BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Memperjuangkan Kesejahteraan Kaum Tani Indonesia
Daftar Isi Komentar - Konflik Pertanahan, Kemana Seharusnya Berujung?
1
Utama - Gerakan Pertanian Untuk Kemerdekaan Kaum Tani - Konflik Tanah Kaum Tani Masih Jadi Maslah
3 6
Advokasi - Petani Bisa Rebut Kembali Lahan yang Diserobot Perusahaan - Presiden Didesak Hentikan Perampasan Tanah Rakyat - Petani Menagih Janji SBY - RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Masih Kecilkan Peran Petani Dalam Penyediaan Pangan - Peraturan Menteri Kehutanan Tentang Pembangunan Pekebunan Kelapa Sawit Dikritik - Kebijakan Pangan yang Abaikan Produsen Kecil dan Kedaulatan Pangan Bangsa - MK Kabulkan Judicial Review UU 18/2004 - Menuntut Keadilan Bagi Si Pendekar HAM - Menerobos Lorong Gelap Hukum Kita - Keniscayaan Kaji Ulang Penegakan Hukum & HAM di Indonesia - Keluar Dari Konflik Agraria - Tak Serius Urus Pangan dan Pertanian Pertanian - Kebijakan Pertanian Organik Masih Setengah Hati - Tingkatkan konsumsi Pangan Organik - Seni Tanam Campuran Kesehatan Alternatif - Manfaat Buah Melon - Daun Sukun Dapat Melindungi Jantung - Pijat Kaki Penyembuh Kanker dan Bermanfaat Membantu Menghentikan Ketergantungan Merokok Credit Union - CU Induk: Membangun Pilar-pilar Kolektifitas Ekonomi Rakyat - Credit Union Rintisan di Kawasan Urban - Sang Pelopor Credit Union Dari Air Hitam
9 10 11 13 14 15 16 17 18 20 21 22
24 25 26 28 29 29
31 32 35
Profil - Kuat Ginting, CU Mengajarkan Kemandirian Kepada Saya 37 - CU Aman Damai, Mengikis dan Menyadarkan Rentenir 38 Kabar Dari Kampung - MITRA FM Ikut dalam Hibah Cipta Media Bersama - Kapoldasu: Keamanan Tanggung Jawab Bersama
40 40
Negara Indonesia disebut negara agraris karena kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Kaum tani yang menjadi ujung tombak merupakan orang-orang yang tidak sedikit mempunyai peran dalam memajukan pengadaan pangan dan kesejahteraan di ibu pertiwi ini. Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, para rakyat tani yang seharusnya berkehidupan layak dan tercukupi malah berbanding terbalik dengan yang diharapkan. Mereka seperti sengaja dimiskinkan secara terstruktur dan tidak berdaya melawan kekuasaan pihak swasta yang diback up oleh pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pembela apresiasi rakyat. Konflik pertanahan yang dimulai sejak zaman penjajahan kolonial Belanda masih dirasakan kaum tani sampai sekarang ini. Reaksi perlawanan yang dilakukan tidak menghasilkan apa-apa dan malah menambah beban kesengsaraan. Lahirnya Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang juga ditandai sebagai hari tani nasional pada 24 September, serta menjadi elemen dasar guna mengakhiri kasus dualisme dan pluralisme tanah di Indonesia belum dirasakan khasiatnya sekarang ini. Kaum tani tidak tahu menahu harus mengadu kemana lagi karena tak mampu melawan kekuasaan yang lebih memihak kepada mereka yang mempunyai dana dan modal besar ketimbang petani yang kehidupannya sengaja dipermainkan dan menderita karena tidak memiliki lahan. . Pengaduan yang mereka coba lakukan ke lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi wakil rakyat dianggap hanya ‘kicauan burung’.Puncaknya, mereka mengadakan aksi di depan kantor DPRD Sumut yang diikuti banyak kelompok dan lembaga-lembaga masyarakat yang menuntut dan mengajukan pembelaan terhadap masyarakat tani yang tertindas dan tergusur dari tanahnya sendiri akibat direbut oleh mafia tanah yang berkooporasi dengan pihak-pihak terselubung yang mengintip tanah-tanah rakyat yang bisa dijarah. Melihat semangat dan usaha juang yang tidak mengenal keputusasaan, para pemangku jabatan seharusnya sadar akan kondisi masyarakatnya, terutama kaum tani yang nasibnya terluntalunta akibat tindakan kesewenangan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab atas penggusuran dan perebutan tanah milik mereka. Belum lagi penindasan yang berujung kepada tindakan kriminal yang dilakukan masyarakat tani akibat konflik pertanahan yang jelas-jelas sudah menjadi hak mereka. Untuk itu, perlawanan dan perjuangan guna merebut dan mempertahankan hak agraria milik petani patut mendapat apresiasi dan solusi yang tidak hanya cerdas, namun juga menyelamatkan kehidupan para petani yang juga termasuk masyarakat Indonesia agar dapat hidup sejahtera sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945. (red)
Penerbit: Yayasan BITRA Indonesia Medan. Penanggung jawab dan Pimpinan Umum: Wahyudhi Pimpinan Redaksi: M. Ikhsan Dewan Redaksi : Rusdiana, Iswan Kaputra, Swaldi, Listiani, Eka D Rehulina Reporter: Andi Creativ, Aprianta, Erika Rosmawati, Hawari, Jumarni, Siska, Misdi, Rustam Fotografer: Anto Ungsi Manajemen Pelaksana : Icen Sirkulasi & Keuangan: Fira Handayani Redaksi: Jl. Bahagia By Pass No. 11/35 Medan - 20218 Telepon: 061-787 6408 Fax : 061-787 6428 Email: majalahbitranet@yahoo.com
Jurnalis/Wartawan BITRANET dalam melaksanakan tugasnya tidak dibenarkan menerima amplop atau imbalan apapun. Bagi masyarakat yang melihat dan dirugikan, silahkan menghubungi redaksi dan menggunakan hak jawabnya. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Komentar
Konflik Pertanahan, Kemana Seharusnya Berujung? Oleh: Iwan Nurdin *) MENURUT catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus. Menurut BPN, sengketa adalah jenis permasalahan tanah yang tidak melibatkan masyarakat banyak dan bukan disebabkan oleh persoalan structural kekuasaan dan kebijakan secara langsung. Sementara, Konflik adalah permasalah tanah yang bersifat structural dan melibatkan masyarakat banyak. Dan, perkara adalah permasalahan tanah yang dilimpahkan penanganannya melalui pengadilan. Persoalan ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas: 607.886 atau seluas 6.078.860.000 M2 ha. Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000). Maka kerugian Negara telah mencapai Rp 91,1829 Triliun. Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp. 146,804 Triliun. Jadi sesungguhnya pemerintah telah menghitung sendiri bahwa kebijakan-kebijakan pertanahan saat ini yang sangat amburadul itu dan telah merugikan negara dan rakyat begitu besar. Catatan Pembanding Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik yang bersifat struktural sampai dengan tahun 2001 saja telah mencapai 1753 (Jauh lebih besar dari 858 yang dikategorikan konflik oleh BPN tahun 2007) dan terjadi di 2834 desa/ kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
1.189.482 KK menjadi korban. Dari keseluruhan sengketa tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan sengketa akibat pengembangan pabrikpabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Selebihnya adalah karena transmigrasi, sarana pemerintah, fasilitas militer dll. Sementara kasus-kasus di atas belum terselesaikan, jumlah konflik setiap tahun terus bertambah akibat lambannya penyelesaian. Dalam catatan tahun 2007, KPA mencatat bahwa sepanjang 2007, terjadi sedikitnya 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar Memberi Ujung Pada Konflik Kita patut prihatin bahwa konflik terbesar tetap berada di areal perkebunan. Artinya konflik pada tanah-tanah yang diatur oleh UUPA dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan 1
Komentar kelanjutan dari Erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie. Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU sesungguhnya diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi/perusahaan. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain. Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selamalamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam sebuah pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980. Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanahtanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi HakHak Barat. Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan PTPN. Padahal, sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge oleh Orde Baru. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya. Di lain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA. Seharusnya pemerintah menerjemahkan Hak Menguasai Negara dipandu dengan kewajiban yang jelas yaitu: diabdikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah dengan sengaja mempertahankan praktek marjinalisasi ekonomi pertanian rakyat kita. 2
Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat. Bahkan, mengacu kepada PP ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi Hak Guna Usaha tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun, jauh lebih lama dari Hukum Agraria Belanda yang memberi hak selamalamanya 75 tahun. Penelusuran ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal� baik oleh UUPA apalagi oleh pandangan masyarakat sekitar. Pemberian HGU selama ini secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri di atas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial. Dengan demikian, pemerintah semestinya menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM agar segera membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) terkait maraknya konflik agraria. Di dalam kerjanya, khusus untuk perkebunan, komisi ini bisa segera melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan di dalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah. Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuai UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju sistem yang lebih berkeadilan sosial. *)Penulis adalah Koordinator Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tinggal di Jakarta. Sumber: rimanews.com BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Utama
Gerakan Pertanian Untuk Kemerdekaan Kaum Tani “Kaum tani sebagai kumpulan massa terbesar di Indonesia yang adalah negara agraris, harusnya bisa memiliki sebuah gerakan dan daya dorong yang besar untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Sayangnya, sejak dulu, kaum tani sepertinya sengaja dimiskink an secara sstruktural. truktural. Sehingga, meskipun memiliki massa tterbesar erbesar at dimiskinkan erbesar,, masyarak masyarakat petani selalu menjadi kaum terpinggirkan.” SUDAH lima puluh satu tahun Indonesia memperingati hari yang bersejarah buat kaum tani. 24 September 1960, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 disahkan langsung oleh Presiden Soekarno sekaligus menetapkannya sebagai hari tani nasional. Hari ini sebagai obat bagi perjuangan kaum tani yang telah merebut penguasaan tanah atas kolonial Belanda yang berlangsung ratusan tahun. Hari tani nasional dianggap sebagai awal mula keberhasilan para pejuang tani dalam memperjuangkan keadilan, kedaulatan, serta kepemilikan tanah atas nama mereka yang merupakan bagian dari semangat perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Kalau kita melihat kepada sejarah bangsa, kaum tani pertama kali muncul dari masyarakat feodal yang pada masa itu berposisi sebagai budak dari seorang tuan tanah. Mereka menggarap lahan si tuan tanah, dijadikan budak dan memberikan hasil olahan tanah tersebut kepada tuan tanah yang pada masa itu menyebut dirinya sebagai raja. Budak tani hanya mendapatkan bagian sesuai dengan apa yang ditentukan oleh sang raja. Pemberian upeti ini sebagai bukti kepatuhan kepada raja dan bukti pengakuan kepemilikan tanah sang raja. Tidak hanya upeti, para budak tani juga harus siap tidak dibayar ketika raja meminta mereka mengerjakan perintahnya seperti membangun istana, berperang dengan kerajaan lain, atau membangun jalan. Hukuman adalah ganjaran yang harus diterima jika tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. Kepatuhan para budak tani terhadap raja makin diperkuat dengan kesadaran di komunitas tani yang menganggap raja adalah ‘manusia pilihan’ dan merupakan ‘utusan Tuhan’ yang harus disegani, dihormati, dan menjadi tempat untuk mengabdi. Ajaran agama pada saat itu pun menanamkan pemikiran bahwasanya raja adalah BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat sehingga ketidakberdayaan kaum budak tani beserta penderitaan yang mereka alami merupakan takdir yang harus dijalani dan ditanggung bukan dengan keputusasaan, melainkan dengan rasa syukur dan penuh kesabaran. Meskipun begitu, beberapa budak tani telah melakukan perlawanan dan pemberontakan dengan menolak pembayaran pajak dan upeti. Walaupun pada masa itu acap kali diselesaikan dengan mudah oleh pasukan dan tentara kerajaan. Ketika bangsa asing masuk, kehidupan budak tani malah bertambah parah. VOC menekan petani dengan mewajibkan penguasa lokal untuk menyerahkan hasil pertanian. Begitu pula pada masa Inggris, pajak tanah berbentuk uang diperkenalkan sebagai pengganti upeti. Faktanya, banyak kaum tani yang tidak sanggup membayar karena harganya yang mahal sehingga tidak sedikit dari mereka yang harus menjual lahan mereka dan menjadi buruh di perkebunan karena terpaksa. Reaksi pun kemudian datang dengan munculnya berbagai perlawanan. Efek dari semuanya adalah pecahnya Perang Jawa atau lebih dikenal dengan istilah Perang Diponegoro. Perang ini menimbulkan banyak kerugian di pihak Belanda, mulai dari finansial dan kehilangan pasukan tempur. Karena kerugian yang besar itu pula, Belanda membuat pelaksanaan STP (Sistem Tanam Paksa) untuk menanggulangi kerugian finansial yang diakibatkan Perang Jawa. STP ini mewajibkan Indonesia menyediakan tanah dalam jumlah sangat besar sebagai lahan penanaman komoditi ekspor seper ti teh, kopi, vanilli, tembakau, dll yang nantinya akan diangkut untuk dijual di pasar dunia. Demi kepentingan tersebut, maka pemerintah Belanda menerapkan aturan kaum tani di Indonesia untuk menyerahkan 1/5 3
Utama lahan garapannya kepada mereka. Dalam prakteknya, bukan 1/5, melainkan seluruh lahan petani diambil oleh penjajah dan memaksa petani bekerja untuk mereka. Sistem Tanam Paksa Belanda benar-benar mengatasi defisit finansial Belanda namun membuat rakyat Indonesia menderita. Pada akhir tahun 1880, krisis ekonomi juga meluas sampai ke pulau Jawa. Sejarah mencatat bahwa bencana itu merenggut setengah dari jumlah penduduk Jawa. Selain itu, setelah selesainya Perang Jawa pada tahun 1830 sampai awal pergerakan nasional pada 1908, diperkirakan terjadi lebih dari 100 pemberontakan yang bersifat lokal yang dilakukan petani. Salah satunya yang paling fenomenal adalah pemberontakan petani Banten tahun 1888. Selanjutnya, organisasi pergerakan yang bersifat modern mulai bermunculan pada awal abad ke-20. Organisasi-organisasi tersebut mengedepankan perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Serikat Islam (SI) misalnya, sekalipun bertujuan untuk memberi perlindungan bagi usaha dagang pribumi, namun dalam pergerakannya mengusung semangat nasionalisme dan menentang kolonialisme. Kemudian lahir ISDV, yang mempelopori lahirnya organisasi kelas buruh seperti VSTP, serikat buruh kereta api. Rakyat tani juga tidak mau ketinggalan. Mereka membentuk Serikat Buruh Tani dan Perkebunan yang kemudian berkembang sendirisendiri menjadi Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan. Perlawanan para kaum petani juga tidak pernah pudar. Tahun 1926, kaum tani bersenjata muncul dengan pemberontakan nasional kaum tani bersenjata. Pemberontakan ini bertujuan untuk meluluhlantakkan kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme. Berbeda dengan perlawanan kaum tani sebelum abad ke-20, pemberontakan ini sudah tidak lagi bersifat kedaerahan. Bukan hanya di Jawa, namun Sumatera dan Kalimantan juga melakukan hal demikian. Gerakan kaum tani mengalami pengawasan yang ketat dari Belanda setelah tahun 1926. Ini dilakukan karena Belanda khawatir akan munculnya kembali perlawanan dari kaum tani. Sama halnya ketika Jepang mendarat di tanah air Indonesia. Mereka memerintahkan polisi rahasia mereka yang dikenal sangat kejam dan lihai untuk senantiasa mengawasi gerak-gerik kaum tani 4
beser ta pemimpinnya. Tidak sedikit yang ketahuan, lalu ditangkap, disiksa, dan pada akhirnya dijebloskan ke tahanan. Perhelatan berupa kongres petani pertama diselenggarakan pada November 1945 dan merupakan kelahiran Barisan Tani Indonesia (BTI). Disusul kemudian kemunculan Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI). Tahun 1947, disponsori oleh Masyumi, lahirlah Serikat Tani Islam Indonesia (STII). Lalu menyusul PETANI, PNI, dan PETANU yang dinilai banyak dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tersebut, khususnya BTI, lalu berkembang dengan cepat, dan bahkan anggota BTI sudah mencapai angka 3 juta lebih dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia pada akhir tahun 1955. Tidak bisa dipungkiri, gerakan massa rakyat dalam perjuangan pembebasan kemerdekaan Indonesia menjadi titik pelecut semangat berdirinya organisasi tani modern. Program perjuangan dari BTI, SAKTI, dan RTI yang selanjutnya dilebur menjadi BTI dengan tegas menyatakan anti imperialisme/penjajahan serta anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Kemudian, organisasi tani ini menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan UUPA 1960 secara aktif dan konsisten. Orde Baru, Organisasi Petani Sengaja Dibungkam Tahun 1966 adalah awal dimulainya rezim baru dalam pergolakan politik di Indonesia. Pasca jatuhnya kepimimpinan era Presiden Soekarno, Soeharto masuk dengan mengusung orde baru dalam tahta kepresidenan. Era ini merupakan awal dari kemunduran gerakan tani. Tidak sedikit anggota BTI yang dituduh komunis dan dibunuh akibat tuduhan tersebut. Ini merupakan strategi melumpuhkan gerakan tani Indonesia. Setelah tahun 1966, orde baru mencoba praktek kebijakan yang mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Hanya HKTI (Himpunan Keluarga Tani Indonesia) yang direstui pemerintah kala itu. Jika menolak masuk HKTI atau malah mendirikan organisasi sendiri, akan dicap sebagai pemberontak pemerintah. Sama halnya dengan aturan mengenai partai politik yang tidak memperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, ini merupakan salah satu upaya dan taktik orde baru untuk memusnahkan kesadaran politik kaum tani. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Utama Dalam hal ini, taktik pemerintah berhasil. Kaum tani Indonesia selama 32 tahun, dibuat buta dan tidak tahu apa-apa tentang politik serta menganggap bahwa mengurusi terlebih lagi ikut campur dalam dunia politik ialah hal yang tabu. Kaum tani tidak hanya diam, namun ketidakpuasan sampai protes diajukan demi melawan kebijakan orde baru yang lebih berpihak pada kepentingan imperialisme/penjajahan tidak berdaya dengan kekerasan ala orde baru saat itu. Kerugian yang dirasakan bukan tidak parah, petani harus menderita karena kehilangan lahan akibat praktek penyerobotan, penggusuran, dan perampasan tanah dengan alasan kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani, dan perusahaan, pembangunan industri dan perumahan mewah, diambil alih militer, dan alasan-alasan lainnya. Tercatat terjadi tidak kurang 1753 kasus sengketa tanah yang membuat kaum tani harus berhadapan dengan pihak pengusaha dan militer negara. Kekuasaan Soeharto benarbenar membuat gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa dan mengalami masa-masa kegelapan yang mencengkam. Meski begitu, perlawanan tetap dilakukan oleh masyarakat tani. Mulai aksi pembangkangan pembayaran pajak, mogok makan, demonstrasi, penolakan untuh dialihkan tanahnya, menuntut kembali hak milik tanah (reklaiming), pengambilalihan atau pendudukan tanah (okupasi), hingga perlawanan fisik. Perlawanan secara berkelompok juga dilakukan dengan
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
mendirikan organisasi independen di luar HKTI. Bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang memaksa petani agar bergantung terhadap input produksi dari perusahaan asing dilakukan dengan praktek pertanian organik serta pendirian koperasikoperasi dan lumbung-lumbung benih. Tahun 1998, kebebasan demokratik lebih terbuka lebar pasca runtuhnya rezim kekuasaan Soehar to. Gerakan tani juga mengalami kebangkitan dengan banyaknya aksi petani menuntut kembali tanah-tanah yang dulu dirampas oleh orde baru. Perjuangan petani dari masa ke masa ini membuktikan bahwasanya mereka berjuang dalam rangka mempertahankan hak. Perlawanan terhadap politik neoliberal yang merupakan ujung tombak bagi pengusaha untuk mengeruk dan menguasai tanah-tanah rakyat. Semangat UUPA pun sering menjadi samar oleh berbagai kontaradiksi dalam bentuk undang-undang yang mengandung kebijakan pemerintah berupa pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perampasan-perampasan tanah untuk kepentingan pembangunan dilakukan negara beserta pihak swasta yang dibarengi pula dengan tindakan kriminal terhadap petani dan masyarakat yang berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka. Sejarah gerakan tani Indonesia ini membuktikan satu hal penting bahwa kaum tani mempunyai kekuatan besar sehingga sengaja dipinggirkan secara struktural. (Andi)
5
Utama
Konflik Tanah Kaum Tani Masih Jadi Masalah TANAH adalah alat produksi utama yang harus dimiliki seorang petani agar hidupnya sejahtera. Seperti pernyataan Tauchid (1952), ‘Siapa yang menguasai tanah, maka ia menguasai makanan.’ Artinya, siapa yang berkuasa atas tanah, maka ia berkuasa atas kehidupan karena dengan menguasai tanah berarti berkuasai untuk mengendalikan sumber-sumber makanan yang berguna demi kelangsungan kehidupan. Itulah sebabnya akses dan kontrol rakyat atas sumbersumber yang berhubungan pertanian adalah hal mendasar bagi bangsa Indonesia. Tak heran pula, mengingat pentingnya tanah, konflik dan kekerasan demi penguasaan tanah masih saja terus terjadi. Tanah dan ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan sumber agraria, sampai hari ini masih menjadi satu persoalan mendasar dan menjadi akar ketidakberdaulatan pangan kita. Artinya perbaikan sistem pangan tidak akan tercapai tanpa adanya
pengaturan pemanfaatan dan penguasaan sumbersumber agraria, atau yang biasa dikenal dengan istilah pembaruan agraria. Pembaruan agraria adalah amanat konstitusi RI yang andai dijalankan dengan benar, maka cita-cita proklamasi, yakni mengubah struktur kolonial yang nir-keadilan, menjadi struktur baru, struktur nasional yang mencerminkan kemartabatan, keadilan, kesejahteraan dan kemajuan dapat tercapai. Dalam hal ini adalah pemerataan penguasaan atau pemilikan lahan produktif. Satu-satunya objek yang dimiliki oleh agraria adalah tanah. Maka dari itu, seperti yang tertuang dalam UUPA No. 50 tahun 1960 pada bagian ‘Berpendapat’ butir (d) disebutkan bahwa “……..mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaanya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
Mendesak: Masyarakat terus mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang sebagian besar bersengketa dengan perkebunan. 6
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Utama dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat….”. Jika merujuk kembali pada ketetapan MPR No. IX tahun 2001 pasal 2m disebutkan bahwa “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria…..”. Terlihat jelas bahwa ada 4 hal penting yang dinyatakan secara tegas dalam kalimat tersebut, yaitu penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan. Saat ini, yang terjadi adalah konflik pertanahan yang dialami antara masyarakat/petani dengan koorporasi yang sering berujung dengan penangkapan dan membawa petani ke pengadilan tanpa meninjau latar belakang permasalahan yaitu ketidakjelasan hak kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berdampak pada tindakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap masyarakat petani sebagai akibat dari konflik wilayah pertanahan. Di Sumatera Utara saja, sejak diberlakukannya otonomi daerah dengan UU No. 32 tahun 2004 yang mana Pemda (Pemerintahan Daerah) diberi kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri, setidaknya, terdapat 875 kasus yang terjadi dan sampai saat ini belum terselesaikan. Para pensiunan karyawan perusahaan perkebunan dan masyarakat tani tidak berdaya digusur, diusir, lalu direbut tanahnya oleh para mafia dan koorporasi yang berseliweran mengintip tanah rakyat untuk dijarah. UUPA No.5 tahun 1960 yang ditetapkan sebagai hari tani oleh Presiden Soekarno melalui KEPRES No. 169 tahun 1963 merupakan ujung tombak sejarah yang harus diperingati dan dijadikan momen untuk memperjuangkan hak atas tanah sebagai alat peningkatan kesejahteraan sebagaimana amanah konstitusi. Pada hari tani yang ke-51, penyambutan hari bersejarah itu dilakukan dengan berbagai aksi oleh berbagai organiasai petani di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatera Utara aksi digelar di depan kantor DPRD Sumut oleh Forum Rakyat Bersatu (FRB) Sumatera Utara yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok tani di Sumatera Utara. Ada beberapa tuntutan mereka kepada pihak pemerintah, yang antara lain sebagai berikut : • VsMendesak agar Pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus tanah di Sumatera Utara. • Mendesakkan GUBSU menerbitkan Peraturan Gubernur tentang penyelesaian kasus/konflik agraria di Sumatera Utara. • Meminta Gubernur untuk tidak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU Perkebunan bagi lahan-lahan yang masih bersengketa dengan BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
masyarakat.
• Pembentukan Tim Penyelesaian Kasus/Konflik Agraria.
• Stop Kriminalisasi dan diskriminasi Rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah.
• Berantas Praktek-praktek Mafia Tanah yang memperalat lembaga Hukum (Kepolisian dan Peradilan) dan lembaga Politik (Eksekutif dan Legislatif). • Tolak RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. • Laksanakan Reforma Agraria/UUPA. • Pelaksanaan PP No. 11 tahun 2010 ttg Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Ada 54 kasus pertanahan yang mengakibatkan konflik antara masyarakat dengan BUMN. 1. Masyarakat Pergulaan Kab. Sergai (BPMP) Vs PT.PP. Lonsum 2. Masyarakat Dusun anggrek P.Labu (BPMAB) Vs Mafia tanah 3. Masyarakat Banjaran langkat (KTMIM) Vs PT. Buana Estate 4. Masyarakat Sei Bingai (ARSIB) Vs PT. Serdang Hulu 5. Masyarakat Pasar IV Helvetia (HPPLKN) Vs Mafia Tanah (Titin Kurniati CS) 6. Kelompok Tani Mekar Jaya Binjai VsMafia Tanah 7. Makmur Jaya Binjai Vs Mafia Tanah 8. Masyarakat Namo Trasi Langkat Vs PTPN II 9. Kelompok Tani 71/79 Marendal I Vs Mafia Tanah 10. Himpunan Pensiunan Perkebunan Maju Bersama (HIPPMA) Vs PTPN II 11. Kelompok Tani KNPES Helvetia Vs PTPN II 12. Kelompok Tani Bersatu Sei Mencirim Psr IV Vs PTPN II 13. Kelompok Tani Jas Merah Vs Mafia Tanah (Anto Keling) 14. Kelompok Tani Tanah 600 (Enam Ratus) Medan Marelan Vs PTPN II 15. Kelompok Tani Perluasan Desa Tumpatan Nibung Bt. Kuis Vs Mafia Tanah 16. Kelompok Tani Purnayuda Helvetia Vs PTPN II 17. Kelompok Tani Mekarsari Payabakung Vs PTPN II 18. Kelompok Tani Pra Sejahtera Vs Mafia Tanah 19. Kelompok Tani Maju Bersama Tebing Tinggi Vs PTPN III 20. Kelompok Tani Paret Kaca Stabat Vs Mafia Tanah 21. Kelompok Tani Kuala Bingai Psr VI/VII Vs Mafia Tanah 22. Kelompok Tani Bersatu Tadukan Raga Vs PTPN II 23. Kelompok Tani Kerapatan Patumbak Vs PTPN II 24. Kelompok Tani Bersatu Limau Mungkur Vs PTPN II 25. Kelompok Tani Bintang Meriah Vs PTPN II 7
Utama 26. Kelompok Tani Perjuangan Kampung Nangka Stabat Vs PTPN II 27. Kelompok Tani Bersatu Mencirim Vs PTPN II 28. Kelompok Tani Maju Bersama Sei Mencirim Vs PTPN II 29. Kelompok Tani Bangun Sari Baru T. Morawa Vs PTPN II 30. Kelompok Tani PPTM Selambo Percut Sei Tuan Vs PTPN II 31. Kelompok Tani Telaga Sari T. Morawa Vs PTPN II 32. Kelompok Tani Besitang Vs TNGL 33. Kelompok Tani Asahan Vs PT. RGM 34. Kelompok Tani Simalungun Vs PTPN III 35. Kelompok Tani Maju Bersama Langkat Vs PTPN II 36. Kelompok Tani Medan Sinembah T. Morawa Vs PTPN II 37. Kelompok Tani Nelayan Berkarya Kita Bisa Dsn saur matio P.S Tuan Vs PUSKOPAD DAM I/BB 38. Kelompok Tani Sidodadi Merbau Selatan Labura VS PTPN III 39. Kelompok Tani MBK Labuhan Batu Vs PTPN III 40. Masyarakat Adat Pandumahan Sipitu Huta Humbahas Vs PT. TPL 41. Kelompok Tani Labuhan Batu (Mangunsong) Vs PTPN III dan swasta 42. Kelompok Tani Tunggurono paya Bakung Hamparan Perak Deli Serdang Vs PTPN II 43. Kelompok Tani Pematang Belo Hamparan Perak Deli Serdang Vs PTPN II 44. Kelompok Tani Perjuangan Secanggang Langkat Vs PTPN II 45. Perwakilan Tanah Dua Desa (Arah Condong dan Kepala Sungai) Secanggang Langkat Vs PTPN II
8
46. Kelompok Tani Desa Suka Jadi, Tanjung Mulia dan Batu Melanggang Hinai Langkat Vs PTPN II 47. Kelompok Tani Gohor Lama Psr I dan II Langkat Vs PTPN II 48. Kelompok Tani Desa Perdamaian, Dendang dan Kwala Bingai Stabat Vs PTPN II 49. Kelompok Tani Paya Gambar B. Kuis Vs PTPN II 50. Kelompok P3RI Helvetia Vs PTPN II 51. Kelompok Tani Karya Tani Sei Silau Asahan Vs PTPN III 52. Kelompok Tani Ujung Serdang Deli Serdang Vs PTPN II 53. Kelompok Tani Bangun Sari Deli Serdang Vs PTPN II 54. Kelompok Tani Undian Deli Serdang Vs PTPN II Banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi dan perjuangan yang urung usai memperlihatkan betapa kerasnya masyarakat/kaum petani untuk membela dan meminta haknya kembali. Sementara pemerintah seolah tidak acuh dengan apa yang menimpa rakyatnya dan tidak serius melakukan perlindungan serta pembelaan terhadap mereka. Itu belum lagi kebijakan-kebijakan yang dinilai memberatkan petani dan membuat keadaan petani makin terpuruk. Pelaksanaan pembaruan agraria seharusnya dapat menciptakan proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Namun yang menjadi pertanyaan penting, apakah pembaruan agraria yang poros tujuannya mengarah pada kepentingan rakyat banyak akan bisa terwujud? Saatnya pemerintah dan semua pihak harus peduli dengan persoalan ini. (Andi)
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
Petani Bisa Rebut Kembali Lahan yang Diserobot Perusahaan PUBLIC Interest Lawyer Network (Pilnet) menyatakan dikabulkannya uji materi UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar kepada setiap petani. Lahan dan tanah yang selama ini te r a m p a s o l e h p e r u s a h a a n perkebunan bisa direbut kembali oleh petani setempat. “Putusan Mahkamah Konstitusi ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan masyarakat adat merupakan pengakuan eksistensialis. Sehingga, hak asasi manusia dan keragaman, keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara,” kata anggota tim kuasa pemohon pengujian UU Perkebunan, Andi Muttaqien, di Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Menurut Andi yang juga menjabat sebagai Staf Advokasi Hukum ELSAM ini, Pasal 21 dan Pasal 47 beserta penjelasannya dalam UU Perkebunan, tidak mengikat lagi secara hukum. Dengan demikian, terjadi pengakuan yang diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat. Dilanjutkannya, pengakuan terhadap hak masyarakat adat tidak lagi bersifat simbolik semata. Namun, pengakuan yang sifatnya eksistensialis. “Artinya pengakuan negara yang didasarkan pada sifat dan hakekat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan yang salah satunya adalah masyarakat adat dan ini merupakan kenyataan atau kebenaran umum (noteire feiten) BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Direbut: Putusan MK tentang lahan yang selama ini dirampas oleh perusahaan perkebunan bisa direbut kembali oleh petani. yang jelas, terang dan tidak membutuhkan bukti lagi akan kebenaran dan keberadaannya,” jelas Andi. Para pengambil kebijakan Negara, seperti Presiden, Menteri Pertanian cq Dirjen Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung beserta seluruh lembaga Peradilan di bawahnya, harus memperhatikan dan menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai indikator dan pegangan dalam setiap pengambilan kebijakan dan putusan yang berkaitan dengan hak-hak tersebut. “Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sementara Pasal 47 berisi mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang dianggap melanggar Pasal 21,” ujar Andi.
Sejak awal rumusan norma yang terkandung di dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ini memang mengandung pengertian yang sangat luas dan tidak rigid. Hal ini disebabkan karena ketentuan mengenai “perbuatan yang dilarang” dan “diancam pidana” dalam UU Perkebunan ini disusun dan dibentuk hanya berdasarkan atas praanggapan-praanggapan yang tidak diselidiki secara luas sampai kebenarannya. “A k i b a t n y a , p e r b u a t a n perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana oleh UU Perkebunan ini dirasakan sebagai bertentangan dengan nilai (value) dan rasa keadilan dalam masyarakat, bertentangan dengan kepastian hukum, bahkan bertentangan dengan politik hukum dan politik sosial yang tertuang dalam UUD 1945,” jelas (Y udi Rahmat) Andi.(Y (Yudi Sumber: www.gresnews.com dan www.elsam.or.id 9
Advokasi
Presiden Didesak Hentik an Perampasan Tanah Rakyat KEBIJAKAN pertanahan yang dibuat pemerintah dinilai tidak adil dan timpang, terutama bagi kaum petani. Pembaruan agraria dinilai bisa menjadi solusi pembagian tanah yang saat ini lebih mengutamakan pihak swasta dalam mengelola lahan. Pemerintah dinilai tidak sanggup menjalankan amanat pembaruan agraria. Ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib petani terlihat pada RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, yang dinilai mempermudah perampasan tanah rakyat. Pernyataan ini dilakukan koordinator panitia Hari Tani Nasional 2011, Idham Arsyad, beberapa waktu yang lalu. Menurut dia, pemerintah kurang peduli kepada nasib petani. Hal ini tercermin dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah, yang cenderung tidak adil dan sangat timpang. Saat ini, 34,8 juta hektar hutan produksi dikelola oleh 500 perusahaan. Sementara, pemerintah hanya menyediakan 800.000 hektar hutan produksi kepada ratusan ribu masyarakat.
Ketidakadilan distribusi tanah paling terlihat pada sektor perkebunan sawit. Dari 9,5 juta hektar lahan yang ada, hanya 2,5 juta hektar yang dikelola oleh jutaan rakyat. Selebihnya, lahan perkebunan seluas 7 juta hektar, diberikan pada 600 perusahaan perkebunan. Bahkan, baru-baru ini pemerintah SBY-Boediono menyediakan 2 juta hektar tanah di Merauke hanya untuk 41 perusahaan. “Padahal, dari 24 juta rumah tangga petani, jika dirata-rata, hanya memiliki 0.3 hektar. Bahkan sebagian tidak memiliki tanah sama sekali. Mereka tinggal di desa-desa dengan infrastruktur yang buruk, tidak mendapat pendidikan dan kesehatan yang layak. Akibatnya, mereka bermigrasi ke kota, bahkan ke luar negeri, dengan menjadi tenaga kerja murah. Pada situasi ini, perempuan dan anak menjadi korban yang paling rentan,” kata Idham. Menurut Idham, pembaruan agraria adalah jawaban utama
dalam menyelesaikan problem ketimpangan struktur kepemilikan tanah, kelangkaan modal dan rendahnya teknologi yang dipunyai kaum tani selama ini. “Pembaruan agraria bisa memperkuat proses industrialisasi nasional kita sehingga produksi, distribusi dan konsumsi benar-benar untuk kemakmuran rakyat.” Panitia juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan perampasan tanah milik rakyat, terutama yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Undangundang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang disahkan Presiden Soekarno mengamanatkan agar tanah didistribusikan secara adil kepada rakyat, khususnya petani, buruh, nelayan dan masyarakat adat. “Namun sampai sekarang, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan sesuai dengan semangat dan mandatnya,” kata Idham. (Nina Suartika / Rosmi Julitasari) Sumber: www.vhrmedia.com
Mendesak: Pada Aksi peringatan Hari Tani 2011 ini masyarakat menuntut agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan perampasan tanah milik rakyat, terutama yang dilakukan oleh perusahaan swasta. 10
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
Petani Menagih Janji SBY Oleh: Idham Arsyad* UNTUK tiap tahunnya kita memperingati hari agraria, atau hari kelahiran UUPA 1960. Pada 24 September 2011 ini, umurnya telah mencapai 51 tahun. Bagi pemerhati persoalan agraria, kemiskinan yang sedang melanda negeri ini, terutama nasib kaum tani perdesaan, salah satu sebabnya adalah pengabaian terhadap UUPA ini. Dulu, ketika rumusan UUPA ini digodok, semangatnya adalah antikolonialisme dan feodalisme. Alasannya jelas, para pemikir agraria melihat bahwa kolonialisme dan feodalisme menjadi pangkal kemiskinan dan sumber kemelaratan rakyat melalui penguasaan atas sumber-sumber agraria oleh kaum pemodal besar dengan mengorbankan rakyat tani. Setelah UUPA lahir, watak antikolonialisme dan feodalismenya pun tercermin. Semangat untuk menghilangkan jejak dan warisan ketidakadilan pemerintah kolonial terlihat jelas baik di filosofinya, pasal-pasalnya, pada penjelasan umum, dan penjelasan pasal demi pasalnya. Bila disarikan, UUPA mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut; 1) hubungan antara tanah dan bangsa Indonesia bersifat abadi, 2) tanah merupakan kekayaan nasional, 3) tanah dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, 4) pengakuan dan penghormatan hak ulayat, 5) prinsip land reform, 6) menjamin perlindungan kepentingan golongan ekonomi lemah, 7) prinsip nasional atau kebangsaan, 8) kesetaraan gender, 9) memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup, dan 10) pengejawantahan Pancasila serta UUD 1945 BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Dimandulkan dan Dikhianati Pada masa Orba, UUPA tidak mendapat tempat dalam strategi dan kebijakan pembangunannya. Keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi model kapitalis menjadi lonceng kematian bagi UUPA. Strategi pembangunan dirumuskan dan direalisasikan dengan ciri utama, pertumbuhan ekonomi, kebijakan pintu terbuka untuk invetasi asing maupun domestik, serta membangun rezim yang otoritarian demi terciptanya stabilitas. Pelajaran penting yang perlu dicatat sebagai bagian dari pengkhianatan terhadap UUPA 1960, dilahirkannya sejumlah kebijakan agraria yang isinya sama sekali bertentangan dengan UUPA, seperti UU No11 /1967 Tentang Pertambangan, UU No5 / 1967 tentang Kehutanan, UU Penanam Modal Asing, UU No1 / 1974 tentang Pengairan, dan UU No9 /1985 tentang Perikanan. Dampak yang terasa sampai saat ini adalah konflik agraria terjadi di mana-mana dengan dibarengi pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa dan ketimpangan penguasaan agraria yang begitu mencolok. Karenanya, tidak terlalu berlebihan bila mayoritas penggiat pembaruan agraria memandang bahwa status krisis saat ini terakumulasi pada krisis keadilan, krisis layanan alam, dan krisis produktivitas rakyat, (Fauzi; 2003). Tiga krisis inilah sumber utama dari berbagai persoalan struktural bangsa Indonesia saat ini, seperti kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, serta krisis pangan dan energi.
K embali kke e UUP A No 5/1 960 UUPA 5/1960 Ajakan penulis untuk kembali ke semangat awal UUPA No 5/ 1960 pada dasarnya dilandasi pemikiran salah satu bapak proklamator RI, Mohammad Hatta. Dua tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, beliau berkata: “Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang. Yaitu, Indonesia sebagai negeri agraris. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umum.� Semangat UUPA No 5/1960 adalah hendak mengubah karakter negara kolonial menjadi negara nasional yang merdeka, serta menghapus watak imperealisme dan feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat Indonesia. Para perumus UUPA sangat meyakini bahwa hanya dengan mengubah stuktur penguasaan agraria melalui pembaruan agraria kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Penting untuk ditegaskan bahwa bahwa pembaruan agraria yang diamanahkan oleh UUPA No 5/1960 adalah langkah penting yang harus dilalui bangsa Indonesia untuk menata perekonomiannya. Ini karena tanpa pembaruan agraria, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya 11
Advokasi perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakangan. (Bonnie, Fauzi; 2003) Pembaruan agraria adalah operasi politik dan ekonomi untuk menguatkan perekenomian nasional dan sebagai jalan untuk menciptakan kesejahteraan petani dan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dimulai dengan melakukan penataan pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang sudah sangat timpang, kemudian diikuti program distribusi dan redistribusi tanah kepada petani tak bertanah dan petani gurem. Kemudian petani dan sektor pertanian diintegrasikan dengan sektor industri yang lebih luas melalui dukungan program lanjutan pasca-distribusi tanah. Menagih Janji SBY Pelaksanaan pembaruan agraria selalu membutuhkan dukungan dan komitmen politik pemerintah. Tanpa keterlibatan
pemerintah, keberlangsungan pencapaian pembaruan agraria sulit dijaga. Sayangnya, sampai saat ini komitmen pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria baru sebatas janji belaka. Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjanjikan untuk melaksanakan pembaruan agraria melalui pidatonya pada 31 Januari 2007. Dalam pidato tersebut, SBY mengatakan akan melaksanakan pembaruan agraria yang dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan melalui redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektare. Sampai saat ini, janji Presiden belum terealisasi. Padahal untuk mengeluarkan petani dan masyarakat perdesaan dari kemiskinannya mau tidak mau negara mutlak melakukan program pembaruan agraria. Tanpa pembaruan agraria, mustahil petani mencapai kesejahteraan, sebab akar kemiskinan petani adalah karena mereka
tidak punya tanah atau kepemilikan tanah yang gurem. Dari hasil lima sensus pertanian, mulai 1963 hingga 2003, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pemilik lahan tidak diimbangi peningkatan ketersediaan lahan. Rata-rata penguasaan lahan petani dari setiap sensus sangat kecil, yaitu antara 0,81 sampai 1,05 hektare. Hal ini menunjukkan bahwa selama 40 tahun jumlah petani miskin yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektare meningkat. (Bachriadi & Wiradi; 2009). Ini merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan dan penghidupan kaum tani semasa pemerintahan kolonial. Akhirnya, melalui peringatan hari tani nasional ini, penulis kembali menegaskan bahwa petani menagih janji Presiden. *Penulis adalah Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria. Sumber: www.sinarharapan.co.id
Bersuara: Rakyat kerap bersuara agar pemerintah harus menjalankan UUPA No.5/1960 dengan cepat dan jangan ditunda-tunda lagi. 12
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
“RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Masih Kecilkan Peran Petani Dalam Penyediaan Pangan” PET ANI masih diposisikan PETANI sebagai kelompok rentan dan bodoh dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang sedang disiapkan. Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa petani Indonesia merupakan tulang punggung penyedia pangan dengan segala kreativitas dan pengetahuannya. Sehingga pandangan miring tersebut perlu diubah untuk mencapai kedaulatan pangan di Indonesia. Demikian pesan Aliansi untuk Desa Sejahtera menyambut Hari Tani, 24 September mendatang (23/8/2011). “Kalau melihat dari sisi produktivitas lahan sawah, petani kita mampu menghasilkan produktivitas rata-rata 9 ton/ha/ tahun, lebih tinggi dibanding China, Jepang, Korea,” Sampai Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS. Belum lagi kemampuan untuk membenihkan jenis padi yang sesuai dengan kondisi iklim yang semakin ekstrim, seperti yang dilakukan
para petani di Serdang Berdagai, Aceh, Tasikmalaya dan Indramayu, tambah Tejo Sayangnya, semangat RUU yang diambil pemerintah RI malah tidak melihat potensi ini. Petani masih ditempatkan sebagai kelompok yang “bodoh”, sehingga harus mendapat uluran tangan dari luar. “Ujung-ujungnya ketergantungan seperti sekarang ini, dari benih, pupuk, petisida semua dari luar, pada akhirnya menyerahkan seluruh proses penyediaan pangan kita ke tangan swasta,” jelas Tejo. Hak dasar untuk melindungi petani dan membuat petani berdaulat seperti hak atas pangan, benih, sumberdaya genetik, modal dan juga terbebas dari kriminalisasi merupakan muatan penting yang harus ada di dalam Rancangan Undang-Undang Pelindungan dan Pemberdayaan Petani. Pentingnya perlindungan terhadap kelompok produsen pangan, juga ditegaskan M. Riza Damanik, ketua Pokja Ikan ADS.
“ Kita juga memerlukan UU Perlindungan Nelayan yang benarbenar berfungsi mendukung kelompok yang menyediakan 70% kebutuhan ikan kita.” jelasnya. Tanpa ada perlindungan yang berpihak pada nelayan tradisional, kelompok ini akan tersingkir dari proses penyediaan pangan bagi bangsa. Untuk kelompok pekebun sawit mandiri yang mengelola sekitar 30% luas sawit di Indonesia, Achmad Surambo dari pokja Sawit,menilai minimnya perlindungan kepada mereka. “Syukurlah MK mengabulkan permohonan judicial review UU Perkebunan No.18/2004 psl 21 jo 48, yang menggugurkan pasal kriminalisasi UU Perkebunan terhadap petani mandiri dan masyarakat adat,” kata Achmad. Tetapi pekebun kecil perlu mendapat dukungan agar dapat mengelola perkebunannya secara maksimal dan berkelan-jutan. Sudah saatnya para produsen pangan skala kecil menjadi tulang punggung penyediaan pangan bangsa ini. Niat perlindungan bagi produsen pangan, khususnya petani yang tertuang dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tanpa pengetahuan yang cukup, pemahaman mendalam dan kepercayaan negara, niscaya hanya akan berakhir pada penyerahan urusan pangan ke tangan para investor pangan. Kedaulatan dan kesejahteraan petani, serta kedaulatan pangan petani, nelayan dan produsen kecil lainnya tidak akan pernah terwujud. (ril) Sumber: desasejahtera.org
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
13
Advokasi
Peraturan Menteri Kehutanan Tentang Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Dikritik Seluruh aparat, baik di eksekutif dan legislatif maupun yudikatif harus mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pada 6 September lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal 21 beserta penjelasan dan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang aquodinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Kedua pasal tersebut memuat norma yang berpotensi mengkriminalisasi siapapun yang menganggu usaha perkebunan dan melakukan tindakan okupasi tanah tanpa izin. Menurut Mahkamah, rumusan norma pada kedua pasal terlalu umum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan itu perlu dijadikan rujukan terutama dalam menyelesaikan sengketa atau konflik seputar perkebunan. Presiden, misalnya, perlu menjadikan putusan itu sebagai kerangka penyusunan kebijakan baru di bidang perkebunan. Polisi dan jaksa juga diminta menghentikan kriminalisasi terhadap petani yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan. Demikian pula hakim-hakim yang menangani perkara sejenis. “Jangan lagi menggunakan pendekatan hukum pidana terhadap petani dan masyarakat hukum adat,” kata Andi Muttaqien, pengacara publik yang mendampingi sejumlah petani mempersoalkan Undang-Undang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi. Senada, Edi Sutrisno, Juru Kampanye Sawit Watch, menjelas14
kan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat sudah mengkhawatirkan, terutama dalam pembukaan perkebunan kelapa sawit. Selama ini perjuangan petani dan masyarakat hukum adat dilihat aparat sebagai tindak pidana. Pasal 21 dan pasal 47 UndangUndang Perkebunan sering dijadikan dasar kriminalisasi. Putusan MK, kata Edi, merupakan kado bagi petani dalam rangka hari agraria nasional. Edi juga meminta agar aparat penegak hukum tidak terlalu gampang menggunakan pasal 170 KUH Pidana. Seperti dijelaskan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya, keberadaan masyarakat hukum adat diakui dan dijamin UUD. Aksi masyarakat seringkali dipicu ketiadaan batas yang jelas wilayah perkebunan dan tanah masyarakat adat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) punya andil di sini. Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 menjelaskan perlunya membubuhkan tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batasbatasnya pada daftar tanah. Peraturan Menteri Sehubungan dengan maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit, Telapak, sebuah
organisasi yang peduli pada masalah tanah adat, mengkritik Peraturan Menteri Kehutanan No. P-62/MenhutII/2011. Beleid yang diterbitkan Menteri Kehutanan ini memungkinkan perkebunan kelapa sawit dibangun di kawasan hutan produksi tetap. Kalimantan Tengah dianggap sebagai daerah terbesar penyumbang deforestasi. Kebijakan ini akan berdampak serius pada lingkungan. “Selama ini kelapa sawit hanya boleh dikembangkan pada kawasan di luar kawasan hutan produksi tetap dan kawasan budidaya nonkehutanan,” jelas Abu Meridian, Juru Kampanye Telapak. Telapak menemukan 97 perusahaan perkebunan kelapa swit yang arealnya tumpang tindih dengan kawasan hutan tempat diberlakukannya moratorium izin eksploitasi. Dalam perkiraan lembaga ini, luas kawasan hutan yang tumpang tindih mencapai 900 ribu hektare. Permenhut tersebut dianggap membuka peluang terjadinya deforestasi yang lebih besar terutama di Kalimantan Tengah. “Permenhut ini juga dianggap mengabaikan pemberlakuan moratorium,” jelas Abu Meridian dalam rilis yang diterima hukumonline. (ril) Sumber: http://elsam.or.id BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
“Kebijakan Pangan yang Abaikan Produsen Kecil dan Kedaulatan Pangan Bangsa” DI TENGAH krisis pangan yang melanda dunia, kebijakan pangan yang diambil oleh Pemerintah RI pada periode 20112012 justru tidak menjamin ketersediaan pangan rakyat, dan kesejahteraan produsen yang mayoritas produsen kecil. Demikian disampaikan Aliansi Desa Sejahtera atas kebijakan pangan Pemerintah Indonesia, yang malah merespon kebutuhan pasar di saat kewajiban utamanya mengurus kebutuhan penduduknya. “Langkah yang diambil pemerintah RI sangat bertolak belakang dengan langkah yang diambil oleh pemerintah di manapun di dunia, bahkan negara-negara yang terang-terangan menganut ekonomi liberal. Di saat krisis pangan mereka menata sistem pangannya, melindungi produsen dan kebutuhan rakyatnya. Indonesia malah sibuk membuka sektor pangan untuk investor swasta, dengan membangun infrastruktur berbiaya tinggi,” tegas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS. Hal ini terlihat dari kebijakan yang diambil untuk menyediakan pangan di antaranya MP3EI, WEF. MIFEE ataupun anggaran RAPBN 2012. RAPBN menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas ke 5 dengan total budget 1.418,5 Trilyun. Program apapun tanpa menempatkan produsen kecil, seperti petani, nelayan dan pekebun sebagai subyek dalam penyediaan pangan tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan di pedesaan. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Hal ini dikuatkan oleh M. Riza Damanik, ketua Pokja Ikan ADS. Kalau melihat seluruh kinerja ekonomi makro selama 10 tahun terakhir memang membaik. APBN bertumbuh terus, produksi ikan juga demikian. Tetapi kesejahteraan nelayan tidak beranjak, walau Nilai Tukar Nelayan juga naik. Hal ini karena proporsi anggaran untuk kesejahteraan nelayan nyaris tidak ada. Demikian juga daerah-daerah penghasil ikan tidak mendapatkan insentif, yang akhirnya berimplikasi pada memburuknya kerja sektor perikanan. Tambah Riza lagi tentang sedikitnya dukungan. Penimbunan pangan, khususnya beras di beberapa tempat seperti yang diakui oleh Menteri Pertanian menunjukkan ketidakseriusan pemerintah mengurus pangan.” Pemerintah kalah dengan pedagang, karena kerangka berpikir dan kebijakannya hanya melihat pangan sebagai komoditas semata,” ungkap Said Abdullah, Ketua Pokja Beras ADS. Kenaikan harga pangan sendiri memiliki dua sisi, sebagai produsen pangan menguntungkan tetapi karena petani juga merupakan nett consumers, kenaikan harga yang terus-terusan akhirnya menekan mereka. Akibat kebijakan yang melihat pangan sebagai komoditas, pengelolaannya sepotong-sepotong. ”Inilah pentingnya revisi UU Pangan, sehingga pengelolaan pangan berbasis hak, yang perlu diurus dari produksi sampai konsumsi.
UU Pangan yang ada memiliki kelemahan fatal karena lebih banyak mengatur industri,” tegasnya lagi. Abetnego Tarigan, ketua Pokja Sawit ADS menekankan bahwa dari UU yang berlaku di sektor sawit, UU Perkebunan jelas terlihat bagaimana produsen kecil malah dikriminalisasi.”Padahal produsen kecil ini mengelola setidaknya sepertiga kawasan perkebunan sawit di Indonesia. Kebanyakan menggunakan modal sendiri.” Berbagai peraturan yang menyulitkan dan tidak mendukung produsen kecil sudah saatnya diganti. Dia juga menegaskan, perkebunan sawit perlu dikendalikan agar tidak semakin mengancam ketersediaan pangan kita. Saat ini berbagai peraturan dan undang-undang terkait dengan penyediaan pangan perlu segera di revisi karena tidak mendukung penghidupan produsennya atau menjamin ketersediaan pangan. Masalah pemenuhan pangan bangsa dan strategi mengatasi berbagai masalah pangan adalah soal keberpihakan kepada produsen pangan kecil, yang jumlahnya lebih dari setengah penduduk negeri ini. Saat kesejahteraan mereka diabaikan, masalah pangan akan selalu melilit negara ini. Berpaling kepada pemodal hanya menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakacuhan pemerintah terhadap rakyatnya.. (ril) Sumber: desasejahtera.org 15
Advokasi
MK K abulk an Judicial Review UU 18/2004 PENANTIAN Ngatimin alias Keling, warga dusun III Suka Rakyat Desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara dan tiga petani lainnya dari berbagai daerah di Indonesia, terjawab sudah. Senin 19 September 2011, Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka untuk umum membacakan putusan Rapat Permusyawaratan Hakim tentang Permohonan pengujian undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Dalam putusannya, mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan para petani. “Mengabulkan permohonan pemohon terhadap Pasal 21 beserta penjelasannya, dan Pasal 47 beserta penjelasannya, dan bahwa keduanya tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat,� jelas Mahfud MD selaku ketua Mahkamah Konstitusi saat membacakan putusan sidang. Sebelumnya pada 20 Agustus 2010, Ngatimin dan tiga petani yakni Japin, Vitalis Andi asal Kalimantan dan Sakri asal Jawa Timur mengajukan surat permohonan judicial review terhadap sejumlah pasal dalam UU 18/2004 tentang perkebunan karena dinilai menguntungkan pihak pengusaha perkebunan dan merugikan petani/ masyarakat adat. Pasal 21 UU 18 tahun 2004 yang berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/ atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Rumusan pasal ini dinilai terlalu luas dan sangat rumit. Dalam pasal tersebut juga tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai 16
perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana. Sedangkal pasal 47 : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau kerusakan lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/ atau tindakan lainnya yang menyebabkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, diancam dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000. 000,00 (lima milyar rupiah). (2) setiap orang yang karena kelalainnya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)tahun 6 (bulan) dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Kedua pasal ini tidak bisa dilepaskan dan saling berkaitan, mengingat pasal 47 merupakan norma yang mengatur mengenai ancaman pidana untuk perbuatanperbuatan yang dilarang dalam pasal 21. “Frasa dan atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan dalam Pasal 21 UU Perkebunan yang diikuti ancaman pidanan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) mengandung ketidakpastian hukum. Tindakan lainnya tentu sangat luas dan tidak terbatas, misalnya seorang pemilik
kebun dapat dipidana karena menelantarkan kebunnya sendiri,� jelas Achmad Sodiki, salah satu hakim mahkamah konstitusi. Putusan tersebut disetujui oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, M Akil Mochtar, dan Muhammad Alim. Dikabulkannya gugatan keempat petani ini tentu saja bagai seteguk air penghilang dahaga di gurun sahara bagi seluruh petani di Indonesia. Di tengah-tengah maraknya kasus sengketa tanah yang berada dalam ketidakjelasan dan bahkan berujung pada penganiayaan, penangkapan, penahanan dan bahkan pengajuan petani ke pengadilan, setidaknya dikabulkannya gugatan ini membuat para petani bernapas sedikit lebih legah meski bukan berarti segalanya menjadi mudah. Petani boleh saja bahagia menyambut keputusan MK. Namun, tak berarti kerja keras berhenti sampai di sini. Masih banyak kasuskasus kriminalisasi petani di negeri ini yang harus tetap diperjuangkan. Data lembaga swadaya masyarakat, Sawit Watch menunjukkan angka yang terus meningkat tahun ke tahun. Di tahun 2007 tercatat 514 kasus, tahun 2008 sebanyak 576 kasus, tahun 2009 meningkat menjadi 604 kasus, sedangkan pada semester pertama 2010 tercatat 608 kasus. Petani masih harus melanjutkan perjuangan agar jumlah tersebut tak bergerak maju. (Diah Siregar) Sumber : www.elsam.or.id BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
Menuntut Keadilan Bagi Si Pendekar HAM Di sini negri kami/tempat padi terhampar/samudranya kaya raya/tanah kami subur Tuhan. Di negri permai ini/berjuta rakyat bersimbah luka/anak buruh tak sekolah/pemuda desa tak kerja. Mereka dirampas haknya/ tergusur dan lapar/bunda relakan Darah Juang kami/tuk membabaskan rakyat.Bunda relakan Darah Juang kami/padamu kami berjanji. (Bait syair: Wiji Tukul). MALAM itu terasa syahdu oleh nyanyian massa yang berkumpul di bundaran SIB Medan, 20 September 2011. Masa khusuk menyanyikan lagu berjudul Darah Juang yang seperti sudah menjadi lagu wajib dalam tiap-tiap aksi. Lalu lintas kendaraan tak mengurangi rasa dan asa mereka untuk terus meneriakkan kata “lawan!” pada tiap ketimpangan di negeri ini. Yah, mereka yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi dan mahasiswa itu sedang menggelar aksi untuk memperingati tujuh tahun kematian Munir dan ketidakjelasan penyelesaian kasus kematiannya. “Sampai saat ini negara tidak juga bisa menangkap dalang utama pembunuh Munir. Rakyat tak boleh diam, rakyat harus bertindak atas segala ketidakadilan di negri ini, bukan begitu
kawan-kawan!!” Rizal dari KontraS menyampaikan orasinya dengan disambut kata “lawan!!” oleh para peserta aksi. “Kita masih dijajah oleh imperialisme barat. Delapan puluh persen tanah kita dimiliki oleh barat, padahal jelas-jelas dalam undang-undang nomor 33 tahun 1945 disebutkan bahwa segala kekayaan alam yang dimiliki negara dipergunakan untuk mensejahterakan rakyat. Sebagian besar penduduk kita adalah petani, tapi kenyataannya petani kita masih saja miskin. Saatnya kita bertindak, jangan biarkan hal ini berlarut-larut” kali ini giliran H. Syamsul Hilal, anggota DPRD Sumut dari fraksi PDI P turut berorasi dan memberi dukungan pada masa untuk tidak berpangku tangan menghadapi kemelut negeri ini.
7 Tahun: Beberapa elemen masyarakat dan LSM melakukan aksi Peringatan 7 tahun kematian Munir yang saat ini belum diusut tuntas oleh pemerintah. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Masa menuntut agar presiden SBY mengusut tuntas kasus Munir dan mengungkap siapa dalang dan aktor intelektual pembunuh Munir. Masa juga menesak pemerintah untuk segera membentuk dan mengesahkan undang-undang Perlindungan Pembela HAM yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para pembela HAM. Munir meninggal dalam maskapai Garuda dari Jakarta menuju Belanda. Dalam perkembangannya, penyidikan kasus Munir hanya sampai pada dua tersangka saja. Laporan di tahun 2005 oleh tim Pencari fakta independent Munir (TPF Munir) yang dibentuk oleh Presiden Susilo Yudhoyono hingga kini pun belum dipublikasikan. Tentu saja hal ini memberi kesan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. Rakyat pun menuntut keadilan bagi pembela HAM yang kini telah tiada. Tiap tahun di hari kematiannya, ribuan masa di berbagai daerah turun ke jalan. Berharap dengan begitu pemerintah tergerak untuk menuntaskan kasus ini. Munir sang pendekar HAM, sang penuntut keadilan bagi mereka yang dilanggar haknya. Nyatanya, hingga tujuh tahun sejak kematiannya pada 09 September 2004 hingga saat ini kasusnya masih menjadi misteri. Masih dalam zona abu-abu. Namun tetap, hati tak boleh ciut untuk terus meneriakkan “lawan!”. (Diah Siregar) 17
Advokasi Pernyataan Sikap Bersama: MENGEN ANG TUJUH TTAHUN AHUN KASUS PEMBUNUHAN AKTIVIS HAM MUNIR SAID THALIB MENGENANG (7 SEPTEMBER 2004 – 7 SEPTEMBER 20 1 1) 201
Menerobos Lorong Gelap Hukum Di Negeri Kita SELASA 7 September 2004, merupakan waktu wafatnya Munir Said Thalib tujuh tahun silam. Munir adalah seorang aktivis pembela HAM yang berani tetap bersuara lantang di Indonesia, yang mengangkat kasus lusinan aktivis yang dihilangkan secara paksa pada masa robohnya pemerintahan Suharto di tahun 1998. Munir juga memainkan peran penting dalam membongkar bukti keterlibatan militer dalam pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan Timor-Leste, serta pelanggaran pada massa Pemerintahan Orde Baru berkuasa. Tujuh tahun telah berlalu, namun penuntasan dan pengungkapan kasus pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib yang terjadi pada tanggal 7 di atas pesawat Garuda tujuan Belanda belum dapat membongkar para aktor intelektual yang terlibat melakukan skenario pembunuhan berencana terhadap Munir. Munir ditemukan tewas pada penerbangan Maskapai Garuda dari Jakarta ke Belanda pada 7 September 2004. Sebuah otopsi dilaksanakan oleh otoritas Belanda menunjukkan bahwa Munir meninggal dunia akibat keracunan arsenik. Atas dasar desakkan masyarakat kepada Pemerintah di bentuklah Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengungkap kasus meninggalnya Munir. Pada tanggal 23 November 2004 Presiden menandatangani Kepres No 111 tentang pembentukan Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir. Secara khusus, pembentukan Tim 18
Pencari Fakta merupakan usulan dari pihak keluarga almarhum Munir yang disampaikan langsung kepada Presiden Bambang Yudoyono pada tanggal 24 November 2004. Tim Pencari Fakta ini memiliki tugas dan wewenang serta mempunyai kewajiban membuat laporan kepada Presiden mengenai kegiatan yang dilaksanakan dan merekomendasikan kebijakan– kebijakan bagi Presiden. Masa kerja dari Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir mulai dari tanggal 23 Desember 2004 sampai dengan 23 Maret 2005 dan dapat diperpanjang untuk terakhir kalinya selama tiga bulan berikutnya. Hasil kerja TPF bentukan Presiden ini kemudian membuahkan hasil walau dua orang telah dijatuhi hukuman atas pembunuhan itu salah satunya Policarpus Budi Hadipri-yanto, namun ada dugaan kuat bahwa mereka yang bertanggung jawab di tingkat atas belum dibawa ke hadapan hukum. Pada 31 Desember 2008, Muchdi Purwoprandjono, mantan wakil direktur Badan Intelijen Negara, dinyatakan bebas atas tuntutan merencanakan dan membantu pembunuhan Munir. Akan tetapi kami melihat pengadilannya tidak memenuhi standar peradilan internasional setelah saksi kunci yang memberatkan, menarik keterangan Berita Acara Pemeriksaan di Pengadilan. Dalam laporan yang dikirim ke Pelapor Khusus PBB (Hina Jailani) tentang kondisi Pembela HAM di tahun 2009, serta Komite Aksi Solidaritas
untuk Munir (KASUM), menyimpulkan bahwa bebasnya Muchdi Purwoprandjono “sebagai kemunduran dalam penegakan HAM dan perlindungan pembela HAM secara luas”. Pada Februari 2010, tim khusus Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengidentifikasi keganjilan dalam penyelidikan polisi, penuntutan dan persidangan Muchdi Purwoprandjono dan merekomendasikan penyelidikan baru oleh polisi. Sebuah laporan di tahun 2005 oleh Tim Pencari Fakta independen (TPF Munir) yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini belum dipublikasikan, walau ini telah direkomendasikan melalui Kepres dalam membentuk tim tersebut. Kami atas nama masyarakat Sumatera Utara yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Munir mendesak pengungkapan kasus pembunuhan Munir hingga tuntas, melihat bahwa kasus ini belum seutuhnya dibongkar dan tidak pernah dibuka kepada publik terkait temuan fakta–fakta peristiwa sesungguhnya sehingga terkesan ada scenario besar yang menutupi pengungkapannya, kasus ini merupakan ujian bagi penegakkan Hukum dan HAM di Negeri ini, Kurangnya akuntabilitas dalam kasus Munir turut berkontribusi pada perasaan takut para pembela HAM di Indonesia. Hal ini juga membangkitkan pertanyaan atas komitmen pemerintah dalam melindungi pembela HAM BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi Maka untuk itu kami Solidaritas Munir di Sumatera Utara, mendesak Presiden SBY dan Jaksa Agung untuk mengambil langkah-langkah berikut sebagai prioritas agar tidak menjadi preseden Buruk bagi penegakan HUKUM dan HAM di Indonesia kedepanya di antaranya: 1. Meminta Presiden SBY terkait laporan Tim Pencari Fakta tahun 2005 tentang pembunuhan Munir agar dipublikasikan kepada publik, sebagai langkah utama dalam menegakkan kebenaran; 2. Menuntut keras Presiden SBY mengusut tuntas kasus pembunuh Munir, dan ungkap siapa Dalang serta Aktor Intelektual Pembunuh Aktivis HAM Munir 3. Mendesak Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan yang baru dan independen atas pembunuhan Munir serta membawa para pelaku di semua tingkatan ke hadapan Hukum sesuai dengan standar HAM Internasional; 4. Mendesak Jaksa Agung melakukan peninjauan atas proses peradilan kriminal pembunuhan Munir sebe-
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
lumnya, termasuk tuduhan pelanggaran standar HAM Internasional; khususnya menyelidiki laporan adanya intimidasi terhadap saksi dan membawa mereka yang diduga melakukannya ke hadapan Hukum; 5. Mendesak Jaksa Agung mengambil langkah-langkah efektif untuk menjamin pelanggaran HAM terhadap para pembela HAM akan di investigasi secara cepat, efektif dan imparsial, serta mereka yang bertanggungjawab dibawa kehadapan hukum dalam sebuah peradilan yang adil; 6. Mendesak Negara dan pemerintah untuk segera membentuk serta mengesahkan Undang Undang Perlindungan Pembela HAM yang ditujukan untuk memberikan perlindungan Hukum yang lebih baik bagi para pembela HAM. 7. Mendesak Negara dan pemerintah untuk segera Melindungi para Pembela HAM dan usut tuntas kasus - kasus kekerasan dan pembunuhan Pembela
HAM (Human Right Defender) di wilayah Sumatera Utara 8. Mendesak Negara dan pemerintah pusat dan Daerah untuk segera membetuk perwakilan Komnas HAM di wilayah Sumatera Utara sebagai upaya efektif dalam mendorong penegakan HAM di Wilayah Sumatera Utara “KEADILAN UNTUK MUNIR KEADILAN UNTUK SEMUA� Solidaritas untuk Munir Sumatera Utara: KontraS Sumut, DKR Sumut, Ikohi Sumut, LBH Medan, Bitra Indonesia, Bakumsu, Pusaka Indonesia, BPRPI Sumut, Teplok, PBI, KOTIB, SPI, PBHI Sumut, SBSI 1992, SBMI (migrant), Eka Bakti, KASHUM, Pusham Unimed, Pembebasan Medan, SBSU, SAGRI, HAM Nusantara, PPRM, SBMI Sumut, JALA, YPRP, Walhi Sumut, Kolektif, LBH SABMSU, PESADA, JARAK Perempuan, INSIDES, ASB, AJI Medan, P3T Simpang Limun, PARI, Serikat Pekerja Mandiri, PSTP Belawan, Green Student Movement, Komunitas Alam Raya (KOALA). (rel)
19
Advokasi
Keniscayaan Kaji Ulang Penegakan Hukum & HAM di Indonesia SERIKA T Pengajar (SEPAHAM) SERIKAT Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) menggelar Konferensi Nasional HAM I di Kampus Ubaya, 20-21 September 2011 dengan tema Kaji Ulang Penegakan Hukum dan HAM (Rethinking Rule of Law and Human Rights). Konferensi ini menghadirkan pembicara kunci Rafendi Djamin, Komisioner/Wakil Indonesia pada Komisi HAM Asean (Asean Intergovernmental Commission on Human Rights). Konferensi ini dilaksanakan dalam 13 sesi panel paralel, 50 narasumber dari unsur akademisi dan LSM serta diikuti lebih kurang lebih kurang 300 peserta. Tema yang diangkat sangat relevan dengan iklim HAM di Indonesia. Lebih dari satu dasawarsa reformasi, capaian indonesia dalam tataran instrumen hukum HAM memang boleh dikatakan terdapat kemajuan yang signifikan. Reformasi konstitusi memuat jaminan HAM. Berbagai hak dan kebebasan masyarakat yang berkeselarasan dengan instrumen HAM internasional menjadi muatan konstitusi. Mekanisme hukum untuk menguji suatu peraturan perundangan untuk mencegah korupsi kuasa melalui produk legislasi kini dimungkinkan dengan adanya suatu peradilan konstitusi. Di level peraturan perundangan, Indonesia memiliki berbagai instrument hukum yang bermuatan HAM seperti UU PKDRT, UU Peradilan Anak, UU Pengadilan HAM. Indonesia pula telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional penting seperti CEDAW, Konvensi Hak Anak, ICCPR, dan ICESCR. Walau, masih banyak produk hukum yang harus diselaraskan dengan 20
norma hukum internasional, suatu kewajiban negara manakala menjadi negara pihak suatu konvensi. Kendati telah relative baik dalam hal instrumentasi HAM, namun di tataran implementasi HAM, SEPAHAM melihat masih banyak kekurangan bahkan ketidaksungguhan Negara dalam menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan HAM. Sekedar contoh satu di antara banyak isu terkini soal HAM yang memprihatinkan adalah pembiaran negara terhadap penikmatan hak orang untuk berkeyakinan dan beragama. Kaum minoritas agama tak terlindungi, di pengadilan tak mendapat keadilan yang setimpal. Pejabat penyelenggara negara turut menyalahkan dan menyesatkan keyakinan yang dianut warganya, suatu hal yang amat kontras dengan kewajiban konstitusional menurut konstitusi. Konferensi ini bertujuan untuk pertama merespon masalah mendasar Rule of Law dengan berbagi ide-ide, riset akademik, dan proses pembelajaran di antara pusat-pusat studi HAM dan pendidikan tinggi dalam mempromosikan dan melindungi HAM dan akses keadilan; kedua mempromosikan dan mengampanyekan standard an prinsip-prinsip HAM, aturan progresif dan perwujudannya melalui beragam mekanisme strategis; dan ketiga melalui konferensi dan kolaborasi, pusat hak asasi manusia akan membawa suatu rencana strategis untuk lebih terlibat tidak saja dalam strategistrategi akademik, namun juga dalam penentuan kebijakan strategis berbasis HAM. Dalam kerangka memperkuat dukungan untuk mengkaji ulang penegakan hukum dan HAM, konferensi ini mengangkat beberapa
topik utama, yakni (1) hak-hak politik dan kebebasan beragama; (2) hak masyarakat adat dan HAM; (3) hakhak perempuan dan HAM; (4) hak ekonomi dan perlindungan konsumen; dan (5) hak-hak anak dan buruh migran. Melalui kegiatan konferensi ini, SEPAHAM Indonesia menyatakan sebagai berikut: 1. Mengajak seluruh pengajar, peneliti dan pembela HAM serta pusat-pusat studi HAM di Indonesia untuk berhimpun dalam wadah SEPAHAM dan menjadikan wadah ini sebagai media komunikasi dan interaksi yang positif dalam kerangka mendorong perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia; 2. Mendesak pemerintah untuk secara konsisten melaksanakan ketundukannya pada standard dan prinsip HAM universal melalui berbagai instrumen HAM, baik nasional dan internasional serta melakukan harmoniosasi instrument hukum di level nasional, serta melakukan tindakan pemajuan dan promosi HAM. (rel) SERIKAT PENGAJAR HAK ASASI MANUSIA (SEPAHAM) INDONESIA: Pusham Ubaya (Surabaya), HRLS FH Unair (Surabaya), Pusham Unej (Jember), Pusham UII (Yogjakarta), Pusham UMM (Malang), Pusham Unibraw (Malang), Pusham Unimed (Medan), Sentra HAM UI (Jakarta), Pusat Studi Konfil dan Perdamaian, Unsyiah (Aceh), Pusham UIR (Riau), KAHAM-HHI (Undip), Pusham UNM (Makassar) Penulis: Manunggal K. Wardaya, S.H., LL.M (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi
Keluar Dari Konflik Agraria Oleh: Iwan Nurdin*) KONFLIK agraria belum juga menemukan jalan penyelesaian. Dalam empat bulan pertama tahun ini 11 petani tewas, 44 orang luka-luka, ratusan rumah dan tanaman rusak karena konflik agraria. Biasanya, setelah jatuh korban, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti. Namun, akar masalah berupa konflik agraria tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, setiap saat letupan konflik masih ada. Di negara kita, selain peradilan umum tidak ada institusi khusus yang dapat menyelesaikan konflik agraria. Padahal, konflik agraria yang tengah terjadi sekarang sebagian besar adalah peninggalan masa Orde Baru yang represif yang ditopang oleh sistem administrasi pertanahan yang buruk. Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus yang ada, pengadilan seolah hanya diminati para pengusaha. Sementara masyarakat lebih memilih melaporkannya kepada Presiden, Satgas Mafia Hukum, DPR, Komnas HAM, dan sebagainya. Alasannya, dokumen agraria yang dimiliki masyarakat sebelum akuisisi tanah kerap tidak berguna di peradilan. Padahal, di masa lalu pemalsuan dokumen dan pemaksaaan lumrah terjadi dalam proses peralihan tanah. Menjembatani hal ini, Komnas HAM bersama sejumlah LSM pada 2003 mengusulkan kepada pemerintah membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sebuah badan ad hoc yang bertugas sementara dalam menyelesaikan sengketa agraria masa lalu. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Bersamaan dengan dibentuk KNuPKA juga diusulkan kepada pemerintah untuk segera menjalankan Reforma Agraria Nasional untuk menciptakan struktur agraria yang adil sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun, pemerintah SBY mengikuti usulan ini dengan memakai rute lain. Presiden lebih memilih memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah. Pelibatan Masyarakat Setelah lima tahun berjalan, tampaknya penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dengan prinsip keadilan sosial belum sukses dilaksanakan. Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi: (1) Lemahnya kewenangan dalam kedeputian dalam menyelesaikan konflik agraria; (2) Belum ada langkah terobosan dan cara pandang dalam menyelesaikan konflik agraria; (3) Belum dilibatkannya partisipasi masyarakat dan kelembagaan lain untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Konflik agraria memang memiliki dimensi sosial yang luas dan mencakup tugas dan fungsi berbagai lintas kementerian dan kelembagaan. Sebab, sengketa dan konflik agraria terjadi pada wilayah perumahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertam-
bangan, dan pesisir kelautan. Dengan begitu, pemangku kepentingan menjadi sangat banyak dan luas. Anehnya, selain pada BPN, di tubuh pemerintah belum ada yang secara khusus bertugas mengkaji dan menyelesaikan sengketa terkait agraria. Oleh sebab itu, kita berharap kepeloporan BPN dalam menyelesaikan sengketa agraria yang masuk dalam kewenangan langsung badan ini dalam membangun mekanisme Alternative Dispute Resolutions (ADR). Memang, lemahnya kewenangan dalam menyelesaikan sengketa agraria kerap menjadi kendala utama dalam lingkungan BPN. Tetapi, hemat penulis kondisi ini bisa menjadi kekuatan jika pandangan dan tindakan bersifat out of the box alias keluar dari pakem yang biasa dijalankan BPN. Salah satu langkah yang patut dilakukan adalah pelibatan masyarakat sipil seperti NGO atau Ormas petani dalam melakukan identifikasi persoalan dan langkah solusi khususnya dari perspektif korban. Selain itu, lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapatkan laporan masyara kat terkait konflik agraria seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman, Satgas Antimafia Hukum, Komisi Informasi Publik, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut disinergikan dalam satu langkah bersama untuk membangun trust dari publik dan transparansi internal. Terakhir perlu juga pelibatan asosiasi-asosiasi pengusaha, khususnya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan untuk diajak dalam membangun satu 21
Advokasi perspektif bersama demi penyelesaian sengketa. Sebab, banyaknya konflik agraria, selain berbiaya mahal, tentu bisa dijadikan bahan kampanye negatif terhadap produk perusahaan tersebut di pasar internasional. Keterlibatan aktor ini penting untuk mengarusutamakan penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang
menekankan win-win solution, berkeadilan sosial dan jangka panjang. Terakhir, pemerintah harus memperluas program pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya redistribusi tanah kepada rakyat miskin (pro-poor agraria reform) dan akses reform berupa kredit murah, infrastruk-
tur, pendampingan, dan perlindungan pasar. Sesungguhnya ini jawaban utama dalam menghentikan ketimpangan struktur agraria nasional. Bukankah ketimpangan tersebut adalah akar konflik agraria?. *)Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta
Tak Serius Urus Pangan dan Pertanian Oleh: Henry Saragih *) TEP AT dengan peringatan 50 TEPA tahun Hari Tani Nasional (HTN) tanggal 24 September tahun, di harian Kompas saya menulis “Harapan di Hari Tani�. Saat itu muncul harapan besar agar selama 1 tahun muncul terobosan sikap politik maupun kebijakan yang bisa berarti bagi perbaikan nasib kaum tani terutama di bidang agraria dan pertanian. Kenyataannya, kita melihat apa yang diharapkan tidak banyak terealisasikan. Pertama, harapan di bidang agraria agar pemerintah mengeluarkan kebijakan menyeluruh untuk melaksanakan Pembaruan Agraria. Hal ini untuk mengimplementasikan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah dicanangkan pada bulan Januari 2007 dan Januari 2010. Tahun lalu, petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) berduyun-duyun menagih hal ini ke Istana Merdeka, Jakarta. Pada saat berdialog dengan wakil SPI di dalam Istana, Presiden melalui Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi, Jusuf Gunawan Djangkar dan Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah, Velix Wanggai 22
menyatakan komitmennya yang tinggi untuk percepatan pelaksanaan pembaruan agraria dan penataan pertanahan nasional. Pemerintah menyatakan juga akan menyinkronkan percepatan ini dengan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang akan segera disiapkan. Presiden lalu menyerahkan sertifikat tanah negara kepada
5.141 keluarga petani di Cilacap pada peringatan Hari Agraria Nasional ke-50 (21 Oktober 2010) di Istana Kepresidenan Bogor. Petani bersuka cita dengan angin baik ini. Namun pada akhirnya, hingga saat ini percepatan untuk pembaruan agraria mandek. Pada tahun 2010 tercatat masih ada 31.2 juta penduduk yang berada dalam BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Advokasi kondisi miskin dengan komposisi orang miskin di desa (19.93 juta jiwa) lebih banyak dari pada di perkotaan (11.1 juta jiwa). Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya kongruen dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilah kelompok yang dikategorikan paling rentan. Menurut kategori BPS, petani gurem adalah petani yang tanah garapannya kurang dari 0.5 hektar. Hasil sensus pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah petani gurem adalah 13.7 juta orang, sementara Serikat Petani Indonesia (SPI) memproyeksikan ada sekitar 15.6 juta jiwa petani gurem di Indonesia pada tahun 2008. Satu indikasi baik untuk percepatan pembaruan agraria adalah kemajuan di Badan Pertanahan Nasional (BPN )yang sudah mulai memberikan perhatian pada penyelesaian kasuskasus pertanahan, terutama yang melibatkan petani. Sementara, Draft RUU Pertanahan harus ditinjau ulang karena dikhawatirkan malah akan kontraproduktif bagi proses redistribusi sumber-sumber agraria yang produktif, terutama tanah, untuk petani. Perlu sinkronisasi dengan semangat Reforma Agraria yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Kedua, tahun lalu kita meminta Presiden SBY melalui Kementerian Pertanian untuk melaksanakan program Go Organic pada tahun 2010 tersebut, tetapi kenyataannya tidak terlihat suatu implementasi yang signifikan untuk melaksanakan program tersebut. Semuanya masih parsial dan tak dapat terukur perkembangannya. Dana bantuan dan kredit memang meningkat jumlahnya, tapi akses petani untuk mendapatkannya masih terbatas. Kita juga mengkhawatirkan dana-dana tersebut akan jatuh ke pihak-pihak yang tidak pantas menerimanya. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Jika kita masih bertahan dengan mode pertanian konvensional, petani kita akan terus tergantung pada input luar seperti benih, pupuk dan racun. Sementara jika pembaruan agraria dikembangkan untuk sistem pertanian organik, kita juga akan bisa merangsang perekonomian dan perindustrian di pedesaan. Produksi pangan akan lebih sehat, dan pertanian organik dapat mengurangi pemanasan global serta lebih ramah lingkungan. Kemandekan program Go Organic pada tahun 2010-2011 justru diperburuk dengan ketidakpercayaan pemerintah pada petani sebagai produsen utama pangan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Indonesia sangat gencar melaksanakan food estate. Faktanya, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) mendapat resistensi luar biasa dari masyarakat adat, dan proyek tersebut kini mandek. Impor pangan juga semakin melukai petani, dengan nilai nominal yang dibayarkan terus meningkat. Kita harus membayar sekitar 6,35 milyar dollar AS untuk impor pada semester pertama tahun 2011. Ini berarti ada peningkatan 1 milyar dollar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Komoditas yang diimpor adalah beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Saat pemerintah lambat merespon tuntutan kaum tani, selama satu tahun belakangan ini telah banyak bukti perjuangan tanah untuk penggarap. Meskipun harus ditangkap, sering berdasarkan UU Perkebunan No. 18/2004, tapi petani berusaha terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya.
Kaum tani akhirnya memperjuangkan nasibnya secara mandiri dan menegakkan konstitusi RI dengan mengajukan judicial review terhadap UU Perkebunan dan pasal-pasal yang berpotensi untuk kriminalisasi perjuangan kaum tani untuk tanah telah dibatalkan. Kaum tani juga memajukan pengetahuan tradisional dan pertanian dengan model berkelanjutan (agroekologi). Sudah sangat banyak bukti-bukti kesuksesan tersebut yang dihasilkan oleh kaum tani di pelosok tanah air, yang hasilnya sangat membanggakan dan penuh harapan. Sedang mengenai agroekologi ini sebenarnya sudah mendapat pengakuan dari level internasional, bahwa model ini akan sanggup mengatasi krisis pangan dunia. Oliver de Schutter, Pelapor Khusus Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tentang hak atas pangan telah menyatakan bahwa pertanianian berbasis lingkungan mampu menggandakan produksi pangan dunia dalam 10 tahun. Dengan kekuasaan yang ada sekarang, pemerintah Indonesia janganlah menunda-nunda lagi untuk mengeluarkan kebijakan agar reforma agraria segera dilaksanakan. Pemerintahan SBY harus menghentikan politik pencitraan yang khas elitis dan kental dengan aroma kekuasaan. Petani tidak bisa dibiarkan sendirian mengurus pangan dan pertanian. Pemerintah harus berkonsentrasi dan bekerja cepat untuk implementasi kerja-kerja yang nyata untuk petani. *) Penulis adalah Ketua Umum SPI dan Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional), tulisan ini juga dimuat di Harian Kompas Edisi Kamis, 29 September 2011 dengan sedikit perubahan. Sumber: www.spi.or.id
23
Pertanian
Kebijakan Pertanian Organik Masih Setengah Hati KEBIJAKAN pemerintah di sektor pertanian organik masih setengah hati. Berdasarkan hasil pengamatan, implementasi program Go Organic (2001-2010) belum berjalan sebagaimana harapan. Pelaksanaannya berjalan lambat, contoh kasus: Pengalihan subsidi pupuk kimia untuk Pusat Pembuatan Pupuk Organik Desa dukungan APBN 2010 belum terlaksana sebagaimana mestinya. “Seharusnya pemerintah bisa lebih memberikan dukungan dan subsidi bagi pertanian organik yang jelas telah memiliki fungsi ekologis dan sosial yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat,” kata Apendi Arsyad sebagai peneliti dan pemerhati Pertanian Organik dari Fakultas Pertanian, Universitas Juanda saat talkshow bertema “Pertanian Organik Solusi Pangan Sehat dan Berkeadilan” yang diselenggarakan Aliansi Organis Indonesia (AOI) di Organic Cafe, Gedung Smesco, Jakarta. Apendi melihat, permintaan konsumen terhadap produk pertanian organik yang dianggap aman dan bergizi, serta bebas dari bahan kimia sintesis yang membahayakan kesehatan manusia telah meningkat begitu besar. Kementerian Pertanian RI juga telah melihat peluang besar
tersebut dengan telah memformulasikan Kebijakan dan Program Go Organic 2010, yang telah dicanangkan sejak 2001. “Berdasarkan pandangan tersebut, maka pengembangan usaha tani organik memiliki prospek yang cukup baik,” kata Apendi. Ancaman Pertanian Organik Menurut Sabastian Saragih, Koordinator Dewan Pertimbangan Aggota (DPA) Aliansi Organis Indonesia (AOI) prospek pengembangan usaha tani organik yang cukup baik dan meningkat itu juga rawan dengan beberapa bahaya, seperti pemalsuan produk organik, permainan harga, hingga ancaman marginalisasi petani kecil melalui sertifikasi. “Sertifikasi itu perlu bila untuk melindungi dan memberikan keuntungan bagi petani kecil melalui perdagangan produk organik yang adil. Namun bila produk tidak diperdagangkan skala luas, maka sertifikasi tidak diperlukan,” tegas Sabastian. Untuk itu pemerintah seharusnya bisa memfasilitasi biaya sertifikasi yang mahal bagi petani dan mengakui sistem penjaminan barbasis komunitas yang dikembangkan petani. Selain itu pengembangan perdagangan yang adil (fair trade) bagi produk organik
juga perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk Kementerian Perdagangan melalui promosi-promosi produk organik. Sabastian mengatakan bahwa sistem perdagangan yang adil bagi produk organik bisa melindungi petani organik kecil dari perdagangan bebas, bisa memberikan harga yang tinggi bagi produk organik petani kecil yang telah bekerja keras melestarikan alam dengan praktik-praktik organiknya tanpa mengabaikan hak-hak konsumen mendapatkan harga yang terjangkau. Menanggapi peryataan kedua pemerhati pertanian organik itu, Purwanti sebagai perwakilan dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian mengatakan bahwa sejak 2005, pemerintah telah menunjuk Ditjen P2HP sebagai otoritas pangan organik. Perkembangannya menuju pangan organik, mulai dari Sistem Kendali Internal (SKI) atau Internal Control System (ICS), jujur atau fair organiknya, selanjutnya bersama-sama menuju pangan organik sesuai sertifikasi nasional. “Di beberapa provinsi, kami melakukan pembinaan kelompok tani, dan menunjuk sistem kendali internal di dalam kelompok tersebut,” jelas Purwanti. Selanjutnya ada tim dari Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) yang bisa menilai tim kendali internal kelompok petani itu. Purwanti berharap akan ada OKPO di tiap daerah untuk menampung masukan dan himbauan dari para petani organik di daerah termasuk penjaminan berbasis komunitas. (ANP/SNY) Sumber: organicindonesia.org
24
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Pertanian
Tingkatkan Konsumsi Pangan Organik PEMERINT AH terus meningPEMERINTAH katkan komsumsi pangan organik. Saat ini ketersediaan sayur di Kota Pontianak sebanyak 10 sampai 12 ton perhari. Dari jumlah tersebut, sayur organik hanya 500 kilogram atau setengah ton setiap harinya.”Padahal pangan organik ini baik untuk kesehatan,” ujar Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Pontianak, Aswin Jafar di kantornya. Menurut Aswin, kondisi saat ini sertifikasi organik sesuai Standar Nasional Indonesia belum diwajibkan, hanya untuk ekspor. Penjualan sayur organik di dalam negeri masih bersifat kepercayaan. Pemahaman masyarakat tentang pangan tersebut masih beragam. Khusus di Kota Pontianak, penjualan pangan organik sama dengan pangan lainnya di pasar tradisional. Harganya juga sama. Padahal di beberapa wilayah lain di Indonesia, harga pangan organik lebih tinggi karena lebih sehat dan banyak dicari masyarakatnya. “Di Kota Pontianak ada 40 petani sayur organik. Kendalanya masih pada pemasaran. Belum semua produksi mereka terserap pasar,” ungkap Aswin. Aswin mengemukakan pihaknya berupaya meningkatkan konsumsi dan produksi pangan organik di wilayahnya. Ditargetkan pada 2014 sampai 2015 jumlah ketersediaan sayur organik di pasar bisa mencapai 10 sampai 60 persen dari keseluruhan sayur yang ada. “Pertanian organik ini diperlukan. Untuk mengantisipasi langka dan tingginya harga pupuk BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
dan pestisida kimia, melalui pengelolaan dan pemanfaatan sampah, limbah dan produk sampingan,” jelas Aswin. Pertanian organik juga diperlukan untuk perbaikan struktur dan tekstur tanah yang sudah rusak selama ini. “Permintaan pasar domestik dan internasional juga meningkat,” katanya. Saat ini, lanjut Aswin, pihaknya melakukan pelatihan berkaitan pangan organik, bekerjasama dengan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalbar, serta instansi lainnya. ”Tahun lalu, kami juga memberikan bantuan Rp120 juta untuk 4 kelompok petani pangan organik. Tahun ini tidak ada karena diperuntukkan bagi aloevera,” ungkapnya.Petani pangan organik, Sudirman (41) mengatakan harga sayur organik yang dijualnya sama dengan sayur menggunakan pestisida. “Seharusnya sayur organik itu lebih mahal. Sebenarnya saya memilih bercocok tanam sayur organik karena malas menyemprot dan harga bahan kimia mahal,” kata Sudirman. Saat ini Sudirman bercocok tanam pada lahan seluas setengah hektar. Setengahnya lahan sendiri, dan sisanya menumpang pada tanah orang lain. Sayuran
yang ditanamnya paling banyak kangkung dan bayam. Tetapi ada juga terung, gambas, dan labu air. Kangkung dan bayam panen setiap hari, sedangkan terung setiap dua hari. “Selain menjual pada agen, saya juga membuat pasar di rumah. Sebenarnya dibilang murni organik tidak juga. Kadang kalau mendesak, semprot juga. Saya saat ini sedang berupaya membuat pupuk organik,” katanya. Penjual sayur organik, Dodi Radiansyah, mengatakan saat ini dirinya menjual sayur organik berdasarkan sistem pesan antar. “Saya berjualan sayur organik pada 2007. Awalnya hanya 10 kilogram seminggu. Tetapi saat ini bisa 40 kilogram perminggu,” kata Dodi. Menurut Dodi, harga sayur organik lebih mahal dibandingkan harga sayur nonorganik. Misalnya kangkung nonorganik dijual Rp3000 perkilogram, sayur organik Rp5000 perkilogram. “Karena kami mengambil dari petani sudah mahal,” ujarnya. Ia menjelaskan pemasaran sayur organik hanya pada kalangan tertentu. Dikarenakan sudut pandang masyarakat terhadap sayur organik masih berbeda. “Sayur organik ada bolong-bolong bekas digigit ulat. Tetapi masyarakat lebih senang sayur yang mulus. Padahal bekas gigitan ulat ini bagus untuk membuang racun dalam tubuh,” katanya. Saat ini Dodi memasok sayur organik dari dua petani di Kota Pontianak. Ia berharap kedepannya bisa bertambah. (uni) sumber: www.pontianakpost.com 25
Pertanian
Seni Tanam Campuran Oleh: YP Sudaryanto *) Bercocok tanam membutuhkan seni tersendiri. Tidak semua tanaman dapat begitu saja ditanam campur dengan tanaman lainnya. Kemampuan memahami sifat tanaman, sifat hubungan terhadap tanaman, pergiliran tanaman, musim, jenis tanaman sekitar yang sudah ada harus dipertimbangkan dahulu sebelum akhirnya dikembangkan dalam sebuah seni tanam. SEJAK program revolusi hijau diadopsi oleh pemerintah Orde Baru untuk meningkatkan produksi pangan melalui program Panca Usaha Tani, program ini memunculkan pola usaha tani modern berbasis benih unggul, pupuk buatan dan pestisida yang mendorong terjadinya sistem tanam monokultur. Di mana-mana terjadi penyeragaman tanaman baik di dataran rendah (sawah), dataran tinggi (sayuran), dan perkebunan (sawit, teh, kopi, dll.). Akibatnya pola konsumsi dan pola usaha tani berubah ke arah “pasar oriented.” Lahan pertanian berubah dari pola campuran ke sentra-sentra sejenis. Sentra padi di jalur pantura, sentra bawang merah di Brebes, sentra kentang di Dieng dan Lembang, serta sentra sayuran di dataran tinggi sehingga pestisida dan pupuk buatan diangkat naik ke daerahdaerah yang lebih tinggi. Akibatnya seluruh kawasan mengalami pencemaran, kemerosotan populasi, ketidakseimbangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan musuh alami serta hilangnya benih lokal. Kembali ke Prinsip Dasar Jika kemajuan pertanian untuk para petani tujuan utamanya “mengamankan” masa depan petani, teknologi yang digunakan harus terbukti mendatangkan kesejahteraan petani. Oleh karena itu teknologi harus bersifat aman, terjangkau dan mempunyai nilai tambah (daya saing). Aman berarti tidak menimbulkan gangguan pada 26
kesejahteraan petani juga tidak menurunkan produktifitas lahan, sedangkan terjangkau berarti petani mampu melakukannya. Sedangkan nilai tambah berarti dibutuhkan dan diminati oleh banyak orang. Untuk mencapai hal tersebut di atas diperlukan konsep diversifikasi dan konsep keterpaduan. Konsep ini bersumber pada keanekaragaman sehingga pola tanam campuran menjadi dasar utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Prinsip yang sangat mendasar dalam pertanian organis adalah keseimbangan alam. Keseimbangan ini dapat tercapai hanya dalam kondisi lahan/kawasan yang beranekaragam jenis tanaman. Bagaimana menciptakan kondisi tersebut dalam lingkungan pertanian (agroekosistem)/kebun budidaya? Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan merancang “kombinasi tanaman.” Dalam merancang harus dipertimbangkan faktor-faktor seperti sifat tanaman, musim, pergiliran dan lain sebagainya. Mengapa? Karena faktor-faktor tersebut menentukan pertumbuhan tanaman. Ketika melibatkan seluruh pikiran, hati dan insting untuk mendapatkan kombinasi yang tepat, petani tidak dapat menghafal saja, namun lebih pada mengerti seluruh faktor yang ada (kenyataan). Disinilah seninya berkebun organis! Karena untuk mengambil keputusan mengenai kombinasi tanaman yang tepat
dibutuhkan naluri dan kreasi yang tinggi agar nilai artistik lebih menonjol namun dengan tetap menjaga produktifitas tanaman yang optimal. Seni tanaman campuran ini akan mencapai puncaknya ketika kita sudah sangat ahli dalam merancang kombinasi dengan metode “relay cropping” atau tanam sisipan dengan berbagai jenis tanaman termasuk tanaman pupuk hijau (semisal crotalaria sp.) karena tanaman sisipan sangat efisien dan efektif sehingga sekaligus dapat menciptakan keanekaragaman tanaman yang mendekati ideal. Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik saat melakukan pola tanam campuran ini, di antaranya adalah: 1. Mendapatkan banyak jenis produk, baik pangan, sayur, buah, ternak, dll. 2. Mendapatkan panen (hasil) dari setiap musim 3. Mendapatkan jaminan dari resiko gagal total 4. Mengurangi resiko harga jual jatuh/merosot 5. Menghindari ketidak adilan perdagangan konvensional 6. Menghindari populasi OPT yang tidak menentu 7. Mendorong cara berpikir sehat dan dinamis 8. Mendorong cita rasa (nilai seni) pertanian menjadi lebih terasa Seni TTanam anam Cam Campur/K pur/Kombipur/K ombianaman nasi TTanaman Ketika konsep bisnis pertanian cenderung meyakini “satu komoditas jauh menguntungkan” BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Pertanian maka manfaat pola tanam campur dilupakan dan penciptaan keanekaragaman makin diabaikan, akibatnya seni bertani kehilangan maknanya (rugi tinggalkan). Dan ketika konsep pertanian organis diterapkan dan mengharuskan penciptaan keanekaragaman tanaman dalam setiap agroekosistem, mulailah terjadi pergeseran makna bertani dari bertani untuk mencari untung ke bertani demi kelestarian kehidupan. Dalam hal ini para petani diajak untuk berpikir, berimprovisasi dan membayangkan bagaimana situasi pertanian yang sungguh beraneka ragam itu.
Setidaknya ada lima alasan untuk dipertimbangkan setiap kali akan melakukan budi daya tanaman. Sebaiknya pertimbangkan kelima faktor di bawah ini. Faktor-faktor mana saja yang lebih sesuai untuk situasi kondisi saat itu: 1. Untuk sifat tanaman: yang perlu diperhatikan adalah perakaran, umur dan kebutuhan hara dari tanaman yang akan ditanam. 2. Untuk sifat hubungan terhadap tanaman lain: yang perlu diperhatikan adalah kawan atau lawan (terhadap tanaman tersebut). 3. Untuk pergiliran tanaman:
perhatikan jenis tanaman yang ditanam sebelumnya. 4. Untuk musim: sesuaikan tanaman yang cocok untuk ditanam di musim hujan, panca roba atau kemarau. 5. Yang terakhir, perhatikan juga jenis tanaman sekitar yang sudah ada. Dari sinilah seni bertani akan berkembang, karena petani tidak menghafal melainkan melibatkan seluruh pikiran, perasaan dan intuitifnya. *)Penulis adalah Staf Yayasan Bina Sarana Bhakti – Bogor Sumber: organicindonesia.org
Kestabilan: Pola tanam campuran membuat kestabilan ekosistem tetap terjaga dan petani tidak memanen hanya dengan satu komoditas saja. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
27
Kesehatan Alternatif
Manfaat Buah Melon MELON merupakan buah yang sangat segar saat kita makan di cuaca yang panas. Buah ini mengandung banyak air di dalamnya. Selain buahnya yang enak di makan, ternyata buah ini mengandung banyak manfaat bagi tubuh kita. Melon merupakan buah sejenis dari semangka. Makannya di dalam buah ini mengandung lebih banyak air nya. Selain itu buah melon juga mudah di temukan di pasaran. Sebab petani indonesia juga memanfaatkan kondisi alam yang tropis sebagai bahan untuk menanam buah melon. Melon pada umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis. Jadi tidak heran jika di indonesia sendiri melon tumbuh sangat subur. Manfaat : - Anti kanker Buah melon mengandung karotenoid yang tinggi sehingga buah ini dapat mencegah kanker dan juga menurunkan resiko
28
serangan kanker paru-paru. Buah melon dapat mencegah serta membunuh bibit-bibit kanker yang akan menyerang tubuh kita. Jadi usahakan mengkonsumsi melon agar terhindar dari penyakit kanker. - Anti stroke/jantung Melon mengandung antikoagulan yang disebut adenosine mampu menghentikan penggumpalan sel darah yang dapat memicu timbulnya penyakit stroke atau jantung. Jadi buah melon akan membantu melancarkan darah dalam tubuh sehingga beresiko kecil timbulnya penyakit stroke atau jantung. - Melancarkan BAB Buah melon dapat melancarkan BAB (baung air besar) bila kita mengalami masalah pencernaan maka makanlah melon agar dapat mudah dan lancar buang air besar. Kandungan air
yang ada dalam buah melon sangat baik untuk melancarkan pencernaan. Kandungan mineral ini mampu menghilangkan keasaman tubuh yang perlu dihilangkan karena dapat mengganggu pencernaan, khususnya pada organ lambung. Buah melon banyak mengandung Vitamin A, B dan C serta mengandung protein, kalsium dan fosfor. Kandungan nutrisi buah melon adalah 15,00 mg kalsium; 25,00 mg fosfor; 0,5 mg besi; 34 mg Vitamin C; 640 mg I.U Vitamin A; dan 0,03 mg Vitamin B1. Buah melon mempunyai daya diuretik yang sangat baik sehingga bisa menyembuhkan penyakit ginjal dan penyakit eksim yang parah dan akut. Jika dikom-binasikan dengan buah lemon, maka buah melon dapat mengobati penyakit asam urat. Jadi ada baiknya Anda mengkonsumsi buah melon sehari sekali secara rutin pada pagi hari. Sumber: tipsku.info
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Kesehatan Alternatif
Daun SUKUN Dapat Melindungi Jantung SUKUN SUKUN, yang dalam bahasa Inggris disebut bread fruit, buahnya lebih banyak dikenal sebagai penganan yang digoreng atau dijadikan tepung sukun yang bisa dioleh menjadi mi atau roti. Padahal, tanaman sukun (Artocarpus altilis) sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obat pencegah penyakit jantung. Secara tradisional, daun sukun telah dipakai untuk mengobati penyakit hati, inflamasi, jantung, dan ginjal. Sementara itu, di Taiwan, akar dan batang tanaman sukun dimanfaatkan untuk menyembuhkan sirosis (kanker hati). Upaya penelitian dan pengembangan sukun sebagai obat telah dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sebelumnya, sukun lebih banyak diteliti untuk penyakit diabetes. Baru pada tahun 2004 sukun mulai dilirik untuk penyakit kardiovaskular. “Sukun memiliki flavonoid yang khas,” kata Dr Tjandrawati Mozef, peneliti dari LIPI yang giat meneliti sukun untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah. Tjandra menjelaskan, uji khasiat terhadap ekstrak daun sukun menunjukkan efek penurunan kadar kolesterol darah dan akumulasi lemak pada dinding pembuluh darah aorta pada mencit di laboratorium. Studi ³n vitro juga menyimpulkan, ekstrak daun sukun efektif melindungi
jantung dari serangan iskemik akut. Uji toksisitas menunjukkan tidak ditemukannya efek samping toksik pada hewan uji, tidak memengaruhi fungsi jantung, ginjal dan hati, maupun profil hematologi. “Kita tinggal melakukan uji klinis untuk pengembangan obat baru. Bila ini berhasil, diharapkan akan dihasilkan obat pencegah penyakit kardiovaskular yang lebih murah dan terjangkau masyarakat,” kata Tjandrawati ketika menyampaikan penelitiannya dalam acara colloquium yang diadakan Badan Litbang Kementerian Kesehatan di Jakarta. Sumber: khasiatherbal.tk
Pijat Kaki Penyembuh Kanker dan Bermanfaat Membantu Menghentikan Ketergantungan Merokok PIJ AT, dalam beberapa studi PIJA terbukti mampu memberikan manfaat. Salah satunya penyakit yang kerap menghantui wanita, kanker payudara. Dengan pijat tiga kali seminggu selama lima bulan, fungsi daya tahan tubuh wanita pengidap kanker jenis ini akan meningkat dengan sendirinya. Dengan demikian, proses penyembuhan melalui kemoterapi dan radiasi akan semakin cepat. Khasiat pijat tersebut ditunjukkan oleh studi Touch Research BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Institute di University of Miami School of Medicine. Selain menyembuhkan kanker, pijat juga bermanfaat membantu menghentikan ketergantungan merokok. Hanya dengan pijat tangan atau telinga, perokok berat akan merasakan berkurangnya rasa gelisah, terbentuk mood yang lebih baik, dan gejala lain yang harus dihadapi ketika harus menghentikan kebiasaannya itu. Pasien fibromyalgia, sejenis penyakit rematik, yang melaku-
kan pijat selama 30 menit, dua kali dalam seminggu selama lima bulan akan merasakan berkurangnya kram, sakit dan penat, serta dapat tidur dengan nyenyak. Sebuah pijatan kaki cepat akan memompa energi dan membuat Anda lebih produktif dalam bekerja, minimal luangkan lima menit setiap harinya. Anda mungkin membayangkan pijat adalah barang mahal yang harus dilakukan di gerai spa. Namun, Anda tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun jika 29
Kesehatan Alternatif bisa melakukannya sendiri, hanya dengan kedua tangan Anda. Khasiat pijat akan lebih mengena, jika Anda melengkapi dengan air hangat untuk merendam kaki. Ikuti langkah berikut untuk mendapatkan sensasi pijatan yang menyembuhkan: Langkah 1: Rendam kaki dalam air hangat selama beberapa menit, kemudian keringkan agar kulit bersih dan lembut. Tidak perlu usahakan air hangat jika tidak ada. Langkah 2: Duduk dalam posisi yang nyaman dan letakkan kaki
kanan di atas lutut kaki kiri. Dalam posisi ini, Anda harus bisa melihat telapak kaki. Langkah 3: Gunakan secukupnya losion atau beberapa tetes minyak pijat dan oleskan merata pada seluruh kaki dengan sedikit tekanan-tekanan jari. Langk ah 4: Tangkupkan tangan Langkah ke telapak kaki (ibu jari di telapak bawah dan jari lainnya di telapak atas). Pegang telapak kaki dengan kencang, mulai buat gerakan memutar pada ibu jari. Lakukan di semua area telapak kaki bawah, dimulai dari tumit hingga
ke ujung jari. Langkah 5: Gunakan ibu jari untuk membuat pijatan panjang dan dalam pada telapak kaki bawah, bergerak ke atas dari tumit ke area tengah telapak. Jika Anda merasakan rasa sakit di satu area, tambah beberapa menit pijatan ringan di area itu. Langkah 6: Jangan lupakan jari kakimu! Lakukan pijatan selama 30 detik atau lebih untuk setiap jari. Lakukan sekaligus, oles dan pijat setiap jari dari dasar ke ujung jari. Gunakan gerakan memutar kecil dan kemudian pijatan kencang yang panjang, dan jangan lupa pada area antar jari. Langk ah 7 Langkah 7:: Sudah selesai dengan jari, sekarang saatnya fokus pada keseluruhan telapak kaki. Gunakan kedua tangan, tempatkan ibu jari pada telapak kaki lagi. Pijatkan ibu jari dari tengah telapak ke arah sisi samping, mulai dengan tumit dan lakukan hingga jari kaki. Dalam waktu bersamaan, jari-jari tangan yang lain memijat telapak kaki bagian atas. Ulangi teknik memijat ini hingga ke semua area telapak kaki sesuka Anda. Langkah 8: Lakukan gerakan memilin. Pegang kakimu dengan kencang, putar perlahan pada pergelangannya–pertama ke arah kanan kemudian ke kiri. Kemudian pilin kakimu dengan lembut dari sisi samping sepanjang pergelangan. Langkah 9: Pijat seluruh kaki lagi seperti langkah pertama Langkah 10: Jangan lupakan kaki satunya. Ulangi setiap langkah dan selesailah pijatan.(Antique, Elly Setyo Rini) mu.(Antique, Sumber: kosmo.vivanews.com
Menyembuhkan: Pemijatan pada kaki dengan titik-titik tertentu dapat menyembuhkan kanker dan dipercaya juga bisa menghilang kebiasaan merokok. 30
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Credit Union
CU Induk: Membangun Pilar-pilar Kolektifitas Ekonomi Rakyat Kebersamaan merupakan modal dasar dari sebuah kekuatan. Kebersamaan dapat menghimpun kekuatan yang sifatnya sporadis atau terpisah-pisah menjadi kekuatan yang besar. Begitu juga halnya dengan kebersamaan modal. Kumpulan modal dari beberapa kelompok masyarakat yang digunakan untuk kepentingan masyarakat sendiri ini bisa menjadi kekuatan yang mengalahkan dominasi pemilik modal tunggal. SEPERTI kepercayaan yang dipegang Mahatma Gandhi dari India dengan ajaran Ahimsa-nya. Pun Muhammad Yunus, Penerima Nobel dari Bangladesh yang membangun bank orang miskin (Grameen Bank). Kedua tokoh ini membangun masyarakat dengan bermodalkan kebersamaan dan kekuatan pikiran atau gagasan. Semangat yang sama juga ada pada Credit Union (CU), salah satu program yang terus dikembangkan Bitra Indonesia. Untuk meningkatkan kekuatan modal di CU binaan, Bitra Indonesia mengadakan kongres CU yang menggumpulkan beberapa CU binaan. CU-CU dari beberapa daerah ini akan digabungkan dalam satu wadah yang disebut sebagai CU Induk. Untuk mencapai tujuan itu, sebuah kongres digelar. Hari itu, 28 Juli 2011, kegiatan diadakan di Training Centre Sayum Sabah (TCSS) Bitra Indonesia di Desa Sayum Sabah, Kabupaten Deli Serdang. Dihadiri oleh anggota CU yang punya kemauan, pikiran progressive, dan keinginan untuk maju, puluhan orang yang sebagian besar bekerja sebagai petani ini sangat antusias mengikuti sosialisasi CU Induk atau CU Besar. Peserta datang dari tiga kabupaten, Deli Serdang, Langkat, dan Serdang Bedagai. Acara dibuka oleh Listiani, Comdev Manager Bitra dan diteruskan dengan diskusi yang BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
dipandu oleh Anta Tarigan. Mencairkan suasana, Anta mengisi acara dengan berbagai kegiatan yang atraktif. Di acara ini mereka berdiskusi, berdebat, beradu konsep, dan mendapatkan masukan dari sharing pengalaman dengan narasumber, Rouli Manurung, dari CU Induk Perempuan Pesada, Sidikalang, Dairi. Perempuan berkaca mata ini berbagi pengalaman dan menceritakan perjalanan serta perjuangannya bersama temantemannya untuk membangun CU Induk Perempuan Pesada. Rouli bercerita banyak tentang sistematika pembentukan CU Besar. “Mulai 2006, saya mencoba membentuk CU dan anggotanya sangat cepat berkembang. Awalnya hanya beranggota 70 orang. Kalau sekarang sudah mencapai 5.000 orang,� cerita Rouli. Tentang keanggotaan CU perempuan, Rouli menjawab siapa saja anggota dampingan yang aktif di kelompok berhak bergabung di CU Perempuan Pesada, saat salah satu perserta bertanya Rouli juga menjelaskan bahwa bergabung di CU sangat banyak keuntungannya. Termasuk mengurangi ketergantungan kepada rentenir. Dengan adanya pinjaman modal dari CU, anggota CU dapat menggunakan uang tersebut untuk membiayai kebutuhan yang
lain. Menjawab pula pertanyaan yang dilontarkan Siska, salah satu peserta. Pertanyaan lain datang dari Zulkifli, dari CU Arih Ersada, Bintang Meriah. Ia menanyakan tentang peminjaman dana dalam sistem keuangan di dalam CU Induk. Dengan lugas Rouli menjelaskan bahwa peminjaman dana dari CU adalah bahwa setiap anggota CU harus memiliki tabungan terlebih dahulu dan besarnya pinjaman tergantung kepada besarnya tabungan dan kesepakatan anggota. Tergantung kepada tingkat kepercayaan anggota. Rouli juga menambahkan bahwa lembaga yang dimiliki oleh orang banyak seperti CU tidak akan pernah bubar. Ini dikarenakan solidaritas serta kekompakan para anggota yang berada di dalam CU Induk sangatlah besar. Ia juga mengibaratkan dengan sebuah kata bijak, ‘mati satu tumbuh seribu,’ yang maksudnya jikalau ada satu anggota yang keluar, maka pastilah ada lebih dari 1 anggota baru yang akan masuk menggantikan. Selain mendapat sambutan yang baik dari semua peserta, dengan adanya kegiatan ini, seluruh peserta dari CU yang berbeda diharapkan dapat menyosialisasikan CU Induk kepada kawan-kawan di anggota (Andi) CU masing-masing.(Andi)
31
Credit Union
Credit Union Rintisan di Kawasan Urban AP A kabar pertumbuhan CU APA rintisan di kawasan urban? Selama minggu ini ada 2 CU yang mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT). RAT kedua CU tersebut memang masih seumur jagung. Sejalan dengan usia keduanya yang masih balita, di bawah 5 tahun. Kedua CU memiliki karakteristik yang hampir sama. Pada awal pembentukannya, kegiatan tersebut hendak meningkatkan karya pelayanan sosial karitatif, menuju pemberdayaan. Tak heran sebagian dari anggota di kedua CU tersebut dulu adalah penerima bantuan Warung Murah dan penerima Beras Murah. Ada beberapa pembelajaran ber-kenaan dengan perjalanan kedua CU tersebut. Perkembangan CU ““A A� CU “A� , baru pertama kali mengadakan RAT pada 10 Maret 2011. Sejak melakukan soft opening pada 4 April 2010, kini CU memiliki 164 anggota. Para anggota terdiri dari beragam profesi. Mereka terdiri dari penarik becak, tukang sampah, tukang parkir hingga karyawan swasta, wiraswastawan, dosen serta agamawan. Pengurus yang hanya 3 orang serta 1 orang pelaksana, dari 10 orang yang dahulu mengawali berdirinya CU, mengakui bahwa keberadaan CU setahun ini belum maksimal. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya orang yang terlibat sebagai pengurus dan pelaksana. Memang semula ada banyak orang dalam perintisan CU, 32
namun setelah mengalami berbagai kesulitan beberapa mengundurkan diri. Pemaparan situasi ini diharapkan menggugah beberapa anggota yang memiliki kualifikasi layak namun sukarela untuk duduk dalam struktur organisasi CU, misalnya untuk posisi penasehat, pengawas dan pengurus. Ketua CU menghimbau kesadaran untuk bekerja bersama-sama melayani sesama anggota, sehingga fungsi kontrol
dan lainnya dapat berjalan demi kemajuan CU. RAT juga dimaksudkan untuk menyampaikan rencana pembenahan CU. Dalam hal ini menjajaki kemungkinan penambahan atau perubahan personel pengawas, pengurus demi mendapatkan organisasi yang lengkap. Ada 2 hal yang akan diperhatikan dalam jangka
pendek. Pertama, sosialisasi, yang akan menjadi kesempatan memperkenalkan CU serta memberi pendidikan kepada anggota. Sosialisasi, antara lain akan dilakukan kepada siswasiswi sekolah agar menabung sejak dini sehingga mereka kelak mendapat kemudahan keuangan di bidang pendidikan. Termasuk sosialisasi ke kelompok lingkungan, sehingga CU semakin dikenal dan membantu mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, ke pabrik-pabrik yang jumlahnya cukup banyak di kawasan tersebut serta sosiali-sasi kepada anggota dalam perjumpaan di kantor pelayanan CU. K e d u a , pengawasan, yang masih kurang maksimal. Pengawasan masih dilakukan oleh pengurus kepada pelaksana. Sampai saat ini pengeluaran uang untuk pinjaman melalui prosedur yang ditandatangani pengurus memang aman. Sedangkan jumlah pinjaman disesuaikan dengan jumlah tabungan anggota. Sistem ini disebut sebagai sistem tanggung renteng oleh anggota lain. Resikonya, tabungan anggota yang dijadikan tanggungan tidak dapat diambil hingga pinjaman peminjam lunas. Hal ini memiliki sisi positif karena menunjukkan solidaritas sesama anggota dan tetap menuntut tanggung jawab peminjam yang telah dibantu oleh anggota lain. Kegiatan lain yang akan dijadikan prioritas adalah peningkatan kapasitas pengurus BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Credit Union CU. Bentuknya berupa peningkatan pengetahuan serta kinerja pengurus dan pengelola. Selama ini sebenarnya telah ada upaya pembelajaran melalui kunjungan ke Malang dan Probolinggo. Bahkan 3 orang pelaksana dipersiapkan dengan mengikuti training. Serta menghadiri aneka pertemuan yang menjadi kesempatan berjejaring dengan CU lain. CU “A” juga menjajaki kerjasama dengan CU lain yang menjadi induk, tempat belajar dan konsultasi. Tidak hanya itu, pengurus menjajaki kemungkinan Puskopdit Jatim Timur memberikan pendidikan. Secara umum, ada beberapa hal positif yang menggembirakan. Misalnya manajemen resiko prosedur pengeluaran pinjaman melalui rekomendasi pengurus, selama ini berjalan aman. Prediksi positif pada akhir April 2011 berupa, perolehan laba operasional untuk pembagian sisa hasil usaha (SHU). Juga rencana paket dana sosial yang juga diperoleh dari laba operasional. Tanda baik lainnya ialah meningkatnya jumlah penabung selama 5 bulan terakhir. Pada bulan Desember 2010 tercatat 259 penabung, dari 164 anggota. Selain itu terjadi solidaritas dengan sistem tanggung renteng dalam peminjaman. Tak bisa dipungkiri, keberadaan CU turut membantu kebutuhan anggota untuk mencukupi kebutuhan seperti: pendidikan (50%), pinjaman modal kerja (25%), pinjaman konsumtif (12,5%) dan pinjaman lain (12,5%). Beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan ialah: kesadaran menabung anggota yang berkenaan dengan rasa memiliki dan memajukan kesejahteraan bersama. CU masih perlu menyisihkan biaya untuk cadangan resiko dan menyisihkan dana amortisasi renovasi kantor serta training. Termasuk penerapan Standard Operasional Manajemen (SOM) dan Standard Operasional Prosedur (SOP). BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Selain pemilihan penasehat, pengawas serta peningkatan kesadaran anggota melalui pendidikan. Dengan demikian 3 pilar CU yaitu: pendidikan, solidaritas dan keswadayaan dapat berlangsung dengan baik. Semua itu menjadi bagian dari pencapaian target proyeksi tahun 2011. Kopdit “B” Kopdit “B”, yang berdiri sejak tahun 2008, mengadakan RAT ketiga. Perkembangan yang dicapai Kopdit cukup membanggakan. Jika pada RAT kedua, tahun lalu, jumlah anggota sebanyak 295 orang, tahun ini terjadi penambahan menjadi 378 orang (133 lelaki dan 245 perempuan). Sementara jumlah aset per Desember 2009 sebesar Rp. 77.913.067,-, meningkat per Desember 2010 menjadi sebesar Rp. 1.164.959.339,-. Jumlah pinjaman yang beredar, tahun lalu sebesar Rp. 821.200.000,- , sedangkan tahun ini Rp. 787.000.000,-. Yang patut dipuji, pinjaman yang dimanfaatkan oleh anggota adalah pinjaman untuk kegiatan produktif. Secara berurutan pinjaman yang beredar berdasarkan banyaknya jumlah peminjam ialah: pinjaman produktif (41 orang), pendidikan (30 orang), kesehatan (9 orang), bangunan (21 orang), konsumtif (26 orang) dan tabungan (1 orang). Meskipun mengalami kemajuan, namun pengurus tetap berupaya untuk meningkatkan sumber daya anggota, jumlah anggota serta mengatasi kelalaian pinjaman anggota. Karena itu, RAT 2011 mengambil tema, Meningkatkan Kualitas Anggota Melalui Pendidikan Dasar. Pengurus melihat bahwa anggota Kopdit Swadaya Sejahtera perlu disemangati terus agar meningkatkan budaya menabung. Karena tidak ada kesuksesan tanpa menabung. Ketua Kopdit dalam kesempatan laporan memaparkan program kerja
antara lain: mengadakan rapat bulanan bagi pengurus, pegawas dan staf yang membahas agenda rapat, resiko pinjaman, rencana kaderisasi dan persiapan bergabung dengan Puskodit serta memikirkan kekosongan pengurus dan pengawas. Memang secara organisasi, Kopdit telah memiliki kepengurusan yang lengkap seperti penasehat, pengurus, panitia kredit, pengawas dan pelaksana harian. Mereka adalah 12 orang yang rela melibatkan diri dalam karya pelayanan. Lelaki yang mengaku tidak memiliki pendidikan berbasis ekonomi itu menambahkan bahwa agenda Kopdit saat ini mempersiapkan status berbadan hukum. Targetnya pada tahun buku 2011 Kopdit sudah berbadan hukum. Berkenaan dengan pola kebijakan, Kopdit merencakan peninjauan Poljak pada bulan Oktober 2011. Berkenaan dengan pendidikan, Kopdit akan mengadakan pendidikan anggota dengan tujuan memberikan konsep dasar koperasi kredit dan menumbuhkan tanggung jawab anggota sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa Kopdit. Sedangkan panitia kredit akan meningkatkan volume pinjaman dan mengurangi kemacetan pinjaman untuk mengindari kerugian. Kopdit mengupayakan pendidikan terus menerus berupa pendidikan dasar anggota dan pengurus kopdit. Pendidikan kepada anggota merupakan kegiatan bagi anggota baru untuk mengenal, menambah pengetahuan, menumbuhkan rasa kecintaan kepada Kopditnya. Para anggota baru akan mendapat materi berupa: apa dan bagaimana Kopdit, profil, produk simpanan, visi misi, perkreditan serta anggaran pendapatan dan belanja. Sedangkan pendidikan bagi pengurus serta staf ialah pelatihan manajemen demi meningkatkan keterampilan dan 33
Credit Union keahlian operasional manajemen, menambah wawasan dan pengetahuan perkoperasian demi meningkatkan profesionalitas pelayanan. Kopdit bahkan telah menarik minat dua komunitas lain untuk mendapatkan penjelasan tentang gerakan yang telah menjadi prioritas program tersebut. Hasilnya nyata, salah satu komunitas kini menjadi tempat pelayanan, sehingga Kopdit “B” kini memiliki 3 tempat pelayanan. Apresiasi Mengomentari perkembangan CU “A”, berdasarkan laporan simpanan saham yang di dalamnya meliputi simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Jika simpanan saham dikonfrontasikan dengan jumlah anggota, tampak bahwa komitmen anggota untuk menabung masih lemah. Anggota belum sadar apa arti menjadi anggota CU. Padahal anggota harus sadar bahwa menjadi anggota CU berarti pertama-tama untuk mensejahterakan dirinya bersama anggota lain, dengan cara menabung. Idealnya pendirian CU harus dimulai dari komitmen sekelompok orang yang menabung terlebih dulu. Idealnya kelompok itu sangat solid dan cenderung homogen. Mereka memperkuat diri dulu selama beberapa waktu. Setelah aset kelompok kuat, CU bisa memperluas anggota secara inklusif. Itu yang terjadi dengan bebeberapa CU yang kini memiliki aset besar. Misalnya salah satu CU besar, semula berlaku bagi kalangan pendidikan. Mereka lebih mudah memperkuat kewajiban simpanan karena ada komitmen pemotongan gaji para guru dan karyawan, sebagai anggota serta menggarap tabungan para siswa. Efeknya, simpanan saham anggota terkumpul segera dan pasti. Sedangkan untuk kelompok yang heterogen dan langsung 34
terbuka untuk umum, memang baik. Namun perlu komitmen yang sangat kuat dari semua anggota untuk menabung. Memang, tantangan untuk kelompok yang heterogen lebih besar. Meskipun demikian perlu diupayakan 2 hal, pertama, fokus perhatian penguatan kapasitas pengurus sehingga mereka sung-guh memahami bagaimana membawa CU secara benar. Kedua, menjajaki pendamping dari jejaring CU. Sementara mengomentari perkembangan Kopdit “B”, memang perkembangannya cukup signifikan. Karena dalam jangka waktu 3 tahun, di kawasan urban dan dalam kelompok heterogen, kenyataannya jumlah anggota dan asetnya cukup baik. Hal ini berbeda dengan pengalaman bertahun-tahun dalam menginisiasi komunitas-komunitas untuk pendirian CU. Kesulitan yang ada membuat para perintis menyimpulkan bah-wa memulai CU di suatu komunitas heterogen, lebih sulit. Apalagi di kawasan urban yang sarat dengan persoalan keuangan. Kenyataannya memang hanya beberapa komunitas heterogen yang sampai pada niat mendirikan CU. Di antara CU yang muncul pun sedikit saja yang bertahan dengan sehat. Kalau pun akhirnya mendirikan CU, perkembangannya lambat. Beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan itu ditambah dengan beberapa hal, antara lain, komitmen pengurus atau perintis yang multi kepentingan, sehingga tidak fokus dan tidak serius. Situasi kelompok atau anggota yang heterogen, tidak semuanya memiliki cita-cita yang sangat kuat untuk menjadi sejahtera, karena beberapa di antara mereka memang sudah sejahtera. Hal ini berbeda dengan komunitas homogen, misalnya komunitas guru serta karyawan di kalangan pendidikan, yang sama-
sama ingin membangun kesejahteraan melalui CU. Hal yang sama terjadi pada para guru dan karyawan di sebuah SMU. Mereka memiliki kesadaran untuk membangun kesejahteraan dengan menabung yang dipermudah dengan melakukan pemotongan gaji. Hal ini pula yang terjadi di kalangan persekolahan di Probolinggo dan CU bagi kalangan nelayan di Prigi, Trenggalek. Berdasarkan pengalaman, betapa penting dukungan pemimpin dan pengurus komunitas, entah berupa fasilitasi atau dorongan agar dibentuk suatu communio, yang sungguh solider dan mendorong agar anggota mau berga-bung, menjadi anggota dan menabung. Tak kalah penting peran sumber daya manusia yang disemangati oleh “roh” CU. Artinya, perlu ada pioner yang memiliki komitmen sungguhsungguh, mau turun, mau jatuh bangun, bahkan rela menanggung kesulitan yang ditemui. Para pioner ini tidak perlu banyakbanyak, cukup 3 orang yang berkualitas untuk merintis CU yang baik. Pembentukan CU tidak terbatas atau tidak hanya berbasis teritorial komunitas, tetapi dapat pula berbasis kategorial. Karena, masih terbuka peluang prospektif pembentukan CU bagi kelompok-kelompok homogen seperti karyawan perusahaan, yayasan serta kelompok tertentu yang memang sifat kelompoknya tetap dan ikatan paguyubannya telah solid. Kawasan urban memang memiliki potensi sekaligus permasalahan keuangan yang kompleks. CU dapat hadir dan menjadi alternatif sarana mewujudkan kesejahteraan bagi siapapun, asal mereka menjadi anggota. (A.Luluk Widyawan) Sumber: www.ekonomi.kompasiana.com
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Credit Union
Sang Pelopor Credit Union Dari Air Hitam Tidak mengecap pendidikan tinggi bukan berarti tak bisa memberi solusi cerdas bagi masyarakat di sekitar. Paling tidak, prinsip itulah yang tertanam pada Hadi Siswoyo. Meski tak berbekal ijazah pendidikan formal namun ia mampu membangun akses ekonomi dan pendidikan yang lebih layak bagi masyarakat di desanya. HADI SIS W O Y O atau yang SISW biasa disapa Woyo memang hanya sosok lelaki kampung yang cuma mengecap pendidikan di bangku kelas 3 sekolah dasar. Usianya baru saja menapak ke 31 tahun dan telah dikaruniai dua orang putra. Woyo menjalani hidup penuh keserdahanaan sebagai buruh perkebunan sawit dan jauh dari popularitas media. Desa tempatnya bermukim termasuk daerah pesisir yang terpencil, tepatnya di Desa Air Hitam, Kecamatan Aek Leidong, Kabupaten Labuhan Batu Utara.
Disebut Air Hitam, karena air di desa yang bersebelahan dengan Teluk Tanjung Balai dengan Bagan Siapi-api itu bewarna hitam kemerahmerahan. Maklum, dulunya Air Hitam hanya sebuah desa terisolir tak produktif dan miskin yang hanya ditumbuhi rawa gambut. Jadi tak heran bila konsumsi air bersih menjadi persoalan pelik bagi penduduknya yang berjumlah 1400 Kepala Keluarga di sini. “Di kampung sini kalau konsumsi air minum kami pakai tadah hujan. Kata orang kalau
minum air hujan meski sudah dimasak sekalipun bisa mengganggu kesehatan. Bisa membuat tulang keropos dan gigi rapuh. Tapi terpaksa kami lakukan, karena tak ada cara lain untuk menjangkau air bersih dengan cara mudah. Kalaupun ada harus menempuh jarak yang jauh,� ujar Woyo sembari menunjukan air sumurnya yang bewarna cokelat kekarat-karatan. Menjangkau Desa Air Hitam pun tak bisa mulus, cukup sulit dan harus ekstra hati-hati Jalanan yang labil sisa lenturan gambut
Pendi CU Bima: Hadi Siswoyo adalah pendiri CU Bima yang dimulainya sejak tahun 2007 lalu. Ssaat ini masyarakat di Desa Air Hitam yang bergabung dengan CU Bima sebanyak 200 orang lebih dan memiliki aset lebih dari 2 milyar. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
35
Credit Union serta lobang besar kerap mengangga di sepanjang jalanan. Begitupun kini mereka sudah patut bersyukur, sebab bila dibandingkan beberapa tahun silam. Desa Air Hitam harus ditempuh sekitar dua hari dua malam dengan perahu dari ibu kota kecamatannya, Aek Leidong. Prakstis, sejak tahun 1970-an, ketika rawa gambut diolah menjadi areal perkebunan sawit rakyat semuanya berubah drastis. “Meski jalanannya masih berantakan, namun sekarang kami hanya butuh waktu dua jam saja untuk ke Aek Leidong” ujar Supriadi, salah seorang warga desa. Akses jalan yang mulai lancar ternyata sekaligus menjadi peluang bagi orang-orang dari luar untuk melakukan transaksi dagang di desa yang kini penghasil sawit itu. Kehadiran para rentenir senantiasa membidik para petani sawit yang mulai bangkit secara ekomomi untuk mempolakan hidup konsumtif. Sekitar tahun 1996 hanpir seluruh keluarga di Desa Air Hitam terjerat hutang ditangan rentenir. “Saat itu, marak-maraknya rentenir datang ke sini untuk membujuk warga. Dan segala macam cara mereka lakukan. Intinya rentenir meminjamkan uangnya untuk modal usaha atau keperluan konsumtif lainnya dengan bunga yang tinggi. Warga harus mengansur bungga uang setiap harinya” kenang Woyo Keterpurukan ekonomi masyarakat akibat piutang kian hari kian meningkat. Kondisi inilah yang pada akhirnya membangkitkan kesadaran Woyo untuk melakukan sesuatu, yakni pada tahun 2007 ia menggagas usaha koperasi kelompok semacam Credit Union. Lembaga itu kini bernama Credit Union Bima. Usaha ini mirip pola Gramin Bank yang dipopulerkan oleh Muhammad Yunus di Banglades untuk memberikan bantuan pinjaman 36
modal usaha dengan bunga kecil bagi anggota kelompoknya. Perjuangan Woyo dalam membangun Credit Union tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak halang rintang bahkan cercaan masyarakat pada awalnya. Terlebih kapasitasnya yang tak berpendidikan tinggi membuat masyarakat ragu menaruh kepercayaan terhadap dirinya. “Awalnya, kalaupun ada masyarakat yang menjadi anggota CU hanya sekedar ikut-ikutan,” ujar Woyo Namun Woyo tak pernah pantang surut. Bekal pengetahuan praktis perekonomian rakyat yang pernah didapatnya dari Bitra Indonesia, yakni sebuah LSM di Medan, terus memompa semangatnya. Itu pulalah yang menginspirasi dirinya untuk membangun lembaga keuangan di desanya. Hasilnya, usaha pinjaman kelompok yang dilakukannya telah menuai hasil dan berkembang pesat. Saat ini Credit Union Bima yang digagasnya memiliki asset hampir 2 Milyar Rupiah. Dengan anggota sebanyak 200-an orang terdiri dari lelaki dan perempuan. Bahkan beberapa unit Credit Union lainnya akan segera terbentuk di beberapa daerah tetangganya di Labura. “Usaha ternak sapi yang diterapkan secara bergulir oleh anggotanya kini berkembang pesat. Para petani sawit pun sekarang dapat memanfaatkan pinjaman dari CU Bima untuk modal usaha tanpa harus meminjam lagi kepada rentenir yang mencekik leher,” kata Supriadi yang pernah menjabat bendahara di CU Bima. Dendam positif akan minimnya akses sekolah yang sempat dirasakannya membuat Woyo tergugah untuk memfasili-tasi lembaga pendidikan yang belum tersedia di desanya. Ia tak ingin anak-anak di desanya tertinggal dalam pendidikan seperti dirinya.
Laba usaha koperasi Bima yang dirintisnya dialihkan dan diberdayakan untuk membangun Taman Pendidikan Anak (TPA). Kini anak-anak usia sekolah di Air Hitam bisa dengan layak mengikuti proses belajar mengajar di sebuah ruangan permanen yang juga diperuntukan sebagai kantor CU Bima. “Ada sekitar empat staf pengajar yang mendidik anakanak disekolah ini,” terang Woyo. Agar masyarakat Air Hitam tak tertinggal dalam bidang teknologi dan informasi, maka 12 unit computer yang dilengkapi jaringan internet telah pula dioperasikan didesanya. Ini juga bagian dari usaha bersama milik anggota CU Bima. Tak sekedar itu, bahkan, saat ini obsesi Woyo tengah merancang pendidikan alternative setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU). Memang, sekolah SMU belum tersedia di Air Hitam. Bila ada, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh ke desa tetangganya. “Saya cukup tertarik dengan pendidikan karena saya cukup merasakan betapa tak enaknya bila tak mendapat akses pendidikan yang cukup. Ada rasa minder diri” kata Woyo Hadi Siswoyo, hanyalah potret seorang pemuda dari kalangan masyarakat kecil, namun karya dan jasanya terbilang besar dan bermanfaat bagi banyak orang disekitarnya. Ia mampu menghalau jerat rentenir sekaligus kebodohan yang sempat singgah di desanya. Mungkin itu pula yang kemudian membuat British Council melirik sosok Woyo menjadi salah seorang finalis Social Interpreniur di abad ini. Dalam proposalnya,kepada British Council Woyo mengemukakan solusi pengadaan air bersih di kampungnya. Semoga, apa yang menjadi obsesi Woyo untuk membantu masyarakat Air Hitam dalam memperoleh air bersih menjadi sebuah kenyataan. (Onny Kresnawan) BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Profil
Kuat Ginting, CU Mengajarkan Kemandirian Kepada Saya SEDERHANA SEDERHANA, bersahaja, te-nang, dan berwibawa. Dialah Kuat Ginting, Badan Pemerik-sa Keuangan CU Namobuah, Silebo-lebo. Ayah dua anak yang tidak pernah menyerah dan memegang teguh prinsip. Lelaki yang lahir pada 2 Maret 1973 ini bercerita tentang banyak perubahan yang sudah ia rasakan bersama keluarganya sejak bergabung dengan CU. “Kalau ditanya perubahannya sebesar apa, ya seratus persen-lah. Sebelum bergabung dengan CU Aman Damai, kami sekeluarga hidup paspasan, malah bisa dibilang serba kekurangan karena sering berhubungan dengan lintah darat. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah keuangan,” ujarnya. Lelaki berumur 48 tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai petani bercerita bahwa selama ini selain bertani, ter-kadang ia mocok-mocok juga, babat rumput, mangkas coklat di kebun orang, dan kadang-kadang bekerja di ladang orang. Perkenalan kuat dengan CU dimulai saat Bitra hadir di desanya dan memperkenalkan CU ke masyarakat desa. “Waktu itu, Pak Wagimin, Pak Delianto, Damiri, dan Bu Koming yang menjelaskan tentang apa itu CU dan apa keuntungannya buat kami. Mereka menjelaskan kalau CU akan sangat bermanfaat bagi masyarakat,” cerita Kuat. Waktu itu, perwakilan Bitra juga menceritakan bahwa CU akan melatih masyarakat untuk berjiwa mandiri, tidak terikat dengan lintah darat, dan menjadi semacam ‘bank’ yang mendukung dan membantu masyarakat soal modal usaha. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
“Jadinya dulu, ada sekolah yang namanya SLPHT yang mengajarkan kami bagaimana cara bertanam kakao. Nah, dari situ, kami mewajibkan anggota untuk menabung lima ribu rupiah. Waktu itu anggota hanya 17 orang dan saat itu belum boleh meminjam,” ujar Kuat. Sejak CU dibentuk ia pernah menjabat sebagai sekretaris di CU. “Saya dulunya bertani tanaman palawija seperti jagung, terong, dan kacang panjang. Namun, keterbatasan dana dan modal awal pembibitan dan penanaman menjadi kesulitan tersendiri bagi saya,” kata Kuat lagi. Kehadiran Bitra waktu itu sangat membantu dengan adanya lembaga pembibitan. “Ada alasan tersendiri kenapa saya memilih kakao. Bukan hanya saya saja, tetapi teman-teman yang lain juga ikut menanam kakao. Untungnya lumayan karena itu kami sangat antusias,” papar anak keempat dari tujuh bersaudara ini. 7 tahun sudah bergabung di CU banyak sekali sudah penga-
laman dan manfaat yang telah diterima Kuat. “Awalnya menjadi anggota, kemudian menjabat sekretaris, dan kemudian menjadi Badan Pengawas Kredit sampai sekarang,” urai Kuat yang sudah 5 tahun menjabat Badan Pemeriksa Keuangan di CU Aman Damai. “Banyak kesanlah. Rumit memang menjadi pemeriksa keuangan karena silap sedikit saja bisa bingung. Tapi, kesulitan seperti itu selalu kami diskusikan ketika sedang kumpul pengurus dan anggota yang didampingi perwakilan dari Bitra, Anta Tarigan,” jelas Kuat yang barubaru ini menjual ternak lembunya, hasil meminjam dari CU. Ayah dari Sabarina Boru Ginting dan Muhammad Ferdian Ginting ini mengaku banyak yang sudah ia dapatkan dari hasil ia bergabung di CU Aman Damai. “Awalnya dulu, saya beli sepeda motor dengan meminjam dana CU, karena saya pikir lebih murah mencicil di CU daripada di showroom. Kemudian, saya juga pernah beternak kambing selama dua tahun. Dan nanti rencananya, istri saya mau membuka grosir kecil-kecilan di sebuh tanah kaplingan,” lanjutnya. Kini, Kuat bersama keluarganya sudah tidak lagi merasa serba kekurangan dan bergantung dengan lintah darat. Dengan ber CU, ia menemukan jalan untuk mencukupi biaya hidup yang seolah tidak ada habisnya. Sambil tetap bertani, Kuat juga membuka usaha berjualan voucher pulsa di rumahnya yang ia bangun dari hasil ber-CU. (Andi) 37
Profil
CU Aman Damai, Mengikis dan Menyadarkan Rentenir BERMULA dari 17 orang yang berinisiatif untuk membentuk suatu wadah simpan pinjam yang lebih berpihak pada warga dan tentunya memudahkan warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bertepatan dengan diselenggarakan-nya Sekolah Lapang Polikultur & Holtikultura, beberapa orang dari desa Namobuah, membuat sebuah rencana untuk membentuk unit yang bisa menjadi tempat bagi warga untuk membuka peluang agar dapat meningkatkan taraf hidupnya. “Dulunya, rentenir di desa kami sangat banyak. Sudah begitu, tidak tanggung-tanggung mereka memberi bunga mulai dari 10% sampai dengan 20%,” ujar Musim. Pria yang menjabat sebagai
bendahara CU, yang bernama lengkap Musim Ketaren ini menceritakan asal mula berdirinya CU Aman Damai. Adalah niat para warga untuk hidup mandiri dan lepas dari cengkeraman rentenir. Dengan ber-CU, warga belajar untuk menghidupi kehidupan keluarganya dengan belajar menabung dan menikmati hasilnya tabungannya sendiri yang tidak lain berasal dari uang sendiri dalam kelompok yang diorganisir secara kolektif. “Saat masih baru berdiri, kami para anggota wajib menyumbang lima ribu rupiah dengan uang kas yang mencapai satu juta delapan puluh ribu rupiah,” ujar Musim. Pria asli Namobuah ini juga
mengatakan bahwasanya keanggotaan dari CU Aman Damai sendiri bertambah karena warga sendiri yang ingin bergabung ke CU tersebut. “Jika saat kita kumpulkumpul di Balai Desa. Kemudian, ada saja yang datang dan bertanya kami lagi ngapain?. Ya, kami jelaskan ke mereka yang bertanya, kalau kami sedang membahas untuk membuat unit simpan pinjam yang tujuannya untuk meningkatkan taraf perekonomian warga,” tambah Musim. Nama Aman Damai sendiri diakui oleh pria yang sehariharinya menggeluti bertani ini, ialah karena kelompok menginginkan bahwasanya CU ini menjadi suatu tempat yang menjamin keamanan, kedamaian dan
Transaksi: Anggota CU Aman Damai yang melakukan transaksi di kantor sudah memiliki kesadaran mengantri sampai di luar gedung kantor CU ini. 38
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Profil
Aktifitas: Kantor CU Aman Damai dalam melakukan penabungan dan peminjaman oleh anggotanya dilakukan setiap bulannya. kesejahteraan. “Nama Aman Damai sendiri disepakati pada saat rapat dengan kelompok. Kemudian, semuanya menyepakati nama tersebut dengan harapan CU ini bisa menjadi tempat warga untuk bernaung dalam aman dan damai dalam mencukupi kebutuhan hidup,” jelas Musim. Sambil bersenda gurau, pria ini mengaku bahagia sekaligus bangga karena bisa bergabung dengan CU yang diresmikan pada tanggal 19 Juli 2003. “Alhamdulillah, setelah bergabung dengan CU Aman Damai, kehidupan saya meningkat dan saya sudah bisa membangun rumah, beternak kerbau, dan punya ladang sendiri yang saya tanami kebun tanaman campuran polikultur kakao. Dibanding dulu, saya hanya sebagai buruh kebun, mengerjakan ladang orang dan mangkas cokelat milik orang,” tukas Musim yang dulunya menjadi pekerja upahan. BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Untuk organisasi CU-nya, Musim berujar kalau pergantian pengurus dilakukan setiap 3 tahun sekali dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Sambil difasilatatori oleh Bitra, CU yang sudah berumur 8 tahun ini belum pernah sekalipun berganti pemimpin. “Semua anggota senang dengan kepemimpinan Bapak Bintang Ginting. Beliau memimpin mulai dari CU berdiri sampai dengan sekarang. Ketika pemilihan-pun, beliau selalu terpilih sebagai ujung tombak dari keberadaan CU Aman Damai sendiri,” jelas petani yang pernah juga menjabat panitia kredit di CU Aman Damai. Saat ini, Bintang Ginting bersama dengan Musim, dan Nedi Nelson Sembiring bahu membahu membangun CU Aman Damai sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara. Kini, CU Aman Damai beranggotakan 314 orang dengan nominal pinjaman paling sedikit satu juta rupiah dan dua puluh
juta rupiah untuk pinjaman tertinggi. Selain itu, mereka sudah bisa membangun kantor sendiri yang memiliki fasilitas air conditioner (AC) dan alat kerja administrasi CU, berbentuk laptop guna membuat mereka nyaman beraktifitas di kantor yang baru. “Kini sudah tidak di balai desa lagi. Ya, meskipun baru setengah tahun, tapi kami berharap agar kantor tersebut menjadi tempat yang baru dan semakin membuat CU kami lebih baik,” ujar pria yang sudah dipercaya selama 3 tahun menjabat sebagai bendahara. Rentenir-rentenir yang dulunya menjamur perlahan-lahan terkikis dan malah ada yang bergabung ke CU Aman Damai. “Ada dua orang rentenir yang memilih bergabung dan menabung bersama warga lain,” urai Musim yang menyelipkan harapan bahwasanya ia ingin kalau CU Aman Damai jaya selalu dan tidak mengalami permasalahan di dalamnya. (Andi) 39
Kabar Dari Kampung
MITRA FM Ikut dalam Hibah Cipta Media Bersama RADIO Komunitas MITRA FM resmi masuk dalam bursa hibah yang digagas Cipta Media Bersama pada 8 September 2011 yang lalu. Cipta Media Bersama adalah hibah terbuka yang mengajak individu atau organisasi memunculkan ide baru dan segar dalam praktek bermedia yang mampu membuat perbaikan media di Indonesia. Hibah sebesar satu juta dolar AS ini disediakan untuk mendukung inisiatif-inisiatif yang dapat menjadi contoh praktek terbaik dalam kebhinekaan, kesetaraan, kebebasan dan etika bermedia. MITRA FM mengusulkan program dengan judul “Radio Komunitas untuk Transformasi Desa�. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan radio komunitas bersama masyarakat dan pemerintahan desa
dalam mewujudkan pemerintahan desa yang demokratis, transparan dan akuntabel. Program ini melibatkan anggota Perkumpulan Radio Komunitas MITRA FM yang tersebar di 10 desa tergabung dalam Forum Kelompok Pendengar (FOKER), pengelola radio (Badan Pelaksana Penyiaran Komunitas) MITRA FM dan aparat Desa (Kepala Desa, BPD dan LPMD) di 10 desa di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat, Sumatera Utara. Outputnya adalah berjalannya pengawasan masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan desa memalui radio komunitas dan media lainnya (koran komunitas dan website), terbitnya peraturan desa yang mengatur pengelolaan sumber daya desa secara berkelanjutan dan pemeliharaan fasilitas publik yang telah dibangun. Secara
khusus peraturan desa yang memeyungi secara hukum pengelolaan ribuan pohon penghijauan yang merupakan gerakan pengahijauan MITAR FM bersama masyarakat di 10 desa. Kedepannya, proyek ini diharapkan menjadi sistem pengawasan dan komunikasi antara masyarakat dan pemerintahan desa secara terbuka, bebas dan bertanggung jawab Kompetisi Cipta Media Bersama ini membuka dukungan publik untuk memberikan apresiasi program yang telah masuk. MITRA FM terdaftar sebagai peserta dengan Nomor 0328. Pendaftaran Cipta Media Bersama akan ditutup pada tanggal 16 September 2011 dan pengajuan dukungan untuk gagasan yang diusulkan ditutup pada tangal 21 September 2011. (Dayat)
Kapoldasu : Keamanan Tanggung Jawab Bersama SERDANG Bedagai (Suara Komunitas.Net) Kapolda Sumut Irjen Pol. Drs. H. Wisjnu Amat Sastro, SH mengatakan, secara hukum keamanan merupakan tanggungjawab kepolisian, namun secara moril hal keamanan adalah tanggungjawab kita bersama seluruh warga negara Indonesia. Hal itu disampaikannya pada acara pemancangan tiang V Gedung polres Serdang Bedagai di Desa Firdaus, Kecamatan Sei Rampah. Dalam kesempatan itu, Kapoldasu memberikan apresiasi 40
yang besar kepada Pemkab Sergai yang bekerja keras mengupayakan pembangunan gedung Polres Sergai yang baru. Dengan dibangunnya Gedung Polres Serdang Bedagai yang baru diharapkan dapat menjadi sarana pendukung guna meningkatkan kinerja kepolisian dalam menjaga keamanan di wilayah hukum Kabupaten Sergai serta aparat kepolisian dapat memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh lapisan masyarakat secara tuntas. Bangunan fisik gedung Polres Sergai yang terletak bersebelahan
dengan gedung DPRD Sergai dan Kejari Sei Rampah itu dibangun di atas areal seluas 2.500 meter persegi dan luas konstruksi di atas seribu meter persegi dengan biaya Rp 4,5 milyar yang sudah ditampung dalam APBD Kabupaten Sergai tahun anggaran 2011. (yus) Penulis: Yusriadi usriadi, Radio Komunitas SAR FM Sei Sejenggi, Perbaungan, Sergai.
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Kampanye
Dampak Pemanasan Global Terhadap Pertanian DAMP AK pemanasan global AMPAK sudah mulai terasa bagi dunia pertanian. Salah satunya telihat dari perubahan pola musim tanam. Pola cuaca tersebut mengakibatkan perubahan pola dan cara musim tanam karena sebagian petani harus dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pola cuaca ini. Oleh karena itu, tidak jarang hasil produksi tanamnya menjadi tidak maksimal. Fenomena pemanasan global yang memengaruhi cara dan hasil menanam juga ditambah dengan persoalan pencemaran dan konversi lahan pertanian. Pertanian merupakan salah satu korban dari pemanasan global karena berpengaruh pada pola tanam. Perubahan iklim dunia juga mengakibatkan perubahan musim di Indonesia yang merupakan ancaman serius terhadap produktifitas pertanian. Salah satu cara yang dilakukan sektor pertanian untuk mengurangi pemanasan global adalah mengosongkan lahan dengan tidak membakarnya. Jadi pengosongan lahan dilakukan dengan cara menebang atau mencabut pohonannya, tapi tidak dengan membakarnya. Karena asap atau panas yang timbul dari proses pembakaran itu melepas gas rumah kaca. Hal ini merupakan salah satu mitigasi untuk memperlambat atau menurunkan gas rumah kaca.
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011
Petani diharapkan dapat beradaptasi dengan perubahan musim yang seringkali terjadi tidak terduga dengan menerapkan pola tanam yang dinamis mengikuti musim yang berlangsung pada saat itu. Untuk itu, BMKG mengadakan sosialisasi informasi kepada masyarakat melalui Pemerintah Daerah dan dinasdinas di daerah tentang prakiraan iklim atau musim yang kemudian diberitahukan kepada penyuluh untuk disebarluaskan ke para petani. Dalam skala periodik akan didiskusikan bersama yang akhirnya akan bisa menyesuaikan pola tanam. Karena aspek perilaku masyarakat sangat penting dalam pola tanam. Tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah memicu banjir, termasuk di area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005, total padi yang terendam banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579 hektare, 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare dari 577.046 hektare padi gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 4,6 ton gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang 872.955 ton. Di wilayahwilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu meng-
ganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi dilakukan dengan penggenangan terus-menerus, tapi cukup macak-macak. Dari uji coba lapangan, cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi. Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca kepada petani selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Informasi cuaca sudah tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih valid. Persoalannya tinggal memperbaiki informasi cuaca dan membuatnya komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan informasi cuaca masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana membuat petani tidak hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan bahasa mereka menjadi persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Dengan cara-cara ini petani bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan emisi metana. (*) Sumber: www.industri10fallen. blog.mercubuana.ac.id
BITRANET No. 10/ Agustus - Oktober 2011