12 minute read
SEKAKEN
Dinamika historis telah menayangkan bahwa mahasiswa memainkan peran penting dalam ranah politik. Hal tersebut terproyeksikan menjadi spektrum yang kompleks, khususnya mengenai Pilkada Solo 2020.
Status, usia, dan pengalaman Gibran menjadi polemik dalam kontestasi Pilkada Solo 2020, sehingga memunculkan pro dan kontra. Adanya resistensi dan kekacauan partai politik merupakan sebab ketidakpercayaan berbagai kalangan, tak terkecuali mahasiswa. Namun, tidak semua mahasiswa bersikap apolitis sebab terdapat sebagian dari mereka yang menjadi simpatisan. Sebut saja Andre (bukan nama sebenarnya), mahasiswa UNS yang menjadi salah satu relawan Gibran dalam Pilkada Solo 2020. Dirinya mengemukakan alasannya memilih Gibran karena Gibran merupakan sosok yang masih muda. “Ini momen yang baru dan apabila teman-teman yang masih muda bisa ikut ke ranah politik sejak dini mungkin
Advertisement
Daya Tarik Gibran di Kalangan Mahasiswa
LOGO RELAWAN MILENIAL - Gambaran logo relawan milenial Gibran yang menggambarakan semangat dan arah gerak dari relawan yang tergabung (Dok. Internet)
ke depannya ada sesuatu yang berbeda,” ujar Andre saat diwawancarai VISI (13/09/2020).
Dedikasinya pada Gibran ditunjukkan Andre dengan bergabung sebagai Relawan Forum Milenial (Formil), sebuah forum yang mengakomodir kelompok anak muda di Solo dengan tujuan agar mereka melek politik. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi anak muda di Solo yang masih cenderung apatis dan kurang peduli terhadap politik. Padahal mereka sudah memiliki hak untuk berpolitik. “Kalau kepedulian terhadap sekitar kurang, kemudian apabila kita salah memilih pemimpin, secara tidak langsung berdampak kepada kita,” jelasnya. Andre menuturkan bahwa menjadi relawan merupakan murni atas kemauan pribadi. Adapun sebagai seorang relawan, aksi nyata untuk Gibran dilakukan dengan memberi pemahaman kepada masyarakat dan kegiatan membagikan masker. Ia menambahkan “Kita mau membuat talkshow di kedai kopi, kita sharing, tapi garagara pandemi ini kemarin acaranya batal. Kemungkinan besar kalau ada kesempatan tetap dijalankan,” imbuh Andre. Tiyas Hariyani, dosen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), memandang masyarakat Solo memiliki kecenderungan mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Gibran. Sehingga basis massanya memang sudah besar. Tiyas juga mengatakan, jika mahasiswa menyatakan dirinya bagian dari kelompok politik tertentu, maka hal itu merupakan indikasi adanya pergeseran dalam konteks sistem politik. Mahasiswa berada di posisi input dan ouput. Input sebagai aspirasi atas pembentukan opini publik, sedangkan output merupakan bagian pengawas hasil kebijakan setelah masuk ke dalam proses. “Apabila mahasiswa memilih berada di bagian proses, maka kalau dia mau ikut parpol, lepaskan dulu atribut mahasiswanya itu,” ujar Tiyas.
BAGI MASKER - Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan relawan millenial Gibran ialah dengan melakukan kegiatan sosial berupa pembagian masker gratis saat terjadinya pandemi Covid-19 (Dok. Internet)
Kemudian Tiyas juga berpendapat bahwa motif mahasiswa menjadi relawan merupakan bagian dari gerakan politiknya. Ketika sudah mengawali peran sebagai seorang simpatisan, ke depannya jika ingin menjabat sebagai tokoh politik maka sudah termobilisasi secara vertikal. Adapun elektabilitas politik Gibran memang diharapkan banyak datang dari mayoritas dari anak muda. Menurut Tiyas, gaya dan proses kampanye yang kekinian menjadi keunggulan bagi Gibran untuk menggaet anak muda yang didalamnya juga terdapat kalangan mahasiswa. “Gaya kampanye Gibran kan anak muda banget. Kalau mengadakan pertemuan atau kampanye juga dia adakan di kafe-kafe, tempat banyak komunitas berkumpul,” ujarnya.
Raditia Yoke Pratama, mahasiswa Sosiologi 2018, memiliki pandangan bahwa pejabat politik harus memiliki kematangan berpolitik. Pengajuan Gibran sebagai salah satu calon dalam Pilkada Solo 2020 ini menjadi sebuah keraguan bagi beberapa orang lantaran umurnya yang terbilang masih muda. Meskipun begitu, kematangan berpolitik tidak dapat dilihat dari segi umur. “Menurutku umur hanyalah angka. kematangan itu gak bisa dilihat dari angka, aku enggak tahu Gibran itu bagaimana tapi publik pasti lebih bisa menilai,” jelasnya ketika diwawancarai VISI (15/09/2020).
Selain umur Gibran yang terbilang masih muda, kondisi penyebaran dan penularan Covid-19 menjadi salah satu polemik dalam Pilkada Solo 2020 yang akan dilaksanakan di bulan Desember mendatang. Yoke menganggap negara yang menganut sistem demokrasi yang diatur birokrasi memang terkukung aturan demokrasi tahunan. “Dalam dunia pilkada itu pastinya berkaitan dengan anggaran dan administrasi yang sifatnya tahunan. Jadi wajar kalau kita melihat pemerintah mengambil keputusan pelaksanaan pilkada di bulan Desember,” jelasnya.
Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi memang merupakan kali pertama bagi Indonesia. Sebagai mahasiswa, Yoke mengaku bahwa ia juga berusaha memberikan saran dan masukan kepada pemerintah meskipun tidak secara langsung, melainkan melalui diskusi dan opini di media sosial. Meskipun demikian, sebagai warga Solo, Yoke tetap akan memberikan hak pilihnya dalam Pilkada Solo tahun ini. “Hak pilihku ya akan aku gunakan, tapi aku belum tahu pilih siapa,” imbuh Yoke.
Ulfah, Imam, Nur Haliza
di Kota Solo Nuansa Pilkada di Kota Solo
Pilkada merupakan pesta demokrasi yang dilaksanakan lima tahun sekali di Indonesia. Pilkada seolah kurang lengkap apabila tidak diikuti kegiatan kampanye oleh masing-masing calon. Salah satu bentuk kampanye tersebut ialah adanya pemasangan atribut kampanye seperti baliho, umbul-umbul, maupun poster. Pemasangan atribut kampanye merupakan salah satu bagian dari kemeriahan pilkada. Tak terkecuali dimasa pandemi seperti saat ini. Kota Solo yang akan menggelar pilkada Desember nanti tidak luput dari kemeriahan ini. VISI berkeliling ke berbagai lokasi di Kota Solo, mengabadikan momen bagaimana suasana Pilkada di Kota Solo.
Hiperealitas Politik Identitas
Oleh: Fajrul Affi Zaidan Al Kannur Redaktur Pelaksana Majalah
Gaya politik di Indonesia mulai memasuki babak baru pada tahun 2017 dengan munculnya polemik di Pilkada DKI Jakarta 2017. Pasca kejadian itu, penggunaan narasi kesukuan dan keagamaan semakin marak digunakan dalam setiap aktivitas politik dan menjadi gaya baru politik kekinian masyarakat Indonesia.
Penggunaan narasi kesukuan dan keagamaan menjadi spektrum baru bentuk eksploitasi politik identitas yang menggunakan identitas diri seperti ras, suku atau agama sebagai landasan berpolitik.
Di Indonesia penggunaan politik identitas memang lekat dengan unsur etnis dan agama. Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya, Populisme, Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, menjabarkan bahwa agama dan etnis sebagai bahan bakar politik identitas menjadi faktor penting dalam Pemilu.
Politik identitas berlaku terutama ketika komposisi etnik dan agama suatu wilayah tidak terlalu timpang dan bergantung juga pada identitas primordial calon yang bertarung. Jika dilihat dari penjelasan ini, politik identitas tak ubahnya hanya alat manipulasi para calon yang bertarung dalam kontestasi Pemilu dengan menghadirkan sentimen negatif berbasis SARA.
Muhtar Haboddin dalam jurnal Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal menyebutkan bahwa dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid terbalik atau biasa disebut politik diskriminasi.
Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar. Bisa dikatakan bahwa politik identitas memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.
Masifnya penggunaan politik identitas dalam kampanye politik telah membuat masyarakat kehilangan rasionalitasnya dalam menilai suatu peristiwa, hingga tidak tahu lagi batasan benar dan salah. Fenomena ini bisa disebut sebagai gejala hiperealitas, ditandai dengan ketidakmampuan kesadaran manusia untuk membedakan kenyataan dan fantasi, sehingga kebenaran, keaslian, kebohongan dan kepalsuan sangat sulit untuk dibedakan.
Jean Baudrillad, seorang sosiolog asal Perancis, mengungkapkan istilah Simulasi dan Simulakra dalam menjelaskan konsep hiperealitas.
Menurut Baudrillad, simulasi adalah keadaan dimana representasi dari sebuah objek menjadi lebih penting daripada objek itu sendiri, sedangkan simulakra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada namun dianggap ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur.
Dalam konteks politik identitas di Indonesia, hiperealitas muncul akibat manipulasi simbol–simbol SARA. Penyimpangan nilai-nilai masyarakat tentang suku dan agama dalam kampanye politik telah memperdaya masyarakat, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan mana fakta dan mana fantasi yang digunakan sebagai alat politik. Akibatnya, masyarakat mulai terfragmentasi dalam kelompok–kelompok tertentu hingga memunculkan sekat diantara mereka. Hal ini memicu kegaduhan di masyarakat dan memunculkan berbagai dampak negatif seperti disintegrasi, intoleransi dan konflik horizontal akibat perbedaan pandangan politik.
Di Indonesia, dampak yang paling menonjol dari manipulasi simbol-simbol SARA ialah tentang intoleransi beragama. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 59,1 persen warga Muslim intoleran atau keberatan jika warga non-muslim menjadi presiden, 56,1 persen keberatan non-muslim menjadi wakil presiden, 52 persen keberatan non-muslim menjadi gubernur dan 51,6 persen keberatan non-muslim menjadi bupati atau wali kota. Tak hanya permasalahan pandangan politik, intolerasni beragama juga telah masuk pada ranah kegiatan beribadah. LSI mengungkapkan bahwa 53,2 persen warga muslim keberatan jika orang nonmuslim mendirikan tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya dan 36, 8 persen tidak keberatan. Data ini menunjukkan bagaimana dampak narasi agama untuk kepentingan politik individu atau kelompok telah merusak sendi-sendi kehidupan manusia.
Jika menelisik melalui konsep hiperealitas, hubungan penggunaan agama dalam politik dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat tidak lepas dari kemunculan media sosial sebagai saluran alternatif untuk kampanye. Kelebihan media sosial yang mudah diakses dan dapat menyebarkan informasi secara luas digunakan para aktor politik sebagai jalan pintas berkampanye. Tumpahan pesan-pesan kampanye di timeline media sosial menjadi pemandangan lumrah ketika datangnya pelaksanaan pemilu. Masing-masing aktor politik berlomba-lomba menyebarluaskan informasi yang menjatuhkan satu sama lain, tanpa pernah kita tahu mana yang benar dan mana yang salah. Di titik inilah kebenaran dan kebohongan sudah tidak dapat dibedakan lagi batasnya.
Menurut Baudrillad, masyarakat sekarang hidup dalam dunia yang semakin kaya informasi namun semakin miskin makna. Hal inilah yang memicu munculnya fenomena hiperealitas. Kemunculan hiperealitas telah membuat orang-orang merasa telah melakukan sesuatu padahal sesungguhnya mereka tidak pernah melakukan apa-apa dan yang mereka alami hanyalah kebenaran semu. Membaca informasi di media sosial membuat orang merasa paling tahu akan semua hal. Perasaan ini membuat orang sedikit demi sedikit kehilangan rasionalitasnya dan tidak lagi bisa memandang sesuatu secara objektif karena adanya kebenaran semu. Fakta seperti konflik, disintegrasi dan kegaduhan masyarakat menjadi bukti bahwa hiperealitas politik identitas memang tidak seharusnya ada dan perlu dilawan secara bersama-sama.
Untuk itu, kiranya masyarakat bisa mulai menyadari bahwa penggunaan politik identitas dalam kampanye politik tak lebih hanya untuk kepentingan politik. Masyarakat harusnya mulai membentengi diri dengan budaya literasi media agar tercipta sikap skeptis dan kritis ketika menerima informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
Pilkada dan Simulakra
Oleh: Annisaa Fitri Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Meski sebelas bulan berlalu begitu saja, tahun 2020 tetaplah berwarna. Tidak hanya diwarnai oleh corona, dalgona, dan UU Cipta Kerja. Tahun 2020 juga diwarnai dengan kontestasi Pilkada. Banyak pihak yang mempertanyakan urgensi Pilkada 2020, dan pelaksanaannya yang dilangsungkan secara serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Selain wajah lama yang sudah akrab, banyak juga nama dan wajah baru yang seakan-akan mengusung konsep baru juga dalam Pilkada.
Salah satu kontestasi daerah yang diwarnai wajah baru adalah Pilkada Kota Surakarta 2020. Ada anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri sebagai Wali Kota dengan Teguh Prakosa sebagai calon Wakil Wali Kota. Di sisi lain, ada calon independen “Bajo” Bagyo Wahyono-FX Supardjo sebagai tandingannya.
Kondisi ini mengingatkan saya pada Pemilihan Wali Kota Surakarta 2005 yang menjadi laga politik pertama Presiden Jokowi. Pada tahun itu, kehadiran Jokowi-Rudy bagaikan angin segar bagi para perindu demokrasi, dan sosok yang akrab dan sama dengan para pemilihnya. Bertahun-tahun setelahnya, konsep blusukan dan dekat dengan rakyat ini diadopsi berbagai elit politik dan pemburu predikat populis. Konsep ini juga mengantar Jokowi memenangkan Pemilihan Presiden selama dua periode.
Lima belas tahun kemudian, posisi Gibran tentu saja tidak sama seperti posisi ayahnya saat pertama kali masuk ke dalam arena pertarungan politik yang sama. Konsep blusukan yang juga dia lakukan menjadi tidak unik karena sudah sering dilakukan ayahnya. Status Gibran bukan sebagai kelas pekerja yang ingin mengubah wajah kota tempat tinggalnya. Meminjam pemikiran Bourdieu, Gibran memiliki kapital simbolik dan kapital sosial yang sangat besar sebagai anak presiden.
Gibran tidak butuh naik kelas sosial, dan tidak pula butuh panjat kelas sosial. Dia tidak perlu bersusah payah menjadi kelas dominan, dan tidak perlu memperkuat kapital lain yang dia miliki. Meski belum memiliki sepak terjang di dunia politik, sosoknya sudah moncer dalam kontestasi ini karena nama besar sang ayah.
Teguh sebagai calon wakilnya pun jadi tidak banyak tersorot media, karena media terlalu fokus pada nama Gibran dan ayahnya. Gibran, yang awalnya dielu-elukan masyarakat karena memilih menjadi pedagang martabak daripada politisi kini juga harus berurusan dengan masyarakat yang skeptis atas pilihannya maju dalam Pilkada.
Sedangkan Bajo dinarasikan sebagai simbol perlawanan yang maju tanpa backingan partai dan nama besar siapa pun, dan dengan latar belakang kelas pekerja. Sebagian publik yang jengah dengan masuknya Gibran dalam arena politik menganggap Bajo adalah angin segar dan menjadi pandangan anti arus utama. Paling tidak, itulah realitas yang mereka tampilkan di media.
Namun apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya? Apa betul Pilkada Kota Surakarta 2020 adalah perjuangan kelas pekerja melawan kelas dominan? Lalu bagaimana dengan para pemilih? Apakah demokrasi benar terjadi? Atau ini semua hanya simulakra belaka?
Pilkada: Sebuah Simulakra Demokrasi
Melihat kontestasi Pilkada Kota Surakarta 2020 menggunakan kacamata simulakra Baudrillard sungguh menyenangkan. Di masa semakin banyak informasi dan semakin sedikit makna seperti sekarang, kehadiran citra dan realitas daur ulang ini telah mengaburkan
apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Apa yang kita lihat terkesan benar dan objektif, padahal ini semua sebetulnya merupakan rekaan semata. Bukan realitas asli sesuai kenyataan yang kita konsumsi, melainkan apa yang tampak di depan mata, sesuai realitas yang ingin ditampilkan pembuatnya. Alih-alih mengonsumsi makna, kita sedang mengonsumsi tanda.
Dalam Pilkada, tidak hanya media yang mengaburkan realitas asli dengan realitas baru bercampur citra. Aktor yang bermain di dalamnya pun turut serta dalam mengonstruksi realitas dan citra, sesuai apa yang ingin mereka tampilkan pada calon pemilihnya.
Masalah tidak berhenti sampai di sini. Kontestasi politik memberi kesadaran praktis bernama demokrasi, dan membuat masyarakat percaya bahwa mereka penting. Masyarakat merasa telah didengar, menjadi dekat dengan calon pemimpin, dan optimis akan perubahan ke arah lebih baik dalam partisipasi politik. Ilustrasi: Azizah
Sayangnya ini semua hanya simulakra. Realitas tentang demokrasi yang dibangun oleh aktor politik dan media membuat kita lupa tentang apa makna demokrasi yang sesungguhnya. Masih meminjam kacamata Baudrillard untuk menjelaskan fenomena ini, para pemilih menjadi komoditas yang dipertukarkan dalam arena politik. Suara pemilih menjadi penting. Tetapi penting untuk siapa?
Pilkada menghadirkan gemerlap janji dan jargon aktor politik dalam realitas baru yang dibangun dalam panggung bernama simulakra. Agar tetap menapakkan kaki ke tanah dan tidak terbuai, yang kita perlukan adalah refleksi kritis, kesadaran diskursif, dan mencari makna asli dibalik realitas. Selamat menyongsong Pilkada. Selamat datang di era simulakra!