Majalah ASPIRASI Edisi ke-91

Page 1

ISSN : 0853-9804 EDISI : XCI 2018

PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER

RP. 5000,-

M U B A D A L A H



DAFTAR ISI

3-5

NAMA DAN PERISTIWA 11-13

6-7

11-13

UNIVERSITARIA

Ketika Kampus Hijau Mencari Pemimpin

Manis-Pahit Kepemimpinan Eddy Siradj

Cerita Para Calon Rektor

Ibu Literasi Baduy LIPUTAN KHUSUS 27-29

LAPORAN UTAMA 17-20

Melihat Kesetaraan Gender dari Sisi Agama

21

30-31

Infografik Nyinyir di Media Sosial

Menjembatani Islam dengan Analisis Gender

22-23

32-34

Kesenangan Media Sosial Bagai Pisau Bermata Dua

Hadirnya Feminisme dan Mubadalah untuk Menentang Diskriminasi Gender FORUM AKADEMIKA 36-38

PROFIL 8-10

Wanita Pertama di Kursi Rektor

Semiotik Citra Perempuan dalam Media Sosial TERAS SASTRA 44-47

RESENSI 42-43

Makna Cantik dan Kebangkitan Seorang Pelacur

Pengkhianatan Harapan

RENUNGAN 48

Kisi-kisi, antara Nilai atau Ilmu? ASPIRASI | EDISI 91/2018

1

Kala Media Sosial dan Nyinyir Bersatu


DARI REDAKSI Puji syukur kepada Tuhan YME karena di akhir kepemimpinan 2018 ini kami berhasil menyelesaikan majalah kedua kami, yaitu edisi ke-91. Tentunya, majalah ini tak akan selesai tanpa bantuan para awak redaksi. Karenanya, kami berterima kasih kepada teman-teman awak redaksi yang telah menyisihkan waktu, tenaga, dan pikirannya agar majalah edisi ke-91 ini dapat terselesaikan dalam waktu yang singkat ini. Di edisi ke-91, banyak tulisan yang mengangkat tentang perempuan dan kesetaraan gender. Ada Liputan Khusus, Profil, Eksklusif, Forum Akademika, Nama dan Peristiwa, Resensi, juga Teras Sastra. Karenanya, kami berharap agar edisi ini dapat meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender, setidaknya di lingkungan kampus UPNVJ. *** Pada rubrik Laporan Utama kali ini, kami mengangkat tentang fenomena nyinyir di media sosial atau kerap disebut online shaming. Meskipun kerap dianggap sepele, namun ternyata online shaming dapat dikategorikan sebagai cyberbullying. Hal ini pun dapat menyebabkan berbagai efek negatif, salah satunya adalah depresi. Online shaming pun juga dapat dikenakan pidana, yang diatur oleh UU ITE.

2

Pada rubrik Liputan Khusus, kami mengangkat tentang kesetaraan gender dan mubadalah. Saat ini, kehidupan masyarakat sangat kental dengan ajaran agama. Banyak hal dilakukan dengan berlandaskan agama. Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduknya beragama Islam. Sayang, terkadang banyak tafsiran yang minim akan kesetaraan gender menjadi landasan bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini pun membuat ada banyak anggapan bahwa Islam adalah agama yang seksisme dan sarat akan diskriminasi terhadap perempuan. Karenanya, dalam tulisan ini kami mengupas tentang kesetaraan gender secara umum dan berlandaskan agama. Setidaknya, kami ingin menghadirkan perspektif alternatif agar perempuan dapat menjaga dirinya dari penindasan yang dilakukan dengan berkedok ajaran agama. Selanjutnya, dalam rubrik Universitaria, kami menghadirkan tentang reportase mengenai pemilihan rektor UPNVJ yang baru saja dilaksanakan pada November lalu. Pemilihan rektor ini cukup menarik karena baru pertama kali dilakukan setelah penegerian UPNVJ. Selain itu, pemenang yang keluar adalah seorang perempuan, sehingga menahbiskan dirinya sebagai rektor pertama perempuan di UPNVJ.

Pelindung : Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Pembina : Muhammad Helmi Fakhrazi Pemimpin Umum : Donal Cristoper Siahaan Pemimpin Redaksi : Aprilia Zul Pratiwiningrum Pemimpin Perusahaan : Deden Abdul Qohar Pemimpin PSDM : Sandy Mahdi Wibawa Sekretaris : Tri Ditrarini Saraswati Bendahara : Sasgia Rahmalia Chan Koordinator Liputan : Hasna Dyas Mayastika Redaktur Online : Taufiq Hidayatullah Redaktur Fotografi : Syafira Annisa Ferdiani Redaktur Produksi : Nadia Imawangi, Faiz Irsyad Kamil Redaktur Bahasa : Hersa Khoirunnisa Divisi Iklan : Ida Sapriani, Brigita Ferlina Siamirani Divisi Sirkulasi : Haura Hafizhah Divisi Litbang : Salma Decilia Divisi Jaringan : Maharani Putri Yunita Divisi Pustaka : Haris Prabowo Utusan Staff Khusus : Maryam Amini Lailani Sabilah Triyogo Handoyo Reporter : Ida Sapriani, Nadia Imawangi, Fikriyah Nurshafa, Firdha Cynthia, Helen Andaresta, Nabila Tiara, Syahida Ayu Laksani, Syifa Aulia, Thalitha Yuristiana Desain Sampul : Deden Abdul Qohar

*** Selain ketiga rubrik utama di atas, ada juga rubrik lainnya yang sayang apabila dilewatkan. Akhir kata, selamat menikmati hasil kerja keras kami dan selamat tahun baru. Sampai jumpa di edisi selanjutnya. Cheers:) Setiap reporter ASPIRASI diberikan tanda pengenal berupa kartu pers. Narasumber dilarang keras memberikan intensif atau gratifikasi dalam bentuk apapun ketika penugasan.

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia


Universitaria

3 ASPIRASI | EDISI 91/2018


ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

UNIVERSITARIA

Ketika Kampus Hijau Mencari Pemimpin Untuk pertama kalinya, setelah menjadi PTN, UPNVJ melakukan pemilihan rektor. Namun, tahap pemilihan mundur dari aturan yang berlaku.

4

Oleh : Nabila Tiara

S

etelah berakhirnya masa jabatan Eddy Siradj sebagai Rektor UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ) periode 2014-2018 pada 14 Oktober silam, kampus hijau segera mencari pemimpin baru. Serangkaian proses pencarian dilaksanakan selama lima bulan, terhitung sejak Juni hingga November 2018. Proses pemilihan Rektor UPNVJ periode 2018-2022 mengacu pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Permenristekdikti) No. 19 Tahun 2017. Terdapat empat tahapan dalam proses pemilihan, yaitu tahap penjaringan, penyaringan, pemilihan, dan diakhiri dengan pelantikan. Tahapan pertama yang harus dijalani oleh para calon rektor ialah tahap penjaringan. Tahapan ini dimulai sejak 4 Juni hingga 2 Juli. Proses dalam tahap ini di antaranya pembentukan panitia, pengumuman penjaringan, pendaftaran bakal calon, seleksi administrasi, dan pengumuman hasil penjaringan. Ketua Senat UPNVJ Frans Santosa menjelaskan bahwa pada tahap penjaringan pihak dari berbagai universitas dapat mencalonkan diri sebagai bakal rektor sesuai dengan pers-

yaratan administratif yang telah tercantum dalam Pasal 4 Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing calon adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berusia maksimal 60 tahun, berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki pengalaman jabatan sebagai dosen dengan jenjang akademik minimal sebagai lektor kepala, serta memiliki pengalaman manajerial. “Sebenarnya ada delapan yang mendaftarkan diri, tetapi dua di antaranya tidak lolos verifikasi karena pada saat penutupan tahap ini ada beberapa dokumen yang tidak memenuhi,” ujar Frans saat ditemui ASPIRASI Rabu (10/10). Dua orang tersebut yaitu Rudy Laksmono dari Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan dan Reda Rizal dari Fakultas Teknik UPNVJ. Selanjutnya, pada tahap penyaringan, terdapat enam bakal calon rektor, yaitu Anondho Wijanarko, Taufiqurohman, Fredy BL. Tobing, Abdul Halim, Erna Hernawati, dan Ibnu Ham-


UNIVERSITARIA

Verifikasi tentang kinerja, prestasi calon, serta verifikasi lainnya yang dilakukan oleh lembaga lain selain Kemristekdikti membutuhkan waktu, Alhamdulillah hari ini ditetapkan karena sudah clear penjadwalannya

mad. Keenam bakal calon rektor tersebut menyampaikan visi, misi, dan program kerja saat rapat senat terbuka pada Senin (30/7) lalu. Kemudian, masuklah pada proses penilaian dan penetapan calon rektor oleh senat dalam rapat senat tertutup. Frans menjelaskan bahwa dalam rapat tersebut pejabat kementerian dapat mengajukan pertanyaan kepada bakal calon, namun tidak memiliki hak suara.

Ketiga nama yang terpilih adalah Fredy BL. Tobing, Erna Hernawati, dan Ibnu Hammad. Selanjutnya, mereka diminta untuk melampirkan dokumen berupa daftar riwayat hidup, berita acara proses penyaringan, visi, misi, dan program kerja masing-masing calon sebelum tahap pemilihan. Setelahnya, pihak Kemristekdikti akan menelusuri rekam jejak ketiga bakal calon rektor sehingga bila terdapat calon rektor yang tidak baik akan dilakukan proses penjaringan dan penyaringan ulang. Calon pemimpin tidak baik tersebut tidak dapat mengikuti proses penjaringan dan penyaringan ulang. Tahapan selanjutnya adalah tahap pemilihan. Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017, tahap ini dilaksanakan paling lambat dua minggu sebelum berakhirnya masa jabatan rektor yang sedang menjabat. Namun, jadwal pemilihan melalui kemunduran, yaitu dari 14 Oktober menjadi 18 Oktober. Perwakilan Kemristekdikti Agus Indarjo

“Verifikasi tentang kinerja, prestasi calon, serta verifikasi lainnya yang dilakukan oleh lembaga lain selain Kemristekdikti membutuhkan waktu. Alhamdulillah hari ini ditetapkan karena sudah clear penjadwalannya,” ujar lelaki yang kerap disapa Agus ini. Frans menjelaskan bahwa pada tahap pemilihan, pihak Kemristekdikti memiliki 35% hak suara dari total pemilih yang hadir. Sementara itu, pihak Senat UPNVJ memiliki 65% hak suara dari masing-masing anggota senat. Untuk bisa mencapai suara 100% setidaknya dibutuhkan 52 orang yang hadir. Hasil akhir dari tahap pemilihan menyatakan bahwa Erna Hernawati terpilih sebagai Rektor UPNVJ periode 2018-2022 dengan perolehan suara terbanyak, yaitu 35 suara. Perolehan suara tersebut disusul oleh Ibnu Hammad yang memperoleh 17 suara dan Fredy BL Tobing menempati posisi akhir dengan perolehan nol suara. Proses pemilihan dilakukan dalam rapat senat tertutup yang dilaksanakan di Ruang Nusantara I Gedung Rektorat UPNVJ. Selanjutnya hasil pemilihan suara tersebut akan dikirimkan ke pihak Kemristekdikti agar segera dilakukan penetapan dan pelantikan bagi rektor baru yang terpilih. Pelantikkan telah dilakukan pada Jumat (9/11) lalu.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

5

“Mekanismenya seperti pemilihan umum. Nanti dari hasil tersebut dapat kita ketahui tiga angka terbanyak yang akan dipilih dari enam bakal calon rektor,” ujarnya.

menjelasakan bahwa mundurnya waktu pemilihan disebabkan proses verifikasi yang membutuhkan waktu karena proses itu juga melibatkan lembaga lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Intelejen Negara (BIN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).


UNIVERSITARIA

Cerita Para Calon Rektor Usai pemilihan rektor, para calon mengungkapkan kesan-pesannya. Ada keluhan mengenai etika politik pada saat pemilihan berlangsung. Oleh : Syafira Annisa F.

I

bnu Hammad merasa cukup terkejut ketika dapat lolos menjadi tiga besar calon rektor UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ).

“Walaupun saya sudah mengajar lama juga di UPNVJ sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Dari segi suara saya dapat 17, berarti banyak,” ungkapnya.

“Harus betul-betul menyiapkan diri kapan saja kepercayaan tersebut diberikan oleh menteri dan sivitas akademika,” ujarnya. Calon rektor lainnya, Erna Hernawati mengungkapkan rasa syukurnya karena telah diberi kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu untuk melakukan sesuatu dengan program-program kerja dalam memimpin UPNVJ. Pada Kamis (18/10) lalu, tahap pemilihan yang merupakan tahapan akhir dari proses pemilihan rektor baru telah dilakukan. Erna Hernawati resmi keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 35 dari 52 pemilih. Usai proses pemilihan dilakukan, Ibnu menyampaikan pendapatnya secara terbuka kepada Sekretaris Ditjen Kelembagaan Iptek Dikti Agus Indarjo selaku perwakilan Kemristekdikti dan hadirin yang datang pada saat prosesi pemilihan. Dosen yang sempat mengajar Pengantar Ilmu Komununikasi ini memberikan catatan mengenai etika politik pada saat Erna menyumbangkan hak suaranya dalam pemilihan. Padahal saat itu, ia masih menjabat sebagai Wakil Rektor II (Warek II) bidang Umum dan Keuangan.

Saya sedih memperebutkannya, seolah-olah UPNVJ akan bubar jika dipimpin oleh orang yang tidak berasal dari UPNVJ Di sisi lain, Ibnu memberi apresiasi kepada panitia pemilihan rektor yang sudah bekerja optimal dalam mempersiapkan kotak suara tertutup, bilik suara untuk mencoblos, serta surat suara demi terselenggaranya pemilihan rektor tersebut. “Saya melihat dari sisi persiapan panitia yang profesional tidak asal-asalan, seperti pilkada atau pemilihan profesional. Menarik dan bagus sekali,” tambahnya. Senada dengan Ibnu, Erna juga menyampaikan pujiannya kepada panitia yang telah menyiapkan proses pemilihan rektor dengan baik. Ia mengapresiasi panitia yang gencar melakukan sosialisasi melalui video, spanduk, maupun pamflet.

6

6

Hal yang sama juga diungkapkan Freddy BL. Tobing. Ia mengungkapkan bahwa dengan lolos menjadi tiga besar calon rektor berarti harus memiliki tanggung jawab tersendiri karena telah diberi kepercayaan oleh sivitas akademika UPNVJ.

“Tanpa mengurangi rasa kekeluargaan di sini, saya tidak keberatan beliau terpilih. Sudah saya ucapkan selamat kepada beliau. Saya memberi masukan pada Kemristekdikti jika ada hal seperti ini. Walaupun secara peraturan formal tidak salah, tapi dari etika politik jika sedang menjabat ada baiknya mundur terlebih dulu,” ujarnya.


UNIVERSITARIA

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

Pria yang pernah menjabat sebagai Dekan FISIP selama dua periode ini berpendapat bahwa pemilihan pemimpin di lembaga pendidikan tinggi harus dilakukan secara sportif, seperti dengan melihat perolehan nilai, Curriculum Vitae (CV), maupun pengalaman kerjanya. “Harusnya kesubjektifan dapat diminimalisir. Melihat dari cara membuat fit and proper ada upaya proteksi calon mereka sehingga calon yang lain terjun bebas. Saya sedih memperebutkannya, seolah-olah UPNVJ akan bubar jika dipimpin oleh orang yang tidak berasal dari UPNVJ,” kata Freddy. Wajah Baru di Kursi Pemimpin Setalah ditetapkannya Erna sebagai rektor baru UPNVJ periode 2018-2022, wanita kelahiran 57 tahun lalu ini menyampaikan rasa syukurnya atas keberhasilan keluarga besar UPNVJ dalam menyelenggarakan kegiatan pemilihan rektor yang pertama kali setelah menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ke depannya, ia akan melanjutkan program kerja yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) yang telah dimodifikasi.

“Perubahan akan segera saya lakukan dengan tim yang ada di UPNVJ karena ke depannya dituntut harus ada perubahan yang lebih baik. Mudah-mudahan di awal 2019 kita sudah memulai program kerja,” ujar Erna. Erna juga mengucapkan terima kasih kepada calon rektor lainnya yang sudah berpartisipasi dalam proses pemilihan dari awal hingga akhir proses pemilihan. Ia berharap agar dapat berkolaborasi dengan calon rektor lainnya dalam berbagai macam kegiatan. Eddy Siradj selaku Rektor UPNVJ periode sebelumnya berpesan kepada rektor baru yang terpilih agar UPNVJ yang masih menjadi Satuan Kerja dapat menghadapi tantangan di era Industri 4.0. “Mudah-mudahan rektor baru bisa membawa UPNVJ menjadi lebih baik, yang fondasinya sudah diterapkan oleh rektor yang lama,” tutur Eddy. Pria blasteran Malaysia ini berharap agar UPNVJ dapat berkembang pesat sesuai dengan visinya, yakni menjadi PTN berbadan hukum pada 2025. “Input mahasiswa yang bagus harus didampingi dengan kurikulum yang berbasis teknologi agar menjawab tantangan bisnis kedepannya. Saya sudah meletakkan investasi perbaikan sarana dan sistem peraturan, sehingga mudah-mudahan pemimpin baru dapat bergerak cepat menjadikan kampus kita unggul,” tutupnya.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

7

Namun, kritik juga tak luput dari penyelenggaraan acara. Freddy mengeluhkan bahwa masih terlihat adanya dua kelompok pendukung, yaitu kubu UPNVJ dan kubu luar UPNVJ. Hal itu menyebabkan adanya kesan politis. Padahal, pemilihan rektor di setiap universitas dilakukan secara terbuka sepanjang memenuhi persyaratan.


8

PROFIL

FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI

Wanita Pertama di Kursi Rektor Sejak berdiri pada 1962, akhirnya UPNVJ memiliki sosok wanita yang duduk di kursi rektor untuk pertama kalinya. Hal ini menjadi sebuah refleksi kontras dari sosok-sosok rektor sebelumnya.

Oleh : Firda Chynthia


PROFIL

S

iapapun yang menjejakkan kaki di pintu gerbang UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ) akan melihat wajah seorang wanita tersenyum di balik kacamata yang selalu ia pakai terpampang di spanduk. Saat melangkah lebih jauh, berjejer karangan bunga bertuliskan ucapan selamat dari berbagai instansi atas dilantiknya wanita itu menjadi rektor baru UPNVJ. Sosok wanita tersebut adalah Erna Hernawati. Setelah 29 tahun Erna mengabdi di UPNVJ, akhirnya wanita kelahiran 1961 tersebut terpilih menjadi rektor pada 9 November lalu. Tak hanya itu, ia juga menyandang predikat “wanita pertama” yang menjadi pejabat publik tertinggi di ruang lingkup kampus hijau. Namun, predikat tersebut ternyata tak membuat Erna serta-merta merasa istimewa ataupun diistimewakan. Menurutnya, amanah yang dipercayakan padanya tidak ada kaitannya dengan gender dan jenis kelamin.

Saat ditanya apa ia merasa minder karena menjadi satu-satunya kandidat wanita di antara kelima kandidat lainnya, Erna membalas, “justru karena saya wanita,” dengan senyum lebar khasnya. ‘Mendengarkan’ Elemen Penting Pin merah bertuliskan Profesional, Integritas, Kejuangan, Inovasi, Responsif (PIKIR) yang tersemat di blazernya menjadi refleksi nilainilai hidup Erna. PIKIR merupakan prinsip nilai dan budaya kerja yang harus diwujudkan oleh UPNVJ. Namun, menurut Erna, nilai PIKIR sendiri ternyata universal dan bisa menjadi prinsip individu. Bagi Erna, setelah 29 tahun berdedikasi di UPNVJ membuat budaya kerja ini juga menjadi bagian dari hidup keseharian Erna, termasuk dalam menjalankan tugasnya.

Pemimpin itu harus bisa mengakomodir kebutuhan rakyatnya. Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan mereka kalau tidak mendengarkan mereka?

Ketika Erna resmi terpilih menjadi rektor, WhatsApp-nya langsung dipenuhi dengan ucapan selamat yang disampaikan oleh rekan-rekannya. Bahkan, sejawatnya di organisasi profesi yang ia taungiIkatan Akuntan Indonesia (IAI) mengatakan bahwa Erna merupakan akuntan wanita pertama yang menjabat sebagai rektor. “Saya baru tahu ya, bahkan saya tidak kepikiran sampai sejauh itu,” ujarnya terkekeh. Sejak awal, saat dirinya mengikuti proses pen-

Erna dikenal sebagai pribadi yang tegas, namun juga hangat kepada mahasiswanya. Hal ini disetujui oleh mahasiswi S1 Akuntansi Cholva Dian. “Kalau di kelas, dia bisa menjelaskan materi dengan suasana kelas yang hidup. Ia menciptakan interaksi yang intensif dengan mahasiswanya,” ujar mahasiswi semester tiga itu. Kala merangkap menjadi dekan dan dosen, ia berusaha untuk tidak menjaga jarak dengan

ASPIRASI | EDISI 91/2018

9

“Mungkin karena program saya bisa lebih tepat. Atau mungkin faktor yang paling membantu adalah karena saya dari internal UPNVJ,” tuturnya kala ditemui ASPIRASI di ruangannya Rabu (31/10) lalu.

calonan dan pemilihan sebagai rektor UPNVJ, ia merasa harus dapat mendobrak label-label gender yang menempel padanya. Label yang dimaksud adalah kondisi ketika wanita sulit dipercayakan untuk menjadi pemimpin, serta pandangan bahwa pemimpin itu identik dengan laki-laki. Lagipula, kini kesetaraan gender sudah kian hidup di masyarakat. Semua orang bisa mendapat kesempatan yang sama.


PROFIL

mahasiswanya. Baginya, jabatan dosen yang identik dengan sifat ingin dihormati sepenuhnya dan cenderung kaku tidak cocok untuk dibawa ke zaman ini. “Saat itu saya memiliki anak yang juga seumuran dengan mahasiswa saya. Anak saya pun tidak ingin didikte, kita mengutamakan komunikasi dan mereka perlu didengarkan. Saya pikir begitu pula dengan mahasiswa saya,” katanya.

10

Pendekatan dengan seluruh sivitas akademika kampus hijauterutama dengan mahasiswa harus menggunakan cara yang luwes. Hal ini telah ia lakukan sejak menjabat sebagai Dekan FEB. Dirinya berusaha memosisikan diri sebagai teman, bukan dosen maupun dekan. Ia membuka ruang diskusi untuk bersama-sama mencari solusi dan mendengar apa yang diinginkan mahasiswa. Dengan mempersempit jarak dengan mahasiswa, saran-saran yang dibutuhkan untuk keperluan pembenahan permasalahan kampus akan lebih mudah didapat. Masih pada saat memegang jabatan Dekan FEB, Erna membuka keran untuk mengeluarkan pendapat dari mahasiswa. Dari sini lah Erna mendapat berbagai bahan kajian ihwal yang harus dibenahi olehnya di fakultas. Saat itu belum ada Evaluasi Dosen Oleh Mahasiswa (EDOM) berbasis web. “Pemimpin itu harus bisa mengakomodir kebutuhan rakyatnya. Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan mereka kalau tidak mendengarkan mereka. Nanti yang ada kita memenuhi kebutuhan kita,” kata Dewan Standar Akuntan Profesi di Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) itu. Tanggung jawab Harus Ditunaikan Saat rektor ke-13 ini menggeluti studi doktoralnya di Universitas Airlangga pada 2007 lalu, ia mengaku bahwa waktunya untuk berkumpul dengan keluarganya tersita cukup banyak. Karenanya, Erna berniat untuk menjadi dosen saja tanpa tugas tambahan seperti dekanat atau jabatan birokrat kampus lainnya. Namun, realitas berbicara kala ia kembali ke UPNVJ usai mendapat gelar S3-nya. Ia merasa masih banyak hal yang perlu dibenahi dan dibutuhkan kewenangan untuk dapat merealisasikannya. Ada tanggung jawab yang teronggok di punda-

Nama : Erna Hernawati TTL : Bandung, 14 November 1961 Pendidikan : - S1 Ilmu Ekonomi (Universitas Padjajaran) - S2 Manajemen (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi) - S3 Ilmu Ekonomi (Universitas Airlangga) Karier : - (2018 - sekarang) Rektor UPNVJ - (2016 - 2018) Wakil Rektor II UPNVJ - (2008 - 2016) Dekan FEB UPNVJ - (2011 - sekarang) Anggota Komite Audit Pertamina

knya untuk membawa institusi menjadi lebih baik. Akhirnya, muncul dilema karena ada konflik peran antara karir dan keluarga. Untunglah anak-anaknya mengerti. Mereka pun menginginkan Erna untuk tetap fokus berkarier. Ketika Erna kembali ke UPNVJ, ia mendedikasikan dirinya untuk menjadi Dekan FEB. Jabatan itu membuka matanya untuk melihat problem yang ada di kampus bela negara ini. Setelah delapan tahun menjadi Dekan FEB, Erna pun diangkat menjadi Wakil Rektor (Warek) II Bagian Umum dan Keuangan. Jabatan ini juga membuatnya semakin peka dengan permasalahan UPNVJ. Terlebih, saat itu kampus hijau sedang bertransformasi dari status PTS ke PTN. Rasanya, ia memegang tanggungjawab lebih sebagai bagian dari pimpinan. “Ini rumah kita sendiri, masa bukan kita yang perbaiki sendiri,” ujar wanita yang hobi travelling itu mengibaratkan. Ihwal mengabdi sebagai rektor untuk periode empat tahun ke depan, Erna mengharapkan bantuan dan partisipasi dari semua pihak untuk sama-sama meraih UPNVJ mencapai visinya. Dalam menjalankan tugasnya, Ia mengharapkan kepercayaan dari pihak mana pun. “Kalau tidak ada kepercayaan, akan ada ketidaksabaran dan memperlambat. Kita harus ingat kalau kita semua punya tujuan yang sama,” katanya.


NAMA DAN PERISTIWA

11

FOTO : ASPIRASI/ Nadia

Manis-Pahit Kepemimpinan Eddy Siradj Ia adalah rektor pertama UPNVJ setelah penegerian. Tugasnya berat, menemani kampus hijau melalui masa transisi.

Oleh : Fikriyah Nurshafa

ASPIRASI | EDISI 91/2018


NAMA DAN PERISTIWA

E

mpat tahun sudah dirinya mengabdi untuk UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ). Ia menjabat ketika UPNVJ resmi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tentu, perjalanannya di kampus hijau ini tidaklah mudah. Banyak pekerjaan rumah menanti untuk dikerjakan. Kini masa jabatannya telah usai. Ia pun harus kembali ke “rumah asal” di Universitas Indonesia. Namun, dirinya tak akan melupakan manis-pahit yang ia rasakan di UPNVJ. Ia adalah Eddy Siradj, rektor UPNVJ periode 20142018.

Ketika baru menjabat, Eddy langsung dihadapkan oleh banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, apalagi UPNVJ baru mengalami masa transisi dari PTN ke PTS. Menurutnya, terdapat empat fase yang harus dilalui dalam masa tersebut.

Kala itu, dirinya tak tahu menahu tentang penugasannya. Ia pun tidak ada niatan untuk menjadi rektor. Dirinya hanya ingin kembali ke UI untuk mengajar dan membimbing.

Fase pertama adalah fase form. Fase ini dihadapi saat UPNVJ baru saja resmi didirikan. Saat itu, terjadi banyak kekagetan atas perubahan yang terjadi. Akibat kekagetan tersebut, masuklah UPNVJ dalam fase kedua, yaitu storm. Seperti namanya, di fase ini terjadi banyak kekacauan, baik di kalangan mahasiswa maupun pegawai. Penyebabnya adalah perubahan sistem yang ada.

Tapi, pemerintah ternyata berkehendak lain dan menugaskannya sebagai rektor UPNVJ. Jika menolak berarti dirinya melanggar Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Seperti yang awalnya dapat uang transport sama makan, saat jadi negeri hanya mendapat uang makan. Setiap ada kepanitiaan mereka dibayar, saat jadi negeri tidak. Kita sudah tidak bisa lagi seperti itu, karena keuangannya yang

Cerita ketika Eddy baru ditunjuk menjadi rektor UPNVJ cukup menarik.

12

UPNVJ tidaklah baik. Penyebabnya, saat itu UPNVJ berada di peringkat 2.400 dari 3.800 perguruan tinggi yang ada. Selain itu, fasilitas yang ada sangatlah tidak mendukung.

Apalagi sekarang sudah masuk era digital. Kita harus mengejar ketertingalan supaya nanti UPNVJ tidak dianggap sebagai kampus yang tidak mengikuti pekembangan 4.0

“Saat itu tidak ada pemilihan seperti sekarang. Awal menjadi rektor di UPNVJ ini tiba-tiba saja, jadi tidak diberitahu sebelumnya kalau akan menjadi rektor,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Jumat (5/10) lalu. Tapi, tidak sembarang orang bisa ditunjuk menjadi rektor. Setidaknya, orang tersebut harus berstatus sebagai PNS dan belum berusia 60 tahun. Saat ditunjuk, Eddy baru berusia 58 tahun. Kesan pertama yang didapat Eddy terhadap

mengatur kan langsung kementerian,” ujar pria yang senang bermain musik ini. Setelahnya, secara perlahan UPNVJ memasuki fase norm. Dalam fase ini, kampus hijau memasuki masa penyesuaian. Secara perlahan permasalahan yang timbul pada fase storm diselesaikan menggunakan peraturan yang ada. “Kayak ibarat naik kereta api saja, mengikuti alur. Nah, kalau itu sudah bagus norm-nya baru


NAMA DAN PERISTIWA

deh ke perform,” katanya.

but sudah dapat dibangun.

Fase perform adalah fase terakhir, saat seseorang sudah dapat menerima perubahan. Menurut Eddy, UPNVJ sudah memasuki fase perform. Hal ini dibuktikan dengan mahasiswa-mahasiswa UPNVJ yang sudah berkompetisi di tingkat nasional.

“Apalagi sekarang sudah masuk era digital. Kita harus mengejar ketertinggalan supaya nanti UPNVJ tidak dianggap sebagai kampus yang tidak mengikuti pekembangan 4.0,” ujarnya . Selain penambahan aset tanah, terdapat perbaikan-perbaikan fasilitas lain saat masa kepemimpinannya.

Pria yang lahir di Riau ini mengungkapkan bahwa dalam masa transisi, terdapat banyak tantangan yang harus dilalui. Tantangan pertama adalah mahasiswa. Ia harus mengubah pola pikir mahasiswa lama, alias mahasiswa yang masuk ketika UPNVJ masih berstatus sebagai PTS. Selain itu, semenjak penegerian, mahasiswa selalu menuntut perbaikan fasilitas. “Mahasiswa sekarang ini kan mahasiswa yang brilian. Harapan mereka tinggi akan UPNVJ. Makanya saya perlahan membangun fasilitas di UPNVJ supaya lebih baik. Tapi, balik lagi semua ke anggaran yang ada. Itu yang paling besar tantangannya,” ujarnya.

“Mereka inikan sudah lama di sini, tiba-tiba dinegerikan tapi mereka tidak bisa dipegawainegerikan. Nah, itu bagaimana caranya mereka dihormati dan kita beri penghargaan,” kata pria blasteran Malaysia ini. Tantangan terakhir adalah infrastruktur. Kemhan hingga saat ini masih belum bersedia untuk melepas aset tanah yang ditempati UPNVJ di Pondok Labu. Mereka hanya bersedia melepas aset bangunan, peralatan, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Akibatnya, UPNVJ tak bisa membangun fasilitas baru. “Kita hanya bisa memperbaiki gedung. Berbeda dengan kampus di Limo. Di sana sebagian besar aset sudah diserahkan ke Kemristekdikti,” jelasnya. Untuk menjawab tantangan ini, UPNVJ pun telah membeli aset tanah seluas 30,7 hektare di Desa Tanjung Sari, Jonggol, Bogor Timur, Jawa Barat. Rencananya, aset ini akan diperluas hingga 100 hektare dan dibangun kampus ketiga. Harapan Eddy, pada 2020 tanah terse-

Hal yang Belum Tercapai Selama empat tahun menjabat sebagai rektor UPNVJ, Eddy mengaku kepada ASPIRASI bahwa ada beberapa hal yang belum tercapai. Hal-hal tersebut sangat ia sayangkan, meski ia sudah berusaha untuk mewujudkannya. Salah satunya adalah akreditasi. Target awalnya, UPNVJ akan mencapai akreditasi A pada 2020. Persyaratannya adalah mayoritas dari setiap jurusan di UPNVJ berakreditasi A. Tahun 2018 ini, Eddy menargetkan bertambahnya tiga jurusan di UPNVJ yang berakreditasi A. Namun, hal tersebut tidak tercapai dan membuat mantan rektor UPNVJ itu kecewa. Selain itu, infrastruktur di UPNVJ ini juga belum sepenuhnya dibangun seperti rencana awal. Realitanya, hanya beberapa fakultas yang sudah melakukan perbaikan infrastruktur. Sedangkan, sebagian fakultas lain belum melakukan perbaikan infrastruktur. Karenanya, ia berharap agar rektor baru yang terpilih dapat melanjutkan perjuangannya dan mengikuti rancangan desain yang telah dibuat hingga 2025. Eddy menekankan agar target akreditasi A dapat tercapai di kepemimpinan rektor yang baru. Eddy pun berharap UPNVJ akan semakin maju dan jaya ke depannya. “Untuk UPNVJ tetap jaya! Jaya terus ke depannya. Tidak lekas mengalah, lebih maju, dan tetap mengamalkan nilai PIKIR itu,” kata Eddy menutup wawancara sore itu. Sehabis ini, Eddy berencana untuk kembali ke UI. Menghabiskan sisa waktu delapan tahun masa baktinya untuk mengajar dan mengabdi di sana.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

13

Tantangan selanjutnya adalah masalah kepegawaian. Ada dua jenis pegawai yang bekerja di UPNVJ, yaitu PNS Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan pegawai Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) Kemhan.

“Waktu saya masuk, hal pertama yang saya benahi adalah fasilitas umumnya,” kata Eddy.


EKSKLUSIF

Rektor UPNVJ Erna Hernawati:

Mahasiswa Perlu untuk Didengarkan

E

rna Hernawati terpilih menjadi rektor ke-13 UPNVJ. Ia menjadi wanita pertama yang menduduki posisi tertinggi itu di kampus hijau.

14

Tiga belas hari setelah pelantikannya, ASPIRASI berkesempatan untuk mewawancarai Erna. Ia menjelaskan kebijakannya selama empat tahun ke depan yang akan menentukan arah perjalanan kampus hijau ke depannya. Erna juga menceritakan cara pendekatan yang akan ia gunakan kepada mahasiswa guna menyukseskan program kerjanya. Berikut beberapa petikan wawancara yang dilakukan Firda Cynthia dan Fakhri Muhammad saat menemui Erna di kantornya. Apa motivasi atau alasan ibu menjadi rektor? Apakah ada alasan internal? Agar dapat berperan aktif di UPN “Veteran� Jakarta (UPNVJ) supaya menjadi lebih baik lagi dalam mencapai visi. Saya itu sudah aktif di UPNVJ sejak tahun 1989. Dari perjalanan tersebut saya dapat melihat kondisi UPNVJ. Bagi saya, setelah pengalaman sebagai pihak internal, saya tahu hal apa saja yang harus dilakukan agar UPNVJ mencapai visinya menuju Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Menurut saya, yang paling mengetahui kondisi UPNVJ adalah pihak internal. Menjadi rektor adalah suasana yang baru sehingga kita membutuhkan waktu untuk mempelajarinya lebih dulu. Padahal UPNVJ harus bergerak cepat. Saya memiliki perbekalan yang kuat dan saya harus ikut terlibat dalam mempercepat kemajuan UPNVJ. Sejak kapan terpikirkan untuk menjadi rektor? Sebenarnya saya termasuk orang yang tidak memiliki target jabatan karena saya di sini sebagai dosen tetapi dengan tugas tambahan seperti dekan dan warek. Di luar dari hal tersebut profesi utama saya tetap sebagai dosen. Sedari awal perjalanan pun saya tidak menargetkan untuk memiliki jabatan tertentu

dan murni hanya ingin menjadi dosen. Saya sebenarnya sudah berkomitmen dengan keluarga saya jika setelah saya menyandang gelar doktor, saya hanya akan menjadi dosen saja agar waktu dengan mereka menjadi lebih banyak. Namun kenyataannya, ketika berada di UPNVJ rasanya memang banyak hal yang harus diperbaiki dan kita harus memiliki kewenangan. Jika tidak memiliki kewenangan maka kita hanya bisa menyampaikan dan menunggu hasil, apakah nantinya akan dikaji atau dilaksanakan. Selain itu saya memiliki rasa tanggung jawab untuk membawa institusi agar menjadi lebih baik. Bagaimana perasaan ibu saat menjadi satu-satunya kandidat calon rektor wanita? Bagi saya adalah yang terbaik untuk UPNVJ sehingga saat pemilihan yang terpilih pun yang terbaik sehingga saya tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was. Saya usahakan menjalaninya dengan maksimal. Mungkin status saya sebagai perempuan dapat menjadi nilai tambah untuk orang yang mengenal saya. Setelah terpilih menjadi rektor UPNVJ bagaimana perasaan Ibu? Saat ikut pemilihan, saya sudah siap untuk menang dengan program-program saya dan juga sudah siap untuk kalah dengan mendukung yang menang. Saat saya dinyatakan terpilih atau menang ya alhamdulillah, berarti saya harus dapat membawa amanah karena diberikan kesempatan untuk merealisasikan program. Saya bahagia karena cita-cita saya untuk melakukan sesuatu dengan program-program dapat terwujud, bukan cita-cita untuk menjadi seorang rektor. Apa yang akan ibu lakukan setelah resmi menjadi rektor? Pastinya saya akan melanjutkan semua program kerja yang telah ditetapkan di dalam Rencana Strategis (Renstra). Kita akan laksanakan dan akan rencanakan mengenai bagaimana teknis pelaksanaan kegiatannya.


FOTO : ASPIRASI/ Firda

Saya, khususnya sebagai keluarga besar UPNVJ, mengucapkan terima kasih kepada para kandidat karena sudah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Saya berharap setelah usainya pemilihan ini, tali silaturahmi para kandidat tidak putus. Semua kandidat sudah bagus. Jadi kita mungkin dapat berkolaborasi dalam kegiatan lain.

UPNVJ baru pertama kali merasakan seorang pemimpin wanita, lalu bagaimana pendekatan kepada mahasiswa menggunakan sisi keibuan?

Apa yang ingin ibu sampaikan kepada mahasiswa?

Pendekatan ke mahasiswa kali ini harus jauh berbeda, tidak seperti dulu saat terdapat jarak antara dosen dengan mahasiswa sehingga ada perasaan segan di salah satu pihak. Saat ini mahasiswa perlu untuk didengarkan sehingga perlu adanya ruang diskusi untuk bersama mencari solusi dan membahas hal apa yang diinginkan mahasiswa. Saya mencoba memposisikan diri bukan sebagai dosen atau dekan tetapi sebagai teman mereka. Mungkin karena saya juga memiliki anak yang seumuran dengan mahasiswa yang sudah tidak ingin didikte lagi. Jadi, saat ini yang harus kita utamakan adalah komunikasi dan mendengarkan pendapat dan pandangan mereka. Menurut saya, seorang pemimpin itu harus dapat mengakomodir kebutuhan rakyatnya. Bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan mereka jika tidak mendengarkan mereka? Apa kesan dan pesan ibu untuk kandidat yang tidak terpilih?

Kepada para mahasiswa tentunya komitmen seluruh pimpinan UPNVJ untuk mempersiapkan mahasiswa agar dapat bersaing di era 4.0. Tentunya harus ada kerjasama antara kedua belah pihak sebagai manajemen dan mahasiswa itu sendiri. Kita akan melakukan kerjasama agar dapat mencapai target yang diharapkan. Apa yang ingin ibu sampaikan kepada pihak UPNVJ? Setelah kegiatan pemihan ini, marilah kita bekerja seperti biasa, namun dengan target baru. Saya berharap dengan tantangan yang cukup besar dan melihat hal yang menjadi target dari kinerja Kemristekdikti membutuhkan kerja keras dari semua pihak. Saya berharap kepada seluruh dosen dan tenaga kependidikan bahwa kita mulai siap bekerja berbasis PIKIR (Profesional, Integritas, Kejuangan, Inovasi, dan Responsif). Dipentingkan juga titipan khusus inovasi dari kementerian dikembangakan, kemudian responsif terhadap berbagai hal yang menjadi tugas kita.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

15

Pihak kementerian pun telah memberi arahan bahwa perguruan tinggi harus segera melakukan perubahan. Kemungkinan perubahan tersebut yang akan segera saya lakukan dengan tim yang ada di UPNVJ untuk ke depannya. Kita akan melakukan beberapa evaluasi dan modifikasi program yang sudah tertera dalam Renstra.


LAPORAN UTAMA

“

Seorang pelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

16

Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia


LAPORAN UTAMA

FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI

Kala Media Sosial dan Nyinyir Bersatu Oleh : Ida Sapriani, Syifa Aulia

“I

ye pura-pura bahagia, pamer-pamer mobil baru, jam tangan baru, semuanya, sok kaya! Lupa dulu makannya sama siapa? Lupa?” seru perempuan berambut panjang yang mengambil videonya sendiri di dalam mobil. Video berdurasi 1 menit 18 detik yang diunggah di Twitter tersebut mengantarkan Revina Violetta yang dikenal dengan akun instagram revinaVT dengan predikat Miss Nyinyir. Banyak juga pengguna media sosial yang mengeluarkan kata-kata yang dianggap sebagai nyinyir, seperti “otaknya ketahan bea cukai, ya?”, “dia yang goblok, gue yang malu”, “ya gitu deh, orang bodoh dikasih internet, bodohnya disebarin kemana mana”, “itu otak hasil give away apa gimana?”, menjadi kata-kata yang cukup sering digunakan dalam menanggapi sebuah tweet yang dianggap bodoh. Kemudian, kata-kata tersebut dikategorikan sebagai nyinyir atau online shaming. Online shaming atau cyberbullying menjadi fenomena yang sering terjadi di era globalisa-

si saat ini. Fenomena ini dapat menimpa siapa saja. Salah satunya, kasus pertandingan badminton ketika Asian Games 2018 berlangsung. Anthony Sinisuka Ginting saat itu menyerah pada laga pertama babak final beregu putra dikarenakan tak mampu menahan rasa sakit akibat cedera di kakinya. Setelah kejadian tersebut, para netizen langsung mengomentari akun Instagram Ginting dengan kata-kata yang negatif. Ginting, sapaan akrabnya terus mendapatkan komentar negatif tanpa henti yang berujung cyberbullying. “Dasar mental lemah kamu, pensiun aja gak guna kalah kalah mulu lu di bulutangkis,” tulis salah satu akun yang dikutip oleh tribunnews. com. Akun lain menuliskan komentar, “tukang php kelas kakap bermental tempe.” Awal Mula Nyinyir ASPIRASI mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Revina di apartemennya pada

ASPIRASI | EDISI 91/2018

17

Media sosial saat ini menjadi lahan subur untuk melakukan nyinyir terhadap orang lain karena kemudahan dalam memberikan pendapat.


LAPORAN UTAMA

18

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

Sabtu (1/12) lalu. Saat itu, revina bercerita bahwa awal mula ia melakukan online shaming adalah untuk menyindir mantannya di Snapchat. Ternyata, video itu diblok oleh mantannya. Selebgram dengan akun @revinavt ini memutuskan untuk mengunduh dan mengunggah video tersebut ke Twitter. “Setelah itu, aku tinggal kondangan deh. Pas aku cek HP ternyata sudah 6000 sampai 7000 retweet,” ungkap Revina. Dari kejadian tersebut, kemudian Revina membuat akun Instagram untuk membuat konten yang berisi nyinyiran. Konten yang diunggahnya merupakan hasil permintaan dari netizen. Tetapi, ada beberapa netizen yang justru tidak menyukai konten tersebut. Mereka yang tidak menyukainya kemudian melakukan online shaming kepada Revina. Nyinyir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet. Sedangkan menurut Psikolog sekaligus Dosen UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Rosnalisa Z., nyinyir adalah perkataan yang dilakukan berulang-ulang dengan tujuan agresif. Secara psikologis, nyinyir diawali dengan konsep prasangka negatif. Prasangka negatif dibentuk dari kecenderun-

gan manusia yang kemudian membentuk pola pikir negatif. Menurut Ros, nyinyir merupakan bentuk pertahanan seseorang yang tidak mampu dan tidak percaya diri. “Orang itu cenderung berprasangka, lebih banyak menilai orang dari sisi negatifnya dibandingkan positif,” ujar wanita yang akrab disapa Ros ini. Tak hanya dari prasangka, Ros juga mengungkapkan kalau lingkungan menjadi salah satu faktor penyebab perilaku nyinyir. Ketika seseorang terbiasa berada di lingkungan yang gemar nyinyir terus-menerus, maka ia akan melakukan nyinyir dengan orang lain. Karena lingkungannya, ia kemudian meniru. Ketika ia mendapatkan perhatian, ia akan melanjutkan perilaku nyinyirnya. “Dia merasa kalau nyinyir dia mendapat perhatian dari orang. Perilaku itu lalu diteruskan dan ditanggapi positif, padahal nyinyir,” tutur wanita kelahiran Banjarmasin ini pada Jumat (26/10). Nyinyir dan Media Sosial Tanggapan tersebut pada saat ini lebih mudah didapatkan melalui media sosial. Menurut Amarina Ariyanto, Dosen Psikologi Media


LAPORAN UTAMA

Yang parah, targetnya bisa sampai bunuh diri

Universitas Indonesia (UI), ketika seseorang melakukan nyinyir kemudian orang tersebut dapat dapat ditanggapi hingga seribu kali. “Kalau dulu kalau kita hanya berteman dengan sepuluh orang ya sepuluh orang itu yang menanggapi. Kalau sekarang peluangnya lebih besar (untuk eksis, red),” jelas wanita kelahiran Jakarta ini.

“Karena kalau di media sosial itukan orang tidak bisa mengenali siapa dia, dia bisa tampil dengan nama palsu, ada yang begitu,” jelas Ade pada (15/10). Meski begitu, banyak juga terdapat orangorang yang menggunakan identitas aslinya untuk melakukan nyinyir. Hal tersebut diungkapkan Ade sebagai sebuah kebutuhan untuk dilihat dan didengar, tergantung dengan motif yang dilakukan. Ade mengungkapkan bahwa motif seseorang melakukan nyinyir dapat berbeda-beda. “Barang kali maksudnya memberi feedback,” katanya. Hal tersebut juga bergantung dengan reaksi orang-orang yang menanggapi, bisa mendukung, bisa juga tidak. Dengan melakukan nyinyir tersebut, menurut Ade dia sedang melakukan gambling. “Dia berani ngambil risiko itu karena kemungkinan dia akan dapat pendukung tambahan,” jelas wanita yang memili hobi membuat kera-

Pendukung tersebut yang membuat pelaku nyinyir membuat inner group atau kelompoknya sendiri. Kemudian, pelaku nyinyir tidak membutuhkan pengakuan dari semua orang, yang ia butuhkan adalah pengakuan dari kelompoknya. “Begitu dia membuat pernyataan yang menurut kita nyinyir, temennya dukung, kok. Itu penting buat dia,” jelas Ade. Jika ia telah memiliki kelompok yang mendukungnya, ia akan menaikkan nama kelompoknya. Nama kelompok yang mulai naik, akan mejadi sebuah kebanggan karena ia merupakan bagian dari kelompok yang terkenal atau disegani orang lain. Namun, bisa jadi pelaku nyinyir juga tidak memilki motif-motif tertentu, bisa jadi ia hanya memberikan perilaku reaktif. Perilaku reaktif sendiri merupakan reaksi sesaat yang cepat dan tidak dipikirkan. Reaksi cepat dan tidak dipikirkan tersebut ditujukan kepada hal-hal yang menurutnya tidak pantas dan tidak cocok yang berakibat macam-macam. “Sebenarnya dia tidak ada kepentingan, tidak ada tujuan, tidak ada yang minta juga,” jelasnya. Antara Penyakit Mental dan Nyinyir Walaupun tidak memiliki motif yang menguntungkan bagi dirinya, nyinyir di media sosial tetap dapat disebut sebagai cyberbullying jika isinya menyerang dan menyakiti suatu individu. Ade menjelaskan bahwa orang lain mungkin tidak sadar dan menganggap nyinyir bukanlah

ASPIRASI | EDISI 91/2018

19

Ia menambahkan kalau tanggapan tersebut kemudian menjadi kebanggaan sendiri sebab terdapat orang-orang yang memiliki kebutuhan untuk eksis. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, media sosial dianggap sebagai wadah untuk eksis tanpa resiko.

jinan tangan ini.


LIPUTAN KHUSUS hal yang besar, namun berbeda ketika keadaan pelaku dan koban dibalik. Dalam sudut pandang Ros, pelaku nyinyir kemudian dapat mempengaruhi orang banyak agar tidak menyukai seseorang. Jika pelaku nyinyir mempunyai teman yang banyak dan pelaku terus didukung untuk melakukan nyinyir, hal tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan hingga lanjut usia. Selain dari kebiasaan, ketika seseorang menjadi korban nyinyir, ia dapat juga menjadi pelaku nyinyir. Hal tersebut terjadi secara otomatis karena kecenderungan orang untuk tidak bisa melampiaskan atau membalas pada orang lain. “Keinginan untuk membalas itu dilampiaskan pada orang lain. Kecuali kalau dia berada di lingkungan positif,” jelas Ros.

20

Jika nantinya ia tidak menjadi pelaku nyinyir, Ade mengatakan bahwa bisa jadi korban nyinyir akan merasa di-bully. Kalau hal tersebut terjadi pada orang yang ingin menyembunyikan hal buruk tersebut, bisa membuat depresi dan sangat malu. Biasanya, hal buruk tersebut merupakan persoalan personal yang ingin disembunyikan, yang jika diketahui mengakibatkan depresi berat. Kalau korban bully menghayati nyinyiran tersebut maka dampakanya akan menjadi panjang. “Yang parah, targetnya bisa sampai bunuh diri,” tegas Ade. Revina mengatakan bahwa dirinya pernah mengalami cultural shock hingga terjadi depresi pada dirinya. Ia sampai menutup akun instagramnya dan tidak membuat konten selama satu bulan. “Saya sempat kayak sakit hati banget gitu. Setelah dipikir-pikir lagi, kalau saya tidak berani, mau sampai kapan terus-terusan mengiyakan bully-an itu. Saya lemah berarti,” tutur wanita kelahiran tahun 1995 tersebut. Menurutnya, orang-orang yang mem-bully hanya ingin si korban terlihat lemah, bukan karena mereka ingin merasa keren. Sehingga pada akhirnya, si korban mencari katarsis untuk menghilangkan depresi. Menurut survei yang dirilis Groundbreaking Vodafone pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 43% remaja di seluruh negara disurvei, berpikir bahwa cyberbullying adalah masalah

yang lebih besar dari narkoba. Dalam survei tersebut dijelaskan bahwa 18% remaja yang disurvei menjadi korban cyberbullying, dengan rincian 41% dari mereka merasa depresi, 26% merasa sendiri, 18% pernah berpikir untuk bunuh diri, 21% berdiam di rumah setelah pulang sekolah, 38% tidak menceritakan ke orang tua. Menurut Ade, upaya untuk mencegah kemungkinan bunuh diri adalah dengan perlakuan asertif kepada korban dan pelaku. Perilaku asertif sendiri merupakan cara berkomunikasi yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain dengan tetap menghargai hak-hak serta perasannya. “Jadi harus ada yang menghentikan, kalau ada sepuluh orang aja, dia akan berhenti atau paling tidak memperhalus,” jelasnya. Menurut Ade, orang yang melakukan nyinyir tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit mental. Hal itu dikarenakan dalam penggolongan penyakit mental terdapat kriteria-kriteria tertentu, dari tingkah laku yang mulai cemas, tidak bisa berkonsentrasi dan berinteraksi, segala hal-hal yang menyebabkan interaksi normalnya menjadi terganggu. “Nyinyir itu menurut saya pola perilaku dan sekarang difasilitasi dengan media sosial,” ungkap Ade. Karenanya, bagi Ros untuk menghadapi pelaku nyinyir adalah dengan membiarkannya. Jika pelaku terus dibalas maka ia akan terus membalas dengan cara yang verbal. “Biarkan dia mendapat pelajaran sendiri dari lingkungannya. Tidak perlu buang energi, biarkan alam yang membuktikan,” tegas Ros. Namun, menurut Ade, setiap orang yang berpendapat harus dapat bertanggung jawab tentang apa yang dikatakannya. Ia menyarankan agar tidak membicarakan orang dengan tidak etis dan tidak mengeluarkan pendapat yang dapat menimbulkan perkelahian. Ia mengingatkan bahwa melalui pendapat, ada berbagai macam dampak yang dapat ditimbulkan. “Pesan saya sih, kamu sadar kualitas kamu deh, you’re nothing in real life. Dan kamu lagi dikacaukan sama orang yang something in virtual world. Kalau misalnya orangnya tidak terima, ya kamu harus siap sama konsekuensinya,” ujar Revina.


LIPUTAN KHUSUS

Dihimpun Oleh : Tim ASPIRASI

21

INFOGRAFIK : ASPIRASi/ Nadia

ASPIRASI | EDISI 91/2018


LIPUTAN KHUSUS

22

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

Kesenangan Media Sosial Bagaikan Pisau Bermata Dua Penggunaan kebebesan berpendapat di media sosial secara tidak bijak dapat menyeret seseorang ke ranah hukum. Oleh : Syahida Ayu

D

i era globalisasi ini, media sosial hadir sebagai wadah baru untuk mengekspresikan diri. Panggung berbasis internet ini tumbuh subur menawarkan penggunanya untuk dapat berkomunikasi, menyampaikan informasi, dan berpendapat dengan lebih mudah dan cepat. Hak-hak ini dijamin oleh pemerintah dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat.� Namun, dalam menyampaikan pendapat, set-

iap orang harus memerhatikan beberapa hal, seperti diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nila agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan negara.� Sayangnya, kebebasan berpendapat sering kali dilakukan tanpa memerhatikan batasan-batasan sesuai UU HAM, baik secara


LIPUTAN KHUSUS

langsung maupun secara tidak langsung melalui media sosial. Hukuman pidana pun pernah menimpa beberapa orang akibat penggunaan media sosial secara tidak bijak. Salah satunya adalah MFB, seorang remaja di Medan. Ia divonis 1,5 tahun penjara akibat komentarnya di Facebook yang dinilai menghina kepala negara. Tak hanya di Facebook, Instagram juga kerap kali digunakan secara tidak bijak oleh penggunanya. Fitur komentar pada foto atau video yang diunggah sering kali digunakan pelaku nyinyir untuk mengirim komentar bernada penghinaan, kebencian, SARA, dan pencemaran nama baik. Lalu, bagaimana hukumnya untuk menangani hal tersebut? Guru besar Fakultas Hukum (FH) UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Bambang Waluyo menyebutkan bahwa ada UU yang mengatur mengenai hukum yang dapat menjerat pelaku penghinaan ataupun pencemaran nama baik.

Bambang menjelaskan bahwa untuk pengenaan UU ITE maupun KUHP harus dilihat dari media yang digunakan. “Jadi bentuk penghinaan, fitnah, juga mem-bully dan sebagainya itu bisa dikenakan KUHP atau ITE. Pakai ITE itu ketika yang digunakan adalah media sosial tadi,” ungkap pria yang gemar membaca dan berolahraga ini. Proses Hukum Cyber Crime Dilansir dari detik.com, Kepala Polisi Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal, Tito Karnavian melaporkan bahwa selama tahun 2017 lalu, terdapat 5.061 kasus cyber crime atau kejahatan elektronik. Polri juga telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian, yang mana 2.018 kasus diselesaikan selama tahun 2017. Lalu, bagaimana kasus cyber crime dapat di bawah ke meja hijau? Bambang menjelaskan, proses hukumnya sendiri berdasarkan delik aduan dari korban.

23

Jadi bentuk penghinaan, fitnah, juga mem-bully dan sebagainya itu bisa dikenakan KUHP atau ITE. Pakai ITE itu ketika yang digunakan adalah media sosial tadi “Untuk pelanggaran yang dilakukan melalui media elektronik maka dapat dikenakan pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE),” tuturnya saat ditemui ASPIRASI pada Selasa (4/12). Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut akan dikenakan pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah. Lebih lanjut Bambang menuturkan, apabila penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan media non-elektronik, maka hal tersebut diatur dalam pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Setelah kasus tersebut diproses, pelapor dapat membuat laporan ke pihak berwajib dengan menyertakan bukti-bukti yang cukup atas komentar tersebut. Kemudian, polisi akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kasus tersebut kepada pelapor. “Melalui bukti yang diberikan, polisi akan mengindetifikasi bukti tersebut akan dikenakan pasal atau hukum yang sesuai, baru setelahnya dilakukan investigasi lanjutan,” jelas pria kelahiran Magetan. Ia menambahkan, pengenaan hukum pada komentar atau pendapat yang dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik itu berdasarkan nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat.

ASPIRASI | EDISI 91/2018


24

LENSA

HITAM | Memasuki Jalan Merdeka Barat, rombongan pawai akbar serempak membuka payung hitam sebagai simbol kelamnya keadilan di negeri ini, khususnya keadilan bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Oleh : Agung Mg.


HEI!!!| Beramai-ramai mereka menyerukan tuntutan kepada DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Oleh : Agung Mg.

LENSA

25

ASPIRASI | EDISI 91/2018


26

LENSA

TULI | Lima tahun sudah RUU ini digaungkan. Tak terhitung sudah berapa kali aksi menuntut pengesahan RUU ini turun ke jalan, dan tak sedikit pula jeritan korban. Namun, sampai sekarang RUU ini masih saja terombang-ambing di DPR tanpa kejelasan. Oleh : Agung Mg.


LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

Ketidakadilan dirasakan oleh wanita akibat timpangnya norma sosial yang sudah tercampur dengan nilai maupun tafsiran agama yang tidak mengandung kesetaraan gender. Oleh : Helen Andaresta

“W

anita itu harus kuat, mandiri, nggak bergantung dengan yang lain” | ya udah, itu pilihanmu, jarang lelaki yang mau wanita seserem itu hehe.. :D Begitulah kicauan seorang ustaz terkenal Felix Siauw di media sosial Twitter pada 13 Agustus 2013 lalu. Kicauannya mendapatkan 1.400 retweet dan 138 suka. Sontak saja, kicauan tersebut langsung dibanjiri oleh berbagai komentar dari netizen. Sebagian besar bernada tidak setuju dengan Felix. Tidak hanya kali itu saja Felix mengicau dengan nada yang mendiskreditkan perempuan di media sosialnya. Masih di tahun yang sama, pada 28 Mei, Felix mengicau tentang seorang ibu pekerja.

Ia berkata, “bila wanita habiskan untuk anaknya tiga jam sedangkan kantor delapan jam, lebih layak disebut ibu ataukah karyawan?” Anggota UKM Uswah Riyana Putri Nurkhalisa berpendapat sama dengan Felix. Menurutnya, tugas utama perempuan adalah menjaga anak sedangkan laki-laki mencari nafkah. Ia berkata, fisik laki-laki lebih memadai dibandingkan perempuan untuk bekerja. “Selama aku belum menikah, sah-sah saja sih kalau mau kerja di luar. Tapi kalau suami bilang enggak, dengan alasan yang bisa diterima, ya sudah aku setuju dengan keputusan suami,” kata Riyana pada Senin (17/12) lalu. Senada dengan Riyana, anggota UKM Uswah

ASPIRASI | EDISI 91/2018

27

Melihat Kesetaraan Gender dari Sisi Agama


LIPUTAN KHUSUS

lainnya Rima Khoirunnisa berkata bahwa di dalam Islam, jika suami mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak boleh bekerja, maka si istri harus menuruti perintah suami. Saat ditanya oleh ASPIRASI apakah Riyana setuju dengan kesetaraan gender, ia menjawab bahwa dirinya kurang setuju. Menurutnya, Alquran sudah memberikan porsinya tersendiri untuk perempuan dan laki-laki. “Perempuan di bawah perlindungan laki-laki itu jelas,” katanya.

28

Ketidaksetaraan Gender Nina Nurmila, dalam penelitiannya “Menciptakan Kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang Ramah Hak Asasi Manusia dan Gender”, menuliskan bahwa indikator dalam ketidakadilan gender meliputi enam hal, yaitu diskriminasi (pembedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan), subordinasi (perendahan perempuan), kekerasan (baik fisik, psikologis, dan seksual), marginalisasi (peminggiran), stereotip (pelabelan negatif), dan beban ganda (seorang perempuan harus melayani suami, mengurusi anak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga). Ketika ditemui ASPIRASI pada Selasa (29/11) lalu, Nina berkata bahwa pola pikir perempuan harus mengurus anak dan laki-laki harus bekerja disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Menurut Nina, budaya patriarki melekat pada sekurangnya 96% masyarakat Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa kemungkinan hanya lima persen penduduk Indonesia yang paham tentang kesetaraan gender. “Setara itu seperti teman. Tetapi dalam budaya patriarki, laki-laki dapat memerintah perempuan, seperti ‘mah, minta makan’, ‘mah minum’, ‘mah ayo kita hubungan seksual, saya harus terpuaskan’, itu yang tidak setara. Karena di situ terdapat majikan dan tuan” jelas wanita lulusan doktoral Universitas Melbourne ini. Vice, dalam video dokumenternya “Polemik Poligami di Indonesia: Berbagi Surga”, menyajikan gambaran nyata dari ketidaksetaraan gender dengan mengatasnamakan agama. Di video itu, Vice sempat memperlihatkan suasana Konferensi Komunitas Poligami di Bekasi, Jawa Barat. Di sana, nampak stereotip negatif yang melekat pada wanita. Seperti kata Ringo

Novianto, “di akhir zaman ini, paling besar fitnah itu dari wanita,” katanya. Lantas bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini? Pendiri portal mubaadalah.com Faqih Abdul Kodir menjelaskan bahwa Islam tak pernah mendiskreditkan perempuan. Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya dan ketakwaan tidak dapat diukur dari jenis kelamin seseorang. Jadi, dalam relasi antara perempuan dan laki-laki tak ada yang lebih unggul dibandingkan yang lain. “Misi hidup perempuan bukanlah melayani lelaki sebagaimana diasumsikan oleh sistem patriarki,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Selasa (27/11). Ratna Batara Munti dalam bukunya Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga menjelaskan bahwa timpangnya hubungan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh mitos-mitos yang disebarluaskan melalui berbagai nilai dan tafsir agama yang keliru mengenai keunggulan kaum laki-laki. “Logikanya, Allah itu maha adil. Firmannya ditulis dalam Alquran, maka Alquran itu pasti mendukung keadilan. Tapi kemudian kenapa orang-orang memakai ayat dan hadis untuk mendukung ketidakadilan? Berarti cara bacanya yang salah, bukan Alqurannya yang salah,” kata Nina. Ratna menuliskan bahwa ada pandangan dasar yang menyebabkan munculnya ketidakadilan ini, yaitu bahwa perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam sehingga kehadirannya dianggap sebagai pelengkap atau pendamping. Penyebab lainnya adalah karena perempuan diyakini sebagai sumber atas terusirnya manusia dari surga. Padahal, menurut Ratna, tidak ada satu pun ayat di Alquran yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Menurutnya, gagasan ini bila ditelusuri berasal dari cerita berbau mitologis Israiliyat yang oleh ahli tafsir digunakan untuk menafsirkan Alquran dan hadis. Senada dengan Ratna, Faqih dalam tulisannya “Perempuan dan Tulang Rusuk” menuliskan bahwa secara faktual, tidak ada perempuan yang tercipta dari tulang rusuk. Ayat Alquran


LIPUTAN KHUSUS

Yang jadi permasalahan adalah tafsiran umat Islam yang belum menerapkan prinsip mubadalah atau kesalingan ini juga mengatakan bahwa penciptaan manusia tercipta dari air, tanah, sperma, dan indung telur. Menurut Faqih, dalam metodologi tafsir, suatu makna yang berlawanan dengan teks-teks sumber, fakta realitas, atau akal pikiran harus ditarik menjadi makna kiasan. Hadis yang menyebutkan Nabi Muhammad mengatakan jika perempuan tercipta dari tulang rusuk, maka hadis ini harus diartikan dalam dua tahap.

Menerapkan Mubadalah dalam Tafsiran Dari asal kata, mubadalah berasal dari Bahasa Arab yang berarti tukar menukar, baik bersifat fisik, seperti perdagangan maupun non-fisik, seperti perilaku tenggang rasa. Mubadalah adalah sebuah prespektif guna menghadirkan rasa kesalingan, kemitraan dan kerjasama dalam sebuah relasi dan menghindari sebuah relasi yang hegemonik, diskriminatif, dan otoriter. Dalam Mubadalah, laki-laki dan perempuan harus diberi kesempatan yang luas untuk bisa berkontribusi di ruang publik dan mengekplorasi dirinya. Pada saat yang sama, laki-laki juga harus didorong untuk berkontribusi di ruang domestik dan menikmati keintiman dengan keluarga, terutama anak-anak. Tanpa mengesampingkan kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan yang khas antara laki-laki dan perempuan. “Yang jadi permasalahan adalah tafsiran umat Islam yang belum menerapkan prinsip mubadalah atau kesalingan ini,” ujarnya. Mubadalah bisa dikembangkan sebagai kaidah

Jika dihadapkan pada sebuah teks, baik Alquran maupun hadis, maka menurut Faqih jangan terpaku pada subjek-objeknya. Sebab, dalam Bahasa Arab, kata-kata memiliki kategori jenis kelamin, yaitu isim mudzakkar (laki-laki) dan isim mu’annats (perempuan). Sementara ini, kata Faqih, dikotomi isim mudzakkar dan isim mu’annats itu telah melahirkan berbagai tafsiran Islam mengenai gender yang bersifat absolut, seksis, timpang, dan melestarikan berbagai kekerasan terhadap perempuan. Dikotomi ini juga yang melahirkan kebudayaan dominatif dari satu jenis kelamin kepada yang lain. Sebagai contoh, misalnya ayat al-Baqarah (2: 223), bahwa, “istri-istri kalian adalah ladang (seks) bagi kalian maka gaulilah sesuai (yang menyenangkan) kalian.” Tafsir ini yang kemudian membuat banyak laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek mereka dalam hubungan seksual. “Padahal, jika ditafsirkan dengan prinsip mubadalah, maka bisa diartikan: ‘suami-suami kamu, wahai para istri, adalah ladang seks bagi kamu, maka gaulilah sesuai dan dengan cara yang bisa mendatangkan kesenangan kamu,’” kata Faqih. Sebab, ini adalah kegiatan bersama guna memenuhi kebutuhan seksual, serta diterangkan berbagai ayat dan hadis adalah hak bersama antara suami dan istri. Karenanya, ayat tersebut harus ditafsirkan secara resiprokal. “Pada hakekatnya, segala teks Alquran itu ditafsirkan. Kita harus bisa mulai belajar menafsirkan ayat dan hadis yang tidak bias gender dan diskriminatif,” kata pria asal Cirebon ini.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

29

Tahap pertama adalah makna literal (yang kiasan tentang perempuan saja) dan yang kedua adalah dengan mubadalah (tentang perempuan dan laki-laki).

penafsiran dalam memaknai teks, terutama yang terkait dengan isu-isu relasi gender.


LIPUTAN KHUSUS

Menjembatani Ajaran Islam dengan Analisis Gender Mubadalah hadir guna menjembatani antara analisis gender dan substansi agama dengan mengedepankan prinsip kesalingan dalam relasi kuasa. Oleh : Thalitha Yuristiana

F

aqih Abdul Kodir (46) merupakan seorang pria lulusan pesantren di Cirebon. Ia terbiasa hidup dalam tradisi, teks, dan norma.

30

Suatu hari, dirinya memutuskan untuk bergabung dengan sebuah perkumpulan pemberdayaan perempuan yang sebagian besar menggunakan perspektif feminisme dan analisis gender. Dalam perkumpulan tersebut, kerap kali terjadi ketegangan antara kubu yang berpegangan dengan agama dan kubu feminis. Dari kubu agama, mereka berpendapat bahwa agama harus digunakan dalam semua lini. Hal yang dianggap agama itu mulai dari Alquran dan hadis. Mereka menyalahkan feminis karena menurut pendangan mereka, feminis dianggap menyalahi kodrat Islam. Kubu agama pun menolak adanya feminis. Sedangkan dari kubu feminis, mereka berpendapat bahwa terdapat banyak definisi yang dinilai bias gender dalam agama. Feminis sering menggaungkan bahwa hadis tertentu misoginis, kental nilai patriarki, dan bias gender. Laki-laki juga kerap dijadikan tersangka. Menurut Faqih, perdebatan kedua kubu ini disebabkan karena nilai-nilai feminisme yang tidak sesuai dengan budaya timur. Dalam feminisme, terdapat hak-hak yang dituntut berupa hak atas tubuh, hak atas kedaulatan, hak atas kesetaraan, dan hak lainnya. Hal itulah yang sulit dicerna budaya ketimuran yang sarat akan nilai tolong-menolong dan tenggang rasa. Sedangkan, menurut para Islam konservatif, feminis adalah kafir, individualistis, liberal, dan hasil pemikiran barat. “Mereka saling berdebat sampai sekarang.

Tetapi, perdebatan itu tidak menimbulkan jalan keluar yang mampu menengahi kedua belah pihak. Diperlukan sebuah perspektif yang menyatukan substansi agama dan analisis gender. Nah, dari situ saya berpikir bagaimana sih caranya untuk mempertemukan substansi agama dan analisis gender agar bertemu,� kata Faqih. Dalam diskusi yang dijalaninya, sebagai lulusan pesantren, ia sering dibombardir dengan pertanyaan bagaimana Islam memandang perempuan. Dari proses dialektika dengan berbagai pihak mengenai isu gender tersebut, Faqih mulai meneliti tentang kesetaraan gender dalam Islam. Hasil penelitiannya itu ia namakan “Mubadalah�. Guna mempublikasikan penelitiannya tersebut, Faqih mendirikan situs web mubaadalah. com. Mubadalah sendiri adalah cara memandang sebuah relasi antara dua pihak, baik antar individu dengan individu, komunitas, atau kelompok dalam sebuah fondasi kerja sama atau kemitraan. Mubadalah mengharapkan adanya rasa kesalingan, kemitraan, dan kerja sama. Jadi, tidak ada hubungan yang hegemonik atau otoriter. Mubadalah, dalam konteksnya, bisa dipakai di rumah atau ranah domestik, baik itu hubungan anak dengan orang tua, saudara ke saudara, istri ke suami. Bisa juga dipakai ke ranah publik atau yang lebih sosial, yaitu seperti ke aspek pertemanan, buruh-majikan, antar agama, dan lain-lain. Namun, Faqih baru mengembangkan perspektif mubadalah ini untuk memahami relasi agama dengan isu-isu gender. Ia berharap, dengan lahirnya mubadalah maka ayat-ayat Alquran


LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

dan hadis dapat diliat dengan perspektif kesetaraan gender.

Faqih berkata bahwa cara memandang feminis dalam Islam itu beragam. Maksudnya, pengertian masing-masing tentang pemaknaan Islam itu beragam. Apabila feminis berarti keadilan dan keseimbangan, maka menurut Faqih Islam itu sangat feminis sekali. Dalam sebuah hadis Bukhari, tertulis bahwa, “tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri”. Hadis inilah yang dinilai oleh Faqih sebagai hadis yang menuntut adanya kesetaraan gender dalam Islam. Bagi dosen di IAIN Syekh Nurjati ini, Islam itu damai. Karenanya, ajaran yang merendahkan dan menghina perempuan yang terletak pada interpretasi Islam seharusnya dihapuskan. “Kita harus menyadari bahwa dalam praktiknya, Alquran dan hadis itu banyak ditafsirkan oleh banyak ulama dan banyak orang. Karenanya, kita harus memilih tafsiran yang mengandung nilai keadilan terlepas dari gender. Kalau kita yakin hidup ini bersama, maka sesungguhnya rumah dan di luar rumah harus dikelola bersama. Menurut saya, tidak ada secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan ada di ranah domestik,” jelas Faqih.

Karenanya, harus dilihat seperti apa konteksnya dari ayat ini. Memukul seperti apa yang diperbolehkan? Pemaknaan memukul pun menjadi susah karena harus dikaji secara mendalam. “Ada ulama yang menyebutkan bahwa konteks memukul ini menggunakan sapu tangan dan dengan cara yang lembut. Pertanyaannya, apakah laki-laki menggunakan sapu tangan? Atau menggunakan sapu dan tangan? Jadi tafsir sendiri itu kompleks,” ujarnya. Maka, mubadalah hadir guna dikembangkan sebagai kaidah penafsiran dalam memaknai teks, terutama yang terkait dengan isu-isu relasi gender. Sebagai penutup, pria yang aktif menyuarakan kesetaraan gender dalam perspektif Islam ini menjelaskan bahwa analisis gender diperlukan guna dipelajari oleh umat Islam. Gerakan feminis merupakan sebuah transformasi sosial yang menginginkan adanya perubahan sistem patriarki yang secara sosio-historis telah lama mengakar di setiap peradaban. Namun, prinsip kesalingan harus diterapkan agar tak ada gender yang kemudian dirugikan demi mencapai kehidupan bersama.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

31

Mubadalah meniscayakan adanya kesetaraan kedua jenis kelamin tersebut. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, agar bisa saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang bebas diskriminasi.

Faqih mencontohkan ayat tentang pemukulan terhadap istri. Menurutnya, setiap agamawan wajib menggunakan landasan akhlak dalam proses penafsiran. Bahwa memukul itu salah sehingga ayat ini harus ditelaah kembali. Seperti, apakah Nabi Muhammad pernah memukul perempuan?


32

LIPUTAN KHUSUS

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Nadia

Hadirnya Feminisme dan Mubadalah untuk Menentang Diskriminasi Gender Budaya Patriakal di Masyarkat Indonesia masih sangat kental sehingga menyebabkan ketidakadilan gender yang dirasakan oleh perempuan. Feminisme dan mubadalah ada untuk menentang ketidakadilan tersebut.

Oleh : Nadia Imawangi


LIPUTAN KHUSUS

P

erempuan kerap kali mengalami diskriminasi yang disebabkan oleh ketimpangan gender. Diskriminasi itu membuat para perempuan di dunia barat memperjuangkan ketidakadilan yang dirasakannya. Komisioner Komisi Nasional Perempuan Nina Nurmila menceritakan bahwa sebagai bentuk pemberontakan atas tradisi yang menindas perempuan pada zamannya, maka lahirlah feminisme. “Feminisme itu keadilan. Keadilan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan itu memang tidak berarti selalu sama ya, tetapi kesamaan perlakuan bisa menjadi langkah awal untuk mencapai keadilan itu sendiri,” kata Nina.

Gerakan feminisme mendapatkan angin segar ketika pada 1973 pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance). Dikutip dari historia. id, Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid menuliskan bahwa aturan tersebut membuat Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) hanya mau memberikan bantuan bagi negara yang serius menangani masalah perempuan. Di Indonesia sendiri, menurut Nina, gerakan feminisme telah lahir ketika Kartini memperjuangkan haknya untuk bisa mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Pada saat itu, dirinya dilarang untuk lanjut bersekolah seusai tamat sekolah dasar. Kartini kemudian memperjuangkan hak perempuan untuk bisa mendapatkan pendidikan tanpa harus mengikuti tradisi yang ada pada masanya. Tak hanya Kartini, perjuangan terhadap hak perempuan juga dilakukan oleh organisa-

Sempat mati ketika masa awal Orde Baru, gerakan feminisme kembali bergaung di Indonesia pada 1978akibat kebijakan Pemerintah AS ketika pemerintah membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita. Kementerian ini membuka wacana tentang perempuan dan feminisme di ruang publik. “Gerakan feminisme itu bukan tanpa konteks. Itu disebabkan adanya pembatasan-pembatasan yang kemudian membuat perempuan protes terhadap pembatasan yang ada untuk mendapatkan akses yang sama antara laki-laki dan perempuan,” jelas Nina. Budaya patriarki di Indonesia cenderung membuat posisi perempuan terdiskriminasi, tersubordinasi, dan tertindas. Karenanya, feminisme aktif membela hak mereka. Namun, Nina berpendapat bahwa feminisme juga dapat membela laki-laki, dalam konteks ketika terjadi ketidakadilan dalam hakikat manusia seutuhnya. Menurut Nina, feminisme bukan persoalan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki, tetapi lebih kepada penekanan mendapatkan kesamaan akses dari berbagai pihak, salah satunya adalah pendidikan. Pembagian peran tidak bisa dibedakan berdasarkan jenis kelamin seseorang, tetapi sesuai dengan kapabilitas serta kebutuhan dari kedudukan peran tersebut. Dirinya menceritakan bahwa pada zaman dahulu, pencarian nafkah dilakukan dengan pergi ke hutan sambil membawa panah. Hal itu kurang memungkinkan untuk dilakukan oleh seorang perempuan. Namun, adanya perubahan zaman dan konteks hidup membuat peran antara laki-laki dan perempuan turut berubah. “Misalkan mencuci piring, mengurusi anak dan suami, itu semua bukan kodrat perempuan. Peran itu bisa dibuat oleh manusia sehingga bisa dibuat manipulasi gender,” jelas wanita yang sudah meraih gelar doktoralnya di Universitas Melbourne ini. Seorang feminis muslim bernama Lies Marcoes Natsir, dalam wawancaranya dengan tirto.id, mengatakan bahwa perempuan dan Islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Namun, ia tak memungkiri bila agama kerap

ASPIRASI | EDISI 91/2018

33

Susilawati, dalam tulisannya “Feminisme Gelombang Ketiga” di Jurnal Perempuan, menuliskan bahwa menurut sejarahnya, feminisme terbagi ke dalam tiga gelombang. Gerakan pertama dimulai sejak tahun 1792 hingga 1960 dan dipelopori oleh seorang filsuf dan feminis abad 18 bernama Mary Wollstonecraft. Feminisme itu lebih berfokus untuk memperjuangkan hak perempuan di bidang politik. Selanjutnya, feminisme gelombang kedua lebih berfokus pada gerakan pembebasan perempuan atau “Women Liberation”. Sedangkan feminisme gelombang ketiga mengusung keragaman dan perubahan, seperti globalisasi, pascakolonialisme, pascastrukturalisme, dan pascamodernisme.

si Gerwani. Mereka aktif menyuarakan dan memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki. Gerwani juga kerap melakukan protes terhadap praktik poligami.


LIPUTAN KHUSUS

dijadikan pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu penyebabnya menurut Lies adalah karena Indonesia sedang berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. Penyebab lainnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas. Menurut Faqih seorang peneliti yang menghadirkan konsep mubadalah, ajaran yang merendahkan dan menghina perempuan itu terletak pada interpretasi Islam yang seharusnya dihapuskan. “Feminis dalam Islam itu berarti keadilan dan keseimbangan. Menurut saya, Islam itu sangat feminis,” jelasnya.

34

Tapi Faqih merasa tidak nyaman dengan menyebut feminis, karena sebagian feminis

Faqih sendiri berpendapat bahwa dalam kehidupan masyarakat, kitab suci umat Islam dan hadis banyak ditafsirkan oleh ulama ataupun orang. Sehingga, menurutnya, sebagai manusia harus bisa memilih tafsiran yang mengandung nilai keadilan terlepas dari gender. Bagi KH. Tengku Zulkarnain, Islam sudah memberikan Alquran untuk perempuan yang ingin menyuarakan haknya. “Islam sudah memberikan jalan, jangan terpengaruh dengan hal baru. Kalau dari barat sendiri menginginkan sama rata dan sama rasa. Tidak mungkin perempuan sama rata dan sama rasa dengan lelaki,” jelas pria pengamat syariah ini. Bertentangan dengan hal itu, menurut Nina

Feminisme itu keadilan. Keadilan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan itu memang tidak berarti selalu sama ya, tetapi kesamaan perlakuan bisa menjadi langkah awal untuk mencapai keadilan itu sendiri,

tidak menyebutkan feminis laki-laki sehingga diberikan makna seolah laki-laki itu tidak bisa memahami. Menurut Faqih, yang membuat ketidakadilan itu bukan jenis kelaminnya tetapi adanya relasi kuasa. “Perempuan sebenarnya juga bisa otoriter terhadap laki-laki, misalnya ketika perempuan itu memiliki ilmu, jabatan, uang yang lebih dibandingkan laki-laki. Maka dari itu janganlah menyalahkan laki-laki yang dianggap sebagai pelaku. Sama-sama membangun sebuah sistem yang tidak patriarki,” kata Faqih.

yang mengaku sebagai feminis muslim bahwa feminisme itu tetap harus ada walaupun sudah ada Alquran yang menyediakan kesetaraan. Ia percaya bahwa firman Tuhan yang dituliskan dalam Alquran mendukung keadilan, tapi dalam realitanya banyak orang-orang yang menggunakan ayat maupun hadis untuk mendukung ketidakadilan. “Di masyarakat muslim sendiri feminisme tetap harus ada karena apa yang diidealkan dalam Alquran tidak ada dalam realita. Perjuangan feminisme itu menjadikan apa yang ideal dalam Alquran menjadi sebuah realita,” tutupnya siang itu.


Emma Watson, Duta Wanita PBB

ASPIRASI | EDISI 91/2018

35

This isn’t just, ‘girls are better than boys, and boys are better than girls’. This is just ‘everyone deserves a fair chance’”


36

FORUM AKADEMIKA

ILUSTRASI : ASPIRASI/ Gadis Mg.

Semiotik Citra Perempuan dalam Media Visual Citra perempuan dalam media visual kerap mengisi ranah domestik sehingga menguatkan budaya patriarki dalam masyarakat.

Oleh : Thalitha Yuristiana


FORUM AKADEMIKA

“Y

ah, sayurku segar loh,” ucap seorang anak laki-laki kepada ayahnya di sebuah kebun sayur.

“Sayur ayah juga. Sehat buat kamu,” kata si ayah. “Ibu yang masak pasti enak,” ujar sang anak sambil berlari ke ibunya, menyerahkan sayur segar yang telah dipetiknya bersama ayah. Sang ibu pun memasak sayuran itu sambil diiringi lagu Bunda ciptaan Melly Goeslaw sebagai musik ilustrasi. Di akhir adegan, sang anak kembali menghampiri ibunya sambil membawa sekeranjang sayuran. “Bu, masakin lagi dong,” ucapnya sambil tertawa riang. Adegan di atas adalah sebuah potongan iklan bumbu racik instan yang dibintangi oleh Mona Ratuliu. Iklan itu menampilkan keluarga bahagia yang sedang memakan masakan lezat buatan ibunya. Meskipun ada sang ayah di sana, namun urusan masak-memasak tetaplah

bahwa semiotika adalah sebuah metode yang digunakan untuk menerjemahkan suatu simbol atau tanda guna menghasilkan suatu makna yang utuh. Ia melanjutkan, dalam iklan misalnya, perempuan kerap menjadi tokoh utama dalam iklan produk rumah tangga dan produk kecantikan. Karenanya, perempuan dianggap akrab dengan urusan rumah tangga dan kecantikan. Visualisasi perempuan dalam iklan menghasilkan sebuah terjemahan mengenai citra perempuan yang sepatutnya, seperti cara berperilaku, peran, dan kewajiban yang harus dilakukan perempuan namun bersifat bias gender. “Dalam banyak iklan susu, perempuan banyak mendapat peran sebagai ibu rumah tangga yang mengayomi dan melindungi keluarganya serta menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah. Hal ini yang kemudian merekonstruksi peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Nadira dalam Workshop Woman Writer di daerah Cikini, Rabu (30/8).

37

Tak heran jika sekarang kita melihat banyak perempuan yang membenci tubuhnya sendiri. Media memecah belah perempuan dengan menggolongkan perempuan yang cantik dan perempuan yang pas-pasan,

diserahkan kepada si ibu. Tak hanya iklan bumbu racik tersebut, iklan susu, teh, sirup, maupun iklan lain yang berhubungan dengan urusan rumah tangga kerap kali mengandalkan seorang wanita untuk melakukannya. Transfer informasi dalam iklan-iklan itu secara tidak langsung merepresentasikan citra perempuan yang bias, meliputi peran dan kewajiban serta sensualitas perempuan sebagai hasil analisis semiotik. Staf Media and Campaign The Asian Muslim Network (AMAN) Nadira Mulyandari menuturkan

Ia menuturkan bahwa hal ini mengindikasikan iklan turut serta dalam melanggengkan budaya patriarki di masyarakat. Iklan ini yang kemudian menguatkan anggapan bahwa ranah perempuan sebatas hanya dalam ranah domestik dan laki-laki yang menghegemoni ranah publik. Lulusan Ritsumeukan Asian Pasific University ini menilai bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh segmentasi produk tersebut sehingga iklan dikemas agar menarik perhatian pasar yang dituju. “Iklan susu menempatkan ibu rumah tangga

ASPIRASI | EDISI 91/2018


FORUM AKADEMIKA

Perempuan digambarkan sangat seksi dengan pakaian minim, gaya lemah lembut, dan kerap dijadikan objek sesuai tokoh laki-laki dalam berbagai macam kartun atau video game.

38

sebagai segmentasi pasar mereka sehingga mereka menggunakan perempuan sebagai tokoh utama. Namun, tak banyak produsen yang kemudian berpikir bahwa iklan yang mereka buat akan menyiratkan makna yang akan dipegang masyarakat menjadi sebuah kebenaran atau nilai,” ujarnya. Lebih lanjut, Nadira menjelaskan bahwa iklan secara konstruktif juga membentuk nilai sosial lain dalam masyarakat, seperti definisi cantik dalam iklan produk kecantikan. Para produsen kerap menggunakan perempuan yang cantik menurut definisi mereka, seperti tubuh langsing dan tinggi semampai dan berkulit putih sebagai tokoh utama. Hal ini yang kemudian dipegang sebagai standar cantik perempuan secara umum. “Tak heran jika sekarang kita melihat banyak perempuan yang membenci tubuhnya sendiri. Media memecah belah perempuan dengan menggolongkan perempuan yang cantik dan perempuan yang pas-pasan,” lanjutnya. Komodifikasi Tubuh Perempuan Sensualitas dari seorang perempuan merupakan aspek yang sering dieksploitasi oleh media visual untuk menarik minat masyarakat sehingga hal ini berujung pada komodifikasi tubuh perempuan demi kepentingan industri. Nadira mencontohkan banyak iklan motor menjadikan perempuan sebagai tokoh utama agar menarik dan lebih diminati, terlepas dari segmentasi pasar produk tersebut. Tak hanya itu, dalam kartun, khususnya yang berkembang di Jepang, tokoh perempuan kerap ditampilkan dengan pakaian yang minim, memvisualisasikan tubuh perempuan secara berlebihan dan mengedepankan sisi sensuali-

tas perempuan.

“Perempuan digambarkan sangat seksi dengan pakaian minim, gaya lemah lembut, dan kerap dijadikan objek sesuai tokoh laki-laki dalam berbagai macam kartun atau video game. Hal ini membuat masyarakat berkesimpulan jika perempuan mau dibilang menarik maka harus menggunakan tubuh dan sisi sensualitasnya,” tutur perempuan berkacamata itu. Hal ini juga dapat terlihat di dalam penggambaran perempuan sebagai sampul majalah. Dalam majalah The Rolling Stone, ada perbedaan yang mencolok bagaimana media tersebut memvisualisakan perempuan dan laki-laki. Perempuan kerap digambarkan dengan pakaian minim sedangkan laki-laki terlihat intelek dengan balutan jas. “Banyak sekali komodifikasi tubuh perempuan yang luput dari pandangan kita,” ujarnya. Remotivi, dalam tulisannya berjudul Hawa di Kotak Adam, menuliskan adanya penggambaran perempuan secara diskriminatif ini disebabkan oleh budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Budaya ini merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi utama dan dominan. Menurut Liesbet van Zoonen, para feminis meyakini bahwa medialah yang menciptakan dan membesarkan stereotip gender ini. Karenanya, Nadira mengimbau pentingnya literasi media sehingga masyarakat dapat menilai sesuatu dari prespektif gender. “Kalau seluruh media, tak hanya media visual, tidak memedulikan perspektif gender di dalamnya maka kesenjangan gender akan tetap dilanggengkan,” tutupnya.


NAMA DAN PERISTIWA

39

FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI

Ibu Literasi Baduy Berkat jasanya, masyarakat Suku Baduy kini bisa membaca dan menulis.

Oleh : Fikriyah Nurshafa

ASPIRASI | EDISI 91/2018


NAMA DAN PERISTIWA

S

ore itu, Kamis (4/10), ASPIRASI tiba di Blackhouse Library, kediaman seorang pegiat literasi wanita di Sawangan, Depok. Rumahnya bercat hitam, putih, dan abuabu. Dindingnya berhiaskan berbagai foto perjalanan sang pemilik rumah, seakan mengajak pengunjung untuk berwisata bersamanya. Setelah kami mengucapkan salam, seorang wanita muda menyambut kami. “Oh, kalian. Ayo masuk-masuk. Duduk aja,” ucapnya. Wanita itu adalah Nury Sibli, pelopor pertama gerakan literasi di Suku Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

40

Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat yang melarang masyarakat bersekolah sehingga mereka tidak mengerti baca dan tulis. Hal ini menyebabkan masyarakat Baduy sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain karena hanya mengerti bahasa Sunda. Didasari oleh hal ini, wanita yang bekerja sebagai konsultan public relations ini pun tergerak hatinya untuk memperjuangkan agar masyarakat Baduy bisa tetap membaca dan menulis. Ide Nury untuk mencetuskan kegiatan literasi dimulai dari kunjungannya ke Suku Baduy pada 2007 lalu. Ia melihat kehidupan anakanak Baduy yang hanya berputar pada rutinitas yang sama setiap harinya. Pergi ke ladang, bermain bola, mencari kayu bakar, dan terus berulang. Kerap kali, setiap ada pengunjung datang, masyarakat Baduy hanya dapat menonton dan memperhatikan gerak-gerik setiap pengunjung. Rasa malu dan takut untuk memulai percakapan dengan orang asing merupakan masalah yang dialami oleh masyarakat Baduy. Hal ini dikarenakan hanya bahasa Sunda yang mereka pelajari sejak kecil sehingga tidak fasih dalam berbahasa Indonesia. Melihat hal ini, Nury memutuskan untuk mengajari anak-anak membaca dan menulis. Ia mulai mencari orang-orang yang mungkin dapat menerima niat baiknya itu. Kemudian bertemulah ia dengan Sarpin, seorang pemuda yang memiliki semangat, potensi, dan niat yang sama dengannya. “Saya dan Kang Sarpin meyakini kita sebagai

masyarakat adat bukan berarti kita tidak mengenal huruf dan angka. Toh, sepanjang ini mereka tetap berdiri teguh menjadi masyarakat adat. Bahkan semakin bisa menulis dan membaca semakin puya kekuatan untuk bercerita kepada pihak-pihak luar tentang Baduy yang sesungguhnya,” ujar wanita berambut pendek itu. Wanita kelahiran 22 September ini mengatakan bahwa memberikan pengajaran kepada masyarakat adat merupakan tantangan tersendiri. Awalnya, tidak semua masyarakat bersikap terbuka terhadap hal baru. Penyebabnya karena adat melarang masyarakat untuk bersekolah. Karenanya, proses mengajari anak-anak membaca, menulis, dan berhitung ini tidak dilakukan secara terbuka. Nury memulai proses literasi ini dari dasar. Dimulai dari mengajari masyarakat Baduy membaca, menulis, berhitung, dan cara memegang pensil dengan baik. “Cara pegang pensil itu mereka tidak paham. Ketika memegang dan menggoreskan pensil, tangan-tangan mereka gemetar. Apalagi pencahayaannya kurang,” kata Nury. Meskipun fasilitas yang ada terbatas, tapi anak-anak Baduy mempunyai nalar yang bagus dalam belajar. “Ketika ada gerhana kemarin, mereka sangat antusias melihat fenomena alam tersebut. Mereka banyak bertanya kepada saya mengenai gerhana. Mereka juga meminta saya untuk membelikan buku tentang benda-benda langit,” ungkap wanita yang tengah mengandung itu. Mengajar bukanlah hal asing bagi Nury. Latar belakang keluarganya adalah pengajar, seperti mendiang ayahnya yang merupakan seorang guru pada 1960-an. Bahkan, sejak kecil Nury suka membantu mengajar di pondok pesantren milik keluarganya. Meski tidak memiliki cita-cita sebagai guru, namun kegiatan mengajar seperti sudah melekat dengan dirinya sejak kecil. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh Nury tidak seperti sekolah pada umumnya. Kegiatan belajar mengajar dilakukan saat ia memiliki waktu luang untuk kembali ke Baduy dan melakukan pengajaran. Selain itu, tidak adanya listrik di sana membuat kegiatan belajar mengajar terhambat.


FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI

NAMA DAN PERISTIWA

Sebelas tahun sudah kegiatan pembelajaran ini berjalan. Wanita yang suka mendaki gunung ini mengatakan bahwa proses belajar tidak hanya dilakukan di rumah melainkan di kali atau lapangan yang dapat membuat anakanak bersemangat dalam belajar. Manfaat dari kegiatan ini adalah meningkatnya kemampuan dalam beberapa hal, seperti bermain musik, bermain bola, lebih percaya diri dengan pengunjung, mampu beradaptasi dengan pengunjung, memiliki rasa tolong menolong yang tinggi, dan tidak pemalu lagi. Rumah baca akar Selain kegiatan pengajaran di Baduy, Nury dan teman-temannya membuka rumah baca di daerah-daerah terpencil yang ia kunjungi sewaktu perjalanannya. Rumah baca tersebut diberi nama “Rumah Baca Akar” yang sudah tersebar di beberapa desa di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Barat, Bogor, Bandung, Lampung, Jawa Timur, Belitung, Flores, dan beberapa daerah lainnya. Dana untuk Rumah Baca Akar berasal dari biaya pribadi.

Rumah Baca Akar terdapat di salah satu rumah penduduk yang bersedia rumahnya dijadikan tempat. Buku-buku akan dikirimkan dari Jakarta oleh Nury setiap tanggal 17 per bulan dan akan dibagi rata kepada seluruh Rumah Baca Akar yang ada. Buku-buku tersebut berasal dari uang pribadi dan sumbangan masyarakat. Jenis buku yang diberikan pun beragam, seperti buku pelajaran, novel, majalah, buku ceramah, dan lainnya. “Pada prinsipnya, kita ini kan dilahirkan dengan pengetahuan. Orang tua kita bilang kekayaan paling mulia yang kita miliki adalah ilmu pengetahuan. Kalau kita kasih uang maka akan habis, tapi tidak dengan ilmu,” kata Nury. Nury mengatakan bahwa semua manusia adalah sama. Ia mengungkapkan bahwa masih ada sekelompok orang yang memanusiakan manusia tanpa melihat warna kulit, agama, dan perbedaan lain. Manusia yang satu dengan yang lain adalah jembatan untuk manusia lainnya. “Ayo, semua bergerak saling membantu. Prinsipnya adalah kita manusia yang sama. Hilangkan perbedaan yang ada untuk dapat saling membantu. Saya berharap kalian mau bergerak untuk membantu sesama” tutup Nury malam itu.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

41

Karenanya, kegiatan tersebut hanya menggunakan penyinaran yang terbatas, seperti lampu tempok, headlamp, dan senter.


RESENSI

Makna Cantik dan Kebangkitan Seorang Pelacur Oleh : Tri Ditrarini Saraswati

J

42

ika kau perempuan muda berusia 17 sampai 28 tahun, cantik, dan tampak sehat yang hidup di masa kolonial, berarti kau harus siap menyerahkan selangkangan tanpa dibayar. Demikianlah yang dilukiskan Eka Kurniawan dalam buku Cantik Itu Luka, figur perempuan dijadikan objek seksual kaum lelaki dan kecantikan menjadi momok yang menakutkan pada saat itu. Perempuan yang dianggap cantik dan sehat akan diberikan gaun serta alat rias sebelum disetubuhi oleh empat sampai lima lelaki dalam satu malam. Mereka dijadikan sukarelawan untuk memenuhi nafsu birahi tentara Jepang yang sakit di rumah pelacuran. Beberapa perempuan pribumi dan keturunan Belanda digambarkan berlari dari kamar dalam keadaan telanjang. Bahkan, seorang perempuan yang berniat mengabadikan dirinya menjadi biarawati sebelum perang, meneriakan beberapa baris Mazmur ketika seorang lelaki Jepang tengah membobol kemaluannya. Hal ini menjadi ironi karena sejak kecil kita dijejali pemahaman bahwa perempuan cantikď‚žtentunya dengan standar tertentu adalah anugerah dari Tuhan dan karenanya suatu keberuntungan. Dalam novel ini, jika ditilik secara saksama, ada aroma perjuangan terhadap kuasa patriarki yang masih dilanggengkan. Sebagaimana karya Eka yang lain, ia membungkus ceritanya dengan alur maju-mundur yang tak mudah ditebak. Maka tak heran bila pada lembaran pertama, alih-alih langsung mengkritisi makna cantik, Eka justru mengawali kisahnya dengan seorang perempuan yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematian. Orang-orang mengenalnya sebagai pelacur tersohor yang memiliki kecantikan luar biasa sejak masa penjajahan Jepang, Dewi Ayu yang mati pada usia 52 tahun.

Kebangkitan dari kuburnya digambarkan cukup mistis dengan kuburannya yang bergoyang, retak, tanahnya berhamburan, menimbulkan badai dan gempa kecil, rumput dan nisan yang melayang. Membuat seorang perempuan melempar bayinya ke semak-semak, seorang ayah menggendong batang pisang, lelaki yang terperosok ke dalam parit, orangorang tak sadarkan diri, dan sisanya berlari 15 kilometer tanpa henti karena melihat Dewi Ayu yang berdiri dengan terbungkus kain kafan. Pembukaan novel Cantik Itu Luka mengingatkan saya dengan novel lain yang ber-genre horor: bangkit dari kubur untuk membalas dendam masa lalu. Uniknya, tokoh Dewi Ayu justru kembali ke dunia hanya untuk melihat wajah anak perempuan keempat yang pernah dilahirkan sebelum ia mati. Sekaligus membuktikan kemujaraban doa yang pernah ia panjatkan dahulu ketika ia ingat; di kamar mandi, di dapur, atau ketika lelaki sedang menindih tubuhnya, meski telah bertahun-tahun sebenarnya ia tidak lagi percaya. Berbanggalah Dewi Ayu dengan doa ia yang panjatkanď‚žkepada siapapun yang mendengar menjadi nyata. Anak yang ia lahirkan dan diberi nama Si Cantik memiliki kulit hitam seperti terbakar hidup-hidup, hidung seperti colokan, mulut seperti celengan babi, dan telinga menyerupai gagang panci. “Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.â€? -Dewi Ayu. (hal. 4) Sebab, ketiga anak perempuan lainnya yang berwajah cantik dinantikan oleh para lelaki untuk ditiduri. Anak-anaknya lalu membuat lelaki patah hati dengan sengaja. Kecantikan, bagi Dewi Ayu, akan berakibat buruk bagi mereka sendiri, seperti dirinya yang menjadi pelacur, atau perempuan cantik lain yang di-


RESENSI

Judul : Cantik Itu Luka Penulis : Eka Kurniawan Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Kesebelas, Agustus 2016 Tebal : 479 halaman

paksa jadi gundik orang Belanda. Karenanya, ia ingin melahirkan anak perempuan yang buruk rupa. Namun, tiba-tiba Si Cantik hamil, sama seperti dirinya yang tak pernah tahu kehamilannya oleh lelaki yang mana. Dalam buku setebal 479 halaman ini, Eka Kurniawan tidak hanya menarasikan tokoh Dewi Ayu atau Si Cantik melainkan kehidupan orang-orang terdekat Dewi Ayu, seperti lelaki yang menyetubuhinya, tiga anaknya yang lain, tiga menantu, dan tokoh lainnya yang saling berhubungan dengan Dewi Ayu. Mengangkat Hal Tabu Dengan berlatar Kota Halimundasebuah desa di pinggir pantai sepanjang masa penjajahan kolonial hingga pasca-1965, Eka menggambarkan segala hal secara detail, bahkan menceritakan hal yang dianggap tabu di masyarakat, seperti penggambaran adegan seksual. Secara pribadi, saya tidak keberatan dengan penggambaran yang jelas seperti itu. Sebab, novel ini bukan sekedar menceritakan tentang

Secara keseluruhan, novel ini bisa menjadi rekomendasi bagi orang yang ingin menyelami sisi lain kehidupan. Sebab, dengan membaca Cantik Itu Luka, kita seolah menyaksikan penderitaan tanpa henti, saat kekuasaan dan kebengisan bercampur menjadi satu. Sebagaimana ketika Belanda dikalahkan oleh Jepang, orang-orang pribumi dan keturunan Belanda akan dibawa ke kamp tahanan oleh tentara Jepang. Penggambaran sejarah menjadi nilai tambah tersendiri. Kisah komunis juga disisipi dalam novel ini, sehingga pembaca bisa mengetahui sekaligus membayangkan kejadian pada saat itu. Hal yang menjadi janggal dalam novel ini adalah kedatangan hantu komunis di akhir cerita, padahal kematiannya sudah diceritakan lebih dulu. Eka Kurniawan menutup novelnya dengan sangat apik, membuat pembaca berpikir melalui jalan pikir tokohnya yang bernama Krisanseorang pemuda yang mencintai sepupunya sendiri dan memperkosa bibi serta sepupunya yang lain. “Apa yang salah dengan perempuan buruk rupa? Mereka bisa dientot sebagaimana perempuan cantik”. –Krisan (hal.477) Tak ada bedanya, sebab cantik itu luka.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

43

FOTO : SUMBER ISTIMEWA

gaya seksualnya saja tetapi juga mampu menyampaikan hal-hal yang pantang dibicarakan di masyarakat. Namun, bagi orang yang belum terbiasa dengan bacaan seperti ini mungkin akan menganggap kalimat yang digunakan begitu frontal, vulgar, dan binal.


TERAS SASTRA

Pengkhianatan Harapan Oleh : Firda Chynthia

T

44

atkala hidup semakin mustahil untuk sekadar berangan, apalagi bercita-cita, sedang kaki masih bisa berdiri dan tak mati terkapar di kolong jembatan pun sudah jadi kesyukuran yang berlebih di masa itu. Masa saat Jepang menduduki Jawa pada Maret 1942. Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam keadaan serba mencekik. Tak hanya terasa tercekik di leher, perut, dan otot, tapi juga menjalar hingga ke harga diri dan martabat sebagai manusia. Tangan masih bisa makan, namun yang hendak dimakan susah didapat. Orang-orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan dan pasar bukanlah hal mengherankan. Apa daya, kekuatan Jepang di tanah Hindia-Belanda lebih dahsyat dari kekuatan Tuhan, apalagi jika dibanding masyarakat petani biasa. Mau tak mau cara mengakhiri cekikan yang semakin menyesakkan dada adalah mati. Di kehidupan yang serba sulit demikian, pada 1943 kabar menyenangkan akhirnya bertiup di tengah-tengah masyarakat Jawa. Muncul kabar berdesus kalau Pemerintah Bala Tentara Pendudukan Dai Nippon mencanangkan program menjanjikan, yaitu memberi kesempatan belajar pada para pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Hal ini dilakukan demi mengejar kemenangan Perang Asia Timur Raya. Walaupun status kabar itu masih sekadar desas-desus, tetapi kabar yang datang dari Pemerintah Bala Tentara Jepang itu memiliki nilai kebenaran yang setara dengan berita di koran harian dan majalah yang juga milik Pemerintah Jepang. Mulut sama bicara dan telinga sama mendengar hingga desas-desus kabar tersebut sampai pada Minah. *** Sudah seribu pagi Minah lewati dengan bertungkus-lumus di sawah. Minah juga masuk

ke dalam daftar manusia tercekik pada masa pendudukan Jepang itu; hidup begitu sempit, jangan coba-coba mengharap punya penghidupan yang layak. ‘Sampai kapan saya harus hidup begini?’ sudah seribu pagi pula umur pertanyaan itu hidup di kepalanya. Minah menutup panci yang berisi rebusan pisang uli untuk makan malam. “Nak, besok pagi sudah masuk panen, alhamdulillah,” ucap ibu Minah dari ruang tengah gubuk yang terdengar sampai belakang gubuk tempat Minah merebus. Maklum, gubuknya tidak begitu luas. “Iya, bu. Minah tahu. Besok kita lebih pagi yo berangkatnya,” sahutnya. Pikirannya tiba-tiba bergulat, sibuk memikirkan cita-citanya. ‘Halah, mana mungkin aku bisa jadi guru? Apa yang mau diajari? Wong cuma bisa urusi kerjaan rumah. Andai saja saya anak lurah seperti Dewi, mungkin bisa lanjutkan sekolah lagi. Enak sekali tidak perlu repot-repot bertani tiap ha─‘ “Minah! Yang kamu rebus itu mau kamu buat lembek sampai jadi bubur pisang? Sudah matang itu!” tegur ibunya. Minah terlalu larut dalam imajiner yang ia bangun tiap sunyi itu sampai lupa kalau air rebusan pisangnya sudah hampir kering. “Gusti! Iya, bu. Ini Minah matikan apinya,” buru-buru disiramnya tumpukkan kayu bakar. Esoknya, pagi-pagi sekali, ia dengan keluarga kecilnya sudah meninggalkan gubuk menuju sawah biasa mereka bertani. Seperti yang diharap, padi-padi sudah menguning. Hasil panen tidak bisa langsung jadi hak milik, sudah pasti karena sawah itu di bawah kuasa pemerintahan Jepang. “Bu, sudah setahun Minah lulus dari sekolah rakyat,” ucap Minah membuka percakapan di suatu siang selepas panen hari itu dengan


ILUSTRASI : ASPIRASI/ Gadis Mg.

ibunya. “Iya, Nak. Tapi kamu kan mengerti, keadaan sedang sulit. Kamu masih bisa makan hari ini saja ibu sudah senang. Kamu tidak usah repot-repot mau bahagiakan bapak sama ibu dengan jadi guru,” ucap ibunya yang sudah hafal ke arah mana pembicaraan Minah.

“Sudah, sudah,” ucap ibu Minah mengakhiri pembicaraan yang tak ada habis itu. Terhitung setahun sejak percakapan itu, Minah sudah mulai berbesar hati mengubur impiannya. Ia berpikir, Tuhan sudah menakdirkan kalau pencapaian terbesar di hidupnya hanyalah sebagai seorang petani. Lagi pula juga tak ada yang salah dengan itu. Sampai di suatu siang, terdengar suatu kabar dari mulut-mulut penguasa yang berpangkal dari Sendenbu, badan yang dibentuk oleh Kekaisaran Jepang, yang berisikan janji. Janji itu diteruskan sampai ke mulut lurah, perabot desa, hingga Kumichoo atau kepala Rukun Tetangga (RT). Kemudian sampai ke mulut bapak dan ibu Minah. “Nak, ada kabar yang disampaikan dari Kumichoo kalau Pemerintah Jepang ada program mau sekolahkan perawan-perawan remaja pribumi di Tokyo dan Shonanto.” ucap bapak Minah saat Minah sedang beristirahat hendak pergi tidur. Sedang ibunya sudah dikuasai alam bawah sadarnya. “Yang betul, pak?” Minah yang sudah berbaring sontak duduk memberi perhatian penuh

“Betul, anak gadis pak bupati juga sudah diberangkatkan,” jawab bapaknya datar. Tidak kelihatan perasaan senang haru karena mendapati kabar yang bisa menyelamati harapan gadisnya itu. Justru nada bicaranya berat. “Apa ada kesempatan bagi Minah, pak? Walaupun Minah bukan seorang anak bupati?” tanya Minah cemas. Mendadak tubuhnya lemas. Nada bicara bapaknya ia artikan seakan program Dai Nippon tidak berlaku bagi anak petani sepertinya. “Ada, nak. Semua perawan remaja pribumi bisa ikut. Tapi, berat rasanya bagi bapak kalau kamu juga turut pergi.” Kini Minah paham arti dari nada bicara bapaknya itu. Nafas Minah memberat. Kini mimpinya sudah terjawabkan, namun bapaknya tak searah dengan jalan yang harus ia tempuh. Mulai terasa sesak di ujung tenggorokannya, ia menahan isak. “Pak, walaupun mimpi ini sempat Minah kubur dalam-dalam, tapi Minah masih ingin sekali mewujudkannya, pak. Minah ingin sekali bisa bahagiakan bapak sama ibu,” kini Minah tengah menahan air mata di pelupuk. “Minah tidak mau bapak sama ibu bertani terus sedang nasib keluarga tak pernah berubah,” lanjutnya. Minah tak mampu menanggung pertahanan air matanya yang kini sudah menyeruak keluar. Demikian kuatnya harapan itu hidup dalam jiwanya.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

45

“Iya, bu. Tapi Minah juga mau tinggikan keluarga,” balas Minah.

pada bapaknya. Ini adalah jawaban dari segala harapan untuk seorang gadis yang bercita-cita menjadi manusia berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa seperti dirinya.


TERAS SASTRA

“Iya, bapak mengerti. Tapi, bapak ini orang tua kamu, Minah. Bapak yang bertanggung jawab atas penghidupan kamu kalau terjadi segala rupa terhadap kamu di negeri seberang sana,” bapaknya menundukkan pandangannya. Ia belum rela menerbangkan kupu-kupu semata wayangnya. “Demi bapak sama ibu, Minah teguh, pak. Minah teguh dengan tanggung jawab yang Minah bawa sampai Minah kembali lagi ke gubuk ini untuk menjadi kebanggaan bagi bapak sama ibu. Minah pasti bisa jadi guru, pak,” ujar Minah meyakinkan bapaknya yang khawatir penuh dengannya. Namun, Minah harus melawan kekhawatiran itu dengan keyakinan yang ia punya. Ia tak bisa melewatkan kesempatan yang mustahil diberikan dua kali oleh Pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon.

46

“Baik, nak. Kalau begitu keinginan kamu, tak pantas bagi bapak untuk menghalangi mimpi mulia anaknya. Bapak juga sudah bicarakan dengan ibu mengenai ini.” Minah segera menjatuhkan badannya kepelukan bapaknya. Air matanya belum kunjung henti sejak tadi, bahkan kini bertambah deras. Malam itu menjadi malam yang tak pernah Minah lupa. *** Tak lama sejak itu, suatu sore datang membawa perpisahan. Tentara Jepang tiba di depan kediaman keluarga Minah dengan membawa motor keblak, sepeda motor dengan jok di sampingnya. Para perawan yang diberangkatkan dijemput langsung di rumah, tak ada perpisahan macam di pelabuhan saat hendak naik ke kapal. Juga tak ada persiapan untuk keberangkatannya itu. Minah pun hanya membawa dua perangkat ikat pinggang yang terbuat dari kain atau setagen dan selendang pelangi milik ibu, serta harapan yang menyala-nyala di dada. Itu saja. Sedang tentara itu sudah memaksa Minah segera ikut dengan mereka. Motor keblak mulai jalan, kepulan debu dari putaran roda itulah yang menjadi tanda perpisahan antara kedua orang tua dengan anaknya. Mereka melambaikan tangan. Air mata berlinang tak karuan di wajah ibunya. Sedangkan air mata bapaknya cukup disimpan di dalam dada dan ikut mengalir bersama darah

kendati berat pula hatinya dengan kepergian Minah. Minah sendiri sudah menangis sejak tadi, tetapi harapannya sudah menguasai kendali dirinya sampai tak bisa lagi ia tolak perpisahan itu. Dalam hati ia berteguh, disuatu hari nanti saat kepulangannya, ia akan menjadi kebanggaan besar untuk keluarganya. Motor keblak itu membawanya ke tempat yang dipagari bambu tinggi-tinggi sampai tertutup sebuah rumah besar di belakangnya. Di rumah itu ada sekitar 40 orang perawan lain yang juga sebaya. Rumah itu menjadi tempat pengumpulan sebelum diberangkatkan ke tujuan. Setiap hari ia tak mengerjakan apapun selain makan dan tidur. Tiap hari pula temannya berkurang karena ada yang sudah dibawa ke pelabuhan dan bertambah karena datang perawan remaja baru yang mengikuti program Dai Nippon. “Ratih! Jihan! Murti! Dwika! Gendis! Rahmah! Minah!” teriak opsir Jepang memanggil rombongan yang akan berangkat hari ini. Mereka bergegas menuju mobil besar tertutup. Akhirnya tiba hari saat Minah berangkat dengan puluhan teman sekampungnya menuju negeri seberang. Sesampainya di pelabuhan, para perawan berjalan menuju kapal dengan penjagaan ketat dan terburu-buru. Minah berjalan mengikuti rombongan bersama perawan lain yang juga datang dari daerah luar kampungnya. Di kapal itu, ia disatukan dengan ratusan perawan lain. Baru kapal diinjak, seorang Jepang yang memandunya langsung menggerayangi tubuh Minah dengan lancang. ‘Apa-apaan ini!’ berontak Minah dalam hati. Ia berusaha menangkis tangan liar yang mengusik harga dirinya. Pria itu hanya tertawa, “Nona cantik,” godanya. Pria itu segera membawa Minah terpisah dari rombongannya. Lagipula rombongan itu sudah bubar karena temannya juga mengalami hal yang sama oleh pria Jepang lain. Mereka dipisahkan. Masing-masing pria berjalan membawa satu perawan yang entah dibawa kemana. “Pak, lepaskan!” Minah menghindar-hindar, namun pria itu mencekal tangan kecil Minah. “Sstt..,” desis pria itu mencoba menenangkan. Diciuminya Minah sambil dipaksa mengikuti arah jalannya. Minah menolak, ia menjauhkan


TERAS SASTRA

wajah pria itu darinya sembari melangkah besar-besar menyamakan langkah pria Jepang itu. “Lepas! Lepas!” berontak Minah sangat mengganggu pria itu hingga dibekapnya mulut Minah dengan tangan besarnya. Minah menangis sejadi-jadinya.

kekuatan untuk menolak apa yang baru saja diperlakukan kepadanya. Pria itu kemudian datang lagi, esoknya, lusanya, dan seterusnya. Perbuatan itu diulangi sampai Minah menangis dan pingsan lagi entah untuk keberapa kali. Malang nian nasibnya.

‘Klek’ suara pintu dikunci. Minah kini tahu kemana dirinya dibawa –ke kamar kapal yang berukuran 3x3 meter, dengan pintu terkunci.

Pada suatu pagi, kapal berhenti. Ia dan remaja lainnya turun dari kapal dan digiring menuju sebuah rumah. Lega sekali Minah karena telah lepas dari cengkeraman pria gundul itu. Namun, nasib ternyata tak membaik.

Tubuh kecil Minah dilempar ke ranjang putih. Dengan ganas pria Jepang yang gundul itu memaksa Minah untuk tetap dalam posisi berbaring. “Lepas!” Minah tak menyerah. Tangan Minah memukul-mukul dada pria yang kini sudah berada diatasnya. Ia berusaha untuk bangun dan membanting-bantingkan kepalanya. “Lepaskan saya!” Minah meronta tak berdaya.

Kini kain penutup tubuh Minah sudah lepas dari sang empunya. “Bapak mau apa, jangan telanjangi saya!” Minah tak diberi kesempatan untuk meraih kain miliknya yang sudah dilempar jauh dari ranjang. Minah tidak mengerti apa yang sedang dan akan terjadi, yang hanya ia mengerti adalah sesuatu yang buruk sedang menimpa dirinya. Dibukanya lebar-lebar paha Minah, kemudian tangan besar pria itu menahan kedua tangan mangsanya. “Aaah!” Minah teriak kesakitan karena ada benda asing yang terbelam ke dalam kemaluannya.

Tak lama datang rombongan gadis Cina. Minah tidak ditiduri lagi seperti biasanya karena sering jatuh sakit. Minah gunakan kelengahan para pria itu untuk melarikan diri masuk ke hutan dan kemudian menemui orang Alfuru yang sedang mencari sagu. Minah diajaki dan dibawa ke rumah mereka. Diperlakukan seperti keluarga kecil. Wanita mungil itu kini harus bertahan hidup diperasingan. Ia telah menjadi buangan di tanah yang kini diinjakinya–Pulau Buru. Tidak ke Tokyo ataupun Shonanto. Semua itu hanyalah tipu daya Jepang untuk terus memproduksi perbudakan seks perawan pribumi. Di lubuk hati, ingin sekali Minah kembali ke gubuk kecilnya bersama bapak dan ibunya, namun tak ada jalan baginya untuk itu. Lambat laun, ia sendiri yang membangun keluarga kecil dengan orang Alfuru di Buru. Tanpa kabulan menjadi guru.

“Sakit! Lepaskan saya!” Minah meronta seadanya dengan sisa tenaga yang ada. Pelangi yang ada di pinggir ranjang diraihnya untuk menutupi wajahnya. Kini Minah telah siuman setelah pingsan tak kuat menghadapi penganiayaan tadi. Ia tergeletak di ranjang tak berkutik. Pria Jepang itu telah pergi entah kemana. Kini harapan membawa kehormatan saat ia hendak kembali ke rumahnya nanti telah lenyap. ‘Apa dosa hamba?’ ia kembali menangis. Sudah badan semua sakit, kemaluannya bengkak, harga diri pun diinjak. Sedang ia tidak punya

** Cerita fiktif ini terinspirasi dari kisah nyata Kartini–satu dari ribuan korban Jugun Ianfu yang merupakan sebuah kejahatan perang oleh Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia. Kisah ini ditorehkan dalam catatan Soeprihono Koeswadi pada Februari 1976 yang kemudian dimuat dalam buku “Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru” karya Pramoedya Ananta Toer.

ASPIRASI | EDISI 91/2018

47

Pria Jepang gundul itu begitu terburu-buru dan kasar. Segera dilepaskannya dengan paksa setagen yang Minah pakai. Baju dari batik yang Minah pakai juga tak luput dari penguasaan pria gitu. “Jangan!” teriak Minah histeris. Gelombang suara teriakkan Minah sepertinya tidak sampai di telinga pria itu. Pria itu tak peduli dan terus melancarkan aksinya sambil tertawa tak karuan. Bengis.

Di dalam rumah itu, Minah justru harus menjadi mangsa untuk empat pria Jepang disana. Tak ada malam Minah lewati tanpa harus melayani mereka. Ia sudah sadar betul program yang Pemerintah Balatentara Jepang janjikan itu tinggalah janji. Ia dan entah ratusan atau ribuan perawan remaja lainnya telah menjadi korban durjana para iblis itu.


RENUNGAN

Kisi-kisi, antara Nilai atau Ilmu? Oleh : Donal Cristoper Siahaan

T

ak seperti biasanya, kali ini ruang kelas sudah dipenuhi mahasiswa sepuluh menit sebelum mulainya pembelajaran. Yang biasanya enggan untuk hadir, kini mengikuti pembelajaran di kelas. Yang sering duduk di belakang pun berebut pindah ke depan.

Thalia, Ana, Lena, dan semua mahasiswa yang hadir pun keluar meninggalkan kelas sambil tersenyum senang. Dengan perasaan lega, karena bisa belajar dengan cakupan materi yang lebih sempit, bahkan hanya belajar dari soalsoal yang diberikan.

“Khusus pekan ini gua bakal rajin masuk kelas nih,” kata Thalia pada Ana.

***

48

“Yah elu Thal, sama aja kayak gua. Secara ini kan pekan terkahir kuliah sebelum UAS. Pasti kisi-kisi sekarang dibagikan,” saut Ana diikuti ketawa kecil dari keduanya. “Eh, eh, tau enggak? Kelas lain sudah dapat kisi-kisi loh, tapi bukan soal. Semoga saja Pak Roberth ngasih kisi-kisinya menjurus ya, langsung soal gitu,” sela Lena memotong tawa mereka. “Serius lu Len? Parah sih kalau kisi-kisinya cuma nyebutin materi, kan banyak banget materinya,” jawab Ana. “Ehh, tapi kata senior-senior pak Roberth baik kok, kisi-kisinya langsung soal.” Thalia pun langsung menghembuskan nafas lega. “Syukur deh, semoga saja benar,” tutur Thalia. Beberapa saat kemudian pak Roberth memasuki kelas. Para mahasiswa terlihat kondusif, dan antusias menerima materi terakhir di semester ini. Buku catatan, dan pulpen menghiasi setiap meja. Saat di penghujung waktu belajar, tepatnya 15 menit sebelum usai. Pak Roberth menampilkan soal-soal di laptopnya yang telah terhubung ke proyektornya. Mahasiswa yang sedari tadi memegang pulpen dan bukunya pun langsung beralih memegang smartphone-nya. Menyiapkan kameranya, memasang mode “zoom” guna mengambil foto terbaik dari soal-soal yang dijadikan kisi-kisi tersebut. Dengan cekatan, mereka mengambil setiap gambar.

Akhir-akhir ini, mahasiswa sering kali mengandalkan kisi-kisi untuk menghadapi UAS. Belajar secara instan, dengan bahasan materi yang sedikit. Nyatanya, kisi-kisi yang didapat mahasiswa tidak selalu nama pokok materi, melainkan kumpulan beberapa soal yang nantinya dikeluarkan saat UAS. Hadirnya kisi-kisi mungkin ditujukan untuk memudahkan mahasiswa saat mempersiapkan UAS. Namun, hal ini membuat mahasiswa enggan untuk memahami setiap materi yang didapat selama setengah semester. Kisi-kisi ini justru terkesan seperti jalan pintas untuk mendapatkan nilai bagus. Sebenarnya, apa yang diincar mahasiswa di kuliah? Nilai, sebagai tolak ukur hasil akademisnya? Atau pemahaman materi? Ilmu atau nilai, manakah yang dikejar mahasiswa sekarang? Apakah hanya nilai yang dikejar dengan berkedok ilmu di depan dosen. Apakah mereka terbiasa dengan kisi-kisi yang pernah didapat, sehingga membuat mereka malas untuk memahami ilmu dari setiap mata kuliah yang diambilnya? Padahal saat mata kuliah dapat dimengerti dengan baik, bukankah nilai yang tinggi akan mengikutinya? Untuk mengejar nilai dengan kisi-kisi, tak akan membuat mereka mengerti materi. Melainkan hanya cara instan untuk menghafal sesaat, demi mendapat nilai bagus.


www.aspirasionline.com

good leaders must first become good servants - Robert Greenleaf

FEB FISIP

FIK UKM

FK

FH ORMAWA

FIKES

FT

PR

RE GU

ES TA

LA

SI

SI INFRASTRUKTUR

JAM MALAM

ILUSTRASI : DEDEN ABDUL QOHAR



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.