Sebagai negara hukum sebagaimana telah tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, Indonesia membutuhkan kebijakan berupa produk legislasi yang disusun sebagai upaya untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Demi terwujudnya tujuan tersebut, maka diperlukanlah peran dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik agar kelak kebijakan yang dihasilkan dapat diimplementasikan secara maksimal demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, lain halnya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan omnibus law yang baru disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Pengesahan RUU tersebut menuai banyak polemik dan konon disebut sebagai RUU dengan kecacatan formil. Benarkah bahwa RUU Cipta Kerja mengandung kecacatan formil? Lantas, prosedur seperti apa yang seharusnya dilaksanakan dalam proses legislasi?