Majalah ASPIRASI Edisi Ke-92 Desember 2019

Page 1

ASPIRASI | EDISI KE-92

1


2


ASPIRASI | EDISI KE-92

3


DAR I REDAKSI

M

aaf. Mungkin kata tersebut yang dapat kami sampaikan terlebih dahulu. Maaf membuat pembaca menunggu terlalu lama sampai akhirnya dapat membaca majalah kami. Majalah ASPIRASI ini terbit terlampau jauh dari waktu yang kami rencanakan sejak awal.

Banyak kisah yang terjadi selama proses pembuatan Majalah ASPIRASI edisi ke-92 ini. Namun jangan khawatir, kami tetap mempunyai standar ideal yang tinggi dalam menerbitkan majalah kami yang lahir di penghujung 2019. Sebagai pembuka, tak lupa kami memberikan sambutan hangat kepada para pembaca setia. Layaknya perkataan yang diungkapkan oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, kami mempercayai bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya sendiri melalui perspektifnya dan optiknya sendiri. Karena kami mempercayai bahwa segala sesuatu terbentuk melalui proses yang tak ternilai harganya. Bisa dikatakan bahwa majalah ini menjadi proses pembelajaran kami selama ini di ASPIRASI. Guna menyempurnakan hasil belajar kami, tentu kami membutuhkan kritik serta saran yang akan senang hati kami terima. Karena sekali lagi kami percaya, bahwa kritik bisa membuat kami lebih baik, hingga mungkin menjadi sempurna, karena kritik mengeliminasi kesalahan kami secara berangsur. *** Pada edisi kali ini, kami menyoroti perihal kekerasan seksual yang masih menjadi permasalahan serius selama beberapa tahun terakhir. Layaknya fenomena sebuah gunung es, kasus kekerasan seksual ini tidak nampak dengan jelas, terlihat kecil namun kenyataannya sangat besar dalamnya. Lantaran selama ini korban kekerasan dan pelecehan seksual tidak berani untuk melaporkan kejadian yang mereka alami karena tidak mendapatkan perlindungan oleh masyarakat ataupun negara. Melalui kebijakan yang dilakukan oleh negara, terlihat bahwa pemerintah cenderung bersikap acuh tak acuh guna mengurangi kasus kekerasan seksual yang meningkat tiap tahunnya. Akibatnya berujung kepada usaha pemenuhan keadilan bagi para korban kekerasan seksual yang jauh dari kata selesai. Semua kami sajikan secara mendalam di rubrik Laporan Utama. Pada rubrik Liputan Khusus, kami membahas mengenai diskriminasi yang dialami oleh para penyandang disabilitas. Sejak Indonesia resmi meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities pada tahun 2011, pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas masih menempuh jalan yang panjang. Lima tahun berlalu, negara baru menerbitkan Undang-Undang yang mengatur mengenai disabilitas. Meskipun begitu, dalam pelaksanaanya pemerintah masih setengah hati dalam pemenuhan hak bagi disabilitas. Pemerintah cenderung lalai dalam menjalakan mandat yang diamanatkan oleh masyarakat dalam Undang-Undang tersebut. Belum lagi pada tahun 2019, kerap kali kita mendengar pemberitaan terkait diskriminasi terhadap disabilitas masih terjadi dalam berbagai sektor. Mulai dari Hukum, Fasilitas Publik, Pekerjaan, sampai kepada Pendidikan. Diskriminasi sejatinya dapat dihindari apabila negara secara serius memenuhi hak bagi penyandang disabilitas. Dimulai dengan mengadakan Komisi Nasional Disabilitas yang berfungsi menaungi penyandang disabilitas, atapun dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai implementasi dari UU tentang disabilitas yang telah melewati tenggat waktu yang ditentukan. Hal ini menambah daftar panjang sejarah Indonesia yang kelam terhadap Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, dalam rubrik Universitaria, kami menghadirkan reportase mengenai polemik organisasi kemahasiswan. Dua tahun belakang, UPNVJ memiliki organisasi kemahasiswaan berbentuk forum. Organisasi menjadi polemik lantaran sama-sama berbentuk forum, tetapi keduanya dibawah naungan yang berbeda. Semua kami sajikan secara mendalam di rubrik Universitaria. *** Masih ada beberapa sajian kerja jurnalistik kami yang dapat pembaca nikmati. Untuk sekedar memenuhi perut yang lapar akan berita, ataupun sekedar mencari asupan informasi. Semoga tulisan-tulisan yang kami sajikan dapat bermanfaat untuk khalayak. Akhir kata, selamat menikmati segala ketidaksempurnaan kami dan selamat tahun baru[.] Sampai jumpa pada edisi selanjutnya. A Luta Continua!

4

Setiap reporter ASPIRASI diberikan tanda pengenal berupa kartu pers. Narasumber dilarang keras memberikan intensif atau gratifikasi dalam bentuk apapun ketika penugasan.


RENUNGAN

Diskriminasi yang Sering Dilupakan Oleh: Nadia Imawangi

“B

ut it’s ok, you are young. Masih panjang waktunya untuk belajar dan improve,” cuplikan kutipan tweet dari salah satu juru bicara partai politik ketika mengakhiri debat terbuka dengan seseorang yang dianggapnya lebih ‘hijau’ dibanding dia. Perbincangan mengenai diskriminasi usia atau ageism tiba-tiba ramai. Mirip seperti rasisme dan seksisme, ageism dapat didefinisikan sebagai diskriminasi terhadap individu berdasarkan cara pandang terhadap kualitas seseorang berdasarkan usianya. Diskriminasi usia tidak hanya dirasakan yang muda saja, dengan penggambaran sebagai sosok yang nekat, berani, melawan, dan bergerak. Usia tua juga kerap mendapatkan penggambaran sebagai sosok yang lemah, pikun, dan menyusahkan. Menurut Robert Neil Butner dalam essaynya yang berjudul “Age-ism : Another Form of Bigotry” menjelaskan ada tiga komponan dalam ageism. Pertama adalah prasangka terhadap orang yang berusia lebih tua pada proses penuaan. Kedua bentuk praktik diskriminasi dan skeptisisme terhadap orang dengan usia tua. Dan terakhir adalah keberagaman lembaga serta kebijakan yang melanggengkan stereotipe terhadap orang berusia tua. Diskriminasi usia mungkin sering menimpa diri kita, tanpa kita sadari. Atau bahkan kita juga turut melakukan diskriminasi usia tersebut karena dianggap lumrah atau bahkan dianggap benar. Perkataan “kamu masih kecil, belum banyak pengalamannya,” kerap disampaikan oleh orang yang lebih tua kepada anak muda. Lalu perkataan dari yang muda ke yang lebih tua mengenai kapasitas mengingat sesuatu, “Udah tua sih, jadi pikun,” hal seperti ini malah melanggeng. Selain itu, budaya berpengaruh menjadi pembenaran terhadap diskriminasi usia. Hal itu dicerminkan melalui film pendek berjudul Pria, karya Yudho Aditya. Film yang dapat diakses melalui kanal youtube menceritakan kehidupan masyarakat pedesaan Jawa dengan budaya serta norma masyarkat yang berlaku. Melalui tulisan Muhammad Arfan Setiawan berjudul “Film ‘Pria’ Melawan Stigma Mendamba Kesetaraan” dituliskan bahwa dalam budaya Jawa, otoritas orang tua terhadap anaknya memang bersifat absolut. Kekuasaan hubungan orang tua dan anak-

nya dalam budaya Jawa akibat pola asuh yang berkembang di masyarakat Jawa. Misalkan saja sikap hormat yang ditanamkan orang tua kepada anaknya melalui ajaran wedi, isin, dan sungkan. Dengan pola asuh yang seperti itu, menganggap tidak ada tawar-menawar jika berkomunikasi dengan orang tua. Pemahaman yang mengagungkan rasa sungkan sebagai bentuk penghormatan justru melanggengkan keyakinan bahwa yang berusia muda masih belum banyak memiliki pengalaman, belum bisa didengar, dan harus dihiraukan. Bentuk penghormatan itu yang dianggap aneh, jika menilai seseorang berdasarkan berapa lama dirinya hidup di dunia. Justru pelanggengan diskriminasi usia berdampak terhadap cara berinteraksi orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda. Sehingga tidak ada keterbukaan cara berpikir baik untuk yang muda maupun yang tua. Salah satu contoh mungkin ketika ada kumpulan ibu-ibu sosialita berkumpul, kata-kata “millenials” sering mereka lontarkan ketika berbincang mengenai anak-anaknya. “Iyalah, generasi millenials, kerjaannya nunduk mulu,” mungkin tidak terdengar asing bagi kalian. Dengan adanya justifikasi suatu generasi atau usia, semua gambaran tentang millenials menjadi cerminan untuk anak-anak mereka. Diskriminasi terhadap usia menjadi suatu penghalang seseorang untuk bisa bebas memukakan pendapat. Anggapan belum berpengalaman membuat yang muda menjadi takut untuk mencoba hal baru dan menajdi terkurung atas penghalang dirinya untuk berkembang, bukannya menjadi orang yang berani justru akan membungkam pemuda. Menjadi lebih tua bukan berarti memiliki lebih banyak ilmu dan pengalaman dibidang yang digeluti. Persepsi harus melanggengkan keturutan kepada yang lebih tua justru menggambarkan bahwa yang tua tidak mau belajar atas apa yang diraih oleh anak muda. Sebelum menyelesaikan tulisan ini, saya harap setiap manusia baik yang muda dan yang tua bisa memanfaatkan waktu yang ada. Waktu itu bisa berusaha mencoba tanpa perlu terhalang oleh batas apapun. Tidak perlu menjadikan usia sebagai patokan ilmu hingga pengalaman seseorang. Karena usia tidak dibatasi oleh kaum muda dan kaum tua.

ASPIRASI | EDISI KE-92

5


FOTO : ASPIRASI/ Syifa

LAPORAN UTAMA

Salah satu poster peserta aksi di depan gedung DPR (30/9), yang meminta berhenti menyalahkan korban.

Kekerasan Seksual dan Budaya Patriarki di Indonesia Oleh: Fikriyah Nurshafa

Kekerasan seksual masih menjadi permasalahan serius di Indonesia yang sampai saat ini semakin meningkat dan perlu ditindaklanjuti.

K

ekerasan seksual menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalaha setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, Hasrat seksual seseorang secara paksa,bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberi persetujuan dalam keadaan bebas. Singkatnya kerasan seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki.

6

Dalam diskursus yang berkembang, masyarakat kerap kali menganggap bahwa kekerasan dan pelecehan seksual merupakan dua hal yang berbeda konteks. Namun, Komnas Perempuan melalui Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), mengungkapkan bahwa pelecehan seksual termasuk salah satu bagian dari kekerasan seksual. Pelecehan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual melalui sentuhan fisik maupun bentuk verbal dengan sasaran seksualitas seseorang. Secara singkat terdapat dua aspek penting dalam kekerasan seksual. Yang pertama aspek


pemaksaan dan aspek tidak adanya persetujuan dari korban. Serta yang kedua korban tidak atau belum mampu memberikan persetujuan (misalnya kekerasan seksual pada anak atau individu dengan disabilitas intelegensi). Komnas Perempuan sendiri sampai saat ini membedakan kekerasan seksua kedalam 15 bentuk yang berbeda. Kelima belas bentuk kekerasan seksual tersebut meliputi Perkosaan, Intimidasi seksual, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, serta Prostitusi paksa. Kemudian mengenai Perbudakan seksual, Pemaksaan perkawinan, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Serta Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan Kontrol seksual. Angka kasus-kasus kekerasan seksual tersu meningkat tiap tahunnya. Hal ini terlihat dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2019. Komnas Perempuan melihat naiknya angka kasus kekerasan seksual setiap tahun ini menunjukkan semakin banyaknya korban yang berani untuk melapor kejadian yang dialaminya. Menurut Catahu Komnas Perempuan tahun 2019, kasus kekerasan yang terjadi terhadap Perempuan di tahun 2018 mengalami peningkatan yaitu sebesar 406.178 kasus. Angka ini naik sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Catahu 2018) yaitu sebesar 348.446. Layaknya fenomena sebuah gunung es, kasus kekerasan seksual ini tidak nampak dengan jelas, terlihat kecil namun kenyataannya sangat besar dalamnya. Lantaran selama ini korban kekerasan dan pelecehan seksual tidak berani untuk melaporkan kejadian yang mereka alami Hal ini dibenarkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus. Ia juga menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat, layaknya ayah, paman, dan pacar.

Sering kali kita lengah dengan orang-orang terdekat kita karna kita merasa percaya atau terkadang orang-orang terdekat kita yang justru semena-mena. “Komnas Perempuan sering sekali mendapat laporan terkait fenomena inses atau fenomena hubungan sedarah yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia,” ujar Magdalena pada ASPIRASI, Rabu, (11/12/2019). Berdasarkan data Catahu Komnas Perempuan tahun 2019, kasus kekerasan seksual di ranah privat atau personal tertinggi ialah Inses sebesar 1071. Kemudian disusul oleh kasus pemerkosaan sebesar 818 dan pencabulan sebesar 321. Sedangkan jika diurut berdasarkan provinsi menurut Catahu Komnas Perempuan yang bekerjasama dengan Lembaga Pengadaan Layanan di setiap daerah, DKI Jakarta menduduki Provinsi kedua gawat kekerasan seksual yaitu sebesar 2.318. Urutan pertama provinsi gawat kekerasan seksual adalah Jawa Tengah yaitu sebesar 2.913 dan urutan ketiga yaitu Provinsi Jawa Timur sebesar 1.944. “Dari data di Catahu kita tau, siapa saja bisa jadi pelaku dalam kekerasan seksual dan siapa saja bisa jadi korban, tidak menutup kemungkinan kamu tua atau muda, kamu LGBT atau bukan, semua sama aja” Jelas Komisioner Komnas Perempuan itu. Magdalena juga menjelaskan kekerasan seksual ini bukan perkara sepele, ia dapat terjadi kapan saja dan dimana saja serta dapat menimpa siapapun. Namun yang ia sayangkan, seringkali masyarakat justru menyalahkan korban. Padahal jika kita lihat, dalam kasus ini yang dirugikan adalah korban, bukan pelaku. “Masyarakat masih menyalahkan korbannya dengan berkata bahwa ‘salah korban’ ‘emang dianya juga nikmatin’ dan lain sebagainya” Ujar Magdalena. Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain.

ASPIRASI | EDISI KE-92

7


LAPORAN UTAMA Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman. Sikap menyalahkan korban membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain. Peristiwa tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan Ariel Heryanto, Sosiolog Indonesia. Dalam penelitiannya tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998, Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Ia mengungkapkan bahwa banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini. Budaya Patriarki Melanggengkan Kekerasan Seksual Budaya patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran. Patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sampai saat ini Budaya Patriarki masih langgeng di kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan masyarakat Indonesia. Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan

8

seksual. Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon. Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan. Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi kaum perempuan dan menyuburkan budaya patriarki. Posisi perempuan secara jelas ditempatkan secara tidak setara dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 4 UU Perkawinan menyatakan seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan. Namun, tidak ada pasal mengatur jika keadaan tersebut justru dialami oleh pihak suami. Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1996) mengklasifikasikan ketidakadilan gender ke dalam lima bentuk. Yakni, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban ganda. Marginalisasi menurut fakih merupakan proses pemiskinan yang dilakukan dengan membatasi peran perempuan di ruang publik. Sedangkan anggapan perempuan sebagai kelompok masyarakat kelas dua (the second class) sebagai bentuk subordinasi. Sedangkan stereotipe sendiri menurutnya bentuk pelabelan citra negatif pada perempuan seperti makhluk cengeng, irasional, genit dan sejenisnya yang bertujuan mendiskriminasi perempuan. Beban ganda artinya beban yang diterima perempuan lebih banyak daripada beban laki-laki. Hal ini terutama berlaku bagi perempuan yang bekerja di luar rumah. Sementara kekerasan adalah serangan fisik, psikis maupun


seksual terhadap perempuan. Dalam hal ini, Rena Herdiani dari Kalyana Mitra menjelaskan sejak ribuan tahun lalu perempuan rentam menjadi korban kekerasan seksual. Ia kemudian mengutip buku Sejarah Penindasan Perempuan karya Frederick Engles. Rena menjelaskan kendati rentan menjadi korban kekerasan seksual, ia mengungkapkan bahwasanya perempuan dan laki-laki pernah berada diposisi yang sama, sama-sama bertugas mencari makan di hutan. Rena juga menambahkan bahwa pada zaman itu, laki-laki dan perempuan memiliki pembagian tugas yang sama. Pengasuhan anak itu dilakukan secara komunal dan secara bersama, itu dilakukan secara bersama baik laki-laki maupun perempuan. Mereka merasa bahwa tanggung jawab mengasuh anak itu dilakukan secara bersama-sama, tidak hanya diberatkan kepada perempuan. Kemudian menurutnya terjadi perubahan pola hidup masyarakat, akibat adanya pekerjaan yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Sejak saat itu menurutnya terjadi perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. “Pada saat itu budaya patriarki mulai masuk dan sampai sekarang masih kita rasakan” jelas Rena kepada Aspirasi. Hal ini ditambahkan oleh Butet dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta (LBH APIK Jakarta) menjelaskan bahwa karna budaya patriarki yang ada menyebabkan masyarakat melihat perempuan sebagai sebuah objek. Menurutnya terdapat stigma yang menempatkan perempuan sebagai kelompok kelas dua dalam masyarakat.

“Pikiran yang masih beranggapan kita tidak setara itu yang justru melanggengkan kekerasan seksual di Indonesia” Ujar Butet pada Kamis (17/7/2019). Butet kemudian menerangkan bahwa bentuk relasi kuasa ini tidak hanya terbatas antara laki-laki dan perempuan saja, namun terjadi pada atasan dengan bawahan atau antara dosen dengan mahasiswa. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa acap kali kasus kekerasan seksual ini dilatarbelakangi oleh ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Butet berpendapat bahwa adanya ketimpangan relasi kuasa ini membuat pelaku menjadi berkuasa diatas korban, seperti halnya mahasiswa dengan dosen atau atasan dengan bawahan. “Karna adanya relasi kuasa ini, pelaku dapat mengancam korban untuk tidak melapor kasus kekerasan seksual yang dialaminya,” Jelas Butet. Menurutnya perlu ada upaya sosialisasi kepada masyarakat untuk dapat merubah perspektif masyarakat dan membantu untuk membangun perspektif yang berpihak pada korban. Butet berharap masyarakat yang sudah memiliki persepektif tersebut dapat merurubah lingkungan yang ada disekitarnya. Mulai dari lingkaran kecil seperti keluarga, temanteman kita, dan lingkungan rumah kita. “Sebenarnya, Tuhan membuat kita setara. Manusianya yang justru membuat tidak setara! Manusia yang mengkelas-kelaskan dan membeda-bedakan. Kita harus sama-sama merubahnya untuk dapat satu perspektif,” pungkas Butet sore itu.

Tuhan membuat kita setara. Manusia yang justru membuat tidak setara melalui kelas-kelas yang diciptakan, ASPIRASI | EDISI KE-92

9


FOTO : ASPIRASI/ Syifa

LAPORAN UTAMA

Aksi di depan gedung DPR (30/9), yang dilakukan masyarat sipil menuntut agar RUU PKS segera disahkan.

Penundaan RUU PKS, Langkah Mundur Pemenuhan Keadilan Korban Oleh: Nadia Imawangi

RUU PKS banyak dinilai masyarakat bertentangan dengan norma asusila, padahal pendekatan hukum yang digunakan pada RUU ini berbasis perempuan dan korban.

G

erakan demi gerakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) gencar digaungkan sejak tahun 2017. Namun sayangnya, hingga hari terakhir kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pelantikan kabinet baru Joko Widodo (Jokowi) dilantik, RUU ini masih belum disahkan. RUU PKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2017-2019 sebagai dasar instrumen perencanaan membentuk suatu undang-undang dalam pembangunan hukum nasional. Pembahasan RUU PKS ini ditangani oleh DPR Komisi 8 dengan ruang lingkup agama, sosial, bencana, haji, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

10

Bagi Ratna Batara Munti, Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3), berlarutnya pembahasan RUU PKS menunjukan kekerasan terhadap perempuan tidak dianggap sebagai persoalan penting oleh Pemerintah. Padahal perlu diingat, Indonesia sudah meratifikasi konvensi Cedaw atau kesepakatan internasional untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Ratifikasi itu tertuang dalam UU No.7 Tahun 1984. Sebagai negara anggota yang meratifikasi Cedaw, Ratna menyebut pemerintah Indonesia wajib membuat peraturan yang intinya menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu dibutuhkan regulasi yang memberikan perlindungan terhadap


perempuan.

RUU PKS penting dan perlu dikawal

Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dan DPR terlihat belum memiliki kemauan untuk melaksanakan mandat tersebut. “Mereka enggan, tidak ada kemauan mengesahkan RUU PKS,” ungkap Ratna dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Jika berbicara mengenai RUU PKS, setidaknya terdapat empat poin utama mengapa RUU tersebut menjadi penting. Yang pertama mengenai pencegahan terhadap kekerasan seksual, berperspektif korban, pemulihan untuk korban yang tidak terbatas jangka waktu, serta hukuman yang manusiawi.

DPR akhirnya memutuskan untuk menunda kelanjutan pembahasan RUU PKS pada Senin, (30/9/2019). Alasannya karena waktu yang terbatas bagi DPR periode 2014-2019, nyatanya pembahasan pun masih berkutat pada judul. Sementara subtansi RUU belum dibahas secara detail. Dalam siaran yang diterima, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Azriana R Manalu menyayangkan penundaan pembahasan RUU PKS. Padahal menurutnya RUU PKS ini kerap masuk prolegnas tahunan sejak 2017 dan telah melibatkan partisipasi banyak pihak dalam penyusunan drafnya. Ia berpendapat bahwa lamanya RUU tak kunjung disahkan menunjukkan buruknya kinerja Panja RUU PKS. Selain itu ia juga menilai kepedulian pemerintah masih rendah terhadap para korban kekerasan seksual di Indonesia. Lebih lanjut, penundaan pembahasan RUU PKS menjadi bentuk pengabaian perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan berkontribusi terhadap impunitas pelaku kekerasan seksual. “Penundaan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan semakin menjauhkan korban dari pemenuhan rasa keadilan,” ujarnya Senin, (30/9/2019). Veni Siregar, selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta (LBH APIK Jakarta) menyebutkan bahwa DPR Komisi 8 sudah pernah melakukan kunjungan ke beberapa negara, seperti Kanada dan Perancis sebagai referensi untuk penerapannya. Bagi Azriana sendiri, anggaran belanja negara yang digunakan Panja melakukan studi banding ke sejumlah negara menjadi sia-sia. Lantaran keberadaan RUU PKS yang amat dinanti korban kekerasan seksual dan keluarganya tak kunjung hadir.

Dalam naskah akademik yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) disebutkan bahwa perumusan RUU ini menggunakan pendekatan hukum yang berperspektif perempuan. Teori hukum berperspektif perempuan atau dikenal dengan Feminist Legal Theory menggunakan metode mencari tahu apa saja yang dibutuhkan dan diinginkan oleh perempuan dengan mempertimbangan segala pengalaman konkret dan unik dari perempuan. Metode ini menekankan kepada dua poin. Yang pertama bagaimana cara hukum memengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan. Yang kedua bagaimana hukum bisa digunakan untuk mengubah status kaum perempuan dengan cara mengubah cara pandang terhadap isu gender menjadi lebih adil dan berimbang. Veni menyetujui naskah akademik yang ada, ia menuturkan bahwa dalam RUU ini lebih mengarahkan penggunanya adalah korban. Dimana pendekatan yang berlaku adalah pemenuhan hak korban, atau biasa disebut dengan Keadilan Restoratif. “Pendekatannya adalah pemenuhan hakhak korban. Dalam konteks hukum pidananya melihat kebutuhan korban,” jelas Feny saat ditemui di Gedung DPR kala itu. Dalam naskah akademik itu juga mencantumkan lima pendekatan keadilan restoratif menurut Eddy O.S. Hiariej. Pertama pengadilan yang berorientasi korban dan kompensasi untuk korban dengan cara mempertimbangkan kondisi korban dan pelibatan pelaku memberikan ganti rugi kepada korban. Kedua melakukan mediasi. Ketiga melakukan konferensi dengan pihak yang berhubungan dengan kehidupan pelaku dan korban. Keempat melakukan reparasi dewan

ASPIRASI | EDISI KE-92

11


LAPORAN UTAMA masyarakat dengan menekankan keterlibatan masyarakat dalam menghukum pelaku. Dan terakhir adalah pemulihan dan penghukuman berbasis nilai masyarakat. Veni menjelaskan bahwa contoh restitusi yang berlaku adalah pelaku memberikan ganti kerugian atas apa yang sudah dilakukan dicontohkan seperti biaya kesehatan. “Korban harus mendapatkan pemulihan dari mulai dia melapor diketahui menjadi korban, sampai korban pulih. Selama ini dalam pelaksanaannya itu masih agak ditinggalkan hak korban,” ujarnya sedih.

“Agak miris ya saya dengan KUHP, semua enggak ada yang berasal dari perspektif korban. Makanya dengan adanya RUU PKS ini bisa menciptakan sistem yang baru untuk mendampingi dan membantu korban,” ujar perempuan tersebut. Lebih lanjut, ia juga meminta kepada pemerintah ketika sudah memiliki produk hukum baru agar melakukan sosialisasi kepada masyarakat Menurut Butet peran pemerintah sangat penting untuk melakukan sosialisasi terkait tindakan kekerasan dan pelecehan seksual kepada masyarakat.

RUU PKS dianggap mampu mengakomodasi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak bisa terakomodasi secara hukum. Kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP saat ini hanya sebatas dalam pencabulan dan pemerkosaan.

“Kadang pemerintah masih berpikir bahwa kekerasan terhadap perempuan itu hal yang biasa. Nah, yang biasa ini justru bikin menjadi langgeng. Padahal, kekerasan itu menentang hak asasi manusia,” tutupnya sore itu.

Kendati demikian definisi dari kata pencabulan ataupun pemerkosaan dalam KUHP tidak terlalu jelas definisinya serta tergolong sempit. Dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan.

Perempuan di Mata Hukum Indonesia

Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga penindakan pelaku. Menurutnya, hal itu karena ujung tombak hukum yang berlaku di Indonesia yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya menjelaskan hak-hak untuk tersangka dan terdakwa. “Sehingga diperlukan RUU ini (RUU PKS, red.) disahkan. Karena pengguna pertama yang harus diperhatikan adalah korban,” jelasnya.

Indonesia memiliki tata cara mengadili perkara perempuan melalui Peraturan Makamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadap dengan Hukum. Lebih lanjut, Mahkamah Agung (MA) bekerja sama dengan Australisa Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menerbitkan buku berjudul Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada tahun 2018. Dalam buku tersebut menjelaskan apa saja permasalahan yang dihadapi perempuan ketika berhadapaan dengan hukum serta bagaimana seharusnya etika dan perilaku Aparat Penegak Hukum ketika melakukan pendekatan analisis hukum berperspektif gender.

Baginya, RUU PKS bersifat lex spesialis karena berfokuskan kepada korban kekerasan seksual.

Nyatanya kondisi dilapangan berbanding terbalik dengan buku pedoman yang ada. Menurut Butet, implementasi dari peraturan ini belum berperspektif kepada korban atau perempuan.

Hal itu disetujui oleh Butet salah satu staf LBH APIK Jakarta, menurutnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sama sekali tidak mengenal korban.

“Misalnya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan vulgar, atau bahkan diluar dari konteks permasalahan. Masa ada hakim malah menanyakan kepada korban masih

12


perawan atau tidak?” jelasnya saat ditemui di kantor LBH APIK di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Ayu menyebabkan proses penanganan yang dilakukan menjadi lama.

Tidak hanya dalam persidangan, menurut Veni dalam penanganan menerima laporan pertama kali yakni polisi juga semustinya bisa memberikan rasa aman. Banyak perspektif masyarakat kecil yang tidak menginginkan untuk berurusan dengan Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya kepolisian. karena memakan uang yang banyak.

“Kalau menurut saya tidak apa-apa prosesnya lama, asalkan alat buktinya kuat sehingga. Karena kepolisian mataharinya Jaksa, jadi berusaha buat mencari semua alat bukti jadi Jaksa tidak perlu mencari kekurangannya,” jelas Ayu.

“Nah itu sebegitunya korban di mata hukum tidak berdaya, apalagi jika tidak memiliki pendampingan hukum,” jelas perempuan kelahiran Jakarta tersebut.

Persyaratan ini yang justru menurut Khotimun Susanti, selaku Koordinator Perubahan Hukum LBH Apik menghambat proses penyelesaian kekerasan seksual. Persyaratan membawa alat bukti berupa visum et repertum menurutnya tak selalu relevan.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Jakarta Pusat, Iptu Tri Ayu Utami, mengatakan bahwa personil untuk Unit PPA sangat sedikit jika dibandingkan dengan kasus yang ada di Indonesia. Perempuan yang biasa di sapa Ayu ini mengaku bahwa memang dalam penanganan kasus kekerasan seksual dibutuhkan penanganan khusus.

Ia mengungkapkan bahwa tidak semua kasus kekerasan seksual pembuktiannya bisa dilakukan lewat visum, lantaran bentuk kekerasan seksual bisa saja tidak meninggalkan bekas luka di tubuh.

“Memang harus ditindak melalui polisi yang terlatih yaitu unit PPA, namun sayang personil unit PPA tidak ada di Kepolisian Sektor (Polsek), jadi ketika ada kasus kekerasan seksual selalu diarahkan ke (Polres),” jelas perempuan itu saat ditemui pada Kantor Polres Jakarta Pusat.

Menurutnya kekerasan seksual biasanya terjadi di tempat tertutup dan nyaris tidak ada saksi. Sehingga jika menggunakan mekanisme hukum acara sebagaimana diatur KUHAP, dibutuhkan saksi dalam penyelesaiannya.

Ayu menjelaskan, bahwa di Jakarta Pusat sudah ada Pos Pengaduan Pelaporan yang terletak di Kemayoran dan Johar Baru yang berfungsi sebagai layanan pengaduan kepolisian. “Ketika ada pelapor, nantinya unit PPA yang akan membantu konseling ayat apa yang sesuai dengan laporan yang ada,” jelas perempuan yang baru menjabat setahun ini. Bagi Ayu kasus yang sulit ditangani adalah suatu kejadian yang sudah terjadi lama, karena dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) harus melampirkan bukti visumnya. “Semua kejadian tindak pidana, yang baru dilaporkan. Alangkah baiknya bukti visumnya berupa luka baru, berarti kan disinyalir memang benar terjadi luka ini,” jelas Ayu.

Selain itu ia juga mengkritik KUHAP masih belum mengatur hukum acara khusus dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual.

“Dalam kasus kekerasan seksual hal tersebut sangat sulit dipenuhi. Untuk itu, hukum acara yang diatur RUU PKS antara lain membolehkan korban menjadi saksi,” ungkapnya. Khotimun berharap agar RUU PKS dapat menerobos segala kebuntuan penyelesaian kasus kekerasan seksual yang ada. Melalui RUU PKS Khotimun menaruh harapannya agar para korban semakin berani untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. “RUU PKS diharapkan mampu memberi rasa keadilan kepada korban serta dapat memberikan penyelesaian terhadap kasus kekerasan seksual,” pungkas Khotimun.

Selain itu, dalam penanganan suatu kasus terdapat persyaratan minimal dua alat bukti yang menyertai. Hal tersebut yang menurut

ASPIRASI | EDISI KE-92

13


FOTO : ASPIRASI/ Syifa

LAPORAN UTAMA

Aliansi masyarakat sipil yang mengkampanyekan gerakan gerak bersama anak indonesia pada Rabu, (30/9).

Kekerasan Seksual Pada Anak Meningkat, Pentingnya Pendidikan Seksual Oleh: Nadia Imawangi

Pembahasan seksual yang masih dianggap tabu di masyarakat menyebabkan minimnya pendidikan seks untuk anak-anak hingga akhirnya, mereka tidak menyadari betapa pentingnya pendidikan seks tersebut.

P

embahasan seksual yang masih dianggap tabu di masyara kat menyebabkan minimnya pendidikan seks untuk anakanak hingga akhirnya, mereka tidak menyadari betapa pentingnya pendidikan seks tersebut. Sabtu, 13 Juli 2019 lalu merupakan hari peluncuran film berjudul �Jalan Masih Panjang� yang diadakan di kantor LBH APIK Jakarta, Kramat Jati, Jakarta Timur. Perempuan dan lelaki dari berbagai kalangan berkumpul untuk menyaksikan film yang bercerita mengenai perjalanan tiga orang penyintas untuk mencari keadilan. Kartika, perempuan berusia 32 tahun itu, salah satu yang hadir meramaikan acara. Diselimuti baju kaftan berwarna biru dan menyebarkan senyum, dirinya merupakan salah satu paralegal di LBH APIK. Tak dipungkiri,

14

seusainya menyaksikan film mengenai perjalanan Pelangi, Matahari, serta Isma Gunawan, dirinya kemudian bercerita kala ia menjadi korban kekerasan seksual. Kartika adalah salah seorang penyintas. Dirinya butuh waktu selama 26 tahun hingga akhirnya berani untuk bercerita tentang kejadian yang ia alami pada umur 6 tahun. Ia memberanikan diri untuk membuka suara dan berbagi kisah setelah mengenal aktivis dan beberapa penyintas lain. “Ketika saya mulai berbicara, tentunya tidak semua diceritakan dalam satu malam. Tetapi saya merasa ada beban yang saya angkat, pada saat saya menemukan komunitas yang memberikan ruang aman,� tutur Kartika dengan perasaan senang. Bagi Kartika, lingkungannya menjadi salah satu alasan ia mau bercerita dan


melakukan pemulihan.

untuk korban berusia 13 s.d 18 tahun.

Menurut pengalamannya menjadi seorang penyintas, memang dibutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya dirinya memberanikan diri untuk membuka dirinya dengan lingkungannya.

Selain itu dalam Catahu 2019, tindak kekerasan seksual incest—perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah—masih tinggi. Pada tahun 2018 saja dilaporkan mencapai 1071 kasus dalam 1 tahun. Pelaku utama dalam tindak kekerasan seksualnya adalah Ayah Kandung ataupun Paman korban.

“Makanya, sejak saat itu saya tidak pernah mau menghakimi orang yang masih belum berani untuk bicara, karena memang berat. Butuh waktu dan juga pengetahuan,” jelas Kartika. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Juli 2019 mencatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan sangat signifikan setiap tahunnya. Dari data pelaporan yang dihimpun LPSK, menunjukkan bahwa di tahun 2016 kasus pelecehan seksual pada anak berjumlah 25 kasus. Sementara pada tahun 2017 terdapat 81 kasus dan pada tahun 2018 mengalami peningkatan luar biasa yaitu sebanyak 206 kasus. Dari laporan yang masuk, terbukti bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban. Dari 206 kasus kekerasan seksual terhadap anak, 80.23 persen pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban. Hal ini menunjukan bahwa dari 206 kasus, hanya 41 kasus dimana pelakunya adalah orang yang tidak dikenal. Kendati demikian, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, mengkhawatirkan bahwa angka yang dipaparkan itu hanyalah puncak gunung es saja, belum angka dan jumlah riil korban kekerasan seksual yang ada. “Kami mengkhawatirkan fakta di lapangan jauh lebih besar yang tidak sampai ke LPSK,” ungkapnya dalam konfrensi pers di gedung LPSK, Jakarta Timur, Rabu (24/7/2019). Apa yang ditemukan oleh LPSK juga terdapat dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2019. Dalam Catahu yang diterbitkan pada Maret 2019, hasil penelitian Komnas Perempuan menyatakan bahwa wilayah tertinggi terjadinya kekerasan di ranah publik adalah lingkungan tempat tinggal. Dimana dalam penelitian yang sama juga disebutkan bahwa jumlah pelaku tertinggi adalah tetangga dan teman. Mayoritas pelaku berusia 25 s.d 40 tahun sedangkan

Fakta yang mengkhawatirkan di tengah kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai wali dan pemimpin keluarga yang tentunya diharapkan dapat melindungi perempuan dan anak perempuan di dalam keluarga. Incest serta marital rape—pemerkosaan dalam perkawinan—merupakan kekerasan yang sulit diungkapkan, karena terjadi dalam relasi keluarga dan terhadap korban telah diletakkan kewajiban untuk patuh dan berbakti serta tidak membuka aib keluarga. Melalui pembelajaran yang ia tekuni secara otodidak membuat Kartika menyadari bahwa kekerasan yang dialaminya bukan salahnya, sehingga ia tak lagi menyalahkan diri sendiri. Baginya, tidak adanya pendidikan seks di Indonesia lantaran dalam norma di masyarakat seks masih dianggap tabu. “Tapi sekarang sudah semakin baik, sudah semakin banyak awareness yang digencarkan tetapi masih belum tersebar luas. Semuanya terhalang sama budaya,” jelas Kartika. Kendatipun begitu, menurut Kartika budaya yang ada masih dapat berubah jika manusia yang ada memilih untuk membentuk budayanya. “Sekarang tinggal bagaimana kita menjalani, memilih apa yang akan kita jadikan budaya untuk diri kita dulu,” ungkapnya. Baik laki-laki maupun perempuan menurutnya harus mulai banyak belajar mengenai apa itu kekerasan seksual serta mulai belajar menghargai satu sama lainnya sebagai manusia. “Yang di dunia itu, bukan hanya sebagai objek pemuasan nafsu belaka,” jelas Kartika. Pendidikan Seks Usia Dini Dapat Cegah Kekerasan Seksual pada Anak Pendidikan seksual harus dimaknai sebagai upaya memperkenalkan kesehatan reproduksi kepada anak. Pendidikan seksual juga dapat

ASPIRASI | EDISI KE-92

15


LAPORAN UTAMA

Pendidikan seks tidak selalu mengenai hubungan badan, tetapi membedakan jenis kelamin bisa menjadi salah satu bentuknya, memberikan pemahaman guna mencegah terjadinya kekerasan seksual akibat ketidakpahama anak. Ketika anak-anak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, mereka menjadi paham apa yang harus dilakukan ketika ada orang lain yang menyentuh bagian privat tubuhnya. Acapkali masyarakat justru menganggap pendidikan seksual berbicara tentang bagaimana melakukan hubungan seks atau mengajarkan seks bebas. Hal ini yang sering kali dimaknai salah oleh orang tua sehingga menjadikan keluarga sebagai solidaritas organik menutup rapat berbagai hal terkait dengan pendidikan seksual. Tabu dan perasaan tak nyaman membahas soal seks dengan orang-orang terdekat sebenarnya tak hanya di Indonesia, di negara maju macam Inggris pun pembahasan mengenai kesehatan reproduksi beserta relasi masih dipandang sebelah mata. Pada tahun 2011, BBC merilis berita berisi hasil survei yang diselenggarakan situs BabyChild terhadap 1.700 orang tua anak usia 5-11 tahun. Sebanyak 59 persen dari mereka tak setuju dengan pendidikan seks untuk anak dengan alasan tidak pantas menyampaikannya kepada para buah hati mereka. Psikolog Klinis dan Hipnoterapis Nena Mawar, menjelaskan bahwa pendidikan seksual dapat diberikan sejak usia dini, tanpa harus menunggu anak bisa berbicara atau berinteraksi. “Pendidikan seks tidak selalu mengenai tentang hubungan badan dan hubungan seks, tetapi membedakan jenis kelamin bisa menjadi

16

salah satu bentuknya,” ujar perempuan yang tinggal di Denpasar tersebut. Menurutnya, dengan perkembangan dan pertumbuhan anak informasi mengenai edukasi seks bisa ditambah sesuai dengan kemampuannya. “Misalnya dengan perbedaan alat kelamin laki-laki dan perempuan, lalu ditambah informasi kenapa bisa ada bayi. Informasinya disesuaikan dengan tahap usianya,” jelas Nena memberikan contoh. Selain itu, Nena menjelaskan bahwa dalam memberikan pemahaman mengenai pendidikan seks tidak perlu menggunakan istilah ataupun kata ganti. “Jika diganti dengan nama lain, nantinya akan membuat anak tidak mengetahui pentingnya pendidikan seks untuk dirinya,” jelas perempuan yang pernah bergabung dengan tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar. Menurut dia, saat ini masa pubertas yang dialami oleh anak lebih cepat dibanding sebelumnya. Nena mengatakan jika pada masa sekarang anak kelas 3 sampai 4 SD sudah mengalami pubertas. Sehingga menurutnya penting untuk menerapkan pendidikan seksual dalam tingkat pendidikan. “Jadi pendidikan seksual di sekolah sangat penting, karena mereka sudah mulai berinteraksi dengan lawan jenis dan sebagian waktu mereka habiskan di sekolah,” ujar Nena. Dilansir situs Union News, mulai September 2019, sekolah-sekolah di Inggris diminta untuk menyampaikan pendidikan seks dan relasi. Mengenai persoalan ini National Education Union (NEU) melakukan survei terhadap 560


pekerja bidang pendidikan mengenai tanggapan dan kesiapan akan penerapan kebijakan ini. Hasilnya, 96 persen dari mereka menganggap pendidikan seks dan relasi adalah hal yang penting, tetapi hanya 29 persen responden yang mengatakan cukup yakin sekolah tempat mereka bekerja siap membawakan materi ini mulai September 2019. Hampir 70 persen responden mengklaim staf di sekolah tidak mendapatkan pelatihan pendidikan seks dan relasi yang cukup. Meski demikian, Nena berharap pembelajaran di sekolah bisa melalui media yang menyenangkan seperti melalui animasi video ataupun nyanyian lagu. “Jadi diharapkan akan ada ilmu-ilmu lain yang peduli dengan kesehatan seksual, seperti animasi,” ungkapnya. Nena juga memberikan contoh bahwa penerapan pendidikan seks bisa disisipkan melalui penyuluhan yang dilakukan mahasiswa sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat. “Sehingga anak-anak semakin peduli dengan tubuhnya,” jelasnya. Kendatipun begitu peranan penting tetap dimiliki oleh orang tua tentu dalam memberikan pemahaman kepada sang anak. Orang tua harus mampu menjadi “teman baik” bagi sang anak sehingga tercipta komunikasi secara terbuka terkait seksualitas. Jika pendidikan seks diberikan kepada anak secara baik, bukan tidak mungkin langkah ini dapat menjadi salah satu upaya pencegahan tindak pidana pelecehan seksual. Pentingnya Ruang Sekolah Aman Sebelum mengadakan pendidikan seksual, instansi pendidikan perlu berbenah menyediakan Ruang Sekolah Aman (RSA) bagi anak. Retno Listyarti selaku Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memandang sekolah belum sepenuhnya aman dari kekerasan seksual. Pasalnya, hingga kini sekolah masih menjadi tempat kekerasan seksual terhadap anak-anak. Retno menyampaikan, berdasarkan catatan KPAI pada paruh semester pertama 2019, ter-

dapat 13 kasus kekerasan seksual di sekolah. Yang terbanyak terjadi pada jenjang sekolah dasar (SD) dengan 9 kasus dan sisanya usia sekolah menengah pertama (SMP). Korban tidak hanya dari anak perempuan, tetapi juga dari anak laki-laki. Sebanyak empat kasus merupakan anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual dan sisanya perempuan. Modus yang kerap digunakan oleh pelaku biasanya menurut Retno bergantung kepada relasi kuasa sebagai tenaga pendidik ataupun dengan memberikan suatu hadiah kepada korban Retno menambahkan, kekerasan seksual di sekolahnya biasanya terjadi di ruang kelas, laboratorium, ruang UKS, hingga kebun di belakang sekolah. Retno menyesalkan perbuatan yang dilakukan guru ataupun kepala sekolah, mengingat sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah anak, apalagi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. “Ini ironis, seharusnya guru menjadi pelindung di sekolah. Namun, justru melakukan tindak kekerasan terhadap anak,” ungkanya dia. Ia juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk ikut mengevaluasi sekolah agar tidak abai dengan kasus kekerasan seksual. “Ini sangat penting untuk mendorong kepala sekolah melakukan supervisi, pembinaan, pengawasan,” ujarnya dalam diskusi. Retno juga mendorong adanya sekolah ramah anak yang dilengkapi dengan sistem pengaduan untuk melindungi korban dan saksi. Sekolah ramah anak dan aman menurutnya tidak hanya menyediakan ruang pengaduan, tetapi sistemnya melibatkan Bimbingan Konseling dan wali kelas yang bisa dihubungi melalui telepon kapan saja. Kendati demikian ia tetap setuju terhadap adanya pendidikan seksual terhadap Anak. “Anak-anak sejak dini harus diajarkan mana bagian tubuh yang tidak boleh dipegang pada orang lain,” pungkasnya pada Sabtu, (20/07/2019).

ASPIRASI | EDISI KE-92

17


LAPORAN UTAMA

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

Suara Penyintas, Si Perempuan Berkerudung Oleh: Fikriyah Nurshafa

Perempuan Berkerudung itu sadar bahwa diam bukan jawaban atas tindak kekerasan yang dialaminya selama pacaran.

S

uatu malam di Jakarta, perempuan berkerudung itu menangis dengan menutup mukanya yang memerah. Ia adalah seorang perempuan berkerudung dan berbadan kecil, dengan senyum lebarnya yang selalu menghiasi harinya. Pada malam itu senyum tidak lagi merekah menghiasi wajahnya. “Halo, lu di mana seka-

18

rang? Ada di rumah?” tanya perempuan itu kepada sahabatnya disebrang telepon seraya tersedu menangis. Ia bercerita melalui sebuah telepon genggam dan terus menangis seraya mengucapkan kata-kata “Bodoh banget gue mau sama laki-laki kayak gitu,” ujarnya terus menerus kepada sahabatnya.


Satu jam berlalu, perempuan berkerudung itu datang dengan mata sembab dan merah. Mukanya menampakkan rasa takut dengan tatapan mata yang nanar. Ia datang kemudian duduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dibalik kedua telapak tangan tersebut ada wajah yang terisak menangis, ia terus menangis ketakutan. Selang beberapa waktu, setelah perempuan berkerudung itu merasa tenang ia mulai menceritakan pengalaman yang baru saja ia alami. Ia bercerita bahwa pada siang itu, matahari berada tepat di atas kepala, dirinya pergi bersama lelaki yang berstatus sebagai pacarnya dengan kondisi sedang bertengkar. Bukannya mereda, justru pada malam harinya, pertengkaran mereka mencapai puncaknya. Sang Pacar marah dan menampar perempuan berkerudung itu di tempat yang gelap dan sepi. Perempuan berkerudung tersebut bercerita bahwa kejadian tersebut bukan kali pertama, kali ini tamparan bersarang ke pipinya. Perempuan berekerudung itu terkejut dan terdiam sesaat. Dirinya mencoba untuk mengerti keadaan yang sedang ia alami. Kemudian ia menggenapkan tekadnya untuk lari menghindari Sang Pacar. Namun, Sang Pacar terus mengejarnya dan membuat ancaman-ancaman kepada Perempuan Bekerudung itu. Sampai akhirnya ia menelepon sahabatnya dengan harapan sahabatnya dapat melindunginya dari Sang Pacar. Syahdan, Perempuan Berkerudung tersebut bergegas menuju rumah Sahabatnya. “Dasar cowok brengsek!” umpatnya saat ia kembali bercerita tentang lelaki itu. Si Perempuan Berkerudung lantas memperbaiki posisi duduknya dan sembari menghapus sisa air mata yang ada di pipinya. Ia kemudian mulai bercerita mengenai sosok pacarnya yang sudah ia kencani selama beberapa bulan. Perempuan tersebut bercerita bahwa Sang Pacar berusia lebih tua darinya dua tahun. Ia mengatakan bahwa sang pacar beralasan

bahwa pukulan yang dilakukannya merupakan hal yang wajar. Sang Pacar menganggap pukulannya sebagai pelajaran untuk perempuan berkerudung agar tidak melakukan kesalahan lagi. “Awalnya gue pikir dia cuma bercanda, sampe akhirnya dia mulai berani untuk memukul saat gue punya salah sama dia,” jelas perempuan yang masih menginjak semester lima itu. Kemudian Perempuan Berkerudung itu mulai menyalahkan dirinya sendiri, sedangkan pacarnya tetap menelponnya tanpa henti. Menurut data dalam Catahu Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual di dalam ranah domestik terbanyak dilakukan oleh pacar sebanyak 1.670 kasus. Kemudian posisi kedua diisi oleh Ayah dengan jumlah 365 kasus dan disusul dengan paman sebanyak 360 kasus. Rena Herdiani dari Kalyanamitra, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di pusat informasi dan komunikasi pada perempuan, menjelaskan kasus kekerasan dalam berpacaran sering terjadi karena adanya perbedaan relasi kuasa antara lelaki dan perempuan. Menurutnya, pembenaran pelaku atas tindakan kekerasan dalam berpacaran masih sering terjadi. “Masih ada anggapan bahwa lelaki memiliki kekuatan lebih dibanding perempuan, sehingga lelaki tersebut dapat mengatur perempuan untuk menuruti keinginan dirinya,” jelas perempuan yang menjabat sebagai wakil ketua keorganisasian. Penderitaan Perempuan Berkerudung itu berlanjut. Selain memukuli, sang pacar juga sering memberikan ancaman kepada perempuan berkerdung. Sang pacar memberikan ancaman dalam bentuk verbal untuk menyebarluaskan foto tanpa busana dirinya melalui media sosial. Tidak hanya sampai disitu, sang pacar juga mengancam akan mencelakai orang-orang terdekat perempuan berkerudung, jika ia meminta putus kepada sang pacar. Hal tersebut membuat perempuan berkerudung takut sehingga dapat dikendalikan oleh sang pacar. Sang pacar membuat seakan-akan perem-

ASPIRASI | EDISI KE-92

19


LAPORAN UTAMA puan itu tidak punya pilihan lain, selain tetap menjalin hubungan dengannya. Dalam kasus seperti ini, menurut Rena masyarakat masih sering menyalahkan perempuan sebagai korban. Bagi Rena sebelum terjadi hubungan seksual, terjadi lemparan rayuan-rayuan manis dari lelaki hingga akhirnya sang perempuan menyetujui untuk melakukan hubungan seksual. Menurut Rena Masyarakt sering kali mengabaikan peristiwa tersebut dan menyalahkan perempuan seutuhnya atas kekerasan dan pelecehan seksual. “Seharusnya kita bisa membela korban, setidak jika tidak membela tidak menyalahkan,” jelas Rena saat ditemui ASPIRASI pada Selasa (28/5). Berani Untuk Bersuara Ketika perempuan berkerudung itu mulai tenang, tiba-tiba mukanya terlihat ragu untuk mulai bercerita ke sahabatnya. Matanya masih terlihat sembab. Ia akhirnya memberanikan diri untuk bercerita selutuh kejadian yang dialaminya selama berbulan-bulan berpacaran. “Selama ini gue sebenarnya udah marah ke dia setiap dia mukul gue, bahkan gue udah minta putus. Tapi dia terus mengancam gue dengan mengancam semua orang yang gue sayang,” ungkapnya dengan suara getir. “Gue gatau harus kayak gimana. Maaf ya, ini semua salah gue,” lanjutnya sambil terus menyalahkan diri sendiri. Menurut Neqy dari Komunitas perempuan menjelaskan bahwa ketika ada seorang penyintas bercerita dan menangis, pendengar harus berusaha untuk tidak memeluknya ataupun menyuruh penyintas untuk diam. Hal ini dikarenakan ketika seorang menangis, diharapkan dapat mengeluarkan perasaan sedihnya melalui tangisan. Melalui workshop yang diadakan oleh Komnas Perempuan pada Jumat (5/12) lalu, Neqy menyarankan untuk mendengarkan cerita penyintas cukup dengan memegang tangan. “Jangan memberinya tisu, karna dalam

20

psikologi itu justru sebagai simbol untuk menyuruhnya berhenti menangis. Dengarkan saja dan terus mencoba mengerti,” jelas Neqy. Bukan hal yang mudah bagi Perempuan Berkerudung itu untuk dapat bercerita mengenai masa kelam ini. Butuh waktu baginya untuk dapat bercerita kepada teman-temannya maupun keluarganya. Hal ini bagaikan aib yang dirinya simpan dari lingkungannya. Perempuan Berkerudung itu pun mengalami masa pemulihan yang cukup lama. Sudah bertahun-tahun lamanya, ia tidak pernah mau membahas hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan Berkerudung itu juga tidak pernah mau menjawab jika ada yang bertanya lagi soal kejadian itu dan hanya sahabat nya yang tau jelas kejadian yang dialaminya Nena Mawar, seorang psikolog klinis mengatakan traumatis yang dialami oleh korban pelecehan seksual akibat dari kejadian yang tidak diinginkan. “Itu kan membawa dampak, seolah-olah merasa sendirian karena tidak ada yang melihat dan sebagainya,” jelas Nena. Menurutnya ketika seorang korban sedang menceritakan apa yang ia alami dan mendapat pertanyaan yang terlalu detail justru akan menimbulkan dampak psikis baru. “Bukan dukungan yang didapat tapi malah justifikasi yang justru menambah beban mental untuk penyintas tersebut,” ujarnya. Menurut Nena, sebagai orang terdekat dengan penyintas seharusnya bersedia untuk menjadi support system-nya dengan cara selalu mendengarkan dan menemani dirinya agar ia tidak merasa sendiri. Selain itu Nena juga menyarankan untuk selalu mengamati perilaku yang penyintas lakukan. “Apakah senang untuk mengurung diri, lebih senang menangis, jika seperti itu disarankan untuk konsultasi dan ditangani oleh seseorang yang profesional,” jelasnya. Nena mengatakan bahwa kerap kali korban kekerasan seksual mendapatkan perkataan-perkataan yang menyudutkannya dari masyarkat.


Perkataan yang Nena maksud seperti ‘pakaian kamu terlalu tipi’, ‘perempuan kok pulang malam-malam’, ‘kamu sih, tidak bisa menjaga diri’ hingga ‘kok kamu enggak melawan sih?’. Justifikasi seperti itu justru menurut Nena membuat korban tidak nyaman hingga akhirnya memutuskan untuk menutup diri. Nena kemudian memberikan contoh perbandingan ketika ada pencopetan dan kasus peremasan payudaranya. Bagi Nena, ketika mengalami seseorang mengalami pencopetan, korban akan sigap langsung berteriak. Namun berbeda ketika seseorang diremas payudaranya. Nena mengungkapkan bahwa secara alami akan ada sensasi biologis yang dirasakan oleh korban. Hingga akhirnya korban mempertanyakan diri seperti, ‘aku tadi habis diapain?’, ‘ini aku kenapa?’ ‘apa yang harus aku lakukan?’ Bagi Nena, hal tersebut menjadi alasan kenapa korban kekerasan seksual tidak langsung melawan. “Korban diperkosa juga bukan karena dia

tidak bisa berteriak atau melawan, tetapi tenaganya sudah dipakai. Selain itu korban juga pasti dipenuhi ancaman lain,” jelas Nena. Lebih lanjut, menurut Neqy sangat penting untuk memberikan apresiasi kepada penyintas yang berani untuk bercerita. “Jangan pernah memaksananya untuk bercerita, tapi juga jangan bersikap tidak peduli ketika kita merasa ada yang salah,” jelas Neqy. Baginya jika ada seseorang yang dipercaya penyintas untuk mendengarkan ceritanya, maka coba dengarkan dan mengerti. Melalui kisah Perempuan Berkerudung sudah seharusnya kita selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, “Jangan menyalahkan penyintas atas semua yang dialaminya, Jangan diam, semua harus ikut andil untuk membantu semua kasus kekerasan seksual. Karna diam bukan jawaban,” tutup Neqy sore itu.

Jangan diam, semua harus ikut andil untuk membantu semua kekerasan seksual. Karena diam bukan sebuah jawaban,

ASPIRASI | EDISI KE-92

21


RESENSI

Sembuh dari Trauma Pasca Pemerkosaan itu Butuh Proses

M

Oleh : Taufiq Hidayatullah

ay (Raihaanun) merasa amat bahagia. Dia menaiki bianglala, berayun di kora-kora, dan menonton tong setan. Kala itu usianya baru 14 tahun. Sendirian diantara keramaian pasar malam, dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan. Senyum sumringah menghiasi perjalanannya pulang. Itulah senyum terakhir May. Sampai pada saat sekelompok pria berbadan besar tiba-tiba menyergapnya masuk ke sebuah gudang. Gemerlap keriuhan pasar malam seketika berubah dalam sekejap. Dalam ruangan tersebut ia diperkosa. May pulang dalam bisu. Tatapan matanya menjadi kosong, seolah berusaha bertahan dengan menyaru jadi robot. Jika ingatan tentang pemerkosaan itu terlintas dalam benaknya, May akan mengiris kulit pergelangan tangannya, menghitung jumlah boneka di lemari, atau melampiaskan kekalutannya dengan lompat tali. Itulah adegan pembuka dalam film 27 Steps of May. Film yang berdurasi 118 menit itu mencoba menarasikan langkah-langkah May dalam upaya melawan trauma masa lalu sebagai korban pemerkosaan. Kompleksitas persoalan para penyintas kekerasan seksual yang tak mudah untuk diuraikan secara apik dapat dikemas oleh Ravi Bhawarni selaku sutradara. May yang selalu ditampilkan di dalam kamar. Selepas peristiwa kelam yang dialaminya, pribadi May berubah drastis. Rutinitas jadi cara May bertahan hidup sejak peristiwa traumatik itu. May bangun, menyetrika bajunya, lantas berkaca di depan cermin. Ia kemudian mengikat semua rambutnya ke belakang. Ketika ia membuka pintu kamarnya, Bapak (Lukman Sardi) sudah menunggunya di depan kamar. Bapak kemudian mengangkat meja ke dalam kamar May. Setelah itu mereka bekerja dalam diam, menjahit baju boneka, memasang pernak-pernik, lalu memasukkannya ke dalam mika. Rutinitas itu yang May dan bapak lakukan tiap hari selama delapan tahun. Hidup dalam senyap, bekerja dalam diam. Ia menarik diri dari kehidupan luar dan hanya menjahit boneka di kamarnya untuk dijual.

22

Plot film terbagi menjadi dua fokus; masing-masing untuk May dan Bapaknya. Tokoh Bapak menegaskan kembali bahwa penderitaan sebagai korban kekerasan seksual tidak hanya dirasakan oleh penyintas belaka, melainkan juga dialami keluarganya. Tindakan menimpakan kesalahan pada korban ataupun keluarganya menafikan adanya kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Serta kontraproduktif terhadap segala upaya menyembuhkan trauma. Pada akhirnya, kekerasan seksual disederhanakan laiknya ikan asin dan seekor kucing. Kesan tersebut muncul melalui sosok teman Bapak yang seorang kurir boneka (Verdi Solaiman). Rekomendasi cara penyembuhan yang diberikan sang kurir sangat jauh dari kata rasional. Tindakan kurir mendatangkan orang-orang sakti untuk ‘mentransfer energi positif’ di rumah mereka seakan melihat trauma akibat kekerasan seksual layaknya penyakit yang dikirim dari antah-berantah. Tanpa menganggap remeh usaha sang kurir menjaga harapan Bapak ataupun usahanya menjadi support system bagi Bapak. Hal seperti ini menunjukkan betapa cekaknya pengetahuan dasar kita menyangkut penanganan korban kekerasan seksual. Trauma Pemerkosaan itu Ada dan Depresif Trauma akibat perkosaan membekaskan luka teramat pedih. Bersama ayahnya, dunia berjalan dengan lamban. Sementara May masih belum menunjukkan perkembangan signifikan. Kelambanan ini tak pelak sebagai konsekuensi dari minimnya interaksi antartokoh. Bagi sebagian penonton, minimnya dialog menjadi kendala memaknai cerita. Tapi bagi sebagian penonton lain, kondisi tersebut justru membuka ruang interpretasi yang seluas-luasnya. Dalam interpretasi penulis sendiri kesenyapan dalam hidup May seakan menjadi simbol diamnya mayoritas korban kekerasan seksual hingga kini. May tidak pernah mengungkapkan pemerkosaan yang dialaminya sambil terus beru-


Judul : 27 Steps of May Produser : Wilza Lubis, Rayya Makarim, Ravi Bharwani Sutradara : Ravi Bharwani Penulis : Rayya Makarim FOTO : 27stepsofmay.com

Pemeran : Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman Durasi : 118 menit Salah satu adegan May dalam film ‘27 Steps of May’

saha tegar dan melupakan. Lewat tokoh bapak, May juga menggambarkan bahwa tekanan batin tak hanya dialami korban tapi juga orangorang di sekitarnya. Kajian psikologi menyatakan trauma kekerasan seksual tidak hanya bersifat depresif bagi korban, tapi juga buat orang-orang terdekat di sekitarnya. Dalam konteks film ini, tokoh Bapak menjadi contoh yang baik terkait teori tersebut. Sang Bapak digambarkan sebagai seseorang yang putus asa, prihatin atas buntunya usaha untuk kesembuhan May. Suasana keluarga yang muram tersebut menyalurkan emosi Sang Bapak ke atas ring tinju. Bertahun-tahun, bogem mentah didaratkan kepada musuhnya hingga K.O., sebagai pelampiasan penyesalan dirinya yang tak becus melindungi anak. Hingga suatu saat datang seorang pesulap (Ario Bayu) dalam semesta May. Lewat sebuah lubang di kamarnya, pesulap menghadirkan kembali emosi-emosi dalam hidup May. Lubang yang membawa cahaya dari luar ke dalam. Lubang yang menghubungan dunia May dengan dunia luar, yang selama delapan tahun ia mengisolasi dirinya. Mengenai pesulap, kita bisa berdebat apakah eksistensinya boleh dianggap nyata atau hanya ada di kepala May. Tetapi yang menjadi penting, kehadirannya berfungsi sebagai support system bagi May. Termasuk tempat bagi May untuk menumpahkan amarah, juga membukakan jalan baginya untuk mengakhiri isolasi diri. Sosoknya seperti kehadiran seorang teman sejati, atau anggota keluarga, atau orang ter-

dekat lain yang bertugas memastikan bahwa korban kekerasan tidak sendirian. Ia ada untuk mendengar, atau bahkan membantu korban untuk menapaki langkah penanggulangan trauma. Pada adegan terakhir, May memutuskan untuk mengenakan busana yang tidak seperti biasanya. Dengan mengenakan pakaian berwarna hijau muda, membiarkan rambutnya tergerai, ia lantas memeluk ayahnya penuh cinta sembari berujar “Bukan salah Bapak�. Butuh delapan tahun untuk May, agar bisa melangkah ke luar dari pintu pagar rumahnya. May membuka pintu pagar putih rumahnya. Ia akhirnya bisa melangkah dengan santai. Pada langkah awal, May hanya berputar-putar memandang ke sekeliling rumahnya. Wajahnya tampak antusias, matanya menyusuri setiap sudut tempat yang mampu ia lihat. Lantas, ia melangkah ke arah kiri, menuju ke arah jalan yang terakhir kali ia lewati. Berjalan menjauhi rumahnya. Hingga sampai pada langkah ke-27 dan layar pun menghitam. Di balik gelapnya layar, kita hanya bisa berharap bahwa May terus melangkah, ia harus melanjutkan hidupnya. Singkatnya, ia mesti menjalani sisa hidupnya dengan bayang-bayang masa lalu di balik punggungnya. Ia tidak hanya memfungsikan diri sebagai sebuah tontonan belaka, tapi menyandang misi advokasi kepada mereka yang pernah trauma, sedang trauma, dan berupaya agar trauma yang sama tidak terulang lagi di masa depan. Melalui May, kita juga berharap kisahnya dapat menjadi jalan bagi para penontonnya untuk lebih berempati dan memahami luka korban kekerasan seksual.

ASPIRASI | EDISI KE-92

23


FORUM AKADEMIKA

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

Maraknya Kasus Bunuh Diri: Refleksi Pentingnya Kesehatan Mental Oleh: Thalita Avifah Yuristiana

Kurangnya kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental dan stigmatisasi yang ditujukan kepada para penyintas meningkatkan self harm dan self diagnosis hingga berujung bunuh diri.

P

ada tahun 2017 lalu, dunia digemparkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan Jonghyun Kim, salah seorang member boyband asal Korea Selatan ‘SHINee’ tersebut. Depresi adalah salah satu penyebab ia mengakhiri hidupnya. Namun depresi bukanlah hal yang baru bagi Jonghyun. Pada tahun 2015 dikutip dari lama KoreanTimes, Jonghyun mengaku dalam sebuah wawancara bahwa mengidap Seasonal Affective Disorder (SAD), sebuah gangguan mental yang dipengaruhi oleh perubahan iklim yang semakin memperparah depresinya. Di tahun yang sama, musisi utama band Linkin Park, Chester Bennington juga mengakhiri hidupnya setelah mengalami depresi yang cukup lama tanpa penanganan yang tepat. Menurut psikolog yang pernah menanganinya, Chester memiliki trauma masa lalu yang men-

24

jadi alasan depresi yang dialaminya sampai ia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Salah satunya karena pernah menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual. Memasuki 2019, kematian yang diakibatkan bunuh diri yang dilakukan oleh Sulli, salah satu penyanyi asal Korea Selatan ini kembali mendapat sorotan publik. Kerap menerima komentar jahat ditenggarai sebagai penyebab bunuh diri perempuan yang lahir pada tahun 1994 ini. Atas latar belakang itulah pemerintah Korea Selatan seperti yang dikutip dari World Today bahwa anggota parlemen Korea Selatan mengusulkan untuk pembuatan rancangan undang undang (RUU) untuk melawan komentar jahat yang kemudian diberikan nama ‘Sulli Law’. Berdasarkan kasus diatas, ada persamaan krusial yang melatarbelakangi seseorang


melakukan bunuh diri, yaitu depresi walaupun dengan alasan yang berbeda-beda. Dilansir dari Psychology Today, penyebab nomor satu dari bunuh diri adalah depresi. Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan kurang lebih 20% individu mengalami masalah kesehatan mental. Jenis masalah kesehatan mental yang umum terjadi adalah depresi dan kecemasan. WHO menyatakan bahwa 75% gangguan mental emosional memang umum terjadi sebelum usia 24 tahun atau dalam rentang usia remaja. Dalam berbagai kasus, bunuh diri dan self harm merupakan akibat dari permasalahan dari gangguan kesehatan mental tersebut. Di Indonesia, berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan data rutin dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental terus mengalami peningkatan di Indonesia. Menurut data tersebut, sekitar 14 juta orang (6 persen) yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan kesehatan mental emosional berupa gejala depresi dan kecemasan. Jumlah ini ada di kisaran 3 persen dari 450 juta penderita gangguan kesehatan mental di seluruh dunia berdasarkan data WHO. Ade Binarko selaku pendiri dari SehatMental.id menuturkan bahwa depresi adalah salah satu tanda dimana kesehatan mental seseorang terganggu. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ada beberapa indikasi seorang individu mengalami gangguan kesehatan mental misalnya perubahan mood yang sangat cepat, penarikan diri dari sosial, penurunan nilai akademik, perubahan intensitas makan dan durasi tidur,kehilangan minat, tidak berenergi dan mudah marah. Isu kesehatan mental masih terdengar asing dibandingkan isu kesehatan fisik. Pemberian imunisasi atau suntik untuk menangani sakit secara fisik, lebih nyata dilakukan sehingga orang awam mudah untuk mengenalinya. Sedangkan sifat gangguan mental yang lebih mudah disembunyikan dan tidak selalu tampak jelas dari luar, atau dampaknya yang tidak terlalu terasa secara langsung membuat permasalahan ini seakan tidak penting. Namun

hal itu tidak berarti kesehatan mental tidak sama pentingnya dengan kesehatan fisik. "Faktor penyebabnya terganggunya kesehatan mental seseorang bisa banyak. Bisa jadi kecemasan terhadap masa depan, tidak ada pengertian dari keluarga dan lingkungan, maupun bullying, " ujarnya kepada ASPIRASI pada Jumat (17/05/2019). Menurut Benny Prawira Siauw sebagai sucidolog sekaligus pendiri Komunitas Into The Light (ITL) menjelaskan bahwa kesehatan mental yang baik adalah suatu kondisi dimana aseseorang mampu mengelola masalah yang dialami dengan baik, dapat beradaptasi, dapat mengendalikan diri, dan bersikap bijaksana dalam dalam menghadapi masalah. Sedangkan menurut Benny, gangguan kesehatan mental adalah kondisi yang dapat permanen atau sementara, dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan lebih kompleks dimana terjadinya ganggunaan dalam keberfungsian jiwa dan raga individu tersebut. “Jadi dari pola dari gejala gangguan jiwa ini, itu harus diperhatikan banget. Apakah dia memenuhi gejalanya, apakah dia punya jangka waktu tertentu yang muncul. Apakah dia selalu muncul atau tidak, dalam kondisi apa dia muncul, bagaimana gangguan jiwa ini mengganggu keberfungsiannya,� tutur pria yang baru menyelesaikan pendidikannya di Universitas Bunda Mulia tersebut kepada ASPIRASI, Jumat(24/05) Benny menjelaskan bahwa bunuh diri lebih kompleks dibandingkan gangguan jiwa karena faktor yang berperan meliputi psikologis, biologis dan sosial. Sedangkan gangguan jiwa itu adalah masalah psikologis. Bunuh diri adalah akumulasi ketiga faktor tersebut yang membuat orang bertanya –tanya mengenai ekesistensi dirinya yag kemudian berujung menganggap diri tidak berguna. “Mungkin saja ada pasal-pasal yang menjadi terperangkap dan berhubungan dengan masa depannya. Dia merasa masa depannya tidak bagus, dia mungkin merasa dirinya rendah dan dia juga merasa dia cuma jadi beban buat orang sekitarnya. Kemudian didukung oleh akses terhadap senjata atau obat-obatan, individu tersebut akhirnya memutuskan untuk bunuh diri,� tuturnya.

ASPIRASI | EDISI KE-92

25


Stigmatisasi Para Penyintas

atau segera membutuhkan pertolongan.

Herdyan Loberto, seorang psikolog sekaligus co-Founder sehatmental.id menjelaskan bahwa support system sebagai penanggulangan pertama bagi penyintas menjadi penting. Menurutnya kebanyakan kasus bunuh diri atau self-harm terjadi karena tidak adanya dukungan dari lingkungan terdekat.

Lebih lanjut, Dhila menjelaskan bahwa Self-harm tidak terjadi begitu saja. Namun dapaet dipengaruhi juga oleh perilaku mencontoh perilaku orang lain. Mereka yang terlibat dalam self-harm memiliki alasan yang kompleks sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan hal tersebut.

"Lingkungan keluarga dan pertemanan diharapkan mampu menjadi tempat keluh kesah para penyintas sehingga tidak berakhir self harm atau bunuh diri, " tuturnya.

�Orang yang mengalami gangguan mental seperti depresi itu tidak terlihat dengan kasat mata apa yang menjadi sumber sakit. Maka daripada itu, pada penyintas melakukan self harm untuk membuat rasa sakit itu nyata,� tutur perempuan berkacamata tersebut kepada ASPIRASI, Sabtu (25/05/2019).

Ia berpendapat, identifikasi dini dan penanganan efektif terhadap pengidap gangguan mental, menjadi kunci untuk memastikan orang-orang tersebut mendapatkan perhatian yang dibutuhkan. Hal tersebut pun disepakati oleh Benny. Stigmatisasi pada para penyintas hanya akan membuat mereka semakin tereksklusi. Stigma dianggap sebagai orang gila atau orang yang kurang dekat dengan agama sering dialamatkan kepada para penyintas yang dalam hal ini menurut Benny menambah persoalan terkait penanganan para penyintas. “Tentu hal ini memperngaruhi mereka. Bayangkan ketika mereka melamar kerja lalu ada riwayat ganggungan mental, masyarakat secara langsung mengekskusi mereka, ‘ah udah gak usah, ini gak usah diterima’ tentu ini mempengaruhi hidup mereka banget,� jelasnya. Semakin mereka tidak mendapatkan akses yang baik, maka akan semakin parah kondisi kejiwaannya. Benny menyebutnya sebagai lingkaran setan yang tak berkesudahan. Menanggapi hal tersebut, Benny menitikberatkan pada penghapusan regulasi diskriminatif dan pemberlakuan regulasi afirmatif dalam hal ini untuk membantu perkembangan para penyintas. Realitas Self-harm Diantara Penyintas Fadhilah Amalia, salah seorang psikolog mengatakan bahwa realitas self-harm telah menjadi rahasia umum terutama bagi para penyintas depresi. Menurut Dhila, self harm dapat diindikasikan sebagai perilaku mWenjurus kearah bunuh diri dalam tahap yang kritis

26

Menanggapi hal tersebut, Benny menjelaskan bahwa ada beberapa penelitian yang meneliti perilaku self harm sebagai bentuk pelepasan rasa sakit yang diderita akibat gangguan mental. Benny menjelaskan lebih lanjut bahwa ada perasaan lega yang membuncah setelah melakukan hal tersebut. “Namun hal ini tidak kondusif bagi perkembangan dia. Artinya secara mental, pertama ia tidak bisa menyelaikan permasalannya dengan baik sehingga memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri,� jelasnya. Komunikas asertif menurut Benny juga sangat krusial. Para penyintas harus memberlakukan komunikasi asertif ini untuk menceritakan kepada orang yang ia percaya berkaitan dengan kondisi tubuhnya. Self harm juga berpotensi menjadi candu tergantung dari batas toleransi sakit yang dicari oleh si pelaku. “Orang yang melakukan self harm, akan merasa lega sesaat namun dilait kesempatan batas toleransi kesakitan itu semakin meninggi, sehingga ia terus melakukan itu berulang ulang sampai perasaan lega itu datang kembali. Hal ini lah yang menjadi efek yang paling berbahaya dari perilaku self harm,� jelasnya. Menurut Benny, mencari alternatif lain untuk mengalihkan keinginan untuk menyakiti diri sendiri sangat krusial untuk dilakukan. Benny menyarankan masing-masing penyintas untuk mendalami hobi yang lebih positif terkait hal tersebut.


Malapetaka Self Diagnosis Fenomena yang kerap kali terjadi di mayoritas masyarakat dengan kesadaran isu kesehatan mental akhir akhir ini melahirkan perilaku self diagnosis. Self diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri, misalnya dari teman atau keluarga, bahkan pengalaman sakit di masa lalu. Menurut Benny, hal ini sangat keliru karena orang yang bisa memberikan diagnosis hanya tenaga profesional. Kesalahan diagnosis akan bersifat fatal bagi penyintas karena diagnosis hanya bisa dilakukan dengan keahlian khusus dan pengetahuan mengenai diagnosis masalah, gangguan, atau sindrom mental. Tenaga profesional dalam ranah ini menurutnya bisa berupa psikolog, psikiater, perawat jiwa, pekerja sosial dengan pendekatan yang berbeda-beda. “Misalkan dia sedih terus terusan, lalu langsung bilang bahwa dia depresi. Padahal kesedihan itu emosi alamiah manusia dan tidak ada yang salah dengan itu. Sedangkan depresi lebih kompleks lagi. Hal ini bisa jadi stimulus, ia

mempercayai dirinya depresi. Tentuk efeknya fatal,” jelasnya. Lebih lanjut, Benny menjelaskan apa yang harus dilakukan penyintas untuk menghindari self diagnosis. Pertama yaitu menceritakan keadaan yang dialaminya kepada keluarga, teman, dan kerabat yang dipercayai. Setelah itu cari pertolongan profesional yang dalam hal ini lebih ke arah psikolog. Psikolog akan melakukan assesment dan penilaian berdasarkan gejala-gejala yang dialami lalu memberikan diagnosis. “Selanjutnya, psikiater akan memberikan obat yang berfungsi menyebuhkan pasien dengan pertimbangan dari psikolog, lalu dalam proses penyembuhan dilempahkan menjadi wewenang perawat jiwa,” jelas pria yang hobi berolahraga tersebut. Tak hanya itu, menurutnya primental check up bisa dilakukan oleh para penyintas untuk menghindari self diagnosis. Romantisisme dan glorifikasi gangguan mental menurut Benny memperparah fenomena self diagnosis ini. Benny menggarisbawahi pentingnya mencari bantuan kepada para tenaga profesional dan jangan takut untuk terkena stigma. “Kemauan yang gigih dari para penyintas adalah kunci supaya penyintas bisa sempuh. Maka dari itu jangan takut untuk bercerita, dan cari pertolongan ke tenaga profesional,” tutupnya. **** Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

ASPIRASI | EDISI KE-92

27


EKSKLUSIF

Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas:

Kerusakan Iklim Didepan Mata, Mau Diam Sampai Kapan? Oleh: Helen Andaresta

D

ua spanduk bertuliskan “Orang Baik Pilih Energi Baik” dan “Lawan Perusak Hutan” terpasang di Patung Dirgantara dan Patung Selamat Datang Bundaran HI pada Rabu (23/10/2019). Dua spanduk itu dipasang oleh aktivis Greenpeace Indonesia—organisasi non pemerintah yang fokus pada isu lingkungan. Sejak resmi masuk ke Indonesia pada 2005, Greenpeace konsisten berkampanye untuk penyelamatan lingkungan. Pendekatan yang dipakai pun tergolong berani. Spanduk yang terpasang di dua patung di Jakarta tersebut hanyalah sedikit contoh yang ada. Aksi yang dilakukan bersumber dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan atas sejumlah aktivitas yang dilakukan pelbagai korporasi. Untuk melawan hal itu, mereka menempuh aksi kolektif yang berisiko dan seringkali melanggar aturan hukum setempat. Pengembangan energi ramah lingkungan di Indonesia adalah sebuah keharusan. Tapi di Indonesia, perkaranya jadi pelik karena energi sudah jadi perkara politik. Setidakya itu lah yang dilihat oleh Arie Rompas, Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Banyak hal yang disampaikan Arie saat kami mewawancarainya pada Rabu sore (6/11/2019) di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Pria yang mendapat gelar sarjana Ekonomi dari Universitas Palangkaraya itu sangat antusias dan bersemangat. Kami meminta pandangannya sebagai professional di bidang Hutan, sekaligus perwakilan dari Greenpeace Indonesia, untuk mengetahui permasalahan hutan dan energi yang disampaikan dalam aksi 23 Oktober lalu. Berikut hasil wawancaranya:

28

Mengapa memilih berkampanye dengan cara yang cukup berani? Greenpeace berkampanye untuk merubah perilaku masyarakat, tentu harus mendapat perhatian publik dan kelompok yang disasar. Kenapa Greenpeace menggunakan Patung Bundaran HI dan Dirgantara, karena itu tempat-tempat publik dan masyarakat familiar dengan tempatnya sehingga pesan yang kami bawa bisa tersampaikan dengan baik. Bagaimana dengan pemberhentian aksi oleh pihak kepolisian? Seperti yang diketahui, memang greenpeace selalu melakukan aksi-aksi yang tergolong berani dan konfrontatif. Tetapi kami selalu mengutamakan cara-cara yang tidak menggunakan kekerasan. Jadi kami meminimalisir aksi yang mengarah pada vandalisme ataupun merusak properti publik. Sudah pasti sebelum aksi kami melakukan mitigasi mengenai itu. Pada aksi kemarin, kami tahu betul bahwa lokasi tersebut kalau meminta secara prosedural tidak akan diberikan. Kemudian ketika ditangkap kepolisian tidak menemukan unsur pidana lantaran tidak melanggar hukum ataupun memberikan kerusakan dalam aksi. Apa tujuan dan pesan yang ingin disampaikan dari kampanye tersebut? Ada dua pesan utama yang ingin kami sampaikan agar menjadi perhatian khusus Jokowi dan para menteri terpilih. Mulai menyerukan untuk meninggalkan energi kotor batu bara dan segera melakukan penyelamatan hutan. Kami juga ingin publik mengetahui situasi yang


FOTO : ASPIRASI/ Taufiq

Arie Rompas ketika ditemui oleh ASPIRASI di ruangan Greenpeace Indonesia pada Senin, (11/11/2019).

terjadi di depan mata. Apa kaitannya dengan gerakan #ReformasiDiKorupsi? Kami memahami bahwa persoalan-persoalan lingkungan termasuk regulasi berasal dari praktik politik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun para politikus di DPR. Persoalan-persoalan serius juga sedang dihadapi oleh negara hari ini, khususnya korupsi yg diakibatkan oligarki dalam sektor lingkungan. KPK sendiri punya program khusus untuk gerakan nasional penyelamatan SDA. Melalui itu KPK sudah berhasil mencegah kerugian negara dari proses-proses korupsi di sektor tersebut. Termasuk sektor kehutanan, batu bara, dan pertambangan. Seperti yang kita ketahui upaya pelemahan KPK yang ada, justru akan membuat korupsi dengan kedok investasi ataupun kerusakan pada sektor SDA akan meningkat. Bagaimana praktik korupsi yang terjadi dalam sektor SDA? Umumnya terkait pemberian surat izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Greenpeace

telah melakukan penelitian terhadap praktik korupsi yang ada. Beberapa kepala daerah tertangkap karena kasus korupsi pemberian izin Makanya kampanye yg dilakukan oleh greenpeace erat dengan masyarakat sipil. Dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, kami mendorong kepentingan publik diatas kepentingan oligarki. Agar RUU bermasalah dalam sektor SDA—RUU Minerba dan Pertanahan—harus berpihak kepada kepentingan publik. Bagaimana alam Indonesia saat ini? Karena pengerusakan terus terjadi dan energi terbarukan juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga kenaikan air muka laut, kekeringan ekstrim, banjir bandang, gagal panen, badai tropis dan polusi udara bisa menjadi masalah baru di Indonesia. Kerusakan lingkungan apa yang terjadi selama lima tahun? Memang desforestasi sudah agak menurun, tetapi disisi lain kebakaran hutan terus meningkat terutama di 2019. Hasil riset kami

ASPIRASI | EDISI KE-92

29


EKSKLUSIF sepanjang periode pertama Jokowi terdapat 3,4 juta hektar lahan yg terbakar. Ditambah tahun ini sebenarnya ada 4,5 juta lagi yang terbakar. Nah itu juga menghasilkan emisi yang tinggi karena kebakaran hutan. Dari temuan kami itu sebagian besar berada di wilayah konsensi sawit ataupun tambang batu bara. Jadi dari sektor energi dan kehutanan masih terus mengeluarkan emisi. Karena pemerintah memang tidak punya komitmen untuk memperioritaskan sektor kehutanana dan energi terbarukan.

Apa yang menyebabkan pemerintah masih menggunakan energi kotor? Baru-baru ini PLN menyampaikan bahwa mereka telah kehilangan pendapatan serta konsumen lantaran masyarakat mulai beralih pada EBT. Artinya, pemerintah lebih memfokuskan untuk mendapatkan keuntungan. Harusnya masyarakat yang mendapatkan keuntungan dengan energi yang ramah dan murah. Tapi kemudian dipaksa dengan energi yang kotor dan merusak lingkungan. Sementar keuntungannya hanya didapatkan oleh segelintir orang.

Ada upaya dari pemerintah? Itu hanya pencitraan saja bahwa pemerintah sudah melakukan sesuatu, tetapi faktanya kebakaran hutan masih terjadi, bahkan hari ini kebakaran hutan masih terjadi di kalimantan. Walaupun gugatan warga negara terhadap pemerintah sudah memenang. Artinya presiden dan pemerintah telah lalai untuk melindungi hak warga negaranya untuk mendapatkan udara bersih dan lingkungan yang sehat. Upaya penegakkan hukum lainnya tidak dilakukan. Greenpeace menemukan perusahaan-perusahaan yang terus melakukan pembakaran sejak 2015 sampai sekarang. Pelaku pembakaran tersebut berasal dari 10 grup perusahaan besar dan tidak dilakukan upaya penegakkan hukum yang serius. Mengapa kita harus menggunakan Energi Baru Terbarukan? Dalam konteks krisis iklim, perubahan sudah ada didepan mata dan salah satu penyebabnya penggunaan energi kotor secara masif, termasuk batu bara. Pemerintah kita masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama. Dengan beralih kepada Energi Baru Terbarukan (EBT) akan menurunkan emisi ataupun polusi terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh batu bara. Kalau kita tidak segera beralih, akan berimplikasi pada keselamatan penduduk bumi.

30

Apa yang membuat EBT tidak menjadi pilihan? Karena biaya pembangunan pembangkit listriknya lebih tinggi ketimbang batu bara. Padahal kalau dihitung-hitung pembangkit listrik EBT membutuhkan investasi besar hanya pada awalnya saja. Ketika nanti sudah beroperasi, tidak ada biaya produksi, hanya biaya perawatan. Berbeda dengan PLTU batu bara yang setiap beroperasi harus mengeluarkan modal. Kalau berbicara bisnis, harusnya yang dipilih adalah EBT karena low-cost. Kenapa mereka masih bertahan, karena setiap PLTU batu bara beroperasi mereka mendpatkan keuntungan. Jadi mereka produksi terus. Bagaimana posisi EBT di Indonesia kedepannya? Sebenernya dengan Indonesia ikut menandatangani Paris Agreement, harusnya pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi sektor dari sektor batu bara dan mulai beralih menuju energi terbarukan. Kenyataan dilapangan berbeda. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Jokowi mengamanatkan untuk mengurangi produksi batu bara. Tapi justru di periode pertama dia malah menggenjot produksi. Jadi antara dokumen dan implementasinya itu bertolak belakang. Jadi akan jauh pelaksanaanya untuk mencapai energi yang terbarukan.


FOTO : Dokumen Pribadi

Salah satu anggota Greenpeace Indonesia dalam aksi kampanye di Bundaran HI pada Rabu, (23/10/2019).

Jadi prospeknya masih kurang? Masih sangat jauh, dengan komitmen-komitmen yang tidak ada implementasinya. Regulasinya sudah dibuat atau belum? Sebenarnya kita sudah punya satu UU Lingkungan Hidup yg cukup kuat. Tinggal implementasinya saja untuk dijalankan, termasuk upaya-upaya penegakkan hukum jadi sangat penting untuk dilakukan. Kasus-kasus pengrusakan lingkungan harus ada efek jera yang ditimbulkan oleh pemerintah, untuk menjalankan fungsinya mengurangi kerusakan lingkungan. Disisi lain para aktivis lingkungan kerap mendapatkan intimidasi ataupun pembungkan. Bagaimana menyikapinya? Kalo bicara tentang resiko, resikonya pasti selalu berhadapan dengan pihak yang tidak suka. Jangan takut. Kalau kita takut, kita sudah menyerahkan kepentingan publik masa depan kita pada oligarki. Jadi penting sebenarnya terus kritis dan tetap pada koridor hukum yang

berlaku, dan tentu membangun kesadaran sehingga konsolidasi dari masyrakat jadi sangat kuat. Artinya tantangan bagi oraganisasi masyarakat sipil yang sudah sadar untuk memberitahu sebenarnya apa yg terjadi, apa hubungannya antara oligarki dan keselamatan lingkungan. Beberapa sejarah lingkungan hidup kemudian mampu menumbangkan para oligarki, harus ada kekuatan masyarakat. Itu yang harus dilakukan dan dikonsolidasikan. Lantas apa yang harus dilakukan? Sekarang kita sudah tidak bisa menghindar lagi. Yang terdampak dari krisis iklim ini bukan hanya kita, bukan hanya keluarga kita, tetapi seluruh penduduk bumi. Sehingga kita harus berbuat sesuatu, apapun yang bisa kita lakukan. Untuk para pemerintah tentu kami mendesak untuk melakukan perbaikan yang serius terkait kebijakan deforestasi di indonesia dan juga membuat kebijakam yang lebih kuat untuk beralih meninggalkan energi kotor dan beralih ke EBT.

ASPIRASI | EDISI KE-92

31


LENSA

Pulau Reklamasi Untuk Siapa? Oleh : Syifa Aulia

W

acana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Pendapat masyarakat pun bermunculan dari yang pro hingga kontra.

Tak hanya permasalahan dari hasil tangkap, pengeluaran nelayan pun menjadi bertambah karena harus membeli minyak tanah untuk kapal.

Reklamasi diadakan bertujuan untuk memperluas wilayah DKI Jakarta. Wilayah administrasi bagian Selatan, Barat, dan Timur sudah tidak memungkinkan lagi untuk pembangunan, karena penduduk yang padat.

Sebelum adanya pulau reklamasi, nelayan hanya menghabiskan 5-10 liter saja. Pulau reklamasi membuat para nelayan harus memperluas tempat pencariannya yang akhirnya harus membuang bensin sebanyak 10-15 liter.

Alasan lain dari pembangunan reklamasi adalah untuk menambah pendapatan daerah dari retribusi dan pajak. Selain itu juga untuk membangun kemajuan di wilayah Utara Jakarta. Nyatanya alasan tersebut justru dipertanyakan banyak pihak.

Pada zamannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ia berturut-turut memberikan izin pelaksanaan pengembangan di Pulau Reklamasi. Keputusan Ahok itu karena ingin meneruskan proyek yang sudah ada pada zamannya Soeharto. Ahok menilai proyek reklamasi sangat menguntungkan bagi pemasukan dana DKI Jakarta.

Pulau reklamasi yang diberi nama Pulau A-Q ini juga disebut-sebut dapat berfungsi sebagai bendungan yang dapat menahan permukaan air laut naik. Adanya dampak positif bagi lingkungan ini juga masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Disisi lain pembangunan pulau reklamasi sangat berpengaruh bagi kehidupan nelayan sekitar. Para nelayan di Muara Angke tersebut mengeluhkan adanya pengerukan pasir untuk pembuatan pulau reklamasi tersebut. Ekosistem binatang laut seperti kerang, kepiting, dan ikan menjadi terganggu tumbuh kembangnya. Cipto, nelayan kerang hijau di Muara karang tersebut membagikan keluhannya. “Kalau bicara kerang hijau, sebelum ada pulau reklamasi tuh subur banget ketika panen. Sekarang boro-boro subur, ternaknya saja sudah ditempatin pulau reklamasi,� ujar pria berusia 49 tahun itu. Akhirnya para nelayan terpaksa mencari kerang hijau dibalik bebatuan tua. Ukuran kerang hijau pun menjadi kurus karena air laut terganggu akibat adanya pengurukan pasir.

32

Sementara ketika Anies Baswedan naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia mengambil sikap untuk menyegel seluruh bangunan yang sudah berdiri kokoh di Pulau D. Akibatnya, ratusan bangunan pun terbengkalai. Penyegelan tersebut menurutnya karena belum adanya peraturan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebelumnya pada masa kampanye Pemilihan Gubernur di tahun 2017, Anies berjanji menolak Pulau Reklamasi. Janji itu pun kandas seiring berjalannya waktu Anies menjabat. Ia justru mengeluarkan IMB untuk bangunan di Pulau D. Bangunan di Pulau D tersebut berupa perumahan, rumah toko, dan rumah kantor. Sampai saat ini, Pulau Reklamasi masih ditentang oleh beberapa pihak. Pendirian bangunan yang menyalahi aturan hingga dampak lingkungan yang menjadi terganggu. Janji Anies menolak Reklamasi sekarang hanya tinggal janji. Kenyataannya, bangunan yang sudah layak huni di Pulau D ditujukan untuk segelintir orang yang memiliki modal.


ASPIRASI | EDISI KE-92

33

Penampakan rumah toko dan rumah kantor di Pulau D sudah siap huni bahkan beberapa sudah ada yang membeli


Pulau D reklamasi tersebut diberi nama Kawasan Pantai Maju. Nampak juga papan reklame yang bertuliskan iklan bangunan siap pakai.

Pembangunan masih berlanjut di Pulau D untuk dibuat perumahan mewah, pertokoan, dan perkantoran.

Namanya Pak Cipto, berusia 49 tahun merupakan nelayan kerang hijau di Muara Angke. Sambil menunjuk lokasi Pulau Reklamasi, Ia menceritakan keluhannya setelah adanya Pulau Reklamasi.

34


ASPIRASI | EDISI KE-92

35

Para Nelayan di Muara Angke sedang membersihkan kerang hijau hasil tangkapannya.


LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

Jalan Panjang Penyandang Disabilitas Menuntut Hak yang Dirampas Negara Oleh: Taufiq Hidayatullah

Regulasi terkait penyandang disabilitas sudah muncul sejak 22 tahun lalu, tetapi mereka masih berhadapan dengan ketidaksetaraan hak sampai sekarang.

D

ua dekade telah berlangsung sejak Indonesia memiliki peraturan pertama mengenai penyandang disabilitas. Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, menjadi peraturan pertama yang ada menaunginya. Kerangka pemikiran undang-undang yang dikeluarkan pada era Soeharto masih melihat penyandang disabilitas sebagai obyek kelas dua dalam masyarakat, yang memerlukan uluran tangan atas dasar belas kasihan. Sembilan tahun kemudian, Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (KHPD) menjadi lompatan besar keterbukaan dunia dalam menerima penyandang disabilitas. Kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen internasional HAM yang memuat

36

aturan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas secara komprehensif dan integratif. Perjanjian tersebut ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 13 Desember 2006 di New York lewat Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Pengesahan konvensi itu dilakukan setelah Ad Hoc Commitee of General Assembly berhasil melakukan negosiasi rancangan konvensi yang berlangsung sejak tahun 2002 sampai dengan 2006. Dalam amanatnya, negara anggota perjanjian tersebut wajib melindungi, mempromosikan, dan menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Negara juga wajib


memberikan kepastian kesetaraan penyandang disabilitas di depan hukum. Perubahan yang lambat Awalnya terdapat 82 negara yang menandatangani KHPD yang berlangsung pada 30 Maret 2007, termasuk Indonesia yang berada pada urutan ke-9 saat itu. Hingga 2017 terdapat 175 negara anggota PBB yang menjadi Negara Pihak dari konvensi tersebut. Indonesia menjadi negara ke-107 yang meratifikasi KHPD. Namun, ratifikasi resmi baru dilakukan pemerintah lima tahun sesudah konvensi tersebut melalui UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Sampai di sini, regulasi menuju penguatan keberpihakan pada penyandang disabilitas belum selesai. Lima tahun berselang, pada April 2016 pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut menggantikan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, karena dianggap sebagai cara pandang yang keliru. Penyandang disabilitas yang semula dipandang sebagai masyarakat kelas dua dan perlu dikasihani, kemudian dipandang setara dan memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Dalam UU tersebut juga diatur bahwasanya Ragam Penyandang Disabilitas meliputi: Penyandang Disabilitas fisik; Penyandang Disabilitas intelektual; Penyandang Disabilitas mental; dan/atau Penyandang Disabilitas sensorik. Selain itu disebutkan juga bahwasanya penyandang disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi yang dapat bersifat sementara ataupun permanen. Aturan baru tersebut secara tegas menyatakan, kesetaraan hak disabilitas dengan tujuan penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak, dan mewujudkan taraf hidup yang lebih berkualitas dan mandiri. Penyebutan penyandang cacat yang sebelumnya tercantum pada UU No 4 Tahun 1997 pun diubah menjadi penyandang disabilitas melalui UU No 8 Tahun 2016.

Namun, produk hukum berupa UU belum dapat diterapkan secara konkret tanpa adanya peraturan dibawahnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 secara jelas mengamanatkan pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Pasal 131 undang-undang tersebut mencantumkan tujuan dari pembentukan KND, yakni melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak difabel. KND menurut ketentuan dalam Pasal 149 UU Disabilitas, sudah harus terbentuk pada 3 tahun setelah UU disahkan, atau pada April 2019. Dalam membentuk KND, sebelumnya diperlukan penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) terlebih dahulu untuk mengatur segala aspek kelembagaan KND. Melalui Perpres tersebut bentuk lembaga, tugas, dan kewenangan kelembagaan KND diatur. Namun hingga saat ini pun belum ada kabar adanya pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur teknis penerapan UU Disabilitas tersebut. Mengingat kembali RPP Implementasi UU Disabilitas UU Disabilitas mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan sejumlah peraturan teknis. Sebagaimana amanat Pasal 27 bahwa ketentuan mengenai perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak disabilitas diatur dengan PP. Peraturan tersebut dirumuskan dalam 15 Rencana Peraturan Pemerintah (RPP), yang kemudian diringkas oleh pemerintah menjadi 7 RPP. Ketujuh RPP tersebut meliputi tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Kedua, RPP tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. Ketiga, RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Keempat, RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi. Kelima, RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan Publik.

ASPIRASI | EDISI KE-92

37


LIPUTAN KHUSUS Keenam, RPP tentang Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan. Ketujuh, RPP tentang Konsesi dan Insentif Dalam Penghormatan, Perlindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Terkait RPP tersebut, masyarakat penyandang disabilitas yang tergabung dalam Koalisi Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Implementasi UU Disabilitas juga memberikan draft alternatif untuk setiap RPP kepada pemerintah pada 4 Januari 2018. Penyerahan RPP tersebut merupakan bentuk realisasi komitmen Pokja dan Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas untuk mendukung Pemerintah dalam upaya mendorong bersama pembentukan seluruh RPP. Dalam proses penyusunan draft RPP, Pokja Implementasi UU Disabilitas sepakat menambah satu lagi draft RPP. Penambahan ini terjadi setelah melakukan pembahasan dengan Kementrian Sosial (Kemensos) terkait RPP keempat. Hasil pembahasan mengenai RPP keempat, Koalisi Nasional Pokja sepakat bahwasanya RPP Kesejahteraan Sosial harus dipisah dengan RPP Habilitasi dan Rehabilitasi. Sehingga menjadi 8 RPP. Selanjutnya pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti 8 RPP yang diusulkan agar dapat membentuk Peraturan Pemerintah melalui 7 Kementerian terkait. Tindak lanjut tersebut berguna agar dapat melakukan pembahasan antar Kementerian atau Lembaga terkait serta melakukan harmonisasi ataupun sinkronisasi, dengan tetap melibatkan Pokja Implementasi UU Disabilitas. Proses tersebut diharapkan dapat selesai, dan RPP bisa disahkan menjadi PP maksimal pada April 2019, sesuai dengan amanat UU Disabilitas. Selama proses tersebut, masyarakat tetap dapat memberikan masukan kepada Pemerintah, baik secara langsung maupun melalui Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas. Pentingnya Komisi Nasional Disabilitas KND berperan sebagai institusi yang mengisi kekosongan di pemerintahan dalam penempatan isu disabilitas sebagai bagian

38

dari isu hak asasi manusia. KND akan menjadi tempat bertanya, monitoring, dan mengevaluasi pelaksanaan program yang terkait dengan isu disabilitas. Sebagaimana diatur dalam pasal 132, nantinya hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan, penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak disabilitas yang dilakukan oleh KND akan dilaporkan langsung kepada Presiden. Tim Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi, mengatakan bahwa KND seharusnya sudah terbentuk paling lambat April 2019. Selain itu menurut Fajri dalam pengimplementasian Undang-undang Penyandang Disabilitas, KND juga harus menjadi alat presiden, bukan sebagai alat menteri. “Posisi Komisi Nasional Disabilitas harus setara dengan kementerian, tidak boleh di bawah kementerian,� tegas Fajri ketika ditemui sore itu. Draf peraturan teknis pembentukan KND yang berasal dari masyarakat melalui Pokja Implementasi UU Disabilitas sudah disampaikan kepada pemerintah. Setelah menerima draf peraturan, maka selanjutnya tugas pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) membentuk peraturannya. Delapan bulan berlalu sejak April 2019, tenggat waktu pembentukan KND. Pembahasan masih berputar kepada Perpres pembentukan KND. Rancangan Perpres tentang KND yang diinisiasi oleh KemenPANRB pun jauh dari draf yang direkomendasikan oleh Pokja. Masyarakat penyandang disabilitas yang diwakili Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Disabilitas menyatakan sikap menolak Rancangan Perpres KND tersebut. Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Disabilitas menilai dalam pembuatan Perpres, KemenPANRB tidak transparan dan partisipatif. Ariani Soekanwo dari Pokja Implementasi UU Disabilitas, mengatakan bahwa pemerintah


telah melanggar ketentuan Pasal 180 PP Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa instansi pemrakarsa pembentuk Perpres wajib menyebarluaskan Rancangan Perpres kepada publik. “KemenPANRB tidak pernah secara resmi menyebarluaskan draft Rancangan Perpres KND,” ujar Ariani lewat keterangan tertulis pada Jumat, 7 Desember 2019. Ariani pun mengungkapkan bahwa perwakilan dari Pokja mendapatkan penolakan ketika datang meminta draf Rancangan Perpres kepada KemenPANRB. “Ditolak dan dikatakan kepada kami bahwa draf sudah di Sekretariat Negara,” ungkapnya Menurut Ariani, pembahasan Rancangan Perpres juga dinilai tidak partisipatif lantaran Pokja hanya diundang satu kali dalam pembahasan, sementara masih banyak poin-poin yang belum disepakati. Salah satunya mengenai dengan posisi dan kedudukan KND. Dalam draf yang berasal dari KemenPANRB, KND ditempatkan secara administratif dibawah Kemensos. Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas tersebut mengatakan bahwa Pokja tidak sepakat dengan konsep penempatan KND dibawah Kemensos lantaran UU Penyandang Disabilitas telah mengubah paradigma terhadap isu disabilitas menjadi pendekatan hak asasi manusia dibandingkan pendekatan rehabilitas sosial saja. Oleh karena itu menurut Pokja Kemensos tidak lagi bertanggung jawab secara tunggal atas urusan disabilitas di Indonesia. “Alasan kedua, selain karena perubahan perspektif terhadap disabilitas, Kemensos juga bukan leading sector dari isu disabilitas di Indonesia,” ujar Ariani. Ariani juga mengungkapkan permasalahan lain dari Rancangan Perpres KND. Yaitu terkait dengan jabatan Kepala Sekretaris KND hanya setingkat eselon III atau jabatan administrator yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Melalui Ketentuan tersebut menurutnya

menegaskan bahwa KND hanya lembaga setingkat dengan Direktorat dalam Kementerian, yang pimpinannya menempati jabatan eselon II. “Seharusnya, jabatan pimpinan sekretariat di KND adalah sekretaris utama yang setara dengan eselon IA, atau minimal sebagai Kepala Sekretaris dengan jabatan eselon II,” ungkapnya. Menurut Airiani dengan posisi seperti itu justru akan melemahkan KND. Selain itu menurutnya membuat KND berpotensi kehilangan statusnya sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen berdasar Pasal 131 UU Penyandang Disabilitas. Tak berhenti sampai situ, ujar Ariani, Pokja juga mempermasalahkan terkait pengisian anggota KND yang menempatkan penyandang disabilitas hanya sebagai representasi dari ragam disabilitasnya saja, tetapi tidak dapat menjadi representasi dari profesi atau status sosialnya. Dalam Pasal 7 ayat (2) RPerpres KND disebutkan bahwa Anggota KND berjumlah 7 orang yang terdiri atas 4 anggota berasal dari unsur yang mewakili 4 ragam disabilitas; dan 3 anggota berasal dari unsur nonpenyandang disabilitas yang dapat berasal dari unsur akademisi, praktisi, profesional, dan masyarakat. Ketentuan tersebut justru mendiskriminasi para penyandang disabilitas lantaran tidak dapat menjadi anggota KND melalui jalur akademisi, praktisi, profesional, atapun masyarakat. “Seharusnya, ada dua jalur menjadi anggota KND, yaitu untuk mewakili ragam disabilitas dan mewakili latar belakang, tetapi tidak membatasi penyandang disabilitas untuk masuk melalui jalur berdasarkan latar belakang,” ujar Ariani. Menurut Fajri, hal ini bisa terjadi lantaran pemerintah masih memiliki pemahaman isu yang minim dalam disabilitas. “Permasalahan utama lantaran minimnya pemahaman isu disabilitas. Karena tidak paham jadi tidak prioritas dan cenderung menunda-menunda,” pungkasnya pada Senin (9/9/2019) .

ASPIRASI | EDISI KE-92

39


LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

Menyoal Aksesibilitas Fasilitas Publik yang Masih Parsial Oleh: Firda Cynthia

Cucu Saidah menggerakkan kursi rodanya di pinggir peron Stasiun Sudirman. Sebuah mikrofon wireless mengelilingi kepala dan berujung pada mulutnya. Ia sibuk memberi arahan kepada komunitasnya yang sedang mengadakan kegiatan wisata menuju Museum Kepresidenan Bogor.

J

akarta Barrier Free Tourism (JBFT) merupakan komunitas yang menguji aksesibilitas fasilitas publik—apakah fasilitas publik sudah ramah bagi disabilitas, lansia, anak-anak, dan lain-lain. Kegiatannya dilakukan dengan melakukan wisata dan menggunakan fasilitas publik bersama semua elemen masyarakat setiap bulan. Cucu tidak sendiri. Ia ditemani oleh inisiator lainnya sekaligus suaminya, Faisal Rusdi, Faisal sendiri juga pengguna kursi roda. Pasangan suami istri tersebut mengembangkan senyumnya ketika mendapati saya di underpass Kendal, sebelah Stasiun Sudirman. Ia senang saya datang sebagai pers kampus ASPIRASI yang meliput agenda kegiatan mereka. Faisal mengatakan, ia dan Cucu akan terus

40

mengajak masyarakat mengikuti kegiatan mereka agar semakin menyadari bahwa fasilitas ‘publik’ ternyata masih belum bisa dinikmati oleh semua kalangan. Minggu pagi di bulan Juni itu, underpass Kendal, sudah ramai oleh orang-orang yang mengikuti kegiatan JBFT yang ke-50. Saya mengikuti perjalanan mereka dari Stasiun Sudirman hingga berakhir menjelajahi Museum Kepresidenan Bogor. Saat hendak menaiki kereta komuter, petugas Kereta Commuterline Indonesia (KCI) di stasiun segera menyiapkan bidang miring untuk memudahkan para partisipan kegiatan JBFT yang disabilitas. Di sana juga ada Rhodi Mahfur, seorang pengguna kursi roda yang jika namanya dicari


dalam mesin pencarian di internet dengan kata kunci ‘Art Rodhi’, akan muncul berita profilnya. Pagi itu Rhodi datang dari Stasiun Kebayoran dan turun di Stasiun Sudirman–untuk menuju titik kumpul JBFT. Di Stasiun Sudirman, sebelum ia bergabung dengan rombongan JBFT, Rodhi mengaku tak disiapkan bidang miring oleh petugas. Ia justru meminta bantuan pada orang di sekelilingnya untuk mengangkut kursi rodanya untuk turun dari kereta. “Biasanya tuh kalau kemana-mana aku enggak didukung oleh ramp seperti itu. Mungkin biar keliatan ‘wah’, jadinya ada,” ujar Rhodi kepada ASPIRASI di hari yang sama. Rhodi mengalami disabilitas paraplegia sejak berumur 14 tahun karena insiden kecelakaan. Paraplegia merupakan kelumpuhan yang memengaruhi semua atau sebagian batang tubuh, tungkai, dan organ panggul. Bagian bawah anggota tubuh Rhodi kehilangan kemampuan untuk bergerak yang membuatnya membutuhkan kursi roda untuk memudahkan mobilitasnya. Rhodi bercerita, ia juga mendapati hambatan pada tangga jalan Stasiun Juanda yang berukuran lebih kecil. Lantas kursi rodanya pun tak muat. Ia sempat ditawari petugas stasiun untuk pindah ke kursi roda travel yang disediakan di stasiun. Ia sontak menolak. “Kursi roda bagi kami merupakan bagian tubuh. Gak bisa dipindah-pindah, diangkut-angkut begitu, apalagi di depan banyak orang. Itu sangat risih. Hampir semua aku tanya ke pengguna kursi roda mereka ‘tuh risih kalau mesti pindah dari kursi roda milik mereka,” ujar pria berumur 29 tahun ini. Rhodi akhirnya memutuskan menggunakan tangga kendati anak tangga di Stasiun Juanda terlampau banyak dan tinggi. “Jadi aku harus dibantu 4 petugas untuk naik tangga yang lumayan tinggi. Dan itu luar biasa melelahkan untuk petugas,” ujarnya mengingat kesulitannya saat itu. Rhodi dan rombongan JBFT akhirnya tiba di Stasiun Bogor siang itu, sekitar pukul 11. Petugas KCI kembali menyiapkan bidang miring untuk memudahkan pengguna kursi roda yang

turun dari kereta komuter. Saat semua hendak keluar stasiun, ternyata hambatan lain telah menunggu. Pasalnya, saat petugas mengarahkan romongan melalui pintu khusus ternyata berujung pada jalan trotoar yang dihalangi tiga besi tegak di tengahnya. Jarak diantara ketiga besi terpaut rapat sehingga tak bisa diterabas kursi roda. Saya melihat beberapa petugas lalu lalang mencari jalan alternatif lain. Kemudian komunitas JBFT diarahkan kembali masuk ke Stasiun Bogor dan melewati jalur khusus lainnya untuk keluar dari stasiun. Pintu keluar itu bentuknya seperti gerbang agak besar yang khusus dibuka untuk rombongan JBFT. Sebab, jika tak melewati gerbang itu, jalan terakhirnya adalah melewati jembatan penyeberangan dengan puluhan anak tangga yang tak ramah terhadap orang disabilitas. Saat baru saja menyeberang dari Stasiun Bogor menuju trotoar yang searah dengan Museum Kepresidenan Bogor, saya langsung mendapati salah satu pengguna kursi roda yang dihalang lubang bebatuan jalan yang tak rata. Daru, demikian pengguna kursi roda itu kerap disapa, mesti diangkut tiga orang untuk pindah dari tapak jalanan satu ke tapak lainnya. Itu bukan hambatan satu-satunya bagi Daru lantaran ia menemukan yang lain lagi. Saat hendak ke trotoar, lagi-lagi ia kembali dijegat tiga besi yang berdiri kokoh. Lantas, Daru dan juga pengguna kursi roda lainnya mesti berjalan di pinggir jalan raya. Melawan arus jalan. Mereka mesti mencuri-curi lahan jalan dengan para pengguna motor, angkutan umum, dan mobil yang saat itu memadati jalan. “Kalau di sini (Bogor, red.) tuh, ya trotoarnya (tidak aksesibel, red.). Mereka menggunakan tiang-tiang di tengahnya supaya motor enggak bisa lewat. Tapi mereka enggak berpikir kalau ada loh masyarakat yang menggunakan kursi roda,” kisah Daru tentang perjalanan dari Stasiun Bogor ke Museum Kepresidenan Bogor pada siang itu. Selain trotoar, ia juga mengeluhkan kondisi jalur khusus disabilitas di stasiun. “Pas tadi baru keluar dari Stasiun Bogor, tadi lewatnya

ASPIRASI | EDISI KE-92

41


LIPUTAN KHUSUS pintu khusus gitu, kan (gerbang besar, red.). Saya yakin kalau saya sendiri tanpa komunitas seperti saat kegiatan ini, saya pasti kebingungan dan enggak bisa lewatin pintu khusus itu. Kemungkinan, ya,” kata Daru kepada ASPIRASI setelah kegiatan JBFT ke-50 berlangsung.

tang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Ia tak hanya mengkritik Stasiun Bogor, melainkan juga Stasiun Sudirman. Ia mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa masuk stasiun tanpa bantuan petugas. Hal ini lantaran bidang miring yang tersedia terlampau tinggi.

Seorang perempuan yang kami tunggu kemudian muncul di balik pintu dan dengan hangat mempersilahkan kami masuk ke ruangan ber-AC. Ia seorang pengacara Publik LBH Jakarta. Pratiwi Febry, namanya.

“Pas masuk ke Stasiun Sudirman kami kesulitan karena harus dibukakan pintu khusus. Baru setelah itu kita titip untuk tapping tiket dibantu sama petugas. Jadi kami tidak bisa sendiri,” keluh perempuan berumur 27 tahun ini. Dalam Permenhub RI Nomor 98 Tahun 2017 Pasal 4 huruf F tertulis bahwa bidang miring pada transportasi harus sesuai. Ketentuan kemiringan yang ideal dalam perancangan bangunan tak boleh melebihi 7 derajat atau setiap 1 meter panjang, ketinggian maksimal 12 cm. Jadi, rasio tinggi:panjang = 1:12. Pemerintah Tak Melibatkan Disabilitas Secara Optimal Fasilitas publik yang belum aksesibel bagi semua kalangan masyarakat bukanlah menjadi permasalahan yang baru. LBH Jakarta pernah merilis laporan pemeringkatan indeks aksesibilitas fasilitas publik bagi kelompok difabel di DKI Jakarta pada tahun 2015. Penelitian itu menguji sarana dan prasarana transportasi publik Transjakarta, Kereta Api Komuter (Commuter Line), fasilitas publik bangunan gedung instansi pemerintah dan instansi non-pemerintah. Hasilnya, sebagian besar sarana dan prasarana Transjakarta dan Kereta Api Komuter masih tidak aksesibel. Begitu pula pada bangunan instansi pemerintah dan instansi non-pemerintah. Kriteria “tidak aksesibel” ini berdasarkan pemenuhan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan dan Permen PUPR Nomor 20/PRTM/2006 ten-

42

Petang itu, dua reporter ASPIRASI menyambangi kantor LBH Jakarta di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Kami ingin menelisik lebih jauh laporan indeks aksesibilitas tersebut.

Pratiwi bercerita banyak mengenai penelitian aksesibilitas fasilitas publik dan bagaimana penelitian itu dilakukan. Ia mengaku bahwa penelitian yang dilakukannya lantaran dorongan yang didapat dari komunitas disabilitas. “Ada gak sih laporan hak akses disabilitas?. Lalu survey di lapangan akhirnya dilakukan sama teman-teman Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum) dan komunitas disabilitas,” ujar Pratiwi kepada ASPIRASI pada Rabu, (10/7/2019) lalu. Penelitian ini menjadi tambahan amunisi dan bahan pendukung bagi aktivis dan komunitas disabilitas dalam menuntut hak mereka yang terabaikan ke DPR. Komunitas disabilitas tersebut yaitu, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, Young Voices Indonesia, Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia, dan Masyarakat Peduli Anak Autis. Mereka menempatkan pemerintah sebagai mitra strategis dan mengutamakan dialog agar dapat memberikan perubahan. Penelitian ini, menurut Pratiwi, sebagai bukti bahwa komunitas disabilitas dan LBH Jakarta akan menempuh berbagai cara untuk mencapai perubahan struktural agar akses publik menjadi setara. Buah konsistensi dari komunitas disabilitas dan LBH terlihat dari adanya beberapa upaya dari pemerintah untuk membuat ruang publik menjadi semakin inklusif. Kendati eksekusi yang terjadi di lapangan masih tak sesuai kebutuhan. Pratiwi menilai apa yang dilakukan pemerintah saat ini hanya sekadar pengadaan saja, tanpa memperhatikan nilai fungsinya. “Mereka menaruh itu (sarana) tapi gak tahu itu buat apa. Mereka bikin guiding blocks


di trotoar tapi di tengahnya ada semacam palang,” ungkap Pratiwi yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Riset, Kaderisasi, dan Pengembangan Organisasi LBH Jakarta. Akhirnya menurut Pratiwi pemerintah justru menghabiskan uang untuk pengadaan yang tidak tepat guna. “Itu sebetulnya bisa dikatakan korupsi juga, ya karena itu uang negara,” ungkapnya. Pratiwi menilai, pengadaaan sarana dan prasarana publik yang tak tepat guna ini terjadi karena pemerintah tak melibatkan penyandang disabilitas secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai evaluasi. “Budaya partisipasi dan ruang partisipasi publik dalam governing the state, dalam mengatur tata kelola pemerintahan, sangat terbatas,” kata Pratiwi. Padahal, menurutnya, prinsip partisipatif harus dilakukan ketika pemerintah melakukan kebijakan. Jika tidak mewakili dan melibatkan masyarakat, maka paradigma pemerintah tak akan representatif dan akomodatif. “Karena sehebat apapun kita, kita gak akan bisa merasakan apa yang dialami langsung sama korban,” ujarnya. Lain halnya dengan Guru Besar Ilmu Tata Kota dari Universitas Indonesia, Gunawan Tjahjono. Gunawan mengatakan hal ini terjadi lantaran pemerintah belum membangun kota yang memihak manusianya. Menurut Gunawan, apa yang ada terjadi saat ini adalah pertarungan kepentingan dan modal, sehingga pemerintah alpa untuk memanusiakan warganya. “Tidak perlu mikir jauh-jauh, akses untuk difabel bisa mulai dulu dari trotoar,” ungkap Gunawan. “Tapi kenyataannya tidak begitu. Kendaraan diberi ruang lebih dibandingkan pejalan kaki dan difabel,” jelasnya. Beka Ulung Hapsara selaku Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM bersepakat dengan Pratiwi, pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas masih jauh dari harapan. Beka membenarkan bahwa kebijakan di Indonesia masih kurang memberikan jaminan bahwa hak terhadap disabilitas itu akan dipenuhi.

“Paradigma dari Aparat Sipil Negara (ASN) atau para pejabat publik juga masih menempatkan bahwa teman-teman disabilitas seperti warga negara kelas dua,” ujarnya ketika ditemui ASPIRASI di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Selasa, (12/11/2019). Beka mengatakan, gedung-gedung layanan publik milik pemerintah selama ini didesain hanya untuk non-disabilitas. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah partisipasi publik dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. “Tidak mudah memang mengubah hal-hal yang selama ini sudah terjadi di lapangan. Tapi yang penting adalah bagaimana rencana ke depannya agar teman-teman disabilitas dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan,” ungkap pria kelahiran 1975 itu. Apa yang dikatakan Beka mengingatkan saya dengan teori “hak atas kota” (the right to the city) milik Henri Lefebvre, seorang sosiolog-cum filsuf Prancis. Singkatnya, penduduk disabilitas yang menetap dalam kota bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, melainkan juga aktif terlibat dalam perubahan itu. Pemerintah memiliki kewenangan cukup besar dalam menciptakan ruang publik yang semakin inklusif. Selain menerapkan prinsip partisipatif, Beka mengungkapkan bahwa pemerintah juga dapat memberlakukan peraturan mengenai sarana dan prasarana yang lebih memerhatikan disabilitas. Apa yang dimaksud Beka sebenarnya sudah ada sejak Indonesia meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk merealisasikan hak-hak yang termuat di dalam peraturan tersebut. Sehingga, negara harus melakukan tindakan untuk mewujudkan desain universal, salah satunya dengan menyediakan sarana dan prasanana fisik yang aksesibel. “Pemerintah punya tanggung jawab lebih karena yang bertanggung jawab atas pemenuhan dan pernghormatan hak asasi manusia itu ada di negara, di pemerintah,” ujar Beka pada suatu siang di Bulan November.

ASPIRASI | EDISI KE-92

43


LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Taufiq

Disabilitas Masih Terpinggirkan Dalam Pekerjaan Oleh: Taufiq Hidayatullah

Inklusifitas bagi penyandang disabilitas di dunia kerja masih dalam tataran kebijakan. Meski telah ada aturan berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dalam implementasinya mereka masih sulit terserap secara maksimal.

S

etiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, demikianlah isi pasal 27 (2) UUD 1945. Dengan demikian, para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mereka perlu memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan keistimewaan masing masing. Kesamaan hak memperoleh pekerjaan bagi penyandang disabilitas ini kemudian dipertegas dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang Undang ini sebagai landasan operasional dalam mewujudkan penyandang disabilitas yang sejahtera dan mandiri. Dalam UU tentang disabilitas disebutkan

44

bahwa setiap perusahaan swasta yang ada di Indonesia wajib mempekerjakan satu penyandang disabilitas setiap 100 orang pekerja, atau satu persen dari total pegawai. Tak hanya swasta, instansi pemerintah pun punya kewajiban yang sama. Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, serta Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan setidaknya dua persen penyandang disabilitas dari seluruh jumlah pegawai atau pekerja. Sanksinya pun tak main-main. Jika melanggar, ancaman pidana maksimal 6 bulan dan/ atau denda maksimal Rp200 juta menanti. Namun sayangnya, peraturan pemerintah ini belum banyak dilaksanakan. Ironisnya hal tersebut justru dilakukan oleh pemerintah


sendiri. Pada Maret 2019, seorang dokter gigi asal Solok Selatan, Sumatra Barat mengalami diskriminasi ketika mendaftar untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) lantaran menyandang disabilitas. Namanya Romi Syofpa Ismael. Seorang dokter gigi di Puskesmas Talunan, sebuah puskesmas yang berada di daerah terpencil di Solok Selatan. Romi sendiri sudah mengabdi menjadi dokter gigi sejak tahun 2015 sebagai pegawai tidak tetap (PTT). Pada pertengahan tahun 2016, Romi mengalami paraplegia setelah melahirkan anak keduanya. Akibatnya, tungkai kakinya tak mampu lagi menopang badannya sehingga Romi harus beraktivitas dengan kursi roda. Meskipun begitu, paraplegia yang ia alami tidak menjadi sebuah masalah untuk Romi dalam melakukan pekerjaannya. Romi justru mendapat perpanjangan kontrak di tahun 2017 oleh Puskesmas Talunan. Pada 2018, Romi mendapat pengumuman dimulainya seleksi CPNS. Ia lantas mengikuti seleksi CPNS di lingkungan Kabupaten Solok Selatan. Romi lalu dinyatakan lulus seleksi CPNS lewat pengumuman Sekda Solok Selatan bernomor 800/1031/XII/BKPSDM-2018 pada 31 Desember 2018. Kemudian pada 18 Januari, Romi melengkapi pemberkasan dan tes kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Djamil. Pada 1 Maret 2019, RSUD M Djamil menyatakan Romi layak kerja. Dua minggu berselang, Bupati Solok Selatan mengeluarkan surat yang menyatakan tak meloloskan Romi karena tak sesuai dengan persyaratan formasi umum. Melalui surat yang dikeluarkan pada 18 Maret 2019, posisi Romi akhirnya digantikan oleh pelamar yang berperingkat dibawahnya. Melalui siaran resmi Direktur LBH Padang Wendra Rona, mengatakan dalam beberapa audiensi membahas hal ini, pemerintah setempat menyangsikan kapasitas Romi. Selain itu Romi juga dianggap tidak memenuhi syarat formasi umum CPNS, yaitu ‘sehat jasmani dan rohani’.

Padahal Romi sempat diuji secara khusus dengan simulasi dan peragaan di RSUD M. Jamil. Ia juga mendapat surat rekomendasi yang menyatakan ia mampu mengabdi. Penolakan Romi oleh Pemkab Solok Selatan menjadi preseden buruk dalam pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas. Hal ini justru menandakan bahwa pemerintah masih minim isu mengenai disabilitas. Hambatan Masih Terasa Usaha yang dilakukan oleh Romi berujung manis. Pemkab Solok Selatan menganulir surat penolakan yang telah dikeluarkan, Romi ‘kembali’ dinyatakan lulus CPNS 2018. Romi dapat dikatakan beruntung, lantaran tidak semua penyandang disabilitas dapat seperti dirinya. Seketaris Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Welin Hartanti mengungkapkan bahwa sebaiknya persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’ tak lagi digunakan, karena kerap menjadi kendala bagi penyandang disabilitas. Menurut Welin hal ini dikarenakan dalam masyarakat masih belum dapat menerjemahkan antara sehat dan disabilitas. Termasuk para pegawai pemerintahan sendiri. Selain itu menurut Welin, persyaratan maksimal umur juga kerap menyulitkan bagi disabilitas. Hal ini menurut Welin masih banyak disabilitas yang mengeyam pendidikan pada usia yang terlambat. Belum lagi menurutnya, disabilitas masih harus berjuang ekstra agar dapat menyelesaikan pendidikan yang diampunya. Atas dasar ini ia meminta agar pihak perusahaan memberikan afirmasi melalui persyaratan usia yang lebih fleksibel. “Banyak yang umur belasan baru masuk sekolah. Seandainya umur 23 sudah S1 kira-kira masuk akal nggak?” ujarnya ketika ditemui oleh ASPIRASI. Agustus lalu, Ketua HWDI Maulani Rotinsulu mengungkapkan, bahwa pada tahun 2016 jumlah penyandang disabilitas yang ada di Indonesia sebanyak 21.107.575 orang. Dari jumlah tersebut ungkap Maulani hanya sebesar 7.126.409 yang menjadi tenaga kerja.

ASPIRASI | EDISI KE-92

45


LIPUTAN KHUSUS Menurutnya, aksesibilitas lapangan kerja saat ini sudah ada dan tergolong lebih baik terhadap penyandang disabilitas. Hal senada pun diungkapkan oleh Welin. Selain itu Welin juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Melalui BLK, pemerintah menyediakan keterampilan yang dapat menunjang para penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Meskipun begitu ia memberikan catatan penting dalam pelaksanaanya. Lagi-lagi fasilitas yang tidak aksesibel menjadi hambatan bagi para penyandang disabilitas. Menurutnya BLK dapat menjalin kerjasama dengan Disability People’s Organitation (DBO) dalam pelaksanaanya. Welin berpendapat bahwa walaupun BLK sudah tersedia di berbagai tempat jika tidak aksesibel justru akan menurunkan minat terlebih dahulu. “Pemerintah sudah berusaha menyediakan. Tetapi lagi-lagi pemerintah tidak paham kalau ada kelompok yang perlu diakomodir. Dari fasilitasnya aja,” ungkapnya pada Senin, (16/8/2019). Kendati demikian menurut Maulani sikap masyarakat, pemerintah, dan swasta yang memandang penyandang disabilitas sebagai beban dalam pekerjaanjustru menjadikan halangan terhadap inklusivitas itu sendiri. Selain itu menurut Welin diskriminasi juga terjadi dalam tempat kerja. Bentuk diskriminasi yang kerap didapat ialah tidak diangkatnya penyandang disabilitas meski telah bekerja beberapa tahun. Belum lagi menurutnya untuk jenjang karir bagi penyandang disabilitas masih sangat sulit. Welin berpendapat secara regulasi, pasal 53 dalam UU Nomor 8 sudah bagus, hanya implementasi yang perlu diperbaiki. Ia mengungkapkan yang terus dilakukan pihaknya saat ini ialah melakukan sosialisasi kepada instansi terkait mengenai UU tersebut. Menurutnya yang susah ialah memberikan pemahaman bahwa sudah terdapat regulasi yang mengatur lapangan pekerjaan bagi disabilitas.

46

“Memberikan pemahaman ke orang itu gak mudah. Ketika udah paham, orangnya di rolling. Ganti orang baru lagi, pemahaman baru lagi. Jadi belum action, hanya pemahaman,” paparnya Sore itu. Ketika ditanyai mengenai adanya diskriminasi dalam pemberian upah, Welin mengaku bahwa dibeberapa tempat masih terjadi. Meski mengaku tidak mendapatkan diskriminasi tersebut, ia mengatakan bahwa teman-temannya masih banyak mendapatkan diskriminasi tersebut. “Tapi mereka kalau dikritik gamau disalahin. Loh udah masuk aja syukur, begitu,” ujarnya sambil memeragakan kejadian yang dialamin temannya. Pemetaan penyandang disabilitas di pasar tenaga kerja Indonesia yang disusun Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2017 juga mendukung pernyataan Welin. Dari keseluruhan lapangan pekerjaan, hanya 0,26 persen pekerja formal yang merupakan penyandang disabilitas. Pekerja formal di Indonesia masih didominasi oleh non-penyandang disabilitas. Lebih dari separuh non-penyandang disabilitas (50,73 persen) bekerja di sektor formal, sisanya bekerja di sektor informal. Diskriminasi pun tidak hanya dirasakan penyandang disabilitas yang tidak diterima di lapangan pekerjaan. Mereka yang diterima bekerja juga kembali merasakan pembedaan dalam hal penerimaan upah. Hasil penelitian LPEM UI dan ILO juga menunjukkan bahwa perbedaan upah yang diterima penyandang disabilitas dan non-penyandang disabilitas sekitar 16 persen hingga hampir 50 persen. Upah rata-rata yang diperoleh non-penyandang disabilitas Rp1,8 juta, sedangkan penyandang disabilitas ringan hanya menerima Rp1,61 juta. Lebih sedikit lagi, upah yang diterima penyandang disabilitas berat hanya Rp1,28 juta. Hampir seperempat dari seluruh pekerja non-penyandang disabilitas mendapat upah


lebih dari Rp2,5 juta, sedangkan hanya 17 persen penyandang disabilitas ringan dan 8,7 persen penyandang disabilitas berat yang mendapat upah tersebut. Sisanya, mendapat upah di bawah Rp2,5 juta. Bahkan, hampir separuh dari pekerja penyandang disabilitas berat mendapat upah jauh dari UMR (di bawah Rp750 ribu, red.). Stigma Terhadap Disabilitas Mental Memperparah Diskriminasi Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Hargo Utomo mengatakan sampai saat ini masih banyak stigma negatif dan tindakan diskriminasi yang diterima oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Lagi-lagi persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’ menjadi hambatan. Menurut Bagus, persyaratan tersebut justru membuat para disabilitas mental menjadi panik ataupun cemas. “Ya kalau gangguan jiwa berat pasiennya gabisa kerja, udah pasti dia gabisa ngelamar kerja, gitu loh. Sehingga persyaratannya gak perlu mencantumkan kayak gitu,” ujarnya ketika ditemui ASPIRASI. Kesulitan yang dialami oleh ODGJ dalam dunia kerja juga bertambah dikarenakan masih kurangnya pengetahuan para pemberi kerja atau perusahaan tentang ODGJ, sehingga masih menerapkan aturan-aturan yang tidak peka terhadap mereka. Bagus mencontohkan ketika ODGJ memnita izin untuk melakukan pengobatan masih banyak yang harus memotong cuti. Padahal menurut Bagus dalam UU Nomor 8 tentan disabilitas sudah dijelaskan bahwa pemberi kerja dapat memberi izin atau cuti khusus untuk pengobatan. Selain itu bentuk diskriminasi yang kerap diterima menurut bagus ialah tidak diberikannya asuransi kesehatan bagi ODGJ. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa mayoritas asuransi swasta menolak untuk menjamin ODGJ, lantaran stigma negatif yang ada. “Asuransi jiwa judulnya, tapi ketika kami mendaftarkan Orang Dengan Gangguan Jiwa dia tolak,” ujarnya heran. Meskipun begitu Bagus memberikan

apresiasi kepada negara karena sudah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Disabilitas serta telah membuat Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun, menurut Bagus perlu dibuat aturan turunan dari undang-undang tersebut, sehingga undang-undang tersebut lebih aplikatif dan dapat berjalan dengan optimal. Menurutnya pemerintah juga harus memenuhi kewajibannya untuk melayani ODGJ sesuai dengan uu kesehatan jiwa. Pemenuhan yang dimaksud Bagus dapat dilakukan dengan cara menyediakan layanan psikolog disetiap tempat kerja. Bagus mengungkapkan bahwa dengan tekanan kerja yang berat, nihilnya layanan psikolog dapat mempengaruhi kesehatan mental para pekerja. Hal ini yang menurut Bagus justru meningkatkan kemungkinan sesorang terkena Skizofernia. Ia mengatakan bahwa iklim kerja yang tidak mendukung serta tidak adanya akomodasi yang layak menjadi alasan terbesar seseorang menjadi skizofernia. Selain itu menurutnya layanan psikolog juga dapat diberikan melalui puskesmas yang ada disekitar rumah. Lebih lanjut menurutnya puskesmas juga dapat berfungsi mendata ODGJ dilingkungannya, sebagi tolak ukur kualitas kesehatan jiwa secara periodik. Bagus mengatakan bahwa apabila pemenuhan hak kesehatan bagi ODGJ dilakukam maka dapat dipastikan ODGJ kondisinya terkontrol dengan baik sehingga mampu bekerja secara optimal. “Tapi dipastikan dulu pemenuhan kesehatannya diberikan. UU sudah ada tapi tidak dilaksanakan, pemenuhan haknya yang keteteran di Indonesia,” jelasnya Senin, (15/7/2019). Ia menegaskan bahwa sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini masih berfokus kepada kesehatan fisik, tidak terhadap kesehatan jiwa. “Harusnya juga prioritas jadi gak seimbang nih sama raga, masih jomplang,” pungkasnya siang itu.

ASPIRASI | EDISI KE-92

47


FOTO : Sumber Istimewa/ PSLD UB

LIPUTAN KHUSUS

Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh PSLD UB pada kegiatan perkuliahan.

Setengah Hati Sediakan Pendidikan Inklusif Bagi Disabilitas Oleh: Taufiq Hidayatullah

Mereka kerap dianggap tak mampu, padahal mereka mampu dan perlu dibantu untuk mengakses pendidikan.

P

endidikan adalah hak setiap warga negara, termasuk bagi penyandang disabilitas. Namun, akses mereka untuk mengeyam bangku pendidikan masih terbatas. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pendidikan 2018, Angka Partisipasi Sekolah (APS) penyandang disabilitas yang mengenyam bangku pendidikan hanya sebesar 5,48%. Sementara itu, 70,62% penyandang disabilitas yang mendapatkan pendidikan tidak melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Senada dengan data yang dikeluarkan BPS, data yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2017 menunjukkan sebanyak 82 persen dari 1,6 juta anak dengan disabilitas di Indonesia belum mengenyam pendidikan.

48

Pendidikan Inklusif mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 2009, sepuluh tahun berlalu penerapannya jauh dari kata maksimal. Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar penyandang disabilitas dapat dilayani di sekolah terdekat, tanpa harus dikhususkan kelasnya. Siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa tanpa terkecuali penyandang disabilitas. Pendidikan inklusif bertujuan untuk menyatukan atau menggabungkan pendidikan reguler dengan pendidikan khusus ke dalam satu sistem lembaga pendidikan yang dipersatukan untuk mempersatukan kebutuhan semua. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menyatukan hak semua orang tanpa terkecuali dalam memperoleh pendidikan.


Pada tahun 2009, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 tentang Pendidikan Inklusif untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Peraturan tersebut mengatur tentang kewajiban setiap instansi pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Selain itu, melalui peraturan yang sama, setiap instansi pendidikan harus memiliki kehadiran Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK berfungsi untuk membantu para penyandang disabilitas mendapatkan pelajaran. GPK bertujuan modifikasi pembelajaran yang sehari-hari harus dilakukan sesuai jenis disabilitas yang ada pada peserta didik. Kendati demikian, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati, menilai mandat yang telah ada tersebut tidak pernah dilaksanakan. Menurutnya pemerintah belum melakukan perekrutan GPK untuk setiap instansi pendidikan yang ada. Akibatnya menurut Aria sekolah regular yang menerima peserta didik penyandang disabilitas tidak memiliki tenaga ahli yang membantu mereka bagaimana mengadaptasi proses pembelajaran. Sekretaris Umum HWDI Welin Hartanti, juga merasa bahwa pemerintah masih harus berbenah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Menurutnya selain keberadaan GPK, ia menilai sekolah juga membutuhkan konsultan mengenai disabilitas guna membantu GPK atapun pihak sekolah. “Pemerintah sudah ada niatan baik, tapi ketika di lapangan praktiknya tidak sesimpel itu. Masih butuh banyak persiapan,” ungkapnya kepada ASPIRASI. Welin menyarankan agar pemerintah dapat memberdayakan mahasiswa yang mengambil jurusan Pendikan Luar Biasa (PLB) guna membantu ketersediaan GPK disetiap sekolah. Keadaan tersebut justru diamini oleh Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Keluarga Kemendikbud, Aria Mangunwibawa. Mangunwibawa mengatakan berdasarkan data pokok pendidikan hingga 2019 terdapat sekitar 41 ribu sekolah di Indonesia yang menyatakan menerima siswa disabilitas.

Meskipun begitu ia mengungkapkan bahwa hanya sekitar 150 sekolah yang memiliki kesiapan prima untuk menerima siswa disabilitas. “Saat ini kami sedang membuat program yang dapat mendukung sistem pendidikan inklusif, salah satunya dengan merevisi Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,” ungkapnya pada Sabtu, (11/05/2019). Pengamat pendidikan sekaligus Pendiri sekolah Cikal dan Kampus Guru Cikal, Najelaa Shihab mengatakan bahwa ekosistem yang tercipta dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini belum dapat sepenuhnya mengakomodasi pendidikan inklusif. “Selama ini ada miskonsepsi dari sistem pendidikan Indonesia tentang siswa dengan disabilitas adalah fokus pada kekurangan dan kegagalan, bukan pada potensi individual,” ujarnya di Ruang Komunal Indonesia from Facebook, Pacific Place, Sabtu (11/05/ 2019). Permasalahan lain yang menurutnya juga dihadapi sistem pendidikan Indonesia dalam mengembangkan sistem inklusif adalah penempatan sekolah yang tidak merata hingga kurangnya akses pendukung . Konsultan Program Peduli Pilar Disabilitas dari The Asia Foundation Bahrul Fuad, meminta pemerintah lebih serius memastikan program sekolah inklusi dilaksanakan secara menyeluruh. Fuad mengatakan bahwa pendidikan inklusif menjadi salah satu poin penting dari pembangunan negara inklusif yang dicanangkan oleh pemerintah. “Pemahaman tentang hak dan kebutuhan disabilitas dalam paket dasar kompetensi guru, kurikulum dan metode pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan disabilitas, serta fasilitas toilet dan ruang kelas yang aksesibel harus diperhatikan serius,” ungkapnya pada Senin, (11/04/2019). Menuntut Unit Layanan Disabilitas di Instansi Pendidikan Aria menilai jika pelayanan penyandang disabilitas hanya dibebankan kepada instansi pendidikan, maka menurutnya tidak akan ada yang mampu melakukannya sendirian. Ia mengungkapkan bahwa instansi pendidikan butuh

ASPIRASI | EDISI KE-92

49


dukungan pemerintah melalui lembaga yang secara khusus membangun layanan pendukung untuk siswa penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan di sekolah regular. Lembaga inilah yang disebut Unit Layanan Disabilitas (ULD) dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 sebagai bentuk pemenuhan akomodasi yang layak. Pada UU tersebut pasal 42 ayat 3 mengamanatkan penyelenggara Pendidikan Tinggi (PT) untuk memfasilitasi pembentukan ULD. Bahkan, ditegaskan bahwa penyelenggara PT yang tidak membentuk ULD akan dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan. Meskipun pemerintah sudah mengesahkan UU tersebut, nyatanya PT di Indonesia masih mengucilkan para penyandang disabilitas. Semangat menuju pendidikan inklusif yang ada nyatanya tidak diikuti dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 46 Tahun 2017. Amanat itu justru ternodai oleh Permenristekdikti pada Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi, ‘Perguruan Tinggi dapat membentuk unit layanan berkebutuhan khusus sebagai pusat sumber untuk mendukung penyelenggaraan Pendidikan Khusus’. Penggunaan diksi ‘dapat membentuk’ dianggap melepas kewajiban secara nomenklatur bagi PT sebagaimana diwajibkan menurut UU tentang disabilitas. Akhirnya PT yang ada di Indonesia belum semuanya membentuk ULD dan memilih mengabaikan kewajiban mereka untuk melindungi hak-hak mahasiswa penyandang disabilitas dengan berlindung dibalik Permendikti Nomor 47 Tahun 2017. Mantan Ketua Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya (UB) Fadillah Putra, menilai kebijakan yang dilakukan oleh Kemenristekdikti serta kampus masih setengah hati. Ia mengatakan bahwa kampus-kampus saat ini masih belum mempunyai orientasi menuju pembentukan ULD. Fadillah menilai bahwa dengan adanya perencanaan membangun ULD pihak kampus telah memiliki niat baik. “Mau dilaksanakan 50 tahun lagi gapapa, tapi paling tidak sudah punya orientasi kesa-

50

na,” ungkapnya pada Senin, (25/11/2019). Sejak 2012, UB mendirikan PSLD. Setiap tahunnya, kampus tersebut menerima 20 hingga 25 mahasiswa disabilitas yang tersebar di 12 fakultas dari 17 fakultas. Menurut Fadillah, terdapat tiga fokus utama lembaga PSLD sebagai ULD yang ada di kampus Brawijaya tersebut. Ia menegaskan bahwa peran pertama PSLD adalah memberikan akses untuk masuk bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, menurut Fadillah kurikulum pendidikan yang diterapkan pada Sekolah Luar Biasa (SLB) masih di bawah standar pendidikan umum. Menurutnya dengan menerapkan proses seleksi yang sama justru tidak memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas. Atas dasar itulah PSLD UB memberikan afirmasi dengan cara memberikan seleksi jalur khusus. “Ini adalah bentuk komitmen kami. Mereka bersaing di antara mereka sendiri,” ungkapnya ketika dihubungi melalui telepon oleh ASPIRASI. Selain itu ia juga berpendapat bahwa aturan-aturan yang ada sampai saat ini masih mendiskriminasi para penyandang disabilitas. Contoh yang paling gamblang adalah syarat ‘sehat jasmani dan rohani’ bagi masyarakat yang hendak mendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Dengan adanya peraturan tersebut menurutny dapat menimbulkan persepsi bahwa penyandang disabilitas tidak diperkenankan mengikuti seleksi. “Itu pelanggaran HAM berat, dan itu yang kami advokasi harus dihapus,” tegas Fadillah. Apa yang diungkapkan oleh Fadillah diamini oleh Welin. Welin mengatakan bahwa kriteria ‘sehat jasmani dan rohani’ kerap menjadi kendala bagi penyandang disabilitas. Menurutnya, seharusnya pihak perguruan tinggi atau pemerintah paling tidak dapat mengubah kriteria yang ada menjadi ‘mampu jasmani dan rohani’. Hal ini menurut Welin lantaran masyarakat masih belum dapat menerjemahkan antara sehat dan disabilitas. “Kalau


orang mampu kemana-mana sendiri itu kirakira sehat atau enggak? Sehat kan?” ungkap Welin kala itu.

disabilitas. Tak hanya itu, mereka juga menyediakan kamus untuk mahasiswa tuli agar mudah memahami bahasa.

Fadillah menuturkan bahwa bentuk afirmasi yang dilakukan oleh PSLD UB akan ada selama pendidikan inklusif yang digaungkan oleh pemerintah masih belum optimal. Ia mengatakan bahwa ketika pendidikan inklusif sudah merata maka dengan sendirinya penyandang disabilitas dapat bersaing dengan yang lain.

Fokus yang terakhir ialah infrastruktur. Ia mengatakan bahwa pihaknya bertugas mengawal pembangunan infrastruktur yang aksesibilitas bagi semua orang. “Kami memaksa rektorat untuk segera membangun fasilitas-fasilitas fisik yang menunjang aksesibilitas,” paparnya sore itu.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa dalam hal prestasi pun tidak terdapat antara mahasiswa penyandang disabilitas ataupun tidak.

Minim Inisiatif

Fadillah juga menjelaskan bahwa kampusnya pernah melakukan simulasi terhadap 120 mahasiswa penyandang disabilitas dari tahun pertama hingga tahun terakhir. Hasilnya, persentase jumlah mahasiswa cum laude, mahasiswa dengan prestasi biasa, dan mahasiswa drop out sama dengan persentase mahasiswa non-disabilitas. “Contohnya waktu itu mahasiswa kami Juara I olimpiade di Malaysia,” ungkap Fadillah. Fokus kedua yang menjadi program PSLD menurut Fadillah adalah pendampingan bagi mahasiswa disabilitas. Pendampingan yang dimaksud oleh Fadillah memiliki fungsi yang sama seperti GPK pada sekolah umum. Yang membedakan menurut Fadillah adalah pihaknya menjadikan mahasiswa UB sebagai pendamping melalui program relawan. Nantinya para relawan akan bertugas mendampingi mahasiswa disabilitas dalam kelas untuk membantu proses pembelajaran yang ada. “Misalnya tuli, kita sediakan penerjemah bahasa isyarat. Kalau dia tunanetra, si pendamping nanti akan menceritakan ini gambar apa, dan sebagainya,” jelasnya. Fadillah. Selain itu, kampusnya juga menyediakan sarana penunjang pembelajaran seperti screen reader—perangkat yang digunakan untuk mengubah dokumen digital ke bentuk suara—untuk mahasiswa tunanetra. Pria yang fokus sebagai pengamat pendidikan itu menjelasakan bahwa salah satu fungsi PSLD di UB antara lain melakukan digitalisasi buku untuk proses pembelajaran mahasiswa

Dina Afrianty, seorang peneliti hak disabilitas di La Trobe University, Australia, mengatakan bahwa pola pikir pejabat kampus yang masih enggan menginisiasi layanan inklusif menjadikan pendidikan sulit diakses. Menurut Fadillah hal ini terjadi lantaran kampus masih melihat penyandang disabilitas melalui pendekatan kesehatan. Bukan dengan pendekatan Hak Asasi Manusia. Selain itu menurut Fadillah kampus tidak memulai melakukan perubahan lantaran minimnya penyandang disabilitas dikampus tersebut. Akibatnya menurut Fadillah justru timbul opini bahwa untuk menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas butuh biaya yang besar serta belum tentu digunakan oleh disabilitas. Untuk membangun infrastruktur penunjang seperti lift, guiding block, hingga memberikan relawan pendamping Fadillah mengaku biaya yang dikeluarkan kampus tidak seberapa dibanding pendapatan yang diterima. “Mereka masih berpikir untung rugi. Padahal dengan menyediakan fasilitas, pemerintah sudah melakukan kewajibannya menyediakan akses kepada seluruh warga,” jelasnya. Menurut Fadillah, yang kerap diabaikan oleh masyarakat ialah membangun aksesibilitas hanya untuk disabilitas saja. Ia menegaskan bahwa membangun aksesibilitas itu tentang semua masyarakat, sebab semua orang pasti akan menjadi disabilitas ketika tua nanti. “Untuk menciptakan kampus inklusif itu bukan soal biaya, tapi soal kemauan,” pungkasnya sore itu.

ASPIRASI | EDISI KE-92

51


FOTO : ASPIRASI/ Syifa

UNIVERSITARIA

Kegiatan PKMM yang diberikan oleh Rektorat di gedung Abdul Malik PPPPTK, Depok, Jawa Barat, pada (28/04/2019).

Polemik Legalitas Keorganisasian UPNVJ Oleh: Ida Sapriani

Memiliki kata forum didalamnya, FKJMU dan Formasi, mempertanyakan kejelasan status keorganisasian mereka. Hal ini menjadi bukti ketidakjelasan sistem organisasi kemahasiswaan di UPNVJ.

S

atu per satu ketua ormawa tingkat universitas dipanggil untuk dilantik oleh Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran� Jakarta (UPNVJ), Erna Hernawati, di Auditorium Bhineka Tunggal Ika pada 11 Februari lalu. UPNVJ melantik 27 ketua yang terdiri dari Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (MPM-U), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U), dan 25 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Selang beberapa waktu tiba giliran Septi Annissa Rahmania. Dengan menggunakan pakaian putih hitam berselimut almamater UPNVJ, mahasiswi ini dilantik menjadi ketua dari Forum Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (FKJMU). Tahun 2019 menjadi pelantikan perdana untuk FKJMU. Selanjutnya giliran Eli Rosidah, dengan

52

sigap dirinya maju ketika dipanggil Ketua Forum Mahasiswa Bidikmisi (Formasi). Berbeda dengan FKJMU, tahun ini telah menjadi tahun kedua pelantikan ketua Bidikmisi sejak disahkan pada 2018 lalu. Kedua orang tersebut merupakan salah dua dari ketua yang dilantik pada Senin siang itu. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama menyandang kata forum pada setiap organisasi. Keduanya hanya menaungi penerima beasiswa di lingkungan UPNVJ dengan tujuan penyebaran informasi yang lebih mudah dan prosedural penerimaan dana beasisiwa yang terorganisir. Masing-masing dari organisasi ini memiliki cerita yang berbeda untuk mendapatkan legalitas di UPNVJ. Bentuk legalitas yang diterima oleh masing-masing organisasi juga berbeda.


Lantas di manakah Organisasi Kemahasiswaan manakah mereka berada? Ketidaksesuaian Pelaksanaan Peraturan Organisasi Kemahasiswaan di UPNVJ Dalam Buku Peraturan Rektor UPNVJ No.48 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan terdapat dua jenis organisasi yaitu Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kelompok Studi Mahasiswa (KSM). Ormawa terdiri atas organisasi eksekutif dan legislatif tingkat universitas dan fakultas, disertai himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). UKM merupakan kegiatan mahasiswa tingkat universitas dan KSM merupakan kegiatan mahasiswa tingkat fakultas. Dalam buku tersebut tidak ada aturan atau penyebutan organisasi bernama forum. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Halim Mahfudh membenarkan hal tersebut. “Ya, belum ada aturan yang saklek, artinya setiap kelompok komunitas apapun bisa membentuk,” jelas Halim saat ditemui di ruangannya pada Jumat (14/6) lalu. Halim menerangkan bahwa di UPNVJ organisasi kemahasiswaan dibedakan menurut minat kegiatannya. Menurutnya dalam peraturan yang berlaku semua organisasi dinamakan Ormawa. “Katakanlah minatnya ke organisasi seperti HMJ dan BEM, kalau minatnya ke bakat nantinya dikatakan sebagai UKM, lalu ormawa yang sifatnya komunitas nanti disebut sebagai forum,” jelas Halim. Namun bagi Halim, bukan berarti semua komunitas dapat dilegalkan menjadi organisasi tingkat universitas. Ia memberikan contoh komunitas daerah yang ada di UPNVJ, “Membentuk komunitas asal daerah silahkan saja, tapi itu tidak didanai oleh UPN,” jelas pria yang menyelesaikan pendidikan doktornya bidang manufaktur. Septi, perempuan yang mengepalai KJMU selama ini beranggapan bahwa organisasi yang dipimpinnya merupakan bagian dari UKM. Lantaran menurut Septi berdasar surat pengangangkatan Organisasi Kemahasiswaan yang didapat, FKJMU ditulis sebagai UKM. Ketika ASPIRASI mengecek surat pengangkatan yang dikeluarkan, FKJMU termasuk kedalam Organisasi Kemahasiswaan Forum. Lain halnya dengan Eli, karena disebut

sebagai UKM dalam surat keputusan, ia menginginkan adanya bidang baru dalam UKM yang dapat membawahi Formasi, yaitu bidang Penalaran. Namun, ia mengaku belum sempat menyampaikan usulan itu ke Warek 3. Legalitas pengangkatan kepengurusan Formasi yakni SKEP Rektor No. KEP/123/ UN61/2019 tentang Pemberhentian Dari dan Pengangkatan Pengurus UKM Di Lingkungan UPNVJ Tahun 2019. Namun, legalitas yang diterima oleh FKJMU yakni SKEP Rektor No. KEP/196/UN61/2019 tentang Pengangkatan FKJMU Di Lingkungan UPNVJ Tahun 2019. Kedua organisasi itu mendapatkan pengakuan yang berbeda dari SKEP yang mereka terima. Formasi diakui sebagai UKM, sedangkan FKJMU diakui sebagai forum. Perbedaan pengakuan status organisasi yang dimiliki Formasi dan FKJMU berdampak kepada program kerja yang bisa dilakukan masing-masing organisasi. Dalam PKMM, FKJMU dilarang untuk melakukan lomba seperti UKM pada umumnya. “Ya, kalau forum kamu tidak bisa mencetak prestasi. Kita gak masuk ke minat bakat, kita gak masuk ke mana-mana. Kita tuh berfokus kearah forum,” cerita Septi. Hal ini bertolak belakang dengan Formasi yang rutin mengadakan lomba-lomba dalam proker Pekan Intelektual Bidikmisi (PIB) setiap tahunnya. Namun, pada kepengurusan Eli, PIB hanya diperuntukkan kepada mahasiswa penerima bidikmisi. Ketika dikonfirmasi kepada Warek 3, dirinya tidak mengakui bahwa telah melegalkan Formasi ke dalam UKM. “Itu yang salah itu, tidak ada yang namanya UKM Bidikmisi atau UKM KJMU. Tadi apa namanya formasi namanya aja forum sama forum KJMU,” jelasnya. Halim juga membenarkan bahwa forum tidak diperbolehkan untuk mengadakan lomba untuk umum, hanya dikhususkan kepada anggota komunitasnya saja. Halim kemudian menegaskan kembali bahwa apabila terdapat penyebutan Formasi dan Forum KJMU sebagai UKM tetap salah, meski belum ada aturan pasti mengenai forum tersebut. Walau dari segi pendanaan sejajar, UKM dan Forum dalam organisasinya tetap tidak sejajar. “Coba nanti kasih SKEP-nya ke saya. Kalau ternyata saya salah tandatangan akan dicabut dan diganti dengan forum,” tutupnya siang itu.

ASPIRASI | EDISI KE-92

53


FOTO : ASPIRASI/ Syahida

UNIVERSITARIA

Buku Peraturan Rektor Tentang Kemahasiswaan Tahun 2018

UKM BSO Diakui BEM, Ditentang Oleh Rektorat Oleh: Syahida Ayu Laksani

Munculnya UKM BSO berlandaskan UU KEMA bertentangan dengan Peraturan Rektor mengenai Organisasi Kemahasiswaan. Namun, pihak BEM mengaku bahwa ini menjadi salah satu bentuk perwujudan fungsi BEM dalam menampung aspirasi mahasiswa.

D

itengah ketidaksesuaian pengesahan organisasi forum mahasiswa, BEM-U memperkenalkan UKM Badan Semi Otonom (UKM BSO) pada Minggu (21/7) lalu. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai UKM BSO ini, ASPIRASI pada Senin, (29/7) menemui Astatantica Belly Stanio selaku ketua BEM-U periode 2019 dan Gadis Nindy selaku anggota biro Kormawa. Menurut penuturan mereka berdua, yang mendasari pembuatannya ukm BSO ini adalah Undang-Undang Keluarga Mahasiswa UPNVJ (UU KEMA) yang dibuat oleh MPM-U. Dalam UU KEMA, Bab VIII tentang Unit Kegiatan Mahasiswa pasal 2 menjelaskan UKM terdiri dari UKM Badan Otonom (BO) dan UKM BSO. UKM BO adalah UKM tingkat universitas yang diresmikan oleh rektorat

54

UPNVJ. UKM BSO adalah wadah kegiatan dan kreasi mahasiswa UPNVJ yang masih berada dalam pengawan BEM dan MPM. Selain itu, UKM BSO juga hadir akibat pengalaman Belly saat ingin mendirikan UKM Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI). Lelaki yang gemar berdemo ini menyadari bahwa dalam pengajuan pendirian UKM membutuhkan waktu yang lama dan syarat yang cukup banyak. Persyaratan pendirian UKM ini terdapat pada Buku Peraturan Rektor UPNVJ No. 48 Tahun 2019 pada BAB VI, bagian kedua tentang Prosedur Pembentukan dan Pengesahan UKM tingkat Universitas. Gadis menjelaskan bahwa UKM BSO masih belum bisa mengatur dirinya sendiri karena masih berada di bawah pengawasan. Menurutnya, alur birokrasi yang dilakukan


oleh UKM BSO ini harus melalui BEM. Gadis mencontohnya seperti mendapatkan dana pagu ataupun meminjam sarana prasarana di UPNVJ. “UKM BO kan mendapatkan dana pagu sendiri, kalau BSO masih harus melalui BEM. Misalkan mau meminjam aula, nah dia harus atas nama BEM karena masih belum punya nama sendiri,” jelas Gadis. Menyetujui pernyataan Gadis, menurut Belly peran BEM dalam kegiatan UKM BSO adalah memfasilitasi perizinan dan pendanaan. Untuk pendanaan kegiatan, UKM BSO mencari pendanaan secara mandiri atau dengan dibantu BEM. “Misalkan BEM minta bantuan keatas, tetapi tidak langsung meminta uang buat lomba atau kegiatan, tetapi meminta link untuk kerjasamanya,” jelas Belly. Tapi dari penjelasan Belly dan Gadis ini merupakan gambaran pemberlakuan untuk tahun 2019. Menurut Belly, nantinya akan menjadi tugas tambahan untuk kepengurusan BEM tahun depan untuk mengajukan dana untuk UKM BSO. “Jadi penerus tahun depan mengajukan anggaran untuk BEM dan UKM yang ada di bawahnya, jadi sudah masuk ke anggaran. Kalau tahun ini karena baru pembentukan, jadi sulit. Kita tidak menganggarkan untuk UKM BSO dari awal,” jelas mahasiswa fakultas hukum angkatan 2016 ini. Bertentangan dengan konsep UKM BSO, Halim tidak mengakui adanya perbedaan antara organisasi kemahasiswaan. “Setiap UKM itu bebas tidak dibawahnya BEM. Saya tidak sependapat ada organisasi yang semi otonom apa itu definisnya, tidak dikenal. Adanya organisasi ya ormawa tadi yang kita kenal,” jelas Halim. Pernyataan tersebut senada dengan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan BAB IV tentang Bentuk dan Syarat Pengurus pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa organisasi kemahasiswaan di lingkungan UPVJ dibentuk pada tingkat universitas, fakultas, jurusan, dan program studi yang masing-masing memiliki kedudukan yang sama. Namun Gadis menyangkal pernyataan Warek 3, menurutnya UKM BSO memang berbeda dari UKM BO yang perlu adanya pengakuan dari rektorat. “Ya, emang kita ini bikin UKM BSO bukan untuk diakui rektorat. UKM BSO ini ada karena memang di bawah BEM, jadi belum perlu rektorat untuk men-support¬

gitu,” ujar mahasiswi fakultas hukum ini. Bagi Gadis, UKM BSO menjadi salah satu cara BEM menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi mahasiswa serta memberikan akomodasi apa saja yang harus dipersiapkan untuk menjadi sebuah UKM. Menurutnya, pembuatan UKM BSO ini tidak dengan pembuatan yang asal. “Jadi karena sudah ada peminatnya, kita bikin. Kita sudah melakukan jajak pendapat melalui instastory BEM dan responnya juga lumayan,” jelas Gadis. Status UKM BSO ini dapat berubah menjadi UKM BO, menurut Belly dalam perubahan status UKM ini menjadi ranah MPM. Tugas BEM hanya membantu mempersiapkan UKM BSO agar memenuhi persyaratan untuk menjadi UKM BO, salah satunya adalah memiliki kegiatan selama satu tahun berdiri. Meskipun pengangkatan UKM BSO menjadi UKM BO adalah wewenang MPM, pihak BEM juga memiliki proses evaluasi UKM BSO. Evaluasi itu dituangkan dalam Peraturan BEM, namun pengesahannya masih dilaksanakan. “Ada evauasi dari kormawa. Cuman untuk sejauh ini, BEM belum tau nih dari MPM, gimana caranya untuk melakukan pengesahan Peraturan BEM. UU-nya belum disahkan, kemarin baru Rapat Dengar Pendapat,” jelas Belly mantan ketua KSR PMI ini. Pada Sabtu, (31/8) lalu melalui kegiatan Leader of Veteran Jakarta 3.0 (Love Jakarta 3.0) BEM meresmikan Paguyuban untuk menjadi bagian dari Keluarga Mahasiswa (Kema) UPNVJ. Paguyuban tersebut adalah Rain City Veteran Jakarta (RCVJ) dan Ikatan Mahasiswa Darah Batak (Imadab). Selain itu, BEM juga memperkenalkan dua UKM BSO, yaitu UKM BSO Debat Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan UKM Stand Up Comedy. Debat KTI dipilih BEM berdasarkan banyaknya minat dan prestasi mahasiswa UPNVJ di bidang debat ilmiah. Sedangkan Stand Up Comedy dipilih karena banyak diminitasi berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan BEM melalui akun Instagram. Kedua UKM BSO ini merupakan hasil pembahasan dari BEM, kedepannya tidak menutup kemungkinan untuk mahasiswa mengajukan pembentukan UKM BSO kepada BEM. “Kalau misalkan ada mahasiswa lain mau membentuk UKM baru, bisa mengajukan ke BEM,” tutup Belly sore itu.

ASPIRASI | EDISI KE-92

55


SENI DAN BUDAYA

Ondel-Ondel Jalanan, Pelestarian Budaya atau Eksploitasi Anak? Oleh: Fakhri Muhammad

Meter demi meter dijajaki, pujian dan cibiran silih berganti, maksud hati melanjutkan tradisi, namun sindiran tak kunjung henti. Di lain sisi, benarkah ini eksploitasi?

S

udah beberapa bulan terakhir, saya melihat ada banyak ondel ondel yang berkeliling melewati jalan-jalan di Ibu kota. Entah di daerah pemukiman warga ataupun jalan raya. Yang ikut berkeliling pun cukup banyak, sekitar empat sampai lima orang dan semuanya anak-anak. Bahkan, tak jarang yang mengendong ondel-ondel pun anak-anak. Dalam rombongan tersebut ada yang bertugas untuk mengaraknya ke sana ke mari, ada yang memainkan alat musik tradisional khas betawi ataupun sekedar membawa sebuah pengeras suara yang terhubung dengan lagu. Sisanya, berkeliling sambil membawa kantong berisikan uang laiknya orang yang sedang mengamen. Awalnya saya bingung, apa gerangan yang membuat ondel-ondel mulai banyak ditemui di sisi jalan. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Bahkan, saya sempat berpikir mungkin mereka sedang latihan untuk kebutuhan pentas dari suatu sanggar seni budaya. Hal ini lah yang lantas mendasari pertemuan saya dengan Andi, pendiri sanggar betawi Fadeel. Langit teduh memayungi kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Sabtu (25/05/2019), saat saya menyambangi kediamannya. Pria berusia 23 tahun itu terlihat sedang mempersiapkan dua boneka ondel-ondel ketika saya tiba. “Ini lagi siap-siap buat ngiter nanti,” jawabnya ketika saya menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Tak lama, tiga orang anak datang dan menyapa kami. Mereka kemudian mengenalkan diri sebagai Guntur, Fatir, dan Bima, salah tiga dari belasan anak yang bergabung dengan sanggar betawi Fadeel. “Terusin itu ya, gue mau ngejamu tamu dulu ini,” kata Andi kepada ketiga anak tadi. Andi kemudian duduk di sebelah

56

saya sembari menyalakan rokoknya. Kami berbincang-bincang selama belasan menit sampai ada satu suara berteriak memanggil kami. Teriakan tadi datang dari dari seorang anak bernama Rama. Sama seperti ketiga anak sebelumnya, Rama juga merupakan anggota dari sanggar betawi Fadeel. Rupanya selama selama saya dan Andi berbincang-bincang, para anggota dari sanggar betawi Fadeel telah berkumpul di ujung gang. Andi pun kemudian mengajak saya untuk beranjak dari teras rumahnya untuk bergabung dengan sebelas anak yang telah menunggu kami. Di ujung gang, telah berdiri dua boneka ondel-ondel beserta gerobak kecil, dan beberapa alat musik tradisional di depannya. Andi kemudian mengambil tehyan, salah satu alat musik gesek tradisional betawi. Ia pun memainkan tehyan-nya seraya memastikan suara tehyan yang ia mainkan terdengar baik melalui speaker di atas gerobak. “Udah nih, ayo jalan,” ucapnya kemudian kepada saya dan anak-anak yang lainnya. Kami pun kemudian berjalan mengitari kota Jakarta Pusat. Menyambangi orang-orang dipinggir jalan dengan maksud menghibur melalui penampilan ondel-ondel. Dua orang anak menari di dalam boneka ondel-ondel sementara dua anak lainnya mendatangi orang-orang di pinggir jalan sembari menyodorkan kaleng cat bekas, dengan harapan orang-orang itu mau meletakkan beberapa rupiahnya ke dalam kaleng tersebut. Sementara itu, tujuh anak lainnya dengan lihai memainkan beberapa alat musik tradisional betawi. Andi tidak sendiri memainkan alat musiknya, yang lainnya juga memainkan ningnong (alat musik tradisional betawi yang


FOTO : ASPIRASI/ Fakhri

Kegiatan mengamen yang dilakukan Andi dan yang lainnya di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (25/05).

berbentuk seperti gong berukuran kecil, red) dan kecrekan di belakang para ondel-ondel. Alunan musik yang mereka mainkan mengiringi tarian kedua ondel-ondel sepanjang sore hingga malam kami berkelana. Tepat pada pukul 20.50, kami tiba di Taman Segitiga Johar Baru yang bertempat di kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Setibanya kami disana, sudah ada dua rombongan sanggar ondel-ondel lain yang sedang unjuk gigi secara bergantian. Oleh masyarakat sekitar, rombongan sanggar ondel-ondel seperti Andi dan kawan-kawannya ini dinamakan barongan. Menurut Andi sendiri, barongan adalah sebutan awal untuk ondel-ondel pada zaman dahulu. “Dulu itu ondel-ondel ini kan memang patung atau boneka yang dibuat untuk ngusir bala, karena mukanya serem makannya dinamain barongan,” ujarnya kala azan magrib. Setelah menonton aksi barongan lain selama puluhan menit, barulah barongan kami mendapat kesempatan untuk beraksi. Ditengah pertunjukkan Andi, Guntur, Fatir, dan anak-anak lainnya, saya berkenalan dengan Bu Desi. Ia mengaku sering menonton barongan di Taman Segitiga Johar Baru. “Ya paling enggak, setiap malam minggu

lah jalan kesini sama anak. Biar ada hiburan,” ujar ibu rumah tangga beranak dua tersebut. Ia menuturkan bahwa ia merasa bangga terhadap anak-anak yang mau melestarikan budaya betawi melalui barongan. Menurutnya, sangat jarang anak-anak di masa sekarang yang peduli kepada warisan budayanya masing-masing. Barongan dan Stigma Masyarakat Terhadapnya Andi dan sanggar betawi Fadeelnya tidak sendirian. Menurut Andi, setidaknya ada tiga sanggar ondel-ondel lain di kecamatan Cempaka Putih. Tujuan mereka menurutnya serupa, yaitu menghibur masyarakat demi mengais pundi-pundi rupiah. Andi sendiri mengaku telah berteman dengan ondel-ondel dari ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Setelah bertahun-tahun menggeluti kebudayaan betawi, ia pun membuka sanggar betawi Fadeel pada pertengahan tahun 2018. “Dari dulu itu udah main ondel-ondel sama gambang kromong. Udah turun temurun juga dari kakek saya sih,” ujarnya ditengah perbincangan kami sebelum berkelana. Meski banyak yang mengapresiasi pertunjukkan ondel-ondelnya, tak sedikit pula yang

ASPIRASI | EDISI KE-92

57


Dalam upaya melestarikan perlu tahu tradisinya yang menyejarah. Bagaimana membuat kreasi baru jika tak tahu yang mentradisi orang-orang yang mencibirnya. Ia mengaku banyak mendapatkan sindiran dari masyarakat di sekitarnya terkait ondel-ondel yang dijadikan alat untuk mengamen. “Banyak juga yang bilang ‘kesenian kok dipakai ngamen’ dan semacamnya. Padahal kalo gak gini mah, ini budaya bisa mati, dilupain,” ujar Andi sembari mengisap rokoknya. “Ya kalo engga tau sejarahnya mah ngomongnya emang kaya gitu sih,” tambahnya. Menurut sejarawan betawi JJ Rizal, sejatinya ondel-ondel memang sarana untuk mengamen. Dalam sebuah sesi wawancara dengan ASPIRASI, JJ Rizal memaparkan bahwa pada awalnya ondel-ondel merupakan jasa yang dijual dalam bentuk ritual tolak bala. Namun, seiring perkembangan zaman, kebudayaan ondel-ondel dipaksa untuk berinovasi agar tetap bertahan. Mengenai asal-usul ondel-ondel sendiri terdapat dua versi yang menyertainya. Pertama, ondel-ondel sebagai penolak bala. Ia dipercaya sebagai personifikasi nenek moyang untuk mengusir gangguan roh halus. Itulah alasan rupa ondel-ondel zaman dulu dibuat menakutkan dan bercakil. Kala itu, karena keterbatasan ilmu kedokteran, penyakit cacar dianggap sebagai bala. Ondel-ondel yang dipercaya berkekuatan magis diarak untuk mengusir penyakit epidemi tersebut. Kemudian, pemanfaatannya berkembang sebagai pelindung dari segala sesuatu yang mengganggu ketenangan masyarakat. Ia digunakan dalam perayaan upacara adat seperti sedekah bumi, atau bagian dari beragam upacara seperti pernikahan dan sunat. Sedangkan versi yang kedua, ondel-ondel sebagai perwujudan dari Dewi Sri atau kerap

58

disebut Dewi Kesuburan. Saat itu, masyarakat agraris Betawi percaya ondel-ondel akan menjaga kesuburan sawah. Boneka ini juga dipakai pada perayaan pasca-panen guna menghormati Dewi Sri. Ia menjadi ungkapan syukur atas terhindarnya masyarakat dari gagal panen. Karena fungsi sakralnya, ondel-ondel kala itu, dibikin dengan mantra-mantra dan sesaji. Setelahnya, masyarakat percaya, ondel-ondel akan dimasuki dewa penolong. Sehingga untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat, mereka harus dipikul dan diarak berkeliling kampung. Nantinya kampung yang dilalui ondel-ondel akan berterima kasih karena dijauhkan dari bala. Atas jasanya, ondel-ondel lalu disawer, uang atas jasa pengamanan spiritual. “Jadi ondel-ondel itu memang mengamen. Jual jasa spiritual berupa pengamanan terhadap kekuatan bala dan jahat,” jelasnya. Senada dengan JJ Rizal, Andi juga mengatakan hal yang serupa. “Saya kan juga belajar sejarahnya, makanya tau,” ujarnya. Dalam menjalankan sanggar betawi Fadeel, Andi mengaku bahwa ia juga memberikan pengetahuan tentang sejarah ondel-ondel kepada anak-anak yang tergabung di dalamnya. Ia berharap, pengetahuan tentang sejarah ondel-ondel itu dapat menumbuhkan kecintaan anak-anak tersebut untuk terus melestarikan budaya betawi, khususnya ondel-ondel. “Ya saya sih harapannya mereka bisa nerusin gitu. Kalo saya udah punya kerjaan lain, mudah-mudahan anak-anak ini bisa gantiin saya buat jalanin sanggar ini,” ucap Andi. Apa yang dilakukan oleh Andi mendapatkan apresiasi dari JJ Rizal. Menurutnya, dalam upaya pelestarian kebudayaan, pengetahuan akan sejarah kebudayaan tersebut juga pent-


ing untuk diketahui. “Dalam upaya melestarikan perlu tahu tradisinya yang menyejarah. Bagaimana membuat kreasi baru jika tak tahu yang mentradisi,” ucapnya menutup sesi wawancara dengan ASPIRASI. Barongan Sebagai Bentuk Eksploitasi Anak, Benarkah? Mengenai pendapatan dari mengamen ondel-ondel Andi mengaku bisa menghasilkan pendapatan yang lumayan. Dalam hari-hari biasa kelompoknya dapat mengantongi Rp600 ribu hingga Rp700 ribu. Pendapatan tersebut dapat lebih tinggi lagi pada hari Sabtu atapun Minggu. Ia mengatakan bahwa uang sawer yang terkumpul dapat mencapai Rp800 ribu. Kendati demikian Andi mengatakan bahwa tak selamanya pendapatan rombongannya selalu sebesar itu. Jika keadaan sedang tidak ramai ia mengaku rombongannya hanya dapat mengumpulkan setengahnya. “Kalo lagi sepi, paling 300 sampe 400 paling banyak,” ungkap Andi. Meskipun begitu ia mengaku dirinya tidak mengambil bagian lebih besar ketimbang yang lain. Andi mengatakan bahwa uang yang terkumpul nantinya akan dibagi secara rata kepada rombongan yang ikut pada hari itu. Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susiana Affandi, barongan yang dijalankan oleh anak-anak dibawah umur ini dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi anak. Ia berpendapat bahwa ada perbedaan antara pengembangan seni dengan eksploitasi. Perbedaan yang dimaksud berada pada adanya aktifitas anak yang terbatasi. Menurutnya, barongan merupakan bentuk eksploitasi karena anak-anak yang berada di dalamnya karena dapat membatasi anak dalam bersekolah. Guntur, Fatir, Rama, dan anak-anak lain yang bergabung dengan sanggar betawi Fadeel memang putus sekolah. Mereka mengaku merasa nyaman dengan rutinitasnya dalam menjalankan ondel-ondel. Padahal, orang tua mereka pun nyatanya tidak menyetujui keputusan mereka untuk tidak bersekolah. “Ya paling sekolah paket sih.

Kebanyakan juga pada kaya gitu yang dipaksa orang tuanya sekolah,” ujar Guntur. Namun menurut Susiana, meski keinginan untuk tidak bersekolah sepenuhnya merupakan keinginan sang anak, orang tua tetaplah pihak yang memiliki kendali penuh. Ia berpendapat bahwa anak merupakan cerminan orang tuanya. Baginya, sudah sewajarnya orang tua membimbing anak-anak untuk mengambil keputusan. “Anak-anak kan pikirannya belum dewasa. Apa yang dia senangi ya dia jalani. Disini peran orang tua yang harus mengarahkan, jangan sampai anaknya mengambil keputusan yang salah,” tuturnya. Adapun dalam rangka mengedukasi para orang tua dalam memberikan pendidikan, Susiana mengaku bahwa KPAI terus meminta pemerintah untuk mengedukasi para orang tua. Ia juga berkata bahwa pemerintah, khususnya pemerintah DKI Jakarta telah mengupayakan hal tersebut dengan dibangunnya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). “Di RPTRA itu pemerintah di tingkat kelurahan membuat program-program edukasi untuk keluarga seperti parenting skill dan sebagainya,” ujar Susiana. Susiana menekankan bahwa sebenarnya pemerintah sudah mendorong keluarga untuk memberikan edukasi tentang pemenuhan hak anak. Ia berpendapat bahwa sampai usia 18 tahun, orang tua merupakan hulu dari pengasuhan anak. Menurutnya ditengah masyarakat yang permisif, keluarga seharusnya bisa mengisi keseharian anak dengan apa yang diminatinya, bukan malah membiarkan anak menjalani keinginannya tanpa ada kontrol dari orang tua. Di akhir sesi wawancara dengan ASPIRASI, Susiana berkata bahwa anak merupakan titipan untuk di bina oleh tangan orang tua. Menurutnya, orang tua seharusnya bisa melindungi anak dari pengaruh pergaulan yang buruk. “Begitu juga dengan anak yang terpapar gadget, mereka bisa terganggu kognitifnya. Intinya, pengasuhan sepenuhnya tetap menjadi tugas dan tanggungjawab orang tua,” tutup Susiana.

ASPIRASI | EDISI KE-92

59


PROFIL

Konsep Berkebun di Pusat Kota Ala Generasi Milenial Oleh: Nabila Tiara

Lewat pekarangan rumah, Gibran Tragari mengajak masyarakat mewujudkan stabilitas pangan. Paling tidak untuk tingkat kebutuhan pribadi.

G

ibran Tragari, seorang pria kelahiran Jakarta yang mencetuskan ide untuk membuat Sendalu Permaculture ditengah perkotaan. Gibran sempat mengeyam bangku kuliah di Fachhochschule Fulda, Jerman. Terhitung delapan tahun hidup dirinya hidup di Jerman. Ia melewati masa kuliahnya sembari bekerja menjadi pelayan hotel ataupun membagi-bagikan brosur tiap harinya. Meskipun begitu, Gibran berhenti melanjutkan kuliahnya pada jurusan Teknik Pangan di semester ke-lima. Selepas berhenti kuliah ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Meski memiliki latar belakang keluarga yang terjun di bidang seni, tak membuat Gibran lantas ingin mengikuti jejak yang ada. Minatnya mulai terarah ketika ia sampai di Indonesia pada tahun 2016. Ia yang pada saat SMA pernah mengikuti kegiatan pecinta alam, memutuskan untuk bergabung dengan organisasi bernama Wanadri. Organisasi pecinta alam berupa pelatihan dasar di alam bebas. Berkat kegemarannya semasa SMA, pada akhir tahun 2016 ia akhirnya memutuskan untuk bergabung menjadi relawan dalam komunitas Bumi Langit. Gibran mengatakan bahwa komunitas Bumi Langit yang berdomisili di Yogyakarta bertujuan untuk memberikan edukasi serta mendorong agar manusia menjaga keseimbangan ekosistem dan alam. Syahdan, ide Sendalu Permaculture akhirnya Gibran dapati setelah mengikuti pelatihan permakultur di Bumi Langit pada akhir 2017. Pada dasarnya menurut Gibran konsep permakultur yang diajarkan merupakan penerapan dari agrikultur yang tujuannya adalah food forest. “Contoh sederhananya seperti pupuk yang

60

berasal dari binatang, jadi kita harus berternak dan dibuatlah kompos jadi kita hidup minimalis terhubung satu koneksi antara agrikultur dan kehidupan sosial,� ujarnya. Melalui komunitas Bumi Langit, Gibran juga belajar mengenai ekonomi syariah serta ekonomi global. Sejak saat itu ia mulai terdorong untuk menerapkan konsep yang telah dipelajari dengan caranya sendiri. Berbekal pengetahuan yang ia dapatkan selama menjadi relawan, ia kemudian meminta izin kepada orang tuanya untuk mendirikan Sendalu Permaculture. Gibran lantas diberi kebebasan oleh Garin Nugroho dan Riani Ikaswati untuk menjalankan idenya. Kedua orang tua Gibran bahkan memberikan pilihan lahan yang dapat digunakan oleh Gibran, Depok atau di Yogyakarta. Ia lantas memilih untuk mendirikannya di Depok bukan Yogyakarta. Hal ini dikarenakan tanah yang ada di Yogyakarta merupakan lahan persawahan. Gibran takut jika ia memakai lahan sawah yang diubah menjadi kebun buatannya akan merusak ekosistem yang sudah ada. “Aku tau ilmu aku belum cukup,� ujarnya. Konsep Sendalu Permaculture Dengan bermodalkan tanah seluas 2.500 meter, Gibran memulai awal langkahnya mendirikan Sendalu Permaculture yang terletak di Sukmajaya Depok, Jawa Barat. Pria kelahiran tahun 1989 ini membuat kebun dengan dengan konsep pertanian berkelanjutan atau terpadu. Nama Sendalu sendiri terpikirkan saat ia sedang membaca buku sejarah pelayaran


FOTO : ASPIRASI/ Nabila

Gibran Tagari sedang menyirami tumbuhan di lahan Sendalu Permaculture yang ia miliki.

dan perdagangan. Sendalu berarti angin yang sedang tidak terlalu kencang dan tidak terlalu lambat.

kenikir, dan torenia. Ia juga menanam tanaman yang dapat digunakan sebagai spons di lantai dua rumahnya.

Menurut Gibran maknanya adalah tidak memaksa orang untuk ikut bergabung dengan Sendalu Permakultur, tetapi jika ada orang tertarik untuk belajar akan disambut dengan senang hati.

Area lain tempat tinggalnya merupakan galeri seni koleksi dari keluarganya dan disampingnya terdapat kolam ikan. Rencananya ia akan membudidayakan berbagai jenis ikan di kolam tersebut.

“Asalkan kita mempunyai value yang baik saya yakin orang akan tertarik untuk menerapkannya,�ujar anak kedua dari tiga bersaudara tersebut.

Tempat tinggalnya juga ia tanami pohon-pohan besar seperti pohon nangka dan pohon durian yang menambah suasana asri dirumahnya.

Awalnya, Gibran mendirikan Sendalu hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia menanami lahan atap rumahnya dengan berbagai macam tanaman, mulai dari tanaman obat, hingga berbagai jenis sayuran.

Dalam menjalankan Sendalu Permaculture, Gibran menerapkan tiga etika utama. Peduli terhadap manusia, peduli terhadap alam, dan berbagi adil untuk alam dan manusia.

Karena bertujuan untuk kemandirian pangan, ia tak hanya berkebun melainkan juga beternak. Gibran sendiri sedang gemar berternak Ayam dan kelinci. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya saat ini ia belum menjadi seorang vegan. Lalu dilantai bawah tempat tinggalnya, biasa Gibran jadikan tempat untuk workshop serta lahan disampingnya ia tanami berbagai macam jenis bunga. Mulai dari bunga kertas,

Konsep permakultur hadir sebagai salah satu cara agar keseimbangan alam tetap terjaga dengan tujuan tanah yang digunakan untuk bertani dapat digunakan kembali ditiap generasi. Gibran juga menerangkan bahwa konsep ini mengutamakan untuk menjaga keseimbangan unsur hara dalam tanah yang digunakan untuk berkebun. Lewat permakultur juga, Gibran melakukan protes dan kritik terhadap industri pertanian

ASPIRASI | EDISI KE-92

61


PROFIL dan perkebunan konvensional. Menurutnya apa yang selama ini industri lakukan hanya mengambil unsur hara tanpa ada pemulihan setelah masa panen. “Pertanian secara intensif itu dapat merusak tanah, apalagi dengan adanya perluasan lahan dan berulang mengakibatkan hutan akan habis,” tegasnya. Mendirikan Permakultur di Tengah Kota Perbedaan wilayah yang dirasakan oleh Gibran ketika dirinya belajar Permakultur serta ketika melakukan penerapannya memiliki tantangan tersendiri. Perbedaannya mencakup alat pertanian yang awalnya susah ditemui dan mahalnya berbagai penunjang dalam berkebun seperti pupuk. Hingga lahan sempit yang dikelilingi oleh bangunan membuat dirinya harus memutar ide agar kebunnya tetap terkena cahaya matahari. Dalam usahanya menjalankan Sendalu Permakultur, tak selamanya mendapat respon positif dari lingkungannya. Gibran menceritakan usaha yang dilakukannya dipertanyakan oleh temannya. Lantaran menurut temannya, ia memaksakan berkebun ditengah kota yang memiliki polusi udara serta air yang tidak bagus. Kendati demikian ia tak patah semangat, menurutnya justru pola pikir seperti itu yang harus diubah. “Polusi yang menyebabkan tanaman kita menjadi jelek merupakan refleksi alam kita semakin rusak, lahan sempit seperti ini memiliki untung-ruginya tersendiri,” ujarnya siang itu. Gibran cukup sadar diri, ia mengetahui bahwa pengetahuan yang ia miliki belumlah mencukupi untuk terus menjalani Sendalu Permakultur. Ia kemudian melakukan berbagai cara untuk meningkatkan ilmunya serta mengenalkan Sendalu Permakultur. Salah satunya caranya dengan berkerja sama dengan komunitas-komunitas yang ada. Bentuk kerjasama yang dilakukannya adalah dengan mengadakan Pasar Kebun Keliling

62

di Sendalu Permaculture. Layaknya pasar pada umumnya, kegiatanya berupa menjual sayuran yang merupakan hasil menanam sendiri yang dapat menjadi penghasilan tambahan bagi si pemilik kebun. Tak berhenti disitu, kegiatan lain yang kerap diadakannya dengan komunitas ialah mengadakan workshop mengenai Rainwater Harvesting dan biopori. “Pembahasan mengenai ketahanan air sangat perlu. Karena kita tidak hanya mengambil air tapi harus bisa mengembalikan air tersebut ke alam,” tuturnya. Selain itu Sendalu Permaculture kerap melakukan pameran tukar benih sejak awal tahun 2018. Gibran menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat tidak ketergantungan terhadap benih yang berasal dari pabrik. “Jika benih mereka tidak sehat akan diberi pestisida yang berdampak pada kandungan tanah yang buruk dan matinya cacing dan mikroba. Lalu benih tersebut tidak bisa dijadikan benih lagi dan modalnya besar, jika petani gagal panen akan membuat mereka untuk menjual tanahnya atau meminjam utang,” jelasnya kepada ASPIRASI. Seiring berjalannya waktu, Gibran mulai merasakan perubahan yang ada pada dirinya ataupun lingkungannya. Ia yang awalnya seorang introvert lambat laun akhirnya menjadi lebih percaya diri, sehingga dapat mengajarkan tentang berkebun kepada masyarakat. Selain itu ia merasakan bahwa lingkungan disekitarnya menjadi tau dan menerapkan berkebun di rumahnya masing-masing. “Ibarat seperti terlempar ke jalur kereta yang berbeda dan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya,” ujarnya sambil tersenyum. Gibran hanya berharap apa yang ia lakukan melalui Sendalu Permaculture dapat menjadi awal untuk alam yang lebih baik. “Sederhana, dengan dimulai memulai hal kecil untuk berkebun, tidak melulu harus mempunyai tanah yang luas karena semua butuh proses dan tidak instan,” tutupnya sore itu.


“

Bagamaian bisa? Ketika kita sedang berada diambang kepunahan, yang kalian bicarakan justru tentang uang dan dongeng abadi tentang pertumbuhan ekonomi .

Greta Thunberg

ASPIRASI | EDISI KE-92

63


TERAS SASTRA

Hidup Aminah yang Berbeda Oleh : Fikriyah Nurshafa

D

alam sebuah rumah bilik di ujung gang kecil, Aminah hidup bersama kedua anaknya dan suaminya yang sakit-sakitan. Parjo, begitu panggilan suaminya yang sudah 2 tahun ini sakit-sakitan di rumah dan tidak bisa bekerja.

cium tangan Parjo.

“Bang, gue jalan kerja dulu. Obatnye jangan lupa diminum bang,” ujar Aminah sambil men-

“Ya Namanye rejeki gaboleh ditolak ye sayang” seru Parjo ketika Aminah mengandung

64

Mereka menikah sudah 6 tahun lamanya. Mawar, buah hati pertamanya yang berumur 5 tahun. Sedangkan Melati, anak keduanya berumur 4 tahun. Melati adalah anak hasil hubungan yang kebobolan Aminah dan Parjo.


Melati Sejak mengandung Melati, Aminah semakin sadar bahwa saran Parjo untuk Aminah tidak usah bekerja itu tidak tepat. Penghasilan dari kerja Parjo yang hanya menjadi Satpam komplek perumahan saja tidak cukup untuk kehidupan dua anak perawannya hingga besar. Setelah Melati lahir, Aminah berdebat dengan Parjo yang keras kepala, akhirnya Aminah diperbolehkan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia sadar memang seharusnya dia bekerja sejak awal, sehingga bisa banyak membantu ekonomi keluarganya yang sangat pas-pasan. Disisi lain, Aminah juga sadar kalau dia tidak punya kemampuan apa-apa karna tidak bersekolah sampai berseragam abu-abu seperti perempuan lainnya. Memang perekonomian keluarga juga terkadang mempengaruhi anak, karna keluarga tak punya uang Aminah tak bersekolah. Setiap hari Aminah pergi bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dari pagi hingga malam hari. Aminah akan berangkat jika sudah merapihkan rumah kecilnya dan menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya. “neng bangun neng, bang bangun bang! Ayo makan dulu” seru Aminah setiap pagi sebelum berangkat kerja Aminah tidak pernah berangkat kerja jika rumah belum bersih dan anak-anak belum sarapan. Aminah sadar ia capek, Aminah sadar bahwa ternyata menjadi ibu rumah tangga dan ibu bekerja dalam satu waktu bukan hal yang mudah. Ditambah ia harus mengurus sang suami yang sedang sakit-sakitan sejak dua tahun belakangan. Terhitung satu tahun lamanya, Parjo tidak dapat bekerja dan berdiam di rumah. Aminah juga harus menitipkan anaknya ke orang tuanya yang kebetulan tinggal dalam satu gang yang sama. Selama satu tahun suaminya tidak bisa bekerja, bahkan di rumah sekalipun. Dulu suaminya adalah seorang satpam di komplek perumahan, namun naas nya terjadi pencurian di salah satu rumah dengan membawa senjata tajam.

Parjo yang saat itu sedang berjaga, mengetahui adanya pencurian oleh sekelompok orang. Ia pun melawan kelompok pencuri tersebut dan lagi-lagi naasnya Parjo dipukuli dan ditusuk dengan senjata tajam yang dibawanya. Alhasil, saat ini sebagian anggota tubuh Parjo lumpuh karna tusukan dan pukulan kelompok pencuri tersebut mengenai sampai ke saraf. Sungguh parjo yang malang, ia pun terpaksa dikeluarkan dari pekerjaannya dan hanya diberi pesangon yang cukup hanya untuk 6 bulan keluarganya hidup. “neng, maapin abang yang ga bisa ngapa-ngapain sekarang. Maapin abang yang sekarang cuma bisa nyusahin neng” ujar Parjo kepada Aminah. Disisi lain keadaan Parjo semakin memburuk setiap harinya. Lagi-lagi karna tidak punya uang, akhirnya Parjo hanya diobati seadanya. Cinta Aminah yang begitu besar kepada Parjo membuatnya selalu sabar mengurus Parjo yang sakit-sakitan. Aminah terus berusaha untuk kuat menanggung semuanya dan berdiri sendiri sebagai seorang ibu dan seorang istri. Dari pagi, hingga malam Aminah setiap hari bekerja di rumah keluarga lain yang sangat bertolak belakang dengan keluarganya. Setiap hari ia selalu melihat cerminan keluarga yang berbeda dengan keluarganya. Namanya juga manusia, Aminah juga merasa ada rasa iri dengan keluarga majikannya. Aminah sering berandai-andai jika keluarga nya bisa sebaik keluarga majikannya. seandainya perekonomiannya tidak paspasan, seandainya suaminya tidak sakit-sakitan, seandainya dulu ia dapat bersekolah dengan baik sampai lulus, seandainya semua bukan sekedar pengandaian. “kenapa tuhan ga adil sama gue dan keluarga gue? Kenapa gue yang berkebutuhan disandingkan dengan sosok yang sama juga berkebutuhan? Kenapa?” tanya Aminah yang terus menyalahkan keadaan dan tuhan yang tidak adil untuknya. Sepanjang malam perjalanan ia pulang, ia luntang-lantung seperti tak punya rumah. Ditemani dengan sebatang rokok madu yang

ASPIRASI | EDISI KE-92

65


TERAS SASTRA ia beli murah di sebuah warung klontong. Kebiasaan lamanya yang masih melekat sampai sekarang ketika ia sedang pusing. Dengan terpaan dinginnya angin malam dan asap rokok yang terus ngebul keluar dari mulut dan hidungnya, Aminah terus berjalan sampai ke rumah kecilnya. Ketika sampai di depan gang, ia merapihkan bajunya dan mengusapkan tangannya asal ke tembok rumah oraang lain. Aminah pun menjemput kedua anaknya yang sudah tertidur di rumah orang tuanya dan menggendong kedua anaknya kembali ke rumah kontrakan kecilnya. Sesampainya di rumah, ia meletakkan Mawar dan Melati pada tempat tidur nya yang kecil. Dilihatnya, Parjo sudah tertidur pulas dengan selimut yang menyelimuti badannya. Aminah pun membersihkan badannya dan terlelap setelahnya. Esok paginya, Parjo tak kunjung bangun. Badannya sangat dingin ketika disentuh dan terbujur lemas saat digoyangkan. Aminah tau, Parjo sudah pergi untuk selamanya. Menyerah untuk kehidupan ini dan pergi tanpa pamit. Aminah terpuruk sedih, berhari-hari ia memutuskan untuk cuti dan hanya berdiam diri di rumah meratapi masa depan tanpa adanya sosok Parjo. Sejak Parjo mati, Aminah adalah satu-satunya tiang untuk anak-anaknya. Melihat anak-anaknya yang terus menghiburnya untuk tidak terpuruk, Aminah akhirnya dapat beranjak dari kesedihannya. “gue ga bisa terus menerus kayak begini, Mawar dan Melati butuh gue untuk bisa hidup� ujar Aminah sambil menggebuk dadanya untuk

tetap kuat. Esok harinnya Aminah melanjutkan kerja sebagai ibu rumah tangga, ia terus berusaha untuk mencari uang demi sekolah anaknya. Aminah pun mulai menabung dan berjualan untuk sekolah anaknya. Tidak mudah menjadi seorang janda yang mempunyai dua anak perawan yang sedang bertumbuh kembang. Aminah sadar, sudah tidak ada waktu lagi untuknya berandai-andai atau iri dengan kehidupan orang lain. “Mawar dan Melati adalah prioritas hidup gue sekarang, gue harus bisa dan pasti bisa� seruan semangat Aminah untuk dirinya. Sejak kepergian Parjo, Aminah banting tulang untuk dapat hidup dan menghidupkan anaknya sendiri. sejak hari itu juga, Aminah menutup diri dari laki-laki lain yang ingin melamar dan menikahinya. Dan sejak hari itu juga, Aminah selalu memulai kebiasaan lamanya yang sempat hilang untuk menulis di buku hariannya. Namun, kali ini ia menulis untuk bercerita kepada Parjo yang sudah pergi selamanya. Hingga suatu hari, majikannya tahu Aminah suka menulis dan karya tulisannya bagus. Aminah pun diajak untuk membantu menulis di tempat majikannya bekerja. Perlahan perekonomian Aminah terbantu dengan itu. Anak-anaknya pun dapat ia sekolahkan, ia pun tidak lupa menabung untuk sekolah anaknya sampai berseragam abu-abu dan bekerja setelah itu. Seperti mimpi yang selama ini ia mimpikan, semua terwujud dengan usahanya.

Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2017 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

66


ASPIRASI | EDISI KE-92

67


68


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.