7 minute read
LAPORAN KHUSUS
Penggunaan APD sebagai Dampak Pandemi dan Problematikanya
Oleh: Oleh : Sulis, Dhia, dan Salma
Advertisement
Dok. theconversation.com
Wabah pandemi Covid-19 telah mengakibatkan dampak berantai pada kehidupan masyarakat. Mulai dari dampak kesehatan, ekonomi, hingga merembet pada dampak lingkungan. Salah satu masalah yang muncul adalah terkait penggunaan alat pelindung diri atau APD. Protokol kesehatan yang ketat mengharuskan semua unsur masyarakat, terutama para tenaga kesehatan, menggunakan APD sebagai proteksi terhadap penyebaran Covid-19. Hal ini menimbulkan masalah baru, yaitu penumpukan limbah APD. Limbah APD dapat dikatakan cukup berbahaya jika penanganannya tidak tepat. Oleh karena itu, limbah APD perlu dikelola dengan baik.
Upaya Perlindungan Diri Menggunakan APD
Sektor pelayanan kesehatan menjadi sangat vital dalam masa pandemi ini. Sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan, rumah sakit menjadi salah satu sumber infeksi dan penularan penyakit. Peningkatan derajat kesehatan ditujukan pada masyarakat dan juga tenaga kesehatan yang ikut andil di dalamnya. Tenaga kesehatan berperan sebagai pemberi pelayanan kesahatan, oleh karena itu rumah sakit berkewajiban untuk menyehatkan tenaga kerja disana. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melindungi tenaga kerja pada rumah sakit yaitu dengan menggunakan Alat Pelindung Diri atau APD. Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang wajib digunakan untuk melindungi pekerja dari bahaya yang bisa menyebabkan cedera atau penyakit serius terkait dengan pekerjan yang dilakukannya. Alat pelindung diri telah didesain sesuai dengan jenis pekerjaan masing-masing. Semua perlengkapan APD harus memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku, seperti bersih, pas, dan nyaman saat dikenakan oleh pekerja, serta harus diganti secara berkala jika dinilai sudah tidak berfungsi dengan baik dan habis masa pakainya. Penggunaan APD dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit karena mereka memerlukan kewaspadaan untuk melindungi diri guna mencegah penularan di tempat pelayanan kesehatan. Selain itu, APD juga digunakan oleh masyarakat umum yang bekerja dengan menerapkan protokol kesehatan. Pemilihan APD untuk mencegah infeksi virus Covid-19 tidak bisa dilakukan sembarangan. APD yang ideal untuk mencegah dan melindungi tubuh dari paparan virus Covid-19 memiliki kriteria tertentu, seperti mampu melindungi tubuh dari percikan dahak yang mengandung virus Covid-19, tidak mudah rusak, ringan dan tidak membatasi gerak atau menimbulkan rasa tidak nyaman, serta mudah untuk
dibersihkan.
APD dan Risiko Penumpukan Limbah
Peningkatan penggunaan APD di kehidupan seharihari diiringi pula dengan peningkatan limbah yang dihasilkan. Menumpuknya limbah APD dapat menyebabkan penyebaran virus Covid-19 atau mikroorganisme pathogen lainnya menjadimeningkat dan akan menyebabkan beberapa komplikasi penyakit penyerta yang mengancam Sustainable Development Goals (SDGs). Limbah dari penggunaan APD tergolong ke dalam jenis limbah padat infeksius. Limbah infeksius adalah limbah yang berpotensi menginfeksi atau menularkan penyakit pada manusia akibat adanya kontaminasi dari organisme patogen atau zat yang bersifat infeksius dalam jumlah dan virulensi yang cukup. Limbah ini sangat berbahaya karena dapat menjadi sumber penyebaran penyakit bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat, petugas yang menangani limbah, serta limbah ini berpotensi menurunkan kualitas lingkungan (Arif, M.I., 2013). Berdasarkan penelitian Chungtai, A.A., et al (2013), ditemukan adanya virus respirasi pada bagian luar masker yang digunakan oleh pekerja medis di beberapa Rumah Sakit di Beijing, China. Pada bagian luar masker ditemukan adanya Adenovirus, Bocavirus, Human metapneumovirus, Influenza B, Parainfluenza virus tipe 4, Parainfluenza virus tipe 2, Influenza H1N1, dan Respiratory syncytical virus. Oleh karena itu, diperlukan perlakuan dan fasilitas khusus dalam pengolahan limbah infeksius seperti dengan menggunakan insinerator, autoklaf, atau gelombang mikro (Kemenkes RI, 2020). Di Indonesia, limbah infeksius yang dihasilkan diperkirakan per harinya dapat mencapai 294,66 ton yang mana belum termasuk timbulan limbah pada tingkat rumah tangga (misalnya masker dan sarung tangan) yang jumlahnya terus meningkat. Kenaikan angka jumlah limbah infeksius yang dihasilkan sayangnya tidak didukung dengan kenaikan jumlah fasilitas pengelolaan limbah yang memadai. Dari 2.889 rumah sakit yang beroperasi di Indonesia, hanya 110 rumah sakit saja yang memiliki fasilitas insinerator berizin (Prasetiawan, T., 2020).
Jumlah limbah medis sebelum dan sesudah adanya Covid-19 memang dapat dikatakan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Komposisi limbah rumah sakit sebesar 85% limbah merupakan limbah non-B3, 10% limbah B3 infeksius, dan 5% limbah B3 non-infeksius. Sedangkan timbulan rata-rata limbah yang dihasilkan dari rumah sakit di seluruh dunia sebesar 0,5 kg/tempat tidur dalam sehari (UNEP, 2020). Rumah Sakit Palang Merah Internasional dengan 100 tempat tidur dalam kondisi normal menghasilkan limbah sebanyak 1,5-3 kg per pasien per hari (ICRC, 2011). Peningkatan kasus Covid-19 di Wuhan meningkatkan timbulan total limbah medis yang semulanya 40-50% ton per hari sebelum terjadi pandemi meningkat menjadi 247 ton per hari. Peningkatan Timbulan limbah di Kota Manila, Kuala Lumpur, Hanoi, dan Bangkok mencapai 154-280 ton per hari (You et al., 2020). Diperkirakan timbulan limbah B3 Covid-19 di Thailand sebesar 2,5 kg/tempat tidur/hari; 2,23 kg/tempat tidur/hari; dan 2,0-2,2 kg/tempat tidur/hari di Meksiko. Peningkatan timbulan limbah di Jawa Barat, Indonesia, selama Covid-19 berkisar antara 10.903; 11.646; dan 14.606 ton pada bulan Januari, Maret, dan April 2020 dengan pertambahan sebesar 30% antara Januari-April (IEGS, 2020).
Penanganan limbah medis B3 yang meningkat jumlah dan volumenya pada saat terjadi pandemiCovid-19 harus ditangani dengan baik dan benar agar tidak berpotensi menjadi sumber infeksi baru terhadap manusia. Standard penanganan limbah medis B3 Covid-19 menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) (Capoor, 2020). Sedangkan di Indonesia, pengelolaan limbah B3 medis telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. 56 Tahun 2015 yang meliputi: pengurangan dan pemilahan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan dan pemusnahan (penimbunan atau penguburan). Untuk limbah medis dari penanganan pasien Covid-19, pengelolaannya diatur dalam Pedoman Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Rujukan, Rumah Sakit Darurat dan Puskemas yang Menangani Pasien Covid-19. Secara spesifik, pedoman ini mengatur APD bagi petugas (pewadahan, pengangkutan, insinerator, transporter dan pengolah limbah Covid-19), label dan simbol limbah, teknik dan bahan disinfektan serta sarana limbah Covid-19 dengan perlakuan khusus (TPS, trolly, dan bin) (Kemenkes RI, 2020). Selain itu, pedoman lain yang digunakan yaitu Surat Edaran No. SE.2/MENLHK/PSLB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tertanggal 24 Maret 2020
(KLHK, 2020). Untuk melakukan pengelolaan limbah medis B3 Covid-19 secara baik dan benar, perlu diketahui besar timbulan limbah per tempat tidur per hari yang berbeda dari suatu negara ke negara yang lain.Beberapa panduan telah dikeluarkan oleh berbagai organisasi internasional untuk menangani timbulan limbah medis dan permukiman selama pandemiCovid-19. Demikian juga beberapa penelitian sebelumnya memfokuskan pada topik pengelolaan dan penanganan limbah medis B3 Covid-19. Penanganan limbah medis B3 Covid-19 terdiri dari beberapa tahapan yang masing-masing memiliki prosedur baku untuk penanganan Covid-19 (Prihartanto, 2020). Untuk itu dibutuhkan strategi penanganan limbah medis B3, dimana strategi penanganannya berbeda antara negara berkembang dan negara maju (Kulkarni & Anantharama, 2020). Penanganan limbah rumah tangga non Covid-19 perlu dipisahkan dari limbah yang tidak terpapar. Untuk limbah yang terpapar Covid-19 perlu dilakukan prosedur penyimpanan selama 72 jam sebelum dibuang (Amalia et al., 2020; Kulkarni & Anantharama, 2020).Limbah APD yang infeksius ini perlu diolah dengan cara yang berbeda seperti limbah lainnya. Perlu adanya inovasi dalam mengolah limbah APD infeksius, seperti dengan menggunakan teknologi yang menggunakan metode pirolisis untuk mengolah limbah yang akan menghasilkan bahan bakar alternatif. Teknologi pirolisis memanfaatkan metode pirolisis dalam mengolah limbah yang menerapkan konsep ‘waste to energy’ sehingga hasil akhir dari proses pengolahan limbah dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar. Pirolisis merupakan teknologi dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau reagen lainnya. Pirolisis dilakukan di dalam sebuah reaktor pengurangan atmosfer (hampa udara) pada temperatur hingga 800°C (Ramadhan, A., dan Ali, M., 2013). Menurut penelitian Bridges, T. (2020), teknologi pirolisis dapat dengan aman membunuh bakteri yang stabil secara termal dan membatasi gas beracun dengan baik dalam standar emisi. Sampai saat ini belum banyak industri atau masyarakat yang menerapkan teknologi pirolisis dalam proses pengolahan limbah, terutama limbah infeksius. Berdasarkan latar belakang di atas, maka upaya untuk memanfaatkan teknologi pirolisis dalam pengolahan limbah APD perlu dipertimbangkan sebagai salah satu langkah efektif untuk mengurangi penumpukan limbah APD akibat pandemi dan dapat menjadi inovasi baru untuk masyarakat apabila teknologi ini diterapkan dalam skala yang lebih kecil dan mudah dijangkau.
Langkah Rumah Sakit dan Pemerintah untuk ke Depannya
Pihak rumah sakit dapat meningkatkan perannya dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap terhadap pengelolaan limbah B3 medis dan kepatuhan penggunaan APD petugas limbah. Sedangkan dari pihak pemerintah, khususnya pemerintah daerah dapat memfasilitasi pelaksanaan diskresi melalui pengadaan transportasi limbah B3 medis ke tempat pengolahan limbah. Membangun transfer depo (transit) limbah B3 medis berbasis klaster wilayah selama masa pandemi. Mengupayakan Rumah Sakit Umum besar melakukan pengolahan limbah B3 medis yang bersumber dari Rumah Sakit kecil, Puskesmas, Klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya berdasarkan kota/kabupaten.(lth)
Dok. Google