6
DAFTAR ISI Citra Kartini UM Hingga saat ini sosok Kartini tetaplah menginspirasi banyak orang. Pola pikirnya mampu menjadi panutan bagaimana selayaknya perempuan mampu berkiprah dan memberikan pengaruh. Masing-masing mempunyai potensi untuk disebut sebagai Kartini masa kini. Begitu juga dengan UM yang memiliki Kartininya sendiri. Simak ulasannya dalam rubrik Laporan Utama.
SALAM REDAKSI 4 SURAT PEMBACA 5 LAPORAN UTAMA OPINI 14
Sentuhan Titik Winarti
Mengeksplor Talenta Difabel Tekad yang ikhlas dan kesabaran yang melebihi batas. Berusaha percaya diri saat banyak yang memandang sebelah mata, membuat usaha berlandas rasa kemanusiaan menggapai puncak asanya. Simak selengkapnya dalam rubrik Cerita Mereka.
SEPUTAR KAMPUS 16 CERITA MEREKA PUSTAKA 24
22
30 26
INFO 26 UP TO DATE
Prakondisi
Menjadi Guru Profesional
Menjadi seorang guru tak hanya sekadar memenuhi kualifikasi akademik, namun juga diharapkan memiliki kompetensi yang memadai. Seperti yang harus dikuasai oleh peserta PPG. Simak informasinya di rubrik Up to Date.
KOMIK 31 LAPORAN KHUSUS 32 WISATA RANCAK BUDAYA 36
Sinergi Kota Gudeg dan Majalah Kabare
Kisah perjalanan edukatif kru Komunikasi kini hadir di kota Yogyakarta. Mulai dari Majalah Kabare hingga bertandang di museum Vredeburg. Simak keseruannya di rubrik Wisata.
34 Tahun 38 Maret-April 2016 |
3
Salam Redaksi STT: SK Menpen No. 148/ SK DITJEN PPG/STT/1978/ tanggal 27 Oktober 1978
dan Kebebasan Oleh Ike Dwiastuti
P
erempuan masa kini sudah memiliki kebebasan untuk memilih akan berperan sebagai apapun sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Berbagai bidang telah membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk para perempuan agar dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Pada bidang pendidikan misalnya, dapat kita cermati pada jurusan teknik yang biasanya didominasi oleh mahasiswa lakilaki, beberapa tahun terakhir ini sudah banyak mahasiswi yang turut menimba ilmu di sana. Pada bidang pekerjaan, karir perempuan juga berpeluang melejit hingga ke puncak pimpinan. Di Universitas Negeri Malang (UM), posisi strategis seperti Wakil Dekan dipercayakan kepada perempuan. Pada bidang politik, kesempatan sebagai wakil rakyat di DPR, kepala daerah hingga presiden juga terbuka untuk perempuan. Kesempatan yang dinikmati perempuan masa kini tidak lepas dari perjuangan ibu kita Kartini. Pada masa 1900-an beliau sudah memikirkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Melalui banyaknya buku yang dibaca dan korespondensinya dengan teman-teman di luar negeri, beliau paham bahwa melalui pendidikan maka para perempuan dapat berkembang dan berkontribusi untuk bangsa dan negara. Kemudian, Kartini mendirikan sekolah wanita pertama di Rembang. Banyak pahlawan perempuan yang turut berjuang demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, namun Kartini lah yang menggagas persamaan hak perempuan. Apakah persamaan hak dan keadilan untuk perempuan sudah dapat dinikmati
dok. Komunikasi
Perempuan
oleh seluruh perempuan Indonesia? Pada kenyataannya, angka kekerasan terhadap perempuan semakin tahun juga semakin meningkat, misalnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan di area publik. Oleh karena itu, kesadaran akan persamaan hak perempuan perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Kepada para perempuan perlu juga disadarkan akan hak-haknya dan dimotivasi untuk mandiri juga berani menyuarakan hak dan gagasannya. Permasalahan lainnya, sebagian perempuan menjadi terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga tidak seimbang dengan peran lainnya, yaitu sebagai istri dan ibu. Kebebasan perempuan tersebut dapat mengarah kepada orientasi nonproduktif. Erich Fromm, ahli psikologi, menyatakan “semakin seseorang bebas maka ia semakin teralienasi yang menyebabkan patologis psikologis”. Agar kebebasan perempuan menjadi orientasi produktif maka perempuan perlu menjaga keberakarannya, yaitu terhubung kembali dengan nilai-nilai religi, sosial-budaya dan kodratnya. Pada edisi ini, Majalah Komunikasi meliput para perempuan di UM yang berkiprah secara profesional dan berprestasi tinggi, tanpa meninggalkan keluarga. Karena menjaga keharmonisan keluarga, sangat penting untuk tumbuh kembang anakanak, di mana anak-anak ini adalah masa depan bangsa. Semoga edisi ini dapat menginspirasi semua perempuan agar tetap berkiprah secara positif dan seimbang pada berbagai perannya. Penulis adalah anggota penyunting Majalah Komunikasi dan dosen Pendidikan Psikologi.
KOMUNIKASI • Majalah Kampus Universitas Negeri Malang • Jl. Semarang No. 5 Gedung A3 Lt. 3 Telp. (0341) 551312 Psw. 354 • E-mail: komunikasi@um.ac.id • Website: http://komunikasi.um.ac.id KOMUNIKASI diterbitkan sebagai media informasi dan kajian masalah pendidikan, politik, ekonomi, agama, dan budaya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, dan gagasan orisinil yang segar. Redaksi menerima tulisan para akademisi dan praktisi yang ditulis secara bebas dan kreatif. Naskah dikirim dalam bentuk softdata dan printout, panjang tulisan 2 kwarto, spasi 1.5, font Times New Roman. Naskah yang dikirim belum pernah dimuat atau dipublikasikan pada media cetak manapun. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan imbalan yang sepantasnya. Redaksi dapat menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah artinya. Tulisan dalam Komunikasi tidak selalu mencerminkan pendapat redaksi. Isi diluar tanggung Jawab percetakan PT. Antar Surya Jaya Surabaya.
4 | Komunikasi Edisi 303
Pembina Rektor (Ah. Rofi’uddin) Penanggung Jawab Wakil Rektor III (Syamsul Hadi) Ketua Pengarah Kadim Masjkur Anggota Amin Sidiq Ketua Penyunting A.J.E. Toenlioe Wakil Ketua Djajusman Hadi Anggota Ali Imron Sri Rahayu Lestari Didik Dwi Prasetya Yusuf Hanafi Sukamto Ike Dwiastuti Teguh Prasetyo Redaktur Pelaksana Nida Anisatus Sholihah Editor Rizky Imaniar Roesmanto Layouter Monica Widyaswari Desainer dan Ilustrator Aji Setiawan Reporter Binti Muroyyanatul A. Iqlima Pratiwi Muhammad Ajrul Mahbub Rodli Sulaiman Novi Fairuzatin A. Cattetiana Dhevi Arni Nur Laila Iven Ferina Kalimata Shintiya Yulia Frantika Maria Ulfah Maulani Firul Khotimah Administrasi Taat Setyohadi Imam Khotib Rini Tri Rahayu Imam Sujai Lusy Fina Tursiana Astutik Agus Hartono Badrus Zaman Habibie Distributor Jarmani
Surat Pembaca
Oplah Majalah Komunikasi
Jian Mayangsari, Mahasiswa Pendidikan Kimia
Delapan Kartini masa kini menggebrak poros prestasi. Cover Story
Repro Internet
Waalaikumsalam Wr. Wb. Dear Jian, Komunikasi cetak sejumlah tiga ribu eksemplar untuk setiap edisi, kecuali edisi Januari-Februari dan Juli-Agustus cetak empat ribu eksemplar karena bertepatan dengan wisuda. Kami telah mendistribusi ke semua fakultas, lembaga, dan UPT di UM sesuai dengan proporsi. Namun, memang jumlah mahasiswa UM yang mencapai 25.000 tidak sebanding dengan jumlah cetak Komunikasi. Kami berencana tahun depan akan menambah jumlah cetak majalah Komunikasi. Terima kasih atas kesetiaannya pada Majalah Komunikasi. Redaksi
Aji Setiawan
Assalamualaikum Wr. Wb. Redaksi, saya pembaca setia Majalah Komunikasi. Sebenarnya jatah cetak Komunikasi berapa eksemplar? Edisi kemarin saya kehabisan. Untuk edisi selanjutnya mungkin bisa diperbanyak, mengingat saat ini Majalah Komunikasi semakin banyak pembaca yang menantikan. Terima kasih.
Dalam hati kecilku aku tahu bahwa manusia tidak pantas diterapkan dalam skala nilai. Manusia tidak akan bahagia dibegitukan.Skala penilaian akan menghasilkan manusia super dan manusia pecundang. Ayu Utami
ilustrasi oleh Aji Setiawan
Tahun 38 Maret-April 2016 |
5
Laporan Utama
Foto: Ajrul
Citra Kartini UM
Bu Rektor selaku Ketua Dharma Wanita Persatuan termotivasi dengan jabatan suami.
Dra. Siti Malikhah Towaf, M.A. Ph.D. Peneliti dan Pejuang Kesetaraan Gender Isu gender bagi Dra. Siti Malikhah Towaf, M.A. Ph.D. telah melekat dari suasana keluarga. Malikhah berasal dari sepuluh bersaudara yang seluruhnya adalah perempuan. Sosok orang tua, khususnya ibu yang menjadi pejuang keluarga ini menjadi inspirasi dalam setiap kajiankajiannya tentang gender. Pun juga menjadi panutan dalam hidupnya. Malikhah lahir dalam lingkungan keluarga yang tidak sepenuhnya beruntung dalam ekonomi. Ibu yang bekerja menjadi pedagang pakaian harus bekerja keras untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sejak umur enam belas tahun, ibunya telah berdagang dari kota ke kota, mulai dari Solo, Bojonegoro, Gresik, dan pada akhirnya menetap di Lamongan. Pekerjaan berjualan memang harus dilakukan, karena ayahnya mengabdi sebagai seorang guru di pesantren tanpa penghasilan yang ajeg.
6 | Komunikasi Edisi 303
“K
artini adalah wanita yang ingin maju,” ungkap Faridah Hayati Rofi’uddin. Istri Prof. Dr. Ah. Rofi’uddin, Rektor Universitas Negeri Malang (UM) tersebut memandang Kartini sebagai wanita yang meneruskan cita-cita dan bermanfaat bagi orang lain. Kebermanfaatan itu dilakukan di dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Menurut ibu dari tiga anak tersebut, setiap perempuan harus memiliki peran. Kalaupun seorang perempuan tidak berkerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga, dia harus mampu berwirausaha. Dengan demikian, hidupnya tak hanya bergantung pada suami. Jabatan suaminya menjadi motivasi tersendiri. Karena itu, Farida menjadi ketua Dharma Wanita Persatuan UM. Di sela-sela kesibukannya, ia dituntut lebih proaktif dan bertanggung jawab mengelola Dharma Wanita Persatuan. Secara otomatis, pejabat perempuan dan istri pejabat UM tergabung dalam Dharma Wanita Persatuan. Dharma Wanita Persatuan bergerak aktif dalam tiga bidang, yaitu pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya. Pihaknya sering
mengadakan pelatihan dan kegiatankegiatan yang meningkatkan keterampilan serta kesejahteraan anggotanya. “Ibuibu di UM mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk dirinya dan keluarganya,” ungkap perempuan yang pernah membuat batik ibu-ibu Dharma Wanita UM itu. Menurutnya, jika memang mau, perempuan bisa aktif dan berprestasi dalam segala bidang tanpa lalai akan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Farida berharap, ketika mahasiswi sudah lulus, jangan hanya pasrah dengan lapangan perkerjaan. Namun, usahakan ciptakan lapangan pekerjaan. Saingan di dunia semakin banyak. Jadi, para perempuan harus bisa menggali potensi dirinya. “Coba lihat prestasi orang lain, ambil sisi positifnya, cocokkan dengan kita,” tutur Farida. Perempuan yang hobi melukis itu yakin, setiap perempuan pasti punya potensi. Dalam rangka memperingati Hari Kartini, kru Komunikasi mencari dan meliput sosok yang bisa disebut sebagai kartini dari seluruh fakultas di UM. Berikut ini dikupas beragam prestasi, kiprah, dan pemikirannya tentang perempuan.
Sebenarnya ayah Malikhah tidak berharap semua anaknya perempuan. Ia dikenal sebagai kiai yang sangat menginginkan anak laki-laki, namun Tuhan tak pernah memberi sekeras apa pun usaha yang dilakukan. Hingga ayahnya menyadari bahwa tak penting anak lakilaki atau perempuan ketika melihat anak perempuan pertamanya mampu menjadi anggota DPRD tingkat provinsi Jawa Tengah. Tidak lama kemudian, Malikhah pun berkesempatan mendapat tugas belajar ke Amerika. Eksistensi anak perempuan juga telah ditunjukkan oleh saudaranya yang lain dengan bekerja di luar rumah. “Semenjak saat itu ayah menjadi sadar bahwa anak tidak harus laki-laki,” ungkap dosen Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) itu ketika diwawancara kru Komunikasi. Kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi bagi Malikhah adalah hal yang berharga. Apalagi biaya yang diperlukan cukup besar. Pada saat itu, perempuan yang lahir pada 16 Juni 1953 itu dapat
disebut sebagai perintis budaya kuliah. Sebelumnya, hanya dua orang paman dan satu kakak perempuannya yang kuliah. Melihat semangat anak-anak untuk belajar tinggi, menjadikan orang tuanya tidak menuntut mereka untuk cepat menikah. Pengalaman berkesan bagi Malikhah ketika berkesempatan untuk kuliah di luar negeri, yaitu Amerika. Tanpa sengaja berbarengan dengan suami yang telah berangkat satu semester sebelumnya. Ia memperoleh beasiswa kuliah tersebut dari proyek Peningkatan Pendidikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK) Bank Dunia XI pada tahun 1985. Pada awalnya, ia harus rela meninggalkan anakanak untuk diasuh bibi mereka. Setelah ada kepastian melanjutkan S3, Malikhah pun akhirnya memutuskan melanjutkan S3 dan membawa tiga anaknya. Selama tiga tahun berikutnya di perantauan ia harus berjuang belajar, mengurus anak, dan membagi tugas dengan suami. “Untungnya di Amerika didukung budaya yang egaliter. Jika suami harus membantu pekerjaan
rumah itu tidak masalah,” papar perempuan yang suka nasi liwet dan nasi gudeg itu. Ibu dari tiga anak ini kerap melakukan penelitian dan sosialisasi terkait kesetaraan gender. Ia mengaku tertarik terhadap topik ini lantaran diilhami oleh masamasa pembentukan Pusat Studi Wanita (PSW) di UM pada tahun 1995. Saat itu ia adalah Ketua Jurusan Mata Kuliah Umum. Walaupun telah melakukan koordinasi dengan Universitas Airlangga (Unair) yang telah memiliki PSW terlebih dahulu, tetapi untuk menembus sidang senat tidaklah mudah. Pada akhirnya setelah Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Mien Sugandi, datang ke UM, barulah senat mengesahkan adanya PSW. Sering kali Malikhah mengangkat isuisu ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang kekerasan dalam rumah tangga dan kesehatan reproduksi. Namun, siapa sangka dalam bidang ilustrasi tentang buku ajar SD pun ia dapat melakukan penelitian yang berbasis gender. Dalam kajian mengenai ilustrasi untuk buku ajar SD, ia bersama teman-teman dosen Seni Rupa membuat pedoman bagi ilustrator penerbit agar tidak ada ketimpangan gender dalam setiap ilustrasi yang dibuat. “Karena itu akan berdampak pada anak-anak yang membaca. Ayah baca koran, ibu belanja, seperti itu kan domestikasi tugas perempuan,” begitu ia memberikan contoh. Selain ilustrasi buku ajar SD, Malikhah juga melakukan penelitian dalam bidang tata boga ke pesantren-pesantren. Memang pada awal mengenalkan program berbasis gender tidak semuanya dapat langsung diterima. Hal itu yang dalami Malikhah ketika melakukan sosialisasi kewirausahaan tata boga di pesantren. “Awalnya ada yang menolak
Foto: Ajrul
Laporan Utama
Dosen Pendidikan IPS yang memaknai hari Kartini sebagai tonggak sejarah keberanian perempuan.
dengan alasan tata boga untuk santri perempuan. Namun, setelah mengikuti pelatihan, mereka senang sekali memasak,” terangnya. Lewat sosialisasi tersebut, ia ingin mengubah pandangan bahwa memasak adalah domestic job untuk perempuan, tapi justru sekarang menjadi keahlian laki-laki, banyak chef terkenal. Perempuan yang memiliki moto hidup sehat dan berguna ini beranggapan bahwa sampai kapan pun sosialisasi tentang kesetaraan gender perlu dilakukan. Hal ini karena pemahaman orang berbedabeda. “Kalau di UM itu tugasnya PSW. Saya tidak mengikuti di sana, sudah berbeda generasi,” katanya. Memang, semenjak tahun 2000 ia mulai melakukan penelitian secara independen berdasarkan inisiatif sendiri. “Sepertinya saya tidak cocok
menjadi pejabat, dulu habis waktu untuk rapat dan tidak ada waktu merenung untuk penelitian,” tambahnya. Hari Kartini dimaknai Malikhah sebagai tonggak sejarah keberanian perempuan. Namun, ia juga melihat Kartini sebagai sosok yang patut dikasihani dalam kehidupan pribadinya. Sebab, Kartini memiliki ide namun tidak dapat merealisasikan ide-idenya karena harus tunduk pada adat. Jika mengaitkan sosok Kartini dengan perempuan di UM, Malikhah menilai mereka mempunyai potensi. Di mana sekarang keberadaan perempuan semakin diberikan peluang besar untuk berkiprah. Malikhah sangat berharap lakilaki dapat berlaku egaliter pada perempuan serta menghargai potensi mereka, menjadi partner dalam memajukan bangsa. Dr. Tutut Chusniyah, S.Psi, M.Si
Foto: Ajrul
Kebaikan Hati sebagai Filosofi Hidup
Tutut Chusniyah, perempuan yang mengartikan ikhlas adalah tidak mengharap balasan.
Kebaikan hati dan pengorbanan mewarnai hidup Dr. Tutut Chusniyah, S.Psi, M.Si. Sikap senang membahagiakan orang lain sebagai perwujudan baik hati dan pengorbanan terbentuk dari pengamalan ajaran agama. Al birru dalam bahasa Arab yang berarti ‘kebaikan hati’, dijadikan bekal untuk membantu sesama. Selain itu, juga tetap berusaha menerapkan sikap ikhlas meskipun kadang dirasa tidak mudah olehnya. Ikhlas diartikan Tutut dengan tidak mengharapkan apa pun dari yang telah diberikan. “Harapan untuk mendapatkan balasan bantuan tidak boleh ada,” begitu ujarnya. Apabila orang lain berterima kasih, ia bersyukur. Namun jika sebaliknya, ia tidak mempermasalahkan. “Kadang
Tahun 38 Maret-April 2016 |
7
Laporan Utama kebaikan dibalas dengan kejahatan,” tambah dosen Psikologi itu. Namun, di lain sisi, pengalaman hidupnya membuat Tutut bersikap lebih hati-hati. Baginya dunia adalah tempat yang berbahaya di mana banyak hal yang tidak baik di sekitar kita. Sosok Tutut dapat dikatakan sebagai perempuan yang aktif di luar. “Kebutuhan akan afiliasi saya tinggi,” katanya. Keluarganya pun memberikan dukungan yang besar terhadap aktivitas yang dia lakukan. Hal ini juga tidak lepas dari kondisi tiga anaknya yang sudah dewasa sehingga perhatian yang diperlukan anak tidak terlalu menyita banyak waktu. Sebelum menjadi dosen Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi), selama delapan tahun Tutut fokus untuk mengurus anak. Ia memanfaatkan masa emas anak di mana ada sosok ibu yang mendampingi. Sebab baginya, parenting sangat penting bagi kelanjutan hidup manusia dan keluarganya. Selain mengurus anak, kala itu, Tutut juga mengelola sekolahnya. Orang tuanya memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ayah dan ibunya banyak mendirikan sekolah yang berlandaskan agama Islam, seperti Mualimin dan Mualimat. Apabila di rumah, Tutut lebih bisa fokus untuk menulis. Sementara aktivitas di luar membuatnya memperoleh banyak jaringan dan teman. Banyak manfaat yang ia peroleh dari jaringan, seperti berkembangnya kemampuan, mendapatkan proyek, dan terbukanya peluang penelitian. Menjadi dosen pun memberinya semangat
tersendiri karena bertemu dengan anakanak muda, pembawa masa depan. Melakukan penelitian adalah kegemaran dari dosen kelahiran Lumajang itu. Penelitian membuatnya tertuntut untuk terus membaca. Topik-topik tentang terorisme dan ideologiideologi agama Islam sering dibahasnya. Bahkan sampai bekerja sama dengan dosen Universitas Indonesia guna meneliti topik itu. Hingga tiap tahun ia bisa berangkat ke luar negeri untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh. Terakhir negara yang dikunjungi adalah Filipina. “Peserta di Filipina kaget. Membahas terorisme tapi tim penelitinya perempuan semua,” ceritanya. Ia tertarik terhadap topik terorisme semenjak menyusun disertasi. Pada saat itu, isu tentang Front Pembela Islam (FPI) dan terorisme santer terdengar. Sehingga ia memilih penelitian tentang penegakan khilafah. “Awalnya, saya ingin mengangkat masalah korupsi. Tetapi ditolak dosen pembimbing dengan alasan terlalu berat,” kata perempuan penyuka jalan-jalan itu. Namun, penelitian terhadap khilafah juga tidak dapat dibilang mudah. Ia sempat sakit ketika narasumber, Abu Bakar Ba’asyir, tidak dapat ditemui. “Saat itu situasinya sedang sulit. Meskipun dia bukan teroris, tetapi ideologi yang dia bawa dianggap membahayakan. Tidak lama setelah saya selesai wawancara, dia dipenjara,” jelasnya. Kini, target besarnya adalah menulis artikel di jurnal internasional. Di mana menjadi persyaratan untuk meningkatkan jabatan
akademik seorang dosen. Tujuan akhirnya, yaitu mendapatkan gelar profesor. Target ini sesuai dengan kebutuhan akan guru besar di UM. Begitu juga di FPPsi yang baru memiliki satu guru besar, yaitu dekan fakultas itu. Fokus ke depan bagi Tutut adalah menggarap draf proposal yang sudah ia miliki. “Sebenarnya sudah selesai. Tinggal menekankan kebaruannya saja. Karena untuk memenuhi kriteria jurnal internasional adalah dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan teori. Hal inilah yang sekarang giat didorong oleh Dikti,” kata dosen yang senang makan bakso itu. Sebelumnya, ia hanya menulis untuk jurnal yang berskala nasional. Alasannya, banyak jurnal Psikologi yang kondisinya kurang baik dan tidak dapat terbit. Bagi perempuan kelahiran 2 Juni 1964 itu, keberhasilan yang paling ia kenang adalah menyelesaikan studi S3. Ia tidak membayangkan sebelumnya. Pasalnya, keadaan sekarang dan dahulu berbeda, yaitu ketika ia berpikir tidak akan mempunyai kesempatan untuk studi lanjut jika tidak menjadi dosen. Selain itu, ia juga sering bertanya-tanya apakah dapat menyelesaikan studi S3 tersebut. Pada akhirnya ia mampu membuktikan ia bisa melaluinya. Bagi Tutut, kesulitan itu bergantung dari pola pikir seseorang. Semua orang pernah mengalaminya. Tetapi, bagaimana menyikapinya adalah yang terpenting. “Saya tidak pernah bersikap negatif pada hidup,” pungkasnya.
Foto: Ajrul
Dr. Rina Rifqie Mariana, M.P. Perempuan yang Mandiri Sosok Kartini bagi Dr. Rina Rifqie Mariana, M.P. adalah pejuang kesetaraan gender. Apa yang dipikirkan oleh Kartini dahulu dinilainya akan tetap relevan untuk saat ini. Di mana muaranya adalah kesamaan hak antara perempuan dan lakilaki. Namun, tetaplah ada batasan untuk kesetaraan itu terkait dengan fisiknya sebagai perempuan. Misalnya untuk menjalankan pekerjaan fisik yang berat, perempuan harus mempertimbangkan kondisi kesehatan. Selain itu, tergantung atas izin suami. Artinya kesepakatan perlu dibangun di antara keduanya. Apabila menyesuaikan dengan kondisi sekarang, menurut Rina, perempuan harus lebih mandiri. Sikap itu dibutuhkan jika ingin berprestasi dalam dunia kerja. Di dalam keluarga, laki-laki yang bertindak sebagai pemimpin. Namun, dalam dunia kerja tidak memandang status gender. Laki-laki maupun perempuan dituntut untuk bekerja secara profesional. Ketika ditanya akan pentingnya bekerja bagi perempuan, Rina menjelaskan, hal itu
8 | Komunikasi Edisi 303
Mantan Wakil Dekan I FT menggambarkan perempuan sebagai pemilik energi ganda.
sebagai sarana untuk menyalurkan energi mereka. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki energi, cita-cita, motivasi dan pemikiran. Jika dapat disalurkan dengan baik melalui pekerjaan, maka akan berdampak pada dirinya dan orang lain. Ia percaya, sebaik-baik orang adalah yang memberikan manfaat untuk sekitar.
Pekerjaan yang menjadi cita-cita Rina adalah guru atau dosen. Figur ayah politikus dan ibu yang menjadi gurulah inspirasi anggota pecinta alam itu. Ketika ada banyak pilihan jurusan di perguruan tinggi, ia mantap untuk memilih keguruan. “Saya langsung mengambil IKIP. Itu memang menyiapkan seseorang menjadi guru,” tuturnya.
Laporan Utama Karena besarnya minat sebagai seorang guru, Rina menganggap mengajar sebagai refreshing. Prinsipnya bagaimana mahasiswa nyaman dengan dosen dan dosen nyaman dengan mahasiswa. Jika kondisi kelas menyenangkan, apa yang disampaikannya dapat dimengerti oleh mahasiswa. Namun, apabila kondisi sebaliknya, tidak peduli sebagus apa pun materi yang disampaikan, mahasiswa akan menolak. “Menurut saya perempuan harus memiliki energi ganda”, ungkap Rina berkaitan dengan kesibukan ibu rumah tangga yang juga bekerja. Sehingga selayaknya dalam hal fisik dan mental, perempuan justru harus lebih kuat dari laki-laki. Rina menyadari bahwa perempuan yang menjalankan karir tidak boleh melupakan tugas sebagai seorang istri. Menyelesaikan semua tugas rumah, baginya adalah kepuasan dan kebanggaan. Apalagi dibarengi dengan menjadi dosen dan berkiprah seperti halnya laki-laki, memberikan nilai tambah baginya. “Saya kurang sepakat jika perempuan dianggap lemah. Malah seharusnya lebih tegar,” papar dosen Tata Boga tersebut. Menurut pandangan Rina, kompetensi lain yang selayaknya dimiliki perempuan adalah manajemen diri. Hal ini menyangkut masalah intelegensi intra personal, di mana
seseorang mampu menakar sejauh mana kapasitasnya. “Melakukan manajemen tidak hanya pada pekerjaan saja. Namun juga manajemen diri yang sejatinya lebih luas,” jelas dosen kelahiran 16 Desember 1961 itu. Perempuan asal Garut itu mengaku senang beraktivitas. Ia nyaris tidak terbiasa tidur siang. Sehingga merasa lebih nyaman apabila ada kegiatan yang dilakukan. Baik itu membaca, menggunakan laptop, atau menjalankan aktivitas fisik di rumah. Jika dibandingkan antara waktu di rumah dan di kantor, lulusan IKIP Bandung itu menilai masih seimbang. Ketika di rumah, ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan ketika di kantor ia menjalankan tugasnya sebagai dosen. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Teknik Industri dan Wakil Dekan I FT. Namun, sekarang ia memilih untuk tidak menjabat sehingga lebih melonggarkan waktunya. Oleh karena itu, ia berusaha agar berangkat setelah suami juga berangkat, kecuali ketika ada jam mengajar pagi. “Sehingga ada yang mengantarkannya hingga pintu gerbang,” katanya. Seorang dosen memang dituntut untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Terkadang juga mengerjakan beberapa pekerjaan tambahan lain. Agar dapat
menjalankan semua tugas tersebut, ditetapkanlah target waktu. “Dalam mengadakan penelitian, saya menetapkan batas waktu untuk menyelesaikannya. Begitu juga ketika mengajar di kampus, saya berusaha untuk selalu tepat waktu,” kata Rina. Namun, di luar kesibukan seharihari, ia selalu menyempatkan waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sikap disiplin inilah yang juga diterapkan kepada kedua anaknya. Tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat contoh langsung dari orang tuanya. Tidak cukup kedisiplinan saja yang ia contohkan, tetapi juga bagaimana prinsip hidup, menjalankan pekerjaan, kejujuran dan kemandirian. Dalam mengembangkan karakter anak, bagi Rina yang terpenting adalah menanamkan kejujuran dan keterbukaan. Jangan sampai ia terbuka kepada orang lain dan tertutup kepada orang tua. Hal itu bisa disebabkan ada sifat-sifat orang tua yang ditakuti anak. “Saya selalu menghargai kejujuran walaupun itu tidak cukup enak didengar. Baru kemudian mencoba meluruskan apa yang salah,” ungkap penggemar kuliner tradisional itu. Rina juga memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih pendidikan yang sesuai dengan potensi dan minat mereka.
Prof. Dr. Cholis Sa’dijah, M.Pd, M.A.
Hidup mengalir seperti air adalah filosofi bagi Prof. Dr. Cholis Sa’dijah, M.Pd, M.A. Hal inilah yang menjadi motivasinya dalam mensyukuri segala takdir. Bahkan ketika pada bulan Maret 2015 ia memperoleh gelar profesor dan telah dikukuhkan pada tanggal 11 Februari 2016 yang lalu, ia menganggap hal itu sebagai takdir. Bila ditelusuri hal ini sebagai hal yang wajar dari proses karir sebagai dosen yang telah ditekuni sejak Januari 1987. Menurut Cholis, menjadi profesor memiliki efek tanggung jawab berkarya yang lebih intens dalam Tridharma perguruan tinggi. “Seperti seorang jenderal yang harus memulai karir dari menjadi prajurit,” tuturnya untuk menganalogikan perjalanan karirnya. Ia bersyukur telah melewati semua proses dalam jabatan akademik. Menjadi dosen yang memperoleh gelar profesor tidak membuatnya berbangga diri. Ia berpendapat, jika dosen istiqamah dalam melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, insya Allah akan bisa memperoleh gelar itu. Jadi, bukan hanya melalui mengajar saja. “Tidak ada yang istimewa, setiap dosen punya hak,” jelas dosen perempuan pertama yang memperoleh gelar guru besar di Jurusan
Foto: Ajrul
Terus Mengalir Seperti Air
Dosen Matermatika memandang hak perempuan dilindungi oleh negara.
Matematika UM tersebut. Pengalaman menikah sebelum wisuda S1 membuatnya belajar bagaimana menjalani hidup dengan tidak memberatkan satu hal. Ia menilai pada dasarnya semua adalah amanah yang harus dijalani dengan sebaikbaiknya. Hal ini pun tidak lepas dari kodratnya sebagai ibu dan istri. “Sekolah, ya menikah, melahirkan, dan mengurus anak, tidak ada yang spesial. Semuanya insya Allah bisa, asalkan dijalani dengan sungguh-sungguh
dan seimbang, dan keluarga mendukung,” kata Cholis. Menurut Cholis, perempuan tidak perlu terlalu menuntut hak persamaan gender. Dosen lulusan The Ohio State University itu beralasan bahwa hak perempuan memang telah dilindungi oleh negara. Baginya perempuan itu kodrat dan tidak seharusnya mencoba menjadi seperti laki-laki. “Kita selayaknya patut bersyukur karena hak perempuan di Indonesia sudah dijamin,”
Tahun 38 Maret-April 2016 |
9
Laporan Utama tahun, ia berangkat ke Ohio, Amerika. Pada masa-masa itulah kangen keluarga ia rasakan. Pengalaman jauh dari rumah yang paling berat dirasakan adalah ketika harus studi ke Shizouka University, Jepang, pada tahun 2000. Selama empat bulan ia harus menjalani individual training dan menetap di hotel. Terbatasnya orang sekitar yang mampu berbahasa Inggris membuatnya kesulitan. Kadang dirinya bertanya-tanya, mengapa ia ke sini dan meninggalkan anak-anak. Namun, ia teringat akan tugas negara dan izin yang diberikan suami serta ibu. “Saya memang selalu izin ke suami dan ibu. Suami sebagai imam dan ibu sebagai orang tua. Ayah saya meninggal ketika saya masih S1 semester 3,” tutur Cholis. Inspirasi terbesar baginya adalah sosok ibu. Ia menyebut ibu sebagai sosok yang lengkap dan mampu menempatkan diri di setiap tempat dan waktu. Ia meneladani bagaimana sikap ibunya ketika memosisikan diri sebagai istri, ibu, guru, bahkan anggota organisasi. “Ibu perhatian dengan anak-
Prof. Dr. Sri Umi Mintarti W., S.E., MP. Ak.
Dengan usaha dan didikannya hampir semuanya menjadi orang-orang sukses. Sering para anak dan anak angkatnya mengirimkan uang padanya untuk disalurkan pada mahasiswa yang kesulitan biaya. Kemurahan untuk memberi terus mengalir. Dahulu, anak kandungnya ketika masih kecil pernah diberi motivasi oleh salah satu anak angkatnya agar rajin belajar dan bisa jadi orang sukses. Demikian, anak kandungnya juga memberi motivasi pada anak angkat ibunya yang sekarang. Hal utama yang selalu ia ajarkan kepada anak kandung dan angkatnya adalah ketaatan agama. Baik itu yang beragama Islam maupun selainnya. Untuk yang beragama non Islam, Mintarti memberikan kebebasan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Sedangkan bagi yang beragama Islam, ia menyarankan untuk melakukan amalan salat sunnah dan memperbanyak berzikir. Tidak hanya menyuruh, ia juga memberikan contoh. Mintarti yang merupakan salah satu pelopor berdirinya FE di UM sangat mementingkan pendidikan. “Mata rantai kemiskinan itu bisa terputus dengan pendidikan,” ungkapnya tegas. Salah satunya contohnya, ketika orang sukses dengan pendidikan yang baik, bukan lagi mencari pekerjaan, tetapi justru bisa memilih pekerjaan. Perempuan yang menyukai air jeruk nipis ini sangat mencintai kejujuran. Ia sangat kecewa jika mahasiswanya ada yang mencontek. “Saya sangat tidak suka dengan segala bentuk contek-mencontek,” tegasnya. Ia mengaku sering marah bahkan menangis ketika mengetahui mahasiswanya mencontek terutama saat ujian. Ia juga menyayangkan penurunan etika mahasiswa yang dirasa semakin meningkat.
Kebaikan yang Terus Mengalir Hidup akan bermanfaat bila berguna bagi orang lain. Demikian moto hidup Prof. Dr. Sri Umi Mintarti Widjaja, S.E., MP. Ak. Sesuai dengan motonya, hidupnya pun berguna bagi orang lain. Menurut beberapa mahasiswa, Mintarti terkenal sebagai dosen di Fakultas Ekonomi (FE) yang sering membantu mahasiswa. Ketika ditanya kebenarannya, Mintarti hanya tertawa, tidak mengiyakan maupun menolak. “Mungkin saya diberi kemurahan rezeki yang sebenarnya ada rezeki mereka melalui saya,” tutur ahli Akuntansi yang justru menjadi dosen Ekonomi Pembangunan karena kecelakaan itu. Bagi Bu Min, sapaan akrabnya, ketika ada orang yang membutuhkan, jika ada, ya berikan saja, bantu saja. “Karena saya berpikir, saya bisa makan enak, kenapa orang lain tidak bisa?” tambahnya. Menurut ibu dari tiga orang anak ini, membantu tidak harus menunggu sudah punya. “Kalau membantu menunggu punya, kapan?” ungkap Mintarti. Kemurahannya untuk memberi tak pernah membuat perempuan kelahiran 12 Juni 1953 itu takut. Prinsipnya, Allah itu sangat kaya. Jadi, tak mungkin ia dan anak-anaknya kekurangan. Kekuatan terbesarnya adalah doa dan rajin beribadah. Di rumah, meskipun ia mempunyai pembantu, urusan makanan dan minuman masih dipegangnya sendiri. Sembari memasak atau mengaduk minuman untuk anaknya, ia selipkan doa-doa untuk kesuksesan anaknya. Selain mempunyai anak kandung, Mintarti juga merawat beberapan anak angkat.
10 | Komunikasi Edisi 303
anaknya. Bahkan ketika putra putrinya sudah dewasa, beliau sangat memperhatikan dan selalu mendoakannya satu per satu,” papar penggemar bakso dan sup itu. Cholis melihat ibunya mampu menyenangkan anak dan menantu. “Apabila saya pulang ke rumah dan memberi tahu ibu, semua yang saya suka pasti sudah tersedia,” katanya. Sikap mampu menyesuaikan diri yang dicontohkan ibunya ia terapkan dalam kehidupan. Ia tidak menyebut dirinya sebagai wanita karir, tetapi ibu rumah tangga yang berkarie. Sebab, pada dasarnya jika berhubungan dengan anak dan suami adalah seorang ibu. Dengan demikian, ia tidak mengesampingkan kodratnya sebagaiperempuan.Begitu juga di lingkungan sekitar rumah. Ia tetap warga PKK yang rajin mengikuti pertemuan rutin setiap bulannya. Cholis lebih suka jika dipanggil Bu Cholis saja, tanpa menggunakan embelembel profesor. Tujuannya agar tidak terjadi kesenjangan. Baginya hidup adalah seperti air yang mengalir. Mensyukuri takdir dan menjalani hidup dengan seimbang.
Foto: Ajrul
tambahnya. Selama perjalanan hidup, Cholis merasa beruntung dapat beberapa kali mengikuti pelatihan di luar negeri, di antaranya di Ohio State University Amerika Serikat, di Shizouka University Jepang, dan di Melbourne Australia. Ia juga bersyukur sebab ada beberapa tugas yang memungkinkannya mengalami dan tahu tentang Indonesia. Ia juga berterimakasih mendapatkan suami yang memahami dan anak yang membahagiakan. Bahagia dirasakannya dari hati. Walaupun rumput tetangga kadang terlihat lebih hijau. Namun, segala takdir ia sikapi dengan bersyukur dan menjalani dengan sebaik-baiknya. Kedekatan Cholis dengan suami dan dua anaknya terlihat dari perhatian yang saling diberikan oleh mereka. Kerap kali ketika masing-masing sedang bekerja saling mengingatkan untuk makan. Kesedihan yang pernah Cholis rasakan, yaitu ketika harus berpisah dengan keluarga lantaran studi ke luar negeri. Ketika anaknya berusia delapan
Salah satu pelopor berdirinya FE yang memandang perempuan harus mandiri.
Prestasi terbesar yang paling berkesan bagi Mintarti didapatkan ketika menjadi Ketua Pusat Studi Wanita (PSW) UM. Kala itu, Mintarti berusaha keras menulis proposal berbahasa Inggris untuk mengajukan proyek Technological Skill Development Sector Project (TPSDP). Akhirnya, pada tahun 2004, PSW UM menjadi PSW pertama yang memperoleh proyek tersebut. TPSDP merupakan proyek untuk pengembangan sumber daya manusia dan sarana prasarana. Karena memperoleh TPSDP, pada saat itu PSW UM dapat mempunyai
Laporan Utama
Dr. Umi Dayati, M.Pd. Menjadi Motivator untuk Menata Hati Tak pernah direncanakan oleh Dr. Umi Dayati, M.Pd. untuk bisa menjadi motivator terkenal. “Saya hanya pasrah pada ketentuan Allah,” ungkapnya. Umi terlahir dari keluarga Jawa tulen. Ayahnya yang seorang tentara selalu menekankan padanya dua hal. Pertama, jangan pernah bertengkar karena masalah uang. Kedua, selalu disiplin dan tepat waktu. Meskipun terlahir dalam keluarga yang berkecukupan, Umi tak pernah dimanjakan. Ia dididik untuk terus bekerja keras. Tak pernah sang ayah mengizinkannya menikmati fasilitas yang bukan haknya. “Saya paling suka membuat orang lain bahagia,” tutur dosen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang suka semua genre musik ini. Kebahagiaan pertamanya menjadi pembicara bermula ketika ada insiden dalam sebuah seminar pada tahun 2006. Seminar yang dihadiri enam ratus peserta itu menghadirkan dua orang pembicara, salah satunya merupakan dokter kandungan. Masih sesi pembukaan ketika penampilan tari-tarian, acara dihebohkan dengan adanya mahasiswa yang protes. Alasannya, laki-laki dan perempuan tidak boleh satu panggung. Ketika dokter kandungan menyampaikan materinya, mahasiswa heboh lagi karena menganggap gambar-gambar yang ditampilkan sang dokter merupakan bentuk pornografi. Seketika forum kisruh hingga akhirnya para pembicara ketakutan, kemudian meninggalkan forum. “Tiba-tiba panitia menunjuk saya,‘tolong, Bu Umi! Tolong, Bu Umi,” kenangnya. Umi ragu dan bingung, dia hanya dosen biasa, apa yang harus dilakukannya. Karena situasi yang memaksa, Umi pun memantapkan diri. Setidaknya, dirinya telah memiliki bekal secara teori. Sebagai dosen PLS, ia mengenal teori-teori tentang mengajar orang untuk senang belajar, terutama bagi yang sudah dewasa. “The power of kepepet itu sangat manjur,” ungkapnya sambil tergelak. Yang membuatnya semakin terkejut, ketika selesai, apresiasi para peserta ia rasakan luar biasa.
Emansipasi tidak berarti semua harus sama dengan laki-laki. Perempuan harus tetap sesuai dengan kaidah dan titahnya sebagai perempuan sesuai ajaran agama. Tidak menjadi masalah perempuan mencapai pendidikan tinggi. Namun, yang harus diingat adalah tanggung jawabnya pada suami dan anak tidak terabaikan. Mintarti berharap agar para perempuan terutama ibu agar selalu berhati-hati dalam Mereka bertepuk tangan gembira dan mengajaknya berfoto. “Akhirnya saya paham, bagaimana menjadi pembicara yang baik agar disenangi peserta,” kata ibu dua orang anak ini. “Saya percaya dengan Allah. Bukan karena dirinya hebat, tetapi memang Allah yang menghendaki,” katanya. Perempuan lahir dan besar di Malang itu hanya ingin bermanfaat, tidak semata karena uang. Ia ingin jadi berkah, bisa membagikan apa yang ia punya. Kebahagiaan terbesarnya ketika ia melihat mata orang yang ditemui berbinar-binar bahagia karenanya. Umi tak pernah memasang tarif. Pernah suatu ketika karena asyik berfoto, panitia lupa memberikan honorarium. Panitia kebingungan menghubungi Umi. Akhirnya, Umi pun dipaksa menunggu di jalan. Dengan prinsipnya itu, Umi bisa merasa hidupnya selalu bahagia. Perempuan yang suka ikan asin, urap-urap, dan lodeh ini tak mau membuat orang lain sulit bahkan menangis. Umi menjadi motivator pun sebenarnya juga dalam rangka menata hati, terutama menata hatinya sendiri. “Karena motivasi bahagia itu sebenarnya dari hati,” tuturnya. Ia menjelaskan, ketika seseorang bisa menata pikiran dan hatinya, maka hidupnya bahagia. Aktivitasnya sebagai motivator membuatnya harus manggung ke sana ke mari. Kalender kerjanya selalu penuh ‘pesanan’ orang. Pernah terjadi, karena padatnya jadwal acara, Umi salah memakai sepatu berbeda kanan-kiri hingga harus meminjam sepatu panitia. Materi yang disampaikannya bergantung karakteristik peserta. Ketika ia diundang oleh perusahaan, materi yang disampaikan meliputi etos kerja, teamwork, atmosfer kerja, dan sebagainya. Ketika ia diundang oleh ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), materinya meliputi keluarga harmonis. Jika diundang oleh mahasiswa, materinya meliputi disiplin, tanggung jawab, dan sebagainya. “Semua yang saya sampaikan selalu softskill,” jelas Umi. Umi bisa jadi seperti saat ini, inspirasinya berasal dari sang ibu. Baginya, sang ibu merupakan sosok yang penyabar dan halus. Dalam bertutur pun, tak pernah membentak. Perempuan yang hobi olahraga ini telah dibiasakan membaca
berbicara. “Karena kata-kata adalah doa. Apalagi dari ibu,” ungkapnya. Sejengkeljengkelnya ibu, jangan sampai perkataan itu akhirnya menyulitkan hidup anak. Selama hidup ia memang telah merasakan banyak asam dan manis kehidupan. Dari sanalah ia mendapatkan pelajaran hidup berupa keikhlasan dan memberi maaf. Walau ia juga merasakan ikhlas merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.
Foto: Ajrul
4.000 judul buku tentang perempuan dan pengetahuan umum. PSW UM juga mempunyai rental pengetikan komputer dan internet 24 jam di Gedung H4. Baginya, sosok Kartini merupakan perempuan yang bagus dan ikhlas. Kartini merupakan perempuan yang diam, tetapi punya prinsip untuk maju. Menurutnya, perempuan harus bisa mandiri. “Mandiri bukan berarti lepas kendali,” tuturnya.
Dosen PLS yang paling senang melihat orang lain bahagia.
sejak masih kecil. Ayahnya selalu berlangganan majalah Intisari, Bobo, Kawanku, Trubus, bahkan Jayabaya. Setiap kali ada waktu luang, ayah dan ibunya selalu membaca. Hal itu juga ia biasakan pada anak-anaknya. Dengan demikian, intelektual anak dapat meningkat seiring dengan banyaknya bacaan. “Intelektual itu salah satu bentuk keberhasilan,” ungkap perempuan yang suka air putih itu. Kesibukan yang Umi lakukan tak pernah mendapat tentangan dari anak-anaknya. Umi dan anak-anaknya sudah seperti teman karib. “Maternal bonding-nya sudah terbangun sejak kecil,” tutur dosen bercucu satu itu. Ketika anak-anaknya masih balita, Umi tak pernah meninggalkan mereka. Ia
Tahun 38 Maret-April 2016 |
11
Laporan Utama
Dari Sekadar Hobi Menjadi Prestasi Berawal dari sekadar hobi, karir Kurniati Rahayuni, M.Psi. menjadi gemilang. Perempuan yang lahir di Bandung pada 15 Juni 1982 ini mengukir banyak prestasi dalam bidang pencak silat. Sebenarnya, sejak SD Kurnia sangat aktif mengikuti Pramuka. Namun, ketika SMA di Madiun, ketertarikannya tertuju pada pencak silat. “Awalnya untuk pegangan sebagai perempuan,” kata perempuan yang menjadi dosen di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) sejak 2009 itu. Ia mengaku, yang didapatkan di pencak silat lebih dari sekadar ilmu bela diri. Kurnia mendapatkan teman, merasakan keakraban, dan keistimewaan tertentu. “Seperti merasakan ‘klik’ tersendiri,” tuturnya. Selama masa sekolah, Kurnia selalu berpindah-pindah kota, mengikuti tugas kerja ayahnya. Sampai pada akhirnya ketika kelas XII SMA, ia pindah dan menetap di Malang. Kesenangannya di pencak silat pun dilanjutkan. Meskipun masih SMA, Kurnia aktif mengikuti latihan pencak silat di UM. “Ternyata, saya merasakan kecocokan dengan pelatih,” katanya. Kurnia lebih rajin latihan dan sering diikutkan pertandingan. Kurnia menempuh pendidikan S1-nya di Jurusan Psikologi UM dengan tetap aktif di dunia pencak silat. Pada tahun 2003, Kurnia bisa masuk dalam tim atlet pencak silat Jawa Timur. Masuk di tim ini bukan lagi pencak silat dianggap sebagai kegiatan sampingan di waktu luang, namun menuntutnya untuk bersikap profesional. Hal ini mengharuskannya menjalani masa karantina di Surabaya. Padahal, orang tuanya mengharuskan kuliahnya tetap berjalan. Ketika itu, Kurnia masih menjadi mahasiswa semester empat atau lima. “Ketika itu saya hanya bisa mengambil sekitar enam SKS,” kenangnya. Ia mengaku, harus banyak bernegosiasi dengan dosen pengampu matakuliah agar meringankan model kuliahnya. “Ada dosen yang mau, tapi ada juga yang tidak mau,” ungkap perempuan yang menyukai karya tulis fiksi dan non fiksi yang enak dibaca itu. Pengorbanan Kurnia tak sia-sia. Kuliah dan hobi yang digelutinya bisa berjalan beriringan. Meskipun ia dapat
12 | Komunikasi Edisi 303
menyelesaikan masa kuliah S1-nya selama lima tahun. Berbagai prestasi nasional dan regional berhasil dikantongi perempuan yang menyukai lagu Dear God Avenged Sevenfold ini. Beberapa prestasi dalam bidang pencak silat yang pernah diraih, yaitu Juara III tunggal putri pencak silat Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI 2004 dan PON XVII 2008, Juara I tunggal putri pencak silat Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) 2005 dan 2007, Juara I tunggal putri POMASEAN 2006 di Vietnam dan 2008 di Malaysia, Juara I Singapore World Championship 2007, dan Juara II Kejurnas pencak silat 2006, 2007, dan 2014. Prestasi pencak silat yang diraih Kurnia tidak melulu berjalan mulus. Di awal karirnya, ia merupakan atlet putri dalam cabang tanding dan sering mengalami kekalahan. Sampai pelatihnya mencoba dia untuk kategori tunggal. Di masamasa kegagalannya itu, ia menemukan semangat untuk bangkit. “Di olahraga, saya menemukan kesetiakawanan dan hubungan tim yang bagus,” kata perempuan yang memiliki moto hari esok harus lebih baik dari hari ini itu. Temantemannya menyemangati dan pelatih pun memutuskan agar Kurnia mencoba pencak silat tunggal putri cabang seni. “Rezeki orang memang masing-masing,” kata ibu satu anak ini. Di cabang seni, prestasinya mulai beranjak naik dan terus meningkat. Di cabang seni ini, Kurnia harus melakukan seratus gerakan dalam tiga menit tepat menggunakan senjata tertentu. Dari sini, ia juga mendapat kesempatan terbang ke luar negeri. Prestasi-prestasi Kurnia terus diukir sembari menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Airlangga. Kejenuhan yang dialami di tengah padatnya latihan, ia sembuhkan dengan pergi ke toko buku atau justru mengerjakan tugas-tugas kuliah. Di FIK UM, Kurnia mengampu matakuliah Psikologi Olahraga. Karena di curriculum vitae-nya tertera sederet prestasi dalam bidang pencak silat, ia pun ditunjuk untuk mengajar kuliah cabang olahraga pencak silat. Kurnia mendapatkan pelajaran berharga setelah sekian lama menekuni dunia pencak silat. “Saya baru sadar setelah lama, bahwa dengan pencak silat, saya lebih waspada apabila merasa masuk ke situasi yang
pilar,” tegas Umi. Umi menjelaskan, empat pilar yang harus dimiliki perempuan saat ini, yaitu intelektual, aktualisasi diri, emosional, dan spiritual. Umi juga mengaitkan empat hal itu dengan empat sifat Rasul, yaitu jujur (shiddiq), menyampaikan (tabligh), dapat dipercaya (amanah), dan cerdas (fatanah). “Kartini juga harus confidence! Percaya diri, tapi tidak menghilangkan kodratnya,” tutup Umi. Foto: Ajrul
Kurniati Rahayuni, M.Psi.
merasa sudah puas merawat anaknya sejak balita. Perempuan yang menyukai Indiana Jones itu pun tak hendak mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Umi memberi kepercayaan penuh pada mereka. Bagi Umi, sosok Kartini merupakan perempuan yang luar biasa. Sebab, pada zamannya, ia sudah bisa berkirim surat dengan temannya di luar negeri. “Maka, Kartini era sekarang harus memiliki empat
Foto: Ajrul
puaskan merawat anaknya secara penuh. Dengan begitu, ikatan dengan anakanaknya semakin kuat. Baru ketika anaknya mulai sekolah, sering kali ia membuat perjanjian, kapan dan berapa kali Umi boleh keluar untuk mendatangi acara. Umi lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas waktu bersama anaknya. Sebab, banyak ibu yang 24 jam bersama anaknya, tetapi ikatan hati mereka tak kuat. Sementara Umi
Dosen FIK yang mampu melakukan seratus gerakan silat dalam tiga menit.
berpotensi menimbulkan bahaya,” tuturnya. Menurut Kurnia, sosok Kartini baginya adalah perempuan yang lahir melebihi zamannya. Yang membuatnya salut pada sosok Kartini, yaitu perbendaharaan buku bacaan yang sangat banyak dan tema berat sudah dihabiskan ketika masih muda. Menurut Kurnia, perempuan yang layak disebut Kartini adalah perempuan yang berpikir maju. Perempuan harus cerdas dan mau belajar apa saja. Kurnia berharap agar para mahasiswi tidak minder, mau berpikir maju, dan tetap sekolah sampai jenjang tertinggi. “Sebab, ibu yang cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas,” tandasnya. Kurnia melihat, secara fisiologis, biologis, dan cara berpikir, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Di dalam dunia olahraga pun selalu dibedakan cabang olahraga laki-laki dan perempuan. “Pembedaan antara lakilaki dan perempuan itu bukan diskriminasi, tetapi memang sebuah keniscayaan,” ungkapnya. Perbedaan itu menurutnya yang harus saling melengkapi. Ia berencana dapat menempuh studi S3-nya ke luar negeri dan akan melakukan riset tentang nilai kearifan lokal Indonesia yang dapat menjadi dasar psikologi olahraga.
dok. Pribadi
Laporan Utama
Dosen Sastra penggemar Buya HAMKA.
Dr. Yuni Pratiwi, M.Pd Buku Bacaan Dapat Menjadi Aktivitas Menyenangkan Semasa Kanak-Kanak Dr. Yuni Pratiwi, M.Pd. mengibaratkan pengalaman masa kecil seperti pilarpilar penyanggga bangunan rumah. Perempuan yang dilahirkan di Tulungagung ini, menikmati masa kecilnya di tengah keluarga yang memosisikan buku bacaan sebagai bagian penting dari keluarga. Dalam hidup sehari-hari, ia biasa menyaksikan ayah bundanya yang menekuni tugas sebagai guru SD membaca. Situasi inilah yang kemudian membentuk kesukaannya terhadap buku bacaan sejak kecil. Seringkali ia juga membaca bacaan yang kadang tidak dipahaminya, misalnya majalah Pembinaan Pendidikan yang diterbitkan Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur pada tahun 1970-an. Salah satu buku bacaan yang berulang-ulang dibacanya, yakni sebuah buku cerita keluarga yang ditulis dengan bahasa Jawa dan berjudul Puspa Pusaka. Buku bacaan dirasakannya sebagi kendaraan yang mengantarkannya pada berbagai petualangan pengalaman baru yang menyenangkan. Dosen Jurusan Sastra Indonesia ini sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Ini karena sekolah yang berlokasi di kota berjarak kurang lebih 23 km dari rumahnya.
Pada usia sekolah, ia aktif dalam kegiatan kepramukaan dan ia sering mendapat kepercayaan teman-temannya menulis naskah drama yang kemudian dipentaskan pada malam api unggun. Sebagian kisah dalam naskah drama tersebut ditulis berdasarkan fragmen-fragmen novel yang ia baca. Penampilan pentas drama dari naskah yang dibuatnya sering mendapat pita kuning (kategori peringkat terbaik). “Saya sangat senang sampai merasa sudah menjadi penulis drama,” ungkapnya mengenang masa remajanya sambil tersenyum. Meski tidak tinggal di rumah orang tuanya, kebiasaan membacanya tidak surut. Perpustakaan sekolah menjadi ‘tempat rekreasi’ yang sering dikunjunginya. Ia meminjam hampir semua judul karya sastra yang ada di sekolah. Karya-karya Buya HAMKA bahkan dibaca berulang kali. Bahasa Buya HAMKA yang indah dan pesan-pesan yang dijalin dalam kisah yang sarat konflik memikat perrhatiannya. Kesukaannya membaca karya sastra bahkan sering menyita waktu belajarnya. Kadang-kadang ia menyelipkan sebuah roman di tengah buku pelajaran dan membacanya. Hal ini untuk menghindari teguran orang-orang di sekitarnya yang cenderung melarangnya membaca novel. Masa kecil yang sangat gemar membaca membawa dampak pada kehidupan ketika mulai menekuni pekerjaan. Pada tahun 1998, ia mulai tekun menulis. Ia menulis buku pelajaran Bahasa Indonesia bersama Dr. Nurhadi, M.Pd. dan Prof. Dr. Dawud, M.Pd. Buku pelajaran tersebut terbit dalam skala nasional dan bahkan digunakan pula di sekolah Indonesia di mancanegara. Dalam menjalankan tugas sebagai tenaga pengajar di bidang sastra dan pembelajarannya, ia meneladani Prof. Drs. H.M.A. Icksan (alm.) dalam menanamkan kecintaan mahasiswa terhadap karya sastra. Seringkali ia menugasi mahasiswa menghafal puisi, dialog, dan bagian-bagian naskah tertentu dari karya sastra. Mahasiswa yang membaca dan menghafalkan naskah akan memperoleh pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam teks (pengalaman etika) dan sekaligus persentuhan emosi dengan unsur keindahan seni bahasa sehingga diperoleh pengalaman estetik. Selama mengabdi mengabdi di UM , ibu dari dua anak itu pernah bertugas menjadi Kepala Laboratorium Drama selama enam tahun (1994—1998; 2007—2009). Selain itu, ia pernah bertugas menjadi Kepala Pusat Studi Wanita (2009–2012) dan kemudian menjadi Pusat Penelitian dan Pengabdian Bidang Jender dan Kependudukan yang disingkat P3JK (2012–2014) LP2M— UM. Sampai saat ini, masih terlibat sebagai tenaga pakar pembangunan gender bidang pendidikan di Direktorat
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUDNI) dan Pendidikan Formal dan Nonformal (PNFI), Kemendikbud, Jakarta. Tugas tim ini salah satunya merumuskan atau menulis buku panduan untuk sosialisasi pembangunan kesetaraan gender di bidang pendidikan. Di sini dibahas cara membangun sekolah yang responsif gender sekaligus merancang anggaran sekolah yang responsif gender. Sekolah responsif gender, yaitu sekolah yang memiliki kepedulian warga sekolah baik kelompok laki-laki dan perempuan secara berkeadilan dan berkesetaraan. Sumbangan untuk kampung halamannya, yakni sebagai penyumbang ide dalam terbentuknya desa wisata di Desa Sendang, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung. Kegiatan tersebut diberi nama Sabadena Voyage, sabadena singkatan dari saba-desa lan wana (berkunjung ke desa dan hutan). Desa ini mengembangkan potensi alam berupa air terjun dan potensi budaya berupa gamelan, rego kendang, kuliner pedesaan, serta batik tulis. Dari perjalanan hidupnya, Bu Yuni menekankan lima hal, yakni kompetensi diri, manajemen diri, jaringan kerja, komitmen, dan kemampuan beradaptasi. Manusia juga harus mampu mengelola dirinya agar tidak penat menjalani rutinitas. Ia berusaha untuk berkomitmen dengan setiap pekerjaan. Peran apapun yang dipercayakan diusahakan dijalankan dengan maksimal dan jika diamanati menjalankan tugas pada jabatan tertentu akan berusaha tetap menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang melanjutkan pekerjaannya. Dosen ini juga berpendapat bahwa pada setiap diri mahasiswa terdapat potensi yang luar biasa. “Mahasiswa harus pantang menyerahdan kreatif dalam mengembangkan diri,” tegas Yuni. Menurutnya, tidak ada yang tidak mungkin, yang ada adalah mahasiswa yang sudah berusaha keras dan ada pula yang belum berusaha keras. Ia juga berharap, khususnya mahasiswa Sastra Indonesia agar saling mengenal teman antarkelas bahkan antarangkatan sehingga jaringan kekeluargaannya terbentuk bagus. Dalam konteks hari Kartini, dalam pandangan ibu yang kini ditugasi sebagai Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana UM ini, “Nilai-nilai kearifan lokal pada era Kartini selamanya tetap digunakan. Nilai-nilai yang diajarkan Ibu Kartini akan menembus batas ruang, waktu, dan struktur sosial. Selamanya setiap perempuan itu harus memiliki kepribadian yang baik, kecerdasan, dan keterampilan. Dalam kehidupan kekinian, bentuk-bentuk aktivitas dan instrumen materialnya saja yang berbeda. Selamat Hari Kartini, “ tuturnya menutup percakapan.Yana/Ajrul
Tahun 38 Maret-April 2016 |
13
Sukses Akademik dan Non-Akademik Oleh Setiyawan Febrianto
S
etiap orang tentu ingin meraih sukses dalam hidupnya, tidak hanya sekedar sukses di dunia, tetapi juga sukses di akhirat. Pandangan tentang definisi sukses bagi setiap orang berbeda-beda sesuai latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya. Ada yang menganggap sukses kalau berpendidikan tinggi dengan sederet gelar kesarjanaan, ada yang merasa sukses dengan karir yang prestisius, dan bagi orang tua merasa sukses jika mampu membiayai pendidikan anaknya. Sukses merupakan titik puncak yang harus dikejar, bukan jalan sementara menuju kesuksesan. Terkadang masih banyak yang terjebak di dalam jalan menuju sukses. Sukses bisa dicapai oleh siapa saja, tetapi tidak semua orang pasti bisa mendapatkan sukses karena sukses perlu strategi. Memang
14 | Komunikasi Edisi 303
meraih sukses tidak semudah membalikkan tangan, diperlukan perjuangan, pengorbanan, dan kerja keras. Strategi merupakan kunci menuju sukses, ibarat orang yang tak berilmu pasti akan berjalan mengikuti aliran air yang deras atau tiupan udara yang kencang. Sukses perlu direncanakan dengan cermat dan tepat karena sukses tidak akan terjadi tanpa disengaja. Ibaratnya seorang kempetitor bisa meraih gelar juara tentu akibat usahanya bukan faktor kebetulan atau keberuntungan. Perkembangan ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang semakin pesat dan tantangan zaman semakin berat menjadikan semua orang harus memiliki kompetensi unggul. Kompetensi yang dimiliki merupakan bekal meraih sukses sesuai dengan tuntutan zamannya. Dulu berbekal ijazah tingkat SMA/SMK sederajat untuk mencari pekerjaan cukup mudah, tetapi sekarang lulusan sarjana pun kesulitan mendapat pekerjaan. Oleh karena itu, untuk meraih sukses harus bisa memahami tuntutan zaman yang sekarang
Opini berbasis teknologi multimedia, jaringan internet, dan globalisasi. Belajar di perguruan tinggi dengan status mahasiswa merupakan salah satu usaha untuk meraih sukses. Dewasa ini setiap orang tua menginginkan anaknya untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi agar bisa mengubah nasib yang lebih baik. Tentu saja impian setiap orang bisa berkesempatan mengggali ilmu di Perguruaan Tinggi Negeri (PTN) yang tersebar di wilayah Indonesia. Masyarakat umum menganggap berstatus sebagai mahasiswa di PTN ternama adalah jaminan untuk meraih sukses di masa depan. Namun, pernyataan tersebut tidak akan berlaku bagi mahasiswa yang duduk manis dan berdiam diri hanya mengikuti perkuliahan saja. Mahasiswa yang dikenal sebagai agent of change dikatakan telah sukses tidak hanya lulus bermodal IPK cumlaude tetapi juga memiliki soft skill dan prestasi non akademik. Terutama ketika wawancara kerja pasti ditanyakan tidak sekedar berapa IPK yang diperoleh, tetapi juga pengalaman organisasi yang pernah diikuti. Gelar mahasiswa memang patut diberikan karena mahasiswa dituntut untuk mampu menyeimbangkan kemampuan akademik dan non akademik sesuai dengan Tridarma. Apalagi untuk menghadapi persaingan global salah satunya Masyarakat Ekonomi ASEAN diperlukan kemampuan komunikasi bahasa asing. Sudah bukan zamannya lagi menjadi mahasiswa yang konsumtif terhadap teori dan pemikiran lama. Kehidupan perguruan tinggi yang berbeda dengan sekolah akan menjadikan mahasiswa untuk bisa mandiri dan bertanggung jawab. Di sebuah perguruan tinggi pasti terdapat berbagai jenis organisasi yang digolongkan dalam dua jenis, Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (OPM) dan Organisasi Non Pemerintahan Mahasiswa (ONPM). Adanya kedua ilustrasi oleh Aji Setiawan organisasi tersebut berfungsi sebagai wadah pengembangan potensi mahasiswa sesuai minat dan bakat. Kabar terbaru dari bidang kemahasiswaan Universitas Negeri Malang, yaitu wacana mewajibkan mahasiswa mengikuti minimal satu organisasi. Kebijakan ini bertujuan untuk mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen diri sehingga lulusan nanti siap bersaing di dunia kerja. Selain itu, kebijakan ini muncul akibat minimnya minat mahasiswa terhadap keaktifan berorganisasi karena dianggap akan mengganggu perkuliahan. Kebijakan ‘Mahasiswa Wajib Berorganisasi’ tentu mendapat respon antara yang pro dan kontra. Sebelum memberikan respon tentu sebaiknya menilai apakah berorganisasi memang seharusnya diwajibkan atau justru memang kewajiban bagi mahasiswa. Bagi mahasiswa di PTN tentu wajib bersyukur karena biaya yang dikeluarkan orang tua tidak penuh karena pihak PTN mendapat dana Batuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang berasal dari APBN. Perlu diketahui BOPTN untuk tahun 2014, yaitu sebesar Rp 4,5 triliun dengan kenaikan Rp 1,5 triliun dari tahun sebelumnya. Coba bayangkan jika tidak ada BOPTN atau nilainya minim maka berapa rupiah yang harus dikeluarkan dari dompet orang tua. Sumber APBN yang berasal dari pajak masyarakat secara tidak langsung dinikmati mahasiswa tentu mengakibatkan sebuah konsekuensi. Masyarakat telah mempercayakan dana mereka kepada mahasiswa untuk mampu membawa perubahan
bangsa ke arah lebih baik. Jadi dapat disimpulkan, berorganisasi merupakan sebuah kewajiban bagi mahasiswa. Tanggapan atas kebijakan ‘Mahasiswa Wajib Berorganisasi’ yang tidak sepihak tentu harus diluruskan. Bagi kalangan study oriented tentu menganggap dengan berorganisasi akan menghambat studi dan prestasi akademik. Asumsi itu hanyalah bentuk ketakutan karena organisasi tidak ada kaitannya dengan studi dan prestasi akademik. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa mengikuti organisasi disesuaikan minat dan bakat sehingga dapat berperan aktif dan mengembangkan diri. Tahap awal untuk mengikuti organisasi, yaitu mengenal lebih jauh tentang profilnya dan selanjutnya mengonfirmasi apakah sudah sesuai minat. Jika ikut organisasi hanya sebagai follower tentu hasilnya akan berbeda dengan aktif memberikan konstribusi berupa karya dan prestasi. Bidang organisasi tidak hanya tentang politik dan sosial tetapi beragam mulai bidang religi, iptek, seni, olahraga, kepenulisan, dan wirausaha. Mahasiswa yang sukses tentu mampu berprestasi di bidang akademik dan non akademik. Ketika aktif sebagai mahasiswa yang tidak hanya sekedar kuliah tentu memberikan konsekuensi untuk memiliki manajemen diri yang baik. Waktu yang tersedia 24 jam sehari tentunya harus bisa dimanage misalnya untuk kuliah, organisasi, karya ilmiah, dan hobi. Porsi waktu yang ditentukan sebaiknya disesuaikan prioritas dan urgensi sehingga tidak ada yang dikorbankan. Selain manajemen waktu yang optimal, mahasiswa perlu memilih lingkungan organisasi yang tepat sehingga bisa memberikan kenyamanan mengasah potensi untuk meraih prestasi. Telah terbukti beberapa tahun terakhir kandidat Mahasiswa Berprestasi tingkat universitas lahir dari kesuksesan mereka baik di bidang akademik maupun non akademik. Sukses ada di tangan tiap orang, selagi tangan masih berpangku tangan sukses tidak akan pernah menghampiri. Tiada kata terlambat untuk memulai sebuah kebaikan untuk merencanakan kesuksesan. Semangat mahasiswa yang tidak mudah padam adalah bekal untuk memulai sebagai mahasiswa sejati. Mahasiswa yang bertanggung jawab dan peduli terhadap nasib bangsa dengan berkontribusi melalui karya atau prestasi. Indonesia telah menanti generasi baru untuk mengubah kehidupan negeri ini. Tunjukkan bahwa mahasiswa memang agent of change dengan sukses akademik dan non akademik. Hidup Mahasiswa! Penulis adalah mahasiswa Teknik Mesin. Opini ini Juara Harapan I kategori Opini Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015
Tahun 38 Maret-April 2016 |
15
Foto: Shintiya
Seputar Kampus
Sharing Cerdas Rumah Inspiratif
M
elewati hari penting seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tanpa keluarga bukanlah perkara mudah. Hal tersebut seperti yang dirasakan oleh Linda Afriana yang mengikuti KKN/PPL di Thailand. Suka duka ia rasakan selama lima bulan melewati moment hari raya umat Islam itu. Linda berbagi pengalamannya tersebut dalam talkshow “KKN/PPL Thailand” Kamis (17/03). Bertempat di Kafe Pustaka mahasiswa yang mengikuti KKN/PPL berbagi pengalamannya dengan diwakili oleh tiga pembicara, yakni Linda Afriana dari Jurusan Ekonomi Pembangunan, Hikmat Abdurochman dari Sastra Arab dan Freddy Setya dari Sastra Inggris. Ketiganya termasuk dalam enam belas delegasi dari UM yang KKN/PPL di Thailand pada 2015 lalu. Meskipun begitu, banyak hal menarik yang mereka dapatkan selama di Thailand. Seperti yang diungkapkan oleh Hikmat Abdurochman. “Ternyata di Thailand itu ada juga budaya yang sama seperti kita. Di sebagian wilayah Selatan itu ada suatu wilayah yang penduduknya mayoritas muslim. Jadi di sana ada juga pengajian yang sama seperti di Indonesia”. Berbeda dari Hikmat, hal yang berkesan menurut Linda ialah ketika ia mengajar. Saat
16 | Komunikasi Edisi 303
itu Linda mengajar Pra’thum atau jika di Indonesia setingkat SD. “Pada saat itu saya menggunakan media gambar. Anak-anak pada saat itu sangat antusias sekali. Mereka jadi ingin tahu jika di Thailand disebut ini kalau dalam bahasa Indonesia itu disebut apa,” cerita mahasiswi angkatan 2012 tersebut. Di Thailand anak-anak hafal sekali dengan negara–negara sepuluh ASEAN. “Mereka memang diterapkan untuk mengenal negara-negara ASEAN. Mulai dari nama negara, bendera, seragam –seragam yang dikenakan, bahkan lagu ASEAN mereka sangat hafal. Sebagai pengajar saya sangat malu karena tidak hafal,” tambahnya. Ketika tinggal di negara orang lain pastilah ada perbedaan-perbedaan antara tinggal di negara sendiri dengan tinggal di negara orang lain. Salah satunya ialah perbedaan budaya. Perbedaan itulah dapat menjadi culture shock. Mengatasi hal tersebut laki-laki dari Jurusan Sastra Arab tersebut menuturkan untuk memiliki pemikiran yang terbuka karena setiap negara memiliki budaya masing-masing. Setiap melihat sesuatu jangan langsung berpikiran negatif. Mungkin saja budaya mereka memang seperti itu. Lain halnya dengan Linda, ia lebih mengatasinya ke bahasa. Banyak cerita lucu
Bincang santai pengalaman KKN/PPL di Thailand.
ketika beradaptasi dengan bahasa. Terkadang terjadi salah paham pula. “Saya juga banyak belajar dari anak-anak yang saya ajar. Jadi setelah pelajaran, mereka itu mengajari saya. Di samping mengajar saya juga belajar,” jelasnya. Selain bahasa, Linda juga harus beradaptasi dengan makanan. Di Thailand Selatan kebanyakan makanannya seafood. Linda berujar, “Di Indonesia saya setiap hari makan tahu tempe, namun di Thailand setiap hari makannya seafood. Untuk makan sayur di sana mahal. Jadi, mau tidak mau saya harus makan makanan laut,” tambahnya. Sharing tersebut diselenggarakan di bawah naungan Rumah Inspiratif. Rumah inspiratif ialah kumpulan anak-anak yang menginspirasi atau yang ingin melakukan aksi. Anak-anak yang tergabung dalam Rumah Inspiratif tidak harus mempunyai prestasi. “Saya tidak mengatakan yang bisa berprestasi. Siapa pun bisa menginspirasi. Ya ini satu langkah kecil untuk mengadakan suatu perkumpulan supaya masyarakat tahu anak UM ini lho juga bisa menginspirasi,” tutur Linda. Pada awalnya komunitas tersebut beranggotakan lima orang, namun hingga sekarang ada sekitar lima puluh anak dari berbagai jurusan di UM.Shintiya
dok. Panitia
Seputar Kampus
Marching Band Gita Wahana Bhakti saat perform di Sidoarjo.
P
restasi tingkat nasional ditorehkan oleh marching band Gita Wahana Bhakti UKM Pramuka Universitas Negeri Malang (UM) dalam kejuaraan Delta Marching Open Festival Indonesia (DMOFI) 2016. DMFOI merupakan kejuaraan tingkat nasional yang diikuti oleh berbagai tim yang berasal dari berbagai penjuru nusantara, serta dari berbagai tingkatan mulai dari tingkat junior hingga umum yang diadakan rutin setiap tahunnya di Sidoarjo. Banyak persiapan yang dilakukan oleh Gita Wahana Bhakti untuk maju di kompetisi itu. Mulai kegiatan latihan yang rutin dilakukan tiga bulan sebelum kompetisi serta menyiapkan mental dan fisik pemain. Persiapan lainnya adalah konser pamit. Konser yang bertajuk “Road to DMFOI 2016� diadakan pada malam sebelum berlangsungnya kompetisi yang diadakan di Sidoarjo (10/03) bertempat di Lapangan A1 UM. Pukul 20.00 acara ini dimulai serta puluhan mahasiswa ikut menyaksikan konser pamit itu. Tak hanya
Konser Pamit Menyongsong Prestasi
itu, penonton turut serta menyampaikan dukungan mereka untuk menyongsong kompetisi keesokan harinya di Sidoarjo. Penampilan pembuka konser pamit dimulai dengan brass solo diikuti dengan penampilan selanjutnya brass ensamble, solo snare, color guard, dan ditutup dengan penampilan color guard contest. “Tujuan kami menyelenggarakan konser ini adalah sebagai tempat untuk mempersiapkan diri dan latihan untuk kompetisi besok,� ungkap Meidyana Prastiwi selaku Ketua Pelaksana. Mahasiswa Sastra Indonesia ini juga menambahkan tentang rencana awal menyelenggarakan konser pamit dengan konsep indoor. Namun, ada sedikit masalah mengenai kesiapan konser akhirnya diselenggarakan outdoor. Selain itu nantinya ia berharap marching band Gita Wahana Bhakti bisa menyelenggarakan kompetisi yang bertaraf nasional di UM. Dalam kejuaraan DMOFI 2016 ini marching band Gita Wahana Bhakti menyabet enam trophy dan satu medali.
Perolehan medali dan trophy dengan rincian berikut ini. Satu medali diperoleh dalam katagori color guard contest dan trophy yang lainnya diperoleh sebagai penghargaan beberapa kategori. Seperti penghargaan atas pemilihan lagu terbaik dan efek perpaduan gerakan terhadap musik. Pada kompetisi ini, marching band Gita Wahana Bhakti menyamai torehan prestasi dari kampus yang memiliki tradisi juara dalam setiap pagelaran marching band baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional, yaitu Universitas Brawijaya dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Setelah mendapatkan prestasi di ajang bergengsi DMOFI 2016 di Sidoarjo, marching band Gita Wahana Bhakti akan melanjutkan perjuangan mereka untuk berprestasi dikancah internasional. Pada September nantinya mereka akan mengikuti kompetisi internasional, yaitu Jember Open Marching Band Competition (JOMC) 2016 yang diadakan di Jember.Rodli
Tahun 38 Maret-April 2016 |
17
dok. Panitia
Seputar Kampus
TQT, Terobosan Baru
Mengabadikan momen berharga bersama Ibu Lailatul Fithriyah.
Menghafal Alquran
S
ebab kehancuran generasi Qurani adalah menghafal, tetapi tidak memahami artinya. Ungkapan inilah yang menimbulkan kekhawatiran kaum muslim di era modern. Minggu (20/03) Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) menyelenggarakan Seminar, Testimoni dan Praktik (Semantik) Metode Tahfidz Quran Tematik (TQT) bersama Lailatul Fithriyah Azzakiyah S.H.I., M.PdI. Acara diadakan di Aula Gedung E1 Lantai II Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Dihadiri Ketua Jurusan Dr. Ach. Rasyad, M.Pd. dan pembina Konsentrasi Manajemen Pelatihan, Edi Widianto S.Pd., M.P.d. Peserta datang dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, guru, orang tua, dan segenap tenaga pendidik. “Saya awalnya kebingungan membimbing anak saya dalam menghafal Alquran karena mereka merasa kesulitan,” jelas Lailatul Fithriyah Azzakiyah, penggagas Metode
18 | Komunikasi Edisi 303
Tahfidz Quran Tematik (TQT). Sesuatu yang sulit untuk didapatkan secara keseluruhan, bukan berarti harus ditinggalkan. Metode ini mampu memberikan alternatif menghafal Alquran dari surat yang mudah dengan cara yang menyenangkan. Ayat-ayat yang terdapat dalam banyak surat dikumpulkan terlebih dahulu untuk dirumuskan dalam satu tema khusus. Misalnya kisah nabi, orang shaleh, kejadian alam, kisah alam hingga berhubungan dengan tata krama dan pergaulan masyarakat dan sosial. “Saya hanya menerapkan metode ini pertama kali pada anak-anak saya dan alhamdulillah sudah berjalan kurang lebih lima belas bulan,” ujar Lailatul yang merupakan pendidik di SD Aisiyah Malang. Menjaga keotentikan Alquran salah satunya dengan menghafal. Mindset berkata sulit maka yang terjadi akan sulit, demikian pula sebaliknya. Diperlukan
pemahaman orang tua untuk mengenali tipe belajar anak sehingga metode yang diterapkan dapat disesuaikan. “Selain menggunakan tema dapat juga dengan memasangkan ayat-ayat dalam Alquran menyerupai puzzle,” tambah Lailatul. Menghadirkan cara yang tidak biasa pada anak akan membangkitkan semangat dalam mempelajari hal baru. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan secara keseluruhan bukan berarti harus ditinggalkan. Kesibukan orang tua dan segudang aktivitas sehari-hari pun kerap menjadi akar permasalahan dalam membimbing anak untuk dekat dengan Alquran. Tak heran jika terkadang anak lebih memilih bercengkerama dengan canggihnya teknologi. Orang tua memiliki peranan penting untuk mencetak generasi beradab melalui keteladanan sikap dan juga hati dari pada sekedar perintah.Maulani
Foto: Iven
Seputar Kampus
Suasana job fair UM di Graha Cakrawala.
G
raha Cakrawala UM kembali menjadi tempat berlangsungnya bursa kerja (job fair). Diselenggarakan selama dua hari oleh Kemahasiswaan dan Ikatan Alumni (IKA) UM pada Rabu-Kamis (16-17/03). Dibuka pukul 09.00-15.00. Kegiatan itu merupakan sarana yang bisa menjembatani antara alumni, masyarakat pencari kerja, dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan karyawan. Hiring and Job Fair UM diikuti oleh tiga puluh perusahaan tingkat nasional maupun tingkat internasional. Ada banyak lowongan pekerjaan yang ditawarkan di berbagai posisi dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Di sudut Selatan panggung utama Graha Cakrawala tergelar acara workshop yang mengupas tips dan trik lolos seleksi kerja. Kegiatan itu berlangsung dengan enam sesi. Masing-masing sesi berdurasi enam puluh menit untuk memudahkan pengunjung memilih.
PMW Warnai Stan Baru Job Fair UM Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini job fair merangkul Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) UM dalam pamerannya. “Tema proposal tahun ini adalah menggabungkan usaha yang sudah berkembang dan usaha mahasiswa yang masih merintis agar saling mengisi,” ujar Ahmad Fahmi, S.T., M.T. Bersebelahan dengan deretan job fair, stan PMW terletak di dekat pintu Graha Cakrawala sebelah Timur. Sebanyak tujuh belas tim PMW unjuk gigi di sana. Produk yang dipamerkan beragam, salah satunya Robot Mudah Indonesia (RMI) dan Alquran Study Club Kaligrafi (ASCKAL) untuk bidang jasa. Sementara itu, pada produk yang berupa barang yaitu Kopi Rempah dan Kaos Mampus. Program kewirausahaan berawal dari program pengabdian kepada masyarakat. Di mana masyarakat yang dibina adalah mahasiswa UM. Syarat mahasiswa yang ikut program ini adalah harus sudah merintis usaha baik didanai oleh program Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) maupun yang telah berwirausaha sendiri. Bedanya PKM adalah jenis wirausaha yang masih belajar bisnis, sedangkan PMW adalah jenis usaha yang sudah menjalani bisnis. PMW sudah berjalan selama delapan tahun. Pada awalnya dinaungi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), namun kini berubah menjadi tanggung jawab bagian kemahasiswaan. Rata-rata dua puluh kelompok PMW lolos seleksi dari delapan puluh proposal yang ikut serta. “Semenjak saya bergabung dalam PMW, baru kali ini ada pamerannya,” ujar Wiwin Januaris salah satu mahasiswa yang tergabung dalam program tersebut. Tersedianya lowongan perkerjaan dalam kegiatan job fair mempermudah lulusan, khususnya UM maupun masyarakat untuk mendapatkan info lowongan perkerjaan yang terpercaya. Adanya kegiatan ini juga membuka wawasan bahwa setiap orang bisa membuka lowongan pekerjaan.Iven Tahun 38 Maret-April 2016 |
19
Foto: Novi
Seputar Kampus
Paduan Suara sebagai Jembatan Dua Budaya
1
st China-Indonesia Friendship Choir Competition (CIFCC) bukanlah lomba paduan suara yang bisa dibilang biasa. CIFCC tak perlu seleksi rekaman di awal untuk mendapatkan tim paduan suara yang layak atau tidak. Selain itu, lomba ini digadang-gadang sebagai lomba paduan suara pertama di Indonesia yang bertemakan lagu mandarin. Kendati demikian, tak melulu tim paduan suara dengan latar belakang mandarin yang bisa berpartisipasi. “Kami mengajak tim paduan suara dari manapun untuk ikut dalam lomba ini,” begitulah tutur Renda selaku Ketua Pelaksana. Walaupun lomba ini hanya setingkat regional, namun antusiasme dari berbagai universitas di Jawa Timur terbilang tinggi. Terbukti dengan terdaftarnya lima belas tim paduan suara dari sebelas universitas yang berbeda. Di antaranya adalah Universitas Merdeka Malang, Institut Teknologi Nasional Malang, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Brawijaya, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Ma Chung, Universitas Surabaya, Universitas Widya Karya Malang, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, dan Universitas Negeri Malang.
20 | Komunikasi Edisi 303
Dua tim paduan suara dari UM harus berlapang dada karena tak keluar sebagai juara. Pheromone Choir dari Fakultas Ilmu Sosial harus berbesar hati dengan perolehan nilai 73,29 sehingga menjadikannya berada diurutan keduabelas. Sementara itu, Swara Crescendo dari Fakultas Ekonomi masih bisa sedikit berbangga hati berada di urutan sembilan dengan nilai yang didapat 74,83. Juara I diraih Fisheries Choir dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UB dengan nilai 79,96. Disusul oleh Ubaya Youth Choir sebagai Juara II dengan nilai 79,87 dari Universitas Surabaya. Juara 3 kembali diraih oleh UB, yaitu Brawijaya Economics Choir dengan nilai 79,79. Predikat The Best Conductor diraih oleh Rahman Arif Murtadho dari Fisheries Choir, sedangkan Interpretasi Lagu Wajib Terbaik diraih oleh Cientifico Choir dari Fakultas MIPA UB. Seluruh tim yang mengikuti ajang ini harus mempersembahkan dua lagu, yaitu satu lagu wajib dan satu lagu bebas. Terdapat dua lagu wajib (lagu mandarin) yang telah ditetapkan oleh juri dan dapat dipilih secara bebas oleh tim, yaitu Molihua dan Song Bie. Sebelumnya, lima tahun berdirinya Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin
PSM UM dalam pembukaan simfoni persahabatan.
sekaligus kerja sama dengan Guangxi Normal University China ini, telah dirayakan pada Selasa (29/03). Pusat Bahasa Mandarin UM sebagai penggagas acara menunjuk 45 mahasiswa sebagai panitia, di antaranya adalah mahasiswa Prodi Mandarin dan anggota Paduan Suara Mahasiswa UM. Perhelatan akbar yang bertajuk “Simfoni Persahabatan” dan merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan yang digelar oleh Pusat Bahasa Mandarin UM untuk menjembatani antara budaya Tiongkok dan Indonesia ini berlangsung meriah di Aula D4 UM pada Sabtu dan Minggu (02-03/04). Baik opening maupun closing ceremony dimeriahkan oleh berbagai macam penampilan. Salah satunya adalah tarian Mandarin dan tarian Indonesia. Tarian Mandarin oleh mahasiswa Prodi Mandarin sedangkan tarian Indonesia oleh STK-AK Asri Kusuma. Paduan Suara Satata Cakti UM juga memiliki andil dalam perayaan ini. Selain itu, ada pula persembahan lagu opera oleh salah satu dosen Mandarin, barongsai. Puncaknya adalah persembahan spesial dari Paduan Suara Guangxi Normal University China yang khusus bertandang ke Indonesia ikut serta memeriahkan acara ini.Novi
Foto: Iqlima
Seputar Kampus
Inspirator muda dalam seminar yang digelar oleh Ceria Institute.
S
uasana Sasana Budaya yang biasanya sepi, justru dipenuhi mahasiswa dari berbagai universitas di Malang pada Sabtu (12/03). Kehadiran inspiratorinspirator muda sebagai pemateri dalam seminar dan talk show INSPIRING#1 rupanya menarik minat mereka. Inspirator-inspirator yang hadir dalam acara tersebut di antaranya, Fanbul Prabowo seorang Social Media Strategist and Community Manager Hipwee, Digital Marketer, dan Founder Forum Djogja Peduli. Kemudian, seorang perempuan bernama Vania Santoso yang telah menjadi CEO De Tanjung, Young Social Enterpreneurship, pemenang International Youth Conference on Energy (IYCE) award 2012, British council, dan wirausahawan mandiri. Juga tak ketinggalan, CO Founder Pulangkampuang. com, penulis buku Karena Selama Hidup Kita Belajar, Ketua BEM UI 2012, dan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom 2013-2014, yaitu Faldo Maldini. Segudang pengalaman dan prestasi dari jiwa muda yang masih berapi-api, rupanya berhasil menyukseskan acara yang
Inspirator Muda Inspirasi Sesama
diprakarsai unit baru di dalam Fakultas Pendidikan Psikologi, Ceria Institute. Terbukti dari jumlah peserta yang mencapai sekitar 250 mahasiswa berhasil memenuhi Gedung Sasana Budaya. “Kami menghadirkan mereka dengan harapan teman-teman bisa memiliki gambaran sebagai generasi muda harus seperti apa. Seperti materi tentang sosial media (sosmed) dari Fanbul. “Sosmed kan sekarang dapat dibilang ujung tombak, kita dapat berkreasi apapun di sana. Kemudian ada Vania yang memberi kita inspirasi tentang berwirausaha dengan memberdayakan warga binaan, tapi tetap bersifat ramah lingkungan. Faldo juga yang memberi kiat-kiat mengenai networking dan menunjukkan bagaimana caranya kita dapat berorganisasi dengan tepat,” tutur Kukuh selaku Ketua Pelaksana INSPIRING#1 Acara yang dimulai pukul 08.00 itu dibuka oleh Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi), Prof. Dr. Fattah Hanurawan yang merangkap sebagai Pembina Ceria Institute. Pada prosesi pembukaan yang sekaligus menjadi peresmian Ceria Institute itu, ia menyampaikan besarnya apresiasi
beserta harapan-harapannya terhadap unit tersebut. “Unit ini sebenarnya bermula dari adanya kesamaan minat mahasiswa Psikologi dalam bidang riset. Kebetulan, Pak Fattah yang banyak membantu kami memberikan saran-saran di dalam hal tersebut. Ketika kami memutuskan ingin membentuk unit dengan harapan dapat berbagi lebih banyak dengan teman-teman lainnya. Pak Fattah pun turut menjadi pembina kami,” kata laki-laki yang kini sedang menempuh skripsi tersebut. Selepas pembukaan, sesuai dengan tema yang diusung Ceria Institute pun turut menghadirkan talenta-talenta cilik yang melakukan operet, tarian dan flash mob dengan mahir. Sebagaimana umumnya organisasi baru, dana terkadang menjadi kendala. Namun, sebagai wujud apresiasi dan dukungan yang besar, FPPsi rupanya memiliki cara lain dalam memberi bantuan kepada Ceria Institute.Pihak fakultas menyumbangkan kertas-kertas yang tak terpakai lainnya untuk diserahkan ke bank sampah.Iqlima
Tahun 38 Maret-April 2016 |
21
Repro Internet
Cerita Mereka
> Titik Winarti sebagai pemerhati penyandang difabel.
Sentuhan Titik Winarti Mengeksplor Talenta Difabel TItik Winarti, kakak dari Wahju Wibowo (Dosen Manajemen UM) yang memandang penyandang difabel bukan sebagai orang yang patut dikasihani, namun layak dihamparkan kesempatan. Repro Internet
M
Kemurahan hati para difabel untuk memberikan pelatihan pada ibu-ibu rumah tangga.
22 | Komunikasi Edisi 303
inggu pagi tak seperti biasanya. Jalanan menuju arah Kota Pahlawan, Surabaya yang identik dengan macet kini lengang. Seakan mempersilahkan perjalanan saya menuju kompleks perumahan yang tak sulit untuk ditemukan. Jalan Sidosermo Indah 2 tepatnya nomor 5 Wonocolo, sebuah rumah yang nampak tak terlalu besar dari luar. Plakat dengan tulisan “Tiara Handicraft� terpampang di depan rumah. Terlihat beberapa pekerja yang sedang asyik mengobrol. Saya dipersilahkan masuk ke ruang tamu oleh seorang wanita. Sambil menunggu karena tak langsung bertemu dengan si pemilik, saya mengedarkan penglihatan ke setiap sudut ruang tamu. Semua yang ada di depan mata terekam. Ruangan itu begitu padat. Ada berbagai macam tas, dompet, maupun kerajinan handmade lain berjajar di rak. Berbagai macam piagam dan sertifikat menghiasi dinding juga beberapa artikel koran yang dibingkai. Tak lama, seorang laki-laki menemui saya. Sayangnya si pemilik, Titik Winarti sedang berhalangan sehingga yang menjumpai saya adalah anak laki-lakinya, Ade Rizal.
Begitu fasihnya ia memaparkan seluk beluk mengenai cerita yang ingin saya rekam. Ada hal istimewa yang membulatkan niat saya untuk jauh-jauh datang kemari. Alih-alih saat banyak perusahaan atau pengusaha berlomba-lomba meninggikan kualifikasi untuk menerima pekerja, usaha di bidang kerajinan tangan ini hanya mensyaratkan satu hal. Syarat yang mungkin tak pernah terbesit perusahaan lain, yaitu yang mengharuskan pekerjanya menyandang difabel. Awalnya usaha ini hanyalah sebuah hobi. Membuat pernak-pernik ruang tamu yang kemudian menggugah hati untuk dikembangkan. Pesanan pun datang dari tetangga di dekat rumah yang semakin lama semakin membludak. Sampai pada tahun 1995, usaha mulai berkembang layaknya usaha normal berprofit dengan pekerja yang normal pula. Namun, pada tahun 1999, Tiara Handicraft oleng ditinggal semua pekerjanya. Sulitnya perekonomian saat itu, mereka yang keseluruhan berasal dari desa enggan untuk kembali ke kota. Niatan untuk menutup usaha tak bisa dipungkiri. Modal, bahan, dan peralatan menjadi sia-sia jika tidak ada yang menjalankannya. Suatu hal yang membuka jalan terang adalah ketika teman Bu Titik memperkenalkan dua orang difabel. Ragu memang ketika akan memulainya. Tapi siapa tahu kalau itulah akar dari pohon yang rindang. Dengan tekad yang ikhlas, kesabaran yang melebihi batas, dan perjuangan ketika melatih mereka mulai dari nol membuahkan hasil. Tiara Handicraft berhasil merangkak lagi. Saya semakin terenyuh mendengar cerita awal mula dua orang difabel tersebut. Salah satunya berasal dari Nganjuk. Tangan kirinya lebih pendek dari ukuran yang seharusnya. Dengan menguras keringat dan ketabahan, ia belajar menjahit. Pekerjaan yang menuntut keseimbangan antara tangan kanan dan kiri membuat kepalanya sering terbentur antukan jarum. Terasa terlalu berat untuk melakukannya sehingga ia diajari keterampilan lain, yaitu menyulam. Di sinilah talentanya terkuak. Tangan kirinya memegangi bidang sulam sementara tangan kanannya dengan lincah dan gemulai menyulam. Sekarang, ia menjadi senior yang mengajari sulam bagi pekerja lain. Pekerja difabel kedua berasal dari Situbondo. Salah satu dari kedua kakinya lebih pendek. Peralatan dan mesin jahit yang dimodifikasi, ia pun bisa terampil dalam menciptakan berbagai macam karya. Tak puas, rasa ingin tahu saya semakin meronta. Mengikuti alur cerita, jumlah pekerja semakin melonjak. Ada yang dari desa, kota, maupun balai pelatihan. Walaupun ada yang pernah mendapat pelatihan, ketika awal bekerja mereka tetap dibina mulai dari dasar. Menyelaraskan cara dan standar yang digunakan. Ambil satu contoh yang membuat decak kagum, yaitu ketika mengenali kebiasaan seorang difabel yang kedua tangannya buntung. Jika ia bisa memegang sendok untuk melahapkan nasi, maka ia pun bisa dipastikan bisa memasukkan benang ke lubang jarum. Cara demi cara dikenali. Produk yang dihasilkan mampu membidik pasar internasional. Tak ayal pada tahun 2004, Tiara Handicraft diundang oleh PBB ke New York, Amerika Serikat untuk menerima Microcredit Awards. Pekerja difabel turut serta hadir untuk memberi sepatah dua patah mengenai cover story dari produk handmade tersebut. Mengantongi keterampilan yang diperoleh dengan segenap usaha, kemuliaan hati para pekerja masih menyumbang kemampuan. Mereka bermurah hati untuk memberikan pelatihan dan pengajaran bagi warga desa atau ibu-ibu rumah tangga dengan tingkat ekonomi minim. Tiada pemikiran kalau itu rahasia perusahaan itu nantinya akan dijiplak, bisa membagi ilmu dan memotivasi orang lain membuat mereka bersuka cita. Suatu pemikiran ironis yang membudaya adalah anggapan bahwa seorang difabel tidak akan bisa melakukan apa-apa. Mereka sering dikucilkan, dianggap aib yang memalukan di keluarga, dan tidak pantas untuk mengenyam pendidikan. Ada salah satu keluarga yang menganggap mereka tidak perlu mendapat identitas penduduk atau KTP karena hal itu tidak berguna. Mental mereka serasa dilemahkan. Menjadi tertutup, mudah tersinggung, dan selalu minder. Dari sinilah Tiara Handicraft mendobrak pemikiran itu. Usaha yang juga berperan sebagai mini lembaga pendidikan untuk berwirausaha ini mencoba untuk memutihkan pemikiran yang semula hitam dengan berbagai penyuluhan. Cacat fisik bukanlah alasan yang menjadi dinding penghalang untuk memekarkan bakat dan kreativitas. Yang kurang adalah kondisi fisik. Selebihnya mereka sama. Keinginan hati, pola pikir, ego, dan ambisi. Karakter mereka seperti warna-warni pelangi. Tidak jarang pula mereka saling cekcok satu sama lain. Tinggal dalam satu atap memaksa mereka untuk mandiri. Mindset dan cara kehidupan mereka diubah total. Fasilitas dan perhatian khusus dihilangankan. Tidak lagi diladeni. Mereka saling membantu. Saya menangkap maksud sebenarnya dari pola hidup mereka saat ini. Pola seperti inilah yang seharusnya ditimpakan. Fasilitas dan tempat tinggal yang dinaungkan dari Yayasan
Foto: Maria
Cerita Mereka
Keterbatasan tak menyurutkan semangat Adi.
Bina Karya memang disengaja untuk mencetak mental mereka. Membiasakan mereka agar tidak selalu tergantung pada orang lain. Yayasan yang dibentuk oleh Tiara ini juga berfungsi sebagai payung hukum. Karena sempat pada tahun 2009, beberapa oknum pemerintah datang dan meragukan Tiara Handicraft sebagai tempat penyalahgunaan kaum difabel. Cuaca semakin terik ketika saya selesai berbincang dengan Ade Rizal. Menyempatkan untuk berbaur dengan tenaga pekerja yang sedang mengobrol. Tak membutuhkan waktu sejam atau dua jam, beberapa menit bersama mereka sudah menghangatkan hati saya. Tak henti-hentinya mereka melemparkan canda tawa yang membuat saya terpingkal tak kuasa menahan tawa. Jika didengar celotehan mereka berisi ejekan satu sama lain tentang kekurangan mereka. Bukan tersinggung atau muka merah padam, yang terjadi malah saling membalas melempar ejekan. Salah satu dari mereka yang bernama Adi, yang mengalami tuna grahita, menjadi santapan teman-temannya. Dengan bicaranya yang lambat seperti anak kecil baru belajar berbicara, ia menyahuti ejekan temantemannya dengan sabar dan tenang, “Saya betah tinggal di sini. Karena banyak teman dan pekerjaan yang bisa saya lakukan.� Banyak hal yang bisa saya petik. Mereka menyimpan luka gores di hati, memendam luka cerita perih dan miris, namun mereka masih menyuguhkan senyuman yang tulus. Mereka tetap membusungkan dada. Lebih kuat. Di samping kenyataan kondisi yang kurang, belajar untuk memahami dan menerima diri sendiri bagaikan berjalan di satu tali. Berusaha percaya diri di saat banyak yang memandang sebelah mata. Mereka tak pantas dikucilkan karena tidak ada seorang pun yang menginginkan dilahirkan dalam kondisi yang kurang.Maria Tahun 38 Maret-April 2016 |
23
Pustaka Repro Internet
Kisah Persahabatan Manusia di Tengah Isu Rasial Oleh Agus Setiawan Judul Sutradara Rilis Durasi Genre
: The Blind Side : John Lee Hancock : 2010 : 129 menit : Drama-biographical-sport
K
ehidupan memang memberikan banyak pilihan untuk dijalani dan pilihan terkadang tak semudah apa yang kita bayangkan. Apalagi pilihan yang kita ambil, tidaklah selaras dengan pemikiran orang kebanyakan. Sebut saja mereka yang sering menertawakan pilihan kebajikan adalah orang yang buta, meski pada kenyataannya mereka tidak buta secara fisikal, melainkan buta secara spiritual. Well, inilah kisah nyata dari Michael Oher-pemain terbaik bertahan di National Football League (NFL) USA. Michael memang bukanlah pemain dengan bayaran tertinggi di timnya karena dia bukan seorang pemain utama (quarterback). Namun tanpanya, mungkin pemain dengan bayaran tertinggi juga takkan pernah menduduki posisinya. Michael memberikan perlindungan kepada quarterback untuk membawa bola ke garis finish dengan cara menghentikan musuh yang akan merebut bola dari quarterback. Film besutan sutradara John Lee Hancock yang diadaptasi dari buku Michael Lewis yang laris di tahun 2006, dengan judul yang sama “The Blind Side: Evolution Of A Game” ini secara garis besar menceritakan tentang kisah nyata dari perjalanan hidup Michael Oher (Quinton AaronTim)—seorang keturunan Afro Amerika—yang dipelihara oleh negara sejak kecil, kemudian dijadikan anak angkat oleh keluarga Tuohy. Di mana sejak awal, kehidupan Michael Oher tidaklah dapat dikatakan sebagai kehidupan yang ‘good life’. Sewaktu kecil, Michael telah diambil secara paksa oleh negara dengan alasan ibunya adalah seorang pecandu narkoba. Semasa anak-anak hingga remaja, Michael hidup dengan keluarga asuh. Kenangan masa kecil yang kelam dan kasih sayang yang kurang dari keluarga barunya, Michael tumbuh menjadi sosok yang pendiam. Ditambah dengan badannya yang besar, tinggi, serta kulit hitam khas Afro Amerika, Michael pun akhirnya mendapatkan julukan ‘Big Mike’. Suatu ketika Michael didaftarkan di sekolah yang baru oleh ayah temannya sebagai murid pindahan. Catatan yang ada dari sekolah terdahulu menunjukkan bahwa Michael adalah murid dengan IQ 80. Hanya saja Michael agak pandai dalam olahraga. Di sekolah barunya, Michael bertemu dengan Sean Tuohy, atau biasa dipanggil SJ (Sean Junior) yang diperankan oleh Jae Head. Lalu, pada suatu malam yang basah, keluarga Tuohy mendapati Michael berjalan sendirian di jalanan. Melihat hal tersebut, Leigh Anne (Sandra Bullock) segera menghampirinya dan menanyakan kemana gerangan tujuan Michael. Berkat kebaikan hati Leigh Anne, akhirnya Michael pun diajak untuk tinggal di tempat yang lebih layak daripada gym untuk menghabiskan malam, yaitu rumahnya. Sejak saat itu, Michael tinggal lebih lama dengan keluarga Tuohy. Mulai belajar permainan football dengan pelatih dan temantemannya di sekolah, bahkan juga dengan bantuan dari SJ. Seiring waktu berjalan, nilai-nilai Michael juga mengalami peningkatan, meski tidak secara signifikan. Lebih mengejutkan lagi ketika Leigh Anne mendapatkan informasi dari sekolah bahwa Michael unggul 90% dalam kategori “protective insting”. Inilah yang tidak disadari
24 | Komunikasi Edisi 303
Leigh Anne atau siapa pun sejak awal tentang diri Michael. Selama ini, dukungan dari keluarga Tuohy sangat menggugah jiwa Michael untuk tetap semangat dalam menjalani hidup. Bahkan dalam sebuah adegan ketika Michael mengalami dilema hebat, Leigh Anne tetap tidak memaksakan kehendak Michael untuk membuat pilihan hidupnya. “It’s your decision, Michael. It’s your life. I want you to do, whatever your want”. Itulah kebaikan dan cinta sejati yang diberikan oleh Leigh Anne kepada Michael. Di luar cerita, akting dari Sandra Bullock sendiri sebagai Leigh Anne juga sangat memuaskan. Pada beberapa adegan, ia nampak sangat percaya diri dan elegan dalam memerankan seorang ibu yang tegas sekaligus baik hati. Sementara itu, film “The Blind Side” masuk ke dalam daftar nominasi Piala Oscar dalam jajaran Film Terbaik pada tahun 2010. Di samping prestasi, tentunya film “The Blind Side” juga memiliki kelemahan. Di antaranya adalah munculnya adegan-adegan yang akan membuat penonton merasa boring. Akting dari QuintonAaronTim sendiri dalam memerankan sosok Michael Oher-tokoh utama yang dikisahkan dalam film-juga tidak terlalu mengesankan sebagaimana akting Sandra Bullock dalam memerankan Leigh Anne. Kendatipun demikian, apabila ditilik dari segi isi, film ini sangat direkomendasikan bagi semua kalangan. Banyak sekali pesan moral yang perlu diinternalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan. Bagi orang tua, memberikan kebebasan dalam setiap tindakan anak adalah hal yang bijak, asalkan tetap disertakan bimbingan dan pengarahan. Bagi seorang guru, tak ada kata lain selain memberikan bimbingan dan motivasi. Tak ada murid yang bodoh, yang ada hanya mereka belum sepenuhnya tahu akan bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Lantas, apakah yang spesial dari kisah Michael Oher dibandingkan dengan kisah-kisah heroik lainnya seperti kisah Lincoln atau Margaret Thatcher dalam film biografinya “The Iron Lady”. Tentunya, kisah hidup setiap orang memiliki jalan pikirannya masing-masing. Lincoln dengan kisah perjuangannya meloloskan amandemen anti perbudakan dan Margaret Thatcher dengan kisah kepemimpinannya yang tegas dan ambisius, sedangkan Michael Oher sendiri memang bukanlah tokoh yang dikisahkan sebagai seorang yang heroik. Namun yang jelas, kisah Michael yang dihadirkan dalam film ini nyatanya juga telah berjalan di atas kisahnya sendiri. Kisah yang menggambarkan persahabatan dari seorang kulit hitam dengan keluarga kulit putih di tengah-tengah realitas sosial yang ada di Amerika tentang isu rasial. Lalu bagaimana dan seperti apa sepak terjang perjalanan hidup Michael Oher dari seorang tunawisma yang nyatanya tak pernah mendapatkan kasih sayang khusus dari orang tua kandungnya hingga menjadi seorang bintang terkenal di Baltimore Ravens sebagai pemain terbaik bertahan? Lalu siapakah keluarga Tuohy? Dan apa alasan mereka mengambil Michael sebagai anak angkat, meski pada awalnya mereka sama sekali tak tahu menahu soal rahasia Michael? Kisahnya akan dibeberkan secara flashback di dalam film yang berdurasi 129 menit ini. Selamat menyaksikan. Penulis adalah mahasiswa Bimbingan Konseling.
Pustaka Repro Internet
Kisah “Habibie Jepang�
Perintis Pesawat Legendaris Jepang Oleh Tri Arian Arnando
Judul Sutradara Pengisi Suara Durasi Genre Studio Distributor
M
: The Wind Rises (Kaze Tachinu) : Hayao Miyazaki : Hideaki Anno, Miori Takimoto, Hidetoshi Nishijima, Masahiko Nishimura, Stephen Alpert. : 126 menit : Historical Drama : Studio Ghibli : Toho
impi merupakan awal dari terciptanya sesuatu. Keberadaan pesawat di era modern ini pula datang dari adanya mimpi manusia untuk dapat terbang. Film The Wind Rises merupakan film yang menceritakan mimpi seorang Jiro Horikoshi, insinyur pesawat terbang asal Jepang. Berawal dari kecintaannya akan pesawat dan keinginannya menjadi seorang pilot membuatnya berhasil merancang sebuah pesawat legendaris bernama Zero yang dianggap sebagai pesawat tempur terbaik di era Perang Dunia II. Cerita dimulai dari masa kecil Jiro Horikoshi yang ingin menjadi pilot. Namun, cita-cita itu terhalangi oleh penyakit rabun mata yang dideritanya sejak kecil hingga dia memutuskan untuk menjadi perancang pesawat seperti Caprico, perancang pesawat idolanya. Demi meraih cita-citanya sebagai perancang pesawat, Jiro berangkat ke Universitas Tokyo untuk mempelajari teknik penerbangan. Dalam perjalanannya, kereta yang ditumpangi Jiro terhenti akibat gempa besar Kanto yang melanda Jepang awal tahun 1900-an. Kejadian itu mempertemukannya dengan seorang anak perempuan dan pelayannya yang diselamatkan oleh Jiro. Setelah lulus dari studinya di Universitas Tokyo, Jiro bersama dengan temannya Kiro Honjo mulai bekerja di pabrik pesawat terbang milik Mitshubishi dan membantu merancang pesawat tempur Falcon untuk tentara Jepang. Tetapi, Falcon hancur di udara pada saat dilakukan uji terbang yang membuat tentara Jepang menolaknya. Akibatnya, Jiro, Honjo, dan insinyur lainnya dikirim ke Jerman untuk mendapatkan hak produksi dan perancangan pesawat milik Jerman, G-38. Sepulangnya dari Jerman, Honjo dan Jiro ditempatkan pada divisi yang berbeda. Jiro diangkat sebagai kepala desainer untuk merancang pesawat tempur bagi Angkatan Laut Jepang. Desain pertama Jiro langsung ditolak karena gagal uji terbang yang membuat Jiro frustasi dan pergi ke sebuah resort di Karuizawa. Di resort Karuizawa, Jiro bertemu dengan Nahoko Satomi, anak perempuan yang pernah dia selamatkan saat gempa Kanto dulu dan mulai mendapatkan semangatnya kembali untuk merancang pesawat terbang. Jiro dan Nahokopun akhirnya memutuskan untuk bertunangan karena Nahoko menderita TBC dan menolak untuk menikah hingga penyakitnya sembuh. Jiro dan Nahoko mulai berjuang di jalan mereka masing-masing. Jiro fokus memikirkan rancangan pesawatnya sementara Nahoko
pergi ke sanatorium, pusat rehabilitasi TBC untuk menyembuhkan penyakitnya. Di tengah masa rehabilitasi itu Nahoko meninggalkan sanatorium menemui Jiro dan memutuskan menikah meski dokter melarang pernikahan itu karena bisa berakibat buruk terhadap penyakit yang dideritanya. Ketika pesawat rancangan Jiro selesai dan akan dilakukan uji terbang, Nahoko menyadari umurnya yang tak lama lagi. Nahoko memutuskan untuk kembali ke sanatorium. Sementara itu di tempat uji terbang, pesawat rancangan Jiro sukses besar. Sembari menikmati kesuksesannya, Jiro merasakan adanya hawa angin yang seakan membawa suatu pesan kepada Jiro. Pada akhirnya, Jiro menyadari bahwa angin itu membawa pesan bahwa Nahoko telah meninggal. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Jiro bermimpi bahwa dia bertemu dengan Caproni. Dia menceritakan rasa penyesalannya karena pesawat hasil rancangannya digunakan untuk perang. Tetapi, Caproni menyemangatinya dan mengatakan bahwa tanpa sadar Jiro sudah membangun pesawat yang indah meski digunakan untuk tujuan perang. Kisah Jiro Horikoshi ini sedikit mengingatkan kita tentang kisah perintis dirgantara Indonesia, B.J. Habibie. Bedanya, Habibie mengembangkan pesawat di tengah keadaan negara Indonesia yang sedang kayanya. Sementara itu, Jiro mengembangkan pesawat di tengah keadaan negara Jepang yang sedang berjuang untuk pulih dari kemiskinan. Selain itu, pesawat hasil rancangan Jiro juga dihadapkan pada penolakan dan langsung membuat dirinya putus asa. Di luar perbedaan itu, cerita dari kedua tokoh itu tidak jauh berbeda. Seperti akhir cerita yang mengungkapkan bahwa pasangan dari tokoh utama (istri Jiro dan Habibie) meninggal dunia karena suatu penyakit. Di tengah keadaan yang sulit itu, Jiro menyadari bahwa hal yang dibutuhkannya saat itu bukanlah materi, melainkan dukungan dari orang yang terdekat. Oleh karena itu, Jiro memutuskan menikmati waktunya dengan istrinya di tengah kesibukannya dalam merancang pesawat. Pesan yang ada pada film ini kurang lebih seperti yang dirasakan oleh Jiro tersebut, yakni dukungan yang didapat dari orang terdekat lebih bernilai dari materi atau apapun. Jika seseorang sedang berada di masa sulit, sebaiknya perhatikan orang-orang di sekitar yang memberi dukungan. Kemudian, jadikanlah dukungan tersebut sebagai pendorong untuk terus maju. Penulis adalah mahasiswa Geografi. Tahun 38 Maret-April 2016 |
25
Repro Internet
Info
Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd. (Alm.),
Penjunjung Tanggung Jawab dengan Kerendahhatian Oleh Asep Sunandar
S
elepas Subuh, Jumat (11/03) penulis membuka laptop untuk mengerjakan tugas yang diminta oleh bagian fakultas. Pada pukul 05.49 ada sebuah pesan masuk melalui Whatsapp berasal dari Ketua Jurusan Administrasi Pendidikan UM yang memberikan sebuah kabar duka. Belum usai membaca keseluruhan isi pesan, ada sebuah panggilan masuk yang menanyakan apakah benar tentang berita duka meninggalnya Prof. Hendyat Soetopo.
26 | Komunikasi Edisi 303
Pertanyaan tersebut sontak membuat kaget. Ada apa dengan Prof. Hen? Kemarin (10/03) beliau masih membimbing mahasiswa di ruang dosen, sehat dan bugar. Beliau sempat membuat kopi, bercengkrama dan guyon dengan beberapa dosen senior. Kepergiannya sungguh sangat mendadak. Tidak ada berita sakit atau keluhan dari beliau kalau sedang merasakan sakit. Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd kini telah tiada. Guru, tentor, kolega, sejawat, dan orang tua bagi seluruh mahasiswa UM itu kini telah berpulang. Gaya Khas Perkuliahan yang dibina oleh almarhum tersaji dengan suasana santai, canda
gurau, tapi masih mengedepankan keseriusan. Penjelasannya inspiratif, membedah fakta dan menganalisis nilai di balik fenomena. Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis, menuangkan ide dan menemukan solusi atas permasalahan pendidikan yang sedang dibahasnya. Perkataan aaseeli yang diucapkan setengah bergurau menunjukkan kesenjangan fenomena dengan keharusannya. Layaknya penggambaran des sain and des sollen yang sering kita temui dalam sistem pendidikan Indonesia. Kedisiplinan adalah pegangan utama beliau, langkah kakinya cepat, emosinya stabil. Tidak pernah marah dan jika membahas suatu masalah dilakukan secara
Info
terfokus. Pada saat kuliah S3 bersama beliau ada suatu hal yang beliau tidak sukai, namun kemarahannya disampaikan melalui sindiran dan gurauan. Para mahasiswa diajak merenung dan meresapi kesalahan yang dibuat hingga akhirnya benar-benar sadar bahwa telah melakukan kesalahan yang beliau tidak sukai. Jabatan dan pangkat yang pernah beliau sandang tidak menjadikannya jumawa, susah ditemui dan sulit berkomunikasi. Pesan singkat dan telepon dari para mahasiswa yang ingin berkonsultasi dengannya selalu direspon. Pada saat rapat pun beliau menyempatkan mengangkat telpon mahasiswa. Ungkapan tersebut merupakan bagian kecil dari gambaran perilaku kesehariannya. Begitu banyak teladan yang dicontohkan, sebagai inspirasi perkembangan keilmuan manajemen pendidikan. Mendidik Pemimpin Sebuah ungkapan Abraham Lincoln (Fred R. David, 2011) If we know where we
are and something about how we got there, we might see where we are trending and if the outcomes which lie naturally in our course are unacceptable, to make timely change. Ungkapan tersebut menggambarkan suatu pemikiran strategis dalam menentukan sebuah keputusan. Lincoln sebagai salah seorang pemimpin dunia mengajarkan kepada kita untuk mengetahui dimana posisi kita dan bagaimana kita bisa mencapai tujuan. Kita diminta untuk mengamati trend dan jika hasilnya berupa kebohongan maka hal tersebut tidak bisa diterima untuk membuat perubahan di waktu yang tepat. Keberadaan kita merujuk pada analisis internal terkait dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki organisasi. Sementara itu kecenderungan dan balikan merupakan faktor eksternal yang harus diperhatikan organisasi dalam menetapkan langkah dan tujuan. Perjalanan organisasi pendidikan mensyaratkan tumbuhnya sumber daya internal sebagai sebuah kekuatan dan peluang yang ada di luar organisasi dimanfaatkan dengan maksimal. Layanan organisasi pendidikan tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu pengetahuan, namun meluas hingga terjadi transformasional ilmu, pengetahuan dan perilaku. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar yang hanya menyampaikan bahan ajar, tetapi turut membentuk pola pikir, perilaku, dan karakter peserta didik. Helen M. Gunter (2001) berpendapat Leadership in educational studies can be seen as the process and product by which powerful groups are able to control and sustain their interests. Pendapat tersebut mempertegas bahwa kepemimpinan di bidang pendidikan merupakan sebuah proses dan produksi sekelompok orang yang mampu mengontrol dan menjaga keberlangsungan ketertarikannya. Pendidikan merupakan wahana dalam melahirkan pemimpin baru. Proses pendidikan berjalan dengan bimbingan seorang pendidik yang menginspirasi hingga lahirnya pemikiran baru yang lebih konstruktif. Keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya terletak pada kesuksesannya dalam memimpin, tetapi juga kesuksesan dalam menghasilkan penerus kepemimpinannya. Pemimpin yang baik bukan pemimpin yang mampu mempertahankan kekuasaan dalam waktu lama, namun pemimpin yang dapat mendorong lahirnya generasi pemimpin baru yang dapat meneruskan cita-cita pemimpin lama. Gagasan-gagasan tersebut merupakan potret pijakan yang ditempuh mendiang dalam menanamkan jiwa kepemimpinan kepada para mahasiswa dan koleganya. Pemimpin hari ini harus memberikan kesempatan kepada yang muda untuk merasakan lika-liku dan
dinamikan memimpin sebuah organisasi. Generasi muda dipacu untuk memahami realita dan mampu menemukan solusi. Sistem pendidikan Indonesia masih membutuhkan banyak inovator dan kreator untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Pemimpin Pendidik Sebagai seorang pendidik mendiang berkesempatan menjabat pada berbagai posisi strategis di lembaga pendidikan. Pernah mejabat sebagai ketua jurusan (kajur), dekan, wakil rektor dan Ketua Dewan Pendidikan Kota Malang. Beberapa jabatan tersebut dipandangnya hanya sebagai sarana dan alat dalam menularkan pikiran dan karakter bagi para bawahannya. Aktivitas sebagai seorang pemimpin dimulai dengan role model kedisiplinan dan konsisten dengan janji. Kehadirannya di kelas selalu datang lebih awal dibanding dengan mahasiswa atau dosen junior yang menjadi team teachingnya. Jabatan sebagai Dekan dan Wakil Rektor 1 tidak menjadi alasan beliau tidak bisa mengajar. Jadwal perkuliahan Prof. Hendyat biasanya dimulai pukul 7.00 dan beliau selalu hadir sebelum waktu perkuliahan dimulai. Kalaupun tidak bisa hadir karena ada dinas ke luar kota dosen asisten dan mahasiswa selalu diberitahu. Pengakuan salah seorang rekan dosen junior yang mendampinginya berkata, “Jika beliau tidak bisa hadir dikelas, kami akan diberitahu dan kami diberikan bahan yang harus disampaikan di kelas�. Gambaran perilaku tersebut merupakan cerminan bagi yang muda untuk tetap memegang teguh tanggung jawab. Jabatan struktural di kampus atau ditempat lainnya jangan sampai mengalahkan tanggung jawab hakiki sebagai pendidik. Pendidik adalah pendidik apapun posisi dan jabatan yang diemban seorang pendidik harus bernilai pendidikan. Keberhasilan pemimpin di lembaga pendidikan terukur dari parameter seberapa banyak lulusan yang mampu berperan dan memimpin lembaga pendidikan. Pemimpin pendidik menempatkan dirinya dalam posisi melayani. Melayani yang dia pimpin dan melayani kemajuan yang dicapai anak didik yang dipimpin. Semoga sepeninggalan mendiang inspirator-inspirator pendidik yang mampu memimpin dan melahirkan pemimpin akan selalu bertumbuh dan berkembang. Menutup tulisan ini penulis sampaikan sebuah pepatah yang diposting salah seorang teman “nec beneficii immemor injuziae� yang mempunyai arti lupakan kepedihan jangan lupakan kebaikan. Semoga Almarhum ditempatkan di surga Allah SWT. Aamiin. Penulis adalah dosen Jurusan Administrasi Pendidikan
Tahun 38 Maret-April 2016 |
27
dok. Pribadi
Info
> Beberapa peserta yang turut memeriahkan festival.
Ber-MURI
dengan Tari 1000 Topeng Lebih Oleh Mistaram
S
uatu aktivitas bermakna, dalam suatu aksi kolosal, merupakan artefak yang mempunyai arti tiga wujud, yaitu: 1) wujud ide dan gagasan, 2) wujud aktivitas, dan 3) wujud benda. Wujud ide dan gagasan yang merupakan suatu rancangan yang melibatkan pikir dan nalar yang mengandung nilai estetika. Gagasan yang menengahkan ide yang berbunyi “kecil itu indah�. Hal tersebut sering terngingang di telinga kita. Pengembangannya berikut “kolosalpun juga indah�, adalah suatu ide dan gagasan yang memerlukan dukungan kesigapan dari pencetus ide tersebut, serta strategi yang jitu agar gagasan tersebut terwujud. Wujud aktivitas ini melibatkan ribuan orang dengan langkah, berlatih, dan berunjuk rasa bersama untuk menampikan tarian yang bernilai
28 | Komunikasi Edisi 303
sejarah Majapahit. Aktivitas yang diangkat kembali pada era industri kreatif di abad 21. Kebermaknaannya adalah upaya melakukan revitalisasi moral berkesenian dan moral berkarya kolosal. Wujud benda berupa topeng yang mempunyai nilai historis karena keberadaan topeng untuk menutup wajah di zaman Majapahit. Dalam suatu legenda bahwa Patih Gajah Mada seorang Mahapatih di zaman Kerajaan Majapahit, beliau mempunyai delapan puluh jenis topeng yang berbeda-beda dalam wujud fisiknya. Topeng-topeng itu digunakan menutupi wajah Patih Gajah Mada agar tidak diketahui pasti raut muka Gajah Mada yang sebenarnya. Seribu topeng lebih yang diangkat apada tahun 2016, berkaitan dengan berbagai aktivitas, yaitu memperingati 102 tahun Kota Malang dan merayakan Hari Tari sedunia, yang digelar UM dan ditarikan
di Stadion Gajayana Kota Malang untuk memecahkan rekor MURI. Pelaksanaan kegiatan tersebut untuk memecahkan rekor sebelumnya. Rekor sebelumnya pernah dipecahkan oleh Kabupaten Kediri dan Kabupaten Banyuwangi. Akhirnya Kota Malang bekerja sama dengan UM. Dimotori oleh Program Studi Seni Tari di Fakultas Sastra UM. Nilai Estetika Tari Topeng Kolosal Nilai estetika pada saat festival tari 1000 topeng di UM yang ketujuh menunjukkan nilai-niali estetika dalam wujud fisik dan estetika non fisik. Para penari menggunakan ragam hias, topeng, aksesoris, dan pakaian yang berbeda-beda. Namun, tetap merupakan suatu kesatuan yang harmoni. Unsur-unsur properti dalam tari Topeng ini dipenuhi secara lengkap, mulai dari irah-irahan, topeng, sampur, selendang
Info
dok. Pribadi
Barisan penari topeng ceria bak pelangi.
dok. Pribadi
Museum Rekor Indonesia (MURI) Universitas Negeri Malang juga banyak mendapatkan penghargaan MURI. Penghargaan MURI di UM yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah lomba menggambar yang diikuti oleh lima ribu orang pada Ulang Tahun UM ke-50 yang lalu. MURI yang didapat di tahun 2016 ini adalah jumlah penari Topeng Malangan sejumlah 1300 penari. Pada tahun berikutnya MURI ini harus dipecahkan lagi dengan jumlah penari mencapai 1500 orang. Ini merupakan target antara UM dengan Pemerintah Kota Malang. Ada yang menarik dari festival ini, yaitu pementasannya dilaksanakan pada hari Jumat dan sebagian penari adalah laki-laki dan beragama Islam. Sebagai seorang muslim yang berkewajiban melaksankan salat Jumat, ternyata untuk mengantisipasi hal tersebut, mereka telah mempersiapkannya dengan seksama. Penulis adalah dosen Seni dan Desain.
Melestarikan budaya nusantara melalui festival tari.
dok. Pribadi
Nilai Nuturant Effect dalam Tari Topeng Kolosal Nuturant Effect dalam kegiatan tari kolosal ini berkaitan erat dengan aktivitas sosial. Maksudnya, adanya nilai kebersamaan dalam tarian yang melibatkan antar personal para penari yang berasal dari berbagai sekolah dan kemampuan berkolaborasi, serta saling menghargai antar sesama penari. Selain nilai sosial terdapat nilai pula nilai pendidikan, yaitu nilai-nilai untuk belajar menari, berlatih bersama, dan dimulai dari pelatihan para guru di SMP dan SMA. Nuturant Effect yang lain adalah kegiatan seni dan pariwisata. Kegiatan ini mempunyai nilai kebersamaan antar lembaga, yaitu antara Universitas Negeri Malang dengan Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kerja sama perlu dipupuk dan dikembangkan karena kedua lembaga tersebut saling membutuhkannya.
dok. Pribadi
dan gongseng. Estetika dalam gerak saat berpentas di lapangan merupakan gerakan yang harmoni, seperti tiupan angin yang menggerakkan pepohonan, sehingga keselarasanpun dapat dirasakan dari keindahan gerakannya. Dari tinjauan estetika non fisik dapat dideskripsikan bahwa ‘kebersamaan’ merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan rasa indah. Selain itu, motivasi untuk dapat menampilkan tari secara bersama-sama dengan suasana panas terik matahari, tidak menjadi halangannya. Kesungguhan menyuguhkan suatu tarian yang bersifat kolosal di tengah Stadion Gajayana merupakan motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang berpadu mewujudkan tarian yang bernilai kebersamaan.
Lenggok gemulai penari melengkapi festival.
Tahun 38 Maret-April 2016 |
29
Foto: Maulani
Up To Date
Penanaman etika dan estetika guru oleh Dr. Faridati Zen.
Prakondisi Menuju Guru Profesional
T
ercatat sebanyak 127 peserta pasca SM3-T angkatan IV mengikuti orientasi di Lanal Malang sebagai langkah awal dalam menjalani Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama dua semester (1720/03). Satu peserta harus dipulangkan karena keadaan fisik yang kurang optimal. Pada semester pertama, pembelajaran akan dilakukan melalui workshop dan dilanjutkan dengan praktik di sekolah-sekolah yang telah ditentukan. Program ini bertujuan untuk menyiapkan guru menjadi pendidik yang profesional. “Menjadi guru profesional harus memenuhi empat kompetensi ,yaitu
30 | Komunikasi Edisi 303
pedagodik, kemampuan profesional, sosial, dan kemampuan kepribadian. Terkait dengan beberapa hal tersebut, diadakannya orientasi ini bertujuan untuk membekali mental mereka sebelum mengikuti kuliah PPG yang nantinya akan dijalani selama setahun,� jelas Dr. Makbul Muksar, M.Pd., M.Si selaku Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan Pembelajaran (LP3) Universitas Negeri Malang (UM). Etika dan estetika seorang guru bukan hanya terkait benar atau salah. Ada spesifikasi tertentu sehingga guru dapat dipandang sebagai pribadi yang unik dan khas. “Dalam konteks profesi guru tentu berbeda dengan artis dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian, bertutur kata dan juga bertindak,� tutur Dr. Faridati Zen sebagai salah satu pemateri. Adanya kegiatan orientasi ini juga meninggalkan kesan-kesan tersendiri bagi peserta, salah
satunya Nurul Amalia. Bagi pendidik yang pernah mengabdi di Kabupaten Sorong, Papua Barat ini, waktu pembekalan selama tiga hari memberikan banyak manfaat bagi diri sendiri dan juga sesama. Manfaat tersebut di antaranya kedisiplinan, menggunakan waktu dengan baik, menghargai makanan apa adanya, serta pentingnya berbagi dan sikap toleransi. Seorang guru bertugas menanamkan nilai-nilai kebaikan seumur hidup kepada murid-murid yang diajarnya. Tanggung jawabnya tak hanya tertuang pada lembaran kertas dan jasanya tak terukur oleh besaran angka. Menjadi guru bukanlah suatu profesi yang ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikat saja, tetapi menyangkut hati. Ketika sudah bercita-cita sejak awal menjadi guru, mereka juga harus mengenali dirinya sebagai pengemban tugas kemanusiaan yang mulia.Maulani
Oleh Rini Indra Wati
Tema Komik Edisi depan 304 (Mei-Juni 2016) adalah Hari Pendidikan Nasional Komik bentuk soft file dan print out dapat dikirim langsung ke Kantor Redaksi Majalah Komunikasi Gedung A3 Lantai III UM atau via email: komunikasi@um.ac.id selambat-lambatnya tanggal 25 Mei 2016. Ukuran komik 21x25 cm full color.
Tahun 38 Maret-April 2016 |
35
Laporan Khusus
Membijaki Kaum LGBT ilustrasi oleh Aji Setiawan
I
stilah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) digunakan untuk kelompok orang yang memiliki orientasi nonheteroseksual. Di beberapa negara ada yang menambahkan unsur “Q” dalam golongan ini, menjadi LGBTQ. Huruf terakhir yang ditambahkan memiliki arti queer, yaitu orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka. Keberadaan mereka sering menjadi perdebatan banyak orang, entah dari permasalahan mengenai status hukum maupun menurut pandangan agama. LGBT mulai marak diperbincangkan akhir-akhir ini, meskipun pada kenyataannya keberadaan LGBT telah ada dari tahun 90-an. Maraknya LGBT dimulai dari disahkannya undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis di Amerika. Dari sinilah kelompok-kelompok sejenisnya ingin menuntut hak mereka untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu pula yang terjadi di Indonesia dengan adanya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan yang membuat kelompok-kelompok tersebut merasa terkekang haknya dalam menunjukkan jati dirinya. UndangUndang No 1 Tahun 1974 Pasal 1 itu berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Riuhnya pemberitaan tentang LGBT tak dapat dielakkan dari mulai munculnya pertanyaan-pertanyaan di kalangan masyarakat. Dapatkah keberadaan kelompok tersebut ditoleransi atau tidak? Kesimpangsiuran perbincangan tentang LGBT hanyalah suatu perdebatan tanpa ada ujungnya. Hal ini karena topik yang diperbincangkan adalah suatu hal yang sangat riskan di kalangan masyarakat. Namun, perbincangan tak berujung itu bukanlah sekadar perbincangan. Kelompok-kelompok itu tetaplah kelompok yang melakukan pergerakan untuk menunjukkan keeksistensiannya. Wujud eksistensi dari kelompok tersebut mulai merambah ranah kampus. Kawasan yang seharusnya ditempatkan sebagai sarana belajar menjadi tempat berkembang pula untuk kelompok seperti ini. Dilihat dari kacamata pendidikan seorang individu tidak dididik untuk menjadi seorang lesbian, gay, biseksual, transgender,
32 | Komunikasi Edisi 303
atau perilaku menyimpang lainnya. Memang dari kampus tidak ada kebijakan tertulis mengenai hal seperti ini. Menjawab isu berkembangnya kelompok tersebut, beberapa civitas akademika UM mengutarakan pendapatnya. “Seharusnya ada follow up dari pihak UM untuk menghadapi masalah seperti ini jika kelompok ini dinilai sudah benar-benar memasuki wilayah UM,” ungkap mahasiswa Sejarah, Khendro Hutomo Laynani. Khendro juga mendukung penuh apabila dari kampus menyediakan kegiatan-kegiatan yang bersifat positif untuk menangani hal seperti itu. Pravissi Shanti S.Psi., M.Psi, dosen Psikologi UM mengaku prihatin, “Kampus yang sebenarnya tempat untuk belajar malah menjadi tempat untuk hal seperti ini”. Ia juga menegaskan pentingnya sosialisasi dalam hal penanganan masalah ini. Dalam hal ini penanganan yang bersifat langsung kepada seseorang yang terlibat di dalamnya kurang efektif, atau bahkan nantinya dapat menimbulkan konflik baru. Karena dalam proses seseorang ingin sembuh membutuhkan kesadaran diri dari individu itu secara langsung. “Kita tidak bisa mengatakan mereka salah. Kita harus bisa merangkul mereka supaya keinginan untuk sembuh itu ada. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh mereka yang ingin sembuh. Seperti datang ke psikolog yang paham dengan keadaan mereka, ataupun lembaga langsung yang melayani konseling seperti P2BKM LP3 UM,” tambahnya. Secara Islam penyembuhan ini juga dapat dilakukan melaui ruqyah. BDM Al-Hikmah UM adalah salah satu yang dapat membantu mereka sembuh melalui kegiatan tersebut. “Kami membantu mereka yang ingin sembuh dari masalah mereka dengan ruqyah ini. Berbagai macam masalahpun kami dengan sukarela membantu,” ungkap Rahmadianoor sebagai Ketua Umum BDM Al-Hikmah saat ditemui di sekretariatnya. Kita sebagai kaum yang terpelajar seharusnya lebih bisa untuk memilah secara cerdas tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Tidak ada yang salah memang dalam hal ini. Marilah kita rangkul saudara kita untuk ke depannya lebih baik. Mari kita bantu mereka bersamasama sehingga kampus kita tercinta UM menjadi lingkungan yang nyaman untuk menimba ilmu sebanyak mungkin.Kru Komunikasi
Laporan Khusus
Parkir UM
Foto: Shintiya
antara Harapan dan Kenyataan
S
impang siur mengenai penerapan kebijakan parkir cukup meresahkan di kalangan mahasiswa. Pasalnya, dalam pelaksanaan terjadi hal-hal yang tidak sesuai sehingga menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa. Awal 2016 lalu, tarif parkir dinaikkan menjadi Rp 1000 untuk roda dua dan Rp 2000 untuk roda empat. Namun, kenaikkan tarif tersebut mendapatkan protes dari beberapa pihak. Dari situlah, tarif parkir dikembalikan seperti semula, Rp 500 untuk roda dua dan Rp 1000 untuk roda empat. “Sebenarnya pihak kami tidak setuju dengan adanya kenaikan tarif. Pada saat itu, terjadi kesalahan teknis pada Surat Keputusan (SK). Jadi, tetap kami laksanakan karena itu sebuah peraturan, sambil menunggu hasil pastinya,” ungkap Iwan Budiono selaku ??? Isi SK yang sebenarnya berbunyi “Bagi pengendara motor civitas akademika tarif parkir Rp 500 dan masyarakat umum Rp 1000. Namun, dalam SK hanya tercantum bagi pengendara motor civitas akademik saja. Beberapa bentuk protes muncul dan dibuatlah kembali kebijakan parkir seperti sedia kala. Di tengah kesimpangsiuran kebijakan parkir tersebut, ternyata dalam praktiknya telah terjadi beberapa ketidaksesuaian. Seperti yang dialami salah satu mahasiswa dari salah satu fakultas. Ketika ia keluar dari area parkir fakultas tersebut, karcis yang ia miliki diminta oleh petugas parkir.
Padahal saat itu, karcis tersebut masih akan ia gunakan lagi untuk masuk area parkir. Mengklarifikasi hal tersebut, Ahmad Muam berujar, “Jika sudah ada stempel masuk dan keluar, karcis itu tidak dapat digunakan lagi. Karcis tersebut hanya digunakan sekali saja,” ungkapnya selaku Kasubag Rumah Tangga. Nyatanya, jadwal kuliah mahasiswa tidak selalu berkelanjutan. Selama menunggu kuliah biasanya ada mhasiswa memutuskan untuk pulang. Selain itu, mahasiswa yang memiliki kepentingan di fakultas lain yang jaraknya agak jauh, ia akan menggunakan motornya dan menggunakan lokasi parkir yang lain. Hal ini otomatis membuat mahasiswa tersebut tak hanya sekali dua kali memarkirkan kendaraannya. “Karcis itu hanya digunakan sekali pakai saja. Namun, untuk mengatasi mahasiswa yang berpindah-pindah. Kita fleksibelkan,” ujar Muam. Ketidaksesuaian lainnya pun terjadi. Ketika ada mahasiswa yang hendak membeli kacis di salah satu lokasi parkir fakultas, kebetulan karcis parkir fakultas yang bersangkutan habis. Hal ini membuat petugas parkir tersebut memberi karcis bekas dengan mencoret plat nomor yang lama dan mengganti dengan menuliskan plat nomor yang baru. Kejadian itu terjadi di salah satu fakultas pada Rabu (06/04). “Salah, karcis yang terpakai tidak boleh dipakai lagi,” timpal Muam menanggapi kejadian itu.
Prosedur tentang pembelian karcis parkir sebenarnya dilakukan di pintu gerbang masuk. Namun, dikarenakan pada saat masuk terjadi antrian panjang dan dapat membuat mahasiswa telat maka sebagian dari antrian itu diperkenankan langsung masuk. Tak hanya itu, kembali ketidaksesuaian didapati. Di salah satu parkir fakultas ada yang mengeluarkan karcis sendiri. Jadi, karcis itu berwarna putih, tidak seperti karcis UM seperti biasanya yang berwarna merah, biru, dan hijau. “Hal ini bisa dikatakan ilegal. Namun, karcis itu mengamankan area parkir fakultas itu sendiri,” ungkap Iwan. Iwan juga menambahkan, “Karcis seperti itu tidak dapat dibawa keluar. Pasti setelah keluar dari area parkir oleh petugas akan langsung disobek. Hal itu rawan. Bisa jadi karcis itu memang dikeluarkan dari fakultas tersebut atau pihak lain yang membuatnya sendiri,” lanjutnya. Karcis resmi dari universitas memang tidak diedarkan ke pos-pos parkir tiap fakultas. Namun, ada juga parkir fakultas yang menggunakannya. Untuk penggunaannya itu harus melalui proses perizinan. “Sebelumnya juga, kami sudah menelusuri hal-hal seperti itu. Namun, sayangnya kami tidak menemukan,” ungkap Iwan. Lalu Muam menutup perbincangan, “Laporan seperti ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi kami untuk memperbaiki sistem yang semrawut ini”.Kru Komunikasi
Tahun 38 Maret-April 2016 |
33
Wisata
Sinergi Kota Gudeg dan Majalah Kabare Memintal ilmu melalui seluk beluk penerbitan pada Majalah Kabare, dilanjut dengan bertandang ke Museum Vredeburg.
P
erjalanan para kru Majalah Komunikasi ke Yogyakarta mengantarkan kami untuk menelisik dapur redaksi Majalah Kabare. Berbagi cerita dengan pentolan-pentolan majalah Jogja tersebut. Majalah yang memiliki brand name “Citra Pesona Budaya� dengan tokoh-tokoh nasional yang diangkat sebagai headline setiap satu bulan sekali. Penyajian majalah selama tiga belas tahun didesain dengan pangsa pasar usia 30-35 tahun. Jadi tak mengherankan jika isi dari majalah ini lebih dominan dengan foto. Alasannya, bahwa
34 | Komunikasi Edisi 303
pembaca tak ada waktu untuk menelisik satu persatu kata dan kalimat. Cukup dengan beragam foto menjadi ilustrasi informasi yang disajikan. Tercermin pula pada cover majalah dari edisi ke edisi yang mengambil view para tokoh berbaju rapi. Tak sedikit diisi dengan background batik khas kain Jawa yang mengiringi dominasi senyum para biografi tokoh. Obrolan hangat menambah tali silaturahmi kami. Mulai dari perbincangan mengenai rapat edisi yang telah dirancang dari tiga bulan sebelumnya hingga proses distribusi. Majalah Kabare yang berfilosofi
merekatkan alumni Jogja dengan segala peristiwa di kota gudeg, juga memiliki strategi pemasaran secara nasional, khususnya Jakarta. Majalah Kabare membagi ilmu pada kru Komunikasi untuk melihat peluang bisnis dari sebuah pemasaran. Menyalurkan hobi juga menghasilkan profit. Perbincangan kami kali ini mampu mengobati keletihan selama perjalanan satu malam dan nyaris nyasar di tanah orang. Harus berkeliling kota Jogja terlebih dahulu untuk menemukan markas redaksi Majalah Kabare. Terletak di tengah pemukiman padat, jalan dan gang-gang
Repro Internet
dok. Komunikasi
Wisata
dok. Komunikasi
Kru Komunikasi di sela-sela waktu menuju kantor Redaksi Majalah Kabare.
Kru bersama Redaktur Pelaksana dan Dewan Penyunting Komunikasi saat mengabadikan momen di kantor Redaksi majalah Kabare.
kecil. Lingkungan yang masih rimbun dengan tanaman hijau. Sedikit memberi kesejukan pada kami yang diterjang terik matahari kota Jogja. Sedikit terpuaskan pula saat menemukan spot cozy di sepanjang perjalanan ke tempat bernomor 67-A. Bisa senyum sana sini di pantau lensa kamera. Di sudut graffiti tepatnya, juga di bawah plang bertulis “Kabare Magazine, Di Meja Siapa, Di Baca Siapa�. Tak hanya itu sesi jeprat-jepret kami. Usai sowan ke Majalah Kabare, tak menunggu lama kamipun melanjutkan perjalanan ke Malioboro. Di tempat ini para kru Komunikasi dibebaskan untuk bergerak kemanapun yang disukai. Tempat yang tak asing lagi bagi wisatawan yang masih khas dengan
budayanya ini. Wisata kuliner dan fashion rata jadi satu di sepanjang jalanan Malioboro. Tak kalah seru pula wisata sejarahnya. Jika kita berjalan kaki dari perlimaan Malioboro ke arah pusat keramaian pasar. Sebelumnya kita akan menemukan bangunan tua yang menjorok kedalam diapit parit dan harus melewati jembatan. Letaknya di sebelah kanan dari jalan raya Malioboro. Museum benteng Vredeburg namanya. Benteng peninggalan VOC yang kini menjadi objek wisata edukatif. Kami bertujuh dari sebagian banyak kru Komunikasi tak perlu merogoh kocek yang dalam. Cukup dengan Rp 2000 kami bisa menikmati nuansa perjuangan pahlawan kita di negeri ini. Masuk di pintu museum, kami sudah di sambut dengan
miniatur tugu Jogja di pusat halaman yang diapit oleh gedung berjendela besar. Hanya ada dua warna di gedung museum ini, krem dan abu-abu di daun pintu. Melirik ke kanan, kita akan disuguhi dengan cafĂŠ bergaya vintage. Ke kiri, kita akan menemukan sumber suara yang telah menarik perhatian saat kami memasuki pintu masuk. Gedung sinema perjuangan yang juga memutar rol lagu kemerdekaan. Tak lepas dari itu. Masih ada tang-tang perjuangan yang dipamerkan di sini. Juga miniatur dari awal perjuang hingga berakhir. Inilah perjalan edukatif para kru Majalah Komunikasi sebagai oleh-oleh. Siap untuk kembali ke Malang dan bertempur dengan senjata pena kami masing-masing.Arni
Tahun 38 Maret-April 2016 |
35
Rancak Budaya
Gadis Genjer
ilustrasi oleh Aji Setiawan
Oleh Dhianita Kusuma Pertiwi
E
mak’e thole teko-teko mbubuti genjer Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Kulihat bibirnya yang manis dan penuh itu masih bisa bernyanyi dan suaranya masih mampu membuatku tertegun terpesona. Aku mengenal gadis itu pertama kali saat jalannya masih tertatih dan tangannya digandeng oleh ayahnya. Masih kuingat raut wajahnya yang lucu dan tawa renyah yang meledak dari bibirnya yang basah. Tidak hanya dia yang menjadi sorotan perhatian, namun juga sang ayah. Seorang pria sederhana yang disegani karena sikap
36 | Komunikasi Edisi 303
dan pemikirannya, bersahaja dan merakyat. Dengan bekal itu juga ia membesarkan putrinya yang manis. Sederhana, terbukti ia tidak pernah bersolek atau memakai pakaian yang berlebihan kecuali saat pentas. Gadis yang mulai beranjak dewasa itu telah terbiasa dengan panggung sejak usianya sangat muda. Ia suka dan bisa menari, bernyanyi atau bersajak. Sepertinya apapun yang ia suka akan menjadi hal yang indah untuk dinikmati. Seperti bagaimana ia menunjukkan kecantikannya dalam kesederhanaan, tubuh langsing yang dibungkus kebaya. Dan semakin matang usianya, semakin tak bisa kuhindari penglihatanku untuk mengaguminya.
Namun ini tidak semata nafsu, aku juga ingin menjaganya sebisa aku mampu. Sebisa bagaimana aku akan menemaninya bernyanyi, menari di atas panggung. Mendapati senyuman lepasnya saat mendengar tepuk tangan riuh dari para penonton. Juga mendengarkan sedu sedan tangisnya yang didorong rasa kerinduan akan ibunya. Di tengah tangisnya ia sering bercerita bagaimana ia ingin menjadi seperti ibunya yang seorang penari. Ia juga ingin menari di Istana Negara, menghibur tokoh yang selalu dikaguminya dan menjadi inspirasi pedoman hidup ayahnya, yakni Presiden Sukarno. Perempuan yang kukagumi ini selalu ingin bisa mendapatkan kesempatan bertemu presiden dan
Rancak Budaya bermain di suatu perjamuan makan malam untuk menghibur para tamu presiden. Biar tidak hanya orang-orang kampung yang bisa menikmati penampilannya, biar ia bisa membuat ayahnya yang sederhana itu lebih bangga dengannya. Ah, betapa ia memiliki harapan yang sangat indah, seindah gemulai tubuhnya dan nada yang keluar dari mulutnya. Maka aku telah meyakinkan diri untuk setia di sampingnya. Bahkan aku berharap jika suatu saat dia mendapatkan kesempatan untuk menari di hadapan Presiden Sukarno, aku akan diajaknya ke atas panggung dan tampil bersamanya. Untuk mengusap air mata haru yang mungkin akan menetes dari bola matanya dan meyakinkannya bahwa ibunya pasti merasa bangga telah melahirkan putri seperti dirinya. *** Akhir-akhir ini kami semua sedang gandrung. Gandrung menyanyikan sebuah lagu buatan pemuda asal tanah Banyuwangi. Judul lagu itu Genjer-Genjer, dan hampir setiap sore kami menyanyikan lagu itu bersama-sama. Begitu juga dengannya, ia juga ikut gandrung menyanyikan lagu dengan lirik sederhana namun sarat makna tersebut. Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak Setengah mateng dientas yo dienggo iwak Setengah mateng dientas yo dienggo iwak Kusadari ia selalu menyelipkan sejurus senyum sebelum ia menyanyikan larik terakhir dari lagu tersebut. Sebuah senyum yang menggambarkan betapa sederhananya kehidupan kami sebagai petani, dan akan selalu berusaha menyediakan yang terbaik untuk disajikan di atas meja makan besar keluarga kaya di daerah perkotaan. Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco Genjer-genjer dipangan musuhe sego Dan tidak ada yang bisa mengalahkan manis senyumannya setiap kali ia mengakhiri nyanyiannya dan saat musikku berhenti. Semua orang lalu melemparkan pandangan matanya pada gadis itu dan menimpali tawa manisnya sejurus. Malam ini nyanyian Genjer-Genjer akan dinyanyikan di hadapan para petani yang akan datang berkumpul dalam tempat ini. Bukanlah sebuah pesta jamuan makan malam yang megah, hanya sebuah pertemuan rutin untuk membicarakan ideologi sosialis yang secara teorinya lebih mengedepankan hak dan suara petani serta buruh, di balik suara retorik para pejabat. Ayah dari perempuan yang kukagumi itulah yang biasa memimpin pertemuan. Karena sesungguhnya penampilannya yang sederhana itu membungkus sebuah
pemikiran dalam hasil belajar sepanjang umurnya, hasil membuka telinga dan hati untuk mendengar semua keluh kesah para petani yang bekerja tanpa ada hari libur atau jatah cuti. Semua orang punya hak yang sama untuk berbicara dan berbagi keluhan. Aku dengar orang-orang di pusat kota memanggil kami sebagai orang-orang ‘kiri’. Sering aku bertanya kenapa kami dijuluki kiri, sedangkan mereka yang tidak pernah datang ke dalam pertemuan kami adalah orang-orang kanan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu bahwa ada nilai yang berbeda dari dikotomi kiri dan kanan; kiri identik dengan hal-hal yang buruk dan berlaku sebaliknya untuk sisi kanan. Karena itu penggunaan tangan kiri dianggap tidak baik, terutama saat berinteraksi dalam lingkungan. Apakah kami termasuk dalam orang-orang yang tidak baik? Yang kupikirkan kemudian adalah bagaimana kelanjutan mimpinya? Akankah karena kebetulan ia lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan kiri ia tidak akan mampu mendapatkan kesempatan menjejakkan kaki di Istana Negara yang berubin porselen dan menghibur sang presiden? Mereka telah berdatangan dan duduk bersila memenuhi sudut-sudut ruangan yang hanya beralaskan karpet hijau tipis. Bisa kulihat dari raut wajah mereka, ada begitu banyak kata-kata yang akan mereka bagi di tengah perkumpulan malam ini. Dari keluh kesah hingga semangat membara untuk tetap berjuang atas nama keluarga dan bangsa. Kulihat perempuan yang selalu kudamba itu tengah merias diri, mempersiapkan pakaian yang akan dikenakannya untuk menghibur para tamu dan ayahnya yang bangga akan dirinya. Tentu saja juga membahagiakan kau, walaupun pasti ia tidak sadari itu. Lihat dirimu, cantik, pasti kau bisa meraih cita-citamu yang selalu kau usahakan selama ini. Pasti kecantikan dan kemampuanmu menari sambil bernyanyi akan mampu mengeluarkan dirimu dari kampung ini. Hanya saja aku selalu berharap kau akan mengajakku kesana dan tidak meninggalkanku sendiri di sini. Waktunya untuk maju ke atas panggung, dan aku telah siap di sisi. Dengan setia menemaninya bernyanyi, dengan alunan ritme untuk menuntun tempo musik. Sejak baris pertama yang ia nyanyikan, aku bisa merasakan seluruh tubuhku bergetar dan aku termangu. Kulihat mata mereka juga mengikuti gerakan tangan dan langkah kakinya yang anggun menelusuri panggung sederhana itu. Lalu kudengar deru mesin dari luar rumah, kencang dan menembus atmosfer malam. Aku yakin itu adalah mobil-mobil besar, dan mereka berhenti tepat di depan rumah. Namun kulihat tidak ada yang
memperhatikan suara itu, mereka terpaku dengan penampilan sang primadona di atas panggung. Tidak lama kemudian kudengar suara langkah kaki, dan dapat kupastikan itu datang dari para pria yang memakai sepatu bot tebal, langkahnya berat dan teratur. Pintu yang terbuka pun langsung dirangsek masuk, tidak ada salam yang mendahuluinya. Semua kepala menoleh ke arah pintu, dan mulut pun ternganga. Kulihat perempuanku pun termangu melihat barisan itu, namun ia terus bernyanyi. Barisan petugas berseragam telah siap dengan senjata laras panjang mereka, dan kuyakin semuanya penuh dengan peluru panas yang siap diluncurkan. Para tamu berdiri, namun tidak ada senjata yang bisa mereka persiapkan, dan suara tembakan pertama terdengar. Dari dalam dapur terdengar suara teriakan merobek suasana malam yang menegang. Beberapa dari mereka berlari keluar rumah, namun langkah mereka terhenti oleh timah panas yang menembus dada atau kepala mereka. Darah berceceran di atas karpet itu, sebagian mewarnai hidangan yang tersaji. Nyanyian pun terhenti, meninggalkan aku yang masih terdiam dan sang primadona yang tergeletak bersimbah darah di atas panggung. *** Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk menyembuhkan luka di dadanya, andai aku bisa berdiri dan melawan para tentara yang diberi tugas oleh negara untuk membasmi kaum kiri itu. Namun aku hanyalah sebuah boning yang hanya bisa terduduk manis di pinggir panggung, membiarkan tubuhku dimainkan, merangkai nada untuk menjadi iringan musik nyanyiannya. Ya, aku hanya sebuah alat musik mendamba seorang anak manusia yang kepalanya dipenuhi oleh mimpi dan bibirnya dibasahi oleh nada lagu Genjer-Genjer. Sampai sinikah? Pertanyaan memburu di dalam pikiranku, menyerang alam bawah sadarku. Benarkah hanya sampai sini saja perjuangan kami? Jadi dia tidak akan keluar dari rumah ini dan melangkah di dalam istana negara untuk menghibur presiden? Kulihat tidak hanya tubuhnya yang tergeletak tidak berdaya di sana, namun juga pemakaman umum harapan mereka yang diambil begitu saja dengan senjata laras panjang. Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak Setengah mateng dientas yo dienggo iwak Bibir perempuan itu masih bergerak, suaranya pun masih merdu. Dan ia memberikan sepotong senyum, sebuah senyum yang penuh makna. Mungkin kemenangan atau pembalasan dendam. Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris. Cerpen ini Juara III kategori Cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015
Tahun 38 Maret-April 2016 |
37
Puisi-Puisi Nida Anisatus Sholihah Menjemput Taaruf Mata kita berpeluk Teduh di cakrawala hati Yakin akhirnya tersemat di kedalaman Gelombang ombak benak Getaran jiwa dan letup kalbu Tak mampu redam degup yang menyusuri bilik hati Kau-aku menjemput taaruf
Pertemuan Kedua Berkelana ke kamar hati Menapaki jejak Jejak lelaki asing bertemu santun perilaku penyejuk kalbu
Tanda Mahabah
sabda istikharah malam: rupawan takzim juga menawan resah telah sirna dentum hati menyemai cinta
Dari cahaya kecil yang sinarnya tampak terputus-putus : bintang di cakrawala hati semakin bersinar Gendang telah ditabuh manik dan benang cinta telah disulam merenda mewah kebaya yang membalut wanginya tubuh ilustrasi oleh Aji Setiawan
Aroma mekar kembang melati-mawar bersahut-sahutan kita bagian golongan Rasul menyempurna iman dalam mahligai bahagia Di atas pelaminan kau dan aku melukis rasa yang menjadi tanda mahabah
dalam bingkai rida Nya
Penulis adalah alumnus Jurusan Sastra Jerman UM dan Redaktur Pelaksana Majalah Komunikasi.
Serpih bulir-bulir padi ditempa bakti diri. Raga kehilangan rupa, lupa usia menapaki senja.
Tanah berakar dan berdaun ia genggam dengan eratnya. Di tepian mengurung gelisah menanti teriknya berubah jadi tanah basah.
Lokasi Fotografer Jurusan
Lokasi Fotografer Jurusan
: Persawahan Kota Pasuruan : Ahmad Bahrudin Yusuf : Geografi
: Alun-alun Kota Kediri : Farah Adiba Nailul Muna : PGPAUD
Ketika senja menghias cakrawala, tak berarti cita temui akhirnya. Harapan kan membawa takdirnya. Lokasi Fotografer Jurusan
: Pelabuhan TPI, Pasuruan : Mufidah Aulia : Biologi
Hidup adalah pilihan, pilihan untuk memilih jalan, jalan yang dilalui untuk kehidupan. Lokasi Fotografer Jurusan
: Stasiun Kota Baru Malang : Gista Setya Astuti : Pendidikan Luar Biasa
Seluruh civitas akademika UM dapat mengirimkan karya fotografi dengan tema dan tempat bebas dalam bentuk soft file yang dikirim langsung ke Kantor Redaksi Majalah Komunikasi Gedung A3 Lantai III UM atau via email: komunikasi@um.ac.id selambat-lambatnya tanggal 25 Mei 2016 disertai lokasi foto dan identitas diri (nama, fakultas, jurusan, dan nomor HP).
Oleh Gilbrania Affa