6 minute read

SPEKTRUM

Next Article
SEKAKEN

SEKAKEN

KARYA SENI - Salah satu mural hasil karya Tifisuasta yang digunakan sebagai bentuk penyampaian keresahan terhadap kondisi sosial dan politik yang sedang terjadi (Dok. Pribadi)

Seni Mural, Suarakan Keresahan Lewat Gambar

Advertisement

Pernahkah kamu melihat lukisan mural yang terpampang pada dinding-dinding bangunan? Menurutmu, apakah itu sebuah goresan seni yang bermakna atau sekadar kegiatan vandalisme dari si empunya?

Kegiatan mengkritisi isu sosial politik tak sebatas dengan menyampaikan pendapat di forum tertentu. Lebih dari itu, kegiatan tersebut dapat disalurkan melalui media seni. Salah satu contohnya adalah seni rupa yang berupa gambar, lukisan, mural/graffiti, dan sejenisnya.

Hal ini dibenarkan oleh Yusuf Apri Susanto (20). Yusuf menuturkan bahwa dirinya telah membuat mural sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ucup, sapaan akrabnya menjelaskan, melalui media seni mural, ia menyalurkan aspirasinya sebagai warga Indonesia.

Hal senada juga disampaikan Tifisuasta (bukan nama sebenarnya -red), “Aku menggambar yang bisa menyurahkan unekunekku lah, entah itu tentang politik, agama, atau apa yang penting unek-unekku bisa tercurahkan,” ujar Tifisuasta saat ditemui VISI.

Berbicara tentang inspirasi, tema, dan gambaran karya yang dibuat oleh kedua orang tersebut, baik Ucup maupun Tifisuasta memiliki perspektifnya masing-masing. Ucup menuturkan bahwa inspirasi karyanya lebih kepada street art dan mural. “Ada orang yang memang suka yang berbau politik atau perayaan kemerdekaan, kalau saya sekarang lebih ke gaya diri sendiri dan melihat referensi dari teman-

diri sendiri dan melihat referensi dari temanteman serta dari seniman besar juga,” ujar Ucup saat dihubungi VISI.

Berbeda dengan Ucup, Tifisuasta mengatakan bahwa ia lebih condong pada muatan katanya. “Kalau aku lebih ke kata-katanya, sih. Unek-unek yang ingin disampaikan itu apa. Kalau gambarnya terserah seperti apa, yang penting tulisannya keliatan,” ujar Tifisuasta.

Untuk wilayah Solo Raya, Ucup menilai bahwa mayoritas tema mural atau graffiti lebih condong pada isu sosial budaya. Namun, ia menambahkan bahwa hal ini kembali lagi pada seniman itu sendiri. Sedangkan menurut penuturan Tifisuasta untuk wilayah yang lebih banyak mengangkat isu sosial politik ada di wilayah Yogyakarta dan Bandung.

Menurut Figur Ahmad Fuad, (34), Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), terkait kesan orang lain terhadap lukisan mural atau graffiti yang menghiasi dinding-dinding bangunan, ia berpendapat bahwa, street art atau vandalisme terkesan dilakukan tanpa seizin warga serta tidak sesuai penempatannya. Hal ini berdampak pada hal lain salah satunya masalah keindahan. “Masalahnya terletak pada saat seniman tersebut belum mampu untuk membuat karyanya dengan baik, dalam arti ekspresinya atau tata rupanya yang tidak terlalu baik,” ujarnya.

Seni rupa mural atau graffiti ini tidak terbatas pada di dinding-dinding bangunan. Tifisuasta juga mengunggahnya di Instagram pribadi miliknya. Menurutnya, hal ini cukup efektif untuk membuat masyarakat lebih peka terhadap isu sekitar.

“Menurut saya, dengan muncul di beranda media sosial dan pencarian, orang-orang yang aktif menggunakan media sosial akan tertarik dengan tulisan ini,” ungkap Tifisuasta.

Walupun mendapat respon positif, hal yang dilakukan oleh Tifisuasta juga tidak lepas dari respon negatif. “Pernah dikirimi DM (Direct message/pesan langsung -red) juga, paling sering masalah agama. Biasanya yang merespon itu akun palsu di Instagram,” sambung Tifisuasta.

Namun terlepas dari hal tersebut, terkadang Figur merasa terwakili. “Saya senang sebagai masyarakat karena saya juga ingin masyarakat umum ikut dalam diskusi politik dengan isu-isu yang diangkat seniman, baik itu di media sosial ataupun di seni-seni jalanan,” ungkapnya.

Terkait dengan munculnya kritik sosial politik lewat seni mural, menurut Figur, seni itu tidak berbeda dengan media saluran aspirasi lainnya. Ia mencontohkan hal ini dengan media lain seperti Facebook. Figur juga menambahkan bahwa pada intinya, mereka yang membuat hal itu sebenarnya ingin turut serta dalam diskusi khusus.

“Ya sudah ada tembok kosong digambarin mural dan dia merasa bahwa hal itu nantinya membuat masyarakat mengerti apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan”.

Selain bersinggungan dengan masyarakat umum sebagai pengamat, pihak pemerintah pun juga memiliki keterkaitan dengan fenomena ini. Hal ini terlihat bagaimana kinerja pemerintah menjadi sumber inspirasi seniman, hingga bagaimana respon pemerintah menanggapi fenomena ini. Ada yang amanaman saja, namun tak sedikit pula yang hampir berurusan dengan aparat penegak hukum. “Kendalanya ya dikejar-kejar Polisi, Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja -red) biasanya,” pungkasnya.

David, Stella, Vika

Pelukan Tuhan dengan Cara yang Berbeda

Oleh: Nur Haliza Mahasiswa Adminsitrasi Negara, Universitas Sebelas Maret

Seorang gadis beseragam hijau yang terbalut jilbab putih berjalan santai memasuki pekarangan rumahnya. Sepanjang jalan, bibir mungilnya selalu menyunggingkan senyuman seraya bersenandung ria meskipun hari ini dia tidak mendapat jemputan dari Ayah.

“Assalamu’alaikum,“ salamnya dengan senyum dibibirnya lalu meletakkan sepatunya ke dalam rak sepatu.

“Bu, Ibu di mana?”

Karena tidak ada sahutan dari dalam, “ Ibu di mana sih?” teriaknya sekali lagi dengan nada naik satu oktaf.

Kemudian kakinya mengantarkannya menuju kamar Ibunya. Sesampainya di depan pintu, tangannya terulur mengetuk pintu dengan pelan. Tidak mendapat sahutan, gadis itu justru mendengar suara orang yang sedang menangis dari dalam kamar. Dengan perasaan khawatir, gadis itu segera membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Ia mendapati ibunya sedang bersandar di kasur dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ibu mengusap air matanya dan tersenyum manis ketika menyadari gadis kecilnya memasuki kamar.

“Anak ibu sudah pulang ya?” tanya ibu dengan suara serak.

Gadis itu menatap Ibu dengan tatapan sedih, bukannya menjawab dia malah balik bertanya,

“Ibu kenapa? Kok nangis?,” tanyanya. Matanya menyiratkan kekawatiran yang sangat mendalam. Tidak sekali atau dua kali ia memergoki ibunya menangis seperti ini. Ibu tersenyum tipis, sengaja menutupi luka untuk terlihat tegar di hadapan gadis kecilnya. ”Ibu gak papa kok sayang. Sekarang kamu ganti baju ya, setelah itu kamu makan. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan kamu,” pinta Ibu dengan lembut. Gadis itu mengangguk dan berlari menuju kamarnya.

Setelah berganti baju, gadis itu keluar kamar dan berjalan menuju meja makan. Di meja makan sudah ada Ibu, Rizky dan Rina, kakanya. Reno dan Papanya entah ke mana. Mereka makan dengan lahap. Keesokan harinya aku bangun pagi dan melanjutkan rutinitasku layaknya gadis kecil lainnya. Bangun pagi, merapikan tempat tidur , mandi, sarapan, kemudian berangkat sekolah. Tapi kondisi hari ini sepertinya ada yang berbeda dengan harihari sebelumnya. Entah kenapa hari ini kakakku berangkat ke sekolah lebih awal. Dia berangkat ke sekolah naik polygon kesayangannya.

“Ibu lagi di mana ya? Kok aku belum melihatnya pagi ini?” batinku dengan raut wajah yang sedikit gelisah.

“Ayah, ibu di mana?” tanyaku kepada Ayah seraya memakai sepatu taliku.

“Ibu sedang pergi ke luar nak,” jawab Ayah sambil memanaskan motornya untuk mengantarku ke sekolah.

“Ngak bisa pamit ibu deh,” gumamku dengan raut wajah yang kecewa.

Siang ini awan sedikit berwarna hitam keabuabuan. Aku menunggu Ayah menjemputku di depan gerbang sekolah. Aku bersekolah di TK Al Umron Bendosewu yang letaknya sedikit jauh dari rumahku. Selang beberapa menit, Ayah datang menjemputku dengan Supra andalannya. Aku mencium tangan ayah, kemudian naik di jok Supra Ayah bagian belakang.

“Setelah ganti baju terus makan ya nak! Makanannya sudah ada di atas meja makan”, pinta Ayah sesampainya di rumah sambil memasukkan Supranya ke dalam garasi.

“Iya yah,” jawabku sambil melepas sepatu.

“Assalamualaikum,” salamku seraya berjalan menuju rak sepatu.

Karena tidak ada sahutan, aku langsung melangkah menuju kamar ibu dan membuka pintu. Ternyata ibu tidak ada di kamar.

“Ibu kemana ya? Dari tadi pagi kok tidak ada di rumah,” batinku.

Padahal aku sudah mencarinya di setiap

rumah besar ini, tetapi aku tidak menemukannya juga. “Hmm ayah di mana ya? Kok cepet banget ngilangnya. Udah kayak Superman aja,” gumamku seraya berjalan menuju kamar untuk ganti baju. Aku tidak langsung pergi makan. Aku berlari menuju rumah nenek yang memang rumahnya hanya di seberang jalan depan.

“Assalamualaikum, nenek lihat ayahku tidak?” tanyaku sambil mencium tangan nenek.

“Tidak cucuku, hari ini Nenek belum lihat ayahmu sama sekali,” jawab nenek.

“Kalau kakak?” tanyaku lagi.

“Tidak cucuku sayang, mungkin ayahmu sedang di ladang dan kakakmu belum pulang sekolah. Ayo masuk! Makan dulu ya,” pinta nenek dengan lembut.

“Nanti saja ya, nek. Aku pulang dulu. Assalamualaikum, nek.”

“Waalaikumsalam, hati hati ya jangan lari,” pinta nenek.

Aku berlari menyeberang jalan, “Aduduhh!” hampir saja aku terpeleset di pinggir jalan.

Hari ini terasa sepi, di rumah tidak ada seorangpun kecuali aku.

Mungkin Tuhan memeluk kita dengan cara yang berbeda. Mungkin Tuhan mengambilnya karena Tuhan sayang kepadanya. Mungkin Tuhan mengambilnya karena tidak ingin ia tersakiti oleh tangan hamba-Nya, meskipun itu dari keluarga kita sendiri.

-Saras

This article is from: