Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Pro-Kontra Penerapan Pajak Karbon

Page 1


“Pro-Kontra Penerapan Pajak Karbon: Solusi Memerangi Perubahan Iklim atau Ancaman bagi Ekonomi Masyarakat?” Oleh: Nisya Arini Damara Ardhika Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Sumber: Canva Darurat iklim di depan mata,1 dan Indonesia masih berada dalam angan komitmennya untuk bersiap dalam perang menghadapi perubahan iklim. Dalam tiga dekade terakhir, perubahan iklim (climate change) telah ditetapkan menjadi status darurat global.2 Hal ini mendorong dunia internasional untuk mengambil langkah dalam upaya memerangi perubahan iklim. Salah satunya adalah melalui pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia yang berlangsung pada 1-2 November 2021 lalu.3 Konferensi COP 26 merupakan tahap lanjutan negara-negara setelah Protokol Kyoto (1977) dan Paris Agreement (2016) untuk berkomitmen menghadapi perubahan iklim. Kabar baiknya, dalam konferensi iklim COP 26, Indonesia turut menjanjikan upaya pengurangan emisi dengan “emisi nol bersih” skala global di tahun

1 Eka Yudha Saputra, “Darurat Perubahan Iklim, Panel Iklim PBB Beberkan Lima Skenario Masa Depan Bumi,” https://dunia.tempo.co/read/1492925/darurat-perubahan-iklim-panel-iklim-pbb-beberkan-lima-skenario-masa-depanbumi/full&view=ok, diakses 7 Desember 2021. Lima skenario terhadap bumi ini merupakan gambaran optimis hasil komitmen bangsa-bangsa dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (IPCC) di tahun 2050. 2 Indonesia Climate Change Trust Fund, “Apa Itu COP26 dan Mengapa Penting?” https://www.icctf.or.id/apaitu-cop26-dan-mengapa-penting/, diakses 1 Desember 2021. 3 INDIKATOR, “COP26, Indonesia Tegaskan Komitmennya Atasi Perubahan,” https://indikator.indikaenergy.co.id/wp-content/uploads/2021/07/20210630-COP26.pdf, diakses 1 Desember 2021.


2050 mendatang.4 Pasca konferensi internasional tersebut, timbul berbagai pemikiran yang mempertanyakan apakah Indonesia siap dengan segala komitmen yang diajukannya, atau sebatas hanya sebagai salah satu sumbangsih komitmen tetapi arah kebijakannya tidak disusun sejalan dengan tujuan utamanya. Mengenai fakta kondisi lingkungan dunia yang memburuk, World Health Organization (WHO) turut mengungkap bahwa sekitar 90% orang saat ini menghirup udara dengan kandungan polutan yang tinggi.5 Muatan polutan yang tinggi merupakan akibat dari adanya emisi gas buang atau emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan kandungan zat-zat pembakaran tidak sempurna seperti karbondioksida (CO2), suspended particular matter (SPM), oksida sulfur (SO2) hingga timbal atau timah hitam (Pb).6 Mengacu pada hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional, tingkat emisi GRK di Indonesia pada 2018 mencapai angka 1,6 juta lebih Gg Co2e.7 Angka tersebut meningkat lebih dari 450 ribu Gg Co2e dari tingkat emisi di tahun 2000.8 Besaran angka ini menjadi peringatan besar bagi Indonesia untuk terus berupaya menurunkan emisi karbon yang dihasilkan. Protokol Kyoto resmi menjadi instrumen hukum di Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change.9 Dalam Protokol Kyoto tersebut Indonesia menyatakan sepakat untuk mengurangi emisi dan greenhouse effect (GRK). Implementasi kebijakan negara terikat dalam Protokol Kyoto wajib secara teratur untuk meninjau ulang potensi peningkatan global warming seperti emisi GRK.10 Dengan demikian, tujuan utama Protokol Kyoto adalah menstabilkan konsentrasi GRK hingga berada di tingkatan yang aman untuk bumi. Adanya level tertentu sebagai target nantinya akan dicapai dalam waktu yang diatur sehingga membuka kesempatan kepada lingkungan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara alami.11 Implikasi atas Protokol Kyoto ini adalah Indonesia berkesempatan untuk mendapatkan manfaat dari berbagai proyek ramah lingkungan dengan biaya terjangkau, seperti

4

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Menkeu Serukan Dorongan Realisasi Pendanaan Iklim untuk Negara Berkembang dalam Pertemuan COP26,” Siaran Pers Sp-91 KLI (2021), hlm. 1. 5 Selvi, Notika Rahmi, dan Idar Rachmatulloh, “Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia,” Jurnal Reformasi Administrasi Vol. 7 No. 1 (2020), hlm. 30. 6 Ismiyati, Devi Marlita, dan Deslida Saidah, “Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor,” Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik (JMTransLog) Vol. 1, No. 3 (2014), hlm. 243. 7 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2019 (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2020), hlm. 41. 8 Ibid. 9 Indonesia, Undang-Undang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework COnvention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim), UU No. 17 Tahun 2004, LN No. 72 Tahun 2004, TLN No. 4403. 10 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention On Climate Change, on article 5, paragraph 3. 11 Marsudi Triatmodjo, “Implikasi Berlakuknya Protokol Kyoto - 1977 Terhadap Indonesia,” Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law) Vol. 2 (Januari 2005), hlm. 295.


program rehabilitasi hutan dan perlindungan terhadap hutan rawan kebakaran dengan Clean Development Mechanism (CDM).12 Peluang ini harus dikelola oleh Indonesia dengan kebijakan yang sesuai dan komitmen yang sejalan dengan tujuan utama Protokol Kyoto. Di sisi lain, keterlibatan Indonesia dalam Paris Agreement ini menghasilkan sebuah ketentuan mengenai kesepakatan Nationally Determined Distribution (NDC) yang berfokus untuk menurunkan emisi GRK.13 Seluruh negara yang terlibat dalam Paris Agreement sepakat menjaga hingga menurunkan suhu skala global agar bertahan di angka 1.5 derajat Celcius. Indonesia kemudian meratifikasi Paris Agreement ini dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 201614 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change dan menyiapkan skema penurunan emisi serta mengantisipasi perubahan iklim.15 Jawaban atas problematika perubahan iklim yang memburuk di Indonesia direspons pada Kamis, 7 Oktober 2021 dengan disahkannya RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dalam Sidang Paripurna DPR.16 UU tersebut dicanangkan hadir sebagai tanggung jawab Indonesia atas ratifikasi Protokol Kyoto, Paris Agreement, dan Konferensi Iklim COP26. Saat ini, mengusung tujuan utama COP 26, Indonesia berfokus pada empat agenda utama yang ditargetkan dalam COP26. Keempat agenda tersebut mencakup pengambilan kebijakan dan realisasi pengurangan emisi, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, pendanaan terhadap aksi-aksi upaya memerangi perubahan iklim, dan terakhir meningkatkan kerja sama internasional dalam rangka transisi energi terbarukan menjadi pengelolaan energi yang ramah lingkungan. Dengan adanya pengesahan RUU HPP oleh DPR, Indonesia dinilai berani dalam mengambil langkah melalui penerapan green economy menuju net zero emission. Dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), aturan mengenai pajak karbon tertulis dalam BAB VI Pasal 13. Mengacu pada ketentuan Pasal 13 ayat (1), pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas emisi karbon hasil penggunaan/pengelolaan industri atau barang dan berdampak negatif bagi kelangsungan lingkungan

12

Ibid. Nur Masripatin, et.al, Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution), (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017), hlm. 2. 14 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), UU No. 16 Tahun 2016, LN No. 204 Tahun 2016, TLN No. 5939, Ps. 1. 15 Nur Masripatin, et.al, Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution), (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017), hlm. 2. 16 Dicky Edwin Hindarto, “Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022, Antara Rencana dan Tantangan,” https://www.mongabay.co.id/2021/10/11/implementasi-pajak-karbon-di-tahun-2022-antara-rencana-dan-tantangan/, diakses 2 Desember 2021. 13


hidup.17 Besaran biaya pajak karbon yang ditetapkan adalah paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).18 UU HPP merefleksikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi melalui kebijakan baru yaitu penarikan pajak karbon. UU HPP juga hadir sebagai instrumen untuk mewujudkan kebijakan fiskal yang strategis dalam rangka menghadapi climate change sekaligus perbaikan defisit anggaran. UU HPP memuat aturan penting dalam ranah materi pajak secara luas, baik itu pajak penghasilan, kesepakatan internasional dalam bidang perpajakan hingga peraturan baru mengenai penerapan pajak karbon.19 Ketentuan mengenai pajak karbon sendiri rencananya akan diberlakukan mulai 1 April 2022 pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).20 Dalam perjalanan penerapan UU HPP ini, kebijakan baru ini dikritik oleh para ahli. Klaim untuk mengurangi emisi karbon dirasa kurang efektif dengan penetapan pajak karbon berbeda dari rencana awal Rp75 per kilogram karbon CO2e menjadi hanya Rp30 per kilogram karbon CO2e. Besaran ini jauh lebih rendah daripada Singapura yang bertarif sekitar Rp56,89 per kilogram karbon CO2e.21 Padahal, emisi karbon yang dihasilkan Indonesia lebih tinggi daripada Singapura.22 Tarif yang ditetapkan Indonesia juga jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). IMF merekomendasikan besaran pajak karbon untuk negara berkembang sekitar 35-100 dollar AS per ton atau kisaran Rp50 sampai dengan Rp140 per kilogram karbon CO2e.23 Dengan besaran tersebut, penerapan kebijakan pajak karbon dinilai akan berdampak efektif. Oleh Menteri Keuangan RI, besaran angka pajak karbon Rp30 per kilogramnya ini diselaraskan dengan keterjangkauan atau affordability masyarakat Indonesia, mengingat dalam tahap awal pajak karbon akan diterapkan dalam

17

Indonesia, Undang-Undang Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU No.7 Tahun 2021, LN No. 246 Tahun 2021, TLN No. 6736, Ps. 13 ayat (1). 18 Indonesia, Undang-Undang Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU No.7 Tahun 2021, LN No. 246 Tahun 2021, TLN No. 6736, Ps. 13 ayat (9). 19 PRAKARSA, “Pajak Karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP): Langkah Maju, Namun Tarif Terlalu Rendah,” https://theprakarsa.org/pajak-karbon-dalam-uu-harmonisasi-peraturan-perpajakan-hpp-langkahmaju-namun-tarif-terlalu-rendah/, diakses 2 Desember 2021. 20 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Ini Penjelasan Wamenkeu Mengenai Program Pengungkapan Sukarela dan Pajak Karbon,” https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-penjelasan-wamenkeu-mengenaiprogram-pengungkapan-sukarela-dan-pajak-karbon/, diakses 7 Desember 2021. 21 Maria Elena, “Tarif Pajak Karbon dalam RUU HPP Dinilai Rendah, Kalah Dibandingkan Singapura,” https://ekonomi.bisnis.com/read/20211008/259/1452182/tarif-pajak-karbon-dalam-ruu-hpp-dinilai-rendah-kalahdibandingkan-singapura, diakses 7 Desember 2021. 22 Agustiyanti, “Tarif Minimal Pajak Karbon Rp 30 Per Kg Dinilai Terlalu Rendah,” https://katadata.co.id/agustiyanti/ekonomi-hijau/616133a911bdb/tarif-minimal-pajak-karbon-rp-30-per-kg-dinilaiterlalu-rendah, diakses 7 Desember 2021. 23 Anisatul Umah, “Ada Pajak Karbon, Apa Iya Energi Terbarukan Bakal Berkembang?,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20210705130536-4-258326/ada-pajak-karbon-apa-iya-energi-terbarukan-bakalberkembang, diakses 7 Desember 2021.


sektor energi.24 Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa besaran yang direkomendasikan oleh PBB25 dan IMF terlalu besar hal ini akan berdampak ekstrim pada perekonomian Indonesia. Selain besaran pajak karbon, dalam Pasal 13 ayat (5) UU HPP yang menyatakan bahwa orang pribadi atau badan pengguna barang yang menghasilkan emisi karbon termasuk sebagai subjek pajak karbon.26 Dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh orang pribadi, ke depan dalam penerapannya pajak karbon ini hanya akan membebankan pihak masyarakat sebagai konsumen saja. Hal ini dinilai tidak tepat sasaran dan akan menimbulkan asumsi bahwa pemerintah berat sebelah terhadap konsumen dan produsen.27 Dalam praktiknya nanti, ketika seseorang menggunakan kendaraan bermotor dan menghasilkan emisi karbon dari penggunaan tersebut maka ia akan dikenakan pajak karbon sesuai besaran emisi gas yang dihasilkannya. Sedangkan bagi produsen yang hanya menanggung besaran pajak selama proses produksi, dapat berkelit dengan meninggikan harga bahan bakar kendaraan bermotor sehingga beban biaya hanya ditanggungkan kepada konsumen secara umum. Oleh karena itu, pajak terhadap emisi karbon yang awalnya dirancang untuk menjadi alat kontrol berkeadilan dalam rangka menurunkan emisi karbon tidak akan memenuhi sasarannya dan dikhawatirkan menjadi senjata penggerak ekonomi semata. Penelitian Alpha Research Database Indonesia yang diwakili oleh Ferdi Hasiman juga turut mengkritik kesiapan Indonesia dalam pengimplementasian pajak karbon ini. Upaya pemulihan ekonomi nasional pasca COVID-19 dinilai menjadi penghambat dalam upaya pelaksanaan ketentuan pajak karbon. Penurunan daya ekonomi di berbagai sektor akan berpengaruh pada iklim investasi di Indonesia. Beliau juga menambahkan bahwa dalam menyusun skema pengimplementasian pajak karbon ini pemerintah wajib berkoordinasi dengan pelaku usaha mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sulit selama ini.28 Dengan demikian, penegakan hukum dalam rangka mengurangi emisi karbon dengan instrumen UU HPP ini perlu dikaji kembali, baik kesiapan Indonesia sendiri hingga konsekuensi hukum yang timbul pasca penerapannya.

24

Dian Kurniati, “Blak-Blakan Sri Mulyani Soal Pajak Karbon, Ini Alasan Tarifnya Rendah,” https://news.ddtc.co.id/blakblakan-sri-mulyani-soal-pajak-karbon-ini-alasan-tarifnya-rendah-35073, diakses 7 Desember 2021. 25 Ibid. 26 Indonesia, Undang-Undang Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU No.7 Tahun 2021, LN No. 246 Tahun 2021, TLN No. 6736, Ps. 13 ayat (5). 27 PRAKARSA, “Pajak Karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP): Langkah Maju, Namun Tarif Terlalu Rendah,” https://theprakarsa.org/pajak-karbon-dalam-uu-harmonisasi-peraturan-perpajakan-hpp-langkahmaju-namun-tarif-terlalu-rendah/, diakses 2 Desember 2021. 28 Anisatul Umah, “Ada Pajak Karbon, Apa Iya Energi Terbarukan Bakal Berkembang?,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20210705130536-4-258326/ada-pajak-karbon-apa-iya-energi-terbarukan-bakalberkembang, diakses 7 Desember 2021.


Upaya mengurangi emisi melalui pajak karbon telah diterapkan oleh beberapa negara sebelum Indonesia. Finlandia menerapkan pajak karbon untuk pertama kali pada tahun 1990, yang kemudian disusul oleh Selandia Baru pada 2005.29 Penerapan pajak karbon ini menginspirasi negara berikutnya, yaitu Irlandia (2010), Australia (2012), Jepang (2012), Inggris (2013), hingga China (2017). Di wilayah Asia Tenggara sendiri, Singapura mulai menetapkan pemberlakuan pajak karbon pada 2019.30 Penerapan pajak karbon di negara-negara tersebut menjadi salah satu ciri bahwa kebijakan pajak lingkungan menjadi solusi populer dalam beberapa tahun ke belakang. Motif kekhawatiran akan perubahan iklim drastis cukup menjadi alasan yang kuat dalam penerapan pajak karbon tersebut. Hal ini karena berdasarkan beberapa studi kasus di negara ASEAN, penerapan pajak karbon merupakan instrumen paling efisien dalam upaya melestarikan lingkungan.31 Meskipun begitu, klaim ini menimbulkan perdebatan pasca diterapkan. Penerapan pajak karbon memungkinkan adanya dampakdampak lain seperti ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Di sisi lain, pajak yang dicanangkan sebagai kebijakan solutif untuk memperbaiki lingkungan memiliki pengaruh yang lebih signifikan saat diterapkan, terutama ketika ada intervensi politik dalam realisasinya.32 Studi terkait isu penerapan pajak karbon ini telah banyak dilakukan. Baranzini, Goldemberg, dan Speck yang mengambil objek negara-negara maju pada tahun 2000 melakukan studi kasus penerapan pajak karbon dalam mengurangi emisi dan dalam rangka melestarikan lingkungan hidup mereka. Hasilnya cukup mengejutkan, karena di antara semua studi kasus yang dilakukan pada negara-negara maju membuktikan bahwa penerapan pajak karbon atau pajak energi justru bersifat regresif dan menimbulkan akibat yang lebih luas. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, penerapan pajak karbon di negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan Malaysia memiliki resiko kegagalan atas hasil yang lebih rendah daripada di negara-negara maju.33 Permasalahan yang perlu digarisbawahi dalam penerapan pajak karbon di negara maju adalah “rebound effect” yang timbul sebagai implikasinya. Rebound effect merupakan kondisi dimana implementasi pajak karbon tidak berjalan sebagaimana mestinya. Emisi karbon yang ditargetkan akan turun dengan penerapan pajak karbon justru mengalami peningkatan. Faktor penyebab utamanya adalah tingginya pajak karbon

29

Selvi, Notika Rahmi, dan Idar Rachmatulloh, “Urgensi Penerapan Pajak Karbon,” Jurnal Reformasi Administrasi Vo. 7, No. 1 (2020), hlm. 30. 30 Aida Holandari, “Momentum Tepat Penerapan Pajak Karbon di Indonesia,” https://www.pajakku.com/read/5f928f9f27128775822392e9/Momentum-Tepat-Penerapan-Pajak-Karbon-di-Indonesia, diakses 3 Desember 2021. 31 Ditya A. Nurdianto dan Budy P. Resosudarmo, “The Economy-wide Impact of a Uniform Carbon Tax in ASEAN,” Journal of Southeast Asian Economies Vol. 33, No. 1 (2016), hlm. 3. 32 Y. Lai, "Is a Double Dividend Better than a Single Dividend?" Journal of Institutional and Theoretical Economics 165 (2009), hlm. 63. 33 Ibid.


yang pada akhirnya gagal menekan efisiensi konsumsi dan pengelolaan energi. Sedangkan peneliti menilai bahwa rebound effect ini tidak cukup menjadi ancaman untuk diterapkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal demikian karena selama masa penelitian yang dilakukan di negara-negara ASEAN, penerapan pajak karbon sebagai mekanisme kompensasi yang akan mempromosikan efisiensi penggunaan energi di Indonesia dan Malaysia tergolong berjalan dengan baik.34 Tujuan utama diterapkannya pajak karbon adalah untuk mengurangi emisi karbon demi masa mendatang. Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, yang sebagian besar anggotanya merupakan top pollutes dalam menghasilkan emisi karbon harus mengambil aksi segera untuk mengendalikan emisi karbon ini. Namun, untuk menerapkan pajak karbon ini perlu juga dipahami dampak-dampaknya pada perekonomian nasional. Pajak karbon secara garis besar adalah solusi yang paling efektif untuk saat ini dalam mengurangi emisi karbon, karenanya perlu pengkajian terhadap konsekuensi yang timbul dari penerapan pajak karbon ini. Selain itu, perlu dipertimbangkan kembali kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini dalam pola-pola tahapan penerapan pajak karbon. Penetapan UU HPP dan pengaturan mengenai pajak karbon akan berpengaruh pada kenaikan bahan bakar fosil.35 Akibatnya, harga pokok produksi yang menggunakan energi bahan bakar fosil akan mengalami peningkatan juga. Hal ini menimbulkan kenaikan harga jual barang atau inflasi pada sektor ekonomi. Permasalahannya adalah, hal ini akan berdampak cukup besar bagi kesejahteraan rata-rata penduduk secara umum.36 Inflasi ekonomi yang tidak didukung dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat akan menyebabkan permasalahan yang lebih kompleks. Misalnya terkait kenaikan harga produksi, setiap perusahaan pasti akan berupaya untuk menghemat pengeluaran biaya produksinya termasuk mengurangi kuantitas pekerja dalam perusahaan/badan usaha. Akibatnya, angka pengangguran turut meningkat. Peningkatan angka pengangguran akan menyebabkan penurunan aktivitas perekonomian, daya beli masyarakat, hingga berdampak pada pendapatan nasional.37 Apalagi melihat kondisi Indonesia dalam masa pemulihan ekonomi nasional selama krisis pandemi COVID-19, penerapan pajak karbon akan mempengaruhi pola perekonomian.

34

Ditya A. Nurdianto dan Budy P. Resosudarmo, “The Economy-wide Impact of A Uniform Carbon Tax in ASEAN,” Journal of Southeast Asian Economies Vol. 33, No. 1 (2016), hlm. 18. 35 Selvi, Notika Rahmi, dan Idar Rachmatulloh, “Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia,” Jurnal Reformasi Administrasi Vol.7, No. 1 (2020), hlm. 32. 36 Zhang, Zhong Xiang, dan Andrea Baranzini, What Do We Know About Carbon Taxes? An Inquiry into Their Impacts on Competitiveness and Distribution of Income, (University of Munich Jerman: MPRA Paper 13225, 2000), hlm. 13. 37 Khodijah Ishak, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran dan Implikasinya terhadap Indek Pembangunan di Indonesia,” IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita Vol. 7, No. 1 (2018), hlm. 31.


Berbagai akibat pajak karbon terhadap perekonomian negara dan kritik terhadap wacana implementasinya perlu dijadikan pemerintah sebagai bahan kajian ulang. Pajak karbon harus berfokus untuk menjadi alat efektif dalam mengurangi emisi karbon, tidak hanya sebagai alat ekonomi negara yang bias. Selain itu, kepastian subjek-subjek yang akan dikenakan pajak karbon perlu mendapatkan sosialisasi kebijakan sebagai wujud transparansi akan perencanaan, evaluasi, dan tujuan utama dari pelaksanaan pajak karbon ini.38 Kemudian terkait kesiapan pemerintah dalam implementasinya dengan teknis implementasi yang sesuai. Menurut Ketua Dewan Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin, pajak karbon memerlukan infrastruktur yang tidak hanya membutuhkan model dalam bidang keuangan tetapi juga dalam model perubahan iklim. Model ini dilengkapi dengan evaluasi dalam proses implementasi pajak yang transparan. Terakhir, pemerintah harus mengantisipasi terjadinya resiko carbon leakage.39 Resiko carbon leakage adalah berpindahnya emisi GRK dari satu sektor ke sektor yang lain40, yang memungkinkan dilakukan oleh para subjek pajak dengan berbagai dalih demi memenuhi keuntungan. Carbon leakage justru akan mendorong emisi GRK menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, wacana pemberlakuan pajak karbon pada 2022 mendatang harus diiringi oleh kesiapan dari pemerintah, sumber daya manusia yang memadai, dan pemahaman yang sesuai dari subjek yang akan dikenai pajak karbon di tahap pertama.

38

Dicky Edwin Hindarto, “Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022 Antara Rencana dan Tantangan,” https://www.mongabay.co.id/2021/10/11/implementasi-pajak-karbon-di-tahun-2022-antara-rencana-dan-tantangan/, diakses 8 Desember 2021. 39 Ibid. 40 Helge Sigurd Naess-Schmidt, et.al, Carbon Leakage in The Nourdic Countries, (Denmark: Nordic Council of Ministers, 2019), hlm. 11.


Daftar Pustaka Buku Helge Sigurd Naess-Schmidt, et.al. Carbon Leakage in The Nourdic Countries. Denmark: Nordic Council of Ministers. 2019. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2019. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2020. Nur Masripatin, et.al. Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2017. Zhang, Zhong Xiang, dan Andrea Baranzini. What Do We Know About Carbon Taxes? An Inquiry into Their Impacts on Competitiveness and Distribution of Income. University of Munich Jerman: MPRA Paper 13225, 2000. Artikel/Jurnal Ishak, Khodijah. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran dan Implikasinya terhadap Indek Pembangunan di Indonesia.” IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita Vol. 7, No. 1 (2018). Hlm. 22 - 38. Ismiyati, Devi Marlita, dan Deslida Saidah. “Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.” Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik (JMTransLog) Vol. 1, No. 3 (2014). Hlm. 241 - 248. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. “Menkeu Serukan Dorongan Realisasi Pendanaan Iklim untuk Negara Berkembang dalam Pertemuan COP26.” Siaran Pers Sp-91 KLI (2021). Lai, Y. "Is a Double Dividend Better than a Single Dividend?" Journal of Institutional and Theoretical Economics 165 (2009).


Nurdianto, Ditya A., dan Budy P. Resosudarmo. “The Economy-wide Impact of a Uniform Carbon Tax in ASEAN.” Journal of Southeast Asian Economies Vol. 33, No. 1 (2016). Hlm. 1 - 22. Selvi, Notika Rahmi, dan Idar Rachmatulloh. “Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia.” Jurnal Reformasi Administrasi Vol. 7, No. 1 (2020). Hlm 29 - 34. Marsudi Triatmodjo. “Implikasi Berlakuknya Protokol Kyoto - 1977 Terhadap Indonesia.” Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law) Vol. 2 (Januari 2005). Hlm. 294 - 310. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU No.7 Tahun 2021, LN No. 246 Tahun 2021, TLN No. 6736. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). UU No. 16 Tahun 2016, LN No. 204 Tahun 2016, TLN No. 5939. Indonesia. Undang-Undang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Covention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim). UU No. 17 Tahun 2004, LN No. 72 Tahun 2004, TLN No. 4403. Dokumen Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention On Climate Change, on article 5, paragraph 3. Internet Agustiyanti. “Tarif Minimal Pajak Karbon Rp 30 Per Kg Dinilai Terlalu Rendah.” https://katadata.co.id/agustiyanti/ekonomi-hijau/616133a911bdb/tarif-minimal-pajakkarbon-rp-30-per-kg-dinilai-terlalu-rendah. Diakses 7 Desember 2021. Elena, Maria. “Tarif Pajak Karbon dalam RUU HPP Dinilai Rendah, Kalah Dibandingkan Singapura.”

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211008/259/1452182/tarif-pajak-karbon-

dalam-ruu-hpp-dinilai-rendah-kalah-dibandingkan-singapura. Diakses 7 Desember 2021.


Hindarto, Dicky Edwin. “Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022, Antara Rencana dan Tantangan.”

https://www.mongabay.co.id/2021/10/11/implementasi-pajak-karbon-di-

tahun-2022-antara-rencana-dan-tantangan/. Diakses 2 Desember 2021. Holandari,

Aida.

“Momentum

Tepat

Penerapan

Pajak

Karbon

di

Indonesia.”

https://www.pajakku.com/read/5f928f9f27128775822392e9/Momentum-Tepat-PenerapanPajak-Karbon-di-Indonesia. Diakses 3 Desember 2021. INDIKATOR.

“COP26,

Indonesia

Tegaskan

Komitmennya

Atasi

Perubahan.”

https://indikator.indikaenergy.co.id/wp-content/uploads/2021/07/20210630-COP26.pdf. Diakses 1 Desember 2021. Indonesia

Climate

Change

Trust

Fund.

“Apa

Itu

COP26

dan

Mengapa

Penting?.”

https://www.icctf.or.id/apa-itu-cop26-dan-mengapa-penting/. Diakses 1 Desember 2021. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. “Ini Penjelasan Wamenkeu Mengenai Program Pengungkapan

Sukarela

dan

Pajak

Karbon.”

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-penjelasan-wamenkeu-mengenaiprogram-pengungkapan-sukarela-dan-pajak-karbon/. Diakses 7 Desember 2021. Kurniati, Dian. “Blak-Blakan Sri Mulyani Soal Pajak Karbon, Ini Alasan Tarifnya Rendah.” https://news.ddtc.co.id/blakblakan-sri-mulyani-soal-pajak-karbon-ini-alasan-tarifnyarendah-35073. Diakses 7 Desember 2021. PRAKARSA. “Pajak Karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP): Langkah Maju, Namun Tarif Terlalu Rendah.” https://theprakarsa.org/pajak-karbon-dalam-uu-harmonisasiperaturan-perpajakan-hpp-langkah-maju-namun-tarif-terlalu-rendah/. Diakses 2 Desember 2021. Saputra, Eka Yudha. “Darurat Perubahan Iklim, Panel Iklim PBB Beberkan Lima Skenario Masa Depan Bumi.” https://dunia.tempo.co/read/1492925/darurat-perubahan-iklim-panel-iklimpbb-beberkan-lima-skenario-masa-depan-bumi/full&view=ok. Diakses 7 Desember 2021. Umah, Anisatul. “Ada Pajak Karbon, Apa Iya Energi Terbarukan Bakal Berkembang?.” https://www.cnbcindonesia.com/news/20210705130536-4-258326/ada-pajak-karbon-apaiya-energi-terbarukan-bakal-berkembang. Diakses 7 Desember 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.