Tribune Express LK2 - Tokoh Hukum: Maria Farida Indrati: Sang Srikandi Mahkamah Konstitusi Pertama

Page 1


“Maria Farida Indrati: Sang Srikandi Mahkamah Konstitusi Pertama di Indonesia” Oleh: Nisya Arini Damara Ardhika

Sumber: Dewimagazine.com “Serviam” menjadi kata yang lekat dengan pengabdian Maria Farida dalam perjalanan hidupnya.1 Kata tersebut merujuk pada setiap langkah Maria Farida dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, dengan makna yang dapat dipahami sebagai “saya mau mengabdi”. Maria Farida menggambarkan sosok penegak hukum perempuan yang ingin selalu memberikan pengabdian pada mereka yang harus dilayani. Dilahirkan di Solo, 14 Juni 1949, Maria awalnya bercita-cita sebagai seorang guru.2 Bukan guru di bidang hukum, bukan pula menjadi praktisi hukum yang kini mengenalkan namanya pada Indonesia. Awalnya, Maria Farida justru tertarik untuk menjadi seorang guru piano. Tepat ketika berniat meneruskan impiannya di pendidikan musik, Maria kemudian memahami betul bahwa hidupnya tidak bisa hanya bergantung pada musik. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, yang kini dikenal sebagai pengajar, pengabdi, sekaligus praktisi hukum terkemuka di Indonesia pada awalnya ingin meneruskan jenjang kehidupannya menjadi seorang guru. Akan tetapi, setelah lulus dari SMA Katolik Ursulin Solo, Maria Farida memutuskan untuk mengambil pendidikan sarjana hukumnya di Universitas Indonesia (UI). Tamat menyelesaikan pendidikan sarjana hukum, Maria Farida melanjutkan pendidikan kenotariatan hingga doktor ilmu hukum di kampus yang sama.3 Dalam 1

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Profil Hakim Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.,” https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=10, diakses 25 Maret 2022. 2 Ibid. 3 Viva.co, “Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.,” https://www.viva.co.id/siapa/read/322-prof-dr-maria-farida-indrati-s-h-m-h, diakses 25 Maret 2022.


perjalanan akademiknya, Maria didapuk sebagai mahasiswi teladan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) di umurnya yang ke-26.4 Maria Farida dibawa oleh salah satu dosen penguji skripsinya, Prof. Mr. Prajudi Atmosudirdjo, untuk menjadi asisten dosen.5 Meskipun tidak yakin, Maria Farida menyanggupi permintaan dosennya tersebut. Tanpa disangka, kesempatan itu berhasil membawa Maria sering terlibat dalam beragam kegiatan asosiasi pengajar dan melibatkan dirinya untuk memperdalam ilmu hukum semasa berkuliah. Hal ini turut mengawali kariernya menjadi seorang hakim konstitusi karena keahliannya di bidang perundang-undangan. Pada tahun 1982, di tengah kesibukannya menjalani pendidikan kenotariatan Maria Farida diminta oleh Prof. Hamid Attamimi untuk menjadi asisten dosennya dalam mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan. Awal perjalanan asisten dosen tersebut kemudian membawa Maria Farida untuk menekuni profesi dosen.6 Pasca menekuni pendidikan kenotariatan, Maria Farida melanjutkan pendidikan pascasarjana dan meraih gelar Magister Hukum di tahun 1997.7 Jati diri dan pembawaannya sebagai pendidik mendorong Maria Farida untuk menekuni keahliannya di bidang perundang-undangan. Oleh karena itu, Maria Farida melanjutkan pendidikannya pada jurusan Teknik Perundang-Undangan di negeri kincir angin, Belanda pada 1988. Proses pendidikannya kemudian masih berlanjut pada pendidikan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diambilnya di Amsterdam, Belanda, tepatnya di Vrije Universiteit pada 1990. Riwayatnya dalam mencari ilmu masih terus berjalan hingga beliau meraih gelar Doktor Bidang Hukum Kenegaraannya dan menempuh pendidikan legislative drafting yang diambilnya di Boston University School of Law, Amerika Serikat pada tahun 2002. 8 Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai jagapati konstitusi yang berlaku di Indonesia mengemban wewenang utama untuk melaksanakan judicial review.9 Istilah ini diartikan secara harfiah sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan berwenang.10 Di ranah inilah, Maria Farida dikenal namanya secara nasional sebagai hakim pertama perempuan di Mahkamah Konstitusi dan satu-satunya hakim perempuan yang menjabat pada masa itu. Jabatan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi diawali dengan 4

Ibid. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Profil Hakim Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.,” https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=10, diakses 25 Maret 2022. 6 Tirto.id, “Maria Farida Indrati: Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI,” https://tirto.id/m/maria-farida-indrati-eT, diakses 31 Maret 2022. 7 Ibid. 8 Manahan MP Sitompul, “Sang Pengabdi: Sebuah Dedikasi, Edukasi, dan Afirmasi,” dalam Aradhana: Sang Guru Perundang-Undangan, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019), hlm. 457. 9 Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Surakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009), hlm. 1 – 4. 10 Laica Marzuki, “Judicial Review di Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 1 No. 3 (November 2004), hlm. 1 – 2. 5


keraguannya untuk menerima, lantaran merasa bahwa selama menjadi akademisi, beliau dapat memberikan pendapatnya dengan bebas dan objektif. Maria Farida menyampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang sifatnya cenderung pasif, membuatnya tidak dapat terlibat terlalu jauh dan memberikan langkah progresif kecuali ada pemohon yang datang ke MK sendiri.11 Dalam hal ini, beliau menyadari betul bahwa delapan hakim MK dan dirinya tidak dapat ikut andil dalam pembahasan undang-undang hingga revisinya. Tugas kenegaraan hakim konstitusi dalam memutus dan mengadili perkara konstitusi mengejawantahkan peran MK sebagai pengawal penegakan hukum konstitusi di Indonesia12. Maria Farida dinobatkan sebagai seorang hakim konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008.13 Pemikiran dan pandangan seorang Maria Farida dituangkan oleh Pan Mohammad Faiz bersama rekan sejawatnya di MK dalam rangka memberikan persembahan terakhir untuk Maria Farida sebagai hakim konstitusi yang berjasa memberikan dedikasinya dalam mengemban tugas. Dalam catatan kehidupan singkat tersebut, Maria Farida digambarkan sebagai sosok hakim konstitusi yang penuh perhatian pada pegawai-pegawainya, selain daripada kemampuan dan dedikasinya pada MK yang tidak diragukan lagi. Kepiawaiannya dalam menyelesaikan persoalan yang masuk ke MK ditandai pula dengan masa jabatan Maria Farida yang berlangsung selama dua periode. Sejak MK berdiri pada 2003, beliau menjabat pada tahun 2008 yang diakhiri pada 2018 silam. Hal ini menunjukkan bahwa keinginannya mengabdi pada setiap tugas yang diemban selalu beliau penuhi dengan kemampuan maksimal dan sepenuh hati. Prof. Jimly Asshiddiqie bahkan menyampaikan dalam tulisannya di Kumpulan Tulisan Memperingati Ulang Tahun ke-70 Prof. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., sosok Maria Farida adalah perempuan berdedikasi yang dipercaya publik hingga jabatannya bertahan selama dua periode.14 Menurut Jimly, prinsip Maria Farida “Serviam” adalah lambang pengharapan yang tidak pernah berhenti pudar. Tidak hanya berkontribusi pada putusan-putusan yang telah dikeluarkan MK, Maria Farida juga dikenal karena pendiriannya dalam berpendapat. Maria Farida termasuk pribadi yang menilai bahwa kepentingan dan keadilan anak-anak dan perempuan adalah hal yang krusial.15 Maria Farida 11 Dewi Indonesia, “Peran Maria Farida Indrati sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi,” https://www.dewimagazine.com/news-art/peran-maria-farida-indrati-sebagai-hakim-mahkamah-konstitusi-, diakses 27 Maret 2022. 12 Maruar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum Konstitusi,” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 (Juli 2009), hlm. 357 - 358. 13 Pan Mohammad Faiz, dkk., Serviam: Pengabdian dan Pemikiran Hakim Konstitusi Maria, (Bandar Lampung: AURA, 2018), hlm. 2. 14 Jimly Asshiddiqie, “Catatan-Catatan Hukum untuk 70 Tahun Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H.,” dalam Aradhana: Sang Guru Perundang-Undangan, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019), hlm. 50. 15 Pan Mohammad Faiz, dkk., Serviam: Pengabdian dan Pemikiran Hakim Konstitusi Maria, (Bandar Lampung: AURA, 2018), hlm. 2.


merupakan salah seorang hakim konstitusi yang banyak memiliki perspektif mandiri tentang diskursus berbagai ilmu hukum, baik isu ketatanegaraan, pemilihan umum, agama, hingga hukum pidana. Maria Farida seolah memberikan “warna” tersendiri dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.16 Dalam beberapa putusan MK, Maria Farida termasuk sebagai salah seorang hakim yang kerap menyisipkan dissenting opinion di dalam amar putusan MK. Pandangan yang beliau yakini disampaikan melalui dissenting opinion dan menjadi rujukan akademis demi kepentingan pendidikan publik. Meskipun pandangannya tersebut tidak dapat dijadikan pandangan yang normatif dan berlaku mengikat untuk umum, karena sifat putusan yang final adalah substansi putusan MK yang resmi dan berbeda dengan pandangan para hakimnya. Selama pengabdiannya menjadi hakim konstitusi MK di dua periode, Maria Farida menyampaikan setidaknya dua puluh alasan dan pendapat yang berbeda dengan substansi putusan MK. Dari dua puluh alasan dan pendapat tersebut, terdapat tujuh belas dissenting opinion (pendapat berbeda) dan tiga concurring opinion (alasan berbeda) yang masuk dalam putusan MK. Maria Farida mengungkap perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam hal mengenai kuota keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum (pemilu) dalam Putusan MK No. 22 – 24/PUU-VI/2008 dan menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.17 Selain itu, Maria Farida menyampaikan concurring opinion dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pemenuhan hak-hak anak yang tetap menjadi kewajiban orang tua biologis meskipun dalam perkawinan tidak tercatat.18 Alasan tersebut beliau sampaikan dalam putusan MK perihal Pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Catatan sejarah Maria Farida sebagai seorang ilmuwan tertuang dalam karya-karya tulisannya.

Banyak

dari

kalangan

akademisi

yang

merujuk

pemahaman

ilmu

perundang-undangannya melalui buku yang beliau terbitkan itu. Pada tahun 2007, buku Maria Farida yang bertajuk Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan terbit. Kemudian pada 30 November 2020 silam, seri kedua dari buku pertamanya tersebut diterbitkan oleh Penerbit Kanisius dengan judul Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Penyusunan.19 Buku-buku karyanya ini menggambarkan integritas dan konsistensi beliau sebagai seorang akademisi. Pemikiran Maria Farida dalam buku karyanya ini turut serta dalam perkembangan dunia pendidikan ilmu hukum. Dengan pengalamannya sebagai dosen sekaligus 16

Manahan MP Sitompul, “Sang Pengabdi: Sebuah Dedikasi, Edukasi, dan Afirmasi,” dalam Aradhana: Sang Guru Perundang-Undangan, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019), hlm. 458. 17 Mahkamah Konstitusi RI, Putusan No.22 – 24/PUU-VI/2008, hlm. 114 – 115. 18 Mahkamah Konstitusi RI, Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, hlm. 38 – 45. 19 Gramedia, “Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Penyusunan,” https://ebooks.gramedia.com/books/ilmu-perundang-undangan-2-proses-dan-teknik-penyusunan, diakses 1 April 2022.


praktisi hukum, bukunya berhasil menjadi acuan para generasi muda yang kini sedang duduk di bangku pendidikan ilmu hukum. Pendapat dan alasan berbeda yang dikemukakan Maria Farida dalam putusan-putusan MK tidak berkekuatan mengikat dan tidak masuk dalam substansi resmi putusan MK. Akan tetapi, dari dissenting opinion tersebut akan menjadi pemantik bahasan yang menarik bagi para akademisi dan praktisi hukum. Hal ini menunjukkan adanya pandangan Maria Farida yang berpengaruh juga pada perkembangan ilmu hukum. Misalnya dalam isu perempuan, gender, dan perkawinan yang turut menjadi ruang Maria Farida mengeluarkan dissenting opinionnya. Dalam putusan MK terkait batas usia perkawinan perempuan, Maria Farida menjadi hakim yang berpendapat bahwa untuk melakukan perkawinan, perempuan setidak-tidaknya harus berusia minimal 18 tahun. Di sisi lain, Maria Farida juga mengeluarkan pendapat berbeda terhadap UU Pornografi yang dianggapnya tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan keteguhan Maria Farida dalam menyampaikan pendapatnya ini semakin menggambarkan sosoknya yang merefleksikan perempuan berprinsip. Setelah perjalanannya mencetak sejarah dalam MK, Maria Farida genap menyelesaikan pengabdiannya sebagai hakim konstitusi pada 13 Agustus 2018 lalu.20 Menyusul dengan hal tersebut, kegiatannya di MK kini digantikan dengan hakim konstitusi lain periode. Prinsip “serviam” sebagai lambang keteguhan Maria Farida kini menjadi dorongan banyak orang untuk melanjutkan perjuangannya mengupayakan keadilan. Dalam banyak tulisan karya rekan sesamanya di MK, Maria Farida adalah sosok Bunda bagi MK, yang keteladanannya akan terus memotivasi para penegak hukum yang berada di sana, maupun bagi masyarakat luas di Indonesia. Maria Farida juga berharap akan ada orang yang melanjutkan perjuangannya menegakkan keadilan sebagai hakim konstitusi di Indonesia.

20

Mahkamah Konstitusi RI, “MK Gelar Pisah Sambut Untuk Maria Farida Indrati dan Enny Nurbaningsih,” https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=14665&menu=2, diakses 1 April 2022.


Daftar Pustaka Buku Asshiddiqie, Jimly. “Catatan-Catatan Hukum untuk 70 Tahun Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H.” Dalam Aradhana: Sang Guru Perundang-Undangan. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019. Faiz, Pan Mohammad, dkk. Serviam: Pengabdian dan Pemikiran Hakim Konstitusi Maria. Bandar Lampung: AURA, 2018. Gaffar, Janedjri M. Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Surakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009. Sitompul, Manahan MP. “Sang Pengabdi: Sebuah Dedikasi, Edukasi, dan Afirmasi.” Dalam Aradhana: Sang Guru Perundang-Undangan. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019. Artikel/Jurnal Siahaan, Maruar. “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum Konstitusi.” Jurnal Hukum Vol. 16, No. 3 (Juli 2009). Hlm. 357 – 378. Marzuki, Laica. “Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 1, No. 3 (November 2004). Hlm. 1 – 6. Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No.22 – 24/PUU-VI/2008. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. Internet Dewi Indonesia. “Peran Maria Farida Indrati sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi.” https://www.dewimagazine.com/news-art/peran-maria-farida-indrati-sebagai-hakim-mahka mah-konstitusi-. Diakses 27 Maret 2022. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Profil Hakim Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.” https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=10. Diakses 25 Maret 2022. Mahkamah Konstitusi RI, “MK Gelar Pisah Sambut Untuk Maria Farida Indrati dan Enny Nurbaningsih,” https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=14665&menu=2, diakses 1 April 2022. Tirto.id. “Maria Farida Indrati: Hakim Konstitusi Mahkamah https://tirto.id/m/maria-farida-indrati-eT. Diakses 31 Maret 2022.

Konstitusi

RI.”


Viva.co. “Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.” https://www.viva.co.id/siapa/read/322-prof-dr-maria-farida-indrati-s-h-m-h. Diakses 25 Maret 2022.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.