Refleksi
Daftar Isi Komentar - Pemerintah Indonesia Harus Mengedepankan Perdamaian dan Pelibatan Peran Masyarakat Sipil dalam Penegakan HAM Utama - BITRA Pada Lingkar Perak - Refleksi 25 Tahun, BITRA Konsisten Bangun Desa - Soekirman Terima Tanda Jasa dari BITRA Advokasi - Kasus Tanah di Sergai Tak Kunjung Terselesaikan - Konflik Agraria Masih Marak Sepanjang Tahun 2010 - Pembangunan Bisa Berbuah Sengketa Jika RUU Pengadaan Tanah Disahkan - Peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember 2010 - SPSB, Serikat Tani Harapan Seluruh Elemen Pertanian di Serdang Bedagai - Penegakan Hukum, Subjek Dalam Pembangunan HAM - Penyerangkan Ahmadiyah Pelanggaran HAM Berat - Pluralime Bukan Masalah
1 3 9 11
12 14 15 20 23 24 27 27
Pertanian - Petani Bebas Utang dari Tasikmalaya - Bank Padi, Bank Petani Kecil
29 31
Kesehatan Alternatif - Antikanker Kunyit-Sambiloto - Antimalaria dari Kulit Batang Cempedak
32 33
Credit Union - Credit Union Perlawanan dari Desa
35
Profil - Sejarah Berdirinya Kelompok Kesehatan Alternatif Sirih Merah
37
Kabar Dari Kampung - Ekspansi Perkebunan Peluang atau Ancaman
40
Refleksi, secara sederhana dapat disamakan dengan bercermin. Artinya, ketika kita sedang melakukan refleksi maka sebenarnya kita juga sedang bercermin. Layaknya orang bercermin, seluruh wajah akan terlihat gamblang, apa adanya. Kita tidak mungkin berharap akan mendapatkan gambar yang berbeda, lebih baik atau lebih buruk dari sosok aslinya. Oleh karena itu kata refleksi bermakna kejujuran. Suatu tindakan untuk melihat diri sendiri secara jujur dan apa adanya. Oleh kalangan LSM, kata refleksi kemudian dirujuk dan diberi pemaknaan yang lebih luas untuk maksud yang lebih luas pula. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lampau (Nurhadi 2004:51) untuk mendapatkan pembelajaran pada masa mendatang. Refleksi sering juga dikaitkan dengan daur proses perubahan masyarakat yang didorong mengunakan pendekatan aksi-refleksi-aksi, yakni hubungan reflektif antara teori dan tindakan. Dalam pendekatan ini, refleksi menjadi tahapan yang sangat penting karena aksi yang akan dilakukan selanjutnya, digali dari pembelajaran yang diperoleh dari aksi-aksi yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam bahasa yang sangat popular disebut Praksis. Sarasehan merupakan salah satu bagian dari penerapan pendekatan ini. Dalam setiap sarasehan yang dilakukan, peserta yang hadir biasanya akan terlibat dalam serangkaian diskusi yang cukup serius. Topic atau tema diskusi yang dibahas meliputi berbagai tindakan yang telah dan sedang dilakukan oleh sekelompok orang. Bagaimana perkembangan yang terjadi? Adakah sesuatu yang menghambat atau justeru memperlancar? Apa pelajaran yang dapat dipetik dari setiap tindakan yang dilakukan? Perubahan-perubahan apa yang dihasilkan dan seberapa besar sumbangan yang diberikan oleh kelompok terhadap perubahan yang terjadi? Dan yang paling penting pelajaran apa yang dapat dipetik untuk perbaikan dan pengembangan tindakan pada masa datang. Dengan selalu konsisten menjalankan pendekatan ini maka seluruh proses perubahan yang akan dilakukan dapat dikelola secara sistematis, partisipatif dan terawasi dengan baik. Sarasehan ke-25 pada tanggal 8-10 Maret yang diadakan di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai adalah juga merupakan ajang refleksi bagi Bitra dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Tanpa disadari sejak pertama kali Sarasehan dilakukan pada tahun 1986 di Desa Pagarjati, Kecamatan Pagar Merbau, Deli Serdang, kini sudah berulang hingga 25 kali. Pada momentum Sarasehan yang lalu Bitra mendapatkan banyak pembelajaran. Secara tampilan dan pembawaan badan, Bitra dirindukan tampil seperti dulu. Maksudnya, kira-kira tetap guyub,bersahaja dan lebih banyak berinteraksi dengan warga desa. Ndeso gitulah!. Sementara dari segi pelayanan, Bitra diharapkan bisa memperbanyak pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan ketrampilan teknis. Namun begitu, bukan berarti “dipandekan untuk dibodoh-bodohi” atau “diberi tanggung jawab tapi bukan sebagai alat untuk meperalat”. Satu catatan lain yang cukup penting adalah dalam kurun 25 tahun ini Bitra sudah “menjadi” sosok organisasi yang konsisten membela kepentingan kaum marginal, mendorong perubahan sosial di tingkat desa, meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dan mengoptimalkan potensi sumber daya alam untuk kemaslahatan bersama. Namun yang dirasakan belum terjadi adalah “memiliki”. Bitra belum merasakan bahwa dirinya dimiliki oleh masyarakat, terutama para penerima manfaat dan pemangku kepentingan keberadaan Bitra. Mungkin usia 25 tahun belum cukup untuk menjadikan lembaga ini dimiliki oleh public. (red)
Penerbit: Yayasan BITRA Indonesia Medan. Penanggung jawab dan Pimpinan Umum: Wahyudhi Pimpinan Redaksi: M. Ikhsan Dewan Redaksi : Rusdiana, Iswan Kaputra, Swaldi, Listiani, Eka D Rehulina Reporter: Elfa, Nirwan, Aprianta Tarigan, Erika Rosmawati, Hawari, Jumarni, Siska Elisabet, Misdi, Rustam Fotografer: Anto Ungsi Manajemen Pelaksana : Icen Sirkulasi & Keuangan: Fira Handayani Redaksi: Jl. Bahagia By Pass No. 11/35 Medan - 20218 Telepon: 061-787 6408 Fax : 061-787 6428 Email: majalahbitranet@yahoo.com
Jurnalis/Wartawan BITRANET dalam melaksanakan tugasnya tidak dibenarkan menerima amplop atau imbalan apapun. Bagi masyarakat yang melihat dan dirugikan, silahkan menghubungi redaksi dan menggunakan hak jawabnya.
Komentar Memperingati Hari HAM Sedunia 2010
“Pemerintah Indonesia Harus Mengedepankan Pendekatan Perdamaian dan Pelibatan Peran Masyarakat Sipil dalam Penegakan HAM” Oleh : Haris Azhar Azhar,, SH, MA Koordinator Badan Pekerja KontraS Ukuran keberhasilan penegakan HAM adalah melalui pembuktian konkret dari strategi agenda prioritas yang kita miliki. Namun kedua hal di atas; strategi dan bukti konkret, masih absen dari pemerintahan dan pengelola negara hari ini, SBYBoediono. Penegakan hak asasi manusia, keamanan, dan jaminan hak-hak dasar kewarganegaraan belum terpenuhi. Secara Internasional, Pesan hari Hak Asasi Manusia sedunia pada 10 Desember 2010 adalah “Human Rights Defenders Who Act to End Discrimination”. Pesan yangdikeluarkan Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (Office of the High Commissioner of Human Rights) ini menitik beratkan pada ‘Pembela HAM yang menjadi titik sentrum perubahan untuk mengubah berbagai tindak diskriminasi yang masih banyak terjadi di dunia hari ini. Pesan ini senada dengan jaminan hukum hak asasi manusia di Indonesia. sebagaimana yang diterangkan dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 100, “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.” Perhatian Internasional, tidak mengecualikan kondisi HAM di Indonesia. Sampai sejauh ini praktik penegakan HAM Indonesia masih belum dikelola secara baik. Masih banyak terdapat diskriminasi dan keberpihakan secara negatif oleh aparat hukum dan pemerintah hari ini, meskipun sudah banyak terdapat legislasi yang menjamin HAM. Oleh karenanya dalam kesempatan hari HAM 2010 ini, KontraS ingin memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah isu yang menjadi ukuran penting penegakan HAM di Indonesia hari-hari ini, selain isu-isu lainnya, yaitu; - Pertama, kegagalan Negara dalam menihilkan laju kekerasan di Papua dalam beberapa bulan terakhir. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Rasa aman masyarakat di Papua hilang karena masih banyak praktek kekerasan seperti yang didokumentasikan dalam video youtube. Kondisi ini dikuti dengan serangkaian pengkondisian isu keamananan yang mengancam hak warga Papua, seperti bocornya dokumen Kopassus yang menargetkan sejumlah aktifis sipil di Papua dan terjadinya operasi gelap penyerangan ke pemukiman dan rumah anggota TNI. Respon negara pun lemah dan tak berarti. Mekanisme Peradilan HAM untuk kasus video kekerasan warga Distrik Tingginambut amat jauh dari standar HAM yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah yaitu Konvenan Hak Sipil Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Anti Penyiksaan (UU No. 5 tahun 1998) yang menegaskan asas fair trial. Kriminalisasi masih terjadi layaknya zaman orde baru terhadap sejumlah aktifis politik Papua terutama terhadap mereka yang menyampaikan aspirasinya secara damai. Lebih buruk lagi, proses kriminalisasi ini diikuti dengan praktek-praktek kekerasan terhadap para tersangka dan buruknya kondisi infrastruktur/layanan di tahanan. - Kedua, minimnya mekanisme sanksi yang diterapkan kepada oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan. Akibatnya praktik kekerasan masih kerap terjadi di berbagai wilayah. Sanksi yang dijatuhkan hanya bersifat internal, misalnya dimutasi atau dinonaktifkan dari jabatannya.Umumnya kekerasan terjadi pada saat proses penyidikan di kantor-kantor kepolisian, atau terkait dengan pengamanan sengketa lahan milik korporasi bisnis. Ambigu Kepolisian juga terlihat di antara dua gambaran umum penanganan kasus; terorisme dan perlindungan kelompok minoritas. Pada kasus terorisme, Polri dan khususnya Densus 88 melakukan praktik kekerasan secara berlebihan, antara lain: aksi salah tangkap, tidak membawa 1
Komentar surat penangkapan dan penahanan, pemeriksaan tidak didampingi pengacara, keluarga tidak diberikan akses untuk bertemu, penyiksaan dalam tahanan. Sementara dalam situasi lainnya, Polri justru nampak lemah dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan kelompok horizontal, seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok-kelompok minoritas. - Ketiga, ketiadaan sikap politik Presiden SBY atas empat rekomendasi DPRI-RI terkait kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998. - Keempat, belum ada perhatian serius dari negara untuk isu Pembela HAM. Kasus Munir lebih banyak menjadi perhatian masyarakat awam dan internasional. Padahal semakin tidak diselesaikannya kasus ini, semakin menjadi simbol pengabaian Negara. Lebih jauh, kekerasan t e r h a d a p pekerja HAM dan pembela demokrasi masih terus t e r j a d i sepanjang 2010 diantaranya kepada Jurnalis (16 kasus), aktifis anti korupsi (seperti Tama S Langkun) dan para aktifis lingkungan. Empat catatan p r o b l e m penegakan HAM di atas amat krusial untuk diselesaikan pemerintahan SBYBoediono. Pemerintah membutuhkan keberanian untuk menghadirkan terobosan-terobosan penting khususnya pada isu penegakan HAM; - Pertama Pertama, dengan mengambil momentum hari HAM Internasional ini, pemerintah perlu mengumandangkan rencana pembentukan cetak biru (blue print) penegakan HAM yang menjelaskan visi-teknisnya. - Kedua Kedua, presiden SBY perlu mengumandangkan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia atas kegagalan penegakan HAM selama ini, terutama terhadap praktek buruk pemerintah di 2
masa lalu yang mengakibatkan banyak warga sipil, di antaranya, dibunuh, dihilangkan dan ditahan secara sewenang-wenang. Tindakan ini bisa diikuti dengan meminta Jaksa Agung memecah kebuntuan proses hukum perkara pelanggaran HAM berat, dengan cara membangun kerja sama dengan Komnas HAM dan memanggil ahli-ahli hukum HAM internasional untuk memberikan saran penuntasan kasus jika terdapat kendala legal serta mencari mereka yang masih hilang. - Ketiga Ketiga, upaya dialog harus terus dilakukan di Papua. Negara demokratis tidak boleh anti-dialog dengan warga
negaranya. Pembacaan kondisi sosial politik Papua tidak disempitkan sekedar dalam kerangka minimalis self determination semata. - Keempat Keempat, Kapolri Timor Pradopo harus segera membuat terobosan terkait dengan banyaknya praktek peyimpangan anggota Polri dalam bentuk kekerasan dan pengabaian hukum. Penangan masalah ini tidak bisa sekedar menunggu penuntasan program grand strategy Polri 20052025. Akan terlalu lama, buat masyarakat kecil menanti jaminan keamanan dan keadilan atas kasus-kasusnya jika harus menunggu hingga 2025. (*) Mari bersama menghormati HAM.(*) BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Utama
BITRA Pada Lingkaran Perak Dari awal berdirinya, para pemuda pelopor itu berharap, “bayi” mereka, Yayasan Bitra Indonesia yang baru lahir, tumbuh menjadi dewasa dan berumur panjang. Doa mereka terkabul. Cara mereka merawat, mendidik, dan menjaga menjadikan “bayi” tersebut tumbuh menjadi “pribadi” yang semakin matang. Tapi bukankah perjuangan tidak akan pernah selesai selesai? Dan kini, 25 tahun sudah lembaga ini ada untuk membela hak-hak petani. Tak dapat dipungkiri dalam perjalanan 25 tahunnya, BITRA Indonesia sering sekali mengalami pasang surut. Terkadang dicela, tekadang dipuja, terkadang terjerembab, terkadang terpuruk, terkadang disanjung, terkadang berjaya, berganti-ganti. Tapi bagaimanapun, BITRA Indonesia sudah melalukan banyak hal di sepanjang 25 tahun perjalanannya. Lalu, setelah 25 tahun berdiri apakah kerja-kerja yang telah dilakukan telah dirasa cukup? Atau malah dalam perjalanan 25 tahunnya, lembaga yang dibentuk pada tahun 1986 ini justru semakin mengalami sebuah degradasi. Lantas kalau begitu, apakah sebuah perubahan perlu dilakukan? 25 TTahun ahun Ber k ar y a Berk Hari itu (8-10 Maret 2011), Desa Lubuk Bayas, Serdang Bedagai tampak tak seperti tak biasanya. Sebuah tulisan, “Selamat Datang Para Peserta Sarasehan Yayasan BITRA Indonesia ke-25” terpampang di tempat utama perayaan. Berbagai kelompok petani dari berbagai tempat di Sumatera Utara tumpah-ruah di tempat itu. Mulai dari Serdang Bedagai, Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai, sampai Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan. Mereka tinggal untuk beberapa hari di rumah-rumah petani yang tersebar di desa tersebut. Hari itu bukan hari biasa. BITRA Indonesia sedang merayakan 25 tahun berdirinya. Merayakan ulang tahun ke 25 ini, sebuah refleksi digelar agar usia 25 tahun tersebut tidak menjadi sia-sia. Proses refleksi ini diharapkan akan menghasilkan pelajaran yang sangat berharga. Menghasilkan perbaikan-perbaikan ke depan agar dapat mencapai hasil yang maksimal dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Banyak kerja-kerja kalau tak mau kita katakan keberhasilan yang telah dilakukan BITRA dalam usia peraknya. Sebut saja berdirinya Badan Perkreditan Rakyat (BPR) untuk memfasilitasi bantuan modal usaha kepada masyarakat. Meskipun ini bukan poin utama, penguatan perekonomian bisa menjadi satu kekuatan kemandirian. Kemandirian ekonomi ini menjadi satu kepaduan kekuatan masyarakat petani BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
agar tidak bergantung pada kekuatan modal lain di luar dirinya dan komunitasnya. Selain itu adanya TCSS sebagai tempat pelatihan dan berkumpulnya masyarakat desa, telah dibangunnya OR di 2 kabupaten (SPSB dan SERADT) sebagai media yang dapat digunakan untuk memperjuangkan hak-hak petani. Adanya organisasi profesi seperti APASU dan FPERA menjadi kadar keberhasilan yang lain. BITRA Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertua di Sumatera Utara (Sumut). Boleh dibilang, BITRA adalah LSM pelopor. Banyak lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya di Sumut lahir dari BITRA. BITRA menjadi besar karena telah menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, lantas menyebar dan membentuk tunas-tunas baru. Semacam ruh dan semangat yang terus bergerak menemukan orang-orang yang tepat. Seperti kata dr. Sofyan Tan, Direktur Yayasan Ekosistem Lauser (YEL) yang kami jumpai beberapa waktu lalu. “BITRA itu punya nama besar. BITRA menyebarkan “virus” kepedulian sosial itu pada banyak kader-kader muda. Termasuk saya. Saya salah satu korbannya,” katanya sembari tertawa. “Orang-orang muda itu kemudian berdiri dan meneruskan semangat itu. Bisa dikatakan kelahiran LSM di Sumut itu diawali di BITRA,” lanjut Sofyan Tan. Lalu, BITRA juga telah menggagas berjalannya model penjualan cacao dan produk pertanian rakyat secara lelang, berdirinya radio komunitas SAR FM dan MITRA FM sebagai alat komunikasi rakyat, munculnya kader-kader pengobat dan juga klinik kesehatan alternatif di beberapa desa yang didampingi BITRA, dan telah berhasilnya BITRA menghantarkan beberapa kadernya dalam perebutan sumberdaya politik baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Hingga saat ini, di tahun 2011, BITRA mendampingi masyarakat di enam Kabupaten atau Kota di Sumatera Utara yakni Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Binjai, Palas, dan Labura. Di enam kabupaten/ kota di atas, ada beberapa isu besar yang diangkat. Isu-isu ini berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat 3
Utama yang dijadikan pijakan untuk membuka cakrawala kesadaran akan hak-hak yang selama ini tidak terpenuhi. BITRA Indonesia konsern pada isu advokasi atau pembelaan, pertanian selaras alam atau polikultur dan pertanian organik, Credit Union (CU), penelitian, pengembangan informasi komunikasi dan teknologi, pemasaran produk pertanian berbasis masyarakat, dan kesehatan alternatif. Semua dinamika terkait isuisu ini diramu dan disesuaikan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Kegiatan sarasehan dengan model refleksi ini diharapkan akan menjadi media yang mampu melahirkan kesepakatan bersama tentang bagaimana menjawab permasalahan maupun perubahan yang terjadi. Hasil refleksi yang didapat pada usia perak BITRA kali ini akan diwujudkan menjadi dokumen pegangan garis utama kerja BITRA bersama kelompok-kelompok binaannya. Plus Minus BITRA Agar tujuan pelaksanaan acara ini tecapai, seluruh stakeholder BITRA menyampaikan pendapat dan tanggapannya selama 25 tahun BITRA berdiri. Apa yang telah mereka alami dan sejauh mana BITRA telah mengambil peran. Tidak hanya tanggapan yang mendukung, kritik sebagai pembangun juga disampaikan. Kegiatan testimoni dibagi menjadi tiga bagian. Testimoni pertama penyampaian tentang periode awal BITRA berdiri atau sejak tahun 1986 hingga 1993. Kedua, penyampaian testimoni pada periode pertengahan yaitu sejak 1994 hingga 2000, dan testimoni ketiga membahas tentang perjalanan BITRA sejak tahun 2001 hingga 2011. Testimoni pertama adalah penyampaian kesaksian para stakeholder yang didampingi BITRA untuk menyelesaikan beberapa kasus. Tuti, salah satu stakeholder mereklamasikan tentang lahan terlantar, Akhyar mereklamasikan bibit tani, Ponimin tentang kasus pompanisasi, Dimin tentang reklamasi kasus tanah, Ramlan tentang motivator, dan Siswanto mengenai mahasiswa marginal. “Permasalahan tanah yang terjadi di Sungai Rejo pada tahun 1990-an tidak mungkin dapat diselesaikan oleh masyarakat biasa seperti petani,” begitu tutur Dimin. Zaman itu pada setiap permasalahan tanah, orang yang benar sekalipun akan disalahkan karena tidak memiliki kekuasaan. “Saya sendiri bahkan mengalami kekerasan fisik dan dikatakan mengikuti jejak PKI yang sering melakukan perampasan tanah,” ceritanya sedih mengenang masa-masa itu. Waktu itu, Dimin dan masyarakat di Sungai Rejo tengah menghadapi kasus perampasan tanah oleh pengusaha China. Mereka kemudian meminta bantuan 4
kepada Yayasan BITRA Indonesia agar mengadakan pendampingan terhadap petani dan mengambil hak mereka kembali. “Kami berjuang dengan melakukan demonstrasi. Beberapa dari antara kami ditangkap Koramil,” tutur Dimin. Lain lagi ceritanya di Desa Bogak Besar. Pertemuan dengan masyarakat dampingan di desa ini awalnya adalah sebuah ketidaksengajaan. Waktu itu, beberapa staf BITRA sekadar melewati Desa Bogak Besar lalu menemukan permasalahan sosial yang tengah terjadi di sana. Sebuah lahan luas dibiarkan tak produktif di desa itu. BITRA kemudian mengundang masyarakat untuk hadir dalam sebuah kegiatan sarasehan dan membentuk kelompok- kelompok tani. Kelompok tani tersebut bersama BITRA membuka lahan terlantar dan menanam bibit padi. Tahap pertama, masyarakat dan BITRA mengambil bibit padi di daerah Hamparan Perak sebanyak 3 ton. Namun, karena di perjalanan bibit terkena hujan, seluruh bibit basah. Pendek cerita, akhirnya bibit tersebut ditanam. Masalahnya, PH tanah terlalu banyak mengandung asam. Hampir seluruh bibit padi mati. Gagalnya pembibitan pertama tak membuat BITRA dan kelompok tani menyerah. Pengukuran kadar PH dan keasaman tanah dilakukan. Permohonan bibit kedua juga diajukan. Bibit padi kuku balam yang di ambil dari Hamparan Perak kemudian ditanam. Hasilnya, Bogak Besar mengalami panen raya. “Inilah sejarah bahwa BITRA telah menghidupkan sebuah lahan terlantar menjadi lahan produktif hingga saat ini,” kata Akhyar, Kepala Desa Bogak Besar. Peristiwa itu terjadi sekitar 21 tahun lalu. Peristiwa besar ini selalu dikenang dan menjadi ingatan masyarakat Desa Bogak Besar, seperti halnya Akhyar. Sejak peristiwa itu, Akhyar bergabung dengan BITRA hingga tahun1993. Ia bergabung sekitar 3 tahun, lalu
Testimoni : Dimin salah satu peserta sarasehan yang menyampaikan testimoni tentang kasus tanah di Sungai Rejo pada tahun 1990. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Utama kemudian meninggalkan BITRA karena merasa BITRA tidak memberikan apa yang ia harapkan. “Mereka hanya memberikan kail dan masyarakatlah yang memancing. Akhirnya kail tersebut kami pancingkan hingga saat ini kami mengalami keberhasilan,” ungkap Akhyar. “Awalnya saya merasa apa yang dilakukan BITRA itu salah, tapi kemudian saya sadar bahwa untuk mendapatkan ikannya, saya harus memancing sendiri,” lanjut Akhyar. Dengan jujur pula, Akhyar menyampaikan rasa kecewanya karena tidak adanya anggota kelompok Bogak Besar yang dikirim untuk mengikuti magang di daerah lain. “Sampai hari ini tidak ada surat undangan magang itu. Padahal kami adalah kelompok dampingan yang telah berhasil dengan mengikuti pendidikan dan saran dari BITRA. Kita sangat mengharapkan mendapatkan kesempatan magang ke Jakarta, Bandung, dan tempat lainnya agar kami makin maju. Sarasehan yang kami ikuti hanya dua sarasehan saja, setelah itu kami tidak pernah mendapat undangan dari BITRA kembali. Sarasehan tahun ini adalah pertemuan kami kembali dengan BITRA. Harapan ke depannya kita masih menerima undangan magang dari pihak BITRA,” tambah Akhyar. Intinya, masyarakat berharap BITRA terus memberikan perhatian kepada kelompokkelompok yang telah pernah menjadi dampingannya. Tak hanya bentuk dukungan yang diberikan BITRA kepada kelompok dampingannya. Alat pendukung, seperti pompa yang menjadi peralatan kegiatan pertanian kelompok dampingan juga mendapat perhatian BITRA. Seperti kesaksian Ponimin. “Masyarakat kami dahulu sangat bingung menyelesaikan masalah pompanisasi ini. BITRA kemudian memberikan kepada kelompok kami berupa 1 unit mesin pompa pada tahun 1999. Hingga sekarang mesin pompa tersebut masih dapat digunakan. Kami sangat berterima kasih kepada yayasan BITRA karena adanya pompa ini sangat membantu kami,” kata Ponimin. “Meski saat itu kami terbilang hutang pada BITRA dan dibayar secara kredit dengan jangka waktu enam musim. Di sini kami cukup merasa bersalah karena hutang yang seharusnya dapat dilunasi dengan jangka waktu enam musim, tetapi dilunasi dalam jangka waktu lebih dari enam musim. Kini telah lunas, meski dengan jangka waktu yang cukup lama atau tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati,” kelakar Ponimin. Ponimin menilai bahwa BITRA adalah lembaga yang sangat peduli. BITRA membimbing, memberi pelajaran, memberi wawasan, dan mengajak untuk memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi bersama-sama. BITRA tidak melulu mencekoki masyarakat, tapi BITRA mengajak masyarkat berusaha bersama-sama. “Susah atau tidak susah, itu kembali kepada diri kita masingBITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
masing. Manusia yang ingin maju, kita sangat diharapkan untuk dapat sadar. Sadar bahwa kita adalah orang yang lemah, sadar bahwa kita adalah orang yang tidak punya, sadar bahwa kita adalah orang yang tidak memiliki penghasilan. Jika kita sudah sadar, maka kita akan tahu tindakan apa yang harus kita lakukan. Rumus sadar ini, saya kenal dari Bapak Soekirman. Kami selalu diajar Berpikir Bersama Untuk Berusaha Bersama (BBUBB),” kata Ponimin. Kegiatan sarasehan adalah salah satu bukti BITRA mengajak dampingannya untuk sama-sama berpikir dan berusaha untuk mengubah hidupnya. “Kegiatan seperti ini memberi peserta banyak wawasan dan ilmu pengetahuan. Ibarat kata, kita sedang mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Selain itu kita bisa bersilaturahmi dan belajar dari kelompok-kelompok lain,” kata Ramlan dari Kelompok Tani Wajar Bina Karya. Persoalan lain yang menjadi perhatian BITRA adalah peningkatan kapasitas dan peran perempuan petani. Contoh kasus di daerah Bogak Besar. Waktu itu di sekitar tahun 1992, tidak ada kelompok wanita yang terbentuk di Bogak Besar. Lalu, di sekitar tahun1993, kelompok wanita dibentuk. Listiani dan Diana adalah pendamping pembentukan kelompok wanita tersebut. Cempaka putih menjadi nama yang dipilih untuk kelompok wanita di daerah Bogak Besar. Waktu itu diketuai oleh Tuti. Kegiatan-kegiatan kelompok ini seperti simpan pinjam, mengelola pertanian, dan membuat kegiatan penjualan sembako kepada kelompok. Tuti, mewakili kelompoknya menilai apa yang telah dilakukan BITRA ini sangat bermanfaat dan memberi pengaruh positif bagi perempuan-perempuan petani seperti Tuti dan kawan-kawan. “Saya misalnya, telah di magangkan BITRA ke Jawa selama 1 bulan meski saya belum terlalu lama mengenal dan menjadi kelompok dampingan BITRA. BITRA meninggalkan harapan kepada orang- orang desa berpola pikir yang lebih maju.” Kata Tuti. Walaupun saat ini BITRA tidak mendampingi kelompok mereka seperti kelompok-kelompok baru lainnya, Tuti mengaku kelompok mereka telah bisa mandiri. Kelompok ini sampai sekarang tetap melaksanakan sistem simpan pinjam meski tidak melalui kelompok tetapi melalui perwiritan. Setiap tahun mereka membuka tabungan yang telah terkumpul lalu membaginya bersama. Selain itu, tabungan tersebut dapat dipinjam oleh anggota dengan jasa yang cukup ringan. Total jasa peminjaman tersebut juga akan mereka bagi secara bersama setiap menjelang bulan ramadhan. “Kegiatan simpan pinjam adalah kegiatan yang masih kami pertahankan hingga sekarang,” tutur Tuti. 5
Utama Reklamasi terakhir testimoni pertama disampaikan Siswanto tentang mahasiswa marginal. Selain memberi perhatian kepada masyarakat petani, kelompok yang juga mengalami kesulitan adalah kaum muda intelektual yang terjepit dengan dana dan keuangan. Mereka adalah para calon intelektual muda yang mungkin saja akan putus di tengah jalan bila tidak didukung dengan ketersediaan dana dan biaya. Program ini disebut BITRA sebagai program mahasiswa marginal. Program ini tak hanya memberikan modal, tetapi juga mengajak mahasiswa mengembangkan pola pikirnya. “Pertama kali saya dikenalkan dengan program mahasiswa marginal dari sebuah brosur yang menjelaskan tentang pengembangan usaha untuk mahasiswa. Saya pikir program ini sangat bagus,” kata Siswanto yang ikut menjadi bagian dari program ini sampai kemudian ia dipercaya sebagai koordinator program. Tentang program ini, sejak awal para pengagasnya telah sangat yakin bahwa program ini akan sangat memberi dampak besar kepada anakanak muda, terutama untuk menjadikan mereka kader-kader yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Seperti kata Soekirman, salah satu pendiri BITRA. Testimoni kedua ( rentang waktu 1994- 2000), menghadirkan Elfenda Nanda (Reklamasi Forso Lima), Ngatini (Reklamasi Perjuangan Tanah Dusun Anggrek), Onny Kresnawan (Reklamasi Tabloid Momen), Santiana Br. Ginting (Reklamasi Credit Union), Marianto (Reklamasi Polikultur). Dalam sesi testimoni kedua ini, Elfenda Nanda mengatakan bahwa masih banyak hal yang harus dibangun BITRA. BITRA perlu mengukur tingkat ekonomi masyarakat dampingan dan memikirkan kelanjutannya setelah sebuah proses pendampingan selesai dilakukan. “Setelah kemenangan kasus tanah selesai, BITRA tidak pernah mendiskusikan dan mempersiapkan kembali tentang rencana ke depannya. Kami sedikit abai untuk berpikir dan mendiskusikan bagaimana tanah yang telah ada dapat diubah menjadi aspek ekonomi bagi masyarakat. Halhal seperti inilah yang ke depannya perlu dilakukan oleh BITRA,” kata Elfenda. Harapan yang sama sama juga disampaikan Ngatini. Ngatini adalah salah satu anggota kelompok dampingan BITRA untuk kasus tanah. Ngatini mengenal BITRA sejak tahun 1990. Selama masa itu pula BITRA terus mendampingi perjuangan Ngatini dan kawan-kawannya merebut kembali hak mereka. “Perjuangan-perjuangan yang dilakukan merupakan perjuangan yang cukup panjang dan yang melelahkan hingga kami mendapat keberhasilan,” ujarnya. “Setelah perjuang advokasi dan permasalahan tanah selesai, saya mengembangkan dan membentuk 6
kelompok akupresure bersama kawan-kawan. Saat ini, saya tidak hanya menjadi seorang petani tetapi saya juga berprofesi sebagai tukang jamu keliling dengan sepeda dan seorang tukang kusuk. Pelajaran itu semua saya dapatkan dari BITRA,” tandas Ngatini. Pendidikan-pendidikan dan penguatan ekonomi seperti ini sangat dibutuhkan masyarakat dampingan setelah advokasi selesai dilakukan. Begitu kira-kira menurut Ngatini. Di testimoni ketiga, periode berikutnya kesaksian disampaikan oleh Darmin (Reklamasi Tanah), Asriadi (Reklamasi SPSB), Sarman (Reklamasi Pertanian Organik), Rusdi (Reklamasi Alternatif), Kolam Br. Tarigan (Reklamasi KPBUT), Zulkarnain Hsb (Reklamasi Tanah), Adi Siswoyo (Reklamasi CU di Air Hitam), dan Hidayat (Reklamasi Radio Komunitas). Zulkarnain saat memberikan kesaksian tentang reklamasi tanah sangat berharap BITRA, advokat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya perlu segera menanggapi kasus tanah di Tapanuli Selatan yang tidak memiliki kepastian hukum. “Tidak ada eksekusi lapangan yang dilaksanakan oleh negara hingga saat ini. Pihak pemerintah hanya melaksanakan eksekusi manajemen sekitar satu tahun lalu. Faktanya hingga saat ini kawasan yang telah dieksekusi masih ditempati kelompok-kelompok pengusaha tersebut. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kepada BITRA Indonesai, LSM, dan lembaga advokasi yang lain untuk memberikan respon terhadap pelaksanaan hukum tersebut,” tandas Zulkarnain. Pun, banyaknya hal- hal yang telah dilakukan oleh BITRA kepada masyarakat, tak luput juga BITRA abai pada beberapa hal lain. Seperti kasus di Tapanuli Selatan itu atau juga pada masyarakat Pergulaan. “Sejak 2009, masyarakat Pergulaan merasakan adanya proses pembiaran. Kurangnya komunikasi ini membuat masyarakat mengalami krisis kepercayaan. Hal-hal kecil pun menjadi besar di masyarakat. Kondisi seperti ini jangan dibiarkan terjadi di masyarakat. BITRA diharapkan lebih sensitif menangani kasuskasus seperti ini, khususnya kasus tanah,” kata Darwin, Badan Perjuangan Masa Pergulaan (BPMP). Sejarah BITRA Yayasan BITRA berdiri sejak tahun 1986. Berawal dari sebuah lembaga yang kala itu bernama BINTARNI (Bina Taruna Tani). Pada awal berdiri, BINTARNI berdiri di Lubuk Pakam. Saat itu, BINTARNI adalah satusatunya LSM di Sumatera Utara yang non-gereja karena tahun 1980’an LSM-LSM yang bergerak ke sosial kemasyarakatan masih bergerak di keagamaan, seperti di Islam ada NU, Muhammadiyah dan di Kristen ada Lembaga Sosial Gereja, Pelpem, Parpem, dan lainnya. Oleh karena BINTARNI masih sangat baru BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Utama sebagai embrio, LSM ini cepat mendapat perhatian. Proyek perdananya yang dianggap fenomenal adalah pembangunan air bersih di Kotarih. Proyek tersebut berjalan lancar dan sukses. Namun karena masih sangat muda dan belum matang secara organisasi, lembaga ini kemudian tidak dapat dikelola dengan produktif. Menjadi “mummy”, yang secara kelembagaan dan institusi masih tercatat tetapi tidak memiliki aktivitas. Melihat situasi ini, keinginan membentuk forum LSM muncul kembali. Terbentuklah LSM baru dengan nama BITRA yang dipakai sejak tahun 1986. Lalu pada tahun 1991, BITRA dinotariskan menjadi yayasan. Seperti kata salah satu pendiri BITRA, Soekirman. BITRA awalnya adalah sebuah paguyuban. Perkumpulan anak-anak muda yang memiliki kesamaan visi untuk mengadakan perubahan dan memiliki kepedulian kepada masyarakat. Orang-orang yang tergabung di dalamnya kala itu adalah mahasiswamahasiwa Fakultas Pertanian, FISIP, kemudian menjadi lebih beragam. Selama rentang lima tahun itu, BITRA tidak menjadi LSM atau sejenisnya, BITRA hanyalah sebuah paguyuban anak-anak muda bersemangat, memiliki visi besar, dan ingin mengadakan pembelaan terhadap kaum petani. Tahun 1991, awal BITRA mulai menjadi besar dan memiliki dua program baru, yaitu program pengembangan wirausaha mahasiswa marginal, yang dibantu Yayasan Bina Desa dan program pengembangan reklamasi lahan terlantar di Desa Kuala dan Bogak Besar bantuan dari ACB Jepang dari tahun 1991-1993. “Kami melakukan survei sendiri ke daerah-daerah proyek tersebut. Sebelumnya BITRA tidak memiliki bagian-bagian seperti saat ini dan tidak menggunakan administrasi jika melakukan survei. Kerja yang dilakukan adalah pekerjaan di mana seluruh
Personil : Seluruh personil Yayasan BITRA Indonesia melakukan syukuran dengan menghidupkan lilin dan pemotongan tumpeng. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
anggota secara bersamaan melaksanakannya. Bermalam di desa masyarakat dampingan juga menjadi agenda yang pasti kami lakukan. Jika survei di Bogak Besar, biasanya kami bermalam di rumah Ustadz Damis. Saat itu, BITRA sudah mulai terorganisasi karena mendapat proyek jangka panjang,” ungkap Sekretaris Badan Pembina BITRA, Job Purba. Pada 1993, BITRA mendapatkan proyek besar kembali yang berasal dari Jerman, sehingga BITRA memiliki fasilitas. “Pendonor dari Jerman tersebut hingga sekarang masih mendukung BITRA dan telah ada komitmen hingga 2014 mereka akan tetap membantu,” tambah Job. Jangan Hanya Beromantisme Manajemen bisa dikatakan menjadi ukuran sebuah keberhasilan, tetapi gerakan untuk perubahan juga menjadi sebuah ukuran. Pada usia perak ini, BITRA berada pada fase memiliki segalanya. BITRA memiliki banyak fasilitas, kendaraan, kantor yang baik, balai pendidikan, kebun, dan berbagai fasilitas lainnya. Ketersediaan dan kemudahan ini harusnya tidak membuat sebuah lembaga gelap mata lantas berlehaleha dan disibukkan dengan persoalan manajemen. “Kita mungkin terlalu disibukkan dengan persoalan manageman. Entah kenapa rasanya kita kurang “mengigit”. Harusnya kita melakukan upaya-upaya perubahan pemikiran, sehingga kita tidak terkungkung dengan persoalan-persoalan manajemen saja, kita diribetkan dengan urusan seperti itu, “ kata Staf pelaksana BITRA, Swaldi ketika diajak berbicara soal refleksi ulang tahun perak BITRA. Pernyataan yang sama juga datang dari Soekirman salah satu pendiri BITRA. “Entah apa sebabnya, saya melihat, belakangan ini BITRA kurang banyak melakukan sebuah tindakan besar,” katanya. Tantangan utamanya adalah BITRA kurang sigap dalam persoalan regenerasi dan kaderisasi. Seperti juga kata Ketua Badan Pembina, Ir. Sabastian E. Saragih, Msc. Tantangan tentang regenerasi atau kaderisasi juga tidak pernah menjadi masalah yang tuntas dalam sebuah pemikiran atau sebuah aksi di BITRA. “Khusus untuk kaderisasi, tantangan-tantangan realnya adalah bagaimana keterampilan- keterampilan yang ada pada masa lalu yang dimiliki dapat digunakan untuk menghadapi persoalan-persoalan sekarang dan mendatang. Tentunya, kita berada pada satu masa yang memang tantangannya berbeda dan keterampilan yang kita asah juga berbeda dengan situasi sekarang. Jika masa lalu, kita cukup dengan modal nekat, berani keluar malam, berani berhadapan dengan intimidasi, tetapi saat ini sangat berbeda. Hal ini adalah hal yang harus kita gali lebih jauh,” kata Sabastian. 7
Utama Sabastian juga menambahkan bahwa ada banyak hal yang harus dilihat lebih jauh tentang perubahanperubahan, misalnya posisi BITRA dengan pemerintah dan posisi BITRA dengan pengusaha. Harus disadari ada tiga kutub kekuatan di masyarakat, yaitu pengusaha, pemerintah, dan organisasi sosial, seperti BITRA. Dalam hal ini akan ada perubahan situasi terhadap pola hubungan di antara ketiga kutub yang ada dan harus dirumuskan lebih jauh. Menurut Badan Pengawas BITRA, Ir. Darun, M.si, ada beberapa hal yang harus ditindaklanjuti oleh BITRA selain regenerasi dan kaderisasi. Kegiatan pendampingan harus ditinjau kembali. “Apakah pendampingan saat ini telah baik atau harus diganti dengan sistem yang berbeda, apakah kita tidak mencari program baru yang lebih “sexy”untuk menjadi andalan ke depannya. Hal inilah, yang akan kami awasi ke depannya. Semoga apa yang telah diakui dapat diambil dan dilaksanakan menjadi bekal bagi pengurus ke depannya,” ungkapnya. Kejayaan-kejayaan yang telah pernah diraih BITRA dan nama besar yang kini disandang janganlah hanya
menjadi sebuah romantisme. Kekuatan yang berakhir di satu titik dan tinggal menjadi kenangan. Tetapi kejayaan itu harus dimultiplikasi sehingga di usia yang terus bertambah BITRA bisa terus maju. Jangan sampai pula menjadi tertinggal sementara lembaga-lembaga baru yang justru lahir dan terinspirasi dari BITRA jauh berlari di depan. “Saya khawatir dengan kondisi seperti itu,” kata Sofyan Tan. “Lembaga saya besar dari inspirasi BITRA dan saya berharap BITRA terus menjadi besar,” lanjutnya lagi. Majda El Muhtaj, Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Unimed sangat memberi apresiasi besar terhadap berbagai usaha advokasi dan pembelaan hak petani. Tidak hanya menyangkut pembelaan kepemilikian tanah, tetapi juga hak ekonomi hidup layak, hak mendapat pendidikan, dan akses informasi. Tapi ia juga sangat menyayangkan langkah-langkah besar itu terasa kian surut. “BITRA harus terus membenahi diri agar di usia yang terus bertambah, BITRA justru semakin besar,” katanya. (Elfa S/Nirwansyah S/Eka DR)
Foto bersama : Setelah melakukan sarasehan selam 3 hari, seluruh peserta melakukan foto bersama di akhir kegiatan. 8
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Utama
Refleksi 25 Tahun, BITRA Konsisten Bangun Desa Diusianya yang ke-25 tahun bukan waktu yang singkat bagi Yayasan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Keterampilan Pedesaan (LSM BITRA) Indonesia yang berbasis di wilayah Sumatera Utara ini, untuk melakukan perubahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, khususnya mendampingi masyarakat perdesaan yang merupakan wilayah kerja BITRA di enam Kabupaten/kota di Sumatera Utara, yakni Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Binjai, Padang Lawas (Palas) dan Labuhan Batu Utara (Labura), didalam berbagai isu yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat yakni Advokasi, Pertanian Selaras Alam (Polikultur dan Organik), Credit Union (CU), Penelitian, Pengembangan Informasi, Komunikasi dan Teknologi, Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Masyarakat dan Kesehatan Alternatif. Dinamika perjalanan BITRA selama 25 tahun ini banyak hal yang perlu dibenahi, oleh sebab itu melalui
momentum usia perak dengan acara sarasehan ke25 yang di selenggarakan bersama Kelompok Subur dan Mawar di desa Lubuk Bayas, Perbaungan, Serdang Bedagai ini diharapkan menjadi awal melakukan refleksi yang melibatkan lebih dari 300 orang stakeholder dari kerlompok dampingan, NGO mitra kerja & instansi pemerintah, yang nantinya diharapkan akan mendapatkan pelajaran berharga dan perbaikan di masa depan, sehingga mencapai hasil yang maksimal dalam melayani masyarakat sesuai dengan tema yang diangkat dalam kegiatan ini “Refleksi 25 Tahun Bitra�. Dengan adanya kegiatan sarasehan yang berlangsung selama 8 – 10 Maret 2011 ini, diharapkan akan menjadi media untuk mengevaluasi program, penyusunan rencana hingga mampu menghasilkan kesepakatan bersama atas permasalahan maupun perubahan yang terjadi, melakukan refleksi terhadap perjalanan BITRA selama bekerja untuk masyarakat.
Sarasehan : Lebih kurang 300 orang peserta memadati tenda pada kegitan Sarasehan BITRA Indonesia yang ke 25 di Desa Lubuk Bayas, Serdang Bedagai. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
9
Utama Selama 25 tahun kiprah Bitra membangun desa bersama masyarakat, BITRA telah banyak meraih keberhasilan diantaranya, berdirinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR), untuk memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh modal usaha kecil dan pertanian pedesaan, TCSS (Training Center Sayum Sabah) sebagai tempat pelatihan dan musyawarah desa, berdirinya radio komunitas SAR FM dan MITRA FM sebagai alat komunikasi masyarakat. Dalam paparannya, Wakil Bupati Serdang Bedagai (Sergai) Ir H Soekirman, mengharapkan programprogram yang telah dijalankan BITRA dalam kurun waktu 25 tahun ini hendaknya dapat terus dijalankan, dan mengimbau agar nantinya BITRA dapat menentukan ke arah mana lembaga ini akan memprioritaskan fungsinya, apakah sebagai lembaga dalam bidang sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya. Hal ini dilakukan demi mendukung dan mengembangkan kegiatan ekonomi rakyat khususnya masyarakat di Kabupaten Sergai. Lebih lanjut Soekirman mengungkapkan, dengan kehadiran BITRA dapat membangun integrasi yang bersinergi antara pemerintah dengan BITRA, untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan sosial, serta pembangunan yang berwawasan lingkungan secara berkelanjutan. Selain itu juga hendaknya perlu direncanakan mengenai pembinaan dan kaderisasi dalam upaya meregenerasi BITRA di masa depan. Turut hadir dalam acara tersebut Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ir HM Taufik Batubara MSi, Kepala Badan PPAKB Ny Hj Irwani Jamilah SH, Kabag Humas Pemkab Sergai Dra Indah Dwi Kumala, Ketua Badan Pengurus BITRA Sumatera Utara Wahyudhi, Sekcam Perbaungan Suparmin dan Kepala Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan. Dalam kesempatan ini Ketua Badan Pengawas BITRA, Ir Darun MSi menyerahkan tanda jasa kepada Ir H Soekirman, sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih atas dedikasi dan pengabdiannya selama menjabat sebagai Direktur Yayasan BITRA Indonesia, dalam membangun dan mengembangkan BITRA YAD/MBB) Indonesia. (andalas/R (andalas/RY Sumber: http://www.starberita.com & Harian Andalas
Pendiri : Para pendiri Yayasan BITRA Indonesia menyampaikan testimoninya dan menjadi refleksi semua elemen yang ada di BITRA. Testimoni ini di moderatori oleh Ir Zukri Saad. 10
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Utama
Soekirman Terima Tanda Jasa dari Bitra Wakil Bupati Serdang Bedagai (Sergai) Soekirman menerima tanda jasa dari Yayasan Bina Ketrampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, yang diserahkan Ketua Badan Pengawas Bitra Ir Darun MSi, pada pembukaan sarasehan bersama Bitra, di Dusun II, Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Rabu (9/3). Penghargaan itu diberikan sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih atas dedikasi dan pengabdian Soekirman selama menjabat sebagai Direktur Yayasan Bitra periode 1986–1991 dan 1997 – 2002. Turut hadir dalam acara itu, di antaranya Kadis Kehutanan dan Perkebunan HM Taufik Batubara, Kepala Badan PPAKB Ny Hj Irwani Jamilah, Kabag Humas Indah Dwi Kumala, Ketua Badan Pengurus BITRA Sumatera Utara Wahyudhi, Sekcam Perbaungan Suparmin. Soekirman mengungkapkan, dengan kehadiran Bitra dapat membangun integrasi yang bersinergi dengan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan sosial serta pembangunan yang berwawasan lingkungan secara
berkelanjutan. Selain itu juga hendaknya perlu direncanakan mengenai pembinaan dan kaderisasi dalam upaya meregenerasi Bitra di masa depan. Di usia yang ke-25 tahun, katanya, Bitra harus melakukan perubahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, khususnya mendampingi masyarakat perdesaan dalam berbagai isu yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, yakni advokasi, pertanian selaras alam (polikultur dan organik), credit union (CU), penelitian, pengembangan informasi, komunikasi dan teknologi, pemasaran produk pertanian berbasis masyarakat dan kesehatan alternatif. “Dinamika perjalanan Bitra selama 25 tahun banyak hal yang perlu dibenahi. Melalui momentum usia perak ini diharapkan menjadi awal melakukan refleksi yang melibatkan para stakeholder, yang nantinya diharapkan akan mendapatkan pelajaran berharga dan perbaikan di masa depan, sehingga mencapai hasil yang maksimal dalam melayani masyarakat,” ujarnya. (Jhonni Sitompul) Sumber : http://www.medanbisnisdaily.com
Tanda jasa : Pemberian tanda jasa oleh Ir Darun MSi kepada Ir H Sokirman yang telah memimpin BITRA selama dua periode. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
11
Advokasi
Kasus Tanah di Sergai Tak Kunjung Terselesaikan Seperti banyak kasus tanah rakyat, permasalahan sengketa tanah masyarakat di Serdang Bedagai (Sergai) masih terbengkalai, lebih tepatnya tak kunjung selesai. Lawan rakyat kali ini adalah perusahaan perkebunan. Ujung-ujungnya, kasus ini dibiarkan berlarut-larut. Tidak ada kejelasan. Pemerintah seolah tutup mata dan telinga. Dialog yang dilaksanakan oleh Yay a s a n B I T R A I n d o n e s i a mengangkat tema “Mencari Solusi atas Permasalahan Sengketa Ta n a h M a s y a r a k a t S e r d a n g Bedagai dengan Perusahaan Perkebunan” berbicara tentang berbagai kasus tanah rakyat yang belum terselesaikan. Ada beberapa kasus yang mengemuka, kasus Desa Pergulaan dengan PT. London Sumatera misalnya. Kasus ini telah terjadi sejak tahun 1959. Demi memperjuangkan haknya, sejak tahun 1998 masyarakat Desa Pergulaan melakukan berbagai upaya agar tanah masyarakat dikembalikan oleh PT. London Sumatera. Sayangnya apa yang telah dilakukan seperti tak meninggalkan bekas. Padahal banyak upaya yang telah dilakukan mulai dari dialog dengan pihak perusahaan, pengaduan dan dialog kepada pemerintah, Badan P e r t a naha n ( B P N ) , D e w a n Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/ DPRD), hingga aksi reclaiming di lahan masyarakat. Hasilnya? Kasus belum selesai. “Banyak permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. DPRD sendiri telah beberapa kali melayangkan surat permasalahan tentang kasus tanah di Sergei, tetapi tidak satupun dibalas oleh BPN Pusat. Tentu hal ini sangat tidak kondusif dengan penyelesaian yang 12
seharusnya. BPN seolah-olah tutup mata dengan permasalahan ini,” kata Ketua Komisi A DPRD Serdang Bedagai, Ir. Loso. Kegiatan dialog yang mengangkat berbagai kasus tanah di kawasan Sergai ini dihadiri lebih dari 100 orang masyarakat dari berbagai elemen dan mendatangkan berbagai narasumber, seperti Wakil Bupati Sergai, Badan Pertanahan Sergai, Ketua Komisi A DPRD, praktisi hukum dan advokat, dan sekretaris BPMP. Praktek perkebunan umumnya sangat terorganisir dan menimbulkan dampak negatif bagi banyak masyarakat, terutama masyarakat sekitar perkebunan. “Sangat tidak mungkin melawan kejahatan yang terorganisir dengan baik, apalagi saat keterlibatan pemerintah dan penegak hukum sangat mendominasi dan mendukung kaum pengusaha dan pemilik modal. Rakyat pun dipaksa untuk menerima kehadiran perkebunan ini. Padahal bukan itu satu-satunya solusi ekonomi. Justru dengan posisi rakyat yang terus dimarjinalkan, rakyat tidak akan mengalami kesejahteraan,” jelas Sudarmin, Sekretaris BPMP. Tindakan pemerintah menelantarkan kasus-kasus rakyat seperti ini sangat tidak fair. Dengan berlaku seperti itu pemerintah telah mengatasnamakan kepentingan negara untuk kepentingan sebagian golongan.
“Kasus tanah yang terjadi sudah mencapai belasan tahun, tetapi Hak Guna Usaha (HGU) dijadikan sebagai kitab oleh pemerintah untuk menyelesaikan semua p e r k a r a . Te n t u i n i s a n g a t meresahkan masyarakat. BPN sebenarnya masih banyak kesempatan jika saja mau memihak kepada masyarakat,” jujur Idris, salah satu anggota kelompok tani. Menanggapi persoalan ini, BPN mengaku telah melakukan koordinasi dengan pemerintah terkait. “Selama ini, kami sudah melakukan kordinasi dengan pihakpihak yang bersangkutan dan telah melakukan upaya-upaya identifikasi bersama-sama pemerintah. Namun di lapangan memang ada sengketa tanah garapan rakyat. Perlu dahulu ada penyelesaian baru kami bisa keluarkan surat-surat tanah. Kami juga tidak bisa langsung mengidentifikasi karena kami masih bawahan, pimpinanlah yang berhak mengambil keputusan,” tutur D a m a n i k , B a d a n P e r t a nahan Serdang Bedagai. Permasalahan sengketa tanah rakyat ini sebenarnya ditenggarai beberapa akar permasalahan. Pertama ambisi pemerintah untuk mendorong investasi di bidang perkebunan, kedua perkebunan yang terus berekspansi, jumlah penduduk yang terus bertambah, kebutuhan akan pangan, lahan pertanian yang terbatas, dan BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi jumlah tanah yang terbatas. Namun, bagaimanapun kita harus ingat, sesuai dengan UndangUndang Pasal 33 Ayat (3) Undangundang Dasar 1945 hasil amandemen keempat, bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, Pasal 2 UUPA, memberi wewenang kepada negara untuk: a). mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b). menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c). menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, dan pancasila yang tercantum pada Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Merujuk kepada poin-poin di atas sudah sangat jelas tentang fungsi sosial tanah. Tidak seharusnya pemerintah mengambil
tanah-tanah hak (tanah yang padanya dilekati hak individu atau badan hukum/ keagamaan) tanpa menyerahkannya pada rakyat. Peraturan juga menyatakan bahwa desa yang membutuhkan tanah untuk kepentingan pengembangan desa sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk, pengadaan lahan pertanian untuk kepentingan pa n g a n d a p a t m e n g a j u k a n perluasan batas desa. “Jika pintupintu formal telah dilaksanakan oleh para pejuang-pejuang tanah, mungkin ada sistem formal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini,” tandas T.R Arif Faisal, S.H, Praktisi Hukum dan Advokat. Pembuatan tim khusus permasalahan tanah menjadi tawaran solusi terbaik dalam penyelesaian kasus tanah di Sergei. Tim khusus dalam penyelesaian kasus akan didampingi oleh lembaga- lembaga lainnya seperti, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Advokat, dan Pers. Tim sendiri akan langsung diusulkan oleh masyarakat untuk melaksanakan Muspida bersama DPRD, Pemkab, Polisi, Militer, dan Kejaksaan. Hasil Muspida ini nantinya akan menjadi rekomendasi BPN provinsi atau
pusat dalam melaksanakan penelitian HGU yang bermasalah agar eksekusi masalah bisa segera dilakukan. “Masyarakat bisa memberikan dukungan kepada DPRD untuk menyelesaikan masalah tanah ini. Hasil forum yang telah ada juga bisa direkomendasikan kepada pemerintah daerah. DPRD perlu mengadakan pressure pemerintah agar ada tim khusus dalam penyelesaian tanah ini,” tandas Loso. “Selain itu pemahaman kebijakan dan peraturan yang ada juga diharapkan dapat dipahami dengan baik dan benar oleh seluruh masyarakat,” tandasnya. “Saat ini jumlah wilayah tanah di Sergei memiliki total 17,04 juta Ha lahan garapan untuk pertanian, di mana ketersediaan lahan per kapita 820 m2. Sehingga perlunya mengembangkan lahan garapan baru yang belum dimanfaatkan . Luas lahan potensial ± 32.2 juta Ha. Masyarakat juga harus mempelajari dan memahami peraturan yang ada, sehingga komunikasi antar instansi, baik eksekutif, legislatif, dan judikatif terjaga. Pun dengan begitu transparansi masalah bisa terlihat,” tegas H. Soekirman, Wakil Bupati Serdang Bedagai. (Elfa & Eka)
Perjuangan : Masyarakat kerap melakukan perjuangan untuk mendapatkan haknya yang dirampas, tetapi pemerintah dah pihak perkebunan seakan menutup mata. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
13
Advokasi
Konflik Agraria Masih Marak Sepanjang Tahun 2010 Selama ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu gembargembor akan melaksanakan reforma agraria. Namun, fakta menunjukan. Reforma agraria yang dikumandangkan Presiden SBY ternyata masih sebatas wacana belaka. KPA mencatat konflik agraria sepanjang tahun 2010, ternyata masih marak terjadi di negeri ini. Sedikitnya ada 106 konflik agraria terjadi di negeri sepanjang tahun ini. Sebanyak 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan 80 orang petani dipenjarakan karena mempertahankan hak atas kepemilikan tanahnya. Luas lahan yang disengketakan, sedikitnya mencapai 535,197 hektar dan m e l i b a t k a n 517 ,1 5 9 Ke p a l a Keluarga (KK) tani yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena, sengketa atas lahan perkebunan besar 45 kasus. Kemudian diikuti dengan konflik agraria yang disebabkan karena pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, sebanyak 41 kasus. Konflik agraria yang melibatkan pihak perhutani tercatat ada 13 k a s u s , p i h a k pertambangan 3 kasus, pertambakan 1 kasus, perairan 1 kasus, dan konflik lainnya ada 2 kasus. Menurut Sekjen KPA, Idham Arsyad, masih 14
maraknya konflik agraria disepanjang tahun 2010 ini menunjukan bahwa, pemerintah Indonesia masih belum serius di dalam menyelesaikan persoalan agraria. Selain itu, kata Idham Arsyad, selama ini pemerintah masih sering menyelesaikan konflik agraria dengan cara-cara primitif dan kekerasan. Padahal, cara-cara itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Namun, justru menambah persoalan baru. Bahkan dapat mengoyak-ngoyak rasa keadilan kaum tani yang selama ini dijadikan korban. “Konflik agraria yang ada hari ini harus diselesaikan dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria. Bukan diselesaikan dengan cara-cara primitif dan kekerasan,� tegas bapak satu anak ini. Agar penyelesaian konflik agraria dapat menyentuh akar pokok persoalan. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melaksanakan reforma agraria. Melaksanakan pembaruan agraria
berarti melaksanakan kontitusi. Karena, pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945, UUPA No.5 Tahun 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok. Selain itu, agar konflik agraria dapat diselesaikan secara komprehemsif, pemerintah perlu segera membentuk sebuah lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di negeri ini. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu dengan tugas khusus menyelesaikan konflik agraria. Lembagai ini harus dibentuk melalui keputusan presiden. Sedang untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, maka diperlukan penyusunan regulasi mengenai peradilan agraria. TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk segera melakukan review dan kaji ulang terhadap seluruh kebijakan terkait masalah agraria serta sumber daya alam. Review dan kaji ulang ini dibutuhkan. Mengingat realitas kebijakan yang ada hari ini tumpang tindih, tidak sinkron, dan ego sektoral* (Sidik Suhada) Sumber: www.kpa.or.id BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi
Pembangunan Bisa Berbuah Sengketa Jika RUU Pengadaan Tanah Disahkan Pengantar Pemerintah secara resmi menyerahkan naskah RUU P e n g a d a a n Ta n a h U n t u k Pembangunan kepada pimpinan DPR yang ditandatangani pada 15 Desember 2010. Melalui rapat paripurna, DPR telah membentuk pansus pengadaan RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan yang beranggotakan 29 orang. Dalam proses konsultasi dengan DPR, pemerintah diwakili oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Pemerintah sangat menginginkan RUU ini segera diadakan, bahkan sebenarnya masuk dalam agenda 100 hari pemerintahan SBY Jilid II, dan Presiden telah mengeluarkan instruksi khusus untuk segera dipercepat, baru diakhir tahun 2010 naskahnya baru diusulkan oleh pemerintah. Selain itu, sebenarnya DPR juga telah memasukkan regulasi ini dalam prolegnas 2010 dengan nama yang berbeda. Pengadaan tanah untuk pembangunan/kepentingan umum sudah diatur dalam UU No.20/ 1961 tentang pencabutan hak atas tanah, Kepres 55/1993, dan Pepres 36 tahun 2005, jo. 65/ 2006 sehingga perlu dipertanyakan mengapa RUU ini menjadi sangat prioritas bagi pemerintah? Siapa dibalik usulan RUU ini, dan apakah RUU ini dapat mencapai tujuan ideal dari diundangkannya? Dan apa dampak dari pemberlakuan R U U i n i b a g i k e h i d u p a n masyarakat? BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Siapa YYang ang Ber k epentingan Berk Ter hadap R uu Ini? erhadap Ruu Keberadaan RUU ini patut dicurigai sebagai “regulasi pesanan� dari kelompok kepentingan modal besar, dilihat dari rencana penerbitan RUU ini berasal dari pertemuan National Summit 2009 yang digelar pada tanggal 29-30 Oktober 2009 di Menara Bidakara. Selain sebagai gebrakan program 100 hari pemerintahan yang baru terpilih, pertemuan lintas pemerintah dan pengusaha ini adalah bagian dari pelaksanaan komitmen Indonesia yang disepakati melalui forum G-20 dan donor internasional. S e d i k i t n y a 1 . 4 24 o r a n g menghadiri pertemuan ini, terdiri dari para Eselon I dari seluruh departemen terkait, pejabat pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia), KADIN mulai dari pengurus Nasional sampai Provinsi, Foreign Chambers, pimpinan DPR dan DPRD, Asosiasi/ gabungan/himpunan pengusaha, Lembaga Keuangan Bank dan NonBank, Pengamat/Pakar, Perguruan Tinggi dan kalangan media. Kesepakatan dalam National Summit tidak dapat dinafikan begitu saja, dikarenakan berkaitan erat dengan arah pembangunan dan kepentingan masyarakat luas. Sementara draft naskah yang dibahas dalam National Summit 2009 mengacu sepenuhnya pada roadmap ekonomi Indonesia yang dihasilkan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang merupakan think-tank para pengusaha di negara ini. Seluruh agenda pembicaraan dalam temu nasional terutama di
bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat sarat dengan kepentingan para pengusaha. Masalah pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, penyedian energi dan pengadaan pangan dengan memberi peran yang besar bagi penanaman modal. Wajar kemudian output yang dihasilkan tampaknya tidak secara signifikan menyelesaikan problem mendasar yang dihadapi rakyat, seperti krisis pangan, krisis energi, krisis ekologi dan krisis kesejehteraan yang dihadapi mayoritas kaum tani, nelayan, buruh dan kaum miskin yang jumlahnya hampir separuh dari rakyat Indonesia. RUU ini didorong kuat oleh kelompok pengusaha, khususnya para pengusaha infrastruktur. Salah satu alasan yang sering dikemukakan di berbagai forum bahwa dukungan kebijakan pemerintah atas pengadaan tanah tidak memadai dan tidak efektif. Pengadaan tanah masih menjadi penghambat proyek pembangunan karena mekanismenya tidak efektif, di antaranya karena : 1) Rumitnya pelaksanaan UU No.20/ 1961 tentang pencabutan hak atas tanah, 2) Penetapan ganti berdasarkan musyawarah, dan 3) pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu dan biaya pengadaan tanah. Salah satu contoh yang banyak dikemukakan adalah pengadaan tanah untuk jalan tol. Menurut data KADIN bahwa terhadap 21 ruas jalan tol, yang lahannya bebas 100 persen baru 1 ruas, dan terhadap total kebutuhan tanah 7.634 Ha, selama tiga tahun baru bebas 939 Ha atau setara dengan 14 persen. 15
Advokasi Menurut KADIN bahwa tidak ada p i h a k y a n g b i s a dimintakan tanggungjawabnya dalam pembebasan lahan dari unsur biaya dan waktu. Dalam National Summit 2009, KADIN mengusulkan perlunya aturan pengadaan tanah yang lebih efektif. Pokok-pokok pikiran KADIN mengenai aturan ini, diantaranya : BPN menjadi pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pelaksana pengadaan tanah dapat menggunakan jasa pihak ketiga; untuk penghormatan terhadap hak dan kepentingan pemilik tanah, maka pemilik tanah yang keberatan atas apraisal yang dilakukan oleh Pimpro, pemilik tanah berhak melakukan apraisal tandingan sebagai dasar pengajuan keberatan ke pengadilan tinggi; keputusan pengadilan tinggi meliputi (besaran ganti rugi, tanah yang telah diputuskan pengadilan tinggi bisa dimulai kontruksi, dan penghapusan hak/pencabutan hak). Dengan memperhatikan pasalpasal yang diatur dalam RUU pengadaan tanah, maka jelas dan terang sekali sebagian besar isinya sesuai dengan keinginan pengusaha infrastuktur. Kontruksi yang terbangun dari RUU ini lebih mengedepankan aspek kepastian hukum bagi pengusaha yang memerlukan tanah ketimbang jaminan keadilan bagi pihak yang terkena proyek pembangunan. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi penjamin terdepan bagi kemudahan berinventasi di Indonesia, sehingga konflik atau sengketa dari proyek pembangunan ini telah dikanalisasi sehingga pemegang hak atas tanah tidak punya kuasa untuk menolak. (pasal 42-46). Badan Internasioanal semisal ADB juga sangat berkepentingan terhadap lahirnya aturan yang jelas mengenai pengadaan tanah di 16
Indonesia. Bagi mereka, Indonesia mempunyai masalah dalam pengadaan tanah karena : 1) Indonesia tidak memiliki informasi yang cukup mengenai siapa pemilik tanah dan atas hak apa, sehingga publik tidak bisa mengakses informasi tersebut, 2) Sistem informasi mengenai hak atas tanah sangat bergantung pada otoritas pemerintah, dan 3) Indonesia perlu membangun proses yang lebih transparan mengenai pemilikpemilik hak atas tanah, siapa yang menguasainya, beragam tata cara pembayaran dan penyampaian ganti rugi, dan sebagainya. Tanah dan P embangunan Pembangunan RUU ini muncul di saat masalah-masalah agraria (secara khusus pertanahan) sebagai warisan orde baru masih belum terselesaikan. Masalah utamanya adalah karena tanah dan kekayaan alam tidak menjadi alat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal : Pertama, reduksionisme persoalan tanah yang hanya dipandang sebagai masalah ekonomi, tanpa melekatkan dimensi sosial, kultural dan politik di dalamnya. Artinya nilai tanah lebih ditentukan melalui mekanisme pasar, akibatnya makna tanah mengalami depolitisasi dan desosialisasi. Hal ini kemudian membawa konsekuensi bagi pemilik tanah ketika menghadapi proyek pembangunan, karena ikatanikatan non-ekonomis tidak lagi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan harga tanah. Karenanya tidak mengherankan bila pembangunan sering diikuti dengan konflik agraria yang terbuka dan tidak gampang mencari solusi penyelesaiannya. Kedua, tanah sebagai alat spekulasi akumulasi kapital. Tanah menjadi salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi.
Bagi investor, pemilikan atau penguasaan tanah merupakan investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan. Tentu saja, berbagai upaya akan dilakukan oleh para ivestor untuk melakukan penguasaan langsung tanah, baik melalui intervensi aktif terhadap regulasi maupun penguasaan melalui mekanisme perdagangan produksi, barang, dan jasa. Ketiga, konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah semakin tidak terkontrol, dan di sisi lain terjadi marginalisasi bagi petani dan rakyat kecil pada umumnya. Salah satu pemicunya adalah kewajiban bagi pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan investor asing dalam hal pembangunan untuk pengembangan mesin-mesin produksi kapitalisme. Berbagai dimensi persoalan tersebut di ataslah yang menurut para pakar menjadi pemicu konflik atas tanah yang terjadi sepanjang masa. Dalam konteks ini, makna pembangunan kemudian direduksi maknanya dari apa yang telah dirumuskan oleh tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di mana pembangunan bermakna sebagai :1) membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka, membebaskan diri dari mentaliras penjajah. 2) Membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, adil dan demokratis. 3) Membangun secara fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Gunawan Wiradi;2000). Justru yang kita saksikan sebaliknya bahwa pembangunan menjadi instrument pemiskinan rakyat dan pengusuran. Menyisakan Banyak Persoalan Secara subtansi, pengaturan di dalam RUU ini tidak jauh berbeda dengan isi dari Pepres 36/2005 jo. 65/2006 yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat sipil karena Perpres ini dapat menjadi BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi alat penggusuran tanah-tanah rakyat dan sangat diskriminatif dalam melibatkan masyarakat dalam proses musyawarah terkait dengan ganti rugi tanah. Beberapa masalah utama yang mengganjal dalam RUU ini: Pertama, bahwa RUU ini tidak menjelaskan definisi mengenai kepentingan umum, padahal pengertian tersebut sangat penting untuk melihat cakupan operasional dari RUU ini. Selain itu, tidak jelas kriteria apa yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu objek pembangunan untuk kepentingan umum. Sebab, apa yang diatur dalam pasal 13 di RUU ini, hanya menyebut objek-objek konkritnya, bukan kriteria. Mengenai kriteria tentang kepentingan umum, pada dasarnya telah banyak didiskusikan oleh para pakar pembangunan. Setidaknya ada dua hal yang paling mendasar, yakni : 1) bahwa manfaat dari objek kepentingan umum tersebut harus dapat diakses oleh rakyat secara merata dan melintasi batas-batas segmen sosial, bukan untuk kepentingan sekelompok orang. 2) Objek dari kepentingan umum tersebut tidak untuk kepentingan komersial atau bisnis semata. (Wiradi;2009) Selain itu, dalam RUU ini terdapat objek kepentingan umum yang ditetapkan oleh presiden (pasal 13;q). Hal ini selain berpotensi mengulang perilaku buruk pemerintah dalam menafsir Hak Menguasai Negara (HMN) yang selama ini terjadi, kelak setiap proyek yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah memohon kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai kepentingan umum. Bukankah tidak ada satupun dasar kuat sebuah proyek tidak dapat disebut sebagai proyek yang mewakili kepentingan umum. Semua terbuka untuk diinterpretasi. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Kedua, dengan lahirnya undang-undang pengadaan tanah, penggusuran atas tanah-tanah dan sumber daya alam yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentu saja potensi terjadinya kekerasan pelanggaran hak asasi manusia di dalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanahtanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat) yang tercatat pada tahun 2004, baru 26 juta bidang yang bersertifikat atau baru 30 persennya. Pada tahun 2005–2008 terjadi penambahan 13 juta sertifikat, sehingga sampai dengan tahun 2008 jumlah bidang tanah yang tercatat pada tahun 2004 saja masih 60 persen yang belum bersertifikat. Lantas, Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, bagaimana dengan tanah-tanah yang tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak? Perlu ditegaskan di sini bahwa argumentasi di atas bukan bertujuan untuk mendorong program sertifikasi yang telah dilakukan oleh BPN harus dipercepat, karena percepatan sertifikasi tanah di tengah situasi ekonomi pedesaan yang semakin memburuk akan dengan sendirinya mempercepat pula rakyat melepaskan tanahnya secara sukarela kepada pihak lain. Artinya juga akan terjadi pelepasan tanah dalam bentuk lain. Dengan mengemukakan realitas di atas bahwa sesungguhnya RUU pengadaan tanah ini jika dikaitkan dengan buruknya administrasi pertanahan kita, maka sangat berpotensi jutaan rakyat yang akan terusir dan mengalami pelanggaran
hak asasinya tanpa jaminan perlindungan. Ketiga, RUU ini akan mempertajam konflik agraria di Indonesia, termasuk konflik-konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat karena selama ini lemahnya perlindungan negara atas wilayahwilayah masyarakat adat. Hasil pendataan KPA, sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar ( 45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus) dan lain-lain (2 kasus). Konflik agraria dimungkinkan melalui penerapan pasal 6 dan pasal 9 dari RUU ini. Pasal 6 yang menyatakan bahwa: “Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum”. Kemudian pada Pasal 9 RUU juga menyatakan bahwa: “Pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang undang ini”. Pasal 6 dan pasal 9 ini sungguh sangat jauh ketinggalan dari isi Deklarasi PBB tentang Hakhak masyarakat adat yang disetujui oleh pemerintah Indonesia pada bulan September 2007. Isi deklarasi PBB tentang Hak hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Right of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang mengatur tentang tanah dan model pembangunan masyarakat adat ini diatur dalam pasal 10, yang menyatakan: “Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara 17
Advokasi paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi”. Pasal 23 UNDRIP menyatakan bahwa : “ Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan. Terutama, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan program-program ekonomi dan kemasyarakatan yang mempengaruhi mereka, dan sejauh mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga mereka sendiri”. Keempat, cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Karena keluhan pengusaha atas pengadaan tanah sesungguhnya bukanlah situasi rill yang menjadi penghambat pembangunan. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan o l e h p e n g u s a h a . Ta p i , p a r a pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah. Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha juga ditunjukkan dengan adanya pasal khusus mengenai pengadaan tanah untuk usaha swasta. Padahal kita semua paham dan secara rutin BPS mengumumkan mengenai situasi gurem yang mendominasi para petani kita. Keadaan ini tidak menjadi pertimbangan pemerintah di dalam 18
mengatur mengenai pengadaan tanah di Indonesia. Kelima, sejumlah pasal dalam RUU ini sangat otoriter dan memungkinkan negara abai terhadap penegakan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara yang tanahnya terkena proyek pembangunan. Di antaranya pasal yang otoriter adalah tata cara ganti rugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.Ganti rugi ini juga menunjukkan tidak adanya perubahan paradigma dalam proses restitusi tanah yang berlaku selama ini. Skema lain berupa pemukiman kembali, penyertaan modal hanyalah mekanisme yang bisa dipilih oleh pihak yang memerlukan tanah bukan kewajiban. Keenam, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek te r s e b u t s e p e r t i j a l a n t o l , bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyekproyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Kepentingan umum menjadi selubung yang menutupi proyekproyek tersebut (baca kepentingan modal) dalam beroperasinya. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan. Hal yang paling jelas terlihat dalam RUU ini adalah gagal mendefinisikan kepentingan umum. Ketujuh, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing. Telah
ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infrastruktur yang bercorak pasar di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi di bidang energi, jalan, komunikasi, bandar udara, air, dan pelabuhan. Lewat skema utang untuk “Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur,” pi h a k k r e d i t o r m e n d o r o n g pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi. Kedelapan, selama ini pemerintah memiliki catatan buruk dalam pengaturan dan pengadaan tanah karena selalu memakan korban. Berdasarkan kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta, terjadi kenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada tahun 2007 di kawasan perkotaan. Kesembilan, fu n g s i s o s i a l a t a s t a n a h sebagaimana tercantum dalam UUPA bukan sekedar menjadi dasar legalitas pengambilan tanah privat oleh negara untuk kepentingan publik, tetapi secara lebih mendasar harus dimaknai sebagai jaminan penggunaan dan pengadaan tanah bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat dan menghindari penghisapan rakyat golongan lemah. Oleh sebab itu pembangunan yang disebut untuk ‘kepentingan umum’, harus diukur sifat publiknya berdasarkan keluasan akses manfaat. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi Kemitraan modal asing dan privatisasi pembangunan infrastruktur sama diragukan kemampuannya dalam memenuhi fungsi sosial atas tanah. Kesepuluh, RUU ini bakal hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional (land use national map planing). Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini telah mengakibatkan meledaknya konflik seperti penggusuran dan penyerobotan tanah. Di tengah hingar bingar pengadaan tanah bagi kepentingan umum, saat ini tanah-tanah pertanian secara sistematis tengah diperuntukkan bagi korporasi pertanian dan pangan. Ini adalah konsekuensi dari usaha pemerintah dalam merombak tata pertanian nasional dari pola yang berbasiskan rumah tangga menjadi berbasis agro bisnis. Rumah tangga pertanian yang sebagian besar gurem secara sistematis sedang dikonsolidasikan ke dalam sistem agrobisnis. Tata cara ini dimulai dengan pengaturan ke dalam tata ruang (zonasi) yang diskriminatif sekaligus represif bagi rakyat kecil namun akomodatif bagi pemodal besar. Pembaruan Agraria sebagai Dasar Pembangunan Pembaruan Agraria adalah amanat konstitusi kita. Pasal 33 UUD 1945 menjadi dasar dari politik agraria nasional, di mana tanah dan kekayaan alam menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
inilah yang menjadi acuan dari UUPA No. 5 tahun 1960. Dan UUPA menjadi kebijakan untuk mendistribusikan aset-aset produktif kepada rakyat Indonesia, melalui pembaruan agraria. Saat ini kita sedang mewarisi berbagai macam persoalan struktural yang berpangkal karena diabaikannya masalah agraria. Setidaknya ada lima persoalan pokok karena selama ini hak-hak rakyat atas umber-sumber agraria diabaikan, yakni : (1) struktur perekonomian bangsa yang rapuh dan bangunan industrialisasi yang tidak memiliki dasar yang kokoh; (2) terjadinya akumulasi dan monopoli penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah menciptakan ketimpangan yang sangat serius dalam struktur penguasaan tanah dan sumbersumber agraria, yang pada gilirannya telah menciptakan kondisi ketidakadilan sosial dan menciptakan kemiskinan massal; (3) terjadinya konflik-konflik dan sengketa agraria yang berkepanjangan, meluas dan tidak terselesaikan dengan tuntas, apalagi terselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan; (4) terbentuknya suatu sistem hukum agraria dan pengaturan soal penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang tumpang tindih, tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, dan telah menjadi salah satu sumber penyebab dari merebaknya konflikkonflik dan sengketa agraria; dan (5) telah terbangunnya suatu struktur birokrasi dan kekuasaan negara yang menjalankan politik agraria yang tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi pengusaha besar dengan alasan untuk mendorong pe r t u m b u h a n e k o n o m i , d a n
difungsikannya sistem politik agraria sebagai alat untuk memperkaya elit-elit kekuasaan itu sendiri. Berdasarkan masalahmasalah di atas, sesungguhnya pembaruan agraria dalam konteks Indonesia sekarang adalah menata kembali sistem agraria kita agar dapat menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi rakyat yang tangguh dan menyelesaikan sejumlah persoalan di atas. Di dalamnya terkandung sejumlah agenda pokok yang mesti dijalankan yang dapat kita kelompokan dalam empat agenda besar, yaitu: pertama, merombak struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sudah sangat timpang saat ini; Kedua, menyelesaikan seluruh konflik dan sengketa agraria yang telah, sedang dan masih terjadi sejak masa Orde Baru hingga sekarang tanpa terkecuali dan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan serta mengedepankan kepentingan rakyat; Ketiga, melakukan perombakan, perubahan, dan sejumlah perbaikan terhadap sistem hukum agraria dan peraturan-peraturan yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam agar tidak lagi berfungsi menjadi alat legitimasi bagi aktivitas-aktivitas yang justru menegasi dan menggusur kepentingan rakyat atas sumbersumber daya tersebut; dan yang terakhir atau; Keempat adalah diubahnya orientasi politik dan perilaku birokrat dan penguasa yang berhubungan dengan soal penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan/atau sumber-sumber daya alam. (*) Sumber: kpa.or.id 19
Advokasi Per yataan Sik ap R efleksi Akhir TTahun ahun K ondisi HAM Di Sumat era Utara Peryataan Sikap Refleksi Kondisi Sumatera
Peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember 2010 Pada Tanggal 10 Desember 2010, genap 62 Tahun Masyarakat Dunia Internasional memperingati hari kelahiran Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia yang dikumandangkan di Jenewa pada tanggal 10 Desember 1948. M e l a l u i de k l a r a s i i n i d a l a m de k l a r a s i t e r s e b u t . kasus pelanggaran HAM masa lalu yang seharusnya menjadi tanggung m a s y a r a k a t in t e r n a s i o n a l Penghormatan dan penegakkan bersepakat untuk menghormati HAM oleh negara Indonesia jawab negara untuk diselesaikan, masih saja terbengkalai. Tidak HAM berdasarkan prinsip; nonseharusnya semakin membaik diskriminasi, kesetaraan dan setiap harinya, karena memang adanya komitmen penegakkan pluralisme. Deklarasi ini itulah tujuan dari suatu negara HAM oleh rezim pemerintahan SBY –Boediono saat ini dapat dilihat mewajibkan semua orang untuk melindungi rakyatnya. memajukan penghormatan dan Namun fakta yang ada dari adanya pembiaran (ommision) terhadap penyelesaian kasus menjamin pelaksanaan HAM yang menunjukkan kondisi yang berbeda bersifat universal. Momentum dari cita-cita luhur Deklarasi pelanggaran HAM dan bahkan semakin meningkatnya l a h i r n y a de k l a r a s i t e r s e b u t tersebut. Sejak permintahan orde kemudian disepakati secara baru digulingkan oleh kekuatan pelanggaran HAM di masa kepemimpinannya. bersama oleh masyarakat dunia rakyat yang mencita-citakan Pada tahun ini saja, banyak Internasional sebagai Hari Hak reformasi menyeluruh sistem Azasi Manusia Sedunia. pemerintahan saat itu, dan rakyat terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh Indonesia yang menjadi bagian ingin terbebas dari segala bentuk d a r i m a s y a r a k a t du n i a penindasan yang selama ini terjadi. masyarakat sipil di Sumatera Utara belum menampakkan perubahan internasional tentunya juga terikat Namun kenyataan saat ini kasus-
Gagal total : Ratusan masyarakat melakukan aksi protes terhadap pemerintah yang di nilai gagal total dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM hingga saat ini. 20
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi yang berarti, dari data pelanggaran HAM yang dikeluarkan oleh KontraS Sumut dan Bakumsu pada indeks catatan akhir tahun 2010 terungkap: di Tahun 2007 terjadi 137 Kasus, Tahun 2008 terjadi 176 Kasus, Tahun 2009 terjadi 277 Kasus dan Tahun 2010 terjadi 249 kasus. Kasus–kasus ini umumnya didominasi dan dilakukan oleh aparatur negara (terutama pihak kepolisian) terhadap masyarakat Sumut khususnya, baik yang berprofesi sebagai buruh, petani, Nelayan, dan Masyarakat Pencari Keadilan, hingga kekerasan yang menyerang keselamatan jiwa aktivis yang memperjuangkan kebenaran a t a u p a r a p e g i a t HAM yang mendorong penegakkan HAM di Sumatera Utara. Saat ini saja kita dapat melihat a d a n y a k a s u s– ka s u s d a n peraktek–peraktek pelanggaran H A M d i S u m a t e r a U t a r a , di antaranya seperti: - Kasus salah tangkap dan penyiksaan oleh polisi terhadap Zainal Abidin, Undang Sirait Cs. - Kasus kriminalisasi terhadap Buruh oleh PT. Siantar Top, PT. Sahabat Kayu Indah, CV. Belawan Indah, - Kasus pembubaran kebebasan berserikat terhadap Buruh oleh P T. I n d u s t r i P e m b u n g k u s Internasional, PT. Cahaya Bintang Selatan, PT. Karimas, PT. Djuwishin, PT. Kawasan Wisata Pantai Cermin, - Kasus penculikan, perampasan lahan dan Kriminalisasi warga petani Dusun Bina Sari Tapsel oleh pihak security PT. ANJ Agri, - Kasus teror dan kriminalisasi terhadap warga Kecamatan Kolang di Tapteng oleh proyek pembangunan PLTU Labuhan Angin, Perampasan lahan warga transmigran oleh PT. Nauli Sawit di Tapteng, - Kasus pembunuhan di luar proses hukum oleh Densus 88 dengan dalih Terorisme Di Deli BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Serdang, Langkat, dan Tanjung Balai, - Kasus kriminalisasi masyarakat adat di Langkat dan di Deli Serdang oleh PTPN 2, - Kasus penembakan, teror dan pengusiran paksa terhadap warga Desa Sei Meranti Kecamatan Torgamba Labusel oleh PT. Sinar Belantara Indah dan PT Sumatera Riang Lestari, - Kasus teror, perampasan lahan dan kriminalisasi masyarakat adat Barumun di Padang Lawas oleh PT. Sumatera Riang Lestari dan PT. Sumatera Silva Lestari. - Kasus kriminalisasi 7 tokoh masyarakat pencari keadilan atas tanah mereka di desa Pergulaan, Sei Rampah, Serdang Bedagai oleh PT PP Lonsum Tbk, dengan menggunakan UU Perkebunan No 18 tahun 2008. - Kasus isolasi dan pengusuran paksa masyarakat desa Pasar 6 Kuala Namu, Beringin, Deli Serdang untuk pembangunan bandara internasional Kuala Namu. Belum lagi kasus kejahatan korporasi terhadap warga, masyarakat Sumatera Utara dapat diselesaikan secara berkeadilan dan manusiawi, malah timbul lagi serangan – serangan terhadap jiwa dan keselamatan para aktifis atau para pegiat HAM di antaranya; - Kasus penculikan, penikaman dan Pembakaran Rumah kediaman aktifis FPTR Sdr Edianto Simatupang di Tapteng dalam membantu warga Manduamas, Kolang dan Sosorgadong di Tapteng. - Kasus teror oleh sekelompok preman dan penembakan peluru tajam dirumah kediaman aktifis Buruh SBSI 1992 Sdr Pahala Napitupulu yang dilakukan oleh mereka yang terganggu atas aktifitas beliau dalam memperjuangkan Buruh
dan Pemukiman Warga Sari Rejo. - Kasus Pembunuhan terhadap aktifis petani Juma Tombak dan Adi Syahriato dalam mempertahankan lahannya yang dilakukan oleh pihak preman bayaran dan keamanan PTPN 2. Dan masih banyak lagi kasus– kasus kekerasan, kriminalisasi yang dialami oleh para wartawan baik media cetak dan elektronik dalam mencari dan memberikan informasi kebenaran yang tidak dapat kami sebutkan dalam pernyataan sikap ini satu persatu. Kami menilai seharusnya Negara, khususnya pemerintahan di Sumatera Utara bertanggung jawab serta dapat memberikan ja m i n a n d a n pe r l i n d u n g a n terhadap warganya; jaminan dan perlindungan terhadap upah layak b a g i bu r u h , ja m i n a n d a n perlindungan lahan kelola bagi petani, jaminan dan perlindungan hukum dan HAM bagi masyarakat pencari keadilan, jaminan dan perlindungan terhadap TKI dan keluarganya, serta negara harus menghentikan segala bentuk p r a k t e k te r o r , in t i m i d a s i , kriminalisasi terhadap buruh, petani yang memperjuangkan haknya, perampasan lahan masyarakat adat yang mengelola la h a n n y a s e b a g a i s u m b e r penghidupan baginya. Mengingat banyaknya kasus– kasus pelanggaran HAM yang terjadi, dan tersebar di wilayah Sumatera Utara, serta belum adanya penanganan dan penanggulangan secara Imparsial, dan tidak pro rakyat, sangat diskriminatif dan berpihak kepada pemodal. Maka untuk itu kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992, Serikat Buruh Medan Independent 21
Advokasi (SBMI) Sumut, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Buruh Sumatera Utara (SBSU), BITRA Indonesia, (Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP), Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), Serikat Rakyat dan Tani Deli serdang (SERATD), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, KontraS Sumut, TEPLOK, dan IKOHI Sumut. Dengan ini menyatakan sikap; Kepada DPR RI – DPRD TK I dan II (Legislatif) Pemerintah Pusat, Polri dan Jaksa maupun Pemerintah Daerah Sumatera Utara (Eksekutif) serta Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) Mendesak Negara untuk segera; 1. Negara bertanggung jawab dalam perlidungan, pemenuhan dan penegakkan Hukum dan Hak Azasi Manusia warganya 2. Segera bentuk perwakilan KOMNAS HAM untuk Sumatera Utara 3. Revisi segera UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 4. Hentikan Revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena memberikan peluang pelanggaran HAM Buruh
5. H a p u s k a n s i s t e m B u r u h Kontrak (Out Sourcing) karena merupakan praktek eksploitasi dan perdagangan terhadap manusia, 6. Bentuk dan fungsikan peradilan HAM Ad Hoc dan permanent 7. Sahkan RUU Perlindungan Pembela atau Pegiat HAM (Human Right Defender) 8. Negara berkewajiban mengusut tuntas dan membawa kasus pelanggaran masa lalu maupun saat ini hingga kepengadilan HAM serta pulihkan Hak–hak Korban 9. N e g a r a berkewajiban memberikan perlidungan, jaminan dan upah layak bagi Buruh, TKI, dan Tanah untuk Petani 10.Menghentikan Kriminalisasi, pembungkaman organisasi terhadap Buruh, Petani dan para Aktifis Pembela/Pegiat HAM 11.Usut tuntas kasus–kasus otak pelaku kekerasan yang dialami oleh aktifis/pegiat HAM (Kasus Pembunuhan Munir, Teror dan Penembakan Dikediaman Sdra Pahala Napitupulu Aktifis SBSI 1992, Serta Penculikan, Teror
Dan Penikaman Terhadap Sdra Edianto Simatupang Aktifis FPTR Di Tapteng) 12.M e n g h e n t i k a n p r a k t e k penyiksaan, penculikan dan pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh Aparat Negara 13.Berikan jaminan lapangan pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan gratis untuk rakyat. 14.Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat pencari keadilan tanah mereka di desa Pergulaan dan relokasi dengan layak masyarakat Pasar 6 Kuala Namu Para aktivis HAM Sumut secara bersama membacakan tuntutan (statement) di hadapan 3 orang anggota DPRD Sumut (Samsul Hilal, Irwansyah Damanik dan Edward Simamora). Medan, 10 Desember 2010 Kami Yang Menyatakan Sikap : Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU), SBSI 1992, SBMI Sumut, SPN, SBSU, BITRA Indonesia, BPMP SPSB, BPMP,, SERA TD, LBH MED AN, K ontraS SERATD, MEDAN, KontraS Sumut, TEPL OK, dan IK OHI TEPLOK, IKOHI Sumut. (*)
Pernyaataan sikap : Dalam aksi peringatan hari HAM sedunia ini para aktivis HAM membacakan pernyatakan sikap besama di depan anggota DPRD SU. 22
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi
SPSB, Serik at T ani Harapan Selur uh Serikat Tani Seluruh Elemen P ertanian di Serbang Bedagai Pertanian Masalah pertanian di negeri ini memang semakin menumpuk saja. Sebut saja ancaman kemajuan teknologi pertanian (revolusi hijau), perubahan iklim global, penyebaran ternak yang tidak merata, pupuk non organik yang menjadi ancaman ekosistem, kekurangan lahan pertanian, hingga harga yang tidak memihak kepada petani. Petani yang seharusnya menjadi tulang punggung ketersediaan pangan (baca: pemberi makan dunia) justru tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Petani kekurangan, tersudutkan, dan tidak terjamin kesejahteraan hidupnya. Karena itu, Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB) terus berupaya mencari solusi atas permasalahan petani yang ada di Serdang Bedagai. Menjawab persoalan itu, SPSB mengadakan Seminar & Kongres II SPSB di Wisma Amerta, Perbaungan, Serdang Bedagai. SPSB diharapkan menjalin kerja sama untuk menyelesaikan berbagai masalah petani di Sergei. “Banyaknya masalah yang terjadi di sektor pertanian tidak terlepas dari perkembangan kemajuan teknologi dan peran pemerintah. Pemerintah lebih memihak pada investor, sehingga konflik tanah banyak terjadi. Seharusnya tuntutan reformasi agraria segera diwujudkan oleh p e m e r i n t a h . Te t a p i , h i n g g a sekarang tuntutan-tuntutan yang diajukan belum terlaksana. Untuk itu, SPSB harus bersama-sama menyelesaikan masalah yang ada, ini tanggung jawab kita bersama,” kata Asriadi, Ketua SPSB periode 2008-2010. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Sebagai wadah perjuangan kaum tani di daerah kabupaten, keberadaan SPSB tentu akan memudahkan petani menyampaikan aspirasi dan persoalan yang mereka alami di lapangan. “Dalam konsep sosial, SPSB memang sengaja dilahirkan dan didorong agar SPSB dapat menjadi tempat penampung aspirasi bagi kaum tani. Dengan adanya SPSB akan lebih memudahkan penyelesaian masalah yang ada,” tutur Wahyudi, Direktur BITRA Indonesia. Menyoal permasalahan petani, dengan kemajuan teknologi yang ada, informasi menjadi media yang sangat penting. Petani membutuhkan media yang berisi tentang bahan dan data serta teknologi informasi yang mendukung. “Para petani masih membutuhkan informasi dan teknologi berdasarkan kepada kebutuhan yang dirasakan, sehingga para petani mampu membuat perkiraan atau ramalan jenis komoditi yang bisa diusahakan petani,” tandas Leli, Kepala BP4K, Serdang Bedagai. Dalam penyelesaian masalah pertanian, kerjasama yang baik dari berbagai pihak, baik dari tokoh masyarakat serta instansi terkait dengan kelembagaan pertanian menjadi hal terpenting. “Pemerintah mengharapkan adanya kerjasama yang baik seluruh elemen masyarakat dan instansi-instansi yang terkait, demi memajukan pertanian di Indonesia, khususnya kabupaten Serdang Bedagai,” tambahnya. Upaya-upaya penyelesaian masalah pertanian terus di
upayakan melalui pemerintah kabupaten, seperti memberi bantuan bibit, bantuan ternak, pengembangan sapi ternak betina, dan memberikan bantuan sarana produksi pertanian (saprotan). “Tahun 2010, 16 kecamatan mendapat bantuan bibit padi dan ke d e l a i . Ta k h a nya i t u , meningkatkan populasi ternak dengan cara suntik kawin juga telah dilakukan di dua tempat. Sebaiknya tim SPSB mengajukan proposal kepada pemerintah agar bantuan-bantuan lebih baik lagi,” tutur Mega Hadi, Perwakilan Dinas Pertanian. Penyelesaian masalah yang ada pada bidang pertanian tidak hanya dapat dilihat dari satu sektor saja, karena masalah pertanian memiliki banyak sektor yang harus mendapat dukungan dari berbagai pihak dan petani itu sendiri. Merubah mentalitas dan cara berpikir, menjadi salah satu aspek yang harus diubah oleh petani. Selain itu, petani di harapkan dapat merubah pola pikir, dan membersihkan petani dari politik tani. “Sekarang telah terjadi pergeseran lahan oleh pemerintah kepada para petani, sehingga lambat laun pengalihan fungsi tanah telah terjadi. Untuk itu, para petani harus dapat menjadi subjek, bukan menjadi objek terhadap masalah yang ada. Petani juga harus lebih agresif dan proaktif dalam melakukan tindakan. Jika petani dapat bersikap agresif, maka petani tidak akan terjerumus kepada politik pemerintahan,” ungkap Usman Sitorus, Anggota (Elfa/Eka) DPRD Serdang Bedagai.(Elfa/Eka) 23
Advokasi
Penegakan Hukum, Subjek Dalam Pembangunan HAM Penegakan hukum dari berbagai bidang, seperti penegakan hukum dalam korupsi, keamanan, penegakan perlindungan saksi dan korban, kahakiman dan komisi lainnya menjadi tonggak utama dalam pembangunan Hak Azasi Manusia (HAM). Pendekatan pembangunan berbasiss HAM digunakan untuk menentukan kebijakan yang memuat segala aspek yang mendukung terhadap pemenuhan terhadap nilai- nilai penghormatan dan pemajuan HAM, baik hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. “Penegakan hukum menjadi tumpuan reformasi untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat, termasuk dunia usaha. Untuk itu penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif serta konsisten. Selain itu, prioritas juga harus lebih ditekankan pada masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga terwujudnya akuntabilitas dan keseimbangan dalam proses pembangunan, antara masyarakat sebagai pemegang hak dengan ne g a r a s e b a g a i p e m a n g k u tanggungjawab yang berkewajiban untuk memenuhi hak- hak warga negaranya,” tutur Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara, Ir. Riadil Akhir Lubis. Sebagai bentuk penghormatan dan penegakan atas hukum, merupakan bagian dari upaya memberikan rasa keadilan, kesetaraan dan perlindungan HAM, pemerintah mengatur evaluasi penghormatan, pengakuan dan penegakan atas hukum dan HAM dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). “Langkah-langkah Rencana Aksi Nasional (RAN) meliputi, RAN HAM, 24
RAN pemberantasan korupsi, RAN penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, RAN penghapusan bentuk- bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dan RAN program nasional bagi anak Indonesia. Tak hanya itu, kinerja aparat pemerintahan dan penegak hukum juga diatur guna menngatasi korupsi di dalam sistem pemerintahan,” tambah Riadil. Hal senada juga ditegaskan oleh Penasehat Komisi Pemberantas K o r u p s i ( K P K ) , A b d u l l a h Hehamahua saat kegiatan seminar memperingati hari HAM sedunia tahun 2010. “Langkah strategis dalam memberantas pelanggaran HAM adalah memperbaiki sistem pemerintahan, khususnya penegakan hukum kepada koruptor. Korupsi yang terjadi di Indonesia menjadi kendala terbesar dalam menurunkan tingkat pelanggaran HAM. Bentuk korupsi yang terjadi juga memiliki banyak jenis, antara lain suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dan gratifikasi dengan berbagai motif pula. Faktor kebutuhan, kesempatan, exposes, dan faktor ketidakpuasan menjadi beberapa faktor kuat mengapa orang- orang melakukan korupsi,” ungkap Abdullah. Selain itu, korupsi telah menjadi tindak kejahatan yang biasa di Indonesia, di mana para pelakunya tidak memiliki rasa takut akan sanksi yang diberikan
oleh negara. “Seperti banyaknya ikan di lautan, seperti itulah koruptor yang ada di Indonesia. Para koruptor seperti telah menutup mata dalam melakukan korupsi, mereka tidak takut akan sanksi yang diberikan karena korupsi itu bersifat trans nasional, pembuktiannya yang sukar dan sebagai bisnis yang menjanjikan. Ini dapat dilihat dari angka yang telah disurvei, di mana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil ( P N S ) s a j a m e n c a p a i 6 0 % , ” tambahnya. Dalam bidang keamanan, profesionalitas kinerja polisi yang b a i k d a l a m pe m e l i h a r a a n keamanan dan ketertiban, kesalahan sistem pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), anggaran fasilitas yang masih minim, Undang-undang (UU) menjadi landasan pelanggaran HAM masih merajalela. “Pelanggaran HAM tidak bisa diampuni lagi, pelaku pelanggaran HAM harus langsung dipidanakan dan dilakukan pemecatan. Untuk itu, polisi harus memelihara dan menigkatkan profesionalitas kinerja. Karena keamanan sangat mempengaruhi. Memelihara keamanan yang baik juga bukan menjadi masalah yang mudah. Anggaran yang kurang menjadi faktor kendala dalam pemeliharaan keamanan yang harus ditingkatkan juga oleh pihak pemerintah. UU keamanan yang jelas, di mana polisi juga terlibat di dalamnya akan memperkuat keamanan di Indonesia. Selama 29 tahun KUHP BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi dibelakukan, tetapi selama ini masih ada kesalahan sistem yang terjadi. Untuk itu polisi sendiri harus lebih sigap dalam melihat permasalahan-permasalahan yang ada,” tutur Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Sumut, Oegroseno. Desa merupakan pondasi ketahanan yang dimiliki negara. Polda Sumut telah merancang diadakannya polisi desa yang akan ditempatkan di desa-desa di Sumut, untuk peningkatan keamanan yang lebih merata k e depannya. “Saya telah berencana untuk memberlakukan polisi desa yang berdialog dengan masyarakat, dengan tugas mengontrol desa-desa di mana ia ditugaskan. Tidak hanya keamanan saja yang harus dikontrol oleh polisi desa, tetapi masarakat yang membutuhkan pertolongan juga menjadi tanggungjawab polisi desa karena polisi merupakan pengayom masyarakat,” tambahnya. Akan dilakukan pembenahan dan penindaklanjutan oleh Kapolda Sumut dari masalah-masalah yang telah ada, seperti masalah pelanggaran HAM atas kasus tanah yang sangat banyak terjadi di Sumut. “Banyak yang harus dibenahi, tetapi akan dilaksanakan secara bertahap. Pelanggaran HAM atas masalah tanah di Sumut sedang dibicarakan dan akan saya tindaklanjuti. Siapapun yang terlibat didalamnya, polisi tidak takut. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang banyak mendampingi kasus ini, juga harus mengambil langkah kondusif sehingga tetap professional dan proporsional,” ungkapnya lagi. Hak mendapatkan hukum yang adil, menjadi salah satu hak yang harus diterima setiap orang. Praktisi keadilan dituntut dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya demi penegakan keadilan yang sebenar- benarnya. Hakim dan jaksa, menjadi penegak hukum lainnya yang harus melihat BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
kebenaran yang sebenarnya tanpa terpengaruh oleh apapun. “Peran pihak penegak hukum yang tidak kalah pentingnya dalam penurunan angka pelanggaran HAM adalah hakim dan jaksa. Komisi kehakiman dan kejaksaan harus segera diperbaiki, sehingga tidak hanya berkutat pada substansi. Tentu akan tercipta keadilan yang objektif dan transparan, sesuai dengan keinginan bersama. Tetapi
yang terjadi selama ini, pengadilan selalu tidak menggubris rekomendasi-rekomendasi masalah yang dimasukkan oleh komisi yudisial,” tandas Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki. Komisi Nasional (Komnas) HAM s e n d i r i t e l a h membangun komunikasi kepada aparat dan membuat metodemetode baru dalam memaksimalkan peningkatan nilai
Dipidanakan : KAPOLDASU mengatakan Polisi yang melakukan pelanggaran HAM akan dipidanakan dan dipecat sebagai bukti bahwa polisi telah mengedapankan persoalan HAM . 25
Advokasi HAM di masyarakat. “Penyidikan, pengkajian dan pendidikan penyuluhan merupakan konsep dan implementasi dari hak atas pembangunan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Membuat pertemuan kepada Menkopolkam dan meminta Menkopolkam u n t u k s e g e r a menindaklanjuti masalah-masalah penahanan,” tutur Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Penegakan HAM di masa depan juga diperkuat oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah terbentuk sejak 2008 yang diatur dalam UU No 13 tahun 2006. Di mana LPSK berfungsi sebagai lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dimana terhadap pengungkapan kasus pidana. Bobot ancaman atau tingkat kerusakan yang diderita oleh saksi dan korban dalam memberikan keterangan ditentukan melalui proses penetapan oleh LPSK, t e r m a su k b a n t u a n m e d i s , r e h a b i l i t a s i p s i k o s o si a l , kompensasi dan restitusi. “Dalam kerangka pembangunan yang berbasis HAM, keberadaan lembaga seperti LPSK menjadi kebutuhan bagi negara untuk memastikan adanya jaminan
hak-hak asasi sebagai warga negara yang diakomodasikan melalui sistem hukum domestiknya atau secara nasional yang secara spesifik memberikan perlindungan bagi saksi dan korban,” tutur Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai. “Sebagai lembaga baru, LPSK menyadari bahwa saat ini harus bekerja keras untuk mengemban tanggungjawab secara paralel, yakni pembangunan kelembagaan serta, menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Contohnya saja kelemahan-kelemahan pada UU LPSK dan kami telah berencana untuk merevisi UU tersebut untuk lebih baik lagi. LPSK sendiri, telah menetapkan strategi dan kebijakan yang mengarah pada tercapainya tugas dan fungsi lembaga, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah dalam menegakkan hukum,” lanjutnya. Sebagai lembaga baru, bukan menjadi alasan bagi LPSK untuk berpaling dari tugas. “Sejauh LPSK berdiri, upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga ini belum dapat dikatakan baik, masih banyak masyarakat yang takut bersaksi dan korban dari tindak pidana masih saja menjadi subjek dari
Pengadilan HAM : Reformasi hukum dan HAM yaitu dengan membentuk pengadilan HAM untuk aktifis yang hilang saat ini belum terealisasi. 26
kejahatan itu sendiri,” ungkap salah satu peserta seminar, Hasyim Purba. Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Negeri Medan (UNIMED), Majda El Muhtaj mengatakan bahwa kepemimpinan SBY-Boediono masih belum memberikan langkahlangkah yang signifikan dan dapat mempertanggungjawabkan tiga kata kunci dalam kampanye sebelumnya, sebagai HAM masyarakat Indonesia. “Kesejahteraan, demokrasi dan keadilan merupakan tiga kata kunci yang dikatakan pasangan SBY- Boediono dalam memajukan Indonesia. Lalu, rekomendasi yang ditawarkan SBY pada acara National Summit pada tanggal 29 Oktober 2009 untuk mereformasi hukum dan HAM yaitu membentuk pengadilan HAM untuk aktifis yang hilang, masih belum terealisasi hingga saat ini. Bukan formula yang diterima oleh masyarakat, tetapi penghalangan terhadap aktifis HAM yang semakin marak,” ungkapnya. Peran masyarakat sangat dibutuhkkan dalam mengimplementasikan sistem yang ada, karena penegakan hukum adalah subjek dari pembangunan HAM sendiri dan masyarakat menjadi pagar dalam keadilan. “Ketika regulasi muncul menjadi UU, diharapkan implementasinya berjalan dengan baik. Tetapi di Sumut belum terjadi implementasi yang baik. Masyarakat yang kurang aktif menjadi salah satu faktor. Masyarakat juga harus mengerti hak- hak mereka telah dilindungi dan ada media yang menaungi. Bahwa telah ada prinsip akuntabilitas, tidak ada diskriminatif dan partisipasi publik, sehingga masyarakat dapat lebih aktif tanpa merasa takut,” jelas Muhtaj. (Elfa)
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Advokasi
Penyerangan Ahmadiyah Pelanggaran HAM Berat Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara mendesak pemerintah segera mencabut Surat Keputusan Bersama tentang Peringatan terhadap Jemaat Ahmadiyah. SKB ini dinilai sumber kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah, antara lain seperti pada penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, Minggu (6/2), yang menewaskan sedikitnya 3 orang. Ketua Dewan Federasi Kontras Usman Hamid mengatakan, peraturan tersebut merupakan sumber kekerasan, sehingga menyebabkan terjadinya aksi penyerangan terhadap kelompok agama tertentu karena keyakinannya. “Kami mendesak pemerintah mencabut SKB 3 menteri yang selama ini justru dipakai untuk membatasi kebebasan beragama dan melegitimasi kekerasan di masyarakat,” kata Usman di kantor YLBHI Jakarta, Senin (7/2). SKB yang dimaksud adalah kesepakatan bersama Menteri
Dalam Negeri, Jaksa Agung, dan Menteri Agama Nomor 3/2008 KEP-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199/2008. Menurut Usman, kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah sudah masuk pelanggaran HAM berat dan dapat disamakan dengan tindakan genosida. Apalagi pemerintah tidak dapat bersikap tegas untuk melindungi warga negara terkait keyakinannya. “Menteri Agama (Suryadharma Ali) harus dicopot sekarang juga, karena selama ini dia justru menyulut sumbu kekerasan dan permusuhan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Dia tidak bertanggung jawab dalam persoalan keyakinan dan hanya menjadi bagian dari masalah,” kata Usman. Sekretaris Pers Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Pontoh, meminta Kepolisian untuk segera mengusut pelaku penyerangan dan mengamankan anggota Ahmadiyah di Indonesia. Sebab, aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah sudah
mengarah pada penyiksaan dan pembunuhan. “Aparat keamanan harus mengusut pelaku penyerangan peristiwa tersebut. Karena kami akui, kami tidak bisa mengidentifikasi siapa kelompok yang menjadi aktor penyerangan kemarin,” kata Zafrullah. Konferensi pers ini juga menayangkan video penyerangan massa terhadap Jemaat Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, kemarin. Tampak sekelompok orang masih memukuli dua anggota Ahmadiyah yang telah tewas. Minggu (6/2) sekitar pukul 10 pagi massa sekitar 1.500 orang menyerang Jemaat Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Te r j a d i p e r l a w a n a n w a r g a Ahmadiyah. Tiga warga Ahmadiyah tewas, yaitu Roni Ahmad, Adi Mulyadi, dan Tarno. Korban luka berat Ferdiaz, Deden Sujana, Baby, Masihudin, dan Apip. (VHRMedia/ E4/Nina Suartika /Arwani).
Pluralisme Bukan Masalah Pluralisme di indonesia seharusnya menjadi nilai tambah bagi bangsa dan seharusnya dinilai sebagai budaya bukan masalah yang dapat mengakibatkan perpecahan antar sesama.
Pemahaman pluralisme adalah masalah yang harus segera d i selesaika n d a r i benak masyarakat di I n d o n e s i a , khususnya Sumut. Untuk itu masyarakat dituntut dapat memahami dengan baik ar ti dari pluralisme yang sebenarnya. “Pluralisme tidak da p a t d i h i n d a r i , k a r e n a BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa indonesia, pluralisme tercipta. Pluralisme merupakan suatu anugrah yang harus diterima dan disyukuri o l e h masyarakat karena pluralisme merupakan salah satu c i r i masyarakat modern. Sehingga, pelaku utama dalam bangsa ini, yaitu masyarakat h a r u s b i s a
m e n j a g a e t i k a pluralisme agar dapat hidup dengan baik. Perlu diwaspadai juga, bahwa masyarakat juga harus sensitif terhadap masalah yang ada. Bukan tidak mungkin, ada segelintir orang yang mengatasnamakan pluralisme untuk kepentingan pribadi,” ungkap Ketua Kantor Wilayah 27
Advokasi (Kanwil) Depar temen Agama (Depag) Sumut, Badil. Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis selaku Rektor IAIN mengatakan bahwa pluralisme dianggap masalah yang sensitif, karena pluralisme sering dianggap hanya sebagai masalah perorangan. “Pluralisme adalah masalah yang sensitif karena pluralisme memiliki sikap mendua. Untuk itu pluralisme tidak bisa disikapi, tetapi ditindaki. Mengadakan dialogdialog dari berbagai lapisan masyarakat, merupakan salah satu tindakan yang dapat merubah pluralisme di tengah masyarakat menjadi indah. Masyarakat cendrung sulit membedakan ruang publik dan ruang pribadi bagi dirinya sendiri, s e h i n g g a s e r i n g mengatasnamakan pluralisme sebagai masalah pribadi atau masalah kelompok saja. Banyak ruang publik yang terjadi oleh nominasi. Contohnya adalah Kota Medan yang dahulunya memiliki penduduk dari suku melayu, kini menjadi wilayah suku batak karena sejarah yang berjalan,” ungkapnya. Permasalahan pluralisme di Indonesia tidak akan terjadi jika masyarakat memegang teguh aglimen yang ada dan memahami dengan baik makna dari pluralisme. “Aglimen tidak di pegang oleh masyarakat Indonesia, sehingga pluralisme menjadi kendala. Sikap pluralisme memang telah menjadi bagian dari kehidupan dan akan berkembang di masa mendatang. Masyarakat diharapkan untuk dapat mengerti dan saling tahu tentang apa itu pluralisme,” tambahnya. I n d o n e s i a t e l a h meningkatkan dan menguatkan 28
pluralisme secara konstitusi, yang diatur dalam UndangUndang Dasar (UUD), tetapi tidak pada prakteknya. Sebagai contoh UUD yang mengatur kebebasan beragama pada ayat 30 pasal 1. “Faktanya masih banyak agama, selain agama yang lima dan konghucu mengalami tindak ketidakadilan. Ini membuktikan bahwa pada praktek di lapangan, UUD tidak diberlakukan,” ungkap kelompok tiga, peserta seminar Pluralisme yang di adakan di Hotel Inna Dharma Deli, beberapa waktu yang lalu. Di Sumut sendiri, pluralisme dinilai cukup baik, meski masih ada beberapa catatan yang harus diperbaiki lagi. “Penerapan sistem, komunikasi yang kurang, ketidaksiapannya masyarakat dalam menerima perbedaan dan provokator menjadi kendalakendala yang harus lebih dicermati mayarakat,” tandas peserta kelompok satu. Budaya pluralisme hendaknya menekankan mekanisme keagamaan dan kesalahpahaman antar pemeluk agama. Pengertian merubah struktur ketidakadilan yang ada menjadi peran penting dalam meningkatkan kehidupan masyarakat yang pluralis. “Setiap agama tidak mengajarkan keburukan. Jika diambil dari sudut agama Kristen, seperti dalam kitab injil yang menerangkan bahwa hiduplah sedamai-damainya dengan semua orang, dan pada kitabkitab yang lain. Sangat jelas bahwa hanya ada segelintir kepentingan perorangan yang mengambil alih pluralisme, sehingga pluralisme dianggap sebagai masalah,” tutur Ketua PGI Sumut, Lidya.
Pluralisme bukan maslaah tetapi pembantaian terhadap monoreliaiousity yang menjadi masalah karena pluralisme merupakan cerminan dari Bhineka Tunggal Ika. “Pluralisme merupakan cerminan bangsa, karena pluralisme sama halnya dengan Bhineka Tunggal Ika. Siapa yang menganggap pluralisme masalah, maka dia menganggap Bhineka Tunggal ika adalah masalah juga. Jika hal itu terjadi, perlu dipertanyakan lagi kebhineka tunggal ikaan yang dimiliki negara ini. Pluralisme juga merupakan salah satu tolak ukur peradaban bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berasaskan pancasila,” ungkap salah satu pemateri, Bas. Dari dialog yang diadakan oleh Komunitas Pluralisme Sumut (KPSU), KS PPM, Bitra Indonesia, Bakumsu, Pengmas GKPI, Aliansi Sumut Bersatu, Persada, dan Jarak Perempuan Sumut menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu perbedaan adalah ketentuan Tuhan tetapi hal yang harus diwaspadai adalah memanipulasi perbedaan menjadi konflik sehingga tidak adanya perpecahan, pluralisme merupakan kerangka interaksi dan ciri masyarakat modern, konflik tentang SARA masih banyak di beberapa tempat seperti kesenjangan social dan elit penguasa masih menggunakan perbedaan sebagai alat. Peran negara dan lembaga belum optimal dalam menjaga keutuhan dan amanat Undang-Undang Dasar (UUD), memperlihatkan toleransi cukup mudah tetapi tidak menumbuhkan toleransi, dan kebebasan pers yang belum optimal dalam menenangkan masalah. (Elfa & Nirwan) BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Pertanian
Petani Bebas Utang dari Tasikmalaya Kiprah anggota Gabungan K e l o m p o k Ta n i ( G a p o k t a n ) Simpatik, Kabupaten Tasikmalaya, seakan mengajak kita melihat wajah ideal petani Indonesia. Kabar petani Indonesia memiliki lahan subur, panen melimpah, dan hidup sejahtera, kini bukan sekadar isapan jempol. Asep Sulaeman (43), petani Cibodas Pintu, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, adalah salah satunya. Dari sawah s e l u a s 0 , 2 5 h e k t a r, i a b i s a membangun rumah senilai Rp 70 juta, membeli 2 unit motor yang harganya Rp 14 juta per unit, dan tabungan lebih dari Rp 20 juta. “Semuanya saya dapatkan dari hasil bertani. Siapa bilang petani Indonesia tidak bisa hidup sejahtera,” katanya. Kuncinya adalah penanaman padi organik menggunakan metode System of Rice Intensification (SRI). Padi organik metode SRI adalah upaya peningkatan produktivitas padi dengan tetap menjaga kesuburan lingkungan. Cara ini d i k l a i m l e b i h m u r a h d a n mendapatkan hasil akhir jauh lebih b a n y a k d a r i l a h a n s a w a h konvensional. “Perbedaan yang paling mudah dilihat antara organik dan konvensional adalah penggunaan pupuk. Petani organik pantang menggunakan pupuk kimia,” kata Asep. Tengok juga kiprah Hendra Kribo (50), petani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Sejak bertani padi secara organik tahun 2003, sehektar lahan memberikan empat motor, tabungan lebih dari Rp 30 juta, televisi layar datar 30 inci, serta satu unit rumah beserta isinya bernilai puluhan juta rupiah. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
“Yang paling penting, kami adalah petani bebas segala macam jenis utang,” katanya. Metode SRI dikembangkan pertama kali oleh Frater Henri de Laulanie SJ di Madagaskar tahun 1983 dan Norman Uphoff dari Cornell International Institution for Food, Agriculture, and Development. Pengembangan awal di Madagaskar ternyata sangat memuaskan. Diterapkan di lahan tidak subur, metode SRI bisa mendapatkan hasil panen 10-20 ton per hektar. Di Indonesia, pengembangan SRI mulai dilakukan tahun 1987. Indonesia adalah negara pertama di luar Madagaskar yang menjadi tempat pengembangan padi SRI. Hendra mengatakan, ada tiga prinsip utama dalam metode SRI. Pertama, penanganan bibit padi metode SRI menggunakan bibit muda atau kurang dari 10 hari setelah penyemaian. Bibit muda
memberikan potensi anakan lebih tinggi. Selain itu, penting melakukan tanam dangkal satu bibit per titik tanaman. Penanaman dangkal bertujuan memacu proses pertumbuhan dan asimilasi nutrisi akar muda. Bila ditanam terlalu dalam, padi akan kekurangan oksigen dan mengalami keracunan. Penanaman satu bibit per tanaman guna memberikan ruang tumbuh kembang padi. Kedua, penyiapan lahan. Dalam metode SRI tak merendam lahan dengan air. Genangan air justru membunuh mikroorganisme penyubur tanaman. Air hanya diperlukan guna membuat lahan tetap lembab dan basah karena padi bukan tanaman air, tapi membutuhkan banyak air. Ketiga, menggunakan kompos, mikroorganisme lokal dan pengusir hama alami organik. Kompos dan mikroorganisme lokal memiliki peran besar menyuburkan tanah.
Padi organik : Penanaman padi organik metode SRI dilakukan untuk meningkatan produktivitas dan tetap menjaga lingkungan. 29
Pertanian Pemahaman ini sangat penting karena bisa menjaga kesuburan tanah sebelum mengharapkan padi tumbuh dengan baik. Bila lahan subur, maka padi tumbuh dengan baik. Pengusir hama dibuat dari bahan sayur atau buah. Jika ketiga prinsip ini dilakukan akan terlihat jelas murahnya penanaman padi organik. Lahan organik hanya membutuhkan 5-7 kilogram benih per hektar per masa tanam atau sekitar 3 bulan. Pemilihan waktu menanam benih usia kurang dari 10 hari membuat padi mudah berkembang biak. Dengan harga bibit Rp 5.000 per kg, petani hanya belanjakan Rp 25.000- Rp 35.000 per hektar. Jenis padi yang ditanam seperti sentanur, aeksibundong, dan ciherang. Kebutuhan ini jauh lebih kecil ketimbang cara konvensional yang membutuhkan bibit 30-40 kg
per hektar dalam sekali masa tanam. Biaya pupuk dan pengusir hama juga diklaim lebih murah. Bila cara konvensional menghabiskan Rp 5 juta per hektar per masa tanam, maka padi organik hanya menghabiskan Rp 2 juta per hektar setiap masa tanam. “Biaya Rp 2 juta itu adalah uang yang harus dikeluarkan bila petaninya malas buat kompos. Mereka harus membeli 5 ton kompos yang harganya Rp 400 per kg. Kalau buat sendiri harganya jauh lebih murah, kurang dari Rp 200.000,� katanya. Selain hemat biaya, cara yang diterapkan juga sangat ramah lingkungan. Koordinator Penyuluh dan Mantri Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Cisayong, Enang Ruspandi (46), mengaku,
Memangkas biaya : Kompos yang dibuat petani dari kotoran ternak dapat memangkas biaya hingga Rp 3 juta setiap masa tanam. 30
d a l a m m e m i c u berkembangbiaknya mikro organisme lokal, petani tak menggunakan cairan kimia. Mereka hanya mencampur kotoran ternak dengan cairan manis seperti air nira, air gula, air kelapa. Petani juga menggunakan air dari biji dan daun sirsak untuk mengusir hama wereng, lalu air tembakau untuk mengusir hama penggerek batang, dan buah klewek dan bratawali untuk hama merah. Hasil panen jauh berbeda. Di l a h a n s u b u r, p e t a n i p a d i konvensional maksimal memanen 7 ton per hektar dengan harga Rp 6.000-Rp 7.000 per kg. Bagi petani padi organik bisa memanen 10-12 ton per hektar seharga beras Rp 10.000 per kg. “Petani organik juga menggunakan data ilmiah sebagai patokan tanam. Baik itu untuk proses penanaman, penyiangan, hingga panen. Dengan ini petani tidak perlu berjudi memperkirakan hasil panen,� katanya. Kiprah petani organik ini membuat Kabupaten Tasikmalaya terkenal sebagai penghasil padi organik. Ketua Gapoktan Simpatik Uu Saeful Bahri (51) mengatakan, sejak tahun 2009, ada banyak pesanan dari Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Jerman, dan Uni Emirat Arab. Namun, gapoktan baru bisa mengirimkan 18 ton dari total permintaan 90 ton. Saat ini, dari 49.500 hektar lahan sawah di Tasikmalaya, baru 320 hektar lahan sawah organik yang mendapat sertifikat organik internasional dan perdagangan berkeadilan dari The Institute for Marketologi (IMO) yang berbasis di Swiss. Bahkan, 60 hektar lainnya mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia. (Cornelius Helmy) Sumber: Kompas Kompas.com
Cetak
&
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Pertanian
Bank Padi, Bank Petani Kecil Bagi petani kecil, panen raya padi tak selalu merupakan kisah bahagia. Bahkan, kerap berkisah sedih. Harga gabah jatuh adalah yang paling sering terjadi. Banyak yang merugi karena terpaksa mengijonkan hasil panennya Berangkat dari kenyataan itulah Bank Padi Desa Patikraja di Kecamatan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah, beroperasi. Dengan kredit tanpa bunga dan mesin pengeringan murah, mereka berupaya membantu petani kecil. Suara gemuruh mesin diesel penggilingan memenuhi ruangan berukuran 10 x 20 meter di bank itu. Sebuah bak berbentuk kubus setinggi 7 meter tegak berdiri di ujung utara ruangan. Itulah bak pengeringan gabah yang sanggup menampung 10 ton gabah. Bak raksasa itu terhubung dengan dua bak berbentuk trapesium tempat penyimpanan gabah kering yang bisa menampung 30 ton gabah. Dua meter sebelah selatan bak trapesium terdapat satu mesin penggilingan dengan tenaga penggerak diesel menderu, bekerja menggiling gabah yang tersalur otomatis dari bak penyimpanan. Tiga orang sibuk bekerja mengambil beras hasil gilingan dari corong mesin. Dua di antaranya bergantian memindahkan beras gilingan dari corong ke tumpukan beras. Satu orang lainnya sibuk memasukkan beras di tumpukan itu ke dalam karung berukuran 1 kuintal. Beras yang sudah terkemas karung itu pun siap dijual ke pasar. Itulah sekelumit kesibukan di Bank Padi Patikraja, Kamis (20/1). Sekilas, kegiatan di dalam ruangan bank ini tak beda dengan tempat penggilingan beras. Namun, jika kita melongok mekanisme kerja mereka lebih jauh, kita akan tahu lewat rangkaian kegiatan produksi mengeringkan, menyimpan, dan menggiling beras, bank ini telah ikut membantu petani-petani kecil di sekitarnya. Menurut Siswo (58), Kepala Pengelola Bank Padi KUD Patikraja, meskipun dilengkapi alat pengeringan BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
hingga kapasitas 30 ton dan mesin penggilingan ukuran besar, Bank Padi tak pernah mendapat keuntungan besar. “Penggilingan ini lebih bersifat sosial. Uang dari hasil penggilingan kami putar untuk memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani dan membeli gabah petani dengan harga yang pantas,” katanya. Modal Bank Padi Patikraja didirikan tahun 2005. Berawal dari bantuan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebesar Rp 1,1 miliar, seperangkat alat pengering dan penyimpanan gabah serta mesin penggilingan menjadi modal beroperasi. Semula, bank ini diharapkan dapat dimanfaatkan petani-petani sekitar untuk menyimpan dan mengeringkan gabahnya secara murah. Gabah terlalu basah selalu menjadi problem petani, yang membuat mereka tak mendapatkan harga jual memadai. Rendemennya pun rendah. Meski demikian, kenyataannya, pada awalnya, banyak petani yang tak memanfaatkan fasilitas itu. “Petani di sini rata-rata sawahnya kurang dari satu hektar, bahkan kurang dari setengah hektar. Hasil panen mereka di bawah satu ton. Padahal, biaya pengeringan dan penyimpanan Rp 800.000 per ton. Akibatnya, tak ada yang memanfaatkan bank ini,” kata Siswo. Petani banyak yang memilih mengijonkan padinya. Mereka tak mempunyai pilihan lain karena terdesak kebutuhan ekonomi. Padahal, dengan mengijon, mereka mendapat harga gabah yang sangat murah dari tengkulak, yaitu Rp 1.800 sampai Rp 2.200 per kilogram. Itu jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp 2.460 untuk gabah basah.
“Kami lalu memutar strategi, bagaimana agar bank ini tetap bisa membantu petani dengan mendayagunakan alat-alat yang sudah terbeli,” tutur Siswo. Akhirnya, dua cara dijalankan. Pertama, menjalin kerja sama dengan sejumlah pedagang untuk membeli harga gabah petani dengan harga sesuai HPP. Kedua, memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani sebelum panen, untuk mencegah mereka terjebak ijon. Untuk langkah pertama, saat ini Bank Padi Patikraja sudah memiliki lima pedagang gabah tetap yang setia menyetorkan gabah petani di sekitar Patikraja ke bank. Para pedagang itu jadi semacam mitra kerja. Mereka membeli gabah petani sesuai harga yang disepakati dengan bank, yaitu HPP. Dari pedagang itu, bank membeli gabah dengan harga sedikit di atas harga gabah. Dengan cara yang demikian, petani kecil yang selama ini kesulitan mendapatkan harga gabah secara pantas, akhirnya terbantu. Gabah mereka juga terserap dengan mudah. Gabah yang terlalu basah dapat diolah lebih baik di mesin pengeringan. “Petani, pedagang, dan kami pun untung karena dapat beras. Meskipun untung, sebenarnya tak banyak. Setelah dikurangi rendemen, ongkos pengeringan dan penggilingan, dari satu ton untung kami hanya Rp 100.000,” tutur Siswo. Soal pemberian pinjaman tanpa bunga, menurut Siswo, hal itu diberlakukan menjelang panen. “Dengan cara itu, mereka tak tergoda mengijon karena kebutuhannya tercukupi menjelang panen. Utang nanti dibayar saat panen,” ujarnya bangga. (M Burhanudin) Sumber: http://koran.kompas.com
31
Kesehatan Alternatif
Antikanker Kunyit-Sambiloto Senyawa aktif kurkumin pada kunyit dan andrografolida pada sambiloto ketika berdiri sendiri sudah terbukti memiliki khasiat masing-masing. Ketika keduanya dipadukan, ternyata mampu membentuk satu formula antikanker yang sinergis. Paduan senyawa aktif kunyit dan sambiloto itu hasil riset Sukardiman (47), profesor termuda di bidang botanifarmasifarmakognosi dari Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Risetnya dimulai sejak tahun 1999. Saat ini racikan yang diberi nama kapsul androma itu sudah menjadi Obat Herbal Terstandar (O H T) . S u k a r d i m a n meningkatkannya lagi supaya menjadi fitofarmaka, yang nantinya bisa diresepkan dokter. “Inspirasi perpaduan kunyit dan sambiloto ini dari masyarakat yang sudah sejak lama mengenal teknik kombinasi ekstrak herbal untuk jamu-jamuan,” kata Sukardiman, Selasa (25/1), ketika ditemui di ruang kerjanya. Ia menyebut, ada perpaduan atau kombinasi jamu dari ekstraksi beras dan kencur menjadi “jamu beras kencur”. Kemudian dari kunyit dan asem membentuk “jamu kunyit asem”. “Formulasi antikanker dengan senyawa aktif kunyit dan sambiloto ini selaras dengan formula jamu tradisional,” kata Sukardiman. Perpaduan dua ekstrak herbal atau lebih itu memiliki fungsi. Antara lain supaya komponenkomponennya saling mendukung atau saling mengurangi efek samping. Sukardiman juga mengacu Traditional Chinese Medicine (TCM) yang dikenal paling maju di dunia 32
duanya.
dalam mengembangkan obat herbal. Formula obat herbal TCM juga tersusun dari kombinasi bahan aktif utama (monarch drug), bahan aktif pendukung (ministry drug), dan bahan aktif yang mengurangi efek samping (adjuvant drug). Adjuvant drug mengurangi efek samping yang mungkin ditimbulkan monarch drug atau ministry drug atau ditimbulkan oleh kedua-
Jamu, OHT of armak a OHT,, Fit Fitof ofarmak armaka Sukardiman menjelaskan, pengembangan obat herbal mencakup tiga kategori, yaitu jamu, OHT, dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat tradisional didasarkan pengalaman empirik masyarakat dalam kurun waktu lama. OHT beranjak dari sekadar racikan herbal, yaitu dengan menetapkan standardisasi komponen-komponen herbal terutama melalui uji praklinik (uji dengan hewan coba seperti kelinci, tikus, dan mencit). Kemudian fitofarmaka adalah OHT yang telah diuji klinik pada manusia. Sukardiman sekarang menempuh uji klinik untuk formula campuran senyawa aktif pada kunyit dan sambiloto ini bekerja sama dengan Poli Obat Tradisional Indonesia Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Selama ini, rimpang kunyit diketahui menjadi zat antiradang, antiseptik, dan pencegah kanker.
Sambiloto : Perpaduan senyawa aktif kunyit dan sambiloto selaras dengan formula jamu tradisional. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Kesehatan Alternatif Kunyit diketahui pula berkhasiat untuk menghilangkan sakit mag, keputihan, atau peluruh darah haid agar cepat selesai, serta meredakan rasa nyeri saat haid. Kemudian daun sambiloto dengan rasa pahit dikenal masyarakat untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes melitus), tifus, penyakit kulit gatalgatal, antimalaria, dan mencegah kanker. Sambiloto juga bermanfaat menjaga daya tahan atau stamina tubuh. Dipatenkan Meskipun riset kapsul androma dari hasil perpaduan senyawa aktif kunyit dan sambiloto ini dikerjakan
Sukardiman sejak tahun 1999, hingga sekarang masih saja belum dipatenkan. “Saya masih mencoba mengisi formulir pendaftaran paten. Tetapi tidak semudah seperti yang saya bayangkan,” kata Sukardiman. Ia berharap, melalui kerja sama dengan unit tertentu di Universitas Airlangga akan terbantu untuk mengurus paten. Sembari ia menanti hasil uji klinik yang ditargetkan mencapai 36 pasien penderita kanker payudara stadium dua. “Saat ini tercapai 11 pasien untuk uji klinik,” kata Sukardiman. Pada uji praklinik sebelumnya, kapsul androma terbukti aman dan
memberi manfaat membunuh sel kanker yang ditanamkan pada hewan coba. Untuk analisis hasil uji klinik sementara pada 11 pasien dijadwalkan pada Februari 2011. Kontribusi Sukardiman telah menunjang inovasi di bidang teknologi obat herbal. Pilihan untuk antikanker didasari banyak hal. Di antaranya, menurut Sukardiman, pengobatan kanker dengan kemoterapi masih memengaruhi jaringan yang normal bisa ikut rusak. Bahkan, beberapa jenis kanker telah resisten terhadap kemoterapi. (Alo ysius B K urnia w an dan (Aloysius Kurnia urniaw N a w a TTunggal) unggal) Sumber: www.kompas.com
Antimalaria dari Kulit Batang Cempedak Berdasarkan informasi etnobotanik dari wilayah Papua, Achmad Fuad Hafid beserta tim Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya, mengembangkan obat antimalaria dari ekstrak kulit batang cempedak. Riset yang dimulai sekitar 10 tahun lalu itu menghasilkan tablet fitofarmaka yang sinergis dengan kombinasi obat antimalaria lainnya. Antimalaria dari kulit batang cempedak (Artocarpus champeden Spreng) merupakan kearifan lokal penduduk Papua. Namun, Achmad tidak merujuk kearifan lokal antimalaria kulit batang cempedak itu pada suku tertentu di Papua. Sebab, pengetahuan manfaat kulit batang cempedak sebagai antimalaria tersebar di Papua. Achmad mengembangkan riset farmakologi dengan mengekstrak BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
kulit batang cempedak dan mencampurkan dengan etanol 80 persen. Ekstrak lalu diujikan pada hewan coba mencit yang diinfeksi
parasit malaria Plasmodium berghei. Hasilnya, ekstrak itu mampu menghambat perkembangan parasit malaria sebesar 80 persen. Riset dilanjutkan dengan menentukan senyawa marker (penanda) pada kulit batang cempedak. Senyawa penanda
sangat penting untuk menetapkan standardisasi bahan baku kulit batang cempedak. Dari kulit batang cempedak, tim memperoleh senyawa aktif Morachalkon A. “Cempedak ada di mana-mana di Indonesia. Waktu petik dan lokasinya juga menentukan kandungan senyawa aktif pada kulit batangnya,” kata Achmad di ruang kerjanya, Rabu (26/1). Ia sekarang menjabat Kepala Bidang Administrasi Universitas Airlangga (Unair). Bersama tim peneliti dari Fakultas Farmasi Unair, yaitu Aty Widyawaruyanti dan Wiwied Ekasari, Achmad meriset kulit batang cempedak dari Papua, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat. Riset dilakukan hingga tim memperoleh titik optimal manfaat penyembuhan malaria dengan 33
Kesehatan Alternatif tablet fitofarmaka ekstrak etanol kulit batang cempedak, yaitu tatkala antimalaria herbal bisa dikombinasikan dengan obat antimalaria lain, seperti artemisinin atau artesunat. “Penggunaan obat secara kombinasi disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) sejak beberapa tahun lalu,” kata Achmad. Kombinasi obat antimalaria disarankan WHO dengan pertimbangan, saat ini makin mudah dan cepat terjadi resistensi alias kekebalan parasit malaria terhadap obat-obat penangkalnya. Pola resistensi ditentukan WHO, apabila suatu daerah mengalami lebih dari 25 persen resisten terhadap obat tertentu. Obat itu lalu disarankan untuk tidak digunakan dalam periode tertentu. “Pencarian ragam senyawa aktif sebagai antimalaria sekarang makin dibutuhkan. Ekstrak kulit batang cempedak menjadi salah satu pilihan meskipun saat ini belum bisa diproduksi secara massal,” kata Achmad. Ia menargetkan, obat antimalaria ini bisa diproduksi secara massal pada 2014. Selama waktu tersisa, ia akan mengurus hak paten (hak atas kekayaan intelektual) obat herbal
antimalaria ini. Obat Program Achmad mengatakan, obat herbal antimalaria berbeda dengan jenis obat-obat herbal lainnya. Sebagian besar obat herbal mudah diedarkan setelah dinyatakan selesai uji praklinik dengan hewan coba sebagai obat herbal terstandar (OHT). Apalagi setelah obat herbal melewati uji klinik pada pasien manusia menjadi fitofarmaka, obat herbal itu lebih mudah diserap masyarakat. “Obat antimalaria harus menjadi obat program sehingga tidak bisa begitu saja diproduksi lalu diedarkan kepada masyarakat,” kata Achmad. Menurut dia, produksi obat herbal ini akan berdasarkan rekomendasi WHO dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Ketentuan obat antimalaria sebagai obat program mengacu pada pola resistensi parasit malaria terhadap obatobatan antimalaria yang sekarang beredar. Resistensi parasit malaria awalnya diketahui pada 1961 terhadap jenis obat klorokuin di Thailand. Pada tahun berikutnya diketahui di Amerika Serikat, dan
semenjak itu menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, resistensi terhadap klorokuin diketahui tahun 1974 pada kasus malaria di Kaltim. Resistensi terhadap berbagai jenis obat antimalaria terus berkembang. Kecepatan resistensi terhadap obat antimalaria bergantung pada faktor operasional, seperti penetapan dosis, kepatuhan pasien, faktor farmakologik, dan faktor transmisi malaria. Klorokuin merupakan antimalaria yang paling luas penggunaannya. Harganya tergolong paling murah dengan efek samping yang minimal. Namun, manfaat klorokuin kini berkurang drastis akibat resistensi. Pemanasan Global Achmad mengatakan, fenomena pemanasan global berkontribusi terhadap peningkatan intensitas penyakit malaria. Pemanasan global menyebabkan kelembaban udara naik sehingga meningkatkan perkembangbiakan berbagai jenis serangga, termasuk nyamuk. Salah satunya adalah nyamuk Anopheles betina sebagai vektor (pembawa) parasit malaria yang menyebabkan penderitanya demam menggigil secara periodik. “Obat antimalaria kulit batang cempedak menunjukkan kekayaan manfaat dari keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia,” kata Achmad. Di seluruh dunia, diperkirakan sampai saat ini malaria mampu menjangkiti 300 juta penduduk setiap tahun. Dari jumlah ini, 2 juta4 juta penduduk tiap tahun meninggal dunia akibat malaria. (Nina Susilo dan Nawa Tunggal) Sumber : www. Kompas.com
Cempedak : Selain buahnya enak untuk dijadikan panganan, kulit cempedak juga dapat dijadikan antimalaria. 34
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Credit Union
Credit Union “Perlawanan” dari Desa Anggota Koperasi Kredit atau Credit Union (CU) Seia Sekata di Desa Batu 13 Kecamatan Dolok Masihul, Serdang Bedagai, Sumatera Utara menari tortor sebagai wujud syukur peresmian kantor baru mereka. Bangunan paling mewah di Dolok Masihul mengalahkan bangunan kantor bank yang ada di kecamatan tersebut bernilai Rp 2,8 miliar dan merupakan bagian dari aset CU Seia Sekata. CU Seia Sekata merupakan salah satu dari 50 CU anggota Pusat Koperasi Kredit BK3D Sumut yang memiliki aset di atas Rp 10 miliar. Per November 2010 total aset seluruh koperasi kredit atau credit union yang tergabung dalam Pusat Koperasi Kredit BK3D Sumatera Utara mencapai Rp 1 triliun. Ada lebih dari 250.000 orang tergabung menjadi anggota koperasi kredit di Sumut. Di antara mereka malah ada yang menyimpan uang lebih dari Rp 1 miliar di koperasi kredit. Menjadi pertanyaan besar, mengapa koperasi kredit alias credit union (CU) yang notabene anggotanya mayoritas petani, kelompok masyarakat miskin di desa, memiliki aset hingga Rp 1 triliun. Selama 40 tahun, CU di Sumut menjadi gerakan perlawanan senyap dari masyarakat pedesaan terhadap sistem ekonomi kapitalistik, yang tak pernah bisa memberikan akses modal terhadap petani dan kelompok masyarakat miskin lainnya. CU memberikan bukti bahwa solidaritas kaum miskin bisa BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
memupuk modal secara bersama, dan konsisten melalui koperasi. “Bahkan semiskin-miskinnya orang, punya sesuatu untuk disumbangkan”. Kalimat itu diulang berkali-kali oleh Pintaraja Marianus Sitanggang ketika bertutur tentang awal pendirian CU di Sumut. Mantan guru SMA Katolik Budi Mulia Pematang Siantar itu menjadi bidan bagi kelahiran CU di daerah tersebut. CU mulai dikenal di Sumut sejak tahun 1970, sepulang Sitanggang dari Baguio City, Filipina. Dia ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik mengikuti seminar perburuhan di Filipina selama lima minggu, September – Oktober. Salah satu materi seminar saat itu mengenai CU. Sepulang dari Filipina, Sitanggang membentuk CU di SMA Budi Mulia. Karena tak ada guru dan karyawan yang berminat menjadi anggota koperasi kredit, dia terpaksa memotong gaji mereka untuk menjadi simpanan wajib di CU. “Karena saya ketua yayasan di sekolah itu, saya bisa potong saja gaji mereka,” katanya tergelak. Dari Budi Mulia, Sitanggang mengajak guru dan karyawan SMA Cinta Rakyat bergabung. Inilah cikal bakal lahirnya CU Cinta Mulia Pematang Siantar, CU yang menjadi pionir di Sumut. Namanya Cinta Mulia itu gabungan dari Budi Mulia dan Cinta Rakyat. Solidaritas Solidaritas memang menjadi kata kunci di CU. CU menjadi koperasi dalam arti yang sebenarnya. Bukan koperasi yang
dibentuk pemerintah, lalu pengurusnya ditunjuk oleh birokrat di mana koperasi itu berada. Pada prinsipnya, koperasi dibentuk karena ada sekelompok orang yang merasa senasib dan menyadari bersama bahwa nasib mereka harus diperbaiki. CU menjunjung tinggi prinsip tersebut. “Kebersamaan di CU diwujudkan dengan menyimpan dan memberikan pinjaman kepada anggota yang dianggap paling memerlukan,” ujar Sitanggang. Namun, solidaritas atau kebersamaan tak bisa tumbuh dengan sendirinya. Apalagi di kalangan rakyat miskin pedesaan. Solidaritas harus tumbuh dari pendidikan. Menyarankan petani bisa bersatu agar mendapatkan harga pupuk yang wajar adalah bagian dari pendidikannya, termasuk membangun solidaritas di antara mereka agar harga komoditas pertaniannya tak dipermainkan pasar. Kelahiran CU di Sumut sedari awal menjadi bagian dari upaya pemberdayaan ekonomi rakyat Keuskupan Agung Medan. Gereja memfasilitasi ruangan kantor CU pada awal pendiriannya. “Orang miskin itu kan makan saja susah. Tetapi, kalau setiap anggota keluarga miskin setiap hari menghemat pengeluaran berasnya masing-masing satu sendok untuk disimpan, dalam sebulan pasti ada banyak beras yang terkumpul di keluarga itu. Ini selalu saya katakan jika mengajak orang-orang di desa bergabung dengan CU,” kata Sitanggang. Sejak 1980, gereja 35
Credit Union lepas sama sekali dari perkembangan CU di Sumut. Karena solidaritas bisa tumbuh dengan pendidikan, CU pun mengharuskan setiap anggotanya mengikuti pelatihan tentang pentingnya menggalang kebersamaan. Di CU Satolop, Siborongborong, Tapanuli Utara, anggota CU membentuk berbagai kelompok. Seorang anggota baru boleh meminjam jika jaminan d i b e r i k a n o l e h a n g g o t a kelompoknya. Apabila nanti angsuran pinjamannya macet, anggota kelompok lainnya yang harus menanggung kredit macetnya tersebut. Tak seperti bank, yang mengukur kepercayaan dari berapa banyak jaminan yang bisa diagunkan untuk pinjaman, di CU, kepercayaan mewujud dalam solidaritas di antara anggotanya. “Kelebihannya, meminjam dari CU ini prosesnya tak berbelit,” ujar Poltak Pardosi, pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Serdang Bedagai, yang sudah lima tahun menjadi anggota CU Seia Sekata, Dolok Masihul. Gaji sebagai PNS rendahan di daerah membuat Poltak berpikir ulang untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Namun, pinjaman dari CU membuat dia punya usaha sampingan sebagai peternak ayam potong. Tercatat sudah 10.000 ekor ayam potong yang dia ternakkan. Modalnya didapat dari CU. Nilai pinjaman terakhir Poltak di CU Seia Sekata mencapai Rp 15 juta. Dia tercatat telah delapan kali meminjam di CU. “Sekarang anak saya sudah ada yang kuliah di Akademi Kebidanan di Medan,” kata Poltak. Sebagai koperasi, untuk bisa menyalurkan pinjaman kepada anggotanya, modal CU praktis hanya berasal dari anggota. CU mengenal setoran wajib yang dikenal sebagai simpanan saham. 36
Manajer CU Cinta Mulia, Robinson Bakara, menuturkan, simpanan saham merupakan ikatan konkret antara anggota dengan CU. Simpanan saham tidak boleh ditarik selama yang bersangkutan masih menjadi anggota. “Jasa simpanan ini yang nantinya dibagi menjadi sisa hasil usaha,” katanya. Selain simpanan saham, CU juga memiliki produk lainnya, yang dikenal sebagai simpanan nonsaham. “Tabungan nonsaham ini untuk memperkuat permodalan koperasi. Karena berasal dari anggota, yang berhak menarik (meminjam) dari kumpulan modal ini, ya hanya anggota,” katanya. Untuk menarik anggota CU menyimpan uangnya di simpanan nonsaham, suku bunga simpanan ditetapkan di atas rata-rata suku bunga simpanan perbankan, yakni 9 persen sampai 15 persen. Produk simpanan nonsaham yang dikenal di CU antara lain simpanan pendidikan, simpanan hari tua, dan simpanan hari raya. Simpanan hari raya bisa digunakan seperti tabungan ongkos naik haji. Simpanan pendidikan mirip produk tabungan berencana di perbankan, yang boleh diambil saat membutuhkan. Simpanan Ada juga simpanan nonsaham yang bisa diambil kapan pun, mirip produk tabungan di bank, namanya simpanan bunga harian. Di CU juga dikenal produk simpanan yang mirip deposito di bank. Karena CU merupakan koperasi, namanya juga mengikuti Undang-Undang Koperasi. “Kami menyebutnya dengan nama sisuka, simpanan sukarela berjangka,” kata Robinson. Dari berbagai produk simpanan itulah, modal CU tersalurkan dalam bentuk pinjaman ke anggotanya. “Tak seperti di bank, meminjam di CU selain prosesnya mudah, kami
juga fleksibel dalam mengembalikannya. Kalau masa cicilan masih tersisa setengah tahun lagi, tetapi bisa bayar pokoknya sekarang, CU memperbolehkannya tanpa kena penalti,” katanya. Kelebihan lainnya, untuk soal pinjaman ini, bunganya menurun mengikuti sisa pokok utang. “Besarnya hanya 2,5 persen dari sisa pokok pinjaman,” ujar Robinson. Sejak road show Sitanggang ke berbagai daerah, sekarang Pusat Koperasi Kredit BK3D sebagai induk CU di Sumut mempunyai 61 CU yang tersebar dari Aek Kanopan di Labuhan Batu Utara hingga Pakkat di Humbang Hasundutan, dari Belawan di Medan hingga Pandan di Tapanuli Tengah. Kementerian Koperasi yang tengah mencari koperasi dengan aset di atas Rp 10 miliar tak bakal kesulitan jika mereka mengenal CU di Sumut. Menteri Koperasi Syarifuddin Hasan saat berbicara di Mukernas Kosgoro, 13 Desember lalu, mengaku tengah mencari koperasi dengan aset minimal Rp 10 miliar dan omzet minimal Rp 50 miliar per tahun sebagai koperasi percontohan (www.rakyatmerdeka.co.id). “Dari 61 CU di Sumut yang bernaung di bawah Puskopdit BK3D, ada sekitar 50 CU yang asetnya di atas Rp 10 miliar,” kata Robinson. CU beraset di atas Rp 10 miliar di antaranya adalah CU Mandiri di Tebing Tinggi yang memiliki aset terbesar se-Sumut sebesar Rp 120 miliar, CU Cinta Mulia Pematang Siantar Rp 78 miliar, CU Harapan Kita Belawan Rp 65 miliar, CU Pardomuan Pakkat Rp 55 miliar, CU Satolop Siborongborong Rp 40 miliar, CU Rukun Dame Medan Rp 30 miliar, CU Cinta Kasih Pulo Brayan Medan Rp 25 miliar.
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Profil Petani Meski total CU di Sumut beraset Rp 1 triliun, mayoritas anggotanya, sekitar 80 persen, adalah petani. Itulah mengapa ketika harga komoditas pertanian anjlok, tetapi diiringi dengan melonjaknya harga sarana produksi, seperti pupuk, tak banyak petani yang berani mengambil pinjaman ke CU. Di sisi lain, karena simpanan saham menjadi kewajiban anggota, ada dana menumpuk di CU yang berubah menjadi idle cash karena tak berputar menjadi pinjaman. Robinson yang juga menjabat Manajer Operasional di Puskopdit BK3D bersama dengan staf hukum
Puskopdit, Binaris Situmorang, kemudian menggagas apa yang dinamakan Wira Koperasi (Wirakop) pada tahun 2006. Jika CU lebih merupakan koperasi simpan pinjam, Wirakop menjadi koperasi serba usaha. Wirakop menjadi supermarket bagi produk pertanian anggota CU, sekaligus menyediakan berbagai sarana produksi. Mereka yang berbelanja di Wirakop hanya anggota CU. Keuntungan Wirakop kemudian dibagi juga menjadi SHU. Setiap berbelanja ke Wirakop, anggota diberi poin yang diakumulasikan pada akhir tahun menjadi nilai
pembagi untuk SHU masingmasing anggota. Pada tahap awal, Wirakop baru berdiri di Siborongborong, Pandan, dan Samosir. Jika CU di hampir semua kota di Sumut menjadi saingan perbankan yang menawarkan kredit mikro, Wirakop menjadi pesaing para tengkulak komoditas pertanian hingga distributor pupuk yang sering menekan petani. CU memberi pelajaran, bahkan petani miskin di pedesaan pun bisa melawan kekuatan modal besar, jika bersatu. (KHAERUDIN). Sumber: Kompas, 31 Desember 2010.
Sejarah Berdirinya Kelompok Kesehatan Alter natif Sirih Merah Alternatif Awal tahun 2001, beberapa alumni Yayasan Pembinaan Tabib Indonesia (YAPTHI) yang berpusat di N g e mp l a k , J awa T i m u r, mengadakan pelatihan dasar thabib di Medan. walaupun dalam pelatihan tersebut peserta di kenakan biaya Rp 175,000 per orang untuk 2 hari, tetapi yang ikut cukup banyak, sekitar 150 orang. Beberapa bulan kemudian guru besar YAPTHI Kyai H. Mhd Socheh B u r h a n u d d i n j u g a menyelanggarakan pelatihan tabib di Medan selama 10 hari. biaya keseluruhan hampir 1 juta per orang. kegiatan tersebut di ikuti sekitar 40 orang dari berbagai wilayah, termasuk Aceh dan Riau. sebagian besar peserta adalah peserta pelatihan dasar tabib sebelumnya, termasuk penulis. Dua kali pelatihan inilah yang menjadi dasar bagi penulis dan beberapa teman-teman yang lain dalam menekuni dunia pengobatan BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
tradisional/alternatif ke depan. Bagaimana tidak? Dalam pelatihan tersebut betul-betul di tanamkan keyakinan yang sangat kuat akan manfaat dari pengobatan tradisional serta sasarannya ke depan. Bahkan beberapa metode pengobatan tradisional dikenalkan dan di ajarkan, antara lain; akupresure, gurah, bekam, ruqyah, ramu-ramuan herbal dan yang lain, semua itu berlandaskan agama. Paska pelatihan masingmasing peserta terjun ke masyarakat di daerahnya masingmasing sehingga seiring berjalannya waktu ada yang tetap bertahan dan ada yang tenggelam karena tidak terorganisir dengan baik. walaupun pada awalnya YAPTHI membuka klinik pengobatan alternatif di jalan Bahagia By Pass, Simpang Jl Saudara (kira-kira 100 meter dari kantor BITRA) sebagai pusat informasi dan komunikasi bagi para alumninya (penulis juga ikut praktek
sebagai praktisi) namun karena manajemen yang kurang baik, akhirnya klinik tutup. Kondisi seperti itulah yang kemudian mendorong penulis dan beberapa teman-teman untuk tetap menjalin komunikasi, agar bisa saling bertukar informasi tentang kendala-kendala yang di
Berkelompok : Sebelum membentuk kelompok para pengobat berdiskusi apa pentingya berkelompok. 37
Profil hadapi di lapangan. Sehingga, kemudian setiap bulan diadakan pertemuan rutin dan tempatnya berpindah-pindah. Tetapi sayang yang aktif dan bertahan hanya sekitar 15 orang saja dari wilayah Binjai, Medan dan Deli Serdang. Seiring dengan dinamika yang ada dalam dunia pengobatan tradisional/alternatif, semangat untuk menambah ilmu-pun semakin tinggi, sehingga dalam beberapa tahun kemudian, penulis dan teman-teman menguasai beberapa metode pengobatan yang baru seperti; terapi energy elektron, totok darah, gurah narkoba, pembuatan VCO, jamu instan, dll. Bahkan beberapa orang (termasuk penulis) sudah tergabung di dalam tim pengobatan kecanduan narkoba yang bekerja sama dengan jajaran kepolisian dan pernah ikut dalam bakti sosial pengobatan narkoba di Rutan Labuhan Deli, Belawan, bekerja sama dengan jajaran polisi perairan Belawan. Pada tahun 2006 penulis mendengar informasi tentang
sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak menyelenggarakan kegiatankegiatan positif, termasuk tentang kesehatan alternatif di masyarakat. Lembaga tersebut bernama Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA). Namun karena informasinya kurang jelas, BITRA itu makhluk seperti apa? Arahnya kemana? Maka penulis belum bisa berhubungan. Baru di bulan Juli 2009 ada informasi yang akurat tentang lembaga ini, datangnya dari seorang teman alumni YAPTHI yaitu Bapak Suwardi yang kemudian mengajak untuk membentuk kelompok. Pucuk di cinta ulampun tiba, kabar ini di sambut baik oleh teman-teman dan akhirnya pada t a n g g a l 24 A g u s t u s 2 0 0 9 diadakanlah pertemuan di rumah Suwardi di Jl A. Yani, Pasar VII, Tanjung Jati, Langkat yang di hadiri oleh Iswan Kaputra dan Misdi dari BITRA, sehingga terbentuklah sebuah kelompok kesehatan Alternatif yang bernama Sirih
Merah, dengan susunan kepengurusan; Supriyanto (Ketua), Rusdi (Wakil Ketua), Asrafin (Sekretaris) dan Sumiati (Bendahara). Setelah terbentuk kelompok Sirih Merah geliat dan keaktifan kelompok kesehatan alternatif inipun terus meningkat bersama BITRA mengadakan berbagai kegiatan di bidang kesehatan alternatif pada masyarakat, termasuk mengutus anggotanya untuk mengikuti berbagai macam pelatihan yang diadakan oleh BITRA. Berbagai pelatihan yang telah diikuti untuk meningkatkan kemampauan para pengobat anggota kelompok Sirih Merah antara lain; Pelatihan Siaga Bencana, Pelatihan Akupresure Dasar dan Lanjutan, Pelatihan Tentang Organisasi, Loby dan Negosiasi, Pelatihan Tentang Hukum dan HAM, Pelatihan Te n t a n g G e n d e r, P e l a t i h a n Pembuatan Ekstrak Obab Tradisional di Laboratorium Farmasi USU, Pelatihan Fasilitator, Sarasehan di Air Hitam, Labuhan Batu, Baksos di Berbagai Tempat dan banyak lagi kegiatan lainnya. Tidak dapat dipungkiri selama menjadi dampingan BITRA, anggota kelompok Sirih Merah semakin tambah maju, baik dari ilmu pengobatan, ilmu berorganisasi, ilmu berkomunikasi, dan yang lain. Bahkan kini dengan di fasilitasi oleh BITRA kelompok Sirih Merah telah mewujudkan demonstrasi plot (Demplot) tanaman obat di Tanjung Jati, Langkat dan di Jl AR. Hakim, Binjai. Semoga ke depan tambah maju terus. Bravo Sirih Merah‌! Bravo BITRA‌! Rusdi Rusdi, Ketua Assosiasi Pengobat Alternatif Sumatera Utara (APASU) dan Wakil Ketua Kelompok Sirih Merah, Langkat.
Awal : Pertemuan awal dilakukan untuk membentuk kelompok Sirih Merah dilakukan di rumah Suwardi pada tanggal 24 Agustus 2009. 38
BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Kabar Dari Kampung
Ekspansi Perkebunan Peluang atau Ancaman “Sangat tidak mungkin, melawan kejahatan yang terorganisir dengan kekuatan rakyat yang tercerai berai�. Beranjak dari sebuah kebutuhan dan tertindasnya kaum petani selama ini, peta konflik antara masyarakat dengan perkebunan secara tidak langsung diciptakan oleh kapitalisme, secara yuridis melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) yang hidup diatas tanahnya sendiri, mengatur dirinya sendiri (Otonomi Desa) tanpa ada campur tangan pihak-pihak yang merongrong kesejahteraan dan kehidupan kaum petani. Namun hal ini sebenarnya juga tak lepas dari scenario pemerintah yang secara tidak langsung memberikan lampu hijau secara sepihak bagi kapitalis itu sendiri. Mengatasnamakan kepentingan Negara tanpa melihat analisa dampak yang terjadi pada masyarakat disekitar. Salah satu wujud dari keberpihakan pemerintah terhadap kapitalis adalah Penanaman Modal Asing (PMA) di sector industrialisasi dan perkebunan. Berkaitan dengan usaha perkebunan punya uang (Modal Usaha) perkebunan juga biasa punya polisi, perkebunan juga biasa punya joint kepada pemerintah (kongkalikong), perkebunan juga bisa memiliki pengadilan dan kejaksaan, perkebunan juga dilindungi oleh UU penanaman modal, UU perkebunan. Bukti dari keberpihakan itu bissa dilihat lembaga-lembaga tersebut mengamini seolah perkebunan mempunyai perilaku yang paling benar terhadap masyarakat. Apalagi menyangkut soal Hak Guna BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Usaha (HGU) lembaga yang punya kekuasaan dan kepentingan mengamini bahwa HGU itu sah menurut hokum. Tetapi anehnya lembaga-lembaga yang punya kekuasaan dan punya kepentingan tidak akan pernah melihat secara history bagaimana pengajuan HGU nya itu, sah atau tidak menurut prosedur hukum, ada konflik atau tidak terhadap masyarakat sekitar perkebunan, misalnya batas tanah masyarakat dengan perkebunan, batas desa dengan perkebunan. Seperti yang sudah ditulis diatas bahwa oerkebunan punya kekuasaan untuk mengatur itu semua. Praktik perkebunan pada umumnya perkebunan kelapa sawit (Oil Palm Plantation) menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat ditengah-tengah perkebunan itu sendiri. Praktik pengekplotasian terhadap masyarakat sehingga masyarakat tidak punya pilihan lain, kecuali ketergantungannya terhadap perkebunan itu sendiri. Ada kecendrungan pemaksaan bahwa masyarakat (kaum tani) harus bisa menerima keberadaan perkebunan, walau pada dasarnya masyarakat itu sendiri tidak siap menerima, apalagi dengan lahan kondisi perkebunan yang sebagian tanahnya hasil jarahan (pengambil alihan lahan secara paksa). Hal ini bisa dilihat pada kebanyakan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Contohnya penyerobotan lahan garapan masyarakat desa pergulaan oleh perkebunan Lonsum, lahan garapan Desa Silau Rakyat Kampong Bantan oleh Soeloeng
Laut, lahan garapan masyarakat Desa Penggalian oleh Nusa Perkasa Kencana. Selain perolehan lahan yang cenderung manipulatif menyangkut soal HGU, kemudian persoalan luas lahan perkebunan yang tidak sesuai dengan HGU, juga persoalaan perkebunan yang menelantarkan sebagian lahan dengan tanaman yang sudah tidak produktif. Sangat jelas sekali bahwa pihak terkait yang berwenang memberikan dan mengeluarkan ijin usaha perkebunan, mengeluarkan dan memberikan sertifikat HGU perkebunan, pemerintah menutup mata seolah tidak mau tahu apakah perkebunan itu bersih dari praktik- praktik monopoli, praktik pembodohan dan pemiskinan terhadap masyarakat khususnya masyarakat disekitar perkebunan. Bahakan sering kali terjadi perkebunan lalai tidak serius memperhatikan kondisi masyarakat (enclave) secara sosial, ekonomi dan budaya. Bila dilihat lebih jauh sebenarnya masyarakat (kaum tani) lebih nyaman dan tentram menghidupi dirinya bila petani mengelola lahannya sendiri, mengurus dirinya sendiri tanpa harus ketergantungan dari pihak manapun juga. Jika tidak ada apapun peluang yang lain oleh petani disekitar perkebunan, pendapatan masyarakat hanya dari Buruh Harian Lepas (BHL) pada perkebunan itu. Yang sungguh sangat kesulitan menemukan pekerjaan disekitar desa umumnya memutuskan untuk merantau. Perlu dicatat pula bahwa dampak lingkungan yang terjadi 39
Kabar Dari Kampung
Manipulasi: Penindasan dan perampasan tanah milik petani telah banyak dilakukan oleh perkebunan dan pemerintah dengan memanipulasi HGU yang mereka pegang. adalah tanaman kelapa sawit menguruskan tanah, memang dampak ini belum terukur secara ilmiah. Lebih dari itu juga pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill) dalam wilayah perkebunan meracuni udara, llingkungan sekitar (tempat pembuangan limbah idustri) yang berdampak langsung pada masyarakat. Apakah perkebunan merupakan peluang bagi kaum tani? Atau sebaliknya justru menjadi ancaman bagi petani sendiri? Selama kapitalis masih mengembangkan kejahatan yang terorganisir, tanpa kita sadari maka yang terjadi adalah polisi kapitalis, pemerintahan kapitalis. Pemenuhan hak-hak rakyat yang seharusnya tidak terabaikan ini justru menjadi pesakitan (pak Ngatimin dkk yang dipidanakan oleh perkebunan karena menuntut haknya justru terkena UU perkebunan). Selain persoalan dampak dari keberadaan perkebunan ang 40
perolehan lahan merampas dari petani, juga kebijakan pemerintah yang tak pernah memihak kepentingan petani. Ironisnya kebijakan lebih dinikmati oleh feodalis dan kapitalis. Dinamika produk Undang-undang pemerintah yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat. Pemerintah hanya mampu memproduk undang-undang namun belum melaksanakannya secara signifikan. Sama halnya yang terjadi dengan ketimpangan-ketimpangan kebijakan pemerintah seperti Kepres No 34 tentang pertahanan, UUPA No 5 tahun 1960. Dewasa ini banyak konflik yang terjadi di masyarakat, khususnya kaum petani terhadap perkebunan. Dengan diberinya lampu hijau kapitalis oleh pemberi kepentingan (pemerintah) mereka (Feodalis, Kapitalis) semena-mena memperlakukan kaum petani disekitar perkebunan untuk mendapatkan lahan. Dengan
mengintimidasi, menteror, seolah masyarakat dianggap sebagai pembangkang dengan kepentingan Negara, dicap sebagai organisasi terlarang, siapa Negara? Siapa sebenarnya pemerintah? Dalam konteks apa pemerintah menjalankan Negara untuk melindungi kaum petani yang tidak bertanah? Sementara rakyat marginal (kaum petani) tidak jelas posisinya, seola kaum tani hanya sebagai objek dari penindasan dan korban kekerasan pihak- pihak yang tidak bertangggungjawab. Hanya sau yang dituntut dari semua ketimpangan kepentingan dan pemangku kekuasaan, berikan pengakuan atas haknya sebagai warga Negara Indonesia, berikan hak layak hidup, kembalikan hak-hak yang dimiliki yang telah dirampas secara paksa oleh kapitalis dan feodalis. Hapus kepentingan yang menyesatkan kaum tani, berikan undang- undang perlindungan petani, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalmnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kaum tani harus hidup sejahtera, kaum tani harus punya tanah, pemerintah dan mereka yang berkuasa atas dasar suara rakyat sendiri sesungguhnya wajib dan bertanggungjawab untuk menjamin kehidupan masyarakat. Selama posisi rakyat termarginalkan, selama hukum dan kebijakan tidak berpihak pada kepada rakyat selama UU perlindungan petani tidak ada, maka yang terjadi proses pembiaran, penelantaran terhadap rakyat. Darmin Darmin, Sekretaris Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP). Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. BITRANET No. 6/ Agustus-Oktober 2010
Kampanye
5 tahun Hutan T ak Boleh Dirambah Tak Dari 3,7 juta hektare (ha) hutan di Sumatera Selatan,hanya 1 juta ha dalam kondisi baik.Itu pun tidak sepenuhnya virgin atau alami karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, agar kondisi hutan tidak bertambah rusak, perlu moratorium penjedaan pemanfaatan hutan paling minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun. Dengan begitu, hutan akan kembali tumbuh dan berkembang sehingga dapat terwujud menjadi paru-paru dunia. Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tingkat Nasional Teguh S u r y a didampingi Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar S a d a t mengatakan, dalam pandangan Walhi, jeda tebang tersebut untuk memberikan nafas agar pohon bisa kembali efektif. Dalam realitasnya, eksploitasi hutan secara masif, membuat kondisinya makin banyak masalah. Apalagi ditambah dengan persoalan illegal logging, degradasi hutan, alih fungsi dan lainnya akan membuat hutan Sumsel rusak. “Untuk itu, harus ada moratorium jeda tebang. Meskipun ada aspek lain yang paling efektif dalam pencegahan kerusakan hutan, yakni penanaman kembali, semua itu tidaklah berjalan jika jeda tebang tidak diterapkan,”ujarnya dalam dialog publik menyoal skema REDD di Indonesia, di Palembang,kemarin. Saat ini, menurut dia, hanya Brasil dan Indonesia yang ditetapkan sebagai paru-paru dunia. Akan tetapi, kondisi hutan yang ada makin lama makin berkurang, karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab.Perambahan hutan, illegal logging, alih fungsi hutan dan lainnya makin marak.
Untuk itulah, pihaknya berharap upaya pengoptimalan hutan ini tetap dijaga bersama. “Sekarang ada upaya Reduction of Emissions Deforestation dan Forest Degradation (REDD) yang diambil alih pemerintah. Akan tetapi, upaya ini juga akan menimbulkan persoalan b e s a r. S e b a b , R E D D i n i a k a n menimbulkan soal hutang baru yang akan masuk ke kas negara, korupsi dan persoalan kepada masyarakat lokal. Sebab, masyarakat lokal akan terusir dari lokasi REDD. Jadi, alangkah baiknya jika hanya dilakukan jeda pemanfaatan hutan secara alami,”tukas dia. Upaya mitigiasi melalui REDD ini ternyata dilakukan untuk menghindari tanggung jawab negara maju dalam mengurangi emisi, aktivitas industri dan perilaku yang merusak lainnya yang mereka lakukan. Akan tetapi, apa yang mereka lakukan dibebankan kepada negara berkembang seperti Indonesia.Sementara, mereka tetap melakukan usaha perusakan
dan Indonesia yang diharuskan memperbaiki iklim meskipun dibayar. Kepala Seksi Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Dinas Kehutanan Sumsel Sutomo mengatakan, hutan sangat dibutuhkan untuk menyerap CO2 untuk menjadi oksigen. Jika hutan habis, polusi yang dikeluarkan negara-negara berkembang akan merusak iklim. Untuk itulah, sangat perlu dilakukan pelestarian hutan. Kemudian, dengan adanya REDD MRPP juga merupakan hal yang baik.Sebab, negara maju akan membayar Indonesia dengan terus menjaga hutan. “Untuk Kota Palembang saja, kemungkinan besar Hutan Punti Kayu tidak bisa lagi menyerap volume polusi dari kendaraan bermotor. Jadi, perlu dikembangkan lagi yakni kawasan Jakabaring menjadi hutan kota. Diharapkan, kondisi ini dapat menyeimbangkan iklim,” tukasnya seraya menambahkan, untuk hutan kritis di Sumsel mencapai 292.000 a yan Dar w ansah) ha. (Y (Ya Darw Sumber : seputar-indonesia.com
Mengenaskan : Kondisi hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia kian mengenaskan. Alih fungsi hutan, illegal logging dan perambahan hutan salah satu penyebabnya.