Studi Keunggulan Polikultur (Kebun
Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang
Juni 2011
Lembar Pengesahan
Studi Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang
Pelaksanaan Riset: Januari s/d April 2011
Disusun Oleh: Expert Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU),
Expert Agroekologi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Al-Wasliyah Medan & Manajer Penelitian & Pengembangan Growth Centre Medan,
Ir. Supriadi, MS
Dr. Ir. M. Idris, M.P
Manager Riset, Development, Information Communication & Tecnology BITRA Indonesia (Peneliti),
Iswan Kaputra
Riset Dilaksanakan Oleh: Yayasan BITRA Indonesia
Wahyudhi Ketua Badan Pengurus/Direktur Eksekutif
1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Susunan Tim Penelitian
Penangungjawab: Yayasan BITRA Indonesia
Pelaksana Riset: Tim Riset 1. Dr. Ir. M. Idris, M.P, 2. Ir. Supriadi, MS, 3. Iswan Kaputra, 4. Swaldi, 5. Hawari Hasibuan, 6. Erika Rosmawati Situmorang, 7. Ir. Listiani).
Pengarah: Wahyudhi
Expertise: 1. Ir. Supriadi, MS (expert Sosial Ekonomi Pertanian FP USU). 2. Dr. Ir. M. Idris, M.P (expert Agroekologi, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Al-Wasliyah, Medan & Manajer Penelitian dan Pengembangan Growth Centre Medan). Enumerator: 1. Elfa Suharti Harahap. 2. Nirwansyah Sukartara. 3 Muhammad Sahbainy Nasution. 4. Abdillah
Data Entry: Lily Wahyuni
2
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Kata Pengantar
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin dan kuasaNya-lah pekerjaan riset Studi Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang ini dapat diselesaikan. Kami juga berterimakasih pada para pihak yang telah turut membantu dalam kelancaran riset ini, antar lain Tim Peneliti yang terdiri dari: Dr. Ir. M. Idris, M.P (expert Agroekologi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Al-Wasliyah Medan & Manajer Penelitian dan Pengembangan Growth Centre Medan), Ir. Supriadi, MS (expert Sosial Ekonomi Pertanian FP-USU), Iswan Kaputra Manager RD-ICT BITRA Indonesia), Hawari Hasibuan & Erika Rosmawati Situmorang (Div. Advokasi BITRA Indonesia), Ir. Listiani (manager bidang Comdev) dan staf lapangan Deli Serdang BITRA Indonesia. Elfa Suharti Harahap, Nirwansyah Sukartara, Muhammad Sahbainy Nasution, dan Abdillah (enumerator). Lily Elfenda (data entry). Kepada jajaran Pemenhtahan Provinsi Sumatera Utara, dalam hal ini Kesbang Linmas dan Bappeda. Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang juga kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya yang begitu baik antara lain: Dinas Pertanian, Bappeda, BP4K (Badan Pelaksana penyuluhan Pertanian, Perikanan & Kehutanan). Pemeritahan 5 kecamatan sampel terpilih dan kepala desa samper terpilih, juga seluruh responden dalam riset ini yang telah memberikan informasi untuk perbaikan pola pertanian/perkebunan yang akan datang di Deli Serdang. Penelitian ini dilandasi niat yang amat baik untuk meningkatkan peluang implementasi pertanian kebun tanaman campuran polikultur di Deli Serdang. Dimana pertanian kebun tanaman campuran polikultur akan memberikan manfaat bagi semua pihak (produsen – petani, konsumen dan alam lingkungan sekitarnya yang terjaga). Untuk lebih meningkatkan penggunaan pola pertanian kebun tanaman campuran polikultur yang lebin maksimal diharapkan Pemerintah Deli Serdang dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk acuan dan pertimbangan membuat sebuah
3
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
kebijakan yang dapat menguntungkan bagi dunia pertanian, perkebunan rakyat dan alam lingkungannya di Deli Serdang. Kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah untuk memayungi dan legalitas kegiatan
pertanian
pertanian/perkebunan
tanaman di
Deli
campuran Serdang
polikultur dari
serta
serangan
melindungi
dunia
pertanian/perkebunan
konvensional dan monokultur yang cenderung merusak alam lingkungan merupakan tuntutan zaman yang harus segera dibuat dan di-implementasikan. Hal kami maksud, juga sejalan dengan anjuran pemerintah pusat dam masyarakat dunia bersandar pada kekhawatiran kerusakan lingkungan yang lebih meluas pada masa yang akan datang yang akan berakibat fatal pada semua sisi kehidupan mahluk yang ada di muka bumi. Untuk pihak-pihak lain yang merasa hasil riset ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia pertanian/perkebunan di manapun, kami sangat terbuka dan mempersilahkan agar hasil riset ini dapat digunakan baik untuk khasanah dunia ilmu pengetahaun amupun implementasi berbagai kegiatan pertanian/perkebunan.
Medan, Juni 2011
Yayasan Bina Ketermpilan Pedesaan Indonesia, Medan (BITRA Indonesia)
4
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
DAFTAR ISI
Hal Lembar Pengesahan ……….....................................................................................
1
Susunan Tim Penelitian ...........................................................................................
2
Kata Pengantar ........................................................................................................
3
Daftar Isi ……. ………………………………………………………………….
5
Daftar Tabel …………………………………………………………………….
7
Daftar Chart …………………………………………………………………….
9
Daftar Gambar & Foto……..................................................................................... 11 Ringkasan ……….................................................................................................... 12
I.
PENDAHULUAN ........................................................................................... 16 1.
Pengendalian Pemanasan Global …………………………………….
18
2.
Menghilangkan Karbon ........................................................................... 19
3.
Tradisional yang Arif, Ekologis & Ekonomis ………………………..
4.
Mengapa Polikultur .................................................................................. 22
5.
Gambaran Umum Lokasi Riset …………………………………….
23
6.
Penggunaan Lahan ……………………………………………………
25
II. RUMUSAN MASALAH ………………………………………………….
25
21
. III. TUJUAN STUDI …………………………………………………………..
26
IV. MANFAAT STUDI ………………………………………………………..
27
V. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………
27
VI. METODOLOGI & TEKNIS RISET ………………………………………
35
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………
37
A. Keragaman Responden ……………………………………………….
5
37
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
B. Letak dan Kondisi Kebun ……………………………………………
43
C. Pola Tani ……………………………………………………………….
45
D. Lingkungan …………………………………………………………….
65
E. Keterlibatan Berbagai Pihak ………………………………………….
71
F. Kearifan Lokal ………………………………………………………..
75
G. Pengambilan Keputusan Petani ……………………………………...
76
VIII. KESIMPULAN & SARAN ………………………………………………
81
1.
Kesimpulan ………………………………………………………….
81
2.
Kesimpulan Umum …………………………………………………
84
3.
Saran …………………………………………………………………
85
Daftar Pustaka & Bahan Bacaan ……………………………………………
6
86
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1. Tabel Penilaian Ekonomis Polikultur dalam Hamparan 1 Hektar Lahan …… 13 2. Tabel Keunggulan & kelemaham Monokultur sawit dan polikultur ……..
13
3. Tabel Luasan DAS dan Sub DAS ………………………………………….
24
4. Tabel Penggunaan Lahan di Deli Serdang …………………………………
25
5. Tabel Industri Prioritas Sawit & Kakao Pada Perpres 28/2008 …………...
29
6. Tabel Peraturan Tahun 1999 ……………………………………………….
32
7. Tabel Peraturan Tahun 2000 ……………………………………………….
33
8. Tabel Penilaian Ekonomis Pertanian Polikultur dalam 1 Hektar Lahan …
34
9. Tabel Keunggulan dan kelemaham Monokultur sawit dan polikultur ……
34
10. Tabel 1.1. Distribusi responden menurut kecamatan ....................................... 38 11. Tabel 1.2. Distrbusi responden monokultur/polikultur menurut desa ……..
39
12. Tabel 1.3. Distribusi responden menurut pola kultur dan kelompok umur ..
41
13. Tabel 1.4. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan dan pola kultur ....
41
14. Tabel 1.5. Banyaknya tanngungan petani menurut pola kultur ...................
42
15. Tabel 2.1. Distribusi letak kebun petani menurut polikultur ……………….
43
16. Tabel 2.2. Distribusi jarak kebun dengan sungai ............................................... 43 17. Tabel 2.3. Distribusi kemiringan lereng kebun menurut pola kultur ..............
45
18. Tabel 3.1. Distribusi luas kebun garapan petani menurut pola kultur ..........
45
19. Tabel 3.2. Jenis tanaman utama menurut pola kultur ....................................
47
20. Tabel 3.3. Sumber informasi pola kultur …………………………………...
48
21. Tabel 3.4. Alasan pemilihan pola kultur ............................................................ 49 22. Tabel 3.5. Asala bibit menurut pola kultur ........................................................ 50 23. Tabel. 3.6. Jenis pupuk yang digunakan menurut pola kultur .......................
50
24. Tabel 3.7. Asal pupuk organic menurut pola kultur ……………………….
51
25. Tabel 3.8. Alasan menggunakan pupuk organik menurut pola kultur .........
52
26. Tabel 3.9. Kemudahan memperoleh pupuk organik menurut pola kultur ..
54
27. Tabel 3.10. Kemudahan membuat pupuk organik menurut pola kultur ...
54
28. Tabel 3.11. Alasan membuat pupuk organik sendiri menurut pola kultur ..
55
7
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
29. Tabel 3.12. Frekwensi pemupukan menurut pola kultur ................................
56
30. Tabel 3.13. Sumber penentuan dosis pemupukan menurut pola kultur ......
57
31. Tabel 3.14. Jenis hama yang selalu menyerang menurut pola kultur ...........
58
32. Tabel 3.15. Intensitas serangan hama menurut pola kultur ...........................
59
33. Tabel 3.16. Jenis penyakit yang menyerang tanaman menurut pola kultur
60
34. Tabel 3.17. Intensitas serangan npenyakit menurut pola kultur ...................
61
35. Tabel 3.18. Cara pengendalian hama & penyakit menurut pola kultur ......
61
36. Tabel 3.19. Penggunaan tenaga keluarga menurut pola kultur .....................
62
37. Tabel. 3.20. Penggunaan tenaga dari luar keluarga menurut pola kultur ....
63
38. Tabel 3.21. Persentase upah menurut gender dan pola kultur (%) ................
64
39. Tabel 4.1. Kejadian kekeringan menurut pola kultur ...................................... 65 40. Tabel 4.2. Frekwensi kekurangan air menurut pola kultur .............................
66
41. Tabel 4.3. Kejadian banjir menurut pola kultur …………………………...
67
42. Tabel 4.4. Lama genangan menurut pola kultur .............................................
68
43. Tabel 4.5. Ketinggian genangan menurut pola kultur ....................................
69
44. Tabel 4.6. Fluktuasi permukaan air tanah menurut pola kultur ..................
69
45. Tabel 4.7. Pendapatan petani per-hektar per-bulan .......................................
70
46. Tabel 5.1. Keanggotaan kelompok tani menurut pola kulturn …………..
72
47. Tabel 5.2. Alasan penentuan jenis tanaman menurut pola kultur ..............
72
48. Tabel 5.3. Keterlibatan lembaga dalam pola tanam menurut pola kultur
73
49. Tabel 5.4. Peran lembaga bagi petani menurut pola kultur ..........................
74
50. Tabel 6.1. Keraifan lokal pada pola kultur ...................................................... 75 51. Tabel 6.2. Ritual bercocok tanam menurut pola kultur ................................
76
52. Tabel 7.1. Penentu pola kultur ……………………………………………..
76
53. Tabel 7.2. Penentuan pengelolaan kebun menurut pola kultur ...................
77
54. Tabel 7.3. Penentuan penjualan hasil kebun menurut pola kultur ………
78
55. Tabel 7.4. Penentuan penjualan asset kebun menurut pola kultur ............
79
8
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
DAFTAR CHART
Nomor
Judul
Halaman
1. Chart 1.1. Distribusi responden menurut kecamatan .....................................
38
2. Chart 1.2. Distrbusi responden monokultur/polikultur menurut desa …….
40
3. Chart 1.3. Distribusi responden menurut pola kultur dan kelompok umur
41
4. Chart 1.4. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan dan pola kultur ...
42
5. Chart 1.5. Banyaknya tanngungan petani menurut pola kultur ...................
42
6. Chart 2.1. Distribusi letak kebun petani menurut polikultur ………………
43
7. Chart 2.2. Distribusi jarak kebun dengan sungai ............................................. 44 8. Chart 2.3. Distribusi kemiringan lereng kebun menurut pola kultur ............
45
9. Chart 3.1. Distribusi luas kebun garapan petani menurut pola kultur ........
46
10. Chart 3.2. Jenis tanaman utama menurut pola kultur ..................................
47
11. Chart 3.3. Sumber informasi pola kultur …………………………………..
48
12. Chart 3.4. Alasan pemilihan pola kultur ........................................................... 49 13. Chart 3.5. Asala bibit menurut pola kultur ....................................................... 50 14. Chart. 3.6. Jenis pupuk yang digunakan menurut pola kultur .....................
51
15. Chart 3.7. Asal pupuk organic menurut pola kultur ………………………
52
16. Chart 3.8. Alasan menggunakan pupuk organik menurut pola kultur .......
53
17. Chart 3.9. Kemudahan memperoleh pupuk organik menurut pola kultur
54
18. Chart 3.10. Kemudahan membuat pupuk organik menurut pola kultur ...
55
19. Chart 3.11. Alasan membuat pupuk organik sendiri menurut pola kultur ...
56
20. Chart 3.12. Frekwensi pemupukan menurut pola kultur ...............................
57
21. Chart 3.13. Sumber penentuan dosis pemupukan menurut pola kultur ......
58
22. Chart 3.14. Jenis hama yang selalu menyerang menurut pola kultur ...........
59
23. Chart 3.15. Intensitas serangan hama menurut pola kultur ...........................
59
24. Chart 3.16. Jenis penyakit yang menyerang tanaman menurut pola kultur
60
25. Chart 3.17. Intensitas serangan npenyakit menurut pola kultur ....................
61
26. Chart 3.18. Cara pengendalian hama dan penyakit menurut pola kultur ...
62
27. Chart 3.19. Penggunaan tenaga keluarga menurut pola kultur .....................
63
28. Chart 3.20. Penggunaan tenaga dari luar keluarga menurut pola kultur ...
64
9
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
29. Chart 3.21. Persentase upah menurut gender dan pola kultur (%) ..............
65
30. Chart 4.1. Kejadian kekeringan menurut pola kultur ....................................
66
31. Chart 4.2. Frekwensi kekurangan air menurut pola kultur ...........................
67
32. Chart 4.3. Kejadian banjir menurut pola kultur ………………………….
67
33. Chart 4.4. Lama genangan menurut pola kultur ............................................
68
34. Chart 4.5. Ketinggian genangan menurut pola kultur ...................................
69
35. Chart 4.6. Fluktuasi permukaan air tanah menurut pola kultur ..................
70
36. Chart 4.7. Pendapatan petani per-hektar per-bulan ......................................
71
37. Chart 5.1. Keanggotaan kelompok tani menurut pola kultur ……………
72
38. Chart 5.2. Alasan penentuan jenis tanaman menurut pola kultur .............
73
39. Chart 5.3. Keterlibatan lembaga dalam pola tanam menurut pola kultur
74
40. Chart 5.4. Peran lembaga bagi petani menurut pola kultur .........................
75
41. Chart 6.1. Keraifan lokal pada pola kultur .....................................................
75
42. Chart 6.2. Ritual bercocok tanam menurut pola kultur ...............................
76
43. Chart 7.1. Penentu pola kultur …………………………………………….
77
44. Chart 7.2. Penentuan pengelolaan kebun menurut pola kultur ..................
78
45. Chart 7.3. Penentuan penjualan hasil kebun menurut pola kultur ………
79
46. Chart 7.4. Penentuan penjualan asset kebun menurut pola kultur ............
80
10
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
DAFTAR GAMBAR & FOTO
Nomor
Judul
Halaman
1. Gunung es longsor di Alaska ....................................................................... 17 2. Mencairnya es di Kutub Utara...................................................................... 17 3. Kekeringan di Afrika .................................................................................. 18 4. Skema efek rumah kaca & pemanasan global .........................................
19
5. Lokasi pengembangan indistri pengolahan rencana Perpres 28/2008 ..
30
6. Foto-1: Aktifitas Riset .................................................................................. 39 7. Foto-2: Kantor Desa Damak Maliho .......................................................... 39 8. Foto-3: Sub DAS Buaya, DAS Ular ............................................................ 44 9. Foto-4: Kebun Polikultur ............................................................................. 46 10. Foto-5: Pupuk Organik ................................................................................ 53 11. Foto-6: SL Pupuk Organik ………………………………………………
11
55
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
RINGKASAN
Lima tahun belakangan ini Indonesia telah menjadi pengekspor minyak kelapa sawit setengah olahan CPO (crude palm oil) terbesar di dunia dan menggusur posisi Malaysia. Tidak heran jika pemerintah merencanakan pembangunan nasionalnya untuk sektor ini paling besar. Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah mengeluarkan berbagai aturan di bidang sawit ini. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Indistri Nasioanl, dinyatakan bahwa: “Basis Industri Manufaktur, yaitu suatu spektrum industri yang sudah berkembang saat ini dan telah menjadi tulang punggung sektor industri�. Industri kelapa sawit ada di urutan teratas dalam Perpres ini. Pada sisi lain kita melihat kenyataan perkebunan kelapa sawit syarat dengan masalah, antara lain; masalah buruh yang masih menerapkan semi perbudakan di perkebunan di Kalimantan, bahkan buruh usia anak didatangkan dari Nias untuk menjadi pekerja. Minimnya penghasilan pekebun sawit petani kecil karena permainan harga oleh pabrikan dan pembeli pengumpul (agen). Perbandingan luas kebun yang dikelola suasta (lokal dan asing) 52,73%, negara 11,69% dan milik rakyat 35,56%, dari keseluruhan luas areal perkebunan sawit yang ada di Indonesia sebesar 7,508 juta ha (tahun 2009)1. Masalah lingkungan tak kalah serunya, kelapa sawit yang sangat haus menyedot air dari permukaan bumi ini juga mengancam ketersediaan air bersih di muka bumi. Dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat terhadap perkebunan sawit ini maka non government organisation (NGO) di Indonesia yang dimotori oleh Perkumpulan Sawit Watch, sebuah lembaga yang sangat konsern terhadap masalah kebun kelapa sawit di Indonesia merekomendasikan pada pemerintah untuk moratorium pembangunan perkebunan sawit maha luas, bertepatan diperingatinya 100 tahun kelapa sawit ada di Indonesia pada bulan Maret 2011 lalu di Medan. Untuk perbandingan rata-rata perkebunan sawit menghasilkan 2 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per bulan. Jika dikalikan dengan 1 tahun maka 24 ton per 1 Diolah dari Dirjenbun Deptan 2009 dan bulletin Tandan Sawit edisi III (Juli-September 2010), edisi IV (Oktober-Desember 2010) dan Edisi I 2011. Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
12
hektar. Jika dikonversi dengan harga sekarang (tahun 2011) rata-rata Rp 1,000,/kilogram maka akan diperoleh hasil Rp 24,000,000,- dalam setahun. Hasil ini masih merupakan hasil kotor, belum dikurangi dengan pengeluaran pupuk kimia yang sangat mahal harganya, perawatan dll. Rata-rata perkebunan sawit akan mengeluarkan 40% biaya perawatan dan pemupukan. Maka jika hasil di atas dikurangi 40%, petani akan memperoleh hasil pertahun Rp 14,400,000,-2. Jika dibandingkan aantara kebun monokultur kelapa sawit dengan kebun polikultur, perhutungan terkecil untuk hasil pertanian/kebun tanaman campuran polikultur dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel Penilaian Ekonomis Pertanian Polikultur dalam Hamparan 1 Hektar Lahan: No 1 2 3 4 5 6
Jenis Tanaman Durian Duku Petai Pinang Kakao Ternak
Populasi Tanaman (batang) 10 10 10 100 600 5 Total
Produksi/ th/btg/ekor 100 Buah 500 Kg 20 Papan 3.5 Kg 1.4 Kg 5 Ekor
Harga Satuan (Rp) 5,000 * 5,000 * 2,500 * 3,500* 17,000 * 500,000 *
Jlh Pendapatan/ tahun (Rp) 5,000,000 25,000,000 500,000 1,225,000 14,280,000 12,500,000 58,505,000
Keterangan: Dalam tabel penghitungan nilai ekonomis polikultur ini belum termasuk panen kayu seperti durian, duku, petai, dll. yang akan dilakukan dalam 10 hingga 15 tahun usia tanaman besar sebagai pelindung tanaman di bawahnya. *Perkiraan harga terendah petani menolak ke pasar/pengumpul.
Perbandingan penghasilan petani monokultur kelapa sawit dan polikultur (kebun tanaman campuran, penghitungan secara kasar pertahun adalah: Rp 14,400,000,- untuk kebun monokultur kelapa sawit dan Rp 58,505,000,- untuk kebun polikultur dengan maksimalisasi kakao. Tabel Keunggulan dan kelemaham Monokultur sawit dan polikultur: No 1 2
3
2
Sektor Membangun Kebun
Monokultur Sawit Biaya cukup tinggi. Pengerjaan sekaligus. Panen hasil 1 bulan 2 – 3 kali. Perawatan pembersihan gulma 4 bulan Tenaga Kerja 1 kali. c) Pemupukan 3 bulan 1 kali. d) Tenaga kerja dari luar keluarga dan dibayar. Hasil Hanya dari 1 sumber (TBS) Rp 14,400,000,-/tahun a) b) a) b)
Polikultur Biaya rendah. Pengerjaan bertahap. Setiap hari panen Perawatan pembersihan gulma 4 bulan 1 kali. c) Pemupukan organik 3 bulan 1 kali d) Tenaga kerja dari anggota keluarga. a) b) a) b)
Dari banyak sumber (tanaman campuran) Rp 58,505,000,-/tahun
Hasil analisis dan olah data tim riset dari pengalaman petani sawit yang diwawancara mendalam. Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
13
4
5 6
7
a) Sumber air habis, kering. b) Keanekaragaman hayati hewan rusak karena rantai makanan hewan terputus (hewan yang hidup hanya jenis tertemtu saja). c) Keanekaragaman hayati tumbuhan (termasuk jasad renik) hancur karena monokultur dan jasad renik berkurang Lingkungan drastis saat pengolahan tanah, pupuk kimia dan berbagai jenis sida (racun kimia). d) Tegakan pohon hanya 1 jenis, tidak dihitung sebagai hutan. Kurang berkontribusi terhadap reduksi global warming. e) Terbiasa dengan budaya alat dan bahan kimia yang dibeli. Hama/penyakit Lebih sedikit serangan hama dan tanaman penyakit. a) Antar petani kurang berinteraksi karena kebutuhan alat dan bahan diperoleh Sosial dari membeli. b) Karena intensitas pekerjaan kecil badan petani jadi kurang gerak sehingga kurang sehat. Budaya Tidak terpelihara kebiasaan lama budaya lokal dan kearifan lokal.
a) Sumber air terjaga dengan baik. b) Keanekaragaman hayati hewan terjaga baik karena rantai makanan hewan tersedia (berbagai hewan dapat hidup di dalamnya). c) Keanekaragaman hayati tumbuhan (termasuk jasad renik) terjaga baik karena tidak menggunakan olah tanah, pupuk dan racun kimia. d) Tegakan pohon berbagai jenis dan termasuk sebagai hutan produksi yang memiliki daya dukung lingkungan tinggi. Sangat berkontribusi terhadap reduksi global warming. e) Memanfaatkan ketersediaan di lamam sekitar untuk bahan organik. Lebih banyak serangan hama dan penyakit. a) Interaksi antar petani tinggi karena saling membutuhkan dan tukar ketersediaan bahan. b) Karena intensitas pekerjaan besar badan petani jadi banyak gerak sehingga sehat. Terpelihara kebiasaan lama budaya lokal dan kearifan lokal.
Berdasarkan riset keunggulan polikultur (kebun tanaman campuran dengan maksimalisasi tanaman kakao) di kabupaten Deli Serdang dengan mengambil sample pada 5 (lima) Kecamatan yang tersebar dari 19 desa diambil sebanyak 200 responden. Dari 200 responden 68 responden petani monokultur dan 132 petani polikultur. Kesimpulan secara umum dan saran dari riset ini adalah; Budidaya kebun masyarakat dengan pola polikultur secara ekonomis lebih menguntungkan daripada budidaya kebun dengan pola monokultur; Budidaya secara polikultur lebih menjamin keberlanjutan lingkungan dibandingkan dengan budidaya secara monokultur. Penggunaan jenis tanaman kakao sebagai tanaman utama pada pola polikultur lebih baik dibandingkan dengan tanaman lain seperti durian, kelapa, pinang, duku, rambutan, manggis, dll. Untuk memberikan daya dukung lingkungan yang lebih baik dalam pengembangan kebun rakyat di kabupaten Deli Serdang lebih baik dikembangkan perkebunan rakyat dengan pola tanaman campuran (polikultur). Pemerintah dalam hal ini melakukan pendekatan pro aktif dalam penyuluhan teknis polikultur dan substansi keuntungan ekologis, ekonomis dan sosial budaya yang akan didapatkan petani/pekebun secara polikultur.
14
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Pemerintah perlu menciptakan peraturan (regulasi) daerah untuk membatasi meluasnya perkebunan monokultur besar untuk menjamin kebun polikultur masyarakat berkembang dan memberikan keuntungan pada keluarga dan alam lingkungan global. Para pihak (pemerintah, Suasta, konsern group, perguruan tinggi, NGO/LSM) berupaya untuk berkontribusi memberikan penyadaran pada masyarakat petani/pekebun tentang kerugian secara bersama yang diderita lingkungan atas pertanian kebun pola monokultur dan keuntungan global ekonomi dan lingkungan atas pertanian kebun pola polikultur.
15
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Laporan
Studi Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang Deli Serdang, Juni 2011
I. PENDAHULUAN “Indonesia berpeluang menjadi pengekspor kakao nomor satu dunia asalkan dapat mengatasi dua masalah utama, yaitu penyediaan bibit unggul dan penggunaan pupuk alami. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga dunia setelah Ghana dan Pantai Gading�. Demikian disampaikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, seusai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Universitas Tadulako di Jakarta, pada 29 Agustus 20083. Untuk mewujudkan upaya tersebut disusul dengan pihak pemerintah telah mengirim proposal pengajuan keanggotaan ke International Cocoa Organization (ICCO) oleh Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu pada 30 Juli 2010. Dengan bergabungnya Indonesia ke ICCO, diharapkan Indonesia dapat berperan lebih banyak dalam hal kebijakan kakao di dunia. Setiap keanggotan ICCO tersebut mewakili negara. Produksi kakao Indonesia mencapai 400.000 – 500.000 ton per tahun. Sementara kebutuhan kakao dunia per tahunnya mencapai 3,5 juta ton dimana setiap tahunnya ada kenaikan 5%. Indonesia sendiri menargetkan produksi kakao hingga 2 juta ton pada tahun 20204. Ambisi Pemerintah tersebut tentunya harus didukung karena hal ini akan menimbulkan multply effec ekonomi yang baik bagi rakyat dan terutama bagi masyarakat petani kakao. Namun juga harus dilakukan pengawasan oleh partisipasi masyarakat yang ketat, karena keterbatasan lahan pertanian. Keterbatasan lahan pertanian ini dapat mengakibatkan konversi lahan hutan dan penyerobotan lahan petani
3 4
www.ristek.go.id www.kontan.co.id Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
16
kecil untuk memenuhi target yang sedang diupayakan pemerintah untuk mencapai sebagai negara pengekspor kakao terbesar di dunia. Pada satu sisi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat harus terus di upayakan. Pada sisi lainnya kita tidak ingin terjadi kerusakan hutan yang akan mengakibatkan berbagai effek buruk, seperti pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Para ilmuwan memperkirakan akibat dari pemanasan global, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daratan di Kutub Utara (warna hijau dalam lingkaran), semula diliputi oleh es yang kini telah mencari. Foto: http://iwandahnial.wordpress.com Gunung es di Alaska yang longsor akibat global warming. Foto: http://iwandahnial.wordpress.com
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan.
17
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Kekeringan di daratan Afrika Foto: http://iwandahnial.wordpress.com
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang
memperoleh
kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi.
Kekeringan di daratan Afrika. Foto: http://iwandahnial.wordpress.com
Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim5.
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika & Indonesia mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulanbulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat6.
1. Pengendalian Pemanasan Global Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen pertahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada 5 6
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
18
yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur)
Skema efek rumah kaca & pemanasan global. Foto: http://iwandahnial.wordpress.com
habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesiesspesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
2. Menghilangkan Karbon Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini
19
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca7. Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan8. Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali. Untuk mencegah kerusakan hutan terkait dengan perubahan iklim dan pemanasan global yang terus melaju kencang sejak tahun 1997, BITRA indonesia, sebagai sebuah lembaga non profit yang bergerak pada bidang pertanian selaras alam (pertanian rakyat organik, non kimia) mengembangkan sebuah pola perkebunan tanaman campuran yang biasa disebut kebun polikultur.
7 8
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global http://en.wikipedia.org/wiki/Enhanced_oil_recovery Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
20
3. Tradisional yang Arif, Ekologis & Ekonomis9 Di daerah dataran tinggi yang ada di pulau Sumatera kebanyakan masyarakat di perkampungan bertani tanaman keras dengan cara yang amat tradisional (yaitu bertani dengan pola sub sistem atau dengan kemurahan alam). Di Indonesia baik pulau Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan maupun Papua, pertanian tanaman keras yang diwariskan oleh generasi sebelumnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu sub sistem. Pola bertani ini biasanya menggunakan cara dengan menanam tanaman seperti durian, duku, kemiri, aren (secara alami, tumbuh sendiri, dibiakkan oleh hewan liar seperti musang), pinang, pisang, asam gelugur, manggis dll. Diantara tanaman tersebut, banyak juga tanaman yang sudah ada di lahan karena diwariskan oleh nenek moyang para petani. Pola bertani secara tradisional tersebut sesungguhnya sangat bersahabat dengan alam, arif dan mendukung ekosistem, sebab dengan tanaman yang berbagai jenis di kebun petani akan memelihara berbagai macam hewan tetap hidup karena ketersediaan rantai makanan untuk flora dan fauna yang hidup di alamnya terjaga. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebun pola monokultur. Akan tetapi jika hanya arif bagi alam dan lingkungan hidup dirasa tidak cukup, bagaimana dengan manusia yang tinggal di sekitarnya? Pertanyaan inilah yang memicu BITRA Indonesia mengembangkan kebun rakyat dengan pola polikultur. Dalam konsep polikultur, masyarakat tetap menjaga kebiasaannya dengan berkebun secara tradisional akan tetapi melakukan intensifikasi agar lahan yang ada bisa produktif dan berdaya ekonomis tinggi terhadap hasil lahan. Disisi lain petani tidak lagi menjadi buruh harian di tempat lain atau sopir karena bisa mengurusi dan mengerjakan kebunnya yang menuntut kotinuitas & rutinitas aktifitas harian yang cukup tinggi. Petani disarankan menanam lebih dari 4 jenis tanaman dalam satu hamparan kebun. Petani lain di sekitar juga harus ada yang menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pokok agar tidak tergantung dengan ketersediaan beras dari daerah lain.
9
Iswan kaputra & Kominta Sari Purba, Pertanian Polikultur: Ekologis & Ekonomis, dalam majalah pertanian berkelanjutan SALAM (LEISA Indonesia), No 9 Desember 2004. Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
21
Dengan bertani polikultur ini petani merasa lebih aman dan giat untuk bekerja mengurus kebunnya juga fisik yang lebih sehat karena bergerak setiap hari untuk merawat kebun. Aman secara ekonomi, karena mereka hampir setiap hari kini dapat memanen hasil kebunnya. Yaitu, aren disadap niranya setian hari, pisang barangan dan kakao setiap minggu ada buah yang menguning, pinang & asam gelugur setiap bulan ada yang bisa diturunkan dari pohon, padi mulai menguning emas setiap 6 bulan, durian, manggis dan duku panen raya setiap tahun. Begitu juga ketika harga salah satu produksi pertanian murah karena permainan para pedagang atau fluktuasi harga, bagi petani polikultur ini tiada masalah, karena harga komoditi yang lain pasti tinggi.
4. Mengapa Polikultur Wilayah Sumatera Utara yang memiliki dataran tinggi bukit barisan yang membentang di tengah pulau, terdiri dari 20,569,62 kilometer persegi atau 28,7% adalah daerah dataran tinggi yang berkontur slope and hill (lembah, landai sampai berbukit) dengan ketinggian 300 – 600 dari permukaan laut (dpl) memberikan iklim yang sejuk dan curah hujan yang baik. Jumlah penduduk wilayah dataran tinggi ini pada tahun 2007 2,459,901 jiwa dengan kepadatan rata-rata 90 jiwa perkilometer persegi. Data ini menunjukkan bahwa lahan pertanian dan perkebunan masih sangat luas jika dibandingkan jumlah penduduk. Luas areal perkebunan di Sumatera Utara adalah 1.629.156 Ha atau 22,73% dari Luas Sumatera Utara, dengan produksi sebesar 12.225.234 ton untuk 23 komoditi diantaranya: karet, sawit, kopi nilam, jahe, kemiri, aren, pinang, coklat/kakao, kelapa, panili, kemenyan, kulit manis, dan cengkeh. Menurut pengusahaannya areal perkebunan dibagi menjadi: 1. Perkebunan rakyat seluas 815.071 Ha dengan produksi 2.829.280 ton. 2. Perkebunan Swasta (PBS) seluas 425.551 Ha dengan produksi 4.934.556 ton 3. PTPN seluas 388.534 Ha dengan produksi 4.461.398 ton Rata-rata pertambahan luas lahan perkebunan sebesar 0,72% pertahun dan pertumbuhan produksi sebesar 2,74% pertahun. Disekitar kawasan tersebut terdapat banyak aliran sungai yang melengkapi pola ekologi perkebunan polikultur karena DAS akan terjaga kelestariannya dengan pola ini.
22
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Konsep yang menjadi harapan lebih sempurna dari polikultur adalah yang dinamakan mix farming atau pertanian dengan menggabungkan antara tanaman, hewan ternak, peikanan dan ekowisata. Jika mix farming telah diterapkan tentunya akan banyak mendapatkan keuntungan ekonomis dan ekologis yang lebih maksimal. Polikultur adalah sebuah sistem pertanian atau model pertanian yang ekonomis, ekologis, berbudaya, mampu diadaptasi dan manusiawi. Model pertanian ini disebut juga dengan model pertanian yang berkelanjutan. Model pertanian polikultur merupakan koreksi total terhadap model pertanian monokultur. Polikultur berasal dari kata poly yang artinya banyak dan culture artinya budaya atau kebiasaan. Secara harfiah polikultur berarti model pertanian dengan kebiasaan banyak jenis tanaman pada lahan yang sama. Polikultur bukan berarti model pertanian gado-gado atau juga bukan merupakan tumpang sari, karena model tumpang sari hanya dikenal pada pertanian tanaman semusim. Model pertanian polikultur berbasis pada tahapan dari tahun ke tahun kondisi ekosistem akan lebih baik. Tanaman yang dikembangkan dan kondisi alamnya akan lebih sempurna dan stabil. Selain itu apabila tanaman kerasnya sudah mencapai usia maksimal dan tidak produktif lagi, diameter batangnya sudah sangat besar maka akan menguntungkan petani untuk menebang dan menjual kayunya yang tentunya bernilai ekonomis sangat tinggi. Polikultur akan memadukan berbagai teknologi budidaya yang diselaraskan dengan penology tanaman yang ada dan aspek lokal dan kelestarian sumberdaya alam yang ada. Pola kebun seperti ini juga memicu rakyat untuk tetap menjaga hutan (hutan tanaman produksi) mereka, yang akan mempertahankannya dari kerusakan atau pikiran lain untuk alih fungsi lahan atau konversi pada komoditi yang monokultur.
5. Gambaran Umum Lokasi Riset Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2 0 57'-3 0 16'LU dan 97 0 52'-98 0 45'BT secara administratif terdiri dari 22 Kecamatan, 2 perwakilan Kecamatan dengan 379 Desa dan 15 kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang adalah 2.394,62 Kilometer persegi atau 2.394,462 Ha, dengan jumlah penduduk 1.463.031 jiwa. Dari 22 kecamatan yang ada terdapat 10 kecamatan yang terletak Dataran tinggi atau selalu juga disebut dataran pegunungan luasnya Âą 111.970 Ha (44.90 %)
23
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
terdiri dari 7 kecamatan yakni; Kutalimbaru, Deli Tua, Namorambe, Pancur Batu, Sibolangit, Sibiru-biru, STM Hilir, STM Hulu, Gunung Meriah, Bangun Purba. Dengan jumlah desa sebanyak 133 desa. Potensi Utama adalah: Pertanian Rakyat, Perkebunan, dan Peternakan. Kabupaten Deli Serdang terdapat 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular, dengan luas areal 378.841 Ha, yang kesemuanya bermuara ke Selat Malaka dengan hulunya berada di Kabupaten Simalungun, dan Karo. Pada umumnya sub DAS ini dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya peningkatan produksi pertanian. No 1.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan
2.
Deli
3.
Percut
4.
Belumai
5.
Ular
Sub DAS a. Belawan Hulu b. Belawan Hilir c. Karang Gading a. b. c. d. e. f. a. b. a. b. a. b. c. d. e.
Petani Deli Babura Bekala Sei Sikambing Paluh Besar Percut hulu Percut Hilir Belumai Serdang Bah Karai Buaya Ular Karang Perbaungan
Luas Areal Ha 76.003
48.162
Keterangan Sebahagian melintasi wilayah Kota Medan dan Kabupaten Langkat Sebahagian melintasi wilayah Kota Medan
51.420 75.460 127.796
Sebahagian melintasi wilayah Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber data: Bappeda Kabupaten Deli Serdang
Curah hujan rata-rata pertahun 1.936,3 mm, pada umumnya curah hujan terbanyak pada bulan September, Oktober, Nopember dan Desember. Angin yang bertiup melalui daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan kecepatan 0,68 meter/detik, sedangkan temperatur rata-rata 26,7째 dan kelembaban 84 %. Iklim sub tropis dan tropis yang sangat cocok untuk kebun tanaman campuran. Luas jenis Tanah Kabupaten Deli Serdang dibedakan atas: - Alluvial, Regosol, Organosol : 25.176 Ha - Hidromorfik Kelabu, Gleihumus : 45.873 Ha - Andosol Coklat : 44.488 Ha - Latosol Coklat : 9.306 Ha
24
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
- Podsolik Coklat Kekuningan - Podsolik Merah Kekuningan - Litosol, Podsolik, Regosol Jumlah
: 51.174 Ha : 51.982 Ha : 10.624 Ha : 240.796 Ha
6. Penggunaan Lahan Secara rinci, penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang dapat dibedakan sebagai berikut: - Perkampungan/Pemukiman - Persawahan - Tegalan/Kebun Campuran - Perkebunan Besar - Perkebunan Rakyat -Hutan - Semak/Alang-Alang - Kolam/Tambak - Rawa–Rawa - Peternakan - Lain–Lain Total
12.907 Ha (5,39 %) 44.444 Ha (18.56 %) 52.897 Ha (22.09 %) 54.286 Ha (22.67 %) 29.908 Ha (12,49 %) 40.157 Ha (16.77 %) 670 Ha (3.28 %) 1.317 Ha (0,55 %) 792 Ha (0,33 %) 49 Ha (0,02 %) 2,035 Ha (0,85 %) 239.462 Ha
Dengan potensi yang demikian besar seperti terpapar di atas kiranya kabupaten Deli serdang sangat berpotensi untuk dijadikan kabupaten percontohan dalam pola perkebunan rakyat dengan kebuh tanaman camputan (polikultur) yang sangat memiliki daya dukung tinggi terhadap kelestarian dan perbaikan lingkungan hidup dalam rangka mensejahterakan masyarakat petani pekebunnya. II. RUMUSAN MASALAH Sesuai dengan latar belakang di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang akan dijawab dalam riset ini yakni: 1. Gambaran data perkebunan tradisional masyarakat di Deli Serdang dengan pola apa mereka berkebun. 2. Belum terdeskripsikan secara jelas pola-pola tradisional, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun, apakah berkontribusi positif bagi perbaikan lingkungan hidup atau malah berkontribusi negatif. Asumsi dari riset ini, pola tradisioanl yang dilakukan sangat berkorelasi erat terhadap sumbangan pada daya dukung lingkungan.
25
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
3. Gambaran penghitungan yang pasti perbandingan antara kebun pola monokultur dan pola polikultur, secara sosial, ekonomi, dan budaya mana yang lebih baik, menguntungkan, unggul dan berdampak positif bagi lingkungan hidup dan kehidupan manusia pelaku pekebun (petani) dan konsumen hasil perkebunan. 4. Gambaran peraturan dan regulasi yang terkait dengan perkebunan masyarakat, pembatasan perkebunan suasta besar dan regulasi lain terkait. 5. Belum terdeskripsikan dengan jelas, peran dan fungsi antara laki-laki dengan perempuan dalam melakukan pekerjaan mengelola kebun, musyawarah keluarga petani dalam menentukan keputusan dan pengauasaan asset keluarga tani apakah secara adil, dominan laki-laki atau perempuan.
III. TUJUAN STUDI 1. Terdeskripsikan gambaran data substansi pola dan jenis perkebunan yang dilakukan masyarakat di Deli Serdang dikaitkan dengan peluang memperluas perkebunan masyarakat secara tradisional dengan pola polikultur secara organik dan implemetasinya. 2. Terdeskripsikan kearifan lokal yang dimiliki secara turun-temurun dan polapola masyarakat dalam implementasi perkebunan secara tradisional yang mendukung pola polikultur sebagai referensi untuk stimulus pertanian yang mendukung lingkungan ke depan. 3. Terdeskripsikan faktor penghalang dan pendorong jika perkebunan polikultur di-implementasikan di Deli Serdang? 4. Terdeskripsikan dampak sosial, ekonomi & budaya, kerugian dan keuntungan atau keunggulan berkebun dengan polikultur dibandingkan monokultur. 5. Dilakukan studi referensi terhadap perundang-undangan, peraturan, peraturan daerah (Propinsi & Kabupaten), khususnya Perda Kabupaten Deli Serdang, yang ada terkait dan dapat mendukung atau jadi penghalang untuk desiminasi dan implementasi perluasan kegiatan pertanian polikultur yang dilindungi regulasi. 6. Menemukan problem gender dalam pertanian perkebunan tradisional dan melihat
kemungkinan
pengembangan
konsep
keadilan
gender
dalam
implementasi kebun polikultur.
26
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
IV. MANFAAT STUDI 1. Studi ini akan memaparkan gambaran data dan kondisi riel pola dan jenis pertanian perkebunan, kearifan lokal dan pertanian tradisional (termasuk manfaat, keunggulan dan kelemahan) yang dilakukan masyarakat selama ini di Deli Serdang. 2. Studi ini juga akan digunakan sebagai acuan kerja dalam mencapai peningkatan keterlibatan masyarakat di berbagai tingkatan untuk mendorong kebijakan politik yang melindungi kepentingan masyarakat tani dan lingkungan hidup khususnya pola kebun polikultur di Deli Serdang. 3. Studi ini akan dijadikan acuan dalam menyusun naskah akademik/kertas posisi & leglal draft ranperda tentang kebun polikultur. 4. Studi ini sebagai langkah awal dari rangkaian proses yang diharapkan akan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Deli Serdang tentang kebun polikultur sebagai landasan konstitusional dan perlindungan kegiatan petanian yang memiliki daya dukung kuat terhadap lingkungan. 5. Data tentang gender yang ditemukan dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan draft kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkan memiliki perspektif gender yang lebih adil.
V. TINJAUAN PUSTAKA Penguasaan tanah pertanian atau perkebunan oleh perusahaan besar menimbulkan ketimpangan terjadi pada sektor pertanian. Petani kecil terus terpinggirkan oleh ulah perusahaan besar yang menguasai lahan produktif. Menurut Usep Setiawan, Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ketimpangan ini dapat dilihat dari penguasaan tanah. Hampir sebagian besar penguasaan tanah dimiliki perusahaan swasta bukan petani kecil. Anehnya lagi, justru pembatasan penguasaan tanah diberikan kepada individuindividu petani. Sedangkan penguasaan tanah pada perusahaan besar tidak ada pembatasan. "Regulasi pembatasan penguasaan tanah masih bias,". Selanjutnya, Usep juga menjelaskan, salah satu ketimpangan lahan pertanian dan perkebuanan, yaitu tidak
27
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
adanya regulasi yang mengatur pembatasan penguasaan dan pengusahaan oleh perkebunan besar. Salah satu regulasi yang ada adalah UU No 5 tahun 1960 tentang pembatasan pertanian lahan pangan saja. Tetapi untuk pembatasan lahan perusahaan besar dan milik negara juga tidak ada pembatasannya. "Ini tidak adil sebenarnya, satu sisi pembatasan lahan individu ada tapi untuk pembatasan lahan perusahaan besar tidak ada pembatasan," ungkapnya. Usep menyarankan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera membuat regulasi yang membatasi kepemilikan penguasaan dan pengusahaan lahan perkebunan swasta dan milik negara. Selain itu, regulasi pengadaan tanah untuk kepentingan petani kecil harus tetap diperhatikan. Sehingga kualitas dan kuantitas petani akan seimbang dengan pemerataan dan kesejahteraan petani kecil. "Jika ini dilakukan, petani kecil memiliki kekuatan sendiri yang mandiri,"10. Jika dilacak pada berbagai sumber memang hampir tidak ditemukan regulasi untuk pembatasan lahan perkebunan besar perusahaan. Atas kondisi tersebut muncul inisiatif dari daerah yang berupaya melakukan pembatasan dengan peraturan daerah (Perda) dengan aturan yang lebih ringan untuk memicu produktifitas lahan. Misalnya Perda lahan terlantar di kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera utara. Perda nomor 19 thaun 2007 tentang pemanfaatan tanah kosong ini berisikan cara masyarakat untuk mengelola tanah kosong yang belum dimanfaatkan oleh pemegang hak, baik hak milik, HGB, hak pakai, hak pengelolaan dan yang sudah diperoleh haknya sesuai peraturan perundang-undangan namun belum dimanfaatkan oleh penerima hak. Maksud dari Perda ini adalah untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, kesejahteraan petani, nelayan serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Indistri Nasioanl, dinyatakan bahwa: “Basis Industri Manufaktur, yaitu suatu spektrum industri yang sudah berkembang saat ini dan telah menjadi tulang punggung sektor industri. Penguatan, pendalaman dan penumbuhan 6 (enam) klaster industri prioritas yang tertera dalam Perpres, khususnya pada komoditi sawit dan kakao adalah sebagai berikut: 10
www.kpa.or.id [dikutip tanggal 22 Juni 2011] Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
28
Kelompok Industri
Industri Kelapa Sawit
Industri Kakao dan Coklat
Jangka Menengah
Jangka Panjang
• Mendorong pelaksanaan revitalisasi perkebunan kelapa sawit (intensifikasi dan ekstensifikasi); • Memanfaatkan produk samping biodiesel berbasis Crude Palm Oil (CPO) sebagai pengembangan industri oleokimia hilir; • Meningkatkan jaminan pasokan CPO untuk bahan baku industri turunan sawit dalam negeri; • Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri berbasis kelapa sawit; • Meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional; • Meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia turunan kelapa sawit yang terintegrasi; • Mengembangkan industri yang memanfaatkan limbah industri kelapa sawit.
• Meningkatkan diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber bahan baku dan sumber energi industri oleokimia; • Melakukan revitalisasi perkebunan kelapa sawit; Meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional; • Meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia berbasis kelapa sawit; • Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri kimia berbasis kelapa sawit; • Mengembangkan kawasan industri kelapa sawit terpadu di sentra produksi kelapa sawit; • Meningkatkan penggunaan sistem teknologi informasi pada industri berbasis kelapa sawit; • Mengembangkan pusat unggulan perkelapasawitan. • Mengembangkan produk-produk kakao non pangan; • Membangun pusat-pusat pengembangan industri kakao di sentra-sentra produksi; • Mempromosikan industri hilir/turunan dari produk kakao.
• Meningkatkan jaminan pasokan bahan baku; Melakukan diversifikasi produk kakao dan coklat olahan; • Melakukan optimalisasi kapasitas industri kakao dalam negeri; • Meningkatkan mutu biji kakao fermentasi dan produk kakao (Good Manufacturing Practices (GMP), Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikasi Halal) dan penerapan sertifikasi produk (SNI); • Meningkatkan kerjasama internasional (pasar, teknologi, promosi dan investasi); • Mengembangkan teknologi pengolahan kakao; • Meningkatkan kompetensi SDM.
Kelompok industri ini keberadaannya masih sangat tergantung pada sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) tidak terampil, ke depan perlu direstrukturisasi dan diperkuat agar mampu menjadi Industri Kelas Dunia. Industri-industri andalan masa depan, meliputi: Industri Agro, (industri pengolahan kelapa sawit; pengolahan hasil laut; pengolahan karet; pengolahan kayu, pengolahan tembakau; pengolahan kakao dan coklat, pengolahan buah, pengolahan kelapa, pengolahan kopi; Pulp dan Kertas)”. Berikut adalah daftar lokasi pengembangan indistri pengolahan yang direncanakan dalam Perpres No 28 tahun 2008:1
29
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Keterangan: Dilingkari/diblok merah muda maupun elips adalah lokasi pengembangan industri pemgolahan wilayah Sumatera Utara dengan jumlah industri 9 untuk pengembangan industri pengolahan komoditi kelapa sawit. Pengembangan ini kini telah dimulai di kawasan industri sawit Sei Mangke, kecamatan Bosar Maligas, kabupaten Simalungun. Sumber Tabel: Diolah dari Lembaran Perpres No 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.
Kebijakan ini juga didukung oleh peraturan sebelumnya seperti Peraturan Direktur
Jendral Perkebunan Nomor 65/Kpst/HK/330/8/06
tentang Pedoman
Pengeluaran atau Pemasukan Benih Kelapa Sawit dari atau ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam Perpres No 28 tahun 2008, jelas diakui oleh negara bahwa tulang punggung industri nasional yang berbasis pada industri agro sangat tergantung dengan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang tidak trampil. Hal ini membuktikan bahwa untuk memacu industrialisasi nasional yang berbasis pada agro yang berkelas dunia untuk masa depan, negara secara tidak langsung telah memaksakan kehendak dalam mengarahkan komoditi yang ditanam oleh petani pada jenis-jenis komoditi agro yang telah disebut pada Perpres No 28 tahun 2008 ini. Dalam Perpres ini tersebutkan 7 kali kata “lingkungan hidup� dan kata-kata “industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup� namu tidak dijelaskan secara
30
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
rinci bagaimana aturan yang jelas tentang cara industri menjaga lingkungan hidup, dalam Perpres terkesan kata-kata menjaga lingkungan hidup hanya sebagai semboyan dalam peraturan yang mungkin tidak akan dilaksanakan, karena Perpres terkesan memfokuskan peraturan pada peningkatan ekonomi makro nasional. Menurut hemat tim riset karena industri yang berbasis agro sangat tergantung pada sumber daya alam, terutama ketersediaan lahan sebagai media tanam maka sangat perlu dirancang pola indistri agro yang amat tepat dengan jenis tanaham yang amat beragam untuk tetap menjaga sumberdaya alam (SDA) yang berkelanjutan, tetap terjaga kualitas dan kuantitasnya dengan pilihan industri agro yang memiliki daya dukung lingkungan tinggi. Kebun tanaman campuran (polikultur) adalah jawabannya. Jika memang sumber daya manusia (SDM) petani pekebun Indonesia tidak trampil mengelola sektor agro untuk meningkatkan industri nasional yang berbasis agro, jangan paksakan. Karena petani telah mendapat pengetahuannya dari nenek moyang mereka terhadap komoditi pilihan sendiri yang ditanam. Kecuali pada petani generasi baru yang dapat di upgrade pengetahuannya mengarah pada budidaya komoditi yang diunggulkan negara (seperti tertera pada Perpres). Sekali lagi, untuk kawasan petani pekebun tradisional dataran tinggi, daerah DAS dan daerah tangkapan air, tanaman campuran polikultur adalah jawaban terbaik untuk sumberdaya alam dan lingkungan lebih lestari.
Perkebunan kelapa sawit syarat dengan masalah, antara lain; masalah buruh yang masih menerapkan semi perbudakan di perkebunan di Kalimantan, bahkan buruh usia anak didatangkan dari Nias untuk menjadi pekerja. Minimnya penghasilan pekebun sawit petani kecil karena permainan harga oleh pabrikan dan pembeli (agen). Perbandingan luas kebun yang dikelola suasta (lokal dan asing) 52,73%, negara 11,69% dan milik rakyat 35,56%, dari keseluruhan luas areal perkebunan sawit yang ada di Indonesia sebesar 7,508 juta ha (tahun 2009)11. Dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat terhadap perkebunan sawit ini maka non government organisation (NGO) di Indonesia yang dimotori oleh perkumpulan Sawit Watch, sebuah lembaga yang sangat konsern terhadap masalah 11 Diolah dari Dirjenbun Deptan 2009 dan bulletin Tandan Sawit edisi III (Juli-September 2010), edisi IV (Oktober-Desember 2010) dan Edisi I 2011. Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
31
kebun kelapa sawit di Indonesia merekomendasikan pada pemerintah untuk moratorium pembangunan perkebunan sawit maha luas, bertepatan diperingatinya 100 tahun kelapa sawit ada di Indonesia pada bulan Maret 2011 lalu di Medan. Untuk perbandingan rata-rata perkebunan sawit menghasilkan 2 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per bulan. Jika dikalikan dengan 1 tahun maka 24 ton per hektar. Jika dikonversi dengan harga sekarang (tahun 2011) rata-rata Rp 1,000,/kilogram maka akan diperoleh hasil Rp 24,000,000,- dalam setahun. Hasil ini masih merupakan hasil kotor, belum dikurangi dengan pengeluaran pupuk kimia yang sangat mahal harganya, perawatan dll. Rata-rata perkebunan sawit akan mengeluarkan 40% biaya perawatan dan pemupukan. Maka jika hasil di atas dikurangi 40%, petani akan memperoleh hasil pertahun Rp 14,400,000,-12. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik ketetapan MPR RI, UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Surat Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Surat Keputusan Sekjen yang terkait dengan kehutanan dan perkebunan sangat banyak keluar setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan intensitas kepentingan di dalam bidang ini. Dilakukan kajian matrix pada keputusan dan peraturan terkait tentang perkebunan yang dikeluarkan pada tahun 1999 dan 2000 saja dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel Peraturan Tahun 1999: No 1 2 3 4 5
Nomor Peraturan IV/MPR/1999 22 Thn 1999 25 Thn 1999 41 Thn 1999 6 Thn 1999
6 7 8
7 Thn 1999 8 Thn 1999 74 Thn 1999
9
136 Thn 1999
10
48 Thn 1999
11 12 13 14
63 Thn 1999 355/M Thn 1999 10 Thn 1999 146/Kpts-II/99
12
Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Pemerintahan Daerah Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kehutanan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan hasil Hutan pada Hutan Produksi Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundangundangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform Pencabutan Keppres No. 44 Tahun 1994 Tentang ……………….? Pemberdayaan Usaha Menengah Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan
Jenis Aturan Ketetapan MPR-RI UU UU UU PP PP PP PP Keppres Keppres Keppres Keppres Instruksi Presiden SK Menhutbun
Hasil analisis dan olah data tim riset dari pengalaman petani sawit yang diwawancara mendalam. Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
32
15 16 17
279/Kpts-II/1999 385/Kpts-II/1999 449/Kpts-II/1999
18
461/Kpts-II/1999
19
465/Kpts-II/1999
20 21
614/Kpts-II/1999 951/MenhutbunII/1999
Pembinaan Wilayah di Bidang Kehutanan Penetapan Lola Merah (Trochus niloticus) sebagai Satwa Buru Pengelolaan Burung Walet (Collocalia) di Habitat Alami (In-Situ) dan Habitat Buatan (Ex-Situ) tentang Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru Hak Pemanfaatan Hutan Untuk Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Campuran Percepatan Kegiatan Operasional Lapangan Hasil Redesign Hak Pengusahaan Hutan
SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun Instruksi Menhutbun
Diolah dari data: http://www.dephut.go.id [diambil tanggal 22 Juni 2011] Tabel Peraturan Tahun 2000: No 1
Nomor Peraturan 25 Thn 2000
2 3 4 5
84 Thn 2000 289/M Thn 2000 No ……………? 055/Kpts-II/2000
6
063/Kpts-II/2000
7 8
070/Kpts-II/2000 084/Kpts-II/2000
9
104/Kpts-II/2000
10
132/Kpts-II/2000
11
No ……………?
12 13
151/Kpts-II/2000 153/Kpts-II/2000
14
213/Kpts-VIII/2000
15
59 /Kpts-II/2000
16
11/Kpts/II-Kum/2000
17
22/Kpts/II-KUM/2000
18
No. 35/Kpts/IIKUM/2000
19
KP.150/606/B/VII/2000 dan No. 57/Kpts/IIKum/2000
33
Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom Tentang …………? Tentang …………? Pedoman, Kriteria Standar Perlindungan Ikan Raja Laut (Latimeria menadoensis) Sebagai Satwa yang Dilindungi Tata Hubungan Kerja Instansi Kehutanan dan Perkebunan di Wilayah dengan Unit Perum Perhutani Tentang …………? Penangguhan Pemberlakuan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 310/Kpts-II/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar Pemberlakuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) Sebagai Pengganti Dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB), Surat Angkutan Kayu Olahan (SAKO) dan Surat Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (SAHHBK) Penetapan Jenis Komoditas Tanaman Perkebunan Pembentukan Badan Koordinasi Kesejahteraan Pegawai lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan Rencana Stratejik Departemen Kehutanan dan Pekebunan Tahun 2001 - 2005 tentang Pembentukan Tim Tindak Lanjut Rencana Aksi Inter Departemental Commitee Forestry (IDCF) tentang Pembentukan Tim Pembahas Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Perkebunan Pembentukan Tim Penyempurnaan RPP Tindak Lanjut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pembentukan Tim Penyempurnaan Peraturan Perundangundangan Bidang Kehutanan dan Perkebunan yang Tidak Sesuai Dengan Program Reformasi Tim Penyusun Rancangan Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan & tentang Kebijakan dan Pembinaan Usaha Tani Tanaman Pangan, Tanaman Hortikultura dan Tanaman Perkebunan
Jenis Aturan PP Keppres Keppres SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Menhutbun SK Sekjen Dephutbun SK Sekjen Dephutbun SK Sekjen Dephutbun SK Bersama Sekretaris Jenderal Deptan dan Sekretaris Jenderal
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Dephutbun
Diolah dari data: http://www.dephut.go.id [diambil tanggal 22 Juni 2011] Dalam peraturan yang berada dalam lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan ini pengaturan tentang kehutanan dan isinya lebih banyak dari pada pengaturan tentang perkebunan, atau bahkan perlindungan perkebunan rakyat. Juga sangat minim pengaturan tentang perkebunan yang memiliki daya dukung tinggi terhadap konservasi lingkungan (dapat dijadikan pijakan atas pembangunan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan). Dalam analisis peraturan yang dikeluarkan selama 2 tahun tentang kehutanan dan perkebunan hanya ditemukan 1 pengaturan (dalam tabel peraturan tahun 1999) yang diblok dengan warna kuning. Jika dibandingkan aantara kebun monokultur kelapa sawit dengan kebun polikultur, perhutungan terkecil untuk hasil pertanian/kebun tanaman campuran polikultur dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel Penilaian Ekonomis Pertanian Polikultur dalam Hamparan 1 Hektar Lahan: No 1 2 3 4 5 6
Jenis Tanaman Durian Duku Petai Pinang Kakao Ternak
Populasi Tanaman (batang) 10 10 10 100 600 5 Total
Produksi/ th/btg/ekor 100 Buah 500 Kg 20 Papan 3.5 Kg 1.4 Kg 5 Ekor
Harga Satuan (Rp) 5,000 * 5,000 * 2,500 * 3,500* 17,000 * 500,000 *
Jlh Pendapatan/ tahun (Rp) 5,000,000 25,000,000 500,000 1,225,000 14,280,000 12,500,000 58,505,000
Keterangan: Dalam tabel penghitungan nilai ekonomis polikultur ini belum termasuk panen kayu seperti durian, duku, petai, dll. yang akan dilakukan dalam 10 hingga 15 tahun usia tanaman besar sebagai pelindung tanaman di bawahnya. *Perkiraan harga terendah petani menolak ke pasar/pengumpul.
Perbandingan penghasilan petani monokultur kelapa sawit dan polikultur (kebun tanaman campuran, penghitungan secara kasar pertahun adalah: Rp 14,400,000,- untuk kebun monokultur kelapa sawit dan Rp 58,505,000,- untuk kebun polikultur dengan maksimalisasi kakao. Tabel Keunggulan dan kelemaham Monokultur sawit dan polikultur: No 1
Sektor Membangun Kebun
2
34
Monokultur Sawit Polikultur c) Biaya cukup tinggi. c) Biaya rendah. d) Pengerjaan sekaligus. d) Pengerjaan bertahap. e) Panen hasil 1 bulan 2 – 3 kali. e) Setiap hari panen f) Perawatan pembersihan gulma 4 bulan 1 f) Perawatan pembersihan gulma 4 bulan 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tenaga Kerja
3 4
5 6
7
kali. g) Pemupukan 3 bulan 1 kali. h) Tenaga kerja dari luar keluarga dan dibayar. Hasil Hanya dari 1 sumber (TBS) Rp 14,400,000,-/tahun f) Sumber air habis, kering. g) Keanekaragaman hayati hewan rusak karena rantai makanan hewan terputus (hewan yang hidup hanya jenis tertemtu saja). h) Keanekaragaman hayati tumbuhan (termasuk jasad renik) hancur karena monokultur dan jasad renik berkurang Lingkungan drastis saat pengolahan tanah, pupuk kimia dan berbagai jenis sida (racun kimia). i) Tegakan pohon hanya 1 jenis, tidak dihitung sebagai hutan. Kurang berkontribusi terhadap reduksi global warming. j) Terbiasa dengan budaya alat dan bahan kimia yang dibeli. Hama/penyakit Lebih sedikit serangan hama dan tanaman penyakit. c) Antar petani kurang berinteraksi karena kebutuhan alat dan bahan diperoleh Sosial dari membeli. d) Karena intensitas pekerjaan kecil badan petani jadi kurang gerak sehingga kurang sehat. Budaya Tidak terpelihara kebiasaan lama budaya lokal dan kearifan lokal.
kali. g) Pemupukan organik 3 bulan 1 kali h) Tenaga kerja dari anggota keluarga. Dari banyak sumber (tanaman campuran) Rp 58,505,000,-/tahun f) Sumber air terjaga dengan baik. g) Keanekaragaman hayati hewan terjaga baik karena rantai makanan hewan tersedia (berbagai hewan dapat hidup di dalamnya). h) Keanekaragaman hayati tumbuhan (termasuk jasad renik) terjaga baik karena tidak menggunakan olah tanah, pupuk dan racun kimia. i) Tegakan pohon berbagai jenis dan termasuk sebagai hutan produksi yang memiliki daya dukung lingkungan tinggi. Sangat berkontribusi terhadap reduksi global warming. j) Memanfaatkan ketersediaan di lamam sekitar untuk bahan organik. Lebih banyak serangan hama dan penyakit. c) Interaksi antar petani tinggi karena saling membutuhkan dan tukar ketersediaan bahan. d) Karena intensitas pekerjaan besar badan petani jadi banyak gerak sehingga sehat. Terpelihara kebiasaan lama budaya lokal dan kearifan lokal.
VI. METODOLOGI & TEKNIS RISET 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan sepenuhnya di daerah/di kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang dengan metode penentuan daerah secara purposive yaitu memilih daerah yang menerapkan usahatani polikultur dan monokultur. Utamanya di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah berbukit dan berlembah (slave and hill) di dataran tinggi.
2. Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini yaitu petani yang menerapkan pola usaha tani polikultur dan monokultur. Penentuan sampel menggunakan metode Cluster Sampling,
35
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
yaitu dengan membagi populasi atas kelompok berdasarkan area (cluster) dan tidak perlu populasinya homogen. Setelah itu pengambilan sample dapat dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah sampel pola usahatani polikultur dan monokultur disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yang dipadukan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Data primer kuantitatif diperoleh dari wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Sedangkan data primer kualitatif didapatkan dari hasil wawancara mendalam (dept interview) dengan aparatur desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka pertanian di desa Dll. Kuesioner berperan sebagai pedoman umum untuk mengingatkan peneliti agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait, seperti: Kantor Kepala Desa, Kantor Kecamatan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian dll.
4. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode survey, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif melalui pendekatan konsep ekonomi. Untuk mengetahui perbandingan secara ekonomi tingkat keuntungan yang diperoleh pola polikultur dan monokulktur dianalisis dengan menghitung pendapatan usaha tani pada masing-masing pola.
5. Waktu Pelaksanaan Studi ini dilakukan selama 3,5 bulan (14 minggu), terhitung Januari 2011 sampai akhir April 2011.
6.
Penanggungjawab Penanggung jawab kegiatan studi ini adalah BITRA Indonesia melalui Ketua
Badan Pengurus cq Divisi Research & Development (R&D) BITRA Indonesia, di bawah koordinasi Iswan Kaputra (BITRA Indonesia), Dr. Ir. M. Idris, M.P (expert
36
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Agroekologi, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Al-Wasliyah Medan, Manajer Penelitian dan Pengembangan Growth Centre Medan) & Ir. Supriadi, MS (expert Sosial Ekonomi Pertanian FP USU).
7.
Tim Studi Terlibat dalam studi ini adalah tim studi BITRA Indonesia dan expert/konsultan
yang ditunjuk beserta timnya. Team peneliti terdiri dari: 3. Dr. Ir. M. Idris, M.P (expert Agroekologi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Al-Wasliyah Medan & Manajer Penelitian dan Pengembangan Growth Centre Medan). 4. Ir. Supriadi, MS (expert Sosial Ekonomi Pertanian). 5. Iswan Kaputra (RD-ICT BITRA Indonesia). 6. Hawari & Rosmawati (Div. Advokasi BITRA Indonesia). 7. Listiani (Manager Bidang Comdev) dan staf lapangan Deli Serdang BITRA Indonesia. 8. 4 orang enumerator (1. Elfa Suharti Harahap. 2. Nirwansyah Sukartara. 3 Muhammad Sahbainy Nasution. 4. Abdillah ). 9. 1 orang data entry (Lily Elfenda – Data Entry Lembaga Survey Indonesia [LSI] Sumatera Utara).
10. Anggaran Biaya Riset ini dibiayai oleh BITRA Indonesia dengan nilai nominal yang dihabiskan sebesar Rp 34,200,000,- (tiga puluh empat juta dua ratus ribu rupiah).
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari questioner yang disebarkan diperoleh keragaman, letak dan lokasi kebun, pola dan jenis usahat tani, indikasi perubahan lingkungan, keterlibatan berbagai pihak, gender dan persoalan manajerial dalam pola pertanian polikultur.
A. Keragaman responden
37
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Responden yang terpilih secara acak berjumlah 200 orang yang dari hasil riset ditemukan jumlah petani tergolong atas dua model pertanian kebun, terdiri dari 68 orang (34%) sebagai petani monokultur dan 132 orang (66%) sebagai petani polikultur (kebun tanaman campuran). Distribusi responden menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Chart 1.1. Petani responden terbesar berasal dari Kecamatan Galang dan Bangun Purba menurut pola monokultur masing-masing sebesar 34 responden. Sedangkan dari pola polikultur, responden terbesar berasal dari kecamatan Namorambe dan Pancur Batu masing-masing sebesar 50 responden. Tabel 1.1. Distribusi responden menurut kecamatan Kecamatan
Monokultur Jumlah %
Polikutlur Jumlah %
Total Jumlah %
Namo Rambe
8
12
32
24
40
20
Pancur Batu
9
13
31
23
40
20
Sibolangit
5
7
15
11
20
10
Galang
23
34
27
20
50
25
Bangun Purba
23
34
27
20
50
25
Jumlah
68
100
132
100
200
100
Distribusi responden menurut kecamatan 40% 35% persentase
30% 25%
Mono kultur
20% 15%
Polikultur Total
10% 5% 0% Namo Rambe
Pancur Sibolangit Galang Batu
Bangun Purba
Chart 1.1. Distribusi responden menurut kecamatan Banyaknya responden menurut desa dapat dilihat pada Tabel 1.2 dan Chart 1.2. Secara umum total responden relatif menyebar merata disetiap desa, sedangkan menurut pola kultur terdistribusi sesuai dengan pola kultur yang ada di lapang.
38
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Foto-1: Aktifitas Riset
Enumerator (Nirwan & Elfa) wawancara dengan salah seorang responden petani polikultur di Desa Sungai Buaya, Kecamatan Bangun Purba, Deli Serdang.
Foto-2: Kantor Desa Damak Maliho
Kantor Desa Damak Maliho, Bangun Purba yang tersembunyi di belakang Musholla. Salah satu desa sample riset yang terletak di dataran tinggi dan daerah aliran singai (DAS).
Tabel 1.2. Distrbusi responden monokultur/polikultur menurut desa Desa Namo Pakam Namo Pinang Kuta Tengah Namo Landur
39
Monokultur 1 0 3 4
Polikultur 9 10 7 6
Total 10 10 10 10
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Durin Sembilang Durin Tongsal Tiang Layar Sayum Saba Kuala Paya Itik Paku Pertangguhan Sukadamai Kelapa I Mabar Sei Buaya Suka lawe Damai Maliho Sialang Total
2 5 2 3 2 3 4 5 5 6 4 4 4 6 5 68
8 15 8 7 8 7 6 5 5 4 6 6 6 4 5 132
10 20 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 200
Sebaran sampel petani 16 Banyaknya responden
14 12 10
Monokultur
8
Polikultur
6 4 2
Na m o Na Pa m ka o m K u P in ta an Na Te g Du mo nga rin L h Se and Du mb u r rin ila T ng Ti ong an s Sa g L al yu a y m ar Sa ba Ku Pa ala ya Iti k Pe rta Pa ng ku Su guh ka a n da m Ke ai la pa M I Se ab i B ar Su ua y Da ka a m law ai M e al i Si ho al an g
0
Desa
Chart 1.2. Distribusi responden menurut pola kultur dan desa. Menurut kelompok umur, petani pola monokultur didominasi oleh kelompok umur > 60 tahun, sedangkan pada pola polikultur didominasi oleh kelompok umur 40 – 60 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa usia petani mempengaruhi kepada motivasinya dalam berusahatani.
Bagi petani yang kelompok umur > 60 tahun bertani hanya
bertujuan untuk subsisten saja, sedangkan bagi petani kelompok umur 40 – 60 tahun berusahatani sudah untuk berorientasi kepada bisnis. Distribusi responden menurut kelompok umur dan pola kultur dapat dilihat pada Tabel 1.3 dan Chart 1.3.
40
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tabel 1.3. Distribusi responden menurut pola kultur dan kelompok umur Kelompok umur (tahun)
Monokultur Jumlah % 2 3 14 21 14 21 18 26 20 29 68 100
<30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 > 60 Jumlah
Polikutlur Jumlah % 8 6 21 16 38 29 40 30 25 19 132 100
Total Jumlah 10 35 52 58 45 200
% 5 18 26 29 23 100
Distribusi responden menurut kelompok umur (tahun) 35%
Persentase
30%
<30
25%
30 - 40
20%
40 - 50
15%
50 - 60
10%
> 60
5% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 1.3. Distribusi responden menurut kelompok umur dan pola kultur Menurut tingkat pendidikan, petani pola monokultur didominasi berpendidikan tamat SD sedangkan petani pola polikultur didominasi pendidikan tamat SLTP. Bahkan untuk petani berpendidikan sarjana persentase petani polikutlur lebih tinggi dibanding petani pola monokultur. Penyebaran petani menurut tingkat pendidikan dan pola kultur dapat dilihat pada Tabel 1.4. dan Chart 1.4. Tabel 1.4. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan dan pola kultur Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA S 1 ( Sarjana) Jumlah
41
Monokultur Jumlah (%) 11 16 21 31 17 25 16 24 3 4 68 100
Polikultur Jumlah (%) 17 13 30 23 40 30 36 27 9 7 132 100
Total Jumlah (%) 28 14 51 26 57 29 52 26 12 6 200 100
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Distribudi responden menurut tingkat pendidikan 35%
Persentase
30% Tidak Tamat SD
25%
Tamat SD
20%
Tamat SLTP
15%
Tamat SLTA
10%
S 1 ( Sarjana)
5% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 1.4. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan Sebahagian besar petani, baik pola monokultur dan polikultur tidak memiliki tanggungan dalam keluarga, menyusul tanggungan sebesar 2 dan 3 jiwa, seperti yang terlihat pada Tabel 1.5 dan Chart 1.5. Tabel 1.5. Banyaknya tanngungan petani menurut pola kultur Tanggungan Tidak ada 1 Jiwa 2 Jiwa 3 Jiwa 4 Jiwa 5 Jiwa 6 Jiwa 7 Jiwa Jumlah
Monokultur Jumlah (%) 19 28 9 13 7 10 15 22 9 13 3 4 4 6 2 3 68 100
Polikultur Jumlah (%) 32 24 25 19 29 22 26 20 11 8 4 3 4 3 1 1 132 100
Total Jumlah 51 34 36 41 20 7 8 3 200
(%) 26 17 18 21 10 4 4 2 100
Distribusi responden menurut besarnya tanggungan (jiwa) 30%
Tidak ada
Persentase
25%
1 Jiwa
20%
2 Jiwa
15%
3 Jiwa
10%
4 Jiwa 5 Jiwa
5%
6 Jiwa
0% Mono kultur
Polikultur
Total
7 Jiwa
Chart 1.5. Tanggungan petani menurut pola kultur
42
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
B. Letak dan kondisi kebun Letak kebun polikultur dan monokultur umumnya dekat dengan tempat kediaman, namun untuk pola polikultur lokasi kebun lebih banyak yang jauh dibanding pola monokultur. Distribusi letak kebun dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Chart 2.1. Tabel 2.1. Distribusi letak kebun petani menurut polikultur Lokasi kebun dari rumah Dekat (â&#x2030;¤ 500 m)
Sedang (501-1000 m) Jauh (â&#x2030;Ľ 1000 m)
Letak kebun Di atas bukit Di punggung bukit Di dasar bukit Di atas bukit Di punggung bukit Di dasar bukit Di atas bukit Di punggung bukit Di dasar bukit
Jumlah
Monokultur Jumlah (%) 11 16 10 15 33 50 1 1 1 1 4 6 3 4 2 3 3 4 68 100
Polikultur Jumlah (%) 28 20 25 19 48 36 10 8 3 2 2 2 14 11 1 1 1 1 132 100
Total Jumlah (%) 39 20 35 18 81 41 11 6 4 2 6 3 17 8 3 1 4 1 200 100
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur
DEKAT (â&#x2030;¤ 500 M)
SEDANG (501-1000 M)
di dasar bukit
di punggung
diatas Bukit
di dasar bukit
di punggung
diatas Bukit
di dasar bukit
di punggung
Total
diatas Bukit
Persentase
Keragaan lokasi kebun responden
JAUH (â&#x2030;Ľ 1000 M)
Chart 2.1. Distribusi letak kebun menurut pola kultur Dilihat dari letak kebun dengan jarak sungai terdekat, sebahagian besar berjarak hingga 0,5 KM saja. Namun, kebun monokultur lebih dekat jaraknya dengan sungai dibanding pola polikultur. Distribusi jarak kebun dengan sungai terdekat dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Chart 2.2. Tabel 2.2. Distribusi jarak kebun dengan sungai Jarak kebun ke sungai < 100 M 100 M - 500 M
43
Monokultur Jumlah (%) 20 29 27 40
Polikultur Jumlah (%) 31 23 51 39
Total Jumlah (%) 51 26 78 39
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
501 M - 1000 M > 1000 M (1 Km) Total
12 9 68
18 13 100
28 22 132
21 17 100
40 31 200
20 16 100
Persentase
Keragaan jarak kebun responden ke sungai terdekat 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
< 100 M 100 M - 500 M 501 M - 1000 M > 1000 M (1 Km)
Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 2.2. Distribusi jarak kebun dengan sungai Foto-3: Sub DAS Buaya, DAS Ular
DAS Buaya, sub DAS Ular di desa Sungai Buaya, bangun Purba. Ciri khusus sungai di pegunungan/dataran tinggi yang berbatu cadas.
44
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Kebun petani pada umumnya berkemiringan datar dan landai, hanya sebahagian kecil kebun yang berkemiringan curam atau sangat curam. Kebun petani polikultur lebih banyak yang berlereng curam dibanding kebun petani monokultur. Distribusi kemiringan lereng kebun petani dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Chart 2.3. Tabel 2.3. Distribusi kemiringan lereng kebun menurut pola kultur Kemiringan lereng kebun Datar (0 â&#x20AC;&#x201C; 3o) Landai (8-15o) Miring (15-25o) Curam (2545o) Total
Monokultur Jumlah (%) 33 49 20 29 10 15 5 7 68
100
Polikultur Jumlah (%) 69 52 27 20 26 20 10 8 132
100
Total Jumlah (%) 102 51 47 23 36 18 15 8 200
100
Keragaan kemiringan lereng kebun responden
Persentase
60% 50%
Datar
40%
8-15 derajat kemiringan (landai)
30% 20%
15-25 derajat kemiringan (miring)
10%
25- 45 derajat kemiringan (curam)
0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 2.3. Distribusi kemiringan lereng menurut pola kultur C. Pola Tani Secara umum luas kebun yang diusahakan kebanyakan mendekati 1 ha lebih, baik pada kebun berpola monokultur maupun polikultur. Luas kebun yang besar lebih banyak ditanami polikultur dibanding monokultur. Kebun seluas 1 ha lebih hanya diusahakan oleh 18% pekebun, seperti yang terlihat pada Tabel 3.1 dan Chart 3.1 dibawah ini. Tabel 3.1. Distribusi luas kebun garapan petani menurut pola kultur. Luas Lahan (m2) â&#x2030;¤ 1000 1001-2000 2001-3000 3001-4000
45
Monokultur Jumlah (%) 0 0 7 10 6 9 9 13
Polikultur Jumlah (%) 8 6 15 11 13 10 13 10
Total Jumlah (%) 8 3 22 10 19 10 22 11
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
4001-5000 5001-10.000 10.001-20.000 20.001-30.000 > 30.000 Jumlah
9 24 9 1 3 68
13 35 15 1 4 100
20 37 18 3 5 132
15 28 16 2 4 100
29 61 27 4 8 200
15 31 14 2 4 100
Persentase
Keragaan kebun responden menurut kelompok luas lahan 40% 35%
â&#x2030;¤ 1000
30% 25%
2001-3000
1001-2000 3001-4000
20% 15% 10%
4001-5000 5001-10.000 10.001-20.000
5% 0%
20.001-30.000 Mono kultur
Polikultur
Total
> 30.000
Chart 3.1. Distribusi luas kebun menurut pola kultur Foto-4: Kebun Polikultur
Kebun pola polikultur (tanaman campuran) di kawasan sub DAS Petani. DAS Deli Desa Namo Pinang,Kecamatan Namo Rambe, dataran tinggi Deli Serdang.
46
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Jenis tanaman yang diusahakan pada pola monokultur yang terbanyak adalah karet, kelapa sawit dan coklat. Sedangkan pada pola polikultur jenis tanaman yang diusahakan lebih beragam dengan tanaman utama adalah coklat, durian, kelapa, pinang, pisang, rambutan, duku, manggis, papaya, jambu dan berbagai tanaman lainnya. Bervariasinya jenis tanaman pada pola polikultur menunjukkan bahwa petani sudah melaksanakan diversifikasi tanaman sehingga memperkecil resiko panen dan memberikan tambahan pendapatan dalam usahataninya. Keragaan jenis tanaman yang diusahakan dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan Chart 3.2. Tabel 3.2. Jenis tanaman utama menurut pola kultur Jenis tanaman Coklat Durian Kelapa Pinang Karet Duku Sawit Pisang Rambutan Manggis Pepaya Jambu
Monokultur Jumlah (%) 4 6 0 0 6 9 2 3 27 42 0 0 18 28 3 5 0 0 0 0 1 2 1 2
Polikultur Jumlah (%) 113 21 80 15 61 11 57 10 17 3 40 7 20 4 29 5 21 4 16 3 13 2 10 2
Total Jumlah (%) 117 19 80 13 67 11 59 10 44 7 40 7 38 6 32 5 21 3 16 3 14 2 11 2
Keragaan jenis tanaman mayoritas responden 45% 40% Persentase
35% 30%
Mono kultur
25%
Polikultur
20%
Total
15% 10% 5%
D
C
ok l
at ur ia n Ke la p Pi a na ng Ka re t D uk u Sa w Pi i t sa n R am g bu t M an an gg i Pe s pa y Ja a m bu
0%
Chart 3.2. Jenis tanaman utama yang diusahakan menurut pola kultur
47
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Para petani dalam mengelola kebunnya memperoleh informasi dari orangtua atau turun temurun terutama bagi petani pola polikultur. Hal ini menunjukkan peran leluhur dalam pengelolaan pola polikultur. Selain dari leluhur, informasi pola polikultur ini diperoleh juga dari sesama petani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berdasarkan kondisi tentang pengelolaan kebun baik dengan pola monokultur ataupun pola polikultur menunjukkan bahwa peran lembaga luar (pemerintah maupun lembaga lain) perlu lebih diaktifkan sehingga petani di dalam mengelola kebunnya sudah berorientasi ke masa depan dengan pertanian atau agribisnis yang berwawasan lingkungan. Perolehan informasi pola kultur petani dapat dilihat pada Tabel 3.3 dan Chart 3.3. Tabel 3.3. Sumber informasi pola kultur Informasi Turun temurun Dinas Pertania/penyuluh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bacaan (buku, majalah, bulletin) Sesama petani Lainnyaâ&#x20AC;Ś Jumlah
Monokultur Jumlah (%) 33 49 3 4 0 0 1 1 23 34 8 12 68 100
Polikultur Jumlah (%) 70 53 0 0 6 5 3 2 32 24 21 16 132 100
Total Jumlah 103 3 6 4 55 29 200
(%) 51 2 3 2 28 14 100
Persentase
Sumber informasi polatanam responden 60%
Turun temurun
50%
Dinas Pertania/penyuluh
40%
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
30% 20%
Bacaan (buku, majalah, bulletin)
10%
Sesama petani
0% Mono kultur
Polikultur
Total
Lainnyaâ&#x20AC;Ś
Chart 3.3. Sumber informasi pola kultur Petani menggunakan pola monokultur sebahagian besar dikarenakan lebih mudah mengelola dan memeliharanya. Sedangkan pemilihan pola polikultur
48
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
sebahagian besar petani beralaskan kemudahan mengolah dan keuntungan yang lebih besar. Distribusi alasan pemilihan pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan Chart 3.4. Tabel 3.4. Alasan pemilihan pola kultur Alasan menganut pola Lebih mudah mengelolahnya Keuntungannya lebih besar Pemeliharaannya lebih mudah Pemeliharaannya lebih murah Waktu mengurusknya efektif Lebih murah, mudah dan untung Luas lahannya sedikit
Monokultur jumlah (%) 22 33 16 24 22 32 2 3 1 1 1 1 4 6 68 100
Polikultur jumlah (%) 37 27 42 32 18 14 4 3 9 7 22 17 0 0 132 100
Total jumlah (%) 59 29 58 29 40 20 6 3 10 5 23 12 4 2 200 100
35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
Mono kultur Polikultur
Luas lahannya sedikit
Lebih murah, mudah dan untung
Waktu mengurusknya efektif
Pemeliharaannya lebih murah
Pemeliharaannya lebih mudah
Keuntungannya lebih besar
Total
Lebih mudah mengelolahnya
Persentase
Alasan pemakaian pola tanam
Chart 3.4. Alasan pemilihan pola kultur Petani dalam berbudidaya sebahagian menggunakan bibit yang diperoleh dari sesama petani atau membuat/membibitkan sendiri dan sebahagian kecil bibit yang diperoleh dari balai resmi pemerintah/swasta. Bahkan bagi petani pola polikultur lebih separuh (52%) petani menggunakan bibit yang diperoleh dari sesama petani. Rendahnya petani yang menggunakan bibit dari balai resmi (13%) bahkan lebih rendah dari membuat sendiri (15%) menunjukkan bahwa peran pemerintah/swasta dalam hal pembibitan kurang intensif dalam mensosialisasikan bibit-bibit yang berkualitas sehingga petani tetap menggunakan bibit yang ada. Distribusi asal bibit menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.5 dan Chart 3.5.
49
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tabel 3.5. Asala bibit menurut pola kultur Asal Bibit Balai resmi pemerintah/swasta Sesama Petani Membuat Sendiri Beli dari balai dan petani Membeli Lainnya Jumlah
Monokultur jumlah (%) 10 16 25 37 13 19 1 1 1 1 18 26 68 100
Polikultur jumlah (%) 15 11 69 52 16 12 6 5 4 3 22 17 132 100
Total jumlah (%) 25 13 94 47 29 15 7 4 5 3 40 18 200 100
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur
Lainnya
Membeli
Beli dari balai dan petani
Membuat Sendiri
Sesama Petani
Total
Balai resmi pemerintah/swasta
Persentase
Asal bibit responden
Chart 3.5. Asal bibit menurut pola kultur Dalam memelihara kebunnya, petani umumnya menggunakan berbagai jenis pupuk. Jenis pupuk yang paling banyak digunakan adalah Urea, kompos, KCL dan NPK. Bagi petani pola polikultur, jenis pupuk yang paling banyak digunakan adalah kompos, menyusul Urea dan NPK. Sedangkan jenis pupuk yang paling banyak digunakan petani pola monokultur adalah Urea, menysusul KCL dan NPK, hanya sebahagian kecil petani monokultur yang menggunakan kompos (10%). Bila dilihat dari Tabel 3.14 menunjukkan bahwa perlu sosialisasi dan manfaat penggunaan pupuk organik untuk jangka panjang terhadap kualitas tanah (sifat fisika, kimia dan biologi tanah) pada masa mendatang. Distribusi jenis pupuk yang digunakan menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.6 dan Chart 3.6. Tabel. 3.6. Jenis pupuk yang digunakan menurut pola kultur Jenis pupuk UREA
50
Monokultur jumlah (%) 45 31
Polikultur jumlah (%) 45 23
Total jumlah (%) 90 26
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
SP36 KCL NPK KOMPOS ZA TSP Lainnya
0 24 16 15 0 0 45
0 17 11 10 0 0 31
0 16 37 55 0 1 45
0 8 19 28 0 1 21
0 40 53 70 0 1 90
0 12 15 21 0 0 26
Jenis pupuk yang digunakan responden 35%
Persentase
30% 25%
Mono kultur
20%
Polikultur
15%
Total
10% 5%
ny a La in
TS P
ZA
PK KO M PO S
N
L KC
SP 36
U
RE A
0%
Chart 3.6. Jenis pupuk yang digunakan menurut pola kultur Pupuk organik (kompos) yang digunakan petani sebahagian besar dibeli, membuat sendiri dan hanya sebahagian kecil (10%) yang memperolehnya dari pupuk yang disubsidi pemerintah. Petani pola monokultur dan polikultur perolehan pupuk organik hampir sama, hanya saja bagi petani polikultur perolehan pupuk organik dari subsidi pemerintah lebih besar. Hal itu menunjukkan pelatihan baik dari pemerintah/swasta tentang pembuatan pupuk organik dengan berbagai sumber perlu dilakukan secara berkala sehingga memberikan pemahaman kepada petani sehingga mereka dapat memperkecil biaya usahataninya denngan membuat sendiri pupuk organik tersebut. Distribusi asal pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 3.7 dan Chart 3.7. Tabel 3.7. Asal pupuk organic menurut pola kultur Asal Pupuk Organik Membeli Membuat Sendiri Subsidi Pemerintah
51
Monokultur jumlah (%) 11 7 2
41 26 7
Polikultur jumlah (%) 31 20 9
37 25 11
Total jumlah (%) 42 27 11
39 26 10
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
TT/TJ
7
26
20
25
27
25
Asal pupuk organik responden 45% 40%
Persentase
35% 30% Mono kultur
25%
Polikultur
20%
Total
15% 10% 5% 0% Membeli
Membuat Sendiri
Subsidi Pemerintah
TT/TJ
Chart 3.7. Asal pupuk organik menurut pola kultur Petani menggunakan pupuk organik dengan alasan utama pupuk organik lebih baik bagi tanaman, selebihnya karena anjuran pemerintah dan hanya sebahagian kecil yang merasakan pupuk gratis dari pemerintah. Petani pola monokultur menggunakan pupuk organik dengan alasan daripada terbuang dan sesuai dengan anjuran pemerintah, sedangkan petani polikultur lebih merasa bahwa pupuk organik memang lebih baik bagi tanaman. Banyakna petani yang menggunakan pupuk organik baik karena lebih baik untuk tanaman dan juga atas anjuran pemerintah baik untuk pola pertanaman monokultur maupun polikultur menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang manfaat dari penggunaan pupuk organik telah semakin baik.
Distribusi alasan
penggunaan pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 3.8 dan Chart 3.8. Tabel 3.8. Alasan menggunakan pupuk organik menurut pola kultur Alasan menggunakan pupuk organik Lebih tersedia di alam sekitar Lebih murah Lebih baik untuk tanaman Daripada terbuang Pupuk gratis dari Pemerintah Anjuran dari Pemerintah
52
Monokultur jumlah (%) 1 4 2 7 4 15 5 19 1 4 5 18
Polikultur jumlah (%) 5 8 1 1 26 32 13 16 1 1 23 28
Total jumlah (%) 6 6 3 3 30 28 18 17 2 2 28 26
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Lebih baik dan murah TT/TJ
2 7
7 26
2 10
2 12
4 17
4 14
35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
Mono kultur Polikultur
Lebih baik dan murah bagi
Pupuk gratis dari Pemerintah
Lebih baik untuk tanaman
Total
Lebih tersedia di alam
Persentase
Alasan menggunakan pupuk organik
Chart 3.8. Alasan menggunakan pupuk organik menurut pola kultur Foto-5: Pupuk Organik
53
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Pupuk Organik yang diolah petani dataran tinggi Sibolangit dari kulit kakao dan sampah untuk tanaman kebun polikultur. Untuk memperoleh pupuk organik petani merasa pupuk organik mudah tersedia, bahkan bagi petani monokultur merasakan ketersediaan pupuk organik lebih mudah dibanding yang dirasakan petani polikultur. Distribusi kemudahan memperoleh pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 3.9 dan Chart 3.9 Tabel 3.9. Kemudahan memperoleh pupuk organik menurut pola kultur Ketersediaan Mudah Sulit TT/TJ
Monokultur jumlah (%) 49 72 18 27 1 1
Polikultur jumlah (%) 81 61 47 36 4 3
Total jumlah (%) 130 64 65 33 5 3
Ketersediaan pupuk dan pestisida organik 80% 70% Persentase
60% 50%
Mudah
40%
Sulit
30%
TT/TJ
20% 10% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 3.9. Ketersediaan pupuk organik menurut pola kultur Salah satu sumber pupuk adalah dengan membuat sendiri. Petani umumnya merasa bahwa membuat sendiri pupuk organik lebih mudah. Petani polikultur juga memandang membuat pupuk organik sendiri lebih mudah, tetapi petani monokultur merasakan lebih mudah dibanding petani polikultur dalam membuat pupuk organik sendiri. Distribusi kemudahan membuat pupuk organik sendiri menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.10 dan Chart 3.10. Tabel 3.10. Kemudahan membuat pupuk organik menurut pola kultur Kemudahan membuat pupuk organic sendiri Mudah Sulit
54
Monokultur jumlah (%) 43 63 24 35
Polikultur jumlah (%) 62 47 67 51
Total jumlah (%) 105 53 91 45
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
TT/TJ
1
2
3
2
4
2
Kemudahan membuat pupuk & pestisida organik 70%
Persentase
60% 50% Mudah
40%
Sulit
30%
TT/TJ
20% 10% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 3.10. Kemudahan membuat pupuk organic sendiri menurut pola kultur Dalam membuat sendiri pupuk organik, sebahagian besar petani pola polikultur beralasan karena mereka mengetahui cara mebuatnya dan bahan baku mudah diperoleh. Sedangkan petani monokultur lebih merasakan karena adanya pengetahuan dalam membuat pupuk organik. Distribusi alasan membuat pupuk organik
sendiri dapat
dilihat pada Tabel 3.11 dan Chart 3.11. Tabel 3.11. Alasan membuat pupuk organik sendiri menurut pola kultur. Alasan membuat pupuk organik sendiri Pengetahuan Bahan baku Pengetahuan dan bahan baku TT/TJ
Monokultur jumlah (%) 31 46 20 29 16 24 1 1
Polikultur jumlah (%) 31 24 42 32 56 42 3 2
Total jumlah (%) 62 31 62 31 72 36 4 2
Foto-6: SL Pupuk Organik
Sekolah Lapangan (SL) untuk pembuatan pupuk organik dan mikro organisme.
55
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase
Alasan membuat pupuk & pestisida organik 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
Mono kultur Polikultur Total
Pengetahuan
Bahan baku
Pengetahuan dan bahan baku
TT/TJ
Chart 3.11. Alasan membuat pupuk organic sendiri menurut pola kultur Dalam melakukan pemupukan petani mayoritas melakukan 2 kali pemupukan dalam setahun. Petani monokultur lebih banyak yang melakukan pemupukan 2 kali dalam setahun dibanding petani pola polikultur. Bahkan sebahagian besar petani polikultur melakukan pemupukan secara tidak beraturan atau tidak menentu. Pemupukan yang teratur dilakukan oleh petani monokultur disebabkan mereka mengetahui kapan waktu dan dosis pemupukan terhadap tanamannnya. Sedangkan ketidakteraturan pemupukan dari petani polikultur dalam pemupukan disebabkan karena pertanman polikultur ada kalanya memerlukan pemupukan yang berlebih karena tanaman yang diusahakan berbeda/beragam dalam pertumbuhan dan produksinya sehingga berbeda pula waktu pemupukannnya. Distribusi frekwensi pemupukan dalam setahun dapat dilihat pada Tabel 3.12 dan Chart 3.12. Tabel 3.12. Frekwensi pemupukan menurut pola kultur. Frekwensi pemupkan per tahun 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali Tidak menentu TT/TJ
56
Monokultur jumlah (%) 11 16 30 44 9 13 8 12 10 15 0 0
Polikultur jumlah (%) 16 12 34 26 25 19 17 13 38 28 2 2
Total jumlah (%) 27 14 64 32 34 17 25 13 48 23 2 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase
Frekwensi pemberian pupuk pertahun 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
Mono kultur Polikultur Total
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
Tidak menentu
TT/TJ
Chart 3.12. Frekwensi pemupukan per tahun menurut pola kultur Dalam menentukan dosis pemupukan, petani umumnya menggunakan pengalaman petani sebelumnya, baik petani pola monokultur maupun polikultur. Bahkan sebahagian petani (24%) pola monokultur menggunakan dosis pempukan yang tidak berdasar. Selain pengalaman terdahulu, petani polikultur menggunakan pengalaman sesama petani sebagai dasar pemupukan. Berbagai sumber yang menjadi dasar dalam menentukan dosis pemupukan dapat dilihat pada Tabel 3.13 dan Chart 3.13. Tidak tepatnya dosis pemupukan disebabkan karena tanaman yang ada dari awal hingga panennya tidak menggunakan dosis pemupukan anjuran yang terjadwal sehingga penentuan dosis di dasarkan kepada kondisi tanaman di kebun. Tabel 3.13. Sumber penentuan dosis pemupukan menurut pola kultur Sumber penentuan pemupukan Dinas Pertanian/Perkebunan Pengalaman pendahulu Orang LSM Disesuaikan dengan Keu. RT Tidak berdasar Dari sesama Petani Dinas dan pengalaman Dinas dan LSM Lainnya TT/TJ
57
Monokultur jumlah (%) 5 7 25 37 3 5 2 3 16 24 5 7 1 1 0 0 0 0 11 16
Polikultur jumlah (%) 12 8 54 41 6 6 3 2 20 14 24 18 2 2 3 2 2 2 6 5
Total jumlah (%) 17 8 79 40 9 5 5 3 36 17 29 14 3 2 3 2 2 1 17 8
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Sumber informasi dosis pempukan 45% 40% 35% Persentase
30% Mono kultur
25%
Polikultur
20%
Total
15% 10% 5%
D in as
P er ta Pe nia n g n/ al P e am rk D an ebu is es pe n a ua nd n ik ah an O de ran ulu ng g LS a Ti n K M d e ak D u. a D ri s be RT in rd e sa as a da ma s ar n pe Pet a D nga ni in as l am da an n LS La M in ny a TT /T J
0%
Chart 3.13. Sumber informasi pemupukan menurut pola kultur
Jenis hama yang selalu menyerang kebun petani berupa bajing pada pola polikultur, sedangkan pada pola monokultur berupa kumbang. Hama lain yang selalu menyerang tanaman adalah ulat penggerek buah. Jenis hama yang selalu menyerang tanaman menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.14 dan Chart 3.14. Tabel 3.14. Jenis hama yang selalu menyerang menurut pola kultur Jenis hama Bajing Ulat pengerek buah Helopeltis Kumbang PBK Ulat pengerek batang
58
Monokultur jumlah (%) 2 9 2 9 2 9 15 68 0 0 1 5
Polikultur jumlah (%) 44 34 37 28 26 20 6 5 13 10 4 3
Total jumlah (%) 46 30 39 26 28 18 21 14 13 9 5 3
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur
U la t
pe ng er ek
ba ta ng
K PB
ba ng Ku m
s H el op el ti
U la t
pe ng er ek
bu ah
Total
Ba j in g
Persentase
Jenis hama yang menyerang
Chart 3.14. Hama yang menyerang menurut pola kultur Persentase serangan hama terbesar hanya sekitar 0 â&#x20AC;&#x201C; 10 % saja, baik pada pola monokultur maupun polikultur. Pada pola monokultur intensitas serangan bertumpu pada 0 â&#x20AC;&#x201C; 10% serangan saja, tetapi pada pola polikultur intensitas serangan hingga > 50%, cukup besar persentasenya. Rendahnya persentase serangan hama baik pada pola monokultur dan pola polikultur menunjukkan bahwa pemeliharaan yang dilakukan petani terhadap usahataninya cukup baik. Persentase serangan hama menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.15 dan Chart 3.15. Tabel 3.15. Intensitas serangan hama menurut pola kultur. Persentase serangan hama 0 - 10% 10 - 25% 25 - 50 % > 50% TT/TJ
Monokultur jumlah (%) 21 50 6 14 0 0 0 0 15 36
Polikultur jumlah (%) 42 32 12 9 20 15 28 22 28 22
Total jumlah (%) 63 37 18 10 20 12 28 16 43 25
Intensitas serangan hama 60%
persentase
50% 40%
Mono kultur
30%
Polikultur
20%
Total
10% 0% 0-10%
10-25%
25-50 %
> 50%
TT/TJ
kelas seranagan
Chart 3.15. Intensitas serangan hama menurut pola kultur
59
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Jenis penyakit yang sering menyerang tanaman umumnya adalah jamur upas pada pola monokultur dan cocornot pada tanaman polikultur. Jenis penyakit yang selalu menyerang dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan Gamaabar 3.16. Tabel 3.16. Jenis penyakit yang menyerang tanaman menurut pola kultur Jenis penyakit Jamur rupas Cocomot POMAS Helopeltis Mati Pucuk
Monokultur jumlah (%) 34 84 3 8 3 8 0 0 0 0
Polikultur jumlah (%) 8 24 19 58 3 9 0 0 3 9
Total jumlah (%) 42 58 22 30 6 8 0 0 3 4
Persentase
Jenis serangan penyakit 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur Total
Jamur rupas
Cocomot
POMAS
Helopeltis
Mati Pucuk
jenis penyakit
Chart 3.16. Jenis serangan penyakit menurut pola kultur Serangan penyakit terbanyak berada pada intensitas rendah (0 â&#x20AC;&#x201C; 10%), dengan pola monokultur lebih banyak dibanding pola polikultur. Namun, intensitas serangan penyakit yang tinggi (> 50%) cukup banyak kejadiannya pada tanaman pola polikultur. Rendahnya persentase intensitas serangan penyakit baik pada pola monokultur dan pola polikultur menunjukkan bahwa pemeliharaan yang dilakukan petani terhadap usahataninya cukup baik. Intensitas serangan penyakit menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.17 dan Chart 3.17.
60
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tabel 3.17. Intensitas serangan npenyakit menurut pola kultur. Banyak tanaman 0 - 10% 10 - 25% 25 - 50 % Lebih dari 50% TT/TJ
Monokultur jumlah (%) 35 61 6 11 1 2 2 4 13 22
Polikultur jumlah (%) 40 37 9 8 9 8 16 15 35 32
Total jumlah (%) 75 45 15 9 10 6 18 11 48 29
Intensitas serangan penyakit 70%
persentase
60% 50%
Mono kultur
40%
Polikultur
30%
Total
20% 10% 0% 0-10%
10-25%
25-50 %
>54%
TT/TJ
kelas serangan
Chart 3.17. Intensitas serangan penyakit menurut pola kultur Dalam menghadapi serangan hama dan penyakit, sebahagian besar petani hanya membiarkan saja tanaman terserang. Selain dibiarkan saja, pengendalian serangan hama dan penyakit juga dilakukan dengan menggunakan pestisida. Cara pengendalian serangan hama dan penyakit dapat dilihat pada Tabel 3.18 dan Chart 3.18. Ada 22 macam jenis pestisida yang digunakan oleh 27 respoden yang menggunakan pestisida kimia, dari 22 jenis pestisida yang banyak dipakai adalah seperti: Densis, Rondap, Matador, Bimastra dan Kurater. Tabel 3.18. Cara pengendalian serangan hama dan penyakit menurut pola kultur Cara Pengendalian Menggunakan Pestisida kimia Menggunakan Pestisida Nabati Dibiarkan saja Lainnya
61
Monokultur jumlah (%) 11 19 2 4 31 54 13 23
Polikultur jumlah (%) 16 15 1 1 72 66 20 18
Total jumlah (%) 27 16 3 2 103 62 33 20
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Cara pengendalian serangan hama dan penyakit
Mono kultur Polikultur
La in ny a
sa ja D ib ia rk an
N ab at
P es tis id a
P es tis id a
M en gg un ak an
M en gg un ak an
i
Total
ki m ia
Persentase
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Chart 3.18. Cara pengendalian serangan hama & penyakit menurut poila kultur Dalam melakukan kegiatan usahatani petani dapat menggunakan tenaga kerja dari keluarga sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja dari dalam keluarga secara umum menggunakan satu orang saja dari dalam keluarga. Pada pola monokultur penggunaan tenaga dari dalam keluarga (66%) lebih tinggi dibanding penggunaan tenaga keluarga pada pola polikultur (33%). Distribusi penggunaan tenaga dari keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.19 dan Chart 3.19. Tabel 3.19. Penggunaan tenaga keluarga menurut pola kultur Penggunaan tenaga Tidak ada 1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 Orang > 5 Orang
62
Monokultur jumlah (%) 23 34 35 51 8 12 2 3 0 0 0 0 0 0
Polikultur jumlah (%) 89 67 41 31 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0
Total jumlah 112 76 10 2 0 0 0
(%) 56 38 5 1 0 0 0
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Penggunaan tenaga kerja dari keluarga 80% 70% Persentase
60% 50%
Mono kultur
40%
Polikultur
30%
Total
20% 10% 0% Tidak ada
1 Orang
2 Orang
3 Orang
banyaknya tenaga
Chart 3.19. Peggunaan tenaga dari dalam keluarga menurut pola kultur Penggunaan tenaga dari luar keluarga relatif tidak banyak digunakan. Begitupun, penggunaan tenaga dari luar keluarga lebih banyak digunakan pada pola monokultur dibandingkan pola polikultur. Distribusi penggunaan tenaga dari luar keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.20 dan Chart 3.20. Tabel. 3.20. Penggunaan tenaga dari luar keluarga menurut pola kultur Penggunaan tenaga Tidak ada 1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 Orang > 5 Orang
63
Monokultur jumlah (%) 55 81 2 4 4 6 1 1 1 1 1 1 4 6
Polikultur jumlah (%) 119 89 3 2 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2
Total jumlah (%) 174 86 5 3 5 3 4 2 3 2 3 2 6 2
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase
Banyaknya penggunaan tenaga dari luar keluarga 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Monokultur Polikultur Total
Tidak ada
1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 Orang
>5 Orang
banyaknya tenaga
Chart 3.20. Penggunaan tenaga dari luar keluarga menurut pola kultur Upah yang diterima tenaga kerja laki-laki pada pola monokultur paling banyak berada pada besaran lebih rendah dari Rp 20.000 per-hari. Sedangkan upah pada polikultur untuk laki-laki, paling banyak berada pada kisaran Rp 30.000 â&#x20AC;&#x201C; Rp 40.000,per-hari. Bagi perempuan, upah yang paling banyak diterimanya adalah pada kisaran Rp 30.000 â&#x20AC;&#x201C; Rp 40.000, per-hari, baik pada pola monokultur maupun polikultur. Distribusi banyaknya kelas upah yang diterima tenaga kerja menurut gender dan pola kultur dapat dilihat pada Tabel 3.21 dan Chart 3.21. Tabel 3.21. Persentase upah menurut gender dan pola kultur (%) Upah (Rp/HOK) <20.000 20,000 - 30.000 30.000 - 40.000 40.000 - 50.000
64
Laki-laki Monokultur Polikultur 43 20 0 10 14 40 43 30
Perempuan Monokultur Polikultur 0 0 0 8 87 92 13 0
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase
Upah tenaga kerja 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Pria Monokultur Pria Polikultur Perempuan Monokultur Perempuan Polikultur
<20.000
20,000 30.000
30.000 40.000
40.000 50.000
Chart 3.21. Persentase kelompok upah menurut gender dan pola kultur D. Lingkungan Indikator lingkungan pada pola kultur dilihat dari neraca air pada permukaan dan di dalam tanah. Kondisi air permukaan tanah digambarkan oleh banjir dan kekeringan, sedangkan kondisi air tanah digambarkan oleh permukaan air tanah. Umumnya areal kebun petani belum pernah mengalami kekeringan yang dialami selama ini. Begitupun, lebih dari 7 % responden sudah mengalami masa kekeringan dan pada monokultur selalu mengalami kekeringan yang tidak pernah dialami petani pola polikultur. Meski data ini sangat kecil, namun terdapat indikasi bahwa pola polikultur dapat mengurangi resiko kekeringan disebabkan tutupan permukaan tanah oleh berbagai jenis tanaman sehingga menahan air di daerah perakaran serta memperkecil penguapan. Distribusi kekurangan air pada pola kultur dapat dilihat pada Tabel 4.1. dan Chart 4.1. Tabel 4.1. Kejadian kekeringan menurut pola kultur Kekurangan Air Tidak Pernah Pernah Selalu
65
Monokultur jumlah (%) 62 91 5 7 1 2
Polikultur jumlah (%) 123 93 9 7 0 0
Total jumlah (%) 185 92 14 7 1 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase
Kejadian kekurangan air 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak Pernah Pernah Selalu
Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 4.1. Kejadian kekurangan air menurut pola kultur Kejadian kekurangan air, secara terjadinya dalam sebulan, 3 bulan dan setahun sekali. Namun, menurut pola kultur, frekwensi kejadian kekurangan air lebih sering terjadi pada pola monokultur dibandingkan polikultur. Hal ini disebabkan karena pola polikultur mempunyai tutupan lahan yang lebih banyak dari monokultur. Tutupan lahan yang lebih banyak akan menyimpan air lebih banyak daripada yang sedikit melalui penahanan air di daerah perakaran dan juga mengurangi evaporasi. Frekwensi kejadian kekurangan air dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Chart 4.2. Tabel 4.2. Frekwensi kekurangan air menurut pola kultur Frekwensi kekurangan air 1 minggu sekali 1 bulan sekali 3 bulan sekali Setahun sekali
66
Monokultur jumlah 2 2 1 1
(%) 33 33 17 17
Polikultur jumlah 1 2 3 3
(%) 11 22 33 34
Total jumlah 3 4 4 4
(%) 19 27 27 27
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Frekwensi kekurangan air 35%
Persentase
30% 25%
Mono kultur
20%
Polikultur
15%
Total
10% 5% 0% 1 minggu sekali
1 bulan sekali
3 bulan sekali
Setahun sekali
Chart 4.2. Frekwensi kekurangan air menurut pola kultur Kelebihan air atau bahkan terjadinya banjir di daerah studi umumnya tidak pernah, hanya 10 % yang pernah mengalami banjir. Menurut pola kultur, kejadian kelebihan air atau bahkan banjir yang persentasenya kecil tersebut hampir sama antara polikultur dan monokultur, namun polikultur sedikit di atas angka monokultur. Hal ini dimungkinkan karena genangan dapat dipengaruhi oleh lokasi kebun dan ketinggian permukaan daerah sekitarnya. Distribusi kejadian banjir dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Chart 4.3. Tabel 4.3. Kejadian banjir menurut pola kultur Mengalami Banjir Tidak Pernah Pernah Selalu
Monokultur jumlah (%) 60 88 6 9 2 3
Polikultur jumlah (%) 115 87 14 11 3 2
Total jumlah (%) 175 88 20 10 5 2
Persentase
Kejadian banjir 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur Total
Tidak Pernah
Pernah
Selalu
Chart 4.3. Kejadian banjir menurut pola kultur
67
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Lamanya genangan air di daerah studi umumnya kurang dari satu hari. Namun, pada pola polikultur, lama genangan hingga satu minggu kejadiannya lebih banyak dibanding pada pola monokultur. Hal ini dapat terjadi dikarenakan areal monokultur umumnya lebih mudah dilewati aliran air pada permukaan dibanding pada areal pola polikultur. Sehingga air genangan pada polikultur lebih lama dibandingkan pada pola monokultur. Distribusi lama genangan dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Chart 4.4. Tabel 4.4. Lama genangan menurut pola kultur. Lama Tergenang
Monokultur jumlah (%) 8 100 0 0
Kurang dari 1 hari Kurang dari 1 minggu
Polikultur jumlah (%) 16 94 1 6
Total jumlah (%) 24 96 1 4
Lamanya genangan 120%
Persentase
100% 80%
Mono kultur
60%
Polikultur
40%
Total
20% 0% < 1 hari
< 1 minggu
kelas lama genangan
Chart 4.4. Lama genangan menurut pola kultur Ketinggian genangan selama banjir umumnya berkisar 0,5 meter hingga lebih. Namun menurut pola kultur, pola monokultur lebih tinggi genangannya dibandingkan pola polikultur. Hal ini dapat terjadi, karena areal polikultur mempunyai kemampuan untuk menginfiltrasikan air permukaannya ke dalam tubuh tanah, sehingga ketinggian genangan dapat dikurangi. Kondisi ketinggian genangan menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 4.5. dan Chart 4.5.
68
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tabel 4.5. Ketinggian genangan menurut pola kultur Ketinggian genangan (cm) 0 - 10 10 â&#x20AC;&#x201C; 20 20 â&#x20AC;&#x201C; 50 > 50
Monokultur jumlah (%) 1 13 0 0 3 38 4 49
Polikultur jumlah (%) 4 24 4 24 5 29 4 23
Total jumlah (%) 5 20 4 16 8 32 8 32
Keinggian ngenangan 60%
Persentase
50% 40%
Mono kultur
30%
Polikultur
20%
Total
10% 0% 0 - 10 CM
10 - 20 CM
20 - 50 CM
> 50 CM
kelas tinggi genangan
Chart 4.5. Ketinggian genangan menurut pola kultur Permukaan air tanah menunjukkan kemampuan suatu areal untuk menyimpan air di dalam tanah, sehingga fulktuasi permukaan air tanah dapat dikurangi. Umumnya petani tidak dapat mengenal naik turunnya permukaan air tanah, karena tidak mempunyai sumur pada areal kebun. Namun secara umum, fluktuasi air tanah yang terjadi pada daerah studi adalah berkisar 1 â&#x20AC;&#x201C; 2 meter. Fluktuasi permukaan air tanah pada pola monokultur terlihat lebih tinggi dibandingkan fluktuasi permukaan air tanah pada pola polikultur. Hal ini dimungkinkan karena areal polikultur mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menyimpan air dalam tanah, sehingga fluktuasi permukaan air tanah dapat diperkcil. Perbedaan permukaan air tanah menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan Chart 4.6. Tabel 4.6. Fluktuasi permukaan air tanah menurut pola kultur Fluktuasi Permukaan air tanah 10 cm 10 - 25 cm 25 - 50 cm
69
Monokultur jumlah (%) 2 3 2 3 5 7
Polikultur jumlah (%) 0 0 6 5 4 3
Total jumlah (%) 2 1 8 4 9 5
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
50 - 100 cm 1-2m > 2 meter Tidak Tahu
1 6 6 46
1 9 9 68
4 11 5 102
3 8 4 77
5 17 11 148
3 9 6 72
Persentase
Perbedaan ketinggian muka air tanah 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur Polikultur Total
10 cm
10 25 25 cm 50 cm
50 100 cm
1-2 m
> 2 Tidak meter Tahu
kelas beda ketinggian
Chart 4.6. Fluktuasi ketinggian muka air tanah menurut pola kultur Dilihat dari tingkat pendapatan (Rp/ha/bln), pendapatan terbanyak berada kisaran < Rp 500.000/ha, selanjutnya semakin sedikit petani yang berpendapatan lebih besar. Pada pola monokultur terdapat kecenderungan bahwa semakin besar kisaran pendapatan, semakin sedikit petaninya. Sedangkan pada pola polikultur, banyaknya petani yang memiliki pendapatan yang lebih besar cenderung meningkat. Secara ratarata pendapatan petani pola polikultur lebih besar Rp 3.171.321/ha/bulan lebih tinggi dibanding rataan petani Rp 2.761.836/ha/bulan, bahkan jauh lebih tinggi dibanding pendapatan rataan petani monokultur yang sebesar Rp 1.966.951/ha/bulan. Lebih tingginya
rataan
pendapatan
petani
pola
polikultur
dibanding
monokultur
dimungkinkan karena berbagai komoditi (tanaman yang beragam) yang ditanam secara polikultur memberikan tambahan pendapatan petani. Distribusi pendapatan petani menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 4.7. dan Chart 4.7. Tabel 4.7. Pendapatan petani per-hektar per-bulan Pendapatan (Rp/ha/bulan) <500.000 500.000 - 1.000.000 1.000.000 - 2.000.000 2.000.000 - 3.000.000
70
Monokultur jumlah (%) 11 35 13 33 23 19 13 3
Polikultur jumlah (%) 19 31 24 23 34 16 22 6
Total jumlah (%) 30 32 37 25 57 16 35 5
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
3.000.000 - 4.000.000 4.000.000 - 5.000.000 5.000.000 - 6.000.000 6.000.000 - 7.000.000 7.000.000 - 8.000.000 8.000.000 - 9.000.000 9.000.000 - 10.000.000 >10.000.000 Rataan
2 3 2 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 3 1 1 1,966,951.60
7 9 12 3 4 2 3 1 1 1 1 1 1 4 4 3 3,171,321.08
9 7 14 3 5 2 4 1 1 1 1 1 2 4 5 3 2,761,835.46
Pendapatan per hektar per bulan 40% 35%
Persentase
30% 25%
Mono kultur
20%
Polikultur Total
15% 10% 5% 0% <1
1-2
2-3
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9
9-10 >10
kelas pendapatan (Rp juta)
Chart 4.7. Pendapatan petani menurut pola kultur
E. Keterlibatan berbagai pihak Dalam melaksanakan kegiatan usahatani, kebanyakan petani tidak termasuk pada kelompok tani. Dilihat dari pola kultur, petani polikultur lebih banyak lagi yang tidak masuk dalam kelompok tani. Hal ini dimungkinkan karena petani polikultur merupakan pola turun temurun yang sudah stabil sehingga menjadi anggota kelompok tani terasa kurang banyak manfaatnya. Distribusi petani yang masuk keanggotan kelompok tani dapat dilihat pada Tabel 5.1. dan Chart 5.1.
71
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Tabel 5.1. Keanggotaan kelompok tani menurut pola kultur Keanggotan Kelompok Tani Ya anggota Tidak anggota
Monokultur jumlah (%) 16 24 52 76
Polikultur jumlah (%) 40 30 92 70
Total jumlah (%) 56 28 144 72
Keanggotaan petani dalam kelompok tani 90%
Persentase
80% 70% 60% 50%
Ya anggota
40% 30%
Tidak anggota
20% 10% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 5.1. Keanggotaan kelompk tani menurut pola kultur Dalam menentukan jenis tanaman yang ditanam di kebun, umumnya ditentukan oleh petani sendiri dan hanya sebahagian kecil yang mendiskusikannya dalam kelompok. Lebih tingginya penentuan jenis tanam atas dasar kemauan sendiri dibandingkan saran kelompok menunjukkan bahwa petani sudah melihat nilai ekonomis dari komoditi tersebut tanpa memperhitungkan nilai ekologisnya. Distribusi alasan penentuan jenis tanaman menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 5.2. dan Chart 5.2. Tabel 5.2. Alasan penentuan jenis tanaman menurut pola kultur Alasan Kemauan Sendiri Saran Kelompok
72
Monokultur jumlah (%) 67 99 1 1
Polikultur jumlah (%) 130 98 2 2
Total jumlah (%) 197 98 3 2
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Alasan penentuan jenis tanaman 120%
Persentase
100% 80% Kemauan Sendiri
60%
Saran Kelompok
40% 20% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 5.2. Alasan penentuan jenis tanaman menurut pola kultur Sebahagian besar petani, selain tidak masuk dalam kelompok tani, juga sangat sedikit jumlah petani yang terlibat pada berbagai lembaga yang ada, seperti lembaga swasta atau LSM. Persentase petani pola polikultur yang melibatkan LSM sebagai mitra pendamping lebih besar dibanding petani monokultur. Rendahnyan keterlibatan petani terhadap lembaga baik pemerintah maupun lembaga swasta disebabkan karena mereka belum merasakan manfaat dari lembaga-lembaga tersebut secara nyata. Distribusi lembaga yang terlibat dalam budidaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3. dan Chart 5.3. Tabel 5.3. Keterlibatan lembaga dalam pola tanam menurut pola kultur Lembaga Lembaga Pemerintah Lembaga Swasta/perusahaan LSM/NGO Pemerintah dan LSM/NGO Tidak ada Pihak yang terlibat
73
Monokultur jumlah (%) 7 10 2 3 6 9 1 1 52 76
Polikultur jumlah (%) 21 16 1 1 21 16 8 6 81 61
Total jumlah (%) 28 14 3 2 27 14 9 5 133 65
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Mono kultur
ba t ih ak P
ad a Ti da k
Pe m
er in ta h
da n
ya ng
te rli
LS M /N G
G O /N LS M
as ta /p er us ah aa n Sw
Pe m Le m ba ga
Le m ba ga
O
Polikultur Total
er in ta h
Persentase
Keterlibatan lembaga dalam pola tanam
Chart 5.3. Keterlibatan lembaga dalam pola tanam menurut pola kultur Keterlibatan lembaga lain selain kelompok tani, memberikan manfaat berupa pelatihan, pemberian modal dan teknologi. Petani pola monokultur lebih banyak memperoleh pelatihan dibandingkan petani pola polikultur. Sementara petani polikultur lebih banyak memperoleh bantuan modal dibandingkan petani monokultur. Hal ini memperlihatkan peranan berbagai lembaga untuk mempertahankan pola polikultur untuk tetap bertahan. Manfaat yang diperoleh dengan keberadaan lembaga lain bagi petani dapat dilihat pada Tabel 5.4. dan Chart 5.4. Tabel 5.4. Peran lembaga bagi petani menurut pola kultur Peran lembaga Teknologi Pelatihan Manajemen Modal Pemasaran
74
Monokultur jumlah (%) 1 12 4 50 0 0 3 38 0 0
Polikultur jumlah (%) 1 3 5 16 0 0 26 81 0 0
Total jumlah (%) 2 5 9 23 0 0 29 72 0 0
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Peran lembaga 90%
Persentase
80% 70% 60% 50%
Teknologi
40% 30%
Modal
Pelatihan
20% 10% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 5.4. Peran lembaga bagi petani menurut pola kultur F. Kearifan lokal Petani pola monokultur umumnya sebahagian besar merasa tidak ada yang diturunkan dari moyang mereka atau merupakan kearifan lokal. Namun, pada pola polikultur, petani merasa sebahagian (40%) merupakan kearifan local yang diperoleh dari pendahulunya. Keraifan lokal yang diturunkan menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 6.1. dan Chart 6.1. Tabel 6.1. Keraifan lokal pada pola kultur Kearifan lokal
Monokultur
Polikultur
jumlah
(%)
jumlah
(%)
Ada
8
12
53
40
Tidak ada
60
88
79
60
Persentase
Kearifan lokal 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Ada Tidak ada
Monokultur
Polikultur
Chart 6.1. Keraifan lokal pada pola kultur
75
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Kearifan lokal yang diturunkan sangat sedikit yang berbau ritual, terutama pada pola monokultur tidak ada kegiatan ritual dalam bercocok tanam. Sedangkan pada pola polikultur masih ada sedikit (2%) kegiatan ritual dalam bercocok tanam. Cara rritual yang dilakukan petani menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 6.2. dan Chart 6.2. Tabel 6.2. Ritual bercocok tanam menurut pola kultur Cara ritual Tidak ada Ada
Monokultur jumlah (%) 68 100 0 0
Polikultur jumlah (%) 129 98 3 2
Total jumlah (%) 197 98 3 2
Cara ritual yang dilakukan dalam pola tanam 120%
Persentase
100% 80% Tidak ada
60%
Ada
40% 20% 0% Mono kultur
Polikultur
Total
Chart 6.2. Ritual bercocok tanam menurut pola kultur
G. Pengambil keputusan petani Dalam menentukan pola kebun yang dianut antara monokultur dengan polikultur yang paling banyak menentukan adalah suami, menyusul suami â&#x20AC;&#x201C; isteri (keduanya) dan istri, baik pada pola monokultur maupun polikultur. Tingginya peran suami dalam penentuan pola kebun yang dianut pola monokultur dan polikultur menunjukkan bahwa posisi suami sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga sepertinya sudah disepakati oleh petani di Kabupaten Deli Serdang. Distribusi penentuan pola kultur dapat dilihat pada Tabel 7.1. dan Chart 7.1. Tabel 7.1. Penentu pola kultur Penentu pola kultur Suami
76
Monokultur jumlah (%) 43 63
Polikultur jumlah (%) 78 59
Total jumlah (%) 121 60
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Istri Keduanya Mertua (dari Pihak ayah/ibu Suami) Mertua (dari Pihak ayah/ibu Istri)
12 13 0 0
18 19 0 0
23 26 4 1
17 20 3 1
35 39 4 1
17 20 2 1
Penentu Pola kultur 70% Suami
Persentase
60% 50%
Istri
40% Keduanya
30% 20%
Mertua (dari Pihak ayah/ibu Suami)
10%
Mertua (dari Pihak ayah/ibu Istri)
0% Monokultur
Polikultur
Total
Chart 7.1. Penentu pola kultur Demikian dalam penentuan pengelolaan kebun, suami lebih menentukan dibanding istri dan mertua. Pada pola monokultur, suami lebih besar menentukan pengelolaan kebun dibanding pada petani polikultur. Bahkan pada pola monokultur, mertua kedua pihak tidak berperan dalam pengelolaan kebun. Sebaliknya pada pola polikultur, mertua masih menentukan kebijakan pengelolaan kebun meski dalam persentase yang kecil. Tingginya peran suami dalam penentuan pengelolaan kebun yang dianut pola monokultur dan polikultur menunjukkan bahwa posisi suami sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga sepertinya sudah disepakati oleh petani di Kabupaten Deli Serdang. Penentuan pengelolaan kebun menurut pola kultur dapat dilihat pada Tabel 7.2. dan Chart 7.2. Tabel 7.2. Penentuan pengelolaan kebun menurut pola kultur Penentu pola kultur Suami Istri Keduanya Mertua (dari Pihak Suami) Mertua (dari Pihak Istri)
77
Monokultur jumlah (%) 44 65 11 16 13 19 0 0 0 0
Polikultur jumlah (%) 73 55 28 21 28 21 3 2 1 1
Total jumlah (%) 117 58 39 19 41 20 3 2 1 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Penentu Pengelolaan 70% Suami
Persentase
60% 50%
Istri
40%
Keduanya
30% 20%
Mertua (dari Pihak ayah/ibu Suami)
10% 0% Monokultur
Polikultur
Total
Chart 7.2. Penentuan pengelolaan kebun menurut pola kultur Dalam menentukan penjualan hasil yang paling banyak menentukan adalah suami, menyusul suami â&#x20AC;&#x201C; siteri dan istri, baik pada pola monokultur maupun polikultur, Pada pola monokultur suami lebih besar perannya dalam penentuan hasil serta tidak ada peran mertua. Sedangkan pada pola polikultur peran mertua masih ada dalam menentukan penjualan hasil meski sangat kecil. Tingginya peran suami dalam penentuan penjualan hasil yang dianut pola monokultur dan polikultur menunjukkan bahwa posisi suami sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga sepertinya sudah disepakati oleh petani di Kabupaten Deli Serdang. Distribusi penentuan penjualan hasil kebun dapat dilihat pada Tabel 7.3. dan Chart 7.3. Tabel 7.3. Penentuan penjualan hasil kebun menurut pola kultur Penentuan penjualan hasil Suami Istri Keduanya Mertua (dari pihak Suami) Mertua (dari Pihak Istri)
78
Monokultur jumlah (%) 39 57 14 21 15 22 0 0 0 0
Polikultur jumlah (%) 53 40 49 36 28 21 2 2 1 1
Total jumlah (%) 92 46 63 31 43 21 2 1 1 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Persentase Penjualan Hasil Kebun 70%
Persentase
60%
Suami
50%
Istri
40%
Keduanya
30% 20%
Mertua (dari Pihak ayah/ibu Suami)
10% 0% Monokultur
Polikultur
Total
Chart 7.3. Penentuan penjualan hasil kebun menurut pola kultur Dalam menentukan penjualan asset kebun data yang diperoleh hampir sama, dimana yang paling banyak menentukan adalah suami, menyusul suami â&#x20AC;&#x201C; isteri dan istri, baik pada pola monokultur maupun polikultur, Pada pola monokultur suami lebih besar perannya dalam menentukan penjualan asset serta tidak ada peran mertua. Sedangkan pada pola polikultur peran mertua masih ada dalam menentukan penjualan asset kebun meski sangat kecil. Distribusi penentuan penjualan asset kebun dapat dilihat pada Tabel 7.4. dan Chart 7.4. Tabel 7.4. Penentuan penjualan asset kebun menurut pola kultur Penentuan penjualan asset Suami Istri Keduanya Mertua (dari Pihak Suami) Mertua (dari Pihak Istri)
79
Monokultur jumlah (%) 36 53 11 16 21 31 0 0 0 0
Polikultur jumlah (%) 58 43 24 18 47 36 3 2 1 1
Total jumlah (%) 94 46 35 17 68 34 3 2 1 1
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Penentuan Penjualan Asset
Persentase
60% 50%
Suami
40%
Istri
30%
Keduanya
20% Mertua (dari Pihak ayah/ibu Suami)
10% 0% Monokultur
Polikultur
Total
Chart 7.4. Penentuan penjualan asset kebun menurut pola kultur
80
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
VIII. KESIMPULAN & SARAN 1. Kesimpulan Dari 68 responden petani monokultur dan 132 petani polikultur di 5 Kecamatan yang tersebar di 19 desa diperoleh kesimpulan sebagai berikut: A. Kesimpulan Khusus 1) Performa petani •
Petani monokultur lebih banyak yang berusia lebih 60 tahun, tamat SD dan tanggungan 3 orang.
•
Petani polikultur didominasi berusia usia 50 – 60 tahun, tamat SLTP dan tanggungan 2 orang.
2) Letak dan kondisi kebun •
Lokasi kebun polikultur lebih banyak yang jauh dari rumah dibanding kebun petani monokultur.
•
Jarak kebun dengan sungai petani monokultur lebih dekat ke sungai dibanding kebun petani polikultur.
•
Kebun petani polikultur lebih banyak yang berlereng curam dibanding kebun petani monokultur.
3) Pola tani •
Luas kebun yang besar lebih banyak ditanami polikultur dibanding monokultur.
•
Jenis tanaman yang diusahakan pada pola monokultur yang terbanyak adalah karet, kelapa sawit dan coklat. Sedangkan pada pola polikultur jenis tanaman yang diusahakan lebih beragam dengan tanaman utama adalah coklat, durian, kelapa, pinang, pisang, rambutan, duku, manggis, pepaya, jambu dan berbagai tanaman lainnya.
•
Para petani dalam mengelola kebunnya memperoleh informasi dari orangtua atau turun temurun-terutama bagi petani pola polikultur.
•
Petani menggunakan pola monokultur sebahagian besar dikarenakan lebih mudah mengelola dan memeliharanya.
•
Petani dalam berbudidaya sebahagian menggunakan bibit yang diperoleh dari sesama petani atau membuat sendiri dan sebahagian kecil bibit yang diperoleh dari balai resmi pemerintah/swasta.
81
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
•
Jenis pupuk yang digunakan petani pola polikultur, banyak menggunakan kompos, menyusul Urea dan NPK. Sedangkan jenis pupuk yang paling banyak digunakan petani pola monokultur adalah Urea, menysusul KCL dan NPK.
•
Sumber pupuk organik petani monokultur dan polikultur hampir sama, hanya saja petani polikultur lebih banyak memperoleh pupuk organik dari subsidi pemerintah.
•
Penggunaan pupuk organik bagi petani monokultur mempunyai alasan daripada terbuang dan sesuai dengan anjuran pemerintah, sedangkan petani polikultur lebih merasa bahwa pupuk organik memang lebih baik bagi tanaman, tanah, lingkungan, murah dan tersedia di alam sekitar.
•
Perolehan pupuk organik bagi petani monokultur merasakan lebih mudah dibanding petani polikultur.
•
Petani monokultur merasa lebih mudah membuat pupuk organik sendiri dibanding petani polikultur.
•
Petani polikultur beralasan mengetahui cara mebuatnya dan bahan baku mudah diperoleh dalam membuat pupuk organik sendiri, sedangkan petani monokultur beralasan karena adanya pengetahuan dalam membuat pupuk organik.
•
Petani monokultur lebih banyak yang melakukan pemupukan 2 kali dalam setahun dibanding petani pola polikultur.
•
Dalam menentukan dosis pemupukan, petani umumnya menggunakan pengalaman sebelumnya, baik petani pola monokultur maupun polikultur.
•
Jenis hama yang selalu menyerang kebun petani berupa bajing pada pola polikultur, sedangkan pada pola monokultur berupa kumbang.
•
Intensitas serangan hama yang besar (> 50%) lebih banyak terjadi pada pada pola polikultur dibanding monokultur.
•
Penyakit yang lebih sering menyerang tanaman umumnya adalah jamur upas pada pola monokultur dan cocornot pada tanaman polikultur.
•
Serangan penyakit pada intensitas rendah (0 – 10%), lebih banyak terjadi pada pola monokultur dibanding polikultur.
82
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
•
Dalam menghadapi serangan hama dan penyakit, sebahagian besar petani hanya membiarkan saja tanaman terserang.
•
Petani pola monokultur lebih banyak menggunakan tenaga dari keluarga dibanding pada pola polikultur.
•
Petani monokultur lebih banyak menggunakan tenaga dari luar keluarga dibanding petani polikultur.
•
Tenaga kerja pria dan wanita lebih banyak menerima upah yang tinggi pada pola polikultur dibanding monokultur.
4) Lingkungan •
Petani monokultur sedikit lebih sering mengalami kekeringan dibanding petani polikultur, sebaliknya polikultur lebih sering mengalami banjir dan lebih lama tergenang dibandingkan pola monokultur. Namun, tinggi genangan jauh lebih tinggi pada monokultur dibanding polikultur.
•
Fluktuasi permukaan air tanah pada pola monokultur terlihat lebih tinggi dibanding pola polikultur.
•
Pendapatan rata-rata petani polikultur lebih tinggi dibanding petani monokultur.
5) Keterlibatan •
Petani polikultur lebih banyak yang tidak masuk kelompok tani dibanding petani
monokultur
dan
menentukan
sendiri
jenis
tanaman
yang
dibudidayakan. •
Petani polikultur lebih banyak yang terlibat dalam kegiatan LSM/NGO .
•
Petani monokultur lebih banyak memperoleh pelatihan, sedangkan petani polikultur lebih banyak memperoleh bantuan modal dari lembaga di luar kelompok tani.
6) Kearifan lokal Petani polikultur merasa lebih banyak memperoleh kearifan lokal dibanding petani monokultur, namun sangat kecil yang mengadakan acara ritual. 7) Pengambilan keputusan •
Dalam mengambil keputusan, menentukan pola kultur, pengelolaan kebun, penjualan hasil kebun dan penjualan asset kebun lebih banyak ditentukan oleh suami, menyusul istri dan pasangan suami – istri.
83
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
â&#x20AC;˘
Pada pola polikultur terdapat peran yang kecil dari mertua dalam pengambilan keputusan.
2. Kesimpulan Umum Secara umum dari segi kualitatif riset ini berkesimpulan: 1. Dari sudut pandang ekomoni, kebun polikultur menghasilkan perolehan yang jauh lebih tinggi, lebih dari 3 kali lipat dari hasil yang diperoleh kebun monokultur sawit. 2. Dari mulai awal membangun kebun polikultur lebih murah biayanya dan dapat dikerjaka dengan bertahap dibanding ddengan membangun kebun monokultur. 3. Pada sisi tenaga kerja polikultur dapat dikerjakan dengan gotong-royong keluarga tanpa membayar tenaga dari luar seperti monokultur. Polikultur juga membuat petani lebih sehat karena rutinitas gerakan tubuh yang dilakukan untuk mengerjakan kebun. 4. Dari sisi daya dukung lingkungan polikultur jauh lebih unggul dibanding monokultur yang malah cenderung menurunkan kualitas lingkungan. 5. Dari sisi sosial budaya, polikultur lebih mendukung kebersamaan dalam kehidupan sosial dan menjaga kearifal lokal dengan budaya gotong royong. Secara khusus dari segi kwantitatif riset ini menyatakan, dari 68 responden petani monokultur dan 132 petani polikultur di 5 Kecamatan yang tersebar di 19 desa diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Petani dengan pola polikutur jumlahnya lebih banyak dari petani dengan pola monokultur. Jenis tanaman polikultur yang dominan ditanam kakao, durian dan kelapa sedangkan jenis tanaman monokultur yang dominan di tanaman karet dan kelapa sawit. 2. Petani di kabupaten Deli Serdang dalam pengelolaan kebunnya masih berorientasi kepada kebiasan/pengalaman bertani yang turun temurun (bertani secara tradisional) sehingga pendapatan petani masih tergolong rendah. 3. Pendapatan petani dengan pola polikutur lebih tinggi dari petani dengan pola monokultur. 4. Peran suami sebagai kepala rumah tangga di dalam mempertahankan kelangsungan hidup lebih dominan dari peran istri.
84
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
3. Saran Berdasarkan riset keunggulan polikultur (kebun tanaman campuran dengan maksimalisasi tanaman kakao) di kabupaten Deliserdang dengan mengambil sample pada 5 (lima) Kecamatan yang tersebar dari 19 desa diambil sebanyak 200 responden. Dari 200 responden 68 responden petani monokultur dan 132 petani polikultur. Dan dari kesimpulan yang diambil, baik secara khusus maupun umum, baik kesimpulan kualitatif maupun kuantitatif maka disarankan, sebagai berikut: 1. Budidaya kebun masyarakat dengan pola polikultur secara ekonomis lebih menguntungkan daripada budidaya kebun dengan pola monokultur. 2. Budidaya secara polikultur lebih menjamin keberlanjutan lingkungan dibandingkan dengan budidaya secara monokultur. 3. Penggunaan jenis tanaman kakao sebagai tanaman utama pada pola polikultur lebih baik dibandingkan dengan tanaman lain seperti durian, kelapa, pinang, duku, rambutan, manggis, dll. 4. Untuk memberikan daya dukung lingkungan yang lebih baik dalam pengembangan kebun rakyat di kabupaten Deli Serdang lebih baik dikembangkan perkebunan rakyat dengan pola tanaman campuran (polikultur). 5. Pemerintah dalam hal ini melakukan pendekatan pro aktif dalam penyuluhan teknis polikultur dan substansi keuntungan ekologis, ekonomis dan sosial budaya yang akan didapatkan petani/pekebun secara polikultur. 6. Pemerintah perlu menciptakan peraturan (regulasi) daerah untuk membatasi meluasnya perkebunan monokultur besar untuk menjamin kebun polikultur masyarakat berkembang dan memberikan keuntungan pada keluarga dan alam lingkungan global. 7. Para pihak (pemerintah, Suasta, konsern group, perguruan tinggi, NGO/LSM) berupaya
untuk
berkontribusi
memberikan
penyadaran
pada
masyarakat
petani/pekebun tentang kerugian secara bersama yang diderita lingkungan atas pertanian kebun pola monokultur dan keuntungan global ekonomi dan lingkungan atas pertanian kebun pola polikultur.
85
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia
Daftar Pustaka & Bahan Bacaan: Sabirin, Dkk. 2010. Modul Sekolah Lapang Polikultur, Sebuah Panduan Sekolah Lapang untuk Kebun Tanaman Campuran dengan Proiritas Kakao. BITRA Indonesia. Medan, Indonesia. Kaputra, Iswan dan Purba, Sari, Kominra. Dalam Pertanian Polikultur: Ekologis & Ekonomis. Majalah Pertanian Organik SALAM (LEISA Indonesia), Nomor 09 Desember 2004. Bali. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Bulletin Tandan Sawit edisi III (Juli-September 2010), edisi IV (Oktober-Desember 2010) dan Edisi I 2011. Soekirman, Dkk. 2007. Sayum Sabah, Potret Pertanian Polikultur. BITRA Indonesia. Medan. Saragih, Sebastian Eliyas. 2008. Pertanian Organik, Solusi Hidup Harmoni dan Berkelanjutan. Penebar Swadaya. Jakarta. Website Sawit Watch: http://sawitwatch.or.id Website Kementrian Kehutanan: http://www.dephut.go.id Website Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia: http://www.bitra.or.id Website Menteri Riset dan Teknologi: www.ristek.go.id Website Tabloid Kontan: www.kontan.co.id Website Wiki Pedia: http://id.wikipedia.org Website Konsorsium Pembaharuan Agraria: www.kpa.or.id Website Pusat Penelitian Kelapa Sawit: http://iopri.org
86
Riset Keunggulan Polikultur (Kebun Tanaman Campuran dengan Maksimalisasi Tanaman Kakao) Di Kabupaten Deli Serdang | BITRA Indonesia