1 minute read

EDITORIAL

Next Article
CATATAN KAKI

CATATAN KAKI

Ilustrasi: Azzahra H SATU TAHUN PTN-BH

Oktober tahun lalu, UNS bersukacita. Perjuangan selama sekitar empat tahun meraih status PTN-BH terbayar sudah. Kini embel-embel PTN-BH bukan sekadar bentuk antusiasme saja, tetapi sebuah pencapaian yang dibanggakan. Meskipun perayaan status baru UNS sempat teredam dari telinga mahasiswanya oleh kesunyian Covid-19, nyatanya beberapa isu muncul dan mulai menarik perhatian. Mulai dari isu komersialisasi pendidikan, masuk- nya militer sebagai Majelis Wali Amanat (MWA), pembangunan UNS Tower dan SPBU, kuota penerimaan mahasiswa baru, hilangnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Rp0 bagi mahasiswa baru, dan isu-isu lain yang meresahkan mahasiswa. Rupanya, perjuangan UNS mencapai status barunya itu tak juga mendapat sambutan sukacita dari mahasiswanya. Berbicara tentang PTN-BH, kebijakan ini mengusung konsep di mana perguruan tinggi dipersilakan untuk mengatur anggaran rumah tangga dan keuangannya sendiri. Kampus diberi kebebasan untuk mencari dana tambah- an dalam menjalankan aktivitasnya, seperti pembangunan infrastruktur, pembayaran lis- trik dan air, gaji dosen dan pegawai, dan lainlain. Selain kebebasan mengatur keuangan, masih ada iming-iming yang ditawarkan PTN-BH, seperti keluasan untuk bermitra dengan pihak industri, kebebasan untuk membuka prodi baru, kebebasan untuk mengangkat dosen dan tenaga kependidikan non-PNS, kepemilikan aset penuh, serta kebebasan untuk mengembangkan fasilitas akademik dan nonakademik secara mandiri. Keuntungan tersebut tampak- nya menjadi alasan hampir semua kampus berlomba-lomba bermetamorfosis menjadi PTNBH.

Advertisement

PTN-BH memang menjadi keuntungan tersendiri untuk sebuah kampus. Namun, di sisi lain ada risiko yang perlu dipertimbangkan. Pemahaman “otonomi” keuangan menjadi kebebasan “tanpa batas” untuk mengelola keuang- an menimbulkan prasangka bagi beberapa pihak, khususnya mahasiswa. Status baru PTNBH untuk beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak menuai kontroversi di lingkungan akademisi maupun masyarakat. Banyak pihak menganggap status PTN-BH sebagai karpet merah menuju komersialisasi pendidikan. Se- perti halnya, Darmaningtyas di bukunya yang berjudul Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi yang menganggap PTN-BH sebagai bentuk bergesernya paradigma pendidikan kearah komersialisasi yang kapitalistik. Satu tahun berlalu dan keresahan pun tak kunjung padam. Apa yang kita takutkan –meminjam istilah yang digunakan sosiolog George Ritzer– bahwa tengah terjadi McDonaldisasi di sistem pendidikan kita hari ini.

This article is from: