9 minute read

LAPORAN KHUSUS

Next Article
SPEKTRUM

SPEKTRUM

Menjaga Demokrasi di Kala Pandemi

PROSES KAMPANYE - Selain kampanye virtual para paslon juga menggunakan alat peraga untuk berkampanye. salah satunya adalah dengan memasang baliho dan poster paslon di berbagai sudut jalan Kota Solo (Dok.VISI/Gede)

Advertisement

Pandemi Covid 19 memang belum berakhir. Namun, semarak menyambut pemilihan serentak telah menggema di seluruh penjuru negeri. Pesta demokrasi yang identik dengan sebuah ajang perayaan yang meriah, kini telah berubah menjadi momen untuk berserah. Teknologi menjadi salah satu solusi menghadapi masa sulit ini.

Wabah virus corona yang tengah melanda dunia ini, mengakibatkan berbagai perubahan di segala aspek kehidupan. Mulai dari bidang ekonomi, pendidikan, sosial, serta politik pun terkena imbasnya. Salah satu dampak pandemi ini menyebabkan mundurnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Memasuki era tatanan baru (new normal), sistematika berkampanye dalam rangka Pilkada serentak 2020 turut mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dengan menerapkan konsep protokol kesehatan, tata cara berkampanye di era pandemi ini nampaknya akan menuai predikat ‘pertama kalinya’ sepanjang sejarah Indonesia dengan sistem kampanye yang berbeda.

Solo sebagai salah satu kota yang ikut menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 menyuguhkan pertarungan Gibran-Teguh yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melawan Bagyo-Suparjo yang maju melalui jalur independen. Hal ini cukup menarik mengingat latar belakang kedua paslon yang cukup berbeda dari segi sosial dan ekonomi. Perbedaan itulah yang membuat Pilkada Solo kali ini menyimpan banyak tekateki.

Pilkada New Normal

Pilkada 2020 merupakan sebuah momentum penting bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan Pilkada yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 menuai perdebatan dari banyak pihak. Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan kampanye menjadi salah satu usaha untuk mencegah lonjakan kasus baru Covid-19 di Indonesia. Meskipun demikian, Kota Solo melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki berbagai strategi kampanye dalam rangka memeriahkan pesta demokrasi yang akan digelar Desember mendatang. “Kemarin berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang sudah ada, peraturan-peraturan yang sudah ada itu, kemungkinan tetap akan ada perubahan, karena tetap disesuaikan dengan protokol covid,” ungkap Puji Kusmarti, Komisioner KPU Surakarta, saat ditemui VISI pada Rabu (16/09/2020).

Penetapan aturan khusus kampanye yang disesuaikan dengan protokol kesehatan juga telah ditetapkan oleh KPU. Beberapa contoh seperti menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, serta memakai handsanitizer. Pembatasan massa yang berpotensi menimbulkan kerumunan menjadi

salah satu aturan tegas dalam kampanye di tengah pandemi. Di samping itu, pelaksanaan debat antar pasangan calon hanya berjumlah maksimal 2 kali dengan penonton maksimal 50 orang.

Menurut Puji, pelaksanaan kampanye Pilkada Solo didasarkan pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh PKPU. Ia mengungkapkan bahwa intensitas pelaksanaan kegiatan yang mengandung unsur tatap muka akan dibatasi.

“Kalau kegiatan tatap muka maksimal 50 orang, untuk kegiatan rapat umum 100 orang kalau tidak salah,” imbuh Puji.

Hal ini dilakukan agar pelaksanaan Pilkada 2020 nantinya tidak memunculkan kasus baru penyebaran Covid-19. Untuk mempermudah pengawasan, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan langsung turun tangan dan

PASANGAN CALON WALIKOTA DAN

WAKIL WALIKOTA SOLO - Potret kampanye virtual (kiri) dan antusiasme warga Solo dalam mengawal pasangan calon walikota dan wakil walikota (kanan) (Dok. Internet)

memberikan sanksi apa bila terjadi pelanggaran protokol kesehatan oleh oknum tertentu.

KPU Solo sendiri telah menyiapkan sebanyak 1.321 Tempat Pemungutan Suara (TPS), dimana setiap RW memiliki masingmasing satu TPS. Untuk mencegah kemacetan antrean, KPU menerapkan sistem kloter dan jadwal tiap kloter yang sudah ditentukan. Sebelum memasuki lokasi pemungutan suara, panitia akan melakukan pengecekan suhu tubuh kepada para pemilih. Pemilih yang lolos tahap pengecekan, dipersilakan memasuki bilik untuk segera mencoblos pasangan calon.

Kampanye Daring Dinilai Efektif

Persiapan Pilkada 2020 tak hanya dilakukan oleh KPU saja. Partai politik yang ikut serta dalam Pilkada juga mempersiapkan strategi khusus guna melakukan kampanye di masa pandemi. Strategi dalam berkampanye menjadi kunci dalam merebut hati masyarakat. Kampanye di tengah pandemi merupakan tantangan berat bagi para paslon, sebab banyak pembatasan dan kebutuhan yang perlu disesuaikan.

Perkembangan teknologi komunikasi menjadi solusi alternatif tim sukses dan paslon dalam melakukan kampanye kepada masyarakat. Hal ini juga tengah dirasakan Hami’ Mujadi, dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hami’ mengungkapkan bahwa kampanye di masa seperti ini, sangat memanfaatkan media massa seperti pemasangan spanduk dan penggunaan media sosial. Hal ini merupakan strategi alternatif dalam mengumpulkan suara masyarakat, dibandingkan dengan pertemuan yang sifatnya mengumpulkan banyak massa. Ia juga mengatakan, pendekatanpendekatan secara door to door kepada para tokoh agama juga menjadi salah satu strategi kampanye.

Hami’ berharap strategi pendekatan ini nantinya dapat tersampaikan melalui para tokoh agama dan organisasi masyarakat (ormas) kepada masyarakat. Selain itu, Partai Amanat Nasional (PAN) memilih penyebaran isu sebagai strategi yang dipilih untuk membangun ketertarikan masyarakat terhadap paslon yang diusung. “Pada dasarnya, kampanye merupakan seni mempengaruhi orang,” tegas Hami’ saat ditemui VISI pada Sabtu (12/09/2020).

Alternatif kampanye di era pandemi lainnya ialah dengan mengusung konsep virtual, termasuk pemanfaatan zoom meeting sebagai sarana pertemuan dan mempromosikan paslon. Melalui dunia maya, partai politik dapat mengoptimalkan media sosial untuk kebutuhan kampanye. Pemanfaatan media sosial dipercaya dapat meminimalisir resiko bentrokan fisik antar pendukung. Melalui media sosial pula, penjadwalan pun lebih fleksibel. “Mau kapan pun juga bisa, mau menyampaikan visi misi apapun itu bisa lewat media sosial,” ujar Puji.

Pemanfaatan teknologi merupakan suatu hal positif sebagai upaya memaksimalkan agenda kampanye politik. Puji juga mengatakan bahwa, pemanfaatan media sosial sebagai wadah untuk kampanye mempunyai tujuan untuk mengedukasi dan mendorong anak muda agar sadar politik.

Menurut masyarakat Solo, kampanye daring dinilai efektif dilakukan di tengah masa pandemi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dengan adanya metode ini, pemaparan visi misi dapat tersampaikan dengan jelas tanpa harus melibatkan kerumunan. “Memaparkan visi misi via daring itu menurut saya sudah cukup efektif,” jelas Sri Lestari saat ditemui VISI Senin (21/09/2020).

Harapan Masyarakat

Upaya yang dilakukan semua pihak menjadi sebuah kesadaran bahwa, kendala dimasa pandemi ini dapat diatasi dengan kerja sama dan tetap mematuhi aturan yang ada. Harapan serupa diungkapkan oleh Puji agar nantinya Pilkada tahun ini tidak menjadi klaster baru penyebaran Covid 19. “Sama-sama mentaati protokol Covid-19, mentaati aturan yang sudah di berikan oleh KPU, supaya kita sama-sama yok jaga Solo yang kondusif,” pungkas Puji.

Puji juga mengungkapkan bagi siapa pun yang nantinya terpilih untuk memimpin Kota Surakarta lima tahun ke depan, ia berpesan agar kebijakan-kebijakan untuk mendukung demokrasi tetap berjalan lebih baik lagi. Kebijakan tersebut dapat berupa pemahaman pendidikan demokrasi kepada setiap golongan masyarakat. Permasalahan-permasalahan seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan fisik dan programprogram dari Pemimpin sebelumnya tetap dijalankan serta lebih ditingkatkan.

Hami’ Mujadid berharap partisipasi masyarakat dalam pilkada Solo 2020 bisa diatas 70% dan bersih dari praktik politik uang. “Mudahmudahan pilkada ini menjadi pilkada yang lancar, antusias, dan melahirkan kepemimpinan yang lebih baik,” imbuhnya.

Humaira, Oktaviera, Mayang

Ilustrasi: Naila

Krisis Identitas di Pilkada Kota Solo

Muhammad Alif Alauddin, Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS malifaaa@gmail.com

Ben Anderson, profesor emeritus Kajian Asia di Cornell University melakukan telaah antropologis tentang budaya politik masyarakat Indonesia pada tahun 1990. Kompilasi penelitian politik-kebudayaan tersebut dibukukan dan diterbitkan dengan judul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia yang hingga saat ini menjadi acuan berbagai lembaga think tank serta rujukan pustaka disertasi para pakar politik nusantara. Pembahasan utama telaah ilmiah Anderson berpijak pada komparasi budaya politik antara masyarakat Jawa dan Eropa Barat yang terletak pada hal-hal magis, simbolik serta abstrakkonkret. Menurut Anderson, siasat berpolitik masyarakat Jawa sejak zaman kerajaan hingga demokrasi sangat menjunjung tinggi penokohan yang didasari pada kesadaran-kesadaran semu.

Anderson melihat selama ini peta politik masyarakat Jawa sangat ajeg. Bertumpu pada warisan budaya nenek moyang yang terus dijaga turun-temurun. Tidak mengindahkan sistem monarki ataupun demokrasi, budaya tersebut tetap eksis melampaui masa. Salah satu

tersebut tetap eksis melampaui masa. Salah satu ide politik yang paling diyakini yaitu sumber kekuasaan yang bersifat homogen. Tunggal. Konsepsi ini meyakini bahwa kekuasaan berada pada genggaman individu atau kelompok yang mendominasi pada subkultur masyarakat. Hal ini berimbas pada tidak tersebarnya pemahaman akan kekuasaan serta menjadikan kelompok lain yang tidak dominan seolah mati kutu terhadap literasi politik. Kaitannya dengan Pilkada Kota Solo, tanpa perlu menyebutkan pasangan calon (paslon) mana yang mengadopsi sistem tersebut, percaturan merebutkan kursi AD 1 kini menjadi sia-sia. Seluruh sumber politik telah dikooptasi oleh paslon yang mewarisi kekuasaan nasional hari ini. Alih-alih menggunakan hak politik, pencalonan mereka sudah sangat jauh dari etika dan karakter pemimpin abad modern yang seharusnya berdiri sendiri tanpa bayangbayang famili. Maka, sebenarnya kontestasi Pilkada Solo kini secara de facto sudah selesai. Telah dimenangkan telak oleh paslon yang dalam telaah Anderson digambarkan sebagai premis pemikiran masyarakat Jawa yang menguasai sumber kekuasaan. Pesta demokrasi yang seharusnya dirayakan rakyat dengan gegap gempita menyambut pemimpin baru kini hanya sebatas dongeng belaka. Ruang publik telah bulat diinfiltrasi dengan praktek-praktek penguasaan tunggal politik dinasti. Tak ada lagi saling hebathebatan mendukung jagoan masing-masing. Angkringan tak lagi dipenuhi dengan debat kusir anak muda yang berdebat paslon mana yang akan menang. Kedai kopi tak lagi sehangat konsolidasi politik yang acapkali dilakukan menjelang pemilu. Aktivis kampus tidak lagi direpotkan dengan kerja-kerja sukarela mengawal money politics. Karena seluruh muara percakapan publik mulai dari elit pebisnis hingga penjual es keliling pasti mengamini bahwa mereka yang akan memimpin Kota Hadiningrat ini.

Bangsa Simbolik

Sudah lama cara berpolitik kita sebagai negara-bangsa modern, terkhususnya masyarakat Jawa, terjebak dalam pusaran praktik simbolik. Nestapa rasanya Indonesia yang mengedepankan asas keterwakilan dan partisipasi publik tidak menjalankan fungsi demokrasi yang semestinya. Cara berpikir kita sebagai civil society telah dicuci dengan slogan magis yang sebenarnya merupakan simbol belaka. Kita terlalu banyak menelan katakata hebat yang sarat makna, sekadar diucapkan sebagai komoditas politik. Coba perhatikan, kita nukil satu contoh, percakapan sehari-hari menjelang pemilu di level manapun baik pemilihan Presiden, Gubernur, Wali Kota, Kelurahan hingga ketua Rukun Tetangga (RT) sudah tak lagi asing dengan istilah milenial, kawula muda, dan segala hal yang mengecap ‘yang muda yang memimpin’. Maka berlomba-lomba mesin partai politik menggodok kader internal, membuat sayap underbow yang dikhususkan untuk mengkader simpatisan muda yang digadang-gadang akan menghidupi partai menggantikan generasi tua. Selain itu, tak jarang partai yang nekat merekrut anak muda dan didorong untuk bertarung di pemilu secara langsung. Satu-dua berhasil, ada juga yang gagal. Cara tersebut berdampak positif untuk memperpanjang nafas partai agar tetap hidup, namun sangat berbahaya bagi iklim demokrasi yang semestinya tumbuh dalam iklim intelektual dan didasari oleh pengalaman yang basah. Masalahnya, kita selama ini menempatkan anak muda hanya sebatas simbol. Anggapan bahwa anak muda merupakan representasi zaman adalah keliru. Sangat keliru. Justru cara berpikir demikian yang akan menggoyang stabilitas demokrasi. Asumsi kita berhenti pada kepemimpinan publik yang dinakhodai oleh anak muda. Setelah itu apa? Bangsa modern tidak lagi berkomunikasi menggunakan simbol sesederhana itu, apalagi dalam ihwal jabatan publik. Pemaknaan milenial seharusnya diartikan sebagai output kebijakan yang berorientasi pada kaum milenial, ramah kepada warganya sendiri seperti hangatnya sifat anak muda, ritme kerja pemerintahan yang prima, dan layanan publik yang tak berbelit. Begitu seharusnya kita menerjemahkan kata magis ‘milenial’ atau ‘anak muda’. Bukan sebagai simbol pemujaan guna mencapai kursi pemerintahan. Agaknya masyarakat Kota Solo masih terhipnotis. Terlebih sebagai etnis Jawa yang menginginkan pemimpin hadir langsung menyalami tangan-tangan mereka sebagai bentuk nyata (konkret), persis dengan penjelasan Anderson. Sudah saatnya masyarakat Kota Solo bangun dari tidur panjangnya. Sudah terlalu lama masyarakat Kota Solo nyaman dengan sikap apolitis, kini harus berdiri tegap melawan etatisme keluguan simbolik ala feodalisme. Pasti bisa.

This article is from: