K
KONTEMPORER 3 Pasca “Hitam Kampusku” 6 Satu Suara Civitas Akademika ISI Yogyakarta 10 Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat
EDISI #1 OKTOBER 2016
12 Etika Proses Komunikasi Dalam Institusi Seni
R
UDE
LO
LOUDER
K -LOUDER 2
Goresan Pena Bagi organisasi yang berada di bawah naungan sebuah institusi, persoalan ketersediaan dana adalah hal yang klise. Dana yang diberikan oleh institusi sering tidak mencukupi untuk melangsungkan berbagai kegiatan dan agenda yang akan diadakan oleh organisasi tersebut. Sayangnya, kali ini Pressisi terlibat masalah serupa. Kekurangan dana tidak membuat kami berhenti berkarya, mengkritisi kampus dan bersuara—toh ini bukan pengalaman pertama kami. Buletin Kontemporer yang dijadwalkan terbit setiap bulan
PUNGGAWA K -
dengan format yang sudah familiar bagi civitas akademika ISI Yogyakarta kini terpaksa bertransformasi. Kami menamakan karya adaptasi ini dengan Kontemporer LOUDER! Filosofinya, kami berharap bisa bersuara lebih keras lewat media adaptasi ini, meski bentuknya lebih kecil, pun isinya lebih padat dan sedikit. Bersuara lebih lantang dengan segala keterbatasan. Karena bagi kami, bersuara tentang berbagai masalah dan isu-isu kampus adalah tugas utama yang harus dipikul. Redaksi
R
UDE
LO
Pelindung: Drs. Anusapati, MFA
Arami Kasih/ TV 2014 Vinny Alpiani/ TV 2013
Pimpinan Umum: Arami Kasih/ TV 2014
Reporter: Fahmi Pramudyo/ TV 2011 Aifiatu Azaza Rahmah/ TV 2013 Clara Victoria Padmasari/ DKV 2013 Miftachul Arifin/ TV 2015
Bendahara: Anindra Yudha Utami/ Fotografi 2013 Sekretaris: Nurfatimah/ Fotografi 2013 Pimpinan Redaksi: Fitriana/ Fotografi 2014 Redaktur Pelaksana: Miftachul Arifin/ TV 2015 Kepala Divisi Ilustrasi: Bio Andaru/ Patung 2012 Editor: Aifiatu Azaza Rahmah/ TV 2013
Ilustrator: Bio Andaru/ Patung 2012 Cover : Bio Andaru/ Patung 2012 Komik : Ryani P. D. Silaban/ Lukis 2015 Fotografer : Nurfatimah/ Fotografi 2013 Layout: Clara Victoria Padmasari/ DKV 2013 Serena Gabrielle S./DI 2014
Alamat : UKM Pers Mahasiswa Pressisi Gedung Student Center Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jalan Parangtritis Km. 6,5 Sewon, Bantul, Yogyakarta 55188, Indonesia Kontak: Web: Pressisi.isi.ac.id Facebook: LPM Pressisi E-mail: lpmpressisi@isi.ac.id Instagram: @lpmpressisi Line@: @upx2529y HP : +62822 3086 4808
Kirimkan karya kamu, berupa tulisan ataupun ilustrasi ke email kami atau langsung saja ke Student Center. Oh ya, kami masih membuka Open Recruitment lho!
3 K -LOUDER
Pasca “Hitam Kampusku” Teks : Aifiatu Azaza Rahmah/ TV 2013
Tulisan ini sedikit disunting dan dimuat pula di website pressisi.isi.ac.id
Institut Seni Indonesia Yogyakarta sempat dihebohkan dengan adanya aksi demo mahasiswa di depan gedung rektorat-sebelum adanya aksi tolak ormas. Aksi tersebut dapat dikatakan nekat dan tanpa persiapan. Tidak salah memang menyampaikan aspirasi, tapi nalar kritis pun harus tetap digali. Pasca aksi demo tersebut, beberapa mahasiswa pun kerap melakukan diskusi meski tak kunjung terjawab solusi. Pressisi --sebagai satu-satunya lembaga pers mahasiswa tingkat institut— mencoba memberi ruang untuk saling berbagi informasi antar civitas akademika melalui media massa. Tidak mudah memang, sebab media cetak yang disebarluaskan di kampus tercinta ini sedikit dipandang sebelah mata. Pressisi dengan segala pertimbangannya membuka sebuah ruang pamer bertajuk “Hitam Kampusku” dengan mengusung tema “Propaganda”. Pameran yang dilaksanakan 15/06/14 silam memunculkan beragam sudut pandang dari berbagai kalangan. Pameran tersebut adalah upaya untuk membuka ruang temu dan diskusi antar mahasiswa dan dosen—yang disebutsebut oleh banyak mahasiswa—masih sangat kurang. Sebuah tempat yang
sengaja didirikan untuk mengajak mahasiswa menyampaikan kegelisahan melalui karya seni. “Galeri Perlawanan” disebut sebagai ruang pamer yang sengaja di tempatkan di Student Center. Pusat aktivitas mahasiswa yang nyatanya hanya dihidupkan oleh beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mungkin tidak aneh mengingat dari sekian banyak UKM yang ada, yang aktif tinggal beberapa. Hidup UKM mati karena tidak banyak mahasiswa yang mau berorganisasi. Tak ada lagi yang melanjutkan visi dan misi. “Hitam Kampusku” akhirnya membuka ruang diskusi untuk mempertemukan semua sikap serta pandangan kritis antar mahasiswa dan dosen agar saling bertukar pikiran guna mendapat solusi penyelesaian. Diskusi sengaja menghadirkan dosen muda, seperti Andre Tanama dan Arif Sulistiyono. Mereka adalah orang-orang yang dulunya pernah mengenyam pendidikan di kampus yang sama dimana mereka mengajar. Setidaknya ada sedikit tolak ukur mengenai kondisi kampus. Bahasan yang dibicarakan tidak jauhjauh dari kampus yang tidak terbuka dan mahasiswa yang melakukan diskusi tapi
K -LOUDER 4 berakhir hanya dengan banyak wacana. Topik yang diperbincangkan—dan sekarang mungkin sudah terlupa—dapat memicu kembali nalar kritis mahasiswa. Pertanyaannya adalah apakah setelah PERS mahasiswa menyediakan ruang pameran dan diskusi untuk saling bertukar kegelisahan menghasilkan solusi? Jawabannya adalah TIDAK. Pressisi membuat pameran dan diskusi bukan sebagai penyedia solusi, melainkan sebagai penyedia ruang temu. Sebatas itu. Mahasiswa sendiri yang menindaklanjuti. Mengambil sikap untuk mengeksekusi solusi. Mari ditilik satu persatu. Organisasi kampus banyak ditinggalkan oleh mahasiswa yang katanya “sibuk” kuliah dan “sibuk” di luar kampus. Tidak salah. Tapi, kesimpulan diskusi di Hitam Kampusku mengenai kurangnya rasa memiliki dari mahasiswa memang masih dirasa tertanam kuat sehingga masalah kampus tak menjadi soal. Toh dunia luar lebih menjamin realitas. Mahasiswa drop out pun bisa digendong rektor kampus tercinta. Barangkali pepatah “pendidikan nomer satu, tapi organisasi bukan nomer dua” belum bersua di sini. Beberapa organisasi mulai diambang mati suri. Tapi, sejumlah mahasiswa sudah mulai memantik, menjadi penyulut nalar kritis. Beragam komunitas mulai bermunculan sebagai penyedia ruang kritis mahasiswa seperti Zine Garda Belakang, Berkaca Kata, dan lainnya. Mahasiswa sedang berusaha
membangun nalar kritis serta rasa memiliki terhadap kampus yang katanya “tercinta”. “Yang Tercinta” ini pun punya cara tersendiri untuk tetap “dicintai”. Berdasar pada pengalaman, semuamua masalah hampir dibicarakan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Artinya, mahasiswa dianggap “anak” oleh para “orang tua”. Mengingat sebuah peristiwa antara mahasiswa dan dosen yang pernah terjadi saat kegiatan Program Pengenalan Akademik dan Kampus (PPAK) 2015 di Fakultas Seni Rupa. Kejadian tersebut pernah dilarikan ke pihak berwajib meski akhirnya dicabut setelah ada pembicaraan yang menghasilkan kesimpulan bahwa hal tersebut adalah kesalahpahaman semata. Sampai saat ini belum diketahui konsekuensi seperti apa yang diberikan kepada pihak “pendidik” yang bersalah paham. Bukankah kesalahpahaman termasuk kelalaian. Oh, manusia tidak luput dari kesalahan. Sikap kekeluargaan seperti ini pun kerap dialami mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia, meski kerap dianaktirikan karena dianggap hanya “titipan”. Bulan Januari lalu, mahasiswa ISBI Kaltim melakukan pertemuan dengan pihak petinggi kampus didampingi dengan Ombusman dan Lembaga Badan Hukum Yogyakarta, serta dihadiri pula oleh Pressisi. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan yang ketiga—setelah pertemuan yang kedua tidak berhasil
5 K -LOUDER terlaksana. Bahasan dalam pertemuan tersebut masih mengenai keterbukaan mengenai kenaikan biaya kuliah mahasiswa angkatan 2012 yang diberlakukan di pertengahan masa perkuliahan. Mahasiswa ISBI mengandalkan jasa Ombusman dan LBH Yogyakarta karena suara mereka selama ini tidak mendapat tanggapan nyata dari pihak kampus. Dengan bantuan kedua lembaga, pertemuan di awal tahun 2016 tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa pihak kampus akan segera memperbaiki Surat Keputusan— yang masih salah pada saat pertemuan ke-tiga berlangsung—terkait status mahasiswa reguler/non reguler/ UKT yang mempengaruhi tarif perkuliahan, rektor menjanjikan akan mempermudah mahasiswa dalam urusan registrasi demi kelancaran perkuliahan, dan pembayaran terkait uang kuliah akan dibicarakan oleh pihak ISI Yogyakarta dengan pihak Kalimantan Timur. Kesimpulan telah diperoleh, beberapa hari kemudian pihak kampus mengambil sikap. Diadakanlah pertemuan dengan mahasiswa ISBI dengan mengundang pihak Kalimantan Timur. Mahasiswa ISBI dalam pertemuan tersebut tidak didampingi Ombusman ataupun LBH. Dijelaskan rincian pengeluaran dana meski ada sejumlah uang yang dimasukkan pada rekening pihak yang tidak bisa disebutkan. Mahasiswa dalam pertemuan tersebut cukup ditekan dan diposisikan sebagai pihak yang salah.
Pembahasaan pun sering dialihkan pada pertentangan diri agar mahasiswa lebih fokus untuk kuliah saja, ada tanggung jawab kepada orang tua dan Kalimantan Timur yang telah membiayainya. Bahasan tersebut cukup jauh dari kesimpulan pertemuan sebelumnya. Hal ini seolah bahwa masalah yang diangkat adalah masalah sepele. Mahasiswa diminta untuk menerima keputusan kampus tanpa perlu mengikutsertakan Ombusman ataupun LBH. Tuntutan mahasiswa diminta segera dicabut. Apabila hal tersebut dipenuhi maka pihak kampus akan mengeluarkan Surat Keputusan yang diperbaharui terkait status mahasiswa Regular dan Non Reguler serta terkait pula pembiayaan uang kuliah. Tiga bulan akhirnya sudah berlalu, pihak kampus belum memenuhi janji terhadap tuntutan mahasiswa. Ombusman pun mengambil tindakan dengan memberikan surat saran kepada rektor ISI Yogyakarta yang—sampai tulisan ini dibuat—belum mendapat tanggapan. Kampus memang bukan milik mahasiswa, tetapi tidak dapat juga dikuasai oleh para petinggi-petingginya. Kampus adalah ruang akademik. Ruang pendidikan untuk menciptakan dan mengembangkan mahasiswa yang tidak hanya untuk menjadi pintar dalam ilmu pengetahuan tetapi juga untuk membangun manusia yang kritis dalam pikiran.[k]
K -LOUDER 6
Satu Suara Civitas Akademika ISI Yogyakarta Teks : Miftachul Arifin/ TV 2015
Ada pemandangan yang berbeda di wajah Gedung Rektorat Baru Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jumat siang (17/06). Sebuah panggung disiapkan dalam rangka Aksi Damai Alumni, Mahasiswa dan Masyarakat Sewon menolak keberadaan organisasi masyarakat (Ormas) dan organisasi politik (Orpol) di lingkungan kampus ISI Yogyakarta. Aksi yang mengusung tema ‘Bina Insan Seni Pancasila’ ini mengundang orang-orang yang terdiri dari mahasiswa, alumni, dan para dosen untuk datang. Bertepatan dengan bulan puasa, deklarasi diawali dengan pemutaran lagu bernuansa islami. Rombongan Sasenitala, Unit Kegiatan Mahasiswa yang menerima tawaran kerjasama dengan panitia penyelenggara aksi serempak berjalan menuju ke lokasi acara. Meski disebut ‘aksi damai’, yang tampak di lapangan justru sebaliknya. Animo mahasiswa masih dirasa kurang, mengingat jumlah mahasiswanya yang mencapai lebih dari seribu orang. Sekian belas jam sebelum acara, tepatnya semalam sebelum aksi dimulai, propaganda penolakan atas adanya Ormas, Orpol, dan sejenisnya di Kampus
Foto: Nurfatimah/ Foto 2013
ISI disebar oleh para mahasiswa. Namun, faktanya ternyata terjadi perbedaan di lapangan. Isi dari kertas-kertas yang merupakan properti propaganda yang tertempel pada gedung-gedung di dua fakultas, yakni Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan di kampus ISI Yogyakarta berbeda dari yang disebar pada saat acara. Kertaskertas itu berisi bentuk suara dari mahasiswa yang menginginkan kampus mereka terbebas dari kekangan atas pembuatan sebuah karya seni, pun ada yang berisi penekanan terhadap jiwa Pancasila dalam diri seniman bahkan berisi kekerasan verbal seperti “Dosen berpaham radikal tenggelamkan, ISI bersih dari sampah”. Para mahasiswa membuat kertas-kertas propaganda itu dengan cara mereka sendiri pada malam harinya. Sementara, ketika akan memasuki menit ketigapuluh setelah acara dimulai, dari depan panggung muncul dan bertebaran tulisan-tulisan yang justru mengarah pada pihak tertentu. Tercetak dalam sekitar lima puluh lembar kertas, tulisan di dalamnya berbunyi ‘ISI Tolak HTI’. Tulisan-tulisan itu sesegera mungkin disebar, beberapa di antaranya dibawa ke atas panggung. Bahkan kemudian ada sejumlah pejabat rektorat
7 K -LOUDER
Foto bersama dengan membawa poster bertuliskan “ISI Tolak HTI” di panggung depan Rektorat kampus ISI Yogyakarta. Massa, sebagian besar mahasiswa ISI Yogyakarta serta alumni turut terjun langsung dalam aksi tolak ormas (17/06/2016)
yang memegang tulisan itu masingmasing. Terdapat semacam perbedaan pandangan beberapa menit ketika aksi akan dibuka, antara orang-orang yang telah hadir di lokasi dengan tujuan awal penyelenggaraan. Lambat laun, jalannya aksi menjadi jauh berbeda dari rencana awal. Satu demi satu, setelah penutupan acara dilakukan, alumni mulai menaiki panggung dan mulai mengubah jalannya pemikiran orang-orang yang masih berada di acara tersebut. Terkait dengan pemberitaan mengenai adanya organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Caki Arok Subagyo, selaku perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa ISI (BEMI) berpendapat bahwa ada kesepakatan dari pihak institusi untuk peneguran, sama dengan dosen. “Mereka dikasih dua pilihan, antara tetep mempertahankan
ajaran atau paham HTI, atau mereka berpaham mahasiswa atau dosen yang selayaknya mengajar atau belajar di kampus ISI Yogyakarta. Tetep ada ruang bagi mereka untuk kembali ke kampus ISI Yogyakarta, yaitu mahasiswa dan dosen. Tapi harus bersih dari ormas yang tidak berdasarkan pancasila,” ujarnya. “Semua ormas ataupun orpol memang tidak boleh keberadaannya di kampus, apalagi melakukan kegiatan dan penyebaran ideologi. Jadi, tidak hanya HTI saja, semua ormas ataupun orpol,” kata Agus Burhan, selaku Rektor ISI Yogyakarta. Beliau pun turut membacakan ‘Deklarasi’ yang berbunyi: 1. Melarang keberadaan organisasi massa dan partai politik apapun di kampus Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2. Melarang adanya kegiatan
K -LOUDER
8
organisasi massa dan partai politik, maupun penyebaran ideologinya yang bertentangan dengan visi dan misi Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 3. Institut Seni Indonesia Yogyakarta menjadi pelopor perguruan tinggi seni nasional yang unggul, kreatif dan inovatif berdasarkan Pancasila. Isi dari deklarasi tersebut kemudian tertuang dalam Surat Keputusan Rektor ISI Yogyakarta, bernomor 215/ KEP/2016, yang memutuskan Pelarangan Organisasi Massa dan Partai Politik dalam Kehidupan Kampus Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tertanggal 16 Juni 2016.
Selain itu, ada pula hal ganjil yang cukup membuat terperangah. ‘Pernyataan Sikap Bersama, Aksi Damai Alumni, Mahasiswa dan Masyarakat Sewon Menolak Keberadaan HTI Di Lingkungan Kampus ISI Yogyakarta’ yang telah dibacakan oleh Arok pada saat acara berlangsung, yang ternyata berbeda sekali dengan isi dari spanduk acara yang bertuliskan, ‘Mahasiswa Butuh Ruang Apresiasi dan Kreasi, Ormas, Orpol, dan Sejenisnya Di Haramkan Masuki Kawasan ISI’. Pernyataan Sikap Bersama yang dimaksudkan tersebut berisi,
PERNYATAAN SIKAP BERSAMA AKSI DAMAI ALUMNI, MAHASISWA DAN MASYARAKAT SEWON MENOLAK KEBERADAAN HTI DI LINGKUNGAN KAMPUS ISI YOGYAKARTA Visi Institut Seni Indonesia Yogyakarta adalah menjadi pelopor perguruan tinggi seni nasional yang unggul, kreatif, dan inovatif berazaskan Pancasila. Rumusan visi ini tidak abai pada sejarah, di mana ISI Yogyakarta merupakan kawah candradimuka bagi pembinaan insan seni Pancasila, yang menjunjung tinggi tradisi akademik yang baik, kebebasan ekspresi, serta menghargai tradisi dan budaya Nusantara. Hal ini tidak lepas dari peran negara, yang sejak awal mendirikan ISI Yogyakarta sebagai ikon dan tempat mendidik calon seniman merdeka dan memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Perkembangan ISI Yogyakarta membanggakan seluruh pemangku kepentingan atasnya. Akan tetapi, keadaan ini kemudian diganggu oleh sekelompok orang yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yaitu organisasi yang merupakan sebuah gerakan transnasional yang mengusung Khilafah dan anti-Pancasila. Keberadaan gerakan ini
9 K -LOUDER
menciptakan suasana yang tidak kondusif karena tidak menghargai tradisi, atmosfer, karakter dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini tumbuh subur di lingkungan ISI Yogyakarta. Gerakan sekelompok orang eksklusif ini, dalam waktu yang panjang juga mengancam eksistensi negara. Setelah melalui pengkajian yang matang, serta berkoordinasi dengan segenap pemangku kepentingan di lingkungan kampus ISI Yogyakarta, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut: 1.
Mendorong pimpinan ISI Yogyakarta segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang MELARANG segala aktivitas HTI di lingkungan kampus.
2.
Mengajak seluruh pemangku kepentingan di lingkungan ISI Yogyakarta untuk MELAWAN segala bentuk gerakan (individu maupun kelompok) yang antiPancasila di lingkungannya masing-masing.
3.
Mendorong aparat penegak hukum untuk MENGUSUT lebih lanjut segala aktivitas HTI yang menentang Pancasila.
Pernyataan sikap ini dibuat dengan penuh kesadaran dan merupakan bentuk rasa memiliki kami terhadap ISI Yogyakarta dan tanah air tercinta, Indonesia. Kami siap untuk mengawal pernyataan sikap ini demi masa depan ISI Yogyakarta dan keutuhan NKRI. Salam budaya!
ISI BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN! ISI BERSATU TOLAK HTI! Sewon, 17 Juni 2016 Hal ganjil tersebut dapat ditemukan pada perbedaan spanduk dan isi deklarasi, yang pada spanduk nama organisasi massa maupun organisasi politik tidak disebut secara langsung, seperti dalam isi deklarasi di atas. Menurut Ketua Keluarga Mahasiswa Islam (KMI) saat ini, Fachruddin, Kriya 2014, “Intinya, KMI nggak pernah memihak sama satu golongan pun. KMI itu terbuka. Kalau masalah urusan dengan masjid, silahkan konfirmasi
dengan takmir masjid. Kalau urusan dengan KMI, KMI punya Proker (program kerja-red) sendiri yang udah tersusun dan itu nggak ada hubungannya dengan golongan sama sekali. Kalau pun ada kajian, kajiannya pun ustadz-ustadznya Insyaalloh rata semua. KMI nggak ada hubungannya dengan yang terjadi saat ini. Kalau saat ini yang saya lihat itu hubungannya dengan masjid, bukan KMI,� katanya mengonfirmasi.[k]
K -LOUDER 10
Mendekatkan yang J a u h , Teks : Clara Victoria Padmasari/ DKV 2013
“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”, kalimat ini sering kali kita dengar ketika membicarakan sosial media. Dengan membuat identitas pada dunia maya, kita hidup di dalamnya, bahkan berkesinambungan dengan kehidupan nyata. Tak lain tak bukan, kita membutuhkannya untuk kepentingan bersosialisasi, apalagi dalam era kemajuan teknologi seperti ini. Perbedaan beberapa menit bahkan detik menjadi terasa, informasi bisa berbeda atau bahkan diperbaharui dalam hitungan tersebut. Tak jarang, kita sering kali mendapati orang-orang yang mengamuk, mencaci-maki, bila balasan pesan dalam dunia maya tidak dibalas dalam hitungan menit.
Hal berbeda lainnya adalah mahasiswa diwajibkan menyanyikan Hymne ISI dan mengunggah video bersama kelompok mengenai berbuat kebaikan yang disebutkan dalam buku panduan PPAK. Aturan tersebut membuat para mahasiswa lama melayangkan protes. Salah satu bentuk protes tersebut dengan mengganti kata dalam tema besar PPAK Institut 2016, yakni “Seni sebagai Gerakan Sosial Budaya” menjadi “Seni sebagai Gerakan Sosial Media”. Tindakan tersebut dilanjutkan dengan mengunggah berbagai foto protes di akun-akun Instagram, bahkan hingga melakukan aksi vandal pada banner PPAK Institut yang terletak di Boulevard Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Tahun ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta— yang biasa disebut BEMI— melakukan terobosan baru dalam sistem penugasan Program Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (PPAK) 2016. BEMI memilih menggunakan sosial media sebagai wadah para mahasiswa baru untuk mengunggah tugas yang diberikan. Sosial media yang digunakan adalah Youtube dan Instagram dengan akun @ppakisiyk2016 yang berisi tentang informasi penugasan serta dokumentasi acara PPAK.
Bermain di sosial media tak menjamin bahwa semua akan aman-aman saja. Dikhawatirkan dengan sosial media akan memicu munculnya halhal seperti cyberbullying dan apatis. Kita tak perlu jauh dalam membaca cyberbullying karena beberapa orang telah mengalaminya oleh siapapun, termasuk orang yang tidak dikenal. Dalam bersosial media, semua orang bisa memanipulasi identitasnya baik umur, gender, dan lain-lain. Kita bisa mengatasnamakan diri kita sebagai apapun, siapapun. Intinya, siapapun bisa
11 K -LOUDER
Menj a u h kan yang Dekat menjadi seorang cyberbully, tanpa peduli apapun latar belakang sosial, jabatan, prestasi ... apapun. Sosial media menjadi dunia yang rawan karena begitu bebas. Tak heran bila kita sering kali melihat para selebriti bahkan content creator di sosial media begitu kencang melawan para cyberbully. Berbagai sosial media pun seperti Instagram dan Youtube membuat regulasi dan kewenangan pemilik akun untuk mengontrol komentar yang masuk ke dalam sebuah kiriman untuk melindungi keamanan dan kenyamanan pengguna.
kita hanya dapat mengenali gedunggedung yang dijelaskan melalui slideshow , tanpa pernah menginjakkan kaki di gedung tersebut, bahkan mungkin di pelatarannya. Apa jangan-jangan kita memang sudah dikonstruksikan untuk menjadi seorang apatis, tidak mengenal dunia dekatnya? Lalu, bagaimana kita bisa tahu, sebutlah ruangan BEM Fakultas Seni Rupa di pojok utara Gedung Ajiyasa, koperasi di utara parkiran Desain Komunikasi Visual, ataupun Student Center di timur masjid kampus tanpa dijelaskan sebelumnya?
Lalu, apakah dunia nyata justru lebih aman karena kita bisa mengenali siapapun yang melontarkan pernyataan tidak enak atau bahkan intimidatif? Jelas tidak. Tapi juga tidak menutup kemungkinan hal ini dilakukan oleh siapapun yang seharusnya tidak boleh melakukannya. Bisa jadi pelakunya yang memiliki kuasa. Pejabat kampus, pejabat mahasiswa, atau bahkan akademisi.
Masih bersyukur bila sikap apatis cukup dengan obyek-obyek tersebut, lalu bagaimana bila kita memang harus menjadi apatis sosial? Tidak saling mengenal antar sesama mahasiswa lintas angkatan maupun jurusan, serta tidak mengenal satpam kampus? Pun suatu saat ketika harus meminta bantuan untuk mengadakan ataupun dukungan acara kolektif yang diadakan di kampus, misalnya. Mulai dari saran, mengisi acara, bahkan perijinan.
Poin kedua adalah apatis, suatu hal yang ditakuti. Pelaksanaan PPAK baik Institut, Fakultas, atau Program Studi dilaksanakan di dalam ruangan. Walaupun berpindah tempat, namun
Jangan-jangan kita sudah menjauhkan diri dari yang dekat, baik di lingkungan masyarakat, kampus bahkan keluarga, sehingga yang dekat tak lagi diacuhkan. Menebar kebaikan bisa kepada siapa saja,
K -LOUDER 12
di mana saja, apapun latar belakangnya, entah itu bisa dengan ibu-ibu di kantin, atau kepada sesama mahasiswa, pula kepada masyarakat sekitar kampus yang kadang terlupakan.
smartphone kita bukanlah apa yang kita cari sesungguhnya. Jangan sampai, slogan “ISI bersatu, tak bisa dikalahkan� yang dikumandangkan berkali-kali berhenti karena kita semakin jauh.[k]
Toh akhirnya kita harus kembali pada yang dekat, apa yang ada di depan mata kita. Kadang yang ada di layar
Etika Proses Komunikasi Dalam Institusi Seni Teks : Fahmi Pramudyo/ TV 2011
Ilustrasi : Bio Andaru/ Patung 2012
Interaksi sosial adalah kemampuan untuk membujuk dan dibujuk. Hal itu menjadi penting jika kita letakkan pada upaya untuk menumbuhkan kehidupan sosial yang demokratis, dimana etika menjadi landasan yang harus dijunjung tinggi. Franklin Haiman memberi catatan menarik mengenai prinsip etika dalam relasinya dengan demokratisasi. Menurutnya, nilai demokratis mendasar yang menjadi landasan pendekatan adalah peningkatan kapasitas manusia untuk bernalar logis.
penyampai pesan harus mampu meneliti pesan dengan padanan bahwa komunikator mampu menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya secara menyeluruh tentang pesan atau subjek disertai kepekaan pada isu yang relevan dan implikasinya. Guna menimbang biasbias prasangka dan berbagai motivasi, suatu pernyataan harus berakar dari informasi yang memadai. Hal tersebut agar keberagaman sudut pandang dan pengetahuan akan kekuatan yang potensial bisa muncul ke permukaan.
Proses komunikasi membutuhkan beberapa syarat yang dapat dilihat seperti adanya komunikator, pesan, dan komunikan. Hal-hal tersebut dapat kita tilik secara perlahan. Pertama,
Proses membujuk dan dibujuk dalam perjalanannya dapat mengisyaratkan bahwa etika sangat diperlukan dalam komunikasi di perguruan tinggi. Adanya etika dapat menghindari ambisi yang
13 K -LOUDER
dipengaruhi oleh kemampuan, pengetahuan, dan peluang yang disebabkan oleh besarnya kekuasaan yang ada. Nilai etika tersebut merupakan nilai yang diinternalisasikan oleh masyarakat, dipertahankan serta dikembangkan secara dialogis dengan bersandar pada nalar kritis sehingga dapat menjauhkan dari nilai yang stastis. S. Jack Odell menegaskan bahwa prinsipprinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberhasilan keberadaan suatu komunitas sosial. Tanpa prinsip etika, mustahil manusia bisa hidup harmonis. Tumbuh dan berkembang serta terpelihara perilaku sebatas hanya merasa khawatir sering dianggap maklum. Hal ini berkaca dari kehidupan mahasiswa yang memang disesakkan dengan masa studi yang terbilang singkat, namun tidak begitu singkat jika kita mau melihat banyak mahasiswa yang mau menyempatkan diri terlibat dalam mengarungi proses demokratisiasi. Proses yang dialami oleh banyak mahasiswa yang mau menyempatkan diri menggeluti proses demokrasi juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk memahami pesan berseliweran dan saling potong-memotong. Mahasiswa dalam kesehariannya menjalani dan mengalami proses penyampaian pesan yang beragam jenis. Namun, kesadaran untuk menjunjung etika sering buram karena harus berhadapan dengan kompleksitas isu publik dalam jaringan nilai yang
saling memotong dan mempengaruhi demi sesuatu yang dianggap baik maupun buruk. Berdasarkan pada tolak ukur yang sudah terlanjur menjadi kesepakatan umum tersebut maka ada baiknya kita menengok beberapa hal yang sekiranya dapat dijadikan pertimbangan. Pengalaman mahasiswa dalam menyusuri proses interaksi dan berkomunikasi bisa hadir dalam berbagai bentuk. Dapat kita ambil contoh pada kemauan mahasiswa untuk terjun dan menggeluti sebuah organisasi ataupun komunitas. Kehadiran mahasiswa dalam sebuah organisasi tak jarang dalam aktivitasnya bersentuhan langsung dengan sesuatu yang menyiratkan tentang rayu-merayu dalam berbagai bentuk dengan landasan merefleksikan nilai-nilai demokratis. Berpameran, diskusi publik, demonstrasi adalah sesuatu yang akrab dengan mahasiswa. Akhir-akhir ini mahasiswa banyak mengeksplorasi berbagai medium terutama media sosial untuk turut menyemarakkan geliat demokrasi. Bersamaan dengan itu, senantiasa diiringi pertumbuhan etika yang dapat kita lihat dalam bentuk kode etik pada masing-masing organisasi, perundang-undangan, dan turunannya pada tatanan negara. Sebuah organisasi dalam mempertahankan kelangsungannya, melakuan regenerasi dibarengi dengan
K -LOUDER 14
pembahasan hal yang menjadi dasar dan landasan organisasi. Pengenalan dan pembahasan kode etik senantiasa diutarakan. Di luar organisasi sebagai individu, kita dapat merasakan secara langsung apa yang mengiringi kemajuan zaman seperti pada berbagai media sosial yang senantiasa memberikan pembaharuan privasi dan kebijakan. Semua yang berjalan itu adalah gejala mengenai perkembangan etika dan juga berlangsungnya proses komunikasi. Mahasiswa dalam menempuh masa studi tentu pernah mengalami atau melihat sesuatu yang terkadang menggelitik pikiran terkait dengan lingkungan studinya. Contohnya adalah proses pengurusan kelanjutan studi yang meliputi pengisian Kartu Rencana Studi hingga pembayaran. Tak banyak yang muncul ke permukaan tentang permasalahan dari hal yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas tersebut. Hanya beberapa dari kita baru menyadari bahwa, ketika telah memasuki masa aktif belajar ada beberapa teman yang seharusnya dapat menempuh studi namun terhalang oleh permasalahan yang ditimbulkan oleh rutinitas tersebut. Suatu proses yang didesain untuk dijalankan secara berulangulang tersebut dapat mengindikasikan sebagai suatu upaya yang dapat mengesampingkan nalar logis dan perilaku kritis. Guna menghindarkan hal negatif mendominasi proses komunikasi,
komunikator juga tidak diperkenankan untuk menggunakan teknik yang memengaruhi penerima, seperti menghilangkan proses pikiran sadarnya dalam berbagai cara dengan kemampuan ataupun kekuasaan yang dimiliki. Hal tersebut untuk menghindarkan perilaku yang tidak reflektif dari kenyataan, yang dapat berupa penekanan atau peminggiran kesadaran. Sebab hal tersebut dapat menghasilkan perilaku yang melegitimasi sesuatu yang bersandar pada penerimaan yang tidak kritis. Komunikator harus memiliki kesadaran kritis agar tidak menyampaikan pernyataan yang mendorong resiko kekerasan lebih besar dibandingkan dengan tujuan. Hal ini dapat diwujudkan dengan menahan diri agar tidak menyampaikan pesan dalam bentuk sugesti yang bermain pada kehendak tersembunyi, frustasi, maupun rasa bermusuhan. Misalnya, munculnya pernyataan dari pihak yang berwenang dalam menangani permasalahan namun tidak menggali lebih dalam sehingga memicu konflik lebih banyak. Beberapa konflik yang sempat terjadi di institusi ini yakni dapat dilihat pada berdirinya tembok yang bertempat di jalan untuk menuju jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam. Konflik tersebut berlatar dari tidak tercapainya kesepakatan antara pemilik tanah (masyarakat) dengan pihak kampus namun solusi yang
15 K -LOUDER
diwujudkan dengan mendirikan tembok yang dapat dikatakan sebagai usaha melokalisir/menutup ruang interaksi dan menunjukan ekslusivitas pihak kampus sebagai orang yang memiliki kekuasaan. Pada pusat kegiatan mahasiswa pun terjadi hal serupa. Berawal dari kesalahpahaman tentang bagaimana menyikapi waktu antara dua organisasi mahasiswa sehingga memunculkan wacana untuk membangun tembok pemisah antara dua bangunan yang berdekatan. Akibat wacana tersebut memunculkan potensi konflik tidak hanya dari kedua organisasi, melainkan semua organisasi kampus yang berpusat di student center. Memeriksa lembar perjalanan waktu, dapat dilihat bahwa proses demokratisasi mencatat bahwa rayu-merayu menyebabkan begitu banyak manipulasi yang menyebabkan kekerasan. Terlihat jelas pada pemerintahan Orde Baru yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang rentan dan mudah dipengaruhi oleh situasi. Sementara pemerintah dengan kelihaiannya lewat kekerasaan dan berbagai bentuk penekanan menumbuhsuburkan dan menjadikan bujuk-membujuk sebagai komoditas pengaktualisasian kekuasaan. Komunitas masyarakat dapat dengan jeli memahami perilaku pemerintahan
dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat mengalami penderitaan. Adanya penderitaan dikarenakan terbiasa dengan bujukan untuk menerima alasan atau kekeliruan fakta lewat penekanan kekerasaan serta manipulasi. Sebab pada waktu yang sama etika sering kali ditiadakan. Komunikasi di ruang pendidikan apabila mengingkari atau mengesampingkan etika tidak lebih dari melakukan pengulangan kesalahan yang dilakukan, contohnya pada pemerintahan masa Orde Baru. Sebagai orang yang dengan kerelaan bersinggungan dengan kekuasaan, ada konsekuensi yang senantiasa harus dilakukan melalui kesadaran kritis terhadap suatu peristiwa. Tidak saja terhadap isi, bentuk serta konteks, bahkan juga pada hal atau unsur terkecil. Misalnya dalam percakapan kita dituntut mampu untuk mencerna “sebuah kata� yang diucapkan, ditulis, ataupun divisualisasikan sebagai pesan. Sebab menurut Dag Hammarskjod, menyalahgunakan kata berarti memperlihatkan pengkhianatan terhadap manusia yang menyebabkan manusia terjerembab jatuh dari evolusinya.[k]
K -LOUDER 16