SALAM REDAKSI
Perkembangan kehidupan umat
dengan judul Kurangnya Literasi Seni di
manusia dalam semua bidang tidak
Indonesia, menggambarkan bagaimana
terlepas dari literasi, termasuk dalam
bangsa kita kekurangan agen-agen
dunia
kebudayaan.
literasi dalam dunia seni dan bagaimana
Sehingga ilmu dalam semua bidang
kesenian
dan
peran penting literasi itu sendiri. Tidak
dapat
dikembangkan
generasi
hanya itu, pada rubrik Buah Pikir dengan
menciptakaan
judul Seni Tanpa Refrensi, staf pengajar
suatu inovasi baru. Kita tidak dapat
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta,
membayangkan, bagaimana kehidupan
Mikke Susanto juga menggambarkan
ini berkembang tanpa literasi, yang
bagaimana
menghasilkan
tekstual
refrensi yang mempengaruhi kekaryaan
maupun nontekstual seperti lukisan,
dan kualitas seniman. Dan mencoba
foto, suara, relief, dan lain-lain.
membaca sejarah di rubrik Momoria
selanjutnya
untuk
literatur
peran
penting
Khoirul Anam | Tata Kelola Seni 2014
Ilustrasi
ISSUE N O 9
sebuah
lewat Literasi dan Kurasi lewat tokohDalam kesempatan kali ini, Majalah
tokoh kurator di Indonesia. Serta
Art Effect #9 mengangkat tema tentang
liputan lainnya yang sudah dikerjakan
Literasi Seni. Tim Redaksi sengaja
dan sajikan oleh redaktur. Akhir kata,
menghadirkan bahasan ini, perihal
selamat membaca dan menikmati.
bagaimana peran penting literasi dalam dunia kesenian dan kebudayaan kita.
Salam Budaya,
Laporan utama dalam rubrik Paparan
Redaksi [AE]
3
daftar isi 7
13 BUAH PIKIR 18 MEMORIA
PAPARAN Kurangnya Literasi
Literasi dan Kurasi
Seni Tanpa Referensi
Seni di Indonesia
30 RETROSPEKTIF 30 REMBUKSENI 38 POTRAIT Kelas Belajar Kritik Seni
Mendokumenterkan Kesadaran Dokumenter
Kamila Andini dan Literasi Jalur Art House
50 gelar karya 56 wisudawan 59 rupa gaya S.Sn. VS Masa Depan
Dialog Dua Anak Haram : Proyeksi Perupa dan Penuslis dalam Industri Kreatif Indonesia
Jogja Street Style
punggawa art effect #9 Pelindung
Bendahara
Kepala Divisi Fotografi
Drs. Anusapati, MFA.
Reva Visi Bangsa/ Desain Produk 2016
Adi Ardiyansyah/ Seni Grafis 2012
Pembina
Pimpinan Redaksi
Kepala Divisi Layout
I Gede Arya Sucitra, S.Sn., M.A.
Khoirul Anam/ Tata Kelola Seni 2014
Ade Yoga Fahrur Rochman/ Kriya 2016
Pemimpin Umum
Redaktur Pelaksana Art Effect
Ilustrasi:
Yuni Ratna Sari Dewi/ Desain Produk 2016
Nurrul Wulan R. Nelwan/ Film dan TV 2015
Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016
Sekretaris
Kepala Divisi Ilustrasi
M. Hutomo Syahputra / Lukis 2017
Lu’lu Farhatul Amaniyah/ Desain Produk 2016
Adi Ardiyansyah/ Seni Grafis 2012
Citra Conde Sistyoayu / Lukis 2016
Adi Ardiyansyah/ Seni Grafis 2012
RALAT ART EFFECT EDISI KE #8 Dengan adanya kesalahan penulisan dari salah satu redaktur AE #8 dengan tema “Mampus Kau Dikoyak-koyak Seni” yang ditujukan pada Rubrik APRESIEKSIS dengan judul tulisan “ZULYO KUMARA PRATAMA: Berprestasi dengan Kisah dalam Karya” yang ditulis oleh Reporter kami Yuni Ratna Sari Dewi. Kami selaku redaksi sudah melakukan klarifikasi tulisan yang ternyaa ada kekurangan di hal. 60
25 GEROMBOL SENI Warnings Mags : Musik dan Literasi
42
Tulisan asli Dari prestasi yang ia torehkan tersebut Zulyo diberi kesempatan tahun depan belajar satu tahun ke italia.
SIBAK TRADISI
Verifikasi Dari prestasi yang ia torehkan tersebut Zulyo diberi kesempatan tahun depan belajar satu bulan ke italia.
42 - Dari Dodol Hingga Disko Tanah, Makna Thanksgiving bagi Masyarakat Minahasa
MEDIA SOSIAL: Web: lpmpressisi.com Facebook: LPM Pressisi Instagram: @lpmpressisi
46 - Potret Dua Dimensi dalam Pegelaran Jaranan
Email: isipressisi@gmail.com Line : @xkx2666m UKM Pers Mahasiswa Pressisi Gedung Student Center Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jl. Parangtritis KM 6,5, Sewon, Bantul, D.I.Y 55188 Indonesia CP: +62 812 - 2948 - 3043
Redaktur
Fotografi:
Layout:
Miftachul Arifin/ Film dan Televisi 2015
Yuni Ratna Sari Dewi/ Desain Produk 2016
Ade Yoga Fahrur Rochman/ Kriya 2016
Florentina Krisanti A.G./ Musik 2016
Editor:
Distributor dan Percetakan:
David Ganap/ Tata Kelola Seni 2014
Miftachul Arifin/ Film dan TV 2015
Reva Visi Bangsa/ Desain Produk 2016
Neo Kaspara Widiastuti/ Film dan TV 2016
Khoirul Anam/ Tata Kelola Seni 2014
Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016
Khoirul Anam/ Tata Kelola Seni 2014
David Ganap/ Tata Kelola Seni 2014
Yuni Ratna Sari Dewi/ Desain Produk 2016
Yuni Ratna Sari Dewi/ Desain Produk 2016
Kontributor
Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016
Florentina Krisanti A.G./ Musik 2016
Mikke Susanto
Nurrul Wulan R. Nelwan/ Film dan TV 2015
Gilang Chandra
Ilustrasi Adi Ardiyansyah | Seni Grafis 2012
Paparan
Kurangnya Literasi Seni di Indonesia Oleh: Florentina Krisanti | Musik 2016
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Literasi umumnya hanya dipahami sebagai kegiatan membaca dan menulis, tetapi sebenarnya juga harus dilandasi dengan kemampuan memahami informasi dan cara berpikir matematis. Hampir semua bidang ilmu di dunia tidak bisa dilepaskan dari literasi, termasuk seni. Guna menuangkan gagasan dan imajinasi, seniman perlu melakukan proses literasi agar bisa menghasilkan karya yang mendalam.
7
Kesadaran literasi di Indonesia saat ini masih tergolong kurang. Masih banyak seniman yang menciptakan karya tanpa melalui proses literasi. Karya beberapa seniman menjadi kurang mendalam dan hanya terasa berlalu begitu saja. Selain itu, mencari referensi seni di Indonesia terbilang sulit. Literatur seni yang ditulis oleh orang Indonesia masih sedikit, sehingga mau tidak mau para seniman harus membaca buku terbitan luar negeri. Ironisnya lagi, literatur seni Indonesia justru sebagian besar ditulis para akademisi dari luar Indonesia. JB. Kristanto, kritikus film senior dan mantan wartawan kebudayaan Kompas mengatakan, rendahnya literasi seni terjadi karena Indonesia belum memiliki tradisi menulis yang kuat, terlebih jika dibandingkan dengan negara seperti Cina dan Jepang. Secara historis, kesenian di Indonesia umumnya memang merupakan tradisi lisan. Salah satu contohnya adalah Candi Borobudur. “Kita nggak punya gambar aslinya Borobudur waktu dirancang. Kita belajar dengan melihat itu sekarang, dulu bikinnya gimana kan ini dikira-kira.
8
Gimana batu segede itu bisa sampai di puncak padahal belum ada alatnya?� terangnya. Baru pada awal tahun 1900an, tradisi menulis mulai muncul di Indonesia. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi audiovisual masuk ke Indonesia dan berkembang dengan cepat. Sementara itu, tradisi menulis di Indonesia masih belum kokoh. Proses penciptaan sebenarnya perlu melibatkan kegiatan menulis, seperti musisi yang menulis karyanya lewat notasi. Lewat tulisan, seniman menuangkan segala imajinasinya dan mencatat proses penciptaannya. Selama proses itulah terjadi dialog antara seniman dengan karyanya sendiri. Selain itu, JB. Kristanto juga mengeluhkan kurangnya inisiatif dari para seniman dan dosen seni untuk menulis. Hanya segelintir para pegiat seni yang mau menulis, itu pun kadang hanya membuat tulisan pendek untuk koran atau jurnal. Selalu ada saja alasannya, mulai dari banyaknya kegiatan sampai karena malas. Bahkan seniman yang berpendidikan tinggi pun masih ada yang belum menulis
buku. Menurutnya, dosen seni adalah orang yang paling berperan dalam perkembangan literasi seni. Jika seorang dosen jarang menulis, justru kapabilitas di bidangnya bisa dipertanyakan. “Siapa sih yang, katakanlah di ISI, yang mau riset dan menulis tentang perkembangan seni rupa di Jogja? Di Jogja saja dulu. Nggak usah tentang sejarah, lah. Misalnya perkembangan seni rupa di Jogja mulai dari tahun 2000 sampai sekarang. Ini kan butuh riset, butuh ketekunan,” ujarnya. Terkadang beberapa seniman perlu ‘dipaksa’ terlebih dulu agar mau menulis. JB. Kristanto mencontohkan Tony Prabowo, salah satu komposer Indonesia ternama. Ketika karyanya akan dipentaskan di Amerika Serikat, ia mau tidak mau harus menulis. Dengan menulis, para musisi akan lebih mudah mengerti dan karyanya bisa ditampilkan sesuai dengan harapannya. Lama-lama, Tony jadi terbiasa untuk melibatkan literasi dalam karya-karyanya. Cara utama untuk mengembangkan literasi seni di Indonesia adalah memperbaiki sistem pendidikan seni di Indonesia yang masih kacau. JB.
“
Proses penciptaan sebenarnya perlu melibatkan kegiatan menulis, seperti musisi yang menulis karyanya lewat notasi. Lewat tulisan, seniman menuangkan segala imajinasinya dan mencatat proses penciptaannya. Selama proses itulah terjadi dialog antara seniman dengan karyanya sendiri.” Kristanto mencontohkan bahwa di Jepang, setiap dosen berhak mengambil sabatikal setelah mengajar selama 5-6 tahun. Menurut KBBI, sabatikal adalah cuti panjang untuk beristirahat, mengadakan penelitian, atau mengikuti kursus untuk penyegaran
9
ilmu. Selama sabatikal, seorang dosen diminta mengajukan proposal untuk riset pribadi, dan hasilnya berupa buku. Sementara itu di Indonesia, sistim ini masih belum diterapkan. Lewat sabatikal, ilmu para dosen bisa berkembang lebih luas dan materi yang diberikan kepada mahasiswa bisa lebih bervariasi. Selain itu, semakin banyak dosen menulis buku dan jurnal, maka ia bisa naik jabatan. Selain pendidikan tinggi, Kristanto juga mengkritik pendidikan yang kurang memedulikan proses literasi. Tidak semua sekolah mewajibkan para murid untuk menulis dan pelajaran mengarang kerap diabaikan. Ia juga mencontohkan di Eropa, para mahasiswa diminta membaca buku lalu membuat karya tulis dari buku tersebut. Bahkan di Jurusan Arsitektur di sana, para mahasiswa baru bisa menggunakan meja gambar setelah semester ke-3. Jika setiap orang diwajibkan untuk menulis apapun secara teratur sejak dini, mereka akan semakin terbiasa hingga dewasa. Tradisi menulis akan jadi lebih kuat dan berjalan dengan baik, sehingga literasi pun bisa berkembang pesat.
10
Faktor lain yang menghambat perkembangan literasi seni di Indonesia adalah sistim penerbitan. Pembaca buku seni di Indonesia umumnya masih sedikit, sementara biaya penerbitan sebuah buku terbilang cukup besar. Meski saat ini sudah ada sistem penerbitan print-on-demand (POD), namun inisiatif masyarakat sendiri masih kurang. Jika mahasiswa seni sejak awal dibiasakan untuk membaca dan menulis, tuntutan literatur seni akan semakin banyak dan tentu literasi seni bisa berkembang lebih baik. Pada akhirnya, literasi adalah proses yang tidak bisa dilewatkan. Sekilas, seni kelihatannya tidak ada hubungannya dengan literasi. Namun melalui literasi, seniman bisa lebih mudah mengubah imajinasi dan idenya menjadi karya yang nyata. Semakin seorang seniman kaya pengetahuan, ia akan semakin leluasa untuk berkarya. Mungkin tidak semuanya berkualitas tinggi, tetapi tetap ada ciri khas yang muncul jika seni melibatkan literasi dalam proses pengkaryaannya. [AE]
Ilustrasi Adi Ardiyansyah | Seni Grafis 2012
11
Ilustrasi Karina Devi Saraswati | Desain Produk 2016
buah pikir
Seni Tanpa Referensi Oleh : Mikke Susanto
Jika Anda membuka laman di Google, dan mengetik kata kunci “seni tanpa referensi”, salah satu yang muncul adalah tulisan perempuan peseni asal Polandia, Monika Zagrobelna. Ia mengetengahkan tajuk “10 Kesalahan yang Diciptakan Seniman Baru dan Bagaimana Bisa Menghindarinya”. Ia ingin menunjukkan bahwa berkarya di zaman now dipengaruhi banyak hal. Pengaruh itu bisa benar dalam arti mampu menjawab keinginan, namun lebih banyak yang gagal mengantisipasinya. Salah satu diantaranya mengantisipasi kemajuan sains.
13
“Anda ingin menjadi peseni yang baik. Anda sudah banyak berlatih. Sudah mengikuti tutorial dan menonton video. Anda menganalisis seni orang lain, tapi sepertinya Anda sama sekali tak maju. Anda bekerja keras, namun tidak mengalami peningkatan yang diharapkan. Mungkin ini bukan untuk Anda dan buang-buang waktu saja,” tulis Zagroblena. Kepercayaan terhadap latihan yang rajin, petunjuk yang berlimpah dari senior atau dosen untuk menjadi peseni dapat dikatakan keniscayaan. Lalu apakah ini semua akan membuatnya lebih cepat ke arah tujuan (katakanlah: berhasil)? Zagrobelna menerka salah satu yang penting dalam menjadi kesalahan adalah “terlalu banyak rencana”. Salah satu diantaranya termasuk terlalu banyak membaca artikel atau menyimak tutorial. “Membaca buku tentang menggambar tidak akan membuatmu jadi pelukis yang baik. Menghabiskan
14
waktu browsing Pinterest tidak akan membuat gambarmu lebih baik. Menggulirkan tutorial step by step hanya memberi pemahaman lebih jelas, tapi belum tentu mampu mencapainya,” ujarnya lebih lanjut. Lantas apa sesungguhnya fungsi referensi (lebih tepatnya literasi) bagi peseni? Referensi, literasi, acuan atau sekumpulan informasi dari bacaan, entah berupa esai maupun buku, berfungsi lebih sebagai penuntun. Referensi menjadi instrumen petunjuk untuk menambah (atau mengurangi), memperluas (atau mempersempit), membatasi (mengkhususkan) pemikiran pada saat berkarya. Seperti halnya peneliti, referensi digunakan untuk menjangkau pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya, agar tak
terjadi plagiarisme. Di satu sisi, referensi berfungsi untuk menggali kemungkinan atau ekplorasi gagasan yang selama ini belum dilakukan, agar mampu mengisi kekosongan “posisi dan peluang” dalam perkembangan sejarah. Jangan sampai Anda terjebak dalam omongan naïf dengan mengatakan, “Saya tidak tahu kalau sudah ada karya semacam ini,” atau “Saya belum pernah melihat karya tersebut sebelumnya, jadi jangan salahkan saya bila ada persamaan!” Itu menandai referensi Anda sangat kurang. Jadi segeralah membaca jika sudah begitu.
Membaca buku tentang menggambar tidak akan membuatmu jadi pelukis yang baik. Menghabiskan waktu browsing Pinterest tidak akan membuat gambarmu lebih baik. Menggulirkan tutorial step by step hanya memberi pemahaman lebih jelas, tapi belum tentu mampu mencapainya.
Ilustrasi Khoirul Anam | Tata Kelola Seni 2014
15
Referensi juga menunjukkan batas-batas kemampuan yang dimiliki oleh seorang peseni. Hal ini tampak jika sebuah karya seni tengah dikaji oleh pengamat. Seorang kritikus atau kurator akan mempersoalkan segala hal yang ada dalam sebuah karya seni. Dari persoalan gerak mata hingga jari kaki, dari warna jingga gelap sampai merah darah, dari suara alam ke suara mesin, dari bau amis, pesing sampai bau keringat pemain adalah bagian dari kajian yang menjadi kesimpulan dan referensi. Referensi berfungsi pula untuk memperkuat argumen. Kemampuan untuk mengambil informasi yang sesuai amat diharapkan. Sebab dalam berkarya, peseni diharapkan mampu mengejawantahkan berbagai khasanah ilmu pengetahuan yang selama ini hanya berbentuk teori maupun implementasinya yang bersifat fungsional. Para peseni diharapkan juga turut mengimplementasikan perkembangan sains, agama, filsafat,
16
dan ilmu lainnya ke dalam karyakaryanya. Bukan untuk bersaing dengan para agamawan dan ilmuwan (sang pembuat logos), tetapi mampu menemani sains sebagai salah satu kreator “mitos� kontemporer yang berguna menyelaraskan alam dan dimensi kemanusiaan. Dalam aspek fisik, referensi bisa digolongkan menjadi beberapa jenis. Pertama referensi ilmiah. Referensi ini bagi seni berfungsi untuk menunjukkan sisi pengetahuan yang terukur, rasional, dan mampu memberi pengalaman yang sepadan bagi orang lain. Seni tidak dianggap sebagai mitos yang absurd dan sekadar eksperimen tanpa referensi. Seni dengan referensi semacam ini untuk menunjukkan dimensi sains yang terukur. Hal ini bisa didapatkan dari sejumlah teori yang ada di segala bidang ilmu yang dimanifestasikan pada seni. Peseni macam Claude Monet saat menemukan lukisan cahaya, atau Pablo Picasso yang mengupas teori relativitas Einstain
adalah dua diantaranya yang berhasil. Kedua, referensi visual. Referensi ini berfungsi untuk memberi dukungan visual, guna memudahkan bagi kreator maupun penikmatnya. Referensi ini dapat berupa gambar, desain, foto, bagan, grafis, atau sejenisnya. Karyakarya para peseni sebelumnya juga menjadi bagian di dalamnya. Referensi visual hanya digunakan sebatas untuk mengimplementasi gagasan penciptaan atau perancangan. Bila Anda kebanyakan menggunakan referensi ini kemungkinan akan terjerumus dalam kedangkalan teoretis dan pikiran yang ampang. Ketiga, referensi teknis. Referensi ini bisa merupakan gabungan keduanya. Penggunaanya bergantung pada sang pemakai. Perkara teknis akan membantu mempermudah pengambilan keputusan atau eksekusi visual atas karya seni yang hendak disajikan. Di sisi lain, persoalan teknis akan menjebak peseni pada aspek yang bersifat permukaan. Jadi perlu berhati-
hati, sebab persoalan teknis ini pun perlu dicermati lebih lanjut. Kajian mengenai referensi bagi peseni tidak bisa disimpulkan dengan mudah. Justru yang lebih mudah adalah menonton para peseni kala mengomunikasikan konsep-konsep seninya. Persoalan proses kreatif yang kompleks—dimana di dalamnya biasanya penuh dengan referensi— akan mudah ditangkap bila kreator juga mampu menuliskannya dengan baik. Jika para peseni sudah menggunakan banyak referensi, namun tak mampu menjabarkannya, itu nonsense. Tampaknya tulisan Zagrobelna yang saya kutip di atas mungkin perlu ditambah dengan persoalan ini. [AE]
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta
17
Ilustrasi Adi Ardiyansyah | Seni Grafis 2012
memoria
&
Literasi
Kurasi
Oleh: Khoirul Anam | Tata Kelola Seni 2014
B
angsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai sejarah dan budaya yang besar, dan untuk menjaga sejarah dan budaya diperlukan adanya kegiatan literasi. Apa itu literasi? Menurut UNESCO literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis. Pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya serta pengalaman. Dalam hal ini, hasil dari kegiatan literasi tidak hanya literatur tekstual tetapi juga nontekstual seperti lukisan, foto, suara, relief, dan lain-lain. Kemajuan sebuah negara tergantung pada tingkat kesadaran literasi pada
negara tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa masyarakat mempunyai kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan re flektif, sebagai bekal dalam kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat untuk sesama manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat 64 dengan skor 397 dari total 70 peserta negara untuk kategori membaca, kalah dengan Singapura yang berada di urutan teratas dengan skor 535. Hal yang sangat memprihatinkan. Kemauan membaca masyarakat Indonesia ternyata tertinggal dari negara-negara
19
tetangga. Indoesia merdeka 73 tahun, namun budaya literasi di masyarakat kita sangat minim sekali. Padahal para pendiri bangsa menempatkan literasi sebagai alat pembebasan dari penjajahan terhadap bangsa lain dan pembodohan. Contohnya, Tan Malaka yang berujar bagaimana pentingnya literasi “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Literasi Seni Literatur tekstual tentang kesenian di Indonesia masih sangat minim sekali, bisa kita lihat di toko buku atau perpustakaan umum yang menyediakan buku tentang kesenian, sekalipun ada, buku tersebut bukan ditulis oleh penulis Indonesia. Bahkan kebanyakan bukubuku kesenian di toko buku lebih banyak buku impor dari luar negeri. Seperti yang pernah diungkapkan Ketua Satu Pena (Persatuan Penulis Indonesia) Nasir Tamara “Hampir semua buku berbahasa asing tentang Indonesia ditulis oleh
20
penulis asing, seperti terpajang di toko buku bandara (Adi Sutjiptored )Yogyakarta. Sedihnya. “Salah satu mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Chita juga mengungkapkan hal yang sama bahwa “Susah mencari buku-buku atau literatur tentang manajemen seni di Indonesia, kebanyakan buku-buku dari luar (negeri).”
Kurator Seni Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan literasi seni menjadi penting untuk kekaryaan seniman, seperti manfaat awal literasi yaitu sebagai kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan re flektif dalam persoalan kehidupan, yang seringkali diangkat dalam kekaryaan
untuk berkesenian. Andonowati , pemilik Lawangwangi Creative Space Bandung menegaskan bahwa “Seniman yang baik adalah seniman yang melakukan riset (literasi) dalam kekaryaannya.” Literasi adalah salah satu infrastruktur yang sangat penting di medan seni rupa. Dalam literasi seni, salah satunya pencatatan sejarah dan wacana kesenian kita lebih banyak ditulis oleh wartawan dan kritikus seni di media massa. Adapun untuk penulisan yang bersifat akademik tidak sesering wartawan ataupun kritikus seni yang terbit setiap minggu di media. Tetapi, sekarang hampir tidak ada lagi yang berprofesi sebagai kritikus seni. Hal ini mungkin tergantikan dengan
adanya profesi kurator, dilihat dari banyaknya tulisan di media massa yang kebanyakan diisi oleh kurator. Kurator di posisi lain juga berperan penting terhadap pengantar pameran seni. Selain menjadi exhibition maker, kurator juga berperan sebagai agen literatur seni tekstual. Kurator sekaligus seniman, Asmudjo J. Irianto mengungkapkan bahwa “Kerja kurasi penting dalam medan seni rupa, maupun literasi seni.” Hal tersebut dikarenakan kerja kurasi mempunyai pendekatan yang berbedabeda, dilihat dari kebutuhan, ada jarak antara kuratorial konvensional dan nonkonvensional “Membuat yang tidak make sense menjadi make sense, dan yang tidak seni menjadi seni,” tambah Enin Supriyanto. Istilah profesi kurator sendiri muncul di tanah air pada tahun 1990-an, tetapi untuk kerja kurasi di Indonesia sendiri sudah pernah dikerjakan oleh Dullah, seorang Pelukis Istana Negara pascakemerdekaan. Meskipun menjadi Pelukis Istana, Dullah juga sekaligus melakukan kerja kurasi terhadap karya-
Ilustrasi Khoirul Anam | Tata Kelola Seni 2014
21
karya koleksi Presiden Sukarno. Literatur itu dapat kita lihat pada katalog koleksi Sukarno sebanyak 5 jilid yang disusun oleh Dullah. Dalam buku Kurasi dan Kuasa karya Agung Hujatnikajennong, Kate Fowle meninjau istilah “kurator” (curator) berdasarkan akar kata dalam Bahasa Latin yakni curare, yang berarti “merawat” (to care of). Dari sudut itu, kita bisa menyimpulkan bahwa kata tersebut mengandung pengertian “pertanggungjawaban”, “perawat”, atau “pemelihara”. Sebelum tahun 1969, di Eropa kurator masih di bawah bayangbayang museum atau institusi, yang lebih banyak merawat koleksi museum. Setelah tahun 1969, di Swiss Herland Szeemann mendeklarasikan diri sebagai kurator independen. Hal tersebut juga memengaruhi perkembangan kerja kurasi di Indonesia. Pada 1993 di Biennale Seni Rupa Jakarta (BSRJ) IX, Jim Supangkat kali pertama mendeklarasikan diri sebagai kurator
22
di luar museum. “Upaya mengenalkan kerja kurasi yang agenda pentingnya adalah kesadaran bahwa penyusunan pameran-pameran besar dua tahunan yang disebut “biennale” seharusnya melibatkan kurasi,” tegas Jim Supangkat. Adapun yang dirawat atau dipelihara kurator dalam konteks di luar institusi museum adalah wacana maupun sejarah dari hasil kerja kurasi melalui tulisan. Enin Supriyanto menambahkan bahwa “Praktik kerja kurasi meluas, menjadi mediator, membangun dialog antara seniman dan publik untuk menumbuhkan pengetahuan, tidak hanya menjadi exhibition maker saja.” Melalui wawancara dengan Mikke Susanto, kita mencoba mengklasifikasikan berdasarkan tempat dan kronologis yang termasuk dalam pelaku kerja kurasi dan penulis seni. Adapun hasilnya bisa dilihat pada infografik berikut ini. [AE]
Warnigs Magz : Musik dan Literasi
Oleh : Yuni Ratna Sari Dewi | Desain Produk 2016
24
gerombol seni
eberapa orang percaya; musik tidak lahir dari ruang kosong, karena dibalik alunan indahnya ada realitas dan konflik yang membentuknya. Seperti halnya bagaimana komunitas ini terbentuk. Dimulai dari beberapa anak muda yang giat memerhatikan perkembangan musik akan tetapi mereka resah karena saat itu kurangnya media yang khusus membahas musik. Warnings Magz, salah satu media independen nonprofit yang bermarkas di kota Yogyakarta ini menjadi media yang aktif menggiring wacana-wacana baru dunia permusikan di Yogyakarta dan sekitarnya.
B
Warnings Magz diprakarsai oleh dua mahasiswa Ilmu Komunikasi yaitu Tomi Wibisono dan Soni Triantoro. Kala itu mereka masih menjadi mahasiswa tingkat ketiga di Universitas Gajah Mada (UGM). Disatukan dengan keresahan yang sama serta didukung lingkungan maupun teman-teman yang bisa menulis dan suka menonton konser, muncullah ide untuk membuat wadah berisi tulisan maupun opini-opini mereka mengenai musik yang mereka nikmati.
Seiring waktu berjalan, Tomi, Soni, dan teman-temannya tidak hanya berfokus pada menyajikan wacana musik saja akan tetapi Warnings Magz juga meng-cover isu-isu sastra, film dan budaya. Selaku anak muda yang selalu gelisah dan rajin mengamati polemik yang terjadi di sekitar mereka, sehingga tidak menuntut kemungkinan dari hobi membicarakan soal sosial politik tersebut menjadi bumbu tulisan mereka.
Warning Magz memuat bagaimana menikmati musik dengan membaca maksud dan latar belakang musik itu bisa terbentuk. Entah ada sempilan keresahan sosial bahkan sampai politik sekali pun, Tomi dan teman-teman juga merasa miris, saat melihat sedikit banyak anak muda sekarang jarang yang doyan membaca politik, maka jika isu tersebut bisa sampai melalui wacana-wacana musik yang fresh dengan pilihan musisi yang nyentrik serta ditulis dengan gaya asik, mereka yakin tulisan mereka pas untuk diterima kalangan anak muda.
25
26
“ Sesimpel kalo kamu gak membaca dan menulis, musik yang dibuat dan didengarkan itu akan beda sama orang yang punya cukup banyak literasi, “ terang Titah AW selaku managing editor Warnings Magz. Media yang berkantor di Jalan Kaliurang Km.13 ini juga mampu melihat perkembangan musik lokal maupun musik pasar sebagai wahana yang atraktif untuk memperkenalkan isu sosial, politik bahkan konflik agraria sekali pun agar bisa diterima secara apa adanya oleh anak muda atau pun pegiat musik di zaman milenial ini. Selain itu kehadiran Warning Magz bisa menjadi
Yuni Ratna Sari Dewi | Desain Produk 2016
Warning Magz mempunyai gagasan baru pada tahun 2016 dengan mendirikan Warning Books sebagai media penerbitan yang tetap menggarap konsep literasi dan budaya, baik musik, sastra, film, dll. Warning
Books/Media ini juga memiliki sistem independen yang bebas, dan sampai sekarang sudah ada 10 buku terbit dari Warnings Books ini. Tomi dan temanteman memilih bidang penerbitan karena peran buku lebih relevan, bisa menjadi karya fisik yang bisa diterima siapapun, dan bisa diarsipkan atau dikoleksi setelah dibaca. Karena saat ini peran literasi itu sangat dekat dengan musik, film maupun sastra.
Foto
Blog merupakan wadah pertama yang Warnings Magz buat di tahun 2012. Ketika itu keadaan media musik di Jogja terbilang pasif. Pertumbuhan media independen ini pun juga lamban akan tetapi tidak berarti jurnalistik musik mati. Hampir semua media bersentralisasi di Jakarta sehingga Warning Magz bisa naik dan aktif, karena mereka bisa berkomunikasi dengan media nasional seperti Rolling Stone dan media lainnya. Warning Magz lalu merilis website warningmagz.com di awal tahun 2013 dan majalah cetak tiap tiga bulan sekali. Sayangnya majalah cetak tersebut hanya bertahan hingga cetakan ke-7 di tahun 2015 lalu. Mereka lalu memilih vakum terlebih dahulu untuk mencetak karena memang saat ini media cetak berada pada masa senjakala-media.
Sudut Kantor Warnings Magz, Minggu, (08/01/2018). Terlihat beberapa tumpukan buku. Segala macam jenis buku mulai dari musik, sastra hingga sosial politik tertata rapi dalam rak-rak buku yang menepi pada dinding.
Tomi Tiantoro dan Humhum , tengah berada di kantor Warnings Magz, Minggu, (08/01/2018). Tomi menunjukan beberapa produk Warning Magz mulai dari majalah edisi satu sampai tujuh dan beberapa buku terbitan Warnings Books salah satunya “Questioning Everything� yang merupakan buku terbitan pertama Warnings Books.
oase di tengah kekeringan informasi mengenai musik, terutama musik-musik indie yang selalu membawa wacana baru dan berkarakter.
Yuni Ratna Sari Dewi | Desain Produk 2016
Foto
“Ya dari lima artikel musik gitu ada satu pasti yang ngomongin sospolnya, karena kami independen juga, jadi ya pilihan liputan kami bisa bebas. Seperti misal dalam waktu bersamaan di Jogja ada konser Tulus sama Sisir Tanah, kita akan lebih milih meliput Sisir Tanah dahulu karena musisi yang juga membawa wacana kritis secara langsung dan lugas kan. Selain itu juga lebih pas dengan idealis media kita,” lanjut Titah. Dalam berkegiatan Warnings Magz ini cukup informal terlihat dari kantornya yang berada di pinggiran pusat kota Yogyakarta, dengan tumpukan buku di berbagai penjuru. Tempat iini mewakili bagaimana tempat nongkrong dan ngobrol anak muda yang melek literasi. Bahkan tak jarang beberapa musisi seperti Danto Sisir Tanah atau Umar Haen, dll sering
menyempatkan berkunjung. Hingga saat ini ada 15 orang yang aktif di Warning Magz, mereka terus resah dan menulis atas dasar inisiatif, karena pada awalnya jurnalis musik adalah fans musik itu sendiri atau kerap disebut “fans yang tercerahkan (enlightened fans)” (Gudmondsson et al. 2002). Tidak semua redaktur Warnings Magz menulis semua genre musik. Beberapa yang memang tidak bisa menikmati musik Heavy Metal atau Rock tidak akan pernah menulis tentang itu, mereka akan lebih memilih menulis musik Folk atau lainya, begitu sebaliknya. Karena setiap jenis musik memiliki penikmatnya masing-masing. Sesuai
dengan tagline Warnings Magz “Without Border” Warnings Magz tidak membatasi konten musiknya. Apapun bentuk musiknya tetap mereka ulas, bahkan menggabungkan musik bawah tanah dan arus utama. Musik bagus tetaplah musik bagus, begitulah menurut Tomi dan teman-temannya. [AE]
29
retrospektif
Mendokumenterkan Kesadaran Dokumenter Oleh : Miftachul Arifin | Film dan TV 2015
K
esadaran atas dokumenter menyelaraskan ingatan setiap generasi muda dengan seluruh pengalaman dan pencapaian para leluhur bangsa. Muhammad Hendri Rickybowo menyelami kesempatan tersebut dengan menyutradarai sebuah film dokumenter pendek berjudul Sang Kolektor Muda. Film dokumenter pendek berdurasi 1 jam lebih 11 menit ini hadir bersama penjelasan, tanggapan, dan pendapat dari sejumlah narasumber yang terdri dari Masykur, seorang Pengumpul Manuskrip; Maimun Ibrahim sebagai Pecinta Kebudayaan Aceh dan Melayu; Guru Agama dan Sejarah di sekolah Masykur bernama Miswar Saputra; serta Andri Faisal, seorang Anggota Komunitas Remaja Peduli Sejarah Aceh. Film yang diproduksi pada tahun 2017 di Lueng Putu, Pidie Jaya ini dipersembahkan oleh Aceh Documentary Junior 2015 kepada setiap pemerhati gerakan literasi secara khusus.
31
Masykur (Sang Kolektor Muda) bersama teman-teman di komunitasnya membongkar isi dari sekarung penuh kertas-kertas manuskrip, memilah-milih mana yang masih dapat diselamatkan lalu diperbaiki dan mana yang tidak terselamatkan sama sekali.
Literasi bekaitan erat dengan aspek baca-tulis beserta segala macam turunan di seputar lingkungan sastra dan keilmuan. Termasuk di dalam bentuk turunan dan karya yang dihasilkan adalah buku, tulisan-tulisan panjang dan pendek, hikayat, kegiatan pengarsipan, dan beragam jenis pengembangan lain. Mengutip sebuah kalimat ikonik dari salah satu buku dalam Tetralogi Bumi
32
Manusia karya salah seorang sastrawan terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, bahwa ‘menulis adalah bekerja untuk keabadian’. Kalimat itu layak jika dihubungkan dengan film dokumenter Sang Kolektor Muda dan topik penting yang dibicarakan, yakni mengarsipkan salah satu bentuk keabadian. Dengan kata lain, film dokumenter Sang Kolektor Muda adalah satu di antara sederet
bagian penting dari kerja keabadian itu sendiri. Mengabadikan karya keabadian. Masykur (Sang Kolektor Muda), telah mengumpulkan sebanyak 315 naskah dari penduduk desa Lueng Putu di Pidie Jaya sejak tahun 2014. Rerata kondisi naskah-naskah tersebut kurang bagus, bahkan cenderung rusak. Kerusakankerusakan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan akan potensi manfaat yang tersimpan, dan naskah atau manuskrip tersebut kemudian dianggap sekadar kertas berisi tulisan biasa. Sehingga, penyimpanan manuskrip di sana pun alakadarnya dan sebagian besar telah hilang. Manuskrip-manuskrip tersebut berisikan bukan hanya tentang ilmu agama, melainkan juga ilmu pengobatan, sejarah, antropologi, astronomi, dan hikayat-hikayat. Ilmu pengetahuan di dalam sebuah manuskrip pun dapat meliputi obatobatan, ilmu fail (aturan-aturan dalam menuliskan teks berbahasa arab), tabir gempa (pertanda atau ramalan yang bisa terbaca melalui kapan waktu terjadinya gempa), dan semua itu ada serta tertulis dalam setiap lembar manuskrip yang diarsipkan oleh Masykur.
“ Film dokumenter Sang Kolektor Muda, mendokumentasikan kegiatan dokumentasi dan mendokumenterkan kesadaran dokumenter.” Masykur menyelamatkan warisan budaya berupa tulisan-tulisan di usia SMA. Berbekal alasan sederhana yang di balik itu tidak sederhana dalam praktiknya. Pun tidak sederhana berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan literasi. Membaca manuskrip bertuliskan teks huruf arab bukanlah perkara mudah. Mengarsipkan lembaran kertas naskah berisi harta berharga bagi generasi masa depan tersebut lebih tidak mudah lagi. Namun demikian, agar dapat menyelamatkan manuskrip sebanyak mungkin –terlepas dari baik atau tidak kondisi lembaranlembaran itu— lebih segera dilakukan adalah lebih baik. Dokumenter Sang Kolektor Muda menunjukkan arti penting dari kata ‘arsip’ berikut seluruh turunan dan pengembangannya, dari lingkungan lokal setempat Si Kolektor Muda. Melalui satu contoh sederhana sekaligus tidak sederhana serta penting, yakni mengarsipkan manuskrip buatan para jenius Aceh jauh sejak masa lampau perjalanan negeri ini.
33
Masykur (Sang Kolektor Muda, empat dari kiri) memberi penjelasan dan arahan kepada teman-teman Komunitas Remaja Peduli Sejarah Aceh tentang tujuan penting daripada kegiatan literasi dalam ranah pengarsipan warisan Aceh.
Film dokumenter ini menyematkan ‘arsip’ sebagai bantuan penting bagi setiap generasi penerus agar tidak abai terhadap sejarah. Senada dengan dampak positif catatan-catatan (manuskrip) dari masa lalu dalam ranah ‘sejarah’, posisi ilmu pengetahuan sejak kultur ekosistem terkecil yang kuno pada masa lalu sampai struktur kompleks kehidupan masa depan, juga tak terhindarkan betapa penting telah hadir dari lembar-lembar tersebut. Fungsi film/video dokumenter sebagai media pembelajaran budaya, sosial, dan kemnausiaan kemudian
34
mendapat sorot perhatian berkat keberhasilan dalam peran memberi sumbangsih, terhadap kegiatan literasi pada Sang Kolektor Muda. Bukan tanpa alasan bila kemudian film dokumenter ini dan kegiatan koleksi (pengarsipan) manuskrip oleh Si Kolektor pun termasuk kegiatan literasi yang terbilang berada di tingkatan sama. Saling melengkapi, saling mengisi, dan saling mendukung. Bahkan, bukan mustahil akan ada cukup banyak temuan baru sebagai pelengkap lalu mengisi ruang-ruang dan titik-titik kosong dalam rangkaian sejarah yang hilang atau putus. [AE]
“ Fungsi film / video dokumenter
sebagai media pembelajaran budaya, sosial, dan kemnausiaan kemudian mendapat sorot perhatian berkat keberhasilan dalam peran memberi sumbangsih, terhadap kegiatan literasi pada Sang Kolektor Muda.�
Kelas Belajar Kritik Seni Oleh : Karina Devi Saraswati | Desain Produk 2016
I
ndonesian Visual Art Archive (IVAA) menginisiasi program Telusur pada Bulan Juli lalu. Telusur adalah rangkaian kelas belajar penulisan dan pengarsipan yang diupayakan untuk mendukung praktik dinamisasi penulisan kritik seni rupa di Indonesia. Sebab saling memiliki tujuan sama pada bulan yang sama, program yang berawal hanya diinisiasi IVAA ini kemudian berkolaborasi dengan Ace House Collective dan didukung oleh Krack Studio. Ace House Collective sendiri memiliki Three Musketeers Project dengan materimaterinya yang diharapkan mampu melengkapi kebutuhan para peserta Telusur IVAA. Sehingga, keputusan untuk saling bekerja sama pun dilakukan. Seperti yang diungkapkan Rio Raharjo, Ketua Kelas Telusur ketika ditemui Pressisi di Krack Studio pada hari ke sebelas Telusur yakni Jumat, 3 Agustus 2018.
36
“Kami rasa bagi teman-teman Three Musketeers yang diwakili pihak Ace House, juga penting untuk mengetahui apa yang terjadi pada seni rupa saat ini. Jadi saling melengkapi saja. Belum tentu juga tema-tema yang kami sodorkan itu nyantol ke para peserta Telusur. Maka didukung juga sama materi dari Ace House. Akhirnya kami berkolaborasi,� terang pria kelahiran Samarinda kala itu. Mengusung tema Mobilitas dan Kuasa, Telusur dilaksanakan selama 13 hari dengan menyeleksi para pesertanya. Tujuan di balik tema tersebut adalah ingin mendekatkan para peserta dengan medan sosial di sekitar, khususnya Yogyakarta. Tema diambil dengan melihat ramainya peristiwa event seni tanpa menikmati ingar-bingarnya saja, namun juga melihat dari sisi lain dan mengkritisinya. Materi yang disuguhkan beserta pematerinya pun beragam. Selama kelas belajar Telusur,
mantan wartawan Tempo Raihul Fadjri ikut membagikan ilmu sebagai pemateri dalam kelas Jurnalisme dan Kritik Seni kala itu. Selain itu, IVAA mengharapkan peserta yang kritis tanpa melihat seni rupa dari permukaan saja, sehingga diadakanlah seleksi bagi para pesertanya. “Karna temanya seperti ini, kita juga melihat ada apa lagi di balik fenomena ini. Kalau kita tidak selektif akan bahaya juga buat kita,” ujar Rio kemudian. Namun akhirnya IVAA memutuskan untuk membuka kelas Telusur secara umum. Sehingga peserta terbagi menjadi dua bagian, yaitu peserta dengar dan peserta tetap. Perbedaannya adalah seluruh peserta dengar hanya sebagai pendengar, sedangkan peserta tetap diberi penugasan. Tanpa syarat peserta harus memiliki background seni rupa, IVAA lebih mengutamakan minat terhadapnya. Total seluruh peserta mencapai sekitar
Dokumentasi “Indonesa n Visual Art Archive “( IVAA )
Foto
rembuk seni
35 orang dari berbagai tempat seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Seni Indonesia (ISI), bahkan dari Kota Depok. Rio menerangkan bahwa selain memperkenalkan pada teman-teman secara luas, IVAA memiliki harapan tertentu kepada peserta dengar. “Dari peserta dengar kami percaya bahwa melalui proses diskusi, pengetahuan akan dibentuk. Ada proses dinamika ketika proses belajar. Pengalaman-pengalaman yang ada pada mereka juga akan jadi pengetahuan buat kita,” imbuhnya. [AE]
37
potrait
Foto Dokumentasi www.festivalcinemaafricano.org
Kamila Andini dan Literasi Jalur Art House Oleh : Neo Kaspara Widiastuti | Film dan TV 2016
Kamila Andini, perempuan kelahiran Jakarta, 6 Mei 1986, ini tak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi pegiat film. Sutradara yang filmnya identik dengan unsur-unsur budaya dan lokalitas. Telah mendapat apresiasi luar biasa dari beberapa karyanya, antara lain : “The Mirror Never Lies”, “Following”, “Memoria” dan “Sekala Niskala”.
S
ejak kecil Dini, panggilannya, memang didekatkan dengan seni oleh kedua orang tuanya. Ia pernah mencoba belajar piano, tari dan lukis, tetapi ia merasa naluri keseniannya tidak keluar dari bidang-bidang kesenian tersebut. Namun tak sia-sia, Kamila mengakui dari berbagai macam kesenian yang ia pelajari ketika kecil, pada nantinya akan menjadi inspirasi untuk film-filmnya.
Ketika duduk di bangku SMA, Dini menemui fase di mana film Indonesia kembali berjaya di bioskop—saat itu filmfilm Hollywood menguasai pasar bioskop tanah air. Pada waktu itu pula kemajuan teknologi membuat orang-orang mulai membuat film pendek dengan handycam. Anak muda berbondongbondong membuat filmnya sendiri. Dini sebagai anak seorang sutradara (Garin Nugroho) kerap ditawari temantemannya untuk bergabung membuat film. Meski ia belum tahu apa-apa tentang film. Tapi ia berusaha menekuni dunia film dan pada akhirnya merasakan kenyamanan di dunia yang sama dengan ayahnya. Sebagai seorang sutradara yang membuat film di jalur Art House, film karya Kamila Andini tidak lepas dari unsur-unsur budaya dan lokalitas. Pengertian Art House sendiri adalah film yang seringkali memiliki konten dan gaya artistik atau eksperimental serta memiliki nilai atau potensi artistik tinggi. Dua di antaranya berjudul “The Mirror Never Lies” dan “Sekala Niskala”. Jika “The Mirror Never Lies” mengangkat kekayaan kehidupan laut Wakatobi dan kebijakan lokal suku Bajo, maka “Sekala Niskala” mengambil kultur Bali, bukan hanya lokasi, aktor utama pun asli Bali.
ilustrasi Citra Conde Sistyoayu | Lukis 2016
40
Menghadirkan unsur budaya dalam film, terumata mengenai adat, kepercayaan masyarakat setempat, bahasa daerah, dan tradisi bukanlah hal yang mudah. Diperlukan riset dan literasi yang matang. Dalam proses pemuatan film “Sekala Niskala” Kamila Andini yang sebelumnya tidak begitu menyukai Bali, setelah berbicara dan mengenal orang Bali justru membuatnya ingin selalu kembali ke sana. Bukan hanya dengan pendekatan langsung, Kamila Andini juga meriset lebih dalam tentang Bali melalui buku. Dalam salah satu buku yang dibelinya lah Kamila Andini menemukan kata “Sekala Niskala”. Dini mengakui bahwa pada awal proses kreatifnya memang berasal dari sesuatu yang muncul dari dalam, sesuatu yang personal, sesuatu yang nyaman baginya. Seperti film karya Dini “The Mirror Never Lies”, “Following Diana”, dan “Memoria” mengandung isu perempuan di dalamnya. Dini merasa nyaman karena ia perempuan juga, dan ia mampu membicarakan sesuatu dari perspektif karakter yang ia kenal. Lain halnya dengan filmnya yang berjudul “Sekala Niskala” Jika semula Dini menciptakan sebuah cerita dari sesuatu yang ia relate, dalam proses
penciptaan “Sekala Niskala” terjadi perubahan perspektif dari seorang Dini yang masih single dan seorang Dini yang telah bertransformasi menjadi seorang ibu. Awalnya Dini suka melihat dari perspektif anak kecil dan mengambil keputusan untuk membicarakan hal yang ekstrem, yaitu meletakkan subjek ke sesuatu yang sebenarnya bukan wilayahnya. menyambungkan antara anak-anak dengan kematian, malam, kehidupan holistik dan semesta. Begitu menjadi seorang ibu, perspektifnya berubah, pertanyaan seperti “untuk apa membicarakan kematian dengan anakanak?” pun muncul. Namun kembali
lagi, Dini beranggapan bahwa hidup itu balanced, di antara dua hal yaitu sesuatu yang yang dapat kita lihat dan tidak bisa kita lihat, kita tidak bisa rasional dengan segala sesuatu. Film “Sekala Niskala” memiliki segudang prestasi mulai dari Toronto International Film Festival 2017, Busan International Film Festival 2017, Singapore International Festival 2017, Asia Pacific Screen Award 2017, TOKYO FILMEX 2017, Tempo Film Festival 2017, Dubai International Film Festival 2017, Jogja-NETPAC Asian Film Festivall 2017, dan Berlin International Film Festival 2018. [AE]
41
sibak tradisi
Dari Dodol Hingga Disko Tanah, Makna Thanksgiving Bagi Masyarakat Minahasa Oleh : David Ganap | Tata Kelola Seni 2014
Barisan kendaraan memadati jalanan seperti semut. Masyarakat Minahasa berbondong-bondong meninggalkan rutinitas untuk merayakan Thanksgiving di pedesaan. Apa sebenarnya Thanksgiving itu? Bagaimana perayaannya di Sulawesi Utara?
bungkus, dan beraneka macam daging. Begitulah sepintas suasana Thanksgiving di Minahasa. Istilah Thanksgiving identik dengan tradisi turun-temurun penduduk Amerika. Menurut id.wikipedia.org, Thanksgiving kali pertama dirayakan pada tahun 1619 di Virginia, negara bagian Amerika Serikat. Perayaan ini adalah bentuk ucapan syukur masyarakat tani atas hasil panen selama setahun. Hingga saat ini, Thanksgiving selalu dirayakan pada Kamis keempat di bulan November setiap tahunnya.
Menjelang perayaan Thanksgiving, nuansa penuh ucapan syukur memenuhi tanah Nyiur Melambai. Kegemaran masyarakat Minahasa untuk merayakan hari-hari besar kembali tersalurkan. Desas-desus ajakan dari mulut ke mulut untuk menghadiri pesta panen tersebut Tradisi serupa juga dirayakan terdengar di mana-mana. Sisi kiri-kanan jalanan dipenuhi jajakan penganan oleh penduduk Minahasa, Sulawesi khas Thanksgiving; dodol, nasi jaha, nasi Utara (Sulut). Masyarakat setempat
42
David Ganap | Tata Kelola Seni 2014
Foto
menyebutnya hari Pengucapan Syukur. Pengucapan Syukur versi Minahasa ini dirayakan setiap pertengahan tahun. Lokasi penyelenggaraannya diagendakan oleh pemerintah setempat, bergilir dari setiap kota dan kabupaten yang ada. Momentum ini selalu disambut dan dipersiapkan sedemikian rupa oleh berbagai lapisan elemen masyarakat. Dilansir dari situs inovasiunsrat. id, masyarakat Minahasa merayakan Pengucapan sebagai wujud rasa syukur kepada Empung Wailan Wangko, atas hasil bumi dan laut yang melimpah. Empung Wailan Wangko sejak zaman leluhur dipercaya sebagai Tuhan yang Mahabesar. Ia disembah oleh Karema (salah satu figur
sentral nenek moyang suku Minahasa) dalam cerita rakyat Minahasa.
Ketika pengaruh kekristenan menyebar di tanah Minahasa pada 1563, terjadi proses akulturasi antara tradisi Pengucapan dengan tata cara peribadatan gereja. Kini, selebrasi Pengucapan Syukur berpusat di gerejagereja lokal, tidak lagi dirayakan secara adat. Umumnya, sesudah ibadah formal berlangsung, perayaan Pengucapan Syukur dilanjutkan dengan jamuan makan di rumah-rumah penduduk. Berbicara tentang makanan, perayaan Thanksgiving memang tidak dapat dipisahkan dari jamuannya. Menengok
43
David Ganap | Tata Kelola Seni 2014
Foto
budaya Barat, sumber-sumber populer seperti film, buku, dan ilustrasi seringkali menyoroti hidangan ayam kalkun yang nampak menggiurkan. Kalkun memang menjadi hidangan utama dalam perayaan Thanksgiving. Sementara itu, di Minahasa juga terdapat makanan yang melekat dengan tradisi Pengucapan Syukur. Beberapa di antaranya adalah dodol dan nasi jaha. Dodol dalam Pengucapan Syukur menjadi penganan yang unik karena tekstur, aroma, ukuran dan pengemasannya. Kebanyakan dodol yang ada di pasaran berukuran kecil dengan varian rasa yang bermacam-macam. Dodol Minahasa sendiri terbuat dari gula aren, berukuran seperti jagung, dengan taburan kacang di dalamnya. Teksturnya kenyal berminyak, dikemas dalam daun woka (sejenis janur). Makanan ini akan selalu tersedia sebagai hidangan
44
pelengkap pesta rakyat, sama halnya dengan nasi jaha. Pesta rakyat dimulai ketika syukuran di tempat-tempat ibadah telah usai. Tepat setelah ibadah syukur, orangorang dari seluruh penjuru Minahasa berbondong-bondong mengunjungi rumah warga. Glayn, seorang mahasiswa asal Desa Sea, Kabupaten Minahasa bercerita, kunjungan ke rumah-rumah warga tujuannya untuk silaturahmi, membangun keakraban. Semuanya berlangsung dalam satu hari. “Ketika hari mulai sore, orang-orang mulai berpasangpasangan berdansa meramaikan suasana,� tambahnya. Menjelang malam suasana Pengucapan Syukur semakin meriah. Di tempat-tempat tertentu penduduk lokal menggelar disko tanah (sebutan lokal untuk menari di ruang terbuka). Orang-
orang menari, bersenang-senang di tanah lapang dengan iringan musik disko. Andre dan Mario, warga Minahasa Selatan menjelaskan bahwa di pedesaan tidak ada klub atau ruang khusus untuk menari. Persoalan ini tidak menjadi kendala bagi penduduk lokal. “Pengeras suara ditumpuk di atas tanah, musik dimainkan, orang-orang menari di luar ruangan,” jelas Andre.
Terlepas dari disko dan jamuan makannya, hari Pengucapan Syukur seakan mengalami krisis pemaknaan. Generasi saat ini tidak lagi yakin akan makna sesungguhnya dari pengucapan. Kebanyakan orang mengidentikkan pengucapan dengan pesta besar, acara yang meriah. Orangorang yang merantau kembali ke kampung halaman untuk berpesta, merayakan acara adat yang diatur pihak berkuasa.
Andre, Glayn dan Mario menceritakan kegelisahan mereka sebagai pemuda Minahasa. “Di desa-desa, setelah ibadah selesai kebanyakan orang pergi ke rumahrumah warga untuk mencari minuman keras. Padahal ibadah baru saja selesai,” terang Andre. Idealnya, Pengucapan Syukur tidak harus dirayakan dengan pesta pora. “Makan malam bersama keluarga saja sudah cukup. Suasananya intim, ucapan syukur atas jerih lelah lebih dinikmati,” ujar Glayn. Andre menambahi, Pengucapan Syukur sejatinya bisa dirayakan kapan saja, di mana saja, tanpa harus menunggu arahan pemerintah dan petinggi gereja. Pengucapan Syukur tidak sebatas acara adat yang digelar turun-temurun. “Makanmakan boleh saja, tanpa pesta minuman keras agar tidak sebatas sensasi,” ujarnya. [AE]
45
Potret dua dimensi dalam pegelaran Jaranan Oleh : Nurrul Wulan R. Nelwan | Film dan TV 2015
gelar karya
Dialog Dua Anak Haram: Proyeksi Perupa dan Penulis Dalam Industri Kreatif Indonesia Oleh : David Ganap | Tata Kelola Seni 2014
“ Ketika industri kreatif Indonesia semakin maju, relevankah bila kita menganggap pekerja seni sebagai profesi yang dianak tirikan? “
Foto Arsip panitia pameran “Dialog Dua Anak Haram�
P
ada minggu ke-3 di bulan April 2018, Penerbit Ombak menginisiasi Dialog Dua Anak Haram. Acara ini cukup diseriusi publik, terlihat dari banyaknya pengunjung yang datang pada malam pembukaannya. Dialog Dua Anak Haram adalah pameran seni rupa yang melibatkan 8 orang perupa, antara lain; Ugo Untoro, AC. Andre Tanama, Alfin Rizal, Enka Komariah, Media Legal, Adit Here-here, Susiyo Guntur dan Adi
52
Ardiansyah. Di saat yang sama, dalam satu kemasan acara, Penerbit Ombak juga mengadakan peluncuran buku Semesta Manusia karya Nirwan Ahmad Arsuka. Para perupa yang dilibatkan dalam pameran ini memiliki latar belakang yang bersinggungan dengan dunia kepenulisan. Sebagai contoh, Ugo Untoro, pernah mengorbitkan Cerita Pendek Sekali, antologi karya tulisnya
yang jenaka dengan berbagai persoalan sehari-hari. Ada juga Andre Tanama, dosen dan pegiat seni grafis yang esainya cukup sering menyapa publik sebagai pengantar kuratorial di berbagai pameran seni rupa. Mengenai tema pameran ini, Tomi Firdaus mewakili tim kurator menjelaskan bahwa Dialog Dua Anak Haram terinspirasi dari judul salah satu tulisan dalam Semesta Manusia.
Tajuk tersebut diadaptasi sebagai konsep atas persepsi bahwa seniman dan penulis adalah profesi yang kurang menjanjikan. “Bila dikasarkan, mau jadi apa sih seniman dan penulis tuh?�, terangnya. Memperkuat argumentasi tersebut, pada 2012 lalu thedailybeast. com pernah meluncurkan artikel yang memuat The 13 Most Useless Majors, From Philosophy to Journalism. Di dalamnya, seniman menempati posisi pertama, penulis dan jurnalis berebut kedudukan
53
pada posisi ke-7 dan ke-8. Meski begitu, bila kita melihat ke belakang, ada banyak perubahan yang mematahkan statement bahwa pekerja industri kreatif dipandang sebelah mata, khususnya di Indonesia.
Industri kreatif di Indonesia kian meroket, ditandai dengan meningkatnya kuantitas pergelaran kesenian baik yang berskala nasional maupun internasional. Sebagai contoh, dalam jagad seni rupa Yogyakarta ada dua event seni yang paling ditunggu setiap tahunnya, yaitu Artjog dan Biennale Jogja. Di setiap penyelenggaraannya, tidak hanya seniman yang intens bergulat mencari ide-ide kreatif, tetapi juga para penulis seni. Apalagi, berbarengan dengan penyelenggaraan Artjog, ada begitu banyak event seni lain yang digelar di Yogyakarta hingga memunculkan istilah “lebaran seni�. Bayangkan saja betapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengurus semua event tersebut. Meneropong ke luar Jogja, (pesta seni rupa dua tahunan, biennale)
54
juga semakin viral. Dalam Biennialisasi Indonesia, artikel yang ditulis Wahyudin untuk sarasvati.co.id, kita disodorkan informasi menarik seputar fenomena penyelenggaraannya. Salah satunya adalah Indonesia berpotensi didaulat sebagai negara dengan biennale terbanyak di dunia. Tercatat setidaknya ada 10 biennale yang ada di Indonesia sejak 1974, diantaranya; Bali Biennale, Banten Biennale, Center Point Open Biennale, Jakarta Biennale, Biennale Jawa Tengah, Biennale Jawa Timur, Biennale Jogja, Klaten Biennale, Makassar Biennale, dan Sumatera Biennale. Di balik tren biennale ini, peran pemerintah untuk mendorong pengembangan industri kreatif tidak main-main. Para pekerja seni seakan menjadi anak kesayangan ketika Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf ) dibentuk. Pemerintah optimis bahwa industri kreatif akan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa. Atas keyakinan tersebut, sejak tahun 2015 Bekraf dijadikan wadah bagi pekerja kreatif untuk mengeksplorasi karya seni, arsitektur, buku, pengembangan
teknologi, animasi, dan berbagai karya cipta lainnya. Visi Bekraf sebagai lembaga non-kementerian adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, dari sektor ekonomi kreatif. Adapun sumbangsih Bekraf bagi pelaku industri kreatif terdiri dari beberapa program unggulan, meliputi riset, edukasi dan pengembangan untuk memperkuat fondasi ekonomi kreatif, penyaluran Dana Ekonomi Kreatif (Dekraf ) dalam wujud pinjaman, hibah, investasi, pembangunan infrastruktur, pemasaran, pembimbingan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan membangun kerjasama antar kementerian, lembaga, wilayah, asosiasi, dan komunitas. Semua program ini berada di bawah tanggung jawab 6 deputi. Terlepas dari itu, belum lama ini ada kabar yang cukup membanggakan dari dunia literasi Indonesia. Dilansir dari detikhot.com, kabarnya paviliun Indonesia tengah membanjiri negeri tetangga dengan 1000 buku pada perhelatan Kuala Lumpur International
Book Fair (KLIBF) 27 April – 6 Mei 2018. KLIBF merupakan pesta buku tahunan terbesar di Malaysia. Pada tahun 2018 ini, KLIBF telah berusia 37 tahun. Dalam rangkaian acaranya, diketahui pihak penyelenggara menghadirkan jagoan puisi dari Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Salah satu agendanya adalah temu sapa dan penanda tanganan buku. Selain Sapardi, pengarang Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi juga turut meramaikan KLIBF. Penulis best seller tersebut juga memberi workshop terkait penulisan kreatif dengan tema perjalanan. Sapardi Djoko
Damono dan Ahmad Fuadi hanya contoh kecil yang merefleksikan keberadaan penulis Indonesia yang prestasinya diakui negara lain. Secara menyeluruh, masih banyak insan kreatif negeri ini yang berpotensi tampil di forum internasional, baik melalui karya seni, juga literasinya. Dengan dukungan penuh dari pemerintah terhadap industri kreatif , agaknya kurang tepat bila kita menganggap seniman dan penulis sebagai profesi yang dianak tirikan. [AE]
55
S.Sn.
Football Club
vs
Masa Depan
clara victoria padmasari
fitriana
Siam Candra Arista
susy susanti
“ Selamat menempuh hidup yang bingung setelah lulus cuma di rumah aja dan ga punya duit pengen buru-buru nikah�
tri mukti yuliana
wisudawan
soni harsono
Khoirul Anam dimas parikesit
fahmi pramudyo fitriana lestari
anis hidayah
rupa gaya
e l y t S t e e tr
S a j Jog
Oleh : Gilang Chandra
J
Gilang Chandra dan Tita
Foto
ogja Street Style adalah proyek personal yang merupakan sebuah akun Street Style Photography di Instagram. Di Jogja Street Style, kami memotret gaya berpakaian orang-orang yang kami anggap menarik di kawasan Yogyakarta pada acara-acara tertentu dimana banyak orang berkumpul seperti di gigs, bazaar, pameran, dll.
59
Essy Pramesti, college student
Foto
Ladyja Triana Dewi college student
Foto
Forrest Wong, college student
Foto
Jogja Street Style berawal dari rasa kagum kami terhadap beragamnya gaya berpakaian orang-orang yang kami temui selama ini. Secara personal, kami memang menyukai dunia fesyen terutama street style. Di luar negeri sudah banyak media yang mengangkat Street Style seperti di Kota New York atau Tokyo, dari situ kami ingin membuat juga di versi Kota Jogja, karena menurut kami Jogja juga memiliki banyak individu dengan gaya yang menarik. Kami ingin memperlihatkan diversitas gaya berpakaian yang ada di Kota Jogja sekaligus ingin menginspirasi banyak orang melalui keberagaman individu yang diwakili dari gaya berpakaian. Jogja Street Style juga pernah melakukan pameran dalam bentuk photo essay dengan tajuk “Style, Story, Statement.� Pada pameran itu, kami mendokumentasikan gaya berpakaian beberapa individu di Kota Jogja dengan gaya yang berbeda-beda selama beberapa hari. Tidak hanya menampilkan foto, kami juga menceritakan latar belakang dan inspirasi mereka dalam berpakaian. Dari situ kami ingin menunjukkan juga bahwa gaya berpakaian memiliki banyak cerita yang tidak hanya sebatas di dunia fesyen namun juga banyak hal lain yang bisa digali.
Foto Clara, college student.