2 minute read
KINTALK: DISKUSI
DISKUSI KINEKLUB TENTANG PERFILMAN INDONESIA KINTALK
Advertisement
Osama Jarnauzy Arsitektur 2018
Kintalk merupakan sebuah program kerja Kineklub berupa diskusi film Bersama narasumber. Dengan Kintalk, Kineklub ingin mengaktifkan diskusi bahkan tanpa dibarengi pemutaran film terlebih dahulu. Kintalk pun diharapkan dapat memberi dampak luas untuk massa kampus, khususnya mengenai dunia perfilman Indonesia. Dari empat kali Kintalk yang terselenggara, Kineklub telah mengundang 7 narasumber diskusi dan menghadirkan lebih dari 200 peserta dari 45 komunitas berbeda.
Kintalk pertama (25/05/19), berkolaborasi dengan Bioskop Kampus, memutarkan dan mendiskusikan film “Kuldesak” (1998) karya kolaboratif Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani, sebagai tonggak kebangkitan dunia perfilman Indonesia. Mengundang Adi Nugroho sebagai salah seorang scriptwriter dan asisten produksi “Kuldesak” dan Agus Safari sebagai perwakilan Festival Film Bandung, Kintalk ini mendiskusikan mengenai
Pentingnya film Kuldesak yang menjadi tonggak film Indonesia setelah zaman reformasi. Kuldesak ini juga pernah diputarkan di LFM pada tahun 1999.
Kintalk #2 : SENSOR FILM (15/09/19) memutarkan film “Potongan” (2016) karya Chairun Nissa, sebuah dokumenter yang merekam perjalanan film "Babi Buta Yang Ingin Terbang" (2008) karya Edwin dan Senyap (2015) karya Joshua Oppenheimer yang ditolak oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Mengundang Sastha Sunu, selaku editor film, dan Dodi Budiatman, sebagai Wakil Ketua LSF, Kintalk kedua ini mendiskusikan tentang sejarah, proses, hingga relevansi sensor film di Indonesia sampai saat ini, hingga kelanjutannya di masa mendatang. Dari diskusi ini kami menyimpulkan bahwa sebetulnya pihak LSF ini mendapat tekanan baik dari berbagai pihak dalam keberjalanannya. Jika LSF membebaskan sineas untuk mengekspresikan film, LSF ditentang oleh ormas atau orang tua penonton.
Jika LSF bermain aman dengan menyensor beberapa hal LSF dianggap sebagai jagal film oleh sineas. Oleh sebab itu LSF mengatakan masyarakat Indonesia belum siap untuk menerima hal-hal karena ada banyak perbedaan pandangan tentang film karena yang diterima di Jawa belum tentu bisa diterima di daerah lain seperti kontroversi film Dilan pada tahun 2019 lalu. Oleh sebab itu perlu dilakukan edukasi mengenai konteks dan pembacaan film kepada penonton baik dari pihak LSF maupun dari pegiat film. Contohnya seperti diskusi yang dilakukan dengan Kineklub ini.
Kintalk #3 : Peran Festival Film di Indonesia (30/11/19), berkolaborasi dengan Ganesha Film Festival, memutarkan “Kembalilah dengan Tenang (Rest in Peace)” (2018) karya Reza Fahriansyah dan “Ballad of Blood and Two White Buckets” (2018) karya Yosep Anggi Noen, sebagai dua film Indonesia yang telah berlanglang buana di festival-festival film internasional. Diskusi kali ini mengundang Reza Fahriansyah, sebagai salah satu sutradara dan Program Director JAFF 2018, serta Nauval Yazid, sebagai seorang Co-Director Europe on Screen. Diskusi kali ini membahas seputar festival film dan peran pentingnya dalam perkembangan industri film Indonesia secara keseluruhan. Khususnya yang bergerak dari komunitas. Mas Reza bercerita mengenai peran festival film dari kacamata sineas hingga bagaimana ia bisa menjadi program director JAFF yang merupakan salah satu festival film terbesar di Indonesia. Sedangkan Mas Nauval bercerita mengenai bagaimana membangun Europe on Screen dan kegagalan suatu festival film Internasional di Indonesia.
Kintalk #4 : A Day with Joko Anwar (18/01/20). Berkolaborasi dengan Eduplex, berbeda dengan tiga Kintalk sebelumnya. Kali ini, narasumber Joko Anwar (sutradara, penulis, dan kritikus film) diundang untuk berbincang seharian penuh tanpa pemutaran film. Kintalk ini berlangsung selama 2,5 jam. Joko Anwar pertama memaparkan materi selama 1 Jam dan melakukan tanya jawab dengan peserta diskusi selama 1,5 jam.
Notulensi diskusi Kintalk 1-4 bisa dibaca di website kineklub di kineklub.lfm. itb.ac.id dan untuk menonton diskusi bisa dibuka Youtube Kineklub LFM ITB