EDITORIAL
Berjiwa kompetitif bukanlah sesuatu yang keliru. Berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik tentunya merupakan hal positif untuk dilakukan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut.
Seperti halnya Universitas Sebelas Maret dalam keinginannya untuk meningkatkan akreditasi. Lantas terbentuklah World Class University sebuah program bergengsi guna memfasilitasi mahasiswa asal luar negeri.
Namun, apakah dalam penerapannya World Class University ini berjalan seindah slogannya? Bagaimana mahasiswa asing bersosialisasi, menyesuaikan diri dan apa saja kesulitan yang mereka hadapi akan kita bahas dalam buletin ini.
SURAT PEMBACA
Buletin Acta Diurna 33
Terbit 27 Desember 2021
Untuk mahasiswa angkatan di atas 2021 mungkin beberapa masih mengalami kesulitan dalam melalui fase perpindahan dari siakad old ke siakad new. Karena terbiasa dengan interface lama dan tidak adanya sosialisasi. Namun, untuk mahasiswa angkatan 2021 sendiri tidak begitu mengalami dampak yang begitu signifikan karena sejak awal kami sudah diarahkan untuk menggunakan siakad new dalam hal mengurus data-data kemahasiswaan.
MBKM ini kesempatan untuk kami mahasiswa yang sebelumnya cuma berenang di kolam renang untuk terjun ke laut bebas. Excited, deg deg an, happy jujur kami rasakan saat Pak Nadiem memberikan kesempatan ini. Memang ini semua pengalaman pertama kali baik dari pihak kampus maupun kami, tetapi kami berharap pihak kampus dan penyelenggara memberikan antusias yang sama untuk terus menyukseskan program MBKM. Mahasiswa happy dan sukses, kampus pun dapat pujian dari pak menteri.
LPM VISI Gd. 2 Lt. II FISIP UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, email: redaksilpmvisi@gmail.com
Ambisi UNS Menjadi World Class University: Kompeten atau Haus Pengakuan?
Ilustrasi : Zulfa
Dewasa ini, pertukaran mahasiswa lintas negara bukanlah suatu hal yang asing dalam dunia perkuliahan. Selain untuk menunjang sisi positif universitas, mahasiswa internasional juga menjadi sarana belajar mahasiswa lokal dalam mempelajari budaya asing. Tetapi bagaimana dengan keadaan mereka ketika perkuliahan berlangsung? Kali ini VISI akan mengulas tentang bagaimana fakta di balik World Class University yang diemban oleh UNS.
Berdirinya sebuah universitas sejatinya ingin mengejar capaian-capaian terbaik menurut versinya. Berbagai ajang dan kompetisi baik secara nasional maupun internasional akan terus diikuti. Kejuaraan yang diraih pun nantinya menjadi salah satu bekal utama untuk menjadi lembaga pendidikan yang terpandang, baik di negara sendiri maupun di mata dunia. Beriringan dengan prestasi yang terus dikejar, tentunya fasilitas yang memadai juga terus dikembangkan untuk menyeimbangi kehebatan yang telah digenggam. World Class University
(WCU) menjadi titel yang diidam-idamkan oleh banyak universitas di Indonesia, termasuk Universitas Sebelas Maret (UNS). Prestasi UNS berupa kejuaraan dalam perlombaan nasional maupun internasional menjadi hal yang sudah biasa didengar. Dengan prestasi yang telah banyak diraih, UNS juga mulai memberikan celah dan kesempatan bagi mahasiswa dari kancah internasional untuk merasakan menimba ilmu di UNS. Dengan begitu, UNS dirasa telah mampu memberikan fasilitas yang memadai bagi mereka mahasiswa internasional. Adaptasi
yang dilakukan oleh para mahasiswa internasional pun sangatlah panjang prosesnya.
Oleh karena itu, detail kecil sebagai universitas yang bersedia menerima mahasiswa internasional harus diperhatikan dan dipenuhi agar benar-benar berkompeten memenuhi kriteria sebagai World Class University. Namun, apakah UNS menerima mahasiswa Internasional semata-mata untuk menjadikan mereka sebagai tolak ukur WCU? Ataukah UNS benar-benar telah mampu memberikan pendidikan bertaraf Internasional?
“Keberadaan mahasiswa asing sangat diperlukan untuk meningkatkan rating UNS dalam peringkat global. Dalam rangking Universitas, salah satu yang dinilai adalah adanya mahasiswa asing. Hal ini sebagai tolak ukur juga, apakah universitas ini menarik bagi mahasiswa asing,” ujar dosen program studi Hubungan Internasional, Bintang Indra Wibisono, S.Hub.Int, M. A, saat dihubungi VISI. Bintang menambahkan bahwa apabila universitas dipandang menarik, maka akan semakin banyak mahasiswa asing yang menginginkan menimba ilmu di Indonesia.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) merupakan salah satu fakultas yang telah membuka lebar peluang dalam menerima mahasiswa internasional. Pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2019, terdapat sekitar lima mahasiswa internasional yang tersebar di program studi Hubungan Internasional, Sosiologi, dan Ilmu Komunikasi. Di antaranya adalah berasal dari Jepang dan Timor Leste. Lalu di tahun 2021 kemarin, FISIP kembali menerima mahasiswa asing yang berasal dari Namibia, Afrika Selatan.
UNS sendiri tidak menyediakan kelas khusus dalam proses perkuliahan bagi mahasiswa internasional. Mereka akan berbaur sepenuhnya dengan mahasiswa asli Indonesia di keseharian proses belajar mereka. Sebelum membawa mereka ke dunia pembelajaran, mahasiswa internasional difasilitasi kelas bahasa Indonesia karena nantinya bahasa Indonesia tetap akan dijadikan sebagai bahasa utama selama perkuliahan.
“Tahun pertama di Indonesia, saya mengikuti kelas bahasa dari kantor internasional UNS, lalu banyak bertemu dengan teman-teman dari Indonesia dan belajar bahasa,” ungkap Yukiko (22), mahasiswi Sosiologi angkatan 2019 asal Jepang saat dihubungi VISI (7/6). Yukiko sendiri menambahkan bahwa tidak ada perlakuan khusus yang diberikan UNS ataupun dosen kepada mahasiswa internasional.
Meski telah difasilitasi kelas bahasa Indonesia jauh sebelum perkuliahan berlangsung, mahasiswa asing mengaku bahwa mereka masih menjadikan komunikasi sebagai masalah besar yang dihadapi selain culture
shock. Tak hanya dirasakan oleh mahasiswa internasional, kesulitan dalam berkomunikasi juga dirasakan oleh teman-teman sekelas yang berasal dari Indonesia pada saat mendapatkan tugas kelompok bersama. Dewina (19), teman sekelas mahasiswa asal Namibia, mengaku bahwa kendala komunikasi juga terjadi pada mahasiswa yang kurang fasih dalam berbahasa Inggris. Padahal bahasa Inggris menjadi bahasa alternatif ketika mahasiswa Internasional sulit memahami bahasa Indonesia. Hal itu tidak jarang menyebabkan terjadinya miskomunikasi.
Tak berhenti pada mahasiswa asal Indonesia, kendala dengan mahasiswa internasional juga dialami oleh dosen pengampu di beberapa mata kuliah. Komunikasi masih menjadi masalah utama dalam perbincangan kali ini. Bintang, dosen Hubungan Internasional kembali menerangkan bahwa mahasiswa internasional belajar berbahasa Indonesia ketika kuliah, sehingga jarak belajar bahasa dengan masa kuliah sangatlah dekat. Hal tersebut menyebabkan mereka kesulitan dalam mencerna materi. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa internasional yang kurang disiplin dalam menjalani perkuliahan, seperti terlambat dalam mengumpulkan tugas, hingga tidak mengikuti perkuliahan.
Jalan keluar yang dipilih dari permasalahan utama berupa kendala berkomunikasi ini diminimalisir dengan penggunaan bahasa Inggris. Sehingga dosen menjadi tak jarang menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan materi dan memberikan kelonggaran bagi mahasiswa Internasional untuk menjawab ujian dengan bahasa Inggris.
Meskipun sudah saling menutup kekurangan satu sama lain, tak bisa dipungkiri bahwa untuk menuju WCU akan mengalami banyak rintangan terutama dalam segi bahasa dan komunikasi. Menurut Bintang, “Memperkenalkan situasi kampus termasuk dalam segi administrasi dan belajar bahasa yang lebih matang untuk membantu mereka bertransisi, menjadi hal yang diharapkan untuk dilakukan oleh UNS.”
Culture Shock dalam Dua Sisi
: Zulfa
Universitas Sebelas Maret (UNS) memberikan kesempatan seluruh mahasiswa baru, termasuk dari mancanegara untuk berkuliah di UNS. Setiap tahunnya, UNS menerima mahasiswa internasional dari ber-bagai negara dengan tujuan program studi yang berbeda-beda. Tahun 2021, program studi S1 Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS menerima mahasiswa internasional asal Namibia bernama Vezembouua Katire yang kerap disapa Vezembouua. Tim VISI berkesempatan mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan Vezembouua sebagai mahasiswa internasional, khususnya dalam menghadapi culture shock di perkuliahan.
Vezembouua menyatakan bahwa ini merupakan kali pertama Ia menimba ilmu di negeri orang. Sesuai pengalaman yang dimiliki, Vezembouua merasa bahwa sistem pendidikan di Indonesia dan Namibia memiliki kemiripan, seperti adanya seleksi masuk perguruan tinggi. Berbagai universitas dan kualifikasi yang ada di Indonesia juga diakui di Namibia, dengan kata lain universitas di Indonesia memiliki level yang sama dengan universitas di Namibia. Namun, karena pembelajaran masih menggunakan sistem daring, Vezembouua belum merasakan perkuliahan di UNS secara maksimal.
Vezembouua beranggapan mahasiswa lokal dari Indonesia bersikap baik. Mereka selalu terkejut setelah
mengetahui Ia berasal dari luar negeri. Mereka juga tertarik dengan bertanya kepada Vezembouua berbagai macam hal, mulai dari mengapa Ia memilih Indonesia, kapan Ia akan mulai belajar bahasa Indonesia, hingga bagaimana pendapatnya soal makanan lokal.
Saat ini, Vezembouua sudah berada di Indonesia selama kurang lebih 3 bulan. Namun, Ia masih belum mengetahui berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan agar dapat terbiasa hidup di Indonesia. Perbedaan budaya yang cukup jauh membuat Vezembouua mengalami culture shock, terutama mengenai makanan. Dia menganggap beberapa makanan Indonesia memiliki rasa pedas, sehingga harus membiasakan diri dengan
hidangan tersebut. Untuk sementara ini, Vezembouua merasa belum menemukan banyak culture shock, tetapi Ia yakin kedepannya akan banyak tantangan yang akan dihadapi.
Adanya perbedaan budaya yang cukup signifikan ini membuat Vezembouua belum bisa beradaptasi sepenuhnya. Vezembouua mengungkapkan, ia belum pernah berkomunikasi dengan mahasiswa internasional lain, sehingga belum mendapat teman sesama mahasiswa internasional untuk berbagi cerita mengenai culture shock. Meskipun begitu, teman-teman dari Indonesia bersedia membantu Vezembouua dalam perkuliahan dan beradaptasi dengan lingkungan UNS.
Tim VISI juga berkesempatan mendapatkan pandangan lain dari sisi mahasiswa lokal bernama Nurul Khasanah atau lebih sering disapa Nurul. Nurul merupakan mahasiswa program studi S1 Sosiologi FISIP UNS. Saat ini Nurul duduk di semester dua dan memiliki pengalaman satu kelas dengan mahasiswa internasional asal Namibia. Awalnya, Nurul takut tidak bisa berkomunikasi dengan efektif karena keterbatasan bahasa yang dialaminya. Terlebih pada semester pertama, Nurul merasa kemampuannya kurang, sehingga harus menerjemahkan berbagai informasi yang hendak disampaikannya ke dalam Bahasa Inggris. Meski begitu, Nurul juga merasa senang karena mendapat teman baru yang memiliki latar belakang berbeda dengannya. Culture shock yang dipandang Nurul dari mahasiswa internasional lebih ke arah perbedaan bahasa. Tidak
adanya kelas internasional di UNS membuat mereka harus menjalani proses perkuliahan dengan Bahasa Indonesia. Padahal, banyak mahasiswa internasional yang belum fasih dalam menggunakannya. Hal ini tentu membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang dosen ajarkan, sehingga hanya dapat mengandalkan Power Point dan Google Translate. Meski merasa iba, Nurul mengaku tidak bisa banyak membantu. Usaha yang dapat dilakukannya hanya sebatas membantu menerjemahkan tugas ke bahasa Inggris atau sebaliknya. Walaupun terdapat perbedaan mendasar khususnya di bidang bahasa, Nurul merasa tidak ada diskriminasi dari mahasiswa lokal terhadap mahasiswa internasional. Malah, Nurul dan mahasiswa lokal lain bersedia untuk membantu jika mereka mengalami kesulitan. “Kalau ada kesulitan, jangan ragu untuk meminta bantuan mahasiswa lokal,” tutur Nurul di akhir wawancara.
PROFIL
Mengulik Kisah Amba, Mahasiswa
Timor Leste saat Berkuliah di UNS
Alcino Lelo Bele Gouveia atau yang biasa dipanggil “Amba” adalah salah satu mahasiswa internasional UNS semester 4 jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik angkatan 2020. Amba sendiri lahir di Oeleu, 14 Oktober 1998 dan dibesarkan di Timor Leste, tepatnya di Desa Oeleu, Sub Distrik Bobonaro. Sebelum berkuliah di UNS, Amba mengaku bahwa dirinya pernah berkuliah di salah satu universitas yang ada di Timor Leste. Namun, setelah mendapat dorongan dari salah satu temannya yang berhasil lolos masuk UNS, dia pun mencoba peruntungannya dengan mendaftar program beasiswa pertukaran pelajar mahasiswa internasional yang terdapat di UNS.
Mahasiswa Internasional merupakan warga negara yang sedang menempuh pendidikan di negara lain melalui program beasiswa maupun program lainnya. Universitas Sebelas Maret (UNS) adalah salah satu perguruan tinggi yang turut andil dalam menerima mahasiswa internasional melalui program pertukaran pelajar setiap tahunnya. Hal tersebut tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi UNS karena tidak semua universitas dapat menyelenggarakan program ini. Namun, mengapa para mahasiswa internasional ini memilih UNS sebagai tempat belajarnya? Apa yang melatarbelakangi mereka sehingga akhirnya memutuskan untuk memilih UNS sebagai kampus pilihan mereka? Pernyataan dari salah satu mahasiswa asal Timor Leste ini mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Amba kemudian bercerita mengenai perjuangannya demi mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di UNS, mulai dari mencari informasi tentang UNS di laman Facebook, mencari informasi mengenai persyaratan beasiswa UNS, hingga bagaimana teknis pendaftaran yang diterapkan. Setelah selesai menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan, Amba lalu mendaftar melalui website resmi UNS. Rangkaian tes Ia jalani, mulai dari tahap pertama, yaitu seleksi administrasi, kemudian tahap kedua yaitu tes wawancara secara online melalui Whatsapp dan tahap akhir yaitu pengumuman.
Ketika diwawancarai sebelumnya, Amba bercerita, “Sebelum mendaftar beasiswa di UNS, awalnya saya mencari informasi melalui laman Facebook UNS. Mulai dari persyaratan sampai pada teknis pendaftaran yang ada. Setelah itu, saya menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa tersebut, baru kemudian saya mendaftar lewat website resmi UNS”.
Setelah resmi menjadi mahasiswa UNS, Amba mau tak mau harus beradaptasi dengan sistem kampus, teman-teman dan segala hal yang berhubungan dengan perkuliahan, seperti bahasa, perbedaan waktu, lingkup mahasiswa atau organisasi dan lain-lain. Bagi
Amba, linguistik sedikit banyak menjadi hambatan selama perkuliahannya. Menurutnya, lebih mudah untuk memahami orang yang menggunakan atau berbicara dengannya menggunakan bahasa Indonesia, meskipun Ia sendiri masih terbata-bata dalam berbahasa Indonesia. Amba sendiri juga mengaku tidak mengambil kursus bahasa Indonesia, karena di Timor Leste bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa bisnis dan juga diajarkan pada kurikulum sekolah walaupun secara nonformal. Selain itu, Ia juga bercerita bahwa dirinya belajar bahasa Indonesia melalui media sosial. Interaksi dengan teman-teman juga bukan masalah serius bagi Amba. Meskipun dirinya belum pernah mengikuti perkuliahan secara luring, tetapi Ia masih bisa berkomunikasi dengan teman-temannya melalui Whatsapp. Perkuliahan yang selama ini masih dilakukan secara daring menimbulkan beberapa kesulitan baginya, seperti kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan dengan bahasa Jawa, serta
isu politik yang seringkali dibahas dalam perkuliahan. Untuk mengatasi hal tersebut, dirinya kerap bertanya kepada teman sekelasnya dalam memahami materi yang tidak Ia pahami. Selain itu, meskipun Ia berasal dari ras dan negara yang berbeda, Amba tidak pernah mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh dosendosen yang mengajarnya maupun teman-teman satu prodi yang sama dengannya.
“Untuk interaksi dengan teman sih bukan masalah yang serius buat saya, biasanya saya berkomunikasi dengan teman-teman Indonesia menggunakan Whatsapp karena saya belum pernah secara langsung pergi ke kampus” jelas Amba ketika ditanyai perihal cara dia berkomunikasi dengan teman-temannya selama perkuliahan masih dilakukan secara daring.
Selain itu, seperti mahasiswa yang kuliah daring umumnya, Amba sendiri juga mengaku bahwa dirinya mengalami beberapa kesulitan, “Untuk kesulitan yang saya hadapi selama perkuliahan online, mungkin ketika ada beberapa dosen yang menyampaikan beberapa materi dalam Bahasa Jawa dan juga saya yang kurang faham juga mengenai sistem perpolitikan yang ada di Indonesia”.
RETORIKA
Tersandung Pandemi, Organisasi dan UKM Bukan Waktunya Bersemi
Pandemi menjadi batu sandungan berbagai kalangan, termasuk kawula muda yang tengah meraih cita dan pupus begitu saja. Dengan pengaruh besar di berbagai bidang, Covid-19 yang melanda Indonesia pada Maret 2020 membuat saya mengikhlaskan diri. Sebagai lulusan 2020 atau banyak orang bilang “lulusan covid”, menjadi mahasiswa dengan perubahan lingkungan yang tak terduga membuat frustrasi. Impian menjadi mahasiswa “beneran” harus ditahan dulu. Bagaimana rasanya kuliah luring, bertemu teman baru, makanan kantin, hingga seberapa bersihnya kamar mandi kampus cukup dibayang angan saja. Organisasi dan unit kegiatan mahasiswa yang biasanya menjadi sarang menampung bakat dan kegiatan mahasiswa pun terkesan hanya opsi mengisi waktu luang. Sebagai kegiatan diluar kuliah, mengikuti organisasi atau UKM menjadi pilihan tepat untuk menambah relasi, pengalaman, dan juga upgrade skill. Namun kenyataannya, pandemi menjadi sandungan untuk mahasiswa dan organisasi/UKM tersebut. Larangan tatap muka membuat kegiatan perkuliahan saja tidak efektif, apalagi kegiatan luar kuliah yang membutuhkan partisipasi aktif dan interaktif akan sulit.
Dalam beberapa kasus, mahasiswa cenderung berpikir pada kesulitan akses dalam berorganisasi saat pandemi. Mereka yang jauh dari lokasi kampus dan yang dekat dari kampus secara tak langsung membangun perbedaan yang jelas. Bagaimana anak rantau harus berkomunikasi melalui device dan menatap layar saja. Sementara mereka yang dekat dapat berkomunikasi secara langsung.
Dengan adanya pandemi juga membuat pola pikir mahasiswa untuk mempertimbangkan banyak hal. Selain akses dan juga adaptasi, rasa nyaman di rumah dapat membuat mahasiswa enggan untuk menambah tugas dan fokus kuliah saja. Terkadang, waktu di rumah tersita oleh kegiatan lain yang dampaknya dapat dirasakan langsung seperti bekerja paruh waktu dan membantu orang tua.
Keterikatan organisasi dan UKM juga membuat mahasiswa berpikir dua kali. Bagaimana jika seseorang harus berhenti ditengah jalan karena masalah pandemi? Atau keadaan membuat dia tak kunjung mendapat kesempatan datang langsung ke kampus? Dengan mengikuti volunteer menjadi solusi baik saat diri ingin meningkatkan skill, pengalaman, dan relasi tanpa terikat organisasi atau UKM. Faktor internal lain adalah mahasiswa merasa organisasi atau UKM yang ada tidak membantu peningkatan dan memilih untuk berkegiatan di luar kampus. Hal itu bisa terjadi karena organisasi atau UKM itu sendiri harus bertahan ditengah pandemi. Di mana posisinya sulit untuk menarik banyak sumber daya manusia atau berinovasi dan menyesuaikan keadaan. Bagi saya, faktor dari mahasiswa itu sendiri serta orang-orang dibalik kepengurusan organisasi atau UKM yang bertanggung jawab terhadap penurunan minat berorganisasi. Walau tidak menampik fakta bahwa kampus juga lebih bertanggungjawab untuk mendampingi dan membantu proses perbaikan dan kemudahan. Dengan penurunan minat keaktifan ini bukanlah hal baik namun juga bukan akhir dari segalanya karena mahasiswa, organisasi/UKM dan pihak kampus memerlukan waktu untuk penyesuaian.
Film Srimulat, Mengenang Pelawak Riang yang Dirindukan
Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama, tayang perdana pada 19 Mei 2022 lalu. Film yang merupakan hasil garapan dari sutradara muda Fajar Nugros ini menampilkan sejumlah aktor/aktris muda tanah air, yang bisa dibilang baru saja terjun ke dalam film bergenre komedi. Bio One sebagai salah satu pemeran utama, mendapatkan perhatian paling banyak dari penonton akibat fisiknya yang berubah drastis demi memerankan sosok Gepeng.
Film yang menceritakan tentang perjalanan grup lawak ternama Indonesia yang melegenda ini menceritakan bagaimana mereka memulai karirnya di kota Solo, tepatnya di teater Sriwedari, hingga pada akhirnya memutuskan untuk memulai karir baru di Ibu kota. Dalam keberjalanannya di Ibu Kota, Srimulat tidak selalu mendapat jalan yang mulus, kesulitan berbahasa indonesia, kagok dengan kehidupan Ibu kota, diremehkan karena merupakan pendatang, dan berbagai kesulitan lainnya.
Fajar Nugros selaku sutradara menyajikan komedikomedi khas Srimulat yang membuat penonton ikut bernostalgia saat menontonnya. Berbagai mimik, lawakan, ledekan, gerak-gerik, suasana pentas dari panggung ala ketoprak, hingga bersolek khas bintang televisi di era ‘80-an disajikan dengan apik selama kurang lebih dua jam durasi penayangan. Bahkan muda-mudi masa kini pun mampu turut merasakan euforia yang ada di era 80-an saat menonton Srimulat:
Hil yang Mustahal Babak Pertama. Hal ini membuktikan bahwa suasana pentas dan lawakan yang dibawakan benarbenar sukses dan tersaji dengan sangat baik.
Namun di sisi lain, film Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama sempat menjadi buah bibir lantaran dinilai kurang detail dalam menyajikan kisah perjalanan dari grup lawak legendaris Indonesia ini. Hal ini dikarenakan film tersebut dinilai memiliki garis cerita yang kurang terfokuskan pada sejarah Srimulat. Kisah di balik para anggota Srimulat sampai akhirnya bisa tampil di Ibu Kota pun tak dijelaskan secara detail di dalam film. Hal yang paling menarik perhatian adalah dialog antara tokoh Kabul dan anaknya sesaat sebelum keberangkatannya ke Ibu Kota. Padahal dialog tersebut berdampak signifikan hingga akhirnya tokoh Kabul bisa melahirkan karakter baru bernama Tessy yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Lalu, seperti bagaimana sulitnya srimulat menjalani hidup di Ibu kota dan diterima di sana, hal tersebut akan lebih membangun ikatan yang ada antara film dengan penonton. Namun, seperti judulnya, film ini merupakan babak pertama dari perjalanan Srimulat. Banyak penonton yang berasumsi bagian-bagian yang tak secara detail diceritakan akan terjawab pada babak-babak berikutnya. Terlepas dari hal itu, adanya film Srimulat ini diharapkan dapat memperkenalkan grup lawak ini pada masyarakat, terutama generasi muda.