DIMENSI | 3
Lembaga Pers Mahasiswa
DIMENSI
Pelindung Ir. Supriyadi, M.T. Penasehat Poniman, S.E, M.Si Pembina Junaidi, S.T, M.Eng Pemimpin Umum Afrizal Fajar Baskoro Sekertaris Umum Fitri Nur Khasanah Bendahara Umum Hesti Ayu Ambarwati Pemimpin Redaksi Gatot Zakaria Manta Redaktur Majalah Dewi Ristiana Palupi Redaktur Buletin Nailis Soraya Redaktur Cyber Miftahudin Editor Windi Agustina D, Tri Mayasari Putri Reporter Muhammad Hafidz, Ruhaeni Intan, Ramayatul Ulyya, Rizky Faturrachman, Ghofur Abdul Aziiz Redaktur Foto Oka Mahendra Fotografer Luthfi Desti, Neni Mulyani, Rizaldi Eka Redaktur Artistik Hilmi Imawan, Sapto Nugroho Ilustrator Nailul Authari Layouter Ahmad Prabawanto, Adhi Anggara, Maylinda Arsa, Nurul Rahmawati Staf Cyber Arisa Olivia Pemimpin Litbang Edo A Kurniawan Kepala Divisi PSDM Nova Nur Anisa Staf PSDM Dewangga Binzar, Fitriya Marta R, Naenin Dwi A Kepala Divisi Riset Yuni Pambreni Staf Riset Dyah Risma W Kepala Divisi Humas Dinda Aziz Aisyarachmi Staf Humas Furdiyanto Pemimpin Perusahaan Wira Ariffiansyah Bendahara Perusahaan Sabrina Puteri Adila Kepala Divisi Non-Produk Mugiyanti Kepala Divisi Periklanan Lisanti Dian A Staf Non-Produk dan Periklanan Heny Eka L, Herman Ariwibowo, Yusiana Riski N, Deita Minka I Kepala Divisi Produksi dan Distribusi Diyah Ayu Lestari Staf Produksi dan Distribusi Aulia Nurushifa S, Muhammad Rizal
COVER
Model : Dedi Suryo Utomo Foto dan Grafis : Ahmad Prabawanto
Salurkan Idemu ! Redaksi menerima tulisan, karikatur, ilustrasi, atau foto. Hasil karya merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran atau hasil kopi. Redaksi berhak memilah karya yang masuk dan me-nyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah esensi. Karya dapat langsung dikirim melalui surat elektronik di lpmdimensi_redaksi@ymail.com atau dikirim ke alamat kantor redaksi di: Gedung PKM Baru Lt 2 No 5-6, Kampus Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. Soedharto Tembalang Selamat berkarya!
Dari Dapur Saya percaya dengan ungkapan bahwa manusia tidak akan pernah menang melawan waktu. Jangankan menang, untuk bertatap muka dan bertarung saja barangkali tidak akan bisa. Entitas yang satu ini sudah disejajarkan dengan kekuatan alam. Ia bisa mengikis apapun, termasuk semangat—sepadat apapun semangat itu. Saya menyaksikan sendiri bagaimana waktu mengikis semangat saya dan temanteman ketika harus menyelesaikan majalah ini. Ada begitu banyak masalah yang timbul—kebanyakan tiba-tiba, dan menggagalkan ekspetasi kami untuk menerbitkan majalah sesuai dengan waktunya. Untuk itu, saya meminta maaf yang sebesarbesarnya. Dalam majalah ini, secara tidak langsung ada benang merah pembahasan di balik layar mengenai garis waktu yang membentang di sana-sini. Yang pertama adalah mengenai pergerakan mahasiswa yang mulai bergeser. Mau tidak mau, pergerakan besar ini harus menuruti kehendak zaman dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Namun apa perkembangan tersebut pada akhirnya membuat pergerakan mahasiswa menjadi lebih baik? Berikutnya adalah mengenai liputan khusus tentang adanya gengsi ormawa di Polines. Barangkali warisan ideologi dan pesan yang diturunkan secara temurun dari generasi ke generasi secara tidak langsung membentuk kecenderungan tersebut. Keinginan untuk bersaing—dengan ormawa lain, dengan angkatan sebelumnya, dengan departemen sebelahnya. Selain itu ada pembahasan mengenai kuliner legendaris dari Kalibeluk, beberapa liputan tentang kampus tercinta—Polines, serta liburan murah ke salah satu museum di Surabaya. Tak lupa pula, saya merekomendasikan Anda membaca cerpen romantis yang terselip di majalah ini. Pada akhirnya, waktu pula yang akan menunjukkan kelemahan dari sesuatu. Begitupun majalah ini, pasti ada kekurangan di sana-sini. Tapi saya berharap, dari catatan-catatan tersebut, ada pelajaran yang bisa diambil—terutama untuk generasi berikutnya.
Hidup Pers Mahasiswa! DIMENSI | 5
Contents 09 19 29 35 43 51 6 | DIMENSI
09. Laporan Utama 10. Menilik Kembali Sosial Media, WAJAH Baru Pergerakan Mahasiswa 12. Pergerakan Mahasiswa: Kemana Kini Mengarah? 14. Sosok: Fris Dwi Yulianto 16. Kronik: Pergerakan Mahasiswa Indonesia 19. Laporan Khusus 20. Dana Ormawa: Untuk Apa Untuk Siapa 23. Opini: Nico Pracahya 24. Cara HMJ Atasi Kekurangan Dana 26. Polling : Plus Minus Gengsi Ormawa 29. Kampusiana 30. Menilik Efektivitas Jam Malam Kampus 31. Penambahan Hari LDK 2015 32. Speak Up: LDK Jadi Lima Hari, Efektifkah? 35. Semarangan 36. BELMEN, Isi Waktu Santai dengan Typography 38. Wanita, Tak Melulu Jadi Benalu 40. Galeri Foto: Ketika Jalanan Menjadi Panggung Tarian 43. Travelogue 44. Plesir: House of Sampoerna 47. Kuliner: Serabi Kalibeluk 48. Tradisi: Menyelami Tradisi Manganan Sigit dan Memutari Punden 51. Incognito 52. Resensi Film: The Words 53. Resensi Buku: Rembulan Tenggelam di Wajahmu 54. Cerpen: Aroma Kenangan 56. Kelakar: Memori 58. Kangprov 59. Ngedims
SURAT PEMBACA
RANDOM
8 | DIMENSI
r a o n p la u ta m a
DIMENSI | 9
LAPORAN UTAMA
“
50 tahun lagi, buku sejarah perjuangan bangsa era ini akan dipenuhi nama-nama pembuat hestek... Bukan demonstran di jalan
“ Menilik Kembali Sosial Media,
WAJAH Baru Pergerakan Mahasiswa Oleh: Ruhaeni Intan | Desain: Nurul Rachmawati “50 tahun lagi, buku sejarah perjuangan bangsa era ini akan dipenuhi nama-nama pembuat hestek... Bukan demonstran di jalan” adalah salah satu cuitan Sujiwo Tedjo, juga “Kamu sudah berjuang, Nak? // Sudah. Banyak malah /// Apa? /// Membuat status di medsos.” yang ditulis via akun twitternya @sudjiwotedjo. Hari ini, pergerakan mahasiswa sedang berubah. Jika tujuh belas tahun yang lalu, mahasiswakelompok yang disebut berintelektualitas itu, berhasil meruntuhkan sebuah rezim, pun berpuluh tahun sebelumnya, juga “berhasil” menjatuhkan seorang presiden dari kursi kuasa. Mereka juga ramai-ramai turun ke jalan guna menyuarakan aspirasi mereka. Tapi itu dulu. Tidak untuk hari ini. Setelah rezim orde baru runtuh, kebebasan seolah menjadi teman dekat bagi siapa pun yang hidup di negara berkembang ini. Pers tak perlu lagi takut kena bredel. Saking bebasnya, presiden pun bisa dikritik sepedas cabai oleh siapa saja, tak cuma mahasiswa. Reformasi benar-benar menawarkan kemudahan berekspresi. Sayangnya, aksi pergerakan, yang dulu kerap dilakukan ketika kebebasan masih mahal, justru tumbang sekarang.
10 | DIMENSI
Mengapa tumbang? Benarkah tumbang? Mari sejenak kembali ke masa Soekarno. Sewaktu Soekarno memimpin, budaya barat tidak boleh dekat-dekat dengan rakyat Indonesia. Alhasil, rakyat Indonesia terutama kaum muda jauh dari westernisasi. Sekarang? Westernisasi ada dimanamana, pun modernisasi. Setelah internet berkembang dan merajai, rakyat Indonesia makin pintar, dan makin malas. Hingga saat tulisan ini dibuat, tanggung jawab mahasiswa masih sama: sebagai kelompok pelopor perubahan, dan berorientasi pada pengabdian kepada masyarakat. Tidak ada beda dari tempo dahulu. Namun, realita sekarang berkata lain. Mahasiswa mulai kehilangan jati diri. Gerakan mahasiswa loyo. Sekalipun ada, ramainya hanya terbaca via sosial media. Tidak dipungkiri, gerakan mahasiswa pada dahulu kala begitu dekat dengan radikalisme, meskipun tidak seluruhnya. Aksi seperti demonstrasi maupun apel kerap kali berakhir dengan kerusuhan. Sekarang ini, ketika zaman makin mudah, gerakan mahasiswa semacam demonstrasi mulai beda kendaraan. Aksi turun ke jalan, berhadapan langsung dengan aparat
LAPORAN UTAMA
atau pemilk kepentingan mulai jarang ditemui. Jika pada era orde baru, kerap ditemukan sekelompok mahasiswa mengadakan long march, apel bersama warga sipil menuntut pemilik kepentingan, maka saat ini, ketika demokrasi sedang di atas awan aksi-aksi tersebut justru jarang kelihatan. Tapi bukannya tidak ada, namun aksi tersebut sudah berubah wujud. Tengok Twitter, aplikasi garapan Jack Dorsey yang kini lebih ramai dikunjungi para demonstran. Atau macam-macam petisi terbuka, yang dengan mudah bisa diakses dan dibaca oleh siapa saja, kapan pun, dimana pun. Hanya perlu membaca beberapa menit, kemudian tanda tangan. Petisi pun di retweet atau dibagikan kepada banyak netizen lain. Simpati berdatangan, timbul sebuah ilusi seolah-olah hal tersebut adalah bagian dari kepedulian terhadap nasib bangsa. Sosial media ramai, banyak yang mengaku peduli pada persoalan bangsa. Tapi, kepedulian berhenti hanya sampai di layar kaca. Di gerakan yang sesungguhnya, jumlah pengikut tak sebanyak ketika di ranah maya. “Waktu di Facebook, status yang nge-like ribuan. Yang komentar juga banyak. Tapi sewaktu turun ke aksi nyata, yang ikut cuma di angka ratusan,” adalah komentar Menteri Koordinator Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Semarang, Ulul Mukmin, ketika ditanyai perihal gerakan melalui sosial media. Hal lain juga diungkapkan oleh Presiden BEM Universitas Negeri Semarang, M. Mughnil Labib, yang mengatakan bahwa sosial media berperan bagus ketika digunakan sebagai media propaganda karena bisa menjaring banyak orang. Seiring dengan derasnya arus modernisasi, pergerakan mahasiswa mulai mencari bentuk baru. Banyaknya opini masyarakat yang menilai bahwa aksi demonstrasi mahasiswa selalu berujung anarkis mendorong adanya metode lain. Salah satu yang saat ini sedang booming adalah petisi terbuka atau petisi online. Disebut petisi terbuka karena petisi yang umumnya berisi tuntutan tersebut dapat diakses oleh siapa saja. Situs change.org mi-salnya, yang memuat ratusan petisi oleh masyarakat ataupun mahasiswa. Ilham Maulana, Presiden BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro (Undip) periode 2015 adalah salah satu aktivis yang tuntutannya berhasil dikabulkan pemerintah via petisi
terbuka. Ia bersama Rian Aprilatama, Presiden BEM FKM Undip periode 2013, mempelopori petisi yang akhirnya diikuti oleh BEM FKM seluruh Indonesia, isinya menuntut pemerintah mengembalikan gelar sarjana FKM yang semula S.Kes diubah kembali menjadi S.KM. “Menurut saya sangat efektif (petisi terbuka-red) karena kebetulan saya bikin akun, bikin member dan banyak sekali hal yang bisa kita lakukan hanya dengan sekali klik,” ujarnya ketika ditanya mengenai keefektifan petisi online. Reformasi kembali menawarkan perubahan bagi pergerakan mahasiswa. Kini, aksi demonstrasi yang nyata seringkali sepi, tak seramai ketika aksi demonstrasi via sosial media. Padahal, penandatanganan petisi terbuka sering menembus angka lebih dari seribu. Hari ini, perjuangan Indonesia sedang berubah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara statistik dinyatakan meningkat. Banyak pemuda yang bisa dengan mudah mengenyam pendidikan tinggi, meskipun banyak juga yang belum bisa merasakannya. Jika dibandingkan dengan tahun 98, saat ini rakyat Indonesia sudah jauh lebih enak. Fenomena “keenakan” ini mengakibatkan mahasiswa pelan-pelan mulai mengesampingkan perannya sebagai kontrol sosial bagi pemerintah. Hari ini, pergerakan mahasiswa sedang berjuang melawan kemudahan. Terlepas dari apakah bentukbentuk baru pergerakan mahasiswa lebih banyak menuai sukses atau tidak, mahasiswa tetap butuh bertemu dan berdiskusi, mengolah pola pikir kritis, bukan pragmatis. Sosial media adalah sarana informasi yang mudah, lain halnya dengan sarana perjuangan. Perjuangan tidak pernah mudah.
Media Sosial
DIMENSI | 11
LAPORAN UTAMA
: a w s i s a h a an M
k a r e g Per
ara
ofur Ab
Oleh: Gh
H
ampir enam bulan berlalu di tahun 2015 ketika artikel ini ditulis. Ketika kisruh di dalam internal partai menjadi warna baru dalam carut marut perjalanan sosial politik negeri ini. Seakan tidak mau kalah, dua lembaga penegak hukum Republik Indonesia juga kembali mementaskan teater “Cicak VS Buaya�, setelah dua tahun berlalu sejak pementasan terakhir . Walaupun sudah lebih dari 150 hari pementasan di panggung politik berlangsung yang diwarnai dengan aspek lama berupa hegemoni partai dan tokoh politik dan aspek baru dimana banyak tokoh-tokoh muda baru muncul dan memegang tongkat estafet kepemimpinan. Perjalanan politik masih saja terasa kurang bila diperhatikan. Bising suara di pementasan panggung politik seperti kehilangan salah satu tokoh tritagonis yang harusnya siap mengawal, memantau dan tidak segan-segan untuk bertindak mengubah arah cerita. Enam belas tahun sudah berlalu sejak pergerakan besar pemuda mengakhiri 32 tahun cengkraman rezim Orde Baru di Bumi Pertiwi. Walaupun dengan tekanan yang tinggi dari pihak pemerintah melalui militer, mahasiswa sebagai motor utama pergerakan pemuda di masa itu tetap berani dan lantang menyuarakan kepentingan rakyat. Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) di tahun 1974 adalah salah satu bentuk ketidakpuasan
12 | DIMENSI
gg : Adhi An | Desain z ii z A l du
mahasiswa terhadap kebijakan kerjasama pemerintah dengan pihak asing. Pada masa itu, mahasiswa menilai kerjasama tersebut tidak memihak pada kepentingan rakyat. Terlepas dari kontroversi kerusuhan yang melanda Jakarta akibat peristiwa tersebut, Malari adalah gerakan kritis pertama yang berhasil menggoyang pemerintahan Presiden Soeharto yang dilakukan oleh mahasiswa. Setelah peristiwa Malari yang menimbulkan kerugian besar itu, Presiden Soeharto akhirnya memberhentikan Soemitro dari jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib dan jabatan asisten pribadi presiden pada masa itu dibubarkan. Maka sedikit banyak, Malari berhasil mengubah sesuatu. Gerakan Mahasiswa Kini Pemuda yang dulunya selalu menjadi katalisator perubahan, kini tidak terlalu terlihat perannya. Tokoh yang tergabung dalam kaum intelektual sebelum kemerdekaan, dan menjelma menjadi mahasiswa sedari era orde lama hingga reformasi seperti semakin redup suaranya ditengah riuhnya pementasan. Entah karena waktu yang memang belum tepat atau karena pergeseran pola pikir. Generasi muda yang dulu pernah menurunkan pemerintahan Orde Baru dengan penuh keberanian turun ke jalan, kini seperti enggan bergerak tetapi juga tidak bisa digambarkan diam. Dicky Dwi Ananta dari Pusat Kajian dan Studi
LAPORAN UTAMA
Kemana Kini Gerakan BEM UI menyatakan bahwa pergerakan mahasiswa saat ini dinilai terlalu bergeser dengan mengandalkan perkembangan teknologi. Sehingga dia menilai timbul kemalasan untuk melakukan kegiatan yang bersifat nyata seperti diskusi, apalagi turun ke jalan. Adalah Aksi, label pergerakan mahasiswa yang diawali dengan peninjauan dan pemantapan sebelum turun kejalan. Edi Kuncoro selaku Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Diponegoro menjelaskan bawa mahasisiwa saat ini sudah bergeser kulturnya, dari kaum intelektual yang dulunya aktif berdiskusi mebicarakan isu-isu nasional yang bertranformasi menjadi kaum pelajar biasa yang lebih sukan mencari kesenangan dan hiburan semata. “Dulu zaman saya diskusi, kumpul di kucingan (angkringan) itu masih nyaman, tapi sekarang hal – hal yang bersifat hedon seperti karaoke lebih nyaman bagi mereka.� Pergerakan mahasiswa mulai menurun dari tahun 2013, walaupun masih ada tapi hanya untuk mengamankan diri mereka sendiri seperti mencari teman. Organisasi mahasiswa yang bercorak pergerakan mulai jarang peminat, bahkan banyak di antaranya yang mulai kehilangan pengaruh dan eksistensinya di kalangan mahasiswa. Contoh pada saat pemerintah mencabut subsidi bahan bakar
Mengarah ? minyak (BBM), mereka tidak sadar karena harga minyak dunia turun. Tapi pada saat minyak dunia naik baru koar–koar. Fenoma seperti ini akan terus berlanjut, tanpa adanya campur tangan pergerakan generasi mudanya. Hal itu juga diperparah dengan romantisme mahasiswa yang terlalu mengagung-agungkan pencapaian yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Jamaluddin, salah satu pegiat gerakan mahasiswa di Universitas Mulawarman menulis dalam esainya di Media Mahasiswa, bahwa mahasiswa Indonesia saat ini terlalu mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa lalu dengan menyebutnya secara heroik. Namun menurutnya, perilaku ini justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengamatan Jamaluddin, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada. Dan yang paling menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.
DIMENSI | 13
SOSOK
Fris Dwi Yulianto:
Turun ke Jalan Demi Perubahan Oleh: Ghofur Abdul Aziis | Desain: Afrizal Fajar
L
angkah Fris Dwi Yulianto sebagai pemuda aktivis telah dimulai sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), ketika diamanati sebagai Ketua Organisiswa Siswa Intra Sekolah (OSIS). Hari-harinya sebagai aktivis terus berlanjut dengan menjadi pengurus aktif Kerohanian Islam (Rohis) selama menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Rohis tetap menjadi pilihan pertama setelah memasuki Pendidikan Tinggi Universitas Diponegoro (Undip). Aktif menjadi pengurus Rohis lingkup jurusan hingga Universitas mengantarkannya menjadi Ketua Rohis Fakultas. Namun Rohis bukan satu-satunya bidang aktivitas yang dia tempuh selama di Pendidikan Tinggi. Di tahun 1998, pemuda yang juga pernah menjadi Ketua Rohis Fakultas ini juga mencalonkan diri dan terpilih menjadi Senat Mahasiswa dari Jurusan Perikanan Undip. Dia kemudian mulai aktif dalam bidang penyaluran aspirasi di lingkup mahasiswa. Hal itu membuat daya kritis dan tanggap Fris terhadap situasi sosial saat itu mulai tumbuh. Setelah puluhan tahun di bawah tekanan keterbatasan dalam berserikat dan berkumpul, Fris dan kawan-kawan seperjuangannya memulai misi besar, meruntuhkan rezim Orde Baru. Memasuki tahun 1998, di tengah kondisi perekonomian yang sedang terpuruk, Fris melalui organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mulai turun ke jalan (aksi demonstrasi) menyuarakan aspirasi rakyat. “Menurunkan rezim Orde Baru dan menghakimi Soeharto beserta kroni-kroninya yang menjadi simbol Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan anti demokrasi saat itu,” jelasnya ketika menceritakan kembali tuntutan rakyat saat Reformasi pecah. Gerakan tidak menggunakan Hak Suara atau yang
14 | DIMENSI
sering dikenal di masyarakat sebagai Golongan Putih juga sempat dia rasakan. “Saat itu kami merasa dari ketiga partai besar yang ada, tidak bisa memenuhi aspirasi rakyat. Bersamaan dengan itu pula kursikursi di pemerintahan dan parlemen banyak diisi dengan restu Soeharto,” jelasnya kembali. Sebagai informasi, Orde Baru hanya mengizinkan 3 partai untuk ikut dalam Pemilihan Umum, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI-sekarang TNI) juga tidak luput dari sorotan para aktifis saat itu. Fris menjelaskan bagaimana kekuasaan pemerintah yang tidak terkendali saat itu menempatkan ABRI yang merupakan alat pertahanan Negara menjadi salah satu alat politik bagi pemerintahan yang sedang berkuasa. “Di masa Orde Baru, orang militer menjadi Gubernur atau Bupati sudah biasa.” Pernah menjadi pemuda yang ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Fris. Motivasi terbesarnya turun ke jalan adalah bisa bermanfaat bagi masyarakat dan beban moral yang luar biasa terhadap kondisi saat itu. “Walaupun mahasiswa hanya 2% dari jumlah warga Indonesia, tapi mahasiswa merupakan pilar penting negara. Ketika mahasiswa salah dalam mengambil keputusan, negara memang tidak akan runtuh. Namun ketika mahasiswa tidak lagi bergerak, aspirasi rakyat tidak lagi tersalurkan.” Kenyang dengan pengalaman aksi menyuarakan aspirasi rakyat, pascareformasi akhirnya lulusan Sarjana Perikanan Undip ini berhasil terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kini Fris sedang mengabdi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah.
DIMENSI | 15
KRONIK
KRONIK PERGERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Oleh: Gatot Zakaria Manta | Desain: Ahmad Prabawanto
P
ergerakan mahasiswa Indonesia bukanlah sebuah gerakan baru. Pergerakan besar ini telah dimulai, bahkan jauh sebelum Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Yang paling diingat tentu saja adalah kelahiran Boedi Oetomo, yang kemudian juga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun selain itu, ada peristiwaperistiwa penting lain yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia dan dipelopori oleh para mahasiswa.
1908 : BOEDI OETOMO. Berdiri di Jakarta, pada 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan stovia.
1928 : INDONESISCHE VEREENINGING (Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu.
1945 : Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Demokarasi Liberal (1950-1959) : Seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi di bawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI).
16 | DIMENSI
KRONIK
1965-1966 : Pada masa setelah kemerdekaan, mulai bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai kampus. Lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI) yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi mahasiswa. Tujuan awal KAMMI adalah untuk menghadapi serangan ideologi dari pihak komunis (PKI).
1974 : Periode ini sangat berbeda dengan periode sebelumnya di tahun 1966, dimana pada masa pergerakan mahasiswa tahun 1966 mahasiswa melakukan afiliasi dengan pihak militer dalam menumpas PKI. Pada periode 1974 ini, mahasiswa justru berkonfrontasi dengan pihak militer yang mereka anggap telah menjadi alat penindas bagi rakyat. muncul suatu gerakan yang disebut “Mahasiswa Menggugat� yang dimotori oleh Arif Budiman dan Hariman Siregar yang menyuarakan isu korupsi dan kenaikan BBM. Gelombang Protes semakin meledak ketika harga barang kebutuhan semakin melambung dan budaya korupsi di kalangan pejabat pemerintah semakin menular, gelombang protes inilah yang memunculkan suatu gerakan yang dikenal dengan nama peristiwa Malari pada tahun 1974 yang dimotori oleh Hariman Siregar.
1975 : Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
DIMENSI | 17
KRONIK
1977 : Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, “Turunkan Suharto!� Peringatan 12 tahun Tritura pada 10 Januari 1978 jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Periode NKK/BKK : Pada masa inilah pergerakan mahasiswa mulai dimatikan peran dan fungsinya oleh pemerintah, yaitu sejak terpilihnya Soeharto untuk yang ketiga kalinya melalui Pemilihan Umum. Maka guna meredam sikap ktiris mahasiswa terhadap pemerintah dan untuk mempertahankan status quo pemerintahan maka dikeluarkanlah Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) melalui SK No.0156/U/1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul diadakannya konsep NKK tersebut maka pemerintah melakukan tindakan pembekuan terhadap beberapa organisasi Dewan Mahasiswa di beberapa kampus di Indonesia yang kemudian diganti dengan membentuk struktur organisasi baru yang disebut Badan Koordinasi Kampus (BKK).
1998 : Gejolak krisis moneter di seluruh dunia telah membuat kondisi perekonomian di Indonesia terguncang hebat. Hal tersebut ditandai dengan menaiknya angka tukar rupiah terhadap dolar yang menembus Rp 17.000/Dolar. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang. Dimulai ketika pada saat 20 mahasiswa UI yang mendatangi gedung MPR/DPR RI denga tegas menolak pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan melalui sidang umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional kepada MPR. Kondisi Indonesia semakin tegang sejak harga BBM melonjak naik hingga 71%. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, Presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri, dan kemudian menyerahkan jabatannya ke wakil presidennya yaitu Prof.BJ Habibie. [] *dari berbagai sumber
18 | DIMENSI
r a o n p la k h usus
DIMENSI | 19
?
?
?
LAPORAN KHUSUS
Dana Ormawa : Untuk Apa Untuk Siapa Oleh: Gilang Dwiangga (Crew Magang) | Desain: Ahmad Prabawanto
B
agi setiap organisasi mahasiswa (Ormawa)di Politeknik Negeri Semarang (Polines), dana ormawa menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Kehadiran dana tersebut begitu berguna untuk kelangsungan hidup ormawa karena dibutuhkan untuk menjalankan berbagai macam kegiatan. Dana ormawa memang masih menjadi sumber dana utama yang digunakan ormawa untuk beraktivitas.
?
Karena itu, sudah selayaknya diharapkan ormawa mampu membagi dan mengalokasikannya dalam setiap program kerja (proker) secara etis dengan otoritas yang mereka miliki. Selain hal tersebut, ormawa diharapkan bisa menerapkan kebijakan atau konsep yang arif dan bijaksana dalam pengalokasiannya.Terlebih lagi, apabila setiap ormawa telah memiliki tata kelola dan manajemen yang baik, dengan selalu memperhatikan skala prioritas untuk proker-proker yang mereka anggap penting dan bermanfaat. Sehingga dana ormawa dapat terserap sekaligus digunakan secara maksimal
20 | DIMENSI
tanpa melenceng jauh dari fungsi dan tujuan dana tersebut.
Dana Ormawa di Polines Di Polines, dana ormawa terklasifikasi menjadi dua, dana terprogram dan non terprogram. Dana terprogram digunakan untuk program kerja utama ormawa. Sedangkan, dana non terpogram digunakan sebagai cadangan dari dana ormawa terprogram, umumnya untuk pendelegasian dan program-program lain yang bersifat tidak rutin. Untuk besaran pembagian dana ormawa sendiri, setiap ormawa mendapatkan jumlah yang berbedabeda. Akan tetapi, untuk dana yang terprogram, antara satu ormawa dengan ormawa lain mempunyai jumlah yang hampir sama. Di kisaran angka Rp 10 hingga 11 juta untuk setiap ormawa, dengan perbandingan jumlah proker terprogram antara 6 sampai 11 buah. Sedangkan untuk klasifikasi dana non terprogram, untuk tahun 2014/2015 setiap ormawa mendapatkan sekitar Rp 2,6 juta.
?
LAPORAN KHUSUS
Dalam lingkup Polines, dana ormawa berasal dari iuran yang dikenakan kepada mahasiswa pada waktu pembayaran di awal semester. Selanjutnya , dana tersebut akan ditampung oleh Badan Pengawas Mahasiswa (BPM) selaku pengelola dana ormawa untuk kemudian disalurkan kepada ormawa. Karena alasan tersebut, tanggung jawab moral yang diemban pengguna dana ormawa menjadi lebih besar.
“Masalah kebijakan dalam penggunaan dan pengalokasian dana ormawa tergantung dari diskusi masing-masing ormawa, lalu dananya mau dibagi berapa rupiah setiap proker. BPM sudah membagi sesuai dari kapasitas ormawa kok,” ujar Ana Nur’aini, sebagai Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi Niaga (kini menjadi Administrasi Bisnis-red) periode 2014/2015.
“Dana dikelola BPM berdasarkan draft SPPK (Sidang Penetapan Program Kerja-red) yang dirumuskan oleh BPM yang berisi tata peraturan dan daftar rincian dana yang nantinya dikembalikan ke ormawa untuk mendapatkan persetujuan, dan tambahan berupa masukan atau tidak, bila ada,” tandas Lia Huriana, Bendahara BPM Periode 2014/2015.“Dari seluruh ormawa yang mempunyai draft SPPK hanya BPM, BEM, dan juga Pak Harno bagian BAAK. Sedangkan setiap Ormawa wajib mempunyai anggaran dasar saja,” tambahnya. Sebelum draft SPPK tersusun, pihak BPM mewajibkan ormawa untuk membuat rincian dana yang dibutuhkan, sesuai dana ormawa yang telah ditetapkan untuk diberikan ke BPM.
Menurut Esti Purbawati, Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa jurusan Elektro (HME) periode 2014/2015, bahwa proses pembagian dana dilihat dari besar dan kecilnya acara, fungsi, dan juga proporsional acara yang akan diadakan.
Lia juga menyatakan bahwa dengan kebijakan dan sistem pengelolaan yang diterapkan BPM telah menghasilkan sebuah transparasi di antara BPM dengan seluruh ormawa. Selain itu, dari kebijakan dan sistem tersebut, kurang lebih 95% dana ormawa telah terserap oleh tiap-tiap ormawa. Senada dengan pernyataan yang diutarakan Lia, beberapa bendahara dan ketua ormawa , khususnya Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) menyatakan bahwa kebijakan dan sistem pengelolaan yang diterapkan BPM sudah amat baik dan adil, sehingga hal tersebut menimbulkan transparasi antara HMJ dengan BPM soal dana ormawa. Pengalokasian Dana Di Polines sendiri, setiap ormawa memiliki ciri khas dan karakteristik masing-masing. Hal ini tampak dari konsep di masing-masing proker yang mereka buat. Selain itu, juga terlihat dari goal setting dan keputusan yang diambil oleh mereka. Namun di balik semua itu, ada satu kesamaan yang mendasar, yakni menyangkut otoritas dalam pembagian dana ormawa.
Melihat faktor tersebut, beberapa Ormawa, khususnya HMJ, menganggarkan dananya lebih besar pada proker pentas seni atau konser. Sekiranya, sekitar 46,98% dari jumlah dana ormawa yang diterima, mereka (HMJ-red) alokasikan untuk proker tersebut. “Bagi kami (Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (HIMA)-red), proker Presisi merupakan even yang paling prestise diadakan . Karena acara ini pertama kali kami adakan dan langsung mengundang artis ibu kota untuk meramaikan acara tersebut,” terang salah satu anggota HIMA merangkap sebagai mahasiswa di Jurusan Akuntansi yang namanya tidak mau disebutkan ketika diwawancarai. Sekali tiga uang dengan pernyataan salah satu anggota HIMA, Efendy Ario Saputra, selaku ketua HIMA periode 2014/2015 memaparkan bahwa ada tiga hal yang melatarbelakangi terlaksananya proker Presisi. Yang pertama, jika di tengok kebelakang, Jurusan Akuntansi belum pernah mengadakan konser sebesar Presisi. Kedua, adanya beban atau tanggungan sosial, karena pada masa kepengurusan sebelumnya pernah menyebar kuisioner untuk pentas seni (pensi) atau konser. Ketiga, keinginan dari pengurus HIMA dan mahasiswa Jurusan Akuntasi sendiri untuk mengadakan konser atau pentas seni. Jika ditengok lebih dalam, wajar memang bila proker pentas seni atau konser mendapat perhatian lebih dari ormawa. Selain karena proker tersebut merupakan salah satu proker dengan kapasitas acara yang besar dari proker lainnya, juga karena
DIMENSI | 21
LAPORAN KHUSUS
regenerasi jauh lebih penting dibanding proker konser karena berkaitan dengan peningkatan sumber daya manuasia (mahasiswa) di Polines.
?
proker tersebut juga membutuhkan dana besar dalam penyelenggaraannya. Namun begitu, perlu diperhatikan kembali tujuan dan manfaat dari proker tersebut oleh ormawa. Tidak pas bila hal tersebut nantinya hanya dijadikan ajang untuk berhura-hura yang memboroskan anggaran tanpa menghasilkan apa-apa, sehingga tidak sesuai dengan cerminan sebagai mahasiswa yang berpendidikan.
Mayoritas HMJ mengadakan proker tersebut dengan tujuan sama, yaitu untuk mengenalkan Polines ke lingkungan luar kampus. “Pada intinya, mau mengagendakan kegiatan apapun, mulai Seminar Nasional (Semnas), pensi, atau lainnya, semuanya dalam rangka mempublikasikan dan mempromosikan Polines,” terang Jauhar Ni’mal Fata, selaku Ketua Himpunan Mahasiswa jurusan Teknik Sipil (HMS) periode 2014/2015. “Hampir tidak semua orang mengetahui Polines, malah lebih mengetahui Politekes daripada Polines,” tambahnya. Sebenarnya berbagai hal positif bisa dilakukan dari proker pentas seni atau konser tersebut selain berorientasi memperkenalkan kampus dan jurusan. Salah satunya menjadikan Proker pentas seni atau konser sebagai ajang edukatif bagi masyarakat sekitar. Yaitu dengan memberikan tontonan menghibur yang sarat dengan pengetahuan. Contohnya seperti konser yang berkonsep tentang permasalahan lingkungan sekitar atau semacamnya. Jadi,hal tersebut tak sekadar hanya mempertontonkan hiburan semata namun juga berisi pembelajaran.
“Sebenarnya dari kami (BPM) terserah mau bagi dananya (dana ormawa) gimana. Karena itu AD/RT mereka,” tegas Lia, saat diminta pendapat tentang penetapan dana tertinggi dan terendah dalam proker ormawa. “Selama itu tidak ganjel (aneh–Red) kita tidak tanya. Itu otoritas mereka,” tambahnya. Adapun alokasi dana untuk proker Bakti Sosial (Baksos) dan Bakti Masyarakat (Bakmas), kurang lebih sebesar 8,54 % dari jumlah keseluruhan dana ormawa yang diberikan oleh BPM. Seperti halnya regenerasi, kegiatan ini sebenarnya juga sangat berguna dan bermanfaat. Selain dapat mengenalkan Polines di lingkungan luar Kampus, juga guna menumbuhkan jiwa sosial dan kepedulian akan lingkungan sekitar oleh Mahasiswa Polines. Bahkan, kegiatan tersebut sebagai bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat, sesuai yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kebijakan ini (alokasi dana tertinggi yang jatuh pada proker konser daripada proker lainnya) tampaknya memang adalah kebijakan yang lazim dilakukan dari tahun ke tahun. Akan tetapi yang membedakannya hanyalah besaran dana dari jumlah yang dialokasikan ke setiap proker ormawa, dari dana ormawa yang telah diterima. Ini dikarenakan dana ormawa umumnya mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. []
Kembali ke masalah untuk apa dana ormawa digunakan, selanjutnya adalah untuk proker regenerasi. Jumlah alokasi dananya tidak sampai sepertiga dari alokasi dana untuk proker konser, yakni di kisaran 12,01 %. Padahal jika dirujuk dari pemanfaatannya, proker
?
? 22 22 | DIMENSI | DIMENSI
?
OPINI
Proker:
Inovasi atau Gengsi? Narasumber: Nico Pracahya (KU 2A) Penyunting: Annora Deshty Zaneta (Crew Magang) Desain: Hilmi Imawan
Program kerja (proker) merupakan sarana sebagai sebuah organisasi mahasiswa (ormawa) dalam memajukan dan membawa nama baik civitas akademika. Dari proker, anggota ormawa, yakni mahasiswa, bisa mencurahkan gagasan mereka kemudian diimplementasikan secara baik untuk dinikmati seluruh anggota kampus. Tentunya, proker tersebut bukanlah proker yang sekadar proker hura-hura, bukan hanya proker yang menghabiskan dana hingga di luar batas logika dan ujung-ujungnya tidak bermanfaat. Menanggapi hal tersebut, berikut adalah opini dari Nico Pracahya, mahasiswa KU-3A yang kini juga menjabat sebagai Direktur UKM Kewirausahaan.
U
ngkapan seperti “Tahun ini panggil pembicara siapa?”, “Tahun ini tema konsernya apa? Guest Star-nya siapa?” atau “Dulu angkatanku bisa panggil ini, masa kamu cuma panggil itu?” bahkan hingga terlontar “Ormawa itu bikin acara ini lho, kapan kita juga bikin? Jangan mau kalah dong.” kerap muncul di komunitas ormawa. Seperti telah menjadi hal biasa memang jika proker dijadikan sebagai ajang gengsi antar ormawa. Tak hanya antar ormawa di luar kampus dan di dalam kampus, melainkan juga menjadi ajang gengsi bagi antar angkatan di dalam sebuah ormawa itu sendiri. Kegiatan sharing bersama alumni yang bertujuan berbagi pengalaman ketika masih dalam masa kerja dan melaksanakan program kerja mereka, seringkali justru menjadi ajang pamer dari masing-masing angkatan. Secara tersirat, masing-masing angkatan mengunggul-unggulkan program kerja yang telah terlaksana di angkatan mereka, tanpa melihat tujuan dari kegiatan sharing tersebut. Padahal esensi dari diadakan sharing adalah untuk berbagi informasi mengenai hal apa saja yang harus dilakukan dan hal apa saja yang tidak boleh dilakukan, agar kesalahan angkatan lalu yang lalu tidak terulang kembali.
Terlepas dari hal itu, pengurus ormawa yang baru seakan-akan terdoktrin pada ungkapan bahwa “angkatan ini harus lebih baik dari angkatan sebelumnya”. Ketakutan akan prestasi yang menurun merupakan hal yang wajar, namun sebenarnya tidak perlu aksi yang berlebih untuk menunjukkan eksistensi sebuah angkatan. Program kerja yang diselenggarakan dari tahun ke tahun memang harus semakin kreatif, inovatif, dan selalu mengikuti perkembangan zaman, namun semua itu juga harus kepada sisi yang positif. Perbaikan dan inovasi secara terus menerus memang sudah menjadi hal yang wajib dilakukan oleh sebuah ormawa, tetapi jangan sampai sebuah ormawa seolah-olah menjadi latah akan sebuah proker. Jika sedang musim DJ, apakah lalu semua ormawa ingin mengundang DJ? Padahal kita tahu kegiatan tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan bidang dari sebuah ormawa. Oleh karena itu, sebaiknya tujuan dan implemetasi sebuah program kerja disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan disesuaikan dengan visi misi dari ormawa, sehingga tujuan didirikan ormawa dapat benar-benar tepat sasaran.
DIMENSI | 23
LAPORAN KHUSUS
Cara HMJ Atasi Kekurangan Dana Oleh: Gilang Dwiangga (Crew Magang) | Desain: Maylinda Arsa
“Sejujurnya dana yang diberikan kurang. Dari sepengetahuan saya, kapasitas untuk HMJ memang lebih besar, tapi BPM sudah membaginya dengan adil kok,�
24 | DIMENSI
LAPORAN KHUSUS
D
alam pelaksanaan proker pentas seni atau konser, rata-rata setiap ormawa mengeluarkan dana mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jumlah tersebut terbilang sangat besar dan tidak sebanding dengan jumlah dana ormawa yang diberikan maupun yang dimiliki oleh setiap ormawa. Hal ini membuat ormawa melakukan berbagai macam usaha untuk mengatasi kekurangan dana dan terlaksananya acara tersebut.
tidaklah mudah untuk dilakukan, butuh perjuangan dan pertimbangan yang keras. Ini membuktikan bahwa seluruh Ormawa di Polines merupakan ormawa yang mandiri dan kreatif. Namun juga perlu diperhatikan agar usaha pencarian dana tersebut tidak menjadi bumerang yang kemudian membebani pengurus ormawa dan Mahasiswa Polines secara umum, terutama dalam hal pembebanan iuran wajib kepada mahasiswa.
Usaha-usaha yang dilakukan ormawa terbilang kreatif dan inovatif, yang mana diantaranya berjualan makanan ringan, menjalin kerja sama dengan komunitas di kota Semarang untuk menarik perhatian masyarakat terhadap acara tersebut (acara proker pentas seni atau konser), dan mencari sponsorship dari berbagai macam perusahaan. Lalu tak ketinggalan juga, ormawa menarik iuran uang peserta dan mengambil uang dari uang kas mereka.
Terlepas dari semua itu, banyak bendahara ormawa, khususnya HMJ, mengeluhkan kurangnya kapasitas dana ormawa yang diberikan. “Sejujurnya dana yang diberikan kurang. Dari sepengetahuan saya, kapasitas untuk HMJ memang lebih besar, tapi BPM sudah membaginya dengan adil kok,” ujar Ana Nur’aini, Bendahara Humania. Pernyataan yang hampir sama juga dilontarkan oleh bendahara Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) periode 2014/2015, Hayu Avtur Isnain bahwa ada beberapa proker yang tidak menggunakan dana ormawa, baik terprogram maupun non terprogram, karena alokasi dana ormawa yang diberikan kurang.
“Dari awal memang acara Presisi sudah diproyeksikan tidak memakai dana ormawa. Lebih baik dana ormawa saya alokasi ke program kerja yang membutuhkan. Karena acara tersebut membutuhkan dana yang cukup banyak, kami bisa genjot lewat kontribusi peserta, dana dari sponsor, dana jurusan, dan lainlain, ”ungkap Efendy Ario Saputra, ketua dari HIMA periode 2014/2015. Langkah kreatif yang dilakukan oleh ormawa dalam mengatasi kekurangan dana tersebut, perlu diapresiasikan. Pasalnya, dengan usaha kreatif tersebut, mereka berhasil mengatasi kekurangan dana yang ada. Padahal bila diperhatikan semua itu
Menanggapi hal tersebut, dari Bendahara BPM periode 2014/2015, Lia Huriana, menilai, bahwa nilai kepuasan dan kebutuhan orang atau organisasi masing-masing berbeda. Ada yang merasa cukup dan ada yang tidak. Hal ini tergantung dari mereka (orang atau organisasi tersebut) mengalokasikan dana tersebut.
DIMENSI | 25
POLLING
Plus Minus Gengsi Ormawa Oleh: Tim Litbang | Desain: Maylinda Arsa
H
ingga saat ini terdapat 23 Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di Politeknik Negeri Semarang (Polines) sebagai wadah dalam membina dan mengembangkan kompetensi mahasiswa, terutama softskill. Dari ormawa tersebut diharapkan terlahir sosok mahasiswa dengan karakter yang menonjol dan seimbang, baik secara akademik maupun organisasinya. Di dalam ormawa, mahasiswa belajar berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai latar belakang berbeda. Interaksi itupun berkembang lebih luas, dari hubungan internal ormawa hingga hubungan antar ormawa. Sejalan dengan hal tersebut, gengsi adalah hal yang lumrah terjadi pada kehidupan sosial begitupun dalam kehidupan antar ormawa. Namun mahasiswa haruslah tahu bagaimana bertindak, Adakah fenomena gengsi antar ormawa di Polines saat ini?
77%
Menyadari
23%
Tidak Menyadari
Berdasarkan hasil riset, ternyata sebanyak 77% mahasiswa menyadari adanya gengsi antar ormawa di Polines saat ini. Sebagaimana kita mengetahui bahwa gengsi merupakan fenomena yang mutlak dalam sebuah kelompok sosial, karena manusia diberi nasib untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain.
35%
Mengatakan Bukan Gejala
4%
Tidak Menjawab
26 | DIMENSI
karena sambil beraktivitas dalam ormawa, mereka dituntut tetap fokus dan menemukan jati dirinya sebagai insan akademis. Sebagai sarana pengembangan diri, maka keberadaan ormawa juga harus bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh mahasiswa, tidak tenggelam dalam hingarbingar trend pergaulan atau menuruti gengsi antara yang satu dengan yang lain. Ini guna meminimalisir adanya pihak yang malah merasa dirugikan dengan keberadaan ormawa itu sendiri maupun perwujudan proker – prokernya. Untuk mengetahui pendapat mahasiswa Polines mengenai kondisi tersebut bila dikaitkan terhadap ormawa - ormawa di Polines saat ini, Tim Litbang LPM Dimensi melakukan riset kepada 250 responden dengan random sampling (metode acak sistematis) pada lima jurusan di Polines. Maraknya ormawa yang menyisipkan konser besar dalam prokernya adalah salah satu gejala? Menurut 61% responden, salah satu gejala gengsi antar ormawa tersebut adalah semakin banyaknya ormawa yang menyisipkan konser besar pada program kerja tahunannya. Mahasiswa memandang ormawa melakukannya karena tuntutan eksistensi ormawa itu sendiri. Mereka berlomba mendatangkan artis nasional meski terkesan dipaksakan hingga tak jarang kehilangan tujuan utama dan melenceng dari outcome dan output dari proker tersebut. Sedangkan menurut 35% responden, hal tersebut bukan merupakan salah satu gejala gengsi. Mereka melihatnya sebagai sebuah inovasi, promosi, wujud apresiasi seni, dan kreatifitas ormawa. Sisanya sebanyak 4% tidak menjawab.
61%
Mengatakan Gejala
POLLING Gengsi antar ormawa lebih memberi Anda dampak?
Setujukah Anda dengan program kerja tahunan ormawa yang melibatkan artis besar?
31%
Tidak Setuju
1%
Tidak Menjawab
62% Setuju
Meski sebagian besar mahasiswa menyadari salah satu gejala gengsi antar ormawa tersebut, namun keterlibatan artis besar dalam proker tahunan ormawa nyatanya disetujui oleh 62% mahasiswa. Alasannya, karena hal tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi ormawa untuk menjadi lebih baik. Dalam hal ini sebagai pembelajaran bagi pengurus baru, baik dari kegagalan maupun keberhasilan kepengurusan sebelumnya. Sebanyak 37% mahasiswa tidak setuju jika artis besar dilibatkan dalam proker tahunan ormawa. Mereka berpendapat selama ini acara dengan keterlibatan artis besar masih minim manfaat dan hanya menghamburkan dana, meski hal tersebut adalah hak setiap ormawa. Mahasiswa menginginkan ormawa dapat lebih bijak dalam penggunaan dana selaras dengan tujuan akademik. Mereka menggarisbawahi kebiasaan buruk kebanyakan ormawa akhir – akhir ini yang seperti berfokus pada ‘guest star’ acara dan mengesampingkan tujuan awal yang melatarbelakangi proker mereka. Walaupun terlihat hebat dan membawa nama Polines namun pada kenyataannya tak jarang pelaksanaannya terlalu dipaksakan. Sedangkan 1% mahasiswa memilih abstain atau tidak menjawab pertanyaan.
Mengenai dampak dari fenomena gengsi ormawa terhadap mereka, sebanyak 52% mahasiswa menyatakan dampak negatif yang berimbas pada kesenjangan yang makin kentara di antara ormawa. Mahasiswa merasakan diskriminasi sosial, dimana kini istilah yang sering digunakan adalah mahasiswa “hits” bila telah menjadi anggota dari ormawa tertentu yang dianggap bergengsi karena kesuksesan proker – prokernya. Namun jika ditengok ke belakang, kesuksesan proker – proker tersebut tentu tidak terlepas dari keterlibatan mahasiswa yang sering dibebani iuran wajib untuk menopang kekurangan dana. Dalam hal inilah, mahasiswa merasa kurang terfasilitasi dengan baik, bahkan merasa diberatkan dan dipaksa untuk berpartisipasi dalam proker tertentu ormawa. Sebanyak 43% mahasiswa merasakan dampak positif dari fenomena ini memposisikan diri sebagai anggota ormawa, dengan adanya gengsi tersebut tercipta perasaan tertantang yang kemudian menjadi motivasi untuk berusaha dan memberikan kinerja yang lebih baik. Mereka menjadikannya cermin untuk intropeksi, mengetahui sejauh mana dan sebaik apa kinerja mereka selama ini bila dibanding yang lain. Perasaan tertantang untuk lebih maju dan open mind tersebut diharapkan dapat membentuk sebuah kompetisi sehat yang menciptakan tujuan yang terarah. Sisanya sebanyak 5% mahasiswa tidak menjawab pertanyaan.
43% Negatif
5%
Tidak Menjawab
52% Positif
DIMENSI | 27
POLLING
Program kerja apa yang seharusnya lebih menjadi fokus ormawa?
21%
Akademik
12%
Hiburan
43%
Pengabdian Sosial
24%
Lainnya
Sebanyak 43% mahasiswa berpendapat bahwa program kerja yang seharusnya lebih menjadi fokus ormawa saat ini adalah pengabdian sosial. Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Âmahasiswa harus mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan mampu berkontribusi nyata. Meski lebih bermanfaat, masih sedikit ormawa Polines yang mampu mempraktikkannya dengan maksimal sebagai wujud kepedulian dan bakti kepada masyarakat dan lingkungan, serta sebagai implementasi pengetahuan akademik. Selain mendatangkan manfaat langsung bagi masyarakat, mahasiswa dapat mengembangkan softskill untuk nantinya mampu menjalin hubungan dengan semua lapisan masyarakat dan mempunyai banyak relasi. Hal ini juga dapat memperkuat eksistensi dan membawa nama baik Polines di mata masyarakat luas. Sedangkan menurut 21% mahasiswa, ormawa
harus lebih fokus pada proker yang dapat memfasilitasi mahasiswa mengembangkan potensi akademiknya, karena menurut mereka sudah sewajarnya ormawa ikut andil dalam peningkatan mutu akademik. Sebanyak 12% mahasiswa menginginkan proker ormawa yang bersifat menghibur, namun dapat dikemas lebih baik seperti konser amal yang di sisi lain dapat menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama. Dan sisanya sebanyak 24% mahasiswa memilih opsi lainnya, seperti proker yang lebih bersifat meningkatkan kemampuan berwirausaha, religi, dan proker – proker yang dapat mensejahterakan anggotanya sesuai dengan yang tercantum pada visi misi setiap ormawa, serta proker yang lebih bermanfaat dengan melibatkan seluruh mahasiswa seperti program pelatihan dan sebagainya.
Dari riset tersebut, dapat disimpulkan bahwa fenomena gengsi antar ormawa saat ini sudah semakin dirasakan oleh sebagian besar mahasiswa dan cukup terasa pula dampaknya oleh mereka. Adalah benar bahwa setiap hal termasuk itu fenomena ini memiliki dampak positif dan negatif, benar pula jika setiap ormawa memiliki hak atas proker, SDM, hingga penggunaan dananya. Namun harus selalu diingat, ormawa berkewajiban untuk mengutamakan kesejahteraan anggotanya dan memfasilitasi seluruh mahasiswa tak terkecuali. Untuk itu, ormawa diharamkan untuk semata – mata meladeni perasaan pribadi seperti rasa tertantang untuk menjadi lebih baik dari yang lain hingga mengabaikan kepentingan umum mahasiswa. Sehingga paling tidak, tidak ada lagi masalah klasik ormawa dengan proker besarnya, seperti terpentok dana yang pada akhirnya akan memberatkan mahasiswa, institusi, maupun anggotanya sendiri. Dengan alasan apapun itu, termasuk untuk tujuan eksistensi masih ada banyak cara yang lebih baik untuk mewujudkannya. [ypi]
28 | DIMENSI
s i u a p n a m a k
KAMPUSIANA
Menilik Efektivitas Jam Malam Kampus
Oleh: Nur Alifa Aliyah (Crew Magang) | Desain: Adhi Anggara
M
ahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Polines) sudah tak asing lagi dengan jam malam. “Sejak beberapa tahun lalu memang telah diberlakukan jam malam di area kampus Polines,” ujar Ali Mahmudi selaku Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) tahun 2014/2015. Berdasarkan rapat pimpinan yang meliputi Direktur dan Pembantu Direktur (PD) tertanggal 9 Desember 2014 lalu, berlakunya jam malam di area kampus dipercepat menjadi pukul 23.00 WIB yang sebelumnya baru berlaku pukul 24.00 WIB. Diberlakukannya jam malam sendiri bertujuan untuk menghindari hal – hal yang tidak diharapkan, seperti pencurian, ketertiban maupun kegiatan– kegiatan lain yang bersifat negatif. Selain itu, Ali berpendapat bahwa jam malam juga diperlukan untuk mengatur mahasiswa yang sering menginap di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) tanpa adanya alasan ataupun ijin yang jelas. Namun apakah berlakunya jam malam di area kampus sudah cukup efektif khususnya bagi para mahasiswa? Berlakunya jam malam dianggap cukup efektif bagi sebagian mahasiswa, seperti yang dikatakan oleh Aditya Cahyo Utomo selaku anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tahun 2014/2015. Ia beranggapan bahwa jam malam memang diperlukan untuk ketertiban dan keamanan di area kampus. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa jam malam kurang efektif. Sukindar Catur,
30 | DIMENSI
mahasiswa KE 1B, misalnya. Ia tidak setuju diadakan jam malam karena terkadang ada kegiatan yang belum selesai. Kebanyakan dari mahasiswa yang kurang setuju diadakannya jam malam memang beralasan bahwa ada kegiatan yang harus dilaksanakan sampai tengah malam, hingga sering terjadi pencurian di area gedung PKM apabila gedung PKM sepi atau kosong. “Dulu nggak ada jam malam yang mahasiswanya sering di area kampus aja barang sering hilang, apalagi ada,” ungkap M.Najib Baihaqi dari Kompak 4A ketika ditanyai alasannya tidak setuju diadakannya jam malam. Sebenarnya mahasiswa telah diberikan kebebasan mengadakan kegiatan hingga tengah malam ataupun menginap, dengan syarat mengajukan surat keterangan yang jelas pada PD II dan PD III, hanya saja mahasiswa juga membutuhkan sosialisasi lebih lanjut untuk itu. Seperti diungkapkan Anif Magfiroh selaku anggota UKM Pengembangan Pengetahuan (PP), “Sudah efektif diadakannya jam malam, tetapi harus ada kemudahan dalam mengurus perizinan apabila ada keperluan.” Jam malam sudah cukup efektif apabila didukung dari berbagai pihak. Seperti ada pertanggungjawaban dari kampus dan pihak keamanan Polines, untuk menjaga keamanan area kampus. Maupun tanggung jawab dan kesadaran dari mahasiswa apabila mengadakan kegiatan di area kampus untuk mematuhi segala peraturan yang ada.
KAMPUSIANA
Oleh: Nefia Ayu Prasasti (Crew Magang) Desain: Ahmad Prabawanto
Penambahan hari
Foto: Dokumen Dimensi
LDK 2015 W acana mengenai Latihan Dasar Kedisiplinan (LDK) tahun 2015 yang akan dilaksanakan lima hari dibenarkan oleh Wakil Direktur III, Poniman. Namun, terkait keputusan resmi mengenai hal ini baru akan diumumkan pada awal Mei 2015 setelah turunnya Rencana Anggaran Belanja (RAB). Penambahan hari untuk LDK ini sendiri bukan tanpa alasan. LDK sendiri pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan karakter mahasiswa baru melalui latihan kedisiplinan. “Kalau berdasarkan evaluasi kegiatan LDK tahun lalu, penyampaiannya materi dinilai kurang karena waktu yang diberikan terlalu pendek. Nah, maka dari itu akan ada rencana penambahan materi mengenai narkotika, radikalisme terosrisme, korupsi , leadership, dan kerjasama,”ungkap Poniman. LDK merupakan Program Kerja (Proker) tahunan dari institusi sebagai kegiatan awal mahasiswa baru (maba) di Politeknik Negeri Semarang (Polines). Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan beberapa Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang ada di Polines khususnya dari Resimen Mahasiswa(Menwa). “Mau dilaksanakan tiga hari, atau lima hari pun Insya Allah kami selalu siap,” ungkap Yazaluna Istighfari Hata Rizky selaku Komandan Menwa. Sejak jauhjauh hari Menwa sudah melakukan persiapan untuk memaksimalkan LDK tahun ini. Persiapan itu sendiri diantaranya latihan fisik, latihan bersama TNI dari Banteng Raider (BR), serta menyiapkan perlengkapan untuk menunjang kelancaran LDK nanti. Rizky juga menuturkan bahwa kemampuan personil dari Menwa sekarang dirasa mampu untuk melaksanakan proker dari intitusi ini.
Selain Menwa, ormawa lain yang dilibatkan dalam pelaksanaan LDK adalah Korps Sukarela (KSR). Tim dari KSR bertindak sebagai pelayanan kesehatan dalam kegiatan ini. “Kami selalu siap, untuk itu kita mempersiapkannya dengan memaksimalkan latihan fisik ya, soalnya kan LDK identik dengan kemampuan fisik dari personil kita,” tutur Komandan KSR, Muhammad Nur Syahid. KSR akan mengerahkan semua personil dalam LDK tahun ini, namun dalam pembagiannya ada semacam sistem shift. Untuk LDK tahun lalu, Muhammad Nur Syahid menambahkan bahwa KSR memiliki banyak personil namun maba yang harus dievakuasi juga tidak sedikit. Dari situlah KSR merasa kewalahan dalam mengevakuasi maba pada LDK tahun lalu. “Kalau mengingat kapasitas personil dari kami yang tahun ini kebanyakan cewek, kami berharap adanya kerjasama dari Menwa, UKM lain maupun anggota TNI, ya kalau bisa setidaknya mereka ikut membantu sebagai tim evakuasi sedangkan KSR sebagai tim kesehatan,” imbuhnya. Dengan diadakannya penambahan hari dalam LDK tahun ini beberapa pihak berharap tingkat kedisipilan maba semakin meningkat. Dilihat dari hasil LDK tahun lalu yang dinilai masih kurang menghasilkan output yang baik. “Harapannya semoga lancar, sukses, ada kerjasama yang baik antara intitusi dan semua ormawa yang ikut andil dalam kegiatan LDK ini,” imbuh Komandan Menwa, Rizky. []
DIMENSI | 31
SPEAK UP
LDK Jadi Lima Hari,
Efektifkah? Oleh: Rizky Fatturahman | Desain: Afrizal Fajar
B
erdasarkan pencapaian hasil dari Latihan Dasar Kedisiplinan (LDK) pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya tiga hari belum mendapatkan hasil maksimal, pihak institusi Politeknik Negeri Semarang akan mencanangkan LDK untuk diselenggarakan selama lima hari dengan maksud agar pembentukan karakter pada mahasiswa bisa lebih berdampak. Bagaimana pendapat para mahasiswa dan persiapan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang terkait? []
Bahrul Huda, Presiden Mahasiswa 2015-2016
“Sebenarnya tidak apa-apa LDK lima hari tapi kalau bisa jangan mengambil hak dari WaRNA sendiri dengan memotong kegiatan menjadi dua hari karena juga sama-sama penting. Harapan saya semoga LDK lebih menarik dari tahun-tahun sebelumnya jangan hanya membuat kesan pada ‘pyeng pyeng pyeng pyeng hap’ nya namun juga dapat mendidik karakter dengan tepat dan benar.”
Ali Mahmudi, Wakil Ketua BPM 2014-2015
“Saya sendiri setuju bahkan kalau memang mau seperti yang dulu-dulu tidak apa-apa karena lebih bisa membangun sifat disiplin yang lebih kepada maba tapi ya kita nggak bisa memungkiri, kasihan juga adek-adek maba.”
Yazaluna Istighfari Hatta Rizky, Komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) 2015-2016
“Kami sudah menyiapkan untuk rancangan ini jauh-jauh, jadi kami sendiri selalu siap dan menjalankan tugas tersebut semaksimal mungkin. Jadi meskipun lima hari namun tidak bisa menangkap ilmunya maka kembali ke personal masing-masing. Harapan saya setiap ormawa bisa ikut andil untuk memperlancar kegiatan LDK ini.”
32 | DIMENSI
SPEAK UP
Muhammad Nur Syahid, Komandan Korps Suka Rela (KSR) 2015-2016
“Meskipun hanya mendengar isu rencana ini, kami sendiri juga harus siap dan kami pasti akan kerahkan semua anggota dengan pembagian shift. Kami juga menyiapkan fisik anggota yang notabene kebanyakan perempuan pada tahun ini. Saya juga berharap LDK tahun ini lancar dan para maba menjadi lebih baik.”
Ardy Wibowo, Mahasiswa Administrasi Niaga
“Saya menerima baik rencana ini kalaupun WaRNA dijadikan dua hari menurut saya tidak masalah karena kita bisa lebih memadatkan materi wawasan almamater. Harapan saya kalau rencana LDK lima hari semoga mahasiswa baru nanti bisa lebih baik dari kakakkakak tingkatnya.”
Ahmad Fajri, Mahasiswa Akuntansi
“Kalau saya sendiri menanggapinya plus minus, kurangnya kita lihat tahun lalu saja baru satu hari berlangsung para maba sudah tidak kuat, lebihnya dimana karakter yang ditanamkan bisa lebih kuat dari tahun-tahun sebelumnya.”
Fu’adi Ma’shum, Mahasiswa Teknik Sipil
“Kalau dari saya mau berapa hari pun tidak masalah, namun tindak lanjut pada harihari perkuliahannya kurang. Kalau WaRNA sendiri dua hari pun tidak apa-apa asal cara mengemasnya aja yg lebih efektif.”
Ahmad Nauval, Mahasiswa Teknik Elektro
“Menurut saya untuk anak jaman sekarang itu berat, tahun kemaren saja baru satu hari sudah gugur. Namun sisi lain para maba bisa mendapatkan pendidikan karakter dan kedisiplinan lebih kuat. Semoga para maba nanti lebih cinta dengan Polines dan pendidikan kedisiplinan ini lebih melekat.”
Ahmad Sultonul Al-Bar, Mahasiswa Teknik Mesin
“Bagus sih bahkan tahun dulu saja sampe satu bulan, saran saya LDK lima hari tidak apa-apa namun WaRNA tetap tiga hari karena biar semua itu efektif. Pesan saya buat para maba nanti ya semangat saja, dek.”
Poniman, SE, M.Si, Wakil Direktur III
“Rencana ini sendiri bukan dibuat tanpa alasan, kami telah menimbang dengan melihat evaluasi tahun-tahun sebelumnya. Akan dilaksanakan lima hari karena agar kita bisa semakin menanamkan jiwa disiplin dan membangun karakter dengan lebih melekat. Keputusannya bulan Mei tahun ini.”
Totok Prasetyo, Dr, B.Emg, M.Y., Dosen Teknik Mesin, Program Studi Konversi Energi.
“Mengenai rencana LDK yang akan diadakan lima hari saya sangat setuju bahkan kalau LDK diadakan dua bulan pun saya juga setuju asalkan disesuaikan dengan kalender akademik. “
DIMENSI | 33
“ Seven Social Sins : politics without principles, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, and worship without sacrifice.�
34 | DIMENSI
a n r g a a n m e s
DIMENSI | 35
KOMUNITAS
Belmen,
I si Waktu Santai dengan T ypography Oleh: Dewi Ristiana Palupi | Desain: Hilmi Imawan
B
eramai-ramai mengunjungi kedai kopi, kafe, dan tempat-tempat serupa dengan sesekali muncul beberapa obrolan serta kelakar yang terdengar menarik. Sekilas para anggota komunitas Belajar Menulis (Belmen) ini seperti hanya sedang menikmati waktu luang khas anak muda pada umumnya. Akan tetapi ketika dilihat lebih jauh, sebenarnya waktu luang tersebut tidak sepenuhnya mereka gunakan untuk bersantai. Memanfaatkan moment-moment tersebut, Belmen dan beberapa Belmen regional lainnya seperti Semarang berusaha membuat kegiatan belajar yang menyenangkan dan juga produktif. “Disini kita bagi ilmu. Nongkrong lebih ada esensinya, bukan hanya buang waktu dan uang saja,� tutur Edison Saputro, salah satu anggota sekaligus koordinator Belmen Semarang. Ia menjelaskan bahwa selain berkarya dalam seni menggambar huruf atau biasa disebut dengan lettering dan typography, Belmen juga menjadi wadah bagi mereka yang ingin belajar berbagai bentuk gambar desain seperti ilustrasi, doodle, sketch, mural, dan logo. Seiring perkembangannya, bahkan para anggota Belmen tidak hanya belajar secara manual melainkan juga olah digital.
36 | DIMENSI
KOMUNITAS
Belmen Semarang sendiri mulai terbentuk sejak 7 Januari 2015. Berawal dari obrolan dengan salah satu anggota Belmen Solo, para koordinator utama Belmen Semarang kini bisa mengumpullkan hingga 10-15 anggota tetap dalam setiap pertemuan. Mulai dari tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga pekerja, dalam 1 bulan sekali rutin berpartisipasi dalam kegiatan yang selama ini mereka sebut dengan Pen Meetup. Berbekal media promosi berupa poster yang diunggah dalam @belmenid media sosial Instagram, Belmen Semarang mengundang siapapun yang berminat mengikuti Pen Meetup. Selain Pen Meetup, beberapa anggota secara informal juga sering melakuka Mini Pen Meetup yang dihadiri 4-6 orang saja. Dalam setiap Pen Meetup, Belmen selalu menggunakan tema kegiatan lettering yang berbeda. “Misalnya waktu lebaran kemarin, kita ambil tema ucapan ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri’ dan semacamnya,” jelas Apriza Arief yang juga merupaka anggota aktif Belmen Semarang. Menurut Apriza selain dapat menata mood dan menambah relasi, belajar lettering juga menjadi ladang penghasilan bagi beberapa orang yang memang serius melakoninya. Hanya dengan berbekal sketch book, beserta drawing pen atau brush pen dan meluangkan waktu 1-2 jam saja, pembuat lettering yang telah mahir dapat menyelesaikan 1 buah sketch tulisan dan menjualnya dengan harga 50.000 hingga 100.000 rupiah. Pembeli biasanya berasal dari relasi atau kenalan si pembuat. “Kalau ditekuni, hobi juga bisa jadi mata pencaharian,” tambah Apriza. Di sisi lain, meskipun seni menggambar huruf atau lettering saat ini lumayan digemari, komunitas-komunitas daerah seperti Belmen Semarang masih kesulitan dalam mempromosikan karya-karyanya. Sejauh ini mereka hanya mengunggah desain yang mereka buat melalui akun instagram pribadi dengan hastag semarangcoret atau belmensemarang.
DIMENSI | 37
Foto : Dokumen Pribadi
KOMUNITAS
Wanita, Tak Melulu Jadi Benalu Oleh: Windi Agustina Dewi | Desain: Ahmad Prabawanto
38 | DIMENSI
KOMUNITAS
W
anita kini tak lagi identik dengan kegiatan yang berbau rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, dan lain sebagainya. Sekarang wanita dapat melakukan berbagai hal. Bahkan sambil melakukan tugas-tugas pokoknya, wanita juga dapat membantu suaminya untuk mencari nafkah dan menutupi kekurangan ekonomi keluarganya. Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) adalah salah satu komunitas yang telah menunjukkan adanya bukti emansipasi tersebut. Iwapi adalah komunitas yang tergabung oleh para pengusaha– pengusaha khusus wanita baik dari usaha mikro kecil, dan menengah. Awalnya Iwapi hanya didirikan di Jakarta, namun seiring berjalannya waktu Iwapi mulai mempunyai cabang–cabang lainnya di Provinsi termasuk Jawa Tengah yang kemudian berdiri di kota-kota kecil Indonesia, seperti Kabupaten Semarang, Salatiga, Temanggung, dan Boyolali.
Iwapi yang berdiri di Boyolali sendiri berdiri sejak tahun 1994. Iwapi ini berasal dari Dewan Pimpinan Cabang Boyolali yang diusulkan pendiriannya oleh seorang pengusaha wanita, Enry Sutopo. Awal berdirinya komunitas ini hanya terdiri dari 50 anggota dengan 50 bidang usaha, namun sampai sekarang banyak wanita–wanita yang telah sukses dan mempunyai usaha sendiri sehingga anggotanya telah mencapai kurang lebih 200 anggota. “Usaha Iwapi ini sendiri didirikan bertujuan sebagai wadah untuk mengayomi para pelaku usaha wanita di masing-masing daerah sehingga mereka dapat bersatu dan lebih berkembang dan bermanfaat satu sama lain anggotanya,” tutur Erna Dyah Galih selaku Sekretaris Iwapi cabang Boyolali. Selain memamerkan dan menjual produk-produk hasil karya anggota melalui bazar,
Iwapi juga pernah melakukan kegiatan lainnya, seperti aksi sosial seperti donor darah, buka bersama anak yatim, senam massal, dan membagikan sembako gratis untuk pasukan penyapu jalan. Sumber dananya sendiri diperoleh dari iuran kas para anggota ataupun dari sumbangan beberapa pengusaha yang tergabung dalam Iwapi. “Untuk membangun jaringan – jaringan usaha yang tergabung dalam Iwapi sendiri kita sering mengikuti expo dan pameranpameran baik yang diadakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah maupun lainnya,” tutur Sri Endang Hartati, Ketua Iwapi Dewan Perwakilan Cabang Boyolali tahun 20152019. Dia juga berharap agar ke depannya, Iwapi dapat lebih bemanfaat bagi wanita-wanita yang ingin mengembangkan usahanya, bukan hanya usaha yang terbatas di dalam negeri namun juga di luar negeri. []
DIMENSI | 39
GALERI FOTO GALERI FOTO
Ketika J alanan MENJADI
Panggung Tarian Foto: Luthfi Desty A & Rizaldi Eka P | Desain: Adhi Anggara
L
ampu lalu lintas memang bisa mendatangkan rezeki bagi beberapa orang, salah satunya adalah Pak Yayuk dan beberapa temannya. Datang jauh-jauh dari Wonosobo, mereka seolah mengubah perhentian lampu lalu lintas di Perempatan Milo, daerah Jl. Dr. Cipto Semarang menjadi panggung pribadi. Namun mereka tidak asal menari untuk mengamen, karena tarian yang mereka praktikkan adalah gerakan Tari Langger, meskipun hanya beberapa detik saja. Himpitan ekonomi memang yang telah memaksa mereka turun ke jalan karena panggilan menari di panggung kini semakin jalan. Namun semua itu menjadi suka duka bagi mereka yang tiada henti menari untuk rejeki dan niat tulus memperkenalkan budaya lewat jalanan.
Cerminan seorang penari jalanan
Berhadapan langsung dengan penonton layaknya di atas panggung
GALERI FOTO
Pak Yayuk (sebelah kiri) sedang mengoperasikan speaker kecil untuk mengiringi tarian
Formasi dan gerakan Tari Lengger
Mengoperasikan speaker kecil sembari melihat rekan menari
Penuh senyum mengharapkan rejeki
DIMENSI | 41
RANDOM GALERI GALERI FOTO FOTO
Beristirahat dan berbincang dengan seorang teman
Memasang kostum tari
Menengadahkan gelas plastik
42 | DIMENSI
o g l e u v e rt a
DIMENSI | 43
PLESIR
House of Sampoerna:
SALAH SATU DESTINASI WISATA GRATIS SURABAYA
Oleh: Gatot Zakaria | Desain: Hilmi Imawan
S
elasa, 21 Juli 2015. H+5 Idul Fitri saat itu ketika saya memutuskan untuk pergi sendiri ke Surabaya. Saya lebih memilih sendiri karena saya tahu keluarga dan teman terdekat masih sibuk dengan tradisi berkunjung pasca Lebaran. Sementara saya juga ingin menjaga tradisi yang lain ketika Idul Fitri tiba: liburan.
Untuk pergi ke Surabaya, dari Lamongan ada beberapa cara. Anda bisa berkendara menyusuri pantura. Atau yang ingin melihat pemandangan persawahan, bisa naik Kereta Api Komuter dengan ongkos yang sangat murah: 3 ribu saja. Pilihan lain adalah seperti saya, naik bus dengan ongkos Rp 8 ribu dan turun di Terminal Osowilangun. Sebenarnya saya lebih suka naik kereta, namun karena Kereta Komuter berangkat sangat pagi— sekitar pukul 6—saya memilih opsi ketiga. Di perjalanan, saya membuka lagi referensi tentang tujuan saya ke Surabaya nanti: House of Sampoerna. Sejak Ramadan saya memang sudah tertarik untuk berkunjung ke museum yang didirikan oleh salah satu raksasa rokok Indonesia. Selain konon di sana ada benda-benda antik, museum itu juga menyediakan tur Surabaya gratis bagi pengunjungnya. Yang membuat museum itu lebih menarik, semua fasilitas itu—dari masuk museum sampai tur—diberikan secara cuma-cuma alias gratis.
44 | DIMENSI
PLESIR Dari Terminal Osowilangun, saya mencari angkot berhuruf M untuk menuju ke Jembatan Merah Plaza (JMP). Lokasi House of Sampoerna memang terletak tak jauh dari salah satu pusat perbelanjaan Surabaya itu. Karena sudah hampir 3 tahun saya tidak menginjak Surabaya dan tidak tahu berapa kenaikan ongkos angkot sekarang, saya memberikan Rp 5 ribu ketika turun. Saya menunggu sejenak, tapi ternyata sang sopir tidak memberikan kembalian atau berkata apa-apa. House of Sampoerna bisa ditempuh dengan dua cara dari JMP. Yang pertama dengan ojek atau jika ingin lebih berhemat seperti saya, bisa berjalan beberapa menit ke arah barat. House of Sampoerna bisa ditemukan di belokan yang sama dengan SMP Negeri 5 Surabaya berada. Anda tinggal menyusuri jalan tersebut. Berkunjung ke House of Sampoerna barangkali seperti berkunjung ke Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang karena museum itu sendiri adalah sebuah bangunan tua yang dari bentuknya kentara sekali sebagai salah satu peninggalan zaman kolonial. Menurut Firdalia Al Imami, Museum Researcher dari House of Sampoerna, museum itu dibangun pada tahun 1862 oleh pemerintah kolonial. “Lalu pada tahun 1932, dibeli oleh Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna, untuk dijadikan pabrik,” tambahnya. Museum House of Sampoerna terbagi menjadi 3 bagian besar: tengah, timur, dan barat. Bangunan tengah digunakan sebagai museum sekaligus pabrik rokok Dji Sam Soe, sementara bangunan di sayap timur disulap menjadi galeri seni. Untuk bangunan di barat sendiri, meski dipajang mobil Rolls Royce tua keluaran tahun 1972 di halamannya, ternyata masih difungsikan sebagai kediaman. Sehingga, pengunjung dilarang masuk bangunan tersebut. Di bangunan tua, pengunjung bisa menikmati jejak-jejak sejarah perkembangan Sampoerna dari awal hingga akhirnya diakuisisi oleh Philip Morris—raksasa rokok dari Amerika—pada tahun 2005. Di dalamnya terdapat berbagai bungkus rokok keluaran Sampoerna dari awal hingga paling akhir. Ada juga bahan-bahan dan peralatan yang digunakan untuk membuat rokok. Namun yang paling dominan adalah benda-benda
DIMENSI | 45
PLESIR peninggalan Liem Seeng Tee dan istrinya. Bahkan di salah satu sudut ada replika warung yang pertama dibuat oleh suami-istri itu di Surabaya. Di lantai dua terdapat kios oleh-oleh. Harga yang ditawarkan adalah harga standar sebuah obyek wisata menurut saya, namun barangkali sedikit di atas rata-rata untuk kalangan mahasiswa. Di lantai 2 ini ada sebuah jendela kaca padat dan ada larangan memotret tertulis besar-besar di sana. Dari atas, pengunjung bisa melihat ratusan mesin pelinting rokok berbaris dengan rapi di bawahnya. Sayang, saya berkunjung tepat saat libur Lebaran karena menurut petugas, di hari biasa pengunjung bisa melihat pekerja melinting rokok Dji Sam Soe, rokok andalan dari Sampoerna. Puas di bangunan utama, saya menuju ke galeri seni. Tidak ada yang istimewa di sini, menurut saya. Koleksi seni yang dipajang pun masih sangat sedikit. Itulah barangkali salah satu alasan, sangat sedikit pengunjung yang datang ke bangunan yang terletak di sisi timur tersebut. Dan mungkin kunjungan saya hari itu ke House of Sampoerna bukan hari keberuntungan saya. Gagal melihat ‘pertunjukan’ pekerja yang melinting rokok, saya juga gagal ikut tur gratis yang diadakan pihak museum. Permintaan saya untuk satu kursi di bus pada tanggal tersebut ternyata tidak lolos. Memang, barangkali kesalahan ada pada saya. Petugas museum menjelaskan bahwa pada setiap tur, bus hanya bisa menampung 30 tempat duduk. Lima belas diberikan melalui pemesanan telepon, sisanya untuk pengunjung yang memesan kursi on the spot. “Kalau ada tanggal yang penelponnya kurang dari 15, baru meloloskan yang lewat email,” ujar salah satu petugas—saya tidak sempat bertanya siapa namanya. Sedikit tercerahkan, meski masih tetap kecewa, saya meninggalkan bus merah dan kembali masuk ke museum. Saat itu jam tangan saya masih sekitar pukul 1 siang, sementara saya tiba di museum pukul 11. Meski sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali menyibukkan diri melihat koleksi museum, saya menahan diri untuk tidak pulang lebih awal dari museum yang menyabet penghargaan dari TripAdvisor Traveller’s Choice 2013 itu.
46 | DIMENSI
KULINER
Serabi Kalibeluk:
Sajian Nikmat Kental Sejarah Oleh: Afrizal Fajar | Desain: Maylinda Arsa
D
esa Kalibeluk, Kecamatan Warung Asem Wiranti, namun ternyata Endang Wiranti tidak tahan yang berjarak 20 km dari pusat Kota Batang, untuk berbohong hingga ia pun pingsan. Setelah ternyata menyimpan kuliner yang sayang sadar ia menjelaskan dengan sejujurnya apa yang untuk dilewatkan. Serabi Kalibeluk, itulah terjadi kepada Sultan. Berkat kejujurannya, Sultan namanya. Berbeda dengan serabi pada umumnya, memberikan uang dan menyuruhnya kembali ke desa ukuran serabi ini cukup besar yakni berdiameter untuk melanjutkan berjualan serabi kembali. Hingga hingga 11 cm dan lebar 4 cm. Karenanya, memakan saat ini masih terdapat 8 rumah yang meneruskan satu buah serabi cukup membuat berjualan serabi. Mereka, konon, perut kenyang. Campuran adalah keturunan dari Endang “Berkunjung ke Desa tepung beras, santan, gula Wiranti. merah, serta vanili memberikan Kalibeluk, selain bisa Berkunjung ke Desa Kalibeluk, rasa legit nan manis. Berikut selain bisa menikmati serabi yang menikmati serabi tekstur serabi yang unik kental akan sejarah ini kita juga menyerupai sarang lebah, yang kental akan akan disuguhi dengan suasana khas membuatnya tetap diminati pawon (dapur tradisional) dengan sejarah ini kita juga sampai sekarang. tempat pembakaran yang masih
akan disuguhi dengan menggunakan tungku. “Memang Bicara mengenai Serabi Kalibeluk, tidak lengkap jika dari dulu sudah seperti ini, kalau suasana khas pawon tidak mengingat sejarahnya. pakai kompor rasanya beda,� tutur Dikisahkan bahwa dahulu kala Aliyah, salah seorang penjual Serabi (dapur tradisional) Sultan Mataram menyukai Kalibeluk. Di samping dapur pun, dengan tempat seorang putri bernama Dewi kita dapat melihat proses pembuatan Rantansari. Maka Sultan tepung beras yang nantinya akan pembakaran yang megutus seseorang bernama menjadi bahan dasar pembuatan masih menggunakan Bahureksa untuk menjemput serabi. Dewi Rantansari ke istana. tungku. “ Serabi ini setangkepnya (sepasang: Tanpa disadari ternyata bahasa asli daerah) dipatok dengan kecantikan Dewi Rantansari harga Rp 8 ribu saja, dalam satu membuat Bahureksa jatuh cinta dan memikirkan porsi tersebut berisi dua serabi. Per harinya Aliyah suatu cara agar Dewi Rantansari tidak menjadi milik dapat menjual hingga 50 tangkep serabi Kalibeluk Sultan Mataram. Dipilihlah Endang Wiranti seorang di hari kerja dan 100 tangkep di hari libur. Serabi penjual serabi di Desa Kalibeluk sebagai pengganti Kalibeluk sendiri dipasarkan mulai jam 5 pagi sampai Dewi Rantansari, didandanilah wanita tersebut dan jam 1 siang. Bila ingin membawanya sebagai olehdibawalah ia ke hadapan sang Sultan. oleh serabi ini mampu bertahan selama 1 hari 1 Tanpa curiga sang Sultan menerima Endang
malam pada suhu ruangan.
DIMENSI | 47
TRADISI
Menyelami Tradisi Manganan Sigit dan Memutari Punden Oleh : Khoirunnissa Nur’Aisyah (Crew Magang) | Desain : Adhi Anggara
P
ada era globalisasi yang serba modern seperti sekarang ini, sangat jarang masyarakat yang bisa mempertahankan sebuah tradisi yang ada sejak zaman leluhur mereka agar tetap berdiri kokoh. Mempertahankan tradisi dan adat istiadat yang mereka miliki merupakan bukti bahwa masyarakat daerah peduli dengan lingkungan dan nilai – nilai kehidupan yang tumbuh di sekitar mereka.
Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu contoh desa kecil yang masih menjunjung tinggi nilai – nilai kehidupan. Tradisi dan adat istiadat yang sangat kental mengalir dalam kehidupan warga desa ini. Salah satunya yaitu adanya pernikahan adat. Ritual pernikahan adat di Desa Bakaran Wetan, sebenarnya memiliki susunan dan tata cara yang hampir sama dengan pernikahan adat Jawa pada umumnya. Mulai dari lamaran, seserahan, pingitan, pemasangan tarub dan janur kuning, siraman, ngerik, dodol dawet, midodareni, ijab qobul, panggih atau temu pengantin, lempar sirih, injak telur, sinduran, timbang atau pangkuan, kacar kucur, dulangan atau suap – suapan, dan sungkeman. Namun setelah berbincang lama dengan Sukarno, pelawang (juru kunci-red) Punden Nyai Ageng Bakaran dan Ki Dalang Soponyono—dua orang yang dianggap sebagai leluhur, bahkan menjadi cerita rakyat di Pati—,ada 2 hal yang menjadi ciri khas pernikahan adat di desa ini yaitu tradisi “manganan Sigit” dan “memutari Punden”. Tidak banyak orang yang tahu tentang istilah Sigit dan Punden.
48 | DIMENSI
TRADISI
Sigit adalah sebuah tempat untuk merenung atau semedi bagi anak cucu warga desa Bakaran Wetan, sedangkan Punden adalah tempat dimana terdapat makam seseorang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa. “Tradisi tidak dapat diubah,” tegas Sukarno ketika mengawali pembicaraan. Sukarno menjelaskan bahwa dua hal tersebut merupakan tradisi yang harus dijalankan oleh pengantin yang berasal dari Desa Bakaran Wetan. Beberapa hari sebelum pernikahan biasanya warga desa yang memiliki hajatan atau bahasa jawanya duwe gawe melakukan bancakan (syukuran) yang dilakukan di Sigit sehingga terkenal dengan sebutan Manganan Sigit. Syarat yang wajib ada dalam manganan Sigit yaitu trancam terong (terong mentah yang diberi santan matang, garam, irisan cabai dan bawang merah), kacang tunggak, serta nasi dan ikan bandeng. Selain syarat wajib diatas dapat pula ditambah dengan telur ayam jawa, pisang hijau, serta nasi berbentuk kerucut yang diatasnya ditaruh bawang merah dan cabai merah. Menurut Sukarno, Manganan Sigit harus dengan ikan bandeng dan tidak boleh memakai ayam. Konon ceritanya hal ini berhubungan dengan legenda Nyi Ageng Banowati sebagai pendiri desa Bakaran Wetan yang menyukai dan gemar menyabung ayam, sehingga ada larangan memakai ayam dalam manganan Sigit. “Pernah ada kejadian, seorang warga desa yang mengadakan manganan Sigit dengan lauk ayam dan ajaibnya ayam yang sudah matang itu berubah menjadi ayam mentah sewaktu saya membuka tutup
berupa daun pisang di atas bakul,” tutur Sukarno. Tidak cukup sampai disitu, masih ada tradisi yang kedua yaitu mengelilingi Punden. Hal ini cukup dilakukan sekali saja tanpa menggunakan alas kaki mulai dari awal memasuki pendopo Punden hingga selesai. Hal ini merupakan tata cara pernikahan keraton yang harus dilakukan oleh kedua pengantin dan pengiring (pendamping) pengantin yang biasanya terdiri dari orang tua dan saudara terdekat. Dalam tradisi ini, di barisan paling depan ada orang yang dituakan dan masih mempunyai hubungan keluarga dari pengantin laki – laki ataupun pengantin perempuan yang bertugas membawa tikar bambu dan bantal. Baru setelahnya diikuti oleh kedua pengantin dan para pengiring pengantin. “Tikar bambu dan bantal mempunyai makna dalam membangun rumah tangga harus ada alas atau dasarannya supaya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan mendapat berkah,” ujar Sukarno. Bagaimanapun bentuknya, tradisi ini adalah kebiasaan dan aturan – aturan yang sudah lama dilakukan dari mulai nenek moyang mereka dan melekat pada diri masyarakat hingga sekarang. Terlepas dari percaya atau tidaknya atas konsekuensi yang akan ditanggung apabila tidak menjalankan, itu kembali pada diri sendiri. Tradisi pernikahan adat manganan Sigit dan mengelilingi Punden satu kali tanpa alas kaki masih dilakukan hingga sekarang. Sebagian warga desa setempat takut untuk melanggar tradisi yang sudah ada dan menghormati pendiri desa yaitu Nyi Ageng Banowati.
DIMENSI | 49
LAMAS
50 | DIMENSI
n g i t o o c in
TRANSISI INCOG
DIMENSI | 51
RESENSI FILM
THE WORDS
Sesal Dari Sebuah Plagiatisme Oleh: Sandy Mukti Wibowo (Crew Magang) Desain: Alwan Faradi (Crew Magang)
Judul : The Words Poduser : Jim Young, Tatiana Kelly, Michael Benaroya, Penulis Skenario : Brian Klugman dan Lee Sternthal Sutradara : Brian Klugman dan Lee Sternthal Pemai : Bradley Cooper, Jeremy Irons, Dennis Quaid, Olivia Wilde, Zoe Saldana, Ben Barnes, Nora Arnezeder, John Hannah, J.K.Simmons
F
ilm yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Brian Klugman dan Lee Sternthal ini bercerita tentang seorang pemuda yang menjiplak karya pria tua yang tulisannya telah hilang. Rory, penulis muda yang tulisannya berkali kali ditolak oleh penerbit seketika hidupnya berubah ketika menulis ulang sebuah buku yang berasal dari tas antik yang ia beli ketika berbulan madu bersama sang istri ke Paris. Dia menulis ulang tulisan tersebut tanpa mengubahnya sedikit pun. The Window Tears, itulah judul buku Rory. Buku tersebut laku keras di pasaran dan Rory mendapat penghargaan. Tulisan yang ditemukan Rory ternyata adalah milik Ben, seorang pria tua. Ben sendiri ialah seorang mantan Tentara AD (Angkatan Darat) dari Amerika yang dikirim ke Perancis. Depresi yang timbul akibat ditinggal istri dan menghadapi kenyataan bahwa anaknya lahir dalam kondisi tidak normal membuat Ben mampu menghasilkan tulisan tersebut. Setelah selesai, Ben bermaksud mengunjungi sang istri dan memberikan tulisan tersebut kepadanya. Namun karena suatu hal, tulisan tersebut hilang. Karena kejadian itu, mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.
52 | DIMENSI
Suatu ketika, Ben akhirnya menemukan keberadaan Rory dan mengikutinya. Berceritalah Ben mengenai tulisan yang seharusnya menjadi buku pertamanya tersebut, tulisan yang sekarang diklaim oleh orang lain yakni Rory. Rory pun sadar bahwa perbuatannya selama ini telah merugikan dan menyakiti hati Ben. Mengetahui hal tersebut, Rory berusaha membalas budi kepada Ben namun ditolak. Dora istrinya, yang mengetahui kebohongan tersebut akkhirnya memutuskan berpisah dengan Rory. Nama “The Words� sendiri adalah judul buku yang ditulis oleh Clay, salah satu tokoh dalam film ini. The Words berisi kisah hidup Rory dengan Ben seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Film ini sangat menarik untuk ditonton khususnya bagi kalangan dewasa. Pesan yang disampaikan lewat film ini yaitu mengingatkan kepada kita betapa buruknya perilaku menjiplak karya orang lain, yang akan membuat penyesalan di kemudian hari. Keunggulan film ini adalah dikemas dalam sebuah buku yang ditulis oleh Clayton Hammond dengan judul The Words, jadi dengan menonton film ini kita seolah olah membaca buku The Words.
RESENSI BUKU
60 Tahun Kehidupan Yang Penuh Liku Oleh: Fitriya Marta Ristiana Desain: Afrizal Fajar
Judul
: Rembulan Tenggelam di Wajahmu Penulis : Tere Liye Penerbit : Republika Tebal : 426 halaman ISBN : 978-979-1102-46-3
B
uku Rembulan Tenggelam di Wajahmu ini mengisahkan kehidupan seorang tokoh bernama Rehan Raujana atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ray. Ray merupakan pebisnis kaya raya dengan bisnis imperiumnya yang menggurita. Di dalam novel ini banyak pelajaran dan pemahaman kehidupan yang dapat diambil dari kisah seorang Ray. Buku yang telah sampai pada cetakan XVII ini cocok dibaca untuk orang yang berjiwa muda. Tidak seperti beberapa buku karangan Tere Liye yang lainnya yang mayoritas ceritanya berkaitan dengan dunia remaja, buku ini dikemas sedemikian bagus tanpa ada unsur teenlit romance. Novel ini bercerita tentang hubungan sebab-akibat, kebijaksanaan, penerimaan, dan masih banyak lagi. Cara menulis pemahaman tentang kehidupan oleh Tere Liye terkesan tidak menggurui dan pilihan bahasa dalam novel ini pun komunikatif sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami maksud cerita dalam novel.
Karangan Tere Liye ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu dengan sebutan seorang yang berwajah menyenangkan, yang menyampaikan gambaran ketidakadilan hidup yang dialami Ray dengan sudut pandang yang tidak kasat mata. Dalam cerita, seorang berwajah menyenangkan tersebut mampu menjawab lima pertanyaan hidup Ray. Di pengujung hidup, Ray diceritakan adalah seorang pasien berusia 60 tahun tidak sadarkan diri selama 6 bulan. Saat siuman, ia mendapati dirinya tidak sedang berada di rumah sakit tempat ia seharusnya dirawat. Namun tengah berada di keramaian terminal. Tempat yang amat sangat dikenalnya ketika ia masih berusia belasan, saat masih menjadi seorang pencuri dan penjudi. Dengan alur mundur pembaca dibawa untuk mengenang kisah perjalanan hidup Ray dari seorang anak yatim piatu, pencuri, penjudi ulung, tukang kelahi, sampai menjadi pengusaha sukses yang memiliki bisnis yang besar. Alur ceritanya memang berjalan lamban dan kemungkinan besar akan membuat pebaca yang tidak sabat menjadi bosan mengikuti cerita perjalanan 60 tahun kehidupan Ray yang penuh liku. Tapi buku Best Seller ini telah dibumbui berbagai kejutan yang menghubungkan kejadian satu dengan yang lainnya sehingga berhasil membuat pembaca penasaran akan cerita dalam buku tersebut. Melalui novel ini Tere Liye memotivasi pembaca dalam menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Pada halaman 423, Tere Liye menyadarkan bahwa seperti inilah bentuk kehidupan, semua kembali kepada Yang Maha Tahu, “Yakinlah dengan ketidaktahuan itu bukan berarti Tuhan berbuat jahat kepada kita. Mungkin saja Tuhan sengaja melindungi kita dari tahu itu sendiri�. []
DIMENSI | 53
CERPEN
Aroma Kenangan Oleh: Miftahudin | Desain: Afrizal Fajar
SEBENTAR, tunggu sampai aroma kenangan ini habis. Lalu kau boleh kembali menangis.
K
amu mau jadi apa setelah ini? katamu dulu, sesaat setelah menyandarkan kepala di bahuku, seperti yang sering kau lakukan. Bedanya, waktu itu kau lebih banyak bicara soal citacita dari biasanya. Kau banyak berbicara soal masa depan. Pekerjaan, suami, berapa anak yang ingin kau punyai, sampai keinginanmu dari dulu ingin tinggal di Banyuwangi. “Kau tahu kenapa Banyuwangi adalah Banyuwangi?� katamu. Aku menoleh beberapa detik, pikirku ini hanya pertanyaan retorik yang tak perlu dijawab. Lalu beberapa detik kemudian kau menjelaskan panjang lebar. Dugaanku benar. Aku bahkan masih bisa mengingat caramu bercerita. Kau selalu bersemangat, matamu berbinar setiap kali kau menyebut kata Banyuwangi. Lalu di akhir kalimat kau akan memasang senyuman bulan sabit di wajahmu. Itu salah satu bagian yang paling aku suka. “Silahkan kopinya, Mas!� suara khas pelayan Pondok Kopi sesaat mengembalikanku ke tanah. Semuanya sama seperti hari-hari sebelumnya saat kita duduk di meja ini. Bedanya, kali ini aku memilih kopiku sendiri. Biasanya kau yang memilihkan untukku. Meski kadang kau sering memaksa untuk memesan makanan-makanan yang bernama aneh. Rasanya juga aneh. Sekadar penasaran ingin mencicipi, katamu. Lalu saat aku menolak, kau tetap akan memaksa dengan penjelasan-penjelasan yang sebenarnya tak pernah kudengarkan tapi selalu aku iyakan. Aku lebih suka memperhatikan caramu bicara ketimbang apa yang kau bicarakan. Aku memejamkan mata beberapa detik. senja membungkuk di balik bukit lalu perlahan-lahan ditenggelamkan oleh cahaya yang ia bawa sendiri. Sementara dari arah sebaliknya, bulan sudah mulai muncul menggantikan posisi senja. Barangkali memang sudah menjadi tradisi, setiap ada yang datang harus ada yang pergi. Sama seperti bulan dan senja. Aku membayangkan seandainya saat bulan datang, senja tidak beranjak pergi. Barangkali mereka berdua bisa indah berdampingan. Tentu saja akan sangat indah jika sekali-kali langit dihiasi oleh dua cahaya. Sama indahnya andai saja kau
54 | DIMENSI
tidak memutuskan untuk benar-benar tinggal di Banyuwangi. Aku membayangkan waktu bisa di-pause, semua kejadian bisa dihentikan sebentar, sementara hanya kita berdua yang tetap bisa bergerak. Seperti rencana jahilmu dulu untuk mengerjai Nia si Comel—salah satu temanmu: menggambar kumis di mukanya dan beberapa coretan-coretan lucu dengan lipstik berwarna merah muda yang selalu kau bawa dalam tasmu. Dan ketika waktu berjalan kembali, semua orang akan menertawakan muka cemong Nia. Lalu kau akan tertawa puas. Tapi jika semua itu bisa dilakukan, maka hal yang paling ingin ku lakukan adalah, menghentikan senja selama-lamanya. Tepat saat ketika kita menikmati kopi bersama. AKU menyesap Kopi Kintamani ini. Aromanya beda, tidak sama dengan kopi-kopi yang pernah kita nikmati sebelumnya. Barangkali seperti ini bau kenangan itu. Sementara itu, langit semakin gelap, lalu warna hitam mulai mendominasi langit diikuti cahayacahaya kecil yang berpencar datang satu paket, menggantikan senja. Aku menyesap lagi kopiku. Kurasakan kafein, begitu hangat membasahi tenggorokan lalu merambat ke otak dan berhenti pada sebuah kenangan. Seolah di setiap teguk kopi tersembunyi lubang hitam yang selalu menyedotku, memaksa kembali ke masa lalu. Lalu saat itu terjadi, maka tiba-tiba bumi akan menjadi senyap. Langkah kaki menjadi lambat, langit akan terlihat lebih jelas dari biasanya. Jika seumpama kamu adalah aku saat ini, kira-kira apa kau juga akan terlempar ke dalam suasana ini. Kopi, malam, bintang, bulan setengah lingkaran, dan seterusnya. Apa yang kau ingat ? Aku harap kau selalu menyelipkan wajahku di setiap ingatanmu. Sama seperti aku yang selalu mengingatmu dalam diam di setiap malam, di setiap aroma kopi, setiap waktu. Termasuk kenangan-kenangan saat kita berkelakar, membicarakan rumus kehidupan, berdebat soal konsep jodoh lalu kita tertawa karena sama-sama tidak paham. Seandainya bisa memilih, kau mau jadi apa? katamu
CERPEN dulu, tiba-tiba. “Entahlah, hujan mungkin.” Maksudmu? Aku diam waktu itu, sedetik lalu berlanjut beberapa menit sampai akhirnya kau mulai terusik dengan situasi hening seperti itu. Bagaimana kalau burung dara, katamu lagi memecah hening “Merpati maksudmu?” Jika yang kau maksud hujan adalah perumpamaan, maka perumpamaan yang aku inginkan adalah merpati, katamu Waktu itu kau bicara banyak hal tentang merpati. Cerita yang tak kusukai karena alasan pribadi. Bagaimana dengan hujan? Kenapa kau ingin seperti hujan ? “Entahlah,” kataku lagi. Aku menyesap kopiku perlahan. “Mungkin karena hujan itu pendiam tapi menyenangkan.” Kau menoleh tapi hanya diam, waktu itu kau terlihat penasaran. Meskipun tidak ada pertanyaan yang terlontar, aku tahu sorot matamu menyimpan banyak pertanyaan. “Jika semua yang kita bicarakan malam itu adalah perumpamaan, menurutmu bagaimana dengan Kopi Kintamani? Bukankah hidup ini seperti kopi? Akan lebih nikmat jika dinikmati bersamamu. Lalu saat sudah tidak ada lagi kata ‘bersamamu’ di akhir kalimat, barangkali hidup ini juga sudah kembali hambar,” kataku, kali ini aku menenggak habis sisa kopiku. Malam semakin larut, semua bergerak maju, sangat cepat, terburu-buru. Jarum jam telah berputar ratusan kali, lalu pelanggan bergantian datang dan pergi seperti senja dan bulan. Tak ada yang benarbenar berhenti untuk menikmati. Termasuk aku, lelaki yang akan mati karena kopi, tapi juga lelaki yang tidak bisa hidup tanpa kopi. Ini seperti kopi adalah obat sekaligus racun dalam waktu bersamaan. Jika kau adalah aku maka apa yang akan kau lakukan? WAKTU berlalu, semenit, lalu berlanjut hingga berhari-hari dan bertahun-tahun kemudian. Suasana Pondok Kopi itu masih sama: masih indah saat menjelang senja. Matahari juga masih akan menghilang di balik bukit yang sama. Meja kursi masih tertata rapi. Pelanggan masih sering datang. Hanya saja, lelaki itu sudah tidak pernah kelihatan. Tidak ada yang tahu kemana lelaki itu. Ah tidak, mungkin lebih tepatnya tidak ada yang ingin tahu kemana lelaki itu pergi. Toh, dia hanya lelaki biasa. Bukan siapa-siapa. Hanya lelaki misterius yang kebetulan mengabadikan kisah cintanya di bawah senja Pondok kopi. Barangkali ada banyak kisah cinta yang terkenang di
sana. Kisah lelaki misterius itu hanya salah satunya. Tidak ada yang istimewa. Jarum jam hampir menunjuk ke angka enam. Sekumpulan muda-mudi saling berkelakar menikmati senja, foto bersama, selfie, lalu saling tertawa. Sementara salah satu wanita di antaranya tidak ikut larut dalam keramaian. Ia terlihat nyaman menikmati Kopi Kintamani sendiri. Menyesap, menghirup perlahan, sementara pandangan matanya tidak lepas dari senja yang sebentar lagi hilang. Barangkali si wanita itu pernah memiliki kenangan yang berhubungan dengan Kopi Kintamani, senja, atau Pondok kopi, atau jika hanya kebetulan, barangkali dia sedang menikmati senja dan kopi sambil membayangkan kenangan orang lain. Lalu beberapa saat kemudian, sebuah kejadian magis terjadi. Tiba tiba senja berhenti bergerak, meski waktu terus berjalan—barangkali lebih cepat. Karena dadri arah sebaliknya bulan masih berjalan dan dalam hitungan menit, bulan sudah berdampingan dengan senja. Sore itu, tiba-tiba langit dihiasi oleh dua cahaya sekaligus: senja dan bulan. Keduanya serasi berdampingan. Cahayanya menyatu merah kekuningan bercampur dengan putih flare berbaur. Larut dan melebur membentuk sebuah jenis warna baru yang belum pernah terlihat dimanapun. Semua orang terkejut. Sebagian takut, lalu sisanya takjub. dalam sesaat keceriaan sore itu berubah jadi kebingungan bersama. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, semua orang bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Fenomena alam macam apa ini? Kenapa senja tiba-tiba berhenti? Lalu kenapa bulan menghampiri senja? Atau yang paling mengerikan: apa ini hari kiamat ? Ratusan pertanyaan boleh diajukan, tapi bukankah tidak pernah ada jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kejadian magis? Dan bukankah sangat indah jika sekali-kali langit dihiasi oleh dua cahaya? Senja itu, barangkali dia pernah punya kekasih entah kapan, entah siapa. Lalu saat ia mencium aroma kenangan, ia teringat kata-kata kekasihnya untuk berhenti sebentar. Menunggu, berharap barangkali kekasihnya itu akan datang bersamaan dengan munculnya bulan. Kekasihnya barangkali berjanji akan datang dengan aroma tertentu—aroma yang ia cium setiap sore ketika membungkuk di balik bukit. Namun betapapun seringnya ia mencium aroma itu setiap sore, kekasihnya tidak pernah datang. Senja itu, barangkali lelah. Dan seolah ingin menguatkan dirinya sendiri, ia mungkin berkata, “Sebentar, tunggu sampai aroma kenangan ini habis, lalu kau boleh kembali menangis.” Karena ia selalu menangis. Semarang, 29 mei 2015
DIMENSI | 55
KELAKAR
Memori Oleh: Gatot Zakaria Manta | Desain : Afrizal Fajar
T
iba-tiba saja saya bisa membuka laci memori dan mengingat sebuah puisi dari belasan tahun yang lalu. Majalah yang memuatnya masih ada sampai sekarang, meski ia telah beralih sepenuhnya ke bentuk online, alih-alih tetap bertahan sebagai media cetak. Terakhir saya berkunjung ke situsnya, halamannya dipenuhi cerpen dan tips-tips menulis. Kadang saya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menjaga ingatan seseorang tetap langgeng?, Lantas mengapa ingatan saya, —saya tak mau menyebut itu sebagai kehendak pribadi—memilih mengingat
56 | DIMENSI
“
“
Negeri ini barangkali lebih dari “manusia” daripada manusia-manusia yang ada di dalamnya
sebuah puisi, bukannya nama kepala sekolah atau guru olah raga saya di sekolah dasar?, Meskipun dalam kasus puisi ini, saya hanya bisa mengingat judul dan baris terakhirnya. Suryabrata, seorang psikolog, mendefinisikan memori atau ingatan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan mereproduksi kesankesan. Seseorang yang sanggup menerima dan menyimpan peristiwa mungkin bisa disebut sebagai pengingat yang baik. Saya membayangkan dunia dipenuhi para pengingat yang baik—orang-orang seperti Dominic Brian, si jenius pengingat angka—
KELAKAR
yang mendasarkan kegiatannya berdasarkan ingatan. Barangkali ketika itu benar-benar terjadi, hasil akhir yang didapat adalah keteraturan.
maka saya membayangkan bahwa kasus-kasus besar itu adalah udara yang dibelah dan ditinggal di belakang oleh si anak panah. Terlupakan.
Namun saya tidak pernah terobsesi dengan keteraturan. Alih-alih senang, saya malah takut dunia yang serba teratur itu benar-benar tercipta dan manusia lebih berfungsi sebagai robot. Suryabrata benar, ada definisi ketiga yang krusial untuk memori: kemampuan untuk mereproduksi kesan-kesan. Mengapa ini begitu penting? Jika kita melihat manusia secara umum dan mendasar, maka kemampuan untuk mengingat sesuatu identik dengan ekspresi dan pilihan. Saya pernah melihat ekspresi orang yang sedang mengingat sesuatu dan akhirnya mendapatkan apa yang ia mau. Saya juga pernah melihat seseorang, bahkan mengalami sendiri sebuah momen ketika saya mengingat standar atau mekanisme apa saya harus saya lakukan untuk melakukan sesuatu, namun saya memilih tak acuh dan melakukannya dengan cara saya sendiri. Kadang itu berhasil, di beberapa kesempatan saya menemui kegagalan. Tapi bukankah itu lebih terasa manusia? Bukankah itu lebih berfungsi sebagai “tempatnya salah dan lupa”?
Kita ambil saja salah satu contoh kasus, korupsi misalnya. Ada permasalahan besar mengenai gaung kasus-kasus korupsi dari masa lalu yang terus menghilang akibat dari intensitas pemberitaan yang berkurang. Ada beberapa hal yang bisa mengalami degenerasi akibat dari gejala lupa tersebut. Dari publik, efek yang paling ditakutkan tentu saja adalah hilangnya rasa kehilangan itu sendiri. Ketika sebuah investigasi mengenai suatu kasus korupsi diketengahkan ke masyarakat, umumnya publik diajak mengikuti secara detil bagaimana suatu kejahatan korupsi menjelma menjadi tindakan yang keji dan merugikan masyarakat. Seberapa keji sebenarnya korupsi itu? Indra J. Piliang, seorang aktivis Berantas (Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi), dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas pada November 2009 menyatakan jika diperlukan 67 kali gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter di Sumatera Barat agar dana sejumlah yang diberikan oleh pemerintah kepada Bank Century bisa keluar. Luar biasa!
Negeri Para Pelupa
Namun terlalu pelupa juga tidak baik—sangat tidak baik malah. Saya misalnya. Saya selalu menyebut orang-orang yang ada di sekeliling saya sebagai kumpulan orang hebat: keluarga dan sahabat. Sudah tak terhitung dengan jari saya melupakan peristiwa, janji, bahkan nama mereka sendiri yang pada akhirnya merugikan atau membuat mereka marah. Saya memang memiliki sedikit masalah dalam hal mengingat. Maka jauh sebelum saya membaca artikel tentang wawancara kerja yang mendorong seseorang untuk menyebutkan bahwa lupa adalah kelemahannya namun telah teratasi dengan membuat catatancatatan, saya sudah melakukannya. Hampir seperti saya, negeri ini juga memiliki dosis lupa ingatan yang cukup tinggi. Saya tak menyebut mengenai sejarah bangsa ini yang memang di beberapa tempat masih ambigu. Saya menyinggung banyaknya kasus kejahatan besar yang semakin hari semakin kabur, tidak jelas, dan bahayanya mulai dilupakan. Jika Newton pernah berkata bahwa waktu itu seperti anak panah yang dilepas dari busurnya,
Pernyataan Indra itu mengambil asumsi bahwa dana tanggap bencana di Indonesia hanya sebesar Rp 100 miliar. Bandingkan dengan dana tanggap “bank gagal” yang diberikan kepada Bank Century dan mencapai Rp 6,7 triliun. Jika diharuskan memilih, tak akan ada yang mau mendapatkan gempa 7,6 skala Richter, 67 kali, dalam satu waktu. Tidak ada yang bisa membayangkan betapa besar kerugian dan kerusakan yang akan terjadi. Sebagai catatan, gempa Sumbar 2009 lalu menelan korban 1.117 jiwa, sementara ribuan bangunan mengalami kerusakan. Negeri ini barangkali lebih dari “manusia” daripada manusia-manusia yang ada di dalamnya. Lebih pelupa dan mulai terbiasa dengan itu. Maka mungkin adalah hal yang wajar ketika saya bertemu dengan orang-orang dari masa lalu saya: teman sepermainan, kampus, kelas, Dimensi, saya akan menanyakan sesuatu yang konyol namun sangat manusiawi: “Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Apa kita pernah saling mengenal sebelumnya? Apa kita saling bicara dan melakukan sesuatu bersama-sama?” []
DIMENSI | 57
KANGPROV
58 | DIMENSI
NGEDIMS
DIMENSI | 59
Lembaga Pers Mahasiswa
DIMENSI