Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Menimbang Pengaturan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Page 1


“Menimbang Pengaturan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Siapkah Indonesia dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan?” Oleh: Nindya Amaris Minar Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Sumber: Wakeup-world.com

Permintaan pasokan sumber energi fosil sebagai bahan pembangkit listrik di dunia kian membludak seiring dengan peningkatan penggunaan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan akan energi listrik yang berfokus pada sumber energi fosil lambat laun akan mengakibatkan kerentanan ketahanan energi nasional. Habisnya sumber energi fosil menjadi malapetaka bagi seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sayangnya, sumber energi fosil tidak memiliki daya diperbaharui (non-renewable) akibat secara kuantitas jumlahnya terbatas dan terus menyusut.1 Tatkala keadaan tersebut menuntut pemerintah kian gencar mencari sumber alternatif sebagai substitusi sumber energi fosil untuk akselerasi transisi Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Dalam hal ini, nuklir dijadikan salah satu alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTB) hingga kini masih mendominasi sumber ketenagalistrikan Indonesia. Meskipun biaya operasionalnya rendah, batubara sebagai sumber energi fosil menjadi faktor terbesar pemanasan global.2 Dalam moratorium penggunaan batubara secara menyeluruh, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero) memandatkan pemberhentian operasi PLTB secara bertahap untuk digantikan dengan EBT.3 Sehubungan

1

Dewan Energi Nasional Republik Indonesia, Laporan Dewan Energi Nasional 2014 (Jakarta: Dewan Energi Nasional Republik Indonesia, 2014), hlm. 17. 2 Sukandarrumidi, Batubara dan Pemanfaatannya: Pengantar Teknologi Batubara Menuju Lingkungan Bersih, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018), hlm. 146. 3 Wilda Asmarini, “Kiamat Batu Bara RI Kian Nyata, PLTU Pensiun Jadi 9,2 GW 2030,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20211107090427-4-289582/kiamat-batu-bara-ri-kian-nyata-pltu-pensiunjadi-92-gw-2030, diakses 1 Desember 2021.


dengan moratorium PLTB, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional diharapkan bauran EBT mulai digunakan pada tahun 2025 sehingga dibutuhkan payung hukum melalui Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) untuk disahkan secepatnya.4 Dalam pembentukan RUU EBT, tentu harus memperhatikan konsideran sebagai landasan. Adapun konsideran yang dimaksud dapat memuat penjelasan secara padat terkait gagasan-gagasan utama yang kemudian melatarbelakangi alasan diciptakannya peraturan perundang-undangan ditinjau dari unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis. Unsur filosofis dapat merujuk pada mandat negara dalam memajukan kesejahteraan bangsa sebagai negara kesejahteraan (welfare state) bertitik tolak pada pembukaan alinea keIV Undang-Undang Dasar 1945. Pada konsep filsafat lingkungan hidup terdapat suatu environmental

ethics

yang

dielaborasikan

berdasarkan

dua

pendekatan,

yaitu

kosmopolitanisme dan komunitarianisme.5 Pendekatan kosmopolitanisme menempatkan ihwal lingkungan hidup sebagai tanggung jawab global, sedangkan pendekatan komunitarianisme menekankan manusia sebagai individu dalam suatu komunitas.6 Paris Agreement yang telah diratifikasi sebagai hukum nasional Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah menarik perhatian karena memuat komitmen net zero emission.7 Komitmen tersebut merupakan wujud pendekatan kosmopolitanisme karena sifatnya memberatkan tanggung jawab masyarakat global dengan total 190 negara dan organisasi. Indonesia yang tergabung pada komitmen tersebut akan menandatangani kesepakatan untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara demi pembatasan peningkatan emisi karbon.8 Berdasarkan unsur yuridis, gagasan RUU EBT dicanangkan dapat mengakhiri masalah ketidaksinambungan aturan EBT di Indonesia yang belum memiliki konsistensi peraturan hukum. Eksistensi peraturan EBT saat ini termaktub dalam undang-undang dan regulasi berbeda-beda dan cenderung menciptakan disharmonisasi antara satu peraturan dengan 4

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014. Naila Sukma Aisya, “Dilema Posisi Indonesia dalam Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim,” Indonesian Perspective Volume 4 Nomor 2 (November 2019), hlm. 121. 6 Ibid., hlm. 122. 7 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), UU No. 16 Tahun 2016, LN No. 204 Tahun 2016, TLN No. 5939. 8 France24, “COP26: 190 Nations and Organisations Agree to Phase Out Coal”, https://www.france24.com/en/europe/20211104-cop26-190-nations-and-organisations-agree-to-phase-out-coal, diakses 1 Desember 2021. 5


peraturan lainnya. Acap kali disharmonisasi memiliki konsekuensi miskoordinasi sehingga menstimulasi ego sektoral di antara para pelaksana undang-undang.9 Regulasi terkait EBT diatur tersebar pada beberapa undang-undang umum sehingga aturan EBT bersifat sektoral. Peraturan yang dimaksud yakni, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi. Jika terpecah suatu konflik antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan yang sifatnya khusus maka menurut asas lex specialis derogat legi generalis, peraturan khusus didahulukan terlebih dulu dan meniadakan peraturan yang sifatnya umum.10 Pasca diterbitkannya RUU EBT melahirkan sejumlah paradoks serta kepelikan yang menghambat RUU EBT belum kunjung rampung hingga saat ini. Selain polemik disharmonisasi regulasi yang tertuang dalam RUU EBT, urgensi pengaturan PLTN turut menuai banyak sorotan dari publik. Menilik kondisi negara Indonesia kini, parameter kegentingan PLTN menjadi sebuah tanda tanya besar. Titik permasalahan tercantum dalam pengaturan nuklir dalam RUU EBT menarik pengaturan induk Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, menyematkan penggunaan energi nuklir merupakan opsi terakhir atas konsiderasi faktor keselamatan serta memberikan peluang bagi energi baru dan terbarukan sebagai prioritas utama.11 Dengan adanya regulasi tersebut adalah alasan mengapa masyarakat menolak adanya pengaturan nuklir dalam RUU EBT. Ibarat pisau bermata dua, terbentang kesempatan emas bagi Indonesia jika sumber daya manusia memadai memiliki kapabilitas dalam mengembangkan potensi tenaga nuklir secara optimal dan berkelanjutan. Akan tetapi, anugerah ini dapat berbalik menjadi ancaman jika pengembangan tenaga nuklir justru berakhir mencelakakan ketahanan nasional Indonesia. Ditinjau dari unsur sosiologis, salus populis suprema lex esto berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara. Berangkat dari adagium tersebut, tepatkah upaya pemerintah dalam menetapkan pengaturan PLTN demi menunjang kesejahteraan rakyat? Sementara banyak yang setuju atas urgensi net zero emission, tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, bahkan penggunaan tenaga

9

Suharyono S. Hadinagoro, “Reduksi Ego Sektoral dan Perkuat Sinergi Demi Produktivitas Nasional,” https://www.perpusnas.go.id/news-detail.php?lang=id&id=200606090752gv6KxImoQa, diakses 7 Desember 2021. 10 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. 5 (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 123. 11 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014, Ps. 1.


nuklir untuk produksi listrik tengah diperdebatkan. Sesuai pragmatis realitas, tidak dapat dipungkiri Indonesia memang sedang dihadapkan posisi terancam akan kritis penyediaan energi listrik. PLTN dalam RUU EBT seyogyanya memuat fokus ganda. Fokus pertama menitikberatkan pemanfaatan energi nuklir, sedangkan fokus kedua menanggulangi risiko penggunaan nuklir. Rezim peraturan baiknya diciptakan atas dasar keseimbangan antara manfaat dan usaha dalam pencegahan resiko penggunaan nuklir sehingga peraturan perundangundangan harus menyediakan kerangka hukum yang memberatkan kedua fokus tersebut demi membentengi perlindungan bagi masyarakat. Pada penyusunan regulasi terkait energi nuklir, International Atomic Energy Agency (IAEA) menetapkan 11 prinsip dasar yang perlu diperhatikan. Pertama, prinsip keselamatan (the safety principle) menekankan keselamatan sebagai prioritas utama dalam pembangunan PLTN.12 Sejalan dengan prinsip keselamatan, prinsip keamanan (the security principle) turut menjadi prinsip pelengkap untuk mengantisipasi pencegahan. Mencapai tujuan keselamatan dan keamanan, pembangunan PLTN sedari awal dimanifestasikan dengan tujuan mulia guna penurunan emisi karbon mengingat nuklir adalah adalah sumber energi rendah dan minim emisi. Walaupun demikian, nuklir berpeluang meninggalkan jejak air yang besar. Dapat dilihat bahwa Jepang saat ini mendapat protes dari Cina, Taiwan, dan Korea Selatan karena hendak melepaskan 1,3 juta ton air ke laut akibat limbah radioaktif PLTN Fukushima. Keterpaksaan ini didasari setelah selama 10 tahun sejak bencana nuklir Fukushima, volume air guna mendinginkan pasca bencana kebocoran reaktor nuklir telah melampaui batas ruang tangki.13 Situasi tidak biasa ini menjadi tantangan tersendiri bagi Jepang karena sumber air yang tercemar berdampak pada para petani dan nelayan sekitar harus menghadapi kerugian secara ekonomis.14 Mengingat cita-cita hukum (ius constituendum) PLTN pada RUU EBT, apakah operasi PLTN dapat secara efektif memberantas ekses karbon? Melihat insiden Fukushima, PLTN justru menyalahi tujuan hadirnya dan berbuntut menciptakan problematika lingkungan baru. Faktor keamanan dan keselamatan turut menjadi suatu kekhawatiran tersendiri. RUU EBT tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan bila terjadi kebocoran nuklir serta tidak menjelaskan pengembangan pembuangan limbah PLTN kedepannya. Dalam pasal 11 ayat (1) 12

Pujiyono dan Ade Adhari, Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam, cet.1 (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2019), hlm. 60. 13 Eka Yudha Saputra, “Jepang Mau Buang,” https://dunia.tempo.co/read/1452071/jepang-mau-buang1-juta-ton-air-pltn-fukushima-cina-dan-korea-selatan-protes, diakses 2 Desember 2021. 14 Eka Yudha Saputra, “Petani Jepang Khawatir Dampak Pelepasan Kontaminasi Fukushima,” https://dunia.tempo.co/read/1525182/petani-jepang-khawatir-dampak-pelepasan-air-kontaminasi-fukushima, diakses 2 Desember 2021.


RUU EBT pemerintah pusat mempersiapkan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi. Namun, pengelolaan kelanjutannya tercantum dalam pasal 11 ayat (2) RUU EBT akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) sehingga penyusunannya perlu diperhatikan lebih lanjut. Prinsip berikutnya adalah prinsip tanggung jawab (the responsibility principle) yang melibatkan banyak aktor meliputi organisasi penelitian dan pengembangan, pengolah bahan nuklir, produsen perangkat nuklir atau sumber radiasi pengion, praktisi medis, firma teknik arsitek, perusahaan konstruksi, operator instalasi nuklir, lembaga badan keuangan, dan badan pengawas.15 Seluruh entitas tersebut mengenyam tanggung jawab dan beban untuk memastikan pembangunan PLTN memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. Kedua ketentuan sebelumnya berhubungan dengan prinsip independensi (the independence principle). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, nuklir menyangkut hajat kehidupan dan keselamatan orang banyak sehingga dikuasai oleh negara.16 Hal ini sejalan dengan prinsip independensi (the independence principle). Pasal 7 ayat (3) RUU EBT menunjukkan persyaratan tersebut sudah sejalan bahwa pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning PLTN dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN Khusus). Dalam pengelolaan PLTN, prinsip izin merupakan isu krusial. Operasi PLTN perlu menitikberatkan fokus dalam pembentukan nuklir dalam RUU EBT terbebas dari segala bentuk intervensi badan lain yang terlibat dalam pengembangan energi nuklir. Pasal 10 ayat (1) RUU EBT telah mengamanatkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat kecuali dalam hal tertentu yang diatur dengan pemerintah pusat. Adapun yang dimaksud dengan perizinan berusaha pada RUU EBT menandakan bahwa legalitas telah dilimpahkan oleh pelaku usaha untuk mulai menjalan usaha atau kegiatannya. Selanjutnya, prinsip pengendalian secara terus menerus (the continuous control principle) berarti setelah diberikan otoritas penuh dalam pembangunan PLTN perlu diadakan pengawasan untuk mempertahankan kemampuan pengembangan. Mengemuka dari prinsip tersebut, PLTN dalam RUU EBT mengharuskan ketersediaan akses penelitian PLTN. Indonesia sendiri telah mendirikan tiga reaktor nuklir riset yang masih tetap beroperasi dengan baik hingga saat ini yakni, Reaktor TRIGA 2000 di Bandung, Reaktor Kartini di Yogyakarta,

15

Pujiyono dan Ade Adhari, Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam, Cet.1 (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2019), hlm. 62. 16 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenaganukliran, UU No. 10 Tahun 1997, LN No. 23 Tahun 1997, TLN No. 3676.


dan Reaktor GA Siwabessy di Serpong.17 Pada ketiga reaktor nuklir tersebut, Sumber Daya Manusia (SDM) selaku operator dididik dan dilatih baik melalui kerja sama yang dijalin dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan program studi magister dan doktoral Rekayasa Nuklir, Universitas Padjadjaran (UNPAD) dengan program farmakologi nuklir dan kedokteran nuklir, Universitas Gadjah Mada dengan program studi teknik nuklir, serta Sekolah Tinggi Teknik Nuklir (STTN) yang sebelumnya dikelola oleh BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).18 Selain Perguruan Tinggi Negeri (Negeri), terdapat beberapa program internship dari instansi luar negeri. Pengalaman operasional SDM inilah yang di kemudian hari menjadi modal penting bagi Indonesia. Pengelolaan ini harus ditekankan secara terus menerus sebab beberapa negara di dunia acap kali mangkrak dalam pembangunan PLTN. Pemerintah Indonesia yang menggaungkan PLTN sebagai terobosan baru harus melihat pengalaman negara lain dalam pembangunan PLTN. Dapat dilihat bahwa negara tetangga Indonesia seperti Malaysia justru berhenti mengoperasikan pembangunan PLTN. Pada tahun 2012, Malaysia Nuclear Power Corporation (MNPC) didirikan untuk menunjang rencana pembangunan dua pembangkit listrik tenaga nuklir di Malaysia pada tahun 2030. Namun, Perdana Menteri Malaysia Tun Dr. Mahathir Mohamad membulatkan keputusannya untuk menghentikan pengembangan PLTN perihal ketidaktahuan membalikkan proses limbah nuklir yang bersifat radioaktif bertahan selama satu juta tahun kedepan.19 Negara tetangga selanjutnya, di Vietnam terdapat dua pembangkit listrik tenaga nuklir mangkrak yang telah menelan biaya multi miliar dolar. Pemerintah Vietnam mengakhiri kontrak konsultasi dengan mitra Rusia dan Jepang setelah Majelis Nasional memutuskan untuk meninggalkan proyek tersebut pada November 2016 berkisar tujuh tahun setelah persetujuan rencana investasi.20 Le Hong Tinh selaku wakil ketua Komite Majelis Nasional untuk Sains, Teknologi, dan Lingkungan mengutarakan biaya untuk proyek nuklir telah meningkat menjadi VND 400 triliun ($19 miliar) menimbulkan kebimbangan tentang kelayakan proyek.21

17

Selfie Miftahul Jannah "Komitmen Semu Energi Terbarukan di RUU EBT: Masih Bahas Batu Bara", https://tirto.id/gjTE, diakses 2 Desember 2021. 18 Syafril Amir, “Mulyanto Sambut Baik Indonesia Go Nuclear,” https://www.harianhaluan.com/nasional/pr-101249508/mulyanto-sambut-baik-indonesia-go-nuclear?page=all, diakses 30 November 2021. 19 Nor Ain Mohamed Radhi, “Malaysia won't use,” https://www.nst.com.my/news/government-publicpolicy/2020/02/564295/malaysia-wont-use-nuclear-power-says-pm, diakses 2 Desember 2021. 20 Ahmad Saifuddin Bukhari, “Kepentingan Rusia dalam Kerjasama Energi Nuklir dengan Vietnam,” (Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah, Malang, 2018), hlm. 64. 21 Aaron Larson, “Vietnam Kills Nuclear Power Project Due to High Costs,” https://www.powermag.com/vietnam-kills-nuclear-power-project-due-to-high-costs/, diakses 2 Desember 2021.


Meskipun Vietnam telah menghabiskan triliunan untuk investasi tersebut, pemerintah rela memotong kerugiannya ketimbang menghamburkan uang berharga dan berakhir dengan ketidakpastian. Selain negara-negara ASEAN, beberapa negara di dunia turut mulai memberhentikan pengoperasian PLTN. Titik awal bermula dari gerakan anti nuklir Jerman memutuskan untuk sepenuhnya menutup PLTN komersial. Fenomena ini menarik perhatian seluruh dunia yang kemudian mendorong gerakan “Nuclear phase out” .22 Prinsip kompensasi (the compensation principle) berarti harus menentukan tahapan dalam pemberian kompensasi apabila di kemudian hari timbul kerugian akibat kecelakaan nuklir. Merenungkan kilas balik insiden kebocoran reaktor nuklir Unit 4 di Chernobyl pada 26 April 1986, bencana katastropik ini terlukis dalam sejarah sebagai bencana lingkungan terganas akibat ulah kesalahan manusia sendiri (human error).23 Sebagai pengguna PLTN baru di dunia, Uni Soviet tidak dapat luput dari kesalahan dan menjadikan dalih kurangnya informasi sebagai tameng untuk membebaskan pertanggungjawaban operator dalam mengelola reaktor nuklir. Pada kenyataannya, jikalau operator dan supervisor mengikuti protokol keselamatan maka kecelakaan itu tidak akan terjadi sekalipun reaktor PLTN cacat secara fisik.24 Kecelakaan nuklir dapat digolongkan dalam kegiatan yang berbahaya (extrahazardaous atau ultrahazardous) sehingga diperlukan sistem pertanggungjawaban sipil berdasarkan prinsip strict liability atau absolute liability.25 Strict liability menekankan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi, hal ini tertuang dalam The Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage.26 Sedangkan, absolute liability bertanggung jawab dalam mengganti kerugian penuh. Negara harus memikul kewajiban konsekuensial dalam membiayai kompensasi perbaikan (remedy atau reparation) setelah terjadinya pelanggaran hukum internasional.27 Selanjutnya adalah prinsip pembangunan berkelanjutan (the sustainable development principle). Secara ekologis, tiada yang dapat memisahkan manusia dan lingkungan.28 Menjadi bagian dari alam, manusia hanya dapat meneruskan eksistensinya di dunia dengan interaksi 22

Lars Kramm, “The German Nuclear Phase Out After Fukushima: A Peculiar Path or an Example For Others?” Renewable Energy Law and Policy Review Volume 3 Nomor 4 (2012), hlm. 252. 23 Putri Aisyiyah Rachma Dewi, “Praktik Jurnalisme Lingkungan oleh Harian Jawa Pos,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 15 Nomor 2 (November 2011), hlm. 191. 24 R. Andika Putra Dwijayanto, “Kecelakaan Chernobyl Adalah Bukti Energi Nuklir Itu Selamat, Bukan Sebaliknya,” https://warstek.com/chernobylnpp/, diakses 7 Desember 2021. 25 Tiara Indriawati, “Sistem Pertanggungjawaban Sipil dalam Kecelakaan Reaktor Nuklir Menurut Hukum Lingkungan Internasional,” Fakultas Hukum Universitas Andalas (2015), hlm. 4. 26 Ibid., hlm. 4. 27 Ibid., hlm. 5. 28 Ramli Utina dan Dewi Wahyuni K. Baderan, Ekologi dan Lingkungan Hidup, cet.1 (Gorontalo: UNG Press, 2009), hlm. 23.


dengan alam. Hubungan ini dibuktikan dari manusia dalam memenuhi kebutuhannya mengambil dari alam. Namun, manusia juga harus mengelola alam. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai suatu pembangunan menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kapabilitas generasi di masa depan dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.29 Meskipun energi nuklir diklasifikasikan sumber energi terbarukan, bahan yang digunakan dalam PLTN berupa uranium merupakan sumber daya yang tidak terbarukan. Hal ini seharusnya mendorong pemerintah untuk berpikir dua kali, apakah PLTN merupakan solusi penyediaan listrik jangka panjang? Sementara uranium adalah kunci keberlangsungan operasi PLTN. Berdasarkan penelitian, operasi PLTN selama 10 tahun mendatang membutuhkan jumlah yellow cake sebesar 2.446.8, melebihi cadangan terukur Indonesia dalam mengamankan pasokan untuk kebutuhan PLTN.30 Hingga kini, cadangan uranium Indonesia berjumlah sebanyak 1608 ton hanya dapat mendukung kebutuhan bahan bakar PLTN selama kurun waktu 3 tahun. Ironisnya, memasuki tahun keempat PLTN harus mulai mengimpor uranium demi keberlanjutan PLTN.31 Ketergantungan ini justru menciptakan mimpi buruk baru bagi Indonesia yang kian memberatkan utang luar negeri. Selain itu, insiden PLTN Fukushima dinyatakan termasuk kecelakaan dengan skala 7 setara dengan insiden PLTN Chernobyl.32 Tokyo Electric Power Company di Fukushima mengalami kebocoran reaktor nuklir akibat faktor alam gempa bumi berkekuatan 9,0 Skala Richter disusul gelombang tsunami setinggi 10 meter yang terjadi pada 11 Maret 2011. Insiden ini adalah titik terendah krisis legitimasi energi nuklir, muncul berbagai keraguan potensi nuklir sebagai substitusi energi fosil. Maraknya bencana alam menimbulkan keresahan oleh karena posisi negara Indonesia terletak di kawasan cincin api pasifik (ring of fire).33 Bagai etalase bencana, kompleksitas bencana yang tinggi mulai dari banjir, gempa bumi, tsunami, hingga erupsi telah menjadi suatu hal yang awam bagi Indonesia. Program PLTN dibiayai dana publik sehingga pemerintah harus menempatkan 29

Agus Sarwo Edy Sudrajat, “Pilar Pembangunan Berkelanjutan: Kajian Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kampung Batik Rejomulyo Semarang Timur,” Riptek Volume 12 Nomor 1 (2018), hlm. 84. 30 Imam Bastori dan Moch. Djoko Birmano, “Analisis Ketersediaan Uranium di Indonesia untuk Kebutuhan PLTN Tipe PWR 1000 MWe,” Jurnal Pengembangan Energi Nuklir Volume 19 Nomor 2 (2017), hlm. 99. 31 Ibid., hlm. 99. 32 Verdinand Robertua, “Krisis Legitimasi Energi Nuklir dalam Ekonomi Politik Internasional: Studi Kasus Fukushima,” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume 7 Nomor 1 (Juni 2017), hlm 49. 33 D. S. Wisnubroto, Ruslan, D. Irawan, et al, “Public opinion survey on nuclear energy in Indonesia: Understanding public perception on nuclear power plant program,” The 3rd International Conference on Nuclear Energy Technologies and Sciences (ICoNETS) (2019), hlm. 2.


kepentingan publik sebagai prioritas utama dan menjalankan prinsip transparansi (the transparency principle). Dalam hal ini, diharapkan pihak berkompeten dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembentukan RUU EBT. Pembentukan dan hasil RUU EBT sebaiknya menghindari salah jalan (misleading), menimbulkan ketidakpercayaan (distrust), dan pada akhirnya menimbulkan pembangkangan publik. Masyarakat khawatir PLTN tidak dapat mempertahankan stabilitas nasional. Draft definitif susah untuk diakses masyarakat, jadwal rapat acap kali bersifat tertutup menghiraukan prinsip transparansi, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tidak menjangkau masyarakat luas, serta kurangnya sistem bagi masyarakat untuk memberi masukan dan saran.34 Sekitar tiga bulan yang lalu, dibuka suatu forum berisi petisi bagi DPR untuk menghapus batubara dan nuklir dari RUU EBT melalui situs change.org. Change.org adalah platform untuk menyampaikan petisi dan kampanye sosial secara online yang bertujuan untuk melakukan perubahan sosial. Terhitung 2 Desember, telah terkumpul 2.688 masyarakat yang menandatangani petisi penghapusan PTN.35 Penolakan ini dilatarbelakangi operasi PLTU di Jakarta membawa bekas mendalam usai memakan 4700 korban, mereka berpandangan dengan adanya operasi PLTN, maka keadaan akan semakin mengancam.36 Sehubungan dengan hal ini, pada 19 September 2021 Presiden Joko Widodo bersama, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, serta beberapa pejabat pemerintah lainnya dinyatakan bersalah atas kelalaian lingkungan dan dianggap gagal mengatasi polusi udara kronis dalam gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.37 Terakhir adalah prinsip kerjasama internasional (the international co-operation principle). Menyongsong akhir Perang Dunia II, lahir suatu transisi pemikiran kerangka global dimana secara internasional setuju atas dua cara pengelolaan nuklir yaitu, mengawasi dan menghapuskan “Atoms for war” serta mempromosikan dan mengupayakan “Atoms for peace.”38 Atoms for peace diatur dalam Convention on Nuclear Safety (Konvensi Tentang Keselamatan Nuklir) dan The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 34

Pushep, “Mengawal RUU EBT,” “https://pushep.or.id/wp-content/uploads/2021/04/Diskusi-PublikIsu-Isu-Krusial-dalam-RUU-Energi-Baru-Terbarukan-CERA-23-April-2021.pdf, diakses 5 Desember 2021. 35 Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan, “DPR, Hapus Batubara dan Nuklir dari RUU Energi Baru Terbarukan,” https://www.change.org/p/dpr-hapus-batubara-dan-nuklir-dari-ruu-energi-baru-terbarukan, diakses 5 Desember 2021. 36 Tito Sianipar, “Pemerintah didesak batalkan pembangunan PLTU batu bara di Jawa,” https://www.bbc.com/indonesia/media-42745431, diakses 8 Desember 2021. 37 Thea Fathanah Arbar, “Jokowi Hingga Anies Divonis Bersalah dalam Gugatan Polusi DKI,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20210916184717-4-276931/jokowi-hingga-anies-divonis-bersalahdalam-gugatan-polusi-dki, diakses 2 Desember 2021. 38 Ekpi Yossara Simbolon, “Peranan Internasional Atomic Energy Agency Untuk Mengawasi Program Nuklir Iran dalam Kaitannya dengan Implementasi Joint Plan of Action 2013,” hlm. 3.


(Konvensi Tentang Perlindungan Fisik Bahan Nuklir). Kedua konvensi tersebut diciptakan dengan tujuan untuk memberikan dukungan pemanfaatan tenaga nuklir demi tujuan damai. Berdasarkan pemaparan diatas, pengaturan PLTN pada RUU EBT saat ini belum memenuhi beberapa asas yang telah ditetapkan oleh IAEA. Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan bahwa Indonesia baru hampir menyongsong fase pertama dari ketiga siklus PLTN sesuai syarat IAEA. Dalam proses menyelesaikan fase pertama, terdapat 19 item yang harus dipenuhi. Terhitung hingga saat ini Indonesia baru merampungkan 16 item. Sisa tiga item yang belum terpenuhi antara lain adalah posisi nasional Indonesia, pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir (NEPIO) untuk memonitor implementasi energi nuklir, serta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.39 PLTN dalam RUU EBT yang lahir di tengah krisis batubara adalah salah satu solusi dalam pemulihan ketenagalistrikan Indonesia. Pemberantasan emisi karbon memang perlu ditumpas habis menempatkan nuklir sebagai opsi terbaik oleh sifatnya tidak menghasilkan emisi zat berbahaya. Namun, bagaikan sisi mata uang, terdapat sisi untung dan rugi pengembangan PLTN. Dengan menekankan asas salus populi suprema lex, menjadi suatu justifikasi alasan penempatan nuklir sebagai opsi terakhir. Nuklir tidak lagi dijadikan opsi terakhir dalam pengembangan energi yang rendah karbon di masa depan, melainkan telah menduduki tempat tersendiri dalam peta jalan energi Indonesia. Di lain sisi, nuklir bukan sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Penerapan PLTN berdasarkan kondisi negara saat ini kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Guna mendorong pembangunan berkelanjutan, sebaiknya pemerintah mendorong energi terbarukan terlebih dahulu mengingat melimpahnya potensi sumber daya alam Indonesia akan energi terbarukan ketimbang energi baru seperti nuklir. Pembangunan PLTN saat ini bukan merupakan kebutuhan riil yang memiliki nilai urgen. Dengan demikian, pengaturan PLTN dalam RUU EBT perlu dikaji ulang. Menurut hemat penulis, kesiapan Indonesia saat ini kurang mendukung urgensi pembangunan PLTN. Akan tetapi, dengan perkembangan substansi draft RUU EBT dapat membuka peluang bagi PLTN. Pada hakikatnya, pengaturan PLTN tidak dibatasi dalam undang-undang saja. Jika kedepannya RUU EBT resmi disahkan, maka akan diikuti Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang disahkan. Apabila di kemudian hari PLTN tidak memiliki kelayakan untuk didirikan, maka harus diajukan pada Mahkamah Konstitusi agar regulasi nuklir dalam RUU EBT dapat dibatalkan. 39

Antara, “3 Langkah Lagi,” https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210219082529-85-608188/3langkah-lagi-ri-masuk-tahap-pembangunan-nuklir, diakses 7 Desember 2021.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU Dewan Energi Nasional Republik Indonesia. Laporan Dewan Energi Nasional 2014. Jakarta: Dewan Energi Nasional Republik Indonesia, 2014. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Cet. 5 Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016. Pujiyono dan Ade Adhari, Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam. Cet. 1. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2019. Sukandarrumidi. Batubara dan Pemanfaatannya: Pengantar Teknologi Batubara Menuju Lingkungan Bersih. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018. Utina, Ramli dan Dewi Wahyuni K. Baderan. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Cet. 1. Gorontalo: UNG Press, 2009.

ARTIKEL Aisya dan Naila Sukma. “Dilema Posisi Indonesia dalam Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim.” Indonesian Perspective Volume 4 Nomor 2 (November 2019). Hlm. 118-132. Bastori, Imam dan Moch. Djoko Birmano. “Analisis Ketersediaan Uranium di Indonesia untuk Kebutuhan PLTN Tipe PWR 1000 MWe.” Jurnal Pengembangan Energi Nuklir Volume 19 Nomor 2 (2017). Hlm. 95-102. Dewi dan Putri Aisyiyah Rachma. “Praktik Jurnalisme Lingkungan oleh Harian Jawa Pos,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 15 Nomor 2 (November 2011). Hlm. 189206. Indriawati, Tiara. “Sistem Pertanggungjawaban Sipil dalam Kecelakaan Reaktor Nuklir Menurut Hukum Lingkungan Internasional.” Fakultas Hukum Universitas Andalas (2015). Kramm, Lars. “The German Nuclear Phase Out After Fukushima: A Peculiar Path or an Example For Others?” Renewable Energy Law and Policy Review Volume 3 Nomor 4 (2012). Hlm. 251-256. Robertua,

Verdinand. “Krisis Legitimasi Energi Nuklir dalam Ekonomi Politik


Internasional: Studi Kasus Fukushima.” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume 7 Nomor 1 (Juni 2017). Hlm. 47-62. Simbolon, Ekpi Yossara. “Peranan Internasional Atomic Energy Agency Untuk Mengawasi Program Nuklir Iran dalam Kaitannya dengan Implementasi Joint Plan of Action 2013.” Sumatra Journal of International Law Volume 2 Nomor 2 (2014). Hlm. 1-21. Sudrajat, Agus Sarwo Edy. “Pilar Pembangunan Berkelanjutan: Kajian Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kampung Batik Rejomulyo Semarang Timur.” Riptek Volume 12 Nomor 1 (2018). Hlm. 83-88. Wisnubroto, D. S., Ruslan, D. Irawan, et. al. “Public opinion survey on nuclear energy in Indonesia: Understanding public perception on nuclear power plant program,” The 3rd International Conference on Nuclear Energy Technologies and Sciences (ICoNETS) (2019). Hlm. 2.

SKRIPSI Bukhari, Ahmad Saifuddin. “Kepentingan Rusia dalam Kerjasama Energi Nuklir dengan Vietnam.” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah. Malang, 2018.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenaganukliran, UU No. 10 Tahun 1997, LN No. 23 Tahun 1997, TLN No. 3676. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), UU No. 16 Tahun 2016, LN No. 204 Tahun 2016, TLN No. 5939. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014.

INTERNET Antara.

“3

Langkah

Lagi

RI

Masuk

Tahap

Pembangunan

Nuklir,”

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210219082529-85-608188/3-langkah-lagiri-masuk-tahap-pembangunan-nuklir. Diakses 7 Desember 2021. Amir,

Syafril.

“Mulyanto

Sambut

Baik

Indonesia

Go

Nuclear,”

https://www.harianhaluan.com/nasional/pr-101249508/mulyanto-sambut-baikindonesia-go-nuclear?page=all. Diakses 30 November 2021. Arbar, Thea Fathanah. “Jokowi Hingga Anies Divonis Bersalah dalam Gugatan Polusi DKI,”


https://www.cnbcindonesia.com/news/20210916184717-4-276931/jokowi-hinggaanies-divonis-bersalah-dalam-gugatan-polusi-dki. Diakses 2 Desember 2021. Asmarini, Wilda. “Kiamat Batu Bara RI Kian Nyata, PLTU Pensiun Jadi 9,2 GW 2030,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20211107090427-4-289582/kiamat-batu-barari-kian-nyata-pltu-pensiun-jadi-92-gw-2030. Diakses 1 Desember 2021. Dwijayanto,

R. Andika Putra. “Kecelakaan Chernobyl Adalah Bukti Energi Nuklir Itu

Selamat, Bukan Sebaliknya,” https://warstek.com/chernobylnpp/. Diakses 7 Desember 2021. ESDM,

“Menteri

Arifin:

Prinsip

5K

untuk

Penyediaan

Listrik,”

https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/menteri-arifin-prinsip-5k-untukpenyediaan-listrik. Diakses 6 Desember 2021. France24. “COP26:

190 nations

and organisations

agree to

phase out

coal”,

https://www.france24.com/en/europe/20211104-cop26-190-nations-andorganisations-agree-to-phase-out-coal. Diakses 1 Desember 2021. Hadinagoro, Suharyono S. “Reduksi Ego Sektoral dan Perkuat Sinergi Demi Produktivitas Nasional,” https://www.perpusnas.go.id/news-detail.php?lang=id&id=200606090752 gv6KxImoQa. Diakses 7 Desember 2021. Jannah, Selfie Miftahul. "Komitmen Semu Energi Terbarukan di RUU EBT: Masih Bahas Batu Bara", https://tirto.id/gjTE. Diakses 2 Desember 2021. Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan, “DPR, Hapus Batubara dan Nuklir dari RUU Energi Baru Terbarukan,” https://www.change.org/p/dpr-hapus-batubara-dan-nuklir -dari-ruuenergi-baru-terbarukan. Diakses 5 Desember 2021. Larson,

Aaron. “Vietnam Kills Nuclear Power Project Due to High Costs,”

https://www.powermag.com/vietnam-kills-nuclear-power-project-due-to-high-costs/. Diakses 2 Desember 2021. Pushep. “Mengawal RUU EBT,” “https://pushep.or.id/wp-content/uploads/2021/04/DiskusiPublik-Isu-Isu-Krusial-dalam-RUU-Energi-Baru-Terbarukan-CERA-23-April2021.pdf. Diakses 5 Desember 2021. Radhi,

Nor

Ain

Mohamed.

“Malaysia

won't

use

nuclear

power,

says

PM,”

https://www.nst.com.my/news/government-public-policy/2020/02/564295/malaysiawont-use-nuclear-power-says-pm. Diakses 2 Desember 2021. Saputra, Eka Yudha. “Jepang Mau Buang 1 Juta Ton Air PLTN Fukushima, Cina dan Korea Selatan Protes,” https://dunia.tempo.co/read/1452071/jepang-mau-buang-1-jutaton-air-pltn-fukushima-cina-dan-korea-selatan-protes. Diakses 2 Desember 2021.


Saputra, Eka Yudha. “Petani Jepang Khawatir Dampak Pelepasan Kontaminasi Fukushima,”

https://dunia.tempo.co/read/1525182/petani-jepang-khawatir-dampak-

pelepasan-air-kontaminasi-fukushima. Diakses 2 Desember 2021. Sianipar, Tito. “Pemerintah didesak batalkan pembangunan PLTU batu bara di Jawa,” https://www.bbc.com/indonesia/media-42745431. Diakses 8 Desember 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.