Majalah Kentingan Edisi 28 Tahun 2021

Page 7

Editorial

Ilustrasi: Azzahra H

SATU TAHUN PTN-BH

O

ktober tahun lalu, UNS bersukacita. Perjuangan selama sekitar empat tahun meraih status PTN-BH terbayar sudah. Kini embel-embel PTN-BH bukan sekadar bentuk antusiasme saja, tetapi sebuah pencapaian yang dibanggakan. Meskipun perayaan status baru UNS sempat teredam dari telinga mahasiswanya oleh kesunyian Covid-19, nyatanya beberapa isu muncul dan mulai menarik perhatian. Mulai dari isu komersialisasi pendidikan, masuknya militer sebagai Majelis Wali Amanat (MWA), pembangunan UNS Tower dan SPBU, kuota penerimaan mahasiswa baru, hilangnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Rp0 bagi mahasiswa baru, dan isu-isu lain yang meresahkan mahasiswa. Rupanya, perjuangan UNS mencapai status barunya itu tak juga mendapat sambutan sukacita dari mahasiswanya. Berbicara tentang PTN-BH, kebijakan ini mengusung konsep di mana perguruan tinggi dipersilakan untuk mengatur anggaran rumah tangga dan keuangannya sendiri. Kampus diberi kebebasan untuk mencari dana tambahan dalam menjalankan aktivitasnya, seperti pembangunan infrastruktur, pembayaran listrik dan air, gaji dosen dan pegawai, dan lainlain. Selain kebebasan mengatur keuangan, masih ada iming-iming yang ditawarkan PTN-BH, seperti keluasan untuk bermitra dengan pihak industri, kebebasan untuk membuka prodi

baru, kebebasan untuk mengangkat dosen dan tenaga kependidikan non-PNS, kepemilikan aset penuh, serta kebebasan untuk mengembangkan fasilitas akademik dan nonakademik secara mandiri. Keuntungan tersebut tampaknya menjadi alasan hampir semua kampus berlomba-lomba bermetamorfosis menjadi PTNBH. PTN-BH memang menjadi keuntungan tersendiri untuk sebuah kampus. Namun, di sisi lain ada risiko yang perlu dipertimbangkan. Pemahaman “otonomi” keuangan menjadi kebebasan “tanpa batas” untuk mengelola keuangan menimbulkan prasangka bagi beberapa pihak, khususnya mahasiswa. Status baru PTNBH untuk beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak menuai kontroversi di lingkungan akademisi maupun masyarakat. Banyak pihak menganggap status PTN-BH sebagai karpet merah menuju komersialisasi pendidikan. Seperti halnya, Darmaningtyas di bukunya yang berjudul Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi yang menganggap PTN-BH sebagai bentuk bergesernya paradigma pendidikan kearah komersialisasi yang kapitalistik. Satu tahun berlalu dan keresahan pun tak kunjung padam. Apa yang kita takutkan –meminjam istilah yang digunakan sosiolog George Ritzer– bahwa tengah terjadi McDonaldisasi di sistem pendidikan kita hari ini. KENTINGAN XXVIII 2021

7


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.