5 minute read

Cerpen: Jangan Takut untuk Pulang

Jangan Takut Pulang

Oleh : Tita Tri Uma | Ilustrator : Safiatun Naja | Desainer : Zakiyah

Advertisement

“Jangan lupa makan sarapannya ya, pa! Aku pesan Bu Pina masakin bekal buat papa, telurnya setengah mateng aja spesial kesukaanya papa”

“Iya sayang, kamu juga segera siap-siap mandi habis ini, papa tahu kalau sudah mau masuk jam kuliahmu sebentar lagi”

“Papa tahu aja, iya ini aku bakalan mandi kok, soalnya jam 9 nanti baru mulai Zoom Meeting buat mata kuliah Pancasila-nya”

“Apa sih yang papa tidak tahu dari anak kesayangan satu ini”

“Anak papa kan memang cuma satu, eh papa sudah mau take off ya?”

“Sebentar lagi akan naik pesawat, sesampainya di sana nanti papa video call ya?”

“Jangan lupa untuk pulang ya pa, Vita kangen papa!”

“Iya nak papa juga, yasudah jumpa nanti” “Jumpa nanti…” Tut….tut…tut…

Tak terasa ujung kataku lepas begitu saja bersamaan dengan tetes air mata yang sudah kesekian kalinya jatuh saat aku menelpon papa. Memang sengaja aku tahan sedari tadi agar tak terdengar bahwa berat terkadang untuk mengakhiri percakapan tanpa wujud nyata papa bersamaku. Bukan tanpa alasan, tetapi 10 bulan sudah kita hidup berdampingan dengan protokol kesehatan Covid-19 dan selama itu juga aku berkabar dengan papa hanya sekadar melalui percakapan video tanpa usapan halus membelai lembut di kepalaku.

Papaku bukanlah seorang dokter ataupun tenaga kesehatan yang mana mereka berada di garda terdepan untuk menangani virus korona, akan tetapi ia adalah seorang Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang bertugas mengawasi para tahanan di balik jeruji besi. Kegiatan yang serba daring, justru tidak menyurutkan tindak kejahatan yang seharusnya kian surut karena harus tetap berada dirumah saja. Namun nyatanya, kasus yang terjadi justru jauh lebih beragam daripada sebelumnya, mengingat hal ini juga didorong akibat kondisi ekonomi yang mulai anjlok sejalan dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja di beberapa sektor pekerjaan.

Kabar anjloknya ekonomi ini dimulai dari awal bulan Juni, yang mana saat itu aku sering sekali melihat pemberitaan di TV yang menyingkap perihal pendidikan, hingga pekerjaan sekalipun akan dibatasi ruangnya untuk sementara waktu demi memutus penyebaran virus Covid-19.

Padahal, jadwal di bulan itulah waktunya papa mendapatkan cuti kerja dan dapat pulang berkumpul bersamaku di Semarang. Tepat bulan itu pun papa sudah berjanji akan membawakanku proyektor mini untuk kita dapat menikmati film bersama. Kebetulan sekali hobi kita berdua sama-sama menonton film horor di ruang tengah dengan ditemani teh melati tawar hangat oleh-oleh dari nenek di kampung halaman. Teh melati khas racikan nenek yang bahkan sampai sekarang masih tersisa banyak dua kotak penuh, padahal sudah lebih dari dua tahun berada di dalam rak dapur sejak nenek berkunjung dari Makassar terakhir kali.

Sederhana memang hal yang sering kita lakukan bersama, bahkan terbilang sangat jarang ketika papa pulang dan mengajak pergi ke luar kota untuk liburan bersama. Sesederhana menanam sayuran di kebun belakang rumah yang terbilang cukup kecil hanya sebesar dua meter persegi, kemudian berkeliling kota di sore hari sambil menikmati indahnya senja jingga yang mulai berlarut hingga petang menutup seluruh langit kota, lalu tak lupa membeli es krim dan memakannya langsung di pinggir taman yang berkisar hanya 10 langkah dari rumahku, atau hanya sekedar mempraktikkan resep memasak yang papa dapatkan dari intenet.

Bagi papa waktu pulang dan berkumpul bersamaku adalah masa istirahat dari kesibukan kerja kantornya. Biasanya papa akan pulang setelah enam bulan bekerja dinas, namun berbeda untuk tahun ini yang sangat terasa lama bagiku. Masa pandemi membuat kerja papa dalam mengawasi tahanan jauh lebih kompleks dari sebelumnya, mulai dari penerapan protokol kesehatan dan pengecekan kesehatan rutin pada setiap orangnya membuat kinerja papa hampir tak berjeda.

“Huft, aku harus segera bergegas masuk Zoom.”

Tepat pukul 11 siang, aku menyelesaikan kuliahku, sembari itu juga aku langsung buru-buru mencari telpon genggamku yang kutinggal sedari tadi sejak kuliahku dimulai.

“Nah itu dia ketemu!” sembari menunjuk ke arah kasur tepat di atas bantal letak gawaiku berada.

Dengan heran aku mendapati bahwa tidak ada satu pun pesan maupun telpon dari papa, sudah lebih dari tiga jam sejak jam keberangkatannya.

“Harusnya papa mengabariku sedari tadi, jarak tempuh penerbangannya kan hanya berkisar satu setengah jam!” sambil menggulir laman media dengan rasa kesal. Tak perlu berpikir lama, aku lah yang balik menelpon papa, walaupun harapku papa lah yang seharusnya menelpon jika sudah sampai di tujuan nanti.

Rasa kesalku pun memuncak ditambah dengan telpon papa yang masih tidak aktif.

“Padahal papa udah berjanji padaku untuk mengabari setelah sampainya di Mamuju,” lagi-lagi aku tak hentinya memaki keadaan.

Mamuju adalah tempat kunjungan kerja pertama papa sejak pandemi ini dimulai. Sebelumnya papa mengabariku bahwa kunjungannya kali ini hanya untuk mengawasi kinerja kantor se-wilayahnya saja, dan akan menginap selama tiga malam di sana.

“Dek, buka pintu belakang, mba mau masuk”, teriak tanteku dari dalam garasi rumah yang memintaku untuk membuka pintu belakang agar ia bisa langsung masuk dan berlanjut untuk segera mandi. Hal ini sengaja dilakukan semenjak pandemi tak lain dan tak bukan karena pekerjaan tanteku yang mengaharuskannya bertemu dengan banyak orang sebagai customer service di salah satu bank syariah.

Aku pun bergegas untuk membuka pintu sembari bercerita dari jauh bahwa papa belum mengabariku sedari tadi, dan betul sekali kita seperti orang yang berada di pasar saling bersaut dengan nada yang tinggi.

“Mba, masa papa belum juga telpon sedari tadi sih!”

“Bukannya papamu langsung lanjut kerja sesampainya disana?”

“Papa udah janji bakal video call aku, kan seharusnya bisa tuh sebentaran”

“Sudahlah merengek aja kamu ini, ambilkan handukku dulu sana!” “

Aku tuh kangen banget mba, dasar pandemi ini!” sembari memberikan handuk biru muda bergambar bunga di sisinya.

“Oiya dek, besok hari ulang tahun mama jadi kan?”

“Pastinya dong mba, seneng banget bakalan ketemu mama lagi nih, besok dah ambil izin kerja kan buat nemenin aku?”

"Aman sudah urusan itu tenang, mba juga dah beli bunga buat mama, besok tinggal kita ambil deh sebelum jalan”

“Asik, besok sambil video call papa deh, jadi nggak berasa ada yang kurang sama kayak tahun sebelumnya”

“Dek, papamu jadinya ke Makassar kan bukan ke Mamuju?, aku lupa soalnya mba merinding di jalan tadi dengar radio barusan ada berita tentang pesawat yang hilang kontak”

Sontak perkataan tanteku membuatku terpaku, pikiranku terbang seketika, tak lama telpon genggamku yang sedari tadi aku letakkan di meja dapur berdering. Aku tahu itu bukan dari papa, ringtone yang mengalun berbeda, semakin nada itu berdering semakin besar rasa takut terburukku terjadi dan terulang kembali. “

Dek tuh, telpon dari pihak maskapai, angkat dulu!” Aku yang hampir kehilangan kesadaran, seketika lari tak menghiraukan sekitar.

This article is from: