5 minute read
A Day with Joko Anwar
studium generale ala kineklub: diskusi bareng sutradara joko anwar
Pada Hari Sabtu (18/01) LFM berkesempatan untuk mengundang sutradara Joko Anwar dalam acara Kintalk. Detail dari Kintalk dan kintalk pernah mengundang narasumber diskusi siapa saja bisa dibaca pada halaman 13. Pada hari itu Joko Anwar banyak memberikan pandangan dan pengalaman selama perjalanannya menjadi sutradara. Dalam acara obrolan ini dihadiri oleh 120 orang yang bertempat di Eduplex. Joko Anwar mulai mendapat spotlight ketika menyutradarai prequel film Pengabdi Setan yang pernah dibuat oleh Sisworo Gautama pada tahun 80-an. Kendati begitu Pengabdi Setan merupakan film ke-6 nya. Sebelumnya ia pernah menyutradarai film Janji Joni, Kala, Pintu Terlarang, Modus Anomali, dan A Copy of My Mind. Di tahun 2019 kemarin, ia merilis dua filmnya yaitu Gundala yang merupakan adaptasi dari karakter komik Gundala karya Hasmi dan Perempuan Tanah Jahanam. Kineklub pun pernah mengunjungi Bumi Langit Studio pada tahun 2019 sebelum perilisan Gundala untuk berkenalan lebih lanjut mengenai karakater dan film yang akan rilis. Bisa dibaca pada halaman 30.
Advertisement
Dalam presentasinya, Joko Anwar memulainya dengan latar belakang mengapa ia memilih untuk menjadi sutradara. Itu dimulai ketika ia sangat suka menonton film. Banyak sekali pengalaman menonton film Joko Anwar ketika kecil. Ada yang mengintip lewat ventilasi dari bioskop remaja dan menumpang pada tetangganya yang merupakan penjaga warung. Kecintaanya pada menonton film ini membuat ia ingin menjadi aktor. Namun ketika banyak yang merendahkan cita-citanya ia pun memilih untuk menjadi sutradara. Cita-cita inilah yang menyebabkan ia masuk ke ITB karena ada Liga Film Mahasiswa. Little did we know, Joko Anwar batal masuk LFM di hari pertama kumpul. Ia bercerita senior dari LFM memberikan tugas untuk menuliskan peraturan pada karton manila. Ia pun bertanya “tujuannya untuk apa, setiap orang perlu menulis. Memang semuanya akan ditempel“. Senior LFM pun menyuruhnya pulang di hari pertama kumpul. Siapa sangka 10 tahun kemudian ia berhasil membuat film yang berhasil menarik penonton sebanyak 800.000 penonton (film Janji Joni).
Suasana Kintalk bersama Joko Anwar. Beberapa pertanyaan dan jawaban menarik sudah kami rangkum pada halaman berikutnya.
Bang dulu masuk bidang apasih di LFM?
Aku kan dulu nggak masuk
Sama sekali nggak ikut kegiatannya dari awal?
Iya, di hari pertama kegiatan aku disuruh pulang. Seniornya nyuruh nulis peraturan di karton manila. Aku tanya buat apa? emangnya semuanya bakal ditempel? Eh aku malah dimarahin senior dan disuruh pulang yaudah aku pulang.
Kalau dulu belajar kritik film gimana?
Baca buku.
Boleh minta rekomendasi buku yang jadi referensinya bang, khususnya untuk membaca film? Ada 2 buku : 1. Film Analysis for Begginers 2. How to Read a Film by James Monaco
Kalau aku membaca review film ada 2. Pertama sebagai panduan untuk menonton aku akan memilih reviewer yang taste nya sama dengan aku. Kedua ketika membaca review untuk memperluas wawasan, baca dari mana saja. Untuk sampai tahap itu reviewer harus mengerti Bahasa film. Film adalah Bahasa dari seseorang sineas yg ingin either mengatakan sesuatu, menggulirkan gagasan, pertnyaan, dan sebagainya. Film adalah Bahasa uniquely dari sineas ketik ingin mengatakan sesuatu. Dalam hal ini ada 2 tools yang dipakai. 1. Teknis , segala sesuatu yang bias dipelajari di Pendidikan. Buku, sekolah, kursus sifanya baku. Missal cara men set-up lighting yang cocok untuk lensa apa. 2. Estetika ini adalah segala sesuatu yang ada dalam diri kita yang merupakan hasil dari apa yang kita lalui sejak kita lahir. Estetika ini adalah pilihan termasuk cita rasa.
Bagaimana reviewer tahu estetika dari filmmaker. Biasanya menonton film terdahulunya. Atau kalua dia baru bikin film pertama kali kalua seseorang bias membaca film langsung bias terbaca. Tentunya ini juga ilmu bisa dengan baca dari buku.
Kritik film itu ditujukan untuk pembuat atau penikmatnya. Formula kritik yang bisa nyampe ke keduanya itu bagaiamana ya?
Menurut saya kritik film tidak ada pakemnya, karena kalo kritik film ada standarnya bias jadi Cuma ada satu atau dua kritikus di dunia. Ada banyak sekali kritikus film.
Ada banyak kritikus film di roten tomatoes ada 200-300 listed reviewers dan masing-masing cara pandangnya berbeda. Nantinya pentonton akan mencari dari setiap kritikan yang dibuat oleh kritikus. Nanti penonton akan menemukan kritikus yang perspektif/taste nya sama dengan mereka. Aku dulu sering baca kritikus James Berardinelli dan Pauline Kael.
Jadi review film itu bukan sekadar ekspektasi. Reviewer harus bisa membuka pikiran ya sayang karena salah satu tugas reviewer adalah memperluas pengalaman menonton.
Gimana sih caranya magang di industri film?
Kalau magang biasanya produsernya atau PH yang buka. Tapi nama produser saya Tia Hasibuan. E-mailnya tiahasibuan@gmail.com kalau misalkan mau magang bisa kirim e-mail ke Tia. Kasih tau juga magangnya dimana. Kirim surat pengantar ke saya kenapa ingin magang. Kalau punya reel bisa disertakan.
Baru-baru ini film-film Asia dapat spotlight di level International seperti Parasite. Apa saja sih hambatan sineas Indonesia untuk mencapai level yang sama dengan film-film tersebut. Apa sutrada
Pas orang-orang muja-muja Parasite, aku sedih karena film Indonesia belum ada yang bikin seperti itu. Jangankan Parasite, 10 langkah dibawah parasite juga belum. Kalau kita ke festival film banyak dari berbagai negara film diputar. Dari Indonesia itu jarang. Menurutku ini ada hubungannya dengan ekosistem. Ekosistem tidak memacu filmmaker untuk mengejar achievement.
Karena pertama tidak ada acknowledgement untuk mereka yg berprestasi. Misalnya di Malaysia ada FINAS (Perbadanan Kemajuan Filem Nasional) Bekraf khusus Filmnya Malaysia mereka memberi dana kepada filmmaker yang memiliki potensi untuk membuat film yang mungkin pendanaanya tidak mungkin mendapat dari komersil. Tapi yang komersil tapi dianggap menghasilkan sesuatu yang memberikan kualitas juga diberi bantuan oleh FINAS.
Kedua nggak ada persaingan. Kalo di Thailand, persaingan antara film non-arthouse tuh luar biasa. Kalo di Indonesia nggak ada.
Ketiga, nggak ada sekolah film. Di Jakarta ada IKJ, UMN, paling cuma 5. Di Luar negeri itu banyak. Paling unik tuh Korea selatan. Sebelum tahun 1994, filmnya kayak film Indonesia tahun 2012. Banyak warga yang nggak mau nonton film lokal. Tahun 1994, pemerinah Korea selatan manggil konglomerat-konglomerat. Samsung, CJ, dan beberapa lagi. Mereka diberi kesempatan besar bikin perfilman maju. Mereka bikin sekolah Namanya KAFA (Korean Academy of Film Arts) sekolah film.
Mereka belajar ketika berpotensi dikasih uang sama konglomerat untuk bikin film. Generasi filmmaker yang bikin film di Korea Selatan itu hasil revolusi tahun 1994 sampai filmmakernya satu orang memutuskan untuk menjadi Menteri kebudayaan karena supaya ngurusin film. (red. Lee Chang-dong, filmmaker film Burning) Itu benar-benar berangkat Bersama pemangku kepentingan. Lalu mereka invest di script. Jadi mereka bikin inkubasi untuk calon penulis, dites yang berpotensi dikumpulin lalu dikasih Pendidikan script digaji untuk menulis script. Setelah mereka punya banyak script baru di produksi script-script yang bagus ini. Kalau kita sekarang mau bikin film siapa nih yang menulisnya.
Untuk diskusi lengkapnya bisa cek di Youtube Kineklub LFM ITB.