K
BULETIN
KONTEMPORER EDISI #10 | MEI 2016
“DIES NATALIS� tampak mata Tiga Puluh Dua Tahun ISI Yogyakarta 3 | inter upsi Kemeriahan dan Kesunyian, dalam Botol Kaca Dies Natalis 5 | pent ing Kurangnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Dies Natalis ke-32 8 | sikat Apa Kabar BEMI? 10 | jujur Kurang Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan maupun Acara Kampus 12 | kirimanmu Distorsi Mental 13 | ironi 14; 16 | gerombolan seni Seni dan Kritik Si Garda Blakang 15 | tokoh Lebih Dekat dengan Didi Nini Thowok 17 | komik 20
K
2
KON T E M P OR E R
GORESAN PENA Salam Persma! Bulan ini merupakan bulan yang membahagiakan
merupakan cara kita memunculkan rasa memiliki
bagi civitas akademika ISI Yogyakarta. Ya, kita semua
kampus yang menginjak usia 32 tahun. Sebagai pers
merayakan Dies Natalis XXXII yang mengambil tema
kampus, kami merayakannya dengan menerbitkan
“Seni sebagai Gerakan Sosial Budaya”. Pada edisi
Kontemporer edisi ke-10, edisi spesial Dies Natalis atas
kesepuluh ini, Buletin Kontemporer mengulas seluk
inisiatif kami. Lalu, bagaimana caramu?
beluk mengenai Dies Natalis yang akan dirayakan
Redaksi
tahun ini, mulai dari tema, perbandingan Dies Natalis tahun ini dan yang lalu, serta keterlibatan setiap elemen civitas akademika. Pada edisi ini,
Ralat Caption Foto Kontemporer #9
kami juga akan membahas mengenai keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa Institut atau BEMI saat ini. Di rubrik lain, ada juga Garda Blakang, sebuah perkumpulan seni yang bergerak di bidang zine dan perform, serta tokoh Didik Nini Thowok, alumnus ISI Yogyakarta yang terkenal dengan tariannya. Dies Natalis, atau dalam bahasa Indonesia berarti hari ulang tahun sepatutnya merupakan momen yang dirayakan oleh setiap orang, apalagi dalam lingkup kampus. Setiap orang pasti memiliki cara sendiri dalam merayakannya. Ada yang memilih berintrospeksi, ada
Bersama ini kami sampaikan bahwa telah terjadi kesalahan penulisan caption foto pada Buletin Kontemporer edisi 9, halaman 17, Tahun 2016, pada rubrik Event Kampus berjudul “Memperingati Kartini dalam Balutan Tari” yang berbunyi “KEBEBASAN - Gerak tari yang dipertunjukkan oleh Wisnu Dermawan Mahasiswa Jurusan Tari angkatan 2013 dalam Sepatu Menari di Plaza Fakultas Seni Pertunjukkan. Jumat, 15/4/2016. Tari merupakan salah satu media dalam mencari kebebasan ilahiah yang dinilai sebagai peningkatan atas fokus, disiplin dan kerjasama tim.” Kalimat tersebut seharusnya berbunyi “MAHASISWA LAIN - Bukan hanya mahasiswa dari Jurusan Tari yang mengisi acara rutin Sepatu Menari di Plaza Fakultas Seni Pertunjukkan. Jumat, 15/4/2016. Tetapi mahasiswa Etnomusikologi yang selama ini hanya membantu dari balik layar pementasan tari. Menampilkan pertunjukkan yang mengundang tawa penonton di akhir acara Sepatu Menari ini.”
yang memilih dengan hingar-bingar, ada yang memilih dengan syukuran, dan sebagainya. Tidak ada yang salah, toh, akhirnya partisipasi kita, apapun bentuknya
Redaksi memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan penulisan caption tersebut. Dengan dimuatnya ralat ini, maka kesalahan tersebut telah diperbaiki. Terima kasih.
PUNGGAWA KONTEMPORER P e lindung : D rs A n usapat i MFA
A r ami K asih / TV 2014 F it riana / F oto grafi 2014
B io A n daru/ Pat u ng 2012 R yan i P. D. S ilaban / L u kis 2015
Vin n y A lpian i / TV 2013 P impinan U mum : A r ami K asih / TV 2014
L ayout : R e porte r : E ka A rief S et yawan / TV 2015
B e ndahara : A n in dr a Yu dha U tami / F oto grafi 2013
F it riana / F oto grafi 2014
N u rfat imah / F oto grafi 2013
Wi w it N u r Faizin / TV 2015
C lar a Vic toria Padmasari / DKV 2013
A din da L isa I rman t i / DI 2014 C lar a Vic toria Padmasari / DKV 2013 R yan i P.D. S ilaban / L u kis 2015
R e daktur P e laksana : F it riana / F oto grafi 2014
M if tach u l A rifin / TV 2015 N u rfat imah / F oto grafi 2013
K epala D i v isi F oto grafi : D imas Parike sit/ F oto grafi 2012 K epala D i v isi I lust r asi : B io A n daru/ Pat u ng 2012
K ontributor : M u hammad A lw i A s sagaf/ S en i R u pa M u rn i 2013
A lamat : UKM P ers M ahasiswa P re s sisi G edu ng S t u den t C en t er I nst it u t S en i I n d on e sia Yo gyakarta Jalan Par angt rit is
km
6,5 S ewon , B an t u l ,
Yo gyakarta 55188, I n d on e sia K on tak :
Foto g rafe r : S ef t hian Fahis S atay/ F oto grafi 2013 S an dra Wah y u n ingt yas / F oto grafi 2014 D imas Parike sit/ F oto grafi 2012
E ditor : A ifiat u A zaza R ahmah / TV 2013
C lar a Vic toria Padmasari / DKV 2013
A n in dr a Yu dha U tami / F oto grafi 2013 M u hammad H adi / DI 2014
P impinan R e daksi :
S erena G abrielle / DI 2014
A r ami K asih / TV 2014 S erena G abrielle / DI 2014
S e kretari s :
I wang Yu dita Fa jar / DI 2014
087792067127 Web :
pre s sisi . isi . ac . id
Faceb o ok : E- mail :
lpm pre s sisi
isipre s sisi @ gmail . com
I nstagram : @ lpmpre s sisi I lustrator : M o chammad A dam H usein / TV 2015
3
B U L E T I N KON T E M P OR E R
TAMPAK MATA
Tiga Puluh Dua Tahun ISI Yogyakarta Teks : Clara Victoria Padmasari/ DKV 2013 dan Ryani Silaban/ Lukis 2015 Ilustrasi : Ryani P.D. Silaban/ Lukis 2015
Sudah 32 tahun lamanya, Institut Seni Indonesia Yogyakarta menjadi perguruan tinggi negeri yang terdiri dari beberapa fakultas, antara lain Fakultas Seni Rupa, Seni Pertunjukan dan Seni Media Rekam. Setiap tanggal 30 Mei atau sekitar tanggal tersebut, ISI Yogyakarta mengadakan berbagai rangkaian acara untuk memeriahkan hari ulang tahunnya, yang biasa dikenal sebagai “Dies Natalis”. Tahun ini, dies natalis akan dirayakan dengan tema “Seni sebagai Gerakan Sosial Budaya”. Suwarno Wisetrotomo, salah satu dosen Seni
dapat mengkritisi berbagai persoalan yang terjadi di
Grafis di ISI Yogyakarta, mengatakan bahwa ia
dalam masyarakat. Ia pun mengibaratkan kehidupan
ditunjuk oleh Forum Pimpinan, yang terdiri dari rektor,
seperti berada di sirkuit. “Cara kita mengemudikan
pembantu rektor, dekan serta pembantu dekan melalui
kendaraan, tujuannya untuk terampil di podium.
telepon untuk menjadi Ketua Panitia Dies Natalis
Podium bukanlah eksibisi, tapi pencapaian.” Suwarno
XXXII ISI Yogyakarta. Tugas Forum Pimpinan, selain
berpendapat bahwa acara dies tahun ini merupakan
menunjuk salah satu dosen menjadi ketua panitia, juga
momentum bagi civitas akademik ISI Yogyakarta untuk
menjadi penentu tema yang nantinya dikembangkan
sanggup melangkah dan memikirkan lebih serius
oleh ketua dies natalis. “Begitu mengetahui tema dies
mengenai seni dalam fungsi serta peranannya sebagai
natalis tahun ini, saya senang sekali,” kata Suwarno,
penggerak sosial budaya di masyarakat. Dari tema ini,
begitu menjelaskan mengenai tema.
dies natalis menjadi sederhana, namun tetap menjadi
Mengenai tema kegiatan tersebut, beliau menjelaskan bahwa seni memiliki peranan penting untuk menggerakkan sosial budaya, bukan hanya sekedar
nadi kehidupan bagi civitas akademik, serta menjadi momentum kesadaran bagi ISI Yogyakarta sendiri. Kata sosial budaya, menurut beliau, merupakan suatu
dalam hal untuk memenuhi kepentingan pribadi para
keadaan untuk melihat apa yang terjadi di lingkungan
pelaku seni saja, seperti menjual karya seni maupun
bahkan dunia. Pada dasarnya, sosial budaya sendiri
mencari identitas diri. Namun, peran seni yang
merupakan kata kerja. Budaya memiliki pengertian
sebenarnya lebih besar dari hal tersebut. Dengan kata
tindakan mempermudah kita untuk memaknai
lain, seni memiliki potensi menjadi media perantara
kehidupan. Sehingga, seni dapat dimanfaatkan sebagai
untuk memediasi pikiran, membangun kesadaran,
salah satu medium untuk mengolah kepekaan demi
melihat, menguji, serta membantu masyarakat untuk
mendapatkan sebuah kepemahaman dalam suatu
4
B U L E T I N KON T E M P OR E R
masyarakat. Beliau memberi beberapa contoh, seperti
Pameran, I Gede Arya Sucitra, koordinator Seremonial,
kegiatan ArtJog maupun penayangan Ada Apa dengan
Dra. Kusminiastuti, dan terakhir koordinator Desain
Cinta 2 (AADC2). ArtJog, sebagai salah satu perhelatan
dan Publikasi, M. Faizal Rochman, juga merangkai
seni di masyarakat yang memberi sumbangsih untuk
acara dies natalis tahun ini dengan mengadakan
menghidupi perekonomin beberapa warga yang
beberapa acara tradisi Jawa, yaitu kenduri,
menganggur. Begitu juga dengan ditayangkannya AADC2 di layar tanah air, yang mampu menggaet para wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut. Sehingga, mampu menaikkan pendapatan daerah. Dari beberapa contoh tersebut, dapat kita pahami juga bahwa seni juga mampu menjadi media penggerak sosial budaya di Indonesia. Namun, dari tema ini, beliau memilih untuk tidak mengadakan acara yang meriah, karena lebih bersifat reflektif. “Jadi, acara tidak ada yang di luar ruangan. Semuanya di dalam.” Ia menilai bahwa untuk mengalami refleksi terhadap diri, diperlukan suasana penuh dengan kesunyian dan ketenangan, yang artinya acara-acara yang diadakan tidak perlu terlalu menonjolkan kemeriahan, namun lebih mengarah pada usaha introspeksi diri. Dari sinilah acara di dies natalis tahun ini yang bersifat paling menonjol adalah seminar. Seminar yang bertemakan sama dengan tema besar dies natalis ini turut mengundang beberapa pembicara, yaitu Hilmar Farid, Ph.D, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof. Heru Nugroho sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, dan Garin Nugroho, sineas muda, dan satu lagi pembicara yang masih dirahasiakan identitasnya. “Alasan memilih tiga tokoh tersebut adalah karena mereka adalah orang yang hebat dalam bidangnya, yang mampu memberi perspektif kritis untuk tema besar dies natalis tahun ini,” ucap beliau mengenai ketiga pembicara tersebut. Seminar akademik yang dilaksanakan pada Selasa (31/5) di Gedung Kuliah Umum Fakultas Seni Pertunjukan (GKU FSP) terbuka untuk umum tapi dengan kuota sekitar 200 orang. Bersama timnya yang terdiri dari sekretaris, Lutse Lambert Daniel Morin dan Lina Setiawati, bendahara, Siswanto dan Sugiyarti, koordinator seminar, Retno Mustikawati, koordinator Bidang Pagelaran, Dindin Heryadi, koordinator Bidang Penayangan, Mahendradewa Suminto, koordinator Bidang
tirakatan, serta macapatan. Juga seperti tahuntahun sebelumnya, ada pameran foto, penayangan animasi dan film dari seni media rekam, pameran seni rupa, serta penampilan dari UKM Marching Band Saraswati ISI Yogyakarta (MBSI). Mengenai keterlibatan masyarakat di acara dies natalis tahun ini, ia mengatakan bahwa masyarakat dalam dies natalis tahun ini hanya menjadi tamu undangan saja. Waktu persiapan dies natalis ke-32 yang relatif singkat, menurut beliau, menjadi salah satu kendala dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Penunjukan ketua dies natalis yang baru dilakukan sekitar dua bulan sebelum acara membuat beliau menganggap ada kelengahan di tubuh Forum Pimpinan. “Seharusnya penunjukan ketua dies natalis harus dilakukan satu semester atau satu tahun sebelumnya,” ujarnya. (K)
5
B U L E T I N KON T E M P OR E R
INTERUPSI
Kemeriahan dan Kesunyian, dalam Botol Kaca Dies Natalis Teks: Eka Arief Setyawan/ TV 2015 dan Fitriana/ Fotografi 2014
Setiap setahun sekali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta mengadakan acara Dies Natalis, dalam rangka merayakan kelahiran institusi seni ini setiap tanggal 30 Mei. Tahun lalu, berbagai kemeriahan acara digelar, alumni diundang, angkringan bayar suka-suka dipersiapkan, bahkan tak tanggungtanggung, pagelaran ini diadakan hingga satu minggu lebih, tepatnya dari tanggal 20 Mei hingga 1 Juni 2015. Meski sempat ada tandingan acara Dies Mortalis, acara tahun lalu terbilang sukses. Tahun ini, Dies Natalis terasa lebih sunyi. Tidak ada lagi poster raksasa di dekat perpustakaan, maupun boneka-boneka dari Sasenitala. Meski begitu,
Acara perayaan dies natalis tahun ini lebih sedikit dibanding tahun lalu. Apa ada alasan tertentu? “Dies kali ini temanya Seni Sebagai Gerakan Sosial
kesunyian dianggap menjadi tempat untuk dapat
Budaya. Ini ngomong teknis, saya ditunjuk sebagai
berefleksi. Komparasi filosofis dua dies natalis ini
ketua panitia itu H-2 bulan yang lalu, sangat singkat.
sangat menarik, dimana yang satu ingin merayakan
Kemudian, saya memaknai ulang tahun ini lebih
ulang tahun semeriah mungkin, sementara yang satu
reflektif. Akan lebih mengurangi acara gebyar-
ingin merayakan dengan takzim dan khidmat. Simak
gebyar panggung. Reflektif menurut saya hanya bisa
wawancara berikut.
dilakukan kalau kita memilih ruang sunyi untuk bisa merenung, berpikir. Nah, karena itu kegiatan kesenian
Wawancara dengan Suwarno Wisetrotomo,
yang panggung di luar hampir tidak ada, kecuali
M.Hum, Ketua Umum Panitia Dies Natalis ISI
nanti di pembukaan pameran dan pagelaran, itu pun
Yogyakarta ke-32 tahun 2016
hanya ada tiga materi, seni musik, etnomusikologi, dan karawitan. Seminar menjadi unggulan, karena jelas
Siapa yang menentukan tema dan kepanitiaan? “Saya ditunjuk oleh forum pimpinan yang hanya menunjuk ketua umum. Nah, saya punya otoritas untuk menentukan tim. Forum Pimpinan itu rektor, para pembantu rektor, dekan dan para pembantu dekan di setiap fakultas.�
sebagai ruang refleksi, dengerin orang, berpikir, kalau dikritik ya harus lapang telinga dan lapang dada, harus memikirkan betul, kemudian berdiskusi, berargumen dan seterusnya.�
6
B U L E T I N KON T E M P OR E R
Berarti ada kesan filosofis seperti tadi, tentang kesunyian? “Ini kesempatan berefleksi, merenungkan diri.
ya? “Saya memilih diksi lengah. Sesuatu yang saking rutinnya itu bisa lengah. Kalau anda bilang ceroboh
Menurut saya selama ini, secara umum, seni sudah
itu anda yang bilang, kalau saya, pilih diksinya lengah.
terlampau cukup untuk kepentingan bersenang-
Jadi itu sudah sistematik, kalau awal semester pertama
senang, untuk kepentingan diri sendiri. Sementara
atau kedua sudah ada orang yang ditunjuk, tema sudah
kita berada di tengah kehidupan yang riil, di tengah
dipikirkan, pasti menggelinding tuh. Pasti punya
kehidupan sosial budaya dengan problem sosial,
waktu kan.”
ekonomi, politik, kultural, yang begitu kompleks. Hidup semakin penuh tantangan, membutuhkan setiap individu untuk bertarung memperebutkan kehidupan itu sendiri, memperebutkan panggung-panggung,
Untuk dana sendiri, Pak, habis berapa untuk acara ini? “ISI ini kan kecil, kalau duit pasti nggak banyak.
seperti ada di sirkuit, cara kita terampil mengemudikan
Anggaran dies ini jumlah kotornya Rp. 400 juta. Itu
kendaraan dengan lincah. Tujuannya adalah untuk
kecil sekali. Biaya terbesar itu untuk seremoni sidang
muncul di podium, bukan untuk eksibisi, namun
senat, upacara dies, karena itu kan namanya juga
pencapaian. Poinnya ada dua, satu, cara kita melihat
ulang tahun, jadi kesempatan kolega diundang untuk
kita ini (civitas akademika) bagaimana memikirkan
mendengarkan laporan rektor, mendengarkan pidato
seni mampu menggerakkan aspek sosial budaya.
ilmiah, untuk pameran seni rupa, penayangan animasi,
Poin kedua, adalah kita melihat apa yang terjadi
dan pameran fotografi, dan seminar sebenarnya tidak
di luar, bagaimana seni itu memiliki potensi untuk
dalam dana yang ideal, tapi it’s okay. Sebenarnya kalau
menggerakkan sosial budaya.”
waktunya cukup bisa justru menantang untuk kreatif. Kegiatan yang ada di pascasarjana sama sekali tidak
Tahun ini keterlibatan mahasiswa lebih minim
dapat dana bantuan dari sini, nggak cukup. Angka
dibanding tahun lalu. Apa karena memang faktor
empat (ratus juta—red) itu real-nya hanya tiga koma
waktu dimana H-2 bulan anda ditunjuk sebagai ketua,
sekian saja, karena dipotong pajak.”
atau ada alasan lain? “Waktu dua bulan itu sungguh belum cukup untuk mengelola sebuah event, apalagi seperti dies natalis. Konsen saya mahasiswa harus terlibat, sebetulnya. Tapi problemnya bagaimana dalam waktu yang pendek, kita secara efektif melibatkan mahasiswa. Nah, kalau di Seni Rupa, partisipasi mahasiswa itu berupa karya yang dipamerkan. Seni Pertunjukan saya mendorong melibatkan mahasiswa konkrit sebagai pelaku. Kalau di Seni Media Rekam saya kira yang memunculkan karya mahasiswa itu dosen ya, mungkin memang tradisinya begitu. Nah, ada juga drum band ada inisiatif untuk dihadirkan. Itu seluruhnya mahasiswa. Saya mendorong ada paduan suara yang tampil di forumforum penting, semuanya mahasiswa. Sesungguhnya, bagi saya itu belum cukup. Partisipasi mahasiswa seharusnya tidak hanya itu. Saya punya angan-angan ideal mahasiswa itu terlibat dalam mempersiapkan, memberikan ide.” Untuk penunjukan sebagai ketua umum saat H-2 bulan, ini sebenarnya kecerobohan dari pihak mana
Untuk seminar sendiri tentang apa? “Seminar tetap dengan tema yang sama. Saya bilang temanya seksi kali ini, penting.” Ini terbuka untuk umum kan, Pak? “Terbuka untuk umum, tapi tetap dengan kapasitas ruang yang terbatas. Di Gedung Kuliah Umum, hanya 200-an orang. Melampaui dari jumlah juga tidak masuk akal. Pembicaranya ini masih dalam konfirmasi, satu Hilmar Farid, Ph.D. Posisi politiknya sekarang adalah Direktur Jenderal Kebudayaan. Kemudian pembicara kedua Prof. Heru Nugroho, sosiolog dari UGM. Pembicara ketiga Garin Nugroho, sineas. Kita masih bergerilya satu pembicara yang belum bisa saya sebutkan namanya karena masih tentatif. Mereka dipilih karena orang-orang itu punya kapasitas untuk memberi perspektif kritis pada tema. ISI itu membutuhkan perspektif kritis dari orang-orang di luar “pagar,” agar lebih obyektif.”
7
B U L E T I N KON T E M P OR E R
Apa target utama dalam dies natalis tahun ini?
kampus. Bukan kita ingin menyalahkan mahasiswa
“Ini berjalan sederhana tetapi mengisi nadi
dan alumni. Tetapi menurut saya kampus itu bagaikan
pemahaman kita. Jadi lebih sederhana namun lebih
sebuah negara, yang mana para mahasiswa dan alumni
bermakna. Saya ingin momentum dies ini menjadi
merupakan pondasinya. Dan d isitulah ruang kosong
momentum kesadaran kita sebagai warga negara
tersebut yang saya coba ingin masukkan melalui acara
ISI Yogyakarta. Institusi ini tempat yang kita pilih
(Dies Natalis ke-31) itu.
untuk belajar, membangun karier, oleh karena itu tidak pada tempatnya kita bersikap apatis, atau hanya ngomel-ngomel dan protes. Menurut saya sikap paling bertanggung jawab adalah kita kritis, dan menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.” Wawancara dengan Dr. Koes Yuliadi, Ketua Umum Panitia Dies Natalis ISI Yogyakarta ke-31 tahun 2015
Lalu, mengapa anda juga memilih acara ini diselenggarakan semeriah mungkin? “Saya pernah menjadi mahasiswa yang tentu merasakan kerinduan untuk melakukan sebuah kemeriahan.” Kapan kira-kira anda merencanakan persiapan dies natalis tersebut? Apakah sama seperti Suwarno (Ketua Panitia Dies Natalis ke-32 2016) yang ditunjuk sebagai
Menurut anda, bagaimana evaluasi dari dies natalis ke-31 pada tahun lalu? “Saya kira dalam sebuah penyelenggaraan acara selalu ada saja yang kurang, terlebih-lebih pada sosialisasi yang mana masih belum semuanya (para civitas akademika) dapat menikmati, dari dulu juga seperti itu, juga kurang pada perencanaan yang cukup pendek sekali.” Lalu, bagaimana menurut anda sendiri mengenai evaluasi tersebut? “Saya mengadakan sebuah acara tentu tidak berharap yang terbaik, namun setidaknya dapat mengumpulkan massa. Saya juga tidak setengah-setengah kok dalam mengerjakan tugas serta memaksimalkan waktu sebaik mungkin. Tetapi waktu itu banyak acara yang dapat terselenggarakan dengan meriah, lalu sempat dihadiri
ketua panitia dua bulan sebelum acara dimulai? “Sama, saya juga ditunjuk oleh pihak Forum Pimpinan kampus dua bulan sebelum acara dies natalis dimulai. Dan sejak saat ditunjuk itu, saya kemudian mencari orang-orang untuk membantu saya yang sekiranya mampu dan mau bekerja secara maksimal di waktu yang cukup singkat ini.” Mengapa bisa sampai terjadi seperti itu (perencanaan yang terkesan mendadak)? “Birokrasi kita tidak semudah itu, dan kesederhanaan ini memang sudah bertahun-tahun terjadi.” Lalu, apa saran dari anda terhadap masalah itu? “Kalau menurut saya, sebuah festival jika sudah ada kepastian mengapa sih tidak sedikitnya 6 bulan, atau 1 tahun (perencanaan) juga bisa.”
menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, M. Anies
Bagaimana dengan anggarannya? Apakah saat itu Baswedan) juga bersama para tokoh-tokoh lainnya pada juga sama seperti tahun ini (kurang lebih sekitar 400 seminar, menurut saya pengalaman tersebut tentu juta)? tak akan bisa diwujudkan dengan berapapun nominal
“Iya, sama. Tahun kemarin juga rata-rata mencapai
uang, bahkan jika (pengalaman itu) ditukar dengan
jumlah segitu. Uang yang diamanahkan untuk acara
uang pun juga tak akan cukup.”
itu saya gunakan sebaik-baiknya terutama kepada
Mengapa pada tahun kemarin anda memilih melibatkan banyak mahasiswa dalam mengurusi acara Dies Natalis waktu itu? “Di ISI Yogyakarta ini terdapat sebuah ruang kosong, yang mana menurut saya seperti tidak pernah melihat mahasiswa ikut serta (dalam kegiatan intern kampus), lalu dari alumni juga tidak ada integrasi kepada
mahasiswa, dan sisanya pun kemudian juga saya kembalikan semua kepada pihak rektorat.” Apakah anda sempat bertemu ketua panitia dies natalis tahun ini (Suwarno) untuk mungkin memberikan masukan atau saran untuk dies natalis tahun ini? “Saya dalam hal ini (membahas Dies Natalis ke-32)
8
B U L E T I N KON T E M P OR E R
tidak ikut campur dan juga belum pernah membahas
fakultas, jadi jika tahun kemarin berasal dari Fakultas
apapun dengan beliau (Suwarno).”
Seni Pertunjukan, lalu tahun ini berasal dari Fakultas Seni Rupa, bisa saja tahun depan berasal dari Fakultas
Apa yang dipikirkan pertama kali ketika mendapat tema “Implementasi Seni berbasis Riset dan Teknologi”
Seni Media Rekam, bergantung dari hasil rapat forum pimpinan juga.”
pada dies natalis tahun lalu? Lalu untuk tema, apakah juga ditentukan dari pihak
“Saya sempat tertawa bahkan sempat menolak juga, karena menurut saya temanya terkesan ‘kurang seksi’.
pimpinan?
Seharusnya kan setidaknya tema itu mengikuti zaman modern seperti sekarang yang lebih unik dan keren.
“Untuk tema juga demikian halnya seperti ketua panitia, Rapat Senat yang menentukan.”
Saya pun juga bingung awalnya bagaimana hubungan Tahun lalu juga sempat terjadi sebuah atraksi ‘Dies
antara seni dengan sebuah riset dan teknologi, menurut saya seni itu tidak harus melulu tentang riset juga lho.”
Mortalis’, bagaimana menurut anda? “Sebenarnya kami (panitia) juga ikut membiayai
Namun bagaimana setelah itu (setelah diberi tema demikian)? “Saya pun langsung mencari sumber dan wawasan
happening art tersebut. Kami menginginkan supaya ada sebuah happening art (atraksi seni) dari Fakultas Seni Rupa, cuma mungkin karena waktu itu yang
yang berhubungan dengan tema itu, lalu kemudian saya
saya tunjuk mungkin terlalu bersemangat dalam
implementasikan sendiri dalam bentuk acara-acara pada
mengimplementasikan tema yang dibahas saat itu, tetapi
Dies Natalis.”
itu memang resiko bagi kami atas peristiwa tersebut.”
Bagaimana menurut anda mengenai sistem pemilihan
Harapan untuk dies natalis tahun ini?
ketua panitia dies natalis di ISI Yogyakarta? “Ketua panitia itu ditunjuk setiap tahunnya oleh
“Saya berharap supaya dapat menjadi acara yang tetap berguna bagi civitas akademika ISI Yogyakarta.” (K)
Forum Pimpinan dan berdasarkan pengguliran dari
Kurangnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Dies Natalis ke-32
PENTING
Yogyakarta – Dies Natalis (peringatan hari kelahiran)
dalam sejumlah besar budaya dianggap sebagai peristiwa penting yang menandai awal perjalanan
Teks: Muhammad Hadi/ DI 2014 dan adinda lisa irmanti/ DI 2014 Ilustrator : Soni Harsono/ DI 2014
kehidupan. Karena itu, biasanya peringatan tersebut dirayakan dengan penuh syukur dan kebahagiaan. Bertambahnya usia selalu diikuti dengan pengharapan akan makin bertambahnya kedewasaan. Tidak hanya bagi manusia, pertambahan usia bagi institusi pun selalu dikaitkan dengan tingkat kedewasaan. Apalagi bagi sebuah perguruan tinggi yang merupakan
9
B U L E T I N KON T E M P OR E R
penghasil ilmuan untuk negara. Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada hari ini secara resmi mengijakan usianya yang ke-32, tentu saja itu merupakan usia yang sudah terbilang tidak lagi muda, dan sudah banyak sekali menghasilkan seniman-seniman terbaik yang membantu dalam melestarikan kebudayaan bangsa. Tahun ini dengan bangga Institut Seni Indonesia Yogyakarta menghelat acara dies natalisnya yang ke-32 dan bertajuk “Seni Sebagai Gerakan Sosial Budaya”. Perayaan kali ini sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya yang bertajuk “Implementasi Seni Berbasis Riset dan Teknologi’’, yakni tidak hanya mahasiswa yang terlibat dalam perayaan hari penting tersebut, dalam hal ikut merancang acara, menyumbangkan ide, dan menjadi bagian dari kepanitiaan. ”Untuk dies natalis kali ini dari tema saja sangat berbeda dibanding dengan tahun sebelumnya, meskipun saya tidak terlibat dalam susunan kepanitiaan untuk dies natalis sekarang ini, namun saya sangat berharap jika peran mahasiswa dapat dilibatkan, begitu juga dengan UKM-UKM yang ada di kampus ini,” papar Anusapati sebagai Pembantu Rektor III. Dies Natalis punya makna penting bukan hanya sebagai penanda bertambahnya usia, tapi juga penanda tingkat kedewasaan dalam berkarya. Keberadaan ISI Yogyakarta yang sudah dibilang tidak lagi muda menjadi bukti bahwa masih ISI Yogyakarta masih
yang harus dilakukan sebagai bagian dari resolusi
memiliki daya tarik di tengah persaingan yang makin
ulang tahun. Tidak ada salahnya merayakan dies
ketat di antara perguruan-perguruan tinggi negeri
natalis dengan kegiatan-kegiatan hiburan bila ini
maupun swasta. Tapi, ISI Yogyakarta juga menghadapi
bagian dari upaya membangun budaya organisasi baru,
tantangan berat karena di era keterbukaan informasi
menghilangkan sekat-sekat antargenerasi, membangun
seperti sekarang, banyak perguruan tinggi lain yang
sportivitas, dan seterusnya. “Semoga acara dies kali ini
mampu mengejar ketertinggalan dari sisi usia dengan
lancar dan lebih ramai dari dies natalis yang kemarin,
memanfaatkan strategi pemasaran yang canggih untuk
melihat tema yang diterapkan kali ini saya yakin akan
membangun pencitraan dan reputasi dirinya.
lebih meriah dari tahun sebelumnya,” harap Anusapati.
Dies natalis seharusnya menjadi momentum untuk menguatkan komitmen akan perubahan demi kemajuan. Perlu ada penegasan tentang upaya-upaya
(K)
K
10
Apa Kabar
BEMI
?
KON T E M P OR E R
SIKAT
Teks: Miftachul Arifin/ TV 2015 dan Nurfatimah/ Fotografi 2013 Foto: Seftian Fahis Satay/ Fotografi 2013
Sebuah organisasi sudah seharusnya dianggap penting. Terlebih bagi kalangan mahasiswa. Kegiatankegiatannya pun turut serta menjadi faktor penunjang kemajuan suatu perguruan tinggi. Namun, berbeda dengan yang terjadi pada salah satu organisasi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Badan Eksekutif Mahasiswa ISI (BEMI). Badan eksekutif ini terlihat sangat berkebalikan dari kondisi yang seharusnya tampak pada sebuah organisasi tingkat kampus. Luai Ahsani Fahmi, selaku Pelaksana Tugas (Plt.) BEMI bagian sekretaris mengatakan bahwa pengurus BEMI saat ini sudah tidak lagi aktif. Demikian juga perihal kabar dari pengurus sebelum pembentukan Plt. “Kalau dari pengurus yang asli, sudah tidak ada lagi. Mereka tidak pernah muncul lagi,” kata Luai. Namun, terdapat beberapa orang yang masih memberi perhatian diantaranya adalah Arok, Kumalla, Adib, Anok, dan Luai. Hal tersebut terjadi sejak tahun 2015, khususnya setelah Program Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (PPAK) ISI Yogyakarta 2015 dan berlangsung hingga sekarang. Terkait perbedaan kondisi antara badan eksekutif di ISI dengan kampus lain yang terjadi, kemudian muncul anggapan dari mahasiswa bahwa BEMI telah vakum. “Sebab awalnya, ketua pengurus untuk tahun 2015 tiba-tiba menghilang dan tidak diketahui keberadaannya,” kata Luai. Hal tersebut berdampak cukup besar pada perkembangan BEMI. “Tidak adanya
DALAM RUANG – Bagian dalam ruangan BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) yang terletak di belakang gedung Rektorat lama Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Rabu, 18/5/2016. Kondisi yang terjadi dalam struktur organisasi setingkat BEMI yang menaungi seluruh mahasiswa di lingkup Institusi adalah ‘Vakum’. rp.16
lagi kegiatan atau kesibukan-kesibukan, satu per satu membuat pengurus mulai pergi,” lanjutnya. Sementara itu, hal tersebut terjadi pada saat mendekati penyelenggaraan PPAK tahun 2015 yang seharusnya segera dipersiapkan. Adanya kekosongan
pengganti sementara. Plt. BEMI bertugas sebagai pelaksana tugas, yang menangani tugas-tugas BEMI dalam jangka waktu singkat. Luai juga menyayangkan bahwa beberapa hari
anggota yang berada di tubuh BEMI membuat keadaan
setelah PPAK usai, para anggota asli dari BEMI tidak
menjadi semakin membingungkan. Sehingga untuk
segera kembali. Sedangkan para mahasiswa yang
mengatasi permasalahan tersebut, dibentuklah sebuah
masih berstatus ‘Pelaksana Tugas’ merasa bimbang
Plt. BEMI yang saat itu bertujuan hanya sebagai
ketika akan menjalankan kegiatan-kegiatan yang
GEDUNG – Serangkaian Gedung BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) yang terletak sejajar dengan ruang Koperasi dan ruang BLM Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Rabu, 18/5/2016. Terlihat bahwa ruang yang menjadi tempat berkumpulnya pengurus BEMI untuk membuat kegiatan atau sebagai sarana penghubung antar mahasiswa tampak sepi. rp.16
berkaitan dengan BEMI. Plt pada saat itu tidak
“Solusinya tentang regenerasi pengurus, adanya
dapat menyusun kegiatan karena belum berstatus
penerapan sistem yang jelas dalam regenerasi
pengurus tetap sementara tidak adanya kegiatan dapat
selanjutnya. Yaitu menggunakan pemilihan mahasiswa
mengancam status aktif BEMI. Hal ini bisa berdampak
tertentu dari rekomendasi organisasi kampus di bawah
langsung pada anggaran dana.
naungan BEMI. Sedangkan untuk kegiatan, kami
Tidak adanya kepastian posisi Plt. membuat satu per satu dari mereka meninggalkan BEMI. Posisi Plt. yang menggantung juga tidak lepas dari pengaruh cara pemilihannya yang dilakukan dengan cara penawaran langsung kepada mahasiswa, bukan melalui tahap Ă“pen Recruitment. Ketidakpastian kemudian terjadi pada program kerja BEMI. Sehingga membuat sebuah persepsi berkelanjutan dari mulut ke mulut mahasiswa mengenai BEMI yang sudah tidak ada lagi, sepi, dan lain sebagainya sampai saat ini. Dalam ranah keterkaitan dengan penyelenggaraan Dies Natalies, BEMI mengaku tidak pernah memiliki hubungan. Artinya, BEMI tidak turut serta sama sekali dalam penyelenggaraan acara tersebut. Sedangkan baru-baru ini, untuk kegiatan lain selain PPAK dan Pemilu, tidak ada lagi bentuk kegiatan lain yang murni diadakan oleh BEMI.
menyerahkan penyelenggaraan kegiatan pada HMJ, BEM, dan UKM. Karena hal itu juga termasuk ke dalam fungsi dari BEMI,� tutur Arok. (K)
K
12
KON T E M P OR E R
JUJUR
Kurangnya Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan maupun Acara Kampus Teks: Ryani P.D. Silaban/ Lukis 2015
“Bagaimana pendapat kritis Anda mengenai kurangnya partisipasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan serta acara kampus?” Ajeng Pratiwi ( Patung ‘14) “Kalau dari aku sendiri sih, harusnya dari mahasiswa itu sendiri yang aktif, bukan hanya dari kepengurusan kegiatan atau acara. Misalnya kalau ada kegiatan, mahasiswa seharusnya lebih aktif untuk mencari tahu dan mengikuti acara. Makanya, sebenarnya mahasiswa harus lebih kritis, jangan hanya bermodal disuapi kalau ada kegiatan ini itu. Padahal udah ada organisasi atau kegiatan kampus dan udah dibikin acara, tapi tetap aja kesadaran beberapa mahasiswa masih kurang.” Dimar Panjaitan (Pendidikan Sendratasik ‘15) “Kalau menurut aku sih. Satu, karena kurangnya publikasi acara atau kegiatan itu sendiri. Penyebab lainnya, karena mahasiswa itu sendiri yang kurang tertarik dan berminat ikut serta dalam acara atau kegiatan maupun organisasi. Kebanyakan mahasiswa lebih mengikuti egonya dan sibuk dengan kegiatannya sendiri.” Dahlia Saraswati (Televisi ‘15) “Mungkin karena kurang sosialisasi tiap fakultas kali ya. Misalnya, kayak di tempatku sendiri kan ada kegiatan-kegiatan dari Oricon, ARTV, dan yang lain. Nah, kebanyakan mahasiswa dari fakultas lain itu pada nggak tau di ISI ada kegiatan yang itu. Nah, harusnya publikasi dan sosialisasi kegiatan itu harus lebih diperluas lagi.”
yang nggak punya minat atau kemauan untuk ikut. Seharusnya, sebagai mahasiswa seni ya, kita harus bisa juga mengapresiasi kegiatan dan acara. Baik yang dari kampus, jurusannya, maupun yang dari jurusan lain.” Ruth Ginting (Musik ‘12) “Kalau dari saya sebagai mahasiswa, masih belum banyak mahasiswa yang punya rasa kepedulian untuk tahu kegiatan atau acara maupun organisasi yang ada di kampus. Terus, penyebaran poster acara atau kegiatan itu juga masih kurang dan tidak menarik perhatian untuk dilihat. Selain itu, pastinya karena relasi mahasiswanya yang masih kurang. Padahal, sebagai mahasiswa penting banget untuk punya relasi.” Alfin Rizal (Lukis ‘13) “Mahasiswa seni, dalam hal acara kampus atau sekedar diskusi seni itu ada empat tipe, yang pertama tahu tapi masa bodoh dan nggak mau ikut. Kedua, mahasiswa yang asal ikut saja, tapi tidak tahu apaapa. Ketiga, yang nggak ikut karena nggak tahu dan nggak mau tahu. Keempat, ini masih sangat sedikit, yaitu mahasiswa yang aktif dan kritis. Seperti yang pernah aku sampaikan ke acara Gelar Tikar HMJ Murni kemarin. Bahwa, kita itu kekurangan gesekan kreativitas. Acara-acara yang dibikin kurang membuat mahasiswa terpicu semangatnya. Nggak usah jauh-jauh, di kelas pun gesekan kreativitas udah mulai hilang. Merasa kalah dulu liat temen-nya lebih bagus karyanya,
Erika Olivia (Musik ‘14)
atau milih diam karena kalah omongan. Artinya, mau
“Kebanyakan mungkin karena malas. Ada juga
ada acara di kampus atau nggak yang jadi masalahnya
yang pengen ikut, tapi malu dan ingin menunggu
itu tadi, gesekan kreativitas. Gimana sih caranya biar
temannya ada yang ikut juga. Mungkin juga karena
teman-teman pada terpicu semangat berkaryanya,
kurangnya publikasi atau memang mereka sendiri
diskusinya, wacananya, dan lain-lain.” (K)
13
B U L E T I N KON T E M P OR E R
KIRIMANMU
D istorsi M ental Teks: Muhammad Alwi Assagaf/ Seni Rupa Murni 2013
“Jika setiap sekolah selalu bangga dengan kuantitas kelulusan lantaran persaingan akreditasi, apakah kualitas anak didiknya juga mampu disetarakan dengan akreditasi nyata berupa “seleksi alam” yang menanti di depan? Bagaimana jika pada 100% kelulusan juga melahirkan 100% pengangguran?”
Sejak kepemimpinan Presiden
dengan usia sebuah lembaga atau
Faktor kedua adalah tingkat
Jokowi hingga saat ini, gerakan
program tertentu, jika lembaga
pendidikan. Membongkar
revolusi mental terus menerus
itu masih berjalan hingga hari ini
komponen pendidikan rasanya
digalakkan melalui bermacam cara
maka sangatlah relevan untuk
kurang lengkap jika hanya
dan bermilyar dana. Meski begitu,
dikaji kapasitas mental dan
membahas statistik saja. Jika setiap
aplikasinya sejauh ini masih dalam
kedewasaannya.
sekolah selalu bangga dengan
tahap perkenalan saja karena lebih mudah mengubah pakaian daripada karakter seseorang. Program revolusi mental ini terhitung sangat bagus, melihat tidak hanya di Indonesia saja yang mengalami krisis mental. Bagi negara maju pun masalah mental dan moral masih mendapat sorotan tajam mengingat tindak kriminal yang terjadi hari ini hanya sedikit yang didasari faktor kemiskinan, selebihnya adalah masalah mental yang sakit.
Pada faktor usia, ketika seseorang menjadi mahasiwa, serangkaian tes yang diberikan pihak akademis setidaknya sudah bisa menjadi filter bagi kelayakan orang tersebut membawa beban berat sebagai “agen perubahan”. Tidak peduli masalah umur, yang jadi ukuran kedewasaan mahasiswa adalah kecakapan dalam mengaplikasikan tri dharma perguruan tingginya. Maka jika pada hari ini
kuantitas kelulusan lantaran persaingan akreditasi, apakah kualitas anak didiknya juga mampu disetarakan dengan akreditasi nyata berupa “seleksi alam” yang menanti di depan? Bagaimana jika pada 100% kelulusan juga melahirkan 100% pengangguran? Mari kita renungkan sejenak kisah romantis Si Budi dan Si Pekerti karya Ki Hajar Dewantara. Belajar dari maraknya
banyak mahasiswa yang kadar
boarding school yang sedang tren
kecakapannya sama dengan siswa
diaplikasikan di tingkat SMP
seseorang dapat ditentukan oleh
SMA, yang patut dicurigai adalah
dan SMA, nampaknya pihak
beberapa faktor, antara lain adalah
seleksi dari perguruan tinggi
swasta lebih peka menghadapi
faktor usia, pendidikan, dan
itu sendiri. Terlalu kejam kah?
kemerosotan mental remaja yang
lingkungan. Usia dari seseorang
Sepertinya tidak, ketika kita sama-
kebanyakan dibius konsumsi
pada umumnya hampir setara
sama memahami apa fungsi di balik
media. Bahkan di Lembaga
dengan tingkat kedewasan
ospek yang dewasa ini menjadi
Pemasyarakatan (Lapas) pun
yang dimilikinya. Begitu pun
perbincangan atas eksistensinya.
sekarang banyak dihuni oleh
Secara garis besar, mental
14
B U L E T I N KON T E M P OR E R
remaja. Apakah mahasiwa juga
berbuat apa ketika jam kuliah
tanpa memahami bumi yang
perlu diasramakan agar tidak
selesai. Juga mereka yang lancar
dipijaknya, maka dia tak akan tahu
“nakal�?
membaca teks sehingga paham
warna langit yang dijunjungnya.
Jika mau kita cermati pada
dengan konteks.
berita yang tersebar tentang
Ketiga, adalah faktor lingkungan.
kenakalan, maka kata selanjutnya
Setiap orang boleh saja punya
adalah remaja, bukan pemuda.
pendirian, setiap lembaga boleh saja
Mahasiswa seharusnya sudah
punya visi misi yang jadi pedoman,
selesai dengan keremajaannya,
tapi baik pendirian maupun visi
pemegang panji-panji perubahan
misi haruslah sesuai dengan lahan
adalah pemuda. Mereka yang tidak
yang ditempati. Belum ada petani
perlu diasramakan lagi untuk
yang begitu ngotot menanam padi
menghindari pengaruh negatif.
di padang pasir. Begitu pun bagi
Mereka yang sudah tahu harus
perkembangan karakter sesorang,
IRONI Ilustrasi : Bio Andaru/ Patung 2012
Selamat ulang tahun kampus tercinta.
15
B U L E T I N KON T E M P OR E R
GEROMBOL AN SENI
SENI DAN KRITIK SI GARDA BLAKANG Teks : Serena Gabrielle/ DI 2014 dan Arami Kasih/ TV 2014 Foto: Sandra Wahyuningtyas/ Fotografi 2014 dan Dokumentasi Pribadi
Berawal dari sebuah performing art yang dilakukan di sekitar Tugu Yogyakarta pada tahun 2014, nama
ANGGOTA – (dari kanan ke kiri) Rachmat Affandi, Prahasdhika Dimas, Chrisna Fernand, Adhi Pandoyo, Lestyono, adalah sebagian anggota Garda Blakang yang sedang melakukan unlive performence art untuk merespon pembredelan buku-buku berbau kiri (17/05). Aksi ini berjudul “Bacalah Buku Kiri Kanan, Kami Cukup Senang”.
Garda Blakang mulai dikenal oleh berbagai kalangan.
ini menjadi kurang produktif. Suasananya kurang
Pertunjukan seni dengan wacana mengkritik dan
aja untuk menjadi tempat berkreativitaslah di sana.
kostum nyentrik merupakan salah satu ciri khas dari
Akhirnya muncullah nama Garda Blakang. Jadi,
kelompok seni yang namanya sering disingkat GB
guyonannya itu ketika garda belakang sudah bicara,
ini. Menurut para penggeraknya, GB memang sengaja
berarti garda depannya gak berfungsi. Begitu. Jadi
dibuat dengan tujuan mengkritik. Tema kritikan yang
sebenernya se-simple itu,” ujar Chrisna, salah satu
diangkat umumnya mencakup isu-isu yang sedang
penggerak Garda Blakang ketika ditemui di Ruang
“booming” di masyarakat. GB juga sempat menggelar
Garda Blakang, Dusun Pelem Sewu RT 2 RW 39,
sebuah pertunjukan di Fakultas Seni Rupa Institut
Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa
Seni Indonesia Yogyakarta sebagai kritikan terhadap
Yogyakarta.
kampus ISI yang pada saat itu diisukan ‘sepi’. Nama Garda Blakang diambil dari filosofi nama
Garda Blakang digerakkan oleh beberapa penggerak tetap yang antara lain : Chrisna Fernand, Adhi
itu sendiri. ”Jadi yang ngasih nama itu ‘kan, temenku
Pandoyo, Lestiyono, Adnan Aditya, Prahasdhika Dimas,
si Rahmat sebetulnya. Dulu ya celetukan aja. Kampus
Rachmad Afandi, GD Alif sebagai responden, Afif
‘kan sepi. Harusnya kampus itu ‘kan garda depan
sebagai dokumentasi, dan lain-lain.
pencetak seniman. Gitu ‘kan? Tapi kok akhir-akhir
Semakin berkembang, pada Mei 2015 Garda
16
B U L E T I N KON T E M P OR E R
Blakang membuat produk cetak berupa zine (seperti majalah namun berbeda). Kemunculan produk ini juga merupakan bulan resmi lahirnya kalompok seni tersebut. GB memproduksi zine yang dibagi menjadi dua kategori yaitu mayor dan minor. Zine minor merupakan edisi khusus yang direkam dari kejadian-kejadian di luar seni rupa. Sedangkan mayor merupakan rekaman media seputar seni rupa. Selain membuat zine dan perform art, GB juga membuat diskusi-diskusi rutin yang rencananya diadakan setiap bulan. Akan tetapi, kesibukan dari pribadi masing-masing penggerak membuat diskusi ini sulit dijaga kerutinannya. Meski demikian, berbagai diskusi nonformal tetap diadakan pada waktu-waktu
ZINE – Zine merupakan karya dari komunitas seni “Garda Blakang” yang telah diterbitkan tahun 2015 silam. Senin (16/05). Komunitas seni “Garda Blakang” yang didirikan tahun 2015 ini sudah menerbitkan dua edisi khusus zine, yakni edisi khusus dan edisi biasa.
senggang.Kegiatan diskusi formal maupun nonformal
juga kerap menjadi persoalan. ”Karena space-nya di
ini bersifat terbuka untuk umum. Dari kegiatan-
tengah kampung. Terus, kalo pas perform gitu. Temen-
kegiatan tersebut, GB akhirnya berkembang tidak
temen waktu ada acara sedangkan temanya krusial
hanya sebagai performer namun menjadi sebuah ruang
harus cepat dirembuk terus banyak yang nggak bisa.
untuk diskusi dan sharing. Menurut mereka, Garda
Akhirnya individu yang harus terjun sendiri untuk
Blakang bukan lagi sebuah komunitas melainkan
merespon. Gitu misalnya. Fleksibel jadinya. Ada satu
sebuah peristiwa.
orang dua orang ya berangkat. Nggak harus semua
Dalam menjalankan kegiatan berkesenian dan mengkritik, Garda Blakang sendiri mengaku memiliki
siap,” jelas Chrisna. Saat ini, Garda Blakang sedang memersiapkan zine
suka duka. Seperti saat melakukan diskusi yang
kedua yang rencananya membahas tentang kehidupan
dibarengi acara hiburan di daerah mereka. Melihat
seni rupa di Jogja. Menurut mereka, rencana ini sudah
kondisi lingkungan yang mayoritas merupakan rumah
lama ingin direalisasikan. Namun, GB mengaku masih
warga, GB sempat mendapat teguran dari masyarakat.
kesulitan untuk mendapatkan angle yang tepat. (K)
Selain itu, kesibukan dari masing-masing penggerak
IRONI Ilustrasi : Mochammad Adam Husein/ TV 2015
17
B U L E T I N KON T E M P OR E R
TOKOH
lebih dek at dengan didik nini thowok
informasi dari kakak kelas tersebut akhirnya Didik melanjutkan pendidikannya di ASTI dan lulus sarjana tahun 1982. Saat menjalani masa perkuliahan, selain menjadi mahasiswa Didik pun menjadi dosen sampai tahun 1985. Didik dikenal bukan dari nama aslinya, melainkan lebih dikenal dengan sebutan Didik Nini Thowok. Nama Nini Thowok melekat padanya ketika ia menarikan tari Nini Thowok atau Nini Thowong yang berati menyerupai perempuan karya tugas akhir Bekti Budi Hastutik. Tarian tersebut dibawakan dengan genre komedi. Didik lebih memilih tarian ber-genre komedi
Teks: Anindra Yudha Utami/ Fotografi 2013 dan Wiwit Nur Faizin/ TV 2015 Foto: Dimas Parikesit/ Fotografi 2012
karena menurutnya tarian komedi lebih diterima hampir semua lapisan masyarakat. “Tapi saya juga tidak lupa untuk belajar tari-tari lainnya,” ungkap Didik saat diwawancarai.
Siapa yang tak mengenal sosok Didik Hadiprayitno atau yang lebih dikenal dengan nama Didik Nini Thowok? Seorang penari tradisional komedi cross gender yang sudah puluhan tahun merambah dunia entertainment dan sudah melalang buana hingga 38 negara. Ia merupakan keturunan campuran Jawa dan Tionghoa. Dengan latar belakang demikian, sejak kecil Didik diperkenalkan dengan dua budaya yang berbeda, Tionghoa dan Jawa. Didik begitu menyukai seni budaya Jawa sebab sering diajak menonton ketoprak oleh sang kakek. Ia bercerita bahwa sejak remaja sudah mengajarkan tari pada anak muda lainnya, meskipun hobi dan cita-cita yang dimiliki sejak kecil ingin menjadi pelukis. “Saat itu hobi melukis masih terus saya lakukan, soalnya memang tertarik dengan seni rupa,” katanya. Minatnya dengan dunia seni rupa membuat Didik dewasa ingin memasuki perguruan tinggi di Yogyakarta. Sayangnya Didik mengalami kendala dana, ia setidaknya harus mempunyai modal untuk memenuhi tugas di jurusan seni rupa yang diinginkan. Tentu saja, kendala teknis tersebut membuat Didik ragu dan bimbang. Ia akhirnya memilih untuk bekerja di Kabin Kebudayaan Temanggung untuk mengajar tari.
Gebrakan karya yang menjadi salah satu identitas Didik adalah tarian dwi muka. Tarian tersebut dibawakan dengan genre komedi dan mengandung pesan yang sangat dalam. Berawal dari sebuah film yang memberi inspirasi dan dihubungkan dengan pengalaman hidup, terwujudlah sebuah karya dwi muka yang diproses sejak tahun 1979 dan dibakukan pada tahun 1987. Didik menjadi seperti sekarang tidak terlepas dari guru-guru senior yang dijadikan panutan karena memiliki sifat yang ramah dan bersahabat. Didik pun mengikuti jejak mereka untuk menjadi orang yang tidak sombong terhadap siapa pun dan selalu ikhlas dalam membantu. “Saya bisa seperti sekarang karena banyak mencari teman dan membangun relasi dengan orang banyak dan membuat diri lebih dikenal oleh masyarakat luas. Menjadi seniman jangan mengkotakkotakkan diri,” tutur Didik. Penampilan Didik yang selalu total dan menghargai apa yang akan dibawakan membuatnya tidak dipandang sebelah mata oleh penikmat tari lainnya. Pesona yang dibawa saat di atas panggung mampu memukau para penonton karena Didik mampu memaksimalkan apa yang akan ditampilkan.
Pekerjaan tersebut ternyata membuat Didik bertemu
Karyanya tidak hanya tarian, Didik juga membuat
dengan kakak tingkat saat SMA yang pernah kuliah
buku tentang cross gender. Buku tersebut dibuat karena
di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), salah satu
sebelumnya ia merasa minoritas. Hanya ada sedikit
perguruan tinggi seni tari di Yogyakarta. Berbekal
laki-laki yang membawakan tari perempuan. Tarian
18
B U L E T I N KON T E M P OR E R
Didik Nini Thowok berpose didepan kantor miliknya di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta. FOTO/Dimas Parikesit
seperti itu masih belum membudaya di Indonesia pada
membedakan waktu sedang bekerja dan di waktu
awal Didik membawakan sehingga membuat Didik
sehari-hari membuatnya memiliki nilai lebih.
tergugah untuk melakukan penelitian di beberapa negara termasuk Indonesia untuk mencari bagaimana penari cross gender yang sebenarnya. Dari pengalaman dan wawasan yang didapat, terciptalah buku cross gender yang menunjukkan bahwa penari-penari cross gender memang sudah mendunia, hanya saja di Indonesia kurang membudaya. Penampilan Didik saat di panggung dengan seharihari sangat berbeda. Menurutnya, seniman yang luar biasa harus bisa bertransformasi menjadi sosok yang lain saat di panggung. “Tapi kalo sehari-hari dan di panggung sama aja ya gak ada apa-apanya. Harus tahu tempat,� lanjutnya. Baginya ketika seniman mampu
Mengingat Institut Seni Indonesia Yogyakarta memasuki usia 32, Didik pun menyampaikan harapannya. “Diharapkan saat Dies Natalis ISI menjadi ajang reuni para senior semua jurusan yang telah berhasil di tengah masyarakat untuk berbagi dengan para junior yang ada di ISI agar bisa bertukar pikiran dan memberi masukan pada generasi muda,� ungkapnya. (K)
19
B U L E T I N KON T E M P OR E R
RANGKAIAN KEGIATAN DIES NATALIS XXXII
27 JUMAT
MEI 2016
SENAM Pukul : 07.00 WIB
30 SENIN
MEI 2016
Pertunjukan Kesenian Rakyat Sanggar Saujana Krogowanan Magelang
Tempat : di Halaman Gedung Rektorat Baru
Pukul : 11.00 WIB
Peserta : Pegawai dan Dosen di
Tempat : di Halaman Rektorat
lingkungan ISI Yogyakarta serta
Lama
sponsor
29 MINGGU MEI 2016
Pameran Seni Rupa Kenduri, Tirakatan, Macapatan Pukul : 13.30 WIB Pukul : 16.00 – 21.00 WIB
Tempat : di Galeri R.J. Katamsi ISI
Tempat : di Loby Gedung Rektorat
Yogyakarta
Baru Undangan : Masyarakat di sekitar Kampus ISI Yogyakarta dan Pimpinan beserta panitia Dies Natalis XXXII ISI Yogyakarta
31 SELASA MEI 2016
Seminar Nasional “Seni sebagai Gerakan Sosial Budaya” Pukul : 08.00 – 14.30 WIB Tempat : di GKU FSP ISI
Pameran dan Penayangan Seni
Yogyakarta
Media Rekam
Pembicara : 1. Hilmar Farid, Ph.D 2. Prof. Heru Nugroho
Pukul : 19.00 WIB Tempat : di Galery Fakultas Seni Media Rekam
3. Garin Nugroho Undangan : 250 Peserta Pergelaran Seni Pertunjukan Pukul : 19.00 WIB Tempat : di Concert Hall ISI Yogyakarta
KOMIK
B U L E T I N KON T E M P OR E R
Ilustrasi : Bio Andaru/ Patung 2012
20