Majalah DIMENSI edisi 49

Page 1




\ NAMA KONTEN \

COVER

Pelindung Dr. Totok Prasetyo, B.Eng, M.T. Penasihat Garup Lambang Goro, S.T., M.T. Pembina Drs. Khairul Saleh, M.S.I. Pemimpin Umum Dian Adi Pratama Sekretaris Umum Syaiful Anam Bendahara Umum Ade Ulfa Arsiyana Pemimpin Redaksi Bela Jannahti Sekretaris Redaksi Ratih Widyaningrum Redaktur Pelaksana Ika Safitriana, Reza Annas Ma’ruf Redaktur Bahasa Vitri Dwi A., Yuniar Cahyani Editor Inadinna Fadhliyah, Rifka Shofia A. Reporter Arum Ambarwati, Dwiki Ilham R., Dyah P. (non aktif), Eka Widyaningrum (non aktif), Irma Novita, Ninda Prastika (non aktif), Nofia A. (non aktif), Nur Ainingsih (non aktif), Putri K. (non aktif), Septina Budi (non aktif), Tiara Dian M. (non aktif) Redaktur Foto Ido Ridwan Fidyanto Fotografer Dwiki Lutvi (non aktif), M. Iftor Hilal, M. Yanuar Nur Adi, Nurul Rizqia S. (non aktif), Riska Putri S. (non aktif) Redaktur Artistik Galih Alfandi Layouter Annisa Ayu Lestari, Annissa Permanasari, Hilda Heramita (non aktif), Imam Agus Yunata (non aktif), M. Nur Chafidin, Sofiyan Arif K. Cyber Adita Pratiwi, Ahmad Gozali Ilustrator Eka Kurnia Saputra (non aktif) Pemimpin Litbang Muhammad Rukiyat Kepala Divisi PSDM Vinda Ayu Januarisqika Staf PSDM Anak Agung Maya S., Bagus Barawonda (non aktif), Siti Nurfaidah Kepala Divisi Humas Hardani Winata (non aktif) Staf Humas Fieryanti Kamaril Kusumawardhani, Intan Pranita Kepala Divisi Riset Dyah Arini Staf Riset Badra Nuraga, Ika Putri Raswati, Upik Kusuma Pemimpin Perusahaan Irfan Bagus Prasetyo Sekretaris Perusahaan Miftahul Jannah P. P. Bendahara Perusahaan Maulida Arta S. Kepala Divisi Periklanan Haidar Erdi A. (non aktif) Kepala Divisi Usaha Non Produk Dhanie Setiarini (non aktif) Staf Periklanan dan Usaha Non Produk Aliza Rahmawati (non aktif), Ash Sulcha (non aktif), Ira Sari N. (non aktif), Miqdar Nafisi, Shella Widayanti (non aktif), Tiwik Nur H. (non aktif) Kepala Divisi Desain Iklan Siswoyo Staf Desain Iklan Eko Prabowo Mukti, Meida Noor Santi (non aktif) Kepala Divisi Produksi dan Distribusi Gassela Dita P. (non aktif) Staf Produksi dan Distribusi Agus Wijayanto (non aktif), Anwar Hamid

Model :

Alfa Rikza Mustofa Foto :

Ido Ridwan Fidyanto Digital Retouch :

Galih Alfandi

SALURKAN IDEMU ! Redaksi menerima tulisan, karikatur, ilustrasi, atau foto. Hasil karya merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran atau hasil kopi. Redaksi berhak memilah karya yang masuk dan menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah esensi. Karya dapat langsung dikirim melalui surat elektronik di lpmdimensi_redaksi@ymail.com atau dikirim ke alamat kantor redaksi di: Gedung Barat PKM Baru Lantai II No. 4-5 Kampus Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. Soedharto Tembalang, Kotak Pos 6199 Semarang 50061 Selamat berkarya!


DARI DAPUR

S

UDAH sejak lama saya menantikan saat-saat menuliskan ini. Rubrik ini memang biasanya dibuat ketika majalah sudah hampir siap untuk naik cetak atau menuju ke percetakan. Setelah melewati proses panjang yang rasa-rasanya tak kunjung berakhir, sekarang tiba saatnya bagi saya untuk menyampaikan salam sekaligus pengantar bagi pembaca.

Namun sebelum “mengantarkan” pembaca ke sajian laporan-laporan kami, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada pembaca sekalian. Saya sebagai penanggungjawab penerbitan majalah Dimensi edisi 49 ini memohon maaf kepada pembaca, khususnya segenap civitas akademika Politeknik Negeri Semarang, karena keterlambatan penerbitan. Dalam edisi kali ini, kami mengangkat isu utama berkaitan dengan budaya, yakni kondisi bahasa lokal atau bahasa daerah yang menunjukkan tanda-tanda menuju kepunahan. Bisakah Anda membayangkan bahwa bahasa daerah yang mungkin Anda gunakan sekarang, akan hilang dalam beberapa dekade kedepan? Dengan memahami bahasa, kita dapat mengenal lebih dalam tentang identitas kita sendiri. Pada rubrik laporan khusus, kami menyajikan tema yang berbeda dengan laporan utama. Adalah revolusi media pergerakan massa yang mengisi laporan khusus dalam edisi 49 ini. Nyata sekali bahwa di Indonesia, masyarakat telah memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memulai perubahan. Ungkapan “ribuan kilometer perjalanan dimulai dari satu langkah kecil” mungkin pas untuk menggambarkan betapa perubahan besar selalu dimulai dengan aksi kecil, termasuk seruan atau “kicauan”. Dalam rubrik-rubrik selanjutnya, kami ingin mengajak pembaca untuk lebih mengenal Semarang dan Jawa Tengah. Lewat pengenalan sosok, komunitas, kuliner, hingga destinasi wisata. Proses peliputan ini pun membuat kami semakin takjub, ternyata Jawa Tengah itu sangat kaya! Dan ternyata menyenangkan sekali bisa mengeksplorasi kekayaan budaya kita sendiri alih-alih mengikuti budaya asing yang perlahan tapi pasti menyisihkan budaya asli daerah kita. Namun hidup itu pilihan. Kita bisa memilih untuk bertahan berpegangan pada akar, atau merelakan diri hanyut terbawa arus. Akhir kata, selamat menikmati sajian kami dalam edisi ini dan sampai jumpa di 50. Hidup pers mahasiswa! - REDAKSI -


\ CONTENTS \

LAPORAN UTAMA

LAPORAN KHUSUS

10

34

24

24 Dari Jalanan Hingga Lini Masa 10 Menuju Kepunahan Bahasa Lokal 13 Bahasa Daerah Dihapuskan dari Kurikulum? OPINI

15 Jawablah, Siapa Peduli Bahasa Jawa?

INFOGRAFIS

18 Ragam Dialek Bahasa Jawa Tengah

SOSOK

KAMPUSIANA

TWEET UP

26 Kicauan Mereka tentang Pergerakan di Dunia Maya

INFOGRAFIS

34 Administrasi Niaga Buka Kelas Kelas Kerjasama Alfamart SPEAK UP

36 Dosen Mangkir, Masihkah Mahasiswa Mengisi Daftar Hadir?

INFOGRAFIS

40 Celengan yang Tak Lekang Zaman

29 Kronik Media Pergerakan : Dari Kaliber hingga Twitter

INCOGNITO

TRAVELOGUE

74

20 Sindhu Gesit Widiharto : Dalang dengan Putih Abu-Abu

SEMARANGAN

54 TRADISI

60

58 Nginang, Tradisi Unik yang Menyehatkan

KOMUNITAS

46 Maksimalisasi Gadget Minimalis 50 12PM : Bukan Vandal, Tapi Grafiti dan Mural

SKETSA

48 Tak Sekadar Mengejar Rupiah

PHOTO STORY

54 Urban in Grey

BACKPACKER

60 Menelisik Indahnya Pulau Napi

KULINER : LEBIH DEKAT DENGAN KULINER JAWA TENGAH 63 Lentog, Sarapan Khas Kota Kretek 64 Asle Si Teman Njagong 65 Bicara Temanggung, Bicara Bakso Lombok Uleg

PENDIDIKAN

68 Mengenal Homeschooling, Pendidikan Alternatif yang Terstruktur

SASTRA

70 Kisah Klasik Sebuah Kesedihan

RESENSI BUKU

73 Cerita dari Wartawan Muda

RESENSI FILM

74 The Act of Killing, Sepotong Rekonstruksi oleh Pelaku Sejarah 1965

KELAKAR

76 Hukum, dalam Bias Pandang Anak Bawang

78 SKETS


\ SURAT PEMBACA \

Ungkap Sisi Positif Polines,

Jangan Hanya Negatif Reza Baskara Adi - Teknik Elektro

M

EMANG tidak bisa dipungkiri sistem pembelajarannya dan hal-hal yang berhubungan langsung dengan mahasiswa yang masih sering dikeluhkan oleh sebagian mahasiswa. Memang kawan-kawan semua mempunyai hak untuk berpendapat dan mempunyai hak untuk menilai suatu apapun. Akan tetapi, kita sebagai mahasiswa yang baik jangan memandang sesuatu dari satu sisi saja. Terkadang kita menilai Polines hanya dari sisi negatifnya saja (semoga ini hanya kekhilafan saja). Mengkritik hal-hal yang kita anggap itu membuat tidak nyaman bagi kita secara pribadi lalu mengumbar kekesalan kita kepada orang lain sehingga orang lain akan tersugesti oleh ketidakpuasan kita pada suatu hal tertentu. Tentunya, ini akan berimbas buruk tentang penilaian orang lain terhadap Polines. Kita, yang kuliah di Polines juga akan juga akan dianggap kurang ‘wah’ karena penilaian orang lain terhadap Polines kurang baik. Akan tetapi hal itu akan bisa diminimalisir dengan cara kita bisa menilai secara positif terhadap Polines. Ada banyak hal positif yang ada pada kampus kita tercinta ini. Memang sistem perkuliahan Politeknik Negeri Semarang (Polines ) berbeda dengan sistem perkuliahan pada universitas pada umumnya. Perlu disiapkan kekuatan mental, fisik, kemampuan, dan kemauan yang lebih. Oleh karenanya, itulah tujuan diadakannya LDK (Latihan Dasar Kedisiplinan) pada saat awal masuk Polines yang bisa melatih aspekaspek di atas. Memang saya pribadi mengakui awalnya berat kuliah di sini, tetapi saya bisa mulai berapdatasi dengan sistem pembelajarannya perlahan-lahan. Bagaimana dengan kawan-kawan? Dan pada akhirnya saya sadar tujuan utama Polines adalah menghasilkan alumni-alumni yang bisa memberi kontribusi yang besar pada perusahaan-perusahaan level nasional, multinasional hingga internasional, apalagi perusahaan swasta yang memang mengedepankan kedisiplinan, tanggung jawab dan aturan yang sudah menjadi komitmen perusahaan untuk terus tetap bisa bersaing. Hal inilah yang mendasari mengapa sistem perkuliahan di Polines bisa dibilang ‘ketat’. Ya, karena kita akan mulai dibiasakan sejak dini dengan sistem perusahaan yang sudah menjadi kiblat untuk bisa belajar dari cara bagaimana agar bisa maju dan tetap bersaing karena persaingan dalam lapangan pekerjaan semakin lama akan semakin meningkat. Jadi, apabila kita sudah masuk pada lingkungan suatu industri, kita tidak kaget lagi dengan aturanaturan yang diberlakukan oleh suatu industri. Hal-hal kecil yang menjadi contoh misalnya, dalam perkuliahan, Senin-Kamis kita ada jadwal sehari 8 jam dan banyaknya tugas-tugas yang diberikan pada perkuliahan. Hal itu sama dengan apa yang diterapkan suatu industri yang menuntut kita untuk tanggung jawab dan disiplin pada pekerjaan kita nantinya. Jadi, bersyukurlah kita karena kita akan terbiasa dengan hal-hal tersebut.

Selanjutnya, mengenai fasilitas. Fasilitas yang ada di Polines jika dilihat dari cover-nya memang terlihat kurang mewah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Banyak yang menganggap gedungnya terlalu kecil-lah, wifi lambat-lah, ruang kelas panas-lah, peralatan di lab kurang memadai-lah, dsb. Untuk masalah gedung kenapa tidak seluas yang lainnya? Menurut saya, Polines lebih memprioritaskan dana yang ada untuk menunjang kebutuhan para mahasiswa . Seperti contohnya lab. Pada lab kita, peralatan-peralatan yang ada bisa dibilang sudah canggih sehingga kita tidak ketinggalan jaman. Saya pernah mendapatkan cerita dari seseorang yang kuliah di suatu perguruan tinggi ternama dan favorit bahwa di kampus dia tidak ada lab. Untuk bisa mempunyai lab, pihak perguruan tinggi hanya menyediakan sebuah ruangan yang kosong lalu mahasiswa sendiri yang membuat agar ruangan tersebut bisa menjadi lab dengan bagaimanapun caranya. Dan akhirnya dengan tekad dan kreativitas mereka, jadilah sebuah lab. Dan lab Polines menjadi tujuan para mahasiswa dari


luar Polines yang sedang skripsi yang kebetulan di Perguruan Tingginya tidak mempunyai lab. Maka, berbanggalah kita dan bersyukurlah kita yang mempunyai lab sendiri. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika kita tidak mempunyai lab sendiri, kita akan kerepotan untuk menganalisa suatu data jika tidak melakukan pengujian dari lab. Kita sudah disediakan dan tinggal menggunakannya saja. Enak bukan? Jadi secara praktek kita bisa menggunakan peralatan-peralatan yang ada dan secara analisa sudah dilatih dengan adanya laporan-laporan praktikum. Dan pengalokasian untuk dana Polines untuk peralatan praktik mahasiswa sangat besar sekali jika dirinci satu per satu. Saya ambilkan contoh pada Lab Broadcasting. Peralatan Lab Broadcasting sangatlah mewah. Dan itu merupakan peralatan broadcasting yang tercanggih yang ada di Indonesia saat ini dan semua barang import. Dan yang jika ditotal dalam satu lab itu saja bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Itu sudah bisa jadi beberapa gedung. Itu baru satu lab dan Polines memiliki begitu banyak lab. Dan pada jurusan Teknik Mesin, sudah terlihat dengan jelas ada dua alat berat yang dipunyai pribadi oleh Polines meskipun itu hibah. Hibah tersebut bisa didapatkan karena prestasi Polines sudah. Jika tidak bagus, buat apa menghibahkan sesuatu yang begitu mahalnya secara cuma-cuma . Dan untuk masalah koneksi jaringan internet, saya rasa sudah cukup bagus karena bandwidth yang digunakan sudah mencukupi. Dan sebagian Polines sudah menggunakan jaringan fiber optic. Salah satunya bisa dicek di kantin TN dan Lab Telkom-04 ini merupakan kebanggaan tersendiri karena di Perguruan Tinggi, baru Polines yang menggunakan fiber optic karena dari sisi keuangan sangat mahal akan tetapi manfaatnya besar bagi para mahasiswa. Itu baru sedikit dari banyak contoh, mungkin masih banyak keistimewaan lainnya yang harus kita banggakan dari Polines. Jadi, pada intinya, Polines merupakan kampus yang memprioritaskan manfaat bagi para mahasiswanya. Buat apa kita mempunyai gedung yang mewah jika gedung tersebut kosong, lebih baik berpenampilan sederhana tapi sangat banyak manfaatnya. Itu artinya, Polines sangat mengutamakan kebutuhan mahasiswanya untuk bekal masa depan para mahasiswa. Bagi mahasiswa yang masih dan sedang berpikiran negatif terhadap Polines, sebelum terlambat, marilah ubah cara pandang kita dari yang dengan memandang sisi positif dari keistimewaan yang ada di Polines dan mari kita angkat nama Polines di mata masyarakat dengan mempublikasikan hal-hal yang positif dan janganlah berprasangka buruk terhadap sesuatu sebelum mengetahui penyebab dan manfaatnya yang akan didapat. Dan anggap saja jika Anda kurang puas dengan Polines hingga saat ini anggap ini merupakan perjuangan Anda (para mahasiswa) untuk menuju kesuksesan Anda di masa depan karena tidak sesuatu yang instan untuk mencapai kesuksesan. Mudah-mudahan Anda semua tahu dan bisa mengambil sisi positif selama ini yang dilakukan oleh Polines semata-mata untuk mahasiswa. Pihak Polines sudah berbuat sangat baik kepada kita, maka kita juga harus memberikan timbal balik kepada mereka. Dan untuk menjadi salah satu kampus favorit tentunya Polines tidak bisa berjalan sendiri dan harus diimbangi dengan kerja keras mahasiswanya untuk berfikir secara luas dan bisa diajak maju. Terima kasih. Maaf jika ada kekurangan dan kekhilafan.

Akses Menuju Masjid yang

Terkesan Berbelit-belit

B

Rima - Teknik Elektro

IASANYA mahasiswa Jurusan Elektro seperti saya, memilih melalui jalan di belakang Bengkel Mesin ketika hendak menuju masjid. Yang sering kami keluhkan adalah, dari jalan itu kami harus menuruni anak tangga dulu, kemudian masuk gerbang pagar masjid dan naik tangga lagi, barulah kami sampai ke masjid. Kami sih berharap dibuatkan gerbang sebelum kami harus menuruni tangga itu. Jadi akses yang kami tempuh menjadi lebih efisien dan tidak memakan banyak waktu, mengingat waktu istirahat yang diberikan politeknik juga tidak banyak. Semoga saja harapan ini terwujud. Terima kasih.

8

majalah dimensi | edisi 49


\ NAMA KONTEN \

Budaya. Kata. Akar. Identitas. Komunikasi. Bicara. Lambang. Identitas. Jawa. Punah. Media. Krisis. Asing. Sosial. Nilai. Luntur. Logat. Kaya. Asimilasi. Latah. Lingkungan. Mundur. Globalisasi. Aksen. Seni. Alat. Bangsa. Wadah. Pudar. Satu. Indonesia. Kuno. Pendidikan. Menuju. Kepunahan. Bahasa. Lokal.

edisi 49 | majalah dimensi

9


\ LAPORAN UTAMA \

M

ANUSIA kini tak bisa dilepaskan dari bahasa. Setiap hari, jutaan orang di dunia menggunakan jutaan macam bahasa. Ibarat makanan atau minuman yang kita konsumsi setiap hari, bahasa adalah kebutuhan pokok. Meski begitu, tidak semua orang menyadari pentingnya bahasa. Setiap orang berbahasa, namun tidak semua mengerti benar apa itu bahasa. Bagi sebagian besar orang, bahasa tak lebih dari sekadar alat. Karena itu, semakin tergerusnya bahasa, terutama bahasa lokal atau bahasa ibu, dianggap sebagai suatu kewajaran.

MENUJU

KEPUNA

BA

Bahasa memang dapat diartikan sebagai alat komunikasi, atau jembatan interaksi antar manusia. Manusia harus berbahasa untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya. Sebagai makhluk sosial, interaksi adalah perwujudan dari eksistensi manusia. Maka digunakanlah bahasa sebagai media atau alat dari interaksi tersebut. Namun bahasa yang sebenarnya adalah lebih dari sekadar alat komunikasi. Kepunahan bahasa dapat bermuara ke krisis identitas. Bagaimana bisa?

Generasi Latah Berbahasa SUDAH lama saya tak bertemu dengan kawan SMA ini. Semenjak memasuki bangku perkuliahan— hampir tiga tahun lalu— kami belum bertemu lagi. Ia adalah teman sekelas saya waktu SMA kelas tiga. Yang saya tahu darinya, dia adalah anak asli Jawa, lahir di Jawa Tengah dari ayah dan ibu yang juga Jawa Tengah. Hingga kuliah pun, ia masih tinggal di Jawa Tengah. Ketika saya berkunjung ke kota dimana ia berkuliah dan kami bertemu, saya sedikit terkejut. Kawan saya itu, berbicara dengan logat yang saya kenal sebagai logat Jakarta. Meski tak menggunakan istilah “lo gue� seperti layaknya masyarakat Betawi, kentara benar logat yang ia gunakan kini bukanlah logat Jawa Tengah seperti yang saya tahu sebelumnya. Menurut salah seorang teman lain yang sekampus dengannya, kawan saya itu dekat dengan temanteman yang berasal dari Jakarta dan itulah yang

10

majalah dimensi | edisi 49

" Namun bahasa yang sebenarnya adalah lebih dari sekadar alat komunikasi. Kepunahan bahasa dapat bermuara ke krisis identitas."


menyebabkan ia kini berbicara dengan logat yang berbeda. Meski manggut-manggut, saat itu saya masih heran dan tak paham.

AHAN

AHASA LOKAL Oleh: Bela Jannahti & Arum Ambarwati

Fenomena ini tampaknya bukan hanya saya yang menemukan. Berbincang dan berdiskusi dengan kawan-kawan, mereka ternyata juga pernah menemukan hal yang sama. Apakah kejadian tersebut bisa digolongkan sebagai kelatahan? Menurut kamus Bahasa Indonesia, salah satu pengertian dari kata latah adalah meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain. Beberapa mahasiswa mengaku lebih jarang menggunakan bahasa aslinya ketika masuk ke pergaulan atau lingkungan kampus. Alasan yang paling banyak dikemukakan mengapa mereka cenderung menyesuaikan bahasa yang digunakan adalah untuk mempermudah komunikasi. Titi Nur Maulida, mahasiswi jurusan komunikasi salah satu universitas negeri di Semarang asal Pemalang, Jawa Tengah, mengungkapkan alasan mengapa ia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dan hampir tidak menggunakan bahasa lokalnya. “Karena teman dekat asalnya dari Medan, otomatis nggak mudeng bahasa Jawa. Temanteman kuliah juga banyak yang dari luar Jawa. Dan walau sesama Jawa, logatnya pun bedabeda. Kadang timbul salah paham kalau pakai bahasa Jawa,” kata Titi. Titi juga menambahkan ketika di kost, ia juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. “Bukan berarti nggak pakai bahasa Jawa sama sekali. Kalau ketemu sesama anak Pemalang di Semarang pakai bahasa Jawa. Jadi bukan ikutikutan sih, hanya memudahkan komunikasi aja.” Hampir senada dengan Titi, Riani Anggraini, mahasiswa Teknik Lingkungan yang juga berasal dari Pemalang menuturkan kalau dirinya menggunakan logat Pemalang hanya bila bertemu dengan orang yang berasal dari daerah yang sama dengannya. “Aku juga ikut terbawa pakai bahasa temen, tapi tetep pakai bahasa daerah sendiri juga. Kenapa harus malu? Bagus, kan, jadi tahu banyak bahasa,” tuturnya.

Foto: Dian Adi Pratama

edisi 49 | majalah dimensi

11


Dampak Globalisasi?

fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.

Bahasa lokal, atau lazim juga disebut bahasa daerah, merupakan bahasa asli yang dituturkan oleh sekelompok masyarakat yang memiliki kedekatan secara geografis atau antropologis. Biasanya dalam suatu wilayah, masyarakatnya menggunakan bahasa yang sama, yang mereka dapatkan secara turun temurun.

Namun, selain sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki fungsi lain yang mungkin tidak kita sadari.

Pardi Suratno, kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, mengiyakan bahwa bahasa daerah sedang menuju kepunahan. “Saya tidak bisa memastikan, hanya memprediksi saja. Bahasa daerah, mungkin akan hilang dalam tiga generasi mendatang. Satu generasi rata-rata adalah 70 tahun,” kata Pardi ketika diwawancarai di ruang kerjanya di Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah di Mangunharjo, Tembalang, Kota Semarang. Menurutnya terdapat empat faktor penting yang menyebabkan bahasa lokal semakin tergerus. Pertama adalah kehidupan yang lebih meluas, dengan kata lain globalisasi. Dengan kehidupan yang lebih meluas, manusia membutuhkan alat komunikasi yang dapat menjembatani pemikiran atau pergaulan masyarakat antar budaya. Faktor lain yang juga masih berhubungan dengan globalisasi adalah semakin maraknya perkawinan campuran antara dua etnis dengan latar kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Semisal perkawinan antara orang Jawa dengan Sunda. Anak hasil dari perkawinan ini akan cenderung diajarkan Bahasa Indonesia, yaitu bahasa yang dapat menjembatani antara Jawa dengan Sunda. Akibatnya, bahasa daerah dari kedua pihak orangtua akan jarang digunakan. Selanjutnya, ada faktor pembinaan atau pengajaran. Menilik faktor-faktor sebelumnya, pendidikan, terutama pendidikan formal, menjadi kunci penting pelestarian bahasa daerah. “Kalau tidak diajarkan di sekolah, cepat atau lambat bahasa lokal akan tersisih,” tambah Pardi. Faktor selanjutnya adalah faktor fungsional. Faktor fungsional dapat diartikan sebagai penyebab yang muncul akibat adanya kebutuhan.

Cikal Bakal Krisis Identitas Banyaknya anak muda yang terbawa lingkungan untuk menggunakan bahasa atau logat lain merupakan contoh penerapan dari salah satu

12

majalah dimensi | edisi 49

Menurut Pardi, bahasa memiliki empat fungsi utama. Yang pertama adalah sebagai media atau alat komunikasi. Tanpa bahasa, seseorang akan kesulitan dalam berkomunikasi. Fungsi inilah yang paling dipahami oleh masyarakat. Fungsi kedua adalah bahasa sebagai lambang identitas. Bahasa menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat penuturnya. Sebagai contoh, bahasa Jawa melambangkan identitas masyarakat Jawa, dan bahasa Indonesia melambangkan identitas bangsa Indonesia. Dengan bahasa yang sama, suatu masyarakat dapat dikatakan memiliki suatu lambang identitas. Dari sini dapat dikatakan pula bahwa bahasa merupakan alat pemersatu dari pemakai bahasa tersebut. Bangsa Indonesia disatukan oleh kesamaan berbahasa Indonesia. Fungsi ketiga yaitu bahasa sebagai wadah kebudayaan. Bahasa, selain mewakili identitas suatu masyarakat, juga menjadi wadah kebudayaan masyarakat tersebut. Bahasa berkaitan erat dengan kebudayaan dan keduanya saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bila bahasa Jawa mundur, kebudayaan Jawa akan ikut mundur. Itu sebab mengapa isu bahasa menjadi sangat penting bagi beberapa kalangan, terutama kalangan pemerhati bahasa dan kebudayaan. Dengan fungsinya sebagai lambang identitas dan wadah kebudayaan, memudarnya bahasa daerah akan berdampak pada kelestarian budaya dan kearifan lokal, dan nantinya akan berakhir dengan krisis identitas. “Bangsa yang tercerabut dari akar kebudayaannya akan menjadi bangsa yang krisis identitas. Dan bangsa yang mengalami krisis identitas akan menjadi bangsa yang lemah menghadapi tantangan zaman,” ujar Pardi. Di penghujung wawancara, lulusan Magister Ilmu Humaniora di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menambahkan, “sangat memprihatinkan juga mengingat bahwa seringkali kitalah yang merusak bahasa itu sendiri.” []


\ LAPORAN UTAMA \

?

BAHASA DAERAH DIHAPUSKAN DARI KURIKULUM Di tengah keprihatinan kita akan kelestarian bahasa daerah yang tergerus zaman, pemerintah menggulirkan kebijakan yang dinilai tidak populis oleh kalangan pemerhati bahasa. Oleh: Irma Novita

B

EBERAPA waktu lalu mencuat isu mengenai rencana pemerintah yang akan menghapuskan bahasa daerah dari kurikulum pelajaran tahun 2013. Para pemerhati bahasa Jawa, terutama dari kalangan akademisi, sempat mengadakan protes menentang rencana tersebut. Pihak pemerintah selaku penentu kebijakan menepis isu bahwa bahasa Jawa atau bahasa daerah dihapuskan dari kurikulum.

edisi 49 | majalah dimensi

13


Dikutip dari suaramerdeka.com pada 26 Juli 2013, Bambang Supriyono dari Dinas Pendidikan Jawa Tengah mengatakan bahwa bahasa Jawa atau bahasa daerah tidak dihapuskan dari kurikulum, melainkan hanya diganti sebutannya menjadi pelajaran seni budaya atau muatan lokal.

mendapatkan bagian yang sedikit. Selain itu, penggolongan pelajaran bahasa Jawa kedalam mata pelajaran seni budaya, alih-alih menjadi mata pelajaran tersendiri, terkesan kurangnya totalitas dari pemerintah dalam upaya melindungi bahasa daerah.

Padahal, pendidikan merupakan salah satu jalan penting dalam upaya pelestarian budaya asli, dalam hal ini bahasa. Menurut Pardi, kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, pendidikan kini menjadi kunci dalam upaya mengantisipasi tergerusnya kebudayaan lokal.

Menurut Estu Pitarto, seorang pemerhati budaya dan bahasa Jawa, memang tidak mungkin kalau bahasa daerah dihapuskan. “Budaya daerah tidak mungkin dihapuskan karena sudah diatur dalam UUD 1945,” ujarnya. Dalam UUD 1945 Bab XIII memang dijelaskan tentang Pendidikan dan Kebudayaan pada pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya dan (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dari isi UUD tersebut jelas sekali bahwa pemerintah seharusnya melindungi keberadaan budaya serta budaya daerah. Namun menurut beberapa pihak, pemerintah masih belum serius dalam upaya pelestarian bahasa daerah yang kini semakin memprihatinkan. Dilansir dari solopos.com pada 15 Januari 2013, Sudharto, ketua Yayasan IKIP PGRI berpendapat demikian. Ia mengambil contoh saat ada pengangkatan guru, pelajaran bahasa Jawa

14

majalah dimensi | edisi 49

Riska, salah seorang pelajar di SMA 2 Pati menuturkan bahwa di sekolahnya, pelajaran bahasa Jawa diberi alokasi waktu satu jam pelajaran setiap minggu. Sedangkan untuk mata pelajaran bahasa Inggris diberi waktu lima jam dalam seminggu.

“Lewat pengajaranlah kita berharap ada pelestarian bahasa daerah, kalau mengingat sekarang ini lebih banyak anak-anak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa,” tuturnya.

Yayasan IKIP PGRI pun berpendapat bahwa sebaiknya bahasa Jawa dijadikan satu pelajaran tersendiri. Pendapat dari pihak Yayasan IKIP PGRI tersebut memang tak berlebihan bila mengingat bahwa kini jam pelajaran untuk pelajaran bahasa Jawa jauh lebih sedikit dibanding dengan jam pelajaran untuk bahasa asing.

Dalam hal pelestarian budaya daerah, tidak hanya pemerintah yang berperan aktif, namun beberapa kalangan lain seperti pendidik pun ikut berperan aktif. “Kalau saya amati beberapa universitas sekarang banyak yang membuka jurusan bahasa Jawa, dengan demikian terlihat bahwa masih banyak kalangan yang memperhatikan perkembangan budaya daerah khususnya Jawa,” tambah Estu. []


\ OPINI \

Foto : Dian A di

ASYARAKAT Jawa identik dengan bahasa Jawa. Memang sebagian besar orang Jawa yang berada di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur berbudaya Jawa yang dimanifestasikan dalam pemakaian bahasa Jawa. Bahasa Jawa telah memiliki tradisi yang panjang sehingga telah menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Bahkan, terdapat peninggalan dokumen tertulis berbahasa Jawa yang melimpah, entah yang tersimpan di dalam negeri maupun di luar negeri.

M

Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah selama ini sudah menyatu dengan dunia pendidikan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Namun, seiring dengan dinamika zaman dan arah utama pembangunan berwawasan keindonesiaan yang ber-bhineka tunggal ika, pembelajaran bahasa Jawa cenderung semakin merosot dari waktu ke waktu. Dahulu pelajaran bahasa Jawa sejajar dengan pelajaran berhitung, ilmu sosial, bahasa Indonesia, kesenian, dan sebagainya. Kemudian, sejalan dengan orientasi pendidikan, bahasa daerah—termasuk

Pratama

bahasa Jawa—menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib di ketiga wilayah tersebut. Gradasi dalam porsi pembelajaran bahasa lokal itu menyebabkan kemerosotan kemampuan siswa atau masyarakat berbahasa Jawa, terlebih lagi kemampuan membaca dan menulis huruf Jawa. Lagi-lagi, ancaman atas kemerosotan bahasa Jawa tidak semakin ringan. Justru, tantangan masa kini semakin berat. Banyak pihak menuding kehadiran Kurikulum 2013 ini memarginalkan pembelajaran bahasa lokal atau

edisi edisi 49 49 || majalah majalah dimensi dimensi

15


bahasa Jawa. Dalam kurikulum baru ini tidak dinyatakan secara eksplisit pelajaran bahasa daerah. Kondisi ini yang menyentak pemerhati bahasa dan budaya lokal, khususnya di Jawa. Banyak orang menuding, menuduh, dan bahkan menghujat pemerintah tidak memiliki perhatian terhadap bahasa daerah. Suara lantang bernada protes terhadap pemerintah itu memang layak disuarakan saat ini, bukan nanti atau lusa. Harus disuarakan bersama-sama, genderang untuk meminta pembelajaran bahasa Jawa harus ditabuh oleh masyarakat Jawa, yakni mereka yang peduli dan mencintai bahasa Jawa. Ketidakjelasan status pembelajaran bahasa daerah ini dapat dipastikan akan membuat bahasa Jawa semakin hilang, kemudian mati, dan lenyap sama sekali. Bahasa itu laksana tanaman, tanpa disiram, dipupuk, dan dijaga secara baik, tanaman itu akan cepat layu dan akhirnya mati. Bagaimana cara yang tepat untuk merawat, menjaga, daan mempertahankan bahasa lokal atau bahasa Jawa? Cara dan teknik yang paling tepat adalah pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Tanpa pembelajaran di sekolah, mustahil bahasa daerah atau Jawa itu dapat lestari, apalagi berkembang. Maka dari itu, wajarlah tuntutan banyak pihak agar bahasa Jawa tetap sebagai mata pelajaran di sekolah, setidaknya sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di sekolah dasar hingga menengah. Minimal seperti dalam pelaksanaan pendidikan dengan Kurikulum 2004 yang

16

majalah dimensi | edisi 49

dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum 2006 yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dapat diduga, dapat dianalisis, bahkan dapat disimpulkan dan dipastikan tanpa memiliki status minimal seperti itu, yakni sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib, keberadaan bahasa Jawa akan semakin lemah. Dewasa ini saat yang tepat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi mengingat pemerhati bahasa lokal rata-rata berusia di atas 40 tahun. Sementara itu, mereka yang berusia di bawah 40 tahun cenderung tidak memiliki apresiasi yang memadai terhadap bahasa dan budaya Jawa. Jika tuntutan pemartabatan bahasa Jawa melalui pendidikan ini gagal, dapat dipastikan semangat pencinta bahasa dan budaya lokal yang sekarang berusia di atas 40 tahun itu akan semakin melemah, dan terus melemah. Akhirnya, mereka tidak memiliki kekuatan menuntut lagi, dan bisa-bisa mereka itu akan menyerah, apatis, prustasi, dan pasrah ngalah selamanya sehingga benar-benar mengalah dan kalah atas keganasan zaman. Sungguh sangat disayangkan jika kondisi itu terjadi pada bahasa Jawa. Bahasa adalah wadah budaya. Jika bahasa Jawa hilang, budaya Jawa akan musnah. Jika ini terjadi, masyarakat Jawa pada masa depan adalah manusia baru yang tercerabut dari budayanya. Sesungguhnya, sejatinya, dan seharusnya, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak mengajarkan bahasa Jawa. Tidak ada

alasan normatif dan moral untuk menjauhkan siswa terhadap bahasa Jawa, bahasa ibu bagi sebagian besar dan hampir keseluruhan masyarakat Jawa. Pemerintah Jawa Tengah telah menerbitkan aturan hukum atas pemeliharaan, pelestarian, dan pemanfaatan bahasa Jawa yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Lahirnya Perda itu pasti dilatarbelakangi oleh niat serius dan perhatian yang sangat mendalam atas keberadaan bahasa Jawa. Pembuatan peraturan daerah bukan pekerjaan mudah. Pastilah melewati proses yang panjang, bahkan melelahkan. Di samping itu, Perda yang disahkan oleh wakil rakyat tersebut merupakan representasi atas keinginan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu, tidak alasan untuk mengesampingkan atau tidak melakukan ketentuan yang tertuang dalam perda tersebut. Dalam Perda Nomor 9 Tahun 2012 disebutkan perlindungan, pelestarian, dan pembinaan bahasa dan sastra Jawa melibatkan sejumlah lembaga di Jawa Tengah. Dewasa ini masih banyak lembaga pendukung pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa, misalnya lembaga penelitian, penyedia guru bahasa Jawa, pembina bahasa Jawa, dan sebagainya. Kita dapat menyebut dedikasi sejumlah lembaga terhadap pembinaan bahasa Jawa, seperti Dewan Bahasa Jawa Jawa Tengah, Balai Bahasa, Universitas Negeri Semarang, IKIP PGRI Semarang, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Bangun Nusantara, Yayasan


Kanthil, dan penerbit buku bahasa dan sastra Jawa. Pemerintah telah menyatakan tekad kuat untuk memanfaatkan budaya lokal atau daerah dalam pengembangan budaya nasional yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 32, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” dan “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Komitmen itu ditegaskan kembali dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, pasal 42 ayat 1 “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Pemerintah Jawa Tengah secara konsisten, sekali lagi secara konsisten, memiliki komitmen untuk menjaga keberadaan dan pemanfaatan bahasa Jawa melalui sejumlah perangkat hukum terkait dengan pembelajaran bahasa daerah, yakni bahasa Jawa. Sejumlah ketentuan formal terkait pembelajaran bahasa daerah itu, antara lain, adalah (1) Surat Keputusan Kakanwil Depdikbud Jateng Nomor 271a/103/1994 tentang kurikulum muatan lokal

Bahasa Jawa untuk SD dan SMP, (2) Peraturan Gubernur Nomor 589.5 Tahun 2003 tentang Kurikulum 2004 yang menyatakan Bahasa Jawa wajib diajarkan di semua satuan pendidikan di Jateng termasuk SMA/SMK, (3) Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5 Tahun 2005 tentang Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD, SMP, dan SMA, (4) Peraturan Gubernur Nomor 423.5 Tahun 2010 tentang Bahasa Jawa untuk SD dan SMP, dan terakhir adalah (5) Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang memasukkan kewajiban mengajarkan muatan lokal bahasa, sastra dan budaya Jawa di sekolah, di semua jenjang, dan mencantumkan nilai atau hasil evaluasi pada rapor dan ijazah. Peraturan dibuat untuk dilaksanakan oleh lembaga yang mendapatkan amanat dalam pembinaan, pelestarian, dan pengajaran bahasa Jawa. Peraturan bukan pajangan untuk disimpan dan didiamkan sehingga peraturan sekadar hadir tanpa makna. Peraturan terkait bahasa Jawa itu tidak boleh hanya penghibur sekejap bagi semua pihak yang peduli terhadap nasib bahasa dan budaya Jawa. Peraturan itu bukan hanya untuk disebut-sebut dan dibangga-banggakan dalam orasi para pemimpin. Tiada lain dan tiada bukan peraturan itu harus diaplikasikan dalam tindakan nyata. Jika paradigmanya semacam itu, tidak ada alasan formal dan moral bagi Kepala Dinas dan Kepala Sekolah yang mendapat amanat negara dan

masyarakat Jawa Tengah itu untuk tidak memberi peluang bagi pembelajaran bahasa Jawa. Kurikulum 2013 tidak menutup peluang pembelajaran bahasa daerah. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen Kepala Dinas dan Kepala Sekolah untuk peduli terhadap nasib bahasa dan budaya Jawa. Jika tidak menghendaki bahasa Jawa yang merupakan wadah budaya Jawa ini hilang dan punah, laksanakan amanat negara dan amanat rakyat Jawa Tengah, yakni berilah tempat pembelajaran bahasa Jawa. Kelak Anda akan dikenang sebagai orang yang peduli terhadap budaya bangsa. Mulailah dari sekarang untuk mengambil peran dalam pembelajaran bahasa Jawa. Kalau bukan Anda yang harus berkomitkan dalam pembinaan dan pembelajaran bahasa Jawa, siapa lagi? Kalau bukan dari sekarang kita berbuat, kapan lagi? Jika bukan dari Jawa Tengah, dari mana lagi? Kalau bukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah, kepada siapa lagi? Jangan terlambat menjaga keberadaan bahasa Jawa. Jika terlambat, kita yang mendapat amanah negara dan masyarakat pada saat ini pasti dikenal dan dikenang sejarah sebagai orang yang tiada peduli terhadap bahasa dan budaya Jawa. Jangan biarkan harapan rakyat sekarang ini berubah menjadi prustasi!

edisi 49 | majalah dimensi

17


\ INFOGRAFIS \

18

majalah dimensi | edisi 49



Foto : Bela Jannahti

\ SOSOK \

SINDHUNATA GESIT WIDIHARTO DALANG DENGAN PUTIH ABU-ABU

Oleh : Syaiful Anam & Miftahuddin (Kru Magang)

20

majalah dimensi | edisi 49


Mengenal wayang sejak usia tiga tahun menjadikan pemuda ini salah satu dalang yang siap melestarikan budaya bangsa.

S

INDHUNATA Gesit Widiharto, pemuda asli Semarang yang lahir pada 10 Januari 1996 ini adalah seorang dalang muda. Remaja yang masih duduk di kelas XI SMA Negeri 1 Semarang ini sejak kecil sudah belajar mendalang. “Saya itu sejak umur tiga tahun sudah dilihatkan video tentang wayang dan saya menggunakan gantungan baju untuk bermain wayangwayangan sampai gantungannya pada patah,� tutur Sindhu.

Kiprahnya sebagai dalang muda tidak bisa dianggap remeh. Berbagai aksi panggung ndalang bersama dalang-dalang kondang seperti Ki Entus dan Ki Warseno Seleng sudah dilakoninya. Bahkan Sindhu telah menyabet gelar Dalang Ngabehi sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ngabehi berasal dari kata kabeh yang berarti semua, maksudnya sudah memenuhi semua syarat untuk menjadi dalang profesional. Gelar tersebut disandangnya pada usia 10 tahun, ketika ia mengikuti festival dalang cilik yang diadakan tiap tahun di Taman Budaya Surakarta. Tujuannya mendalang bukan semata-mata mencari popularitas, melainkan lebih untuk menjaga budaya Indonesia. “Memang benar kalau bukan kita lalu siapa lagi, jangan sampai budaya kita malah diambil oleh negara lain. Ini kebudayaan kita, warisan leluhur kita yang seharusnya kita lestarikan. Jangan sampai kita malah belajar kebudayaan asli kita dengan negara asing,� tegasnya.

edisi 48 | majalah dimensi

21


Foto : Dian Adi Pratama

“Sak niki iku wong jowo sampun ilang jawane,”

Keterangan Gambar : Kiri - Memilah Wayang Kulit saat Pentas Kanan - Aksi Sindhu saat Mendalang di Mranggen, Demak

Saat ditanya soal pengalaman yang paling mengesankan, Sindhu menyatakan bahwa dirinya pernah mewakili Jawa Tengah dalam ajang “Festival Dalang Bocah se-Nusantara” di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Sebagai seorang dalang muda Sindhu juga mempunyai dalang idola sebagai sumber inspirasinya dalam mengarungi dunia pewayangan. Adalah almarhum Ki Darman Bondo Darsono dan Ki Mulyanto Mangku Darsono dari Kedungbanteng Sragen yang menjadi idolanya. Sindhu mempunyai seperangkat alat pewayangan di rumah yang biasa digunakan untuk mengasah kemampuan mendalangnya, namun seringkali Sindu juga berlatih di sanggar dengan fasilitas yang lebih lengkap. Dalam belajar mendalang Sindhu dibantu oleh dua orang guru yaitu Ki Aji Tondo Utomo dan Ki Ageng Budi Santoso yang tidak lain adalah putra dari Ki Mulyanto Mangku Darsono, dalang idolanya. Sudah menjadi kegiatan wajib saat liburan Sindhu menyempatkan waktu untuk berkunjung ke tempat gurunya itu untuk belajar mendalang. Sebuah dukungan pun muncul, pihak pemerintah saat ini sedang mengusahakan pengadaan satu set alat gamelan. Gagasan itu muncul langsung

22

majalah dimensi | edisi 48

dari Sindhu dan guru sekolahnya. Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan izin kepada Sindhu untuk memanjangkan rambutnya yang notabenenya seorang siswa tidak boleh memiliki rambut yang panjang selama masih duduk di bangku sekolah negeri. “Lha wong rambut saya panjang juga kan melalui restu dari pemerintah mas,” tuturnya. Namun di lain sisi ia pun merasa tidak enak terhadap temantemannya karena merasa terlalu dibedakan. Selain wayang, Sindhu juga berusaha melestarikan Bahasa Jawa yang sudah mulai luntur dalam komunikasi pergaulan sehari-hari. “Sak niki iku wong jowo sampun ilang jawane,“ keluhnya. Sekarang itu orang Jawa sudah kehilangan Jawanya. Sindhu sendiri sering menggunakan Bahasa Jawa krama untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Sindhu yang berkeinginan meneruskan pendidikan ke Jurusan Seni Karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini juga bercita-cita untuk bisa membawa wayang sampai ke kancah internasional, agar kesenian tradisional Jawa khususnya wayang bisa di kenal di manca negara. []


\ NAMA KONTEN \

Pergerakan. Kicauan. Provokasi. Teknologi. Massa. Twitter. Isu. Klik. Perbaikan. Petisi. Komunitas. Media. Sosial. Komunikasi. Situs. Literasi. Radio. Revolusi. Televisi. Masyarakat. Koran. Internet. Kebijakan. Demonstrasi. Unjuk rasa. Anarkis. Kasus. Efektif.

edisi 48 | majalah dimensi

23


\ LAPORAN KHUSUS \

DARI JALANAN HINGGA LINI MASA Oleh : Bela Jannahti

Dari masa ke masa, suara rakyat yang tertekan tak bisa dibungkam. Pergerakan massa menjadi semacam tradisi yang muncul dalam setiap era. Meski bertransformasi, namun tujuannya tetap sama: mengingatkan pemerintah yang lupa.

P

ADA Juni 2013, Pemerintah kembali memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pro dan kontra terjadi dimana-mana. Menaikkan harga BBM tak pernah menjadi urusan sederhana di negeri ini. Pada hari dimana digelar sidang paripurna untuk memutuskan apakah harga BBM akan naik atau tidak, ribuan massa di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan. Berbagai kalangan turut dalam demonstrasi untuk menolak kenaikan harga BBM. Sebagian besar dari mereka yang turun ke jalan menyuarakan “suara rakyat� berasal dari

24

majalah dimensi | edisi 48

kalangan akademisi. Sayangnya, aksi-aksi tersebut tak luput dari tindakan vandalisme atau merusak, bahkan mengarah ke kriminalitas. Masyarakat pun semakin dibikin resah dengan adanya unjuk rasa tersebut. Tak sedikit yang kini bersikap antipati terhadap unjuk rasa atau demonstrasi. Sementara itu, sebagian besar rakyat Indonesia lainnya tak ikut turun ke jalan, namun mereka turut berunjuk rasa. Bagaimana bisa? Dengan hanya bermodalkan jari dan koneksi internet, banyak

dari masyarakat kita menyampaikan pendapatnya kepada khalayak. Ya, di era digital ini, pergerakan massa pun turut berevolusi. Bila dulu masyarakat hanya bisa menentang kebijakan pemerintah melalui demonstrasi atau dengan turun ke jalan, kini masyarakat bisa membuat suatu perubahan melalui dunia maya. Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat untuk berpastisipasi dalam era demokrasi. Kini, tak hanya


Adi Pratama Gambar :Dian Olah Digital

kalangan tertentu saja yang bisa ikut berkomentar atau memberikan pendapatnya tentang suatu permasalahan bangsa. Bahkan, tak hanya sekadar berkomentar, namun masyarakat benar-benar ikut andil dalam keputusan suatu kebijakan. Bagaimana bisa? Dimulai Dari Jempol Masih ingatkah dengan kasus KPK VS Polri pada Oktober 2012? Saat itu, masyarakat merasa geram karena Polri menjemput paksa Novel Baswedan, salah satu anggotanya yang menjadi penyidik dalam kasus korupsi simulator SIM yang

melibatkan Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Polri. Tak hanya itu, sebelumnya, kepolisian sempat mengintervensi saat KPK melakukan penyitaan terhadap barang bukti terkait kasus tersebut. Masyarakat menganggap Polri keterlaluan. Ditambah lagi dengan kasus yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu kriminalisasi terhadap petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah pada tahun 2009. Saat itu, perseteruan juga terjadi antara KPK dengan Polri. Masyarakat yang lebih memihak KPK, pada Oktober 2012 melakukan sejumlah aksi yang ternyata dimulai dari situs media sosial. Aksi-aksi tersebut bermula dari wacana yang dilontarkan dan diramaikan di situs media sosial seperti Twitter dan Facebook. Dengan tagar #SaveKPK, pemilik akun di situs media sosial dengan bebas dan mudah melontarkan pembelaan mereka terhadap KPK. Kicauan (istilah untuk tulisan yang dipublikasikan di Twitter) tersebut dilanjutkan dengan dibuatnya petisi online di situs change.org oleh Anita Wahid, putri mantan presiden RI Abdurrahman Wahid. Change.org awalnya merupakan situs media sosial untuk aktivitas sosial yang didirikan oleh Ben Rattray di Amerika Serikat pada 2007. Setelah bertransformasi menjadi blog, pada 2011 situs ini kembali bertransformasi menjadi situs petisi online hingga sekarang. Lewat change. org, siapapun dapat mengajukan petisi (permohonan resmi ke pemerintah atau pihak berwenang). Tahun 2012 change. org masuk ke Indonesia dan di tahun ini pula, kemenangan berhasil diperoleh 15 ribu

masyarakat Indonesia yang ikut menandatangani petisi bertajuk “Serahkan Kasus Korupsi Polri ke KPK! Hentikan Pelemahan KPK!� Petisi ini berisi tuntutan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyerahkan kasus korupsi yang terjadi di kepolisian Republik Indonesia ke KPK dan menghentikan segala bentuk intervensi ke KPK. Masyarakat ingin KPK terus memberantas korupsi. Tak hanya beraksi di dunia maya saja, masyarakat juga turun langsung untuk mewujudkan aksi nyata mendukung KPK. Juga bermula dari situs media sosial, masyarakat berbondongbondong mengadakan berbagai aksi. Dimulai dari tanggal 4 Oktober 2012, sekelompok massa yang menamakan dirinya “Semut Rangrang� mengadakan aksi. 5 Oktober, sejumlah masyarakat mendatangi kantor KPK dan menginap, sebagai aksi penolakan atas penjemputan paksa penyidik KPK oleh kepolisian. Aksi terus berlanjut hingga 7 Oktober, di Bundaran Hotel Indonesia (HI), dengan tema #dimanaSBY, untuk mempertanyakan diamnya presiden atas kasus tersebut. Akhirnya, dalam sebuah konferensi pers, Presiden SBY mengumumkan bahwa kasus tersebut harus diserahkan ke KPK. Masyarakat menang, dan itu semua dimulai dari aksi kecil di situs media sosial. Begitulah pergerakan massa kini beralih bentuk. Tak hanya di Indonesia tentunya, namun hampir di seluruh bagian di dunia yang telah dijamah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. []

edisi 48 | majalah dimensi

25


\ TWEET UP \

Seberapa efektif situs jejaring sosial dalam menggalang gerakan massa untuk menanggapi isu sosial? Apakah kegiatan seperti “berkicau� atau memasang status di Facebook memberi dampak pada perkembangan isu tersebut? Berikut adalah pendapat dari beberapa aktivis sosial media melalui situs micro-blogging bikinan Jack Dorsey, Twitter, mengenai efektivitas situs jejaring sosial sebagai wadah pergerakan masa kini. []

26

majalah dimensi | edisi 48


\ NAMA KONTEN \

edisi 48 | majalah dimensi

27



Oleh : Annissa Permanasari | Grafis : Annisa Permanasari

DARI KALIBER HINGGA TWITTER

\ INFOGRAFIS \

[]

edisi 49 | majalah dimensi

29


airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik.

Rakyat yang terbit di Jakarta.



d

BIARKAN PERBEDAAN WARNA MENJADI POTENSI BESAR BERKEMBANGNYA POLA PIKIR


\ NAMA KONTEN \

Akademik. Kuliah. Absensi. Jurusan. Seputar Kampus. Institusi. Buku. Administrasi. Program studi. Kelas. Informasi. Dosen. Semarang. Wawasan. Soft skill. Pendidikan. Mahasiswa. Penegtahuan. Perguruan tinggi. Mutu. Politeknik. Vokasi. Direktorat.

edisi 49 | majalah dimensi

33


\ KAMPUSIANA \

ADMINISTRASI NIAGA

BUKA KELAS KERJASAMA ALFAMART Oleh : Ika Putri Raswati

“Minimal kepala toko, kalau kasir-kasir itu kan lulusan SMA setara”

T

AHUN ajaran 2013/2014 menjadi tahun yang berbeda bagi jurusan Administrasi Niaga (AN). Pasalnya pada tahun ajaran tersebut, AN membuka kelas kerja sama dengan PT. Sumber Alfaria Trijaya atau yang biasa kita kenal dengan Alfamart.

AN membuka dua kelas kerjasama, yaitu kelas fresh graduate dan kelas karyawan Alfamart. Kelas fresh graduate diperuntukan kepada seluruh siswa lulusan SMA/SMK. Sedangkan kelas karyawan diperuntukan kepada karyawan Alfamart yang ingin meningkatkan karir. “Perusahaan akan mengirimkan para karyawan untuk kuliah di kelas kerjasama Polines, guna meningkatkan jenjang karir,” ungkap Poniman, Kepala Jurusan Administrasi Niaga. Untuk sistem penerimaan mahasiswa baru akan dilakukan tes sesuai standar Alfamart. Namun untuk kurikulum tetap standar Politeknik yang disesuaikan dengan Alfamart. Biaya kuliah mahasiswa kelas kerjasama tersebut akan ditanggung oleh Alfamart dan bagi lulusannya wajib menjadi karyawan Alfamart. Untuk karirnya akan di tempatkan di daerah Jawa Tengah dan minimal akan bekerja sebagai

34

majalah dimensi | edisi 49


Foto : Ido Ridwan Fidyanto

kepala toko. “Minimal kepala toko, kalau kasir-kasir itu kan lulusan SMA setara,” kata Poniman, Kepala Jurusan AN.

menjalin kerjasama dengan user, yang kedua menguntungkan secara kelembagaan,” ungkap Poniman.

Sejak akhir tahun 2012 AN sudah bersiap untuk kelahiran program studi (prodi) baru tersebut. Persiapan yang dilakukan antara lain membuat laboratorium, menyeleksi pengurus laboratorium, menggelar pelatihan intensif bagi calon pengurus laboratorium, menyusun kurikulum, dan sebagainya.

Walapun PT. Sumber Alfaria Trijaya membuka kelas karyawan di Politeknik Negeri Semarang, ternyata karyawan Alfamart yang disekitar Politeknik negeri Semarang belum mengetahui hal itu. “Saya belum tahu kalau ada kelas karyawan di Polines,” ungkap salah satu karyawan Alfamart Ngesrep Timur. Dari karyawan sendiri kecewa kenapa tidak dari dulu kerjasama itu dilakukan, “Kenapa tidak dari dulu saja kerjasamanya, agar

“Alasan kami membuka kelas kerjasama tersebut yang pertama karena dituntut untuk

kita tidak bingung-bingung cari kuliah,” sambung karyawan tersebut. Kebanyakan dari karyawan sudah melanjutkan studinya di universitas umum di Semarang. Kelas kerjasama ini akan lebih menekankan pada praktik. Hal ini didukung dengan pembangunan laboratorium baru di deretan kantin Tata Niaga (Tania) guna menunjang pembelajaran. Sempat terjadi polemik ketika laboratorium yang bernama Tania Mart ini dibangun. Mereka harus merelokasi beberapa pedagang yang awalnya berjualan di kantin tersebut.[]


\ SPEAK UP \

DosenMASIHKAH MANGKIR, Mahasiswa MENGISI Daftar hadir? D

ALAM Peraturan Akademik Politeknik Negeri Semarang pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa tugas dosen dalam pelaksanaan perkuliahan adalah, “Mengajar di kelas, bengkel, dan atau laboratorium� serta “membuat laporan pelaksanaan perkuliahan dalam lembar kegiatan perkuliahan.�

Pelaksanaan tugas tersebut dibuktikan dengan daftar hadir yang diisi oleh mahasiswa dan dosen setiap kali melakukan perkuliahan. Lalu bagaimana bila dosen berhalangan hadir tanpa alasan yang jelas? Apakah itu berarti sebagai mahasiswa kita tidak mendapatkan hak berupa pengajaran? Perlukah kita mengisi daftar hadir yang notabene merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam penerimaan gaji pegawai masing-masing dosen tersebut? Berikut adalah tanggapan yang diberikan oleh beberapa mahasiswa, dosen, hingga ketua jurusan. Mayoritas mengatakan bahwa daftar hadir dan lembar kegiatan tetap diisi meskipun tidak ada kegiatan perkuliahan pada jam yang bersangkutan. Minimnya kesadaran mahasiswa serta dosen mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam perkuliahan menjadi penyebab utama terjadinya kecurangan ini. Ketidakpahaman mahasiswa mengenai hubungan timbal balik antara persentase keaktifan dosen dengan jumlah gaji yang mereka terima juga menjadikan mahasiswa menerima begitu saja instruksi para dosen tanpa merasa dirugikan. Sebagian memang ada yang sudah paham dan sadar, akan tetapi karena sudah menjadi kebiasaan, tindakan ini pun terus berulang. []


Adi Wasono, B.Eng., M.Eng. (Ketua Jurusan Teknik Elektro) “Sebenarnya dalam daftar hadir itu kan mahasiswa memverifikasi apakah dosennya masuk atau tidak. Selama dosen kosong ya ndak tanda tangan, kalau ada penggantinya baru tanda tangan. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah kaprodi, apakah dia mendapat laporan mengenai kinerja dosen. Petugas PBM hanya merekap kehadiran dosen. Jika kehadirannya dalam selang waktu yang ditetapkan kurang dari 75% maka akan dilaporkan ke pihak jurusan dan dikroscek kembali kepada dosen yang bersangkutan. Sanksi yang akan diterapkan nantinya sesuai dengan peraturan pegawai negeri.”

Muhammad Noor Ardiansyah, SE, Msi, Akt (Mantan Ketua Jurusan Akuntansi) “Apabila ada dosen yang tetap mengisi absen tapi dia tidak mengajar, maka kami akan langsung memanggil dosen tersebut. Dan mungkin kami juga langsung mencoret absensinya yang ada di PBM meski dosen tersebut tidak mengetahuinya. Di Akuntansi sendiri saya bisa mengamati dosen yang masuk melalui kamera CCTv yang ada di koridor, sehingga tahu mana dosen yang hadir untuk mengajar dan yang tidak, dan yang terlambat atau yang tidak terlambat.”

Drs. Kunto Purbono, M.Sc. (Ketua Jurusan Teknik Mesin) “Peraturan untuk kehadiran mahasiswa maupun pengajar itu sudah ada. Kalau pengajar itu dengan mengisi kontrol PBM, yang di dalamnya tertulis materi-materi sesuai dengan kontrak kuliah. Itu untuk kehadiran satu hari, minimal empat jam di kampus. Kalau dosen tidak mengajar, mahasiswa jangan mengisi kehadiran di kontrol PBM, hal itu dihitung tidak ada perkuliahan karena tidak ada tatap muka di kelas. Kecuali ada kesepakatan dan keterangan di pihak PBM bahwa dosen akan mengganti jam kuliah tersebut di hari lain, mahasiswa boleh tetap mengisi absen. Dosen yang menyalahgunakan peraturan dengan tidak hadir tetapi tetap menyuruh mahasiswanya untuk mengisi absen rasanya tidak tepat, dan institusi akan melakukan pembinaan pada dosen seperti itu.”

Supriyo, S.T., M.T. (Ketua Jurusan Teknik Sipil) “Selama dosen tidak masuk kelas ya mahasiswa ndak tanda tangan. Tanda tangan apabila dosen sudah masuk kelas. Masuk kelas dalam arti mungkin ada perlu rapat, ngasih tugas terus diabsensi sebentar baru mahasiswa boleh tanda tangan dikontrol kegiatan. Tapi kalau via telepon ya ndak boleh. Meskipun fakta di lapangan seperti itu menurut saya tetap tidak boleh. Karena memang daftar hadir tersebut berkaitan dengan honor jam mengajar dosen. Kalau di Jurusan Sipil Alhamdulillah saya belum menemui tindakan seperti itu. Budaya malu saya kira masih ada.”

Poniman, S.E., M.Si. (Mantan Ketua Jurusan Administrasi Niaga) “Dosen yang tidak masuk berarti tidak boleh mengisi absen kelas di mahasiswa. Sebaliknya, mahasiswa juga tidak boleh tanda tangan di absensi kontrol PBM-nya dosen. Kalau ada dosen yang tetap menyuruh absen padahal tidak mengajar, itu nanti kita akan memanggil dosen tersebut.”

edisi 49 | majalah dimensi

37


\ KOMUNITAS \

Lukas Joko Dwi A., SST, M.Kom. (Dosen Perancangan, Jurusan Teknik Elektro) “Kalau saya tidak hadir, mahasiswa tidak absen. Umumnya jika dosen tidak hadir itu ada penggantinya yang ditunjuk oleh kaprodi. Kalau mangkir tanpa sebab dan tanpa pengganti ya menurut pandangan saya tidak etis jika mahasiswa tetap mengisi daftar hadir. Toh juga tidak ada untungnya.”

Nur Saada, Dra., M.M (Dosen Tata Tulis Laporan, Jurusan Teknik Mesin) “Kalau saya pribadi, misalnya saya izin, saya akan telepon ke pihak PBM dan PBMlah yang mengurus absennya. Jadi saya tidak ada urusan dengan absen.”

Yustinus Eka Wiyana, S.T. (Dosen Struktur dan Rek. Bahan, Jurusan Teknik Sipil) “Kalau di bengkel dan laboratorium kita nggak berani, karena di akhir kuliah kita mengisi semacam feedback mahasiswa ke kita. Kalau di kelas mungkin ada karena mandiri, bukan teaching group seperti di bengkel yang antar dosen bisa saling pantau keaktifan. Tapi begitu mahasiswa mengatakan ‘tidak’ saya kira kok nggak bakal terjadi ya. Harus berani, karena kalau mahasiswa mau itu sama saja membohongi institusi kan? Untuk kejujuran kenapa takut?” Tyas Maheni Dwi K, S.H, Mh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jurusan Administrasi Niaga) “Begini, dosen tidak hadir di kelas itu ada beberapa alasan. Pertama sakit atau ada kepentingan pribadi dan kedua ada tugas dari institusi. Jika terjadi dua kasus tersebut, maka mahasiswa harus tetap mengisi absen agar menunjukkan bahwa mahasiswa ada. Dengan catatan, dosen tersebut tetap memberikan tugas dan ada surat izinnya. Kan tidak selamanya dalam perkuliahan itu dosen harus berada di kelas. Kalau dosen tidak masuk dan tidak pula memberi tugas ya tidak usah mengisi absen. Dalam kasus seperti itu mahasiswa tidak akan terkena kompen, kan yang berwenang menetapkan kompensasi itu dosen, kalau dosennya saja nggak masuk, bagaimana beliau akan mengkompen kalian?” Lardin Korawijayanti, SE, MM (Dosen Akuntansi Manajemen, Jurusan Akuntansi) “Sebetulnya kita harus melihat dulu apa alasannya dosen tidak bisa mengajar. Kalau dosen tidak mengajar karena suatu penugasan dari institusi dan tugas itu di lingkungan kampus, maka adalah wajar jika dosen menginstruksikan mahasiswa untuk absen. Dalam hal ini alangkah baiknya jika mahasiswa diberi tugas mandiri. Tetapi kalau dosen tidak mengajar karena keperluan pribadi , pendapat saya pribadi sangat terlarang bagi dosen meminta absensi dari mahasiswa. Atau dosen memperoleh penugasan dari luar kota terutama yang sudah memperoleh SPPD, maka terlarang bagi dosen untuk meminta absensi.”

38

majalah dimensi | edisi 49


\ SPEAK UP \

Andri Syah Putra, Mahasiswa Teknik Elektro 2012 “Tetep ngisi, kadang iya kadang enggak. Dalam artian kadang-kadang ada alasan entah itu bener apa enggak. Misalnya kita dapet sms gini ‘kamu nanti ambil daftar hadir’ terus kita disuruh tanda tangan aja gitu. Menurut saya salah, kan ini mangkir ya? Dalam artian nggak kerja, tapi kok dalam daftar hadirnya ditulis kerja? Kan salah. Sebagai mahasiswa saya tidak tahu sama sekali kalau daftar hadir itu berhubungan dengan gaji dosen, setahu saya hanya persentase kehadirannya dosen aja.” Nur Mustafidah, Mahasiswa Akuntansi 2012 “Tentunya ada beberapa dosen melakukan praktik itu. Dan karena pengetahuan peraturan itu kayaknya di kalangan mahasiswa agak kurang, jadi mereka tetap mengisi absensi tersebut. Karena jika mereka tidak mengisi, mereka berfikir akan mendapatkan kompen, atau berpengaruh pada nilai. Dalam membuat peraturan seharusnya disosialisasikan ke semua mahasiswa di Polines dan untuk semua dosen agar mereka tahu tentang peraturan cara mengabsensi yang benar atau peraturan lainnya. Dan para pelaku peraturan tentunya harus menaati peraturan yang dibuat,karena peraturan dibuat untuk tujuan yang baik bukan yang jelek.” Catharina Alexandria Rani, Mahasiswa Administrasi Niaga 2012 “Menurutku kalau dosen tidak masuk kelas, kita harus tetap absen. Takutnya kalau kita tidak tanda tangan, nantinya kita kena kompen. Karena di akhir semester kan kita ada hukuman dari kompensasi itu tadi. Kecuali jika tidak ada yang namanya kompensasi, mungkin kita bisa bebas mau absen atau nggak. Kalau masalah gaji, itu urusan dosen dengan kampus, bukan sama kita.”

Royan Romadhon, Mahasiswa Teknik Mesin 2012 “Selama ini kalau di kelas saya, jika dosen tidak masuk, kita hanya absen aja sih. Entah itu ada tugas atau nggak ada tugas, dosennya tetap mengusulkan absen. Meskipun sebenarnya saya tahu itu tidak benar, tapi saya dan teman-teman merasa senang-senang saja, namanya juga mahasiswa.” Haris Setiawan Nugraha, Mahasiswa Teknik Sipil 2012 “Kita nggak pernah absen kalau memang dosennya tidak masuk. Tapi di prodi saya, ada satu dosen yang tetap membiarkan mahasiswa mengisi absen meskipun dia tidak masuk atau hanya memberi tugas. Kalau saya, pengennya di awal masuk kuliah itu ada semacam kontrak antara mahasiswa dan dosen. Misalnya, jika lebih dari dua puluh menit dosen tak kunjung hadir dapat dianggap tidak ada perkuliahan. Jadi kita tidak membuang waktu di kelas dengan menunggu dosen yang tak kunjung datang.”

edisi 49 | majalah dimensi

39


Grafis: Galih Alfandi

\ INFOGRAFIS \

-

Oleh: Tim Litbang

55

R RU

500 RUPIAH 500

RUPIAH

0 5 0 AH R 5 PI RU

40

majalah dimensi | edisi 49


WADAH penyimpan uang ini mulai digunakan sekitar abad ke 2 atau 1 sebelum masehi di Yunani dan Cina. Sekitar abad ke 15, ketika Majapahit memiliki hubungan dagang dengan Cina, tradisi menyimpan uang dalam suatu wadah yang telah dilubangi yang berasal dari Cina juga masuk ke Indonesia. Untuk mengambil uang didalamnya, wadah tersebut harus dihancurkan. Celengan pada zaman dahulu sebagian besar terbuat dar i tanah liat dan berbentuk babi hutan atau celeng. Mengapa babi? Menurut masyarakat Cina pada zaman dahulu, babi adalah perlambangan dari kemakmuran, keberuntungan, dan penghubung manusia dengan bumi, karena babi begitu subur dan suka berkubang. Sekarang ada banyak pilihan cara untuk menabung. Kita dapat menabung melalui bank konvensional, melalui koperasi atau iuran tabungan di suatu perkumpulan tertentu. Dengan bertambahnya sarana untuk menabung tersebut apakah memengaruhi minat mahasiswa untuk menabung menggunakan celengan? Berdasarkan hal tersebut, tim Litbang Dimensi melakukan survei terhadap 100 responden secara acak sistematis (Random Sampling) pada lima jurusan di Politeknik Negeri Semarang (POLINES).

1. APAKAH ANDA MEMILIKI CELENGAN?

79 %

MEMILIKI

5 RU0 PI 0 AH 500 500 RUPIAH

UPIAH

0 H 0 H

H

500

RUPIAH

500 500 5 0 RU0 0 AH PI 0 5 PI A 500 RU H 500 RUPIA

500

21 % TIDAK MEMILIKI

RUPIAH RUPIAH

H

RUPIAH

RUPIAH

Dari survei tersebut, ternyata masih banyak mahasiswa POLINES yang memiliki celengan yaitu sebanyak yaitu 79%. Sebesar 21% tidak memiliki.

500

RUPIAH

edisi 49 | majalah dimensi

41


\ INFOGRAFIS \

2. APAKAH SAMPAI SAAT INI ANDA MASIH MENGGUNAKAN CELENGAN?

60 %

Sebagian besar mahasiswa Politeknik Negeri Semarang menabung menggunakan celengan sejak kecil. Apakah sampai saat ini mahasiswa masih menggunakan celengan? 60% mahasiswa menyatakan masih menggunakan celengan dan 40% sisanya sudah tidak menggunakannya lagi. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih memiliki dan menggunakan celengan untuk menabung. Tetapi ada juga yang sudah tidak menggunakannya, karena menurut mereka celengan kurang efisien untuk menyimpan uang.

40 %

Rp 500

Rp 500

TIDAK

MASIH

3. SARANA MENABUNG YANG LEBIH DISUKAI?

Selanjutnya, ketika kami menanyakan sarana menabung yang lebih mereka sukai, survei menunjukkan 33% mahasiswa memilih menabung menggunakan celengan. Sementara itu 53% menggunakan bank dan sisanya menggunakan sarana menabung lainnya, seperti koperasi atau lembagalembaga keuangan lainnya.

BANK

BANK

CELENGAN

LAINNYA

14 %

33 %

53 %

KEDUANYA Rp 500

48

%

KERTAS

14

%

4. JENIS UANG YANG ANDA MASUKKAN

Rp

5

Rp

50050R0UP0IA0H

Rp

500 RUPIAH

42

majalah dimensi | edisi 49

KOIN

4%

34

%

RU RU P IA P IA H H

ABSTAIN

Rp 500


5. KISARAN NOMINAL YANG SERING DIMASUKKAN KE CELENGAN?

45%

43%

7%

500-1000

1000-5000

> 5000

Rp

Rp

6%

Rp

Tidak Menjawab

---------

Untuk kisaran nominal yang dimasukkan ke dalam celengan, 45% memasukkan Rp 500 - Rp 1000, 43% Rp 1000 – Rp 5000, 7% memasukkan uang diatas Rp 5000 dan sisanya yaitu 6% tidak menjawab pertanyaan. Dari kedua grafik diatas menunjukkan bahwa jenis uang yang dimasukkan tidak hanya uang koin saja tetapi uang jenis kertas pun juga. Dan jumlah uang yang dimasukkan ke dalam celengan adalah antara Rp 500 –Rp 5000.

6. KAPAN BIASANYA ANDA MEMBONGKAR CELENGAN?

PENUH

33%

BUTUH

TIDAK

UANG

MENJAWAB

59%

8%

Mengenai kebiasaan membongkar celengan, 33% mahasiswa membongkar celengan saat celengan sudah penuh, 59% saat membutuhkan uang dan sisanya 8% tidak menjawab pertanyaan.

7. APAKAH UANG HASIL CELENGAN BENAR-BENAR MEMBANTU ANDA?

Rp 500

Rp 500

90% KESIMPULAN

5% TIDAK 5% ABSTAIN

IYA

Dari hasil riset mengenai celengan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa mempunyai celengan. Bahkan sampai sekarang pun minat mahasiswa untuk menabung dengan celengan masih banyak, walaupun sebagian besar lebih berminat menggunakan bank karena dirasa lebih aman. Biasanya mahasiswa membuka celengan saat membutuhkan uang dan hal tersebut membantu mahasiswa dalam mengatasi keuangan.

edisi 49 | majalah dimensi

43


44


\ NAMA KONTEN \

Komunitas. Kota. Media. Urban. Ekspresi. Fotografi. Seni. Lestari. Masyarakat. Karya. Pemerintah. Lingkungan. Sarana. Kampung. Publik. Sketsa. Sudut. Photo story. Warga. Pengamen. Pesan. Mural. Wacana. Kehidupan. Budaya. Kreativitas.

edisi 49 | majalah dimensi

45


\ KOMUNITAS \

MAKSIMALISASI

GAD GET MINIMALIS

Oleh : Anak Agung Maya Septanti | Foto : Dokumen CoferOne

COFERONE/DARMAWAN ADHI

T 46

COFERONE/DARMAWAN ADHI

ERBENTUK dari jejaring sosial, CoferOne ada sejak 6 November 2011. Meski umurnya kurang dari dua tahun, anggotanya telah mencapai tiga ribuan, tersebar di seluruh Indonesia, antara lain Semarang, Jakarta, Malang, Aceh, Surabaya, Makassar, Tulung Agung, Yogyakarta, Klaten, dan Blora.

sebagai kota lahirnya CoferOne. Hanya bermodal handphone pribadi yang berkamera, kita bisa langsung bergabung ke grup Facebooknya di CoferOne atau menghubungi langsung admin di kota tersebut. Secara otomatis kita akan menjadi anggota CoferOne, bisa hunting atau sharing dengan anggota lainnya.

Regional Semarang sendiri memiliki anggota sekitar tiga puluhan. Awalnya anggota di Semarang adalah yang paling banyak, maka ditetapkanlah

Peminat CoferOne tidak hanya berasal dari Indonesia saja, namun beberapa ada yang dari negara lain di Asia. “CoferOne adalah komunitas yang terbuka,

majalah dimensi | edisi 49

jadi siapa saja bisa menjadi anggota dari CoferOne,” jelas Wisanti, salah satu anggota yang masih berkuliah di Universitas Semarang. “Motivasi saya sendiri membangun komunitas itu karena awalnya memang saya menyukai dunia fotografi. Suka share foto sendiri dengan kamera ponsel di socmed (social media –red) dan hasilnya banyak respon positif dari pembaca, hingga mereka pun juga ikut meng-share karyakaryanya. Lalu saya berpikir, fotografi dengan kamera ponsel,


COFERONE/NEWA ADITYA

Fotografi tak melulu soal kamera mahal seperti DSLR yang saat ini sedang nge-trend. CoferOne contohnya. COFERONE/NEWA ADITYA

kenapa tidak?� ucap Marken, penggagas komunitas ini. Dari situlah Marken mempunyai niat membuat suatu wadah atau komunitas untuk menggiatkan fotografi kamera ponsel. Yang menjadi tujuan didirikannya CoferOne adalah berani repot, mempunyai visi dan misi, serta konsistensi akan tujuan dan keseriusan, agar komunitas ini bukan sekedar komunitas main-main tetapi komunitas yang benar-benar punya komitmen untuk terus berdiri.

Secara umum kegiatan CoferOne adalah hunting foto, gathering, serta saling belajar atau sharing mengenai teknik-teknik fotografi menggunakan kamera handphone. Tidak sebatas itu saja, CoferOne juga telah mengikuti bahkan ikut menyelenggarakan beberapa acara.

Selain itu, mereka mempunyai harapan kalau nantinya CoferOne juga merambah pada foto jurnalistik. “Jurnalistik itu lebih meng-capture cerita, lebih dari sekedar gambar, ada kekuatan tersendiri dari kamera ponsel karena kita akan lebih dekat dengan objek,� tutup Wisanti.

CoferOne berharap dapat mengubah mindset masyarakat yang beranggapan bahwa fotografi hanya sekadar lifestyle belaka dan anggapan bahwa fotografi harus menggunakan kamera profesional.

Karya-karya para fotografer CoferOne dapat dilihat di coferone.blogspot.com dan web. coferone.com.[]

edisi 49 | majalah dimensi

47


\ SKETSA \

MENAPAKI JALANAN TIRTO AGUNG-NGESREP SETIAP MALAM, WISNU TIMUR ARIBOWO MENYUARAKAN SUARA HATINYA TENTANG ALAM, LINGKUNGAN, DAN KEHIDUPAN SOSIAL, BERMODALKAN SEBUAH HARMONIKA, GITAR, DAN SUARA MERDUNYA.

TAK SEKADAR MENGEJAR RUPIAH Oleh: Arum Ambarwati | Foto : Bela Jannahti

T

EMBALANG sudah diselimuti malam. Suasana jalanan sudah lengang. Beberapa orang mulai menutup warung makan, toko, dan tempat usaha lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 rupanya. Waktu itu saya dan seorang rekan sedang berada di depan sebuah kafe di daerah Tembalang. Kami menunggu seseorang. Selang tak lama orang yang kami tunggu tiba. Seorang lakilaki berperawakan kurus, tinggi, dengan jaket jeans dan topi. Sebuah gitar dan harmonika tersandang di bahunya. Dia adalah Wisnu Timur Aribowo. Atau lebih dikenal sebagai Ompong. Mas Ompong adalah seorang pengamen jalanan, namun bukan pengamen sembarangan. Dengan iringan gitar dan harmonika, ia melantunkan lagu-lagu yang sarat akan

48

majalah dimensi | edisi 49

pesan moral tentang sosial dan lingkungan. Pantang baginya menerima imbalan sebelum lagu yang ia bawakan selesai dinyanyikan. Satu hal lagi yang menarik perhatian adalah ia gemar menyanyikan lagu ciptaan Iwan Fals tiap kali ia mengamen. Dilantunkan dengan merdu disertai penjiwaan cukup dalam. Setelah sedikit berbasa-basi, kami memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Pria kelahiran 6 Oktober 1984 ini mengajak kami ke sebuah kafe lain di Banyumanik. Disana tersedia seperangkat alat musik, yang memang disediakan pemilik untuk menggelar live music untuk menghibur para pengunjung. Sesampainya di sana Mas Ompong segera mengambil mikrofon. Melantunkan sebuah lagu beraliran rock.

Usai menyanyi, ia memesan secangkir kopi hitam. Kemudian kami memulai obrolan. Tentang hidup dan mata pencahariannya sebagai seorang pengamen jalanan. Mas ompong memulai karirnya sebagai seorang pengamen pada tahun 2000. Saat itu ia diajak seorang temannya untuk ngamen di daerah Tembalang. Sepanjang jalan dari Patung Kuda hingga Bulusan adalah tempat untuknya mengais pundi-pundi rezeki. Dimulai selepas Maghrib, dan dipungkasi pada pukul 22.00. “Saat itu saya belum paham apa itu pengamen. Seiring berjalannya waktu, saya paham. Pengamen itu bukan sekedar gampang golek duit (mudah cari uang-red). Aku menjual seni, bisa nyanyi, dengan suara yang sedemikian rupa. Dikasih uang Alhamdulillah, tidak ya tidak


lagu itu betemakan sosial dan lingkungan. Terkadang ia juga rela mengamen atau menyanyi di sebuah acara hanya untuk sekedar berbagi, tanpa meminta imbalan. Misalnya saja ia pernah ikut meramaikan acara Marketing Contest tahun 2010 yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang. Disana ia bernyanyi untuk menggalang dana bagi para korban letusan Gunung Merapi beberapa waktu sebelumnya.

apa-apa,” terang Mas Ompong. Untuk ngamen sendiri sebenarnya ini bukan pertama kali baginya. Pada tahun 1997 silam, ia sudah mulai ngamen. Namun hanya sekedar ingin belajar bermain gitar dan mengasah mental.

prihatinannya akan nasib bangsa dan dunia. Ia selalu berusaha agar pengamen tak diremehkan. Caranya dengan memperhatikan konsep lagu yang dibawakan, untuk mencuri perhatian orang yang mendengarkan. Satu hal lain adalah bagaimana menyesuaikan nyanyian dengan lokasi tempat ia mengamen.

Mas Ompong menuturkan bahwa awalnya ia tidak begitu suka dengan Iwan Fals. Justru ia lebih menggemari band-band beraliran rock seperti Jamrud dan Boomerang. Namun pada tahun 2007 ia mendalami arti lagulagu gubahan salah satu maestro musik tanah air itu untuk dirinya pribadi dan Indonesia. Sejak saat itu ia tersadar, bahwa lagu-lagu Iwan Fals cocok untuk menyemangati manusia agar terus menolong orang lain.

Dari pengamen aku belajar mencintai alam dan ramah lingkungan

“Manusia itu terlahir sebagai makhluk sosial. Untuk bersosialisasi terhadap sesama, lingkungan, dan alam sekitar. Saya menemukan itu pada lagu-lagu Iwan Fals,” ungkap ayah dari tiga orang anak ini.

“Bagiku ngamen itu mata pencaharian sekaligus hobi. Aku pun masih belajar. Dari pengamen aku belajar mencintai alam dan ramah lingkungan,” ucapnya.

Bagi mas Ompong mengamen bukan untuk sekedar mencari rezeki. Namun ia mengamen dengan hati. Menyuarakan ke-

Selain menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals, Mas Ompong juga telah menciptakan beberapa lagu karyanya sendiri. Lagu-

“Disini yang terpenting pekerjaan saya halal, bukan kriminal. Semua menjadi tanggung jawab saya terhadap diri sendiri dan lingkungan. Saya akan tetap berjuang dengan musik. Tapi saya tetap punya impian untuk bisa dikenal di industri musik Indonesia,” ucapnya. Sebelum mengakhiri perbincangan, ia menyampaikan sebuah pesan yang ia tujukan untuk mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia. “Buat para calon intelektual muda untuk masa depan tanah air, ayo dari sekarang bangun diri dengan hal-hal yg positif, demi anak cucu dan bumi pertiwi kita, Indonesia. Salam hijau, salam damai dari Ompong Fals,” tuturnya disertai senyum. Setelahnya Mas Ompong memohon doa dari kami, beberapa saat lagi ia akan menjadi opening artist pada sebuah acara konser di Jepara. Obrolan kami pun berakhir. Kemudian, ia kembali ke panggung untuk menyanyikan beberapa buah lagu dengan penuh penghayatan. Memang, musik adalah nafas bagi seorang Ompong. []

edisi 49 | majalah dimensi

49


\ KOMUNITAS \

B

AGI sebagian orang, menuliskan atau menggambar sesuatu di permukaan tembok merupakan kegiatan yang merusak keindahan dan kebersihan kota. Sebelum menghakiminya, sudahkah kita mengetahui perbedaan jenis kegiatan “mencorat-coret� tersebut? Apakah grafiti, mural, ataupun vandalisme? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), vandalisme merupakan perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Apabila kita melihat suatu karya seni rupa berupa tulisan, gambar ataupun simbol pada dinding menggunakan komposisi warna, garis, volume serta bentuk dan kebanyakan dibuat menggunakan cat semprot, itulah yang dapat disebut grafiti. Sedangkan mural merupakan gambar dengan kandungan pesan moral tertentu yang dibuat menggunakan alat gambar yang lebih bebas daripada grafiti. Di Kota Semarang juga banyak ditemukan tembok-tembok bergrafiti maupun bermural. Tilik saja Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Stadion Jati Diri, pertigaan Pasar Kambing, Kelurahan Kaliwiru dan berbagai sudut lain. Dibalik kekaguman yang muncul setelah melihatnya, kita pasti ingin tahu milik siapa tangan-tangan pembuat karya seni tersebut, bukan? Adalah 12PM (baca: one two pm), sebuah kelompok yang para anggotanya memiliki ketertarikan sama yaitu membuat grafiti. Dibentuk pada Juni 2008 dengan jumlah anggota awal sedikitnya sekitar lima atau tujuh orang. Dahulu mereka sering melihat karya satu sama lain di jalanan, lalu mulailah saling mencari tahu melalui social media saat itu, Friendster. Lantas setelah melewati beberapa pertemuan dan semakin bertambahnya anggota, mereka memutuskan untuk berkarya secara kolektif. Jika kita lebih jeli lagi dalam melihat karya-karya mereka dijalanan maka kita akan menemukan nama Rebel, Collapse, Slurb, Mock, Jeho, Inonk, Boo Monster, Runr, dan Suck12. Itulah street name dari seluruh anggota 12PM yang saat ini berjumlah sembilan orang. Angkringan atau kucingan menjadi tempat pilihan untuk berkumpul di luar kegiatan menggambar. Mulai dari sharing perihal teknik menggambar dan referensi terbaru hingga bertukar informasi tentang perkembangan grafiti yang terupdate di dunia. Kegiatan tersebut juga dilakukan bersama kelompok grafiti seluruh Indonesia untuk menjalin komunikasi yang baik dan berkesinambungan. “Kita kegiatannya nggak cuma nggambar di Semarang aja sebenernya, karena kita juga beberapa kali trip ke Jogja lah, ke Jakarta lah buat ikut acara disana,� ungkap Tri Aryanto, salah satu anggota.

50

majalah dimensi | edisi 49

12P

BUKAN V

TAPI G

DAN M Oleh : Inadinna Fadhliyah


Tembok-tembok kusam penuh pamflet, poster, dan reklame menjadi media penyaluran kreatifitas bagi mereka. Paling tidak satu bulan sekali mereka menggambar bersama. Pada awal perjalanannya, pemilik situs www.onetwopm.com tersebut sering melakukan kegiatan ilegal yaitu menggambar tanpa izin di tembok milik orang.

PM

VANDAL,

GRAFITI

MURAL Foto : Dian Adi Pratama

“Tapi lebih ke sini kita mikir, kita pingin karya kita bertahan lebih lama juga. Makanya kalo kita didatengin sama pemilik tembok juga kita nggak lari atau kejar-kejaran. Kita negosiasi ke pemilik tempat, kita lakuin persuasi biar kedepannya bisa lebih enak gambar di situ lagi,” tambah pemuda yang kerap dipanggil Ari ini. Berpesan Melalui Seni Rupa Jalanan Jelang Hari Anti Korupsi pada 9 Desember 2012 lampau berbagai komunitas jalanan melakukan pembuatan bersama mural yang bertuliskan “BERANI JUJUR HEBAT” pada tembok sepanjang 15 meter di pertigaan Pasar Kambing. Pembuatan mural yang dilakukan serentak di 13 kota tersebut melibatkan dua dari anggota 12PM, yaitu Inonk dan Boo Monster. Saat ini tembok tersebut telah dikosongkan sementara, dengan menutupi seluruh permukaan dengan cat hitam dan ucapan belasungkawa diatasnya. Aksi simpatik tersebut merupakan suatu bentuk ajakan oleh 12PM kepada masyarakat sekitar untuk berkabung sejenak atas terjadinya kecelakaan besar yang terjadi di kawasan itu pada 3 Mei 2013 lalu. Keaktifan 12PM dalam berkarya tak hanya dapat dilihat dalam lingkup acara yang diadakan bagi dan dari komunitas street art saja. Pada 18-19 Mei 2013 lalu mereka terlibat dalam festival kampung bertajuk “Tengok Bustaman”. Berbagai mural oleh 12PM tak hanya menghiasi berbagai sudut kampung ini, namun juga memberi suatu makna dengan pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Acara yang diprakarsai oleh UGD (Unidentified Group Discussion) Semarang dan warga Kampung Bustaman RT 4 dan 5 RW 3, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah tersebut turut menggandeng berbagai komunitas seni yang ada di Kota Semarang. Kegiatan positif ini menggali sejarah kampung dengan berfokus pada digunakannya seni dan kreatifitas masyarakat dalam penyampaian wacana, gagasan, problem serta solusinya.

edisi 49 | majalah dimensi

51


Angkat Nama Semarang Dibalik semua kegiatan yang dilakukan terdapat tujuan bersama yaitu mengangkat nama Kota Semarang melalui graffiti dan mural. Sebagai buktinya yaitu saat mengikuti Jakarta Lawyers Club Mural Competition pada 2009, 12PM menjadi satu-satunya peserta dari luar DKI Jakarta yang masuk lima besar. Mengenai perkembangan mural di Kota Semarang Ari mengemukakan pendapatnya, “Mural atau grafiti itu kan masuk kategori street art. Itu di Semarang sendiri levelnya masih belum tahap yang bisa mempengaruhi publik.” Dirinya pun mengaku bahwa 12PM belum sampai pada tingkat itu, dibutuhkan kematangan konsep dan gerakan yang struktural. “Mural dianggap berbahaya karana bisa mempengaruhi, dampak ke publik langsung,” tandasnya. Di penghujung wawancara, 12PM mengungkapkan keinginannya untuk show up melalui video atau film dokumenter perkembangan grafiti Kota Semarang dari tahun ke tahun. Harapan utama mereka yaitu dapat mematahkan stigma “kuburan seni” pada Kota Semarang serta akan ada lebih banyak bibit-bibit sebagai penerus 12PM yang lebih berkualitas. Disamping itu, keinginannya adalah agar pemerintah dapat lebih memperhatikan sekumpulan pemuda dengan bakat dan kreatifitasnya yang membutuhkan sarana dan tempat untuk mengekspresikan diri. []

a

b c

Keterangan Gambar : a. Salah satu kreasi 12PM di tembok pagar TBRS b. Ungkap duka, kuas bicara

52

majalah dimensi | edisi 49

c. Pewarnaan tembok kampung Bustaman oleh 12PM d. Sosialisasi Tengok Bustaman di sudut kota Semarang



\ PHOTO STORY \

54

majalah dimensi | edisi 49


edisi 49 | majalah dimensi

55


\ NAMA KONTEN \

56

majalah dimensi | edisi 49


Eksplorasi. Camping. Heritage. Debu. Perjalanan. Indonesia. Kota. Budaya. Tenda. Bis. Kawan. Wisata. Jauh. New Place. Pantai. Laut. Pengalaman. Situs. Jalan. Outdoor. Melancong. Sejarah. Kamera. Cuaca. Pemandangan. Perahu. Tradisi. Petualangan. Kuliner. Peta. Foto. Backpack.

edisi 49 | majalah dimensi

57


\ TRADISI

\

NGINANG,

TRADISI UNIK YANG MENYEHATKAN

Oleh: Vitri Dwi Afriati | Olah Digital Gambar : Galih Alfandi

“Le, ntek , ndang susur-e mbah e e gak enak yen n a s a r , le e k s a ditumb yusur le,” mbah durung n

“NAK, susur-nya nenek habis, cepat dibelikan nak,

rasanya tidak enak jika nenek belum nyusur (nginang) nak”. Itulah kata-kata Mbah Wagirah ketika menyuruh cucunya untuk membelikan susur. Nyusur atau yang sering juga disebut nginang, merupakan salah satu tradisi orang Jawa sejak zaman dulu. Desa Ngastorejo di Pati, Jawa Tengah merupakan salah satu desa dimana mayoritas penduduknya yang berusia lanjut, masih mempertahankan tradisi nginang. Mbah Wagirah yang kini telah berusia 81 tahun adalah salah satu contohnya.

“Jaman mbiyen, sedoyo tiyang estri sami nginang. Nginang saget gawe ayu amerga saget ndamel lambe warnane abang, nginang nggeh saget gawe untu kuat,” ungkap mbah Wagirah. Zaman dahulu, hampir semua perempuan menyusur. Menyusur bisa membuat cantik karena membuat bibir jadi merah, juga bisa membuat gigi lebih kuat. Mbah Wagirah mengaku sudah melakukan tradisi nginang sejak remaja, karena tradisi tersebut telah diwariskan turun temurun dari neneknya.

58

majalah dimensi | edisi 49


\ TRADISI \ Nginang adalah sebuah tradisi mengunyah daun sirih yang biasanya ditambah berbagai campuran yaitu kapur sirih, biji pinang/jambe, gambir dan yang terakhir adalah tembakau sebagai alat pembersih setelah mengunyah sirih. Nginang merupakan tradisi orang dulu sebagai wujud hobi bagi kawula muda di masa itu, seperti memakan permen atau camilan pada zaman sekarang. Nginang dilakukan oleh orang yang suka ngemil, tetapi saat ini hanya lazim dilakukan oleh para orang tua sepuh saja. Rasanya seperti mengunyah rumput yang menjadi lengket awalnya, lalu setelah beberapa lama akan timbul rasa campuran antara pedas dan sejuk di mulut, serta menghasilkan air liur yang berwarna merah terang yang kemudian diludahkan tanpa ditelan. Nginang bisa dilakukan antara setengah hingga satu jam, bahkan ada yang bisa berjamjam tergantung dari orang yang meracik, karena lamanya tergantung dari rasa pedasnya. Sebenarnya tradisi nginang ini merupakan salah satu usaha untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Mengingat pada waktu itu belum ada pasta gigi modern dan sikat gigi yang praktis. Selain nginang, orang tempo dulu juga biasa membersihkan gigi dengan serbuk dari batu bata merah. Tetapi menurut mereka hal ini akan lebih merusak gigi walaupun gigi terlihat lebih putih dan bersih. Pada kenyataannya memang serbuk dari batu bata yang merupakan tanah liat yang telah melalui pemanasan dan oksidasi dapat dengan mudah mengikis lapisan email gigi. Sehingga bagi orang tempo dulu yang menyadari hal itu akan memilih nginang daripada serbuk batu bata merah. Karena kandungan sirih, rempah dan kalsium dari kapur yang diracik menjadi bahan-bahannya membuat orang tempo dulu yang menggemari nginang memiliki gigi yang awet dan utuh hingga lanjut usia.

“lalu setelah beberapa lama akan timbul rasa campuran antara pedas dan sejuk di mulut, serta menghasilkan air liur yang berwarna merah terang yang kemudian diludahkan tanpa ditelan.� Tradisi nginang yang telah dikenal sejak dulu ini, selain dipercaya sebagai tradisi yang menyehatkan juga dapat menambah kecantikan dengan

memberikan warna merah alami di bibir, karena di zaman dahulu ada asumsi yang menyatakan bahwa wanita yang mempunyai bibir merah itu cantik. Menurut mbah Wagirah yang berumur hampir satu abad itu, Nginang membuat dia tetap sehat sejak muda dulu sampai sekarang. Mbah Wagirah masih kuat melakukan kegiatan sehari-hari seperti memasak, beternak ayam, dan membersihkan rumah. Mbah Wagirah juga merasa kalau giginya masih kuat hingga sekarang, namun resikonya gigi menjadi kemerahan bahkan menghitam luarnya. Banyak kontroversi mengenai bahaya dan manfaat dari tradisi nginang ini. Di salah satu artikel kesehatan, disebutkan bahwa nginang memiliki risiko kesehatan yang sama dengan merokok karena mengandung unsur tembakau. Seperti dilansir dari ncbi.nlm.nih.gov, Senin (31/5/2010) sebuah penelitian pernah dilakukan oleh National Board of Health and Welfare untuk melihat hal itu. Ternyata pada smokeless tobacco (produk tembakau non-rokok) termasuk nginang, dijumpai risiko kesehatan yang sama dengan merokok meski sedikit lebih kecil. Risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada smokeless tobacco meningkat 2 kali lipat dibandingkan ketika tidak mengonsumsi tembakau. Sedangkan pada rokok, risiko tersebut meningkat 3 kali lipat. Selain itu, smokeless tobacco dapat meningkatkan tekanan darah sehingga memperbesar risiko hipertensi. Hal yang sama juga terjadi pada perokok. Karena dampak negatifnya lebih kecil, dalam hal ini nginang bisa dikatakan lebih aman dibandingkan rokok. Apalagi dampak tersebut hanya dialami oleh yang bersangkutan, tidak seperti rokok yang mengenal istilah perokok pasif. Masyarakat meyakini, tradisi ini memberikan manfaat bagi kesehatan gigi dan mulut. Meski belum banyak penelitian tentang dugaan tersebut, kebanyakan penginang memang memiliki mulut yang sehat serta gigi yang kuat meski berwarna agak kemerahan. Anggapan ini mungkin ada benarnya, sebab beberapa campurannya yakni gambir serta daun sirih dikenal sebagai antiseptik. Senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya dapat mencegah pertumbuhan kuman-kuman penyebab sakit gigi dan bau mulut. Selain itu nginang juga menggunakan endapan kapur sebagai campuran. Endapan yang telah membentuk pasta ini mengandung kalsium, yang diyakini punya manfaat bagi kesehatan gigi dan tulang. []

edisi 49 | majalah dimensi

59


\ BACKPACKER \

menelisik indahnya Pulau Napi Oleh: Badra Nuraga & Tiara Wintriana (Kru Magang) | Foto : M. Yanuar Nur Adi

Nusakambangan tak hanya menyimpan keindahan alam. Pulau ini juga menyimpan sejarah kolonialisme.

S

ELASA, 5 Februari 2013, pukul 5 pagi kami berboncengan dengan sepeda motor menuju Terminal Sukun Banyumanik Semarang. Sesampainya di Terminal Sukun, kami langsung menuju tempat penitipan sepeda motor. Untuk menitipkan satu sepeda motor dikenai tarif Rp 5.000 per hari.

Ada beberapa pilihan dari Semarang menuju Cilacap, bisa dengan shuttle, bus patas, atau bus ekonomi. Menggunakan shuttle dikenakan tarif Rp 62.500, bus patas tarifnya Rp 60.000 dan bus ekonomi tarifnya Rp 50.000. Kami memilih pilihan terakhir.

60

majalah dimensi | edisi 49

Kami berencana sampai pulau Nusakambangan siang menjelang sore, oleh karena itu pagi menjadi waktu yang tepat untuk berangkat. Pagi itu kami memilih bus transit Purwokerto karena bus ekonomi yang langsung menuju Cilacap hanya ada pukul 10.00 dan 17.00 WIB. Dari Semarang menuju Purwokerto dikenakan tarif sebesar Rp 35.000 per orang dan dari Purwokerto menuju Cilacap hanya mengeluarkan biaya Rp 10.000. Tepat pukul 05.30 WIB bus berangkat dari Sukun. Tak terasa pukul 11.40 WIB kami telah sampai di Terminal Purwokerto. Disambut beberapa kernet bus yang menawarkan tujuan-tujuan

mereka, ketika kami turun dari bus. Kami menolak, salat dan makan menjadi pilihan kami saat itu. Sembari menunggu kumandang azan dhuhur, kami istirahat sejenak di musala terminal. Setelah salat dan makan, perjalanan kami lanjutkan menuju Cilacap. Waktu telah menunjukkan pukul 13.15 WIB. Dari Purwokerto menuju Cilacap kami menggunakan bus ekonomi kecil yang hanya berkapasitas kurang dari 20 orang. Suasana begitu sepi kala kami memasuki bus, kembali salah seorang diantara kami mulai melontarkan gurauan-gurauan untuk mencairkan suasana. Tepat pukul 15.15 WIB kami sampai terminal Cilacap. Selepas menjalankan kewajiban kepada Sang Khalik, lantas


2

3 1

kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Teluk Penyu. Untuk menuju ke pantai, kami harus menggunakan angkutan umum yang berwarna hijau jurusan terminal-Pasar Gede dengan tarif 2500 rupiah per orang. Di perjalanan terlihat persawahan yang luas yang mampu memanjakan mata dengan kehijauannya. Tiupan angin laut yang kencang, mulai kami rasakan pertanda kami akan segera sampai di pantai. Yah benar saja tidak kurang dari 20 menit kami telah sampai di pintu masuk Pantai Teluk Penyu. Untuk memasuki pantai dikenai retribusi 4000 rupiah per orang. Mengenai Pantai Teluk Penyu, konon nama pantai ini berasal dari teluk yang banyak penyunya. Dahulu air di pantai ini cukup dingin dan sangat cocok dengan habitat penyu. Semakin lama alam semakin berubah dan penyu-penyu itu lantas pergi bermigrasi entah kemana. Karena hari sudah sore kami

harus cepat-cepat menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Pulau ini terlihat jelas dari Pantai Teluk Penyu, indah memanjang. Untuk menyeberangi pantai kami menggunakan perahu nelayan yang memang dikhususkan untuk penyeberangan pariwisata. Kami pun mulai bernegosiasi dengan nelayan yang perahunya akan kami tumpangi, lalu mencapai kesepakatan harga 20 ribu rupiah per orang. Saat menyeberangi pantai, mata kami terus dimanjakan dengan pemandangan di sekitar pantai. Laut yang biru, ombak yang sedang, langit yang cerah serta terlihat beberapa pemancing yang tengah asik menunggu kailnya disambar ikan. Tak kurang dari 10 menit kami telah sampai di pintu masuk Pulau Nusakambangan. Tukang perahu menjelaskan bahwa jika ingin bermalam di Nusakambangan kami harus izin pada tetua desa. Setelah mendapat izin lagi-lagi kami harus membayar retribusi terlebih da-

4 hulu untuk uang masuk sebesar 4000 rupiah per orang dan uang keamanan seikhlasnya. Perjalanan dari pantai menuju tempat kami bermalam berjarak kira-kira 2 km. Dengan ransel yang tergendong kami harus naik turun mengikuti medan. Walaupun medan yang kami tempuh sangat menjengkelkan, kami tetap tidak menyerah untuk sebuah panorama indah pantai pasir putih. Sembari menyusuri Pulau Nusakambangan kami mendengar suara burung berkicauan dan sesekali terdengar suara monyet. Hutan yang kami lewati tidak liar. Berbeda dengan hutan dekat lapas yang sangat mengerikan dan banyak hewan buas di dalamnya. Beberapa kali kami berhenti sejenak untuk melepas lelah. Sisa-sisa Belanda Berdasarkan catatan seorang Belanda, benteng yang ada di Pulau Nusakambangan,

edisi 49 | majalah dimensi

61


yaitu Benteng Karang Bolong, dibangun atas inisiatif Pangeran William I pada tahun 1836 dan menghabiskan dana sekitar 1 miliar gulden. Di dalam benteng kami dapat melihat beberapa penjara dan diantaranya penjara bawah tanah. Bangunan benteng ini masih sangat kokoh namun penuh coretan-coretan tangan jahil. Tahun 1873 Pangeran William III menambahkan benteng di Cilacap yang disebut Batre. Benteng Batre sering disebut dengan Pelabuhan Batre. Pelabuhan Batre ini merupakan tempat menyeberang dari Cilacap menuju lapas Nusakambangan. Sebenarnya di daerah lapas masih banyak tempat yang berpotensi besar untuk dijadikan tempat pariwisata, karena keindahannya yang luar biasa. Pantai yang berdekatan dengan

lapas adalah pantai yang berebatasan dengan laut lepas. Sayangnya kami tidak berkunjung ke pantai lapas, karena untuk mengunjungi pantai yang ada di lapas kami harus mengantongi izin dari Departemen Kehakiman. Keindahan Pantai dan Gua Selain benteng, ada dua pantai yang kami kunjungi, Pantai Karang Bolong dan Pantai Karang Pandan. Pantai ini dikala malam sangat indah, banyak nelayan yang mencari ikan dan diujung horizon kita bisa melihat kapal yang tengah berlayar. Saat cuaca cerah kami bisa melihat bintang bintang bertaburan. Tidak hanya itu, beberapa meter dari pintu masuk Nusakambangan juga terdapat dua gua alami dengan stalakmit dan stalaktit yang menawan. Gua yang pertama bernama Gua Wirya

Lodra dengan celah yang besar seperti mulut yang menganga. Suguhan alam yang begitu indah, tetapi sayang gua tersebut seperti tidak terawat, ada beberapa sampah dan coretancoretan kecil oleh pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Yang satunya yaitu Gua Naga Raja, kecil dan masuk kedalam tanah, kami sempat ingin menelusurinya tetapi karena kondisi gua yang sangat licin penelusuran pun kami batalkan. Rasanya kami masih ingin bermain di pulau cantik ini, namun kami harus segera pulang. Sesuai dengan kesepakatan kami pun di jemput perahu nelayan kami pukul 17.00 WIB. Seusai pamit dengan tetua desa, kami pun berlayar meninggalkan jejak kami di Pulau Nusakambangan dan kembali ke Semarang.[]

5 Keterangan Gambar :

6

62

majalah dimensi | edisi 49

1. Pantai Karang Bolong pantai yang menjadi tempat camp kami di pulau Nusakambangan 2. Bagian atas dari benteng peninggalan Belanda 3. Keindahan stalakmit dari gua Wirya 4. Lorong, salah satu bagian interior benteng 5. View pulai Nusakambangan yang terlihat dari pantai Teluk Penyu yang menyediakan kapal penyedia jasa penyeberangan 6. Di bangunan beneng, masih terdapat banyak coretan dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, hal ini menandakan kurangnya peran pemerintah memelihara kawasan wisata ini


\ KULINER \

Lebih Dekat dengan H Kuliner Jawa Tengah

AMPIR setiap daerah memiliki ciri khas kulinernya masing-masing. Rubrik kuliner kali ini mengambil kuliner khas dari tiga kota yang berbeda di Jawa Tengah. Adalah Temanggung dengan bakso lombok ulegnya yang pedas dan panas, Kudus dengan lentog sebagai menu sarapan, dan Solo dengan wedangnya yang tak hanya menghangatkan badan namun juga menghangatkan suasana. Masih terdapat lebih banyak lagi kuliner khas di masing-masing kota di Jawa Tengah. Tiap daerah memiliki kuliner khas yang dapat menjadi ciri masyarakat dan budayanya. []

sP ras

ety o

lentog, SARAPAN KHAS KOTa KRETEK

Lama kelamaan, ia mencoba untuk melinting tembakau dengan campuran cengkeh menjadi rokok. Suara yang dihasilkan saat lintingan itu terbakar, kretek kretek, menjadikan rokok dengan campuran cengkeh ini disebut kretek hingga kini. Bila kita berkeliling Kudus, kita akan banyak menemukan PR atau Pabrik Rokok. Aroma Kretek pun tak asing lagi. Kali ini kita akan mencicipi salah satu makanan khas Kota Kudus yaitu lentog. Lentog adalah salah satu makanan khas Kota Kudus yang sering disantap saat pagi oleh sebagian warganya.

an Irf Fo to :

KABUPATEN ini merupakan tempat diciptakannya kretek untuk pertama kali dan hingga kini menjadi kota penghasil kretek terbesar di Jawa Tengah. Adalah Haji Djamari, penduduk asli Kudus, yang pertama kali menggunakan minyak cengkeh untuk mengobati rasa sakit di dadanya.

Ba gu

Oleh: Irfan Bagus Prasetyo

Lentog dapat diartikan lontong. Sesuai dengan namanya, makanan ini berbahan dasar lontong. Konon, lentog berasal dari Desa Tanjungkarang. Hingga kini lentog yang telah menyebar di seantero Kudus ini dikenal juga dengan nama Lentog Tanjung. Makanan yang terdiri dari lontong dan tahu disiram kuah santan ini disajikan diatas piring yang dilapisi dengan daun pisang. Kuah santan yang disiramkan merupakan campuran santan dengan bumbu rempah ditambah nangka muda atau gori dalam Bahasa Jawa. Bawang goreng menjadi sentuhan terakhir dalam penyajiannya. Satu porsi lentog rata-rata dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Terdapat pula lauk yang disediakan untuk tambahan, biasanya telur. Meski tergolong makanan tradisional, menemukan penjaja lentog di Kudus pada pagi hari tak sulit. Banyak penjual lentog menjajakan dagangannya rata-rata pukul lima hingga pukul sembilan pagi. []

edisi 49 | majalah dimensi

63


Foto : Ratih Widyaningrum

WEDANGAN yang dalam Bahasa Indonesia berarti minuman sering kali menjadi teman santai saat sore maupun malam hari. Dalam Bahasa Jawa, wedang dapat berarti ngawe-awe kadang, memanggil saudara atau tetangga. Hingga kini wedang dalam masyarakat Jawa identik dengan keakraban dan kehangatan. Pernahkah Anda mencicipi minuman yang bernama Wedang Asle? Wedang Asle merupakan salah satu jajanan khas yang terkenal di Kota Solo selain serabi. Belum ada yang tahu mengapa dinamakan Wedang Asle. Menurut Pak Sabar, salah satu pedagang Wedang Asle yang biasanya berdagang di sekitar Stadion Manahan Solo, jajanan ini berasal dari Jawa Timur dan dipopulerkan di Solo.

asle

si teman njagong

Dari sisi tampilan minuman yang nikmat disajikan dalam keadaan panas ini hampir Oleh: Ratih Widyaningrum mirip dengan Wedang Ronde. Yang membedakan diantara Wedang Asle Dan Minuman ini tak hanya nikmat jika diseduh saat musim Wedang Ronde adalah isi dan bahan yang hujan. Bisa juga sebagai teman njagong disore hari bersama keluarga, kerabat, kolega maupun teman. digunakan. Wedang Ronde memiliki campuran dari buah kolang-kaling, kacang tanah, ronde (tepung kanji yang didalamnya berisi kacang merah) ditambah dengan kuah jahe yang hangat. Sedangkan Wedang Asle sendiri memiliki campuran bahan yang cukup sederhana. Campuran ketan putih, roti tawar, agar-agar, serta diberi tambahan gula pasir yang kemudian disiram dengan kuah santan yang gurih dan hangat membuat wedang ini sangat lezat dinikmati ketika hujan atau cuaca dingin.

Penjualan Asle kini tak sebanyak diera tahun 2000-an, kini pedagang yang menjajakan Asle dapat dihitung dengan jari. Meski begitu, harga minuman ini cukup merakyat. Dengan empat ribu rupiah kita bisa menikmati wedang ini. Bagi anda yang penasaran dan ingin mencicipi wedang Asle, anda dapat menemukan jajanan ini di daerah Stadion Manahan Solo dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. []


SIAPA yang tak mengenal bakso? Di daerah manapun kaki berpijak di negara kepulauan ini, seringkali kita menemui tempat yang menjajakannya. Penjajanya beragam, dari pedagang kaki lima hingga restoran elit.

Ciri khas rasa pedas cabe rawit di dalamnya menjadikan kuliner ini wajib dicoba oleh mereka yang mengaku penggemar pedas. Namun, hal ini tidak perlu dikhawatirkan bagi pecinta kuliner yang tidak begitu suka dengan rasa pedas karena bakso ini dapat disajikan dengan kadar kepedasan sesuai selera penikmatnya. Jumlah cabe rawit yang diuleg dalam satu porsi dapat menyesuaikan selera pelanggannya.

Pada dasarnya, bakso dapat disajikan dengan bermacam racikan. Bahkan, beberapa daerah menjadikan racikan baksonya sebagai makanan khas daerah. Bakso lombok uleg misalnya, racikan bakso yang menjadi ciri khas dari daerah Temanggung, sebuah kabupaten yang berada tepat di sebelah selatan Kabupaten Semarang.

Bakso yang menjadi kuliner favorit masyarakat ini dapat dijumpai di beberapa sudut yang tersebar di daerah Temanggung. Pilihan tempat beragam, karena tidak sedikit Pedagang Kaki Lima atau warung yang menjajakannya. Bahkan terdapat beberapa brand bakso lombok uleg yang telah membuka cabang di kota besar seperti Yogyakarta dan Semarang.

Bakso ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sajian bakso pada umumnya. Bolabola daging, tahu dan kupat berbumbu kecap serta merica yang bermandikan kuah kaldu lalu ditaburi dengan seledri dan bawang goreng. Perbedaannya terdapat pada cabe rawit yang di-uleg (dihaluskanred) langsung pada mangkuk penyajiannya sebelum bahan lain dimasukkan. Oleh karenanya, bakso ini dinamakan bakso “lombok uleg�.

Meski banyak yang menjajakannya, pada umumnya kita hanya perlu merogoh kocek 8 ribu rupiah untuk menikmati satu porsi bakso. []

BICARA TEMANGGUNG, BICARA BAKSO LOMBOK ULEG

Foto : Galih Alfandi

Oleh: DIan Adi Pratama

edisi 49 | majalah dimensi

65


\ NAMA KONTEN \


\ NAMA KONTEN \

Eksplorasi. Camping. Heritage. Debu. Perjalanan. Indonesia. Kota. Budaya. Tenda. Bis. Kawan. Wisata. Jauh. New Place. Pantai. Laut. Pengalaman. Situs. Jalan. Outdoor. Melancong. Sejarah. Kamera. Cuaca. Pemandangan. Perahu. Tradisi. Petualangan. Kuliner. Peta. Foto. Backpack.

edisi 49 | majalah dimensi

67


\ PENDIDIKAN \

MENGENAL

HOMESCHOOLING, Oleh : Muhammad Rukiyat

PENDIDIKAN ALERNATIF YANG TERSTRUKTUR

H

omeschooling menjadi suatu pilihan bagi yang membutuhkan pendidikan alternatif. Pengelolaan secara rapi menjadikan sistem ini tak kalah unggul dari pendidikan formal.

Saat ini telah muncul berbagai pilihan pendidikan yang tersedia selain pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah homeschooling. Sistem pendidikan yang digunakan oleh Albert Einstein ini adalah pendidikan yang dilakukan diluar ruang lingkup sekolah biasa. Sekolah biasa disini dapat diartikan sekolah dengan sistem pendidikan dengan skala besar dan sistematika yang dijalankan secara massal.

Homeschooling terdiri atas dua macam tipe. Tipe pertama melaksanakan pendidikannya melalui yayasan. Kegiatan belajar mengajarnya dilakukan di yayasan tersebut atau di tempat lain untuk kegiatan penunjang. Tipe kedua adalah homeschooling yang dilakukan dirumah. Pengajar bisa diperankan oleh orangtua sendiri atau mendatangkan orang lain yang berkompeten. Pada tipe kedua ini, tiap orang tua bertanggung jawab atas materi atau pelajaran berdasarkan hasil konsultasi dengan pihak yayasan homeschooling. Orang tua juga wajib melaporkan perkembangan hasil penyampaian materi yang diterima anaknya kepada pihak yayasan.

Homeschooling juga menggunakan sistem penjenjangan. Sistem jenjang pendidikan homeschooling tidak jauh berbeda dengan pendidikan formal karena terdapat jenjang Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, dengan rapor dan ijazah. Siswa homeschooling juga bisa melanjutkan ke jalur formal dengan

68

majalah dimensi | edisi 49

jenjang yang lebih tinggi, karena sistem homeschooling yang berdasarkan kurikulum pemerintah hanya sampai jenjang SMA saja. Selanjutnya dengan syarat sama seperti pendidikan formal yaitu mendapatkan ijazah setelah melakukan Ujian Nasional, siswa dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Lebih Fleksibel M Iqbal Birsyada selaku Kepala Sekolah Homeschooling Kak Seto Semarang mengemukakan beberapa alasan mengapa orang tua menyekolahkan anaknya ke yayasan homeschooling. Antara lain adalah kurang cocoknya dengan cara penyampaian materi dalam pendidikan formal dan tidak dapat mengikuti pendidikan formal secara penuh karena keperluan tertentu. “Banyak orang beranggapan bahwa mereka yang gagal dalam menempuh jalur pendidikan formal adalah orang yang bodoh. Hal tersebut merupakan anggapan yang keliru. Karena kecerdasan seseorang tidak dapat dilihat hanya dari nilai


FORMAL

Homeschooling tidak dapat diartikan hanya sebagai “belajar di rumah”

akademisnya saja,” ungkapnya. Ia menambahkan, kecerdasan yang dimiliki setiap orang tidaklah sama. Ada yang memiliki kecerdasan hanya pada satu bidang saja atau pada beberapa bidang. “Ada juga anak yang cerdas dalam berbicara tetapi tidak cerdas dalam logika. Hal tersebut yang menjadi konsentrasi dalam pendidikan homeschooling,” kata M Iqbal. Albert Einstein, seorang ilmuwan terkemuka kelahiran Jerman, menggunakan sistem pendidikan homeschooling. Einstein adalah pengidap penyakit disleksia, suatu kelainan pada otak yang menyebabkan ia lambat dalam menyerap pelajaran. Einstein dianggap gagal mengikuti pelajaran terutama matematika. Itu sebab ia disekolahkan di rumah. Dalam homeschooling, anak yang memiliki kecerdasan pada suatu bidang tertentu akan lebih difokuskan jenis pendidikannya ke bidang tersebut dengan tidak melewatkan pemberian materi lainnya. Otomatis penyerapan materi yang sesuai dengan kesukaan dan bidangnya akan lebih maksimal. Waktu pembelajarannya juga fleksibel. Tidak menuntut anak harus mengikuti jadwal pendidikan seperti pada pendidikan formal. Dengan kata lain, sistem pendidikan homeschooling bisa membuat seseorang lebih fokus pada hal yang mereka ingin pelajari dan sukai. Siswa Homeschooling Sulit Bersosialisasi? Satu pertanyaan timbul mengenai cara bersosialisasi mereka yang mengikuti homeschooling. Ada anggapan bahwa mereka akan mengalami kesusahan karena tidak terbiasa berkomunikasi dengan dunia di luar rumah.

Fahrunnisa Laila, seorang mahasiswa yang selama ini mengikuti sistem pendidikan formal berpendapat bahwa ada kemungkinan siswa homeschooling akan sulit bersosialisasi. “Mereka juga nggak tahu pasti soal pendidikan di sekolah formal yang pakai seragam, punya teman banyak. Jadi ya kurang bisa bersosialisasi,” tuturnya. Anggapan itu ditepis oleh Titi Purwati Ruth Handayani, salah seorang siswa homeshooling. Baginya, ruang lingkup bersosialisasi tidak hanya dalam kalangan sekolah saja. “Saya tidak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi karena saya juga tetap bergaul dengan tetangga atau teman-teman gereja,” ungkap Titi. Menurut Titi, pada dasarnya bersosialisasi tidak terpatok oleh sebuah sarana tempat tertentu. “Dimanapun kita berada disitulah kita dapat bersosialisasi dengan lingkungan,” tambahnya. []

edisi 49 | majalah dimensi

69


k i s a l K Kisah Sebuah

n a h i d e Kes Oleh : Gatot Zakaria Manta (Kru Magang)

“Aku tak ingin anakku menjadi pendosa lagi. Tak ada lagi kesakitan. Anak itu harus dipertahankan.�

Y 70

ANG pertama keluar dari kantong kenangan yang terkoyak adalah air mata. Kemudian isak tangis yang tertahan. Merasa malu dengan air mata itu, Mi berulang kali menghapus air mata yang meleleh di pipinya ketika dia berada di beranda rumahnya, memandang ke barat, melihat senja untuk pertama kalinya setelah 8 tahun kepedihan yang dia habiskan dalam pasungan di kamarnya sendiri. Air mata telah menjadi barang yang langka menyentuh tubuhnya selama tahun-tahun penderitaan itu.

majalah dimensi | edisi 49


\ SASTRA \ Barangkali, memang tak ada yang senostalgia senja di dunia. Senja pertama yang dilihatnya setelah menghirup dunia kebebasan telah memantik kenangan-kenangan lain untuk mengantri di kepala dan menunggu giliran untuk diingat. Namun kenangan Mi yang selalu sehat itu mesti bertarung terlebih dahulu dengan pikiran yang belum sepenuhnya lepas dari tekanan-tekanan mental yang hampir sepuluh tahun telah menjerumuskannya ke dalam kegilaan. Keningnya berkerut. Jemarinya bergetar memegangi pinggiran kursi. Matanya masih menerawang ke depan—senja masih terpantul di lensa matanya. “Ibu,” panggilnya. Dia telah memilih kenangan pertama untuk diingat. Ibunya—yang sedari tadi menunggui dari ruang tamu—tergopoh keluar. Sesungguhnya wanita itu masih khawatir dengan keadaan anaknya. Barangkali jika dia tidak menangis selama seminggu terakhir, semua warga masih akan bersikukuh memasung anaknya itu di kamarnya yang semakin lama seolah semakin menjerumuskan kegilaan Mi pada keheningan. Ya, kegilaan itu sungguh absurd. Pada awalnya adalah teriakan, umpatan, pukulan-pukulan ke ranjang dan dinding kayu, yang terus menjadi tanda bahwa penyakit itu masih ada. Namun semakin lama Mi berdiam di kamar—terpasung, yang tersisa tinggallah kesunyian. Mulut yang terus meracau men-dadak terkunci, tingkahnya pun tak lagi spontan, pandangan mata itu kosong dan menerawang. Namun pandangan sunyi itu yang membuat orang yakin kalau Mi masih gila. Pendapat yang diamini semua orang kecuali ibunya. “Anak itu telah sembuh,” bujuknya pada semua orang untuk membuka pasungan, “anakku pasti sembuh.” “Iya, Nak! Kenapa?” katanya saat duduk di sisi Mi. Sungguh, dia pun merasa jika mata itu masih menyimpan rahasia yang sebenarnya sangat berisiko. Dia ingat 10 tahun yang lalu, di masa-masa awal kegilaan anaknya, Mi sering berbuat rusuh di rumah-rumah tetangga, mengobrak-abrik warung, buang kotoran di depan rumah atau tengah jalan, bahkan suka berjalan telanjang bakda azan Zuhur menggema. Keonaran-keonaran itu membuat warga geram. Keluarganya tak bisa menolak saat mereka meminta Mi dikurung dalam pasungan. Namun Mi tak ingat masa-masa itu. Kenangan yang datang begitu melihat senja pertama setelah 8 tahun itu telah memenuhi kepalanya. Seolah kenangan lain menjadi tidak penting. Seolah Mi telah menemukan satu jawaban yang bisa mendekatkannya pada kesembuhan yang sebenarnya—dan dia menyadari hal itu. Seolah dia bisa hidup hanya dengan satu kenangan yang kemudian dia tanyakan dengan kalimat paling waras yang pernah ibunya bayangkan, “anakku mana, Bu?” Ibunya—bergetar karena campuran rasa haru, ketakjuban, dan kesedihan—tidak bisa tidak membandingkan anaknya dengan dua kondisi yang berbeda di masa lalu. Perempuan yang sama sebulan yang lalu masih memenuhi ranjang dengan kotoran yang meski selalu dibersihkan, namun tetap tak bisa menghilangkan bau. Yang hanya menanggapi setiap obrolan yang menyelingi setiap suapan dengan tatapan mata kosong ke satu titik di tembok atau atap. Namun perempuan tua itu tahu, bahwa pertanyaan tadi juga telah

mengembalikan Mi yang dulu selalu siap memberi kejutan demi kejutan. Maka adalah sebuah kejutan pula, ketika suatu hari di akhir September, beberapa bulan setelah kelulusan Mi, sementara dua orang tuanya tengah memilih nama-nama perguruan tinggi untuk anak tunggalnya, Mi memberanikan diri bicara dengan orang tuanya di ruang tamu. “Aku ingin menikah saja,” katanya dengan nada seolah menikah adalah sebuah persoalan yang sama biasanya dengan memasak atau mandi. Tak ada satu orang pun yang tahu jika sejak itulah tanda-tanda kegilaan itu datang. Ayahnya mengerutkan kening. Mi bukan seseorang yang suka bercanda. “Maksudmu, Nak?” Mi menatap mata ibunya, alih-alih ayahnya. “Aku hamil, Bu. Sungguh,” katanya masih dengan nada yang sama. Ibunya masih bisa ingat bahwa Mi menangis seusai mengucapkan kalimat pendek itu, jauh sebelum suaminya menyadari apa yang terjadi dan menampar Mi dengan tenaga yang bahkan tak pernah dia gunakan padanya. Bibir Mi pecah. Pipinya berwarna merah darah. Mi meneruskan tangisannya. Suaminya semakin marah. Dia tak bisa melakukan keduanya. Barangkali memang hanya kegilaan yang membuat Mi berkata seterus terang itu. Sama sekali tak terpikir olehnya untuk datang menyelinap suatu malam ke kamar orang tuanya, memanggil ibunya, lalu berkata sambil terisak mengenai yang sebenarnya. Pikiran-pikiran singkat dan picik pun sama sekali tak singgah di kepalanya. Kecuali bicara tentang kekasih yang telah menanam janin di

edisi 49 | majalah dimensi

71


perutnya, Mi hampir sama sekali tak melakukan apapun mengenai kehamilannya. Ketika Mi mengeja nama kekasihnya itu di depan keluarganya; kemudian ayahnya menyeretnya ke rumah lelaki itu; kemudian terjadi saling caci, saling maki, kekasihnya masih bersikukuh dengan keengganannya bertanggung jawab dan semua itu didukung penuh keluarganya; maka yang dirasakannya hanyalah rasa malu. Jauh lebih malu daripada saat pertama kali dia membuka baju untuk lelaki busuk itu. Jauh lebih malu daripada ketika dia berkata yang sebenarnya pada orang tuanya. Mereka pulang dengan tangan hampa, sementara semua telinga telah mendengar, semua mata telah melihat mereka. Solusi-solusi lain berdatangan, namun ibunya, dengan ketegasan yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya, berkata, “aku tak ingin anakku menjadi pendosa lagi. Tak ada lagi kesakitan. Anak itu harus dipertahankan.” Suaminya bahkan tak bisa menolak hal itu. Dia lebih memusatkan perhatian untuk menjebloskan lelaki yang telah merenggut anak perawannya ke dalam penjara. Dia tak memikirkan hal lain. Tidak Mi. Tidak istrinya. Tidak calon cucunya. Bahkan tidak kesehatannya. Barangkali karena siksaan itu, penyakit menggerogotinya. Ketika usia kandungan Mi menginjak 8 bulan dia meninggal. Lelaki itu terjatuh dari tangga pengadilan ketika mendatangi persidangan yang memvonis kekasih anaknya tiga tahun penjara. Kepalanya bocor. Dia juga terkena serangan jantung mendadak. Mi sendiri, sejalan dengan semakin besarnya perutnya, kegilaannya semakin kentara. Tak terhitung lagi teriakannya yang membelah keheningan malam. Ibunya harus selalu memasang mata padanya, khawatir jika sewaktu-waktu Mi memukul-mukul perutnya seolah perut buncit itu adalah sebuah beban yang menempel dan harus dihilangkan. Dia menyingkirkan benda-benda tajam, dan membatasi penggunaan benda-benda terbuat dari beling. Namun semua itu, semua ketidakwarasan dan kegilaan itu, seperti mendapat jedanya ketika Mi menjalani persalinan. Dia tak henti memanggil ibunya. Memegang tangannya dan memintanya agar tetap di sisinya. Dia juga bisa memahami perintah-perintah dokter. Menghirup nafas panjang. Mengejan. Mengembus nafas. Mengejan lagi. Berdoa. Hingga akhirnya bayi itu lahir. Ibunya tak akan pernah lupa hari ketika bayi itu diperlihatkan oleh dokter kepada anak perempuannya. Seorang bayi perempuan yang merah dan cantik. Dan meskipun Mi hanya sebentar memegang bayi itu, dan bahkan sama sekali tak bisa menyusuinya, namun dia tetap bangga dan senang. Bayi itu menangis sesaat, sebelum akhirnya menenggelamkan diri dalam kesunyian. Perempuan itu tahu, dia tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan yang membuatnya bergetar itu dengan jujur. Tidak sekarang. Masih panjang waktu yang harus dia pastikan terlebih dahulu, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengatakan bahwa anak itu tak pernah ada di dunia kecuali untuk beberapa saat saja. Dia menangis untuk mati. Untuk sebuah kisah kesedihan klasik yang lain.

72

majalah dimensi | edisi 49

“Hampir Magrib, Nak. Ayo masuk dulu!” kata ibunya. Dia memilih menghindar, untuk waktu yang tak terbatas. Sungguh, begitu banyak kesedihan yang riskan untuk diceritakan sekarang. Mi mengangguk, namun tak pernah lupa dengan kenangan tentang anak yang pernah dimilikinya. Barangkali saat-saat ketika bayi itu merosot dari selangkangannya adalah pengekang kegilaan yang menggerogoti ingatannya dalam 8 tahun terakhir. “Anakmu masih mengaji di langgar, bakda Isya’ mungkin baru pulang,” ibunya memutuskan untuk berbohong lebih jauh. Dia tahu akan ada bakda-bakda salat yang lain menghiasi setiap perkataannya mulai hari ini. Mi mengangguk. Namun dia membiarkan matanya menikmati saat-saat terakhir senja pertama yang dia saksikan lagi sejak 8 tahun itu dengan berkaca-kaca. Hatinya merasa hening. Ingatan tentang anaknya mulai redup, meski masih terjaga. Barangkali senja memang hanyalah masalah kesunyian. Ia membius perasaan. Mi membiarkan ibunya menuntunnya masuk. “Nanti katakan siapa namanya ya, Bu!” Ibunya tersenyum. Dia tahu waktunya akan semakin sulit karena setiap kenangan yang Mi simpan akan muncul dan menuntut dipertanyakan. Dia tak bisa bayangkan apa yang terakhir keluar dari kantong kenangan itu. []

Dia tak bisa membayangkan apa yang terakhir keluar dari kantong kenangan itu.


\ RESENSI BUKU \

Wa C rta eri wa ta n M dar uda i

Ol eh

: Ir

ma

No vit

a

M

ENJADI seorang wartawan fashion bagi sebagian orang mungkin merupakan pekerjaan yang melelahkan. Sehari-hari hanya berkutat dengan model, peragaan busana, perancang busana, serta bajubaju koleksinya dan seabrek jadwal acara fashion yang harus didatangi.

nya menulis membuat dia memilih untuk menjadi seorang wartawan.

Hal itu sepertinya tidak berlaku untuk seorang Armadina AZ, seorang wartawan fashion yang masih ABG (Anak Baru Gede). Remaja yang memulai karir sebagai seorang wartawan pada usia 14 tahun ini seolah memiliki kepribadian ganda selama menggeluti profesinya itu.

Menjadi korban bullying di sekolah, mungkin merupakan salah satu hal yang tidak masuk akal yang pernah dialaminya. Namun itu benar terjadi, seorang pelajar yang harus merangkap menjadi seorang wartawan fashion tentunya tidak mudah dalam urusan pengaturan jadwal. Sering bolos dan sering tertidur di kelas, mungkin salah satu penyebab mengapa dia sering di-bully dan tidak punya teman di sekolah.

Dalam buku pertamanya yang berjudul “ABG di Balik Runway�, gadis yang akrab disapa Nina ini menceritakan pengalamanpengalaman serunya selama menjadi wartawan fashion. Seorang anak yang masuk ke dunia orang dewasa. Begitulah kisah Nina yang sebenarnya tidak jauh beda dengan remaja pada umumnya, hanya saja kesenangan-

Kesibukannya yang sering bolakbalik dari satu pertunjukan mode ke pertunjukan mode lain juga tak lupa ia ceritakan dengan begitu detail seolah-olah kita ikut merasakan petulangannya.

Meskipun demikian, kecintaannya terhadap dunia jurnalistik fashion tidak memudar karena di sekeliling Nina banyak model yang begitu dekat dengan dirinya. Model-model tersebut

Judul: ABG di Balik Runway Penulis: Armadina AZ Penerbit: PlotPoint Publishing Bulan dan Tahun Terbit: September 2012 Tebal Buku: viii+267 halaman;19 cm ISBN: 978-602-9481-13-6

bagi Nina adalah seperti seorang kakak. Sudah selayaknya kalau mereka disebut kakak karena usia rata-rata yang terlampau jauh dari usia Nina. Cerita dalam buku ini dikemas sedemikian rupa, sehingga pembaca tidak bosan ketika membaca. Dibumbui dengan cerita masa lalu para model dan kesibukan para model diluar show, membuat buku ini menjadi mebih menarik untuk dibaca. Karena cerita semacam ini belum pernah diceritakan di buku-buku lain yang sejenis.[]


\ RESENSI FILM \

The Act of Killing Sepotong Rekonstruksi oleh Pelaku Sejarah 1965 Oleh : Bela Jannahti

A

DALAH Anwar Congo, tokoh utama dalam film besutan Joshua Oppenheimer dari Amerika Serikat ini. Anwar tidak berakting, melainkan melakukan reka ulang atas perbuatannya sendiri saat 1965 silam.

Jagal, atau The Act of Killing, adalah sebuah film dokumenter yang mengambil objek pembantai-pembantai orang komunis atau yang tertuduh komunis pada tahun 1965 di Sumatra Utara. Mereka –para pembantai ini– adalah orang-orang terpilih yang mendapat “amanah” dari negara untuk menumpas segala sesuatu tentang komunis pada saat itu. Anwar Congo sendiri awalnya adalah seorang preman bioskop. Pekerjaannya mencatut karcis bioskop. Dari situlah ia hidup. Saat PKI gencar menuntut embargo film-film Amerika, Anwar dan kawan-kawan merasa terusik sumber penghidupannya, karena bioskop menjadi sepi. Itulah sebagian pemicu semangatnya untuk memberantas PKI. Tak lama setelah PKI dibubarkan, Anwar dan kawan-kawan direkrut oleh Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk bergabung dalam Pemuda Pancasila (PP). Tugasnya: memberantas segala sesuatu yang berbau komunis di Indonesia, terutama di Medan dan sekitarnya. Anwar dan kawan-kawannya mengaku telah membunuh ratusan orang dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Pada awal film, Anwar mengatakan ia membunuh dengan senang hati, tanpa tekanan, tanpa penyesalan, terkesan bangga.

74

majalah dimensi | edisi 49


“Sambil berdendang, ia menarik ujung lain dari kawat. Ia tarik kuatkuat hingga hilang nyawa orang itu�

Didepan kamera, Anwar memeragakan bagaimana ia menghabisi nyawa manusia. Salah satu cara favoritnya adalah dengan mengikat orang yang akan dibunuh pada sebuah tiang, lalu ia melilitkan kawat pada leher orang tersebut dan salah satu ujung kawat diikatkan pada tiang kuat-kuat. Sambil berdendang, ia menarik ujung lain dari kawat. Ia tarik kuat-kuat hingga hilang nyawa orang itu. Cara ini ia senangi karena tak menyisakan noda darah, bersih. Anwar dan kawan-kawannya di Medan itu hanya merupakan sebagian kecil dari sejarah penumpasan PKI sekitar 1965-1966. Saat itu hampir di seluruh daerah di Indonesia, pembunuhan massal terjadi, antar sesama warga Indonesia, atas nama membela Pancasila. Hingga kini, peristiwa 1965 masih menjadi suatu kesimpangsiuran. Bagaimana Anwar dan beberapa kawannya yang tergabung dalam Pemuda Pancasila mau menyampaikan semua itu secara gamblang didepan kamera? Belakangan saya tahu, saat proses pengambilan gambar, Anwar dan kawan-kawan tak tahu kalau Joshua berniat membuat sebuah film dokumenter tentang mereka. Mereka ingin menjadi bintang dalam film aksi seperti yang mereka gemari saat masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara memanfaatkan kesempatan ini. Kemudian sutradara menantang Anwar dan kawan-kawan untuk mengembangkan adegan fiksi tentang pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi film-film favorit mereka, yakni film bertema gangster dan koboi. Mereka sendiri yang menulis naskah, bermain peran, termasuk peran korban. Jadilah film di dalam film. Hal ini yang membuat The Act of Killing sebuah film dokumenter yang cukup “berat�. Penonton diajak mengikuti berbagai hal yang dilakukan Anwar dan kawankawannya yang sedikit absurd. Jagal, atau The Act of Killing, memakan proses pengambilan gambar selama 7 tahun (2005-2011) dan membutuhkan waktu editing sekitar 2 tahun. Sebagian gambar direkam di Medan, Sumatra Utara. Film ini telah diapresiasi di berbagai negara dan mendapat banyak penghargaan, antara lain Grand Prize Copenhagen Documentary Film Festival pada November 2012, Penghargaan Amnesty Internasional di Festival Film Independen Lisboa, dan Penghargaan Utama Serbia. Film Terbaik dalam Festival Film Dokumenter Beograd di Serbia.[]

Screenshoot

edisi 49 | majalah dimensi

75


\ KELAKAR \

a Pratam n Adi

Dian Oleh :

S

EBUAH kota yang tenteram dikejutkan oleh maraknya kasus pencopetan di berbagai sudutnya. Menurut saksi mata, hampir semua kasus tersebut dilakukan oleh sekumpulan anak kecil yang saling bekerja sama. Pihak yang berwajib pun disibukkan oleh tumpukan berkas laporan kasus-kasus yang tengah meresahkan masyarakat itu. Puluhan personil diterjunkan untuk kasus ini. Sekitar dua bulan lamanya para pencuri kecil itu belum tersentuh polisi. Namun hari naas mereka tiba juga. Polisi telah mengendus bangunan tua yang menjadi tempat persembunyian mereka. Peringkusan terlaksana. Polisi berhasil menggiring empat anak lelaki. Mereka adalah Joni (15), Satriyo (14), Beni (14), dan Jupri (11). Di markas kepolisian resor setempat, mereka diperiksa. Keempat anak itu mengaku terpaksa mencopet untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota dan membiayai sekolah mereka. Mereka datang dari kota yang berbeda-beda, namun bernasib sama: sudah tak punya orangtua dan tiada sanak saudara yang mengasuh. Satu-satunya harapan yang masih mereka yakini bisa mengubah nasib mereka adalah sekolah, yang makin hari makin mahal.

76

majalah dimensi | edisi 49

ma |

ata Adi Pr

si : Dia Ilustra

Setelah diperiksa, kasus ini diputuskan akan dibawa oleh Penyidik menuju meja hijau. Hal ini adalah tuntutan masyarakat terutama para korban. Untuk memenuhi persyaratan Pengadilan Anak, polisi meminta Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Balai Masyarakat (Bapas) yang akan diajukan bersama Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Jaksa. Sel besi pun tak segan-segan untuk memberi pelukan dingin sebelum mereka dibawa ke Pengadilan Negeri. Mereka menyesali perbuatannya, namun tak bisa berbuat apa-apa.


Di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum mengemukakan bahwa anakanak tersebut melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman Pidana yang dituntutkan adalah penjara 2 tahun dan denda masing-masing Rp 200 ribu. Hal ini tidak bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa hukuman bagi anak adalah ½ (satu per dua) dari maksimum pidana bagi orang dewasa. Hakim sedikit ragu untuk mengambil keputusan. Lalu Hakim ingin mendengar pernyataan dari anak-anak yang telah menjadi tersangka tersebut. Ia pun mempersilahkan salah satu anak yang berperkara untuk mengajukan pembelaan. Joni yang bingung dengan pengadilan ini memberanikan diri untuk menghadap hakim. Bukan pernyataan yang keluar dari mulutnya, pertanyaan poloslah yang ia layangkan. “Maaf pak, saya hanya ingin bertanya. Selain Undang-Undang Hukum Pidana yang sangat rumit yang tadi saya dengar, adakah Undang-Undang yang mengatur kami sebagai anak jalanan?” Semua orang dalam pengadilan sedikit tercengang oleh pertanyaan Joni. Hakim pun sedikit bingung tak menyangka. Dengan bijaksana ia menyatakan bahwa tidak ada Undang-Undang yang mengatur anak jalanan, namun ada yang mengatur anak terlantar, yakni Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Mendengar pernyataan Hakim, Joni kembali menimpali dengan pernyataan yang menggelitik. “Kami anak jalanan, berarti kami anak terlantar, bukan? Tetapi dari dulu negara tak pernah memelihara kami. Itulah sebab kami melakukan pencopetan di kota ini. Berarti negara telah melanggar hukum juga.” Pengadilan hening. Hal tersebut membuat hadirin kembali tercengang. Hakim menggarukgaruk kepala. Tanpa menunggu timpalan dari hakim, Joni lagilagi mengajukan pertanyaan kecil yang sangat polos dan sama sekali tak terduga. “Jika kami melanggar Undang-Undang dan kami patut dihukum, bukankah negara juga harus dihukum pak?” []

edisi 49 | majalah dimensi

77


\ SKETS \

78

majalah dimensi | edisi 49


IKLAN BEGOR



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.