Paper Review: Euthanasia Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia dan Pengaturan Hukum Pidana

Page 1


PAPER REVIEW Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia dan Pengaturan Hukum Pidana Nama Jurnal : Lex et Societatis Pengarang : Milithia Ch. Y. Legi Tahun : 2016 Diulas oleh : Patricia Quina Gita Naviri

PENDAHULUAN Latar Belakang Terdapat beberapa penggolongan Euthanasia, yaitu 1) Euthanasia Sukarela di mana dilakukan atas permintaan pasien; 2) Euthanasia Tidak Atas Permintaan yang dilakukan tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya; 3) Euthanasia Aktif ketika dokter dengan inisiatif melakukan tindakan yang dapat memperpendek atau menyudahi hidup pasien; dan 4) Euthanasia Pasif yang merupakan penghentian tindakan medis. Hukum positif Indonesia tidak mengatur secara spesifik terkait euthanasia sehingga seringkali dikaitkan dengan pasal 344 atau pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum, euthanasia adalah tindakan yang melanggar hak hidup sesuai yang tertulis pada UU No. 39 Tahun 1999 pasal 9 ayat (1). Hal ini menimbulkan pro-kontra secara prinsip. Ada yang menganggap euthanasia perlu dilegalkan untuk beberapa kasus tetapi ada juga yang menentang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai moral dan agama. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah kepustakaan bersifat yuridis-normatif dan dituliskan secara deskriptif. Ini dilakukan untuk menemukan fakta antara teori hukum yang berlaku dengan kejadian di lapangan. PEMBAHASAN Ditinjau dari UU No. 39 Tahun 1999 Tidak seperti negara Barat, pelaksanaan hak individu di negara-negara Timur seperti Indonesia dibatasi oleh nilai dan norma masyarakat. Keberadaan Deklarasi HAM Internasional hanya dijadikan acuan dalam pelaksanaan HAM dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri tidak dapat mengatur bagaimana suatu negara menjalankan prinsip HAM dalam hukum nasionalnya.


Sejatinya, dalam UU No. 39 Tahun 1999 pasal 9 ayat (1) yang membicarakan hak hidup, ternyata mencangkup juga hak untuk mati. Hak ini mungkin bisa menjadi dasar pembenar bagi individu yang telah menderita bertahun-tahun atau sekarat untuk meminta dokter mempercepat kematiannya. Tetapi, penulis mengatakan bahwa hak untuk mati itu tidak mutlak. Ada pembatasan yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 pasal 33 ayat (2) yaitu “kebebasan dari penghilangan nyawa.” Belum lagi Sumpah Hipokrates yang diucapkan dokter sebelum menunaikan tugasnya menyatakan bahwa mereka senantiasa akan menghormati setiap hidup insan. Oleh karena itu, perihal HAM terkait kasus euthanasia bukan sebatas pengaturan hukum, tetapi meliputi juga norma etis, moral, dan agama yang ada dalam masyarakat. Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia KUHP Indonesia, yang dirancang sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda, menghargai nyawa manusia sebagai suatu kepemilikan yang amat sangat berharga. Segala tindakan yang merampas nyawa akan berujung pidana. KUHP memang tidak secara eksplisit menyebutkan perihal euthanasia, tetapi karena praktik tersebut berakibat hilangnya nyawa maka sudah pasti dilarang; tidak peduli apakah dilakukan atas permintaan yang bersangkutan ataupun tidak. KUHP mengandung sederet pasal yang bisa dikaitkan dengan euthanasia seperti pasal 304 (meninggalkan orang yang perlu ditolong), pasal 344 (merampas nyawa karena diminta), dan pasal 356 ayat (3) (memberi makanan/minuman yang membahayakan nyawa). PENUTUP Kesimpulan Hukum positif Indonesia belum mengatur perihal euthanasia secara khusus karena dianggap bertentangan dengan KUHP dan prinsip HAM yang berlaku di Indonesia. Apabila kasus euthanasia terjadi, maka akan dijerat pasal 344 atau 340 KUHP.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.