Program Studi
VOL.14/APR 2020
Lexikat: Piranti Pintar yang Tepat bagi Mahasiswa, Ilmuwan, dan Akademisi
A
khir-akhir ini, sering sekali kita mendengar keluhan dari para guru, dosen, maupun guru besar tentang kebiasaan membaca para peserta didik dan mahasiswa mereka. Jika diperhatikan dengan seksama, justru kebiasaan membaca orang pada umumnya meningkat tajam di era reformasi digital ini. Hanya saja terjadi pergesaran terhadap genre dan panjang teks yang dibaca. Orang, termasuk peserta didik dan mahasiswa, lebih cenderung membaca teks dan artikel singkat yang disebarkan lewat media sosial daripada artikel ilmiah atau buku-buku tekstual. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kita cenderung tidak menyukai membaca buku dan artikel ilmiah. Dua diantaranya adalah budaya instan yang menghalangi kita untuk membaca artikel serta buku yang panjang dan membutuhkan waktu untuk mencernanya. Setelah itu, belum tentu kita mampu memahami buku atau artikel tersebut. Di bidang Pemrosesan Bahasa Alami (Natural Language Processing), ada kajian atau analisis teks yang memungkinkan persoalan membaca seperti yang disebutkan tadi bisa diselesaikan dengan cepat. Analisis
foto:dok.Lucia
teks ini dinamai Topic Modeling yang fungsinya adalah mengekstraksi kata dan frasa penting yang bisa menandai topik-topik pembahasan dari sebuah teks. Dengan aplikasi yang menerapkan pemodelan teks ini, pembaca artikel dan buku tekstual hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja untuk mengetahui topik artikel yang dibacanya dan memungkinnya untuk membuat ringkasan isi dari sebuah teks. Caranya mudah saja, yakni tinggal menggungah atau menginputkan sebuah teks ke dalam aplikasi Text Modeling. Contoh nyata dari Pemodelan Topik Inilah yang menjadi materi Kuliah Umum
Prodi Informatika pada hari Jumat, 13 Maret 2020 di Ruang D.3.4. Pada kesempatan ini, CEO dari startup Vox Dei, Jenniffer Dodgson, menyampaikan produk andalan mereka yakni Lexikat, sebuah perangkat lunak yang melakukan pemodelan topik otomatis dari sebuah teks. Lexikat menerima teks dari berbagai genre, seperti artikel ilmiah, buku teks, skripsi, maupun kumpulan teks singkat. Visualisasi luaran Lexikat berbentuk klaster kata-kata dan frasa yang membentuk sebuah topik. Jennifer selanjutnya menjelaskan algoritma pembangunan Lexikat dan beberapa metode yang sebelumnya digunakan, kegagalan penerapan beberapa
metode juga dia ulas dalam kesempatan kuliah umum ini. Sebelum Jennifer menjelaskan tentang Pemodelan Topik dalam Lexikat, kuliah umum kali ini didahului oleh penjelasan pimpinan Block71 cabang Yogyakarta. Block71 merupakan inkubator startup yang didirikan oleh National University of Singapore (NUS) dan Salim Grup. Di Indonesia, Block71 membuka cabangnya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Block71 ini berfungsi sebagai pembangun dan penghubung ekosistem yang tugasnya adalah menghubungkan para pelaku startup agar mendapatkan akses pasar internasional sekaligus mendukung inovasi dan pengembangan kewirausahaan di Indonesia dan Singapura. Di akhir kuliah umum, disampaikan pula bahwa Lexikat berencana membangun pemodelan topiknya untuk Bahasa Indonesia sehingga Vox Dei membutuhkan beberapa pemagang di bidang NLP. Hal ini membuka kesempatan bagi mahasiswa Informatika UKDW untuk melakukan riset di Vox Dei yang bisa diambil sebagai Tugas Akhir mahasiswa. [LDK]
UKDW Tuan Rumah Audiensi Good Design Indonesia 2020
U
niversitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan sosialisasi dan audiensi “Good Design Indonesia (GDI) 2020”. Acara yang berlangsung pada hari Jumat, 13 Maret 2020 di Lecture Hall Pdt. Dr. Rudy Budiman UKDW ini merupakan kerja sama antara Program Studi (Prodi) Desain Produk UKDW dan Aliansi Desainer Produk Industri Indonesia (ADPII) Chapter Jogja dan diikuti oleh lebih dari 130 orang peserta yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, desainer, hingga para penggiat industri kreatif. Sejak tahun 2017, Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN), Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah rutin menggelar perhelatan GDI untuk memberikan apresiasi bagi karya desainer Indonesia. Eri Hojo, Senior Director dari Japan External Trade Organization (JETRO) menjelaskan bahwa konsep GDI merupakan adaptasi dari penghargaan karya
foto:dok.panitia
desain di Jepang yaitu G-Mark yang kini dikenal dengan sebutan Good Design Award. Ari Satria, selaku Direktur Pengembangan Produk Ekspor dari Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa GDI bertujuan untuk meningkatkan ekspor Indonesia dari sektor nonmigas serta memberikan nilai tambah bagi produk-produk dalam negeri yang kurang dikenal di mancanegara. Lebih lanjut Ari Satria menambahkan bahwa karya desain yang diperbolehkan mengikuti ajang GDI haruslah
foto:dok.panitia
diproduksi di Indonesia, didesain oleh desainer Indonesia, dan juga dipasarkan di Indonesia. Ajang yang sangat kompetitif ini didukung dengan keterlibatan juri ahli dari Japan Institute of Design Promotion (JDP) dalam proses penilaian karya GDI. Terdapat tiga kategori bagi pemenang yaitu GDI, GDI of the Year, dan GDI Best. “Setiap pemenang GDI akan memperoleh trofi, sertifikat yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Republik Indonesia, pengakuan untuk mencantumkan logo GDI
pada karya desain, publisitas produk pada berbagai pameran produk berskala nasional dan internasional, hingga fasilitas untuk berpartisipasi dalam ajang Good Design Award (G-Mark) di Jepang,” ujar Ari Satria. Tidak mengherankan jika para desainer dan pelaku usaha di bidang industri kreatif sangat antusias menyambut ajang GDI. Hal ini ditunjukkan dari jumlah peserta yang terus meningkat setiap tahun. Selain ajang GDI, dilaksanakan pula sosialisasi dan audiensi untuk kompetisi dan inkubasi “Innovating Jogja 2020” yang diselenggarakan oleh Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) dari Kementerian Perindustrian. Kompetisi ini terbuka bagi para wirausahawan yang memiliki bisnis inovatif di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompetisi ini bertujuan untuk menjaring ide bisnis baru di bidang industri kerajinan dan batik. Setiap tenant inkubasi yang terpilih akan memperoleh pendampingan bisnis, fasilitas di Litbang Produk BBKB, serta bahan produksi senilai 20 juta rupiah. [Christmastuti]
5
Program Studi
6
VOL.14/APR 2020
Learning a Second Language through Individual Differences: Five Factors that Influence my English Learning and My Reflection
E
very learner has different ways of learning, especially learning a second language. Their ways can be their characteristics also unique. The uniqueness of each individual will affect the way they think, feel, and act. No individual is the same as another individual, not even identical twins. According to Hummel, there are 8 factors of indifferences i.e. intelligence, aptitude, attitudes, motivation, personality, learning style, cognitive style, and learning strategies. In the following paragraphs, I will explain about five factors that influence my English learning and reflection on learning a second language. The first factor is personality. My test result trough MBTI is ESTJ-A (Extraverted, Sensors, Thinker, Judging, and Assertive). L2 researchers (Dewaele & Furnham, 1999) stated that an extrovert person has a low Short Term Memory (STM) than introvert; an extrovert person has profitable in conversation while an introvert person has Long Term Memory (LTM) and excess in activities requiring reflective attention and recourse to LTM (as in performance on grammatical tasks). I can see myself; I realize that I have excess for having a conversation with many people yet I have an STM. As an extrovert person, when I learn a second language I need to ask people for explanations so that I can understand. That happens many times, I can not easily understand what people said, and sometimes I need time to understand. I am a sensors person, it means I like to be a detail-oriented person and
structured about something. I am a thinker. When making a decision, I always see what the problem will happen and find the solution. I am a judging person, it means I always set my agenda so my activity will well-organized. The second factor is Learning Style; Reid (1987) developed a measure of perceptual learning styles in the form of the “Perceptual Learning Style Preference Questionnaire” (PLSPQ). This test was developed to identify various perceptual types: visual, auditive, kinesthetic. Through my test result in VAK Learning Styles, I got Auditory Style, which is relevant to me. When I learn a second language, I can easily remember when I listen to someone explain the material although there is someone teach with a visual method, I can keep in mind what someone has said. The third factor is attitude and motivation. According to Gardner, attitude can be defined as a tendency to respond for evaluating toward someone or something. In the second language, Gardner (1985) stated that motivation is an effort to learn a language, desire to learn the language, and attitudes toward learning the language. Motivation and attitude are related because that attitude will affect motivation and it will affect an acquisition. This is the formula: Motivation = Effort + Desire to achieve goal + Attitudes toward learning the language. According to Skehan (1989), Oxford and Ehrman (1993), there are two types of motivations. They are integrative and instrumental motivation. Integrative motivation is a concern in learning L2 because of the desire to learn about or to
associate with people who use it. Instrumental motivation is such as having business opportunities or just passing a course in school. My motivation in learning a second language is to be proficient in languages and passing in a course. To achieve that, I need effort and support from the people around me. Not only that, at the end of the course sometimes I do evaluate what I have done or what I should improve. The fourth factor is Multiple Intelligence. Gardner has given a set of different bits of intelligence which is an individual. There are nine bits of intelligence. Through the Multiple Intelligence Scoring Sheet, my test result is Musical, Inter-Personal, and Intra-Personal. From those results, I realized that my type of learning is learning with many people. I become a good listener for understanding what people discuss. Besides, I also like to listen to music while learning a second language. The last factor is Learning Strategies. Learning strategies have been defined as “specific actions, behaviors, steps, or techniques students use—often consciously—to improve their progress in apprehending, internalizing, and using the L2” (Oxford, 1990). According to Learning Strategies Classification (adapted from O’Malley & Chamot, 1990, Table 2.1, p. 46), there are three classifications of learning strategies: Metacognitive Strategies, Cognitive Strategies, and Social/affective Strategies. After seeing the classification, I realize my type of learning strategy is social/affective strategy. Related to my extrovert personality, I like
having a discussion and sharing with many people, then I reflect on what I have learned. All those factors have increased my ability to learn a second language. Yet sometimes I got many challenges in learning a language. I should motivate myself to have a desire to learn a language and I should push myself to work hard in learning something. Nevertheless, if I could not motivate myself, it is really helpful when someone motivates me in learning a second language. Furthermore, in the classroom, when the lecture explained the material, I need time to understand what the lecture said. On the other hand, I am an auditory person, so when the material is given by visual style, sometimes I can only remember it on that day. It is truly challenging for me because sometimes the lecturer asks a question about the last material in the next meeting. I need some effort to remember and if I have time, usually I read the last material before class so I can answer the question if the lecturer asks. Sometimes it will succeed. [Thesalonika D. W. P. B.] References Dornyei, Z. (2005). The psychology of the language learner: Individual differences in second language acquisition. New York: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Hummel, K. (2014). Introducing second language acquisition: Perspectives and practices. West Sussex: John Wiley & Sons, Inc. Pritchard, A. (2009). Ways of learning: Learning theories and learning styles in the classroom. 2nd Ed. New York: Routledge.
Individual Differences Factors That Help Second Language Learners
E
very person has various individual differences. God has created each of us with different kinds of things, physically and mentally. I learned in the Psikologi Belajar dan Pembelajaran class that even in learning language, we have different ways to learn. According to Hummel (2014), there are several individual differences that will help us in learning a second language, which are intelligence, aptitude, attitudes, motivation, personality, learning style, cognitive style, and learning strategies (p.194). The individual differences factors that were already mentioned before, play different roles in someone's individual. It means the level of someone’s individual difference is different from others. Some people might be a fast language learner by writing the vocabulary and memorizing it when others could not. It is because they have different individual differences factors. In the following paragraphs, I will explain some Individual differences through my personal test of ID tests (MBTI, VAK, MI). Firstly, intelligence is one of the biggest factors in learning a second language. From the MI (Multiple Intelligences) Test I took, the result showed that my Linguistic, Musical, and Kinesthetic intelligence were the highest. The definition of those multiple intelligences according to Pritchard (2009) are: Linguistic is the enjoyment of and facility with reading, poetry and all things literary and linguistic; Musical is the enjoyment of and facility with music – listening, playing and perhaps composing; Kinesthetic is the enjoyment of and facility with activities that involve touch and movement, dance, sports and other practical activities (p.34). As I began to reflect, since I was in the first
I can't go (by Siaga A.S.)
year of high school, I found out that I really enjoyed learning languages. I easily understood the lesson. There was a time when all the students were going to the second year of senior high school, we did an IQ test and some other test to determine which major is suitable for us. Surprisingly, my result was the language major and I believe that was why I can easily learn languages. Besides that, I got a lot of vocabulary in some languages (English, Korean, and Spanish) from songs. Rather than reading and memorizing it, I tend to just listen to some song, look for its meaning and unconsciously I remember it. Meanwhile, with kinesthetic, every time I study, I tend to stand up, walk around in my room, and I often use hand movements to memorize the things I study. My result of the MI test proved that intelligence strengthens the capability in learning a second language. Intelligence and aptitude have a relation in L2 learning. The definition of aptitude according to Merriam-Webster dictionary is a natural ability or talent. Every person has a different aptitude and also a different level. As I mentioned in the previous paragraph, the result of my MI was Linguistic which also means, it is an aptitude for me. Why? Because others might have a lower level of ability in linguistics. Aptitude is one of the strongest factors of L2 learning. Because people with aptitude especially in language learning, tend to be faster in learning a language. As explained by Carroll in her research on the aptitude of language learning in Hummel (2014) there are three main abilities in someone who has aptitude in language learning: phonetic coding ability, language analytic ability, and memory ability (p.196). This factor distinguishes if someone has the
Sorry I can't go The time doesn't allow me so In this tiny box All I can see is my shadow I can't go But of course, I miss you Something is lurking outside It traped me here with this point of view It's not a dangerous man or an animal It's not a disaster or God's anger, I hope It's something so tiny you can't even feel It's so mighty I have to kneel
aptitude or not. Another factor that affects L2 learning is attitude and motivation. In my opinion, these two factors have big roles in learning a second language. If we already have the intelligence or even aptitude in L2, but we do not have the right attitude and motivation, we will not be able to learn the second language thoroughly. L2 learners who have a good attitude towards the language will become faster in learning the language. For example, I really love Korean pop songs and enjoy watching Korean dramas. I wanted to learn the Korean language so that I could sing Korean songs easily and watch Korean dramas without using subtitles and understand them easily. Because I have the right attitude, I enjoy the process of L2 learning. Motivation is also important. Motivation according to Gardner in Hummel (2014) is consisting of effort to learn the language (motivational intensity), desire to learn the language, and attitudes toward learning the language with a formula: Motivation = Effort + Desire to achieve goal + Attitudes toward learning the language (p.201). Motivation will push the learner to learn the language more and more. There are two types of motivation: intrinsic and extrinsic. Intrinsic refers to motivation that is structured from the inside of themselves; people are motivated because they find something enjoyable. Extrinsic motivation is a motivation that has awareness of reward. For me, I often have both of these types of motivation. Sometimes I wanted to learn L2 because I wanted to watch movies without using subtitles and sometimes I wanted to learn L2 because if I learned it, I would work abroad and get a high salary. That is why attitude and motivation became an
important role in L2 learning. Another factor I want to highlight in L2 learning is personality. Personality determines how we learn a second language. To indicate someone’s personality, The Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) questionnaire is the answer. “The MyersBriggs Type Indicator (MBTI) questionnaire is often used to measure personality. It includes 16 personality types” (Hummel, 2014, p.206). The 16 types include Introversion vs Extraversion, Intuition vs Sensing, Thinking vs Feeling, and Judging vs. Perceiving. I took this test and my result is ENFP (Extraverted, Intuitive, Feeling, Prospecting). Because I am an extrovert person, I easily communicate with others. I tend to learn languages by practicing with others and I like to talk straight to foreigners. Different from my friend who is introverted, she is shy, so it is hard for her to practice the language with foreigners. She tends to learn in her room, watch some YouTube tutorials and practice it by herself. In this case, personality really matters in learning a second language. To sum up, each of us is different, we have different intelligence, aptitude, attitude, motivation, and personality. We can not force ourselves to learn a language with our friends' methods. We should ask ourselves and try which individual differences factor will make us learn a second language easier. [Elnora May Nababan] References Hummel, K. M. (2013). Introducing second language acquisition: Perspectives and practices. West Sussex: John Wiley & Sons. Pritchard, A. (2017). Ways of learning: Learning theories for the classroom. New York: Routledge.
In this old box, I keep my beliefs The box that watches over me from the presence The box is so ugly, yet always give me warmest hug I hope it won't be a drug All I can do is wishing this to be over So I can go back and come over See you, kiss you and hold you closer Let your tear flow on my shoulder
Pusat Pelatihan Bahasa
VOL.14/APR 2020
Selayang Pandang UPT PPB UKDW
U
ngkapan tak kenal maka tak sayang adalah tepat adanya. Pusat Pelatihan Bahasa (PPB) UKDW per 1 April 2020 dikepalai oleh Ibu Arida Susyetina, S.S., M.A. dan didukung oleh dua orang staf yaitu Ibu Agnes Ambar Yuliani (Staf Administrasi Akademik) dan Ibu Kurniasih Pinasti (Staf Administrasi Keuangan). PPB yang memiliki nama awal Pusat Pelatihan Bahasa Inggris (PPBI) menangani mata kuliah Bahasa Inggris di program studi atau fakultas di UKDW dan melayani kursus bahasa Inggris untuk umum. Pada perkembangannya, PPBI menangani pembelajaran bahasa selain bahasa Inggris yaitu bahasa Korea dan Mandarin sehingga namanya berubah menjadi Pusat Pelatihan Bahasa Asing (PPBA). PPBA sekali lagi berganti nama menjadi Pusat Pelatihan Bahasa (PPB), menyesuaikan dengan nama yang tertera dalam statuta universitas dan menambah pelayanannya dengan kelas Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Sejak tahun akademik 1999/2000, PPB ditunjuk universitas menjadi unit pelaksana teknis pelaksanaan program peningkatan bahasa Inggris untuk semua program studi dan fakultas di UKDW. Nama awal program ini adalah P2BI (Program Peningkatan Bahasa Inggris) dan karena saat itu nama unitnya adalah PPBI sedangkan nama programnya adalah P2BI dirasa rancu dengan nama unit pelaksananya maka program bahasa Inggris inipun mengalami perubahan nama menjadi Introduction to College English (ICE). ICE menjadi program unggulan pembelajaran bahasa Inggris yang terintegrasi. Program ICE wajib diikuti oleh semua mahasiswa UKDW, kecuali mahasiswa Fakultas Teologi dan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) karena kedua program studi ini telah mempunyai program peningkatan bahasa Inggris yang dikelola secara khusus bagi mahasiswa mereka. Fakultas Teologi tetap menunjuk PPB untuk melaksanakan program khusus ini bagi mahasiswanya, sedangkan program studi PBI mengelola secara mandiri melalui dosen-dosen handalnya. Program ICE merupakan mata kuliah 0 SKS yang dibagi menjadi 3 level (level 1-3).
foto:dok.Rama
Mahasiswa wajib menyelesaikan semua level sebelum mengambil mata kuliah BIT (Bahasa Inggris Terapan) di program studi atau fakultas masing-masing. Sangatlah penting bagi mahasiswa untuk bisa menyelesaikan ICE dengan segera supaya proses belajar di UKDW tidak terhambat. Berikut ini beberapa tips untuk lulus dari kelas ICE : 1. Hadirlah dalam pertemuan pertama ICE. Karena di sini Anda bisa berdiskusi dengan dosen untuk beberapa hal penting terkait proses pembelajaran di kelas dan mengenal karakter dosen sejak awal. Dosen akan menyampaikan hal-hal penting terutama peraturan kelas, batas waktu maksimal keterlambatan di kelas, dan pengumpulan tugas. 2. Minimal jangan pernah bolos kuliah, kalaupun harus tidak masuk, gunakan untuk hal-hal yang sangat penting dan urgent sehingga persyaratan maksimal tidak masuk
foto:dok.Rama
tiga kali untuk bisa mengikuti tes akhir semester terpenuhi. Meskipun ada tugas dari prodi atau fakultas, jangan lupa untuk meminta surat ijin resmi supaya bisa menjadi pertimbangan bagi dosen anda jika ternyata di akhir semester ketidakhadiran anda lebih dari tiga kali atau pada saat anda tidak masuk ada kuis sehingga menjadi pertimbangan besar apakah anda dapat mengikuti kuis susulan atau tidak. 3. Begitu menerima silabus, segera beri highlight untuk tanggal-tanggal penting yaitu jadwal kuis, TTS dan TAS 4. Jangan malu bertanya pada dosen apabila tidak mengerti dengan pelajaran hari itu, jika malu bertanya di hadapan teman lain, mintalah waktu khusus setelah kelas. Don’t delay until tomorrow what you can do today. Selain penyelenggaraan ICE apa saja sih yang dilakukan oleh PPB? Ada banyak kegiatan dan pelayanan yang kami lakukan, diantaranya:
1. Simulasi TOEFL, TOEIC, dan IELTS Sebelum bertempur di tes yang sesungguhnya ada baiknya mencoba melakukan simulasi terlebih dahulu di PPB. Setelah skor simulasi keluar anda bisa berkonsultasi hasil tes dengan dosen PPB, mengenai tips dan trik untuk mengerjakan tes dan meraih skor yang diinginkan. 2. Penerjemahan dokumen 3. BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) Belajar bahasa dan budaya Indonesia bagi orang-orang asing yang akan menempuh studi, mempunyai kepentingan bisnis, maupun sekedar mengenal lebih jauh tentang Indonesia. 4. Korean Corner Bersama Korea International Cooperation Agency (KOICA), PPB akan membangun Korean Corner, sehingga sivitas akademika UKDW bisa belajar tentang bahasa dan budaya Korea secara lebih intensif. Sehubungan dengan wabah pandemi Covid-19, tenaga asing dari KOICA, Ms. Kwon Seon Hwa yang ditugaskan di UKDW untuk sementara waktu pulang ke Korea sampai keadaan aman kembali. Kami harap Ms. Kwon Seon Hwa bisa kembali lagi ke UKDW pada bulan Juni/Juli untuk meneruskan rintisan Korean Corner dan mengajar bahasa Korea di UKDW lagi. 5. Privat Bahasa Inggris PPB juga melayani kelas-kelas private mulai dari 1 orang sampai maksimal 5 orang untuk bisa belajar bahasa Inggris sesuai kebutuhan konsumen dengan waktu yang menyesuaikan dengan kesibukan konsumen. 6. National Essay Writing Contest (NEWC) Acara tahunan yang rutin digelar oleh PPB tahun ini akan memasuki tahun yang ke-14. Acara ini adalah kompetisi yang mewadahi adu kompetensi menulis para siswa SMA/SMK di seluruh Indonesia. Nah itu dia sekilas tentang PPB dan serba-serbinya. Silahkan berkunjung ke Gedung Eudia Lantai 1 atau kontak PPB melalui email ppb@staff.ukdw.ac.id atau telepon 0274-563929 Ext 123 untuk info lebih lanjut. Sorbum! [@ambarmarsono]
Menguasai Banyak Bahasa Untuk Melawan Pandemik
R
esep nenek moyang, saran tolak bala, saran dokter, sampai teori konspirasi, membuat kita merasa kenyang akan informasi mengenai COVID-19. Sayangnya, seperti halnya makanan ada yang bergizi ada yang tidak, informasi mengenai COVID-19 ini juga ada yang membantu kita untuk lebih waspada, namun juga ada juga yang justru berbahaya. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa selain melawan pandemik, kita juga sedang melawan infodemi di mana dunia juga dibanjiri informasi yang semakin sulit untuk disaring. Bahkan kadang informasi yang tidak benarpun juga bisa dikemas dalam bentuk berita baik. Salah satu cara untuk melawan badai infodemi ini adalah dengan menguasai lebih dari satu bahasa. COVID-19 merupakan virus baru. Informasi yang didapat dari para ahli pun berganti setiap hari. WHO menerbitkan video, poster, infografik, dan masih banyak lagi media untuk memberikan informasi terbaru mengenai COVID-19, termasuk apa yang bisa dilakukan orang-orang di luar para ahli medis dan tenaga medis. Seluruh informasi yang disampaikan WHO itu disajikan dalam bahasa Inggris. Informasi dalam bahasa lain biasanya keluar beberapa saat kemudian karena perlu waktu untuk menerjemahkan. Jika kita menguasai Bahasa Inggris, kita bisa mendapatkan informasiinformasi tersebut lebih awal dari yang lain. Pada awal bulan Maret juga banyak beredar aplikasi alat ukur kerentanan kita terserang virus ini. Saya juga sempat edarkan ke grup instruktur Bahasa Inggris. Alat ukur tersebut sekali lagi disajikan dalam Bahasa Inggris. Teman-teman sempat bertanya apakah ada versi bahasa Indonesianya, waktu itu belum ada. Versi Bahasa Indonesia baru muncul sekitar minggu ketiga Maret. Setelah itu memang ada banyak versi Bahasa Indonesia yang bisa diakses. Ini menun-
g!
Bonjour
Guten ta
Hola!
SALAM!
Hello!
ciao! foto:freepik.com/freepik
jukkan bahwa penguasaan bahasa lain menguntungkan kita dalam melawan pandemi yang asalnya bukan dari Negara kita. Saya sebenarnya iri pada mereka yang mampu berbahasa Mandarin sebab tentu saja ada banyak data dari negeri Tiongkok mengenai hal-hal yang berhasil mereka lakukan dalam mengatasi pandemi. Saya
sempat melihat video mengenai seorang dokter di Wuhan yang sempat mengidap COVID-19 dan kemudian sembuh. Beliau bercerita bahwa dalam kurun waktu sekian hari sudah ada sampai empat protokol yang berbeda untuk mengatasi virus tersebut. Video interview tersebut menggunakan terjemahan bahasa Inggris di bawahnya. Yang saya perhatikan ada beberapa ekspresi yang
kosong tidak terterjemahkan. Saya hanya bisa bertanya-tanya apa artinya. Ada juga video yang menunjukkan salah satu dokter dari tim Tiongkok yang pergi ke Italia dan menyatakan rasa herannya mengapa sistem karantina di Italia sangat kendor. Video ini diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Saya sangat penasaran ingin tahu apakah terjemahan yang diberikan sungguh menyatakan apa yang diucapkan dokter tersebut. Ada kemungkinan terjemahan yang ada ditambah interpretasi lain yang mungkin mengaburkan beberapa ekspresi yang penting. Negeri lain yang mungkin punya banyak data dan cerita adalah Italia yang sempat menjadi pemegang rekor kasus tertinggi dengan jumlah korban meninggal paling tinggi pula. Menguasai banyak bahasa membuat kita memahami sesuatu dari sumber pertama, sumber utama tanpa ditambahi interpretasi lain. Yang kedua, menguasai bahasa lain, bahasa daerah sekalipun, akan memampukan kita untuk membantu banyak orang lain yang mungkin hanya menguasai bahasa daerah. Beberapa orang membuat video-video kampanye melawan COVID-19 dengan menggunakan bahasa daerah. Ini adalah inisiatif yang baik sebab memungkinkan banyak orang yang mungkin tidak memiliki literasi bahasa nasional untuk tetap mendapatkan edukasi mengenai COVID-19. Jadi meskipun kita tidak menguasai Bahasa Inggris, kita tetap bisa membantu orang lain dengan menerjemahkan informasi yang ada ke bahasa daerah. Perjalanan COVID-19 di Indonesia tampaknya masih panjang. Informasi resmi yang beredar akan banyak berganti. Sambil melakukan banyak hal dari rumah, ada baiknya kita mulai sedikit-sedikit berusaha menguasai bahasa lain. Siapa tahu bisa membantu kita melawan pandemik dan infodemi. [Antonina Suryantari, Instruktur ICE]
7
Inspirasi
8
VOL.14/APR 2020
Tips Kuliah Online untuk Mahasiswa
D
i tengah situasi pandemi COVID-19, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta mengeluarkan kebijakan untuk bekerja dan belajar dari rumah. Ini merupakan langkah strategis yang diambil oleh Pimpinan UKDW untuk mencegah persebaran wabah virus corona yang semakin meluas di Indonesia saat ini. Mahasiswa UKDW sudah melakukan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) sejak tanggal 16 Maret 2020 sedangkan karyawan dan dosen melakukan work from home sejak 23 Maret 2020. Nah, bagaimana pengalaman physical distancing teman-teman mahasiswa? Bagaimana dengan kulon alias kuliah online kalian? Beberapa hari yang lalu, saya sempat membuat konten tentang “Tips and Trik Kuliah Online” yang ditayangkan di instagram official UKDW @duta_wacana. Postingan tersebut sebenarnya lebih ditujukan kepada para dosen, dan pada hakikatnya kuliah online atau PJJ berbeda dengan pemberian tugas secara online. Kuliah online sebenarnya sama seperti kuliah tatap muka di kelas dengan materi yang sesuai dengan silabus, yang berbeda hanyalah mengenai metode dan penggunaan media. Di tulisan kali ini, saya ingin memberikan tips kulon khusus untuk mahasiswa. Ada pepatah yang mengatakan “Sesuatu yang pasti di dalam dunia ini adalah perubahan”. Paradoks ya? Pasti kok berubah? Coba temanteman tanya ke orang tua kalian tentang
foto:pexels.com/@pixabay
pengalaman kuliah atau sekolah dulu. Pasti jauh berbeda bukan? Semasa orang tua kalian dulu sekolah pasti tidak ada internet, teknologi tidak secanggih sekarang ini, guru atau dosennya galak, dan seba-gainya. Perubahan itu adalah sebuah kepastian, meskipun terkadang rasanya tidak menyenangkan, contohnya seperti kondisi sekarang ini. Teman-teman diharapkan untuk mengikuti kuliah online dengan tugas yang banyak. Tetapi yakinlah teman-teman, tidak hanya kalian yang berubah, para dosen pun juga berubah. Mereka mencoba untuk mengemas materi perkuliahan dengan cara yang menarik agar dapat disampaikan secara online.
foto:pexels.com/@cottonbro
Mengingat kita masih ada beberapa kali tatap muka sebelum semester ini berakhir, saya akan memberikan lima tips bagi mahasiswa untuk berhasil mengikuti PJJ dengan baik: 1. Terapkan Manajemen Waktu dengan Membuat Agenda. Agenda ini sangat penting, tidak hanya untuk mencatat jadwal kuliah, namun kalian juga bisa menulis rencana kegiatan secara detail setiap harinya. Sehingga teman-teman dapat membagi waktu dengan efektif dan efisien. 2. Proaktif. Dosen cenderung kurang suka dengan mahasiswa yang pasif dan hanya menunggu instruksi dari dosen. Mahasiswa
diharapkan bisa aktif dan punya inisiatif serta ide kreatif untuk mendukung perkuliahan. Saya percaya, para dosen terbuka dengan saran dan kritik dari mahasiswa, asal kritik tersebut membangun dan disampaikan dengan sopan. 3. Jaga Kebersihan Diri dan Ruangan . Jangan karena kuliah online di rumah atau kos, maka kalian jadi malas untuk mandi. Kalau kamar kalian bersih dan diri kalian bersih serta fresh, maka mood kalian juga akan lebih baik untuk mengikuti kuliah online dan mengerjakan tugas. 4. Persiapkan Teknologi yang Dibutuhkan. Pimpinan UKDW memberikan subsidi kepada mahasiswa aktif untuk meringankan beban akses internet sebesar Rp 150.000,- untuk 3 bulan. Subsidi tersebut cukup lumayan untuk membeli kuota internet, jadi teman-teman bisa mengikuti kuliah dan mengakses materi perkuliahan. 5. Berdoa dan Berefleksi Pribadi. Dengan kita berdoa dan berefleksi maka hati kita akan tenang sebab segala kekhawatiran kita sudah diserahkan kepada Tuhan. Demikianlah tips untuk mahasiswa dalam mengikuti PJJ UKDW. Semoga proses belajar mengajar kita berjalan dengan lancar dan kita semua bisa melalui masa COVID-19 ini bersama-sama. Stay healthy and be happy! [VS]
Alumni Informatika UKDW Berperan dalam Pengembangan Situs Sebaran COVID-19 di DIY
P
emerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pe mda DIY) te lah meluncurkan peta sebaran kasus COVID-19 di DIY yang dapat dilihat melalui tautan www.sebaran-COVID19. jogjaprov.go.id. Melalui situs tersebut, masyarakat dapat melihat data sebaran hanya dengan memasukkan lokasi GPS atau kode pos untuk dapat mengetahui jumlah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) serta pasien positif di sekitarnya dengan jarak yang dapat ditentukan. Platform yang secara resmi berada di bawah naungan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) DIY tersebut ternyata dikembangkan oleh salah satu alumni angkatan 2010 program studi Informatika Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) bernama Wendy Adi Wiratama Suhartono bersama timnya yang dinamakan relawan digital COVID-19 DIY. Pria yang kerab disapa Wendy ini berperan dalam hal teknis pembangunan situs sebaran COVID-19 ini. Wendy yang saat ini bekerja sebagai Software Architect di Shipper Indonesia dalam pengerjaan proyek COVID19 membantu secara remotely dari Jakarta. Ide pembangunan platform sebaran COVID-19 ini berawal dari salah satu anggota tim bernama Daniel Oscar Baskoro (Alumni ilmu komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 2010) yang dulu pernah membuat platform yang dinamai Health
Circle yang berfungsi untuk menyajikan informasi persebaran penyakit menular yang kemudian ditransformasikan lewat peta sebaran secara real time. Dari platform inilah kemudian ide pembuatan sebaran COVID-19 di DIY muncul. Pada saat pandemi COVID-19 mulai masuk ke wilayah DIY, tim relawan digital COVID-19 kemudian menghubungi Diskominfo DIY untuk menawarkan bantuan berupa platform sebaran COVID-19 di DIY dan bantuan tersebut diterima baik oleh Diskominfo DIY. “Teman saya, Oscar memang berkecimpung di inovasi teknologi dalam pemerintahan, terutama mengenai data. Waktu itu ngobrol dengan Diskominfo DIY mengenai ide ini. Diskominfo terlihat tertarik kemudian memberikan sample data untuk dibuat Proof of Concept atau Demo. Saya terlibat dalam proyek ini karena kenal dengan Oscar semenjak sekolah dulu. Kami juga beberapa kali mengerjakan proyek bersama,” ungkap Wendy. Selain Wendy dan Oscar, ada 7 relawan lain yang bergabung dalam tim yaitu Krisostomus Nova Rahmanto (Koordinator, CEO Sadasa Academy), Khoirur Rozaq (Mahasiswa Aktif IT AMIKOM 2017), Arief Faqihudin (Alumni Ilmu Komputer UGM), Abdurrahman Trimanto (Alumni D3 Komputer dan Sistem Informasi UGM), Nendra Haryo Wijayandanu, Citra Fauzan Alqodri, dan Aulia Rahmah (Mahasiswa Aktif Ilmu Komputer UGM 2016).
Office of International Affairs
A
pril 7 of each year is celebrated as World Health Day. This annual event aims to draw attention to particular priorities and raise awareness of global health. Amid the COVID-19 pandemic, the health workforce faces a tough time - a time described as an unprecedented global crisis in modern history. Around the world, doctors, nurses, and other healthcare workers are demonstrating their courage at the frontline in the battle with this pandemic, putting their own life on the line to save hundreds of thousands from this infectious disease. This World Health Day is a reminder for the whole world of the crucial role these health workers play to ensure everyone, everywhere gets the healthcare they need. WHO as well as people, in general, take this moment to honor health workers who put their health at risk to protect the broader community from COVID-19. The inception of World Health Day was started at the First World Assembly in Geneva in the summer of 1948. The first World Health Day was observed on July 22, 1949, but the
foto:dok.Wendy
Proyek yang kurang lebih diselesaikan dalam kurun waktu 1 minggu tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi serta meningkatkan kesadaran masyarakat Yogyakarta tentang data COVID19 disekitar. Kini situs dapat diakses publik dengan memanfaatkan fitur lookup data berdasarkan posisi koordinat (GPS) dengan radius (3, 5, 7 KM) serta lookup data berdasarkan kelurahan. Data COVID-19 akan disimpan dan dikelompokkan berdasarkan kecamatan yang nantinya akan ditampilkan melalui situs tersebut. Selain situs sebaran COVID-19 di DIY, tim relawan juga diminta untuk mengelola situs halaman data statistik di DIY yang dapat ditemukan pada tautan www.corona.jogjaprov.go.id/ data-statistik. Data ini diperoleh dari Dinas Kesehatan serta Dinas Komunikasi dan Informatika DIY yang
foto:dok.Wendy
akan diperbaharui setiap harinya pada kedua situs tersebut. Platform yang dikembangkan oleh Wendy dan timnya ini juga diapresiasi oleh Kepala Seksi Aplikasi Layanan Publik Diskominfo DIY, Sayuri Egaravanda. “Untuk saat ini, tim relawan digital COVID-19 sedang berdiskusi tentang apa yang selanjutnya bisa kitakontribusikan ke level nasional,” tambah Wendy. [Ivan]
2020 World Health Day: “Support Nurses and Midwives”
date was later changed to April 7 which marked the anniversary of WHO that was founded in 1948. Since 1950, World Health Day has been observed on April 7 with specific health themes each year to highlight a priority area of concern for WHO. The 2020 World Health Day highlights the work of nurses and midwives, recognizing their vital role in providing health services around the world. The theme for this year's World Health Day is "Support Nurses and Midwives". On this day and throughout the year, WHO calls for strengthening the nursing and midwifery workforce as part of the International Year of the Nurse and the Midwife. Nursing is the largest occupational group in the health sector, accounting for more than half of the world's health professions. The current state shows that the nursing workforce is expanding in size and professional scope. However, the expansion is not equitable, is insufficient to meet rising demand, and is leaving some populations behind.
According to a new report, The State of the World's Nursing 2020 by WHO in partnership with the International Council of Nurses (ICN) and Nursing Now, the global nursing workforce is just under 28 million. Between 2013 and 2018, nursing numbers grew by 4.7 million. However, this number still leaves a global shortfall of 5.9 million - with the greatest gaps found in countries in Africa, South East Asia and the WHO Eastern Mediterranean region as well as some parts of Latin America. Ageing health workforce patterns in some regions also threaten the stability of the nursing stock. Globally, the nursing workforce is relatively young, but there are disparities across regions, with substantially older age structures in the American and European regions. To address the shortage of nursing workforce by 2030 in all countries, the total number of nurse graduates would need to increase by 8% per year on average, alongside an improved capacity to employ and retain these graduates.
Gender discrimination remains a major problem in the world as a whole, and unfortunately, the nursing profession is not immune from this problem. Approximately 90% of the nursing workforce is female, but few leadership positions in healthcare are held by nurses or women. Legal protection and actions are needed to protect nurses from the gender-based pay gap and other forms of gender-based discrimination in the work environment, as well as providing more leadership opportunities for nurses and women in the healthcare sector. The bottom line is clear, governments need to invest in nursing education, jobs, and leadership. Without nurses, midwives, and other health workers, countries cannot win the battle against outbreaks or improve global health security. On this World Health Day, let's once again salute for the contribution and perseverance of all health workers, the heroes who fight against COVID-19 pandemic. [drr]