21 minute read
Ulasan Film : Oscar nominations
Marriage Story: Satu Keputusan yang Diambil Terlalu Cepat F I L M R E V I E W : OSCAR NOMINATION
Dhiya Ilham Trihatmaja Planologi 2018
Advertisement
Pasti setidaknya kalian pernah mendengar bahwa film ini menarik atau temanteman kalian menceritakan bahwa film ini adalah film perceraian. Tapi film ini membawakan sesuatu yang lebih daripada hanya menceritakan perceraian itu sendiri. Film ini dapat mengemasnya dalam drama berbeda dan ‘real-life situation’. Penasaran bagaimana, mungkin akan kuceritakan film ini mulai dengan “the things I like and its funfact”. Hal-hal yang kusukai adalah (1)film ini membawakan cerita panjang untuk satu film berdurasi 2 jam 16 menit tanpa membuat jenuh dengan membawakan alur drama yang tidak monoton. (2)Film ini juga sukses menceritakan situasi KDRT atau cekcok tanpa harus memakai fisik tetapi verbal yang minim cursing dan memberi makna pada penonton sendiri, apalagi ditambah pada akhir cekcok dibuat dengan perasaan ‘damai’ yang akan kalian tahu sendiri jika menontonnya. Dan (3)kalian akan dibuat men-support Nicole Barber — pasangan dari Charlie Barber — karena pada frame akan memberikan semua kesan positif dan strategi hukum yang membuat memenangkan persidangan pada awal hingga tengah film yang membuat posisi Charlie semakin kecil bagi kalian yang menonton dan lambat laun menaikkan posisinya di kala akhir film dan membuatnya menjadi seri. Juga ada beberapa funfact yang membuat kalian takjub (sumber: The Academy) seperti (1) di kala emosional monolog yang dilakukan Johansson merupakan satu take dengan scene yang panjang dan membutuhkan rol film baru agar mendapatkan take yang sempurna “Scarlett was amazing. It was like watching a great athlete compete.” — Noah Baumbach
(2) Agar teater pada scene berdurasi 30 detik saat Charlie sedang mengarahkan adegan teater / directing dan Nicole berakting berasa nyata, seluruh produksi teater/ studio dibangun hanya untuk scene tersebut.
(3) Setelah Randy Newman — pembuat musik orisinil pada film — membaca script, dia merekam sebuah musik tema berjudul “Mommy Phase” melalui telepon genggamnya dan mengirimkannya pada Noah Baumbach, dan scene juga tema yang dibuat menjadi hal penting yang menceritakan esensi dari film.
“I love working with him. He instinctually understands what that means musically for him and for the piece.” — Noah Baumbach Melihat dari cerita yang kutangkap adalah, adanya turun-naiknya perasaan hati satu sama lain dan kehidupan bersama tidak akan selalu menyenangkan dan janganlah terlalu cepat mengambil keputusan yang akan disesali kelak. Karena menurutku pada akhirnya mereka tetap saling mencintai dan tetap juga melakukan perceraian karena proses ini telah mencapai final dan memberikan keputusan terakhir yaitu bercerai. Lalu, kenapa kalian harus menonton Marriage Story, karena film ini memberikan gambaran perceraian dan memberikan pelajaran untuk selalu dapat bertahan juga menghargai ikatan hubungan yang sakral. Memiliki aktor dan aktris yang rupawan seperti Adam Driver dan Scarlett Johansson. Serta para aktor dan tim produksi melakukan effort lebih agar film ini dapat mendekati kesempurnaan dan meraih berbagai penghargaan. Rating pribadiku untuk film ini adalah 8.9/10.
PARASITE : (Bukan) Cerita Si Kaya dan Si Miskin
Apa yang ada di pikiran kalian ketika film ini menang Festival Cannes tahun 2019? Kebanyakan orang berpikir pasti film ini film yang sangat “mikir”, punya ending yang tak tertebak, penuh dengan plot twist, dan lain-lain. Tapi ternyata film ini seederhana. Perjuangan manusia untuk bertahan hidup. Ya, sederhana, tapi sangat amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ihsan Nurfajri Teknik Material 2016
Kim Ki Taek (Song Kang Ho) bersama istri dan kedua anaknya hidup di rumah semi-basement dalam lingkungan yang padat. Keempatnya merupakan pengangguran dengan perjuangan yang sangat sulit walaupun hanya untuk bertahan hidup. Suatu hari, anak tertuanya – Ki Woo (Choi Woo Shik) – mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya untuk menjadi guru les dari keluarga orang kaya. Ki Woo kemudian memanfaatkan posisinya agar seluruh keluarganya dapat bekerja dalam keluarga kaya ini agar dapat mengakhiri kesengsaraan mereka.
Sebelum beranjak pada cerita dari film ini, saya pribadi sangaaaat menyukai sinematografi dari film ini. Penempataan benda-bendanya sangatlah apik dan berkesan, kemudian camera work yang dihasilkan sangat mulus sehingga mudah untuk dinikmati di sepanjang film. Sebagai contoh, adegan ketika Ki Taek dan keluarganya mencoba merebut kebahagiaannya yang sementara sangatlah dramatis dan mencekam ditambah timing yang tepat dari musik yang mengalun sepanjang adegan tersebut. Terakhir, adegan ketika Ki Jung (Park So Dam) terlihat merokok di dalam kamar mandi yang sesak sembari air banjir meninggi dan isi di dalam toilet tersebut mendesak ingin keluar. Adegan ini sangatlah memberi pengaruh yang sangat tinggi bagi saya, adegan ini penuh keputusasaan namun penuh harapan, membosankan namun menantang, dan hina namun suci dengan caranya sendiri. Untuk cerita film ini sendiri sangatlah menegangkan TETAPI Bong Joon Ho membungkusnya dengan sangat apik ditambah banyaknya adegan-adegan komedi di sepanjang film. Membuat film ini menghibur dan mendebarkan dalam proporsi yang seimbang. Premis yang disajikan film ini pun juga sangat sederhana namun memiliki pengertian yang mendalam. Tentang Keluarga yang miskin, tidak beruntung, tapi sangat bertalenta yang mencoba menyelesaikan permasalahan ekonominya dengan “bantuan” dari keluarga kaya raya (Keluarga Park), tetapi cenderung bodoh, dan tidak bertalenta. Hukum rimba berlaku disini – yang lemah akan ditindas oleh yang kuat – tetapi, pertanyaannya adalah siapa di antara mereka yang lebih kuat? Benar, bahwa keluarga Ki Taek memiliki kecerdasan di berbagai bidang, namun keluarga Park selalu diberkati oleh harta yang menjadikan mereka memiliki kekuatannya tersendiri. Jadi, siapa yang kuat dalam kasus seperti ini?
Jawaban saya pribadi terhadap pertanyaan ini adalah, TIDAK KEDUANYA. Tiap keluarga memiliki kekuatan di daerah tertentu, tapi satu hal penting terhadap permasalahan ini, mereka semua hanyalah manusia. Mereka hidup, kemudian mati. Mereka tidak bisa melawan hukum alam ini. Pada akhirnya alam yang akan mengambil alih semuanya. Dalam film ini, terdapat pihak ketiga yang akan merusak harmoni di antara kedua pihak sehingga menjadikan kedua pihak jatuh ke jurang yang dalam.
Film ini merupakan film yang sangat luar biasa, namun satu yang sangat saya sesali dari film ini, yaitu lelaki yang hidup di bawah tanah yang menjadi titik utama dan kelemahan film ini. Merupakan hal yang sangat tidak masuk akal bagaimana seorang manusia bisa hidup tanpa sinar matahari selama bertahun-tahun, walaupun terdapat bukti bahwa manusia dapat hidup tanpa sinar matahari, namun kemudian ketika mereka terpapar sinar matahari tersebut, butuh waktu yang sangat lama untuk beradaptasi terhadap hal tersebut. Hal yang tidak adil memang bila memasukkan sains ke dalam film, tetapi film ini adalah film yang realistis sehingga segala alasan yang ada di film ini haruslah realistis. Film ini merupakan film yang tepat untuk dinikmati semua orang di dunia. “Parasite” merupakan salah satu film yang sangat penting yang pernah dibuat.
Joker: Pencerminan Keadaan Sosial Dunia Saat Ini
Neelam Ayuningrum FSRD 2019
Ketika Marvel sedang merayakan pencapaiannya atas Avengers: Endgame yang meraih kesuksesan secara komersial sebagai film terlaris saat ini, DC masih harus membenahi berbagai kekurangannya dalam membuat sebuah cinematic universe yang solid dengan kurang diterimanya Justice League dan Suicide Squad. Jika dilihat dari film-film DC, justru yang meraih kesuksesan secara komersial dan mendapat banyak pujian dari para penikmat film adalah film-film standalone mereka seperti The Dark Knight Trilogy, Wonder Woman, dan Aquaman. Mungkin karena itulah, mereka merasa bahwa film standalone-lah yang menjadi keunggulan mereka, dan memutuskan untuk merilis film Joker.
Film Joker diiringi dengan berbagai kontroversi yang beredar di media Amerika Serikat. Karena paranoid akan kejadian penembakan 7 tahun lalu pada saat penayangan The Dark Knight Rises, sinema di seluruh Amerika Serikat diperintahkan untuk memperkuat keamanannya seiring penayangan Joker. Banyak juga media-media mainstream Barat yang mengecap film ini sebagai film yang penuh kekerasan dan ‘berbahaya’ untuk ditonton.
18 | KINEFOLK Saya sebagai orang Indonesia tidak tahu-menahu tentang tulisan-tulisan media mainstream ketika masuk ke bioskop tanpa ditemani siapa pun pada jam sepuluh malam di hari pertama penayangannya di Indonesia, karena saya telah menanti-nanti film ini sejak lama. Belum ada keramaian di media sosial yang membahas film Joker beserta kegilaan-kegilaannya. Yang saya ingat hanyalah bahwa film ini menerima banyak sekali pujian saat penayangannya di beberapa festival film, bahkan sampai mendapat tepuk tangan meriah selama delapan menit di Venice Film Festival. Mendengar hal itu, saya yakin film ini bukanlah film generik yang mencoba menjadi dark namun gagal ala Suicide Squad, melainkan film serius yang membuat kita kepikiran ketika berada di bioskop maupun ketika sudah di luar bioskop. Setelah menyaksikan Joker, sepertinya saya tidak salah dalam hal itu.
Sinopsis Arthur Fleck adalah pria berumur 30-an yang hidup di sisi gelap dan kumuh kota Gotham, serta bekerja sebagai badut jalanan. Sejak kecil ia memiliki kelainan mental dimana ia akan tertawa meskipun hatinya dipenuhi kesedihan. Karena pekerjaannya sebagai badut serta kelainan mentalnya, tak jarang ia diremehkan dan dicaci-maki oleh orang sekitar. Rangkaian tragedi demi tragedi terus berdatangan dalam hidupnya, menguji kewarasan si badut jalanan.
Dari filmografi yang saya lihat di biografi Todd Phillips di internet, saya mendapati banyaknya film komedi yang disutradarai olehnya. Tentunya saya terkejut, karena Joker bukanlah film komedi, melainkan film tragedi. Saya memang tidak menonton semua film yang disutradarai Phillips satu per satu, akan tetapi dapat dilihat dari deskripsi singkat film-film tersebut, bahwa “dark comedy” seringkali disebutkan. Itu adalah titik temu Joker dengan film-film komedi buatan Phillips. Hubungan antara filmografi Phillips dengan film Joker yang penuh tragedi mengingatkan saya akan kutipan kalimat Arthur Fleck di film ini:
“Aku selalu berpikir bahwa hidupku adalah tragedi, namun sekarang aku sadar, hidupku adalah sebuah komedi.”— Arthur Fleck
Joker sebagai film dengan cerita yang dark adalah bentuk “komedi” Todd Phillips yang berupa satir terhadap keadaan sosial masyarakat sekarang yang penuh kesenjangan dan perbedaan kelas sosial. Ketertarikan Phillips terhadap dark humor yang sekarang tidak begitu diterima dengan baik di masyarakat Amerika Serikat yang penuh dengan Social Justice Warrior,
juga dituangkan dalam karakter Arthur Fleck yang juga gemar melucu dengan dark humor yang tidak bisa membuat tertawa semua orang.
Film ini menggali lebih dalam mengenai bagaimana seseorang bisa menjadi dirinya sekarang, karena setiap hal pasti diawali oleh sesuatu. Hal ini bisa dilihat dari karakter Joker yang terbentuk dari kehidupan Arthur Fleck yang sering dicaci-maki, dihujat dan diremehkan, ditambah dengan minimnya dukungan dari keluarga maupun teman. Hal ini sedikit demi sedikit mengikis kesabaran Arthur dan akhirnya membuatnya menjadi sang Joker. Hal ini mirip dengan orang-orang yang terkucilkan di masyarakat, yang akhirnya berbuat sesuatu yang negatif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, dikarenakan rasa muaknya terhadap kehidupan sosial yang begitu kejam.
Berlanjut ke masalah akting, tentu saja kita tidak bisa membicarakan film ini tanpa menyebutkan nama Joaquin Phoenix, yang akhir-akhir ini mendapat pujian dari banyak orang atas penampilannya yang spektakuler dalam memerankan Joker. Karakter yang merupakan musuh utama Batman ini sempat mengantarkan almarhum Heath Ledger menuju panggung Academy Awards dan meraih piala Oscar, maka tentu saja orang-orang mengharapkan kualitas yang setidaknya setara dengan Ledger dalam menjiwai karakter Joker. Berbagai hujatan yang diterima DC atas penggambaran Joker oleh Jared Leto di film Suicide Squad yang kurang memuaskan membuat DC memutuskan untuk “membuang” Jared Leto dan mengangkat Phoenix sebagai pemeran karakter badut Gotham ini. Setelah membaca berbagai review Joker dan menyaksikan sendiri aksi Phoenix, saya yakin bahwa DC telah mengambil keputusan yang tepat.
Joaquin Phoenix mampu menunjukkan karakter Arthur Fleck yang unik, seperti kelainan mental yang ia miliki, kecanggungannya ketika bertemu orang-orang selain ibu dan temannya, serta tawa Arthur yang menyiratkan kesedihan seorang badut jalanan yang selalu tertimpa tragedi demi tragedi. Banyak orang yang berharap bahwa Phoenix masuk dalam nominasi Academy Awards, bahkan meraih piala Oscar yang sangat bergengsi, dan saya adalah salah satunya. Karakter-karakter pembantu seperti Penny yang juga berhasil menampilkan sesosok ibu yang kelihatannya peduli terhadap Arthur, namun tetap menyimpan rahasia-rahasia gelap di masa lalunya mengenai dirinya maupun Arthur. Robert De Niro juga sangat piawai dalam memerankan host talkshow Murray Franklin, di mana saya yang menyaksikannya seperti menonton talkshow di televisi betulan.
Dari aspek sinematik, terlihat bahwa film ini sering menggunakan warna-warna dingin dan gelap seperti biru, hitam, dan abu-abu. Hal ini tentu memperkuat kesan suasana suram dan berbagai tragedi di film ini. Akan tetapi, terdapat satu adegan yang terlihat menggunakan sedikit warna hangat, yaitu ketika Arthur sedang beranjak memasuki apartemennya. Hal ini seperti simbolisme bahwa apartemen Arthur adalah tempat hangat baginya untuk beristirahat sejenak dari segala keburukan-keburukan yang ia hadapi di masyarakat. Kamera juga seringkali menangkap sebuah adegan dimana penonton memiliki eye level yang setara dengan Arthur. Hal ini membuat penonton merasa setara dan familiar dengan yang dirasakan karakternya, sehingga membuat penonton bersimpati terhadap kehidupan Arthur ini.
Satu lagi yang sangat penting dalam menciptakan suasana film yang suram dan mencekam ialah scoring yang brilian dari Hildur Guðnadóttir. Musik yang menemani adegan demi adegan sepanjang film digunakan secukupnya, tidak perlu digunakan secara berlebihan bagaikan film-film generik murahan. Guðnadóttir juga mampu memberikan ketegangan pada penonton dan membawa penonton kepada kejadian-kejadian intens pada film. Musik yang dipakai juga sangat mendukung setiap suasana yang sedang digambarkan.
Film Joker memang diliputi berbagai kontroversi dan memicu banyak perbincangan untuk orang-orang. Ada juga yang merasa familiar dengan apa yang dirasakan Arthur. Terlepas dari semua itu, saya berpikir bahwa Joker merupakan film yang patut ditepuktangani selama delapan menit. Menurut saya, film yang brilian adalah film yang membuat orang berpikir dan mendiskusikan topik yang diangkat dalam film tersebut, dan “kekacauan” yang diciptakan oleh film Joker merupakan tanda keberhasilan film ini.
Ariq Rahman Baihaqi Teknik Mesin 2016
“Um, this year marks the 50th anniversary of the greatest battle in motorsport history. The story begins in the 1960s when Ford realizes that they can sell a lot more cars if they were a lot more successful on the racetracks. So, they formulated a brilliant plan, but unfortunately it went disastrously wrong, didn’t it Bob? [laughs]” - James May pada The Grand Tour S01E06
Pada tanggal 23 Desember 2016, sebuah otomotif terkenal Amazon, The Grand Tour, mengeluarkan episode ke-6 dari musim pertama mereka dengan judul Happy Finnish Christmas. Pada segmen terakhir dari acara tersebut, sebuah film dokumenter singkat yang dipresentasikan James May ditampilkan. Film tersebut merupakan tentang perselisihan antara Ferrari dan Ford pada salah satu ajang balapan paling terkenal di dunia, 24 Hours of Le Mans (24 Heures du Mans). Dokumenter pendek tersebut menurut saya pribadi sangatlah bagus. Lalu, hampir 3 tahun semenjak film itu diluncurkan, sebuah film dengan durasi 152 menit dirilis ke publik. Kebetulan? Menurut saya tidak. Bagaimanapun, saya bersyukur seseorang di Hollywood memutuskan untuk membuat sebuah serpihan sejarah ini menjadi sebuah film.
Film ini dinamakan Ford v Ferrari (atau Le Mans ’66 untuk di beberapa negara Eropa). Film ini disutradarai oleh James Mangold dan ditulis oleh Jez Butterworth dan John-Henry Butterworth. Film ini dirilis pada tanggal 13 November 2019 di Belgium dan Prancis, dan dilanjuti dengan negara – negara lain pada tanggal setelahnya, dengan Indonesia pada tanggal 15 November 2019. Film ini dibintangi oleh beberapa aktor terbaik Hollywood seperti Matt Damon dan mantan Dark Knight, Christian Bale.
20 | KINEFOLK Cerita asli dari perselisihan antara Ferrari dan Ford bermula pada 1963, dimana Ford mencoba untuk membeli Ferrari. Pada saat itu Ferrari sedang mengalami masalah keuangan, jadi ketika Ford Motor Company menawarkan untuk membeli perusahaan tersebut dengan uang sebanyak US$ 16 juta, Enzo Ferrari setuju. Lalu pada tanggal 21 Mei 1963, perwakilan Ford pergi ke Itali untuk mengurusi urusan pembelian ini. Ketika mereka sampai, kontrak mengenai pembeliannya diberikan kepada Enzo. Pada saat inilah masalah mulai muncul.
Dengan menyetujui kontrak tersebut, Enzo secara efektif akan memberikan Ford Motor Company kewenangan terhadap divisi balapan Ferrari. Enzo tidak setuju. Enzo lalu mencaci maki para perwakilan Ford yang kemudian dilanjuti dengan dirinya pergi meninggalkan pertemuan tersebut untuk makan. Ketika Heniry Ford II mendengar tentang hal ini, dia merasa terhina. Merasa terhina, Henry Ford II pun memutuskan untuk melawan Ferrari di Le Mans 24 Jam. Dengan waktu kurang dari satu tahun, Ford berhasil membuat sebuah mobil balap dengan bantuan Lola Cars. Mobil ini dinamakan Ford GT40. Jadi, percobaan pertama, tahun 1964 di Le Mans, bagaimana hasilnya? Parah. Dari tiga Ford GT40 yang dibawa, semuanya tidak ada yang berhasil menyelesaikan balapannya. Mereka akhirnya mencoba lagi pada tahun 1965 dengan bantuan Carol Shelby dan Ken Miles, yang juga berakhir mengenaskan. Lalu akhirnya pada tahun 1966, mereka akhirnya berhasil mencetak kemenangan mereka di Le Mans, yang membuat mereka tim Amerika pertaman yang berhasil menang di 24 Hours of Le Mans.
Jadi apa yang membuat film ini keren? Kenapa saya bersyukur Hollwyood memutuskan untuk mengadaptasi cerita ini menjadi filmnya sendiri? Kenapa saya meng-klaim bahwa ini film yang sempurna untuk penggemar otomotif? Secara singkat, film ini mengerti daya tariknya. Film ini tahu bahwa atraksi utama dari film ini merupakan apa pun yang berhubungan dengan otomotif, bahkan sampai ke detailnya. Jadi, bagaimana film ini memanfaatkan fitur ini?
Salah satu metode yang menonjol untuk memanfaatkan fitur ini merupakan dengan karakter seperti Carol Shelby (Matt Damon) dan Ken Miles (Christian Bale) menunjukkan pemahaman dan hasrat mereka terhadap mobil dan balapan. Carol Shelby merupakan salah seorang tuner mobil legendaris dan Ken Miles merupakan pembalap yang hebat. Jadi, dengan membuat mereka berbicara mengenai otomotif secara mendalam dan penuh semangat membuat kita merasa bahwa yang kita tonton bukan hanya sekedar aktor yang berbicara, , akan tetapi seseorang yang mempunyai cinta terhadap mobil dan balapan, dan itu adalah sesuatu yang saya rasakan. Untuk membuat hal ini lebih menonjol, film ini menciptakan kontras antara Shelby dan Miles dengan eksekutif Ford. Para eksekutif tersebut digambarkan seolah mereka bukanlah penggemar otomotif. Mereka hanyalah sekumpulan pria dengan jas, yang membuat hasrat dan antusiasme Shelby dan Miles lebih menonjol.
Metode kedua yang paling menonjol merupakan bagaimana mereka merekam mobilnya. Saya ingat ketika saya menonton film ini, saya beberapa kali merinding bahagia ketika melihat mobilnya muncul. Mereka paham bagaimana cara merekam mobil yang ada untuk memanfaatkan kekerenan mobil tersebut. Entah itu ketika mobilnya sedang berdiam diri atau melaju dengan kecepatan 150+ mil per jam, ketika mereka ingin, mereka mampu membuat adegan itu luar biasa. Pribadi, shot favorit saya merupakan ketika Ken Miles akan melewati garis finish untuk mengakhiri sebuah putaran. Ketika Ford GT40-nya melesat ke garis finish, shot-nya dibawa ke belakang mobil. Itu merupakan trailing shot yang seolah direkam dengan drone. Saya sedikit bingung apakah adengan itu asli atau CGI, akan tetapi itu tidak penting karena adegan tersebut sangatlah spektakuler.
Sehebat apapun ceritanya, apapun yang diciptakan manusia memiliki kelemahannya, dan film ini bukanlah sebuah pengecualian. Menurut saya, salah satu kesalahan film ini terletak pada akurasi sejarahnya. Saya sadar memang film yang berdasarkan kisah nyata akan ada hal – hal yang dilebih - lebihkan atau tidak terjadi, biasanya ini hal kecil, detail tidak penting. Akan tetapi, ada satu detail penting yang mereka salah. Di filmnya, Shelby direkrut Ford sebelum Le Mans tahun 1964. Pada cerita aslinya, meerkat direkrut setelah Le Mans tahun 1964. Jika mereka mengikuti cerita aslinya, film ini mungkin akan jadi film yang sangat berbeda. Salah satu kesalahan lainnnya, atau lebih tepatnya kesempatan yang hilang, merupakan film in tidak menceritakan usaha Ford pada Le Mans tahun 1965 dan langsung lompat ke Le Mans tahun 1966.
Jadi kesimpulannya, jika anda adalah seseorang yang gemar dengan Top Gear UK atau The Grand Tour, atau mungkin anda sangat suka dengan serial komik dan animasi Initial D, atau anda fikir film terhebat Pixar dari sekian film hebat mereka merupakan Cars (2006) hanya karena itu tentang mobil, atau mungkin anda hanya seorang penggemar mobil, maka film ini untuk anda. Dan untuk anda yang tidak, film ini tetap merupakan film untuk anda karena film ini mungkin salah satu film terbaik yang keluar pada tahun 2019.
Referensi 1. Whitehead, G. (Director), & Klein, B. (Studio Director). (2016, December 23). Happy Finnish Christmas [Web Series Episode]. In A. Wilman (Executive Producer), The grand tour. Seattle, WA: Amazon. 2. Racing in the blood: the story of the Ford GT40. (2017, Februari 16). Dilihat pada November 22, 2019, dari https://www.motoringresearch.com/car-news/features/racingblood-story-ford-gt40/ 3. Ford v Ferrari. (2019, November 13). Dilihat pada November 23, 2019, dari https://www.imdb.com/title/tt1950186/
Once A Upon A time In Hollywood: Kisah Alternatif Pembunuhan Sharon Tate
Angga Muhammad Firsyah FTI 2019
Bukanlah Quentin Tarantino kalau bukan membuat film berdasarkan kisah nyata yang Ia modifikasi “seenaknya”. Terinspirasi dari kejadian nyata pada tahun 1969, seorang aktris bernama Sharon Tate yang dibunuh oleh sekte alias kaum hippies sengklek pada saat aktris tersebut tengah hamil 8,5 bulan. Dipimpin oleh Charles Manson yang sedari kecil sudah tidak mengenali hidup tenang nan bahagia. Di dalam film, si Charles ini hanya ditampilkan sekali oleh Om Tino pun tidak dijelaskan oleh Om Tino siapa dia dan peran dia dalam alur cerita fim. Padahal, tanpa kelakuan Berandal Ini, mungkin film ini tidak akan pernah ada.
Charles Manson sendiri adalah seseorang yang lahir di Amerika Serikat. Di umur Charles yang ke tujuh, ia tinggal di rumah saudaranya karena Sang ibu harus meringkuk di balik sel tahanan karena terlibat dalam perampokan pom bensin. Selepas masa tahanan sang Ibu berakhir, keterbatasan finansial membuat Charles musti ditempatkan di sekolah asrama negara. Disaat inilah Charles melarikan diri dan hidup bersama orang orang jalanan, disaat ini juga dia mulai melakukan tindakan kriminal. Berbagai perbuatan yang melawan hukum sudah dilakukan oleh Charles sejak usianya juga masih belia. Kasus nya diantara lain, pencurian mobil, penipuan, pemalsuan kartu kredit, dan bekerja sebagai mucikari. Beliau juga beberapa kali keluar-masuk penjara.
Singkat cerita, setelah berulang kali keluar-masuk penjara, pada tahun 1967 beliau memutuskan untuk melakukan ‘hijrah’. Charles memutuskan untuk merintis karir menjadi musisi. Alih-alih menjadi rockstar, beliau malah membuat sebuah kelompok yang lebih dikenal dengan nama “The Family” atau “Manson Cult”. Karena karismanya, banyak remaja yang rela menjadi pengikutnya. Charles sedemikian rupa dapat memanipulasi anggota
anggotanya sehingga dapat mengikuti semua perkataan nya termasuk berhubungan seks dengannya dan rutin melakukan LSD Trip. Pada suatu ketika, Charles mengutus anak buahnya untuk membunuh Roman Polanski — sutradara kenamaan pada saat itu — beserta istrinya, Sharon Tate. Hal ini adalah propaganda yang dibuat langsung dari isi kepala Charles Manson sendiri dan rencana ini dikenal dengan “Helter Skelter Scenario”. Diambil dari judul lagu The Beatles, rencana skenario ini ialah untuk membunuh sebanyak-banyaknya public figure kulit putih, yang dipercayai Charles, akan mempercepat kiamat akibat peperangan ras. Charles beserta komplotannya percaya bahwa nantinya mereka bisa mengambil keuntungan dari peperangan tersebut. Entah dari mana Charles mendapatkan ilham tersebut pun juga komplotannya mengamini hal tersebut. Ulah dari Charles Manson ini yang membuat beliau menjadi lambang dari kegilaan dan kekerasan.
Film ini difokuskan pada Rick Dalton yang dikisahkan sebagai TV star dan stunt double-nya — Cliff Booth. Dalam penuturan naratif selama 3 jam nya Tarantino, penonton yang hendak menonton, diharapkan sedikit banyak tahu budaya pop kultur pada tahun tersebut (1960-an) dan sepak terjang tokoh yang dibahas di film. Jika tidak, penonton bisa tersesat dalam konten konten yang disajikan, memang film Tarantino yang satu ini cukup segmented dan dapat dinikmati secara maksimum oleh penikmat pop kultur pada tahun tersebut. Tetapi, tidak menjadikan Once Upon a Time In Hollywood tidak layak tonton oleh orang awam. Performa Aktor papan atas, dialog-dialog yang tajam, kekerasan yang disulap menjadi keindahan, dan segala hal yang selalu ada di tiap film Tarantino menjadikan alasannya.
Film ini bisa dibilang easy to watch dan nyaman untuk ditonton berkali kali, bisa diibaratkan seperti denger lagu yang asik banget tapi liriknya suka bingungin. Sebenernya konsep filmnya pun tidak terlalu muluk muluk. Hal yang menarik juga terdapat di ending film, kisah yang aslinya seharusnya dark, diubah menjadi semi anekdotal tanpa semerta-merta membuat film menjadi tacky. Once Upon A time In hollywood barangkali ialah persembahan Tarantino untuk masa kejayaan Hollywood pun juga Tarantino hidup di era tersebut dan menggemari pop kulturnya. Wacananya sih ini bakal jadi film terakhir dari Tarantino.
1917
Gilroy Jeremia FMIPA 2019
Melalui 1917 Sam Mendes berhasil menampilkan kengerian perang dunia pertama dari kacamata tentaranya. Diangkat dari kisah nyata yang diceritakan oleh kopral Lance Mendes -kakek dari Sam Mendes- membuat cerita ini terasa begitu personal. Apalagi ditambah dengan film yang dikemas dengan dibuat seolah one take, membuat perjalanan Schofield(- George MacKay) dan Blake (Dean-Charles Chapman) begitu sulit dan melelahkan.
Tidak seperti film perang lainnya yang menceritakan strategi secara detail ataupun perang yang epik, cerita 1917 tergolong sederhana. 1917 menceritakan tentang perjalanan panjang kopral Schofield dan kopral Blake ke lini depan peperangan untuk mengantarkan sebuah pesan penting. Walau dengan cerita yang sederhana Sam Mendes berhasil menarik perhatian dengan pembawaan cerita yang sangat berbeda yaitu one take.
Dari permulaan sampai akhir film, seluruh adegan dibuat dengan sekali ambilan kamera dengan pemotongan adegan yang diselipkan secara diam-diam. Namun teknik seperti ini bukanlah hal yang baru. Film dengan konsep one take pertama kali dipopulerkan oleh Alfred Hitchcock pada film "Rope"(1948), dan jika melihat contoh yang paling baru yaitu “Birdman”(2014) karya Alejandro González Iñárritu yang memenangkan kategori best picture pada Oscars tahun 2015 silam.
Meskipun begitu, sangatlah berbeda untuk menyajikan cerita drama seperti “Birdman” atau misteri seperti “Rope” dengan cerita perang. Siapa sangka teknik one take ini dapat sangat cocok untuk diaplikasikan pada film perang seperti 1917 ini.
Dalam 1917 para penonton seolah berada bersama Schofield dan Blake selama perjalanan mereka ke lini depan peperangan. Para penonton disuguhkan dengan seramnya barisan peperangan, dan ditambah dengan kamera yang selalu mengikuti Schofield, penonton dapat merasa ketakutan saat para lakon sedang menyusup ke daerah musuh, sambil dengan hati-hati menghindari segala perangkap musuh.
Pergerakan kamera yang sangat jarang berhenti membuat para penonton bisa merasakan kelelahan yang Schofield dan Blake rasakan. Tensi yang dibangun oleh Mendes tidak hilang sampai akhir film sehingga durasi film yang hampir dua jam hanya terasa seperti beberapa menit saja.
Sinematografi Roger Deakins tidak pernah mengecewakan dalam 1917. Untuk membuat film yang dibuat seolah one take dan terlihat menawan di setiap frame -nya adalah hal yang sangat sulit dan dalam 1917 Deakins melakukan tugas itu dengan sangat luar biasa. Dimulai dari adegan-adegan di parit yang dibuat sedemikian sehingga terasa klaustrofobik hingga permainan pencahayaan pada adegan malam hari di reruntuhan kota yang begitu menegangkan namun indah. Tidak lupa, teknispengambilan gambaryang tentunya harus dipikirkan secara matang-matang mengingat film yang akan dibuat satu take panjang.
1917 menggambarkan horror- nya perang dunia pertama dengan sangat baik. Dengan one take- nya para penonton seolah diajak untuk berjalan bersama ke lini depan peperangan untuk mengantarkan pesan yang dapat menyelamatkan ratusan tentara lainnya. Para penonton seolah tidak diberi “istirahat” karena para lakon di 1917 juga tidak beristirahat. Tensi, ketegangan, hingga kelelahan dalam perjalanan kopral Schofield dirasakan juga oleh para penontonnya.