatu yang mempengaruhi pada yang pokok, sehingga kesulitan (masyaqqah) dan kepayahan (haraj) akan terhindari. Kedua makna itu intinya sama, yakni menghindari kesulitan dalam menjaga yang pokok. Secara sederhana dapat dikatakan, dengan adanya hājiyāt perbuatan yang dharūri akan lebih sempurna. Sedangkan tahsinī diartikan dengan sesuatu yang menjadikan perbuatan yang kedua sebelumnya; dharuri dan tahsinī lebih baik, dan pantas yang oleh adat kebiasaan dipandang baik, yang kesemuanya dicakup dalam bagian makarimul akhlak.24 Umumnya tingkatan tahsinī dikelompokkan dalam sisi akhlakul karīmah.25 Penulis memandang, akhlakul karīmah di sini tidak saja bersifat fertikal, namun dalam hubungan horizontal akhlakul karīmah juga harus diaplikasikan. Dan term ini nampaknya semakna dengan istilah ihsān yang disebut dalam dialog jibril dengan Nabi saw. ketika ditanya ma huwa islām, īmān, dan ihsān. Dengan bahasa lebih sederhana, ketiga istilah di atas dapat disebutkan bahwa, dharuri dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok; agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Hājī dimaksudkan untuk 22 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 187. 23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 190. 24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 191. 25 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 8-9.

176

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. dan tahsini dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik dengan cara (kaifiyāt) yang mulia untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok .26

b. Pengelompokan Hukum (dharuri, hājī dan tahsinī) Di atas telah disebutkan bahwa hukum syara’ merupakan aturan yang mengandung tujuan dan maksud mensejahterakan umat manusia dari segala kebutuhan yang dikehendaki. Hukum Islam tidak menginginkan umat manusia berada dalam kemudharatan. Namun Islam menginginkan, mendorong dan mengarahkan agar semua perilaku manusia kepada sesuatu yang bermakna, sehingga memperoleh hasil yang berdaya guna bagi dirinya dan masyarakat.27 Faktor kemaslahatan merupakan konsep dasar dalam pensyariatan hukum Allah. Dan dalam pensyariatan hukumhukumnya tidak terlepas dari klasifikasi tiga tingkatan; yaitu dharuri, hājī dan tahsinī.28 Secara metodologi pengelompokan tiga tingkatan itu didasarkan pada ‘illat hukum yang dikandung dalam berbagai dalil nash. Akan tetapi penjelasan nash terhadap konsep ini bersifat implisit, dan bukan ekplisit. Karena itu, usaha ulama menjadi keharusan dan hasil yang dikemukakan dapat dibenarkan secara logis.29 Kajian terhadap ‘illat dalam mencari nilai dasar pembebanan hukum sehingga dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan; dharuri, haji, dan tahsini, mempunyai relevansi dengan prinsip maslahah yang dikandung dalam berbagai penetapan hukum. Bahkan dengan faktor maslahah itu kadang-kadang disebut sebagai acuan pengelompokan ketiga bagian itu.

26 Asafri jaya bakri, Konsep Maqasid Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 72. 27 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonsruksi Syari’ah, terj.Ahmad Suaedi dan Amruddin

al-Rany, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hal. 249

28 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat…, hal. 186. 29 Syaikh al-Said Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,

(Tunis:: Maktabah al-Istiqamah, t.t.), hal. 12.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

177


Irwansyah

Selanjutnya, berbagai hukum di dalamnya mengandung kemaslahatan, dan atas dasar maslahah itu pula pensyari’atan diwajibkan. Untuk lebih rinci penjelasan tentang kemaslahatan berdasarkan pada aspek yang lima yang oleh agama menjadikannya sebagai pokok yang harus selalu dipelihara adalah sebagai berikut: a. Memelihara agama 1. Dharūri. Sesuai makna yang dimiliki dharuri seperti disebutkan di atas, maka memelihara agama pada peringkat dharuri dapat diartikan dengan memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang dipandanng sebagai bagian primer dari perbuatan agama, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

Berkaitan pemeliharaan agama pada tingkat dharuri terbagi atas dua bentuk; pertama, abstrak, seperti iman kepada Allah dan hari kiamat, kedua kongkret, seperti diperitah berjihad, orang murtad harus diperang, dan berbagai perbuatan lainnya yang pokok dalam agama.30 2. Hājī. Perbuatan hukum yang menjadi bagi haji adalah melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan, seperti melaksanakan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mepersulit bagi orang yang melakukannya. 3. Tahsinī. Tahsinī pada agama yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Seperti bersedekah kepada orang lain atau lembaga tertentu yang dipandang sebagai lembaga sosial. Dalam hal ini sedekah akan menjadikan agama lebih indah

30 Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqāsid al-‘Ãmmah li Syarī’ati Islam, (Riyadh, Al-Dar al‘Alamiyah, 1994), hal.248.

178

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

b. Memelihara jiwa31 1. Dharūri. Seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia. 2. Hājī. Seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan , maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melaikan hanya mempersulit hidupnya. 3. Tahsinī. Seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.

c. Memelihara akal 1. Dharūri. Seperti diharamkannya minuman khamr. Bahwasanya jenis minuman khamr berpeluang besar efeknya akal manusia menjadi rusak. 2. Hājī. Seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang akan mempermudah dirinya dalam pemeliharaan akal. 3. Tahsinī. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah

d. Memelihara Keturunan 1. Daruri. Seperti disyariatkannya nikah dan dilarang berzina. Di mana perkawinan yang didasar lewat nikah akan menunjukkan kejelasan keturunan seseorang. 2. Hājī. Seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak

31 Makna ketiga tingkatan Darūrī, Hājī, dan Tahsinī pada jiwa, akal, keturunan, dan harta

tidak disebutkan lagi, karena makna keempat bagian itu dapat diikuti dari pengertian yang diberikan dari penjelasan pemeliharaan agama. Makna yang diberikan dikaitkan sesuai dengan bagian masing-masing. Selanjutnya, penjelasan empat bagian berikut ini diawali dengan contohnya.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

179


Irwansyah

kepadanya. 3. Tahsinī. Contoh Tahsinī seperti disyariatkannya walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan.

e. Memelihara Harta 1. Dharūri. Ialah sebuah ketentuan tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. 2. Hājī. Seperti syari’at jual beli dengan cara salam 3. Tahsinī. Seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan dan penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.32

4. Pengutamaan dari Lima Aspek Ketika Kontradiksi Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika maslahat yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat dharuri harus didahulukan daripada peringkat haji dan tahsini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, bila mana kemaslahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya. Misalnya, seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dengan untuk memelihara eksistensi jiwa. Makanan yang dimaksud harus makanan yang halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, pada hal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan yang diharamkan demi menjaga eksistensi jiwa. Makan dalam hal ini termasuk dalam menjaga jiwa dalam peringkat darūri, sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat hājī. Jadi haruslah lebih didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat 32 Fathurrahman Djamil, Filsafat…, hal. 128-133.

180

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

darūri daripada hājīi. Begitu juga halnya ketika peringkat tahsini berbenturan dengan peringkat haji, maka peringkat haji harus didahulukan daripada peringkat tahsinī. Bila terjadi kesamaan pada tingkatan yang sama, seperti darūri misalnya, maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada akal, dan begitu seterusnya. Namun, di antara kelima unsur itu, melihara jiwa merupakan unsur yang sentral dalam kaitannya dengan kemaslahatan yang bersifat duniawi. Karena itu dalam kasus tertentu memelihara jiwa dapat didahulukan daripada memelihara keyakinan. (QS. An-Nahl: 106).33 Dan demikianlah seterusnya dari urutan lima yang diperioritaskan. C. Penutup Hukum Islam dibebankan (khithab) kepada mukallaf dengan pertimbangan yang logis dan terikat dengan nilai keistimewaan yang tinggi. Meskipun hukum yang ditetapkan syara’ diperintahkan untuk melaksanakannya, tapi ternyata mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Para ahli hukum Islam menyebutkan, paling tidak ada tiga tingkatan hukum itu dibebankan kepada setiap umat Islam untuk diamalkan, yaitu; Darūrī, Hājī, dan Tahsinī. Ketiga tingkatan ini erat kaitannya dengan lima aspek pokok yang oleh agama diperintahkan untuk selalu dijaga dan dipelihara, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Yang dimaksud dengan daruri adalah segala perbuatan hukum yang sifatnya primer (pokok) yang berhubungan dengan segala aspek yang lima. Artinya, dengan mengerjakan kelima aspek tersebut maka seseorang akan menjadi terpelihara, sebaliknya dengan meninggalkan lima aspek tersebut maka akan menjadi binasa. Adapun yang dimaksud dengan Hājī adalah perbuatan hukum yang keberadaannya menjadikan lima aspek yang diprioritas syara’ akan lebih baik, dan dengan mengerjakannya kesulitan dan kecacatannya akan terhindari. 33 Fathurrahman Djamil, Filsafat…, hal. 133

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

181


Irwansyah

Sementara yang terakhir yaitu Tahsinī. Hukum yang masuk dalam kelompok tahsinī merupakan hukum yang membuat lima aspek tadi akan lebih indah. Di mana dengan perbuatan itu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta akan lebih baik, dan terbentuk lebih ihsān (kelihatan indah diperhatikan. Berbagai hukum yang disyariatkan atau yang ditetapkan syara’ akan dikelompokkan dalam tiga tingkatan yang disebutkan. Pengelompokkan ini ditunjukkan oleh faktor yang mempengaruhi secara primer (pokok), ataupun sekunder.

182

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


HUKUM DHARŪRIYYAT, HÃJIYÃT DAN TAHSINIYÃT DALAM PANDANGAN SYARI’AH

DAFTAR PUSTAKA Al-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonsruksi Syari’ah, (terj), Ahmad Suaedi dan Amiruddin Al-Rany. Yogyakarta: LKIS, 2004. Al-Khatib, ‘Abdul al-Karīm. Ijtihād, terj.Ach. Maimun Syamsuddin dan Abdul Wahid Hasan. Tanggerang: Gaya Media Pratama, 2005. Al-Syatibi, Abi Ishaq. Al-Muwāfaqāt Fī Ushūl al-Syarī’ah. Jilid 2, Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 2003. A. Fyzee, Asaf A. Pokok-Pokok Hukum Islam. terj. Arifin Bey. Jakarta: Tintamas, 1965. Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqāsid al-Syrī’ah Menurut Al-Syātibī. Jakarta: RajaGrafindo Persada,1996. Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997 Hasbi Ash-Shiddieqy. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. J.N.d Anderson. Hukum Islam di Dunia Modern. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.

terj. Machnun Husein.

Baltaji, Muhammad. Metodologi Ijtihad ‘Umar bin Khattāb, terj. Masturi Irham. Jakarta, Khalifah, 2005. Salim ’Awa Muhammad. Fī al-Ushūl al-Nidhām al-Jinā’I al-Islami. Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1983. Ramadhan, Sayyid. Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam. Terj. Badri Saleh. Jakarta: Firdaus, 1991. Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Aksara, 1979. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

183


Irwansyah

Bin ‘Asyur, al-Said Muhammad al-Thahir. Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāamiyah. Tunis: Maktabah al-Istiqāmah, t.t. Al-‘Ãlim, Yusuf al-Hamid. Al-Maqasid al-‘Ãmmah li al-Syarī’at al- Islāmi. Riyadh: Al-Dār al-‘Alāmiyah, 1994. Al-Qaradawi, Yusuf. Pengantar Kajian Islam. Terj. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1996 --------------------. Syariat Islam Ditentang Zama. , Terj. Abu Zaki. Surabaya: Pustaka Progresif, 1993.

184

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM Asmawati Ketua II Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh, Alumnus Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Tahun 2003.

Abstract The protection of consumer toward variety of product especially the food in Islam is the obligation that must be paid attention, at least there are three element related to the case, namely: producer, trader and consumer him/ herself. The obligation of consumer is to produce the halal food and save to be consumed as well not destroy the environment. The second, trader or vendor. He/She is considered as contributor of producer. The commodity should good condition, as well the transaction should be conducted in trust. So the consumer feel not loss after consuming the food. The third is the consumer. As decider, the consumer should force the producen to produce the good food based on the will of consumer, besides not to trespass the rule of the government.

Key words: Perlindungan, Konsumen dan Makanan


Asmawati

A. Pendahuluan Salah satu ciri pembangunan sesuatu negara adalah kemajuan dalam bidang ekonomi. Seiring dengan perkembangan dunia, bidang ini memainkan peranan yang cukup strategis bagi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Perbincangan mengenai ekonomi selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan pemenuhan kepentingan-kepentingan dan keinginan masyarakat yang sifatnya tidak terbatas dan beraneka ragam. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat (yang berupa materi) sebagai ekses dari perkembangan sistem ekonomi dunia, telah mendorong semua negara untuk selalu mengawal setiap aktivitas negaranya agar dapat berjalan dengan baik dan lancar. Berkembangnya sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, yang melihat keuntungan hanya dari aspek keuntungan materi semata, telah melahirkan krisis nilai yang berkelanjutan, karena itu untuk mengatasi fenomena tersebut Islam telah menawarkan sebuah sistem yang utuh dan lengkap yang mengatur semua sisi kehidupan manusia termasuk juga sistem ekonomi. Salah satu unsur perekonomian yang sangat dominan dalam masyarakat adalah perniagaan. Perniagaan ini merupakan aktivitas ekonomi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Dalam ajaran Islam terdapat bagian khusus yang membahas tentang masalah kebendaan dan harta kekayaan yang di dalamnya mengatur tentang hukum jual beli dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya. Dan hal yang paling penting dalam transaksi perniagaan Islam adalah halal dan baik, serta kejujuran. Prinsip kejujuran memiliki nilai tertinggi dalam praktek perdagangan, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika berniaga di Makkah dan Syam, dengan menunjukkan setiap kecacatan dan kekurangan barang dagangannya, sehingga konsumen tidak merasa kecewa terhadap apa yang telah mereka beli. Inilah salah satu etika perniagaan Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.

186

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

B. Pembahasan 1. Definisi dan Perilaku Konsumen Istilah konsumen dalam bahasa Arab disebut dengan mustahlak ( )1 ia berasal dari kata halaka ( ) yang bererti habis, binasa, atau mati.2 Kemudian kata ini dalam pembahasan ekonomi Islam dimaknai dengan barang yang habis digunakan, seperti makanan, minuman dan sejenisnya 3

Ramadhan Ali as-Sayid as-Syarnabasi mendefinisikan bahwa konsumen adalah seseorang yang memerlukan suatu barang dengan cara membeli dan bermaksud untuk menggunakan atau menghabiskannya.4Konsumen juga di difinisikan sebagai orang yang membeli atau menyewa barang untuk kegunaan atau keperluan sendiri atau seseorang yang membayar harga barang atau perkhidmatan dan berhak mendapatkan apa yang dibayar, baik dalam bentuk sejumlah kuantitas atau kualitas yang sebenarnya.5Secara ekonomi konsumen merupakan orang yang membeli, mendapatkan dan menggunakan semua jenis barang dan perkhidmatan dari pihak lain.6 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang menggunakan barang dan perkhidmatan untuk keperluan sendiri baik secara individu atau kolektif disebut sebagai konsumen. Penjual juga dikatakan konsumen karena mereka juga menggunakan barang dan perkhidmatan untuk memenuhi keperluan mereka. Oleh karena itu, konsumen secara kualitas dan kuantitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dan sangat berpengaruh dalam kegiatan ekonomi dunia. 1 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III, (Beirut: Libraire du Liban, 1960), hal. 109 2 Rohi Baalbaki, al-Mawrid, (Beirut-Libnan: Dār al-‘Ilm lil-Malāyīn, 1997), hal. 1200. 3 Ibrahim Musthafa, Mu’jam Wasit, juz. I, (Istambul: Maktabah Islamiyah, 1999), hal. 991 4 Ramadhan Ali as-Syarbasi, Himāyah al-mustahlika…, hal. 25.

P.G Krishnan, Consumer Protection dalam Leelakrisnan P., Consumer Protection and Legal Control, (Cochin: Eastern Book co. 1991), hal. 4 5

6 Mohammad Shariff Abu Samah, Undang-Undang dan Perlindungan Konsumen, (Kuala Lumpur: Internasional La Book Service, 1999), hal. 7

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

187


Asmawati

Dari berbagai konsumen yang ada di dunia, konsumen muslim juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam rangka pemenuhan keperluan dan kebutuhan mereka. Namun bagi setiap muslim pemenuhan kebutuhan tidaklah dapat digunakan sekehendak hatinya, namun haruslah berdasarkan ketetapan dan ketentuan Allah dan Rasulnya. Yusuf al-Qaradawi menekankan bahawa salah satu akhlak yang sangat fundamental dalam transaksi ekonomi, baik dalam memilih dan menggunakan barang, secara individu maupun kolektif adalah dengan berpegang teguh pada apa yang dihalalkan oleh Allah Swt. dan tidak melampui batas.7 Muhammad Nejatullah Siddiqi menambahkan bahwa manusia dilahirkan dengan berbagai keperluan yang sifatnya tidak terbatas. Semakin baik keperluan itu dapat dipenuhi, semakin baik pula kesehatan dan kualitas dirinya, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Islam memberikan kesempatan untuk melakukan usaha dalam bentuk apa pun dan membolehkan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan secara material, namun perlu digaris bawahi bahwa semua usaha itu haruslah mengandung makna ibadah, artinya bahwa Islam tidak hanya melihat dari aspek ekonomi semata, namun dalam setiap sisi kehidupan manusia termasuk dalam transaksi ekonomi juga mengandung makna ibadah.8 Dengan demikian usaha untuk memenuhi keperluan hidup, merupakan formulasi untuk memperolehi kemudahan hidup dan ibadah, bukan hanya sebatas untk memenuhi secara material. Dan kemajuan ekonomi yang baik tidak hanya dilihat pada peningkatan jumlah barang saja, tetapi harus dibarengi dengan moral dan rasa tanggungjawab yang tinggi yang berdasarkan pada ketentuan syari’ah, baik dalam berusaha maupun dalam menggunakan hasilnya, artinya bahwa dalam memenuhi kebutuhannya seorang konsumen muslim haruslah selalu dikontrol dan dibatasi oleh nilainilai keimanan. 7

Yusuf al-Qardawi, Dauri al-qiyāmi wa al-akhlak fi al-iqtishādi al-islāmī, hal. 159

Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of the Islamic Economy, (Delhi: Markazi Maktabah Islami, 1972), hal.17-19 8

188

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

2. Penggunaan dan Perlindungan Konsumen Masalah penggunaan muncul seiring dengan lahirnya manusia ke muka bumi. Ia merupakan permasalahan yang asas dalam kehidupan. Bahkan keluarnya Adam dari surga selanjutnya turun ke bumi adalah rencana Allah, agar Adam dapat memakmurkan bumi dan melangsungkan kehidupannya. Adam dan anak cucunya bekerja keras merubah bumi agar menghasilkan sesuatu untuk memenuhi keperluan hidup.9 Sementara makna penggunaan sendiri menurut Mohammad Hamdan Hj Adnan dapat dimaknai dengan dua makna: Pertama. “Penggunaan adalah sesuatu usaha untuk menyamakan kedudukan pembeli dan penjual. Konsumen ingin mengetahui apa yang mereka beli, apa yang mereka makan, berapa lama barang itu dapat disimpan, apakah barang tersebut dapat digunakan dan apakah kalau digunakan tidak mengganggu alam sekitarnya.” Kedua. Penggunaan adalah apa yang dikehendaki oleh penjual untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam perniagaannya, supaya konsumen merasa tentram dan puas melakukan transaksi dengannya.10 Virginia Kanuer menambahkan, “Penjelasan suatu produk tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, Ia merupakan penjelasan yang kongkrit dan nyata, serta memberikan kepada konsumen sebagaimana yang telah dijanjikan, sehingga masyarakat dan konsumen dapat memperoleh barang yang sempurna dan tidak cacat. Di samping itu bahwa barang yang dijual itu harus mempertimbangkan akan keselamatan dan kesehatan, baik bagi ekologi maupun alam sekitarnya.”11 Dari dua penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa masalah penggunaan berkaitan erat dengan sikap penjual dan pelaku ekonomi itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen. Artinya bahwa penjual haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen-konsumennya, 9

Yusuf al-Qardawi, Daūr al-Qiyām wa al-Akhlāk fi al-Iqtishādi al-Islamiy, hal. 140

10 Mohd. Hamdan Hj. Adnan, Kekonsumenan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), hal. 3 11 Ibid.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

189


Asmawati

dan juga produk yang dijual itu haruslah memberikan keselamatan dan berdampak sehat baik secara fisik maupun mental, di samping juga tidak merusak alam sekitarnya. 3. Hak-Hak Konsumen Berbicar mengenai konsumen, tentu tidak terlepas juga dari penjual, keduaduanya memiliki kepentingan masing-masing dan memiliki hak-hak yang sama. Hubungan antara penjual dan konsumen merupakan interaksi sosial dalam batasan sebuah transaksi perniagaan yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Ini artinya dalam sebuah transaksi ekonomi atau perniagaan, setiap konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan apa yang diinginkan, sementara pihak penjual berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhi hak dan kepentingan konsumen yang dilayaninya. Dalam Islam aturan-aturan yang berkaitan dengan perniagaan, ini termaktub dalam etika perniagaan Islam. Dalam Alquran kata etika ini sering disebut dengan ungkapan khuluq yang bermakna akhlak atau moral. Ketika kata etika disebut dalam perniagaan Islam, maka yang tergambar adalah bagaimana akhlak dan moral dalam sebuah perdagangan. Allah berfirman yang artinya,“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta-harta di antara kamu dengan jalan yang salah dan (janganlah) kamu membawa (urusan hata) kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta orang lain dengan jalan berdusta, sedangkan kamu mengetahuinya�. (Qs. Al-Baqarah (2): 188) Menurut M. Quraish Shihab kata “Di antara kamu� dalam ayat adalah harta benda milik bersama dan Allah membaginya untuk semua manusia secara adil dan bijaksana. Pembagian ini ditetapkan berdasarkan hukum dan etika agar pencapaian dan pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan kerusakan. Ayat ini juga memberi hak dan kebebasan bagi semua pihak dalam melakukan perniagaan, agar tetap memperhatikan hak-hak orang lain.12 12 Muhammad Quraish Shihab. Etika Bisnis Islam dalam Wawasan Alquran. Ulumul Quran, jilid 3, 2007, hal. 4-9.

190

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Sebagaimana hak-hak konsumen telah dipaparkan dalam syariat Islam, hakhak konsumen juga termaktub dalam deklarasi PBB yang telah diakui secara universal oleh hampir semua negara di dunia. Hak-hak konsumen tersebut adalah sebagai berikut : a. Hak untuk mendapatkan keselamatan, dimana konsumen harus dilindungi dari bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwanya ketika mengkonsumsinya; b. Hak untuk mendapatkan informasi, yaitu hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai kegunaan barangbarang dan cara perniagaannya; c. Hak membuat pilihan, Yaitu hak yang diberikan kepada konsumen untuk memilih barang-barang sesuai dengan harga yang patut dan mutu yang memuaskan, setiap kali konsumen membeli barangbarangnya; d. Hak untuk menyuarakan pendapat, yaitu hak menyuarakan pendapat apabila tidak puas hati terhadap barang yang ia peroleh atau tidak mendapat layanan yang sewajarnya; e. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, yaitu hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi yang disebabkan oleh kekeliruan pada barang-barang yang bermutu rendah atau juga pada kualitas yang tidak memuaskan; f. Hak untuk mendapatkan keperluan yang asasi, yaitu hak konsumen untuk mendapatkan barang yang menjadi kebutuhan asasi dalam kehidupan seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, air bersih dan lain-lain; g. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen supaya dapat bertindak dan berperilaku sebagai konsumen yang baik; h. Hak untuk mendapatkan alam sekitar yang sehat dan selamat yang dapat memperbaiki mutu kehidupan. 13 Walaupun dalam deklarasi ini tidak menyebutkan hak-hak konsumen muslim 13 FOMCA. 1999. Hak-Hak Konsumen. (atas talian) http://www.fomca.org.my/hak.htm. (25 Maret 2002)

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

191


Asmawati

secara terperinci, akan tetapi hak-hak ini boleh kita pahami secara implisit dalam hak memenuhi keperluan yang asasi. Dan pemenuhan keperluan asasi bagi konsumen muslim mestilah sesuai dengan ajaran Islam, baik pada makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya. 4. Perlindungan Konsumen merujuk pada usaha-usaha untuk Perlindungan konsumen atau memberi perlindungan kepada konsumen berkaitan dengan hak-hak mereka untuk mendapatkan barang di pasaran. Berkaitan dengan perlindungan konsumen tentu juga tidak terlepas dari dunia perniagaan, termasuk etika perniagaan yang melibatkan produsen, penjual dan konsumen. Tidak ada definisi khusus berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam kitab-kitab mu’amalah. Namun sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa perniagaan dalam Islam terikait erat dengan normanorma atau etika perniagaan yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, etika perniagaan yang menjadi panduan dalam perlindungan konsumen dalam Islam dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Sebagai Produsen Penjual mempunyai tanggungjawab terhadap kualitas barang dan akan berdampak kepada konsumen dan masyarakat secara keseluruhan. Berikut kode etik yang wajib diperhatikan oleh penjual dan produsen.

1. Menjalankan keadilan Keadilan dapat dicapai melalui tindakan memproduksi suatu barang. Barang yang diproduksi mestilah mengikut keperluan masyarakat. Masyarakat diberi hak yang sama untuk menikmati barang yang diproduksinya. Artinya produsen tidak boleh memperuntukkan suatu barang hanya untuk kelompok tertentu saja, kerana sikap ini akan membawa kepada perpecahan dan permusuhan dalam masyarakat. Menurut M. Umer Chapra, keimanan yang dimiliki oleh seorang muslim akan menanamkan kesadaran terhadap makna penting

192

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

sebuah persaudaraan dan keadilan sosial secara ekonomi sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang seimbang, adil dan aman.14

2. Memproduksi barang yang baik Ini bermakna bahwa barang yang diproduksi harus sesuai dengan ketentuan syara’. Prrodusen tidak boleh memproduksi barangbarang yang akan membawa mudarat kepada konsumennya, baik dari segi agama, moral, kesehatan dan keamanan. Sejalan dengan ini, Muhammad Babili mengatakan bahwa: seruan kepada konsumen barang yang baik mestilah diikuti dengan seruan produksi barang yang baik. Seterusnya mendatangkan hasil dan harga yang baik pula. Dengan demikian tidak dibenarkan memproduksi barang-barang yang akan mendatangkan bencana kepada kesehatan dan akhlak.15 3. Memberi kebajikan pada masyarakat Tujuan produsen bukan saja mencari keuntungan yang maksimum dari konsumen, tetapi produsen juga harus mempertimbangkan kebajikan untuk masyarakat umum. Selama ini konsumen telah memberi banyak sumbangan untuk kelangsungan produksi. Artinya masyarakat (konsumen) telah memberi kepercayaan kepada produsen untuk memproduksi barang keperluan mereka, tentu produsen mendapat keuntungan yang banyak. Oleh karena itu selayaknya produsen juga memperhatikan kebajikan mereka dengan membuka kesempatan bagi peekerja.

b. Sebagai penjual atau penyalur Walaupun penjual hanya menjadi perantara antara produsen dan konsumen, sebenarnya penjual juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi hak dan kepentingan konsumen yang dilayaninya. Berikut beberapa prnsip yang wajib ada pada penjual muslim: 14 M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, (USA: The Islamic Foundation and the International Institute of Islamic, 1992), hal. 7 15 Mahmud Muhammad Babili, Ekonomi dari kacamata Islam, (Terengganu: Yayasan Islam Trengganu, 1988), hal. 136.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

193


Asmawati

1. Kejujuran Perniagaan yang jujur ialah perniagaan yang selamat dari pada tipu daya dan penyelewengan. Rasulullah saw., bersabda, “Seorang muslim itu saudara muslim, tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya satu jualan yang mempunyai aib kecuali dia menjelaskannya kepadanya”.16 Berdasarkan prinsip ini, seorang penjual wajib menunjukkan kecacatan dan kekurangan barang niaganya kepada calon konsumen apabila memang ada kecacatan. Begitu pula dalam mempromosikan barangnya. Penjual wajib mengatakan apa adanya berkaitan dengan barang niaganya tanpa menutupi informasi yang sebenarnya, baik kesehatannya, kehalalan, keamanan dan risikonya. Dengan berbuat jujur akan menumbuhkan kepercayaan calon konsumen dan konsumen tidak merasa kecewa di kemudian hari. 2. Ramah terhadap calon konsumen Prinsip ini merujuk kepada prilaku lahiriyah yang menyangkut sopan santun dan tata susila yang disebut norma etika.17 Dalam berniaga juga ada etika tersendiri, misalnya melayani pelanggan dengan santun, karena sikap ini akan menarik calon konsumen terhadap barang niaganya. 3. Penawaran yang jujur Kerana perniagaan berasaskan kerelaan antara kedua pihak, maka penjual hendaklah menawarkan barang dengan harga yang sesuai. Berkaitan dengan ini Rasulullah melarang al-Najasy yaitu mengajak orang lain untuk menawar padahal yang bersangkutan tidak bermaksud membeli, hanya sebagai cara menarik orang lain.

16 Al-Hafizh abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tijarah Jilid 12, Bab. Man Bā’a ‘Aiban Fayubāyinihī , hal. 2246. 17 Norma etika adalah norma yang mengatur pola prilaku dan setiap lahiriyah manusia. Norma ini berkaitan dengan tata cara dalam pergaulan sehari-hari. A. Sony Keraf, Etika Bisnia Tuntutan dan Relevansinya, hlm.18.

194

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

18

“Bahawasanya Rasulullah saw., melarang jual beli najasy”.

4. Tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah Meskipun cara ini memberi keuntungan dalam berniaga dan dapat meyakinkan pembeli, tetapi keberkatannya akan dihilangkan. Sabda Rasulullah saw. 19

”Jauhilah banyak bersumpah dalam jual beli kerena ia dapat melariskan perniagaan namun dilenyapkan keberkatannya”. 5. Tegas dan adil dalam timbangan Kejahatan yang sangat halus dan sering terjadi dalam pasaran ialah kecurangan dalam timbangan dan sukatan. Allah amat memandang berat masalah ini dan dijadikan pesan secara khusus bagi para penjual, sebagaimana Firman Alla yang artinya, ”Hendaklah kamu menyempurnakan timbangan, dan janganlah kamu menjadi golongan yang merugikan orang lain. Dan timbanglah dengan neraca yang betul timbangannya. Janganlah kamu mengurangi hak-hak orang ramai, dan janganlah kamu merajalela membuat kerosakan di bumi”. (Qs. Al-Syu’arā’ (26): 181-183) Menurut Afzalur Rahman20 kata-kata “janganlah kamu mengurangi hak-hak orang lain” menunjukkan suatu larangan yang tegas dan 18 Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’ Jilid 21, Bab al-Tahrīm an-Najsy , Jilid 4, hal. 107. 19 Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim bi Syarhi al-Imam an-Nawawi, Kitab al-Buyuc (12), bab al-Nahyi ’an al-Halaf fi al-Bayc (48), hal. 4102. 20 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Vol. II, Islamic Publication LTD, Lahore (Pakistan), 1975, hal. 75-76

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

195


Asmawati

betapa jahat dan dhalimnya orang yang suka menipu dan menganiaya hak orang lain. Dan Alquran menegaskan bahwa perbuatan yang memperdaya orang lain sama dengan orang yang membuat kerusakan di bumi. Dengan demikian terbukti bahwa tidak tegas dan tidak adil dalam timbangan dan sukatan akan menimbulkan keburukan dan menghambat kemajuan ekonomi. Atas dasar ini pula, dapat kita fahami bahwa korupsi, kesepakatan jahat (kolusi), dan nepotisme dilarang dalam sesbuah negara, kerana akan ia menganiaya hak orang lain, di samping juga akan menghambat kemajuan negara dalam berbagai sektor. 6. Tidak menimbun barang dan monopoli Usaha menimbun atau menahan barang dari pasaran adalah haram. Kerana risiko dari tindakan ini mendatangkan gangguan sosial. Keperluan manusia kepada makanan, ubat-ubatan, pakaian dan sebagainya tidak boleh ditahan. Ia mutlak dan harus tersedia. Penjual yang melakukan perbuatan ini digolongkan sebagai orang yang mementingkan diri sendiri. Nabi bersabda saw., 21

“Siapa yang melakukan penimbunan, ia dianggap bersalahâ€?. Al-Qaradawi menegaskan bahawa Islam tidak mengizinkan sistem dan amalan yang mengacau sistem pasar bebas,22misalnya dengan cara menimbun barang atau manipulasi dan memainkan harga (kerana serakah).23Berbeda dengan pengontrolan harga, 21 Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad ibn al-Qazwani, Sunan Abu Daud, kitab at-Tijarah , Jilid 12, Bab al-Hukrah wa al-Jalb‌, hal. 2154. 22 Sistem pasar dimana harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar tanpa ada paksaan dari mana-mana pihak. 23 Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, Kaherah, 1993), hal. 244-246.

196

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Islam membenarkannya atas dasar kemaslahatan masyarakat serta mencegah perbuatan serakah secara individu, contohnya penetapan dan pengawalan harga yang dilakukan oleh pemerintah terhadap makanan, obat-obatan, minyak dan sebagainya. c. Konsumen Konsumen yang cakap dalam Islam adalah konsumen yang dapat menyeimbangkan antara keperluan dunia dan akhirat. Keseimbangan ini akan mengajarnya untuk membelanjakan harta secukupnya, tidak berlebih-lebihan dan pandai bersyukur. Keperluan akan keseimbangan ditekankan Allah dengan menyebut umat Islam sebagai “Ummat Wasata” (umat yang pertengahan) yaitu umat yang cukup professional dalam mengatur keperluannya antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, akal dan sanubari, impian dan kenyataan serta iman dan kekuasaan. Keperluan kepada harta dan membelanjakannya bagi seorang muslim bukanlah sebuah tujuan yang agung, tetapi ia hanya merupakan wasilah untuk mendapatkan keridhaan Allah. Bahkan Islam sangat menganjurkan untuk saling membantu kepada sesama. Allah berfirman, ”Hendaklah kamu saling tolong menolong untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam melakukan dosa (ma’siat) dan pencerobohan”. (Qs. Al-Maidah (5): 2.) Kenyataan dewasa ini menunjukkan sebaliknya, dimana orang muslim lebih suka bermu’amalah dengan non muslim. Walaupun secara agama hal itu dapat dibenarkan, tetapi ia akan merugikan kekuatan ekonomi umat Islam. Artinya bahwa uang yang dibelanjakan oleh umat Islam pada peniaga non muslim akan memperkuat keadaan ekonomi non muslim, sementara ekonomi umat Islam menjadi lemah dan terkebelakang. Oleh kerena itu dorongan untuk bermua’amalah sesama Islam haruslah terus digalakkan dalam hati setiap muslim, untuk meminimumkan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami etika perniagaan. Dari

uraian di atas dapat kita pahami bahwa perlindungan konsumen

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

197


Asmawati

dalam Islam berdiri atas nilai-nilai etika perniagaan Islam yang diterapkan oleh para peniaga. Ramadhan as-Syarnabasi mengatakan bahwa Islam menuntut agar pelaku eknomi harus memahami etika perniagaan dalam Islam, agar perniagaan dapat berjalan dengan dengan baik. Hal ini sejalan dengan ungkapan Umar r.a: “ Tidak ada perniagaan di pasar kami kecuali bagi orang yang memahami agamanya.â€?24Artinya bahwa produsen, penjual dan pembeli wajib mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip perniagaan yang telah digariskan dalam Alquran dan Sunnah agar masing-masing pihak dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Dalam kontek kenegaraan, kesadaran para pelaku perniagaan akan tugas dan kewajiban mereka saja tidaklah cukup, ia perlu kepada komponenkomponen lainnya, yaitu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah yang secara efektif praktis mempunyai kekuasaan untuk memaksa semua pihak untuk menghormati dan menjaga hak dan kepentingan masing-masing pihak. Keterlibatan pemerintah dalam kegiatan perniagaan salah satu caranya adalah dengan menciptakan kestabilan ekonomi negara. Pembuatan undang-undang oleh pemerintah akan mengikat seluruh pelaku perniagaan, dan kalau melanggar ketentuan tersebut, maka pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan sangsi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal ini undang-undang berfungsi sebagai pengawal setiap tindakan pelaku perniagaan, di samping juga bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen dari hal-hal yang dapat merugikan baik yang bersifat material maupun immaterial. C. Penutup Kebutuhan akan makanan merupakan kebutuhan yang paling asasi di antara kebutuhan asai lainnya. Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap saat dan waktu, semua manusia berusaha dengan berbagai cara untuk memnuhi kebutuhannya. 24 30 Ramadhan Ali as-Sayid as-Syarnabasi, HimÄ yah al-Mustahlik‌, hal. 173-175.

198

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Islam menginginkan agar dalam upaya memenuhi kebutuhan memiliki aturan yang jelas, sehingga tidak ada yang saling terdhalimi dalam setiap usahanya, oleh karena itu Islam menginginkan umatnya agar dalam memenuhi kebutuhan harusah memperhatikan dua prinsip utama, yaitu halal dan baik. Dua prinsip inilah yang harus dijadikan landasan dalam memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap berbagai produk dan makanan yang tersedia di hadapannya. Perlindungan konsumen dalam Islam adalah suatu perlindungan yang di dasari atas nilai-nilai etika perniagaan yang berlandaskan pada aturan-aturan Islam, baik ia sebagai produsen, penyalur dan juga konsumen itu sendiri. Ketiga komponen ini haruslah berjalan seimbang dan ketiganya saling berkaitan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya kebijakan penguasa, karena kesadaran para pelaku perniagaan dan konsumen akan tugas dan kewajibannya tidaklah cukup. Ketiganya tidak memiliki kekuatan dalam aplikasinya, sehingga perlu dibuat aturan hukum sebagai landasan dalam operasionalnya, hanya pemerintahlah yang mempunyai kekuasaan dalam memaksa semua pihak untuk menghormati dan menjaga hak dan kepentingan masing-masing. Demikianlah, empat komponen penting yang harus diperhatikan dalam memberikan perlindungan konsumen terhadap suatu produk atau makanan yang menjadi kebutuhan asasi manusia, terutama bagi seorang muslim. Umar r.a berkata: “ Tidak ada perniagaan di pasar kami kecuali bagi orang yang memahami agamanya.”25 Artinya bahwa produsen, penjual dan pembeli wajib mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip perniagaan yang telah digariskan dalam Al-quran dan Sunnah

25 30 Ramadan Ali as-Sayid as-Syarnabasi, Himāyah al-Mustahlik…, hal 173-175.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

199


Asmawati

DAFTAR PUSTAKA Abu Samah, Mohammad Shariff. Undang-Undang dan Perlindungan Konsumen. Kuala Lumpur: Internasional La Book Service, 1999. Adnan, Mohd. Hamdan. Kekonsumenan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994. Al-Qardawi, Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Kairo: Maktabah alWahbah. 1993. __________. Dauri al-Qiyāmi wa al-Akhlak fi al-Iqtishādi al-Islāmī. Babili, Mahmud Muhammad. Ekonomi dari kacamata Islam. Terengganu: Yayasan Islam Trengganu, 1988. Bukhari Muslim, Allu’luu wa al-Marjān, Kitab al-Buyu’. Jilid 21. Bab alTahrīm al-Najsi. Tt.: tp, t.th.. Chapra, M. Umer. Islam and The Economic Challenge, The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic. USA: Thought, 1992. FOMCA. 1999. Hak-Hak Konsumen. (atas talian) http://www.fomca.org.my/ hak.htm. 25 Maret 2002. Ghifari, M. Fahim Khan dan Noor Muhammad. Shatibi’s Objektives of Shari’ah and Some Implications for Consumer Theory, Abdul Hasan M. Shadeq dan Aidit Ghazali (Editor) dalam Reading in Islamic Aconomic Thought. Malaysia: Sdn Longman. Bhd, Selangor, 1992. Ibn al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim bi Syarhi al-Imam al-Nawawi, al-Buyu’. Bab al-Nahyi ’an al-Halaf fi al-Bayyi’ Ibn al-Qazwani, Al-Hafiz ibn Abdullah Muhammad. Sunan Abu Daud, Bab.

200

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH MAKANAN MENURUT ISLAM

Al-Tijārah. Jilid 12. Ibn Yazid al-Qazwani, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad. Sunan Ibn Majah, Bab. Al-Tijārah. Jilid 12, dan Bab. Man Bā’a ‘Aiban Fayubāyinihī. Tt.: tp, t.th.. M.A. Mannan, Islamic Economics Theory and Practice. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I 1970. Musthafa, Ibrahim. Mu’jam al- Wasith. Juz. I. Istambul: Maktabah Islamiyah, 1999. P.G Krishnan, Consumer Protection dalam Leelakrisnan P., Consumer Protection and Legal Control. Cochin: Eastern Book co. 1991. Quraish Shihab, Muhammad. Etika Bisnis Islam dalam Wawasan Alquran. ’Ulumul Qur’an. Jilid 3, 2007. Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam. Vol. II. Lahore Pakistan: Islamic Publication LTD, 1975. Rohi Balbaki. al-Mawrid. Beirut-Lubnan: Dār al-‘Ilm lil-Malāyīn, 1997. Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Some Aspects of The Islamic Economy. Delhi: Markazi Maktabah Islami, 1972. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. III. Beirut: Libraire du Liban, 1960.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

201


202

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN (Prosperk Pengembangan Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh) Syahril Dosen Universitas Teuku Umar Meulaboh, dan Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract Cellular phone considered as an important communication instrument in the world. In Meulaboh especially, cellular phone used hugely after disaster earthquake and tsunami that happened several years ago. it is more effective as it is needless of the cable and wire so the communication here can be pursued through this way. The writer will mentioned the dynamic aspect of the development of cellular phone in Meulaboh even though it was as the serious places in Aceh attacked by tsunami. Surely, it will be described the urgent step that play the important role to develop the condition of communication here through phone cellular.

Key words: Pengembangan, Mu'āmalah, Modern


Syahril

A. Pendahuluan Perkembangan dunia dewasa ini yang sangat spektakuler, salah satu adalah perkembangannya tehnologi informasi. Tehnologi informasi yang merupakan sarana yang penting dalam pembangunan. Pembangunan suatu negara atau daerah tidak dapat dilakukan dengan maksimal tanpa menggunakan tehnologi. Secara teoritis penggunaan tehnologi akan meningkatkan produksi dan menekan biaya (efisiensi). Misalnya Negara Jepang yang merupakan salah satu negara industri yang termaju di dunia. Walaupun Jepang secara luas negara, sumber daya alam yang sangat terbatas tapi Jepang bisa menjadi negara yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia. Keunggulan Jepang karena mereka memiliki sumber daya manusia yang tinggi sehingga dapat menciptakan tehnologi yang canggih. Perkembangan tehnologi informasi yang sangat spektakuler dewasa ini adalah telepon seluler. Telepon seluler yang lebih dikenal dengan HP adalah sarana telekomukasi yang sangat praktis, dimana telepon jenis ini tanpa ada jaringan (kawat) seperti telepon rumah. Dengan demikian telepon jenis ini sangat membantu dunia bisnis dengan semakin meningkatnya kapasitas kerja yang super sibuk. Bencana gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Barat yang menghancurkan berbagai sarana dan prasarana yang ada salah satunya adalah sarana telekomukasi. Kerusakan jaringan telepon yang sangat parah membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang panjang yang dibutuhkan untuk membangun jaringan yang sudah rusak. Maka dari itu menggambarkan bahwa di Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu daerah yang terkena bencana gempa dan tsunami sangat berpeluang dalam pengembangan usaha telepon seluler ini. Kemudian dengan perkembangan penduduk Kabupaten Aceh Barat yang semakin meningkat. Karena meningkatnya penduduk diasumsikan jumlah konsumen terhadap pengguna telepon seluler juga meningkat. Pasca bencana

204

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

gempa dan tsunami banyak NGO dan lembaga lain yang unit kerjanya di Wilayah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten sekitar. B. Penjelasan Terminologi dan Landasan Teoritis Untuk menganalisis problematika ini, perlu penulis uraikan beberapa terma yang digunakan sebagai pijakan dan landasan penelitian yang dengan itu dapat memberikan indikator-indikator penting dalam kaitannya dengan pengembangan usaha phone cellular. Penjelasan istilah operasiona ini penting dalam melihat tingkat fluktuasi dan dinamisasi usaha tersebut di tempat yang telah ditentukan – dalam konteks ini kota Meulaboh. 1. Pengertian Pengembangan Usaha Melalui Undang-undang No. 22 tentang otonomi dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang pengembangan keuangan pusat dan daerah agar sektor kedunia usahaan menjadi penggerak utama dalam ekonomi yang efisen, berdaya guna dan mempunyai struktur yang makin kokoh. Disamping pembangunan dunia usaha ditujukan untuk memperkokoh struktur ekonomi daerah dan ekonomi nasional dengan keterkaitan yang kuat sehingga mendukung antar sektor peningkatan daya tahan perekonomian nasional, memperluasa lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang sekaligus mendorong berkembangnya sektor lain. Hal ini berarti bahwa sektor-sektor usaha yang merupakan instrument yang harus dan mampu mentransformasikan sektor-sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perhubungan, pariwasata dan usaha-usaha lainnya menjadi sektor yang semakin produktif. Menurut Assauri, mengatakan bahwa “Usaha adalah kumpulan dari perusahaan yang memproduksikan barang yang berbeda-beda, usaha ini meliputi perusahaan yang membutuhkan bahan mentah, baik bahan baku maupun bahan yang daur ulang menjadi bahan baku yang siap diproses dan dijadikan bahan jadi”1.

1 Assauri Sofyan, Manajemen Produksi, (Jakarta: FEUI, 1985), hal. 15.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

205


Syahril

Selanjutnya Winardi (1981 :18) mengatakan sebagai berikut,“Pembangunan usaha termasuk didalamnya adalah suatu usaha produktif terutama dalam bentuk barang atau perusahaan bertambah yang menyelenggarakan usaha jasa, misalnya transportasi dan pembangunan yang mempergunakan tenaga kerja. Pembangunan dunia usaha adalah bagian dan program jangka panjang untuk mengubah struktur ekonomi yang terlalu berat sebelah kepada produksi bahan manfaat dan hasil-hasil pertanian dan perkebunan kearah ekonomi yang lebih seimbang dan serasi untuk melngkapi industri�. Menurut Sastra Atmajaya2, perlu empat syarat pokok dalam suatu usaha yaitu : Kaum buruh/tenaga kerja, Kapital atau modal, Tenaga organisasi atau skill dan Bahan baku atau bahan mentah. Di Indonesia sumberdaya alam belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya karena keterbatasan sumberdaya manusia yang mengelola, pemodalan untuk membiayai segala kebutuhan suatu usaha. 2. Pengertian Studi Kelayakan Menurut Suetrisno3 mengatakan bahwa studi kelayakan (feasibilitity study) adalah suatu studi atau telah agar sesuatu yang didirikan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Kemudian menurut Yakob Ibrahim, studi kelayakan adalah bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari segala gagasan usaha/proyek yang direncanakan.4 Pengertian layak dalam penilaian ini adalah kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan dari manfaat (benefit), baik dalam arti keuntungan materi (financial benefit) maupun dalam arti non materi (social benefit). Selanjutnya Saud Husnan mengatakan bahwa studi kelayakan adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan

2 Sastra Admaja, Produktivitas Pekerja, (Jakarta: Aksara), hal. 231. 3 Suetrisno, Pengantar Studi Kelayakan Proyek, (Yogyakarta: BPFE, 1980), hal. 1. 4 Yakob Ibrahim, Studi Kelayakan Proyek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 1.

206

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

proyekinvestasi) dilaksanakan dengan berhasil.5 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa studi kelayakan adalah suatu kajian atau telaah atau dengan kata lain pertimbangan dalam pengambilan keputuasan suatu usaha/proyek dapat dikembangkan atau dikerjakan, dengan melihat manfaat yang diberikan, baik dalam arti financial benefit maupun social benefit. Studi kelayakan dengan evalusi proyek mempunyai kesamaan dan perbedaan. Pesamaan adalah sama-sama bertujuan menilai kelayakan suatu gagasan usaha/proyek. Hasil dari penilaian ini merupakan bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak usaha/proyek yang direncanakan. Perbedaannya adalah studi kelayakan lebih mempertimbangkan keuntungan materi (financial benefit) daripada manfaat sosial (social benefit), sedangkan evaluasi proyek sebaliknya, yaitu lebih mementingkan social benefit daripada financial benefit. Sedangkan faktor-faktor yang perlu dinilai dalam menyusun studi kelayakan bisnis menurut Yakob Ibrahim menyangkut dengan beberapa aspek antara lain : “Aspek marketing, aspek teknik produksi, aspek manajemen, aspek lingkungan, dan aspek keuangan. Dengan demikian apabila gagasan usaha/ proyek yang telah dinyatakan dari segi ekonomi, dalam pelaksanaan jarang mengalami kegagalan kecuali sebabkan oleh faktor-faktor uncontrolable seperti banjir, terbakar, dan bencana alam lainnya yang di luar jangkauan manusia�.6 Studi kelayakan yang disusun merupakan pedoman kerja, baik dalam penanaman investasi, pengeluaran biaya, cara produksi, cara melaksanakan pemasaran dari hasil produksi, dan cara dalam menentukan jumlah tenaga kerja beserta jumlah pemimpin yang diperlukan. Layaknya gagasan usaha/proyek dalam sebuah kelayakan bisnis, apabila kegiatan usaha yang dijalankan berdasarkan kegiatan yang telah diatur dalam studi kelayakan dan dalam keadaan ini tidak menjamin kegiatan usaha apabila tidak dikerjakan selaras dengan kegiatan yang telah diatur dalam sebuah 5 Saud Husnan, Studi Kelayakan Proyek, (Yogyakarta: BPFE, 1984), hal. 3 6 Yakob Ibrahim, Kelayakan Proyek..., hal. 3.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

207


Syahril

studi kelayakan. Dilihat dari evaluasi proyek sebenarnya tidak jauh berbeda dengan studi kelayakan bisnis, bila studi kelayakan bisnis menilai kegiatan usaha yang akan dikerjakan, sedangkan evaluasi proyek adalah salah satu kegiatan yang menilai dan memilih dari bermacam-macam investasi yang mungkin untuk dikembangkan sesuai kemampuan dari investasi yang dimiliki. Penilaian yang dilakukan dengan studi kelayakan bisnis, seperti yang telah diuraikan di atas orientasi lebih bersifat mikro dan penilaian yang dilakukan melalui evaluasi proyek lebih bersifat makro. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat diambil suatu intisarinya adalah studi kelayakan ini bukan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa saja tetapi usaha kecilpun perlu memakai/mengembangkan suatu usaha tidak memperhitungkan studi kelayakan usahanya maka tidak ada kepastian apakah usaha tersebut menghasilkan benefit atau tidak. Maka dari itu di zaman sekarang ini sangat perlu studi kelayakan dalam mengembangkan suatu usaha. 3. Pengertian Pemasaran Setiap hubungan antara individu atau antar organisasi yang melibatkan suatu tukar menukar (transaksi) adalah pemasaran. Jadi intisari pemasaran adalah traksaksi tukar-menukar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Akibat pemasaran terjadi setiap kali suatu unit social mengadakan transaksi dengan unit social yang lain atau sesuatu yang bernilai. Pemasaran mencakup semua kegiatan yang dirancang untuk memberikan kemudahan dalam transaksi tersebut. Di zaman yang penuh persaingan kompetitif, konsep dan pemakaian ilmu pemasaran cendrung adaptif dan respontif. Tentu saja kebutuhan pemasaran sekarang lebih mengarahkan kepada orientasi pasar dengan menekankan pada kebutuhan dan keinginan pasar. Batasan pengertian pemasaran telah banyak dikemukakan para ahli dalam berbagai macam leteratur ilmiah khususnya dalam bidang Ilmu Manajemen

208

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Pemasaran atau Ilmu Sosial lainnya. Pendapat yang terkenal antara lain dikemukan oleh Stanton yang mengatakan bahwa pemasaran adalah suatu system total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan menditribusikan barang-barang yang dapat merumuskan keinginan dan jasa baik kepada para konsumen saat ini maupun konsumen potensial.7 Ahli lain juga memberikan pengertian tentang pemasaran Kotler bahwa Pemasaran adalah suatu proses social dan manjerial perseorangan atau kelompok untuk memperoleh yang mereka butuhkan dan inginkan melalui perbuatan dan pertukaran nilai dengan pihak lain.8 Selanjutnya Basu Swastha, DH menyatakan bahwa pemasaran adalah “ Suatu keseluruhan dan kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial�9. Bedasarkan definisi di atas bahwa kegiatan pemasaran bukan semata-mata untuk menjual barang dan jasa tetapi juga berusaha untuk meningkatkan kepuasan konsumen dalam menggunakan barang dan jasa. Pemasaran bukanlah merupakan suatu cara yang sederhana untuk menghasilkan penjualan. Tetapi pemasaran merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan penjualan. Sedangkan pertukaran merupakan suatu tahap proses pemasaran sebenarnya, pemasaran dilakukan baik sebelum maupun sesudah pertukaran tersebut dilakukan. Peranan pemasaran mempunyai arti yang sangat penting dan langsung berhubungan dengan sukses atau gagalnya suatu perusahaan. Tidak ada 7 J. William Stanton, Prinsip Pemasaran, (Jakarta: Erlangga, Jakarta, 1984), hal. 7. 8 P. Kotler, Manajemen Pemasaran, Ed. 7, (Yogyakarta: Gramedia, 1984), hal. 13. 9 Basu Swastha dan Irawan, Manajemen Pemasaran Modern, (Yogyakarta: Liberty), hal. 5.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

209


Syahril

suatu perusahaan yang manpu bertahan bilamana perusahaan tersebut tidak mampu memasarkan atau menjual barang-barang dan jasa-jasa yang berhasil. Untuk keberhasilan suatu perusahaan, pemasaran merupakan hal yang utama dalam mengambil kebijaksanaan produksi suatu barang atau jasa. Maka perusahaan terus mengamati konsep pemasaran. Ada tiga ketetapan pokok yang mendasari konsep pemasaran, Stanton10, antara lain : a. Semua operasi dan perencanaan perusahaan harus berorientasi kepada konsumen. b. Sasaran perusahaan harus volume penjualan yang menghasilkan laba. c. Semua kegiatan pemasaran di sebuah perusahaan harus dikoordinir secara organisatoris. 4. Pengertian Strategi pemasaran Penerapan strategi dalam suatu perusahaan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan bersangkutan. Karena dengan adanya strategi pemasaran perusahaan akan lebih spesifik dalam melakukan kegiatannya, mudah dalam mencapai tujuan dan lebih mudah dalam menghadapi berbagai hambatan. Menurut Glueck dan Jauch bahwa “Strategi adalah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan perusahaan dengan tantangan lingkungan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan�. Jadi strategi merupakan rencana yang dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai satu tujuan yang telah direncanakan dengan cara mengembangkan dan mempertahankan dengan mempertimbangkan adanya kesesuaian antara sasaran dan sumber daya perusahaan dengan peluang yang ada. Adapun pengertian dari strategi pemasaran Kotler dan Armstrong menyebutkan bahwa strategi pemasaran adalah logika pemasaran yang 10 J. William Stanton, Prinsip Pemasaran..., hal. 13.

210

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

dilaksanakan dengan harapan bahwa bisnis akan mencapai sasaran pemasaran. Strategi pemasaran terdiri dari spesifik untuk pasar sasaran, penentuan posisi produk, marketing mix dan tingkat pengeluaran pemasaran. Strategi pemasaran harus merinci segmen pasar yang akan menjadi pusat perhatian perusahaan.11 Definisi di atas menyebutkan bahwa dalam mengembangkan strategi pemasaran tidak terlepas dari pantauan terhadap segmentasi, penentuan pasar sasaran, penempatan posisi produk, pengembangan marketing mix dan juga menyangkut dengan pengeluaran pemasaran. Unsur tersebut dapat dikatakan sebagai kegiatan penting bagi suatu perusahaan dalam mencapai sasaran. C. Pembahasan dan Analisis 1. Perkiraan Jumlah Pendapatan Usaha Telepon Seluler Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan usaha telepon seluler (kasus Bumar Ponsel) mengalami peningkatan. Dalam hal ini penulis mengasumsikan terjadinya kenaikan pendapatan usaha telepon seluler di Kota Meulaboh rata-rata pertahun sebesar 5 %. Kenaikan ini penulis estimasi berdasarkan perkembangan pendapatan 2 tahun yang lalu. Namun demikian, penulis yakin bahwa hasil estimasi ini tidak begitu optimis karena memang kita ingin melihat objektifitas dari hasil penelitian perdana ini. 2. Aspek Pemasaran Toko Bumar Ponsel telah memiliki pelanggan tetap yang telah cukup lama khususnya pelanggan pulsa isi ulang. Untuk perusahaan sejenis, perusahaan Bumar Ponsel termasuk yang terbesar dan sudah cukup dikenal sebagai penjual produk hand phone (termasuk sparepart/assesoris) yang cukup lengkap di Meulaboh. Toko Bumar Ponsel sudah memulai menjalankan usaha sejak Januari 2005 di lokasi baru Jl. Gajah Mada No.165, sebelum bencana tsunami Bumar Ponsel sudah mulai usaha sejak tahun 2003 (sejak sinyal HP mulai ada di 11 P. Kotler, Manajemen Pemasaran‌, hal. 54.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

211


Syahril

Meulaboh) dengan membuka toko di Jl. H.D.Dariyah II Meulaboh, namun tempat tersebut telah hancur akibat bencana. Produk yang diperdagangankan berupa Hand Phone berikut pulsa, assesories, sparepart dan aplikasi serta service HP. Produk tersebut merupakan kebutuhan pendukung sarana komunikasi sekaligus hiburan bagi masyarakat. Sasaran pasar adalah masyarakat Meulaboh dan pendatang/petugas LSM/ NGO serta sebagian pedangan hand phone di luar kota Meulaboh (Kab. Aceh Jaya dan Nagan Raya) dengan penguasaan pangsa pasar lebih kurang 10%. Ukuran target pasar, tingkat konsumsi tinggi daya beli tinggi. Produk yang diperdagangkan adalah hand phone dan pulsa berikut segala perangkatnya. Tingkat permintaan semakin meningkat, hal ini disebabkan semakin banyaknya masyarakat yang membutukan sarana komunikasi yang praktis, di samping sarana telepon dari PT. Telkom sebagian besar hancur akibat bencana dan belum sepenuhnya pulih. Di samping itu HP merupakan produk yang menawarkan sisi hiburan yang menarik minat konsumen dan ini masih ditambah dengan banyaknya pendatang di kota Meulaboh yang membutuhkan komunikasi jenis HP. Proporsi penjualan saat ini tunai dan kredit dengan jangka waktu 1 minggu sampai dengan 1 bulan. Penjualan secara kredit diberikan secara selektif kepada pelanggan yang telah dikenal. Sebagian besar penjualan secara kredit diberikan kepada sesama pedagang untuk pembelian HP, aplikasi dan assesoris yang dijual secara grosir dengan jangka waktu sampai dengan minggu. 3. Aspek Teknik Produksi Saat ini, perusahaan ini memiliki toko yang berlokasi di Jl. Gajah Mada No.165B Meulaboh. Lokasi usaha dinilai strategis karena terletak di salah satu jalan utama kota Meulaboh yang merupakan areal perdagangan dan perkantoran yang mudah dijangkau.

212

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Tempat usaha di Jl. Gajah Mada No.165 B berada di atas bangunan toko permanen 1 (satu) lantai (bangunan baru dibangun setelah bencana tsunami), yang digunakan sebagai outlet sekaligus tempat melakukan pekerjaan service HP, Tempat usaha ini dikuasai secara sewa dengan harga Rp. 15 juta per tahun selama 5 tahun . Sarana dan prasarana yang mendukung usaha cukup memadai. Kondisi peralatan baik dan terawat. 4. Aspek Umum dan Manajemen Bentuk perusahaan adalah perusahaan perseorangan, manajemen masih dikelola dengan sederhana dan pengambilan keputusan terakhir ada pada sdr. Junaidi. Pendidikan terakhir pemilik usaha lulusan SLTA dan cukup memiliki pengalaman dalam menjalankan usaha. 5. Aspek Finansial Dimasa sekarang ini banyak usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang atau perusahaan untuk berusaha mendapat keuntungan, sehingga muncul pikiran-pikiran atau gagasan untuk menentukan jenis usaha apa yang lebih menguntungkan pada masa sekarang ini. Banyak usaha yang akan didirikan menuntut para pengusaha untuk melakukan penelitian terhadap usaha yang akan dilakukan, apakah usaha itu layak diusahakan atau tidak. Maka dari itu studi kelayakan akan membantu para pengusaha dalam menilai feasibel atau tidaknya suatu usaha dapat dikembangkan. Adapun alat yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan usaha adalah : Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Profitability Ratio (PR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio dan Break Event Point (BEP). Hasil perhitungan dan kreteria investasi ini akan mampu menjawab permasalahan layak atau tidaknya usaha yang akan dikembangkan. Jadi untuk lebih jelasnya kreteria investasi tersebut akan diuraikan satu persatu berikut ini : Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

213


Syahril

6. Perhitungan NPV dari Usaha Telepon Seluler Salah satu alat yang digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha adalah Net Present Value (NPV). Net Present Value (NPV) merupakan kreteria investasi yang sangat penting dalam mengukur suatu usaha layak atau tidak untuk dikembangkan. Net Present Value (NPV) adalah alat benefit yang telah didiscounted dengan Social Oppurtunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan kata lain net present value adalah keuntungan bersih yang akan diterima setelah disesuaikan dengan tingkat suku bungan yang berlaku. Layak atau tidaknya usaha yang akan dilaksanakan atau dikembangkan sangat ditentukan oleh net present value yang akan dihitung. Jika net present value menunjukkan angka yang positif, berarti bahwa usaha tersebut layak dikembangkan. Sedangkan bila net present value bernilai negatif berarti usaha tersebut tidak layak dilaksanakan atau dikembangkan. Untuk mengetahui hasil perhitungan net present value dari usaha telepon seluler di Kota Meulaboh akan diperlihatkan pada tabel dibawah ini : Tabel. Persiapan Perhitungan Net Present Value pada Usaha Telepon Seluler di Kota Meulaboh (Rp.000). Tahun

Jenis Biaya Pendapatan Jumlah Biaya : -

Investasi awal Biaya operasi Bunga bank Peng. Pinjaman Total

214

0

1

2

3

4

5

-

360,000

378,000

396,900

416,745

437,582

-

-

-

-

-

108,000

108,375

108,769

109,182

109,616

18,000

15,484

12,515

9,012

4,878

13,977

30,472

49,934

72,900

100,000

100,000

139,977

154,331

171,218

191,094

214,494

100,000

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

Benefit 100,000) 220,022 223,669 225,682 225,651 Pajak Penj. 33,003 33,550 33,852 33,848 15% Net Benefit 100,000) 187,019 190,119 191,830 191,803 D.F 18% 1.0000 0.8475 0.7182 0.6660 0.5158 Present Value 100,000) 158,499 136,543 127,7598 98,932 NPV 704,617 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 (diolah)

223,088 33,463 189,625 0.4371 82,885

Berdasarkan tabel di atas diperoleh net present value sebesar Rp. 704,617 yaitu selisih antara net present value negatif dengan net present value positif. Angkat net present value positif menunjukkan bahwa usaha telepon seluler layak dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi yang mengusahakannya. Net Present Value sebesar Rp. 704,617 merupakan net bersih yang telah didiscounted dengan Social Oppurtunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan kata lain net benefit yang diperoleh merupakan keuntungan bersih yang telah disesuaikan dengan tingkat bunga bank yang berlaku yaitu 18 %. Angkat net present value yang jauh dari angka nol menunjukkan keuntungan bersih yang diperoleh semakin besar, demikian juga sebaliknya bila net present value yang diperoleh mendekati titik nol atau sama dengan nol. Ini artinya perusahaan untuk bisa memperoleh keuntungan semakin tinggi. Net prsent value yang sama dengan nol bukan berarti perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau dengan kata lain perusahaan bukan berada pada titik impas (break event point), akan tetapi net present value sama dengan nol menunjukkan bahwa perusahaan tetap mampu memperoleh keuntungan secara normal yang disebut dengan profit. 7. IRR dari Usaha Telepon Seluler Selanjutnya dalam menganalisis kelayakan suatu usaha adalah kriteria investasi Internal Rate of Return (IRR). Internal rate of return adalah tingkat bunga yang akan menghasilkan nilai present value sama dengan nol. Angka Internal Rate of Return yang diperoleh menggambarkan tingkat suku bunga Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

215


Syahril

yang menyamakan nilai net present value, tentunya Internal Rate of Return yang lebih besar dari tingkat SOCC. Angka Internal Rate of Return yang lebih besar dari SOCC atau tingkat suku bunga terus meningkat sampai mencapai angka yang sama dengan Internal Rate of Return perusahaan masih manpu memperoleh keuntungan (normal profit). Untuk melihat gambaran selengkapnya tentang angka internal rate of return dari usaha telepon seluler dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini berdasarkan lampiran 1 :

IRR = i1 +

NPV 1 ( NPV 1− NPV 2 )

(i 2 − i1)

704,617,571 IRR = 0,18 + ( 704,617,57 ( 0,23 − 0,18 ) 1 − 631,938,604 )

IRR = 6 ,4 7 persen Berdasarkan analisis data yang ada memperlihatkan bahwa hasil perhitungan internal rate of return diperoleh angka 66,47 %. Angka ini menggambarkan bahwa usaha telepon seluler di Kota Meulaboh layak untuk dikembangkan, karena angka internal rate of return yang diperoleh lebih besar dari tingkat SOCC. (66,47% > 18%). Perhitungan internal rate of return sebesar 66,47% menunjukkan bahwa apabila terus naik sampai mencapai angka 66,47% usaha telepon seluler di Kota Meulaboh masih mampu memperoleh keuntungan. Apabila tingkat SOCC yang menunjukkan net present value mencapai angka nol, kondisi ini bukan berarti bahwa usaha telepon seluler masih berada pada kondisi pulang pokok atau break event point. Akan tetapi usaha yang sering dinamakan dengan profit normal. Profit normal tidak sama dengan break event point. Suatu perusahaan dikatakan pada posisi break event point apabila total cost sama dengan total revenue, sedangkan profit normal yang menggambarkan perusahaan telah berada pada posisi total revenue lebih besar dari total cost (TR>TC), akan tetapi net present value yang dimiliki akan sama dengan nol, hal ini telah disesuaikan dengan perubahan tingkat suku bunga atau SOCC.

216

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

8. Net B/C Usaha Telepon Seluler Selanjutnya yang digunakan dalam perhitungan kriteria investasi adalah Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Net benefit cost ratio adalah perbandingan antara net benefit yang didiscounted dengan SOCC yang menghasilkan nilai net benefit positif dengan net benefit yang telah didiscounted negatif. Nilai net benefit cost ratio yang lebih besar dari satu berarti bahwa perusahaan tersebut memiliki net present value yang lebih besar dari nol, ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila hasil net benefit cost ratio lebih kecil dari satu berarti bahwa usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. Usaha hasil perhitungan net benefit cost ratio lebih kecil dari satu arus cash inflow (putaran kas masuk) sama dengan arus kas out flow (arus kas masuk) dalam nilai present value, kondisi ini disebut juga dengan Break Event Point (BEP). Untuk mengetahui besarnya net benefit cost ratio dari usaha telepon seluler, maka dapat dilakukan perhitungan di bawah ini berdasarkan lampiran 1. Net

b

c

=

i ∑N B

n

_ _

i =1 n

i ∑N B

_

(+) ( −)

i =1

Net b c =

100.000.000 950.395.468

Net b c = 9,5 Berdasarkan pada hasil perhitungan di atas, bahwa net benefit cost ratio yang dihitung lebih besar dari satu yaitu 9,5. Ini berarti usaha telepon seluler di Kota Meulaboh layak di kembangkan. 8. Gross B/C dari usaha Telepon Seluler Gross Benefit Cost ratio merupakan perbandingan antara benefit secara kotor yang telah didiscounted dengan cost secara keseluruhan yang telah didiscounted. Nilai gross benefit cost ratio yang lebih besar dari satu berarti usaha layak dikembangkan, dan sebaliknya bilai angka gross benefit cost ratio lebih kecil dari satu maka usaha tersebut tidak layak dikembangkan. Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

217


Syahril

Untuk mengetahui besarnya angka angka gross benefit cost ratio dari usaha telepon seluler dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini berdasarkan lampiran 2. n

Gross

b

c

=

i ∑N B

(1 + r ) − n

i =1 n

∑ N ci

(1 + r ) − n

i =1

Gross

b

Gross

b

c

c

711.314.790 = 346.034.368 = 2,055

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, bahwa usaha telepon seluler di Kota Meulaboh layak dikembangkan sesuai dengan asumsi yang bahwa angka gross benefit cost ratio lebih besar dari satu (2,055>1). 9. Ratio dari Usaha Telepon Seluler Profitability ratio merupakan ratio antara present value aliran kas bersih dengan investasi yang dilakukan. Angka perbandingan di anggap mengukur rentabilitas suatu investasi di atas tingkat discounted ratenya. Yang dimaksud dengan rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba. Jika profitability ratio yang dihitung menunjukkan angka lebih besar dari satu, ini berarti usaha ini layak untuk dikembangkan. Besar kecilnya angka profitability ratio yang dihitung ini menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam memperoleh laba. Profitability ratio ini diperoleh dari hasil perbandingan antara selisih benefit dengan biaya operasi dan pemeliharaan dibandingkan dengan jumlah investasi. Nilai dari masing-masing variabel adalah nilai present value atau nilai yang telah didiscounted dengan discount factor dari SOCC. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini: n

P R

=

i ∑B i =1

n

− ∑ OMi i =1

n

∑ Ii i =1

218

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PENGEMBANGAN MU’AMALAH IQTISĀDIYYAH MODERN

711,314,790 - 346,034,368 100,000,000

P R

=

P R

= 3,6 5

10. Tanggapan Terhadap Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kelayakan usaha telepon seluler di Kota Meulaboh Aceh Barat mempunyai kelayakan untuk dikembangkan dilihat dari analisis NPV > 0, IRR > SOCC, Net B/C > 1, Gross B/C > 1 dan PR > 1. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya diterima kebenarannya, hal ini didasari dengan hasil yang diperoleh. D. Penutup Dari analisis data dan hasil pembahasan tentang kelayakan usaha telepon seluler di Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, dapat diambil beberapa kesimpulan di antaranya : 1. Hasil evaluasi yang didasarkan pada discounted kriteria investasi menunjukkan hasil yang positif dimana NPV = Rp 704.617.000, IRR = 66,47 persen, Net B/C =9,5 persen, Gross B/C = 2,055 persen, dan PR = 3,65. Dengan demikian usaha telepon seluler ini layak untuk dikembangkan di Kota Meulaboh Aceh Barat. 2. Selain kelayakan secara financial usaha telepon seluler dilihat dari pemasarannya, memang salah satu produk yang lagi ngetrain. Karena produk ini merupakan sarana komunikasi yang sangat praktis dan efisien serta memiliki fasilitas hiburan dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih dengan memunculkan produk-produk baru yang semakin menarik perhatian masyarakat.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

219


Syahril

DAFTAR PUSTAKA Assauri Sofyan. Manajemen Produksi. Jakarta: FEUI, 1978. Basu Swastha dan Irawan. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty, 1990. Cahyono. Pengembangan Usaha dan Sektor Informal. Jakarta: Ananda, 1985. Husna, Saud. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: BPFE,1984. Kotler P.. Manajemen Pemasaran. Edisi 7. Yogyakarta: Gramedia,1984. Mahmud S.. Dasar Ilmu Ekonomi dan Gerakan Koperasi. Jakarta: Intermasa,1976. Stanton J. William. Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga,1984. Suetrisno. Pengantar Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: BPFE,1980. Sastra Admaja. Produktivitas Pekerja. Jakarta: Aksara, 1986. Yakob Ibrahim, H.M.. Studi Kelayakan Proyek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

220

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH Riswadi Alumni Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Abstract During this time, bughah is the issue that not be focused more by ‘ulemas. Infect, the case has been considered kind of crime (jarimah) that transgress the law. Meanwhile in Islamic Law, the the ulemas have various perspective toward the case. Among them said that bughah kind of had, qisas, or only ta’zir. Such the definition toward this crime sometimes is related to kind of deed, right or other causes that considered as action fight toward the country. Therefore, the possible varieties that contain the perception and different motivation in order to explain the action of bughah. The factor of environment, sosiohistory, culture and political development as well takes part of difference of kind substance of jarimah to categorized the action of bughah.

Key words: Perbuatan bughāh dan jenis pidananya


RISWANDI

A. Pendahuluan Dalam beberapa literatur fikih yang dirujuk, penulis tampaknya menemukan beberapa hal sehubungan dengan pandangan ulama fikih tentang perbuatan bughah beserta katagori jenis pidananya. Di kalangan Hanafiyah, bahwa yang termasuk dengan perbuatan bughah meliputi beberapa syarat di antaranya adalah : Yang pertama, adanya perbuatan melawan pemerintah. Yang kedua, mempunyai alasan melawan pemerintah. Yang ketiga, memiliki kekuatan senjata, dan yang keempat, perbuatan itu dilakukan dengan cara anarkis.1 Sejumlah syarat-syarat yang terkait dengan perbuatan bughah di atas, oleh kalangan Hanafiyah sudah dianggap bagian dari tindak pidana. Landasan ini berdasarkan kandungan definisi yang dipakai sebagai berikut :

“Yang dikatakan dengan bughah, sekelompok orang yang memiliki kekuatan, kemudian perbuatan itu ber-maksud melawan pemerintah berkaitan dengan perkara-perkara tertentu, karena terdapat perbedaan paham”. 2 Meski kemudian, tindak pidana bughah yang dimaksud belum mencapai titik akhir; lantaran jenis pidana itu masih berada di antara had dan qishas.3 Untuk mengurai hal ini, maka alasan yang dipakai oleh kalangan Hanafiyah karena tindakan bughah digerak-kan oleh dua pihak. Pertama, pemerintah. Kedua, kalangan bughah.4 Kategori alasan pertama, bahwa pemerintah atau pemimpin sejauh telah bekerja secara maksimal menurut ketentuan syara' dan diangkat berdasarkan kesepakatan bersama, berarti mentaati menjadi sebuah kewajiban. Namun sebaliknya, untuk kategori alasan kedua, bahwa perintah melawan pemimpin 1 Ibn ’Abid, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, jilid 3 dan 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), hal. 262 2 Ibid, hal. 338. Lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 7, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M), hal. 5478. 3 Syams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatibi al-Syarbayni, Mughni al-Muhtaj, jilid 5, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994), hal. 401-405.

222

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

yang zalim juga sebuah perintah wajib. Dikarenakan ada dua perintah yang saling berlawanan; di satu sisi mengutuk perbuatan bughah, tapi di sisi yang lain, boleh melawan pemimpin yang zalim, maka tindakan memerangi menurut pandangan ini merupakan jenis pidana yang dianggap paling tinggi, sekaligus sebagai upaya pilihan; antara had atau qishas. 4 Selanjutnya, pemerintah harus memiliki sikap sabar dan tidak boleh mendahului sebelum kelompok pelaku bughah melakukan penyerangan. Alasan yang digunakan karena posisi pemimpin memiliki status yang lebih tinggi, baik kedudukannya, ilmunya, tanggung jawabnya, dan kewajibannya sebagai pemimpin. Kemudian alasan lainnya, sikap pemerintah melawan kelompok pelaku bughah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan adanya kejahatan yang mengarah kepada perbuatan anarkis. 5 Senada demikian, kalangan Malikiyah juga punya pandangan yang hampir serupa dengan kalangan Hanafiah. Hanya saja yang menjadi pertimbangan dan tampak perbedaan di kalangan Malikiyah adalah, ketika membatasi syarat perbuatan bughah sebatas pada sikap melawan pemerintah saja, meski jenis pidana yang ditetapkan adalah had atau qishas.6 Sementara segi definisi bughah yang dipakai di kalangan Malikiyah sebagai berikut ;

Maksud arti: "Pelaku bughah enggan mentaati pemimpin atau wakilnya yang sah dan adil bukan karena maksiat, melainkan ada alasan tertentu berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan pada pemimpin tersebut".7

4 Lihat Abi ’Abdullah ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah alMaliki, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992), hal. 222. Meski begitu, alasan pokok yang harus dimiliki dan menjadi syarat perbuatan bughah, menurut kalangan Malikiyah, karena pelaku bughah memiliki wilayah, senjata, komando, dan bertindak secara anarkis. 5 Ibn Qadamah al-Maqdisi, al-Mughni, jilid 8, ((Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 114. Dan sebagai tambahan, menurut kalangan Hanafiyah, di saat perang itu berlangsung, tidak ada aturan yang menyebabkan seseorang di antara kedua kelompok [pemerintah dan pelaku bughah] untuk dapat menanggung jaminan atau ganti rugi apapun, baik dari segi jiwa maupun harta.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

223


RISWANDI

Definisi ini bisa diarahkan, bahwa kalangan Malikiyah cukup membatasi syarat perbuatan bughah sebatas pada sikap melawan pemerintah saja. Sementara sikap "melawan" [oleh pelaku bughah] disebabkan adanya perselisihan atau perbedaan paham. Meski kemudian, kalangan Malikiyah tidak menjelaskan secara detail maksud perselisihan tersebut. Karena itu, boleh jadi sikap melawan pemerintah bisa mencakup segalanya, dengan catatan selama pemimpin itu tidak melaksanakan kewajibannya. 6 Jika demikian, untuk menetapkan jenis pidana tersebut, kalangan Malikiah tetap berpedoman bahwa pelaku bughah bukan sebagai musuh perang. Pelaku bughah masih tetap berada dalam kategori orang-orang muslim. Namun jika mereka tetap melawan, pemerintah harus menanyakan lebih dahulu alasan mereka melawan pemerintah; baru kemudian pemerintah mengambil inisiatif delik pidana menurut perbuatan yang ditimbulkan. Dan sebagai tambahan, pemerintah atau pemimpin tetap memiliki status politik yang tinggi dalam tatanan sosial. Sementara di kalangan Syafi’iyah, batasan yang diberikan terhadap pelaku bughah hanya berupa jenis had atau ta’zir. Kedua jenis ini disebabkan lantaran syarat yang digunakan sebagai berikut : Yang pertama, adanya kekuatan/ kekuasaan dan anggota-anggotanya dalam jumlah yang banyak. Yang kedua, pelaku bughah mendiami daerah atau kawasan dar ahl al-’adl. 7 Dan yang ketiga, perbuatan pelaku bughah disebabkan atas dasar ta’wil muhtamal. Yakni berdasarkan permasalahan yang muncul karena adanya penafsiran dan penjelasan.8 Ketiga syarat ini dipahami menjadi indikasi perbuatan bughah. Ditambahkan pula, menurut kalangan Syafi’iyah, alasan dari ketiga syarat tersebut juga disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama, memiliki kekuatan senjata. 6 Ibid. 7 Yang dimaksud dengan dar ahl al-’adl, tempat di mana daerah atau kawasan itu menjadi komunitas masyarakat tinggal, dan mereka tanpa melibat diri dengan kegiatan pelaku bughah. 8 Ibrahim al-Baijuri, Syarh al-’Alamah ibn al-Qasim al-Ghazya atas Matan Abi Sjuja’, Hasyiyah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1420 H/1999 M), hal. 474 dst.

224

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

Kedua, alasan yang mendorong pelaku bughah untuk melawan pemerintah. Ketiga, perbuatan bughah dipimpin oleh seorang ketua. 9 Sementara definisi yang digunakan di kalangan ini, di antaranya adalah :

"Pelaku bughah termasuk dalam kalangan muslim yang melawan pemimpin, kemudian keluar dari kebijakan dan tidak lagi mengikuti pemimpin, atau pelaku bughah enggan melaksanakan haknya, dan mereka memiliki senjata, alasan yang kuat, serta pemimpin yang ditaati".10 Definisi ini bisa diarahkan, bahwa faktor damai lebih penting daripada membunuh. Sekiranya jenis pidana itu akan dikenakan, maka hukuman yang berlaku sama seperti yang diperuntukkan di kalangan hirabah, yakni: hukuman mati, salib, atau potong tangan dan kaki secara silang, atau dibuang dari tempat asalnya, dengan berdasarkan ketentuan pemerintah yang sah.11 Namun jenis pidana perbuatan tersebut belum bisa ditetapkan, sekiranya pemerintah/pemimpin belum melakukan diplomasi politik dengan pelaku bughah. Bagaimana pun, diplomasi politik menjadi unsur penting dalam urusan ini. Sementara di kalangan Hanbaliyah tampaknya relatif lebih netral ketika mengajukan syarat perbuatan bughah. Bahkan syarat yang mereka tawarkan justru hampir serumpun dengan ketiga ulama di atas. Hanya saja yang membedakan dari ketiga ulama di atas, di mana syarat perbuatan bughah yang mereka tawarkan sebatas; Pertama, memiliki senjata/kekuasaan. Kedua, alasan melawan pemerintah. 12 Kedua syarat ini berdasarkan definisi yang meraka 9 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Jinai…, jilid 2, hm. 680-681. 10 Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-Hamzah al-Misri, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh alMinhaj, jilid 8, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah al-Bab al-Halabi, 1963), hal. 382. 11 Lihat ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 681; 692. Sayyid Sabiq, Fiqh…, Jilid 3, hal. 504. 12 Ibn Qadamah, al Mughni…, jilid 10, hal. 46.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

225


RISWANDI

gunakan ketika mengidentifikasi perbuatan bughah. Karena itu, definisi yang dipakai sebagai berikut :

"Pelaku bughah adalah sekelompok orang yang melawan pemerintah/ pemimpin yang sah, dan begitu juga dengan pemimpin yang zalim disebabkan perbedaan paham. Kemudian pelaku bughah juga memiliki senjata/kekuasaan, meskipun tidak berada di bawah pimpinan-nya".13 Definisi ini bisa diarahkan, bahwa jenis pidana bughah ditetapkan dengan pidana had atau ta’zir. Dasar jenis ini disebabkan kepada prinsip umum yang masih berlaku, di mana tujuan memerangi pelaku bughah hanya untuk menghentikan dan bukan menghancurkan mereka. Bagaimana pun, prinsip umum ini, seperti jiwa dan harta menjadi penting karena pelaku bughah juga bagian dari kelompok umat Islam dan mereka adalah ber-saudara. Lebih dari itu, menetapkan jenis pidana perbuatan bughah berdasarkan ketentuan di atas, menurut kalangan Hanbaliyah, harus mempertimbangkan tingkat kerusakan yang dibuat pelaku bughah. Sekiranya kedua syarat yang telah disebutkan di atas; [kekuatan/kekuasaan serta alasan melawan] tidak memadai dari segi tingkat kerusakan, maka sudah barang tentu jenis pidana untuk perbuatan tersebut adalah ta’zir. Begitu sebaliknya, jika jenis pidana had yang akan ditetapkan, maka perbuatan bughah sudah mengarah kepada tingkat kerusakan yang berat.  B. Definisi dan Dasar Hukum Perbuatan Pidana Bughah Sekiranya perbuatan bughah secara definitif mengarah kepada kejahatan politik, maka konsekuensi dalam hukum pidana Islam, dengan pelbagai katagori dalil hukum adalah perbuatan dilarang—yang pada akhirnya wajib diperangi. Namun untuk mempermudah substansi kajian ini, penulis sedikit perlu mengetengahkan definis bughah. Pengertian kata

mengandung arti

, yang berarti mencari atau

13 Ibid.

226

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

menuntut sesuatu. 14 Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, kata ), perbuatan jahat ( ), menyimpang kebenaran berarti yang dhalim ( ), atau melawan/menentang ( ).15 Kata-kata ini jika ( dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Kamus Lisan al-’Arab akan tampak sesuai dengan makna di atas, yakni perbuatan zalim, perbutan jahat, menyimpang dari kebenaran, atau melawan/menentang. 16 Namun secara lebih luas, pengertian ini tidak mendapat kejelasan dalam literatur-literatur fikih, selain yang telah disebutkan dalam pembahasan pandangan ulama fikih di atas. Meski begitu, untuk melihat maksud kata selanjutnya, ulama fikih secara umum menyebutkan dengan; "Mencari atau menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun ketidak selamanya zaliman". Atau bisa juga sebaliknya, bahwa maksud kata 17 perbuatan itu bisa disalahkan. Atas dasar ini, maka definisi yang dipakai secara khusus dan disepakati ulama fikih berkaitan dengan penyebutan kata al-baghyu adalah, perbuatan melawan pemerintah atau pemimpin negara. 18 Selanjutnya, definisi ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan makar atau bughah adalah, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang/organisasi, dan yang bersangkutan memiliki kekuatan/kekuasaan dengan maksud dan tujuan menentang pemerintah atau pemimpin, lantaran adanya perbedaan paham mengenai urusan kenegaraan. Adapun dalil hukum normatif yang ikut digunakan secara luas oleh ulama fikih sehubungan dengan perbuatan pidana bughah sebagai berikut : 14 Muhammad ibn Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, juz, 3, (Beirut: Masyuriyah Dar alMaktab al-Halabi, 1960), hal. 261. 15 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami…, hal. 5478. 16 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al’Arab, jilid 14, (Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M), hal. 78. 17 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, alMasuliyyah…, hal. 83-84. 18 ’Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 673; Ahmad Fathi Bahnasi, alMasuliyyah…, hal. 83-84.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

227


RISWANDI

Pertama, surat al-Hujarat ayat 9.

Maksud arti: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang berlaku adil". Ayat ini turun di Madinah. Atau diperkirakan bertepatan dengan tahun ke-9 Hijrah (631M). 19Adapun tujuan utama ayat ini, berkaitan dengan perintah perdamaian di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Sementara pertikaian yang dimaksud dalam ayat ini, lebih mengarah kepada fitnah. Maksud fitnah di sini yaitu, suatu berita yang akan diterima dan diamalkan perlu diteliti nilai kebenarannya. Sebab, jika tidak, berita tersebut bisa memecah belah umat [Islam] dan menimbulkan pertikaian. Namun ada beberapa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat ini, seperti yang dikutip al-Tabari dari ibn Abbas menyatakan: "Allah memerintahkan Nabi dan orang-orang mukmin ketika terlibat pertikaian agar kembali kepada hukum Allah. Perintah ini supaya yang terzalimi bisa diselamatkan dari yang men-zalimi. Siapa saja di antara kelompok tertentu merasa enggan, maka kelompok tersebut termasuk golongan yang durhaka. Dan pemimpin wajib memerangi mereka hingga mereka kembali kepada perintah Allah".20 al-Tabari juga mengutip riwayat ibn Zaid: "Karena perintah Allah kepada 19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal. 225. 20 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 9, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992), hal. 387. Sementara dalam tafsir al-Suyuti memiliki beberapa jalur riwayat, di antaranya adalah: ibn Jarir, ibn al-Mundhir dan ibn Mardawaih. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur fi Tafsir al-Ma’thur, jilid 6, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1990), hal. 97.

228

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

wali mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai. Jika salah satunya enggan berdamai, maka perangilah mereka hingga mereka kembali ke jalan Allah. Kemudian, beritahu ke mereka bahwa kita bersaudara dan wajib didamaikan. Dengan demikian, maka pemimpin adalah orang yang berhak memerangi kelompok bughah.21 Lebih lanjut, riwayat al-Tabari yang mengutip dari Anas ibn Malik menyebutkan: "Sebuah peristiwa di mana Rasul sedang mengenderai keledai dan melewati ’Abdullah ibn Ubay ibn Salul [yang dianggap tokoh munafik] sedang duduk dan berkumpul sesama rekan-rekannya. Lalu kemudian, keledai Rasul "buang air kecil", dan pada saat bersamaan ’Abdullah ibn Ubay ibn Salul berkata; "Lepaskan keledaimu karena aroma air seni itu menggangu kami". Lalu shahabat Nabi saw., ’Abdullah ibn Rawahah menegur ’Abdullah ibn Ubay; "Demi Allah, aroma air seni keledai Rasul lebih wangi dari minyak wangimu". Karena itu, peristiwa demikian akhirnya menimbulkan pertikaian yang mengundang kehadiran kelompok masing-masing [’Aus dan Khazraj]. Kemudian pertikaian tersebut hanya menggunakan pelepah kurma, tangan, dan alas kaki. 22 Kedua, surat al-Hujarat ayat 10. 21 Lihat al-Tabari, al-Jami’ al Bayan…, jilid 9, hal. 387. Bahkan dalam kondisi seperti yang dikutip al-Tabari, pemimpin yang berhak menentukan atau mendefinisikan, apakah perbuatan itu mengarah kepada bughah atau tidak. Sehingga nantinya kelompok tersebut bisa ditetapkan dengan jenis pidana tertentu. Sementara dalam tafsiran al-Suyuti tidak terdapat redaksi riwayat seperti ini. 22 Ibid, hal. 387-388, dst. Namun begitu, peristiwa di atas dinilai tidak kuat. Yang pertama, karena kasus ’Abdullah ibn ubay terjadi pada awal masa kehadiran (hijrah) Rasul di Madinah (622 M), sementara ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriah (631 M) Nabi di Madinah. Kedua, kasus di atas bukan penyebab utama turunnya ayat 9, selain dianggap sebagai sampel yang nilainya sama dengan maksud ayat ini. Ketiga, ’Abdullah ibn Ubay dicap sebagai kelompok orang-orang munafik—yang penilaiannya dinilai kafir berdasarkan firman Allah, surat al-Taubah ayat 84, dan Nabi melarang menshalatkan-nya. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, hal. 246. Sementara dalam tafsir al-Suyuti terdapat beberapa periwayatan yang dipakai dalam menafsirkan ayat ini, di antaranya adalah: Ahmad ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, ibn Jarir al-Tabari, ibn Mardawaih, dan al Baihaqi. Lihat al-Suyuti, al-Dur al-Manthur…, jilid 6, hal. 94-96. Sedangkan isi berita (matan) yang dipakai sama.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

229


RISWANDI

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat". Ayat ini dipahami sama dengan ayat yang dipakai di atas. Bahkan ayat ini merupakan jawaban atas ayat sebelumnya. Atau dengan kata lain, ayat sebelumnya (al-Hujarat: 9) dipahami hanya sebatas "penjelas" ketika menyelesaikan perkara pertikaian. Sebaliknya, ayat berikut ini [al-Hujarat: 10] menjadi "penguat" dalam merespon penyelesaian konflik internal [sesama mukmin] dengan cara berdamai. Untuk itu, antara ayat 9 dan 10 memiliki hubungan sebab yang sama berkaitan dengan penyelesaian perkara perbuatan pidana bughah. Meski begitu, titik tekan ayat ini hendak membedakan persaudaraan yang dimaksud. Dengan arti kata, bahwa persaudaraan karena nasab (se-kandung: genetika biologis) menjadi terputus bila berbeda dalam soal akidah. Sementara sesama mukmin lainnya [se-keturunan: genetika sosiologis-kultural] jauh lebih afdhal nilai persaudaraan itu. Alasannya karena satu keimanan. Jadi, siapa saja [sekiranya] di kalangan mukmin yang bersaudara terlibat pertikaian, maka pertikaian tersebut berhak didamai-kan oleh kalangan lainnya yang tidak terlibat pertikaian. Ketiga, surat al-Nisa’ ayat 59.

"Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil ’amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (Qs. al-Nisa’ ayat 59). .

230

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

Ayat ini turun di Mekkah, kendati termasuk dalam kelompok Madaniyah. Sementara sebab turun-nya ayat ini bisa digambarkan sebagai berikut ;

23

Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat al-Suyuti, yang merujuk ibn Jarir dan ibn Abi Hatim (Abdurrahman ibn Abi Hatim; 240-326 H/854-938 M—Hanzala, Rayy kawasan Irak dan termasuk dalam kelompok tabi’in), dari al-Suddi, di mana ayat ini berhubungan dengan peristiwa shahabat Rasul; Ammar ibn Yasir yang berada di bawah ke-pemimpinan Khalid ibn al-Walid sebagai utusan Rasul dalam suatu wilayah. Se-sampai tujuan, penduduk setempat melarikan diri kecuali seorang pria beserta keluarga-nya menghadap utusan Rasul: "Hai Ammar, aku masuk Islam dan bersyahadat bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Sementara kaum-ku melarikan diri,.Apakah Islam-ku telah menyelamatkan aku; jika tidak aku akan melarikan diri seperti kaumku yang lain? Ammar menjawab: "Tentu, Islam-mu akan bermanfaat bagimu, maka menetaplah dan jangan lari".24 Peristiwa di atas ternyata tidak disetujui Khalid ibn al-Walid. Bahkan Khalid mempertanyakan esensi perlindungan yang diberikan Ammar, seperti dalam pernyataan-nya: "Dalam hubungan apakah engkau (Ammar) berusaha memberikan perlindungan kepadanya" ? Lalu Ammar tidak merespon pertanyaan itu, sehingga terjadi perselisihan di antara kedua shahabat tersebut. Yang pada akhirnya, mereka mengadu pada Rasul, dan Rasul 23 Secara umum, surat ini terdiri dari 176 ayat. Dan merupakan surat terpanjang sesudah alBaqarah. Sementara dari segi urutan turunnya, surat ini turun sesudah surat al-Mumtahanah— pada saat terjadinya kasus Hudaibiyah, yakni tahun ke-6 H (628 M). Kemudian pendapat lain menyebutkan, surat ini turun pada saat Fathu Mekkah, yakni tahun ke-8 H (630 M). Meski begitu, ulama tafsir sepakat bahwa di antara ayat-ayat ini, ada yang sebagian turun pada tahun ke-6 H dan ada juga pada tahun ke-8 H. Lebih dari itu, kebanyakan dari ayat-ayat ini, menurut ulama tafsir turun pada awal permulaan Hijriah (622 M). Lihat Sayyid Qutub, [terj.,] Tafsir fi Zhilalil al-Qur’an: di bawah Naungan al-Quran, jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 83. Karenanya, surat ini ada yang turun di Madinah dan ada juga yang turun di Mekkah. Kendati secara khusus, substansi ayat ini berhubungan dengan perintah mengikuti putusan hukum dari siapa pun yang berwenang menetapkan hukum. Dengan lain kata, ayat ini berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan. 24 Al-Suyuti, Tafsir al Dur al-Manthur…, jilid 2, hal. 314.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

231


RISWANDI

membenarkan kebijakan yang ditempuh Ammar. 25 C. Tanggung Jawab dan Penerapan Perbuatan Pidana Bughah Jika merujuk kepada aturan yang digunakan al-Mawardi, maka pembebanan tanggung jawab perbuatan pidana bughah hanya melihat pada tingkat bagaimana dampak perbuatan tersebut. Artinya, apakah perbuatan pelaku bughah sudah mengarah pada tahap peperangan atau hanya sebatas ancaman saja. Karena itu, dalam sudut pandang al-Mawardi, kedua motif perbuatan pidana tersebut [antara peperangan dan ancaman] menjadi keharusan untuk dibedakan. Sekiranya perbuatan tersebut belum mengarah kepada peperangan, yakni sebatas ancaman saja maka konsekuensi yang ditempuh cukup diberikan peringatan saja dan dianggap sebagai jarimah biasa—dalam arti kata bahwa perbuatan tersebut bukan persoalan politik. Kemudian alMawardi menambahkan, sekiranya kejahatan itu ada, seperti pencurian maka perbuatan itu harus dihukum dengan delik pencurian. Begitu juga apabila pelaku bughah merampas harta milik orang lain, maka wajib atasnya melakukan ganti rugi. Jadi, menurut al-Mawardi, kendati perbuatan pelaku bughah itu sebatas ancaman, maka tanggung jawab pidana yang dimaksud tetap berlaku meskipun tidak dipandang atas dasar pemberontak. 26 Namun, jika perbuatan tersebut sudah mengarah pada tingkat peperangan, maka al-Mawardi menetapkan tanggung jawab pidana bughah dengan dua cara. Yang pertama, korban perang tidak perlu dipertanggung jawabkan. Yang kedua, harus menanggungnya karena perbuatan maksiat. Artinya, tidak menghilangkan hak dan tidak pula menghapus kewajiban utang. 27 Bahkan tanggungjawab perbuatan pidana bughah pun masih bisa dikaitkan, 25 Ibid. Sementara dalam tafsir al-Tabari, riwayat di atas diambil melalui jalur al-Suddi, dari Abi Salih dan bersumber dari ibn Abbas. Lihat al-Tabari, al-Jami’ al-Bayan…, jilid 2, hal. 225. 26 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Kitab al’Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 123-124. 27 Ibid, hal. 124-125. Maksud ini, sekiranya pelaku bughah membunuh dengan sengaja, maka mereka dikenakan qishas. Tapi sekiranya mereka membunuh tanpa sengaja, maka jenis pidana yang dikenakan adalah diyat. Dan begitu seterusnya.

232

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

apakah sudah mengarah kepada pemberontakan atau perbuatan itu tidak berhubungan dengan pemberontakan. 28 Jika yang dimaksud bahwa perbuatan itu mengarah kepada pemberontakan, seperti merusak jambatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintah, membunuh para pejabat atau pun menawannya; maka semua itu tidak ditetapkan dengan jenis pidana biasa, melainkan dengan jenis pidana yang paling tinggi, yakni hukuman mati apabila tidak ada pengampunan (amnesti). al-Mawardi menegaskan, bahwa tujuan memerangi pelaku bughah sematamata untuk menghilangkan sikap perlawanan mereka. Bahkan apabila situasi perang telah selesai, maka perlawanan atau tindakan perang harus dihentikan. Begitu juga dengan tingkat jaminan keselamatan bagi pelaku bughah adalah suatu keharusan dan menjadi pertimbangan yang dianggap penting. Namun al-Mawardi menambahkan, sekiranya tindakan memerangi merupakan bagian dari jenis pidana yang dimaksud, maka besar kemungkinan bahwa pelaku bughah dianjurkan untuk dibunuh setelah mereka tertangkap dalam peperangan. 29 Sementara pertanggung jawaban pidana untuk perbuatan bughah model ini tidak ada. Jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang dianggap perlu, demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan, maka ketentuan yang dibuat al-Mawardi tidak menyebabkan pelaku bughah menerima beban hukum. Adapun perusakan harta yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu, maka mereka tetap dibebani pertanggung jawaban perdata. 30 Karena itu, tuntutan bagi pelaku bughah hanya sebatas pada perdata saja. Barang yang diambil harus dikembalikan dan yang sudah dihancurkan 28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 116-117. 29 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123. 30 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah…, hal. 123.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

233


RISWANDI

harus diganti. Pendapat ini dikemukakan di kalangan Hanafiyah, dan diperkuat kembali di kalangan Syafi’iyah. Bahkan pendapat yang dimaksud di kalangan Syafi’iyah, di mana tanggung jawab itu berlaku sepenuhnya bagi pelaku bughah atas semua barang yang dihancurkan, tanpa harus mengaitkan dengan perbuatan bughah atau tidak. Karena bagaimana pun, menurut Syafi’iyah, perbuatan mereka adalah perbuatan melawan hukum. 31 Namun sekiranya para pelaku bughah itu meminta bantuan kepada kafir harbi, jika ia musta’man maka pemerintah berhak membatalkan perjanjian keamanan-nya dan status hukumnya kembali seperti semula, yakni sebagai kafir harbi kecuali keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut murni, bukan musta’man maka status hukumnya sesuai dengan status hukum asalnya, yakni sebagai kafir harbi yang setiap saat boleh diperangi atau hartanya dirampas. Karena bagaimana pun, status mereka tidak memiliki perjanjian keamanan dengan pemerintah setempat. Dengan demikian, sejauh apa yang sudah dijelaskan di atas, maka aturan yang bisa dipakai sehubungan dengan pertanggung jawaban pidana bughah, berdasarkan argumentasi al-Mawardi sebagai berikut: Pertama, adanya larangan terhadap perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan itu dilakukan secara sengaja dan penuh kesadaran. Ketiga, adanya konsekuensi hukum atas perbuatan tersebut.42 Lebih dari itu, menurut al-Mawardi, kendati ketiga faktor di atas bisa menyebabkan adanya tanggung jawab pidana bughah, namun tanggung jawab itu perlu dipertimbangkan secara politik. Pertimbangan ini lantaran efek (sebab) perbuatan itu semata-mata mengarah kepada negara atau pemerintah. Sehingga, negara atau pemerintah memiliki kekuasaan secara mutlak ketika menetapkan tanggung jawab pidana bughah berdasarkan kebijaksanaan politik. Maksud ini, di mana kebijakan pemerintah yang akan ditempuh; antara memberikan pengampunan dengan tetap melaksanakan jenis pidana harus 31 ’Abdul Qadir ’Audah, at-Tasyri’ al-Janai…, jilid 2, hal. 699.

234

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

seimbang dan tidak boleh mengikat apalagi sepihak. Karena itu, menurut al-Mawardi, langkah ini ditempuh lantaran ada dua alasan; yang pertama, syarat-syarat yang ada pada perbuatan bughah mustahil dipenuhi. Yang kedua, adanya kekhawatiran bahwa perbuatan itu ikut melukai kepentingan publik, sehingga syarat-syarat bughah perlu diperluas.32 Dengan demikian, perlu pertimbangan secara politik ketika menetapkan jenis pidana untuk kategori perbuatan bughah. D. Penutup Tampaknya belum ada kejelasan yang tepat mengenai jenis pidana yang pas bagi pelaku bughah. Dan barangkali salah satu alasannya adalah, banyaknya syarat yang perlu diidentifikasi secara akurat mengenai perbuatan bughah. Sehingga hal ini mempengaruhi upaya untuk mencapai jenis pidana bughah. Namun begitu, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi menyangkut jenis pidana bughah, dan di antaranya adalah : Pertama, bahwa perbuatan bughah tidak bermaksud keluar dari pemerintah atau negara. Perbuatan mereka hanya sebatas pada "ancaman" politik, yakni hendak menggangu jalannya pemerintahan atau beberapa hal lainya yang menyangkut dengan keutuhan negara. Meski begitu, perlu untuk dibedakan mana perbuatan bughah yang mengarah kepada pemerintah (melawan pemerintah) atau yang tidak mengarah kepada pemerintah. Jenis pertama dikenakan pidana ta’zir, sementara jenis kedua dikenakan hudud. Kedua, bahwa perbuatan bughah ikut melukai kepentingan publik (perbuatan maksiat), juga sekaligus sebuah kejahatan yang sifatnya mukhalafah, yakni melakukan perbuatan makruh dan meninggalkan perbuatan mandub. Ketiga, bahwa perbuatan bughah bisa dikatagorikan ke dalam jarimah negatif (jaraim salbiyah), lantaran menolak perbuatan yang diperintah, yakni mentaati pemimpin (al-Nisa’: 59).

32 al-Mawardi, Adb al-Dunya wa al-Din, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1950), hal. 113.

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

235


RISWANDI

DAFTAR PUSTAKA ’Audah, ’Abd al-Qadir. al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami: Muqaranah bi al-Qanun alWadh’i, jilid 1 dan 2. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1466 H/2001 M. A. Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967 al-Bayjuri, Ibrahim. Syarh al-’Alamah ibn al-Qasim al-Ghazya atas Matan Abi Sjuja’. Hasyiyah. Jilid 2. Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1420 H/1999 M. al-Kahlani. Muhammad ibn Isma’il, Subul al-Salam, jilid, 3. Beirut: Masyuriyah Dar al-Maktab al-Halabi, 1960 Al-Maqdisi, Ibn Qudamah. al-Mughi. Jilid 8. Beirut: Dar al-Fikr, 1978. Al-Mawardi. al-Adab al-Dunya wa al-Din. Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1950. Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar alKitab al-’Ilmiyah, 1416 H/1996 M. al-Misri, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-Hamzah, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, jilid 8, Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah al-Bab alHalabi, 1963. al-Nawawi. Sahih Muslim, dalam bab "hukm min Farq Amr al-Muslimin wa huwa Mujtama’", jilid 11-12, Mesir: al-Matba’ah al-Misr wa Maktabah, t.th. Al-Qurtubi, Abi ’Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994. al-Qurtubi, Abi ’Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-Maliki, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1992 al-Suyuti. al-Dur al-Manthur fi Tafsir al-Ma’thur. Jilid 6. Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1990.

236

At-Tasyri' | Volume I. No. 2, Juni - September 2009


PERBUATAN PIDANA BUGHĀH DALAM HUKUM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUĀMALAH

al-Syarbayni, Syams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatibi, Mughni al-Muhtaj, jilid 5, Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1994. al-Tabari. al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Jilid 9. Beirut: Dar al-Kitab al’Ilmiyah, 1992. al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 7. Damaskuks: Dar alFikr, 1422 H/2002 M. Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Qishas fi al-Fiqh al-Islami. Mesir: al-Syirkah al’Arabiyah, 1964. Ibn ’Abid. Hasyiyah Rad al-Mukhtar. Jilid 3 dan 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1966. Ibn Manzur al-Afriqi al-Misri. Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram. Lisan al- ’Arab, jilid 14. Beirut: Dar al-Sadir, 1410 H/1990 M Ibn Taimiyah. al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyat. Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabiyah, 1966. Ibn Taurah, Abi Isa Muhammad Isa. Sunan al-Turmuzi, dalam Kitab Diyat, bab "Ma Ja la Yahillu Dam Amr Muslim illa bi ihda salasah", No. Hadith 1407, jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Qutub, Sayyid [terj.,] Tafsir fi Zhilalil al-Qur’an: di bawah Naungan al-Qur’an, jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2001. Sabiq, Sayyid. [ter.,] Nor Hasanuddin, dkk.. Fiqh Sunnah. jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Vol. 13, Jakarta: Lentera Hati, 2003

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

237



PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL

Petunjuk Umum 1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah dipublikasikan di media manapun. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa Arab. 3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan terjemahan dari bahasa asing. 4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda. 5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy Petunjuk Teknis 1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan. 2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata. 3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata. 4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang dipergunakan. 5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field research). 6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik yang dibahas. 7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat


berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu. 8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian. 9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi. 10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah. Catatan 1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan perbaikan seperlunya. 2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.



AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.

Redaksi mengundang para penulis, peneliti dan peminat ekonomi Islam agar dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk tulisan ilmiah. Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi : Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591 E-mail: prodimu_stai@yahoo.co.id Website: www.staidirundeng.ac.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.