Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Kritik-Penghinaan: Dua Sumbu Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat

Page 1


“Kritik dan Penghinaan: Dua Sumbu Kriminalisasi dalam Kebebasan Berpendapat” Oleh : Revisa Ayunda Putri Pratama Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2021

sumber: Tempo.co Zaman Orde Baru cukup menjadi hantu bagi masyarakat Indonesia atas pembungkaman-pembungkaman dan tindakan represif aparat yang terjadi. Berbagai macam cara dilakukan oleh rakyat untuk menggulingkan pemerintahan orde baru, hingga pada tahun 1998 Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI dan digantikan oleh BJ. Habibie. BJ Habibie membuat perubahan yang sangat besar dengan merubah orde baru yang otoriter menjadi era reformasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Kebebasan dalam menyampaikan pendapat ini juga sebagai bentuk refleksi penegakan hak asasi manusia. Keberadaan Hak Asasi Manusia dalam konsepsi negara hukum terkait dengan pengaturan Hak Asasi Manusia oleh negara bukan berarti telah terjadi pengekangan oleh negara namun dalam konsepsinya adalah pengaturan oleh negara. Dalam suatu sisi Hak Asasi memiliki sifat dasar yang membatasi kekuasaan pemerintahan, namun sebaliknya pada sisi lain pemerintah diberi wewenang untuk membatasi hak-hak dasar sesuai dengan fungsi pengendalian (Sturing). Jadi walaupun hak-hak dasar itu mengandung sifat yang membatasi kekuasaan pemerintah, pembatasan tersebut tidak berarti mematikan kekuasaan pemerintah yang dasarnya berisi wewenang untuk mengendalikan kehidupan masyarakat. 1 Pada era ini banyak ketentuan-ketentuan yang diubah seperti kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang dijamin oleh pemerintah. Sejatinya, kebebasan berpendapat ini merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1 Dela Luisky, Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia, lex scientia law 2, November 2018, hlm.189.


1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” 2 Pasal tersebut masih terlalu luas untuk mendefinisikan kebebasan berpendapat sehingga diperjelas kembali pada Pasal 28 J ayat (2) yang menyebutkan bahwa ketika kita menjalankan hak kebebasan maka terdapat beberapa batasan yang harus diperhatikan agar tidak menyinggung kehormatan orang lain. 3 Terdapat beberapa undang-undang turunan dari kebebasan berpendapat ini seperti contohnya Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam praktiknya kemerdekaan menyampaikan pendapat ini bisa disampaikan dalam berbagai macam bentuk dan media mulai dari aksi demonstrasi, media pers, media sosial, propaganda, kajian, infografis, berpendapat di muka umum, dan masih banyak lagi. Tetapi sangat disayangkan apabila terdapat celah-celah yang digunakan oleh salah satu pihak untuk menginterpretasikan kebebasan berpendapat tersebut sebagai sebuah penghinaan. Terlebih di era yang serba modern ini individu memiliki media yang luas untuk menyampaikan pendapat di sosial media. Regulasi yang mengatur tentang batasan-batasan di sosial media dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE ini cukup kontroversial akhir-akhir ini karena menjerat banyak individu yang menggunakan hak kebebasan berpendapatnya terutama untuk menyampaikan kritik tetapi justru dikriminalisasi menjadi sebuah penghinaan. Tujuan awal dari adanya undang-undang ini adalah memberikan keamanan ruang digital Indonesia untuk lebih bersih, sehat, beretika dan produktif dalam implementasinya. Tetapi sangat disayangkan dengan adanya UU ITE ini justru mengkriminalisasi banyak individu. Seperti contohnya kasus pasien konsultasi keluarga yang memberikan kritikan pada kolom komentar Facebook karena sang konsultan membocorkan informasi yang diberikannya. Karena merasa geram, si konsultan justru menggugat pasiennya menggunakan pasal karet UU ITE. Hal ini menjadi tembok pembatas dalam menyampaikan pendapat. Kita dibatasi dengan kata penghinaan padahal apa yang disampaikan adalah sebuah bentuk kritikan yang benar adanya. Penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI dimana dijelaskan bahwa penghinaan merupakan keadaan seseorang yang dituduh atas sesuatu hal yang benar faktanya namun bersifat memalukan karena diketahui oleh umum sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dan kebalikannya apabila yang dituduhkan itu tidak benar maka dia dianggap melakukan fitnah/pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud pada Pasal 311 ayat (1) KUHP, tetapi apabila penghinaan tersebut dilakukan dengan cara lain selain melakukan penuduhan atas suatu perbuatan maka masuk pada Pasal 315 KUHP

2

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 28E ayat (3). Ibid, Pasal 28.

3


dan dikategorikan sebagai penghinaan ringan. 4 Sedangkan pengertian kritik sendiri adalah proses dalam menganalisis dan mengevaluasi terhadap suatu hal yang bertujuan untuk kontrol sosial dan membangun.5 Dalam hal menganalisis apakah suatu perkataan atau tindakan dapat dikategorikan memenuhi unsur dari penghinaan atau tidak adalah dengan melihat pada mens rea. Untuk dapat mengungkap kesalahan seorang terdakwa yang diajukan ke muka sidang, maka penuntut umum harus berusaha untuk dapat membuktikan kesalahan tersebut. sehingga penuntut umum dibebani untuk melakukan pembuktian dimana dengan alat-alat bukti yang diajukan itu membuat terang akan kebenaran suatu tindak pidana yang telah terjadi yang dilakukan oleh terdakwa yang dibawa di muka sidang. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia no : M.01.PW-07-03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan:6 “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenara materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dan bertujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pelaksanaan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.” Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila dalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan di belakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Dengan melihat mens rea ini kita bisa memilah apa tujuan dari seseorang 4

Redha Mathovani, Meluruskan Istilah Kritik, Penghinaan, dan Ujaran Kebencian, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5cf0a71edb75c/meluruskan-istilah-kritik-fitnah-dan-ujarankebencian?page=4, diakses 2 Juli 2021. 5 Ibid. 6 Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Putusan No. M.01.PW-07-03 tahun 1982. hlm.72.


menyampaikan suaranya tersebut. Apabila benar hal tersebut memiliki tujuan buruk untuk memberikan penekanan atau penggiringan opini masyarakat maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penghinaan, tetapi apabila hal tersebut ditujukan untuk keperluan mengevaluasi suatu tindakan dan tujuan membangun maka hal tersebut adalah sebuah kritik. Tentu dalam pembuktian mens rea ini tidak mudah, maka terdapat putusan Mahkamah Agung Nomor 364 K/Pid.Sus/2015 yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum dengan beberapa kriteria, yakni: 7 1. 2. 3.

Kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan; Antara terdakwa dan korban tidak terdapat konflik pribadi; dan Perbuatan terdakwa adalah sebuah bentuk protes

Dengan adanya batasan-batasan tersebut maka ada atau tidaknya mens rea dapat dibuktikan. Perbedaan antara kritik dan penghinaan ini sangat perlu dibuktikan agar tidak terjadi interpretasi yang salah dari sebuah kritik menjadi sebuah penghinaan. Ketika masyarakat dihantui dengan pasal penghinaan baik dalam UU ITE atau dalam KUHP maka tidak akan terjadi iklim demokrasi yang bebas untuk menyampaikan pendapat karena kriminalisasi kritik yang berujung pada pembungkaman.

7

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 364

K/Pid.Sus/2015, hlm. 40.


Daftar Pustaka Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 28E ayat (3). Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 364 K/Pid.Sus/2015. Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Putusan No.M.01.PW-07-03 tahun 1982. Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta, 1984. Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan Dalam Penerapan KUHAP, Jilid I, Penyidikan dan Penuntutan , Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Marzuki, Peter Mahmud, Prof, Dr, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta, 2011. Rahmanto, T. Y. (2016, Juli 1). "Kebebasan Berekspresi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat". Jurnal Hak Asasi Manusia, 46. Sari, Estika. (2003). “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Demokrasi, Vol.II, No.1 Surbakti, Ramlan. (April 1999). “Demokrasi dan Hak -Hak Asasi Manusia”, Masyarakat Kebudayaan dan Politik , Th XII, No.2. Mathovani,Redha. Meluruskan Istilah Kritik, Penghinaan, dan Ujaran Kebencian, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5cf0a71edb75c/meluruskan-istilah-kritikfitnah-dan-ujaran-kebencian?page=4.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.