6 minute read
KOLOM PU
Dinamika Kampus di Tengah Pandemi
Oleh: Muhammad Annisulfuad
Advertisement
Dunia Perkuliahan mengalami pergeseran di kala pandemi Covid-19. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 36952/MPK.A/HK/2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan metode baru yaitu Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Berdasarkan Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, pasal 31 tentang Pendidikan Jarak Jauh menjelaskan bahwa PJJ merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Mahasiswa dan juga akademisi kampus diharuskan menyesuaikan dengan perubahan yang begitu cepat terjadi. Seluruh kegiatan belajar, administrasi, dan berbagai aktivitas kampus lain dilakukan secara daring. Mahasiswa mulai kembali ke daerah tempat tinggal, meninggalkan kos dan kontrakan masing-masing. Pergeseran tersebut telah terjadi lebih dari setahun. Membuat setiap mahasiswa akhirnya semakin terbiasa dengan konsep perkuliahan di era new normal. Covid-19 tidak hanya mempengaruhi pembelajaran di tingkat universitas. Lebih jauh, ada efek berantai dari berbagai sisi yang memengaruhi proses pembelajaran via daring. Terlebih lagi, banyak dinamika yang masih terjadi di Indonesia, terkait infrastruktur maupun perekonomian. Pada sisi ekonomi, pandemi membuat banyak orangtua mahasiswa kehilangan pendapatan. Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) mencatat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi Covid-19 hingga awal Oktober 2020 sudah lebih dari 6,4 juta pekerja di PHK. Hal itu jelas berpengaruh ke kemampuan membayar biaya kuliah mahasiswa yang pendapatan orang tuanya terdampak pandemi. Banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah untuk meminta penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) selama pandemi. Di sisi psikologis, mahasiswa dihadapkan situasi yang jelas berbeda. Dunia perkuliahan tidak hanya terkait kegiatan pembelajaran, administrasi, bimbingan, maupun hal akademik lainnya. Banyak hal lain seperti lingkungan, organisasi, kepanitiaan, seminar, dan kegiatan yang normalnya dilakukan langsung di lingkungan kampus, sekarang dilaksanakan via daring. Layar monitor menjadi teman keseharian setiap mahasiswa. Kegiatan rutin yang biasa dilakukan seperti berkumpul dengan teman, berbincang dan bertukar pikiran, maupun sekedar jalan-jalan untuk menghilangkan kejenuhan di bangku kuliah tak dapat dilakukan lagi. Berbeda dengan sebelum pandemi, yang mana semua kegiatan dilakukan secara tatap muka dengan bertemu secara langsung. Itu dapat mempengaruhi sisi psikologis. Mahasiswa cenderung lebih mudah jenuh dengan aktivitas yang hanya dilakukan didalam rumah. Ditambah lagi, pembelajaran daring telah dilakukan selama setahun lebih.
Faktor lain yang menjadi hambatan dalam pembelajaran jarak jauh adalah fasilitas yang ada. Meskipun pembelajaran jarak jauh lebih fleksibel, namun setiap mahasiswa memiliki kelengkapan alat penunjang perkuliahan yang berbeda. Ditambah lagi, kondisi setiap daerah atau tempat tinggal mahasiswa juga sangat beragam. Seringkali terdapat kendala jaringan dan koneksi internet, maupun gadget yang tidak memadai. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbud menggelar survei pada Maret 2020 dengan jumlah responden 230.000 mahasiswa di 32 provinsi. Hasil menunjukkan bahwa 90 persen mahasiswa lebih memilih kuliah secara offline atau tatap muka di kelas. Lebih lanjut, 60 persen mahasiswa tidak siap melakukan sistem pembelajaran jarak jauh karena dilatarbelakangi soal jaringan internet yang lambat. Hal itu searah dengan data yang dikutip dari katadata.com yang menyebutkan bahwa Internet Indonesia tergolong lambat. Di kawasan Asia Pasifik, kecepatan akses internet Indonesia berada di peringkat empat terbawah. Dengan kecepatan rata-rata mencapai 2,4 Mbps dan 19.4 Mbps pada saat beban puncak. Kecepatan tersebut jauh berada di bawah kecepatan rata-rata akses internet dunia yang mencapai 3.9 Mbps dan 21.2 Mbps pada saat beban puncak. membuat pembelajaran tidak dapat berjalan secara maksimal. Faktor ekonomi, psikologis, dan fasilitas tersebut merupakan contoh efek berantai yang terjadi dan menjadi dinamika dalam pembelajaran kampus selama masa pandemi. Pemerintah melalui Kemendikbud telah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai bentuk bantuan terhadap mahasiswa. Diantaranya adalah mengatur mekanisme penyesuaian UKT melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan ini bertujuan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19. Kebijakan lainnya adalah penambahan jumlah penerima bantuan akan diberikan sebanyak 410.000 mahasiswa (terutama Perguruan Tinggi Swasta) di luar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Dana Bantuan Pandemi ini khusus untuk mahasiswa dengan kondisi keuangan yang terkena dampak pandemi. Terbaru, pemerintah juga memberikan subsidi kuota yang dari tahun lalu telah di distribusikan ke mahasiswa maupun tenaga pendidik. Bantuan juga biasanya diberikan oleh pihak perguru-
an tinggi masing-masing. Mulai bantuan dalam bentu subsidi kuota, pembebasan pembayaran Uang Kuliah Tunggal, sampai bantuan sembako bagi mahasiswa yang masih tinggal di kos masing-masing. Dinamika seperti ini memang tidak hanya dirasakan pada tingkat universitas, namun juga pada tingkat pendidikan yang lain. Siswa SD, SMP, maupun SMA/ Sederajat juga mengalami hal serupa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan di dunia perkuliahan berjalan lebih kompleks. Hal itu wajar karena pada tingkat universitas, mahasiswa harus menggali potensi lebih dalam dan menyiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi dunia kerja nanti. Namun, banyak hal yang baru yang menuntut mahasiswa untuk dapat melakukan adaptasi. Contohnya penelitian yang biasa dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan, kini dibatasi dengan persetujuan ijin dari pihak kampus. Lalu kegiatan praktek yang biasa dilakukan di laboratorium juga banyak ditiadakan karena segala aktivitas akademik tidak boleh dilakukan langsung di lingkungan universitas. Kegiatan magang dan juga Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang normalnya dilakukan di berbagai daerah, kini hanya bisa dilakukan sesuai dengan daerah asal mahasiswa, untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Beberapa kegiatan tersebut adalah contoh dari banyaknya hal yang dilakukan dalam pembelajaran kampus. Bahkan, suasana kelas yang normalnya dilakukan secara tatap muka, kini dilakukan hanya melalui platform, yang membuat interaksi antara dosen dengan mahasiswa berkurang. Seringkali hanya terjadi komunikasi satu arah di dalam kelas, dikarenakan dosen tidak dapat memantau langsung mahasiswa yang bergabung di dalam kelas. Tidak bisa dipungkiri, pandemi kali ini memang membawa pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Meskipun terjadi banyak pergeseran dalam dunia kampus, namun hal ini seakan telah menjadi kebiasaan baru yang melekat baik di mahasiswa, dosen, maupun civitas akademik lain. Namun, pembelajaran memang lebih baik dilakukan langsung secara tatap muka dan di lingkungan kampus membuat semuanya menjadi lebih efektif. Sebenarnya pemerintah juga telah mengeluarkan izin bagi perguruan tinggi untuk kembali melaksanakan kegiatan pembelajaran tatap muka. Izin tersebut dikeluarkan pemerintah dalam Surat Edaran (SE) Nomor 4 dan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021, melalui Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Dalam SE disebutkan bahwa konsep pembelajaran harus mengusung konsep hybrid, yaitu izin penyelenggaraan perkuliahan menggunakan dua metode pembelajaran, yakni tatap muka secara langsung dan secara daring. Contoh dalam menjalankan metode ini adalah pelajar hanya dianjurkan untuk datang dengan kuota 50 persen. Misalnya, jika terdapat 24 mahasiswa di kelas, maka yang diperkenankan mengikuti pembelajaran hanya 12 mahasiswa saja. Sisanya wajib melakukan pembelajaran daring. Konsep seperti itu sudah mulai diterapkan dalam pendidikan di tingkat SD, SMP, maupun SMA/Sederajat. Namun, dalam ranah universitas, konsep hybrid learning memang tidak bisa diterapkan begitu saja. Perlu persiapan matang, mengingat banyaknya pihak yang terlibat, dari jajaran akademisi, karyawan, hingga mahasiswa yang jumlahnya bisa puluhan ribu. Hal itu belum termasuk tingkat mobilisasi yang sangat tinggi di lingkungan universitas. Yang terbaru, pemerintah memperbolehkan kampus mulai dibuka kembali pada Juli 2021. Hal itu menyusul rencana vaksinasi Covid-19 yang akan diberikan kepada mahasiswa. Namun, semua itu dikembalikan ke perguruan tinggi masing-masing untuk memutuskan apakah tetap akan menerapkan konsep pembelajaran jarak jauh atau kembali membuka kampus. Meskipun tidak ada kepastian 100 persen, setidaknya mulai ada harapan bagi terselenggaranya aktivitas perguruan tinggi secara normal kembali. (lth)
*) Penulis merupakan Pemimpin Umum LPM Edents 2021