Teknologi Pemberdaya
PENANGGUNG JAWAB:
FOTOGRAFER:
COVER STORY
Dr. Yuli Setyo Indartono
Harry Surjana
Dalam ekosistem inovasi yang seperti petak-petak puzzle dari proses dan aktor, inovasi teknologi
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Ferdyansyah Poernama
merupakan petak penting dalam menghubungkan bertumbuhnya ekosistem yang mengarah pada
kepada Masyarakat ITB PENULIS:
peningkatan kesejahteraan bersama. Kehadiran ITB juga berakar pada prinsip locally relevant ILUSTRATOR:
melengkapkan gambar utuh masyarakat yang berdaya melalui pengabdian yang selaras dengan
Ali Parma
pemajuan sains dan teknologi unggul.
DESAIN GRAFIS:
Cetakan pertama: Desember 2023
Irman Nugraha
ISBN: 978-623-297-366-4
Yuli Setyo Indartono Deny Willy Junaidy Rino Rakhmata Mukti Mohammad Farid EDITOR: Islaminur Pempasa PERISET:
Hak Cipta © 2023 ADMINISTRASI: Noviyanti Dian Sumardiana Nisa Refika Linda Syah Khotimah
Yudi Noorachman
Bagian Sekretariat, Keuangan
Risa Anggreini
dan Sisfo LPPM ITB
Saffanah Zahirah
Dokumen ini diterbitkan oleh ITB Press. Hak Cipta milik LPPM ITB - Bandung dan dilindungi undang-undang. Tidak diperbolehkan mencetak ulang, mengutip sebagian atau keseluruhan isi tanpa izin. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung Gedung CRCS Lantai 6 Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 Jawa Barat, Indonesia (022) 86010050 / 86010051
MISI MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Dr. Yuli Setyo Indartono
2 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
I
NOVASI merupakan pendorong kesejahteraan di berbagai negara. Dalam payung pengabdian kepada masyarakat, ketika para ilmuwan ITB terjun ke lapangan dan mendapat pembelajaran dari masalah-masalah yang sangat dekat dengan masyarakat, inovasi teknologi menjadi jawabannya, terutama dalam kebutuhan mendasar akses air bersih, pertanian, hingga industri tradisional. Tingkat inovasi teknologi yang diterapkan dalam sejumlah best practice dari program pengabdian kepada masyarakat yang ada dalam buku ini bisa menjadi pembelajaran karena mencakup beragam level inovasi. Kita bisa melihat tingkat inovasi mulai dari level pertama berupa perubahan minimal pada produk, level kedua mengintegrasikan fitur baru pada produk, level ketiga pengembangan pasar, hingga level keempat berupa penciptaan produk baru yang belum ada sebelumnya. Inovasi teknologi yang diterapkan membuka peluang multidimensi sebagaimana diungkap dalam buku ini, mulai dari peningkatan kualitas sumber daya, seperti pada penerapan instalasi pengolahan air, membangun ketahanan pangan dari hidroponik, menyempurnakan proses pada pertanian dengan mengurangi tingkat kegagalan seperti pada pengembangan mesin pengering, meningkatkan kualitas hasil pada pendekatan desain produk rotan dan peningkatan kualitas akustik ruang, hingga penciptaan produk yang benar-benar baru dan disruptif pada pengembangan bioflavonoid di pertanian singkong. Seluruh pendekatan inovasi teknologi unggul yang dilakukan dalam payung pengabdian kepada masyarakat ini tentu adalah upaya untuk membumikan sains dan teknologi untuk turut memberi solusi dan berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 3
I
NOVASI sudah menjadi kata kunci dalam mendorong kemajuan, terutama ketika kita terfokus pemajuan sains dan teknologi dalam perspektif makro, kemajuan sebuah negara melalui perannya dalam meningkatkan daya saing dan kemajuan ekonomi. Begitu pula dalam perspektif bisnis, ketika inovasi menjadi pendorong utama pengembangan berbagai produk dan jasa. Pada perannya, Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai perguruan tinggi teknik terkemuka terus mendorong pemajuan sains dan teknologi berbasis budaya ilmiah unggul yang mensyaratkan kekuatan landasan ilmiah dan kepakaran di berbagai bidang keilmuan. Tentu saja, pengembangan keilmuan unggul yang dijalankan ITB tidak dimaksudkan untuk membangun menara gading tinggi yang makin tak terjangkau sebagaimana anggapan sebagian masyarakat dalam memandang perguruan tinggi. Sebaliknya, ITB membangun keseimbangan antara daya saing global dan keeratan lokal dalam bangunan yang justru ingin menguatkan akar di masyarakat melalui pengabdian sains dan teknologi. Secara bersungguh-sungguh, gagasan inovasi juga diupayakan menembus ke dalam tantangan yang sangat terkait dengan kebutuhan masyarakat. Dalam kerangka budaya ilmiah unggul, pengabdian kepada masyarakat terus didorong agar keunggulan riset dan kepakaran benar-benar terimplementasi dan mampu mewujudkan manfaat inovasi dalam mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat, terutama untuk mendorong terciptanya nilai dan produk baru yang lebih jauh dapat meningkatkan kesejahteraan secara signifikan. Apa yang sudah dilakukan dalam program pengabdian kepada masyarakat ITB menjadi bukti, keselarasan antara inovasi dalam pengabdian tidak pernah dan tidak akan lepas dari pemajuan sains dan teknologi itu sendiri. Pengembangan riset dasar dan penerapan teknologi tepat guna yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagian telah menunjukkan juga bisa sejalan dengan publikasi hingga paten yang berkelas internasional.***
4 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
BUDAYA ILMIAH UNGGUL DALAM DARMA PENGABDIAN Prof. I Gede Wenten, Ph.D.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 5
MENEMPATKAN PUZZLE INOVASI UNTUK MEWUJUDKAN SDG Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.
6 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
P
ERAN penting sains dan teknologi dalam ekosistem inovasi dalam konteks industri maju sudah lebih mapan dan teruji, seperti yang secara khusus dikembangkan di ITB dalam relasi antara teknologi dan industri maju. Dalam konteks ini, rantai nilai dan rantai produksi telah teruji dan diadaptasi dalam dinamika sistem dan level aktor yang lebih homogen. Kehadiran ITB tentu saja tidak semata terfokus melayani pemajuan sains dan teknologi dalam domain kompetisi global dan industri maju, tetapi juga berakar pada prinsip locally relevant. Jika ekosistem inovasi yang merupakan petak-petak puzzle berbagai entitas dan aktor, teknologi merupakan petak penting dalam menghubungkan pengembangan ekosistem yang bertujuan mengembangkan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ekosistem inovasi lokal dan berbasis masyarakat, petak teknologi sejatinya memiliki peran yang sama pentingnya dalam pemajuan ekonomi dalam kondisi sebagian petak puzzle lain yang juga mungkin masih berupa gambar yang samar. Bisa jadi bahan baku, pemrosesan hingga pasar yang belum secara jelas terbentuk. Berbagai tantangan pengembangan ekosistem inovasi berbasis masyarakat ini tidak menyurutkan para ilmuwan ITB yang bergerak dalam darma pengabdian kepada masyarakat. Intervensi sains dan teknologi dilakukan untuk mendorong kesejahteraan. Semangat pengabdian ini dilakukan dalam basis scientific temper atau perangai ilmiah, jiwa peneliti yang memiliki rasa ingin tahu dan kreativitas dalam membantu memberi solusi dari masalah yang berakar langsung dari masyarakat. Dari proses ini pula, kami belajar dari masyarakat mengenai berbagai hal dan akhirnya mengarah pada pemajuan sains, inovasi, dan invensi yang bermakna. Dan pada akhirnya menjadi puzzle yang saling melengkapi dari gambar utuh pemajuan sains dan teknologi yang mendorong kesejahteraan masyarakat.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 7
DAFTAR ISI MISI MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Dr. Yuli Setyo Indartono
3
BUDAYA ILMIAH UNGGUL DALAM DARMA PENGABDIAN Prof. I Gede Wenten, Ph.D.
5
MENEMPATKAN PUZZLE INOVASI UNTUK MEWUJUDKAN SDG Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.
7
“EMAS HIJAU” DARI LIMBAH SINGKONG
37
l
Kesadaran Lingkungan
40
l
Biokonversi
43
l
Penghargaan Internasional
46
Maggot BSF Pemusnah Sampah Makanan Bernilai Ekonomis
48
13
l
Sebatas Mengolah Umbi
16
l
Daun Singkong Terbuang
18
l
Kabar Gembira Bioflavonoid
19
l
Transfer Teknologi
21
l
Disrupsi Industri Singkong
23
l
Pengembangan Start-up
24
CASSAVA WITHOUT WASTE
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
27
PERAHU MOGOK DI TENGAH LAUT
50
PERTANIAN NON-LAHAN
55
l
Hidroponik
57
l
Aktivasi
59
l
Laku Sebelum Panen
60
l
Replikasi Mandiri
62
l
Nutrasetikal
28
l
Potensi Besar
29
l
Hak Paten dan Publikasi
30
MEMANGGUL CANGKUL
64
Daun Kini Bernilai Uang
32
Merawat Primadona Maratua
66
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 9
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
71
l
Titik Balik
74
l
Pola Bisnis Baru
78
l
Keuntungan Berlipat
81
Berawal dari Desain
84
DARI DENGKUL KE PELENGKUNG XYZ
89
HARUS NOMOR SATU DI DUNIA
95
l
Catatan Industri Rotan di Cirebon
99
l
Terpuruk karena Regulasi
100
l
Bangkit dengan Berdesain
102
l
Gaet Perajin Muda Tegalwangi
104
l
Melibatkan Mahasiswa
107
MEMATRI ESTETIKA
110
Dari Cirebon Menuju Dunia
10 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
114
PANJANG UMUR PANEN PETANI
119
l
Budi Daya Stevia
122
l
Tingkat Kegagalan 40%
124
l
Solusi Lemari Pengering
126
l
Juga Selamatkan Buah dan Sayur
128
l
Spesifikasi Lemari Pengering
132
BUAH TANGAN DARI INERIE
135
l
Panen Buah Dijual Murah
137
l
Nilai Tambah
139
l
Dipasarkan ke Labuan Bajo
142
l
Harga Jual Naik Berlipat
144
l
Ramah Lingkungan
146
l
Merambah Kampung Adat Maghilewa
149
l
Sulit Air
150
SOLUSI PASCAPANEN
152
l
Sebar Manfaat Sampai Pelosok
154
l
Nutrisi Buah Tetap Terjaga
155
Menyelamatkan Hasil Panen dan Menambah Penghasilan
156
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
159
l
Jangan “Garut Jadi Beirut”
161
l
Skala Prioritas
166
l
Bertumbuh
167
l
Peningkatan Kapasitas
170
l
Dampak Positif
173
l
Syiar Lewat Suara
174
l
Bergulir dan Menyebar
177
l
Desain Ruang dan Tata Suara
179
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
189
l
Akses Air Pascabencana
190
l
IPA Mobile
195
l
Pemipaan
197
l
Mewujudkan Target SDGs
199
DARI DESA HINGGA IKN
204
MENJEWER SEMBER
180
l
Modifikasi
206
l
Ekosistem Bertumbuh
181
l
Merambah Perumahan
206
l
Suara dari Mihrab
183
l
Berbakti untuk Desa
207
Kenyamanan Membawa Berkah
185
Mengalirkan Asa di Tengah Bencana
208
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 11
“EMAS HIJAU” DARI LIMBAH SINGKONG Cassava without waste memaksimalkan seluruh hasil panen singkong, bukan hanya umbi, melainkan juga daun dan bonggol. Daun singkong yang biasanya hanya untuk pakan ternak, bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi petani dengan temuan proses ekstraksi bioflavonoid yang nilainya relatif tinggi.
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Petani menanam singkong di lahan kebun di Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi.
14 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
S
INGKONG (Manihot esculenta) tumbuh subur di Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil singkong ketiga terbesar di dunia. Lahan singkong di Indonesia produksinya di atas 27 ton umbi singkong per tahun. Sayangnya, selama ini yang paling banyak diambil dari singkong adalah umbinya, sedangkan bonggol batang, dan daunnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Petani masih mengandalkan umbi singkong sebagai ‘jualan utama’. Sebagian besar hasil panen petani terserap untuk kebutuhan industri pangan, seperti keripik dan industri pembuatan tapioka. Khusus untuk daun singkong, selain dimanfaatkan sebatas untuk lalapan dan pakan ternak, sisanya banyak menjadi limbah. Petani singkong di salah satu sentra produksi singkong di Kec. Cikembar dan Warungkiara, Kab. Sukabumi, Suparjan dan Ir. Kukuh Sujianto mengaku menjatuhkan pilihan menggarap singkong karena relatif mudah ditanam dan perawatannya tak terlalu
spesial. Untuk bertani singkong, Suparjan hanya perlu membekali diri cara penanaman dan perawatan dengan pupuk. Suparjan yang berusia 68 tahun ini sebelumnya bekerja di salah satu perkebunan karet di kawasan itu. Kini, ia berkebun singkong di lahan 4,5 hektare yang difasilitasi oleh pihak perkebunan karet. “Berkebun singkong ini awalnya untuk menambah penghasilan. Sebagai mantan karyawan, lahannya tidak ada sewa, yang penting lahan yang masih ada pohon karetnya harus dijaga,” kata Suparjan yang juga merupakan anggota Masyarakat Singkong Indonesia ini. Selama ini, dari lahan 1 hektare, ia bisa memproduksi 40 ton umbi singkong. Singkong hasil panen tersebut biasanya dihargai Rp1.200/kg. Namun, diakuinya, harga tersebut fluktuatif, bergantung pada situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. “Kadang kalau sedang murah, bisa hanya Rp800/kg,” ujarnya.
”
Harga umbi singkong fluktuatif, bergantung pada situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. Kadang kalau sedang murah, bisa hanya Rp800 per kg. Suparjan
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 15
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Sebatas Mengolah Umbi Sebagian besar singkong hasil panen di kebun Suparjan dijual kepada industri makanan, terutama pabrik keripik. Untuk bahan baku pembuatan keripik, singkong yang digunakan merupakan singkong pilihan. Jika ada yang tidak terpakai untuk keripik, singkong bisa diserap ke pabrik-pabrik pembuatan tapioka. “Untuk keripik itu diperlukan singkong pilihan, sedangkan untuk tapioka tidak usah dipilih, mau yang gede atau kecil, semua bisa,” jelas Suparjan. Sementara, singkong dengan kualitas paling jelek biasanya diambil oleh ibuibu untuk membuat pakan sapi. Dari 2,5 kg singkong bisa diolah menjadi 1 kg pakan sapi dengan harga Rp2.500-Rp3.000/kg. Untuk pengolahannya, Suparjan secara borongan menyuruh orang dengan bayaran Rp800/kg. “Singkong tersebut diiris terlebih dahulu bersama kulitnya kemudian dikeringkan. Setelah kering dijual ke perusahaan pakan. Jadi secara keseluruhan hasil panen biasanya 40% terserap menjadi keripik dan tapioka dan 60% untuk pakan ternak.” Petani singkong lainnya, Ir. Kukuh Sujianto. mengaku sudah sejak 2011 menggeluti singkong. Kukuh menyatakan produksi singkong dari Sukabumi mengisi kebutuhan industri pangan dan makanan yang ada di Pati, Semarang, Kendal, Magelang, Tangerang, Cileungsi, dan Bandung untuk pembuatan peuyeum (tapai). “Jumlah singkong dari Sukabumi yang dikirim ke berbagai daerah tersebut sekitar 200 ton per hari dari lahan sekitar 10 ha per hari. Kita ambil rata-rata singkong yang bagus yang bisa dikirim ke luar itu 20 ton, sisanya yang masih dalam bentuk sortiran. Setelah disortir, kira-kira 200 ton per hari,” kata Kukuh yang dipercaya menjadi Ketua Masyarakat Singkong Indonesia Kota/Kabupaten Sukabumi ini. Untuk 1 hektare lahan, petani Sukabumi biasanya menghasilkan 25-60 ton singkong. Namun, hasil itu tergantung karena petani juga melakukan tumpang sari dengan tanaman lain seperti karet. Untuk daerah Cikembar biasanya tumpangsari dengan jagung manis. Lahan di Cikembar biasanya menghasilkan 25-30 ton singkong kualitas keripik atau singkong pangan.
16 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Lahan kebun singkong di Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi.
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Di Sukabumi singkong yang ditanam ada dua, yaitu singkong pangan untuk keripik, peuyeum, dan produk lainnya serta singkong industri untuk pembuatan tapioka. Di daerah Kec. Warungkiara Sukabumi ada sekitar 30 perajin tapioka. Untuk menentukan singkong pangan dan industri pengaturannya main di umur singkong. Kalau singkong buat keripik biasanya diambil di dataran antara 300-600 dpl dan dipanen saat berumur 9-11 bulan saja. “Ini sudah semacam rumus atau aturan tak tertulis. Kalau umurnya kelewat, misal singkongnya umur 10 bulan ke atas, masuknya untuk tapioka. Pun jika pas musimnya jelek, singkongnya beling atau kurang bagus, berarti itu untuk tapioka. Atau, karena pabrik keripiknya overload, mereka terpaksa mengalihkan singkongnya untuk tapioka.” Biasanya setelah panen petani singkong di Sukabumi hanya tinggal menunggu hasil panennya diambil. Di Sukabumi permasalahannya adalah singkong untuk industri karena harus dikirim ke luar Sukabumi seperti Pati, Lampung, dan Wonogiri. “Untuk harga yang diterima petani untuk saat ini rata-rata Rp1.500 per kilo. Kalau harga rendah bisa sampai
Rp700. Harga Rp1.500 sudah bagus, untuk 30 ton bisa Rp45 juta. Sementara, biaya satu hektarenya Rp15 jutaan.” Cuma kadang-kadang harga bagus diikuti kualitas yang turun. Artinya, untuk bahan baku keripik sekarang singkongnya sedang jelek, kadar airnya kurang sehingga singkong yang dikembalikan setelah disortir oleh pabrik bisa sampai 30%. Kalau 3 ton misalnya bisa kembali 1 ton. Singkong ini nantinya ada yang menampung walau harganya rendah kemudian dijadikan tapioka. Singkong-singkong untuk keripik yang dijadikan bahan untuk tapioka harganya lebih rendah daripada singkong yang khusus untuk tapioka. Hal itu karena kadar tapiokanya rendah akibat umur yang masih muda (8 bulan). “Makanya, kalau di pabrik itu kadang-kadang ada aturan yang dibeli itu adalah tapiokanya. Jadi dikupas, ditimbang dalam air dan diambil berat jenisnya, misalnya 10 kg ditimbang ternyata ada 4 kg, jadi tapiokanya ya 4 kg. Itu yang nanti dikonversikan ke harga,” jelas Kukuh.
Daun Singkong Terbuang Kukuh menyayangkan, belum semua bagian tanaman singkong ini termanfaatkan. Selama ini, yang lebih banyak terserap dari hasil panen singkong di Sukabumi baru umbinya. Sementara, bagian lain seperti daun singkong hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak atau lalapan di rumah makan Padang. Itu pun hanya sebagian kecil. Jumlahnya juga tidak mungkin dalam 1 ha diambil semua, hanya separuhnya. “Petani biasanya menjual daun singkong berikut batang untuk pakan ternak per ikat (20-30 kg) Rp4.000. Dalam 1 hektare bisa menghasilkan sekitar 5 ton kalau sama batangnya, sedangkan daun singkongnya paling hanya 2-3 ton,” kata Kukuh. Hal senada dinyatakan Suparjan, selain umbi, yang banyak terbuang percuma saat panen singkong adalah daun singkong. Padahal, ia berharap agar produknya tersalurkan semua, bukan hanya singkong, tetapi daun dan batangnya juga. “Batang yang dipakai sebagai bibit sekitar 40%, sedangkan bonggolnya terbuang, begitu pula sebagian besar daun singkong,” ujarnya.
18 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Serbuk bioflavonoid (depan) dan berbagai produk turunannya.
Kabar Gembira Bioflavonoid
Penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) bisa mengubah paradigma para petani di Sukabumi dan Indonesia terhadap daun singkong. Ternyata, daun singkong juga punya manfaat yang sangat baik untuk kesehatan. Manfaat dan khasiat daun singkong untuk kesehatan ini dikembangkan oleh Prof. Dr. Elfahmi, S.Si., M.Si., ilmuwan dari Kelompok Keahlian Biologi Farmasi, Sekolah Farmasi ITB.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 19
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, khasiat kesehatan daun singkong berasal dari senyawa bioflavonoid yang terkandung di dalamnya. “Dua senyawa berkadar tinggi yang terkandung dalam daun singkong adalah senyawa rutin (82%) dan nicotiflorin (17%). Sudah banyak penelitian tentang khasiat dan manfaat dua senyawa ini. Namun, pengembangan yang dilakukan Sekolah Farmasi ITB lebih berfokus kepada khasiat meningkatkan kekebalan tubuh yang disebut imunostimulan serta antioksidan untuk mencegah penyakit,” terang Prof. Elfahmi.
Pada tahap awal, teknologi pemanfaatan daun singkong untuk kesehatan ini dilakukan dengan metode yang bisa diaplikasikan oleh masyarakat. Salah satunya dengan cara direbus seperti yang sudah biasa dilakukan masyarakat Indonesia selama ini. Setelah direbus, daun singkong yang merupakan ampas bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti sayuran dan lalapan, serta pakan ternak. “Air rebusannya tidak dibuang begitu saja, melainkan ditampung memakai jeriken atau alat penampungan lainnya untuk diolah. Dua senyawa penting yang terkandung dalam daun singkong itu sudah terekstraksi di air rebusan itu,” jelasnya.
Prof. Dr. Elfahmi menjelaskan manfaat bioflavonoid saat transfer teknologi pengolahan daun singkong di perkebunan singkong Warungkiara.
20 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Daun singkong rebusan bisa juga dikembangkan dan diolah dalam bentuk pelet-pelet untuk makanan ternak. Sementara, dua senyawa rutin dan nicotiflorin dalam air rebusan dibuat produk-produk nutrasetikal, yaitu nutrisi yang berguna untuk kesehatan, mencegah dan membantu mengobati penyakit.“Salah satu produk yang dikembangkan adalah madu yang diperkaya atau difortifikasi dengan tambahan sejumlah kecil bioflavonoid rutin. Rasa madu menjadi lebih enak dan bisa meningkatkan kekebalan tubuh.” Banyak yang sudah membeli produk madu yang sudah diperkaya bioflavonoid rutin ini. Produk ini sedang dalam proses perizinan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pengurusan badan hukum produsen, dan rencana pemasaran produk akhirnya. Di luar negeri produk untuk tujuan nutrasetikal sudah banyak beredar di pasaran, tidak seperti di Indonesia. Kendati demikian, upaya pengembangan terus dilakukan melalui lembaga bernama Kedaireka Matching Fund dengan prototipenya yang sudah ada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Di sini dilakukan ekstraksi, pengeringan, dan pengendapan yang bekerja sama dengan Masyarakat Singkong Indonesia. Pengembangan teknologi pemanfaatan daun singkong untuk kesehatan tergolong sangat potensial lantaran tidak menghadapi kendala bahan baku. Singkong sangat melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, dari sisi finansial juga bisa sangat menguntungkan. Apalagi, semua bagian dari tanaman singkong bisa dimanfaatkan. Dari sisi keilmuan, pengembangan riset bioflavonoid dari daun singkong ini terus dilakukan, terutama pengujian aktivitas khasiatnya. Setelah manfaat untuk kekebalan tubuh dan pengobatan sejumlah penyakit, bioflavonoid dari daun singkong sedang diuji khasiatnya sebagai obat antiobesitas, mencegah diabetes, hingga jantung. Sejauh ini, hasil penelitian dan pengembangan dinilai cukup bagus. Pengembangan riset tidak hanya untuk kebutuhan farmasi seperti uji efek farmakologi dan senyawa penuntun (lead compound) yang dimodifikasi strukturnya sehingga didapatkan aktivitas yang lebih baik. Produk dan teknologi yang digunakan ini tergolong multidisiplin, mulai dari budi daya, kimiawi, isolasi, serta proses bisnisnya.
Transfer Teknologi Bekerja sama dengan PT EBM Saintifik dan Teknologi, perusahaan research and development (R&D), yang merupakan start-up riset untuk produksi senyawa marker, ITB kini tengah mengembangkan mesin ekstrasi daun singkong. Rencananya, mesin ekstrasi ini ditempatkan langsung di dekat perkebunan singkong. Sebelumnya, saat melakukan riset, tim harus mendatangkan daun singkong kering dari Riau sebanyak 100 kg daun kering. Pengiriman dilakukan dalam 2 kali dengan ongkos kirim bisa mencapai Rp800.000. Setelah itu, daun singkong tersebut diekstrasi di laboratorium yang berada di Bandung. Cara seperti ini dianggap tidak efektif. “Berat di ongkos transportasi. Jadi kami beli daun dari petani dan diekstraksi di lab. Setelah saya pikir cara itu tidak akan ekonomis karena kalau bikin ekstraksinya harus di lapangan, di tempat di mana lahan singkong itu banyak,” ujar Dr.rer.nat. Agus Chahyadi, CEO & Co-Founder PT EBM Saintifik dan Teknologi. Dengan penempatan mesin ekstraksi di dekat perkebunan singkong nantinya petani bisa mengolah sendiri daun singkong tersebut. Dengan model ini, didapat efisiensinya. Alih-alih petani harus mengirim 100 kg daun singkong, mereka cukup mengirim 1 kg bioflavonoidnya karena telah diekstraksi di tempat. Untuk teknologi pemurniannya dilakukan di laboratorium di Bandung. Tahun 2022 alat ini sudah diuji coba. Tim mendapat dana pengabdian dari LPPM ITB. Sementara, saat risetnya didukung oleh LPIK ITB dan mendapat 2 tahun pendanaan 2019-2020. Sementara pada 2021-2022 tim mendapatkan dana pengabdian dari LPPM ITB untuk mengimplementasikan teknologi tersebut di petani. “Teknologinya sudah kita kembangkan di lab dan kita coba dulu sebelum diaplikasikan di petani. Kita bikin dulu peralatannya. Ternyata alat dari mulai proses penggilingan sampai pengeringan/ekstraksi bisa dibikin dan biayanya tidak mahal,” kata Dr.rer.nat. Agus.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 21
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Tahun ini tim juga mengajukan matching fund melalui Dikti. Mereka bermitra dengan Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) yang beranggotakan kelompok masyarakat, petani, pebisnis, bahkan ilmuwan. Kerja sama ini sangat bermanfaat karena MSI punya akses ke petani. “Setelah survei ke tiga lokasi, yaitu Lampung, Bogor, Sukabumi, yang paling cocok adalah Sukabumi. Setelah diuji, daun singkong di perkebunan Sukabumi paling tinggi bioflavonoidnya.” Tim juga sudah membuat permesinannya dan telah melakukan survei ke lokasi untuk memasang mesin ekstraksi daun singkong di Kec. Cikembar, Sukabumi pada tanggal 28 November 2023.
mengapresiasi pengembangan teknologi dengan pemasangan mesin ekstraksi daun singkong di dekat perkebunan petani. Hal ini bisa memecah rantai produksi.
Pengolahan daun singkong ini disambut baik oleh Kukuh maupun Suparjan. Kukuh sangat bersyukur dengan program dari ITB ini karena membuka wawasan bahwa ada satu sumber daya yang selama ini terbuang, yaitu daun singkong ternyata bisa dimanfaatkan. Ia pun
singkong, tetapi daunnya bahkan batangnya. “Mudahan-mudahan ini
“Minimal mengurangi volume 0,1% jadi per seribu volume yang dikirimkan ke Bandung. Kalau bawa 1 kuintal daun singkong yang belum dihaluskan di motor tidak bisa, terlalu besar. Tetapi, kalau sudah dihaluskan, dihancurkan, kita bawa 2 kuintal juga bisa.” Sementara Suparjan mengatakan, dengan adanya pengembangan ini, produk hasil panen singkongnya bisa tersalurkan semua. Tidak hanya dapat memajukan dan menyejahterakan petani. Mudah-mudahan pemerintah juga bisa membantu. Itu saja harapannya,” ujar Suparjan.
Cara kerja mesin crude bioflavonoid yang diinstalasi di perkebunan petani singkong: 1. Daun singkong dicacah di mesin giling. 2. Daun singkong direbus. 3. Air rebusan disaring. 4. Sisa ampas dipres untuk mengambil semua airnya. 5. Air saringan kemudian dimasukkan ke ruangan pendingin. 6. Setelah dingin akan menggumpal untuk disaring kembali. Bioflavonoid yang menggumpal atau mengendap kemudian disaring lagi. 7. Hasil saringan kemudian dioven dan dikeringkan dalam tahap crude bioflavonoid. Alat pencacah daun singkong.
22 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Disrupsi Industri Singkong Kukuh memulai bertani pada 1996 dengan membudidayakan hortikultura seperti semangka, cabai, tomat, dsb. Ia benar-benar menggeluti tanaman singkong sejak 2011. “Saat itu terbatas oleh lahan sewa. Kalau ada lahan sewa, kita baru menanam,” kata Kukuh. Ketika itu lahannya di Kec. Nyalindung, Cikembar, dan beberapa tempat. Ia kemudian menanam di Warungkiara yang kebetulan menjadi tempat embrio lahirnya MSI, tetapi deklarasinya dilakukan di Jambuluwuk, Tapos, Bogor tahun 2011. Setelah itu, ia benar-benar menggeluti singkong, mulai dari menanam, trading, dsb. Kukuh merasa bersyukur dengan adanya pengembangan teknologi pengolahan daun singkong yang dilakukan ITB. Dengan program ini membuka wawasan bahwa daun singkong yang selama ini banyak terbuang, ternyata bisa dimanfaatkan. Dengan adanya pengembangan teknologi dari ITB, selain untuk pakan ternak, daun singkong ternyata bisa dimanfaatkan untuk produk kesehatan karena mengandung bioflavonoid. “Awalnya sempat ragu, tetapi ternyata manfaatnya besar sekali dan itu bisa menjadi solusi bagi petani. Sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang bioflavonoid, tetapi yang dari singkong baru tahu kali ini pada 2023.” Untuk prospek, kadar bioflavoniod singkong dari Sukabumi juga berkualitas bagus, rendamannya bagus. Untuk itu, ia merasa optimistis. “Kalau dari daun singkong ke bioflavonoid kering itu cuma 0,1%. Harga, saya tidak tahu, untuk 1 hektare bisa menembus Rp40 juta tidak mungkin juga. Namun, ini kan limbah. Nanti akan kita hitung, paling dari satu luasan atau 1 ha kita tanami khusus untuk diambil daunnya, bioflavonoidnya dibandingkan dengan diambil umbinya itu.” Harapannya, dengan pengembangan daun menjadi bioflavonoid ini bisa menjadi nilai tambah bagi siapa saja yang melakukannya, tidak terbatas di petani. “Kita enggak masalah jadi pilot project. Cuma, dari anak-anak yang kerja di sini, saya bilang kalau misalkan mampu bikin aja di rumah sendiri, setor ke sini, enggak apa-apa, titip jual saja.”
”
Awalnya sempat ragu, tetapi ternyata manfaatnya besar sekali dan itu bisa menjadi solusi bagi petani. Sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang bioflavonoid, tetapi yang dari singkong baru tahu kali ini pada 2023. Ir. Kukuh Sujianto
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 23
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Pengembangan Start-up Teknologi pengolahan daun singkong ini juga memicu berdirinya startup atau perusahaan rintisan yang mengolah crude cassava bioflavonoid menjadi cassava bioflavonoid yang dipimpin oleh Dr.rer.nat. Agus Chahyadi. Start-up bernama PT EBM Saintifik dan Teknologi ini termasuk memproduksi senyawa marker beserta produk turunannya. Saat melakukan riset bersama Prof. Elfahmi pada tahun 2018, mereka mendapatkan bioflavonoid dengan kadar tinggi sekali dalam daun singkong. Tinggi dalam artian senyawa ini tidak dibutuhkan oleh tanaman secara langsung, tetapi dibutuhkan untuk bertahan hidup atau proteksi diri dari dimakan hewan atau apa pun.
24 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Bioflavonoid itu khasiatnya luar biasa banyak, terutama untuk antioksidan. Antioksidan itu mekanismenya beda-beda juga, kemudian kita riset. Ternyata bagus sekali untuk imunostimulan, untuk meningkatkan imun. Bisa juga untuk antikanker dan antidiabetes. Kita masih melihat fenomenanya, sudah uji toksisitas ternyata aman, tidak beracun,” ujar lulusan Institute of Pharmaceutical Biology and Biotechnology, Philipps-Universität Marburg, Jerman ini. Selain daun, pemanfaatan singkong ke depan juga akan lebih ke arah energi dengan memanfaatkan batang singkong untuk wood chip, arang, briket sebagai bahan bakar. “Untuk sekarang, kita ambil yang farmasinya terlebih dahulu karena harganya lebih mahal. Kalau lebih mahal, bisa mengompensasi subsidi silang yang lainnya.” Karena kadarnya tinggi, artinya senyawa marker di atas 0,5% bisa jadi bahan baku untuk suplemen atau herbal menjadi produk turunan (consumer good). “Arah kami ke sana. Kebetulan di daun singkong ini kami
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
dapat sekitar di atas 2% kadarnya. Jadi, dari daun singkong 100 kg, bisa menghasilkan 2 kg bioflavonoid dengan harga jutaan. Bioflavonoid ini harganya mahal bisa sampai Rp1-Rp2 jutaan per kg.” “Artinya, petani itu menghasilkan 20-32 ton per ha daun singkong. Bisa dibayangkan dia bisa dapat 20-30 kg. Kalau dijual Rp1 juta, dia sudah dapat Rp20-Rp30 juta. Sementara, kalau dia tanam singkong, umbinya itu per hektare misalnya 20-40 ton paling harganya Rp1.000 per kg. Jadi, bisa lebih untung mengurus daunnya daripada mengurus singkongnya,” terang Dr. Agus. Dr. Agus menginginkan penemuan ini bisa dimanfaatkan oleh petani sehingga meningkatkan perekonomian mereka. Pada awal riset, ia mengaku harus mendatangkan daun singkong dari Riau sebanyak 2 kali. Yang dipesan adalah sebanyak 100 kg daun kering. Ongkos kirimnya bisa sampai Rp800.000. “Jadi kami beli daun dari petani dan diekstraksi di lab. Cara itu dinilai tidak akan ekonomis. Untuk membuat ekstraksi lebih efisien jika dilakukan di tempat lahan singkong itu berada.” Memang singkong banyak tumbuh di mana-mana, tetapi secara supply chain, tidak akan cukup. Jadi yang disasar adalah singkong industri di petani-petani di perkebunan singkong untuk tapioka di kebun-kebun plasma. Akhirnya harus melakukan ekstraksi di sana. Namun, cara ini dipikir masih terlalu mahal sehingga bagaimana dicari teknologinya yang bisa didesentralisasi. Di lab riset tim menemukan dua metode. Metodenya kemudian dipisah, ada teknologi untuk mengekstraksi menjadi bahan baku setengah jadi (misalnya kemurniannya 50%). Itu ternyata bisa dilakukan di petani. Teknologi tersebut kemudian dipatenkan. Untuk menjadi kuning yang asalnya masih hijau harus dimurnikan lagi. Proses pemurniannya harus sudah mengikuti aturan good manufacturing practice (GMP), misalnya dari Badan POM. “Itu harus dibikin industri refinery-nya dan centralized di satu tempat. Jadinya kita split, ada teknologi yang bisa kita kasih ke petani dan teknologi untuk pemurniannya. Di petani itulah yang kita develop teknologinya.”
Tahun lalu sudah uji coba dengan pendanaan dari LPPM ITB. Sementara, risetnya mendapat 2 tahun pendanaan (2019-2020) dari LPIK ITB. Pada 2021-2022 tim mendapat dana dari LPPM ITB untuk mengimplementasikan teknologi bagi petani. Sebelum diaplikasikan, salah seorang petani yang juga teknisi dilibatkan untuk membuat peralatannya. “Ternyata alat dari mulai proses penggilingan sampai pengeringan/ ekstraksi bisa dibikin dan biaya tidak mahal. Kalau mau bikin pabrik kecilnya itu di bawah Rp50 juta, di tempat perkebunan singkong untuk dikerjakan petani. Kita perbaiki teknologinya ternyata harus ada peralihan sedikit, ada lab versi kami yang harus dibuat. Misal kami punya kulkas untuk mendinginkan, ternyata di sana harus dibuat ruangan pendingin. Itu yang teman-teman petani sudah klop dan teknologinya sudah kami coba sekitar 1 tahun.” Tahun ini sudah mengajukan dana padanan (matching fund) lewat Dikti. Teknologi yang sudah dioptimasi siap ditransfer ke masyarakat. Menarik, ternyata tanaman itu memiliki keragaman. Meskipun jenisnya sama, kalau beda tempat, kadang tidak ada hasilnya. Dari Cimenyan dan Purwakarta bisa didapat bioflavonoid, namun ketika mengambil daun singkong dari Subang, tidak ada bioflavonoidnya. “Bahkan sempat rutin beli daun singkong sebelum yang dari Riau, ada dari Bandung dengan harga jutaan per 1 ton. Setelah kami ekstraksi, tidak ada bioflavonoidnya. Itu kekhasan tanaman, tidak selalu stabil.” Untuk mengakses petani, tim bekerja sama dengan Masyarakat Singkong Indonesia (MSI). Semua teknologi ini sudah dipatenkan atas nama ITB. Semua menjadi hak milik ITB, tetapi pihaknya membeli hak lisensinya. Setelah nanti jadi, rencananya akan membangun pabrik untuk pemurniannya. “Kami sudah ada prototipenya yang bisa menggunakan singkong, ada J kapsul dan madu bioflavonoid. Kami juga terus melakukan risetnya. Ada yang riset memakai mencit, toksisitasnya bagus, imunstimunonya bagus, ada antidiabetes, bahkan pada kondisi tertentu bisa menurunkan nafsu makan,” terang Dr. Agus.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 25
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Prof. Dr. Elfahmi
26 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Prof. Dr. Elfahmi
CASSAVA WITHOUT WASTE
S
INGKONG (Manihot esculenta) telah menarik perhatian Prof. Dr. Elfahmi sejak lama. Saat menempuh pendidikan sarjana, 32 tahun lalu, ia sudah menjadikan singkong sebagai subjek penelitian. Pengembangan penelitian ini kemudian dilanjutkan Prof. Elfahmi pada beberapa tahun terakhir ini. “Kita punya program singkong yang dinamakan cassava without any waste. Singkong tidak ada lagi yang terbuang bagiannya. Umbinya untuk diolah jadi makanan. Bagian batang bagian tengahnya bisa ditanam lagi. Bagian bawahnya bisa dipakai membuat briket untuk bahan bakar. Kita kembangkan lagi untuk daunnya. Ini sudah diteliti cukup lama,” terang ilmuwan dari Kelompok Keahlian Biologi Farmasi, Sekolah Farmasi ITB. Dalam penelitian kali ini ia mengapungkan ide memanfaatkan daun singkong untuk kesehatan. Dalam daun singkong terdapat senyawa bioflavonoid. Penelitian ini terus dikembangkan dengan mengisolasi mengambil bioflavonoid dari daun singkong yang disebut dengan cassava biofalovonoid. “Ada dua yang penting, yang kadarnya tinggi dalam daun singkong, namanya sainstifik, yaitu senyawa rutin (82%) dan senyawa nicotiflorin (17%),” jelas lulusan S-3 University of Groningen Belanda ini. Dulu yang dikembangkan hanya senyawa rutin. Setelah diproduksi dan uji coba senyawa ini mempunyai efek untuk menahan cahaya matahari
atau sunscreen. Jadi bisa melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Akhirnya, dalam 5 tahun terakhir dikembangkan lagi bukan hanya rutin, tetapi juga nicotiflorin. Untuk mendapatkan bioflavonoid, dulu tim mencoba dengan menggunakan bahan baku daun singkong kering di Pekanbaru, Riau lalu dikirim ke Bandung. Namun, cara ini dipandang tak efektif karena butuh dana tak sedikit untuk transpor pengirimannya. “Akhirnya kami berpikir bagaimana kalau yang dikirim bukan daun singkongnya. Maka, dikembangkan bagaimana proses ekstraksinya bisa dikerjakan oleh petani di lapangan.” Setelah mendapat teknologi dengan barang modifikasi kini prosesnya dari hulu ke hilir sudah selesai. Dengan menempatkan alat ekstraksi daun singkong ini proses menjadi lebih efisien. “Petani bisa langsung mendapatkan bioflavonoid kasarnya itu sekitar 40%an, tetapi itu yang dikirim ke kita, tinggal groot-nya, paling 2 kg atau 3 kg bahkan kalau sudah besar nanti 10 kg. Namun, sudah mulai konversinya yang daun basah bisa ribuan ton atau ratusan kilo. Untuk sekarang skalanya masih di pabrik, kita di labnya. Besok kalau sudah membesar, itu kita bikin pabrik sendiri. Nah ini dipakai oleh industri nanti kalau butuh. Sementara, untuk menyerap ini kita bisa bikin produk akhirnya.”
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 27
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Nutrasetikal Bioflavonoid dalam daun singkong kini dikembangkan untuk produk-produk nutrasetikal. Produksi nutrisi ini berguna untuk kesehatan dan membantu mengobati penyakit. Nutrasetikal berasal dari kata nutrisi dan farmasetikal, yaitu obat. Jadi dengan mengonsumsi nutrisi, sekaligus bisa memperbaiki kondisi kesehatan. Di Indonesia namanya suplemen makanan atau makanan kesehatan kalau di Badan POM. Produknya bisa dibikin dalam bentuk kapsul atau lainnya. Di Indonesia belum ada terminologi, sedangkan di luar negeri produk nutrasetikal sudah banyak dijual di pasaran. Produk rutin tersebut di antaranya untuk antioksidan, antiinflamasi, penambah nafsu makan. “Beberapa uji toksisitas sudah kita lakukan, hasilnya aman, tidak ada efek samping,” terang Prof. Elfahmi. Salah satu produk yang telah dibuat adalah madu. Madu tersebut difortifikasi sejumlah kecil dari bioflavonoid rutin. Selain rasanya menjadi lebih enak, juga meningkatkan imunostimulan. “Sebenarnya ini sudah banyak yang beli, tapi perizinannya sedang diurus dari BPOM. Jadi belum masif baru dari mulut ke mulut dan sudah banyak yang memakainya. Cuma untuk pemasaran harus didaftarkan di badan hukum.” Untuk saat ini Prof. Elfahmi belum bisa memastikan apakah industri telah siap menerima bioflavonoid singkong. Ia ingin berkomunikasi dengan industri untuk meyakinkan mereka bisa menerimanya. “Tahap awal kita tidak bisa jalan, tetapi sekarang sudah ada industri yang berminat untuk produk ini,” ujarnya. Ke depan, ia akan menawarkan kepada produsen multivitamin untuk dikuantifikasi. “Karena efeknya sudah ada, menambah efek vitamin. Jadi, nanti harapannya kalau berjalan smooth, ini dampaknya luar biasa. Singkong kan tumbuhnya di mana-mana,” katanya.
28 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Berbagai kegiatan penelitian di laboratorium PT EBM Saintifik dan Teknologi, Bandung.
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Potensi Besar Potensi pengembangan pengolahan daun singkong di Indonesia sangat besar karena singkong berlimpah. Hal ini juga berpotensi meningkatkan pendapatan para petani singkong. Prof. Elfahmi mengatakan, kalau misalnya dari 1 hektare sekarang dengan harga singkong Rp3.000 atau ratusan rupiah saja per kilogram, justru malah lebih beruntung daunnya. “Jadi dua-duanya diambil. Apalagi kalau ini nantinya banyak atau booming, yakni produk akhirnya dipakai, bahan bakunya juga dipakai,” terangnya. Ia juga menyebut, kenapa baru sekarang pengembangannya dilakukan dan orang-orang tidak tahu bahwa dalam daun singkong memiliki senyawa yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Perlu bertahuntahun untuk melakukannya. Perlu banyak yang dipelajari. Kalau tidak mengerti, tidak akan keluar endapannya. Misal jumlah air rasionya juga perlu diperhatikan. Mengeringkannya juga tidak mudah. “Dari 40 atau 100 kg dan singkong didapat 1 kg. Setelah diolah di lab hasilnya didapat 10%. Jika 10% saja dianggap sudah 100 gram, untuk obat itu sudah luar biasa. Kalau 100 miligram berapa sekilo? Konversi hitungan kita paling jauh itu setiap 10 kg itu dapatnya 1 kg. Itu berapa produk akhir, bagi 100 mg saja. Satu kilogram kan 1.000 dibagi 100, bisa dapat berapa produk, 10.000 produk. Ini pengembangannya bertahun-tahun.”
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 29
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Hak Paten dan Publikasi Dari segi keilmuan dan riset, sudah ada beberapa publikasi terkait penelitian ini. Sementara tanamannya tidak bisa dipatenkan karena termasuk plasma nutfah. Tujuan mematenkan ini bukan sebagai bentuk kapitalisasi, tetapi untuk mencegah jangan sampai nanti ada orang lain yang mematenkan. “Bisa-bisa nanti orang lain yang melarang kita memakai sendiri,” ucap Prof. Elfahmi. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan juga nanti akan banyak sekali publikasi tentang cassava bioflavonoid. Jadi, bisa diuji untuk berbagai macam penyakit. Seperti sekarang telah diuji untuk antiobesitas dan kolesterol. Sudah ada hasilnya dari mahasiswa S-1 dan hasilnya bagusbagus. Untuk meningkatkan stamina uji preklinisnya juga sudah bagus. “Itu penelitian yang sudah kita lakukan, ke depannya akan banyak sekali penelitian terkait dengan senyawa ini seperti stabilitasnya, lead compound yang dikembangkan menjadi senyawa lain yang mungkin prospektif.” Sementara untuk akses ke para petani singkong, ia juga bermitra dengan Masyarakat Singkong Indonesia (MSI). Mereka telah melakukan survei ke tiga lokasi, yaitu Lampung, Bogor, Sukabumi untuk meneliti perkebunan singkong mana yang prospek untuk pengembangan pengolahan daun singkong ini.***
30 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Karyawan PT EBM Saintifik dan Teknologi memantau transaksi penjualan.
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Daun Kini Bernilai Uang SINGKONG selama ini hanya dimanfaatkan umbinya untuk pangan. Berdasarkan kualitasnya, singkong biasanya diolah dijadikan keripik, tapai, hingga tapioka. Petani singkong pun biasanya hanya menghitung keuntungan yang akan didapatkan dari umbi yang dipanen. Sementara, bagian lain dari pohon singkong, seperti daun, paling dijadikan lalapan, pakan ternak, bahkan terbuang.
Prof. Elfahmi meneliti kandungan bioflavonoid di dalam daun singkong. Bioflavonoid tersebut berkhasiat untuk kesehatan sehingga bernilai jual tinggi. Agar daun singkong dari petani di Warungkiara lebih mudah dimanfaatkan, ITB bekerja sama dengan EBM Scitech memasang mesin ekstraksi daun singkong untuk petani yang dikelola oleh Masyarakat Singkong Indonesia (MSI).
Kondisi tersebut sudah menjadi hal biasa bagi para petani singkong sejak dulu, termasuk di Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi. Namun, kini petani di Warungkiara biasa mendapatkan nilai lebih dari pohon singkong yang mereka tanam, yaitu dengan mengolah daunnya untuk diambil senyawa bioflavonoidnya.
Agar petani dapat mengekstraksi sendiri, dilakukan transfer teknologi oleh tim dari ITB. Para petani dilatih mulai dari memilih daun yang layak dimanfaatkan, mencacah daun singkong, merebus, menyaring, hingga mengeringkan. Dengan demikian, tepung bioflavonoid hasil dari petani lebih praktis untuk dikirimkan ke Bandung dibandingkan dengan hanya mengirimkan daun.*
Menanam singkong
Menjemur gaplek
32 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Penelitian di laboratorium
Mengupas singkong
Menjelaskan kualitas daun TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 33
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Mencacah daun singkong
Memeras rebusan daun 34 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Menyaring air perasan
“EMAS HIJAU“ DARI LIMBAH SINGKONG
Mengendapkan air perasan di ruang pendingin
Meratakan endapan
Mengeringkan endapan dengan oven TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 35
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA Penghargaan internasional untuk pengolahan sampah dan pertanian non-lahan yang laku sebelum dipanen Pulau Maratua masyhur sebagai destinasi wisata bahari memesona. Penyu yang berenang dekat di air laksana kristal, keindahan berbagai jenis terumbu karang dengan ikan-ikan yang cantik hingga lumba-lumba. Di balik keindahan itu, pulau kecil berbentuk huruf U ini berdiri di atas karst sehingga pertanian berbasis lahan sulit dilakukan. Sayuran harus dibawa dari Berau di Pulau Kalimantan. Tantangan lain adalah timbulnya sampah yang akan mengganggu konservasi penyu yang menjadi andalan pariwisata. Ilmuwan ITB menawarkan teknologi terapan hidroponik dan pengolahan sampah organik BSF yang menginspirasi pulau tersebut.
Pulau Maratua di Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
P
ULAU Maratua secara administratif tergabung di Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Pulau tersebut berbatasan langsung dengan Laut Filipina dan Sabah, Malaysia Timur. Dari Tanjung Redeb, Berau bisa menggunakan perahu penyeberangan reguler untuk sampai ke Maratua. Jarak yang ditempuh sekitar 2,5 hingga 3 jam melintasi Laut Sulawesi dan mampir sejenak di Pulau Derawan dengan ditemani lumba-lumba yang berenang di samping perahu. Penyu-penyu berukuran besar berenang lambat di bawah dermaga kayu, terutama pada sore hari di Kampung Payung-Payung. Jika ingin menyelam lebih dalam, terumbu karang yang indah dengan ikan-ikan berwarna-warni mengundang wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang ingin melihat lokasi terumbu karang tempat penyu tidur. Keindahan itu membuat Maratua mendapat julukan baru “Surga di Utara Indonesia” Menurut Kepala Kampung Payung-Payung, Rico, S.I.P., sejak keindahan ini terekspos pada 2015, kunjungan wisatawan ke Maratua melonjak. “Kalau weekend dalam 1 hari itu bisa 300 pengunjung yang datang. Itu cuma satu objek saja,” kata Rico menyebut objek wisata Gua Halo Tabung yang dikelola di kampungnya. Pergeseran itu juga ditunjukkan dari pilihan profesi warganya. Sebelumnya, mayoritas 80% penduduk bekerja sebagai nelayan tangkap, sedangkan 10% menjadi petani kelapa. Sisanya ada yang menjadi PNS dan juga guru di sekolah-sekolah. “Namun, setelah beberapa tahun terakhir menjadi destinasi wisata, banyak penduduk yang tadinya nelayan, beralih profesi menjadi pelaku wisata. Hampir 30%,” kata Rico. Pulau Maratua juga termasuk daerah zona perbatasan atau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan luas daratan sekitar 384,36 km2 dan perairan mencapai 3.735,18 km2. Menurut data dari portal resmi Pemprov Kaltim, penduduk di Pulau Maratua pada 2020 berjumlah kurang lebih 3.600 jiwa dari sekitar 900 kepala keluarga. Selain Kampung Payung-Payung terdapat tiga kampung lain di Kecamatan Maratua, yaitu Kampung Bohe Silian, Kampung Teluk Harapan, dan Kampung Teluk Alulu. Kampung PayungPayung merupakan wilayah pemekaran dari Kampung Bohe Silian di sisi utara. Di Kampung Payung-Payung saat ini terdapat dua rukun tetangga dan dalam tahap pengembangan untuk menjadi tiga rukun tetangga. Jumlah penduduk di kampung ini kurang lebih ada 700 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sekitar 260.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 39
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Sejumlah perahu yang membawa wisatawan sandar di Teluk Harapan Pulau Maratua, Berau, Kalimantan Timur.
Kesadaran Lingkungan Menjadi objek wisata yang bergantung pada keindahan alam, Maratua beruntung dengan tingginya kesadaran lingkungan yang dimiliki para pemudanya. Mereka membentuk organisasi swadaya masyarakat Maratua Peduli Lingkungan yang secara aktif merestorasi terumbu karang dan mencoba mengatasi masalah sampah di lingkungannya.
40 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Mayoritas anggota Maratua Peduli Lingkungan merupakan pemuda lokal yang bekerja sehari-hari sebagai nelayan penangkap ikan dan pelaku wisata. Kelompok ini telah aktif melakukan kegiatan sejak 2020. “Dulu illegal fishing di Maratua sangat luar biasa, terutama penggunaan bom air yang merusak ekosistem dan terumbu karang. Itu membuat sadar para pemuda di Kampung PayungPayung untuk membuat transplantasi karang,” kata tokoh pemuda setempat, Dana Anggriawan.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Kegiatan lain yang aktif dilakukan adalah pembersihan pantai-pantai dari sampah seiring dengan munculnya sejumlah tempat wisata bahari baru yang banyak didatangi oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Volume sampah organik yang dihasilkan di tempat-tempat wisata, termasuk penginapan, hotel, resor, dan restoran terus meningkat. Pengetahuan pengelolaan sampah pun belum tersebar merata. Masyarakat belum teredukasi dengan baik dalam pengelolaan sampah. Masih banyak yang membuang sampah ke pinggir pantai atau langsung ke laut. Jika kebiasaan buruk seperti ini terus berlanjut, dapat menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan. Bukan hanya mencemari lingkungan, juga mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup yang berada di laut. “Sampah-sampah organik biasanya diangkut dan dibuang ke TPS yang makin lama makin menumpuk dan tercampur dengan sampah anorganik,” tutur Dana Anggriawan yang juga merupakan anggota Maratua Peduli Lingkungan ini. Salah satu proyek Maratua Peduli Lingkungan yakni menciptakan pengelolaan sampah yang baik. Selain itu, mengedukasi masyarakat lokal tentang sampah sehingga dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia, habitat penyu, lingkungan, dan sektor pariwisata.
”
Sampah-sampah organik biasanya diangkut dan dibuang ke TPS yang makin lama makin menumpuk dan tercampur dengan sampah anorganik.
Dana Anggriawan
Lalat tentara hitam atau black soldier fly/BSF (Hermetia illucens). TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 41
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Mereka melakukan pembersihan limbah bawah air dan pembersihan pantai, membuat kompos dari sampah organik, mendorong prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan sampah, serta mengedukasi kepada generasi muda untuk meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan. Kampung Payung-Payung memiliki pantai, laut, hutan bakau, dan mangrove yang indah. Berbagai jenis ikan, penyu, ubur-ubur, hingga terumbu karang yang sangat menarik dan menjadi daya tarik wisata andalan. Di kawasan ini terkenal dengan lokasi snorkeling dan menyelam yang menjadi favorit wisatawan. Namun, semuanya bisa rusak gara-gara sampah yang mencemari perairan. Selama ini perairan Maratua menjadi habitat dua jenis penyu, penyu hijau dan penyu sisik kuning. Saat musim bertelur tiba, keduanya sering datang ke pantai-pantai di Pulau Maratua, termasuk pantai di Kampung Payung-Payung.
Ketua Badan Permusyawaratan Kampung Payung-Payung, Muhammad Ilyas yang juga merupakan Ketua Harian Maratua Peduli Lingkungan mengatakan, sampah plastik di laut oleh penyu akan disangka ubur-ubur atau makanan. “Jika sampah tersebut dimakan oleh penyu, akan sangat bahaya bagi keberlangsungan hidupnya. Dengan banyaknya sampah, penyu-penyu tersebut akan enggan untuk bertelur di pasir pantai di sini,” jelas Muhammad Ilyas. Sampah juga membuat pertumbuhan terumbu karang terganggu dan bahkan bisa mati. Permasalahan sampah semakin rumit di Pulau Maratua karena hampir setiap tahun perairan ini selalu mendapat kiriman sampah dari luar negeri, terutama Filipina dan Malaysia. Sampah-sampah ini kerap bercampur dengan limbah rumah tangga dan sangat mengganggu keindahan pantai. Perlu penanganan yang komprehensif untuk menanggulangi masalah sampah di Kampung Payung-Payung, terutama pengelolaan sampah organik dari mulai tingkat terbawah, yaitu rumah tangga.
”
Bahkan, saat ITB memperkenalkannya, kami baru tahu bahwa ada lalat yang tidak berbahaya dan dapat membantu membersihkan sampah organik. Muhammad Ilyas
42 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Maggot BSF untuk pakan ayam di Pulau Maratua.
Biokonversi Merespons tantangan pengelolaan sampah, Institut Teknologi Bandung (ITB) menurunkan tim dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) untuk melaksanakan program pengabdian masyarakat di Kampung Payung-Payung, Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Tim terdiri atas Prof. Dr. Agus Dana Permana dari Kelompok Keahlian (KK) Agroteknologi dan Teknologi Bioproduk, Dr. Aos dari KK Agroteknologi dan Teknologi Bioproduk, Dr. Mia Rosmiati dari
KK Manajemen Sumber Daya Hayati, serta beberapa mahasiswa dari program studi Rekayasa Pertanian Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB yang sedang melaksanakan kegiatan MBKM. Program pengabdian masyarakat oleh tim SITH ITB ini dilakukan multitahun sejak tahun 2021 sampai 2023. Sebelumnya, pada 2020 P-P2PAR ITB pernah terlibat dalam pengembangan destinasi wisata di Pulau Maratua dan Pulau Derawan. Saat itu P-P2PAR ITB berkolaborasi dengan Bank Indonesia untuk memberikan pelatihan pembinaan sadar wisata, pengembangan kelembagaan pengelolaan pariwisata, serta pelatihan pengembangan produk pariwisata di Pulau Maratua.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 43
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Kegiatan program pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan tim SITH ITB berfokus pada dua hal, yaitu pengolahan sampah organik menggunakan maggot yang berasal dari lalat tentara hitam atau black soldier fly atau BSF (Hermetia illucens) dan pengembangan tanaman pekarangan dengan memakai metode hidroponik.
Pengolahan sampah organik menggunakan BSF dapat menjadi alternatif yang cocok untuk pengelolaan sampah di daerah kepulauan seperti Maratua. Larva BSF dapat mengonversikan sampah organik menjadi biomassa yang memiliki kandungan nutrisi tinggi. Selain itu, sisa proses konversi juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Prof. Agus Dana Permana mengatakan, BSF telah lama dikembangkan di SITH ITB untuk mengolah sampah organik. Selain itu, pupanya dapat dijadikan sebagai pakan ternak unggas serta ikan. “Limbah dari proses pengolahan ini dapat dijadikan pupuk organik,” ujarnya.
“Awalnya untuk sampah organiknya kita mengambil sampah di warung-warung dan tetangga-tetangga. Prosesnya, sampah dimakan oleh larva. Maggot juga ternyata bisa dipakai sebagai pakan ternak,” katanya.
Sejak awal Oktober 2021, tim SITH ITB melaksanakan pengabdian kepada masyarakat di Kampung Payung-Payung dengan tema “Pengembangan Lalat Tentara Hitam: Agen Biokonversi Sampah Organik”. Bekerja sama dengan pemerintah Kampung Payung-Payung, tim melakukan pelatihan pemeliharaan BSF kepada sekitar 25 orang warga. Peserta yang hadir beragam, terdiri atas masyarakat umum dan anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis). Bahkan kepala kampung juga turut hadir dalam pelatihan ini.
Bersama anggotanya ia sempat merasakan panen telur lalat BSF. Namun, suatu ketika pernah lalatnya habis tak terurus akibat kesibukan anggota lainnya. “Yang jaga di sana pulang ke Makassar. Saya juga ada kegiatan di Tanjung Redeb. Akhirnya telur-telurnya tidak terurus. Namun, tim ITB kemudian membawa lagi bibit larva BSF dari Bandung karena di sini belum ada.” Kegiatan pengabdian tahun 2021 di Kampung Payung-Payung mendapat perhatian warga, termasuk kelompok sadar wisata. Mereka mulai tergerak untuk melakukan pengolahan limbah organik dari hotel, penginapan, dan restoran menggunakan larva BSF.
Materi yang diberikan pada pelatihan tersebut mulai dari informasi ilmiah dan manfaat BSF sampai melakukan praktik cara budi daya BSF. Praktik pemeliharaan dilakukan di Teluk Pea, tempat kandang BSF dibangun. Pada aktivitas ini dijelaskan tahap budi daya BSF dari telur, larva, pre-pupa, pupa, hingga lalat dewasa.
Mereka juga mulai memiliki keinginan mengembangbiakkan BSF untuk dijadikan pakan ayam kampung. Fasilitas kandang budi daya BSF dengan ukuran kecil, yaitu 3x4x3 meter telah dibangun 2021 ingin diperbesar serta ditambah fasilitas percontohan pemeliharaan ayam kampung pada tahun berikutnya.
Muhammad Ilyas mengatakan, program pengembangan BSF merupakan program baru di kampungnya karena sebelumnya belum pernah ada. “Bahkan, saat ITB memperkenalkannya, kami baru tahu bahwa ada lalat yang tidak berbahaya dan dapat membantu membersihkan sampah organik,” ujar Muhammad Ilyas.
Kegiatan pengabdian tahun 2022 dan 2023 di Kampung PayungPayung didanai dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB. Tim lebih memfokuskan pada budi daya BSF skala lebih besar untuk menghasilkan maggot BSF sebagai tambahan pakan ayam kampung.
44 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Saat itu telah dibangun kandang ayam dan pengadaan ayamnya, tetapi jumlah ayam kampungnya masih sangat sedikit. Sulit sekali untuk mendatangkan bibit ayam ke Maratua. Pelatihan difokuskan pada pemeliharaan larva BSF yang efisien, budi daya lalat dewasa agar menghasilkan telur yang banyak, serta pemeliharaan ayam kampung menggunakan pakan tambahan berupa maggot BSF. Sebagai warga, Muhammad Ilyas merasakan manfaat besar dengan adanya program BSF yang diterapkan ITB di kampungnya. “Alhamdulillah dengan kehadiran ITB di kampung kami, warga sangat terbantu karena ilmu-ilmu yang diberikan seperti BSF masih jalan sampai sekarang. Program tersebut sangat membantu untuk mengurangi sampah organik yang ada,” papar Muhammad Ilyas.
Sementara, Rico menambahkan, dari program BSF ini, selain mengurangi sampah organik, sekarang sudah bisa dimanfatkan menjadi pakan alternatif bagi ayam. “Salah seorang warga kami bernama Pak Hamri yang kami percaya untuk mengelola BSF, kini sudah tidak kesusahan mencari pakan untuk ayam,” tuturnya. Hamriadi yang lahannya digunakan untuk instalasi BSF dan ternak ayam mengaku, pakan yang dari BSF membuat pertumbuhan ayamnya lebih cepat. “Kami memberikan limbah ikan dan udang untuk lalatnya. Mungkin ini membuat produk pakannya lebih bagus ketika dijadikan pakan ayam,” paparnya. Limbah dari hasil tangkapannya sebagai nelayan ini juga disebutnya bisa termanfaatkan. “Banyak limbah tangkapan terbuang karena memang perlu es yang relatif banyak. Tetapi, sekarang, ya diberikan pada lalat BSF-nya,” lanjutnya.
”
Kami memberikan limbah ikan dan udang untuk lalatnya. Mungkin ini membuat produk pakannya lebih bagus ketika dijadikan pakan ayam.
Hamriadi
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 45
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Penghargaan Internasional
dan SMILO, yang merupakan lembaga nonprofit dan bermarkas di Paris, Prancis.
Maratua Peduli Lingkungan menorehkan prestasi membanggakan di kancah internasional. Mereka meraih juara kompetisi video internasional bidang lingkungan hidup bertajuk “My Projects in 120 seconds” pada acara Celebrate Islands 2022. Ajang tahunan tersebut diselenggarakan oleh Conservatoire du littoral, NGO PIM,
Pembuatan video tersebut bekerja sama dengan Yayasan Penyu Indonesia. Video tersebut menceritakan aktivitas Maratua Peduli Lingkungan dalam menjaga penanganan sampah di laut, terutama perlindungan terhadap penyu. Yang menjadi nilai tambah dalam video tersebut juga disematkan kegiatan pengolahan sampah organik menggunakan BSF yang diinisiasi oleh ITB.
46 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Kami mendapat hadiah uang 4.000 euro atau sekitar Rp60 jutaan. Uang tersebut kami belikan tempat sampah, speed untuk monitoring. Program BSF dari ITB termasuk yang ada di video tersebut,” kata Ketua Harian Maratua Peduli Lingkungan, Muhammad Ilyas. Sementara, Prof. Agus Dana Permana mengaku kaget dan tak menyangka bahwa video tersebut dapat menyabet penghargaan
bergengsi di Celebrate Islands 2022. Menurutnya, persaingannya ketat. Pesertanya bagus-bagus dari berbagai belahan dunia. “Isi videonya tentang pengelolaan sampah untuk kelestarian lingkungan dan tempat wisata penyu. Efek dari pengelolaan sampah memakai metode BSF di video tersebut jadi nilai tambah,” kata Prof. Agus Dana Permana.***
Maggot BSF Pemusnah Sampah Organik Bernilai Ekonomis INDONESIA merupakan penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia. Padahal, selain mengotori lingkungan, sampah organik sisa makanan tersebut menjadi sumber gas metana yang menyebabkan efek rumah kaca. Apalagi jika sampah tersebut dihasilkan di pulau kecil yang tidak memiliki tempat penampungan sampah yang mumpuni seperti Pulau Maratua. Beruntung, Guru Besar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati SITH ITB, Prof. Dr. Agus Dana Permana, memperkenalkan pengolahan sampah organik menggunakan lalat tentara hitam atau black soldier fly/BSF (Hermetia
illucens). Larva BSF dapat mengonversikan sampah organik menjadi biomassa yang memiliki kandungan nutrisi tinggi sehingga cocok untuk pakan ternak. Selain itu, sisa proses konversi juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Budi daya BSF pun tidaklah sulit dan tidak memerlukan teknik khusus sehingga semua orang bisa melakukannya. Selain itu, biaya pakan juga gratis dari limbah organik rumah tangga. Padahal, maggot yang dihasilkan bernilai ekonomis jika dijual sebagai pakan ternak seperti ayam, burung, hingga ikan.*
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Tempat bertelur
Memisahkan sampah organik
Memberi makan ayam
Maggot dan sampah organik TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 49
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Prof. Dr. Agus Dana Permana
PERAHU MOGOK DI TENGAH LAUT
M
ELAKSANAKAN pengabdian masyarakat di daerah 3T atau tertinggal, terdepan, dan terluar memberi pengalaman tersendiri bagi Prof. Dr. Agus Dana Permana. Guru Besar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengatakan, setelah menempuh perjalanan dengan pesawat sampai ke Berau, perjalanan berlanjut menggunakan jalur laut.
Terhitung sudah tiga kali ia melaksanakan pengabdian masyarakat bersama tim SITH ITB di Kampung Payung-Payung, sejak 2021. Pengabdian masyarakat ITB di Maratua berawal dari kerja sama Pusat Perencanaan Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung (P-P2PAR ITB) dengan Bank Indonesia yang mengumpulkan kelompok masyarakat untuk pengembangan pariwisata pada 2020.
Speedboat kecil yang beroperasi dua kali dalam sehari mengantar tim ITB menuju Maratua. “Jika lancar, perjalanan ditempuh tak lebih dari 2,5 jam. Namun, saat perjalanan terakhir, speedboat yang dinaiki sempat mogok di tengah laut. Pada ketakutan juga karena terombang-ambing oleh ombak. Perjalanan jadi molor selama 3 jam lebih,” kenang Prof. Agus Dana Permana.
Tim SITH yang dipimpin Prof. Agus Dana Permana membawa dua misi utama, yaitu mengembangkan metode pengolahan sampah organik menggunakan lalat tentara hitam atau BSF (Hermetia illucens) serta pengolahan tanaman pekarangan melalui metode hidroponik.
Sesampainya di pelabuhan, tim dijemput memakai mobil bak terbuka untuk menuju Kampung Payung-Payung, lokasi pengabdian dilaksanakan. “Beruntung, kami bisa tinggal di salah satu rumah penduduk. Hotel-hotel kecil semacam vila di sana harganya lumayan mahal. Apalagi, hotel mewah bisa Rp4 juta-Rp6 juta per malam,” kata pakar di bidang entomologi ini.
50 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Pulau Maratua merupakan destinasi wisata baru. Kami berpikir dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke sana, akan banyak juga resor dan restoran yang tentunya aktivitasnya menghasilkan banyak sampah organik. Bukan hanya itu, kebiasaan masyarakat membuang sampah ke perairan juga harus diubah,” jelas pria yang telah menjadi dosen sejak tahun 1992 ini.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Apalagi, Maratua bisa dijadikan tujuan wisata lanjutan bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Derawan yang lebih dulu kondang dengan wisata baharinya. Dari Pulau Derawan, wisatawan cukup menempuh satu jam perjalanan untuk ke Maratua. “Selama ini mereka membuang sampah begitu saja ke TPS. Ada juga yang membuang langsung ke pantai atau dipendam lalu dibakar,” tutur Prof. Agus Dana Permana. Pelatihan pengolahan sampah organik menggunakan BSF di Kampung Payung-Payung berjalan lancar. Untuk pengembangan BSF, tim SITH membawa telur larva atau pupanya dari Bandung untuk kemudian dikembangbiakkan di Maratua. Teknologi terapan yang cukup sederhana ini menarik warga dan mereka sudah bisa mengembangkannya. Namun, yang belum banyak termanfaatkan adalah maggotnya. Padahal, maggot mengandung protein tinggi yang bisa dijadikan sebagai pakan alternatif bagi ternak. “Untuk itu, pada 2022 kami mencoba menambahkan program agar warga memelihara ayam pedaging dengan harapan dari proses pengembangan BSF bisa dimanfaatkan juga untuk ternak.” Ternyata, ikhtiar tersebut tidak berjalan mulus. Walau telah dibuatkan kandang, bukan berarti membuat ayam-ayam tersebut aman. Ayam-ayam di kandang menjadi sasaran empuk kawanan anjing yang berkeliaran pada malam hari. Anjing-anjing tersebut kerap merusak kandang-kandang yang telah dibuat dan memakan ayam di dalamnya. “Malah lebih aman kalau membiarkan ayam tersebut di alam bebas. Kalau sore, dia naik ke atas pohon dan tidak akan dimangsa oleh anjing liar,” ujar peraih gelar doktor dari ENSA Montpellier, Prancis dengan bidang agrikultur dan entomologi ini.
Prof. Dr. Agus Dana Permana
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 51
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Bukan hanya kandang ayam, anjing-anjing tersebut juga sering merusak fasilitas kandang untuk pengembangbiakan BSF. Pada tahun kedua, menggunakan biaya dari LPPM ITB, semua fasilitas sebenarnya sudah diperbaiki dan menjadi bagus. Namun, pada tahun ketiga, kandang-kandang tersebut rusak lagi sehingga harus kembali mengeluarkan biaya untuk memperbaikinya.“Saya ingin warga benarbenar menjaga fasilitas yang sudah kita bangun agar mereka bisa terus mengembangkan pemanfaatan BSF untuk sampah organik.” Hambatan lain adalah dari warga sendiri. Mereka awalnya seperti kurang tertarik untuk terlibat. Warga yang melihara ayam juga tidak mau membantu dalam mengembangkan dan memelihara BSF. “Mereka maunya hanya meminta maggot ke kelompok yang kita bina. Baru pada tahun kedua dan ketiga mereka benar-benar bergerak mengembangkan BSF,” kata dosen dari Kelompok Keahlian Agroteknologi dan Teknologi Bioproduk ini. Pada tahun ketiga atau 2023, tim rencananya mengganti ayam pedaging dengan ayam petelur. Ayam-ayam tersebut telah dipersiapkan di Bandung dan sudah diperiksa terbebas dari penyakit flu burung. Pengembangan ayam petelur ini selain bertujuan agar pengembangan BSF bisa maksimal juga setidaknya kebutuhan telur harian masyarakat bisa terpenuhi. Setelah bertanya ke pihak maskapai penerbangan, untuk perjalanan Jakarta ke Balikpapan atau Samarinda masih aman dan telah dihitung biaya. Akan tetapi, dari Balikpapan atau Samarinda ke Berau pesawatnya kecil, tidak ada oksigen di bagasi.
52 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Ayamnya pasti mati. Solusinya, kita mencari ayam petelur di Berau. Ada, tetapi pemiliknya tidak mau menjualnya. Jadinya, kita beralih lagi ke ayam pedaging. Namun, karena di speedboat kepanasan, ayamnya mati di jalan.” Akhirnya tim membeli ayam di Maratua untuk melakukan demo bahwa pemakaian pakan komersial bisa dikurangi atau diganti dengan maggot untuk tujuan pengembangan BSF. Pengembangan BSF ini nantinya diharapkan bisa sejalan dengan program hidroponik yang dijalankan. Sisa sayuran dan buahbuahan yang dipakai untuk sumber makanan maggot akan menghasilkan cairan sampah lindi yang bisa dijadikan pupuk organik. “Itu bisa menjadi larutan untuk menumbuhkan tanaman hidroponik. Penggunaannya harus dicampur dengan nutrisi hidroponik. Dengan demikian, biaya untuk membeli nutrisi hidroponik bisa dikurangi. Meski demikian, masih perlu waktu dalam pelaksanaannya,” jelas Prof. Agus Dana Permana. Dari pelaksanaan program ini, hal yang menggembirakan adalah raihan penghargaan internasional “Celebrate Islands 2022” yang diselenggarakan oleh lembaga internasional di Paris, Prancis. Kelompok masyarakat Maratua Peduli Lingkungan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat pelestarian penyu, mengikutsertakan video penanganan sampah dan pelestarian penyu termasuk pengolahan sampah dengan BSF ini. “Saya juga kaget mereka ternyata bisa menang. Kalau melihat saingan, cukup berat dari berbagai belahan dunia. Mereka membuat video tentang pengelolaan sampah untuk kelestarian lingkungan dan penyu. Pengolahan sampah memakai metode BSF juga ada di video tersebut. Ini menjadi nilai plus.”***
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Wisatawan pulang menyelam di dermaga Teluk Harapan, Maratua.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 53
PERTANIAN NON-LAHAN
B
ERKEMBANG sebagai daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara, Maratua memiliki tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan untuk rumah tangga, sekaligus bagi rumah makan, penginapan, dan resor yang sangat bergantung pada pasokan dari luar. Untuk kebutuhan sayuran, contohnya, selama ini masyarakat di Pulau Maratua harus mendatangkannya dari Kabupaten Berau. Jarak tempuh dari Kabupaten Berau ke Maratua yang jauh serta biaya transportasi yang tinggi menyebabkan harga sayuran di tingkat konsumen sangat mahal dan jenis sayurannya terbatas. “Dari Kabupaten Berau ke Pulau Maratua ongkosnya lumayan mahal. Sayuran pun sampai di Maratua sudah dalam kondisi agak layu. Jadi, sayuran sangat susah didapatkan di Maratua,” ujar Kepala Kampung Payung-Payung, Rico S.I.P. “Sayur di sini susah. Membelinya harus ke kota, jauh, dan perlu biaya. Kalau sayur, seikat itu harganya mahal,” timpal Ermi Wahyuni, Ketua PKK setempat.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Menurut mereka, penduduk di kampungnya lebih banyak memakan ikan tangkapan dari laut. Sementara, untuk mengonsumsi sayuran, sangat jarang. Budi daya sayuran berbasis lahan sangat sulit dilakukan di Maratua. Semua terkendala karena Maratua didominasi tutupan lahan yang merupakan batuan karst dengan kondisi top soil mulai dari yang tidak ada tanah sampai dengan sangat dangkal. Kendala lain dalam pengembangan sayuran di daratan utama pulau, yaitu area sekitar pantai kondisi tanah berpasir dan proporsi tutupan batuan yang tinggi, porositas dan salinitas yang tinggi. Kondisi air tanah atau mata air pun didominasi oleh kondisi yang payau serta keterampilan masyarakat yang masih rendah dalam bidang pertanian, terutama pada kegiatan budi daya tanaman sayuran. “Ketika tim pengabdian masyarakat melakukan identifikasi, masalah utama di Maratua sebagai pulau karst atau karang, kegiatan pertanian berbasis lahan itu sangat sulit dilakukan. Selain itu, ada keterbatasan air tawar. Kalau menggali pun, kondisi airnya dominan mempunyai salinitas tinggi,” kata Dr. Aos, dari SITH ITB. Oleh karena itu, tim SITH ITB yaitu Dr. Aos, Dr. Mia Rosmiati, dan Prof. Agus Dana Permana memilih menawarkan pengembangan pertanian non-lahan. “Terpikirkan konsep bagaimana pemanfaatan berbasis non-lahan tetapi efektif dan efisien dalam penggunaan air meskipun menghadapi masalah lain yaitu kultur masyarakat yang tidak mengenal kegiatan pertanian intensif karena mereka basisnya adalah nelayan. Ini adalah sebuah tantangan yang berat juga untuk mengenalkan kegiatan pertanian di Maratua,” papar Dr. Aos.
Dr. Aos (kanan) memeriksa sayuran hidroponik ibu-ibu PKK Kampung Payung-Payung, Maratua.
56 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Hidroponik Inisiasi kegiatan lain yang dilakukan di Kampung Payung-Payung, menitikberatkan pada optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan untuk budi daya sayuran dengan menggunakan teknologi hidroponik. Teknologi budi daya tanaman sayuran hidroponik dipilih karena dinilai paling cocok diterapkan di Pulau Maratua yang memiliki sejumlah kendala, terutama kondisi tanah yang tidak sesuai. Pada pelaksanaan pengabdian tahun pertama 2021, selain dilakukan pelatihan dan demplot budi daya tanaman pada lahan pekarangan, juga peningkatan motivasi usaha dan pengembangan agribisnis lahan pekarangan. Sementara, pendampingan kegiatan budi daya dan pemeliharaan dilakukan oleh mahasiswa MBKM SITH Program Studi Rekayasa Pertanian. Kegiatan ini mendapat sambutan baik dari Kepala Kampung Payung-Payung, Rico. “Saat bertemu dengan Pak Aos pada 2021, kebetulan ia menawarkan program hidroponik. Tanpa pikir panjang saya langsung minta izin ke Pak Camat untuk melakukan kegiatan tersebut di Kampung Payung-Payung. Istilahnya Pak Aos langsung saya ‘culik’ ke kampung kami karena program yang ditawarkannya sangat luar biasa,” jelas Rico sambil tertawa. Harapannya, dengan program ini masyarakat di Pulau Maratua memiliki motivasi dan mengaplikasikan budi daya sayuran dengan memanfaatkan lahan pekarangannya sehingga kebutuhan sayuran dapat terpenuhi dari dalam pulau sendiri. Kemudian, dapat dikembangkan menjadi usaha yang akan menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Pada tahap awal, warga kampung diajak untuk menanam kangkung yang dinilai paling mudah dalam penanaman dan perawatannya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 57
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Ibu-ibu PKK mengirimkan sayuran hasil panen kepada pemesan.
58 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Aktivasi PKK Program hidroponik berlanjut pada tahun 2022 dengan kelompok sasaran di antaranya kelompok sadar wisata (pokdarwis) dan tim penggerak PKK Kampung Payung-Payung. Tim juga bermitra dengan pemerintah Kecamatan Maratua dan Kampung Payung-Payung. Kegiatan yang sudah dilakukan, antara lain penerapan teknologi hidroponik yang terdiri atas pelatihan pembuatan instalasi hidroponik, pelatihan pengelolaan nutrisi hidroponik, pelatihan penanaman tanaman sayuran hidroponik, pemeliharaan tanaman hidroponik, dan pemanenan tanaman hidroponik.
Selain itu, dilakukan peningkatan kapasitas berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen agribisnis dan pemasaran produk pertanian yang meliputi diskusi dan pelatihan pentingnya manajemen kelompok, pembentukan kelompok usaha pengelola budi daya hidroponik, pengaturan jadwal pemeliharaan dan pengawasan tanaman hidroponik. Ketua PKK Kampung Payung-Payung, Ermi Wahyuni juga menyambut baik program hidroponik dari tim SITH ITB ini. Sebelumnya, mayoritas ibu rumah tangga tidak memiliki aktivitas yang produktif. “Walaupun pada tahap awal cukup susah untuk menggerakkan, lama-lama mereka banyak yang bergabung untuk mengembangkan program hidroponik dari ITB,” ujar perempuan yang juga merupakan guru bahasa Jerman di SMAN 1 Berau ini.
”
Walaupun pada tahap awal cukup susah untuk menggerakkan, lama-lama mereka banyak yang bergabung untuk mengembangkan program hidroponik dari ITB. Ermi Wahyuni
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 59
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Ermi mengatakan, hidroponik merupakan hal yang baru bagi para ibu di Kampung Payung-Payung. Akhirnya ia mencoba membentuk kelompok tani Payung-Payung yang anggotanya merekrut dari anggota PKK. Untuk merekrut lebih banyak anggota, ia melakukan semacam “kampanye” di media sosial Facebook. “Saya tahu ibuibu di sana menyukai Facebook. Saya sebarkan foto-foto kegiatan di sana, termasuk memberitahukan ada seragam dari ITB bagi mereka yang bergabung dalam kegiatan,” paparnya. Lama-lama mereka tertarik untuk bergabung dalam pelatihan. Kini anggota kelompok tani berjumlah sekitar 20 orang dan antusias mengikuti program ini. Untuk kelancaran program ini, ia juga telah menunjuk ketua kelompok tani bernama Mirnawati dan membuat jadwal piket untuk mengontrol tanaman. “Pengecekan dilakukan dua hari sekali untuk mengontrol apakah ada tanaman yang mati atau surang kadar nutrisi. Semua didokumentasikan lewat foto-foto.” Kegiatan pelatihan dimulai sejak tanggal 7–11 Juli 2022 dan dilanjutkan dengan pendampingan oleh lima mahasiswa dari program studi Rekayasa Pertanian SITH ITB sampai dengan 19 Agustus 2022. Peserta pelatihan sangat antusias mengikuti seluruh kegiatan dan mereka sangat berharap kegiatan hidroponik ini akan menjadi salah satu unit usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan. Tanaman yang dibudidayakan waktu itu yakni kangkung tumbuh dengan subur. Tanaman kangkung hasil pelatihan ini dipanen pada 8 Agustus 2022 yang dihadiri juga oleh Camat Maratua.
60 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Laku Sebelum Panen Kini, setelah kurang lebih tiga tahun melakukan pendampingan, upaya penerapan teknologi hidroponik untuk budi daya sayuran di Pulau Maratua mulai membuahkan hasil. Paling tidak, ketergantungan terhadap pasokan dari luar pulau semakin berkurang. Muhammad Ilyas menyebut bahwa warga menyambut antusias program hidroponik yang dibawa oleh tim ITB. Bahkan mereka minta tambahan instalasi lagi.“Mungkin ini program hidroponik yang pertama kali di Pulau Maratua, yaitu di Kampung Payung-Payung karena sebelumnya tidak ada yang pernah menanam sayuran, seperti sawi dan kangkung,” terang Muhammad Ilyas. Jenis sayuran hidroponik yang menjadi primadona masyarakat di Kampung Payung-Payung adalah sawi. Makanya, setiap panen dan diunggah ke media sosial, warga seputar kampung banyak yang pesan. Menurut Muhammad Ilyas, harga per ikat sawi hasil hidroponik bisa mencapai Rp10.000. Namun, untuk saat ini belum bisa menjual sampai ke resor-resor, baru sebatas masyarakat. “Dengan harga Rp10.000 mereka tetap mau membeli karena sawinya beda kalau hidroponik. Terkadang ada warga luar kampung juga yang memesan. Biasanya, sayuran tersebut telah habis dipesan sebelum panen dilakukan,” kata Muhammad Ilyas. Dari mulai tanam sampai panen butuh waktu kurang lebih 40 hari. Yang dijual adalah yang hasil panen yang bagusnya, sisanya dibagi-bagi ke ibu-ibu. Saat ini rata-rata dalam satu kali panen menghasilkan 20 ikat. Hal ini akibat pengaruh kurang terpapar sinar matahari.“Makanya, kebunnya kami pindahkan. Sebelumnya, biasanya untuk sekali panen bisa mendapatkan 50 ikat.” Saat ini, masyarakat setempat sudah dapat membuat kompartemen hidroponik sendiri. Mereka juga terus melanjutkan kegiatan ini dipelopori oleh ibu-ibu PKK Kampung Payung-Payung yang dibantu oleh Kecamatan Maratua.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
“Sekarang mereka sudah bisa menanam, tetapi masih butuh pembinaan. Untuk pengembangan, pemerintah kampung telah menganggarkan dana Rp10 juta untuk semua mulai dari bibit dan segala macamnya,” kata Muhammad Ilyas. Harapannya dalam jangka panjang, hasil panen dari hidroponik ini akan menyuplai resor serta rumah makan karena dari sisi pemasaran, tidak ada masalah.
Kelompok tani PKK Kampung Payung-Payung sudah mulai merasakan manfaat dari menanam sayuran hidroponik. Jadwal panen pun diunggah di media sosial sehingga orang-orang sekitar menjadi tahu. “Untuk hasil panen sawi kadang dapat 26 atau 30 ikat dan dibanderol dengan harga Rp10.000. Lumayan, hasilnya bisa buat bayar listrik dan membeli nutrisi. Walaupun belum seberapa, ibu-ibu jadi ada aktivitas, ada sesuatu hal yang menyenangkan.”
Anggota PKK Kampung Payung-Payung menawarkan sayuran hidroponik melalui media sosial.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 61
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Replikasi Mandiri Melihat minat tinggi masyarakat di Kampung Payung-Payung, teknologi hidroponik sudah dibuat replikasi dan dipasang instalasi baru. Dengan keberhasilan setelah perjalanan tiga tahun, program ini akan ditetapkan menjadi program kecamatan dan bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kesuksesan program hidroponik di Kampung Payung-Payung membuat kampung lain berlomba-lomba untuk belajar mengembangkan hidroponik. Instalasi hidroponik di Kampung Payung-Payung secara mandiri telah bertambah melalui pemanfaatan dana desa. Selain itu, pihak kecamatan juga telah memasang sendiri instalasi hidroponik dan telah menjadi program khusus pengembangan di tingkat kecamatan. “Mereka belajar dari kami untuk mengembangkan hidroponik. Ibu-ibu PKK Kampung Payung-Payung sering diundang untuk menjadi narasumber di kampung lain,” jelas Rico. Program ini sangat berdampak. Dengan metode hidroponik, sayur segar jadi mudah didapat. “Selain itu, ibu-ibu yang tidak ada penghasilan sekarang bisa mengelola hidroponik dan mendapatkan penghasilan dari menanam dan menjual sayuran,” papar Rico. Rico berharap program pengabdian ITB di Kampung Payung-Payung tidak berhenti di hidroponik dan BSF saja. Saat ini, warga di kampungnya kesulitan mendapatkan air bersih. “Saya tahu ITB sangat luar biasa inovasinya. Harapan kami jika ada kegiatan atau inovasi dari ITB ke depannya bisa menyelesaikan permasalahan air bersih di Maratua,” kata Rico. Rico juga mengapresiasi kedatangan ITB yang telah bersedia melakukan program pengabdian masyarakatnya di Kampung Payung-Payung. “Kami dari pemerintah kampung sangat berterima kasih. Semoga kerja sama ini terus berjalan.”***
62 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Memanen baby pakcoy hasil pertanian hidroponik. TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 63
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Dr. Aos
MEMANGGUL CANGKUL
B
ERKOMUNIKASI dengan para petani bisa jadi tantangan tersendiri bagi para ilmuwan yang ingin mengabdikan dirinya di pelosok, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Akan tetapi, tidak bagi dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), ITB, Dr. Ir. Aos, M.P.
Dr. Aos
64 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Saya lahir dari keluarga petani. Sampai saat ini, saya juga masih memanggul cangkul terutama saat akhir pekan, mengolah lahan dan melakukan kegiatan budi daya tanaman padi, tanaman sayuran, tanaman tahunan, juga buah-buahan,” katanya.
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Selain melakukan budi daya tanaman secara langsung, ia juga membuat pupuk sendiri yaitu pupuk organik dan pestisida organik. “Pengalaman itu juga yang sering diaplikasikan pada saat kegiatan pengabdian masyarakat. Jadi pengalaman-pengalaman pribadi yang memang bagus dan baik bisa diterapkan untuk meningkatkan kapasitas mitra binaan.” Ketika pertanian dipandang sebagian orang sebagai profesi yang tidak menarik, Dr. Aos meyakini bahwa bidang ini tak mungkin hilang selama manusia masih hidup dan perlu makan. “Itu salah satu keunggulan pertanian dibandingkan dengan sektor industri lainnya,” tegasnya. Namun, ia menegaskan bahwa pertanian harus mampu memenuhi tantangan pengelolaan yang produktif dan berkelanjutan. “Manusia senantiasa selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik. Oleh karena itu, pola-pola pertanian yang lebih terencana kemudian menjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya itulah yang mampu akan bersaing, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, keberlanjutan dari lingkungannya,” terang Dr. Aos. Pertanian juga dituntut untuk menghasilkan produk yang sehat. “Kualitas bukan hanya dari sisi bentuknya, tetapi dari sisi produknya. Pengembangan pertanian organik juga meminimalkan, misalnya, penggunaan pestisida yang dapat menimbulkan efek samping negatif, baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap kesehatan lingkungan,” paparnya. Pengembangan pertanian di masa kini dan masa datang juga tidak lepas dari sentuhan teknologi. Menurut Dr. Aos, penerapan smart farming berbasis teknologi kecerdasan buatan perlu menjadi pertimbangan bagi para petani dan pendukungnya.
”
Saya lahir dari keluarga petani. Sampai saat ini, saya juga masih memanggul cangkul terutama saat akhir pekan, mengolah lahan dan melakukan kegiatan budi daya tanaman padi, tanaman sayuran, tanaman tahunan, juga buah-buahan. Dr. Aos
“Pengaturan nutrisi, pengaturan kondisi lingkungan, temperatur akan berbasis digital. Sebagai contoh bila kelembapannya tidak sesuai, secara otomatis akan dibuat dengan pengaturan teknologi tersebut, kelembapan yang bisa diatur juga secara digital.” Terkait dengan pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat di pelosok, menurutnya menjadi bentuk aktivitas yang krusial. “Ketersediaan pangan yang cukup merupakan poin penting dalam membangun ketahanan pangan, sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan masyakarat di daerah 3T,” kata dosen dari Kelompok Keahlian Agroteknologi dan Teknologi Bioproduk SITH ITB ini. Ia melihat pengabdian yang dilakukan ITB berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan diharapkan dilakukan secara berkelanjutan. Dengan melakukan pengabdian yang konsisten, secara tidak langsung juga makin menumbuhkan kecintaan masyarakat di daerah 3T terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.*
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 65
Merawat Primadona Maratua PULAU Maratua di gugusan Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur menggeliat menjadi salah satu primadona wisata bahari Indonesia. Pulau yang berbatasan dengan Filipina dan Malaysia tersebut memiliki potensi alam luar biasa. Penyu-penyu berenang dengan bebas, terumbu karang tumbuh memesona, dan elang laut terbang nyaman membelah angkasa. Seiring banyaknya kunjungan wisatawan ke Maratua mencuat persoalan yang bisa berdampak terhadap lingkungan, terutama produksi sampah organik. Bukan hanya itu, kebutuhan terhadap bahan makanan, terutama sayuran juga meningkat. Selama ini mayoritas bahan makanan didatangkan
dari luar pulau. Beruntung, ITB menghadirkan solusi atas permasalahan di Maratua. Lewat program pengabdian masyarakat, tim SITH ITB memperkenalkan metode lalat tentara hitam atau black soldier fly/BSF (Hermetia illucens) untuk mengurangi sampah organik. ITB pun mengembangkan tanaman pekarangan dengan memakai metode hidroponik. Hasilnya, kondisi alam sang primadona tetap lestari. Masyarakat pun memiliki ketahanan pangan dan mendapat tambahan penghasilan dengan menjual sayuran segar ke penginapan dan restoran yang terus bertumbuh di Maratua.*
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Elang menyambar mangsa
Rombongan ikan berenang bebas
Terumbu karang
Penyu mencari rumput laut
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 67
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Terjun ke laut biru
68 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
MENGINSPIRASI “SURGA” MARATUA
Pelatihan hidroponik
Maggot BSF untuk pakan ayam
Membersihkan akar
Pemasaran ditawarkan melalui media sosial
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 69
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN Dua puluh tujuh tahun silam, Mastori (47) merintis kariernya di industri rotan. Selepas SMK, ia mulai bekerja di perusahaan furnitur rotan di Cirebon. Pertautannya dengan intervensi program pengabdian kepada masyarakat ITB membuat nasibnya berubah. Selain meningkatkan penghasilan, ia wara-wiri menjadi instruktur pelatihan produk rotan, baik di kalangan lokal, luar provinsi, hingga ke luar negeri. Selain juga dampak pada produk industri rotan yang diakui sangat khas bergantung pada desain.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
P
ADA 1996 ia bergabung dengan sebuah perusahaan furnitur rotan di Cirebon yang memiliki kantor di Jakarta. Awalnya Mastori hanya pekerja dengan upah bulanan. Ia mengerjakan orderan yang diterima perusahaan. Rupa-rupa produknya, semua serba berbahan rotan. Cirebon memang dikenal sebagai penghasil kerajinan rotan. Dari skala rumahan, hingga industri besar. “Dimulai dari karyawan harian bagian umum. Namun, karena saya orang teknik, ada basic menggambar, lalu dipindah ke bagian gambar (drafter). Dapat pengalaman banyak di sana,” papar Mastori. Rupanya, rekan kerjanya tahu soal kemampuannya ini. Perusahaan lantas memintanya menjadi tukang gambar produk. Kursi, meja, kitchen set, dan lainnya, semua dibuat berdasarkan gambarnya.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Di perusahaan rotan, untuk posisi drafter, saat itu ia menerima penghasilan di kisaran Rp3 juta per bulan. Dari upah tersebut, sebagian ia kumpulkan untuk membeli peralatan. Alat-alat itu yang menjadi modal membuka usaha sendiri,” ujarnya.
dibilang kalau kata orang untuk memulai usaha itu perlu modal, tetapi saya tidak. Paling untuk pembelian alat-alat yang dibeli dari hasil menabung dari gaji selama jadi karyawan,” terang Mastori.
Sambil bekerja di industri rotan, untuk penghasilan sampingan Mastori sering menerima pesanan produk rotan, seperti kursi yang ia kerjakan di rumah. Ia meretas jejak sebagai ahli pembuat furnitur dari rotan. Pada 2008, berbekal pengalaman dan kemampuan menggambarnya, ia berpindah ke perusahaan lain sampai akhirnya memutuskan berhenti bekerja pada 2012.
Sejak membuka usaha sendiri, ia sudah bertekad untuk menghasilkan produk yang didesainnya, bukan lagi sekadar membuat pesanan konsumen. Ia menuangkan ide dan gagasannya ke dalam gambar produk.
Sejak itu, ia memulai perjalanannya sendiri sebagai wirausaha produk rotan. Untuk modal ia mengaku tak khawatir karena customer biasanya menyerahkan uang muka 50%. Dari uang sebesar itu ia sudah biasa menghasilkan sebuah produk. “Bisa
Ia sempat menawarkan desain-desain rotan hasil rancangannya ke perusahaan-perusahaan di sekitar tempat tinggalnya. Ia menawarkan Rp5 juta untuk satu desainnya kemudian perusahaan yang memproduksi. “Saya jual putus. Ada yang meremehkan, tetapi banyak juga yang antusias. Kalau sekarang sudah tidak menjual desain ke pabrik. Dulu menjual desain dilakukan tahun 2014-an.”
”
Setelah pelatihan itu, saya bisa membuat desain rotan yang bagus dan diminati oleh industri. Semua ilmu baru yang didapatkan di Surabaya diterapkan di usaha. Jadi berubah drastis. Mastori
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 73
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Titik Balik Terdorong mendalami kemampuan mendesain, ia mengikuti pelatihan desain yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) sekitar tahun 2008. ITB menggelar serangkaian workshop desain rotan di beberapa kota, termasuk Surabaya, Semarang, dan lainnya. Mastori bergabung di Surabaya. Rupanya keputusan untuk mengikuti pelatihan itu menjadi titik balik usahanya. Di pelatihan itu ia berjumpa dengan ahli-ahli desain ITB yang menaruh perhatian besar pada rotan, seperti Prabu Wardono, Ph.D., Andar Bagus Sriwarno, Ph.D. (alm), dan Deny Willy Junaidy, Ph.D. “Saya dapat pengalaman dan ilmu-ilmu desain dari beliau,” katanya. Dari pelatihan itu, kemampuan menggambar teknik Mastori juga berkembang pesat. Ia bahkan bisa menggunakan AutoCAD untuk membuat desain 3D. Ia jadi terbiasa menggambar desain lalu divisualisasi menjadi mock-up. Mastori mengaku terinspirasi ketika mengunjungi Studio Desain Apikayu milik Deny Willy Junaidy, Ph.D. di Bandung. “Melihat perlengkapannya yang lengkap dan begitu tertata, saya jadi bermimpi ingin memiliki workshop seperti itu. Alatnya banyak banget. Saya harus begini juga. Makanya, saya beli peralatan di Bandung. Semua peralatan yang dibutuhkan, saya harus punya,” katanya penuh tekad. Semua peralatan itu akan membantunya menghasilkan produk yang tidak hanya bagus, tetapi juga berkualitas. Ia kemudian melengkapi workshop-nya yang kemudian diberi nama Studio Mastori di Jalan Buntu, Blok Sikopek, RT 04, RW 03, Desa Karangmulya, Plumbon, Cirebon. Tempat tersebut telah menjadi unit usahanya selama 11 tahun terakhir.
74 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Ia mendapat suntikan wawasan dan ilmu yang bermanfaat untuk pengembangan usahanya dan mengenal rotan dari sisi akademis yang ia tak pernah tahu sebelumnya. “Saat bekerja di perusahaan, saya menggambar sesuai dengan pesanan. Meski pesanan datang dari luar negeri seperti Eropa, pekerjaannya bisa dibilang monoton. Setelah pelatihan itu, saya bisa membuat desain rotan yang bagus dan diminati oleh industri. Semua ilmu baru yang didapatkan di Surabaya diterapkan di usaha. Jadi berubah drastis,” katanya. Untuk pengembangan keterampilan, terutama dalam pendalaman ilmu desain, saat itu Mastori kerap mengikuti beragam pelatihan. Ia selalu mengikuti beragam pelatihan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun yang dilakukan oleh tim dosen dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB (LPPM ITB). “Alhamdulillah, pelatihannya sangat bermanfaat bagi saya. Saya dapat pengalaman sekaligus ilmu-ilmu desain dari dosen-dosen ITB yang mendampingi saya. Ilmunya saya terapkan di sini (studio). Banyak hal baru yang bisa saya dapatkan, terutama tentang desain. Kalau di perusahaan biasanya desainnya kan monoton. Setelah bertemu dengan para senior desainer, terutama Pak Deny, wawasan saya tentang desain jadi berubah drastis,” ujarnya. Hubungan erat pun terjalin dengan kalangan akademisi, terutama dengan Deny Willy Junaidy, Ph.D., yang pertama ia kenal dalam pelatihan pada 2013. Mastori sering mendampingi Deny Willy Junaidy, Ph.D. yang sekarang menjabat Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB menjadi instruktur di berbagai pelatihan kepada para perajin industri rotan, mahasiswa, dan lainlain di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, pada 2016, Mastori turut mendampingi Deny Willy Junaidy, Ph.D. menjadi instruktur pelatihan rotan di Malaysia bekerja sama
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mastori memberikan pelatihan mock-up desain furnitur rotan kepada mahasiswa Universiti Malaysia Kelantan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 75
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mastori mengikuti pelatihan di industri furnitur rotan di Malaysia (kiri). Produk furnitur dan modelnya di Nik Lah SDN.BHD. Malaysia. dengan Universiti Malaysia Kelantan dan Flagship Knowledge Transfer Program dari Kementerian Perindustrian Malaysia. Produk yang ia latihkan di Malaysia bahkan berhasil mendapatkan HKI Desain Industri dari Kementerian Hukum Malaysia. Sekaligus, ada yang diproduksi dua kontainer di Cirebon. Dalam perjalanannya sebagai pendamping pelatihan desain di berbagai kesempatan di Indonesia bersama dengan para dosen FSRD ITB menjadi kesempatan mendapatkan eksposur terhadap desain-desain kontemporer dunia sekaligus bertemu dengan desainer-desainer terkenal internasional. “Sebagai instruktur, saat itu saya mengajarkan peserta pelatihan tentang dasar-dasar rotan, dasar-dasar tekuk rotan, terus membuat miniatur-miniatur, hingga mock-up rotan. Itu pengalaman yang
76 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
tidak bisa dilupakan,” ucap Mastori. Banyak karya mahasiswa yang berkembang dengan ide-ide dari Mastori. Mahasiswa dibimbing untuk berkembang sendiri. Mereka ada yang dari Indonesia, Malaysia, bahkan dari Jepang. Banyak customer sekarang yang awalnya bertemu dari pelatihan. Peserta pelatihan dari Malaysia contohnya. Ia pernah memesan produk rotan sebanyak satu kontainer dari Mastori. Dari kalangan mahasiswa pun ia mendapatkan benefit. “Customer lain misal dari mahasiswa ITB yang sedang membuat tugas akhir. Dari satu orang bisa menjadi 10 orang, bahkan lebih banyak, berantai terus,” ujar Mastori yang mengaku bisa menghasilkan Rp20 juta-Rp40 juta setiap bulan dari orderan mahasiswa tersebut.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mastori membuat model kursi rotan di Studio Desain Apikayu.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 77
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Pola Bisnis Baru Tak terbayangkan olehnya, ilmu dan wawasan soal desain itu mengangkat bisnisnya. Mastori mulai mempunyai pola bisnis yang baru. Ia tidak lagi fokus pada penjualan produk. Kini, ia berkonsentrasi membuat produk dengan desain custom dan membuat desain sendiri yang dijual secara eksklusif. Pada mulanya, ia mengerjakan pesanan custom dari mahasiswa ITB. Hasil kerjanya kemudian berhasil mendatangkan banyak konsumen baru. Selain itu, ia jadi banyak terlibat dengan banyak proyek milik arsitek atau desainer produk dan interior. “Biasanya desainernya menawarkan ke saya (untuk membuatnya). Kami bertukar pendapat, apakah desain itu bisa dibikin atau tidak. Konsep dari sana, dibahas bareng dengan saya karena mereka awam soal produksi. Takutnya kan saat diproduksi gagal. Kadang saya juga menawarkan produk saya, akhirnya dibeli juga. Kebanyakan pakai punya saya. Jadi, desain itu memang belum keluar sama sekali,” katanya. Dengan model pekerjaan seperti itu, Mastori bisa menjadikan desain buatannya punya harga yang tidak murah. Contohnya, ia membuat kursi. Jika ia hanya membuat kursi rotan biasa dengan desain yang sudah umum, harga jualnya tidak lebih dari Rp1 juta. Tetapi, saat ia membuat kursi dari desain buatannya sendiri, sebuah kursi bisa terjual Rp2,5 juta. “Keuntungannya berlipat,” katanya. Kadang ia dibayar hanya untuk gambar desainnya. Ongkos produksi berbeda lagi. Ini berlaku pula saat ia menjual desain ke industri. Ia menawarkan desain eksklusif atau yang tidak dijual pada pihak lain kepada perusahaan. Ia akan dibayar untuk desain itu saja. Perusahaan yang kemudian memproduksi massal produk tersebut.
78 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Mastori mengatakan, perajin sepertinya di Cirebon yang bisa membuat desain menggambar tidak banyak, bisa dihitung dengan jari. Namun, dengan apa yang dilakukannya kini industri rotan menjadi naik kelas. Fenomenanya, dulu untuk urusan desain biasanya sekadar dari pembeli. Sekarang pun sudah mulai banyak mahasiswa yang masuk ikut ke industri membawa desain baru. “Jadi, dari segi desain sudah modern sekali, lebih bagus dengan anak-anak belajar di sini. Itu juga menjadikan rotan lebih maju. Kalau dulu monoton, kursi hanya dibikin dan dimanfaatkan untuk duduk dan modelnya monoton dari tahun ke tahun. Saya inginnya dari tahun ke tahun itu desain tidak mati, harus terus berkembang. Makanya, saya selaku desainer setiap hari harus benar-benar ada pengembangan, ada ide-ide baru. Walaupun sedikit, tetap harus ada ide baru,” paparnya. Dalam mengerjakan pesanan, Mastori kadang dibantu juga oleh karyawan dan rekanan. “Kalau sudah rekanan, mereka hanya mengerjakan produksi. Saya jamin mereka tidak akan mau memproduksi desain dari saya lalu dijual ke pasaran. Hal itu karena desain saya berbeda dengan pasaran di sini. Kalau ditiru dan dilepas ke pasar di sini, tidak akan laku. Jadi saya tidak takut,” ujarnya. Beberapa desainer terkenal Indonesia pernah mendapat bimbingan Mastori. Sebut saja Alfatha Kurniadi dan Zulyo Kumara, pemenang Best of the Best CASA Design Challenge 2017. Khusus untuk Zulyo Kumara, Mastori bercerita, dulu saat menjadi mahasiswa, pernah belajar di tempatnya selama dua minggu. “Ia akhirnya antusias dan tertarik dan bikin sendiri sampai nginep di sini. Saya memberikan saran kalau mendalami desain rotan jangan tanggung. Ia menang di CASA, juara 1 di Surabaya setelah itu sekolah lagi di Milan,” katanya.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Sementara, desainer terkenal yang pernah memproduksi desain di Studio Mastori adalah Abie Abdillah peraih Honourable Mention dalam ajang Singapura Furniture Design Award pada 2011. Desain karya Abie Abdillah diproduksi oleh brand internasional Italia, Capellini. Selain itu, ada Alfin T. dan Denny R. Prijatna.
Mastori pun kerap diajak berpameran ke luar negeri, seperti Malaysia dan Jerman. Di pameran kadang ia berhubungan dengan para desainer. Desainnya kadang juga diminta untuk dipamerkan untuk event di Jakarta dan pameran lain.
Mastori bekerja di studionya di Desa Karangmulya, Plumbon, Cirebon.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 79
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Pelatihan pengembangan desain furnitur rotan di Sidoarjo yang menghadirkan sejumlah perancang furnitur dari Jerman.
80 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Keuntungan Berlipat Dengan model kerja seperti itu, desain menjadi penentu harga rotan. Mastori pernah mengerjakan proyek mengisi furnitur sebuah kafe di Bandung. Mulai dari meja, kursi, hingga lampu. Nilainya mencapai Rp250 juta. Barang massal yang dijual Rp100.000, barang yang didesain bagus bisa dihargai Rp700.000. Satu buah desainnya bisa laku Rp5 juta. Omsetnya bisa mencapai Rp40 juta-Rp100 juta jika sedang ada proyek khusus. Ia sengaja tidak menjadi perajin yang menjual produk massal sesuai dengan selera pasar dan merasa tak cocok lagi bekerja seperti itu. Harga jual di pasaran rendah. Persaingan harganya tak masuk di akal. Agar bisa menjual dengan harga murah, perajin harus mengorbankan kualitas bahan juga cara pengerjaan produksi. Dari sisi penghasilan, selisihnya bisa sampai 20%-25% dari penghasilannya sekarang. “Kalau mengikuti zaman, jual di pasaran, saya ngeri juga. Lihat harga produk rotan di marketplace acak-acakan semua. Mendingan kita buat yang orang lain belum kerjain, saya kerjain duluan,” ujarnya. Untuk strategi pasar, Mastori tidak memasang karya desain baru di media sosial seperti Instagram. Yang dipasang paling produk-produk yang sudah pernah dijual banyak. Mastori hanya membuat produk dengan bahan terbaik, yaitu manau atau setidaknya mandola. Pengerjaan dilakukan serapi mungkin. Dibuat dengan teknik yang tinggi dan bantuan alat khusus sehingga bisa memenuhi desain khusus sesuai dengan proyek. “Itu (hasilnya) sudah cukup lumayan,” katanya. Mastori memang mendorong orang lain untuk maju. Ia juga tidak keberatan berbagi ilmu. Bagi dia, sebuah kebahagiaan tersendiri jika ilmunya bisa memberi manfaat bagi orang lain. “Saya tidak takut, saya bangga karena bermanfaat ilmunya,” katanya.
Mastori sengaja tidak menjadi perajin yang menjual produk massal sesuai dengan selera pasar dan merasa tak cocok lagi bekerja seperti itu. Harga jual di pasaran rendah. Agar bisa menjual dengan harga murah, perajin harus mengorbankan kualitas bahan juga cara pengerjaan. Dari sisi penghasilan, selisihnya bisa sampai 20%-25% dari penghasilannya sekarang.
Ia juga mendorong mereka agar membuat karya untuk diikutsertakan di kompetisi. Itu cara untuk mengasah kemampuan diri. Bukan pepesan kosong, ia juga mengikutsertakan karyanya. Ia pernah menempati juara ke-3 sebuah sayembara desain mebel di Bandung tahun 2017. Ia membuat stool yang kemudian menjadi ikonnya. “Saya jadi semangat berkarya terus,” katanya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 81
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mastori tahu, eksklusivitas desain penting bagi pekerjaannya. Maka itu, ia tak bisa memajang desainnya di media sosial. Ia memanfaatkan jejaring yang sudah terbangun lama untuk memperkenalkan karyanya. Mastori tidak pernah membayangkan produk dengan desain yang bagus, modern, dan solid seperti sekarang. Dulu ia membuat kursi sekadar alat untuk duduk. Tetapi, kini ia punya pendekatan yang berbeda. Pendekatan desain yang membuat produk karyanya punya nilai seni dan kegunaan. “Dulu sekadar membuat desain dari pembeli, sekarang jadi naik kelas,” katanya. Ia meyakini, desain ini yang membuat rotan tak mati. Seperti desain, ia akan terus tumbuh dan berkembang. “Maka, setiap hari saya harus ada ide-ide dan pembenahan. Ide bisa datang dari mana saja. Bisa lihat di negara lain sedang musim apa, tren apa, atau mengombinasikan bahan lain dengan rotan,” tuturnya. Diakui Mastori, berbagai pembinaan, khususnya pelatihan desain telah diberikan selama bertahun-tahun oleh perguruan tinggi seperti ITB, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan kepada perajin rotan di Cirebon sangatlah bermanfaat. Harapannya dengan dibantu ITB pengembangan desain di industri rotan akan lebih maju, item-item juga lebih bagus dan kualitas juga lebih berkembang lagi. “Harapan saya yang berkompetensi di rotan kepada ITB, yaitu jangan berhenti untuk terus mendukung kami dengan alat-alat maupun ide-ide,” ujar Mastori.
Di mata dosen ITB seperti Deny Willy Junaidy, Ph.D., Mastori sosok yang spesial. “Saya bukan hanya akrab dengan Mastori, tetapi saya menilai dia yang paling spesial. Mastori saat pelatihan bersama Pak Prabu Wardono begitu menonjol, gambar kerjanya bagus sekali,” ujarnya. Pengusaha rotan terkenal di Cirebon, Azan M. Tanamas, mengatakan ia sering menggunakan jasa Mastori untuk membuat desain produk. Desain yang selama ini dibikin Mastori untuk keperluan perusahaannya lebih ke arah middle class. “Pangsa pasar saya memang di sana walaupun saya tahu Mastori mengerjakan desain yang lain yang high-end. Orang-orang seperti Mastori itu langka, padahal desain itu sangat perlu,” kata Azan. Studio Mastori mewakili beberapa usaha industri pengolahan rotan di Cirebon yang selalu ingin mendapatkan masukan desaindesain baru dari ITB. Komunikasi Studio Mastori dengan peneliti-peneliti di ITB juga sangat intensif karena diikat oleh berbagai program pendampingan. Bahkan, tidak sedikit proyek dan desain produk yang dibuat oleh IKM ini merupakan proyek komersial yang didapatkan dari para dosen dan alumni. Dengan berbagai proyek yang ia kerjakan, skill Mastori makin meningkat. Sekarang ia punya empat karyawan yang bekerja di studionya. Jika menerima banyak pesanan, ia biasa memberikan pekerjaan ke perajin di sekitarnya. Ia tidak hanya menerima order dalam negeri, hasil karyanya bahkan sudah sampai ke Malaysia dan Jepang. Ia berharap bisa terus maju, baik dari segi desain maupun kualitas. Ia berharap kemitraan dengan ITB terus terjaga. Ia masih mengharapkan bimbingan dari para ahli. “Saya ingin yang kompeten ini jangan berhenti membimbing kami,” ujarnya.***
82 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mock-up eksperimental desain furnitur rotan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 83
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Berawal dari Desain DESAIN merupakan visualisasi ide. Dengan desain, ide akan lebih mudah dimengerti oleh banyak orang sehingga dapat diwujudkan menjadi produk. Hal itulah yang dirasakan pelaku industri di Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, seperti Mastori dan Azan Tanamas. Bagi Mastori, desain menjadi patokan dalam membuat kerajinan dan furnitur rotan. Setiap gambar diterjemahkan ke dalam model miniatur sebelum diproduksi menjadi ukuran aslinya. Mastori juga membutuhkan desain dalam membuat alat kerja. Seperti yang didiskusikannya bersama dosen Desain Interior ITB Deny Willy Junaidy, Ph.D. saat membahas rancangan alat penghalus batang rotan dengan gaya tarik otonom. Desain sangat menentukan pangsa pasar bagi produk yang akan dijual. Demikian yang diungkapkan Azan Tanamas selaku pemilik industri rotan dan kayu Tanamas. Produk yang dihasilkan pabrik Tanamas disesuaikan dengan kebutuhan negara-negara sasaran ekspor.*
84 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Menggambar desain kursi rotan.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Merancang desain
Azan M. Tanamas dan Mastori membahas desain
Membuat purwarupa di atas alat pelengkung
Mencocokkan dengan gambar
86 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Memeriksa kualitas produk
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 87
DARI DENGKUL KE PELENGKUNG XYZ
L
PPM ITB dan perajin di industri rotan Cirebon telah mengembangkan alat pelengkung rotan multiarah. Pengembangan ini dilakukan mengingat seperti umumnya IKM home industry khas daerah sentra industri kerajinan furnitur rotan Cirebon, Studio Mastori hanya mengandalkan penggunaan lutut atau meja pelengkung dengan pipa besi sederhana untuk melengkungkan rotan. Baik penggunaan kaki ataupun meja pelengkung dengan pipa besi diakui sangat menyita tenaga dan kurang praktis bila perajin ingin melengkungkan rotan dengan ukuran kurva radius rotan yang ekstrem dan diameter penampang rotan yang beragam. Terlebih, saat ini desain kursi rotan juga semakin beragam dengan bentukbentuk lengkungan radius yang ekstrem dan juga arah lengkungan berbelok ke multiarah dari sumbu X, Y, Z. Tren desain kontemporer dengan lengkungan radius yang ekstrem dan arah lengkungan rotan multiarah ini sangat menyita tenaga dan waktu, apalagi untuk produksi massal. “Teknik lengkungan yang banyak biasanya sangat merepotkan. Sekarang kita sudah punya alatnya sendiri yang bisa membuat teknik lengkungan ke penjuru arah (3 penjuru) dari yang biasanya rata-rata 1 atau 2 penjuru,” ujar Mastori.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Mastori bekerja menggunakan alat penghalus dan pelengkung bantuan dari ITB. Tim ilmuwan ITB dipimpin oleh Deny Willy Junaidy, Ph.D. yang tergabung dalam Kelompok Keahlian Manusia dan Ruang Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB dan Wildan Trusaji, S.T., M.T. dari Kelompok Keahlian Sistem Manufaktur FTI ITB menciptakan alat bantu dalam program pengabdian masyarakat “Desain Alat Pelengkung Batang Rotan Manau Multiarah untuk Mendukung Tren Pasar Kontemporer Produk Home-décor IKM Furnitur Rotan di Cirebon”.
90 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Pembuatan alat ini membantu proses produksi desain yang mendukung tren pasar produk kontemporer dengan desain-desain yang semakin ekstrem dari radius serta arah lengkungan yang beragam,” kata Deny Willy Junaidy, Ph.D. yang pada pengabdian masyarakat kali ini didampingi mahasiswa MBKM dari Prodi Desain Interior, FSRD ITB, Muhammad Hafizh. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan metode pendampingan, saat kasus penurunan produktivitas kerja penggunaan alat
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
menggunakan material besi dengan menyiapkan berbagai modul cakram ukuran radius pelengkungan. Solusi ini akan memberikan keluaran berupa alat pelengkung rotan multiarah dengan mekanisme yang meringankan beban kerja, 50% dari tenaga untuk melengkungkan rotan berukuran diameter 20 mm hingga 30 mm akan dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, desain alat pelengkung rotan multiarah ini akan menjadi solusi proses produksi yang meringankan beban fisik penggunaan kaki. “Dengan adanya desain baru ini, 50% daya yang diperlukan tergantikan oleh batang pelengkung. Aksis dari cakram dapat diputar dengan pivot kurang dari 180 derajat sehingga pelengkungan batang dapat diubah ke berbagai arah untuk menghasilkan lengkungan hingga ke berbagai arah,” tutur Deny Willy Junaidy, Ph.D. Teknologi tepat guna ini merupakan hilirisasi produk teknologi hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi ke masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas, nilai tambah, kualitas maupun daya saing produk berbasis iptek untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mastori sangat merasakan manfaat adanya alat bantu pelengkung rotan multiarah ini. Apalagi, studionya saat ini berkembang dengan sangat signifikan.
pelengkung tradisional dipelajari melalui pengamatan langsung. Desain awal yang sudah disiapkan dibuat beserta dengan dummynya yang dilanjutkan oleh pendetailan aspek mekanik dan pembuatan gambar kerja alat pelengkung rotan. Mekanisme pulli pada cakram penekuk didesain dengan kemudahan untuk berputar pada aksisnya sehingga pelengkungannya dapat dengan mudah mengarah ke berbagai arah atau lazim disebut pelengkungan 3 dimensi. Perancangan alat ini akan
Selain itu, Studio Mastori juga menerima banyak pesanan desain karya mahasiswa dari berbagai sekolah arsitektur dan desain di Indonesia baik untuk koleksi pribadi, proyek-proyek interior. Untuk melayani mulai dari pembuatan prototipe lusinan desain baru setiap bulannya dan produksi ratusan unit atau set furnitur setiap bulannya yang umumnya mengikuti desain-desain bergaya kontemporer dengan struktur rangka melengkung yang tidak sederhana, teknik produksi tidak mungkin lagi mengandalkan meja dengan pipa besi atau bahkan tenaga kaki lagi.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 91
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Pelengkung Rotan Multiarah Kebutuhan alat bantu pelengkung rotan untuk memenuhi kecepatan kapasitas produksi dan tren-tren desain baru menuntut teknologi produksi khusus. teknologi yang ada saat ini hanya mengandalkan penggunaan kaki atau meja pelengkung dengan pipa besi biasa, keduanya diakui sangat menyita tenaga dan
92 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
kurang praktis bila perajin ingin melengkungkan rotan dengan kurva radius rotan yang ekstrem dan diameter penampang rotan yang beragam. Beragamnya diameter penampang rotan batang untuk struktur rangka jelas membutuhkan alat pelengkung yang sesuai dengan ukuran penampang.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
1
2
3
4
1. Bagian handle pelengkung utama berfungsi sebagai alat untuk melengkungkan rotan. Berbahan besi pipa panjang demi memudahkan perajin melengkungkan rotan. 2 . Piringan roll dengan ketebalan 12 mm yang terdiri atas pelat, bearing, serta besi pipa 3 inci yang berfungsi sebagai mekanisme utama pelengkungan rotan. 3. Tuas stopper yang bekerja untuk menahan ujung rotan agar tidak bergerak ketika perajin menarik handlebar alat pelengkung rotan. 4. Rangka utama yang terdiri dari besi hollow serta pelat berfungsi sebagai penahan beban alat pelengkung rotan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 93
HARUS NOMOR SATU DI DUNIA
I
NDONESIA telah lama dikenal sebagai penyumbang terbesar pasokan rotan dunia. Data dari Kementerian Perindustrian, 85% kebutuhan industri rotan dunia disuplai dari Indonesia. Tingkat produksi penghasil rotan di daerah pun sangat besar, yaitu 450 ribu ton/tahun. Sebagian besar spesies rotan atau lebih dari 500 jenis tumbuh subur di Nusantara. Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua menjadi daerah utama penghasil rotan di Indonesia. Rotan Indonesia pun harum di ranah internasional karena memiliki kualitas material yang lebih bagus dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia dan Filipina. Kekhasan materialnya membuat rotan memiliki karakteristik dengan kemampuan daya tekuk yang bagus. Rotan juga merupakan salah satu alternatif material yang ramah lingkungan yang belum tersentuh isu pelestarian alam seperti kayu. Dengan demikian, produk hasil industri pengolahan rotan merupakan produk yang ramah lingkungan.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Sejak dulu, Kabupaten Cirebon telah masyhur menjadi pengekspor olahan rotan. Desadesa di Kecamatan Plumbon dan Weru menjadi penghasil beragam bentuk olahan rotan, baik itu furnitur, anyaman, serta kerajinan rotan lainnya.
Potensi pengembangan produk rotan sangat prospektif secara komersial. Masyarakat Indonesia telah cukup lama menggunakan rotan sebagai bahan baku berbagai kerajinan tangan dan industri furnitur. Karakternya yang ringan, kuat, tahan lama, dan kental dengan nuansa alami membuat banyak orang jatuh cinta dengan furnitur dan mebel berbahan rotan. Perdagangan rotan beserta olahannya terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara secara signifikan. Industri rotan merupakan industri padat karya yang mampu menjadi alternatif dalam pemulihan ekonomi rakyat. Sejak dulu, Kabupaten Cirebon telah masyhur menjadi pengekspor olahan rotan. Desadesa di Kecamatan Plumbon dan Weru menjadi penghasil beragam bentuk olahan rotan, baik itu furnitur, anyaman, serta kerajinan rotan lainnya. Beberapa daerah di Indonesia menjadi yang terdepan dalam industri rotan. Sebut saja Desa Telukwetan di Jepara. Desa tersebut terkenal sebagai salah satu pusat perajin rotan di Indonesia dengan produk andalan kerajinan berupa furnitur ataupun mebel dan aksesori. Ada juga Desa Trangsan di Sukoharjo. Hasil perajin rotan di Desa Trangsan sudah menembus pasar negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Korea Selatan. Kemudian, Desa Wukirsari, di Yogyakarta dan juga Palu di Sulawesi Tengah. Sentra industri rotan terbesar di Indonesia berada di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sejak dulu, Kabupaten Cirebon telah masyhur menjadi pengekspor olahan rotan. Salah satu desa di Cirebon yang terkenal dengan perajin dan industri rotannya adalah Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru. Tradisi kuat yang berlangsung turun-temurun membuat penduduk di desa tersebut ratarata memiliki keahlian dalam mengolah rotan. Mereka bekerja di home industry maupun jadi karyawan di pabrik-pabrik pengolahan rotan. Hal inilah yang membuat Desa Tegalwangi dijuluki Kampung Rotan. Bahkan, pemerintah daerah setempat telah memiliki Kampung Wisata Rotan Galmantro sebagai pengembangan untuk kunjungan wisata. Hasil kerajinan dari rotan dari Tegalwangi, selain mengisi pasar dalam negeri, juga telah menembus pasar Amerika Serikat, Asia, dan Eropa sejak dahulu. Desa Tegalwangi dikenal sebagai salah satu desa perintis atau yang pertama mengembangkan kerajinan dan mebel rotan ke mancanegara hingga sekarang.
96 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Pekerja mengampelas perlengkapan rotan di salah satu industri rotan di Cirebon.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 97
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Industri rotan rumahan di Plumbon, Kabupaten Cirebon.
98 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Catatan Industri Rotan di Cirebon Berbicara tentang perkembangan industri rotan di Cirebon adalah sesuatu hal menarik. Hal tersebut menjadi perhatian Sonny Agustiawan, S.T., M.S.M. Sonny merupakan generasi ketiga di perusahaan bisnis rotan keluarga PT Tanamas, Cirebon yang telah berdiri sejak 1972. Walaupun mengaku belum mendapat literatur yang pasti, menurutnya industri rotan di Cirebon sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Sonny menyebut, Cirebon menjadi menjadi salah satu pusat sentra industri rotan terbesar di Indonesia selain Solo karena dari zaman dahulu banyak penganyam/perajin. “Tetapi, saat itu yang dianyam bukan rotan, melainkan bambu. Kemudian, Belanda dan Jepang melihat ada potensi rotan di Kalimantan dan Jawa. Mereka melihat di Indonesia ada bahan baku dan saat itu belum ada yang memanfaatkan rotan menjadi kerajinan, baik itu berbentuk furnitur maupun home décor,” ujar pria yang pernah memimpin Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) DPD Cirebon Raya ini.
rotan masih dicari di hampir seluruh Eropa Barat dan Timur, Amerika, bahkan Asia.” “Sedang hot product saat itu. Kemudian kita transaksi memakai dolar AS yang harganya dulu masih jauh di bawah Rp2.000Rp1.000-an. Saat krismon, dolar menjadi Rp15.000. Jadi kita beli barang memakai rupiah. Walaupun barang dari luar negeri, tetapi belinya rupiah, lalu kita membuat produk untuk dijual, diekspor, dan mendulang dolar,” papar dosen di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta tersebut. Yang paling diuntungkan dari kondisi tersebut adalah eksportir, termasuk eksportir rotan. Industri rotan tumbuh bak jamur di musim hujan. Banyak sekali pemain baru di industri rotan yang bermunculan. Hal tersebut diamini Deny Willy Junaidy, Ph.D. Ia mengatakan, pada masa tersebut, industri rotan di Cirebon, seperti Desa Tegalwangi sangat hidup. “Para pengusaha industri rotan ketiban untung besar dari ekspor yang mereka lakukan. Konon, cerita dari perajin, pada saat itu mobil-mobil mewah seperti Jaguar lalu lalang di sana. Banyak perajin yang kaya mendadak. Industri rotan ketika itu sangat hidup. Di setiap gang dan setiap meter industri para perajin ramai mengerjakan pesanan,” ujarnya.
Jepang lebih dulu mengenalkan rotan dan produk rotan di Cirebon. Mereka mengajarkan para penganyam bambu untuk menganyam rotan karena secara struktur itu mirip walaupun segi jenis material beda. Mengajarkan menganyam rotan ke orang yang sudah biasa menganyam bambu juga jauh lebih mudah sehingga tumbuh dan berkembanglah industri rotan di Cirebon.
Sementara, Azan M. Tanamas mengatakan, sebelum tahun 1986, perusahaan rotan bisa dihitung dengan jari. Namun, setelah ditutup ekspor bahan mentah tahun 1986, berkembang sangat pesat. “Pada 2002 sampai ada 400 perusahaan. Tahun 2000 Tanamas bisa mengekspor produk sampai 200 kontainer dalam sebulan. Pokoknya saat krismon, saya malah cetak duit. Setiap weekend, tempat karaoke penuh oleh orang-orang rotan,” katanya.
Momen paling menggembirakan dan tak akan pernah dilupakan dalam sejarah perkembangan rotan adalah saat terjadi krisis moneter pada 1998-1999. “Ketika krisis moneter melanda, industri rotan di dunia malah sedang seksi-seksinya. Furnitur
Azan mengatakan, jika saat itu untuk desain masih tidak terlalu diperhatikan atau asal-asalan. Desain-desain tradisional dan simpelsimpel pun masih banyak disenangi pasar. Rotan posisinya sudah sangat tinggi.“Ketika itu pabrik sampai memberlakukan kerja tiga sif,” ucapnya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 99
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Terpuruk karena Regulasi Industri rotan terpuruk saat dunia dilanda wabah pandemi COVID-19 pada 2020. Sebanyak 37.000 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Jawa Barat terkena dampak pandemi COVID-19. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat tiga kota yang mengalami inflasi cukup tinggi, salah satunya adalah Cirebon sebesar 0,45%.
Tren industri rotan kemudian berubah. Ibarat diputar balik, industri rotan tanah air mengalami keterpurukan mulai 2005. Produksi, ekspor, maupun penyerapan tenaga kerja di subsektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan itu disinyalir merupakan imbas dari dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/MDAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi. Sebaliknya, industri pengolahan rotan negara-negara pesaing, terutama Cina berkembang secara pesat. Negara-negera tersebut merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia. “Kalau saya suka menganalogikan dalam ilmu perang, misalnya strategi Sun Tzu. Ini ibarat kita memberikan peluru ke musuh dan akhirnya kita malah ditembak musuh oleh peluru kita sendiri. Kurang lebih seperti itu analoginya,” tutur Sonny. Pada saat itulah industri rotan di tanah air, termasuk Cirebon bertumbangan dan Sonny mengatakan, dampaknya masih terasa sampai sekarang. Walaupun sudah keran ekspor bahan baku sudah ditutup, belum bisa mengembalikan kejayaan seperti zaman sebelum pernah dibuka. “Alhamdulillah Jokowi cukup keras dengan hilirisasi, yaitu tidak boleh mengekspor bahan baku. Jadi sejauh ini masih aman, tetapi memang banyak yang bilang bahwa walaupun sudah ditutup, industri rotan sudah tidak seperti dulu lagi. Hal itu karena sudah susah, struktur industrinya sudah pernah rusak.” Hal tersebut ditambah dengan kurang tertariknya generasi milenial atau generasi Z terhadap rotan. Beda dengan dulu, rotan sangat digemari generasi X dan Y milenial. Ketika krisis moneter, generasi X dan Y yang sedang berjaya membeli rotan karena tertarik dengan rotan dan secara penerimaannya masih tinggi. “Kalau sekarang, sudah struktur industrinya sedang susah, pembelinya pun turun. Jadi, jumlah permintaan rotan dunia itu menurun sekarang,” katanya. Sonny mengaku pernah melakukan riset mengapa anak muda di luar negeri tidak tertarik untuk membeli produk rotan. Pertama, alasan mereka adalah rotan umurnya pendek jika dibandingkan dengan metal atau kayu. Yang kedua, mereka merasa malas untuk merawatnya karena barang-barang dari rotan memerlukan
100 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Salah satu sudut sentra industri rotan di Cirebon. perawatan lebih jika dibandingkan bahan dari kulit, aluminium, dan kayu. Ketiga, dari segi rumah. Generasi milenial itu rata-rata rumahnya relatif kecil sehingga dia lebih butuh furnitur yang compact.
Cirebon sebagai sentra industri penghasil produk mebeler rotan
“Tiga faktor itu yang mengakibatkan generasi Z atau milenial di luar negeri kurang tertarik sama rotan sehingga permintaan rotan turun dan menyebabkan industri rotan sampai sekarang masih tidak cukup baik,” kata Sonny.
merupakan industri padat karya yang melibatkan banyak tenaga
Industri rotan pun terpuruk saat dunia dilanda wabah pandemi COVID19 pada 2020. Sebanyak 37.000 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Jawa Barat terkena dampak pandemi COVID-19. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat tiga kota yang mengalami inflasi cukup tinggi, salah satunya adalah Cirebon sebesar 0,45%.
turun menjadi 1.000 kontainer, sedangkan kondisi normal sebelumnya
terbesar di Indonesia terpukul langsung karena negara-negara tujuan ekspor melakukan kebijakan lockdown. Industri rotan kerja harian maupun pekerja borongan pada industri manufaktur besar, usaha-usaha pengesub/home industry. Selama masa pandemi, volume ekspor rotan per bulan dari Cirebon mencapai 2.000 kontainer. Kini, setelah pandemi usai, industri rotan mulai menunjukkan hasil yang positif dengan mulai meningkatnya jumlah kontainer untuk ekspor dan penyerapan kembali dari pasar domestik.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 101
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Bangkit dengan Berdesain
bisa dibikin desain, desain minimalis, atau desain midcentury juga bisa. Jadi, rotan itu material yang sangat adaptable terhadap bentuk dan jenis desain.”
Industri rotan memiliki daya tarik tersendiri, ada keunikan dari segi visual dan tekstur. Namun, kata Sonny, yang sekarang masih bertahan adalah furnitur rotan, pilihannya kalau tidak main di harga, harus bermain di desain. “Zaman dulu desain itu mungkin tidak terlalu besar dampaknya kepada keputusan membeli karena orang memang suka sama rotan. Sekarang, dengan desain orang menjadi mau membeli, itu bedanya. Atau kalau tidak, murah sekalian. Jadi pilihannya kalau mau murah ya murah sekalian atau mau main harus berdesain,” katanya.
Dalam pengembangan desain rotan, intervensi perguruan tinggi seperti ITB sangat diperlukan. Sonny melihat ITB memiliki kapasitas untuk memainkan peran terhadap pengembangan desain rotan di Cirebon. Pertama, ITB punya jurusan desain produk dan juga banyak sekali orang atau dosen di ITB yang aktif di industri furnitur dan rotan.
Tanpa adanya desain, sulit untuk bersaing dengan produk dari metal, kayu, kulit, dan lain-lain. Apalagi sekarang produk bambu dari Cina lebih menarik. Menariknya rotan itu bisa bisa dibentuk atau rupa desain yang berbagai macam. Jadi, lagi-lagi tergantung negara tujuan, tergantung dari pembeli. “Kalau bicara desain, rotan
Mendapatkan HKI Desain Industri Malaysia 2017.
102 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Saya kenal beberapa dosen ITB yang bergabung di asosiasi yang sering menjadi pembicara di kegiatan pemerintah dan sebagainya. Saya juga melihat ITB sebagai salah satu universitas yang cukup concern dan berkontribusi secara nyata di industri rotan, tidak hanya dari segi desain, tetapi juga dari segi manajemen. Terutama dari segi desain, mereka sering memberikan pelatihan, baik yang dilakukan oleh ITB sendiri maupun kerja sama dengan pemerintah yang dikerjakan oleh dosen-dosen ITB.”
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
”
Salah satu desain yang saya bikin adalah kursi papasan pada 1978 dan kelek. Untuk menerjemahkan desain gambar dari beberapa desainer, biasanya yang saya ajak kerja sama adalah Mastori, dan Nur. Azan M. Tanamas
Ia cukup mengenal beberapa dosen ITB yang memiliki perhatian tinggi terhadap rotan, misalnya almarhum Andar Bagus Sriwarno, Ph.D. Bahkan, ia pernah mengikuti satu sesi saat almarhum mengisi workshop tentang ergonomi desain, yaitu desain yang memperhatikan struktur dari material. “Pak Deny Willy juga cukup aktif. Ia sering berdiskusi dengan teman-teman himpunan desainer, memberikan insight, teoretis maupun praktis kepada teman-teman desainer. Ia memberikan ilmu pengetahuan kepada desainer agar lebih aktif dengan kondisi yang ada di dunia industri rotan saat ini. Kemudian juga ada Pak Adi Nugraha, cukup aktif di beberapa kementerian juga sering diskusi tentang upaya upaya meningkatkan desain furnitur,” ujar Sonny yang di Universitas Prasetya Mulya mengajar business creation, knowledge business, product development ini. PT Tanamas memiliki in house designer memanfaatkan freelance designer, salah satunya Mastori. Sonny mengatakan, sudah cukup lama mengenal dan bekerja sama dengan Mastori. “Saya tahu
Mastori sering sekali mendapat pendampingan, pelatihan, maupun coaching dari tim ITB. Dengan adanya kegiatan itu Mastori punya wawasan lebih luas tentang rotan, dan paling tidak punya cakrawala,” kata Sonny. Desainer yang jago, tetapi tidak pernah eksposur keluar dan tak pernah tahu tentang dunia luar, ia tidak akan bisa membuat desain yang pas. Dengan adanya ITB membantu para desainer bisa memberikan update informasi, membuka cakrawala, bahkan ada kegiatan-kegiatan yang membawa desainer untuk melihat ke luar. “Itu mungkin tidak terlalu impact ke skill, tetapi ke knowledge-nya,” terangnya. Sementara, Azan M. Tanamas mengatakan, segmen pasar itu tergantung dari desain. PT Tanamas juga mengembangkan desain. “Salah satu desain yang saya bikin adalah kursi papasan pada 1978 dan kelek. Untuk menerjemahkan desain gambar dari beberapa desainer, biasanya yang saya ajak kerja sama adalah Mastori dan Nur,” ucap Azan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 103
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Gaet Perajin Muda Tegalwangi Sentra-sentra industri kecil kerajinan rotan dituntut untuk meningkatkan potensi lokalnya, baik dari sisi keterampilan maupun desain. Dalam hal pengolahan produksi kerajinan rotan, masyarakat perajin selalu diharapkan mampu memberi nilai tambah pada karya-karyanya sehingga secara langsung dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sentra tersebut.
Salah satu sasaran kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh tim LPPM ITB adalah pengembangan kapasitas para perajin muda di Desa Tegalwangi. Untuk itu, pada 2018 tim yang diketuai Deny Willy Junaidy, Ph.D. melakukan program pengabdian masyarakat bertajuk “Pelatihan Pengembangan Desain Home-Decor Rotan Raut dari Limbah Rotan Core bagi Pengrajin Muda Rotan Tegalwangi, Cirebon”. Pada kegiatan pelatihan ini anggota KK Manusia dan Ruang Interior dan anggota KK Kriya dan Tradisi FSRD ITB melanjutkan aktivitas pengembangan yang sebelumnya pernah diinisiasi oleh Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNas), Palu, Sulawesi Tengah.
Proses produksi furnitur rotan di salah satu pabrik yang berafiliasi dengan Jepang di Cirebon.
104 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Aneka produk furnitur rotan siap jual. Salah satu pengembangan produk yang dihasilkan adalah ukir rotan dari limbah rotan core. Selain berlimpahnya limbah rotan core hasil industri olahan furnitur rotan yang tak memiliki nilai tersebut, teknik produksinya pun mudah untuk diproduksi dan dikembangkan lebih lanjut oleh masyarakat setempat. Pada kegiatan ini, turut bergabung komunitas perajin di Desa Tegalwangi, Cirebon. Para perajin dan desainer muda yang terlibat dalam kegiatan pelatihan ini berhasil memunculkan beberapa potensi eksplorasi ukiran rotan. Aplikasi ukiran pada limbah inti rotan hasil industri mebel rotan telah membawa kemungkinan cara baru untuk mengeksplorasi karakteristik bahan rotan selain tekukan.
Melalui pelatihan ini para perajin muda di Tegalwangi diperkenalkan beberapa teknik, seperti teknik eksplorasi kontur anyaman dengan memodifikasi struktur rotan, sistem penguatan (joinery) untuk menghindari rotan sobek/terkelupas saat dirakit, membuat alat pelubang (pisau potong) sederhana, serta langkah awal membuat beberapa alternatif desain dekorasi rumah yang diolah dengan teknik ukir. Para peserta juga mendapat ilmu tentang penyiapan kelengkapan untuk mengadakan pameran (buklet, katalog). Keluaran dari pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan ITB ini yaitu peningkatan pendapatan IKM melalui penerapan desain
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 105
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Sentra industri kerajinan di perdesaan sebagai andalan dari mata rantai industri desain juga dituntut untuk meningkatkan potensi lokalnya, baik dari sisi keterampilan maupun desain.
untuk pemberdayaan masyarakat. Produk hasil pelatihan dengan para perajin rotan yang telah disempurnakan diikutsertakan dalam beberapa pameran desain dan produk. Keikutsertaan pada kegiatan pameran ini untuk membuka peluang pasar pada produk rotan ukir sehingga dapat memberi dampak ekonomi bagi para perajin rotan di Tegalwangi, Cirebon. Deny Willy Junaidy, Ph.D. mengatakan, ITB selalu konsisten melaksanakan pengabdian masyarakat terkait dengan rotan. “Hampir setiap tahun pasti ada pelatihan,” tegasnya. Berbicara mengenai substansi pendekatan desain dalam pelatihan produk rotan, ia menuturkan, banyak program yang ditawarkan kepada perajin, seperti pelatihan gambar kerja atau pelatihan menggambar yang pendekatannya desain, bukan gambar yang pendekatannya gambar teknik. Sentra industri kerajinan di perdesaan sebagai andalan dari mata rantai industri desain juga dituntut untuk meningkatkan potensi lokalnya, baik dari sisi keterampilan maupun desain. Dalam hal pengolahan produksi kerajinan rotan, industri kecil dan menengah (IKM) diharapkan mampu memberi nilai tambah pada produk-produknya sehingga secara langsung dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Insentif dan stimulan terhadap pengembangan desain produk rotan telah dilakukan melalui berbagai program workshop pengembangan produk selama beberapa dekade oleh Kementerian perindustrian, Kementerian Perdagangan dan juga Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNas), termasuk oleh perguruan tinggi. Hasil dari program-program pemerintah dan perguruan tinggi dalam bentuk pelatihan desain selama beberapa dekade telah menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan munculnya pengusaha pengusaha baru dalam skala home industry. Untuk memenuhi standar produk internasional juga perlu dilakukan pengembangan industri rotan di Indonesia, khususnya pada desain produk. Pengembangan desain produk memiliki peran yang sangat penting, terutama untuk merebut dan memenangi pasar industri rotan dunia. Saat ini, terdapat lebih dari 1.200 unit usaha mikro, menengah, hingga skala besar yang bergerak dalam industri pengolahan rotan menjadi furnitur di Cirebon. Keunikan dari sentra industri rotan di Cirebon yaitu terjadinya kerja sama yang baik antara industri besar dan industri kecil rotan, yaitu terdapat kemitraan antara industri rotan dan perajin rotan di sekitar pabrik atau dikenal dengan istilah pengesub. Hal ini menjadi keunggulan kompetitif Cirebon pada bidang industri furnitur.
106 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Melibatkan Mahasiswa
berhasil menanamkan desain baru kepada para perajin rotan di sana. “Itu cikal bakal, tonggak industri rotan yang terlembagakan,” kata Deny Willy Junaidy, Ph.D. Selanjutnya, JICA (Japan International
Industri rotan Cirebon sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang sejak dekade 1950-1960. Pada 1973 diselenggarakan pameran furnitur rotan yang pertama. Keterlibatan ITB sudah dimulai sejak itu. Prof. Imam Buchori, Prof. Dibyo Hartono, dan Prof. Yusuf Affendi merintis pelatihan desain rotan pertama kepada para perajin di Cirebon. Ketika itu, kegiatan mereka didanai oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Tim ITB
Cooperation Agency) turut serta dalam pengembangan industri rotan sekitar 1998/1999. Dua dosen ITB menghabiskan satu bulan penuh di Cirebon untuk merancang pengembangan strategi rotan Cirebon. Perhatian besar untuk industri rotan di Cirebon sesungguhnya sangat strategis. Betapa tidak, sekitar 90% kebutuhan produk rotan di dunia dipenuhi oleh Indonesia. Indonesia punya rotan terbaik di dunia, yaitu di Palu, Sulawesi dan Mentawai.
Mahasiswa mengenal rotan langsung dari hutan di Sulawesi (kiri) hingga mengunjungi industri furnitur rotan di Cirebon.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 107
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Sejak tahun 2000, pelatihan desain rotan semakin banyak digalakkan. Lewat dosen ITB Prabu Wardono, Ph.D. talenta-talenta seperti Mastori ditemukan dan didorong untuk terus berkembang. Pada pelatihan-pelatihan itu, para pelaku usaha diajarkan untuk menggambar dengan pendekatan desain, bukan sekadar gambar teknik. Saat itu industrinya mencapai 500 pelaku usaha. Kampungkampung di Cirebon bergeliat dengan menghasilkan berbagai produk rotan. Pelatihan desain rotan digalakkan untuk menyiasati industri rotan di Cirebon yang tengah melawan keran ekspor bahan mentah. Untuk mewujudkan desain yang inovatif dalam industri rotan dibutuhkan tenaga-tenaga terampil. Perajin rotan dituntut mampu berkreasi menciptakan bentuk desain yang menarik serta unik. Untuk itu, diperlukan motivasi untuk terus berkarya menghasilkan berbagai ragam visual produk sebagai pilihan selera. Institut Teknologi Bandung, sebagai perguruan tinggi yang berada di Jawa Barat dan membuka kampus di Cirebon, turut berkontribusi dalam pengembangan desain dan peningkatan kapasitas perajin di Desa Tegalwangi. Deny Willy Junaidy, Ph.D., yang beberapa kali memimpin tim di LPPM ITB memberikan pelatihan di Desa Tegalwangi mengatakan, kedekatan ITB dengan perajin rotan di Cirebon sudah terjalin sejak 1973. Ia pun mengaku menyimpan dokumen-dokumen salinan tersebut dengan rapi. “Tokoh-tokohnya ada Pak Prabu Wardono. Kemudian ada almarhum Pak Andar Bagus Sriwarno dari KK Manusia dan Desain Produk Industri yang saat itu baru pulang dari Jepang. Beliau di ergonomi dan aktif di bidang rotan, terutama di bidang HAKI-nya,” katanya. Ia juga menambahkan, ada nama yang perlu diabadikan dalam
108 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
masa itu, yaitu almarhum Dodi Mulyadi yang mengangkat isu tentang gerbang rotan Indonesia (GRI). GRI tersebut merupakan perlawanan terhadap isu pembukaan keran ekspor bahan baku mentah rotan. Pada tahun tersebut segala jenis pelatihan terkait produk industri rotan terus berkembang. Dari pemerintah yang aktif melakukannya adalah Kementerian Perindustrian (Direktorat IKM) dan Direktorat Agro di Perindustrian, baik yang dinas di provinsi maupun di kementerian. “Sekali-sekali ada yang dari Palangkaraya dan beberapa daerah di Kalimantan lain yang membuat pelatihan-pelatihan yang sama terkait dengan rotan. Pokoknya tahun 2000-an industri rotan benar-benar hidup dan menggeliat. Setiap tahun pasti ada program tentang rotan,” paparnya. Upaya peningkatan kualitas dan daya saing produk rotan juga dilakukan pemerintah. Penelitian dan kajian untuk menyempurnakannya kualitas dan daya saing produk rotan, terutama kualitas bahan baku untuk meningkatkan desain produk terus digenjot. Pada tahun 2012, Direktorat Jenderal Pembinaan Industri Daerah, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mendirikan PIRNas di Palu, Sulawesi Tengah. Keberadaan PIRNas sangat strategis dan penting dalam peningkatan penelitian, pengembangan, dan pengkajian yang komprehensif produk rotan. Untuk mewujudkan visi tersebut, PIRNas bekerja sama dengan para institusi terkemuka, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Tadulako (Untad), dan Innovationszentrum Lichtenfels (IZL) Jerman. PIRNas bertujuan untuk mendukung industri rotan nasional melalui penemuan yang tepat dan desain produk yang canggih untuk memenuhi selera pasar global.
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
“Ada Prof. Dr. H. Andi Tanra Tellu, M.Si. dari Universitas Tadulako dan Pak Andar Bagus Sriwarno di sana. Mereka bergabung dengan Prof. Jan Armgardrt dan Prof. Auwi Stübbe dari IZL Jerman. PIRNas itu seakan menjadi puncaknya, pengadaan besar-besaran membuat pusat inovasi rotan nasional. Trading jadi sering di sana,” papar Deny Willy Junaidy, Ph.D., yang mengatakan bahwa pada masa itu sedang studi di Jepang. Banyak orang ingin belajar tentang rotan datang ke PIRNas. Bukan hanya dari dalam negeri, dari mancanegara pun datang silih berganti. Seperti dari Jerman, mereka bahkan sampai blusukan ke hutanhutan untuk belajar bagaimana mengambil rotan yang benar dan belajar mengolah rotan dengan baik, seperti teknik menyedot cairan rotan hingga proses finishing yang baik. Hasil dari pembelajaran tersebut, di Jerman telah ada perusahaan inovatif Karuun, perusahaan yang sudah teregister dengan produk akhir rotannya dipakai perusahaan otomotif kelas atas, seperti BMW dan sebagainya. Jejak mahasiswa ITB ke industri rotan Cirebon kemudian juga diikuti mahasiswa desain universitas lain. Bahkan mahasiswa Malaysia turut datang ke Cirebon. Upaya seperti ini cukup mampu menggeliatkan usaha rotan. “Eksposur desainer ke rotan tinggi, eksposur perajin bertemu dengan desainer juga tinggi. Semuanya ujungnya positif, yaitu bisnis,” ujarnya. ***
Institut Teknologi Bandung membuka kampus di Cirebon, turut berkontribusi dalam pengembangan desain dan peningkatan kapasitas perajin di Desa Tegalwangi.
Mastori memeriksa daftar transaksi (kiri) dan bersiap mengirimkan kursi rotan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 109
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Deny Willy Junaidy, Ph.D.
MEMATRI ESTETIKA
D
Dulu, dalam melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat lebih ke memberikan pelatihan. Setiap tahun ada 2-3 kali pelatihan di berbagai daerah di Indonesia. “Kalau tidak bambu, ya rotan. Tetapi, pelatihan rotan yang paling banyak,” ujarnya.
“Kebetulan saat itu saya menjadi asisten Prabu Wardono, Ph.D., sehingga eksposur ke dunia rotan jadi tinggi gara-gara banyak mengenal perajin serta banyak memberikan pelatihan,” ujar peraih Ph.D. di bidang knowledge science Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) pada 2014 ini.
Selepas lulus dari Jepang, Deny Willy Junaidy, Ph.D. memilih mengajar di Universiti Malaysia Kelantan. Walau begitu, ia kerap menghadiri undangan untuk memberikan pelatihan yang diadakan oleh Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNas) di Palu, Sulawesi Selatan. Mahasiswanya di negeri jiran juga sering diajak untuk berkunjung ke PIRNas hingga blusukan ke hutan untuk mempelajari rotan.
Pada tahun 2000 juga merupakan untuk pertama kali tim dari Kelompok Keahlian (KK) Manusia dan Ruang Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB membawa mahasiswanya untuk berkunjung ke industri rotan di Cirebon. Hal tersebut secara kontinu dilakukan oleh mahasiswa ITB sampai sekarang. “Jadi, mahasiswa dari ITB yang menjadi perintis. Kemudian diikuti jejaknya oleh universitas yang memiliki jurusan desain lain. Berarti sampai sekarang sudah menginjak 22 tahun,” katanya.
Dari rotan, banyak pengalaman berharga yang telah didapatkan. Ia menyaksikan bagaimana anak-anak muda dari beberapa perusahaan rotan di Cirebon mendirikan asosiasi Rattan Desainer Cirebon (Radec) pada 2014. Di sana bergabung orang-orang dengan skill mumpuni, seperti alumni ITB, Sarif Gunawan dan juga Mastori, seorang perajin rotan andal yang menjadi rekanannya. Radec merupakan sebuah wadah komunikasi dan informasi antarsesama desainer Cirebon, khususnya dalam upaya mengembangkan desain produk rotan di Cirebon.
ENY WILLY JUNAIDY, PH.D. mulai bersentuhan dengan dunia rotan ketika sering mengantar mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB melakukan kunjungan ke sentra industri rotan di Tegalwangi, Kabupaten Cirebon pada tahun 2000.
110 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
”
Kita berusaha meng-upgrade kemampuan estetika mereka. Di berbagai aspek pasti desain yang menjadi ujung tombak. Deny Willy Junaidy
“Mereka mempunyai bangunan sendiri, menyewa dari hasil urunan. Hebatnya, tamunya ada yang dari Singapura, Malaysia, bahkan Jepang. Mereka belajar di sana. Radec juga merupakan bagian dari jalannya pengabdian masyarakat ITB di Cirebon. Jadi, kita seperti keluarga,” jelas Deny Willy Junaidy, Ph.D. Memberikan pelatihan tentang rotan juga membawanya mengenal Mastori, perajin rotan asal Cirebon pada 2013. “Saya bukan hanya akrab dengan Mastori, tetapi saya menilai dia yang paling spesial. Mastori saat pelatihan bersama Pak Prabu Wardono begitu menonjol, gambar kerjanya bagus sekali,” ujarnya.
Deny Willy Junaidy, Ph.D.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 111
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
SARAWAK DESIGN CENTRE
SARADEC
SayD’SignersSarawak Link & Match
PRODUCT CATALOGUE
SLIM PROGRAM 2022
VIKA HIGH CONSOLE Designer
: Vallensika Curai
Supervisor : Deny Willy Junaidy, PhD. Company : Yung Ming Wood Industries Sdn Bhd With its simplicity of its forms, the black vika high console table is made from acacia wood with visible graining and a black matt finish. The two small drawers that are all wrapped by woven neutral synthetic rattan give this design a uniqueness from other designs. A beautifully made piece that you'll enjoy in whichever room of the house you choose to put it in the dining room, as a side table near the dining table in the living room, to display bunches of dried flowers, or even in a spacious hallway, as a place to put bags and other items in daily use.
SARADEC sarawak design centre
31 29
30
SARAWAK DESIGN CENTRE
SARADEC
Product Catalogue Designed by ITB
VIKA DINING TABLE
VIKA Dining Chair
bvDesigner : Vallensika Curai Supervisor : Deny Willy Junaidy, PhD. Company : Yung Ming Wood Industries Sdn Bhd
Designer : Vallensika Curai Supervisor : Deny Willy Junaidy, PhD.
The vika dining table, combines purity of lines and beautiful materials. The acacia wood surface is highly resistant to shocks and heat and has remarkable golden hue that can stand the test of time. The legs have been designed to maximise the number of guests who can sit around the table.
Elevate your dining space with clean lines and elegant look. Vika dining chair collection is inspired by Sarawak layer cake. Sarawak layer cake is an iconic Sarawak dessert it has become part of the Sarawak identity. The characteristics of this dessert is what we can see in the Vika collection in term of shape, colour and layering.
The second layer of vika dining tables are all wrapped by woven synthetic rattan. The combination of this material makes the vika dining table will be the focal point in dining room or kitchen area. Match the table with chairs from the vika collection and complete the contemporary look.
The neutral colour from synthetic rattan which are paired with solid wood open pore black matte finishing very elegant and contemporary touch adding a sleek look while ensuring strength and stability in the design. This is a suitable combination to create a soothing and comfortable aura. This dining chair collection support you in comfort while you enjoy a meal with family and friends.
Company
32
: Yung Ming Wood Industries Sdn Bhd
33
Sarawak Link and Match Program (SLIM) dan Pool of Young Designers (POYOD) melatih 100 desainer muda Sarawak (SayD'signers) selama 10 tahun mulai 2019 di FSRD ITB dan industri furnitur di Indonesia dengan program lain berupa Industry Attachment bekerja sama dengan Sarawak Timber Industry Development and Corporations (STIDC) serta Sarawak Design Center (Saradec) serta Yayasan LAPI ITB di Malaysia yang diketuai oleh Dr. Imam Santosa, dibantu para dosen dan ahli furnitur ITB, serta desainer furnitur profesional Indonesia.
34
SARAWAK DESIGN CENTRE
SARADEC
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Sejak saat itu, ia sering melibatkan Mastori untuk beragam proyek, termasuk dalam program pembuatan mainan rotan dari bahan limbah pada 2014. Kadang, orderan apa pun terkait dengan rotan, selalu melibatkan Mastori. Mastori pun sering diajak untuk mengisi pelatihan di berbagai kota di Indonesia, seperti Surabaya dan Semarang. Bahkan pada 2016, Mastori diboyong ke Malaysia untuk melaksanakan pelatihan. Ia sering mendapat order dari mahasiswa ataupun para peserta pelatihan di sana. “Bahkan, salah seorang seorang top desainer dari Malaysia yang ikut pelatihan mengorder produk sebanyak satu kontainer kepada Mastori. Kita sebenarnya bukan memberi order, tetapi yang menarik itu jejaring. Ia juga mendapatkan manfaat dari sisi itu,” kata Deny.
31
Product Catalogue Designed by ITB
Berbicara mengenai substansi pendekatan desain dalam pelatihan produk rotan, ia mengatakan banyak program yang ditawarkan kepada perajin, seperti pelatihan gambar kerja atau pelatihan menggambar yang pendekatannya desain, bukan gambar yang pendekatannya gambar teknik. “Kita berusaha meng-upgrade kemampuan estetika mereka. Di berbagai aspek pasti desain yang menjadi ujung tombak,” ujarnya. d Galle d’Galle ery PUSAKA , Jalan Kulas / Satok, 93400 Kuching, g Sa arawak, Malaysia TEL : +60 6 13 850 2413 For furrther information, please contact Puan Da D yang Nena Abang Bruc ce at email dayangnenas saradec@gmail.com or Mr H Hubert Poh at email hube ertsaradec@gmail.com
4"5%*06,)7,120,"#$,3'/+&# .#/0+0%0,-' '(#)*)&+,,!"#$%#&
SARADEC S A R A W A K
D E S I G N
C E N T R E
"2128290#3-7(10$.456//1: %()(*+,-(./0&+1,+12/3+ 0 +. !"#$%&'
Mengenai perkembangan desain rotan sekarang, ia mengatakan bahwa rotan yang dirancang oleh industri dan desainer-desainer cenderung unik dari sisi eksplorasi konstruksi dan bentuk. “Banyak desain dan bentuk seperti ini tidak banyak ditemukan pada masa lalu. Konstruksi, joinery, finishing, teknik anyaman semuanya berkembang temasuk mulai bergeser ke sintetik,” paparnya.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 113
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Dari Cirebon untuk Dunia KERAJINAN rotan, terutama furnitur, sempat menjadi primadona ekspor dari Indonesia. Produk rotan Indonesia banyak diincar sejumlah negara, terutama Amerika Serikat. Salah satu sentra kerajinan rotan di Indonesia yaitu Kabupaten Cirebon. Di beberapa wilayah Cirebon tersebar industri rotan maupun perajin rotan rumahan. Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menyatakan industri rotan di Cirebon menyerap hingga 64.000 tenaga kerja. Produk rotan Indonesia mengalami masa kejayaan pada 1980-1990-an. Bahkan, saat krisis moneter
Produk siap dipasarkan 114 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
melanda pada 1998, pengusaha rotan bisa dikatakan “mencetak uang” efek melonjaknya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah. Kini, industri rotan sedang meredup. Para pengusaha berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang berpihak kepada mereka. Menurut mereka, Indonesia sebagai penghasil rotan terbesar di dunia seharusnya dapat menguasai industri kerajinan rotan. Penutupan keran ekspor bahan mentah rotan diyakini dapat kembali menaikkan nilai kerajinan rotan Indonesia di pasar dunia.*
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Periksa kelurusan
Cermati gambar
Pelengkung rotan tradisional TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 115
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Melengkungkan rotan
116 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
INTERVENSI DESAIN BANGKITKAN INDUSTRI ROTAN
Menggunakan mesin penghalus
Menghaluskan batang rotan
Menghaluskan sambungan
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 117
PANJANG UMUR PANEN PETANI Dengan penjemuran biasa, petani stevia mengalami tingkat kegagalan hingga 40 persen. Sementara, untuk buah-buahan yang bergantung musim, risiko hasil panen yang membusuk akibat tidak terserap pasar merupakan tantangan sulit yang terus dihadapi petani. Teknologi mesin pengering yang ditawarkan ilmuwan ITB menjadi solusi bagi petani dalam menyelamatkan hasil panen sekaligus mendongkrak pendapatan dan kesejahteraan bagi petani di Lembang dan Flores.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
S
TEVIA (Stevia rebaudiana) menjadi alternatif tanaman penghasil bahan pemanis alami pengganti gula yang rendah, bahkan nol kalori. Bahan pemanis dari daun kering stevia cocok dikonsumsi bagi mereka yang melakukan diet rendah gula, terutama penderita diabetes dan obesitas. Tingkat kemanisannya pun ratusan kali lebih tinggi daripada gula tebu. Bahan pemanis yang dihasilkan oleh stevia, yakni Glikosida steviol (GS) termasuk dalam jenis high intense sweetener dengan tingkat kemanisan setara 300-500 kali gula tebu.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Tak heran, permintaan pasar dalam negeri terhadap daun kering stevia cukup tinggi. Produsen minuman, makanan, dan obatobatan sudah banyak yang beralih menggunakan bahan pemanis dari stevia. Daun kering stevia dari Indonesia pun diminati oleh pasar mancanegara seperti Korea Selatan. Bertani stevia merupakan peluang usaha yang sangat menggoda. Sentra perkebunan stevia di Jawa Barat ada di lima wilayah, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. “Produksi dari lima kabupaten ini terbatas. Intinya, stevia ini memang tanaman yang masih jarang, tetapi kebutuhannya tinggi,” jelas Thio Setiowekti.
Perkenalan Thio dengan stevia berawal dari pertemuannya dengan akademisi perguruan tinggi di Bandung yang mengambil penelitian khusus tentang stevia. Setelah banyak berdiskusi, ia pun memutuskan untuk bertani stevia sekaligus menjalin kerja sama dengan Prof. Keri Lestari. Ia menjadi pemasok daun kering stevia kepada perusahaan yang memproduksi teh celup manis stevia untuk minuman kesehatan. “Saat itu kerja samanya bareng bersama Perhutani dan PTPN. Lahannya besar, ada 37 hektare. Tahun ini akan dikembangkan lagi membuka lahan 10 hektare,” kata Thio yang juga merupakan Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup Jawa Barat ini.
Melihat peluang yang terbuka lebar, pada tahun 2017, Thio mencoba peruntungan dengan memulai bertani stevia di Desa Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Padahal, sebelumnya dari tahun 2008 sampai dengan 2014, ia merupakan petani kopi. Rupanya bertani kopi dirasanya kurang menguntungkannya karena kopi merupakan tanaman semusim. “Berbeda dengan kopi, stevia itu menanamnya hanya sekali. Kita paling replanting atau recovery-nya 5 tahun sekali. Jadi, kita tidak ‘dijajah’ dengan namanya menanam. Panennya pun bagus, bisa sebulan sekali,” ujar pria yang juga merupakan aktivis lingkungan di Jawa Barat ini. Tanaman stevia pun memiliki fungsi konservasi karena tidak merusak tanah dan bisa dipanen berkali-kali tanpa harus mencabut akarnya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 121
Budi Daya Stevia Penanganan pascapanen tanaman stevia termasuk mudah dan sederhana, yaitu dengan memetik atau memotong daunnya layaknya tanaman teh. Petani biasanya menjualnya dalam bentuk daun kering untuk kemudian diolah oleh para produsen makanan, minuman, dan obat-obatan yang membutuhkan. “Biasanya, kalau panen, kita menghitungnya per rumpun. Dari per rumpun paling dapat 100 gram daun kering. Dari 10 pohon/rumpun kita bisa mendapat 1 kg daun. Jadi, 1 kg daun kering itu asal usulnya dari 6 kg daun basah dengan batang,” ujar Thio. Untuk memenuhi permintaan mitra pembeli, Thio mengaku menerapkan standar tinggi dalam menanam stevia di kebunnya. Pertama, dalam segala hal harus full organik. Pola tanamnya juga harus benar. Artinya, menanam stevia di kebun tidak boleh berdampingan dengan tanaman seperti sayur karena paparannya sangat tinggi.
/ TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
“Alhamdulillah, kalau saya menanamnya kan di hutan, jadi aman karena tidak menanam sayur. Namun, kalau menanam di kebun atau plasma, misalnya sebelahnya ada tanaman tomat, solusinya kita tanam per blok dengan memakai penghalang pagar plastik. Pola pengairannya juga tidak bisa dicampur. Tidak boleh ada rembesan air dari sana. Pupuknya yang digunakan juga full organik,” jelas Thio. Thio menjamin, stevia miliknya mengandung kadar manis hingga 400 kali gula putih. Perbandingannya, dari 1 kg daun kering stevia setara dengan 400 kg gula putih. Di demplotnya, Thio memiliki lahan setengah hektare yang ditanami stevia. “Yang lain ada yang punya 2 hektare. Harga daun kering stevia pun stabil di kisaran Rp110.000 per kilogram. Rata-rata kita dapat 40% dari seluruh operasional. Sementara, untuk 1 hektare kira-kira membutuhkan 4 SDM,” terangnya. Thio bercerita, stevia sebenarnya merupakan tanaman bandel dan dapat tumbuh di ketinggian minimal mulai dari 400 mdpl. Di Lembang rata-rata stevia ditanam di ketinggian 1.200 mdpl. “Kalau di ketinggian 400 mdpl hasilnya biasanya tidak bagus,
kadar gulanya turun. Yang ideal adalah ditanam di ketinggian 900 mdpl ke atas. Untuk 1 hektare lahan bisa ditanam 70.000 pohon/rumpun yang bisa menghasilkan hampir 10 ton daun kering,” terangnya. Permasalahan utama yang ada dalam pengembangan tanaman stevia menurut Thio hanya satu, malas. Petani biasanya malas dalam melakukan perawatan dan kontrol tanaman. Kalau untuk gangguan hama, tidak terlalu signifikan. Stevia bisa panen setiap bulan walau pada awal penanaman baru bisa dipanen 3 bulan. Thio menganggap masa tersebut sebagai pelatihan dan hasilnya untuk dipakai keperluan sendiri. “Buat latihan dan pembibitan. Setelah itu baru tiap bulan rutin panen sekali,” katanya. Dalam 1 hektare biasanya dibagi 12 blok dan dalam 12 blok perawatannya dibagi lagi per minggu lalu dibagi lagi ada yang per hari. “Kadang-kadang satu blok sudah panen duluan. Rumpun yang tunas bagus harus langsung dipotong. Kalau telat dipotong, daunnya kecil-kecil karena itu akan tumbuh bunga. Jadi, jangan sampai ada bunganya,” jelas Thio berbagi tip.
”
Stevia sebenarnya merupakan tanaman bandel dan dapat tumbuh di ketinggian minimal mulai dari 400 mdpl. Di Lembang rata-rata stevia ditanam di ketinggian 1.200 mdpl. Thio Setiowekti
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 123
Prof. Dr. Lienda Aliwarga Handojo bersama Thio Setiowekti melihat penjemuran buah lemon di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Tingkat Kegagalan 40%
tantangan tersendiri. Hal tersebut mengingat cuaca di wilayah Lembang yang tidak menentu sehingga kerap menjadi kendala dalam proses pengeringan daun stevia.
Setelah dipanen, untuk memperpanjang usia simpan, daun stevia harus melalui proses pengeringan terlebih dahulu sebelum dikirim ke produsen. Proses pengeringan membutuhkan paparan sinar matahari yang cukup memadai.
Untuk menghasilkan daun kering stevia berkualitas, Thio biasanya membutuhkan waktu dua hari penjemuran di bawah sinar matahari. Namun, urusannya bisa menjadi rumit jika cuaca sedang tidak bersahabat atau saat musim hujan. Pengeringan daun stevia bisa memakan waktu lebih lama, bisa sampai dua minggu. Ujungujungnya, petani selalu dihantui kegagalan dalam proses pascapanen karena daun stevia yang dihasilkan kualitasnya rendah, tidak sesuai dengan yang diinginkan pasar.
Selama ini, para petani stevia, termasuk Thio hanya mengandalkan proses pengeringan secara manual dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Bagi petani stevia di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat layaknya Thio, ini menjadi
124 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
“Proses pascapanen menjadi masalah karena suhu yang tidak stabil. Banyak yang gagal dalam penjemuran. Menjemur daun stevia tidak seperti menjemur singkong atau jeruk. Dengan dijemur dalam kondisi cuaca tak menentu membuat warna daun stevia menjadi kecokelat-cokelatan. Karena di tempat terbuka, kontaminasinya juga tinggi,” papar Thio. Kadar air stevia kering hasil penjemuran panas matahari juga sering tidak merata dan berpotensi terkontaminasi kotoran. Pasar biasanya menginginkan daun stevia kering dengan kadar air kurang dari 10%
dengan daun yang tetap berwarna hijau. “Daun yang cuma dijemur, kualitasnya turun. Rata-rata kegagalan penjemuran bisa mencapai 40%. Selain itu, kalau dijemur, paling cepat dua hari dengan risiko kegagalan yang sangat tinggi itu,” kata Thio. Petani stevia seperti Thio belum memiliki teknologi pengeringan yang mampu menjaga kualitas daun saat proses pengeringan yang mampu beroperasi di segala kondisi cuaca. Padahal, kualitas daun stevia kering yang baik dapat meningkatkan nilai jual sehingga kesejahteraan para petani stevia turut terdongkrak.
Petani memanen buah lemon di Lembang.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 125
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Solusi Lemari Pengering
Pada 2021, Thio beserta petani lainnya bisa bernapas lega ketika tim pengabdian yang dipimpin dosen Teknik Pangan ITB Prof. Dr. Ir. Lienda Aliwarga Handojo, M.Eng., dari Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITB menyambangi Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang.
Pekerja memasukkan irisan buah lemon ke lemari pengering di Lembang.
126 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Berkolaborasi dengan dosen Teknik Bioenergi dan Kemurgi ITB, Antonius Indarto, S.T., M.Eng., Ph.D., Prof. Lienda mengaplikasikan teknologi pengeringan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh para petani stevia di Lembang. Melalui program Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Inovasi (PPMI) FTI ITB 2021, tim ITB membangun lemari pengering dan menghibahkannya kepada petani stevia di Lembang melalui komunitas Forum Penyelamat Lingkungan Hidup pada Agustus 2021. Penerapan teknologi pengeringan bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi daun stevia kering. Capaian akhirnya, nilai jual daun stevia serta kualitas dan higienitasnya meningkat sehingga kesejahteraan para petani stevia pun menggeliat. Dengan teknologi pengeringan ini, kualitas daun kering yang diproduksi menjadi lebih baik. Selain warna hijau daun yang dapat dipertahankan, kontaminasi debu dan kotoran serangga selama penjemuran bisa dieliminasi. “Dengan adanya lemari pengering yang dibawa ITB, semua menjadi lancar jaya, tidak ada yang terbuang. Warna daun yang asalnya berubah kecokelat-cokelatan ketika dijemur, dengan lemari pengering bisa dihindari,” jelas Thio semringah.
Biasanya setelah pemanenan, ada proses pemipilan, yaitu hanya daun stevia yang diambil. Daun-daun tersebut dikumpulkan kemudian dicuci yang bersih supaya telihat segar. Setelah itu, baru dimasukkan ke dalam lemari pengeringan selama 4 jam. “Saya bersama dengan petani lain sangat terbantu dengan adanya lemari pengering bantuan dari ITB ini. Terus terang, yang berat bagi kami selama ini adalah di proses pascapanennya, terutama dalam hal pengeringan daun stevia,” papar Thio. Sebagian besar hasil panen tanaman stevia milik Thio dikeringkan memakai lemari pengering. Setiap hari, lemari pengering ini bisa mengeringkan daun stevia sampai enam kali putaran atau lebih. Bukan hanya Thio, petani lain pun merasa turut terbantu dengan keberadaan lemari pengering bantuan dari ITB ini. Untuk saat ini, lemari pengering yang ditempatkan di Desa Jayagiri, Lembang baru ada satu unit. Lemari pengering tersebut masih memakai bahan bakar gas elpiji. “Satu gas melon bisa untuk tiga kali proses pengeringan. Untuk pengembangan selanjutnya, LPPM ITB akan memakai biogas sebagai bahan bakar lemari pengering tersebut,” papar Thio.
Bukan hanya itu, dengan adanya lemari pengering waktu pengeringan daun stevia pun menjadi jauh lebih singkat. Thio tak lagi membutuhkan waktu selama dua hari atau lebih untuk mengeringkan daun stevianya. Ia hanya butuh waktu 8 jam, bahkan bisa lebih singkat untuk mengeringkan daun stevia dengan hasil akhir yang sangat memuaskan. “Kalau memakai lemari pengering, tidak ada risiko gagal. Proses mengeringkan daun stevia bahkan bisa 4 jam dengan mengatur suhu sebelumnya. Untuk satu kali putaran pengeringan selama 4 jam, bisa masuk 25 kg daun basah,” terang Thio.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 127
Juga Selamatkan Buah dan Sayur Petani di Desa Jayagiri bukan hanya memanfaatkan lemari pengeringan untuk mengeringkan daun stevia. Mereka juga memanfaatkannya sebagai pengering buahbuahan dan sayuran, seperti jeruk lemon, bit, kopi, dan terong. Produksi buah kering, terutama lemon kering menjadi alternatif bagi petani di Lembang yang sebelumnya sempat terpuruk selepas COVID-19 pada 2022.
Mengiris buah lemon sebelum dikeringkan menggunakan lemari pengering.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Saat itu, banyak petani lemon berada di titik nadir. Harga jeruk lemon yang pada masa pandemi mencapai Rp15.000 per kilogram terjun bebas ke angka Rp3.000 per kilogram. Banyak hasil panen lemon tak terserap pasar sehingga membuat petani rugi. Saking frustrasinya, petani membuang begitu saja lemonnya hingga membusuk, bahkan ada yang nekat menebang pohonnya.
Melihat kondisi ini, tim ITB yang diketuai Prof. Lienda kembali menghibahkan lemari pengering untuk kelompok tani buah dan sayur di Desa Suntenjaya, Lembang, pada September 2022. Teknologi ini digunakan untuk mengeringkan produk-produk kebun yang sering berlimpah di musim panen, seperti buah bit, terong, cabai dan sebagainya.
Thio Setiowekti mendata buah lemon dari petani yang akan dikeringkan. TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 129
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Tim LPPM ITB yang terdiri atas Prof. Dr. Lienda Aliwarga Handojo, Antonius Indarto, S.T., M.Eng., Ph.D., dan Dr. Pramujo Widiatmoko, S.T., M.T. saat itu berkolaborasi dengan PT Aimtopindo Nuansa Kimia. Mereka memasang lemari pengering di Desa Suntenjaya melalui program pengabdian kepada masyarakat dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB. Lemari pengering di Desa Suntenjaya serupa dengan lemari pengering di Desa Jayagiri, tetapi telah mengalami sedikit modifikasi yaitu adanya pengaliran udara panas dari bagian sisi. Hal ini dimaksudkan agar pemanasan di tiap tray/rak lebih merata. Petani di Desa Suntenjaya yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sayur, Buah dan Tanaman Herbal “Merdeka” menyambut antusias kehadiran lemari pengering ini. Dengan tambahan lemari pengering tersebut, hasil petani yang melimpah bisa dimanfaatkan dan bernilai tambah. Di pasaran, buah kering, terutama lemon yang telah diiris dan dikeringkan (dried lemon), harga jualnya menggiurkan. Minat pasar terhadap produksi ini pun terus meningkat. Karena banyaknya permintaan terhadap lemon kering dari konsumen, akhirnya lemari pengering di Desa Jayagiri pun lebih banyak dipakai untuk mengeringkan jeruk lemon. “Jeruk lemon yang dikeringkan jelas lebih menguntungkan. Dari 12 kg jeruk lemon basah, setelah di-slice bisa didapat 1 kg lemon kering dengan harga jual mencapai Rp200.000 per kg,” tutur Thio. Lemon kering hasil olahan petani Lembang bukan hanya dijual untuk memenuhi pasar Bandung, bahkan mulai merambah ke Jakarta. “Secara pendapatan dengan adanya mesin ini jadi jauh meningkat. Pascapanen jadi terkendali. Jadi saya itu suka tantangan. Bagi saya segala urusan telah selesai, tinggal masyarakat sendiri, mau apa
130 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
tidak melakukannya,” ujar pria yang getol memberikan pelatihan cara pengeringan buah lemon menggunakan lemari pengeringan kepada petani dan warga di desanya dan desa sekitarnya tersebut. Ia pun menginginkan ada pengembangan dari lemari pengering tersebut agar hasil yang diinginkan lebih maksimal. “Kalau bisa teknologinya yang lebih ditingkatkan, seperti sirkulasi udara agar pemanasan lebih rata. Agar lebih ramah lingkungan, pemakaian bahan bakar biogas agar segera diwujudkan,” ujar Thio yang kini memiliki empat plasma kebun stevia ini. Sementara itu, Prof. Lienda, mengatakan, buah yang dikeringkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Lemari pengering mencegah pembusukan hasil panen buah dan sayur yang biasanya melimpah pada saat panen raya. Komoditas yang biasanya harganya anjlok dan sulit terserap pasar menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi lebih. Dengan lemari pengering, nilai ekonomi produk meningkat dan para petani pun bisa tersenyum nikmat. “Teknologi pengeringan yang ditanamkan di lemari pengering pun tak lantas menghilangkan nutrisi yang terkandung dalam buah-buahan tersebut. Dengan pengaturan temperatur yang rendah, tidak lebih dari 50 derajat Celsius, kandungan nutrisi dan vitamin dalam buah kering masih tetap terjaga,” papar peraih gelar doktor dari Universitas Hannover, Jerman ini. Untuk lemari pengeringan, Prof. Lienda mengaku bersama dengan timnya akan terus melakukan pengembangan sehingga manfaatnya makin dirasakan oleh masyarakat luas. Lemari pengering tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk mengeringkan kopi ataupun produk kebun lainnya. Hasil panen yang kurang baik, seperti buah dan umbi yang tidak diterima pasar karena bentuk kurang bagus dan ukuran terlalu kecil pun kini dapat diolah menjadi produk kering sehingga memiliki nilai jual.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Jamilah memajang lemon kering di gerai Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) di Lembang.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 131
PANJANG UMUR PANEN PETANI
SPESIFIKASI LEMARI PENGERING Lemari Pengering Lembang - Berbahan besi nirkarat 430 kategori aman kontak dengan makanan (food grade) dan rak berbahan besi nirkarat 304. - Berukuran 1,3 m x 0,6 m x 1,6 m. - Dilengkapi 10 rak penyimpanan yang dilengkapi dengan kontrol suhu dan kelembapan. - Berbahan bakar gas elpiji. - Dilengkapi dimmer untuk menurunkan daya jika menggunakan listrik. - Kapasitas 60 kg.
132 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Tantangan: - Masih menggunakan bahan bahan gas elpiji. Pengembangan: - Bahan bakar gas elpiji akan diganti menggunakan biogas memanfaatkan kotoran sapi yang banyak di Lembang sehingga lebih ramah lingkungan.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Lemari Pengering Flores - Spesifikasi hampir sama dengan yang di Lembang. - Menggunakan energi listrik bukan gas elpiji karena BBM sulit didapat. - Pemasangan listrik 2.200 W.
Tantangan: -
Listrik di daerah belum stabil, sering tiba-tiba mati.
Pengembangan: - Pada 2023 dilengkapi dengan panel surya mengingat potensi energi matahari yang melimpah. - Operasional hibrid menggunakan energi listrik dan panel surya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 133
BUAH TANGAN DARI INERIE Bukan hanya Lembang, yang secara geografi masih di Jawa Barat, pada tahun 2022 tim ITB melanjutkan pengabdiannya sampai daerah pelosok. Desa Inerie, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur menjadi pilihan pengaplikasian lemari pengering hasil rancangan tim. Desa Inerie memiliki alam yang indah. Sesuai dengan namanya, nama Inerie diambil dari bahasa lokal yang mengandung arti ibu atau mama yang cantik. “Ine” dalam bahasa Indonesia berarti ibu atau mama, sedangkan “rie” bermakna cantik.
Tim LPPM ITB bersama masyarakat adat di Kampung Adat Maghilewa, Inerie, Kabupaten Ngada, NTT.
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Panen Buah Dijual Murah Selama ini Desa Inerie masyhur dikenal sebagai daerah penghasil buah-buahan dengan cita rasa tiada tara. Pisang,
Imelda Nginu, petani asli di Inerie memiliki lahan 500 m2. Ia menanam beragam tanaman dengan sistem tumpang sari. Selain kelor, kakao, vanili, pala, pinang, cengkih, ia juga menanam buahbuahan seperti pisang, nanas, mangga, dan kelapa. Selama ini, hasil panen buah dari kebunnya ia jual per buah, bukanlah per kilogram.
mangga, pepaya, nanas, durian, kelapa, dan tanaman daun kelor
Pembeli yang datang hanya membeli buah-buahan yang
yang sebelumnya diolah dengan cara tradisional banyak
ukurannya besar. Buah mangga dijual per lima buah dengan harga
dijumpai di desa tersebut. Mayoritas pekerjaan sehari-hari
Rp10.000. Sementara, pisang kepok per tandan besar Rp50.000 dan
masyarakat di Desa Inerie adalah menjadi petani. “Kehidupan
tandan kecil Rp30.000. “Sedangkan kelapa dijual per butir Rp2.000.
masyarakat di sini mengandalkan hasil dari lahan, perkebunan,
Kalau 40 butir sekitar Rp50.000-Rp60.000. Namun, kelapa biasanya
dan pertanian,” terang Camat Inerie, Helena Decembra Emanuela
tidak dijual, tetapi diolah menjadi minyak,” katanya.
Sola Nau.
Sementara, buah yang kecil-kecil banyak yang tersisa sehingga
Setiap panen jumlah buah atau produk perkebunan yang
membuat
petani
kebingungan
dalam
memanfaatkannya.
dihasilkan berlimpah sehingga harga jualnya cenderung turun.
“Daripada cepat membusuk, biasanya saya bagikan kepada
Usia simpan buah yang pendek juga mengakibatkan buah-buahan
tetangga-tetangga atau dijadikan pakan ternak,” ujar Imelda Nginu
yang tidak habis terjual membusuk karena tidak diolah.
yang menjalankan aktivitas sehari-hari dengan berkebun.
”
Setiap panen jumlah buah atau produk perkebunan yang dihasilkan berlimpah sehingga harga jualnya cenderung turun. Usia simpan buah yang pendek juga mengakibatkan buah-buahan yang tidak habis terjual membusuk karena tidak diolah. Helena Decembra Emanuela Sola Nau
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 137
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Melalui program pengabdian kepada masyarakat LPPM ITB 2021-2022, tim ITB yang diketuai Prof. Lienda bersama Ir. Sanggono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., serta tiga orang asisten yang merupakan lulusan program S-1 atau S-2 Teknik Kimia datang ke Desa Inerie. Tim LPPM ITB memberikan bantuan lemari pengering buahbuahan dan sayuran kepada petani di Desa Inerie. Berbeda
dengan yang ada di Lembang, lemari pengering di Desa Inerie, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur tidak memakai bahan bakar gas elpiji, tetapi menggunakan energi listrik. Gas elpiji dan minyak cukup sulit didapat di Desa Inerie. Untuk itu, tim mendesain lemari pengering yang menggunakan listrik.
Bupati Ngada, Andreas Paru (tengah) menerima Tim LPPM ITB di rumah dinasnya.
138 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Aneka buah yang telah dikeringkan dan dikemas di Desa Inerie.
Nilai Tambah Imelda dan sejumlah petani di komunitasnya merasakan betul manfaat kedatangan tim Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membawa mesin pengering buah ke Desa Inerie, NTT. Lewat tim LPPM ITB, bantuan mesin pengering tersebut diserahkan kepada Kelompok Tani Wonga Wali yang diketuainya.
Penyerahan lemari pengering ini dilakukan pada November 2022 di kantor desa setempat. Sebelum kedatangan mesin pengering buah bantuan ITB, petani buah sepertinya kerap kerepotan ketika musim buah tiba. Dengan lemari pengering ini, hasil panen buah-buahan dan sayuran menjadi lebih tahan lama dan tidak cepat membusuk. Lebih dari itu, buah-buahan dan sayuran tersebut menjadi produk yang punya nilai tambah sehingga meningkatkan perekonomian para petani. Kini, ia bersama dengan sepuluh
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 139
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Anggota Kelompok Tani Wonga Wali mengeringkan berbagai buah di Desa Inerie.
140 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
anggota kelompok taninya yang semuanya perempuan kian berdaya dengan membuat olahan buah kering. Kegiatan pengeringan buah yang dilakukan oleh Kelompok Tani Wonga Wali, Desa Inerie dimulai pada 2022. Tim LPPM ITB membawa ide bahwa buah-buah yang dikeringkan bisa dijual untuk meningkatkan perekonomian warga. Tim LPPM ITB juga memberikan pelatihan kepada Kelompok Tani Wonga Wali, mulai dari pemrosesan seperti cara mengiris, mencuci buah, menimbang hingga pengoperasian alat pengering. Setelah dikupas, diiris, dan dibersihkan buahbuah tersebut disusun di rak khusus kemudian dimasukkan ke mesin pengering. “Proses pengeringan di oven bisa mencapai 15 jam. Setelah selesai dikeringkan kemudian ditimbang lagi. Kalau untuk memotong, mengiris, dan menyusun di rak-rak biasanya butuh proses 5 jam,” ujar Imelda. Kegiatan Kelompok Tani Wonga Wali dalam pemrosesan buah kering mengundang ketertarikan warga lain. Imelda mengaku, beberapa warga lain akhirnya turut bergabung dalam pelatihan pengolahan buah kering ini. “Buah-buah yang dikeringkan bisa bertahan lama sehingga cocok dijadikan buah tangan untuk camilan. Bagi yang ingin mencicipi buah-buahan asli dari Desa Inerie tak lagi harus repot dan khawatir busuk di jalan karena bisa membawa buah-buah yang dikeringkan,” jelasnya. Hasil produk buah kering Kelompok Tani Wonga Wali, NTT kini sudah mulai dipasarkan. Buah kering tersebut dibeli oleh New Eden Moringa sebagai mitra sekaligus pembina kelompok tani. Sebelumnya, bersama New Eden Moringa pimpinan Lieta Isomartana, kelompok tani ini telah bekerja sama dalam budi daya dan pengolahan tanaman kelor. “Buah-buahan kering dari pisang, mangga, kelapa, dll. dijual ke New Eden Moringa dengan harga Rp150.000 per kilo. Buah-buah kering tersebut belum dikemas. Untuk pengemasan produk dilakukan oleh New Eden Moringa,” terang Imelda. Cara seperti ini dirasakan Imelda dkk. lebih menguntungkan. Keuntungan penjualan buah-buah kering ini dibagi rata oleh anggota kelompok. Hasilnya bisa menambah penghasilan, selain dari usaha lain. Imelda sangat mengapresiasi kedatangan tim LPPM ITB ke Desa Inerie. Banyak ilmu yang telah ia dapat dari program pengabdian masyarakat LPPM ITB.“Dulu saya tidak pernah melihat panel surya, hanya bisa mendengar ceritanya. Buat kami ini merupakan yang pertama kali bisa melihat panel surya secara langsung. Ternyata dari matahari bisa menghasilkan panas listrik yang bermanfaat. Semoga ITB tetap sukses, jaya, dan lebih bisa membagi kasih kepada siapa pun,” katanya.
”
Proses pengeringan di oven bisa mencapai 15 jam. Setelah selesai dikeringkan kemudian ditimbang lagi. Kalau untuk memotong, mengiris, dan menyusun di rak-rak biasanya butuh proses 5 jam. Imelda Nginu
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 141
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Dipasarkan ke Labuan Bajo Dalam melaksanakan pengabdian masyarakat di Desa Inerie, tim LPPM ITB menggandeng founder New Eden Moringa, Lieta Widiarti Isomartana. Sebelumnya Lieta telah membina Kelompok Tani Wonga Wali, Desa Inerie dalam budi daya dan pengolahan tanaman kelor. Lieta Isomartana pula yang menemani Prof. Lienda melakukan survei ke Desa Inerie sebelum penyerahan lemari pengering dilakukan. Tahun 2019 Lieta memulai kehidupannya di tanah Flores, NTT, tepatnya Labuan Bajo, kawasan wisata superpremium kelas dunia. Dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, rupa-rupa tumbuhan dan buah-buahan tumbuh subur di Flores. Menariknya, di tempat barunya ini, Lieta pun menemukan tanaman superpremium yang selama ini selalu dikonsumsinya, yaitu moringa atau kelor.
“Saya tidak tahu kalau di Flores ternyata banyak sekali tumbuh pohon kelor. Sejak di Australia saya sudah mengonsumsi daun kelor karena khasiatnya yang luar biasa. Saya olah sendiri dan konsumsi sendiri,” ujar Lieta. Seiring dengan waktu, di benaknya mulai terpikir untuk mengolah kelor lalu mengemasnya dan dijual kepada para turis yang datang ke Labuan Bajo. Ia kemudian mulai mendalami cara pengolahan yang baik. Lieta pun mengeksplorasi desa-desa di Flores mencari petani-petani kelor yang akan dilatihnya, termasuk menyambangi petani kelor di Desa Inerie, Kabupaten Ngada. Jika dari Labuan Bajo, Desa Inerie harus ditempuh dengan waktu 8 jam perjalanan darat. Namun, tujuan Lieta bukan soal seberapa jauh ia harus melangkah, tetapi seberapa cocok dia dengan petani-petani yang akan dilatihnya. Di desa ini, Lieta melatih Kelompok Tani Wonga Wali yang diketuai oleh Imelda Nginu.
”
Saya tidak tahu kalau di Flores ternyata banyak sekali tumbuh pohon kelor. Sejak di Australia saya sudah mengonsumsi daun kelor karena khasiatnya yang luar biasa. Saya olah sendiri dan konsumsi sendiri. Lieta W. Isomartana
142 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
menjadi mitra LPPM ITB yang melakukan program pengabdian kepada masyarakat di Desa Inerie, Flores. Lieta mendampingi Prof. Lienda mengaplikasikan lemari pengering di desa ini. “Bu Lienda sangat tertarik datang ke Flores karena di sini potensinya bukan daun kelor saja, juga ada buah-buahan terbaik yang tumbuh di alam yang masih alami, belum terpolusi, belum terjamah kimia,” kata Lieta. Mesin dari ITB ini sangat membantu para petani untuk mengolah buah-buahan hasil panen menjadi bernilai jual tinggi. Apalagi, saat musim panen raya tiba, banyak buah yang tidak terserap pasar dan akhirnya menjadi busuk. Lieta mengatakan, dengan dikeringkan, orang luar Flores tetap bisa merasakan buah asli Flores yang nikmat dan sehat tanpa harus menunggu buah yang sudah busuk. Mengonsumsi buah kering pun mulai tren sebagai pengganti fiber. “Saya juga tak ingin sehat sendiri, ingin juga menyehatkan mamamama yang ada di sana dengan cara mengolah kelor yang baik. Saya perhatikan budaya tanamnya di sini sudah baik sekali, tetapi pengolahannya salah dan cara makannya juga diproses terlalu lama, akhirnya nutrisinya berkurang,” paparnya. Kerja kerasnya tak sia-sia, bersama dengan Kelompok Tani Wonga Wali di Desa Inerie, Lieta menuai sukses. Ia mulai berani memproduksi olahan kelornya dan mendapat respons yang cukup baik dari pasar. Lieta kemudian mendirikan New Eden Moringa yang memproduksi olahan kelor petani-petani lokal dalam beragam varian, seperti moringa coffee, moringa latte, moringa powder, moringa sea salt, dll. Awalnya produk-produk tersebut hanya dipasarkan di Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, kini selain dipasarkan di luar daerah juga telah diekspor ke mancanegara. Pada 2022, New Eden Moringa
Tim ITB mengawali pengenalan lemari pengering tersebut dengan memberikan pelatihan kepada Kelompok Tani Wonga Wali yang merupakan binaan Lieta. Para petani diajari cara pengoperasian lemari dan cara membuat buah kering yang baik. Para petani menyambut baik pelatihan yang diberikan tim ITB. Lieta pun senang dengan adanya lemari pengering ini karena buah-buahan bisa diolah. “Jadi, kelompok tani saya bukan hanya menyediakan bahan dari kelor, tetapi bisa mengerjakan yang lain juga.” Namun, ia berharap bukan hanya kelompok tani di Desa Inerie yang terlibat, dari desa tetangga juga ikut terpicu bahwa dengan cara dikeringkan nilai jual panen buahnya bisa lebih tinggi. “Misalnya kita jual per pohon sekian ke pengepul, ternyata dengan pengolahan ini bisa mendapat uang yang lebih besar. Pastilah kesejahteraan petani akan terdongkrak.”
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 143
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Harga Jual Naik Berlipat
Setelah dibahas dengan kelompok tani binaannya, Lieta menyebut, jika petani menjual 2 mangga dengan harga Rp10.000, tetapi untuk menjadikan buah mangga kering itu perlu sekitar 8-10 kg mangga segar. Jadi, sudah dihitung kurang lebih sekitar Rp70.000-Rp80.000 mangga segar. “Tetapi, setelah diproses menjadi mangga kering harganya bisa sampai Rp250.000. Namun, dalam ini perlu ada ketekunan dan ketelitian dan ekstra kerjaan, tetapi harganya menjadi naik 3 kali lipat,” jelas Lieta.
Kelompok Tani Wonga Wali bangga dengan produk buah kering olahan mereka.
144 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Dengan membuka diri bahwa ini merupakan peluang untuk menambah pendapatan, mudah-mudahan banyak petani lain yang ikut. Biasanya mereka harus ada pemicu dulu untuk mau bergabung. “Contoh seperti dalam pengolahan kelor saya, tahun pertama hanya Ibu Imelda sendirian yang ikut. Tetapi, dia terus konsisten melakukannya, seperti menjemur dll. Akhirnya tetangga-tetangga bertanya, ‘Ngapain sih jemur dan cuci-cuci kelor terus’. Mereka bertanya karena penasaran dan akhirnya kita punya kelompok.” Ia berharap program-program lain pun seperti begitu sehingga akhirnya banyak bermunculan kelompok-kelompok tani penghasil apa pun yang asli dari Desa Inerie. “Contoh kelapa kering dan VCO, mangga, nanas. Pernah juga coba buah naga, lemon grass, ginger, dan daun pandan. Jadi, sebenarnya kemungkinannya sangat banyak,” ujar Lieta. Lieta berharap bahwa program yang dilaksanakan ITB bukan sekadar untuk mencari nama, tetapi betul-betul menyadari bahwa sebagai warga negara punya peran masing-masing. Bukan sekadar mengetahui ilmu yang lebih daripada petani-petani dan berbagi, tetapi juga merasakannya sama-sama. Ia berharap dengan adanya program ini, bisa dilanjutkan programprogram lain dari ITB untuk masyarakat di Flores. Masyarakat harus ada yang memberi tahu bahwa daerahnya memiliki “permata-permata”, tetapi mereka belum terbiasa. “Mungkin di sini bagian atau peran dari LPPM ITB untuk mengasah dan memberi tahu begini cara mengasahnya sehingga ‘permata-permata’ itu bisa keluar.” Selain mengeringkan buah dan sayur, tim LPPM ITB juga mengasah keterampilan petani dalam mengiris, mengemas, sampai memasarkan produk. Mewakili warga, Camat Inerie, Helena
berterima kasih atas apa yang dilakukan tim LPPM ITB di desanya. Dulu, kata Helena, hasil panen kelapa di desanya paling hanya diolah menjadi kopra. Buah-buahan lain pun sama, pengolahannya masih menggunakan cara tradisonal. “Kini, masyarakat di Desa Inerie semakin terbuka wawasannya. Dari kelapa juga ternyata bisa diolah menjadi VCO. Untuk 1 kg kopra dijual hanya Rp5.000 atau Rp6.000. Setelah menjadi VCO harganya lebih tinggi lagi. Itu bisa meningkatkan taraf hidup dari sisi ekonomi masyarakat. Di sini pihak ITB sangat membantu. Pemasarannya pun mereka bantu,” papar Helena. Ia pun menyoroti komoditas kemiri yang potensinya cukup besar, khususnya di Kecamatan Inerie bagian tengah. Di kaki Gunung Inerie, banyak petani yang menghasil kemiri. Kemiri di sana proses pengolahan masih manual. “Kemirinya dijemur terus pengolahannya memakai alat tradisional sehingga hasilnya tidak maksimal. Banyak yang pecah sehingga harga jualnya rendah. Yang dibutuhkan mungkin semacam teknologi industri,” jelasnya. Ia berharap ITB bisa kembali untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat di kecamatan yang dipimpinnya. Bukan hanya di Desa Inerie, juga di desa-desa lainnya yang memerlukan sentuhan teknologi untuk mengolah hasil-hasil bumi sehingga masyarakat juga tidak kesulitan dalam memproduksi dan memasarkannya. “Mohon pendampingan dan juga mudah-mudahan ITB kembali lagi ke sini. Satu lagi, untuk pengolahan ikan. Selama ini kami belum punya pengawet ikan. Ikan hasil tangkapan nelayan banyak yang busuk dan tidak termanfaatkan. Mau dipasarkan terlalu banyak, kemampuan membeli konsumen juga terbatas,” katanya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 145
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Ramah Lingkungan
Walaupun pencapaian yang diraih melalui lemari pengering di Lembang dan Flores sangat memuaskan, tak lantas membuat tim ITB yang diketua Prof. Lienda berpuas diri. Program pengabdian kepada masyarakat LPPM ITB akan dilanjutkan pada tahun ini. Salah satu yang akan dikerjakan adalah melakukan pengembangan lemari pengering di Lembang yang saat ini masih menggunakan gas elpiji.
Thio Setiowekti memasang sambungan gas elpiji ke lemari pengering di rumahnya di Lembang.
146 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Bahan bakar lemari pengering tersebut akan diubah dengan menggunakan energi biogas. Lembang memiliki banyak peternakan sapi dengan populasi sapi yang sangat besar, sekitar 18.000-20.000 ekor. Sapi-sapi ini menghasilkan kotoran yang sangat banyak, per harinya bisa 15 kg-20 kg per ekor. Bahkan, beberapa waktu lalu, saat banjir melanda kawasan Lembang, kotoran hewan tersebut sampai terbawa arus banjir dan masuk ke rumah-rumah. “Pada tahun 2023 ini kami melakukan program pengabdian masyarakat di Lembang untuk memanfaatkan kotoran sapi supaya dijadikan biogas untuk bahan bakar lemari pengering,” katanya. Dengan memakai bahan bakar biogas, biaya produksi yang selama ini ditanggung untuk membeli gas elpiji bisa ditekan. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh oleh para petani dari penjualan buah atau daun kering pun akan meningkat. Bukan hanya itu, pemakaian biogas untuk lemari pengeringan pun lebih ramah lingkungan. Tim juga akan memanfaatkan kotoran sapi untuk dijadikan media pembiakan maggot. Maggot merupakan pakan ternak yang sangat diminati saat ini sehingga bisa menjadi nilai tambah bagi para petani. “Ini yang sedang berjalan di Lembang. Selain lemari pengering yang sudah berjalan dengan baik, mereka sudah bisa menjual produk dengan baik. Selain itu, mereka sekarang bisa memanfaatkan limbah yang ada untuk energi maupun untuk membuat pakan,” terang Prof. Lienda.
Tim juga memanfaatkan kotoran sapi untuk dijadikan media pembiakan maggot. Maggot merupakan pakan ternak yang sangat diminati saat ini sehingga bisa menjadi nilai tambah bagi para petani.
Untuk lemari pengering yang ditempatkan di Desa Inerie akan dikembangkan dengan menambahkan panel surya. Hal tersebut mengingat potensi energi matahari di daerah tersebut yang sangat melimpah. Bersama dengan anggota tim Dr. Anggit Raksajati, Dr. Sanggono Adisasmito dan Dr. Irman Idris, dengan narasumber Yuli S. Indartono dirancang kebutuhan daya panel surya untuk pengering buah “Bermitra dengan Fortuga panel surya di Desa Inerie telah dipasang pada bulan September 2023 untuk mengurangi pemakaian listrik lemari pengering. Jadi, sistemnya hibrid. Saat mati listrik pun buah-buah masih tetap dapat dikeringkan di dalam lemari pengering walaupun tidak dengan energi maksimum. Oleh karena itu, lemari-lemari pengering ini bisa disebut juga lemari pengering yang ramah lingkungan,” ujar Prof. Lienda. Tim ITB juga terus melakukan pendampingan agar para petani di Desa Inerie yang menjual produk buah dan sayur kering bisa mendapat perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). “Ini memang sedang dibicarakan. Kalau di level petani, mereka harus punya NPWP dan sebagainya supaya produknya bisa terjual lebih luas, masuk ke toko, dan sebagainya,” kata Prof. Lienda.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 147
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Merambah Kampung Adat Maghilewa Masih di wilayah Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada, NTT terdapat Kampung Adat Maghilewa yang eksotik. Kampung Adat Maghilewa terletak di kaki Gunung Inerie yang memesona. Keindahan Kampung Adat Maghilewa membuatnya menjadi destinasi wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Ketua Lembaga Pemangku Adat Maghilewa, Yosep Solah menerangkan, Maghilewa berasal dari dua kata lokal, yakni Maghi yang berarti pohon lontar dan Lewa yang bermakna panjang. Menurut cerita turun-menurun, toponimi ini merujuk pada pohon lontar yang pernah tumbuh di tengah kampung tersebut. Yosep yang kala itu ditemani Wakil Ketua Lembaga Pemangku Adat Maghilewa, Rafael Loma mengatakan, kebiasaan seharihari masyarakat di Kampung Adat Maghilewa adalah bercocok tanam. “Kehidupannya masih sama dari zaman dulu, tidak berubah. Rumah adat di Kampung Maghilewa dengan Kampung Jere berjumlah 34, semuanya masih berpenghuni,” katanya. Ia juga menyebut bahwa Kampung Adat Maghilewa terus berbenah untuk menjadi salah destinasi pariwisata di NTT.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 149
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Di Kampung Adat Maghilewa tumbuh subur pohon kelapa, cengkih, kemiri, kakao, pala, merica, dan vanili. Para petani sebagian besar menjual hasilnya panennya ke Bajawa. Namun, sekarang, tengkulaktengkulak sudah masuk untuk mengambil komoditas dan dijual ke luar. “Para petani menjualnya dengan memakai uang, tidak barter. Kalau dulu ada kopra yang bisa dibarter. Ada yang bawa garam ditukar dengan kopra, gula, dll. Sekarang sudah memakai uang semua,” jelas Rafael.
Sulit Air Ditumbuhi beragam pepohonan dan tanaman tak lantas membuat Kampung Adat Maghilewa memiliki sumber air yang melimpah. Masyarakat di Kampung Maghilewa mengalami kesulitan air. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, masyarakat mengambilnya dari desa tetangga dan dari pantai. Melihat kondisi ini, tim alumni ITB angkatan 1973 (Fortuga) rencananya akan membangun penampungan air sehingga masyarakat di Kampung Adat Maghilewa sehingga bisa meringankan kesulitan masyarakat. Untuk pembangunannya masih dalam tahap perencanaan dan mudah-mudahan bisa diwujudkan.***
150 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Prof. Dr. Lienda Aliwarga Handojo
SOLUSI PASCAPANEN
P
ROF. DR. IR. LIENDA ALIWARGA HANDOJO mendapat ide awal pembuatan lemari pengering buah dan sayur setelah melihat banyak petani yang tak berdaya dalam mengelola pascapanen. Panen yang melimpah kadang tak lantas membuat petani semringah, malah mendatangkan masalah. “Buah maupun sayuran yang berlimpah membuat harga jualnya jatuh di pasaran. Masih untung kalau bisa dijual, kadang-kadang karena begitu banyaknya di pasaran, buah-buah itu tidak bisa terjual dan menjadi busuk,” papar Ketua Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITB ini. Hal seperti itu sering terjadi, tak terkecuali terhadap para petani di sentra buah dan sayuran seperti di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan hanya itu, faktor cuaca pun kerap membuat para petani mati kutu. Di Lembang misalnya, para petani stevia sering dilanda kecewa karena tidak bisa mengeringkan daun stevianya secara sempurna akibat cuaca yang tidak bisa diduga.
152 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Mereka menanam stevia dan punya masalah dengan pengeringan karena cuacanya tidak menentu. Daun stevia kalau sudah berharihari dikeringkan menjadi tidak bagus dan rusak. Dengan dikeringkan di lemari pengering, hasilnya memuaskan,” terang Prof. Lienda. Ia memulai aksinya bersama tim ITB melalui program Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Inovasi (PPMI) FTI ITB 2021 dengan membangun dan menghibahkan satu mesin pengering di Desa Jayagiri, Lembang. Lemari pengering ini ditujukan untuk pengeringan daun stevia dan juga produk sayuran yang lain, termasuk biji kopi yang banyak dihasilkan di sana. Sementara, lemari pengeringan kedua dibangun di Desa Suntenjaya, Lembang melalui program pengabdian kepada masyarakat dari LPPM ITB tahun 2022. “Terong dan buah bit hasil panen petani yang bentuknya tidak bagus dan tidak terserap di pasar bisa dikeringkan. Daripada rusak dan busuk, lebih baik dikeringkan dan dijual,” kata Prof. Lienda. Pun ketika pandemi COVID-19 mereda, petani lemon di Lembang banyak yang menderita karena harga lemon terjun bebas. Lemon
PANJANG UMUR PANEN PETANI
yang dijual Rp15.000 per kg saat pandemi, hanya dihargai Rp3.000 saat itu. Prof. Lienda menyaksikan sendiri banyak sekali buah lemon dibungkus dalam plastik besar disimpan di pinggir-pinggir jalan karena tidak terserap pasar. Media ramai memberitakan para petani sudah tidak mau lagi menanam lemon karena harganya yang jatuh. Beberapa dari mereka bahkan sudah menebang pohonpohon lemonnya karena putus asa. Namun, dengan adanya lemari pengering, lemon-lemon tersebut bisa diolah menjadi lemon kering yang bernilai jual tinggi. “Kebetulan karena pasar juga membutuhkan lemon kering, para petani kemudian menggunakan lemari pengering ini. Yang tadinya harganya cuma Rp3.000 per kilogram menjadi puluhan ribu per kilogram, bahkan dalam bentuk bubuk bisa menjadi ratusan ribu per kilogram,” paparnya. Buah yang dikeringkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Lemari pengering mencegah pembusukan buah dan sayur yang biasanya melimpah pada saat panen raya. Kini, kedua lemari pengering di Lembang tersebut lebih banyak digunakan untuk mengeringkan buah lemon.
Prof. Dr. Lienda Aliwarga Handojo
Para petani di Lembang yang begitu antusias telah berinisiatif mengurus izin PIRT dan telah memasarkan produk lemon kering sampai ke Jakarta. Dengan lemari pengering, nilai ekonomi produk meningkat sehingga kesejahteraan para petani pun menggeliat. “Bahkan desadesa tetangga pun datang ke tempat di mana kami memasang lemari pengering untuk antre dan ikut pelatihan pengeringan buah lemon. Saya senang,” tutur Prof. Lienda.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 153
PANJANG UMUR PANEN PETANI
Sebar Manfaat Sampai Pelosok Petani buah dan sayur di daerah pelosok tak lepas dari perhatian Prof. Lienda. Pada tahun yang sama bersama tim LPMM ITB ia mengaplikasikan mesin pengering buah dan sayur di Desa Inerie, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
dengan harga murah. Mangganya pun luar biasa, ukurannya besar sekali dan rasanya sangat lezat. “Mungkin karena cuacanya yang kering sehingga buah-buahan di sana lebih manis dan lebih terasa tasty. Sayang, buah-buahan ini saat musim panen harganya jadi jatuh,” kata Prof. Lienda.
Untuk mencapai Desa Inerie, bisa ditempuh dari Labuan Bajo melalui perjalanan darat sekitar 8 jam. Sementara, kalau menggunakan pesawat terbang dari Labuan Bajo harus ke Bajawa terlebih dahulu lalu melanjutkan perjalanan selama 2 jam ke Desa Inerie.
Selain menghibahkan lemari pengering, tim LPPM ITB juga melakukan pendampingan kelompok tani di Desa Inerie agar terampil mengolah buah dan sayuran kering melalui mesin ini. Semua berjalan lancar berkat bantuan mitra yang ada di Labuan Bajo yang memang sudah membina petani-petani di Desa Inerie untuk mengeringkan daun kelor. “Pada saat masuk ke sana kami hanya menambahkan pengeringan buah saja. Mereka cukup welcome dan bersemangat untuk melakukan ini,” kata Prof. Lienda.
Desa Inerie memiliki hasil alam berupa buah-buahan dengan kualitas kelas atas. Buah pisang dengan citarasa tiada tara tumbuh sepanjang tahun di desa ini. Jumlahnya juga banyak dan dijual
Dengan dikeringkan, buah-buah tersebut bisa tetap dijual bukan hanya di daerah sekitar, tetapi ke tempat yang jauh karena dengan pengeringan umur simpannya menjadi lebih panjang. “Jadi bisa
Pelatihan pengolahan buah kering untuk warga Desa Inerie (kiri) dan panel surya sebagai sumber tenaga alat pengering.
154 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
PANJANG UMUR PANEN PETANI
dikemas, dibawa ke sana kemari, dijual. Kalau bisa, bisa dijual sampai ke Jawa dan barangkali ke luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Thailand yang bisa membanjiri kita dengan buahbuah keringnya.”
Oleh karena itu, Prof. Lienda sekarang sedang mengusahakan agar para petani di Desa Inerie bisa mendapatkan perizinan PIRT. “Ini memang sedang dibicarakan. Kalau di level petani mereka harus punya NPWP dan sebagainya supaya bisa terjual lebih luas, masuk ke toko, dan sebagainya,” imbuh Prof. Lienda.
Nutrisi Buah Tetap Terjaga Untuk mengeringkan buah, Prof. Lienda mengatakan, pertama-tama buah harus dipotong-potong (slice) sebelum dimasukkan ke dalam lemari pengering. Untuk keperluan ini, para petani juga mendapatkan bantuan slicer dari tim LPPM ITB agar potongan buah ketebalannya sama. Lemari pengering rancangan tim ITB memiliki dimensi panjang 1,5 m, lebar 80 cm dengan tingginya sekitar 160-180 cm. Di dalamnya terdapat rak-rak yang digunakan untuk meletakkan buah atau sayur yang akan dikeringkan. “Temperatur kita atur supaya buah ini bisa kering pada temperatur yang kita inginkan. Hal ini agar nutrisi yang di dalam buah tidak rusak. Temperatur sebisa mungkin tidak lebih dari 50 derajat Celsius,” kata Prof. Lienda. Dalam pembuatan buah kering pun tidak dilakukan penambahan perisa apa pun dan tanpa tambahan pengawet. Jadi, buah kering yang dihasilkan benar-benar natural. Tim sempat melakukan beberapa eksperimen pretreatment buah dengan penambahan asam sitrat sebagai pengawet. “Ini bisa saja dilakukan, tetapi memang semua akhirnya akan tergantung dari permintaan pasar. Tetapi, untuk sementara ini tanpa penambahan apa-apa.” Petani juga ada yang berinovasi dengan menambahkan kapur sirih agar lebih krispi lalu melakukan blanching dengan memasukkan buah dan sayur sebentar ke air panas untuk menghasilkan varian dari produk yang dihasilkan. Agar buah kering yang dihasilkan bisa tahan lebih lama, proses packaging juga jangan dianggap sepele. Di Teknik Pangan, Prof. Lienda mengaku sedang melakukan pengujian berapa lama barang ini bisa disimpan dengan kualitas yang cukup baik. Memang, buah-buah kering itu bisa tahan setahun atau lebih lama itu tergantung dari packaging-nya juga. “Kalau packagingnya bagus, bisa tahan cukup lama dan bisa kuat sampai setahun.” ***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 155
Menyelamatkan Hasil Panen dan Menambah Penghasilan MASIH banyak orang yang menganggap bertani itu hanya mengandalkan kondisi alam. Pendapatan para petani biasanya hanya saat mereka panen. Kondisi tersebut kini tidak lagi dialami para wanita petani di Desa Inerie, Kabupaten Ngada, NTT, dan petani lemon di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jabar. Dulu, saat panen melimpah dan tidak semua buah terjual, kemungkinan hasil jerih payah petani dapat rusak dan membusuk. Hal itu dianggap lumrah sebagai pengorbanan. Namun, kini pengorbanan para ibu pejuang keluarga tersebut
Panen lemon 156 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
dapat diminimalkan. Kehadiran alat pengering melalui program pengabdian kepada masyarakat LPPM ITB 2021-2022 dari tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Lienda Aliwarga Handojo, M.Eng., menjadikan buah yang tak terjual menjadi tidak terbuang. Dengan ditambahkan pelatihan cara pengolahan buah dan sayur yang akan dikeringkan, buah yang tersisa menjadi tetap bernilai jual. Dengan alat pengering, para petani dapat menyimpan buah hasil panen lebih lama dengan nilai nutrisi yang tidak banyak berkurang. Bahkan, mereka masih bisa mendapatkan penghasilan meskipun bukan musim panen. *
Siapkan lemari pengering
Masukkan irisan ke pengering
Pengemasan
Mengemas lemon kering TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 157
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK Menurut data Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, pada 3 Februari 2023 jumlah masjid di Indonesia mencapai 285.631 unit. Akan tetapi, jumlah tersebut belum diimbangi dengan kualitas tata suara yang mumpuni. Lewat intervensi keilmuan yang dibalut program pengabdian kepada masyarakat, Institut Teknologi Bandung (ITB) turut berikhtiar membenahi persoalan ini dengan mengadakan pelatihan peningkatan kualitas akustik masjid. Mengingat besarnya jumlah masjid, ilmuwan ITB, Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, Ph.D. melakukan pendekatan “solving problem berantai” melalui komunitas untuk meningkatkan kapasitas di tokoh-tokoh kunci masjid dalam menyebarkan manfaat sosial dan ekonomi pengembangan akustik masjid di Indonesia.
Pegawai menutup jendela di anechoic chamber, Laboratorium Akustik ITB.
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Jangan “Garut Jadi Beirut”
S
ELAIN sebagai tempat ibadah, masjid jika ditinjau dari segi akustik bisa digolongkan sebagai ruang yang didesain untuk percakapan. Hampir seluruh aktivitas di masjid seperti salat berjemaah, azan, dakwah, mengaji, khotbah Jumat, melibatkan fungsi suara. Oleh karena itu, aspek akustik masjid sangat penting untuk diperhatikan. Akustik yang baik bisa menambah kekhusyukan beribadah di masjid. Sebaliknya, suara yang tidak jelas, berdengung, kasar, pecah, banyak noise bisa mengganggu kenyamanan dalam beribadah. Desain akustik masjid sering kali diabaikan dan tidak menjadi prioritas. Parahnya, banyak anggapan bahwa kualitas akustik di dalam masjid dapat diselesaikan cuma dengan memasang sound system. Padahal, kejelasan percakapan (speech intelligibility) menjadi parameter utama dalam tata suara masjid. “Jangan sampai kata ‘Garut’ malah terdengar menjadi ‘Beirut’,” kata Eep S. Maqdir, konsultan sound system dan akustik masjid dari Bandung. Permasalahan tata suara masjid ini menjadi perhatian pegiat masjid seperti Eep S. Maqdir, Agus Indratno, dan Tata Supriyadi. Berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, ia mendedikasikan diri untuk turut membenahi sistem tata suara masjid. Persentuhannya dengan ITB melalui pelatihan meningkatkan wawasannya bahwa tata suara masjid bukan sekadar seni memasang sound system. Lebih dari itu, ada hal yang lebih utama untuk dikuasai, yaitu ilmu tentang akustik ruang masjid.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 161
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Sejak kecil, alumni Fisika ITB ini memang sudah tertarik dengan ilmu audio. Bahkan, ketika duduk di bangku SMP, ia sudah cakap membuat radio sederhana dan terbiasa dengan urusan soldermenyolder. Buku-buku soal audio menjadi santapannya sehari-hari. Saat kuliah pada 1991 di Fisika ITB ia sudah bersentuhan dengan mata kuliah akustik bangunan. Tugas akhirnya pun mengambil tema dolby sound system bioskop.
Perhatiannya ke tata suara masjid dimulai ketika tahun 2017 ia mendirikan komunitas motor Muslim Bikers United. Bersama komunitasnya, ia kerap singgah ke masjid-masjid di berbagai daerah saat melakukan perjalanan (touring). Dalam pengamatannya, hampir 90% masjid yang dikunjungi sistem tata suaranya tidak beres, mulai dari suara bergaung, tidak jelas, banyak gangguan suara (noise), dll.“Saya mulai berpikir harus ada orang yang peduli sekaligus membereskan masalah ini,” tutur Eep.
“Dulu saya mainnya di audio high-end seperti untuk home theatre, karaoke, dll. Sementara, sound masjid tidak menjadi perhatian karena hampir mirip dengan sound profesional. Saat itu saya tidak terlalu suka dengan sound profesional karena seperti sound live music yang cuma main tenaga, tetapi detail suara tidak dapat,” terang pria yang akrab dipanggil Kang Eep ini.
Untuk menambah pengetahuan tentang tata suara masjid, ia mulai mengikuti seminar-seminar yang diadakan di Kota Bandung. Namun, ilmu yang didapat di seminar dirasa belum memuaskannya dalam mendalami tentang sound masjid. Ia sempat menanyakan kepada instruktur seminar kalau masjid sound-nya bergaung dan panjang gaungnya, apa yang harus dilakukan.
Didik Suryadi mengoperasikan pengatur tata suara di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari, Kabupaten Bandung.
162 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
“Instruktur malah menjawab sound-nya digedein aja. Saya tidak puas dengan jawaban itu karena saya pikir kalau dibesarkan energinya, energi pantulan juga pasti bertambah. Gaungnya malah akan lebih besar juga.” Eep terus menggali lebih dalam ilmu akustik masjid dengan mengikuti pelatihan peningkatan kualitas akustik masjid yang diadakan ITB pada 2018. Ia antusias menyerap ilmu dari Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, Ph.D. dan Anugrah Sabdono Sudarsono, Ph.D. dari Kelompok Keahlian Rekayasa Kinerja Lingkungan Binaan yang menjadi narasumber. Dari pelatihan ini pula ia bisa lebih jauh mengenal sosok Joko Sarwono, Ph.D. yang di kemudian hari sering berkolaborasi menularkan ilmu tentang akustik masjid kepada masyarakat. Berniat lebih serius, Eep bersama komunitas Muslim Bikers United mulai mengadakan pelatihan sendiri pada 2019. Ia mengundang Joko Sarwono, Ph.D. sebagai pembicara. Mulanya, pelatihan akan dihelat di Masjid Salman ITB, tetapi saat itu Masjid Salman penuh. Akhirnya, meminjam ruangan kelas di Pusdai. Peserta yang diundang 100 orang dan yang datang 140 orang. Karena membeludak, banyak peserta yang duduk di bawah sambil berdesakan-desakan. “Saat itu Pak Joko membawakan materi tentang akustik masjid, sedangkan saya tentang sound system-nya. Materi yang dibawakan lebih ke sekadar wawasan, tidak sampai ke teknik pengaturan mengingat waktu yang tidak mencukupi,” jelas Eep. Melihat antusiasme peserta yang tinggi pada sesi pertama, pelatihan sesi kedua digelar di GSG Salman ITB. Jumlah peserta yang hadir meningkat di atas 300 lebih sehingga banyak yang duduk di karpet. Selain dirinya dan Joko Sarwono, Ph.D. pelatihan juga menghadirkan Agus Indratno (Agin) yang mengisi materi soal kelistrikan sound system. Setelah itu, kegiatan pelatihan sempat terhenti karena pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020. “Padahal, saat itu sempat akan mengadakan kelas khusus akustik masjid di Masjid Al-Mutazam Ciganitri. Saya pilih masjid itu karena tata suaranya kurang bagus. Jadi akan dijadikan semacam studi kasus. Semua sudah siap, tetapi terkendala COVID-19 yang sedang menggila,” kenang Eep.
”
Saat itu sempat akan mengadakan kelas khusus akustik masjid di Masjid AlMutazam Ciganitri. Saya pilih masjid itu karena tata suaranya kurang bagus. Jadi akan dijadikan semacam studi kasus. Semua sudah siap, tetapi terkendala COVID19 yang sedang menggila. Eep S. Maqdir
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 163
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Namun, pandemi tak membuat Eep surut untuk terus menyebar ilmu. Ia berinisiatif menghelat pelatihan olah vokal dan teknik miking untuk imam, khotib, muazin, serta penceramah. Pelatihan dilakukan secara daring. Peserta dilatih tata cara memegang mikrofon yang benar sampai ke teknik pernapasan yang baik. Pelatihan tersebut menghadirkan instruktur Adjie Esa Poetra, guru vokal penyanyi tenar seperti Rossa dan Melly Goeslaw. Pelatihan basic ini dilakukan sampai tiga kali. “Setelah COVID mulai mereda digelar pelatihan sesi kedua untuk kelas intermediate. Di sini peserta mulai diperkenalkan ngoprek ke teknik, seperti pengaturan gain level, equalizer, dll,” katanya. Kini, Eep membuka jasa sebagai konsultan sound system dan akustik masjid. Ia telah banyak menangani permasalahan tata suara masjid di berbagai daerah. Yang pasti, bukan sekadar memperbaiki, ia juga kerap memberikan pemahaman kepada pengurus masjid yang menjadi kliennya. “Saat berkunjung, saya sekalian meminta ke DKM untuk mengadakan sesi presentasi selama 1 jam. Jadi, bukan hanya beli alat dan pasang. Saya punya tugas untuk memahamkan orang-orang masjid bahwa tata suara masjid itu standarnya harus seperti ini. Jadinya mereka mengerti, ternyata untuk mendapatkan sound yang bagus bukan hanya dari perangkat sound system, akustik juga berpengaruh.” Ia juga menekankan pemahaman kepada para pengurus masjid bahwa harus ada anggaran yang dipersiapkan jika ingin mendapatkan akustik ruangan yang bagus. Apalagi
164 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
rata-rata masjid yang ditanganinya adalah masjid yang sudah jadi. Padahal, kalau dari awal dirancang, biaya bisa ditekan. Jika sudah terpasang plafon, untuk menggantinya dengan panel akustik perlu pembongkaran yang tentu saja memakan biaya tak sedikit. “Masjid yang ramah akustik akan lebih mahal daripada yang tidak. Namun, dengan dari awal kita rancang berarti tidak ada biaya yang terbuang untuk pembongkaran.” Permasalahan yang kerap terjadi adalah arsitek tahu bahwa untuk ruang percakapan membutuhkan desain khusus. Namun, mereka lebih mengutamakan segi visual daripada audialnya. Banyak kasus, bangunan masjidnya megah, tetapi ternyata waktu dengungnya parah. Padahal, hal itu sebetulnya dari awal sudah bisa didesain dengan pemilihan bahan dan pemilihan bentuk. “Masjid berkubah dengan yang datar perbedaannya jauh. Masjid yang memiliki kubah lebih rentan dengan waktu dengung yang panjang dan echo dibandingkan yang bangunannya datar. Bisa saja memakai kubah, tetapi di dalam bentuknya diratakan atau di lengkungannya dipasangi antidome, dilapisi dengan bahan akustik dari awal. Jangan memaksakan jadi dulu, habis itu repot,” jelas Eep. Berangkat dari permasalahan ini, Eep kini mulai membangun tim. Tidak hanya melayani masjid di daerah Bandung, juga untuk daerah Jabodatebek. “Saya juga berpikir untuk tahun ini bisa mendirikan semacam PT. Tidak cuma memasang sound system atau akustik, tetapi juga terlibat dari awal pembangunan.”
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Jemaah mengikuti kajian di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari, Kabupaten Bandung.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 165
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Skala Prioritas
program donasi atau wakaf untuk itu, jangan minta gratis ke orang profesional. Hargailah keahlian orang,” kata Eep yang pernah memasang akustik mulai dari Rp12 juta-Rp500 juta ini.
Menghadapi sebuah masjid yang perlu diperbaiki akustiknya, Eep menerapkan skala prioritas dalam pengerjaan. Hal pertama yang biasa dilakukannya adalah assesment, mengecek alat-alat dan akustiknya lalu memberikan hasilnya kepada pengurus. “Lebih ke kuantitatif, tidak sampai detail setiap sudut kita ukur, secara global saja,” katanya.
Sebelum memulai pemasangan, ia biasanya memperlihatkan RAB yang didiskusikan dengan pengurus masjid, sanggupnya berapa. Dengan begitu ada kejelasan dan ia bisa menyesuaikan dengan dana yang mereka punya. “Biasanya saya menerapkan yang pertama adalah biaya perancangan sistem seperti speaker-nya apa, amplinya apa, layout perkabelan dll. Yang kedua ongkos pemasangan. Ketiga, biaya setting.”
Selanjutnya, jika memang akustiknya parah, dianjurkan agar ruangannya diperbaiki. Kalau ruangan jelek, pasang sound system pun hasilnya tidak akan bagus. Hal ketiga adalah penyusunan anggaran yang urusannya lebih kepada pemilihan alat yang akan digunakan. Biasanya jika terkendala biaya, pemasangan dilakukan secara bertahap.
Eep mengatakan, kekuatan suara yang disarankan oleh pemerintah dan sesuai dengan anjuran kesehatan itu adalah 55 dB. Di atas itu bisa bermasalah ke kuping. Biasanya ia mengukur dulu supaya ada perbedaan antara noise background dan suara sound system. Biasanya ia menambahkan 10-15 dB.
Yang terakhir adalah memahamkan kepada pengurus bahwa pengaturan (setting) adalah hak prerogatif timnya sebagai sebagai instaler, bukan urusan pengurus masjid. Setting yang dilakukan menggunakan alat ukur terstandar. Ia pun mengeluarkan semacam sertifikat sebagai bukti melakukan setting yang sesuai dengan standar pemerintah.
“Misal saya ukur 60 dB, maka saya setting kekerasan suara dari pengeras suara itu 70 db supaya ada perbedaan si suara sound system tidak kalah dengan suara dari luar (noise background),” jelas Eep. Untuk mengurangi noise background, terutama bagi masjidmasjid yang berada di pinggir jalan raya, Eep menyarankan agar menanam pohon-pohon di sekitar masjid.
“Di situ juga ditulis klausul bahwa kalau ini diubah, sertifikatnya tidak berlaku dan garansi juga tidak berlaku. Ini juga sekaligus buat edukasi juga bahwa sound masjid itu tidak sembarangan, tidak cuma sekadar bunyi. Ada tanggung jawab di situ, tidak boleh diubah sembarangan.”
Eep mengaku kini sedang melakukan riset terkait alat-alat akustik. Beberapa prototipe bahkan sudah jadi. Ia menciptakan mixer yang memang khusus dirancang untuk masjid. “Colokan buat azan itu sudah langsung keluarnya buat ke menara. Tetapi, yang lain tidak bisa ngoprek-ngoprek lagi. Sudah didesain sedemikian rupa.” Ia juga menciptakan amplifier 3 channel, yaitu untuk speaker kiri, kanan, dan untuk monitor. Ini adalah konsepsi positioning brand.
Dalam menerapkan bisnisnya, ia menjalankan sikap terbuka, terutama soal biaya. Menurutnya, masjid kalau mau maju juga harus profesional, jangan menjadi lembaga peminta-minta. “Misal masjid butuh ganti sound system butuh dana Rp150 juta. Bikinlah
166 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Saya memosisikan diri ini tata suara untuk masjid, salah satunya adalah ampli 3 channel buat 3 speaker. Nanti penggunaannya
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
untuk masjid-masjid berukuran kecil. Desainnya sangat mudah digunakan dan tidak banyak settingan. Termasuk settingan raknya, kunci, dsb sehingga aman dari tangan-tangan usil.” Bersama salah satu produsen, ia sedang mengembangkan panel akustik (PET) dari sabut kelapa dan bahan tekstil. Bahannya recycle dari bahan-bahan sisa tekstil bisa diolah dan diubah menjadi textile PET. Textile PET fungsinya hampir sama dengan mineral wool, glass wool, rock wool. Bahan-bahan dari sabut kelapa dan tekstil dinilai lebih ramah lingkungan dan lebih awet.
Ia pun gencar menyosialisasikan agar masjid-masjid menggunakan plafon akustik (acoustic ceiling tile) agar didapat kejelasan suara yang tidak terganggu gaung berlebihan. Beberapa masjid yang telah mengikuti sarannya untuk treatment akustik dengan memasang plafon acoustic tile ini yaitu Masjid Ad-Dakwah Kelapa Gading Jakarta, Masjid Al Madani Cikarang, Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari Kab. Bandung, Masjid Baitul Mu’min Antapani Kota Bandung, dan Masjid Al Amanah Cinunuk Bandung.
Bertumbuh Bukan hanya Eep, pegiat yang peduli terhadap kenyamanan tata suara masjid terus bermunculan. Sebut saja Agus Indratno alias Kang Agin. Pria yang memiliki latar belakang sarjana teknik ini telah lama tertarik dengan sound system dan kelistrikan. Sejak di bangku SMA, ia sudah memiliki sound system yang disewakan untuk beragam acara hiburan sebelum akhirnya dijual untuk biaya kuliah. Pada 2016, ia bertemu dengan komunitas antiriba yang berinisiasi untuk mengadakan program berkaitan dengan masjid. Muncul ide untuk mengadakan pelatihan sound system bagi para marbot masjid. Hal tersebut didasari karena banyak keluhan terkait dengan pengeras suara masjid. Banyak masjid yang tidak maksimal dalam menggunakan sound system. Asal bersuara dan kencang, dikira sudah aman. Padahal, suara yang keluar kadang membuat telinga tetangga malah tak nyaman. Hal tersebut karena faktor kurangnya pengetahuan atau kepedulian dari para pengurus masjid. “Keluhannya sama tentang sound system masjid dan saya punya solusi. Pada saat itu kita eksekusi bikin kegiatan mengundang para marbot dan pengurus DKM untuk hadir dalam pelatihan penanganan sound system masjid,” terang Agin.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 167
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Pembahasan materi melingkupi seputar penanganan masalah tata suara masjid, perancangan dan penataan sound system masjid, dan instalasi listrik untuk sound masjid. Pelatihan ini disambut antusias. Selain diikuti marbot, pengurus masjid, diikuti juga oleh mahasiswa dan masyarakat umum. “Peserta yang hadir kurang lebih 150 orang. Malah banyak peserta luar Bandung yang datang, seperti dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, dan Cilegon. Dari pelatihan itu berkembang menjadi ada semacam forum diskusi. Pelatihan ini masih berjalan sampai sekarang,” jelas Agin. Tahun 2018 ia bergabung dengan Eep S. Maqdir untuk mengadakan pelatihan peningkatan akustik masjid yang diinisiasi komunitas Muslim Bikers United dan Salman ITB. Di acara tersebut pulalah ia dikenalkan oleh Eep kepada dosen ITB Joko Sarwono, Ph.D. yang menjadi narasumber. Agin mengaku, perkenalan ini membawanya mengenal lebih dalam tentang akustik masjid, terutama secara keilmuan.
”
Intinya di masjid itu berbicara tentang suara. Apa yang disampaikan oleh penceramah ataupun yang berbicara di mikrofon tidak akan akan jelas selama tata suaranya tidak beres. Agus Indratno (Agin)
168 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Akustik dan sound dua hal yang berbeda. Pak Joko berbicara tentang keilmuan akustik dan pengalamannya, sedangkan saya berbicara pengalaman tentang sound system dan kelistrikannya. Keilmuan tentang akustik belum saya kuasai waktu itu. Saya menggali dari Pak Joko. Seiring perkembangan zaman, saya juga harus belajar. Ternyata banyak hal luar biasa terkait perkembangan akustik,” tutur pria yang juga mengaku sebagai petani ini. Peserta yang membeludak menyiratkan bahwa banyak yang membutuhkan ilmu tentang tata suara masjid. Melihat antusiasme peserta, kolaborasi ini berlanjut pada tahun 2019 dan 2020. Tujuan pelatihan tersebut selain mengenalkan akustik juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya akustik di masjid. Intinya di masjid itu berbicara tentang suara. Apa yang disampaikan oleh penceramah ataupun yang berbicara di mikrofon tidak akan akan jelas selama tata suaranya tidak beres. “Akan tetapi, kalau tata suaranya bagus dari mulai sound system dan akustik yang terpasang, suara akan terdengar nyaman, jelas, dan jernih,” ujar Agin. Saat ini Agin bersama Eep S. Maqdir kerap bekerja sama menggarap beberapa proyek pemasangan akustik masjid. Ilmu yang mereka serap dari beragam pelatihan, termasuk dari ITB telah diaplikasikan di beberapa tempat. Biasanya mereka datang berdasarkan permintaan pengurus yang ingin tata suara masjidnya di-treatment. “Kalau pengurus masjid meminta, kita garap. Kalau mereka mau garap sendiri, kita biasanya sebagai konsultannya saja,” ujar Agin.
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Penataan tata suara masjid juga menjadi fokus perhatian Tata Supriyadi, S.T., M.Eng. Dosen Teknik Elektro Politeknik Bandung (Polban) ini bahkan sudah sejak 2015 melakukan pengabdian kepada masyarakat yang berhubungan dengan perbaikan sound system masjid. Hal tersebut menjadi kewajibannya sebagai dosen dalam menjalankan Tridharma, mulai dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian. “Saya perhatikan bahwa tidak semua masjid memiliki sound system yang bagus. Dari sana akhirnya saya berpikir untuk mengadakan pengabdian masyarakat membantu menata sound system dari masjid ke masjid. Atas saran teman, saya diminta untuk berfokus melaksanakan pengabdian di bidang sound masjid supaya bisa menemukan permasalahan yang berbeda sehingga menambah pengalaman di bidang penataan sound system,” papar Tata yang juga aktif di masjid ini. Setiap tahun ia mencari masjid-masjid yang kira-kira layak untuk diadakan program pengabdian masyarakat. Masjid yang menjadi target disurvei dulu, baik dari sisi kegiatan masjidnya, jemaah, maupun sisi luas bangunan. Masjid yang dicari adalah masjid yang cukup besar atau masjid raya dan aktif digunakan. Kebanyakan masjidnya yang sudah jadi. “Karena setiap tahun mengadakan pengabdian di masjid, banyak teman yang meminta untuk mengunjungi masjidnya. Namun, karena jatahnya setiap tahun sekali, mereka yang saya minta jadi ketua. Saya hanya jadi teknisi atau konsultannya. Dengan begini, kegiatan pengabdian masyarakat pun jadi berkembang.” Tak dimungkiri, Tata juga mengungkapkan banyak masjid yang tidak memperhatikan sistem tata suaranya. Secara umum, ada dua permasalahan umum yang sering dijumpai di masjid-masjid. Pertama, tim pembangunan masjid sering abai terhadap masalah tata suara. Mereka hanya fokus pada pembangunan fisik masjid, instalasi listrik, air, dll. Ketika masjid sudah berdiri, baru memikirkan sound system. “Padahal, kalau dari awal masalah tata suara sudah desain, seperti penempatan titik-titiknya di mana, hasilnya akan lebih bagus dan rapi.”
Kedua, di masjid yang sudah jadi kebanyakan pengurusnya belum mengerti tentang masalah akustik. Contoh kecil penempatan pengeras suara/speaker. Biasanya speaker-speaker tersebut diletakkan di setiap sudut masjid. Secara akustik, penempatan tersebut kurang bagus. Tentang dinding yang menyerap akustik juga banyak yang tak paham. “Mereka lebih mengutamakan keindahan daripada masalah sistem tata suara akustik,” kata Tata. Masalah lain sering terjadi adalah dari sisi operator. Ketiadaan operator yang piawai serta sering ganti-ganti bisa menjadi kendala. Mereka kerap mengotak-atik alat pengaturan sound system seperti mixer alat sehingga suaranya berubah-ubah. Menurut Tata, seharusnya hal seperti ini harus diproteksi, baik dari segi penempatan peralatan atau diproteksi dari sisi alat. “Ada peralatan yang bisa memproteksi hal-hal seperti. Kita bisa menggunakan peralatan mixer yang dikontrol dengan HP dan laptop, cuma harganya mahal. Kalau bisa, peralatannya dikunci. Solusinya bisa dipasangkan tombol on/off untuk mengeluarkan suara.” Referensi mengenai ilmu akustik masjid didapat Tata dari pelatihan. Sebelumnya, ia hanya familiar dan lebih banyak memahami peralatan sound system. Beruntung pada 2018 ada pelatihan yang diadakan oleh Muslim Bikers United di Salman ITB. Tata mengaku banyak belajar tentang akustik masjid dari dosen ITB, Joko Sarwono, Ph.D. yang menjadi salah seorang pembicara dalam pelatihan tersebut. Dalam pelatihan itu banyak hal baru dan menarik yang ia bisa pelajari. ”Kebetulan saya bukan orang fisika, tetapi orang elektro. Ternyata setelah belajar dengan Pak Joko saya jadi paham. Kualitas sistem tata suara di masjid tidak hanya ditentukan oleh peralatan. Justru masalah akustik yang paling utama. Ini yang paling banyak orang tidak tahu,” terang Tata.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 169
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Peningkatan Kapasitas Permasalahan akustik di dalam masjid dapat dipengaruhi banyak faktor, seperti bentuk masjid, material di dalam masjid, kondisi kebisingan di dalam masjid, pemilihan speaker, posisi pemasangan speaker, dan pemilihaan sistem tata suara. Permasalahan kondisi akustik di dalam masjid dapat diselesaikan tenaga ahli yang memiliki pemahaman terkait dengan dua cabang keilmuan, yaitu sistem tata suara dan akustik ruang. Pada saat ini, orang-orang yang memiliki kedua kemampuan itu masih terbatas sehingga permasalahan akustik masjid tidak dapat diselesaikan secara cepat. Salah satu kunci dalam menyelesaikan permasalahan akustik masjid di Indonesia ialah memperbanyak tenaga-tenaga ahli di bidang sistem tata suara dan akustik masjid. Atas dasar tersebut, Kelompok Keahlian Rekayasa Kinerja Lingkungan Binaan ITB mencoba untuk membuat sebuah pelatihan yang fokus pada penguasaan kedua ilmu tersebut. Pelatihan ini juga merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat. Pelatihan pertama diselenggarakan pada Selasa, 6 November 2018 dengan tajuk Pelatihan Peningkatan Kualitas Akustik Masjid. Pelatihan diisi oleh Joko Sarwono, Ph.D. dan Anugrah Sabdono Sudarsono, Ph.D. dari Kelompok Keahlian Rekayasa Kinerja Lingkungan Binaan. Pembicara lain dalam acara yang diselenggarakan di Gedung CRCS Kampus ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung ini adalah Keto Panggulu dari PT TOA. Pelatihan ini mendapat respons luar biasa dari para peserta. Selain pengurus masjid, acara juga dihadiri oleh beberapa perwakilan kampus seperti Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, juga Gorontalo.
170 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Joko Sarwono, Ph.D. saat itu membawakan materi tentang akustik ruang dan dasar akustik. Anugrah Sabdono Sudarsono, Ph.D. mengisi materi permasalahan terkait akustik di masjid. Sementara, Keto Panggulu dari PT TOA membawakan materi tentang teknik praktis merancang penempatan pengeras suara di masjid. Pada tahun 2021 Kelompok Keahlian Rekayasa Kinerja Lingkungan Binaan kembali mengadakan pelatihan yang fokus pada penguasaan ilmu akustik masjid. Pelatihan tersebut bertajuk “Training for Trainer: Menyelesaikan Permasalahan Akustik Masjid di Indonesia”. Ini merupakan rangkaian pelatihan yang diselenggarakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap akustik dan sistem tata suara secara komprehensif. Acara yang diikuti lebih dari 300 peserta itu diselenggarakan pada setiap Jumat, pada 30 Juli-20 Agustus 2021. Peserta kegiatan itu tersebar di seluruh Nusantara. Kegiatan itu didukung Dewan Masjid Indonesia, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia, PT TOA Galva Prima Karya, dan Asosiasi Akustik dan Vibrasi Indonesia. Acara itu juga terdaftar dalam rangkaian kegiatan International Year of Sound 2021 (IYS 2021). IYS 2021 merupakan inisiatif global untuk menunjukkan betapa pentingnya tata suara, baik dari sisi pengetahuan maupun teknologi, dalam segala aspek kehidupan di dunia. International Year of Sound terdiri atas sejumlah aktivitas terkoordinasi, baik dalam skala regional, nasional, maupun internasional. Kegiatan pelatihan itu terdiri atas empat sesi. Dalam salah satu sesi, Joko Sarwono, Ph.D. selaku ketua pelaksana kegiatan itu menjelaskan konsep desain akustik masjid, fenomena-fenomena akustik ruang di dalam masjid, dan interaksi antara sistem tata suara dan ruangan masjid.
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Joko Sarwono, Ph.D. (kedua kanan) menguji coba material di anechoic chamber ITB. Dalam materi itu dijelaskan bahwa sebuah masjid memiliki kondisi akustik yang unik dan memiliki empat persyaratan utama. Pertama, suara di dalam masjid harus terdengar jelas. Hal itu berkaitan dengan aktivitas di masjid yang banyak terkait dengan suara manusia. Kedua, suara pada sebuah masjid haruslah terasa datang dari arah kiblat. Adanya pengaturan sistem tata suara akan mengakibatkan suara bisa saja terdengar tidak dari arah kiblat dan akhirnya memengaruhi kekhusyukan dalam beribadah.
Ketiga, sebuah masjid haruslah terasa sebagai sebuah tempat ibadah yang berkesan besar dan agung. Kondisi itu didapatkan karena adanya gema di dalam ruangan. Keempat, suara di dalam masjid harus terdengar cukup keras dan merata di semua tempat. Kondisi itu dapat tercapai dengan mempertimbangkan sistem tata suara dan kondisi kebisingan lingkungan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 171
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Adanya pelatihanpelatihan seperti itu akan menghasilkan banyak tenaga ahli yang mampu berperan penting dalam menciptakan kondisi akustik masjid yang baik.
Keempat hal tersebut terus digaungkan oleh Joko Sarwono, Ph.D. lewat pelatihan-pelatihan yang sudah dilakukan beberapa kali oleh ITB. Harapannya, ke depan ia tidak perlu datang ke setiap lokasi untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebutuhan tersebut. Artinya, pemecahan masalahnya itu diharapkan bergulir secara berantai, tidak harus setiap saat ia yang harus datang ke lokasi. Dengan cara seperti itu, program ini jadi berkelanjutan. “Fokus saya kemudian ke masjid-masjid yang besar, tetapi ini bukan dalam konteks sebuah proyek. Kalau bicara masjid besar, masalahnya adalah kompleksitas desain. Jadinya, dibagi untuk hal-hal yang sudah bisa ditangani oleh tim yang dilatih lewat pelatihan-pelatihan yang rutin kita selenggarakan. Diharapkan, hal-hal yang sederhana terkover di sana. Namun, begitu kompleksitasnya meningkat, mau tidak mau harus didampingi. Misalkan saya mendampingi arsitek, desain interior sehingga konsep akustik untuk masjid-masjid besar yang ditangani harus bisa masuk di saat perencanaan,” terang Joko Sarwono, Ph.D. Sesi terakhir dari pelatihan itu diadakan pada 20 Agustus 2021 dan mengangkat tema konsep pengukuran dan simulasi akustik. Pengukuran dan simulasi akustik ialah metode untuk mengidentifikasi permasalahan akustik yang terjadi di dalam ruang sehingga rekomendasi yang tepat dapat diberikan. Pada sesi ini dibahas beberapa parameter akustik ruang, nilai baku mutu, dan teknik pengukuran dengan peralatan yang mudah didapatkan. Pada sesi itu juga dikenalkan perangkat lunak pengukuran dan simulasi open source yang dapat dipergunakan seluruh peserta pelatihan. Pada akhir pelatihan, seluruh peserta mendapatkan buku Peningkatan Kualitas Akustik Masjid yang berisi pengetahuan praktis yang komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan akustik yang ada di masjid. Diharapkan, dengan bekal pengetahuan yang lengkap dari pelatihan dan buku itu, para peserta dapat mengatasi permasalahan akustik yang ada di masjid. Para peserta diharapkan juga mampu menjadi narasumber di daerah masing-masing apabila terjadi permasalahan akustik di dalam masjid. Adanya pelatihan-pelatihan seperti itu akan menghasilkan banyak tenaga ahli yang mampu berperan penting dalam menciptakan kondisi akustik masjid yang baik. Pada akhirnya, pembangunan masjid di Indonesia dibarengi dengan penataan akustik yang baik agar masjid tak hanya indah dipandang, tetapi juga bisa mensyiarkan kebaikan dengan syahdu sesuai dengan fungsinya.
172 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Dampak Positif Pelatihan peningkatan kualitas akustik masjid yang diselenggarakan oleh ITB membawa dampak positif. Selain meningkatkan pemahaman juga menumbuhkan kepedulian masyarakat, terutama lingkungan masjid, terhadap kenyamanan tata suara masjid. Eep S. Maqdir yang juga pernah mengikuti pelatihan dari ITB mengatakan, banyak ilmu yang didapat dari persentuhannya dengan ITB. Ia bahkan selalu berkolaborasi dengan Joko Sarwono, Ph. D. dalam mengisi materi pelatihan akustik masjid yang diinisiasinya. Hal tersebut agar para peserta lebih paham tentang ilmu akustik masjid. “Saya juga sering meminta dukungan Pak Joko, misal untuk mengetes speaker lokal atau prosedurnya seperti apa kalau menggunakan anechoic chamber. Saya juga pernah membuat panel akustik kaligrafi dan meminta bantuan beliau untuk mengetesnya di laboratorium ITB,” jelas Eep. Yang menjadi ikonik dan merupakan ilmu yang diserap dari Joko Sarwono, Ph.D., kata Eep, adalah empat aturan akustik masjid. Pertama mampu menghadapkan pendengaran jemaah ke kiblat (fokus). Kedua, mampu mencukupi energi mendengar bagi jemaah (dengar). Ketiga. mampu menjamin kondisi menyimak informasi bagi jemaah (simak), dan keempat, mampu menghasilkan kondisi audial yang unik (rasa). “Ilmu itu saya pakai terus dan saya sampaikan terus. Ibaratnya, itu benar-benar ilmu dari ITB, dari Pak Joko,” ujar Eep Ia juga mengaku sering belajar dan berdiskusi terkait dengan perkembangan bahan akustik dan pemakaiannya. Misal terkait jika ingin mendapat frekuensi low, berarti bahan aksutik yang ditempel di dinding harus dikasih rongga dan jarak tertentu. “Halhal seperti ini, saya terus komunikasi dengan Pak Joko.”
Hal serupa dirasakan Agin yang banyak menyerap ilmu akustik ruang, terutama masjid dari pelatihan yang diadakan oleh ITB. Ia mengaku perkembangan terkait dengan ilmu akustik luar biasa. Untuk itu, ia dituntut untuk lebih banyak mempelajarinya dari orang-orang yang berkompeten seperti Joko Sarwono, Ph.D. Bahkan, pada 2018 bersama dengan 20 peserta lain berkesempatan menimba ilmu akustik dengan mengunjungi laboratorium Fisika Bangunan ITB. “Edukasinya benar-benar terasa. Kita belajar beberapa ilmu terkait frekuensi. Peserta yangg pernah ikut sebagian besar aktivis masjid yang sudah punya basic mengenai pengelolaan sound system. Kita berbicara dan dikenalkan tentang akustik,” terang Agin. Kini, baik Eep maupun Agin sering terlibat dalam pengerjaan penataan akustik masjid. Mereka pun mengelolanya secara profesional. Eep misalnya, kini telah mendirikan Bangun Swara Mustika, penyedia jasa konsultan dan sound masjid. Bahkan, bukan sekadar memberikan konsultasi dan menyediakan jasa memasang sound system, Eep dan Agin juga punya entitas sendiri dengan mengeluarkan produk sound system bernama 70dB Masjid ProAudio. Sound system profesional ini didesain spesifik untuk kebutuhan masjid dan musala. Produk ini didesain untuk membantu pengurus masjid dalam menata aksutik masjid secara praktis dan nyaman. Mereka juga aktif dalam pengembangan bahan baku akustik yang lebih ramah lingkungan dan ramah anggaran, seperti panel akustik suara yang terbuat dari bahan sabut kelapa (cocoblock). Sementara bagi Tata Supriyadi, pelatihan yang diadakan oleh ITB menjadikannya lebih memahami ilmu akustik. “Saya baru tahu ternyata di dalam sistem tata suara di masjid kualitas itu tidak hanya ditentukan oleh peralatan, justru akustik yang paling utama,” kata Tata.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 173
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Banyak yang ia pelajari dari pelatihan ini. Yang pertama adalah masalah waktu dengung di ruangan masjid. Waktu dengung sangat menentukan kejelasan suara. Menurut standar, waktu dengung itu maksimal 2 detik. Kalau lebih dari itu, suara akan buyar dan tidak jelas. Selain itu, mengenai sound pressure level (SPL), tentang berapa besar SPL yang standar.
“Sebelum belajar tentang ini, saya kalau melakukan pengaturan memakai feeling saja, tidak menggunakan alat ukur. Padahal, itu ada batasan-batasannya. Sekarang untuk mengaturnya, saya selalu memakai alat ukur. SPL untuk masjid saya setting di 70-80 dB, tergantung posisi masjid,” terang Tata.
Syiar Lewat Suara Salah satu masjid yang telah memiliki akustik yang baik adalah Masjid Peradaban Percikan Iman di Arjasari, Kab. Bandung. Sedari awal pembangunan masjid pada 2019 ini telah memasukkan desain akustik dalam perencanaan. Pengurus sadar betul, masjid merupakan sarana untuk syiar. Sarana untuk syiar itu akan terpenuhi dengan baik jika semua komponen yang ada di masjid itu kualitasnya baik juga, termasuk tata suaranya. “Pada saat orang nyaman mendengarkan pesan yang kita sampaikan, ia akan datang lagi dan akan menyampaikan ke temantemannya. Sound system itu menjadi bagian penting untuk menyampaikan pesan kepada jemaah. Bagaimanapun seseorang yang suara mengajinya bagus, bacaannya bagus, makhorijul hurufnya bagus, tetapi kalau sound tidak bagus, percuma, tidak sampai juga ke jemaah,” terang Didik Suryadi, pengelola kawasan Amanah Percikan Iman, Arjasari. Berbeda pada saat orang nyaman mendengarkan pesan yang disampaikan, dia akan datang lagi dan akan menyampaikan ke teman-temannya. Didik menjelaskan, untuk keperluan tersebut, sebelum masjid dibangun, dalam perencanaan semua tim berkumpul. Bukan hanya arsitek, juga konsultan akustik masjid. “Konsultan akustik dipercayakan kepada kakak kelas saya di Teknik Fisika ITB, yaitu Kang Eep dan arsiteknya juga lulusan arsitek ITB,” kata Didik. Antara arsitek dan konsultan akustik itu saling melengkapi dan saling mengisi, bukan hanya soal posisi, juga termasuk soal bahan. Segala urusan akustik seperti peletakan sound, intensitas suaranya berapa dB sudah diatur sedemikian rupa. Kalau pada umumnya sound system diletakkan di depan, di masjid ini dipasang layaknya konser, kontrolnya berada di belakang. Operator nantinya mendengarkan suaranya seperti apa.
174 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
“Misal, kalau yang di belakang saja tidak kedengaran, berarti tidak terdengar juga oleh yang jemaah yang lain. Operator menjadi semacam tester suara yang dikeluarkan. Kontrol suara juga tidak saja dilakukan di ruangan itu. Untuk kontrol seperti equalizer, volume, on off bisa dilakukan oleh petugas yang berada bersama jemaah di ruang masjid karena sudah terkoneksi dengan bluetooth.” Sound system untuk masjid ini juga tidak direncanakan dengan biasa-biasa saja. Untuk pengeras suara di menara, mereka tidak memakai TOA, tetapi memakai pengeras suara outdoor yang memiliki kualitas suara seperti mendengarkan suara indoor dengan jangkauan bisa sampai 200 meter. Untuk sound system menggunakan produk dari Behringher dan Crown. Untuk plafon, pada awalnya akan menggunakan plafon gipsum yang berornamen. Namun, karena secara fungsi akustik tidak ada, akhirnya diganti dengan panel akustik tile. Begitu juga yang di mihrab, tadinya akan bikin dengan modelnya garis-garis. “Ada masukan dari tim Kang Eep, kalau seperti ini nanti secara ornamen bagus, tetapi secara fungsi akustiknya kurang. Makanya, dibikin model pengacak suara dari bahan-bahan bekas yang disusun sedemikian rupa sehingga bentuknya bagus.” Keinginan pengurus Masjid Peradaban Percikan Iman agar memiliki akustik mumpuni berawal dari acara tasyakur berdirinya Yayasan Percikan Iman ke-20 yang diselenggarakan di Sabuga ITB. Didik bercerita, saat itu ia memberikan masukan kepada pendiri Percikan Iman, Ustaz Aam Amiruddin bahwa tata suara Sabuga yang dirancang Joko Sarwono, Ph.D. akustiknya sangat bagus. Semua barang yang di Sabuga mengandung unsur akustik. “Sabuga memiliki akustik yang luar biasa dan dipakai untuk beragam acara seperti musik, wisuda, dll. Bahkan, seperti disampaikan Pak Joko, suatu ketika ada satu uang logam jatuh di ujung sana, bisa terdengar dari ujung lainnya.” Kini, setiap hari Ahad di masjid yang menampung 3.000 jemaah ini diselenggarakan program Majelis Percikan Iman. Acara tersebut rata-rata dihadiri oleh 1.500-2.000 jemaah. Bahkan, pernah dihadiri oleh 5.000 jemaah yang berasal dari berbagai daerah. Salah satu yang menjadikan jemaah makin banyak berdatangan karena mereka merasa nyaman. Baik dari segi tempat maupun kualitas suara masjid yang nyaman membuat mereka kembali lagi, bahkan membawa serta teman-temannya.
”
Sound system itu menjadi bagian penting untuk menyampaikan pesan kepada jemaah. Bagaimanapun seseorang yang suara mengajinya bagus, bacaannya bagus, makhorijul hurufnya bagus, tetapi kalau sound tidak bagus, percuma. Didik Suryadi
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 175
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Bahan dan desain mihrab masjid menentukan kualitas akustik. 176 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Bergulir dan Menyebar Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, terutama lingkungan pengurus masjid terhadap akustik masjid, keempat aturan akustik masjid yang baik Joko Sarwono, Ph.D. sosialisasikan lewat pelatihan. Pelatihan yang juga merupakan program pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk menghasilkan banyak tenaga ahli yang mampu berperan penting dalam menciptakan kondisi akustik masjid yang baik. “Artinya, solving problem-nya itu diharapkan bergulir secara
berantai, tidak harus setiap saat harus saya yang datang ke lokasi. Dengan begitu, jadi sustain,” kata Joko Sarwono, Ph.D. Nantinya, ia kemudian bisa fokus ke masjid-masjid yang besar, tetapi bukan dalam konteks sebagai sebuah proyek. Kalau bicara masjid besar masalahnya adalah kompleksitas desain. Dengan demikian, nantinya bisa dibagi-bagi. Setidaknya, tim yang sudah mengikuti pelatihan bisa menangani hal-hal sederhana terkait akustik masjid. Namun, begitu kompleksitasnya meningkat, mau tidak mau harus didampingi. “Misalkan saya mendampingi arsitek, desainer interior sehingga konsep akustik untuk masjid-masjid besar yang critical harus bisa masuk di saat perencanaan.”
Joko Sarwono, Ph.D. menyimulasikan kondisi pantulan gelombang suara masjid. TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 177
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari, Kabupaten Bandung, menjelang malam. 178 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Desain Ruang dan Tata Suara
ruang, tidak bisa diselesaikan dengan sound system. “Makanya ada sebagian yang tertangani, tetapi sebagain besar itu masih punya problem dari sisi lain.”
Masjid-masjid lama dan sudah jadi di Indonesia sebagian besar belum didesain dengan pendekatan akustik. Panitia pembangunan masjid berharap dengan menempatkan sound system di ujung desain, tanpa dimasukkan ke dalam perencanaan, akan menyelesaikan permasalahan tata suara. Padahal, problem utama di masjid itu justru di akustika ruang.
Di masyarakat kadung tertanam pameo bahwa untuk urusan akustik bergantung pada sound system. Hal itu muncul karena teknologi produk sistem tata suara memang masuk penetrasi pasar ke masyarakatnya jauh lebih dulu daripada keilmuan akustik. Oleh karena itu, terbentuk pemahaman bahwa semakin bagus merek dan mahal alat yang dipakai, semakin baik kualitas suaranya. Padahal, produk ini dibangun berdasarkan keilmuan akustik.
Sebagian besar masjid di Indonesia memiliki konsep arsitektural yang megah, indah, dan agung. Konsep ini diaplikasikan dengan penggunaan material yang keras dan terkesan bersih seperti marmer, granit, GRC, dan keramik. Konsep ini menyebabkan pantulan suara di dalam ruangan menjadi dominan sehingga menurunkan kejelasan suara ucap. Material-material tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya cacat akustik seperti echoe, flutter echoe, dan sound focusing, yang pada akhirnya akan mengganggu kejelasan mendengar suara ucapan di dalam masjid. Begitu pun dalam pemasangan plafon, karena faktor ketidaktahuan atau terbatasnya biaya, plafon yang dipasang kebanyakan berbahan gipsum biasa. Untuk ruang percakapan seperti masjid lebih baik menggunakan plafon akustik. “Berbicara masjid yang lama problemnya adalah bagaimana kemudian kita memperbaikinya. Karena problemnya di ruang mau tak mau harus mengganti material finishing dan itu mahal sehingga tidak bisa dilakukan semudah membalik tangan.” Masalah lain adalah memasang sound system di dalam ruang masjid yang sudah memiliki masalah material finishing-nya. Jika tidak hati-hati dari sisi formasi peletakan loud speaker atau pemilihan jenis sistem tata suaranya, justru malah menambah permasalahan. Untuk masjid-masjid yang problemnya di tata
“Kalau muncul pertanyaan mana yang lebih bagus, ya relatif. Sound system itu bukan bergantung pada merek, tetapi harus dikembalikan fungsinya untuk apa. Sound system tidak bisa dipandang jadi one solution karena jadi satu paket dengan akustik ruang dan sekadar alat bantu.” Agar menghasilkan suara akustik yang baik, ruangan harus soft, bisa dengan dipasangi karpet dan plafon dan dinding yang dilapisi material akustik. Solusi paling mudah adalah memasang karpet. Namun, cara ini tidak sustain. “Biasanya saya menempatkannya sebagai solusi terakhir karena banyak yang enggan memasang karpet dengan alasan agar mudah dipel dan dibersihkan.” Cara paling mudah berikutnya adalah dengan dipasangi plafon akustik. Memasang sistem tata suara pun menjadi jadi lebih mudah. Desain akustik akan lebih efektif jika dilibatkan di awal pembangunan masjid. Walaupun biaya yang keluar tidak sedikit, tetapi yang sering tidak dihitung itu adalah intengible cost yang muncul akibat komplain jemaah. Kalau masjidnya sudah jadi, kemudian tata suaranya dikomplain jemaah lalu diperbaiki, biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 179
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
R. Sugeng Joko Sarwono, Ph.D.
MENJEWER SEMBER
P
ROBLEM utama akustik masjid di Indonesia dimulai dari fakta bahwa sebagian besar masyarakat merasa kondisi akustik masjid bisa diselesaikan dengan sistem tata suara. Di sisi lain, teknologi produk yang terlebih dahulu penetrasi ke pasar adalah teknologi elektronik dibandingkan dengan teknologi bangunan.
Joko Sarwono, Ph.D.
180 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
“Akibatnya di masyarakat terbentuk sebuah mindset bahwa masalah akustik bisa diselesaikan dengan sound system. Begitu kita masuk ke masjid masalahnya bukan di sound system, tetapi justru di bangunan masjidnya,” jelas Joko Sarwono, Ph.D.
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Soal kebutuhan masjid dari sisi akustik, desain targetnya adalah bagaimana memastikan orang yang datang ke masjid bisa mendengarkan suara khotbah dengan suara yang jelas dan terjaga. Dengan demikian, jemaah bisa menyerap informasi sebanyak mungkin. Namun, ketika saat datang ke masjid, mereka dihadapkan pada situasi bahwa kondisi akustik di masjid yang belum tertata. Pada saat yang sama diinstal sistem tata suara yang tidak sesuai dengan karakter ruangannya. Akibatnya, suara yang keluar jadi tidak keruan. “Ini PR besar yang harus dibetulkan. Permasalahannya, tidak semua hal terkait dengan akustik atau suara dapat diselesaikan dengan sistem tata suara. Itu sebuah pandangan yang keliru,” terang dosen dari Kelompok Keahlian Rekayasa Kinerja Lingkungan Binaan tersebut.
Joko Sarwono, Ph.D. menjelaskan, setidaknya ada tiga problem tata suara masjid di Indonesia. Problem pertama adalah akustik ruang dan ini paling sering terjadi. Kedua, masalah formasi peletakan sistem tata suara. “Itu yang paling sulit untuk dijelaskan karena kita terbiasa dengan suara yang penting asal keras,” katanya. Yang ketiga adalah masalah pengaturan (setting). Banyak masjid yang pengaturan suaranya sering berubah-ubah karena komplain tak puas dari jemaah. “Jadi setting mixer-nya bisa berubah setiap saat. Makanya, kalau di masjid-masjid yang sudah pernah didesain biasanya ditempel selotip agar tidak boleh diubah-ubah. Artinya DKM-nya sudah peduli, tetapi kadang-kadang tangan-tangan yang lain masih bisa mengubahnya.”
Ekosistem Bertumbuh Dari ratusan ribu masjid di seluruh Indonesia, komunitas yang menangani permasalahan akustik masjid sebenarnya cukup banyak. Dewan Masjid Indonesia misalnya, mereka punya program membangun mobile sound system. Mereka berkeliling memperbaiki permalahan akustik masjid-masjid yang ada di Nusantara dan memberikan konsultasi. “Tetapi, itu bisa dilakukan untuk masjid-masjid yang bukan masjid raya karena sifat perubahannya lebih banyak dari sisi sound system,” papar Joko Sarwono, Ph.D. Kalau dari sisi pendidikan formal, lulusan teknik fisika yang bermain di sisi itu bisa diharapkan menjadi agen. Minimal, saat berhadapan dengan masjid-masjid yang memiliki masalah akustik di tempat mereka tinggal atau bekerja, mereka sudah bisa menanganinya. Agen-agen perubahan pun bisa lahir melalui pendidikan informal seperti pelatihan. Pelatihan dinilai menjadi konsep paling efektif. “Dengan konsep pelatihan ini kapasitas saya bisa dipindahkan ke peserta kemudian harapannya peserta itu nantinya memindahkan ke orang lain lagi,” kata Joko Sarwono. Ph.D. Kini, komunitas yang pernah mengikuti pelatihan tersebut berjumlah kurang lebih 182 orang dari seluruh Indonesia. Mereka secara aktif berkomunikasi dan berdiskusi tentang isu-isu baru dan memecahkan permasalahan bersama-bersama dalam wadah WA Group. Misal, kalau
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 181
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Agen-agen perubahan pun bisa lahir melalui pendidikan informal seperti pelatihan. Pelatihan dinilai menjadi konsep paling efektif. Dengan konsep pelatihan ini kapasitas saya bisa dipindahkan ke peserta kemudian harapannya peserta itu nantinya memindahkan ke orang lain lagi.
Joko Sarwono. Ph.D.
ada masjid yang perlu desain akustik, ia akan melihat kira-kira apakah perlu berangkat sendiri atau cukup meminta tolong anggota komunitas di WAG yang lokasinya dekat lokasi. Salah satu agen yang muncul ke permukaan adalah Eep S. Maqdir, lulusan Fisika ITB yang menjadi Ketua Muslim Bikers United. Kini, ia menjadi pelaku untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di masjid, baik dari sisi bisnis maupun sosial. “Kita kemarin membangun masjid baru di Sumsel, tetapi masuk ke dalam ke remote areanya. Saya remote desainnya dari sini, tetapi yang memasang Kang Eep misalnya. Cuma kalau untuk masjidnya yang sudah jadi, pilihannya datang sendiri atau create seseorang di sana untuk menanganinya dengan koordinasi dengan saya. Saya biasanya hanya dikirim misalnya rekaman tepuk tangan, foto nanti dianalisis.” Joko Sarwono, Ph.D. mengatakan, meskipun belum banyak komunitas yang peduli dengan akustik masjid, usaha ke arah yang lebih baik terus bertumbuh. Masih banyak perbedaan penilaian terhadap masalah akustik masjid. “Malah, kadang-kadang lebih banyak yang merasa tidak ada masalah,” katanya. Hal tersebut karena kondisi kemampuan telinga manusia berbeda-beda. Contoh, pengurus DKM masjid yang rata-rata sudah lanjut usia, kemampuan mendengarnya sudah berkurang, terutama untuk frekuensi tinggi. Mereka kadang mengatur suara dengan kencang yang sebenarnya bisa menyakitkan telinga orang yang memiliki pendengaran normal. “Tetapi, dengan adanya perbedaan itu artinya kepedulian di sekitar itu ada,” ucap Joko Sarwono, Ph.D. Di lapangan, kadang ia pun mesti adu argumen dengan tim arsitek pembangunan masjid dalam hal pemilihan material. Pada umumnya, mereka keberatan untuk memakai plafon akustik yang umumnya bentuknya tidak rapi, slim, dan bolong-bolong. Mereka lebih memilih plafon gipsum yang bentuknya flat sehingga gampang dan rapi jika dicat. Namun, sekarang ia lebih mudah menjelaskan karena tinggal dibuat simulasi suaranya sebelum dibangun. “Dulu saya paling hanya bisa bilang suaranya begini, mereka belum tentu percaya. Sekarang tinggal dimodelkan saja suaranya kemudian diperdengarkan. Contohnya di Masjid Salman Soreang. Arsiteknya tadinya tidak mau memasang plafon akustik, lalu saya bikin simulasinya, akhirnya mereka mau,” papar Joko Sarwono, Ph.D.***
182 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Suara dari Mihrab
Menghadapkan “pendengaran jemaah” ke kiblat.
Mencukupkan energi untuk mendengar.
Mencukupi kondisi untuk menyimak informasi.
Menghasilkan rasa audial unik ruang masjidnya.
Arah Sumber Suara
Ruang Ibadah
Ruangan Percakapan
Arah sumber suara adalah aspek yang penting untuk diperhatikan dalam desain akustik ruang dan penempatan sistem tata suara. Terdapat satu posisi dan ruangan di mana khatib dan imam berada. Posisi imam dan khatib tersebut yang menjadi sumber suara utama di dalam masjid. Dengan demikian, ketika sedang melaksanakan salat berjemaah atau mendengarkan khotbah, kita mengetahui arah suara imam dan khatib yang berada di depan.
Masjid adalah ruangan untuk beribadah antara manusia dan pencipta-Nya sehingga harus memiliki kesan megah dan besar. Kesan ini ditimbulkan dengan adanya gema di dalam ruangan. Gema di dalam ruangan masjid haruslah dikendalikan agar tetap dapat mendukung fungsi masjid sebagai ruangan untuk berkomunikasi.
Di dalam masjid terdapat berbagai aktivitas yang membutuhkan kejelasan suara manusia. Kualitas kejelasan suara ucap ditentukan oleh beberapa aspek, seperti artikulasi suara yang terdengar jelas, suara terdengar cukup keras, informasi percakapan yang dapat diterima, suara dari sumber suara lebih dominan dibandingkan dengan bising lingkungan, dan suara dari speaker yang terdengar jelas.
Seberapa Keras dan Merata Suara Terdengar Suara yang terdengar di dalam masjid harus terdengar dengan cukup keras. Suara tersebut harus terdengar merata di seluruh tempat karena jemaah akan memenuhi setiap bagian masjid untuk beribadah (terutama pada kegiatan salat Jumat).
Dikutip dari buku “Peningkatan Kualitas Akustik Masjid”
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Simulasi akustik masjid
184 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Kenyamanan Membawa Berkah KENYAMANAN sebuah masjid bukan hanya ditinjau dari seberapa megah bangunan tersebut berdiri. Desain akustik masjid pun menjadi hal krusial yang perlu perhatian. Hal tersebut karena hampir semua kegiatan di masjid berkaitan dengan suara. Dengan akustik yang tertata, kegiatan ibadah di masjid akan semakin nyaman. Penyampaian dakwah misalnya, akan terserap dengan baik oleh jemaah. Kenyamanan seperti inilah yang membuat jemaah terkesan, betah, kemudian datang kembali untuk beribadah. Perpaduan kenyamanan tersebut jelas terlihat di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari, Kabupaten Bandung. Masjid
Jemaah warga sekitar.
yang dibangun tahun 2019 ini telah menyertakan desain akustik sejak awal perancangan. Bangunan masjid didesain dengan banyak ruang terbuka dan terang sehingga membuat jemaah betah di dalamnya. Penataan akustik ruangan yang mumpuni membuat suara terdengar dengan jelas sehingga membuat jemaah antusias. Setiap Ahad, tak kurang dari 1.500 jemaah menghadiri acara majelis taklim yang diselenggarakan masjid tersebut, bahkan pernah sampai 5.000 jemaah. Banyaknya jemaah yang datang juga membawa berkah bagi penduduk dengan berjualan di sekitar masjid.*
Mempersiapkan dagangan.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 185
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Jemaah mengikuti tilawah
186 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
AMPLIFIKASI KEBERDAYAAN AKUSTIK
Ruang kontrol suara
Mengecek akustik ruangan
Layani pembeli
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 187
DERAS DEBIT DESENTRALISASI Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPA) Mobile dengan Memanfaatkan Air Permukaan High Rate-Water Treatment Plant Ketersediaan air bersih menjadi kebutuhan utama di saat terjadi bencana seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dll. Pascabencana, masyarakat di daerah bencana kerap kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan mandi, cuci, kakus, dan air minum. Sebagai salah satu solusi, ilmuwan ITB menciptakan instalasi pengolahan air (IPA) mobile guna membantu masyarakat, khususnya di daerah bencana. Teknologi instalasi pengolahan air rancangan ilmuwan ITB ini pun bisa diterapkan di kawasan yang belum tersentuh layanan air bersih.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Akses Air Pascabencana Gempa berkekuatan magnitudo 5,6 mengentak wilayah Kab. Cianjur, Jawa Barat, Senin, 21 November 2022. Data BNPB, 310 jiwa meninggal dunia, 2.043 orang terluka, dan 61.908 penduduk mengungsi. Ribuan rumah warga rusak, dari yang rusak ringan hingga rusak berat. Salah satu lokasi yang terdampak cukup parah adalah Kampung Pasirmuncang, Desa Wangunjaya, Kec. Cugenang. Pascabencana, warga desa yang berada di posko pengungsian kesulitan air bersih. Dampak gempa bumi tersebut sangat dirasakan warga, tak terkecuali Saefuddin dan Yusuf, warga Kampung Pasirmuncang. Masih lekat dalam ingatan Saefuddin, ketika gempa terjadi ia sedang memasang pintu di rumah adiknya. Tiba-tiba bumi terasa bergoyang hebat. Yang ia ingat, kejadian berlangsung cepat, sekitar pukul 13.20 WIB. Gempa tersebut berdampak luar biasa. Selain meluluhlantakkan bangunan, korban pun berjatuhan.
190 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Warga memasang pompa penyedot air ke aliran Sungai Citunagan di Kampung Pasirmuncang, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Saat itu di Kampung Pasirmuncang terdapat 7 orang yang luka berat. Ada juga anak usia 5 tahun yang mengalami koma selama 2 minggu. Bangunan hampir semuanya runtuh, kecuali beberapa yang semipermanen. “Di sini ada 102 KK, yang punya rumah sekitar 59 KK, yang lainnya ada yang bergabung di satu rumah, ada juga yang mengontrak,” terang pria berumur 48 tahun yang juga menjabat sebagai Ketua RT 04 RW 02 Kampung Pasirmuncang ini. Dalam waktu singkat, kondisi desa yang mayoritas penduduknya bertani dan berdagang ini berubah. Warga yang rumahnya hancur berbondong membawa sanak keluarga ke posko-posko pengungsian. Hidup di posko pengungsian selama kurang lebih 4,5 bulan, semua serba darurat. Walau bantuan kemanusiaan, seperti logistik dan obat-obatan mulai berdatangan, pengungsi mulai kesulitan mendapatkan air bersih. “Warga kampung yang lain mungkin ada yang belum tersentuh bantuan. Alhamdulillah, kalau di Kampung Pasirmuncang saat itu sudah mendapatkannya.” Saefuddin mengatakan bahwa setelah gempa terjadi, di Kampung Pasirmuncang didirikan dua posko pengungsian. Di posko utama bisa menampung sekitar 28 kepala keluarga KK atau 399 jiwa. Kondisi serupa dialami Yusuf. Petani berumur 30 tahun tersebut saat gempa terjadi sedang leha-leha duduk-duduk di dalam rumahnya. Sementara, anaknya yang masih berumur 3,5 tahun sedang tidur. Sebelum kejadian gempa, anaknya tersebut gundah gulana, terus-terusan mengajak Yusuf untuk keluar rumah. “Mungkin sudah firasat,” kata Yusuf singkat.
192 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Begitu terjadi gempa, semua panik dan berhamburan keluar rumah. Rumah permanennya rusak, genting-genting banyak yang berjatuhan, dinding tembok sebagian retak dan dinding dapur hancur. “Tanahnya dulu bekas sawah jadi kurang padat sehingga memengaruhi juga tingkat kerusakan. Bak air di rumah juga ambles ke bawah.” Pasacagempa, ia dan keluarganya pindah ke tenda pengungsian yang didirikan oleh sukarelawan. Sementara, bantuan makanan baru ada pada hari ketiga berupa nasi bungkus dari warga desa tetangga, seperti Ciranjang, Cipeuyeum, Jangari, dll. Belum ada dapur umum ketika itu karena tak adanya pasokan air bersih. “Untuk kebutuhan air para pengungsi mengambil langsung dari sungai, sedangkan untuk minum memanfaatkan bantuan air mineral kiriman para donatur. Alhamdulillah pasokan bantuan logistik terus berjalan sampai berbulan-bulan. Sukarelawan, mahasiswa juga banyak yang membantu di posko utama,” kata Yusuf. Pada awal masa tanggap darurat bencana, untuk keperluan seharihari, terutama mandi, cuci, kakus, warga memanfaatkan air dari sungai. “Namun, di pengungsian warga kesulitan mendapat air bersih untuk keperluan sehari-hari. Untuk mengambil air harus turun jauh ke sungai. Bukan hanya itu, para pengungsi juga membuang hajat di sungai tersebut,” kata Saefuddin yang akrab disapa Pak Otoy ini. Kondisi yang berlaku bisa menimbulkan permasalahan baru. Selain menyebabkan pencemaran lingkungan, perilaku ini bisa menyebabkan masalah serius bagi kesehatan. Jika kondisi ini terus berlangsung, pengungsi sangat rentan tertular beragam penyakit, seperti diare, tifus, penyakit kulit, dan lainnya. Kesehatan pengungsi pun kian terancam dengan kondisi area pengungsian yang becek akibat hujan masih sering turun.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Prof. Dr. Bagus Budiwantoro menjelaskan manfaat IPA mobile kepada mahasiswa.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 193
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Warga merawat IPA mobile di Cugenang, Kabupaten Cianjur.
194 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
IPA Mobile Merespons gempa Cianjur, sebagai salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat, Institut Teknologi Bandung (ITB) bergerak cepat. Lewat aksi yang dikoordinatori tim LPPM ITB, beragam program langsung dipersiapkan. Salah satu solusi yang dilakukan, LPPM ITB menghadirkan instalasi pengolahan air bersih (IPA) mobile. Program ini dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Bagus Budiwantoro dari Kelompok Keahlian Perancangan Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara bekerja sama dengan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Sesuai dengan namanya, IPA mobile yang memiliki dimensi 4 x 1,9 x 2,6 meter dengan kapasitas 5 liter per detik dan dimensi 2,2 x 1,6 x 1,9 meter dengan kapasitas 2 liter per detik dapat berpindah-pindah tempat dan dirancang untuk daerah yang mengalami kesulitan air dan darurat. Alat ini didesain dengan sederhana sehingga bisa melewati medan dengan akses terbatas, seperti lokasi bencana. IPA mobile memiliki tapak ruang yang padat dan mudah diangkut dengan truk atau kurang dari 50% dari sistem IPA konvensional. Mesin IPA mobile didesain mudah untuk bisa dibongkar pasang sehingga memudahkan pengiriman ke medan yang sulit. Cara kerjanya pun sederhana, teknologi mesin tersebut dapat memisahkan air baku dari sungai atau sumber lain dengan polutan seperti lumpur dan pasir. Setelah itu ada campuran bahan kimia dan filter agar air yang dihasilkan benar-benar bersih. “Alat ini dirancang bersama oleh tim dari Teknik Lingkungan, Teknik Mesin, Teknik Sipil, dan Teknik Penerbangan,” kata Prof. Bagus.
IPA mobile dioperasikan menggunakan sumber air terdekat sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui distributed approach. Dengan demikian, air bersih bisa segera diproduksi dalam waktu singkat, terutama saat terjadinya bencana alam, seperti gempa di Cianjur. Alat tersebut mampu mengolah air baku, yakni air tawar, air danau, air sungai dan lain sebagainya sesuai dengan peraturan PPRI No. 82 Tahun 2001. Air hasil olahan adalah air minum sesuai dengan Permenkes RI No. 492/Menkes/SK/IV/2010. Namun, karena disalurkan melalui mobil tangki atau dari penampungan, air sebaiknya tetap dimasak dahulu sebelum diminum. IPA mobile bantuan tim LPPM ITB ini mulai dioperasikan di Kampung Pasirmuncang pada 21 Desember 2022. Untuk air baku mengambil dari sungai yang ada di desa tersebut. Salah seorang anggota tim IPA mobile yang berada di lapangan, Yudo Riyanto (55) mengatakan, air dari sungai diolah di mesin ini menggunakan pompa dengan kapasitas 3 liter/detik. “Sementara, untuk debit output-nya 2 liter/detik. Air bersih tersebut dialirkan ke warga menggunakan penampungan, yaitu toren berukuran 2 x 3.300 atau 6.600 liter,” jelas Yudo. Air bersih tersebut kemudian dialirkan untuk toren yang terdapat di 5 titik posko pengungsian, tidak langsung ke tempat warga. Dalam sehari, pengisian air dilakukan kurang lebih sebanyak tiga kali. Artinya, dalam sehari hampir 19.000 liter sehari penggunaan air bersih untuk warga RW 02 Desa Wangunjaya. Untuk pagi hari pengisian dilakukan dari pukul 06.00 WIB-08.000 WIB, siang pukul 12.00 WIB-14.00 WIB, dan sore hari pukul 16.00 WIB-18.00 WIB. Untuk mengoperasikan pompa IPA mobile, membutuhkan listrik sekitar 4.000 watt.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 195
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
”
“Alhamdulillah, saat bencana ada kebijakan dari PLN Cugenang, listrik untuk IPA diloskan hingga bulan Agustus 2023 atau selama 8 bulan. Setelah ada izin dari PLN, kami mengerjakan instalasinya sendiri. Yudo Riyanto
“Alhamdulillah, saat bencana ada kebijakan dari PLN Cugenang, listrik untuk IPA diloskan hingga bulan Agustus 2023 atau selama 8 bulan. Setelah ada izin dari PLN, kami mengerjakan instalasinya sendiri,” kata Yudo.
Pasirmuncang menggunakan air resapan tanah dan air dari sungai. Cara tersebut dirasa kurang higienis karena air yang dipakai bisa terkontaminasi oleh kotoran binatang atau manusia serta sisa deterjen dari pencucian baju dan peralatan dapur.
Sebelum di Cianjur, tim LPPM ITB pun pernah mengirimkan IPA mobile ini ke lokasi bencana seperti di Aceh, Yogyakarta, Palu, dan Lombok. Khusus untuk kejadian gempa di Lombok pada 2018, IPA mobile ITB ditempatkan di saluran irigasi hulu sungai di Kabupaten Lombok Utara karena merupakan lokasi kerusakan terparah akibat gempa. IPA mobile tersebut mempunyai kemampuan memproduksi air bersih dengan kapasitas 5 liter per detik atau 18 ribu liter per jam.
“Dulu warga tidak bisa memanfaaatkan air untuk memasak karena airnya dari sungai. Dengan adanya IPA ini warga bisa memanfaatkan air bersih selain untuk memasak juga untuk air minum,” jelas Yudo.
Dengan adanya alat tersebut bisa memenuhi kebutuhan air minum, MCK untuk 500 kepala keluarga atau setara dengan 2.000 orang dalam keadaan normal. Jika dalam keadaan darurat atau bencana, bisa untuk memenuhi 4.000-5.000 orang. Sebelum ada IPA mobile, untuk kebutuhan air warga Kampung
196 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Warga yang mampu membeli selang untuk menarik dan mengalirkan air resapan tanah. Sementara, warga di wilayah RT 03 memakai air sungai karena lokasinya agak jauh dari sumber resapan air tanah. Di Sungai Citunagan tersebut ada bak air sebagai penampung kemudian disalurkan lewat pipa-pipa ke rumah warga. Yang paling parah adalah warga yang tempat tinggalnya berlokasi di bawah. Di sana, air untuk wudu di masjid pun mengambil dari sungai. “Melihatnya pun saya merasa iba. Makanya, kita utamakan penyediaan air bersih untuk masjid di tempat itu.”
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Pemipaan Walaupun IPA mobile telah dihentikan operasinya, tim LPPM ITB terus melanjutkan program pengabdiannya di Kampung Pasirmuncang, Desa Wangunjati, Cugenang. Pada bulan Juli 2023, tim melakukan pemipaan untuk mengalirkan air dari mata air ke rumah-rumah warga yang sudah ada pipa. “Titik-titik tersebut kita benahi, termasuk pemasang pipa-pipa baru. Dari yang asalnya lima titik sekarang sudah 10 titik pembagi. Untuk satu titik bisa 20 keran pembagi. Namun, bukan berarti 20 keran untuk 20 rumah karena ada satu pipa untuk ke toren yang lain untuk kemudian dibagikan lagi. Hal itu karena rumah warga di sini letaknya terpisah-pisah,” jelas Yudo. Pemipaan tersebut menghabiskan kurang lebih sekitar 5 rol atau sepanjang 2,5 km. Untuk debit mata air yang keluar, kalau sedang hujan bisa 5 liter/detik, sedangkan saat kemarau 2 liter/detik. Debit ini sekarang dirasa kurang karena sekarang air sudah mengalir ke semua rumah, sedangkan dulu hanya sampai posko. “Alhamdulillah sampai saat ini belum ada kendala yang berarti. Pemipaan sudah berjalan hampir 90%.” Namun, ada yang sedikit yang mengganjal di hati Yudo. Ia menginginkan warga untuk menghilangkan kebiasaan menggunakan air tanpa tutup keran. Harus dibedakan, dulu sumber airnya langsung dari sungai, tetapi sekarang dari mata air. Di mata air tersebut ada bak yang airnya digunakan juga oleh warga lain. “Untuk menghilangkan kebiasaan itu agak susah. Di sini kontur tanahnya turun, jadi misalnya yang di bawah tidak ditutup, yang atas akan tidak kebagian air. Sistem yang diterapkan di sini, begitu air keluar dari mata air itu langsung ke semua titik itu
mengalir, tidak tergantung kontur tanah. Namun, tetap nanti debitnya yang harusnya 1 liter jadi cuma 1/4 liter karena banyak yang terbuang. Sistem ini bisa berjalan jika warga tertib dalam menggunakan air bersih. Insyaallah nanti tidak akan kekurangan air,” terang Yudo. Untuk mencapai tujuan ini, harus melibatkan kepala desa, kamtibmas, Babinsa, karang taruna desa. Ia juga meminta diterbitkan perdes untuk perlindungan pipa yang telah dipasang, jangan sampai ada yang merusak. Selain itu, dibentuk tim dari desa untuk perawatan pipa, teknisi yang sudah dilatih untuk sistem pemasangan sambungan/connecting HDPE. “Tidak semua orang bisa untuk melakukan itu. Makanya, saya telah menunjuk salah seorang warga menjadi kepala teknisi untuk pemipaan di sini. Saya juga nantinya akan menyerahkan pemipaan ini untuk dilanjutkan oleh pihak desa. Nanti ada semacam surat serah terima bahwa pipa sudah diserahkan ke desa dan kepengurusannya nanti keluar dari perdes. Seperti itu konsepnya.” Rencana ke depan, di desa ini juga akan dipasangi filter air yang bisa langsung diminum airnya. Hal tersebut bertujuan untuk meringankan beban warga. Untuk sistemnya nanti diserahkan kepada warga. Jadi, warga yang biasanya mengisi air galon dengan harga Rp3.500, nantinya bisa Rp1.000 atau Rp1.500. “Yang penting ada biaya untuk perawatan pipa. Ini belum saya terapkan karena warga belum tertib dalam pengelolaan air. Takutnya nanti mereka konsentrasinya malah ke penghasilan. Mudah-mudahan dari air bersih ini warganya jadi sehat, anakanaknya juga pintar-pintar,” ujarnya. Kontribusi tim LPPM ITB lewat IPA mobile sangat dirasakan oleh masyarakat di Kampung Pasirmuncang. Ketua RT 02, Saefuddin, mewakili warga merasa bersyukur bahwa bantuan ini sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh warga.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 197
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
“Bukan hanya oleh warga di RT-nya, warga tiga RT lain di wilayah RW 02 juga turut merasakan manfaatnya. Di RW 02 terdapat 500 KK atau sekitar 2.200 jiwa. Sampai sekarang debit airnya belum pernah kurang,” terangnya. Saefuddin menjelaskan, sampai sekarang di mata masyarakat desanya, ITB dipandang sangat berjasa karena paling lama mengadakan pengabdian. Sementara, bagi Yusuf dengan adanya pasokan air bersih dari IPA mobile, ia dan warga lain mulai bisa memasak lagi. Padahal, kalau dilihat dari sumbernya, yaitu sungai kecil, airnya berwarna cokelat dan berpasir. “Tetapi, setelah lewat IPA mobile, jadi bersih. Namun, kalau untuk diminum, saya tetap memasaknya dahulu,” ujar pria yang mengaku turut terlibat membantu tim LPPM ITB, terutama dalam pemindahan toren air dan penarikan pipa-pipa air ini.
”
Dengan adanya pasokan air bersih dari IPA mobile, ia dan warga lain mulai bisa memasak lagi. Padahal, kalau dilihat dari sumbernya, yaitu sungai kecil, airnya berwarna cokelat dan berpasir. Yusuf
198 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Setelah kurang lebih beroperasi selama 8 bulan di daerah bencana gempa Cianjur, pengoperasian IPA mobile dihentikan pada Juni 2023. Kini, warga Kampung Pasirmuncang mendapatkan sumber air bersih dari mata air yang pemipaannya dibantu oleh tim LPPM ITB. Sementara, bagi Yudo, walaupun di awal terasa sudah berat, melaksanakan tugas di daerah bencana menyisakan cerita yang menyenangkan, terutama di akhir-akhir pengabdian. Ia mengaku, setelah sudah dekat dengan warga, serasa punya keluarga di sana. “Awalnya saya cuma kenal Pak RT (Otoy Saefuddin) yang menemani saya mulai dari survei, mencari lokasi penempatan IPA mobile, dan perizinan. Pak Otoy banyak membantu saya. Walaupun warga yang lain kurang peduli, saya memaklumi dengan kondisi mereka yang masih kalang kabut setelah bencana.” Namun, ia juga tidak mengharuskan warga untuk membantu. Semaksimal mungkin tim mengerjakan sendiri tugasnya. Setelah berjalan sekian lama, tim pun merasa dekat dengan warga. Bahkan, salah seorang warga yaitu bidan Yuli meminjamkan tempat untuk dipakai tim ITB. “Saya juga istilahnya sudah diaku di sini, disuruh pindah KK oleh warga,” kata Yudo sambil tertawa.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Mewujudkan Target SDGs Pengembangan IPA mobile sejatinya lebih dari sekadar membantu daerah-daerah bencana, tetapi juga membuka akses air bersih yang terdesentralisasi di seluruh titik potensi sumber air permukaan. Dalam sebuah artikel kerja sama LPPM ITB dan Media Indonesia, disebutkan pula bahwa IPA mobile ini merupakan produk dari peneliti ITB dan University of Manchester, Inggris yang mengembangkan purwarupa instalasi pengolahan air minum terdesentralisasi berlaju tinggi/high rate-water treatment plant (HR-WTP) dengan kapasitas hingga 2 liter/detik yang mampu melayani sekitar 100 kepala keluarga. Peneliti ITB yang terlibat saat membangun purwarupa tersebut adalah Dr. Anindrya Nastiti dan Dr. Eng. Arief Wibowo, selain Prof. Bagus Budiwantoro, Ph.D. Latar belakang pengembangan ini terutama target pemenuhan 100% akses air minum layak yang belum terpenuhi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
pemenuhan target MDGs untuk sektor air minum, dunia berfokus pada peningkatan akses air minum secara kuantitas, yakni dengan menjamin akses terhadap air bagi yang sebelumnya tidak memiliki akses sama sekali. MDGs berupaya menurunkan setengah dari penduduk dunia tanpa akses air minum layak hingga 2015. Namun, sejak SDGs target 6.1 dicanangkan pada 2015, program peningkatan akses air minum mulai berfokus pada peningkatan kualitas layanan. Tidak sekadar layak, kualitas air minum diupayakan menjadi aman. Sayangnya, di Indonesia, makna tingkatan itu sering kali belum dipahami secara penuh oleh berbagai pemangku kepentingan di daerah. Laporan Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga di Indonesia 2020 melaporkan 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia menggunakan air yang tercemar E. coli, bakteri yang mengindikasikan adanya pencemaran tinja dalam air minum.
“Pemenuhan akses air minum layak merupakan bagian dari program 100-0-100, sebuah program turunan Millennium Development Goals (MDGs) untuk meningkatkan tiga sektor infrastruktur skala permukiman, yakni 100% akses air minum layak, 0% kawasan kumuh, dan 100% akses sanitasi layak,” kata para peneliti tersebut dikutip Media Indonesia.
Temuan itu kemudian digunakan sebagai bagian dalam kampanye Unicef, #dihantuitai, yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak kesehatan pencemaran sumber air oleh tinja. Oleh karena itu, kriteria bebas kontaminasi untuk air minum aman, mengharuskan adanya sebuah teknologi pengolahan air dalam sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk menghilangkan risiko kesehatan akibat pencemar fisika, biologi, kimia, dan radioaktif dalam air.
Dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa transisi target pembangunan global dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals) berdampak pada perubahan fokus pembangunan sektor air minum. Sebelumnya, pada
Pada saat yang sama, akses terhadap SPAM jaringan perpipaan di Indonesia masih sangat rendah. BPS mencatat cakupan air ledeng nasional pada 2016 sebesar 10,66% yakni terjadi kecenderungan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 199
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Kebanyakan rumah tangga di Indonesia yang tidak terlayani air ledeng menggunakan kombinasi air tanah dan air minum dalam kemasan untuk memenuhi kebutuhan airnya atau self-supply. SPAM berbasis masyarakat, seperti Pamsimas telah berhasil menyediakan air minum layak dengan jumlah penerima manfaat yang signifikan. Data Maret 2021 menyebutkan jumlah penerima manfaat air minum dalam program Pamsimas secara nasional mencapai 20,6 juta jiwa, yakni 12,5 juta di antaranya memiliki akses air minum layak berupa sambungan rumah dengan meteran. Dengan target akses universal air minum aman SDG 6.1 yang harus dipenuhi pada 2030, tantangan terbesar ialah bagaimana menyediakan air minum aman, yakni SPAM perlu dilengkapi dengan suatu instalasi pengolahan air. Dalam penelitian yang didanai skema Newton Fund-institutional Link, peneliti dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Dr. Anindrya Nastiti, serta Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Prof. Bagus Budiwantoro dan Dr. Arie Wibowo, Institut Teknologi Bandung, bersama dengan peneliti dari University of Manchester, Inggris, Dr. Seth Schindler dan Dr. Majid Sedhigi, mengembangkan purwarupa instalasi pengolahan air minum berlaju tinggi, yaitu high rate-water treatment plant (HR-WTP) dengan kapasitas hingga 2 liter/detik. HRWTP terdesentralisasi itu mampu melayani sekitar 100 KK untuk kebutuhan dasar air minum. HR-WTP tersebut pernah diuji coba di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi, Jawa Barat, dan mampu memproduksi air minum dengan kualitas yang memenuhi persyaratan kesehatan yang diatur Menteri Kesehatan. Tantangan utama dari adopsi teknologi terdesentralisasi yang diidentifikasi dalam penelitian di atas ialah mencari investasi untuk mengembangkan dan memperluas aplikasi teknologi air minum terdesentralisasi yang sesuai dengan
200 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
konteks daerah layanan. Selain itu, tentunya, teknologi tersebut harus dapat diterima serta dioperasikan dan dipelihara mitra pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Survei terhadap 120 rumah tangga di Citeureup, Cimahi, yang dilakukan pada 2020 menunjukkan sebagian besar responden mengandalkan air tanah dan air kemasan sebagai sumber air utama mereka serta membayar sekitar dua kali lipat harga maksimum dari air ledeng per bulan. Survei itu mengindikasikan adanya kesediaan masyarakat untuk beralih ke sumber air baru dan terlibat dalam program penyediaan air minum. Jika persepsi publik merupakan hambatan utama untuk mengadopsi SPAM terdesentralisasi secara luas, berbagai strategi dan program edukasi dan perubahan perilaku dapat dilakukan. Tantangan tidak berhenti pada adopsi teknologi. Tantangan yang mungkin lebih kompleks adalah membangun kelembagaan yang mendukung keberlanjutan fungsional dari SPAM terdesentralisasi ini. Solusi terdesentralisasi dapat diintegrasikan ke dalam SPAM berbasis masyarakat yang sudah ada, ke dalam proses bisnis utilitas daerah (misalnya PDAM) atau hibridisasi keduanya. Untuk skema pertama, Pamsimas, dengan jumlah penerima manfaat yang mendekati jumlah penduduk Australia, merupakan salah satu titik awal yang mungkin paling efisien. Namun, perlu ada strategi untuk memastikan bahwa kelompok pengelola masyarakat memiliki kapasitas teknis dan sumber daya yang memadai untuk menjamin operasi dan pemeliharaan teknologi sejenis HR-WTP yang mampu secara konsisten menyediakan air minum aman. Skala ekonomis yang tepat serta kemungkinan adanya hambatan legal dan kelembagaan perlu dikaji lebih lanjut. Selain itu, kemauan politik yang kuat sangat diperlukan dari pemerintah sebagai duty bearer dari hak asasi warga negara atas ait minum aman untuk mengadopsi SPAM terdesentralisasi secara
Saefuddin menunjukkan air bersih dari sungai yang telah diolah menggunakan IPA mobile.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Yusuf mencuci tangan menggunakan air yang telah dialirkan ke permukiman.
202 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
luas. Tidak hanya target mendesak untuk memenuhi SDG 6 akses air minum aman, pandemi serta bencana lainnya telah menyadarkan kita akan perlunya sistem pasokan air minum yang tangguh. Sistem terdesentralisasi dapat diluncurkan dengan relatif cepat dan pasokan dapat ditingkatkan pada saat terjadi krisis kesehatan atau lingkungan. Oleh karena itu, berbagai solusi terdesentralisasi perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut mengingat akses universal terhadap SPAM jaringan perpipaan terpusat tidak mungkin dicapai dalam waktu tujuh tahun ke depan. Peran pemerintah sangatlah dibutuhkan untuk memperluas penerapan teknologi air minum aman terdesentralisasi, termasuk high rate-water treatment plant (HR-WTP) yang telah dibuat tim ITB. Hal pertama yang sangat diharapkan ialah pengembangan dan penyosialisasian panduan dalam perencanaan, perancangan, operasi dan pemeliharaan sistem air minum terdesentralisasi. Panduan tersebut perlu mencakup spesifikasi teknis terhadap alternatif-alternatif sistem air minum terdesentralisasi serta panduan mengenai skema regulasi dann kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung implementasinya. Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum memang telah mengeluarkan tata cara perencanaan paket instalasi pengolahan air untuk kapasitas minimal 5 liter/detik yang ditujukan bagi pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta. Namun, panduan itu perlu diperbarui dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan yang baru disahkan.
yang sesuai dengan skala ekonomis, kualitas air baku, risiko bencana, dan konteks sosioekonomi daerah layanan. Selain itu, perlu dilakukan integrasi air minum desentralisasi dalam proses bisnis utilitas daerah atau skema berbasis masyarakat yang sudah berjalan. Integrasi itu perlu mencakup advokasi air minum aman sebagai bagian dari standar pelayanan minimum (SPM) pemerintah daerah. Di sisi lain, perlu dikaji pengembangan model tarif baru yang memberikan insentif terhadap adopsi sistem air minum terdesentralisasi, pengembangan inovasi kelembagaan yang efektif, serta manajemen aset yang sesuai dengan regulasi agar mendorong viabilitas sistem terdesentralisasi. Kemudian, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan kapasitas teknik dan manajerial penyelenggara SPAM di daerah, kelompok masyarakat, dan mitra swasta potensial, misalnya melalui program pelatihan dan bantuan teknis. Terakhir, persepsi dan kesediaan masyarakat serta mitra pembangunan lain di daerah mungkin bervariasi. Oleh sebab itu, program advokasi dan perubahan perilaku harus dilakukan agar masyarakat mau mengadopsi teknologi air minum terdesentralisasi.***
Pemerintah juga diharapkan bekerja sama dengan universitas dan lembaga-lembaga penelitian menjadi penting untuk menghasilkan alternatif-alternatif teknologi terdesentralisasi
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 203
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Prof. Dr. Bagus Budiwantoro
DARI DESA HINGGA IKN
K
EBUTUHAN air bersih menjadi vital karena menyangkut kehidupan orang banyak. Ketersediaan air bersih juga sangat penting bagi peningkatan kesehatan masyarakat. Namun, faktanya tidak semua masyarakat dapat menikmati akses terhadap air bersih. Masyarakat yang tinggal jauh dari tempat distribusi air kerap kesulitan untuk mendapatkan air bersih.
Bersama tim, Prof. Bagus merancang instalasi pengolahan air yang bisa menghasilkan air bersih dari sumber air terdekat. Pengolahan air tersebut bisa mengubah air bersumber dari air permukaan (air danau atau air sungai) menjadi air minum. Bukan hanya itu, instalasi pengolahan air ini pun menggunakan teknologi yang bisa meningkatkan kapasitas produksi air bersih (uprating).
Permasalahan air setiap hari juga semakin kompleks. Konsumsi air bersih terus meningkat seiring perkembangan jumlah penduduk. Sementara, sumber air bersih semakin menurun, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk itu, perlu penanganan agar makin banyak masyarakat dapat memperoleh akses air bersih.
“Kalau menggunakan teknologi yang dulu dari Jepang, Inggris, Prancis, dan negara air, misalnya kemampuannya adalah 100 liter/ detik, berdasarkan pengalaman tim operasi sistemnya bisa diubah oleh tim. Dengan pembuktian dalam bentuk matematika, kapasitas air bisa menjadi 200, 300, atau 400 liter per detik,” jelas pria yang menyelesaikan S-2 dan S-3 di Ecole Centrale de Lyon, Prancis ini.
“Makanya, saat itu kami dari jurusan Teknik Mesin dan Teknik Lingkungan ITB mengusulkan harus membuat suatu sistem pengolahan air yang mempunyai terobosan secara teknologi maupun terobosan secara ekonomi,” ujar Prof. Dr. Bagus Budiwantoro dari Kelompok Keahlian Perancangan Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB.
204 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Implementasi usulan ini akhirnya diterapkan pada 2014. Prof. Bagus dkk. turut membantu peningkatan kapasitas produksi air bersih di instalasi PDAM Kota Bogor Dekeng I dan Dekeng II. Saat itu PDAM Dekeng Kota Bogor memiliki kemampuan produksi air sebanyak 400 liter/detik.
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Untuk menambah produksi air, mereka tadinya akan membuat instalasi baru di sebelah instalasi yang ada dengan kemampuan produksi yang sama. Namun, instalasi baru tersebut tidak jadi dibuat. Tim hanya mengganti sistem yang telah ada. “Kalau di mesin kendaraan istilahnya engine swap. Proyek tersebut berhasil dilakukan, dari asalnya produksi air 400 liter/detik bisa ditingkatkan menjadi 1.200 liter/detik. Dengan keberhasilan ini, berarti teori kami terbukti. Dengan luas area produksi yang sama, IPA rancangan tim bisa memproduksi air bersih 3 kali lipat,” terang Prof. Bagus. Dengan kapasitas yang lebih besar, tim turut membantu PDAM Kota Bogor dalam pemenuhan air bersih masyarakat. Setelah itu, tim memutuskan untuk menjual teknologi yang mereka rancang, salah satunya ke Pangkalpinang. Di sana kapasitas instalasi pengolahan air bersih dari 60 liter/detik, operasinya bisa dinaikkan menjadi 300 liter/detik. Sekarang, instalasi pengolahan air bersih hasil rancangan ITB sudah dipasang di mana-mana, termasuk di Batam dan Bali. “Artinya, di sini selain ada terobosan teknologi, juga ada terobosan secara ekonomi,” ujar Prof. Bagus. Prof. Bagus menyebut teknologi yang disematkan dalam instalasi pengolahan air bersih ini teknologi merah putih. Artinya, semua yang terlibat dalam pembuatannya merupakan putra Indonesia, tidak ada campur tangan pihak asing. Jadi teknologi ini asli karya anak bangsa. “Dulu teknologinya disebut IPA Milenium, kalau yang sekarang nama dagangnya IPA Varuna untuk yang kecil. Untuk target sekarang yaitu desa-desa yang kecil dengan teknologi alat yang kecil mikrohidro.” Prof. Dr. Bagus Budiwantoro.
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 205
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Modifikasi Merambah Perumahan Pada perkembangannya, Prof. Bagus menerapkan teknologi instalasi pengolahan air bersih ini untuk daerah bencana. Pengoperasian instalasi pengolah air bersih menggunakan sumber air terdekat, seperti air sungai kecil. Artinya, bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat di pengungsian bisa mengakses air bersih dalam waktu cepat. Untuk keperluan tersebut, ia perlu memodifikasi alat pengolahan air bersih modular menjadi instalasi pengolahan air (IPA) mobile. Pada saat terjadi bencana, tidak mungkin membawa alat yang besar. Butuh peralatan yang lebih kecil. “Teknologi yang besar itu saya terapkan di yang kecil, di truk-truk. Kalau truk yang sama dipasangi teknologi yang lain kapasitasnya paling 2 atau 3 liter per detik, punya kita bisa 5 liter/detik,” jelas Prof. Bagus. Selain di Cianjur, IPA mobile hasil rancangan tim ITB pernah dipasang saat terjadi bencana di Yogyakarta, Aceh, dan Lombok. Beberapa hari setelah terjadi bencana, warga biasanya kekurangan air untuk berbagai keperluan. Harus ada pengolahan air yang besar atau yang kecil, tetapi cukup. Kapasitas 1 liter/detik bisa untuk 100 KK atau 1.000 orang. “Kalau yang kita pasang 5 liter/detik dan itu bisa untuk 500 KK atau 2.000 orang. Jika untuk keperluan mandi saja bisa untuk 3.000–4.000 orang.” Teknologi yang dipakai dalam IPA mobile terdiri atas beragam inovasi. Namun, proses intinya standar, air dari sungai yang asalnya berwarna cokelat karena mengandung pasir dan lempung setelah masuk IPA mobile dan didiamkan akan surut dan atasnya menjadi bersih.
206 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
Permasalahan air bersih bukan hanya milik masyarakat desa. Tak sedikit warga perumahan di kota-kota besar pun belum tersentuh layanan air bersih dari PDAM. Selama ini, untuk memperoleh air bersih, mereka harus membeli dari pedagang keliling. Sementara, untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus diperoleh dengan cara melakukan pengeboran air tanah. Instalasi pengolahan air buatan tim ITB bisa menjadi solusi untuk permasalahan air bersih di perumahan.
Materi yang mengendap tersebut dikeringkan lalu diberi bahan kimia agar materi yang kecil tersebut bisa menyatu menjadi besar. Kalau sudah besar, prosesnya menjadi cepat. “Setelah itu masuk ke bagian pengendapan. Nah, di bagian pengendapan itu yang kita engineering-kan. Jadi waktu dialirkan itu dipercepat alirannya, tetapi materi materinya masih bisa turun (ilmu fluida). Hebatnya alat ini, begitu air keluar dari proses tersebut, belum sampai ke filter, airnya sudah bagus, sudah sesuai dengan standar PDAM,” jelas Prof. Bagus. Sebetulnya prosesnya sudah tidak memerlukan filter, tetapi tim memutuskan untuk tetap memakainya untuk mengantisipasi adanya materi kecil yang lepas. Dengan proses seperti ini, kerja filter sudah tidak berat. “Makanya, dari ujung ke ujung semua kecepatannya jadi tinggi.”
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Asalkan di dekat perumahan memiliki sumber air, instalasi sudah bisa dipasang. “Kalau untuk perumahan besar butuh sungai besar. Tetapi, perumahan yang kecil, cukup sungai kecil, kedalaman 3 meter sudah bisa. Untuk menjalankan bisnis ini, ia merangkul mitra yang sebagian besar rekan satu angkatannya dari disiplin ilmu lain. Sebelum memutuskan air sungai bisa diolah menjadi air baku untuk air bersih, keandalannya harus diuji terlebih dulu oleh tim dari Teknik Sipil. “Itu bisnis antara saya dan pengembang. Di Tangerang kita sudah punya instalasi kecil yang hanya memanfaatkan sungai kecil. Sekarang kawasan perumahan di sana sudah memiliki air bersih dengan kapasitas 10-20 liter/detik. Padahal, sebelumnya kawasan tersebut sudah berpuluh-puluh tahun tidak terlayani air bersih.” Ada beberapa keunggulan dalam pemasangan instalasi pengolahan air bersih buatan ITB ini. Sistem yang diterapkan terdistribusi, bukan sistem terpusat. Selain itu, mesin mampu beroperasi dengan sumber air terdekat dan ditempatkan secara strategis di dekat sumber daya air untuk mengurangi biaya modal.
Berbakti untuk Desa Ke depan, Prof. Bagus ingin agar teknologi ini bisa disebar ke desadesa yang belum tersentuh air bersih. “Desa kita jumlahnya sekitar 80.000. Dari sebanyak itu ada desa yang kurang maju 20.000-an. Banyak yang harus dibantu, terutama persoalan air,” katanya. Kalau di desa dipasang alat instalasi pengolahan air bersih yang kecil, masyarakatnya bisa mendapat air yang bagus. Nantinya proses ini akan melibatkan semua pihak. “Untuk desa baru akan kita jalani setelah ada pengurusan perizinan oleh pihak lain.” Masyarakat nantinya akan mendapatkan air bersih, tetapi tidak gratis. “Kita mengolah terus air jadi bersih. Walaupun dengan harga murah, dengan adanya bayaran dari mereka, operasional bisa terus jalan. Air bersih itu tidak gratis, ada cost operasionalnya.”
Prof. Bagus pun telah memasang instalasi pengolahan air bersih di Ibu Kota Nusantara (IKN). Orang-orang yang sedang membangun sarana prasarana di IKN membutuhkan air bersih. Di sana ada kolam atau embung kecil yang bisa dimanfaatkan sebagai air baku . Program instalasi pengolahan air bersih ini bukan sekadar menyediakan sarana air bersih atau air minum dan sanitasi, juga menitikberatkan pada pemahaman dan perubahan perilaku masyarakat. Selain itu, mendorong masyarakat agar melakukan upaya konservasi air agar sumber air tetap terjaga. “Kebutuhan air bersih sangatlah penting. Kalau orang mengebor air dan sebelahnya ada WC, air bisa terkontaminasi sehingga menimbulkan masalah kesehatan di masa mendatang. Dengan adanya air bersih, anak-anak IQ-nya makin tinggi, lebih sehat, dan lebih imun,” kata Prof. Bagus.***
TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 207
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Mengalirkan Asa di Tengah Bencana Membersihkan instalasi pengolahan air BENCANA alam tidak dapat dihindari. Datangnya selalu tibatiba dan kadang mengejutkan warga yang menjadi korban. Seperti dialami warga Kampung Pasirmuncang, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, pada 21 November 2022 lalu. Gempa berkekuatan magnitudo 5,6 tersebut merenggut 310 jiwa dan meluluhlantakkan infrastruktur. Warga korban gempa pun harus hidup dalam kondisi darurat dan keterbatasan sekaligus tiadanya akses mendapatkan air bersih. Mereka terpaksa memanfaatkan air langsung dari sungai atau
208 / TEKNOLOGI PEMBERDAYA
mengharapkan bantuan dari donatur. Bersyukur, kesusahan mendapatkan air bersih tersebut tidak berlangsung lama. LPPM ITB menghadirkan instalasi pengolahan air bersih (IPA) mobile lewat program yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bagus Budiwantoro. Instalasi tersebut dapat menyedot air dari sungai terdekat dan diolah menjadi air bersih dengan debit 2 liter/detik. Bantuan tersebut berkembang dengan dibangunnya saluran air ke wilayah permukiman sehingga warga lebih mudah mendapatkan air bersih, bahkan menjalankan usaha dari air tersebut.*
DERAS DEBIT DESENTRALISASI
Menjelaskan kinerja IPA
Pantau debit air
Memasang pipa
Aliran air ke warga
Berjualan minuman TEKNOLOGI PEMBERDAYA / 209