Tribune Express Edisi (3) April 2021 - Tokoh Hukum: Ruth Bader Ginsburg

Page 1


Tokoh Hukum: Ruth Bader Ginsburg Oleh: Gabriela Milca Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Sumber: Broadview.org “I think it's clear that women are here to stay, they are no longer curiosities,…” demikianlah ucapan yang dilontarkan oleh seorang advokat pembela kesetaraan gender ternama di Amerika Serikat (AS), ketika diwawancarai dalam sebuah kesempatan.1 Beliau adalah Ruth Bader Ginsburg, seorang Hakim Mahkamah Agung wanita kedua di Amerika Serikat, sekaligus yang pertama yang berasal dari keturunan Yahudi. Semasa hidupnya, Ginsburg dikenal sebagai sosok yang sangat memperjuangkan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan yang dilakukannya secara profesional sebagai seorang ahli hukum pun telah menorehkan berbagai prestasi bagi keadilan serta kemajuan di bidang hukum. Lahir dengan nama Ruth Joan Bader pada tanggal 15 Maret 1933 di Brooklyn, New York, Ginsburg kecil tumbuh besar dalam keluarga pasangan Nathan Bader, yang merupakan imigran asal Rusia, dan Celia Bader, seorang anak imigran Austria. Nathan Bader bekerja sebagai pengrajin bulu, sementara Celia Bader hidup sebagai ibu rumah tangga. Demikianlah masa kecil Ruth dikelilingi dengan kesederhanaan. Namun kondisi hidup yang terbilang cukup sulit pada masa itu tak menutup peluang bagi Ruth untuk tetap menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan inisiatif sang ibu untuk membawa Ruth pergi ke perpustakaan setiap minggunya, sehingga Ruth

1

Elaine Bucklo, “From Women's Rights Advocate to Supreme Court Justice: Ruth Bader Ginsburg Speaks,” American Bar Association, Vol. 37 No. 2 (Winter 2011) hlm. 13.


terbiasa dan gemar membaca guna menambah wawasan baru. Sayangnya, Celia Bader meninggal dunia karena kanker serviks ketika ia berusia 48 tahun, tepat satu hari sebelum Ruth lulus dari sekolah menengah atas.2 Selepas Ruth lulus dari James Madison High School, ia pun menempuh pendidikan sarjana di Cornell University, New York, dengan mengambil jurusan ilmu pemerintahan. Awalnya, Ruth terpikir untuk menjadi guru, karena profesi tersebut menjadi satu-satunya pilihan yang memungkinkan pada masa itu jika seorang perempuan ingin memperoleh pendidikan yang lebih baik. Namun pemikirannya berubah ketika Ruth berada di Cornell University dan menjadi Asisten Penelitian bagi dosennya, Robert Cushman, yang mengajar Hukum Konstitusi. Dalam menjalankan perannya sebagai Asisten Penelitian, Ruth diharuskan untuk mengikuti berita terkini mengenai Komite Investigasi DPR Amerika Serikat serta Komite Keamanan Internal Senat Amerika Serikat. Dua hal yang menginspirasi Ruth lewat pengalaman tersebut adalah keberanian para Lawyer membela orang-orang yang menjadi objek di persidangan serta adanya degradasi nilai kebebasan berpendapat tanpa intimidasi dari pihak manapun pada masa itu. Kedua hal tersebut menyadarkan seorang Ruth Bader Ginsburg bahwa profesi hukum merupakan langkah yang tepat bagi masa depannya, seiring dengan kerinduan Ruth untuk dapat menyumbangkan suatu hal yang berarti bagi lingkungan sekitarnya.3 Adapun semasa di Cornell University, Ruth dipertemukan dengan suaminya, Martin Ginsburg. Tak lama setelah Ruth lulus dengan gelar kehormatan, Ruth menikah dengan Martin dan memutuskan untuk tinggal di Fort Sill, Oklahoma. Pernikahan Ruth dan Martin dikaruniai dua orang anak, yakni Jane, yang kini mengikuti jejak kedua orangtuanya dalam profesi hukum, dan James, yang terjun ke dunia musik klasik dan telah memproduksi label musik bernama Cedille Records di Chicago, AS. Ketika Martin menuntaskan wajib militernya di Oklahoma, ia melanjutkan pendidikannya ke Harvard Law School, Massachusetts. Empat belas bulan setelah kelahiran anak pertamanya, Jane, tepatnya di tahun 1956, Ruth mengikuti jejak Martin ke Harvard. Perjalanan akademis Ruth sebagai salah satu dari sembilan orang wanita di antara ratusan mahasiswa laki-laki di Harvard Law School cukup menyita waktunya, mengingat ia harus mengurus anaknya yang baru lahir di waktu yang bersamaan. Ditambah lagi, Martin Ginsburg divonis mengidap kanker testis pada tahun ketiga 2

American Academy of Achievement, “Ruth Bader Ginsburg: Justice, Supreme Court of the United States, ” https://achievement.org/achiever/ruth-bader-ginsburg/, diakses 13 April 2021. 3 Bucklo, “From Women's Rights Advocate to Supreme Court Justice: Ruth Bader Ginsburg Speaks,” hlm. 8.


perkuliahannya, sehingga Ruth harus turut menghadiri kelas yang diambil suaminya.4 Namun Ruth mampu menangani seluruh tanggung jawabnya, bahkan memperoleh kursi sebagai editor di jurnal hukum Harvard yang sangat prestisius, yakni Harvard Law Review. Untuk merebut posisi sebagai editor di Harvard Law Review, mahasiswa Harvard Law School harus mengikuti kompetisi menulis yang diadakan oleh Harvard Law Review pada tahun pertama mereka di Harvard. Selain itu, mereka harus mampu mempertahankan nilai akademis sebaik mungkin.5 Melalui dua proses ketat di atas sembari memikul tanggung jawab lainnya, Ruth berhasil diterima sebagai editor di Harvard Law Review. Adapun setelah sekian lama berjuang dengan penyakit, akhirnya sang suami kembali pulih dan menyelesaikan studinya di Harvard dengan mendalami Hukum Pajak. Martin Ginsburg kemudian mendapat pekerjaan di New York, sehingga Ruth pindah ke Columbia University, New York, pada tahun ketiga perkuliahannya untuk menamatkan studinya di sana. Seperti halnya ketika berada di Harvard, Ruth mampu menunjukkan keunggulannya di Columbia University dan mampu meraih posisi di Columbia Law Review. Keberhasilan Ruth menduduki posisi dalam dua Law Review bergengsi merupakan prestasi yang belum pernah ada sebelumnya, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ruth akhirnya lulus dari Columbia University sebagai mahasiswa terbaik.6 Tantangan baru menyambut Ruth ketika ia mulai terjun ke dunia kerja. Rekam jejak akademisnya yang mumpuni ternyata tidak sepenuhnya membuka jalur yang lebar bagi Ruth untuk menjadi seorang Lawyer. Nyatanya, tidak ada satupun firma hukum di New York yang mau mempekerjakan Ruth, termasuk firma hukum Paul, Weiss, tempat Ruth bekerja untuk program musim panas. Pula Ruth sempat ditolak oleh Felix Frankfurter, Hakim Mahkamah Agung AS kala itu, untuk bekerja sebagai Juru Tulis di sana. Akhirnya, karier Ruth berawal dengan menjadi Juru Tulis bagi Hakim Edmund G. Palmieri di Pengadilan Distrik Selatan New York, dimulai dari tahun 1959 hingga tahun 1961.7 Karier Ginsburg berlanjut dengan partisipasinya sebagai Associate Director dalam proyek yang diselenggarakan Columbia Law School terkait Hukum Acara Internasional. Berkenaan dengan proyek tersebut, Ruth mempelajari bahasa Swedia dan melakukan studi banding di 4

Stephanie Francis Ward, “Family Ties: The Private and Public Lives of Justice Ruth Bader Ginsburg,” American Bar Association, Vol. 96 No. 10 (October 2010) hlm. 38. 5 Harvard Law Review, “About the Harvard Law Review,” https://harvardlawreview.org/about/#:~:text=See %20All,Membership,after%20an%20annual%20writing%20competition.&text=Forty%2Deight%20second%2Dyear%20stu dents,solely%20on%20their%20competition%20scores, diakses 21 April 2021. 6 American Academy of Achievement, “Ruth Bader Ginsburg.” 7 Ward, “Family Ties: The Private and Public Lives of Justice Ruth Bader Ginsburg,” hlm. 39.


University of Lund, Swedia, guna memahami sistem hukum yang berlaku di sana. Kemudian Ruth mengambil program doktoral dan berhasil lulus sebagai profesor hukum dari Rutgers University, New Jersey, pada tahun 1963. Dua tahun berselang, Ginsburg menyelesaikan buku yang ia tulis selama di New Jersey tentang Hukum Acara Perdata di Swedia.8 Pada tahun 1970, peran Ginsburg dalam memperjuangkan kesetaraan gender pun dimulai dengan turut mendirikan jurnal hukum pertama di Amerika Serikat yang khusus membahas tentang kedudukan setara, terutama bagi wanita, yang bertajuk “The Women’s Rights Law Reporter.” Berangkat dari sana, Ginsburg kemudian ikut menangani berbagai kasus diskriminasi gender bersama American Civil Liberties Union (ACLU) dan memimpin dalam Women's Rights Project yang diadakan ACLU. Salah satu kasus terkenal yang pernah ditanganinya bersama ACLU adalah kasus Weinberger vs. Wiesenfeld pada tahun 1975, di mana Stephen Wiesenfeld sebagai client Ruth merupakan seorang duda yang menuntut untuk diberikan hak terkait tunjangan bagi seorang suami yang ditinggal wafat oleh istrinya, sebagaimana hak yang sama diperoleh jika subjek merupakan istri yang ditinggal wafat oleh suaminya.9 Kasus tersebut dibawa hingga ke ranah Mahkamah Agung AS dan Ginsburg memenangkan kasus tersebut. Kemenangan Ginsburg atas kasus Wiesenfeld menunjukkan bahwa diskriminasi gender tidak hanya terjadi pada kaum wanita saja, melainkan juga kaum pria. Kasus lain yang cukup terkenal yang pernah ditangani oleh Ruth adalah kasus Duren vs. Missouri pada tahun 1979 yang memperdebatkan keterlibatan pihak wanita untuk memperoleh tugas juri yang tidak diindahkan oleh hukum di negara bagian Missouri. Dalam kasus tersebut, Ginsburg menegaskan bahwa ketentuan yang demikian sama saja mencabut hak para wanita di persidangan untuk turut berkontribusi dalam proses peradilan. Ginsburg akhirnya memenangkan kasus tersebut dan Mahkamah Agung membatalkan hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa. Kasus tersebut pun dikembalikan ke persidangan.10 Perjalanan karier Ruth sebagai pejuang kesetaraan hak warga negara semakin maju. Profesionalitas Ginsburg pun diakui di mana-mana, dibuktikan dengan terpilihnya Ruth oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1980 untuk menjabat sebagai Hakim Pengadilan Banding Sirkuit Distrik Columbia. Di sana, Ruth menjalankan tugasnya selama 13 tahun. Usai menunaikan tugas sebagai Hakim Pengadilan Banding, Ruth kemudian ditunjuk oleh Presiden Bill Clinton

8

American Academy of Achievement, “Ruth Bader Ginsburg.” Ward, “Family Ties: The Private and Public Lives of Justice Ruth Bader Ginsburg,” hlm. 39. 10 Ibid., 41. 9


untuk menjabat sebagai Hakim Mahkamah Agung AS pada tahun 1993 menggantikan Hakim Byron White. Selama memegang jabatan tersebut, nama Ruth Bader Ginsburg semakin dikenal sebagai pembela kesetaraan gender, sehingga pada tahun 1999, American Bar Association memberikan penghargaan Thurgood Marshall kepada beliau atas perjuangan Ginsburg dalam mengusahakan hak-hak yang setara bagi warga negara AS.11 Salah satu kasusnya yang paling terkenal adalah pembatalan kebijakan negara bagian Virginia untuk membentuk institusi militer Virginia khusus Pria.12 Kasus lain yang juga melejit pada masa jabatan Ruth sebagai Hakim Agung adalah kasus Ledbetter vs. Goodyear Tire di tahun 2007, di mana seorang wanita asal Alabama gagal mendapatkan haknya atas kompensasi berupa gaji yang sepatutnya ia terima, mengingat semasa ia bekerja, wanita tersebut dibayar jauh lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan pria nya yang masih terbilang pemula untuk jenis pekerjaan yang sama. Ginsburg sangat mengecam ketimpangan tersebut dan akhirnya bersama Kongres AS mengeluarkan undangundang tentang kesetaraan gaji, atau yang dikenal dengan sebutan Lilly Ledbetter Fair Pay Act of 2009.13 Ruth Bader Ginsburg meninggalkan warisan yang amat berarti sepanjang hidupnya. Perannya dalam membentuk yurisprudensi serta mengadvokasi para kaum yang umumnya dipandang sebelah mata, seperti perempuan, mampu menghapus prasangka dan stigma dalam masyarakat terhadap kedudukan pria dan wanita. Batas-batas mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, baik oleh kaum pria maupun wanita, kini diruntuhkan oleh kebebasan berekspresi serta peningkatan kepercayaan diri dalam hal profesi, pendidikan, serta pelayanan bagi masyarakat. Hasilnya, dapat dijumpai sekarang bahwa banyak wanita yang mengambil peran sebagai dosen, pejabat publik, juri, guru, bahkan pilot.14 Akhir hidupnya, Ruth Bader Ginsburg mengalami kekambuhan penyakit kanker usus besar yang pernah dideritanya. Beliau wafat pada tanggal 18 September 2020 silam di rumahnya di Washington DC pada usia 87 tahun.

Daftar Pustaka

11

Ahmad Naufal Dzulfaroh, “Profil Ruth Bader Ginsburg, Hakim Agung Ternama AS yang Juga Pejuang Hak Perempuan,” https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/20/152625865/profil-ruth-bader-ginsburg-hakim-agu ng-ternama-as-yang-juga-pejuang-hak?page=all, diakses 13 April 2021. 12 Deborah Jones Merritt and David M. Lieberman, “Ruth Bader Ginsburg's Jurisprudence of Opportunity and Equality,” Columbia Law Review Association, Vol. 104 No. 1 (January 2004) hlm. 41. 13 American Academy of Achievement, “Ruth Bader Ginsburg.” 14 Merritt and Lieberman, “Ruth Bader Ginsburg's Jurisprudence of Opportunity and Equality,” hlm. 46.


Jurnal Bucklo, Elaine. “From Women's Rights Advocate to Supreme Court Justice: Ruth Bader Ginsburg Speaks.” American Bar Association. Vol. 37 No. 2 (Winter 2011) hlm. 8-15. Merritt, Deborah Jones and David M. Lieberman. “Ruth Bader Ginsburg's Jurisprudence of Opportunity and Equality.” Columbia Law Review Association. Vol. 104 No. 1 (January 2004) hlm. 39-48. Ward, Stephanie Francis. “Family Ties: The Private and Public Lives of Justice Ruth Bader Ginsburg.” American Bar Association. Vol. 96 No. 10 (October 2010) hlm. 36-43. Internet American Academy of Achievement. “Ruth Bader Ginsburg: Justice, Supreme Court of the United States.” https://achievement.org/achiever/ruth-bader-ginsburg/. Diakses 13 April 2021. Dzulfaroh, Ahmad Naufal. “Profil Ruth Bader Ginsburg, Hakim Agung Ternama AS yang Juga Pejuang Hak Perempuan.” https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/20/152625865/ profil-ruth-bader-ginsburg-hakim-agu ng-ternama-as-yang-juga-pejuang-hak?page=all. Diakses 13 April 2021. Harvard Law Review. “About the Harvard Law Review.” https://harvardlawreview.org/about/#:~ :text=See%20All,Membership,after%20an%20annual%20writing%20competition.&text=Forty%2Deig ht%20second%2Dyear%20students,solely%20on%20their%20competition%20scores. Diakses 21 April 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.