3 minute read

Bukan Egois Saat People Pleaser Prioritaskan Diri Sendiri

Bukan Egois Saat People Pleaser Prioritaskan Diri Sendiri

Oleh: Ayu Anggraeni | Desainer: Rakha Yusan Al Hafizh | Ilustrator: Riris Metta Karuna

Advertisement

Apakah kamu sering merasa nggak enak untuk menolak permintaan orang lain? apakah kamu mengalami keraguan saat berinteraksi dan khawatir terjadi konflik? dan apakah kamu sering berusaha menyenangkan orang lain tanpa mementingkan dirimu sendiri? jika jawabanmu adalah 'iya', maka kamu termasuk seorang people pleaser.

Dalam ilmu Psikologi, people pleaser termasuk dalam gaya perilaku dasar submitif. Seperti yang diartikan oleh Rara Ririn Budi Utaminingtyas, Dosen Psikologi Jurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Semarang (Polines). Ririn mengartikan bahwa people pleaser adalah orang yang termasuk dalam karakteristik submitif. Perilaku submitif ini ialah perilaku seseorang yang mengalami keraguan saat berinteraksi, kekhawatiran terjadinya konflik, dan cenderung berperilaku pasif.

Jangan berlebihan apalagi sampai merugikan diri sendiri

Sifat people pleaser sebenarnya termasuk dalam sifat yang positif. Dimana sebagai makhluk sosial, manusia sudah sepantasnya membantu kerabatnya yang sedang membutuhkan. Namun, people pleaser bisa sangat merugikan seseorang jika terlalu berlebihan. Apalagi seorang people pleaser itu cenderung pasif, kurang respek pada diri sendiri, menganggap orang lain memiliki kemampuan yang lebih, sulit mengungkapkan perasaaan serta sulit keluar dari zona nyamannya.

Firdan Fadlan Sidiq, penulis buku “Catatan Separuh Sarjana” ini mengungkapkan bahwa sebagai makhluk sosial, setiap orang harus ada keinginan untuk menjadi yang terbaik bagi orang lain. Namun, jika kadarnya tidak sesuai akan berdampak tidak baik. Ia juga menuturkan bahwa saat seseorang memiliki kepribadian people pleaser yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya prinsip dan jiwa leadership pada diri sendiri. Selain itu, kemampuan untuk memengaruhi orang lain dan daya pikat pengaruh orang tersebut akan berkurang. “Ketika orang memilih untuk menjadi seorang people pleaser itu sangat baik, sosialis sekali, dan berperikemanusiaan. Tapi harus dengan kadar yang cukup, tidak terlalu berlebihan,” tutur Fadlan.

Saat ini, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya merupakan seorang people pleaser, seperti yang dialami oleh Andini Ayuningtyas, salah satu mahasiswi Jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Tidar. Andini mengungkapkan bahwa dirinya sering dimintai pertolongan oleh temannya untuk menyelesaikan keperluan di kampus selama kuliah daring ini. Perasaaan nggak enak saat menolak permintaan dari teman-temannya, membuat dirinya rela melakukan suatu hal. Ia tidak menyadari bahwa yang dilakukan dirinya tersebut termasuk karakteristik seorang people pleaser. “Sebenarnya merugikan dan melelahkan, karena bagaimanapun aku juga orang biasa,” ujar Andini.

Pentingnya memprioritaskan diri sendiri

Menjadi seorang people pleaser memang melelahkan dan merugikan diri sendiri. Nggak hanya itu, bahkan dapat membunuh karakter pribadi secara perlahan. Oleh karena itu, penting sekali seorang people pleaser lebih memprioritaskan dirinya sendiri. Beberapa cara dapat dilakukan untuk lebih mengutamakan diri sendiri dan tidak memiliki sifat people pleaser yang berlebihan. Poin utama ialah perlunya sebuah motivasi untuk lebih menghargai dan mempriotitaskan diri agar tidak menjadi seorang people pleaser. Untuk itu, diperlukan latihan agar dapat percaya diri dan berani menyatakan pendapat. Membuat senang orang lain, nggak perlu sampai menyusahkan diri sendiri. Berani menolak dengan alasan yang tepat saat diri sendiri tidak mau melakukannya. Selain itu, perlunya membuat skala prioritas dan memperkuat manajamen diri dan waktu agar dapat mempertimbangkan mana yang harus diutamakan sehingga tidak menyulitkan diri sendiri serta bisa membantu dengan ikhlas.

Memang tidak mudah ketika seorang people pleaser mencoba untuk membentuk set bounderies sebagai bentuk self love pada dirinya. Terkadang, kebanyakan orang malah menganggap itu egois. Namun, tidak usah terlalu mempedulikan omongan orang lain. Ikutilah standar kemampuan diri, serta seberapa sanggup dan bisa diri kita melakukan suatu hal. Karena yang terpenting adalah diri kita sendiri. Agar ketika kita bisa peduli kepada orang lain, kita juga harus bisa peduli dengan diri sendiri. Jangan memaksakan sesuatu hanya untuk menyenangkan dan terlihat baik dihadapan orang lain, padahal sesungguhnya diri sendiri tidak mampu dan tidak ikhlas melakukannya. Jika bisa membantu orang lain, maka harus bisa membantu diri sendiri dengan cara menyanyangi dan lebih mempedulikan diri sendiri.

This article is from: