Majalah Bitranet 7

Page 1

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Daftar Isi Komentar - Dampak Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Hidup dan Perempuan Utama - Tindakan Untuk Kejahatan Korporasi Kapitalisasi Perkebunan Sawit - Ekspansi Sawit Mengatasnamakan Kemiskinan - Kontroversi Kelapa Sawit di Indonesia Advokasi - Lestarikan Kejahatan Perkebunan Kelapa Sawit - Tindakan Arogan PTPN II, Kesaksian Petani BPRPI - Ekspansi Perkebunan, Rusak Hutan, Ekosistem dan Konflik Berdarah - Impor Beras yang Menyengsarakan Rakyat - Kebulatan Tekad Mengatasi Kemiskinan dan Kelaparan - Warga Kualanamu Terancam Kelaparan - Gerakan Sumut Sadar HAM Perkuat RANHAM Indonesia - Hak Rakyat atas Air - 30 Tahun Kakek Ini Perjuangkan Air Bersih ke Warga - Gerakan Masyarakat Sipil Bersatu Dalam Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia - Radio Komunitas Sebagai Kebutuhan Pokok Masyarakat Pertanian - Serangga dan Masa Depan Manusia - Langkah-langkah Pembuatan Pupuk Organik Kesehatan Alternatif - Berembang, Buah Hutan Yang Bisa Jadi Apa Saja - Lidah Buaya Obat Tradisional Yang Praktis Dan Berdaya Guna Tinggi

1

3 5 8

12 14 15 16 18 20 21 22 24 25 27

29 31

32 33

Credit Union - CU Dengan Transaksi Harian Seperti Bank, Mungkinkah

34

Profil - Kamaruddin, Organik Menjadi Pilihan - Menang 4-1 Logowo, Lalu Kembangkan SIPT

36 37

Kabar Dari Kampung - Sepenggal Ponorogo di Sudut Langkat

38

Sawit Hanya Untungkan Investor dan Pemerintah Dalam satu abad keberadaan sawit di Indonesia sikap pro dan kontra terhadap tanaman sawit ini selalu ditampilkan, hingga sampai saat ini kedua sikap tersebut belum bisa disatukan. Tuntutan kepentingan setidaknya membuat kondisi ini terus berlarut. Di satu sisi, pihak yang pro (pemerintah-investor) mengklaim diri bahwa program invetasi yang digalakkan berupa pembukaan areal kebun monokultur (sawit) adalah demi kesejahteraan rakyat yang dapat menambah pendapatan daerah. Sehingga program ini dinilai mesti terus dilanjutkan. Program pembangunan kawasan perbatasan 1,8 juta hektar dengan tanaman jenis ini adalah satu dari kondisi yang boleh kita lihat saat ini sedang dalam proses. Pada sisi lain, kelompok yang kontra (aktivis lingkungan) dengan berbagai dalih logis tidak menghendaki upaya pembukaan perkebunan sawit, karena berdasarkan analisis yang didapat bukannya mensejahterakan, malah efek negatifnya pun cenderung turut merugikan. Kesejahteraan yang dimaksud kalaupun ada, hanya bersifat sesaat. Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki masyarakat, biasanya akan memudahkan masyarakat setempat menerima mentah informasi yang disampaikan, sehingga tidak ayal lagi masyarakat setempat akhirnya menyerahkan tanah dan lahannya untuk dijadikan kebun sawit. Dalam hal ini, sisi negatif tentu saja sangat jelas tidak akan disampaikan. Prinsif bisnis tentu saja berlaku bagi pihak perusahaan. Karena bila turut disampaikan, sama artinya mereka mementahkan rencana awalnya yakni menyukseskan sawit masuk daerah setempat. Dalam banyak hal, ketidakberesan soal manajeman yang diterapkan sebagaimana wacana ketiga mungkin saja ada benarnya. Akan tetapi, mesti kita sadari bahwa hampir dalam setiap perkebunan kelapa sawit saat ini muncul kemelut, baik dalam lingkungan internal maupun dengan pihak eksternal (masyarakat) yang alih-alih diduga kuat sumber permasalahan yang ada adalah masalah manajemen. Pertanyaannya, benarkah demikian? Bukankah, wacana soal manajemen telah cukup lama terungkap, tapi kenapa tidak pernah terselesaikan juga? Malah tidak sedikit masyarakat yang menuntut segera dihentikannya perkebunan sawit. Dan persoalan manajemen selalu timbul. Kalau sudah demikian, satu hal yang menurut hemat penulis cukup beralasan kenapa selalu terjadi ketidakberesan lebih dari sekedar kesalahan managemen, yakni bahwasanya pihak perusahaan/investor tidak akan pernah mau rugi. Selalu ingin untung. Keuntungan yang berlipat ganda yang hanya dapat dirasakan oleh golongan elit perusahaan, termasuk pihak pemerintah dengan sumber pemasukan pendapatan daerah yang selama ini diagungkan sebagai alasan. (red)

Penerbit: Yayasan BITRA Indonesia Medan. Penanggung jawab dan Pimpinan Umum: Wahyudhi Pimpinan Redaksi: M. Ikhsan Dewan Redaksi : Rusdiana, Iswan Kaputra, Swaldi, Listiani, Eka D Rehulina Reporter: Elfa S Harahap, Nirwansyah, Aprianta, Erika Rosmawati, Hawari, Jumarni, Siska, Misdi, Rustam Fotografer: Anto Ungsi Manajemen Pelaksana : Icen Sirkulasi & Keuangan: Fira Handayani Redaksi: Jl. Bahagia By Pass No. 11/35 Medan - 20218 Telepon: 061-787 6408 Fax : 061-787 6428 Email: majalahbitranet@yahoo.com

Jurnalis/Wartawan BITRANET dalam melaksanakan tugasnya tidak dibenarkan menerima amplop atau imbalan apapun. Bagi masyarakat yang melihat dan dirugikan, silahkan menghubungi redaksi dan menggunakan hak jawabnya. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Komentar

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Hidup dan Perempuan SEJAK kelapa sawit menjadi salah satu komoditas ekspor yang memberikan banyak keuntungan materi, kelapa sawit kemudian menjadi primadona. Dan kemudian di kalangan para pengusaha seolah menjadi tren pengadaan perkebunan kelapa sawit bersekala besar di daerah yang berpotensi objek lahan. Hal inipun menjadi opini publik khlayak ramai, tidak terkecuali oleh masyarakat lokal/setempat bahwa perkebunan sawit akan memberikan keuntungan yang sangat besar. Sayangnya, masyarkat adatlah yang terutama terkena imbasnya. Masyarakat lokal ini pun mulai bersuara setelah mengetahui dampak perkebunan kelapa sawit ini begitu dahsyat bagi keberlangsungan kehidupan. Aksi menentang dan menolak keras perkebunan sawit pun mula bermunculan. Secara lantang pun pertanyaan ini muncul pada mereka yang baru menentang adanya pengadaan perkebunan sawit besar-besaran, mungkin juga ini dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat lokal tentang dampak perkebunan kelapa sawit. Apalagi bagi masyarakat lokal yang notabene adalah masyarakat pedalaman yang terbatas akses informasinya. Seiring waktu, polemik ini menjadi pro dan kontra bagi kaum-kaum yang berkepentingan. Situasi ini

membuat posisi masyarakat menjadi terbuai, terlena, terpana, dengan segudang iming-iming kaum yang berkepentingan, kaum kapitalis, dan juga para awak perusahaan yang mulai berani menjajakan kaki dan mulai mendekati masyarakat lokal. Mereka menjanjikan dan mengiming-imingi, jika mengizinkan adanya perkebunan sawit maka, masyarakat setempat akan dapat merasakan keuntungan. Dapat pula mensejahterakan hidupnya kelak. Begitulah kira-kira iming- iming yang dijanjikan para kaum kapitalis dan awak perusahaan ini. Menyadari kenyataan ini, penulis sendiri merasa sangat menyedihkan, ketika sebagian masyarakat setempat yang tersugesti mengiyakan perkebunan kelapa sawit dengan skala besar. Padahal jelas-jelas hal ini merupakan bentuk pembodohan dan penindasan yang luar biasa terhadap kehidupan sumber daya alam ke depannya. Akan ada penghancuran ekosistem, bahkan yang lebih menyedihkan menjalar pada keberlangsungan hidup manusia untuk hidup sehat. Ada banyak sekali dampak dampak buruk yang mungkin timbul, musnahnya kearifan lokal dan pengetahuan lokal, hutan, lahan, dan tanah adat yang tak dapat berfungsi penuh. Jelas saja hal ini berakibat buruk bagi keberlagsungan hidup, contoh

Merusak hutan : Pembukaan lahan sawit kerap kali merusak hutan dan menghancurkan ekosistemnya. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

1


Komentar saja tidak ada lagi lahan, tanah yang biasanya digunakan untuk berladang, berkebun, mencari sayur-mayur, dan buah-buahan di hutan. Pula dapat membawa masyarakat pada kemiskinan dan kepunahan/mati serta eksploitasi dan kerusakan kawasan hutan. Padahal kita tahu bahwa masyarakat setempat mengantungkan hidupnya terhadap hutan dan seisinya, apalagi masyarakatnya yang mempunyai ikatan emosional terhadap hutan dan hidup yang bersentuhan dengan alam. Tidak cukup sampai di situ saja, adanya perkebunan sawit yang luas juga membawa dampak terhadap perempuan dan anak-anak. Adapun beberapa dampak permasalahan perkebunan kelapa sawit terhadap perempuan seperti: munculnya berbagai penyakit yang timbul yang menyerang perempuan dan anak seperti penyakit kulit (panu, kadas, kurap,koreng dll) sebagai akibat pencemaran lingkungan, di mana terjadinya pendangkalan sungaisungai sehingga menyebabkan banjir besar dan air menjadi tidak bersih. Situasi ini membawa perempuan dan anak-anak terhambat tugas

perkembangan dan pertumbuhan sebagai akibat tidak bisa menikmati air yang bersih untuk hidup sehari-hari. Konsumsi air yang tidak bersih itu tentu menjadi sumber penyakit. Bukankah situasi ini merupakan penindasan dan peminggiran bagi kaum perempuan dan anak-anak secara tidak langsung? Belum lagi tuntas persoalan ini, persoalan perempuan muncul lagi. Perempuan terpinggirkan di bidang ekonomi. Tenaga kerja yang paling banyak dipakai di perkebunan adalah tenaga kaum laki-laki. Kaum perempuan diposisikan di rumah saja dan mengurusi anak. Kondisi ini juga membawa posisi perempuan jatuh pada taraf kemiskinan. Karena itulah, penulis sangat menghimbau kaum perempuan untuk mengatakan tidak pada perkebunan kelapa sawit ini. Ingat, perempuan cenderung menjadi pihak yang dirugikan. Kritis dan pahamilah bahwa masih banyak komoditi lain yang bisa di andalkan. Kelapa sawit bukan satu-satunya pilihan. Pilihlah komoditi yang ramah lingkungan, menguntungkan secara sosial dan ekonomi dan, dan tentunya membawa keterlibatan peran perempuan. * ( Aroel Effendie)

Hak perempuan : Ekspansi perkebunan sawit dinilai merugikan perempuan. 2

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Utama

Tindakan Untuk Kejahatan Korporasi Kapitalisasi Perkebunan Sawit Dalam menyikapi kejahatan korporasi kapitalisasi perkebunan sawit, beberapa forum menuntut pemerintah untuk melakukan beberapa sikap yang telah ditentukan. LENTERA, KPS, Bakumsu, ELSAM, Bitra, WalhiSU, Sahdar, Sawit Watch, Elsaka, Hapsari, Kontras Sumut, KOTIB, Petra, PBHI, LBH Medan, KSPPM, KPA, SPKS, BPRPI, Sintesa, SPI (La Via Campesina Indonesia), Jala, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau,YPMP, Formatsu, WABPIS, FOKKER LSM Papua, ADS, JPIC MSC dan Green Peace yang tergabung dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Sawit Forum Masyarakat Sipil Indonesia menyatakan sikap, yaitu menghentikan ekspansi perkebunan sawit, mencabut Undang Undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, pemerintah mengembalikan tanah rakyat yang dirampas oleh korporasi perkebunan sawit dan menyerukan kepada rakyat untuk merebut kembali tanahnya yang dirampas oleh korporasi sawit, pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan, pemerintah mendesak kepada

Bank Internasional, Bank Nasional, dan Bank Asing untuk menghentikan kredit kepada korporasi dalam rangka ekspansi sawit, menghentikan sistem perbudakan modern yaitu buruh murah dalam bentuk Buruh Kontrak, Buruh Harian Lepas di industri perkebunan kelapa sawit. “Tindakan dan tuntutan harus dilakukan agar korporasi dapat diatasi dengan cepat. Agar tidak lebih banyak lagi masyarakat dan lingkungan yang menjadi korban atas tindakan korporasi ini,� ungkap Teguh Surya, Walhi Eknas. Tidak hanya gabungan Forum Masyarakat Sipil Indonesia yang menyatakan sikap untuk pemerintah dalam kegiatan pertemuan besar berskala nasional berlangsung di Medan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga telah menyatakan sikap yang harus ditempuh oleh pemerintah ke depannya. Dalam sikapnya, GAPKI mengambil lima poin penting, yaitu pertama, hentikan ekspansi sebelum perdebatan dan kisruh mendasar antara pendukung

Menyatakan : Konfrensi Alternatif Satu Abad Sawit Forum Masyarakat Sipil Indonesia menyatakan stop ekspansi sawit. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

3


Utama dan penolak bisnis sawit berhenti. Perdebatan apakah sawit emiter rumah kaca atau penyerap karbon yang baik harus dituntaskan. Oleh karena itu, rencana membuka lahan sawit seluas 20 juta hektare di Indonesia yang diproposalkan oleh para pengusaha yang tergabung dalam GAPKI harus dihentikan. Kedua, ketidakadilan agraria. Perkebunan sawit hanya dimiliki 17 perusahaan skala besar swasta dan 4 perkebunan BUMN dengan luas lahan antara 10 ribu hektare hingga 300 ribu hektare lahan sawit, sementara dari sekitar 47 juta jiwa petani di Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 HA. Ketidakadilan agraria ini harus dipecahkan kalau tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara korporasi dengan petani dan masyarakat lokal. Ketiga, perluasan para pihak dalam meja bundar industri sawit, tidak hanya pebisnis plus segelintir elit LSM, seperti yang ada di RSPO saat ini. Buruh, petani dan masyarakat adat, harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap keputusan yang berhubungan dengan mereka, atau dikenal dengan prinsip Free Prior and Informed Consent. Selain itu, diperlukan governance yang baru yang melibatkan para pemerintah lintas-negara, tidak hanya sektor pebisnis lintas negara seperti RSPO, setidaknya para produsen besar sawit seperti Indonesia, Malaysia, Colombia, Nigeria, dan Thailand, serta konsumen besar seperti China, India, Eropa, dan Amerika.

Keempat, studi tentang dampak sawit tidak hanya di hilir, seperti masalah perkebunan, perburuhan dan hutan, tetapi diseluruh rantai produksi-konsumsi yang meliputi trans negara untuk melihat secara lengkap dampak industri sawit. Kelima, perlu aksi afirmatif perlindungan terhadap kelompok rentan. Ekspansi sawit bukan hanya persoalan pohon monokultur, tetapi budaya dan cara berfikir monokultur, kapitalisme. Menahan laju ekspansi sawit berarti melindungi otonomi lokal, produksi pangan lokal, model sosial lokal, dan pengetahuan lokal. Ketua Komite Eksekutif, Konferensi Nasional Seabad Sawit, Saurlin Siagian mengatakan bahwa sawit dalam bingkai yang utuh, diperlukan untuk mengetahui secara jujur dampaknya kepada semua pihak. Benar bahwa perkebunan sawit telah menjadi ladang dollar. Tetapi keterlaluan jika disebutkan sawit tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan petani subsitensi. “Hanya dengan nalar umum saja, perkebunan monokultur di mana pun pasti merusak keanekaragaman hayati, ditambah sawit pohon berakar serabut yang tidak bisa menahan air, dan mencemari air dan kehidupan sungai. Untuk itu, beberapa butir pikiran penting sebagai jalan keluar disampaikan dalam kegiatan ini,” tutur Siagian. Sumber: www.medanbisnisdaily.com/ www.bakumsu.or.id

Tolak ekspansi sawit : Gerakan Masyarakat Sipil tolak perluasan sawit ribuan hektar karena merugikan rakyat. 4

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Utama

Ekspansi Sawit Mengatasnamakan Kemiskinan Ekspansi sawit mendapat dukungan lembaga keuangan internasional yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi krisis ekonomi, pengangguran, dan pengentasan kemiskinan di pedesaan. INVESTASI korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat dan pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas. Sementara para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam GAPKI hanya ingin merampas dan menguasai sumber-sumber agraria. Pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya mendapatkan perlindungan yang maksimal. Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa dalam 100 hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh. Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif, terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (agrofuel). Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta t

i

n

g

g

i

n

y

a

p

e

r

m

i

n

t

a

a

n

p

a

s

a

r

g

l

o

b

a

l

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

hektar, dengan komposisi ke pemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan dari 20 bank besar di dunia antara lain Bank Dunia (World Bank), dan Asian Development Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan, air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat. George Yunus Aditjondro mengatakan bahwa menilai perkebunan sawit selama ini telah menimbulkan polusi udara dan izin selalu diberikan oleh pemerintah. “Selama ini pengusaha sawit selalu meminta izin penggunaan lahan terhadap pemerintah daerah, yang ternyata dilindungi oleh presiden,� ungkap George. Penelitian tentang situasi perburuhan yang memprihatinkan di perkebunan sawit telah dilakukan. Studi-studi awal yang dilakukan Karl Pelzer, Jan Breman, hingga terbaru Ann Stoler, membuktikan kelestarian sistem perbudakan di perkebunan-perkebunan di Sumut. Bentuk poenale sanctie modern di perkebunanperkebunan sawit di Sumatera masih bisa dijumpai dalam kebijakan-kebijakan BKSPPS, sebuah organisasi koordinasi perkebunan perkebunan di Sumatera yang menetapkan keputusan-keputusan strategis mengenai perburuhan, di luar kebijakan pemerintah dan hukum nasional. Kondisi lebih buruk terhadap buruh perkebunan justru terjadi di era reformasi ini. Buruh kehilangan jaminan-jaminan sosial klasik yang pernah diterapkan 5


Utama seperti catu 11, dan terdegradasi menjadi buruh kontrak, hingga outsourcing yang tidak memiliki jaminan sosial dari perkebunan-perkebunan. “Studi Perhimpunan KPS, memperkirakan, dari 236.000 buruh di perkebunan kelapa sawit di Sumut, terdapat setidaknya 80.000 buruh harian lepas (BHL) yang bergaji cash kurang dari dua euro per hari, tanpa tambahan jaminan sosial lainnya,” Ketua Komite Eksekutif Konferensi Nasional Seabad Sawit, Saurin Siagian saat kegiatan perayaan 100 Tahun Perkebunan Sawit di Indonesia oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Ini berlangsung 28-30 Maret 2011, dengan tema “Sawit Sahabat Rakyat”. Selain itu, studi yang sama memperkirakan terdapat 68.000 orang buruh “pengutip brondolan” atau dikenal dengan istilah kernet yang bergaji hanya sekitar satu euro per hari. Kondisi buruk ini masih berlangsung di perkebunan-perkebunan tua yang sering disebut sebagai “benchmark” seperti PT Socfindo, PT Tolan Tiga-Sipef Group, PTPN III, dan PT GDLP-SLJ yang berhubungan dengan PT BSP. “Jika di perkebunan yang disebut sebagai “benchmark”, kondisi buruh memprihatinkan, apalagi di puluhan perkebunan-perkebunan lainnya di Indonesia,” tutur Siagian. Praktek Kuli Kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL)

dan tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang proses produksi perkebunan. Masyarakat lokal sendiri tidak mendapat keuntungan yang banyak dari sektor produksi baru ini. Harga-harga sewa tanah jauh di bawah harga pasaran yang sebenarnya. Untuk mendapatkan izin penggunaan tanah, masyarakat dijanjikan dengan pendirian sekolah-sekolah, pengadaan listrik dan rumah baru janji-janji yang jarang sekali ditepati. Banyak penduduk yang tidak mengerti dengan apa yang telah ditandatanganinya, bahkan tidak tahu, sejauh mana dan resiko apa saja yang bisa terjadi dengan pemberian tanda tangan mereka tersebut. Perusahaan-perusahaan yang bekerja dengan cara seperti ini menjalin hubungan yang sangat erat dengan para politisi dan penguasa lokal, sehingga penduduk biasa tidak akan berdaya sama sekali melawan perluasan perkebunan sawit. Konflik berikutnya yang muncul adalah tingginya arus pendatang. Penanaman kelapa sawit adalah suatu proses kerja yang sangat intensif. Untuk lahan seluas seribu hektar dibutuhkan sekitar 350 pekerja (World Bank 2010: 28). Saat ini Provinsi Papua memiliki sekitar 2,9 juta penduduk. Seandainya

Hak buruh : Para buruh terus menyuarakan hak-haknya agar perkebunan memikirkan nasib mereka yang tidak punya jaminan sosial karena masih berlakunya sistem buruh kontrak. 6

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Utama perkebunan kelapa sawit benar-benar akan dikembangkan seluas 5 juta hektar, maka untuk itu akan dibutuhkan sekitar 1,75 juta tenaga kerja yang sebagian besar harus didatangkan dari daerahdaerah lain di Indonesia. Akibatnya akan menambah ketegangan yang memang sudah ada di antara penduduk asli dan para pendatang. “Berdasarkan perkiraan, terdapat hampir 3 juta orang di Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit,” tutur ketua KPS, Drs. Manginar Situmorang, Msi. “Di samping pekerja tetap, terdapat pekerja musiman atau pekerja harian yang direkrut untuk perkebunan-perkebunan tersebut. Banyak di antara mereka yang bekerja dalam kondisi kerja yang sangat buruk, terutama para pekerja perempuan. Seringkali upah yang dibayarkan di bawah rata-rata upah minimum yang telah ditetapkan. Selain itu, pemakaian pupuk dan pestisida sangat beresiko terhadap kesehatan para pekerja yang biasanya bekerja tanpa memakai baju pelindung dan tanpa

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

pengarahan yang memadai,” tambah Manginar. Banyaknya keuntungan yang diraup, namun dua kali lipat lebih banyak kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya, maka peringatan 100 tahun sawit di Indonesia lebih pantas disebut peringatan 100 tahun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Peringatan ini akan lebih pantas bila disebut Peringatan Satu Abad Kejahatan HAM di Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Ditambah, keuntungan komersialisasi sawit hanya menyenangkan kaum kapitalis dan pemilik modal. Para pekerja dan buruh harian lepas justru semakin tertindas dengan kurangnya jaminan kerja, eksploitasi, hingga masalah upah. Banyak pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang akan menimbulkan efek buruk ganda,” tegas Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim. Sumber: www.medanbisnisdaily.com/ www.iddaily.net

7


Utama

Kontroversi Kelapa Sawit di Indonesia INDUSTRI perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu topik perekonomian paling banyak diperbincangkan karena ekspansi industri tersebut kerap bergesekan dengan program pelestarian lingkungan. Kontroversi itu antara lain dapat dilihat dari tudingan LSM Greenpeace Asia Tenggara pada pertengahan 2010 yang menyatakan bahwa konsumsi CPO (minyak kelapa sawit) dan rencana penggunaan CPO untuk biofuel di pasar internasional telah mengakibatkan meluasnya penghancuran hutan dan gambut di Indonesia. Padahal, menurut LSM tersebut, Indonesia termasuk negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia, dan berada sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia. Salah satu perusahaan yang disinggung dalam laporan Greenpeace adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), salah satu perusahaan penghasil kelapa sawit terbesar di Tanah Air. Laporan Greenpeace mengenai produksi minyak kelapa sawit Smart itu juga telah mengakibatkan dua badan sertifikasi terkemuka di dunia, “Control Union Certification” (CUC) dan BSI Group, melakukan audit independen terhadap perkebunan proses produksi CPO milik Smart. Dalam membuat audit independen tersebut, CUC dan BSI juga dibantu oleh tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Audit yang dikeluarkan pada Agustus 2010 tersebut mengidentifikasi antara lain lebih dari 98 persen areal konsesi SMART tidak ditanam di atas lahan gambut dalam atau dengan kedalaman lebih dari tiga meter. SMART menyatakan, penanaman di atas lahan gambut dalam beberapa kasus bersifat insidentil dan disebabkan sukarnya mengidentifikasi lahan gambut dengan luasan yang kecil dan tersebar (sporadis). Selain itu, pihaknya menyatakan akan mengambil berbagai langkah perbaikan yang diperlukan termasuk memulihkan lahan serta berkomitmen tidak melakukan pengembangan di atas lahan gambut manapun. Perusahaan tersebut juga memaparkan, pada 2010 telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 140 ribu jiwa dan pendapatan rata-rata pekerja kebun sawit adalah sekitar 8 dolar AS per hari atau sekitar 2.800 dolar 8

per tahun. SMART mengaku telah menyediakan infrastruktur publik serta mendirikan 129 sekolah bagi 21.800 siswa dan telah memberikan sebanyak 2.455 beasiswa perguruan tinggi. Pengembangan industri hilir Selain permasalahan lingkungan, industri kelapa sawit juga dinilai sejumlah pihak belum diberikan insentif yang besar khususnya bagi pengembangan industri hilirnya. “Pemerintah harus memberikan insentif untuk pelaku usaha yang bermain di sektor hilir sawit,” kata Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih. Ia mengemukakan, berbagai bentuk insentif itu adalah seperti keringanan pajak dan juga kemudahan dalam pengurusan bea masuk bagi berbagai alat-alat yang akan digunakan untuk mengembangkan industri hilir sawit. Menurut Jefri, hal tersebut akan bermanfaat antara lain agar lebih banyak pihak lagi yang mau mendirikan pabrik biodiesel sehingga selaras dengan keinginan pemerintah untuk memperbanyak penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Ia juga menegaskan apakah pemerintah berani untuk mencabut BBM bersubsidi karena hal itu dinilai juga akan membuat lebih banyak warga yang beralih menggunakan bahan bakar seperti biodiesel. Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Agro Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Priyo Atmaji dalam lokakarya nasional tentang kelapa sawit di Jakarta awal November 2010 juga mengemukakan, masih terdapat banyak permasalahan yang membayangi industri sawit yang perlu ditangani. “Seperti masalah terkait lingkungan, kesehatan dan sosial budaya serta kurangnya kemampuan nasional dalam hal pengembangan industri turunan sawit,” katanya. Priyo juga mengatakan, pengembangan produk hilir sawit sangat membutuhkan sinergi antara lembaga riset, industri, institusi finansial, dan pemerintah. Sinergi tersebut, lanjutnya, sebaiknya direalisasikan dalam kerangka Sistem Inovasi BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Utama Nasional (SIN) untuk dapat menghasilkan inovasi yang memperkuat daya saing industri sawit. Data lembaga independen internasional Oil World 2010 menyebut Indonesia menghasilkan 47 persen produksi minyak kelapa sawit yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia sehingga menjadi negara produsen nomor satu di dunia. Setelah Indonesia, menurut Oil World, negara yang berada di posisi kedua adalah Malaysia dengan produksi 39 persen minyak kelapa sawit global. Negara lain yang juga banyak memproduksi kelapa sawit adalah Nigeria, Thailand, Kolombia, Ekuador, Papua Nugini, Pantai Gading, dan Brazil. Data Oil World juga menyebutkan, sekitar tiga perempat dari seluruh produksi minyak kelapa sawit itu ditujukan sebagai komoditas ekspor. Pada 2010, produksi kelapa sawit global diperkirakan mencapai 46 juta ton dengan total area yang digunakan untuk menanam kelapa sawit di seluruh di dunia diperkirakan mencapai 12 juta hektare, sebagian besar berlokasi di Indonesia dan Malaysia. Tidak hanya pengembangan industri hilir yang menjadi kendala. Dekan Fakultas Pertanian UMSU, Ir Alridiwirsah MM mengatakan, luasnya lahan kelapa sawit akan merangsang kemiskinan masyarakat di sana. “Perluasan sawit tidak akan menciptakan perubahan signifikan pada kehidupan rakyat, melainkan menambah beban bagi masyarakat hasilnya ekspansi sawit rangsang kemiskinan,”sebutnya. Untuk menghempang ini, peran pemerintah dibutuhkan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), menyebarkan teknologi pertanian, mengajak masyarakat ikut melestarikan alam dan mengembangkan padi tanah air asin. Ketua Umum Ikatan Labuhan Batu (IKLAB). Ir Subahri Ritonga MM mengatakan, infrastruktur merupakan fasilitas yang harus ditingkatkan jika ingin meningkatkan sisi perekonomian. ISPO Pemerintah Indonesia juga sedang menyiapkan “Indonesian Sustainable Palm Oil” (ISPO) yang akan menjadi panduan bagi pengembangan kelapa sawit berkelanjutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berada di Tanah Air. “Indonesia sedang menyiapkan `guidance` (panduan) pengembangan kelapa sawit berkelanjutan yang didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia,” kata Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian, Mukti Sarjono. Menurut Mukti, karena didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ISPO akan menjadi semacam “mandatory” (keharusan) bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

Ia memaparkan, tujuan ISPO adalah meningkatkan kepedulian pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan, meningkatkan tingkat kompetisi minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia, dan mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. “ISPO merupakan bukti kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia sekaligus bukti kepedulian pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan,” katanya. Sementara itu, Ketua Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto mengatakan, pembuatan sertifikasi ISPO tidak dimaksudkan untuk menyaingi sertifikasi sejenis seperti yang telah dibuat oleh RSPO. Sedangkan Komisaris Utama PTPN V (Persero) Maruli Gultom dalam sejumlah kesempatan mengemukakan, keberadaan RSPO pada saat ini dinilai kurang dirasakan manfaatnya bagi industri kelapa sawit nasional. “RSPO sudah menjelma sebagai `superbody` yang mengatur dan mengawasi dunia perkelapasawitan. Ini hanya akal-akalan pemburu rente,” katanya. Menurut Maruli, potensi dana yang bisa dihimpun oleh forum meja bundar ini sangatlah besar antara lain berasal dari penghasilan tetap dari iuran wajib dan rutin dari seluruh anggotanya. Selain RSPO,

9


Utama perihal ketentuan internasional lainnya terkait kelapa sawit yang juga turut memicu kontroversi adalah terkait dengan dokumen “Letter of Intent” (LOI) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, terkait dengan pelaksanaan moratorium konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun di Indonesia. Dalam dokumen LOI disebutkan bahwa penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun yang rencananya akan dimulai pada Januari 2011. Selain itu, disebutkan pula, peluncuran program uji coba provinsi REDD + (pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan plus) yang pertama dimulai pada Januari 2011, yang dilanjutkan dengan uji coba REDD+ untuk provinsi kedua pada tahun 2012. Mulai Januari 2011 juga telah dioperasikan instrumen pendanaan oleh pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014. Hati-hati Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengutarakan agar pemerintah bersikap hati-hati dengan kebijakan yang terkait dengan perkebunan sawit di Indonesia. Selain itu, ujar dia, terdapat sebanyak 2,8 juta keluarga atau sekitar 10 juta orang yang kehidupannya tergantung kepada

10

perkebunan kelapa sawit. “Ini penting karena berkaitan pula dengan program pemerintah yaitu pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran,” katanya. Ia mengkritik penerapan “Letter of Intent” (LOI) antara Indonesia dan Norwegia antara lain karena LOI tersebut memiliki banyak prakondisi seperti harus dibentuk mekanisme keuangan yang disepakati kedua belah pihak (Indonesia dan Norwegia). GAPKI juga mempertanyakan isi LOI yang menyinggung tentang hutan terdegradasi dan lahan terlantar, tetapi pengaturan mengenai hal itu tidak terdapat dalam draft Peraturan Presiden tentang Moratorium yang rencananya akan menjadi dasar hukum bagi penerapan LOI tersebut di Indonesia. Sementara itu bagi pengusaha, sebenarnya yang diperlukan dalam industri perkebunan kelapa sawit adalah soal kepastian, seperti mengenai tata ruang kehutanan. Untuk itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi, mengatakan, pemerintah seharusnya mempercepat penyelesaian persoalan peraturan tata ruang sektor kehutanan agar industri kelapa sawit dapat terus berkembang. “Pemerintah cepatlah menyelesaikan persoalan tata ruang sehingga ada kepastian hukum untuk berinvestasi di sektor kehutanan,” kata Sofyan.

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Utama Menurut Sofyan, saat ini persoalan tata ruang menjadi tidak jelas sehingga para pengusaha di sektor kehutanan termasuk kelapa sawit menjadi korban dari ketidakjelasan prioritas yang dilakukan oleh pemerintah. Ketua APINDO menegaskan, pihaknya setuju dengan program lingkungan, tetapi seharusnya yang lebih diprioritaskan oleh pemerintah adalah dalam hal menanggulangi permasalahan kemiskinan dan jumlah pengangguran di Indonesia. “Jangan sampai ini mematikan industri kelapa sawit yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian kita di masa depan,” katanya. Konflik meningkat Konflik agraria atau kriminalisasi yang terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit, berikut warga yang menolak perkebunan kelapa sawit pada 2010 meningkat dua kali lipat dibandingkan 2009. Jumlah konflik diperkirakan akan semakin bertambah pada 2011 karena pembukaan hutan yang besar-besaran dan tumpang tindih izin lokasi dengan hutan ulayat masyarakat. Kepala Departemen Mitigasi Lingkungan dan Sosial Sawit Watch Norman Jiwan menyatakan, sepanjang 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit.

“Sepanjang 2009, jumlah konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit hanya berkisar 240 kasus. Kriminalisasi warga yang terlibat konflik naik dari 112 orang pada 2009 menjadi 130 orang lebih pada 2010,” kata Norman. Dalam laporan Walhi berjudul Bisnis EkologisMerasa Benar di Jalan Sesat disebutkan, sepanjang 2010 terjadi 79 kasus pencemaran lingkungan yang mencemari 65 sungai di Indonesia. Pencemaran tersebut didominasi perkebunan kelapa sawit dan industri pertambangan. Walhi menyatakan, 25 kasus pencemaran dilakukan industri pertambangan, sementara 22 kasus pencemaran dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit. Menurut Walhi, dari kasus tersebut, hanya 20 pencemar dan perusak yang diproses hukum. Dalam 14 kasus, terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Sementara dalam satu kasus terdakwa dinyatakan terbukti bersalah tetapi divonis percobaan. “Kami memperkirakan jumlah kasus pencemaran akan bertambah 50-70 persen pada (*) t

a

h

u

n

2

0

1

1

,

k

a

t

a

M

u

k

r

i

.

Sumber : www.medanbisnisdaily.com www.antaranews.com

dan

Sawit sama dengan bencana : Pernyataan sikap atas dampak sawit yang timbul mengakibatkan bencana disampaikan beberapa koalisi NGO di Medan bebrapa waktu yang lalu. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

11


Advokasi Pernyataan Bersama :

Lestarikan Kejahatan Perkebunan Kelapa Sawit? PADA tanggal 7-8 November 2010, bertempat di Jakar ta, sebanyak 25 perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok korban dari tiga region yakni, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, telah menyelenggarakan suatu lokakarya untuk membahas dampak dan praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang beroperasi di region te r s e b u t . L o k a k a r y a i n i diselenggarakan sebagai respon terhadap berlangsungnya forum Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang ke delapan, suatu mekanisme pengembangan kerangka kerja pengaturan dan prosedur untuk mewujudkan praktik perkebunan kelapa sawit yang lestari. Pernyataan bersama ini merupakan rekomendasi dari lokakarya dimaksud, yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan tanggung jawab negara untuk mewujudkan mekanisme pertanggungjawaban yang memadai terhadap kejahatan korporasi dan pelanggaran HAM, yang terkait dengan operasi perusahaanperusahaan baik lokal, nasional maupun internasional, serta mendesak perusahaanperusahaan tersebut, segera melaksanakan kewajibannya, untuk menghormati HAM dalam operasinya di bidang perkebunan. Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga tahun 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luasan 12

perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Akan tetapi, ekspansi tersebut, justru sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup. Berdasarkan proses diskusi yang mendalam selama lokakarya, kami mencatat bentuk-bentuk pelanggaran HAM mendasar, dimana: 1. Dalam melakukan ekspansi p e rk e b u na n , p er u s a ha a n perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan. 2. Publik pun terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup, akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Pada umumnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dikelola oleh perusahaanperusaahaan besar, tidak memenuhi standard Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mayoritas AMDAL perusahaan perkebunan hanya menduplikasi dari wilayah perkebunan satu, ke perkebunan lainnya. Dalam

operasionalnya, perusahaan perkebunan pun jarang sekali m ent aat i st andar-st andar l i n g k u n g a n y a n g dipersyaratkan. 3. T i d a k h a n y a k e p a d a masyarakat, perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit. 4. B e r a n e k a m a c a m t i n d a k intimidasi dan kekerasan tak jarang dialami oleh para pekerja HAM dan pegiat lingkungan, ketika sedang melakukan kerja-kerja pendampingan dan pengorganisiran terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan, untuk mempertahankan hak-haknya dari jarahan perusahaan, dan buruh perkebunan, untuk menuntut haknya pada perusahaan. 5. A p a r a t p e m e r i n t a h d a n institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, banyak yang ditindaklanjuti aparat dengan penangkapan dan penahanan, bahkan hingga pengajuan ke pengadilan. Ketimpangan dalam kepemilikan, dan sentralisasi

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi pengelolaan sumberdaya alam, tidak pernah dilihat aparat negara sebagai latar belakang munculnya konflik. 6. Situasi demikian tentu sangat tidak menguntungkan bagi sebagian besar petani, masyarakat adat, buruh, dan masyarakat umumnya, ketika hak-hak hidup dan penghidupan mereka dirampas oleh perusahaan. Hakhak mereka untuk mengembangkan diri, demi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, diinjak-injak oleh perusahaan. Tanah sebagai sarana utama penghidupan mereka, dijarah oleh perusahaan perkebunan, dan sayangnya pemerintah senantiasa melegitimasi perilaku sewenang-wenang perusahaan terhadap petani. 7. P e m e r i n t a h b e r k u a s a nampaknya kian jauh mengingkari tujuan awal didirikannya negara ini, yang salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Niat baik untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak pernah diikuti dengan pengawasan yang memadai, terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya, yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia. Dengan seluruh penderitaan dan kesamaan rasa ketertindasan, menyikapi situasi yang terus berkembang, yang tak pernah berpihak pada petani, masyarakat adat, dan buruh perkebunan, kami para korban dan pendamping korban pelanggaran kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perilaku sewenangwenang negara, mendesak:

1. P r e s i d e n R I , u n t u k menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan lingkungan terhadap perusahaan perkebunan. 2. P r e s i d e n R I , s e g e r a menyelesaikan konflik-konflik Pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh. 3. P e m e r i n t a h p u s a t , memerintahkan pejabatpejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. 4. Komisi Nasional HAM, segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di : a. PT. PP London Sumatra In d o n e s i a T b k K e b u n Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai; b. PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu; c. PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang; d. PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas; e. PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur; f. PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi; g. PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel h. PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng i. PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan,

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

Kalteng; j. PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng; k. P T. S a n j u n g M a k m u r, Bulungan Kaltim; l. PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar. 5. Forum RSPO, memerintahkan anggotanya untuk segera menyelesaikan konflikkonflikpertanahan, antara mereka dengan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan. 6. Forum RSPO, secara serius menegakkan standar-standar, prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit lestari, khususnya menjamin diterapkannya standar dan prinsip HAM yang berlaku universal dan mengikat perusahaan. 7. F o r u m R S P O , m e m b u k a seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam penentuan standar akreditasi, dan penyelesaian konflik perusahaan dengan masyarakat. 8. Perus ahaan perk eb unan, untuk menghentikan seluruh tindak pelanggaran hak asasi, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan. 9. Perusahaan perkebunan, menghentikan seluruh praktik perbudakan di perkebunan. 10. Perusahaan perkebunan, untuk lebih menghormati hukum adat yang berlaku di m a s y a r ak a t , d a n me n g e m b a l i k a n h a k - h a k masyarakat adat yang selama ini dirampas oleh perusahaan. 11.Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan institusi peradilan), untuk lebih berpihak pada kelompok rentan, dan tidak menjadi kaki tangan perusahaan untuk menekan dan memidanakan 13


Advokasi m a s y a r a k a t . Te r m a s u k melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabatpejabat negara yang dididuga terlibat dalam praktik-praktik korupsi sehingga memunculkan adanya operasi perkebunan yang ilegal. 12.DPR, turut serta secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit, melalui pengawasan melekat terhadap Kementrian Pertanian, yang seringkali tidak berpihak pada petani.

13.Mahkamah Konstitusi, segara membatalkan ketentuanketentuan dalam UU No. 18 Ta h u n 2 0 0 4 t e n t a n g Perkebunan, yang tidak berpihak pada petani dan sering menjadi instrumen untuk mengriminalisasi petani. 14.L e m b a g a k e u a n g a n internasional terutama Bank D u n i a d a n A D B , segeramenghentikan dukungan finansial kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan kejahatan hak azasi manusia dan lingkungan hidup.

Jakar ta, 8 November 2010 Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan: ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA,Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our BorneoKalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, FormaskuJambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim Sumber: demosindonesia.org

Tindakan Arogan PTPN II Kesaksian Petani BPRPI NUKMAN Hakim Lubis (45) pengelola lahan di Jl Pasar X, Desa Saentis-Sei Jernih Kec Percut Sei Tuan, dengan Luas Lahan 300 Ha. Tanah tersebut kami tanami jagung, cabe, kacang, pisang, dan tanaman palawijah lainnya. Di Lahan tersebut menjadi penghasilan saya satu-satunya. Dengan penghasilan sekitar Rp 450.000, (empat ratus lima puluh ribu rupiah) sebulan. Bahwa pada tanggal 03 Maret 2009 datang sekelompok orang yang mengatas namakan PTPN II Perkebunan Sampali datang ke areal yang kami kelolah dan melakukan pengerusakan terhadap tanaman, pembakaran terhadap kantor sekretariat BPRPI Sei Jernih, dan melakukan pemukulan terhadap sudara Rajali. Serta melakukan penjarahan terhadap tanaman dan alat-alat pertanian kami. Atas kejadian itu saya dan anggota BPRPI lainnya telah melaporkan perihal tersebut kekantor Polsek Percut Sei Tuan yang diterima oleh Kapolsek. 14

Namun saat itu dengan alasan keterbatasan wewenang maka Kapolsek menyuruh kami membuat laporan ke Poltabes MS. Selanjutnya anggota Polsek Sei Tua membawak saya dan anggota BPRPI Lainnya ke POLTABES MS. Sampai di kantor Poltabes Kami diterima oleh R Sihotang (Juru Priksa). Pada saat itu R Sihotang tidak menerima laporan kami, dengan alasan tidak membawa bukti asli tentang alas hak lahan. Maka pada tanggal 04 Maret 2009, saya bersama anggota BPRPI lainnya datang kembali ke Kantor POLTABES MS dengan membawa AKTEPAN KONSENSI yang merupakan alas hukum kami m engelolah lahan t ers eb ut . Namun pada saat itu R.Sihotang juga tidak mau menerima dan menindaklanjuti laporan kami. Puncak arogansi berupa tindak kekerasan pada anggota BPRPI terjadi pada tanggal 30 April 2009 sekitar jam 08.30 WIB kelompok yang mengatasnamakan PTPN II Perkebunan Sampali yang

dipimpin oleh Dasopang Alamat Komplek Lapangan Desa Sampali, kembali mendatangi lahan yang kami kelolah tanpa seizin kami, m erek a melak uk an pengerusakan tanaman, pembakaran Kantor sekretariat, penjarahan terhadap tanaman, te r n ak , a l at - a l a t p e r t a ni a n , perlengkapan ibadah. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan pemukulan terhadap saudara Amsari (36 tahun) Albani (21 tahun) Rosidin (48 Tahun), Hamdani (30 tahun). M. Ujir (46 tahun), Mak ulup (40 tahun). Nabsia (38 tahun). Fitriani (35 tahun). Nurisa (62 tahun) dan Nurma (58 tahun). Dan sesungguhnya atas kejadian tersebut saya mengalami kerugian sebesar Rp 5.000.000 dan kerugian non material yang lain. Tentu saja tindakan arogan dari Pihak PTPN II ini jelas melanggar HAM petani (BPRPI) dan sudah terbukti dengan jelas melanggar Pidana. Sumber: www.kpa.or.id

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi

Ekspansi Perkebunan, Rusak Hutan Ekosistem dan Konflik Berdarah LAJU ekspansi (perluasan) perkebunan sawit di Indonesia tak terbendung. Informasi yang dikumpulkan Harian Orbit, pengusaha perkebunan sudah mengangcangancang akan melakukan ekspansi seluas 20 juta hektar beberapa tahun ke depan. Padahal,ekspansi perkebuanan sawit kerap kali memicu konflik dengan masyarakat. Artinya, munculnya konflik antara perkebunan dengan masyarakat disebabkan pengusaha mencaplok lahan rakyat. Muncul permintaan, ekspansi perkebunan sawit dihentikan, karena selain mengurangi jumlah hutan, merusak ekosistem,

konflik berdarah dialami masyarakat tak urung selesai. Dioptimalisasi Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut Syahrul Isman Manik, ekspansi perkebunan sawit menimbulkan kerusakan fatal. Selain itu, perlu dibuat kebijakan yang memanfaatkan dan mengoptimalisasi kebun sawit yang sudah ada. Syahrul berharap, pemerintah harus peka terhadap masalah tersebut. Mengingat, rasa peka terhadap ekspansi sawit tersebut bisa diwujudkan dengan memanfaatkan lahan sawit yang telah ada.

Artinya, kata Syahrul, pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat untuk mengoptimalisasi lahan sawit tanpa harus melakukan ekspansi sawit menjadi lebih luas. Menurut Syahrul, solusi itu dianggap penting mengingat ekspansi sawit yang berdampak pada perambahan hutan secara luas. “Kebun sawit yang sudah ada harus dioptimalisasi. Jangan lagi melakukan perluasan kebun sawit yang berdampak pada perambahan hutan, merusak ekosistem serta konflik berdarah yang dialami masyarakat,” tegasnya. (Om-12) Sumber : www.harianorbit.com

Sumber masalah : Ekspansi lahan sawit menjadi akar masalah dengan banyaknya konflik sosial dan lingkungan. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

15


Advokasi

Impor Beras yang Menyengsarakan Petani DI satu sisi, petani dalam negeri kerap dipuji-puji oleh pemerintah sebagai salah satu pihak yang paling berjasa dalam hidup manusia. Kenyataan ini memang harus diakui. Bisa dibayangkan bila hidup manusia tanpa petani akan menghadapi kesulitan yang sangat berarti. Tanpa adanya produk pertanian yang merupakan kebutuhan pokok, khususnya dalam negeri, maka tentunya persoalan bangsa ini akan semakin runyam. Oleh sebab itulah, maka menjadi sangat beralasan bila petani dipandang sebagai salah satu profesi mulia. Karena berkat kerja kerasnya, maka kebutuhan manusian dapat terpenuhi. Lalu bagaimanakah sesungguhnya perhatian pemerintah terhadap petani? Sudahkah petani diberikan fasilitas yang memadai dalam rangka menunjang aktivitasnya? Atau jangan-jangan berbagai bentuk sanjungan itu justru hanya untuk memberikan keyakinan pada petani bahwa mereka b e na r - b e na r d i pe r h a t ik a n . Padahal sesungguhnya yang terjadi justru sebaliknya. Mereka hanya diperalat dan dipermainkan. Bahkan tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Bercermin pada kenyataan yang ada saat ini, barangkali tidak salah kalau sebutan petani sebagai orang yang sangat berjasa hanyalah akal-akalan pemerintah. Kendati pemerintah memiliki Badan Urusan Logistik (Bulog), namun perannya tetap saja tidak mampu mengangkat dan melindungi nasib petani. Petani 16

tetap saja dikorbankan dan bahkan menjadi santapan para spekulan yang begitu sering mempermainkan harga-harga komoditas pertanian. Padahal Bulog adalah merupakan BUMN. Pada setiap BUMN, melekat visi dan misi sebagai agen pembangunan. Kita belum paham benar apakah fungsi sebagai agen pembangunan masih melekat pada BUMN kita. Pertanyaan ini relevan dikedepankan, mengingat mekanisme pengelolaan ekonomi negara sudah mengadopsi prinsipprinsip liberal. Jika Bulog (Badan Urusan Logistik) masih mempertahankan dan menjaga fungsinya sebagai agen pembangunan, ia mestinya bahkan wajib punya kepedulian tinggi terhadap masyarakat petani. Membingungkan Bulog menjadi bagian dari pembangunan pertanian dan masyarakat petani, dan sebaliknya pertanian dan petani menjadi bagian tak terpisah dari pembangunan Bulog itu sendiri. Sebaliknya, jika fungsi agen pembangunan itu sudah dihilangkan, pemerintah cq Bulog harus memberi penjelasan terbuka, agar Bulog tidak lagi dipaksa-paksa membeli beras petani kita. Peran Bulog sekarang ini memang sangat membingungkan. Publik tahu bahwa ada semacam kewajiban Bulog membeli beras petani, tetapi pelaksanaan kewajiban yang satu ini harus dipaksa-paksa. Bulog tampak tidak tulus menyerap beras petani.

Manajemen Bulog pun lebih sigap jika diajak bicara tentang impor beras dibanding menyerap beras dalam negeri produk petani kita. Dengan Kementerian Pertanian, Bulog pun tampak tidak harmonis. Padahal, penyeragaman persepsi dan rekonsiliasi konsep kedua lembaga ini tentang ketahanan dan swasembada pangan menjadi sebuah keniscayaan. Bulog yang memformulasi data tentang kebutuhan akan konsumsi beras, sementara Kementerian Pertanian akan memobilisasi potensi petani dan mengadopsi teknologi pertanian untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri. Harmonisasi konsep dan rencana kerja kedua lembaga itu sama sekali tidak terlihat. Bahkan publik selalu melihat kedua lembaga itu saling menyalahkan. Dengan berbagai alasan, termasuk alasan legal, Bulog te r k e s a n b e r u s a h a t i d a k menyerap beras petani kita. Alasan yang selalu dikemukakan adalah kualitas beras petani kita yang tidak memenuhi standar. Dengan alasan sesederhana itu, Bulog lalu membiarkan beras petani itu dikuasai para spekulan dengan harga murah. Baru-baru ini, Menteri Pertanian mengecam Bulog. Katanya, ketidakmampuan Bulog memenuhi target penyerapan beras/gabah 3,5 juta ton semata-mata karena kesalahan Bulog sendiri, bukan karena rendahnya produksi. Dia melihat Bulog hanya mencari-cari alasan untuk tidak menyerap beras petani. Memang, tahun lalu, Bulog hanya mampu menyerap 1,89 juta ton beras hasil

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi produksi petani, dari target penyerapan 3,2 juta ton. Menteri Pertanian kecewa karena tidak menyerap beras petani di bawah standar ketika memasuki panen raya Maret-Juni. Namun, ketika kualitas sudah sesuai standar, harga sudah tinggi karena beras di pasar dalam negeri juga tidak lagi melimpah. Itulah bukti betapa kedua lembaga itu sama sekali tidak harmonis. Keduanya begitu egosektoral, sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka lupa bahwa fokus pelayanan mereka adalah rakyat. Rakyat dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai konsumen, tetapi juga produsen. Masyarakat petani kita adalah produsen itu. Jika Bulog melaksanakan fungsinya sebagai agen pembangunan, dia harus profesional. Konsekuensinya, tidak ada alasan untuk menghindar dari kewajibannya membeli beras petani demi kemakmuran dan

kesejahteraan petani. Selain itu, profesionalisme Bulog juga harus ditunjukkan dengan kemampuannya mengelola harga beras di pasar dalam negeri agar semua elemen rakyat mampu membeli beras. Kalau negeri agraris ini harus impor beras untuk memenuhi kebutuhan rakyat, Bulog tak boleh lari dari tanggung jawab, Bulog harus memikul sebagian kesalahan dalam pembangunan pertanian kita. Kesalahan Bulog sebagai agen pembangunan adalah tidak profesional menyikapi beras petani kita. Impor beras hanya menguntungkan sedikit oknum, tetapi bisa mematikan petani Indonesia. Lalu mengapa bangsa kita masih saja ngotot melakukan impor beras. Tidakkah pemerintah melalui Bulog peduli dengan nasib petani di negeri sendiri? Bukan hanya dalam persoalan harga hasil pertanian

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

yang menjadi persoalan yang dihadapi petani. Namun menyangkut berbagai kebutuhan pertanian seperti pupuk dan obatobatan pertanian tetap saja menghadapi masalah. Maka tidak mengherankan bila sampai detik ini petani kita tidak pernah merasakan kesejahteraan kendati sudah setengah mati dalam mengolah lahan pertaniannya. Sudah saatnya pemerintah menghentikan impor beras dan segera beralih menghargai hasil pertanian dalam negeri dengan memberikan jaminan harga yang lebih memadai. Jangan pula petani dibiarkan menghadapi sendiri berbagai gempuran para spekulan yang sering mempermainkan petani selama ini.* Hardy Mas :Pengamat sosial kemasyarakatan, tinggal di Kota Medan Sumber: Harian Medan Bisnis

17


Advokasi

Kebulatan Tekad Mengatasi Kemiskinan dan Kelaparan TANGGAL 28 Oktober 2010 lalu, saat memperingati hari pangan se-dunia (HPS 2010) di Wisma Amerta Perbaungan, Serdang Bedagai berkumpul berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari instansi pemerintah, legislatif, akademisi, lembaga penelitian, organisasi nonpemerintah (LSM/NGO), serikat nelayan, serikat tani, organisasi perempuan, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, masyarakat adat mendeklarasikan kebulatan tekad yang diberi julukan “Deklarasi Serdang Bedagai, Bersama Menurunkan Kerawanan Pangan, Kemiskinan serta Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sumatera Utara”. Isi deklarasi tersebut adalah program bersama yang perlu diwujudkan secara nyata, saling mendukung, dan menguatkan: 1). Mencukupi kebutuhan pangan sebagai perwujudan hak azasi setiap manusia yang dijamin oleh Undang-Undang. 2). Memfasilitasi pengembangan lumbung pangan masyarakat, cadangan pangan pemerintah, pasar tani dan upaya lainnya untuk melindungi produk petani. 3). Meningkatkan nilai tambah produk petani sehingga memiliki kemanfaatan gizi yang lebih luas dengan tetap memperhatikan mutu dan keamanan pangan yang dikonsumsi. 4). Mempermudah akses terhadap sumberdaya lahan dan dukungan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan. 5). Melakukan pengelolaan air secara lestari dalam upaya peningkatan produksi pangan masyarakat. 6). Mengelola sumberdaya alam dan sosial secara bijak untuk 18

meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. 7).Mendorong penyampaian informasi pasar dan pengembangan infrastruktur untuk mendukung distribusi komoditas petani. 8).M e n g e m b a n g k a n s i n e r g i sumberdaya pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta masyarakat untuk menurunkan kerawanan pangan dan kemiskinan. 9).Mendorong seluruh elemen Pemerintah Daerah, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat untuk melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur (lahan terlantar) untuk menurunkan kerawanan pangan dan kemiskinan serta meningkatkan ketahanan pangan. Dan 10). Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan secara berkala. Di kabupaten Serdang Bedagai, deklarasi ini langsung mendapat sambutan baik dari pihak Pemkab Serdang Bedagai, sebagai pihak yang juga ikut menandatangani deklarasi tersebut pada acara HPS 2010, dengan tindaklanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama antara Badan Ketahanan Pangan Serdang Bedagai dengan Dinas, SKPD terkait dan BITRA Indonesia sebagai NGO. 7 Dinas dan SKPD yang bersepakat untuk bekerjasama tersebut antara lain; Ir. Hj. Rosmeli Nasution, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Serdang Bedagai, dalam hal ini bertindak atas nama Badan Ketahanan Pangan, Ir. Megahadi Kristianto, Kepala Dinas Pertanian dan Perternakan, Ir. Leli, I. A, Kepala Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Ir. H. Muhammad

Ramlan, M. Sc, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Ir. M. Taufik Batubara, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Drs. Amirullah Damanik, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pasar, Karno, SH, M. AP, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Koperasi, dan Wahyudhi, Direktur BITRA Indonesia. Dalam komitmen bersama ini, para pihak sepakat melaksanakan kerjasama untuk mengoptimalkan Peran Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menggerakan sarana dan prasarana pertanian, transfer teknologi komoditi, teknologi sosial dan ekonomi, teknologi pengolahan hasil dan pemasaran dalam memberhasilkan Gerakan Masyarakat Mandiri Pangan dan Swasembada Pangan, Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Desa Mandiri Pangan, dan Pembinaan Terpadu pada Kelompok Calon Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Termaktub dalam maksud dari kesepakatan bersama ini untuk menetapkan komoditi unggulan di Desa Binaan Gerakan Masyarakat Mandiri Pangan dan Swasembada Pangan, Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Desa Mandiri Pangan, dan Pembinaan Terpadu pada Kelompok Calon Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. 3 tujuannya adalah: 1. Meningkatkan keterpaduan perencanaan pengembangan komoditi unggulan (saprodi dan alsintan, PHT, panen dan paska panen, pengolahan hasil, sertifikasi produksi dan pemasaran hasil) di Desa Binaan,

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi pembinaan peran kelembagaan dan partisipasi masyarakat, transfer teknologi dari SKPD terkait kepada Penyuluh dan Petani. 2. Meningkatkan keterpaduan pelaksanaan kegiatan oleh SKPD terkait di Desa Binaan. 3. Meningkatkan keterpaduan pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian di Desa Binaan. 3 sasarannya: 1. Sasaran Desa Mandiri Pangan ditetapkan setiap tahun berdasarkan: a. Desa Rawan Pangan (minimal 30 % penduduknya termasuk RT miskin) berdasarkan data BPS; b. Memiliki potensi (SDA dan SDM) yang belum dikembangkan; c. Aparat desa dan masyarakat memiliki respon yang tinggi dan kesediaan menerima program yang diwujudkan dengan memberikan dukungan terhadap Desa Mandiri Pangan. 2. Sasaran Gerakan Masyarakat Mandiri Pangan (Gema Pangan) ditetapkan setiap tahun sebanyak 5 (lima) desa dengan kriteria: a. Desa/kelurahan miskin/ tertinggal/rawan pangan; b. Kelompok masyarakat miskin di desa/kelurahan. 3. Sasaran Kelompok Calon Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan adalah

kelompok yang dinamis yang mempunyai potensi untuk lebih maju dan berkembang dengan harapan apabila telah dibina dapat diajukan untuk memperoleh penghargaan ketahanan pangan serta dapat dijadikan contoh bagi kelompok lain dalam pembangunan ketahanan pangan. Ruang Lingkup Kegiatannya meliputi: 1. Penetapan komoditi unggulan di Desa Binaan. 2. Menetapkan kegiatan masingmasing SKPD sesuai tugas pokok dan fungsi untuk menangani permasalahan pengembangan komoditi unggulan (mulai dari hulu sampai hilir) di Desa Binaan. 3. Menampung kegiatan sesuai tugas pokok dan fungsi dalam RKA/DPA masing-masing SKPD. 4. Pelaksanaan dan pembinaan kegiatan SKPD secara terpadu yang dibicarakan dan dikoordinasikan dalam pertemuan penyuluh di Balai Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K). 5. Melakukan monitoring, evaluasi, dan pengendalian baik secara terpisah maupun secara bersama-sama dalam pertemuan Balai Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K), Posko, dan rapat Dewan Ketahanan Pangan. Untuk memicu diadopsinya

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

berbagai praktik terbaik (best practice) dari berbagai kegiatan masyarakat di desa untuk pangan maka perlu diberikan insentif berupa award atau penghargaanpenghargaan. Dalam kesepakatan disebutkan: 1. Bupati selaku ketua Dewan Ketahanan Pangan memberikan penghargaan kepada SKPD/ petugas/kelompok dan anggota masyarakat yang dinilai sangat berperan dalam memberhasilkan program ketahanan pangan. 2. Penetapan penerima penghargaan akan diatur tersendiri dan ditetapkan dalam keputusan Bupati. Dari segi pembiayaan dan sumber pembiayaan. Biaya yang diperlukan dalam memberhasilkan pelaksanaan kesepakatan bersama dibebankan kepada masing-masing SKPD (pihak yang bersepakat) bersumber dari dana APBN, APBD, dan atau sumber dana lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain Undang-Undang Negara, yakni; UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Juga peraturann Gubernur di tingkat propinsi; Pergubsu No. 25 Tahun 2009 tentang Pengembangan Gerakan Masyarakat Mandiri Pangan dan Swasembada Pangan, Pergubsu No. 41 Tahun 2010 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Kabupaten ini mempunya payung peraturan yang dijadikan pijakan untuk merajut kesepakatan bersama, peraturan tersebut antara lain; Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal Kabupaten Serdang Bedagai dan Peraturan Bupati Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembinaan Terpadu Desa Mandiri Pangan (Demapan), Gerakan Masyarakat Mandiri Pangan (Gema Pangan) dan Kelompok Calon Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan. (Isw) 19


Advokasi

Warga Kualanamu Terancam Kelaparan PULUHAN keluarga dari Pasar VI, Kualanamu di Kecamatan Beringin, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang masih bertahan di lahan Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, terancam kelaparan. Sebab, warga dilarang bercocok tanam di lahan bandara. Sugimin (55), warga Kualanamu, mengatakan, dalam surat dari Kantor Cabang Angkasa Pura II Bandara Polonia Medan dan Project Implementation Unit Pembangunan Bandara Kualanamu, disebutkan, larangan bercocok tanam hingga masa panen terakhir diterima sejak Februari lalu secara sporadis. Informasi yang berkembang, warga yang masih nekat bercocok tanam akan ditangkap. “Kami tidak bisa bertahan secara ekonomi kalau tidak boleh bercocok tanam. Mau makan apa?” tutur Sugimin. Menurut dia, lahan yang diusahakan warga sekitar 30 hektar. “Kami heran, proses relokasi masih dalam pembahasan, tapi mengapa ada perintah seperti itu,” kata dia. Pembangunan bandara yang akan menjadi pengganti Bandara Polonia itu terus berjalan untuk mengejar target penyelesaian proyek pada akhir 2012. Pembangunan mulai melebar ke area tempat puluhan warga masih bermukim. Kepala Seksi Hukum, Umum, dan Humas Project Implementation Unit PT Angkasa Pura II (Persero) Kualanamu, 20

Wisnu Budi Setianto, mengakui telah mengirimkan surat perintah pengosongan itu pada para petani penggarap, baik yang bermukim di luar lahan bandara maupun di dalam kawasan bandara sejak Desember lalu. “Kami masih memberi kelonggaran hingga masa panen,” kata Wisnu. “Ini adalah langkah untuk mensterilkan bandara. Tak mungkin saat beroperasi ada lahan pertanian di kawasan bandara,” lanjut Wisnu. Akan Bertahan Wisnu mengatakan, per 24 April, pembangunan bandara telah terealisasi 79,420 persen dari rencana 80,83 persen. Pembangunan parit bandara telah mengisolasi tiga keluarga yang masih bertahan dari para tetangganya. Selain itu juga telah dibangun pagar besi pengaman lalu lintas udara melintas

kampung. “Kami sudah tercabik-cabik secara budaya. Namun, kami tetap akan bertahan sampai pemerintah merelokasi ke tempat yang jelas hukumnya,” kata Sugimin. Relokasi warga sampai saat ini belum mencapai titik temu. “Sejak awal, kebijakan relokasi diambil alih oleh Muspida (Sumut) plus, tetapi hingga saat ini belum ada kepastian,” ujar Wisnu. Dalam catatan Kompas, pembahasan nasib para warga terjadi akhir Januari lalu di Kantor Gubernur Sumut. Namun, warga dilarang masuk untuk mengikuti rapat. Anggota Komnas HAM Syafruddin N Simelulue mengatakan, jangan sampai pelarangan justru kontra produktif terhadap langkah percepatan pembangunan bandara. (WSI) Sumber: Harian Kompas

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011 26 April 2011


Advokasi

Gerakan Sumut Sadar HAM Perkuat RANHAM Indonesia SALAH satu program utama saya di Medan adalah membangun Sumatera Utara (Sumut) sadar HAM, demikian disampaikan Baldwin Simatupang, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara (Kakanwil Kemenkumham Sumut) pada Diskusi HAM & Ranham Indonesia, 21 April lalu, di Aula Pengayoman lantai V Gedung Kanwil Kemenkumham Sumut. Bagi saya, membangun dan mewujudkan Sumut sadar HAM merupakan bentuk pengabdian dan kontribusi saya bagi daerah ini, di mana saya lahir dan dibesarkan. Setelah sekian lama saya bertugas di Jakarta, Ambon dan NTT, saya diamanahkan untuk kembali ke Medan memimpin jajaran Kemenkumham Sumut. Saat menjabat Kakanwil Kemenkumham Ambon, gerakan “Ambonku Sadar HAM” mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Begitu juga ketika saya bertugas di NTT, hal serupa saya la k u k a n d e n g a n g e r a k a n “Flobamoraku Sadar HAM.” Kedua hal itu termanifestasi sebagai bagian penting pencapaian kesuksesan programprogram pembangunan di daerah. Baldwin menegaskan, tujuan implementasi kewajiban negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 adalah mewujudkan budaya HAM Indonesia. Tentu saja, hal ini mencerminkan kebulatan tekad bersama untuk benar-benar mengartikulasikan kewajiban konstitusional tersebut dengan maksimal. Cermin diri Indonesia ini

patut kiranya didesiminasikan kepada seluruh komponen masyarakat di Indonesia, khususnya di Sumut. Gerakan Sumut sadar HAM sesungguhnya memperkuat realisasi Rencana Aksi Nasional HAM (Ranham) Indonesia. “Saya optimis gerakan ini akan mendapat respons dan dukungan positif dari seluruh jajaran Pemerintahan Propinsi Sumut,” tegas Baldwin. Diskusi ini dihadiri jajaran Kemekumham Sumut di a n t a r a n y a k a d i v . P em as yar a ka ta n , k ad i v. Administrasi, kabid. HAM dan UPT Kanwil Kemenkumham Sumut. Selain itu juga dihadiri unsur Pempropsu, Pemko Medan, Poldasu, kejaksaan, LSM dan perguruan tinggi. Narasumber lainnya, Majda El Muhtaj, Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) dalam paparannya berjudul “HAM, Pusham, Ranham dan Sadar HAM,” menegaskan, “saya menyambut baik dan mendukung gagasan mulia dari Pak Baldwin.” Dengan gerakan ini, komitmen kerakyatan Sumut akan bangkit dan secara bersama-sama diharapkan mampu melakukan langkah-langkah antisipatif dan konstruktif dalam upaya meminimalisir berbagai tindakan pelanggaran HAM di Sumut. Sungguh gerakan ini memberikan arti penting bagi kemaslahatan masyarakat Sumut. Begitupun, agar lebih implementatif dan bermanfaat bagi masyarakat, dibutuhkan indikator-indikator dalam mewujudkan hal tersebut.

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

Majda juga menyambut baik hadirnya gelombang ketiga Ranham Indonesia 2011-2014. Gelombang pertama Ranham Indonesia dimulai sejak 19982003. Gelombang kedua adalah tahun 2004-2009 berdasarkan Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004. Kini telah hadir gelombang ketiga Ranham Indonesia Tahun 2011-2014 berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2011. Yang ketiga ini jauh lebih tegas, lugas, rinci, sistematis dan terukur. Begitupun semuanya terpulang pada komitmen tindakan dari kita semua. Sebagai politik HAM Indonesia, Ranham Indonesia sesungguhnya adalah pijakan normatif dalam mewujudkan budaya HAM. Senafas dengan itu, gerakan Sumut sadar HAM yang digagas Pak Baldwin menjadi signifikan karena merupakan bentuk rekayasa cerdas dalam merealisasikan Ranham Indonesia 2011-2014, tambah Majda. Majda menegaskan, sebagai p e m a n g k u k e wa ji b a n ( d u t y bearer), pemerintah dan pemerintah daerah sejatinya mampu mengemban amanat konstitusi agar pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah benar-benar berpijak pada landasan normatif yang berkeadilan dan menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai HAM. Dengan demikian, internalisasi pendidikan HAM menjadi keniscayaan bagi seluruh pemangku kewajiban, demikian tegas Majda. (Rel/ Pusham Unimed) 21


Advokasi (Catatan Hari Air Sedunia, 22 Maret 2011)

Hak Rakyat atas Air Oleh : Launa, SIP.MM

DI Jakarta, miringnya banyak gedung bertingkat, munculnya rongga di gedung, dan banyaknya ruas jalan yang ambles adalah konsekuensi logis dari eksploitasi air tanah secara berlebihan dan te r u s - m e n e r u s , s e r t a m a k i n besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah. Dalam “Will Jakarta Be The Next Atlantis�, Nicola Colbarn menyatakan, jika pemanfaatan berlebihan tidak dapat dihentikan, dan pemerintah tidak menjalankan komitmennya terhadap penggunaan air tanah yang berkelanjutan, maka pada tahun 2030, Jakarta akan menjadi Atlantis kedua, tenggelam dan hilang (Kompas, 20/9/10). Di negeri ini, sejak awal tahun 1990-an, hak rakyat atas air kian suram seiring pelepasan pengelolaan negara atas sumberdaya air. Realitas ini terekam tegas dalam penerbitan Undang-Undang No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA) yang menggantikan UU No 11/1974 tentang Pengairan. Sejak UUSDA diberlakukan pada 19 Februari 2004 lalu, aroma privatisasi dan komersialisasi air di negeri ini kian terasa. UUSDA tak hanya memberi peluang bagi hadirnya privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (baik air tanah, air permukaan, maupun air sungai) secara komersial oleh badan usaha dan individu, namun juga penguasaan asing-seperti penyertaan modal Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sejak tahun 1998-atas 22

sumber daya strategis ini yang seharusnya berada di bawah pengelolaan negara. Privatisasi air adalah berpindahnya pengelolaan air baik sebagian maupun seluruhnya dari sektor publik kepada sektor swasta. Kurang lebih dua dekade terakhir ini, privatisasi air menjadi salah satu isu pembangunan yang paling kontroversial. Dampak turunannya, kini kian banyak negara di dunia yang berlomba membuat kebijakan privatisasi air.

Di Jakarta, proyek privatisasi air menyebabkan masyarakat miskin kian sulit mengakses air bersih. Tahun 2009, akses masyarakat terhadap air bersih baru mencapai 38 persen. Dari sisi tata kelola, merujuk hasil audit BPKP, dari 275 jumlah PDAM, hanya 103 (37,45 persen) PDAM yang sehat. Laporan yang disusun oleh UNESCAP, ADB, dan UNDP juga menunjukkan bahwa

Indonesia berada pada jalur yang lambat dalam pemenuhan target air bersih dan sanitasi dalam MDGs. Nalar Privatisasi Nalar privatisasi air berangkat dari logika “water right� yang bersumber dari tradisi hukum kepemilikan (property right). Nalar ini mengakui adanya hak kepemilikan manusia terhadap benda-benda tertentu, seperti hak atas tanah (right of land) dan hak atas air (right of water), yang bisa dimonopoli dan dapat dipertukarkan (tradable). Studi Vandana Shiva (Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, 2002) menunjukkan, logika privatisasi dan komersialisasi air bersumber dari gagagasan air sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Menurut Denis Soron (2006), komodifikasi adalah transformasi status dari barang milik bersama (yang penggunaannya ditentukan oleh prinsip-prinsip kebersamaan, keputusan demokrasi serta hak-hak publik), menjadi barang-barang yang dimiliki oleh perorangan atau badan swasta, yang dapat digunakan secara bebas, bersifat privat, dan berorientasi profit. Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia diprediksi akan mengalami kesulitan air. Angka ini diperkirakan akan merangkak naik menjadi 264 negara pada tahun 2025. Pada 2025, jumlah penduduk dunia yang kesulitan mendapatkan air bersih diperkirakan akan terus meningkat menjadi 2,3 miliar orang. Jumlah ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di hampir semua negara. Implikasinya, wabah penyakit

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi mematikan akan menjadi masalah masalah serius di negara-negara miskin. Saat ini, di negara-negara berkembang, tiap tahun tercatat tak kurang dari 2,2 juta orang meninggal karena diare, 1,1 juta karena malaria, 17.000 akibat penyakit cacingan, dan 15.000 akibat demam berdarah. Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menulis, bahwa pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentukan kesejahteraan hidup sebuah bangsa. Krusialnya, tak seperti minyak bumi, air merupakan sumberdaya yang tak tergantikan (unrenewable). Problem krisis air tak cuma dihadapi Indonesia, namun juga banyak negara miskin dan berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya 80 persen atau sekitar 168 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses layak atas air bersih. 300 PDAM yang diberikan hak mengelola air bersih bagi masyarakat dianggap tak mampu mengelola usaha secara efisen dan menguntungkan akibat administrasi yang buruk. Kendati hampir seluruh PDAM menerapkan pola pengelolaan air secara komersial, namun akibat manajemen yang buruk dan korup, PDAM mengaku terus merugi. Bahkan sejak tahun 2001 beberapa PDAM mulai menghentikan pengembangan saluran pipa ke sejumlah daerah yang sebenarnya sangat membutuhkan layanan air bersih. Atas dasar kondisi itu, Bank Dunia (BD) menawarkan kebijakan pengelolaan sumber daya air dengan total pinjaman (utang) diperkirakan mencapai 500 juta USD (sekitar Rp 4,5 triliun). Tawaran kucuran pinjaman BD sejalan dengan niat pemerintah Indonesia yang membutuhkan reformasi dalam pengelolaan sumber daya air. Berdasarkan kesepakatan itu, pada tahun 1998 Indonesia mengajukan program restrukturisasi sektor air bernama Water Resources

Sector Adjusment Loan (Watsal). Di balik pinjaman itu, BD meminta syarat agar pemerintah Indonesia menyiapkan regulasi tata kelola air (UUSDA No 7/2004) sebagai bagian dari syarat pinjaman program Watsal (tahap pertama) senilai 300 juta USD. Di sisi lain, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga tengah memproses pinjaman bagi Indonesia senilai USD 88 juta bagi proyek irigasi, 81,19 juta USD bagi layanan air bersih, dan 5,1 juta USD untuk proyek pengelolaan investasi Bendungan Citarum, serta program Manajemen Sumberdaya Air Citarum Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Program) dari Asian Development Fund senilai 30 juta USD. Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), jumlah utang berjalan Indonesia di sektor perairan kepada ADB sebesar 804.69 juta USD dengan perincian nilai proyek yang sudah berjalan adalah sebesar 114.69 juta USD dan nilai proyek yang sedang dalam proses persetujuan sebesar 690 juta USD. Adapun jumlah utang berjalan Indonesia di sektor air kepada BD adalah 762.51 USD juta. Reduksi Peran Negara Agenda privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air seperti termuat dalam UUSDA yang bersumber dari nalar hukum liberal jelas bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, dimana “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 2); serta “Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat” (Ayat 3). UUSDA nyata telah mereduksi posisi dan peran negara semata sebagai pembuat dan pengawas regulasi (regulator). Negara yang kini berfungsi sebatas regulator yang wajib menyerahkan pengelola air kepada pihak swasta dan modal

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

global jelas merupakan bentuk nyata dari praktik neoliberalisme. Ada banyak bukti di dunia, privatisasi air justru menambah masalah baru bagi rakyat dan pemerintah. Di Casablanca, Maroko, sejak proyek privatisasi air digulirkan harga air melonjak tiga kali lipat. Di Johanesburg, Afrika Selatan, pengelolaan air oleh Lyonnaise des Eaux (MNC’s Perancis), membuat konsumsi publik atas air menjadi tidak sehat, tidak bisa diakses semua orang, dan harga jualnya terus melangit. Di Ghana, kebijakan IMF dan Bank Dunia telah mendorong warga miskin mengeluarkan 50 persen dari pendapatannya untuk membeli air. Di Subic Bay, Philipina, sejak Manila menyetujui proposal privatisasi air dari ADB, harga air meningkat 400 persen; di Prancis harga air melonjak 150 persen; dan di Inggris harga air merangkak hingga 450 persen. Peran negara sebatas regulator jelas akan menghilangkan otoritas negara atas air. Negara dengan peran minimal tentu tak mampu memberi perlindungan pada kelompok-kelompok miskin dan rentan dalam mendapatkan akses air yang sehat dan terjangkau. Praktik neoliberalisme yang diusung rezim kapitalisme global, kini tak hanya mengincar minyak bumi, gas alam, batubara, dan sumber-sumber energi tak terbarukan lainnya, namun juga telah menjadikan air sebagai sasaran investasi, privatisasi, dan komersialisasi. Pertanyaannya, di mana kedaulatan negara dan hak rakyat jika semua sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (seperti air, pendidikan, kesehatan, lingkungan, energi, dan pangan) telah dikuasai swasta dan modal global? (#) * Launa, SIP. MM adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia, Redaktur Jurnal Sosial Demokrasi. Sumber : www.kabarindonesia.com

23


Advokasi

30 Tahun Kakek Ini Perjuangkan Air Bersih ke Warga APA yang dilakukan seorang kakek asal Situbondo, Jawa Timur, ini patut diacungkan jempol. Dia tanpa pamrih selama 30 tahun memperjuangkan air bersih bagi ratusan orang warga di Desa S u m b e r a nya r, Ke c a m a t a n Mlandingan, Situbondo, Jawa Timur. Iya desa tersebut terkenal paceklik air bersih karena kondisi alam yang tandus dan gersang. Apabila warga ingin mengambil air, mereka harus menempuh jarak berkilo-kilometer. Untung ada Hamid. Pria berusia 60 tahun ini tak kenal lelah setiap hari mengecek aliran air tersebut agar tidak tersumbat oleh kotoran. Dengan setia, tangan rentanya mengambil kotoran dan menembel selang yang mengaliri air bersih ke desanya.

24

Saat ditemui beberapa waktu lalu, Hamid menceritakan awal membuat saluran air tersebut. Semula dia hanya menggunakan bambu yang disambungkan hingga beberapa kilometer dari sumber air dari atas Gunung Ceteng menuju permukiman warga. Upayanya gagal akibat bambu yang dipasang untuk mengalirkan air rusak diterjang angin dan tersumbat kotoran, kendati setiap hari Hamid mengontrol bambu tersebut agar air berjalan lancar. Hamid pun kemudian berpikir untuk menemukan solusinya dengan menyambung menggunakan selang. Ternyata selang tersebut sangat cocok dan pas untuk mendistribusikan air ke perumahan warga. Upaya dan prakarsa Hamid kemudian didukung warga, kendati semula warga mencibir r e n c an a n y a i t u . M e r a s a k a n

manfaatnya, warga akhirnya peduli dan bergotong royong untuk pembuatan selang air bersih. Maisaroh, salah seorang warga, mengaku senang dengan kerja keras Hamid. Karena atas prakarsa tersebut, kini ratusan rumah warga tak lagi kesulitan air bersih. “Saya tidak perlu lagi mengambil air di sungai untuk kebutuhan makan, cuci, dan kakus (MCK),â€? papar Maisaroh saat ditemui terpisah. Kendati telah obsesinya terwujud, di usia uzur bapak tiga anak ini tanpa pamrih tetap menjaga sarana air itu. Setiap hari mengecek selang air manakala ada yang tersumbat atau rusak kendati harus menempuh jarak hingga 20 kilometer naik turun gunung. (Bambang Sugiarto/ RCTI/kem)

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi

Gerakan Masyarakat Sipil Bersatu Dalam Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia INDONESIA harus berdaulat atas pangannya. Berdaulat atas pangan berarti berdaulat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan berdaulat untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Hal inilah yang disepakati para pemimpin gerakan masyarakat sipil di Indonesia dalam acara “Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia” di Taman Menteng, Jakarta (24/02). Mereka adalah Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia-SPI dan La Via Campesina), Sutrisno Sastromiharjo (Serikat Buruh Indonesia-SBI), Budi Laksana (Serikat Nelayan Indonesia-SNI), Risma Umar (Solidaritas PerempuanSP), Muhammad Nuruddin (Aliansi Petani Indonesia -API), Berry Nahdian Furqan (Wahana Lingkungan Hidup-Walhi), Chalid Muhammad (Institut Hijau IndonesiaIHI), Indah Sukmaningsih (Institute of Global Justice-IGJ), Gunawan (Indonesia Human Rights Committee on Social Justice-IHCS), beserta elemen gerakan masyarakat sipil lainnya. Henry Saragih dalam pidato politiknya menekankan bahwa sudah saatnya semua elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia ini untuk merebut kembali kedaulatan pangannya yang selama ini sudah “diberikan” pemerintah kepada korporasi dan pihak asing. “Kebijakan impor bahan pangan yang semakin tak terkendali, proyek food estate, perampasan tanah, kriminalisasi petani dan masyarakat adat adalah gambaran bahwa pemerintah saat ini memang sama

sekali tidak berpihak kepada petani dan rakyat kecil, dan hanya mengutamakan kepentingan korporasi dan pihak asing” tegas Henry. Petisi ini sendiri dibacakan oleh Martinus Sinani, perwakilan SPI yang juga Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Nusa Tenggara Timur. Acara ini juga sekaligus syukuran terhadap penghargaan yang diberikan kepada Henry Saragih dari sebuah surat kabar Inggris ternama, The ObserverGuardian. The Observer pada Januari 2011 yang lalu menobatkan Henry sebagai salah seorang dari 20 tokoh hijau dunia dan ditasbihkan sebagai pembela masyarakat miskin pedesaan. Sebelumnya Henry Saragih juga dinobatkan menjadi 50 orang yang mampu menyelamatkan bumi oleh harian The Guardian Inggris pada 2008 lalu. Berry Nahdian Furqan, Direktur Walhi menyebutkan bahwa penghargaan yang diberikan oleh masyarakat internasional kepada Henry Saragih membuktikan kapasitas seorang Henry Saragih sebagai seorang pejuang yang konsisten memperjuangkan hak-hak kaum petani dan kaum miskin pedesaan. “Kita sebagai warga Indonesia harus turut bangga, bahwa ternyata kita masih memiliki harapan untuk keluar dari krisis pangan maupun krisis pemerintahan saat ini melalui pribadi seorang Henry Saragih yang telah mendedikasikan hidupnya membela kaum petani dan kaum miskin desa di seluruh dunia” sebut Berry. Berikut ini adalah isi dari Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia:

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

PETISI KEDAULATAN PANGAN RAKYAT INDONESIA Jakarta, 24 Februari 2011 Dengan berkat rahmat Tuhan yang Maha Adil, kami yang bertandatangan di bawah ini, warga negara Indonesia yang terdiri dari petani, buruh, nelayan, perempuan, penggiat lingkungan hidup, anakanak, pemuda dan pelajar/ mahasiswa, kaum miskin kota, pekerja, akademisi, rohaniwan, dan kalangan masyarakat lainnya mengungkapkan petisi kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia, berikut ini: Sesungguhnya krisis harga pangan yang terjadi sekarang ini, sebagai akibat dari diterapkannya sistem neolibarilisme. Melalui World Trade Organizations dan Free Trade Agreement. Akibatnya pertanian terkonsentrasi pada pertanian eksport, dan monokultur. Dewasa ini makanan tidak lagi sejatinya untuk makanan manusia, tetapi makanan telah diutamakan sebagai bahan industri agrofuel, dan keperluan perusahaan peternakan. Makanan juga menjadi bahan spekulasi perdagangan. Saat ini terus terjadi perampasan tanah-tanah rakyat dan penguasaan tanah-tanah negara oleh perusahaan-perusahaan privat di dunia ini. Sesungguhnya kedaulatan pangan itu adalah hak dari segala bangsa di dunia ini untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk berkecukupan pangan, dan berbagi bahan pangan secara sukarela dan bergotong royong dengan bangsabangsa lainnya. Bahwa hak dari bangsa-bangsa di dunia ini telah 25


Advokasi berkurang bahkan hilang untuk bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Bahwa tekad para peminpin pemerintahan pada World Food Summit yang diselenggarakan Food and Agriculture Organizations (FAO) pada tahun 1996 untuk menghapuskan kelaparan sebanyak 50 persen dari jumlah 825 juta pada tahun 2015 dipastikan gagal. Karena yang terjadi justru sebaliknya, kelaparan terus meningkat, diperkirakan sudah lebih 1 milyar pada tahun ini. Pun demikian di Indonesia jumlah orang-orang yang lapar tidak berkurang, bahkan orang-orang yang lapar cenderung akan meningkat. Dengan terjadinya krisis harga pangan maka jumlah orang miskin akan meningkat tajam menjadi 60,40 juta jiwa. Yang paling rentan adalah perempuan dan anakanak. Sesungguhnya pemerintah Indonesia yang ada sekarang ini telah salah arah dalam mengambil kebijakan pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah tidak sanggup lagi menjaga kedaulatan pangan rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menyerahkan kebijakan pangan Indonesia pada perangkap perdagangan bebas pangan dunia, ke tangan para spekulan pangan dunia, mendorong pemenuhan pangan Indonesia dari hasil impor. Pemerintah Indonesia telah membiarkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan pangan rakyat Indonesia, tetapi sebaliknya untuk kepentingan perusahaanperusahaan besar. Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah abai terhadap konstitusi Indonesia, terutama pada pasal 33 UUD 1945, dan juga pasal 27 ayat 2, 31, dan 34. Untuk menegakkan kedaulatan pangan dan mengakhiri kelaparan di Indonesia dengan ini kami rakyat Indonesia menyatakan bahwa:

1. Pemerintah Indonesia segera mencabut pembebasan impor bea masuk ke Indonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil Genetik Modified Organisme (GMO). Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Menjamin ketersediaan benih lokal dengan memajukan pengetahuan para petani dan mengganti UU 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang banyak mengkriminalkan petani. Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan. 2. Pemerintah Indonesia harus melaksanakan reforma agraria dan landreform untuk memastikan hak setiap petani untuk menguasai tanah pertanian, sesuai dengan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 tahun 1960, dan pemerintah Indonesia harus mencabut undang-undang; Undangundang no. 7/2004 tentang sumber daya air, Undang-undang no. 18/2004 tentang perkebunan, serta Undangundang no. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Pemerintah Indonesia harus menempatkan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia, dan pemerintah Indonesia harus menghentikan pengembangan food estate. Untuk menghambat ini salah satunya adalah dengan merevisi UU 7/1996 tentang Pangan. Pemerintah Indonesia harus mengembangkan pertanian berkelanjutan yang menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi ketergantungan input luar, dan

memandirikan pertanian di Indonesia. 4. Pemerintah Indonesia harus membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor. 5. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan mengendalikan tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri. 6. Pemerintah Indonesia perlu memastikan adanya perlindungan sosial, menjamin pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, khususnya para buruh dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah. Menghapuskan UU No.13/2004 yang tidak menjamin kesejahteraan buruh dan mempermudah sistem kerja out sourching. 7. Pemerintah Indonesia dengan segera membuat program khusus menyediakan pangan bagi rakyat miskin, dengan mengutamakan makanan bagi para ibu hamil, menyusui, juga bagi perempuan-perempuan yang berstatus janda, dan tidak memiliki pekerjaan dan juga bagi anak-anak balita. Kami rakyat Indonesia akan terus berjuang untuk bisa menegakkan kedaulatan pangan demi tegakkan kedaulatan NKRI, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.* Sumber: www.spi.or.id

26

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Advokasi

Radio Komunitas Sebagai Kebutuhan Pokok Masyarakat “MASYARAKAT seharusnya menjadikan radio komunitas sebagai kebutuhan pokok, karena dengan mendengarkan radio komunitas, masyarakat dapat menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, wawasan dan inovasi-inovasi baru melalui siaran-siaran yang ada pada radio komunitas�. Hal di atas disampaikan oleh ketua Dewan Penyiaran Radio Komunitas (DPRK), Radio MITRA FM, Dusun Tanjung Anom, Desa Tandem Hilir II, Kecamatan Hamparan Perak, kabupaten Deli Serdang, Wardi, pada saat dilangsungkan Pelatihan Manajemen Radio Komunitas, 22 sampai 24 Februari 2011 lalu.

Delapan kesepakatan yang dihasilkan dalam pelatihan yang sekaligus dilanjutkan dengan strategic planning radio MITRA FM ini meliputi tiga substansi, yaitu bidang Sumber Daya, Sekretariat wilayah dan sekretariat Dewan Penyiaran Radio Komunitas (DPRK). Pada pembahasan sumberdaya ditetapkan bahwa Forum Kelompok Pendengar (Foker) harus berkontribusi untuk pembiayaan operasional radio secara swadaya dengan jalan memberikan kupon minimal 2 blok/bulan, Sedangkan iuran tetap Foker perbulan dialokasikan cicilan pinjaman alat atau perangkat radio saat awal didirikan pada pihak pemberi

pinjaman. Seluruh Foker radio MITRA FM yang berjumlah 16 Foker dari 4 Kecamatan, 2 Kabupaten (Deli Serdang dan Langkat) wajib mengutus penyiar untuk menyiar pada radio komunitas, sedangkan untuk Foker yang tidak mengutus penyiar ke radio komunitas, wajib membayar retribusi sebesar Rp. 25.000/bulan. Penyiar yang tidak hadir saat menyiar, dana transportasi pengganti ongkos penyiar akan diberikan kepada penyiar pengganti. Untuk lebih menyemarakkan acara siaran, Foker dianjurkan aktif untuk bertanya atau memberikan tanggapan melalui SMS dan telepon.

Menejemen radio : Pengelola radio komunitas MITRA FM menilai pentingnya pelatihan menejem radio untuk membangun kerja strategis keberlangsungan radio tersebut. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

27


Advokasi Untuk berhubungan dengan pihak luar (di luar perkumpulan radio) maka dibutuhkan sekretariat khusus Foker untuk wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, agar memudahkan kinerja eksternal terhadap pihak luar. Untuk wilayah Deli Serdang sekretariat berada di Foker Pelita Baru, sedangkan untuk wilayah Langkat sekretariat berada di Foker AML, sekertariat DPRK ditetapkan di kantor Foker Pentum (Rumah Kepala Desa). Kegiatan pelatihan manajemen radio komunitas ini diikuti oleh 21 orang peserta, para peserta tersebut berasal dari penyiar radio komunitas, Foker, Anggota DPRK dan Badan P en yi ar an R ad i o Ko m u ni t a s (BPPK). Pelatihan yang dilakukan dengan metode partisipatif, praktis dan dinamis ini, menyesuaikan karakter masyarakat yang masuk dalam wilayah siarnya (pendengar sejangkau siar) agar terlatihnya kelompok yang mengelola radio komunitas secara baik, penyiaran dalam mengoperasikan radio komunitas dengan lebih maju, terlatihnya kelompok penyiaran dalam membuat paket dan program siaran dan manajemen radio komunitas.

“Selama ini telah dijalani tetapi masih ada banyak kekurangan, semoga setelah pelatihan dapat lebih baik lagi. Banyak permasalahan radio yang dibahas, seperti perkembangan radio dan yang lian. Diharapkan kepada seluruh peserta dapat bertanya tentang seluruh materi yang tidak dimengerti. Ini adalah bekal untuk mengajarkan kepada generasi penerus radio komunitas dalam mengelola sebuah organisasi radio. Semoga kegiatan ini memberikan manfaat yang banyak untuk masyarakat,” Ungkap Ketua DPRK, Wardi. Pelatihan manajemen radio komunitas ini berfungsi untuk memajukan masyarakat dalam mengembangkan radio MITRA FM lebih baik ke depan. “Bagi BITRA, pelatihan ini adalah tugas untuk memajukan masyarakat. BITRA akan terus berusaha bersama masyarakat dalam upaya pemberdayaan diri supaya lebih kuat dan lebih berdaya ke depannya. Pengembangan kegiatan-kegiatan positif pada masyarakat merupakan tugas dan fungsi pokok BITRA. Perencanaan tiga tahun ke depan BITRA juga beracuan pada kebutuhan pokok pemberdayaan masyarakat, utamanya pada pengembangan

dan pemberdayaan kapasitas pengurus radio komunitas. Kerjasama dengan BITRA seperti pelatihan ini, perlu diperbanyak ke d e p a n nya . ” U j a r, I s wa n , perwakilan dari BITRA Indonesia. Keputusan yang telah ditetapkan oleh masyrakat sendiri untuk kemajuan MITRA FM ke depan seharusnya dapat berjalan d en g a n la nc ar. “D en g a n keputusan dan komitmen yang telah disepakati bersama, seperti melaksanakan tanggung jawab bersama dan prinsip pengawasan bersama, maka anggota MITRA FM dapat melaksanakan program dengan baik untuk kemajuan bersama. Sehingga kegiatan selama tiga hari pelatihan ini tidak terbuang sia-sia.” Tutur fasilitator, M. Hidayat. “Pelatihan seperti ini sangatlah menguntungkan bagi penyiar, karena penyiar radio komunitas MITRA FM masih memiliki kualitas yang minim. Pelatihan-pelatihan ini tentunya akan sangat membantu kemajuan pengurus perkumpulan radio MITRA FM sendiri. Untuk kedepannya, sebaiknya BITRA tetap dapat mendampingi dan membantu radio komunnitas ini untuk lebih baik lagi.” Ungkap salah seorang peserta pelatihan, Yatimin. (Nirwansyah S/Elfa S).

Serius : Peserta Pelatihan Manajemen Radio Komunitas terlihat serius mengikuti pelatihan tersebut. 28

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Pertanian

Serangga dan Masa Depan Manusia UNTUK mencapai kondisi nyaman bagi manusia, bumi butuh proses miliaran tahun. Namun, zona nyaman itu kini bergeser. Suhu bumi meningkat seiring kenaikan konsentrasi karbon di atmosfer, dampak aktivitas manusia modern. Dan, organisme yang paling cocok dengan bumi yang berubah ini ternyata dari keluarga serangga, bukan manusia. Memang tak semua serangga sanggup bertahan terhadap perubahan iklim. “Kebanyakan yang terancam adalah serangga predator yang berguna untuk manusia. Selain itu, juga serangga yang makannya spesifik, seperti lebah,� kata Warsito, ahli serangga dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sebaliknya, serangga kosmopolit yang kebanyakan pembawa penyakit, baik terhadap tanaman maupun manusia akan mengalami ledakan populasi. Penelitian Ellen Currano dari Pennsylvania State University dalam jurnal Ecological Society of America edisi November 2010 menemukan, kenaikan suhu global masa lalu memicu ledakan populasi dan keragaman serangga pemakan daun. Ellen meneliti 9.071 fosil daun di sembilan lokasi basin Bighorn, Wyoming, Amerika Serikat. Fosil itu terbentuk 52,7 juta-59 juta tahun lalu saat konsentrasi karbon dioksida (CO) di bumi meningkat. “Saat suhu bumi naik, kirakira 60 juta tahun lalu, serangga

tropis dan subtropis bermigrasi jauh ke utara. Sangat mungkin pemanasan global kini memicu lagi ledakan populasi dan sebaran serangga,� katanya. Kenapa ledakan serangga terjadi seiring kenaikan suhu? Warsito menjelaskan, pemanasan global karena penambahan konsentrasi karbon menyebabkan serangga pemakan tanaman kian lapar. Peningkatan konsentrasi CO menurunkan perbandingan unsur nitrogen dalam tumbuhan. Padahal, nitrogen mutlak untuk hidup serangga. Kompensasinya, serangga akan memakan biomassa tumbuhan yang lebih banyak. Namun, karena siklus hidup serangga memendek, kebutuhan makanan itu tetap tak terpenuhi. Ukuran serangga pun mengecil daripada di suhu dingin. Penelitian Warsito tentang lalat pengorok daun Liriomyza huidobrensis menunjukkan, serangga jenis ini yang ada di dataran rendah dan bersuhu lebih panas berukuran lebih kecil dibandingkan sejenisnya di dataran tinggi. Ukuran mengecil, tetapi sebarannya meluas. Liriomyza huidobrensis yang baru masuk Indonesia tahun 1990-an dan hanya ditemukan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, menyebar cepat ke sejumlah daerah. Lebih adaptif Di tengah perbincangan meningkatnya suhu bumi dan ancaman perubahan iklim bagi banyak spesies, sejauh ini serangga yang paling siap

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

beradaptasi. Rekam jejak keunggulan serangga jauh lebih tua dari spesies manusia. Pendeknya, siklus hidup serangga membuatnya cepat mewariskan genetika paling sesuai kondisi iklim kontemporer pada keturunannya. Kegagalan pemberantasan hama serangga dengan pestisida menjadi contoh kemampuan serangga menjadi kebal terhadap perubahan sekitar, bahkan terhadap racun. Tanda-tanda invasi serangga hama terhadap sumber pangan, dilaporkan Organisasi Pangan dan Per tanian (FAO), telah mengancam ketahanan pangan dunia. Di Indonesia, beberapa peneliti memperingatkan itu. Direktur Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor Suryo Wiyono menunjukkan, perubahan iklim memicu ledakan hama dan penyakit tanaman. Tiga tahun t e r a k h i r, ia m e n e m u k a n peningkatan tajam penyakit kresek padi karena bakteri Xanthomonas oryzae pv Oryzae, virus gemini pada cabai dan tomat yang dibawa, serta hama thrips cabai. Suryo juga menemukan penyebaran Xanthomonas hingga wilayah pegunungan. Hampir semua penyakit itu dibawa serangga vektor, misalnya virus gemini yang dibawa kutu kebul. Andi Trisyono, Ketua II Komisi Perlindungan Tanaman Nasional yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, menemukan fakta, serangan wereng coklat terhadap sentra tanaman padi meningkat 29


Pertanian pesat. Itu diyakininya terkait perubahan iklim. Andi memperkirakan serangan ini akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Kondisi itu diperparah kekeliruan penanganan berupa penyemprotan pestisida secara berlebih, yang justru membuat serangga predator wereng coklat mati. Di sisi lain, wereng coklatnya kian kebal pestisida. Fenomena nyamuk Selain bertambahnya intensitas serangan dan wilayah sebaran terhadap tanaman sumber bahan pangan manusia, penyakit menular yang dibawa serangga, seperti malaria dan demam berdarah, juga meluas. “Hingga sepuluh tahun lalu, nyamuk tidak ditemukan di daerah tinggi, seperti Puncak, Jabar. Namun, kini di Puncak sudah banyak nyamuk, bahkan sudah ditemui kasus demam berdarah,” kata Warsito. Pertanyaannya, apakah penyebaran nyamuk ke dataran tinggi itu hanya karena kenaikan

suhu? Atau mungkin juga dipicu perubahan perilaku dan morfologi nyamuk itu sendiri? Pertanyaan itu sulit dijawab. Menurut Warsito, “Hingga saat ini kita belum memiliki penelitian yang serius soal ini. Penelitian soal serangga masih sangat minim, terutama kaitannya dengan perubahan iklim.” Namun, sekali lagi, penelitian Warsito terhadap Liriomyza huidobrensis menjelaskan, serangga telah beradaptasi dengan kenaikan suhu melalui pengecilan tubuh sehingga mampu terbang lebih jauh. “Serangga, termasuk nyamuk, sudah mengubah perilakunya dan juga morfologinya. Namun, cara kita mengatasinya belum berubah,” katanya. Banyak negara, ujarnya, kini intensif meneliti serangga karena khawatir dengan ancaman ledakan populasi dan sebarannya. Negara-negara subtropis khawatir terhadap migrasi serangga dari daerah tropis, khususnya nyamuk pembawa malaria.

Memakan serangga Kabar buruknya, sejauh ini belum ada solusi praktis untuk masalah ledakan serangga. Negosiasi global untuk menurunkan emisi karbon di muka bumi seperti menemukan jalan buntu dan disikapi sebagai business as usual. Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang ketiga memperkirakan, suhu bumi akan terus naik. Tahun 2100, penambahannya diperkirakan hingga 5,8 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 2000. Jika sudah begitu, saran Profesor Arnold van Huis, entomologis dari Wageningen University di Belanda, agar manusia mulai membiasakan diri memakan serangga sepertinya masuk akal. Salah seorang kons ult an a hli FAO it u menyarankan agar manusia mulai mengubah perilaku dari mengonsumsi daging sapi ke serangga. “Saat ini terjadi krisis daging,” ujarnya. “Populasi manusia di dunia tumbuh dari 6 miliar (jiwa) pada saat ini menjadi 9 miliar (jiwa) pada tahun 2050 dan kita tahu manusia akan makan lebih banyak daging,” katanya sebagaimana dilaporkan The Guardian. Padahal, masa depan bumi ditandai dengan ledakan serangga. Di Indonesia, kebiasaan sebagian masyarakat Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mengonsumsi belalang atau masyarakat Papua dan Mentawai, Sumatera Barat, yang mengonsumsi larva serangga di batang sagu barangkali akan menjadi perilaku yang lebih umum pada masa mendatang. Sudah siapkah Anda? Ditulis oleh, Ahmad Arif Sumber: Kompas Cetak www. Kompas.com

30

&

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Pertanian

Langkah-langkah Pembuatan Pupuk Organik PUPUK organik adalah zat yang merupakan hasil penguraian bahan organik. Penguraian bisa dilakukan oleh jasad renik (seperti cacing) atau mikroorganisme (seperti bakteri, protozoa, dan jamur). Penguraian tersebut menghasilkan zat-zat nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Beberapa contoh pupuk organik, di antaranya kompos, pupuk kandang, dan pupuk hijau. Teknologi pembuatan pupuk organik, seperti kompos dan pupuk kandang, selama ini masih dilakukan secara konvensional. Masih minim usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi di dalamnya. Sejumlah teknologi baru untuk meningkatkan mutu kompos dan pupuk kandang agar memberikan hasil optimal bagi tanaman, telah diupayakan sebagai alternatif baru bagi masyarakat. Upaya pembuatan kompos dan pupuk kandang menggunakan bioaktifator, seperti EM-4 atau CM, diharapkan menjadi sebuah kebiasaan masyarakat untuk meningkatkan hasil pertanian. Te k n i k P e m b u a t a n P u p u k Organik (Kompos) Pembuatan pupuk organik berupa kompos untuk setiap kuintalnya bisa dilakukan dengan bahanbahan sebagai berikut: Bahan: 1.  Bahan dasar berupa kotoran hewan atau jerami sebanyak 100 kilogram. 2. Serbuk gergaji kayu dengan kapasitas 20 kilogram. 3. Bekatul dengan berat 2 kilogram.

4. CM yang bisa diperoleh di pasaran sebanyak 50 cc. 5. Tetes tebu, bila tidak ada bisa diganti dengan larutan gula sebanyak 100 cc. 6. Air dengan takaran 25 liter. 7. Nutrisi, bisa berupa nitrogen dari pupuk urea, fosfor dari TSP, kalium dari pupuk KCl, dengan jumlah secukupnya. Cara pembuatan: 1. C a m p u r l a h b a h a n d a s a r, serbuk gergaji kayu, dan bekatul dengan merata. 2. Untuk bahan-bahan lain, dicampurkan di dalam air. 3. Siramkan larutan air yang telah dihomogenkan dengan campuran bahan dasar, homogenkan kembali. 4. Ketika adonan telah tercampur dan berbentuk seperti bubur yang agak padat, buatlah seperti gundukan. 5. Tutupilah gundukan tersebut dengan plastik dalam jangka waktu empat hingga lima hari ke depan. 6. Proses fermentasi pupuk kompos akan terjadi di dalam adonan. Proses ini ditandai dengan kenaikan suhu atau temperatur adonan. 7. Setelah empat hingga lima hari, cek adonan dengan indikasi bila adonan dipegang, tidak lengket. Adonan tidak berbau dan tidak terasa panas bila dipegang. Adonan mempunyai warna lebih gelap dan sedikit mengkilat Te k n i k P e m b u a t a n P u p u k Organik Semprot Pupuk organik kompos, selain digunakan untuk melapisi tanah,

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

bisa dibuat dalam bentuk cair untuk disemprotkan ataupun dipakai bersamaan dengan saat penyiraman tanaman. Untuk membuat pupuk organik semprot dengan hasil 10 liter, digunakan bahan-bahan sebagai berikut. Bahan: 1. Pupuk kandang dengan berat 2 kg. 2. Bekatul secukupnya, kira-kira setengah kilogram. 3. Larutan gula setengah liter. 4. CM yang bisa dibeli di pasaran dengan jumlah 100cc. 5. Air untuk menghomogenkan sejumlah 15 liter. 6. Nutrisi dari pupuk-pupuk kimia bila diperlukan secukupnya. Pembuatan Pupuk Organik Sem p rot : 1. Tempatkan pupuk kandang dalam ember dan dituangi air mendidih sejumlah 15 liter, biarkan hingga menjadi hangat. 2. Ambil cairan dari larutan tersebut dengan cara disaring. 3. Bila cairan telah dingin, masukkan bekatul, larutan gula, CM, dan nutrisi. Aduklah hingga homogen. 4. Berikan aerator aquarium pada cairan tersebut, hidupkan aerator selama 4 hingga 5 hari. 5. Gunakan pupuk tersebut dengan terlebih dahulu mengencerkannya 200 kali. 1 liter pupuk organik semprot dicampur dengan air hingga 200 liter.  Sumber: www.id.shvoong.com

31


Kesehatan Alternatif

Berembang, Buah Hutan Yang Bisa Jadi Apa Saja BUAH berembang dengan nama latin Sonnaratia memiliki rasa yang asam. Rasa asam yang ada pada buah ini tidak menjadi kendala untuk mengubahnya menjadi makanan berbagai jenis. Rasa asam yang terdapat pada buah ini dapat diantisipasi dengan hanya mengolah buah yang sudah tua. Berembang sendiri hanya dapat ditemukan di paluh- paluh hutan di sungai belawan. Biasanya buah ini hanya dikonsumsi oleh binatang setempat, seperti kera. Tetapi, sejak 2010 berembang dapat dijadikan sirup, dodol, dan selai oleh masyarakat Kecamatan Hamparan Perak. Pengolahan berembang ini diharapkan dapat menjadi home industry bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan perekonomian setempat. “Tahun 2010 masih mencoba penemuan- penemuan makanan dari buah berembang ini. Semoga ke depannya pengolahan buah berembang ini dapat diminati masyarakat dan dilirik pemerintah u n t u k m e m b a n t u pendistribusiannya. Tetapi untuk proses pengambilan masih dikatakan sulit karena lokasi yang sangat berbahaya dan hanya kaum lelaki yang dapat

32

mengambilnya. Selain itu, buah berembang tidak dapat diolah setiap saat, karena buah berembang hanya ada sesuai dengan musim buah,� jelas salah seorang pengelola Berembang, Suryati. “Selama ini, buah Berembang hanya dikenal sebagai makanan binatang hutan, seperti kera karena rasanya yang sangat asam. Untuk itu, masyarakat sini mencoba mengolahnya menjadi makanan- makanan, sehingga buah tersebut berguna bagi manusia,� tutur salah seorang pengambil Berembang, Ridwan. Tips mengolah Berembang menjadi dodol Bahan: - 600gr daging berembang - 300cc air - 1500gr gula pasir - Pati santan 1000ml - 500gr tepung kanji - 500gr tepung ketan - 1kg gula merah - Garam secukupnya Cara pembuatan: - Belender daging berembang hingga halus. - Adonan 1: Campur tepung ketan, tepung kanji, pati santan dan garam secukupnya dengan

-

buah berembang yang telah halus, aduk hingga rata. Adonan 2: Masak santan, gula pasir, dan gula merah sampai mengental, aduk rata. Masukkan adonan 1 pada adonan 2. Campur sedikit demi sedikit sambil di aduk rata. Masak sengan api kecil Angkat, cetak sesuai selera dan bungkus

Tips mengolah Berembang menjadi sirup Bahan: - 500gr daging berembang - 1500gr gula pasir - 2000 ml air - Pewarna makanan secukupnya - Asam sitrat secukupnya. Cara pembuatan: - Adonan 1: Belender daging berembang dengan air 2000ml hingga halus - Adonan 2: larutkan gula pasir dengan air secukupnya, lalu campur dengan pewarna makanan. - Campur adonan 1 dan 2, lalu masak. - Aduk perlahan, lalu masukkan asam sitrat. - Saring dan dinginkan. Tips mengolah Berembang menjadi selai Bahan: - 500gr daging berembang - 500gr gula pasir - 200cc air - Kayu manis secukupnya Cara pembuatan: - Belender daging berembang dengan kayu manis, masak dengan api kecil. - Setengah masak, masukkan gula pasir sedikit demi sedikit. Aduk hingga mendidih. - Dinginkan dan simpan. (#)

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Kesehatan Alternatif

Lidah Buaya Obat Tradisional Yang Praktis Dan Berdaya Guna Tinggi KESEHATAN adalah harta yang paling berharga yang di berikan Tuhan kepada kita semua makhluk-Nya. Walaupun kita sering lupa dan tidak menyadarinya, kesehatan akan berharga sekali bagi kita mana k a l a d i ku r a n g i o l e h Tu h a n sehingga kita sakit. Yin dan Yang di tubuh kita tidak seimbang. Jika kondisi kita seperti itu maka nilai kesehatan akan terasa mahal dan berharga sekali. Pernahkah Anda mendengar istilah “orang miskin dilarang sakit?�. S e i r i n g d e n g a n perkembangan teknologi moderen, maka pelayanan kesehatan secara medis-pun juga ikut berkembang pesat. Mulai dari peralatan medis sampai dengan diciptakannya obat-obatan yang baru dengan teknologi tinggi. Dampaknya adalah biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit juga ikut naik alias semakin mahal. Orang-orang miskin kesulitan biaya untuk m e nd a p a t k a n p e ra w a t a n d i rumah sakit. Tetapi yang perlu diketahui adalah bahwa rumah sakit bukanlah satu-satunya tempat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Obat medis bukanlah satu-satunya pilihan. Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengatasi b e r b a g a i m ac a m g a n gg u a n kesehatan di tubuh kita. Diantaranya adalah dengan obatobatan herbal atau tradisional. Alam Indonesia sangat kaya dengan keaneka-ragaman tanaman yang berkhasiat obat. Di sini kita tidak akan membahas tentang jenis-jenisnya, tetapi penulis akan bercerita tentang pengalaman selama menjadi praktisi dalam menggunakan 1

jenis tanaman obat yang bernama “Lidah Buaya� atau yang biasa disebut dalam bahasa Latinnya Aloe Vera. Sekitar tahun 2004 penulis mendapati seorang pasien yang bernama ibu Painem yang menderita diabetes kronis, sudah ada luka membusuk di kaki s e b e la h k i ri , s e b a gi an l uk a mengeluarkan cairan, sebagian lagi sudah kroak (istilah Jawa untuk menyebut luka yang berlubang) sampai ketulang. Tindakan pengobatan yang diambil penulis memberikan 2 macam obat, yaitu obat luar dan obat yang di makan. Langkah pertama luka di cuci atan di rendam dengan air rebusan tembakau dan belerang sekitar 5 menit, lalu di cuci atau di siram dengan air masak yang hangat, kemudian luka di balut dengan kain kasa 1 lapis, tempelkan pada luka daging dari tanaman lidah buaya yang sudah dilumatkan, lalu di balut lagi dengan kain kasa. Hal itu di lakukan setiap hari. Di samping itu pasien di berikan rebusan herbal ki tajam untuk di minum setiap hari di tambah biji buah mahoni yang sudah kering. Alhamdulillah.... Beberapa waktu

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

berselang luka tersebut mengering dan daging yang kroak tumbuh kembali seperti semula. Banyak juga pengalamanpengalaman lain dengan lidah buaya antara lain; Untuk penyakit seperti infeksi lambung, asam lambung, habis operasi, buang air besar (BAB) berdarah. Lakukan tindakan, cuci lidah buaya, kupas dan buang kulitnya, lalu di celur dengan air panas, kemudian blender dengan gula aren secukupnya, berikan minum 3 x 1 gelas per hari. Ditambah minum VCO 3 x 1 sendok makan per hari. Sedang untuk penyakit luka baru, luka lama, terkena air panas. Lakukan tindakan, daging lidah buaya di lumatkan dan di oleskan langsung pada luka atau di tempelkan pada luka dan di balut dengan kain kasar. Demikian beberapa pengalaman penulis dengan lidah buaya, semoga dapat menambah wawasan dan inspirasi untuk kita semua. Penulis Rusdi, Ketua Assosiasi Pengobat Alternatif Sumatera Utara (APASU) dan Wakil Ketua Kelompok Sirih Merah, Langkat. 33


Credit Union

CU Dengan Transaksi Harian Seperti Bank, Mungkinkah? SECARA sistem ekonomi, antara credit union (CU), lembaga keuangan kolektif simpan pinjam masyarakat desa ini, dengan perbankan banyak kemiripan. Perbedaan terletak pada CU melakukan transaksi dengan nasabahnya yang juga adalah anggota (juga pemilik), melakukan transaksi sekali dalam sebulan di

saat pertemuan bulanan. Sedangkan bank melakukan transaksi harian. Bagaimana jika CU juga melakukan transaksi harian‌? Sistem inilah yang sedang dibangun oleh CU Bina Maju Bersama (BIMA) desa Air Hitam, Kualuh Leidong, Labuhan Batu Utara (Labura).

CU dan koperasi didasarkan pada filosofi kepercayaan dasar bahwa semua manusia pada hakekatnya m ampu meningkatkan dirinya sendiri melalui Self-help dan matual help. Jika merujuk pada sifat sosial, kolektifitas dan kepemilikannya, tentu amat berbeda antara CU dengan bank:

Aspek

Bank

CU/Koperasi

Tujuan

Kemakmuran

Daya Penggerak

Kebebasan Individu

Kemakmuran dan Pemerataan Persamaan Kepentingan

Kepemilikan

Perorangan/Swasta

Anggota Kelompok

Pengambilan Keputusan

Individualistik

Kolektif (dalam RAT)

Penghargaan

Langsung (gaji & pajak)

Pola Kemasyarakatan

Desentralistik

Langsung dan tidak langsung Campuran & Partisipatif

Mekanisme

Pasar

Kerjasama/Saling cocok

Perbandingan secara substansial antara bank dengan CU juga dapat dilihat pada tabel berikut:

34

CU/Koperasi

Bank

Kumpulan Orang

Kumpulan Modal

Tujuan Melayanai Anggota & Masyarakat Sekitar Dikontrol oleh orang banyak

Tujuan Keuntungan dari Investasi

Keuntungan Dibagi Berdasarkan Penggunaan Dimiliki oleh orang Indonesia.

Keuntungan Dibagi Berdasarkan Besarnya Saham Dapat Dimiliki oleh Asing

Dikontrol Oleh Pemegang Saham

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Credit Union Berangkat dari pertimbanganpertimbangan sederhana Kelompok Credit Union Bina Maju Bersama (CU BIMA) desa Air Hitam, Kec Kualuh Leidong, Kab Labuhan Batu Utara (Labura), mencoba memberlakukan sistem transaksi setiap hari seperti layaknya bank. Sistem transaksi tiap hari yang dimulai bulan April 2011 ini tentu saja didesain dan disesuaikan dengan kondisi kelompok, dan tidak sama persis seperti bank yang menunggu nasabah di kantor. Petugas penerima setoran akan mendatangi sub kelompok (kelompok kecil yang beranggotakan 20 – 30 orang) pada hari yang telah ditentukan dan membuka transaksi di wilayah kelompok tersebut berada. Mengingat CU BIMA punya 7 kelompok kecil maka 1 kelompok kebagian 1 hari dalam satu minggu, namun bukan berarti transaksi tidak bisa dilakukan kelompok lain, setiap anggota bisa saja menabung tiap hari, namun tempat transaksi ditentukan. Transaksi yang hanya diliburkan 3 hari menjelang pertemuan dan 3 hari sesudah pertemuan bulanan ini tidak hanya menerima simpanan anggota dan tabungan sekolah saja, tetapi juga melayani pinjaman dan angsuran pokok pinjaman untuk bulan yang akan datang, dengan catatan semua transaksi tersebut baru akan dimasukkan kebuku anggota pada malam transaksi besar (tanggal 10 setiap bulan). Pinjaman jumlahnya dibatasi hanya 5 juta rupiah, anggota yang dicairkan pinjamanya di luar malam transaksi besar tidak perlu mengangsur pada malam transaksi besar yang akan datang, namun pinjamanya akan dikenakan Jasa 0,2%/hari sampai pinjamannya dibukukan pada malam transaksi besar. Jadi salah satu keunggulan model ini adalah CU menerima modal tanpa membayar jasa dan ketika dipinjamkan akan menambah pendapatan. Walaupun konsekuensinya CU harus membayar pegawai yang bekerja setiap hari. Tentu saja program ini sudah disosialisasikan dan

mendapat persetujuan dari seluruh anggota terlebih dahulu. Sebagai program baru yang belum teruji keberhasilanya, sistem ini butuh perbaikan di sana sini agar benar-benar sempurna kelak, namun demikian sistem ini harus dicoba dulu supaya tau di mana kelemahannya. “Tentu saja harus dilaksanakan dulu baru bisa ada perbaikan. Kan… nggak mungkin kita memperbaiki sesuatu yang belum ada.” ujar Hadi Siswoyo penggagas program ini. Hal ini dilakukan di CU BIMA, merupakan salah satu upaya untuk menjawab persoalan kekurangan modal yang sudah dialami sejak tahun lalu, di mana permintaan pinjaman jauh melebihi pemasukan uang dalam setiap bulanya, salah satu contoh transaksi yang baru saja dilaksanakan pada bulan Maret 2011 lalu, uang masuk dari 213 anggota hanya Rp 98.000.000,sementara permintaan pinjaman mencapai 109 juta rupiah dan pinjaman bulan lalu yang belum terpenuhi mencapai 13 juta rupiah. Artinya sebanyak 24 juta rupiah lagi pinjaman yang belum terpenuhi, sementara menurut pengamatan, sebenarnya sumberdaya keungan yang beredar dimasyarakat desa pada umumnya cukup besar, hanya saja faktor manajemen dan perencanaan penggunaan uang yang kurang baik sehingga uang yang ada kurang bermanfaat. Uang kita lebih banyak yang dipergunakan untuk membeli barang-barang (konsumtif) yang sebenarnya kurang diperlukan atau untuk pasoakan tarikan/arisan (mingguan-bulanan) yang sebenarnya dipandang dari sisi ekonomi tidak menguntungkan. Kurangnya sarana penyimpanan uang yang mudah dan setiap waktu juga menyebabkan masyarakat desa punya masalah yang sama tentang uang yaitu “banyak habis padahal sedikit cukup juga”. Sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan dengan dua cara: 1. Kita harus memahami secara dasar, mana kebutuhan dan mana keinginan, jika memang

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

kebutuhan maka harus dipenuhi, namun jika hanya keinginan sebaiknya dipertimbangkan lebih bijaksana. Seperti mengutip kata bang Razid ketika memfasilitasi salah satu pelatihan yang diselenggarakan BITRA Indonesia di TCCS Sayum Sabah. “Kebutuhan itu sebenarnya adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi kita mati. Kalau tidak dipenuhi kita tidak mati berarti itu hanya keinginan”. (Wah ngeri banget nih, padahal nggak pake baju juga kita nggak mati. Hi… hi… hi...). N a m u n m e m a n g kenyataannya kita terlalu sering tersemukan antara kebutuhan dan keinginan sehingga terlalu banyak keinginan yang menjadi kebutuhan. 2. Tersedianya sarana penyimpanan uang yang efektif dan mudah dijangkau. Ketika media ini sudah tersedia maka yang diperlukan adalah membangun kebiasaan. Jika sudah menjadi kebiasaan bagi kita untuk menabung sedikit demi sedikit setiap hari atau seminggu sekali maka dengan sendirinya masalah di atas akan semakin mudah diatasi, karena hampir dipastikan kita baru sadar mana yang memang kebutuhan dan mana yang hanya keinginan jika kita tidak memegang uang. Penggagas optimis jika program ini berjalan dengan baik, akan memberikan dampak yang luar biasa positif untuk CU BIMA. Tentu saja butuh waktu untuk membangun budaya itu di masyarakat… Tahun ini adalah tahun percobaan dan akan dievaluasi pada RAT yang akan datang, tetapi yang pasti berbagai upaya harus terus dilakukan untuk menggali potensi yang ada di masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.(#) Penulis: Hadi Siswoyo, Penggagas CU dengan Sistem Transaksi Harian & Ketua CU BIMA, Desa Air Hitam, Kualuh Leidong, Labuhan Batu Uatara 35


Profil

Kamaruddin, Organik Menjadi Pilihan Beranjak dari sistem pertanian non organik ke pertanian organik telah dipilihnya sejak dua tahun yang lalu. Terlebih setelah terlibat dalam studi banding tentang tanaman organik di Bali selama tujuh hari (21-26 Februari 2011). PELAJARAN dan ilmu yang didapat selanjutnya dikembangkan di tanah seluas setengah hektar miliknya. Tanaman organik yang dipilih adalah tanaman padi. Dari setengah hektar tanaman padi, Kamaruddin dapat memperoleh enam ton padi setiap tahunnya. Masing-masing tiga ton setiap kali panen. Padi yang telah panen tersebut kemudian ditampung di Jl. Setia Budi, Medan. Mengaku menjadi petani organik sejak kecil, Kamaruddin kemudian semakin tertarik mengembangkannya setelah bergabung menjadi kelompok dampingan BITRA Indonesia. Dari pelatihan yang diberikan, ia memperoleh banyak ilmu dan pengetahuan tentang tanaman organik dan fungsinya. Bukan saja karena ingin menjaga kesehatan yang dimulai dari tanaman yang dimakan, Kamaruddin merasa penting menyehatkan tanah yang selama ini telah tercemar racun pestisida. “Jika tanah telah sehat, tanaman yang ditanam di atasnya akan sehat pula. Kita manusia yang memakannya pun akan sehat pula. Tidak akan banyak penyakit yang menyerang,” ungkap Sekretaris Kelompok Subur ini. “Promosi beras organik dimulai dari kelompok yang telah dibentuk dan pengalaman anggota kelompok dan beberapa masyarakat yang mengkonsumsi beras organik dan merasa kesehatannya lebih baik dari yang biasanya,” lanjut Kamaruddin. “Seperti Ibu Reza yang mengalami penyakit asam urat dan saat ini 36

sudah berkurang. Ibu Reza dan pengguna beras organik lainnya juga mengatakan hal yang sama tentang pengurangan penyakit yang mereka alami,” katanya memberikan contoh. Memulai dan membiasakan hal baru tentu bukan perkara mudah. Lelaki berumur 56 tahun ini juga mengakuinya. Memperkenalkan tanaman organik, khususnya beras kepada masyarakat masih mengalami b a n y a k k e n d a l a . Kekurangtertarikan masyarakat jadi kendala terbesar. “Kendala terbesar itu adalah k e p er c a y a a n m a s y a r ak a t . Masyarakat belum sepenuhnya yakin menggunakan beras organik. Masyarakat masih tidak percaya bahwa tanaman organik itu lebih menyehatkan. Kecenderungannya, masyarakat masih memilih beras non- organik yang lebih murah,” tambahnya. Perbedaan beras organik dengan beras non- organik mencapai sekitar Rp. 500- Rp. 1000 per kilogramnya. Perbedaan harga ini karena perawatan padi organik lebih rumit ketimbang nonorganik. “Jika masyarakat ambil langsung dari rumah saya, harga beras organik perkilonya mencapai Rp. 9000, tetapi jika masyarakat ambil beras dari penampung, harganya mencapai Rp. 10.000 perkilo. Meski saat ini, masyarakat masih belum sepenuhnya tertarik tapi saya yakin ke depannya masyarakat akan sadar akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang sehat,” jelasnya. Kendala lainnya adalah biaya

produksi beras organik lebih mahal. “Jika beras yang memakai pestisida dapat menghasilkan delapan ton gabah dengan luas tanah sebesar satu hektar, tanaman padi organik, hanya dapat menghasilkan sebanyak lima ton gabah dalam tiap hektarnya,” katanya lagi. Melihat mahalnya biaya produksi padi oraganik, untuk dapat menutupi biaya tersebut, Kamaruddin menilai bahwa harga produksi selama ini tidaklah tepat. “Ke depannya harga beras organik harus disesuaikan lagi dengan biaya produksi. Mungkin kenaikannya akan mencapai Rp. 1000,” tambah Kamaruddin. Apalagi Kamaruddin memiliki kesulitan dalam hal alat yang di sewa. “Saya sangat berharap adanya bantuan alat, baik dari pemerintah ataupun pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mempermudah dan meminimkan biaya konvensional pertanian organik. Jika ada bantuan, tentunya saya akan lebih semangat lagi,” harap Kamaruddin. Udin, begitu biasanya Sekretaris Kelompok Subur ini dipanggil, berkeyakinan bahwa kelak masyarakat akan memiliki kesadaran besarnya manfaat mengkonsumsi makanan organik. “Apalagi jika banyak pihak, termasuk pemerintah ikut membantu mempromosikan beras organik pada masyarakat luas,” jelas Udin. (Elfa)

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Profil

Menang 4-1 Logowo, lalu kembangkan SIPT Awalnya hanya dari menang lomba “Tanam 4-1 Logowo” yang diadakan oleh Pemerintah Deli serdang. Hadiah yang diterima sebesar Rp. 500.000.000 dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), lalu dana dikembangkan untuk Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT). LOMBA “Tanam 4-1 Logowo” merupakan lomba tanaman padi dengan sistem 4-1 pada penanamannya di lahan seluas 1 Hektar. “Sistemnya, penanaman padi organik dalam satu hektar ditanam dengan jarak panjang seluas 10 centimeter dan lebar 20 centimeter dan gawangnya 40 centimeter. Kelompok kita dapat menghasilkan 9,2 Ton gabah dengan baik pada lahan satu Hektar tersebut,” kata Sekretaris Ke l o m p o k Ta n i M a w a r, Kamaruddin (56). Tidak hanya mendapatkan BLM, kelompok yang menang juga mengikuti study banding ke daerah Bantul dan Sleman, Provinsi Yogyakarta pada tahun 2003. Study banding sendiri memberikan dua jenis pelatihan, yaitu pelatihan tentang peternakan dan pelatihan pertanian. “Di Bantul, peserta mempelajari tentang peternakan dan di daerah Sleman, mempelajari tentang pertanian,” tambah Kamaruddin. Hasil dari study banding yang diikuti, dapat terlihat dari pembangunan peternakan sapi yang dilakukan oleh kelompok ini. Dana yang didapat tidak disiasiakan oleh kelompok Tani Mawar. Dengan luas lahan tiga rantai, di bangun kandang untuk lembu dan membeli 80 ekor lembu. Dalam 80 ekor lembu pengembang biak, kelompok membeli sebanyak 78 ekor lembu betina dan hanya dua ekor lembu jantan. “Tanah tiga hektar sendiri tidak dibeli. Tanah tersebut milik anggota kelompok.

K e l o m p o k h a n y a menggunakannya dengan sistem sewa. Untuk kandang sendiri menghabiskan dana sebesar 105 juta dan untuk lembu, saat itu dibeli dengan harga empat juta perekornya. Sisanya di masukkan ke kas untuk kepentingan ternak lainnya,” jelasnya. Udin, sebutan keseharian lelaki yang berprofesi sebagai petani ini menjelaskan bahwa SIPT ini sangat baik untuk dijadikan pembasmi hama dan menyuburkan tanaman. Sistem SIPT, dilakukan dengan cara urine ternak direndam bersama akar pinang dan tembakau selama tiga bulan didalam drum dengan ukuran 200 Liter. Tidak hanya urine, kotoran sapi juga dapat difungsikan dengan baik. Kotoran sapi sendiri, digunakan untuk pupuk. Kelompok tani mawar berdiri pada tahun 2002 dengan jumlah anggota sebanyak 150 orang. Dengan jumlah anggota yang cukup banyak, maka keamanan kandang ternak diamankan oleh anggota kelompok sendiri. Masing-masing anggota mendapat jadwal piket untuk menjaga kandang sapi pada malam hari. “A n g g ot a y a n g i n g i n memelihara sapi, tentu saja bisa. Anggota akan diberikan beberapa sapi untuk dipeliharanya dan hasilnya akan diberikan kepada penjaga sebesar 80% dan 20% menjadi hak kas kelompok. Lalu hasil kas akan dibelikan induk lagi,” tutur Udin. Tetapi, Udin menjelaskan, bagi anggota yang tidak baik

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

dalam mengurus sapi, maka tidak akan diperbolehkan lagi dalam mengurus sapi. Untuk menilai kinerja anggota pemegang sapi, kelompok membuat tim pengawas. Untuk kendala kehilangan, maka tanggungjawab atas hilangnya sapi sepenuhnya ditanggungjawabi oleh si pemegang sapi. Kelompok ini, mematok harga pupuk kotoran sapi sebesar RP. 400/kg untuk anggota dan sebesar Rp. 800/kg untuk diluar anggota. Sedangkan harga untuk urine sebesar Rp. 20.000/liter untuk anggota dan Rp. 25.000/ liter diluar anggota. Dana yang masuk ke kas tidak hanya untuk membeli sapi yang baru, tetapi juga untuk perawatan sapi itu sendiri. Sapisapi yang ada harus dikontrol kesehatannya oleh dokter hewan, diberi vitamin. “Tidak semudah yang dibayangkan dalam mengurus sapi- sapi. Untuk mendapat hasil yang maksimal, sapi- sapi juga membutuhkan perawatan yang baik. Mengontrol kesehatan harus dilakukan dengan teliti oleh dokter hewan karena sapi yang ada adalah sapi kawin suntik. Untuk melakukan kawin suntik dan kawin suntik berhasil, kelomopk harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 40.000 untuk jenis Bangos dan Rp. 48.000 untuk jenis Lamison. Lalu, tunjangna vitamin kepada sapi yang diberikan minimal satu kali dalam sebulan,” kata Udin. (Elfa)

37


Kabar Dari Kampung

Sepenggal Ponorogo di Sudut Langkat SUARA riuh mengawali pertunjukan Reog Singa Barong Paskambet. Kesenian tradisional ini sengaja ditampilkan untuk menyambut rombongan tamu yang terdiri dari puluhan fans radio Mitra FM, sebuah radio komunitas di Kecamatan Hamparan Perak, Deliserdang. Tanpa sengaja, sejumlah hadirin yang rupanya memiliki kedekatan emosional dengan musik asal Ponorogo ini ikut menggoyangkan badan. Bahkan, seorang tamu yang usianya mencapai 80 an

tahun – yang ternyata mantan pemain reog, ikut nimbrung bersama kelompok pemusik dan berteriak-teriak menyemangati para penari jatilan. Jatilan merupakan pembuka pagelaran Reog. Ada dua perempuan muda usia belasan dengan pakaian tradisional menari jatilan. Secara keseluruhan tampilan tarian jatilan ini hampir sama dengan tarian dalam kuda kepang, baik peralatan yang menggunakan kuda buatan terbuat dari anyaman bambu dan

kostumnya. Bedanya, dalam pertunjukan reog ini, pemusik ikut riuh menyemangati para penari. Sesekali penabuh gendang berteriak agar penari lebih bersemangat menggoyangkan tubuh. Bisa jadi, riuh dengan teriakan dan senggakan di tengah alunan musik berbeat cepat dan keras menjadi salah satu khasnya Reog Ponorogo, menggambarkan musik yang dinamis. Bahkan seorang pemain Reog, Jumput (52) mengatakan, tanpa teriakan

Seni tradisi : Reog Ponorogo salah satu kesenian tradisi Indonesia. 38

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Kabar Dari Kampung bukan reog namanya. “Ya beginilah kalau orang Ponorogo main reog, pasti mulutnya lebar,” ujarnya berkelakar di sela-sela pertunjukan. Tarian Jatilan yang merupakan salah satu dari serangkaian pertunjukan Reog ini terdiri dari lima jenis yaitu ponoragan, sampak, lamongan, bagiro, dan jengklekan. Masing-masing tarian ini dibedakan dari gerakannya. Keseluruahn gerakan ini menggambarkan emosi kuda dari mulai kuda bermain hingga birahi. Kalau ditarikan semua, Joget Jatilan ini bisa berlangsung selama 1,5 jam. Yang menjadi puncak pertunjukan Reog yaitu ketika muncul Singo Barong. Atraksi Singo Barong ini semakin menarik

perhatian dengan tampilan bulubulu merak yang dirangkai satu kesatuan dengan kepala harimau. Setidaknya ada 500 bulu merak asli untuk membuat patung ini. “Satu helai harganya Rp 6.000 dan ini harus dipesan langsung dari Jawa,” ujar Marmo (54), Pimpinan rombongan Reog. Sedangkan kepala harimau, dibuat dari kayu yang dibentuk menyerupai kepala harimau. Kulitnya terbuat dari paduan antara kulit harimau dengan kulit kambing yang diberi motif. Awalnya, kelompok kesenian yang dibentuk 15 tahun lalu ini memperoleh kulit harimau asli dari Jawa. Tetapi lama kelamaan kulit koyak dan akhirnya bagian yang rusak digantikan dengan kulit kambing yang dilukis dengan

Singo barong : Topeng reog yang berbentuk kepala singa dan biasanya berukuran besar. BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011

motif harimau. Salah satu pantangan Singo Barong adalah air. Kalau sudah terkena air, bulu merak yang merekah pun hilang keindahannya. Makanya saat hujan tiba, mau tak mau pertunjukan outdoor pun dihentikan. Kecuali pertunjukan di dalam rungan. Dengan patung Singo Barong ini atraksi Reog pun semakin riuh. Pemain Barong dengan lincah menggerak-gerakkan Singo Barong. Selintas, Singo Barong seperti diusung di atas bahu. Tetapi sebenarnya kekuatan gigitanlah yang membuat Singo Barong nangkring di atas kepala pemain Barong. Banyak yang meyakini permainan ini menggunakan kekuatan magic (mistik). Apalagi pemain Barong mampu mengangkat (menggigit) beban seberat lebih dari 45 kg ini selama kurang lebih 30 menit sambil terus menari mengikuti alunan musik keras Reog. Marmo, pria kelahiran Ponorogo spontan menyangkal hal ini. Khusus untuk Reog kelompoknya, hanya menggunakan kekuatan fisik melalui latihan rutin. Pemain sering pula mengalami cidera pada leher misalnya keseleo. “Kalau habis main, kita sering sulit menggerakkan rahang karena terlalu lama menggigit Singo Barong,” tambah Marmo. Alunan musik keras Reog menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ada tujuh jenis alas musik yang dimainkan. Alat-alat itu terdiri dari gong, gendang, tipung, serompetan, angklong dan kenong. Keseluruhan alat musik ini, lagi-lagi dari Jawa. Hanya gong yang kemungkinan bisa didapatkan di Medan. Marmo memperkirakan, untuk satu paket peralatan Reog ini harganya kurang lebih Rp 20 juta. Pertunjukan Reog ini sesekali diselingi dengan Kucingan. Sebuah atraksi di mana pemain memisahkan antara kepala harimau dengan susunan bulu 39


Kabar Dari Kampung merak. Dengan kemampuannya, seorang pemain barong membuat pertunjukan kejar-kejaran antara merak dengan harimau. Selingan yang tak kalah serunya adalah ganongan. Ganongan ini seperti goro-goro dalam pertunjukan wayang. Pemain ganongan harus memiliki kemampuan untuk berimprovisasi dengan penonton. Pemain ganongan ini biasanya juga memiliki kemampuan bermain ludruk. Pada pertunjukan kali ini, pemain ganongan berdialog dengan penonton yang diiring dengan dua penari jatilan. Guyonan segarnya mampu memancing tawa penonton. Dengan Bahasa Jawa kromo inggil para penonton dibuat terpingkapingkal. Mempertahankan Budaya Jumput, pemain Reog menceritakan, pertunjukan Reog ini sebenarnya menggambarkan kehidupan rimba yang terdiri dari kuda, merak, dan harimau. Singo Barong yang merupakan paduan antara merak dengan kepala harimau ini untuk menunjukkan, harimau yang menunggu burung merak sedang menari. Ketika sang merak salah melakukan gerakan tarian maka harimau siap menerkam. Gerakan dalam

tarian Singo Barong ini pun seperti orang yang menerkam, berlari dan sesekali jatuh ke tanah. Sementara dari buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Batera Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan. Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam di sekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian reog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya

Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini. Kelompok kesenian Reog Singo Barong Paskambet sendiri dibentuk bukan untuk menyindir atau tujuan politik apapun. Satusatunya alasan adalah mempertahankan kesenian tradisional. Makanya, kelompok ini sempat berang ketika negara Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai bagian dari kesenian kekayaan Malaysia. Sebanyak 17 orang kelompok Reog ini merupakan anggota fans radio Mitra FM. Sebuah radio komunitas yang menggagas penggeliatan budaya-budaya lokal melalui siaran dan program yang mengakomodir kesenian t r a d i s i o n a l . D a n mempertahankan Reog Ponorogo adalah salah satu alasan paling kuat bagi Marmo, Jumput dan kawan-kawan untuk bergabung dalam wadah ini. Pembentukan fans radio yang bermoto, Penebar Pesona Kharisma Budaya Bangsa memperkuat semangat kelomok Reog ini tampil sebagai tuan di negerinya sendiri. Kelompok kesenian ini dibentuk oleh pendatang dari Ponorogo, Tumiran (85) yang merantau ke Langkat tepatnya di Kampung Benteng Kecamatan Secanggang, puluhan tahun silam. Paskambet sendiri singkatan dari Pasar Gunung Kampung Benteng. Pemukiman pendatang Ponorogo ini terpencil jauh dari pemukiman lain. Puluhan keluarga ini berdampingan dengan perkebunan sawit yang luas serta perladangan di sekelilingnya. Iringiringan musik Reog yang riuh memecah kesunyian yang jauh dari hilir mudik kehidupan kota. Orang-orang Ponorogo bersama musik Reognya dan kehidupanya yang bersahaja seperti sebuah penemuan “sepenggal� Ponorogo di salah satu sudut Kabupaten Langkat.(#) sumber : www.mitrafm.or.id

40

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Kampanye

Community Logging, Arus Utama Pengelolaan Hutan 2011 Pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat (PHBM) atau yang biasa disebut community logging merupakan salah satu fokus kegiatan Telapak. Pada 15 – 17 J a n u a r i l a l u Te l a p a k mengadakan workshop “Percepatan dan Perluasan Inisiatif Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat dalam Konteks Mitigasi Perubahan Iklim”. Dihadiri lebih dari dua puluh peserta dari berbagai lembaga dan daerah di Indonesia serta menghadirkan pembicara dari berbagai pihak, workshop tersebut membahas community logging dan berbagai permasalahannya. Banyak tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan community logging. Mulai dari permasalahan izin, kurangnya sumber daya, sertifikasi yang tidak mudah dan murah, kasus wood laundering, kurangnya dukungan pemerintah, dan berbagai masalah lainnya. Hadirnya Direktur Bina P e r hu t a n a n S o s i al , H a ry a d i Himawan, membuka kesempatan bagi peserta untuk menyampaikan keluhan dan masukan secara langsung. Sudarsono Soedomo dari FORCI IPB mengatakan, “Orang desa masak disuruh urus izin ke Kehutanan yang jauh dan ribet minta ampun. Pemerintah yang harusnya bekerja dan mendatangi langsung mereka.” Agung Prasetyo dari Lembaga Ekolabel Indonesia menawarkan CFTN (Community Trade Forest Network) dan Nawa Irianto memaparkan pasar perdagangan kayu dengan

komplit. Chisato Tomimura dari Smart Wood juga menjelaskan dengan lengkap mengenai skema sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) serta kesempatan yang terbuka untuk sertifikasi bagi c om m u ni t y l og gi ng . Di t u t u p dengan sertifikasi mandatory untuk community logging oleh Arbi Valentinus dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Tantangan yang menghadang tentu tidak akan membuat pesimis karena Telapak yakin community logging sebagai solusi dari permasalahan eksploitasi sumber hutan. Community logging ju g a m e n j a d i s o l u s i a g a r masyarakat lokal bisa berdaulat di tanah mereka sendiri dan memiliki kesempatan mengelolanya. Diskusi berlanjut di Kulon Progo untuk bertukar informasi mengenai peluang community logging di berb agai daerah. Jaringan kerja untuk memperluas dan mempercepat community

lo g g i n g d i I n d o n e s i a t e l a h dibentuk. Community logging akan menjadi rezim pengelolaan hutan di Indonesia dan Telapak akan mengarusutamakan community logging. Hal tersebut dapat dicapai melalui perluasan kegiatan community logging, replikasi dan scale-up community logging di berbagai tempat, mendorong green procurement policy, mendesak perlindungan untuk rakyat sebagai pengelola hutan. Telapak mendesak perlu adanya penyederhanaan regulasi perijinan hutan rakyat seperti one stop licensing. Sesuai dengan GERPAK (Gerakan Telapak) yang sudah disepakati menjadi tujuan bersama dan bersamaan dengan Tahun Hutan Internasional yang ditetapkan oleh PBB, sudah saatnya community logging menjadi arus utama dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Sumber: www.telapak.org

Melibatkan pelajar : Pengelolaan Community Logging harusnya juga melibatkan kaum pelajar sebagai generasi penerus.

BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


BITRANET No. 7/ Nopember 2010 - Januari 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.