Sosial Demografis Kemiskinan di Serdang Bedagai Hasil Riset
Tim Riset: Prof. DR. Badaruddin, M.Si Bambang Satriawan, SE, M.Si Bakhrul Khoir Amal, M.Si Dedi Amrizal, M.Si
2006
Laporan Penelitian 2006
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah kemiskinan akhir-akhir ini muncul kembali ke permukaan sebagai suatu reaksi atas kenyataan bahwa perkembangan perekonomian dunia yang tidak berimbang telah menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik baik antar negara, antar daerah, maupun antar kelompok masyarakat. Munculnya masalah kemiskinan ini juga dilatarbelakangi oleh besarnya jumlah penduduk miskin di dunia. Semenjak dilancarkannya program pembangunan nasional pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan pembangunan di segala bidang dengan menitik beratkan pembangunan di bidang ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dan membawa dampak positif bagi peningkatan taraf kesejahteraan, yang berarti berkurangnya penduduk miskin di Indonesia. Kecenderungan berkurangnya penduduk miskin dapat di lihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia No.
(1)
Tahun
(2)
Penduduk Miskin Jiwa (juta)
(%)
(3)
(4)
1
1970
70.00
60.00
2
1976
54.20
40.08
3
1980
42.30
33.31
4
1984
35.00
21.64
5
1987
30.00
17.42
6
1990
27.20
15.08
7
1993
26.90
13.67
8
1996
22.50
11.34
9
1998
49.50
24.20
10
1999
79.40
39.10
Sumber: BPS Jakarta, 1999 Terjadinya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan terpuruknya pendapatan per kapita masyarakat
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
2
Laporan Penelitian 2006
Indonesia, yaitu dari Âą $ 1.400 pada awal tahun 1997 menjadi sekitar $ 400 pada akhir tahun 1998. Sehubungan dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika, kondisi tersebut menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, berkurangnya lapangan perkerjaan serta bertambahnya jumlah pengangguran, yang mengakibatkan
jumlah
penduduk miskin meningkat dari 49,50 juta jiwa menjadi 79,4 juta jiwa atau dari 24,20% menjadi 39,1% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1999 (BPS, 1999). Meskipun krisis ekonomi sudah berlangsung sejak tahun 1997 dan telah meningkatkan angka kemiskinan yang cukup tinggi, namun fenomena kemiskinan tersebut belum menunjukkan tanda-tanda untuk dapat segera teratasi. Hal ini terlihat dari angka penduduk miskin yang masih sangat tinggi, yaitu: 38,7 juta jiwa (2000), 37,9 juta (2001), 38,4 juta (2002), 37,3 juta (2003), 36,1 juta (2004), 36,6 juta (2005) dan proyeksi tahun 2006 berjumlah 62 juta jiwa, tanpa Propinsi Maluku (Susenas BPS 2006 dalam Harian Media Indonesia, 1 September 2006). Fenomena kemiskinan tidak hanya melanda suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat tertentu saja, tetapi melanda seluruh daerah dan masyarakat Indonesia. Fenomena kemiskinan hadir dalam setiap komunitas: komunitas pesisir, komunitas petani, komunitas sektor informal, komunitas perkotaan dan lain sebagainya, tentu dengan tingkat kemiskinan dan faktor penyebab yang beraneka ragam.
Komunitas pesisir (nelayan)
misalnya sering diidentikkan dengan “kemiskinan�. Menurut Dahuri (1999), tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor pertanian agraris. Nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin diantara kelompok masyarakat lain
di sektor pertanian
(Winahayu dan Santiasih, 1993:137). Ini gambaran bahwa komunitas pesisir dan komunitas pertanian merupakan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan. Masyarakat yang hidup di sektor informal juga merupakan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan dan seringkali disebut sebagai �katup pengaman� (safety valve) kemiskinan. Masyarakat miskin cenderung sulit untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan, karena persoalan kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh persoalan kekurangan materi, tetapi juga disebabkan oleh berbagai faktor lainnya yang dapat saling terkait satu dengan yang lainnya. Oleh Chambers (1988), fenomena kemiskinan yang disebabkan oleh berbagai faktor (unsur) yang saling terkait satu dengan lainnya disebut dengan perangkap kemiskinan (deprivations trap). Ada lima unsur yang disebut oleh Chambers sebagai
deprivations trap, yaitu kekuarangan materi, kelemahan fisik (jasmani), isolasi (kadar keterasingan), kerentanan dan ketidakberdayaan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
3
Laporan Penelitian 2006
Garis kemiskinan merupakan patokan penting untuk mengukur tingkat kemiskinan. Oleh karena itu kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan perkiraan tentang kemiskinan akan terkait dengan tolak ukur garis kemiskinan (Suparta, 1997). Kemiskinan bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat multidimensional karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non ekonomi (sosial, budaya, dan politik). Karena sifat multidimensional tersebut maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan sosial. Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan objektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami beberapa kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif. Permasalahan yang dihadapi di dalam menentukan beberapa besar ukuran kemiskinan tidak hanya dimensi ekonomi dan material, tetapi beberapa dimensi lain. Dimensi-dimensi yang terkait dalam gejala kemiskinan tersebut (Ellis, G.P.R, 1984).
Pertama, yang paling jelas bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan lain-lain.
Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu penanggulangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.
Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural atau politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin struktural atau politis akan berakibat pula miskin ekonomi (Heru Nugroho, 1995). Kabupaten Serdang Bedagai sebagai salah kabupaten baru di Provinsi Sumatera Utara, yaitu hasil pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang juga memiliki fenomena yang sama dengan berbagai daerah lainnya, yaitu masih ditemukannya sejumlah masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagai Kabupaten yang baru, tentu Pemerintahan Kabupaten Serdang Berdagai memiliki komitmen yang cukup kuat untuk dapat menghapuskan atau paling tidak mengeliminasi kemiskinan yang melanda warganya.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
4
Laporan Penelitian 2006
Upaya tersebut tentunya dimulai dengan membuat berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dapat menyentuh dan memperbaiki secara langsung kehidupan komunitas miskin tersebut. Untuk dapat membuat kebijakan dan program pembangunan yang benar-benar berpihak pada kaum miskin diperlukan data dan informasi yang terkait dengan fenomena kemiskinan tersebut. Informasi dan data tentang fenomena kemiskinan dimaksud terkait dengan karakteristik kemiskinan berdasarkan komunitas dan faktor (unsur) penyebab kemiskinan. Karena itu sangat urgen untuk melakukan suatu kajian dengan topik “Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kabupaten Serdang Bedagai�. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah penelitian dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian (research questions), sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pemetaan demografi sosial kemiskinan yang ada di Kabupaten
Serdang Bedagai ? 2. Bagaimana karakterisktik (pola) kemiskinan pada masing-masing peta demografi sosial kemiskinan tersebut ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian dengan topik “pemetaan sosial demografis kemiskinan di Kabupaten Serdang Bedagai ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan menetapkan peta sosial demografis kemiskinan di Kabupaten Serdang Bedagai dengan mempertimbangkan sektor pekerjaan yang rentan dengan kemiskinan sebagai dasar pemetaan. 2. Mengetahui dan menganalisis karakteristik (pola) kemiskinan menurut peta sosial demografi kemiskinan di Kabupaten Serdang Bedagai. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai sumber informasi dan dasar bagi Pemerintahan Kabupaten Serdang Bedagai dalam membuat kebijakan dan program pembangunan dalam rangka mencapai terwujudnya keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang akan dilaksanakan. 1.5. Kerangka Pikir Penelitian Kajian ini dilakukan untuk melihat peta sosial demografis kemiskinan dan karakteristik kemiskinan berdasarkan peta sosial demografis kemiskinan tersebut. Pemetaan sosial demografis kemiskinan ini akan dilakukan dengan mempertimbangkan pengelompokan sektor pekerjaan dan wilayah geografis. Dari pemetaan tersebut, lebih
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
5
Laporan Penelitian 2006
lanjut akan dikaji karakteristik kemiskinan masing-masing
peta sosial demografis
kemiskinan tersebut dengan menggunakan konsep perangkap kemiskinan (deprivation
trap) dari Chambers (1988) dan konsep Friedman (1979) tentang sarana utama kekuatan sosial sebagai sarana dasar dalam ekonomi keluarga untuk hidup. Beberapa hasil penelitian di Indonesia (Dahuri, 1999; Winahayu dan Santiasih, 1993) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir
merupakan kelompok masyarakat yang
paling banyak menderita kemiskinan. Di samping masyarakat pesisir, masyarakat pertanian darat juga merupakan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan (Awaluddin, 1989; Soetrisno, 1999). Kelompok lainnya yang juga rentan dengan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal (pedagang kaki lima dan buruh). Temuan-temuan tersebut akan dijadikan dasar untuk mengkaji pemetaan sosial demografis kemiskinan yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Kemiskinan menurut Scott (1979) dapat didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan non materi yang diterima oleh seseorang. Kemiskinan, pertama dapat diartikan sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; kedua, kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain; ketiga, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan atau ketiadaan non materi yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak. Sarjana lain, Chambers (1988) mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap (perangkap keimiskinan). Perangkap kemiskinan (deprivation trap) menurut Chambers terdiri dari lima unsur yaitu: 1) kekurangan materi; 2) kelemahan fisik; 3) keterasingan (kadar isolasi); 4) kerentanan; 5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali terkait satu dengan yang lainnya dalam jalinan timbal balik sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang dapat mematikan peluang hidup masyarakat atau keluarga miskin. Kekurangan materi, kemiskinan mengakibatkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan ukuran tubuh yang lebih kecil, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan serangan penyakit menjadi rendah, padahal tidak ada ruang untuk berobat ke klinik atau dokter; orang pun tersisih, karena tidak mampu membiayai sekolah, membeli pesawat radio atau sepeda, menyediakan ongkos untuk mencari kerja, atau bertempat tinggal di dekat pusat keramaian dan di pinggir jalan besar; orang menjadi rentan terhadap keadaan darurat atau
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
6
Laporan Penelitian 2006
kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; dan menjadi tidak berdaya karena mempunyai kedudukan yang rendah. Kelemahan jasmani, suatu rumah tangga mendorong orang ke arah kemiskinan melalui beberapa cara: tingkat produktivitas tenaga kerja rendah, tidak mampu menggarap lahan yang luas, atau bekerja lebih lama. Tubuh yang lemah juga sering membuat seseorang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama kaum wanita yang mengurus anak-anak; jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis atau keadaan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan baru atau bantuan. Isolasi, (tidak berpendidikan, tempat tinggal jauh dari pusat keramaian dan jalur komunikasi) menopang kemiskinan; pelayanan dan bantuan pemerintah tidak sampai menjangkau mereka; orang yang buta huruf menjauhkan mereka dari informasi yang mempunyai nilai ekonomi serta menutup kemungkinan masuk dalam daftar penerima kredit. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani. Isolasi memperkuat kerentanan, karena usaha pertanian di lahan terpencil lebih sering gagal, dan bantuan pun tidak dapat segera didatangkan apabila terjadi hal-hal yang mendadak seperti kelaparan atau wabah penyakit. Isolasi juga berarti kurang hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum, serta tidak tau apa yang dilakukan penguasa. Kerentanan, rumah tangga yang rentan sedikit sekali memiliki penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan-kebutuhan kecil sehari-hari dipenuhi dari sedikit uang persediaan, atau dengan mengurangi konsumsi, menukarkan barang, atau meminjam dari kawan, keluarga, atau pedagang. Musibah dan kewajiban sosial menjadikan rumah tangga tersebut semakin melarat. Keretanan adalah salah satu dari mata rantai yang paling banyak mempunyai jalinan, faktor ini berkeitan dengan kemiskinan karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat; waktu dan tenaga ditukarkan dengan uang; kaitannya dengan isolasi berupa sikap menyingkirkan diri baik secara fisik maupun sosial; kaitannya dengan ketidakberdayaan dicerminkan ketergantungan terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya. Dengan kata lain, posisi penduduk miskin di sekitar garis kemiskinan sangat rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi, sosial, maupun fisik, meningkatnya inflasi, panjangnya musim kemarau, adanya serangan hama, akan dengan mudah menenggelamkan kembali penduduk miskin itu dalam tingkat hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidakberdayaan, mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yang terpenting adalah pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya seringkali terbatas atau tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah,
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
7
Laporan Penelitian 2006
setidaknya terhalang atau terhambat memperoleh bantuan hukum, serta membatasi kemampuannya
untuk
menuntut
upah
yang
layak
atau
menolak
suku
bunga;
menempatkan dirinya selalu pada posisi yang dirugikan dalam setiap transaksi jual beli, dan mereka hampir tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap pemerintahan dalam mengambil keputusan tentang pelayanan dan bantuan yang perlu diberikan kepada golongan yang lemah itu sendiri. Aspek ini mendorong kelemahan jasmani, karena waktu dan tenaga dicurahkan untuk memperoleh akses, karena tenaga digunakan untuk memenuhi kewajiban pada majikan, sehingga mengurangi waktu dan tenaga untuk pekerjaan rumah tangga atau mencari penghasilan lain. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan melalui ketidakmampuan mereka menarik bantuan pemerintah, sekolah, petugas lapangan yang cakap atau sumber daya lainnya. Orang yang tidak berdaya juga membuat orang miskin lebih rentan terhadap tuntutan untuk membayar hutang, terhadap hukuman atau denda, atau terhadap penyalahgunaan wewenang yang merugikan dirinya. Hunbungan kelima unsur perangkap kemiskinan (deprivation trap) tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut: Gambar 1.1 The Deprivation Trap of Poverty
Powerlesssness Lack of influence Control of means of survival + development
Isolation Lack of education, Access to eppertunities,
Vulnerabability Open to economic shock, lawlessness expleitation,
Material Poverty
Phisical Weakness
Lack of income, material assets capital
Ilness, mallnutritiondisability
Sumber : Robert Chambers, “ Rural Development putting The Last First� diterjemahkan oleh Pepep Sudrajat, Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm, 145 Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
8
Laporan Penelitian 2006
Agar suatu komunitas (masyarakat) mampu bertahan hidup (survive) dan berjuang keluar dari perangkap kemiskinan, diperlukan berbagai kekuatan sebagai sarna utama dalam ekonomi keluarga. Jika basis kekuatan ekonomi keluarga runtuh dan tidak dimiliki oleh masyarakat atau keluarga, maka dapat dipastikan proses kemiskinan akan sedikit demi sedikit masuk dalam kehidupan keluarga. Friedmann (1979) menyebutkan bahwa kemiskinan lebih dipahami sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasi basisi kekuasaan sosial. Pemikiran ini berkontibusi bagi lahirnya pandangan baru bagi masyarakat miskin. Yang menjadi poin penting dari pemikiran ini adalah diasumsikannya bahwa rumah tangga keluarga miskin kekurangan kekuatan sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan anggotanya. Model ini meletakkan ekonomi keluarga sebagai pusat kekuatan sosial dimana akses mereka relatif sebagai dasar kekuatan sosial yang dapat diukur dan dibandingkan. Di samping itu, kekuatan masyarakat pada akhirnya diukur dengan akses kekeluargaan yang berbeda-beda pada basis kekuatan sosial. Menurut Friedmann, terdapat 8 dasar kekuatan sosial sebagai sarana dasar yang tersedia dalam ekonomi keluarga untuk ketertunjangan hidup dan kelangsungan mata pencahariannya, yaitu: 1) pertahanan ruang hidup; 2) waktu luang; 3) pengetahuan dan keterampilan; 4) informasi yang tepat; 5) organisasi sosial; 6) jaringan sosial;
7) sarana
dalam pekerjaan dan lingkungan; 8) sumber keuangan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
9
Laporan Penelitian 2006
BAB II METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Gabungan dua pendekatan ini menurut Creswell (1994) berfungsi untuk mendapatkan data/informasi yang lebih lengkap, sehingga penelitian dapat dilakukan secara lebih komprehensif. Dalam konteks penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjaring dan menganalisis data yang bersifat umum melalui metode survei, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh data/informasi yang lebih mendalam sehingga permasalahan dapat diketahui secara lebih mendalam dan mendasar. 2.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai Propinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian dipilih secara purposive pada beberapa desa dari beberapa kecamatan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu yang memiliki kriteria sebagai daerah pesisir, daerah pertanian/perkebunan, dan daerah perkotaan. Atas dasar kriteria tersebut dipilih dua desa dari dua kecamatan yang mewakili daerah pesisir yaitu Kecamatan Teluk Mengkudu dan Kecamatan Pantai Cermin; 4 desa dari 4 kecamatan yang mewakili daerah pertanian, yaitu Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Bandar Khalifah, Kecamatan Kotari, dan Kecamatan Dolok Merawan; dan 2 desa dari 2 kecamatan yang mewakili daerah perkotaan (sektor informal), yaitu Kecamatan Sei Rampah dan Kecamatan Perbaungan. 2.3. Populasi, Sampel, dan Informan Penelitian Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang ada di lokasi penelitian. Sebagai sampel dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 50 kepala rumah tangga dari masing-masing desa terpilih. Dengaan demikian, besar sampel dalam penelitian ini adalah 50 x 8 = 400 kepala rumah tangga miskin. Untuk menetapkan sampel kepala rumah tangga sebagai responden penelitian digunakan data sekunder penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dari daftar Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut akan ditetapkan secara acak siapa-siapa yang akan menjadi responden penelitian. Informan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari aparat pemerintah di tingkat Kabupaten, kelurahan/desa; tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan kepala keluarga miskin, serta LSM, dengan alasan dianggap mampu memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
10
Laporan Penelitian 2006
2.4. Data dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer untuk pendekatan kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth
interview) terhadap informan yang dipandu dengan pedoman wawancara (interview guide), dan observasi (pengamatan). Sedangkan untuk pendekatan kuantitatif data diperoleh melalui instrumen kuesioner yang bersifat semi tertutup (open ended
questionaire) yang ditujukan pada responden penelitian. Sedangkan data sekunder yang diperlukan didapat dengan menelaah berbagai publikasi laporan yang ada pada lembaga dan instansi pemerintah khususnya yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai. 2.5. Definisi Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk menyamakan pemahaman terhadap konsep-konsep penelitan yang digunakan dan untuk memandu penelitian lapangan, maka perlu dilakukan pendefinisian terhadap konsep-konsep tersebut, yaitu: 1. Pemetaan sosial demografi kemiskinan pengelompokan masyarakat miskin berdasarkan mata pencaharian dan wilayah tempat tinggal. 2. Karakteristik kemiskinan ciri-ciri stuktural dan cultural rumah tangga miskin berdasarkan pemetaan sosial demografis kemiskinan, yang meliputi: Sumber keuangn, jaringan sosial, informasi yang tepat, pertahanan ruang hidup, pengetahuan dan keterampilam, sarana dalam pekerjaan dan lingkungan, dan pemanfaatan waktu luang. 3. Sumber keuangan Jaringan pendapatan keuangan keluarga baik secara formal dan informal melalui kredit. 4. Jaringan sosial Jaringan yang bersifat horizontal (keluarga, teman, tetangga) dan jaringan yang bersifat vertikal melewati tingkat sosial untuk memperbaiki adanya perubahan keluarga dengan kekuatan, tetapi ada ketergantungan hubungan patron-klien. 5. Informasi yang tepat Informasi yang akurat dan rasional dalam hubungannya dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
11
Laporan Penelitian 2006
6. Pertahanan ruang hidup Merupakan dasar wilayah ekonomi keluarga yang mencakup ruang fisik dimana anggota keluarga memasak, makan, tidur, dan jaminan perlindungan terhadap barang-barang milik pribadi. 7. Pengetahuan dan keterampilan Tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan khusus dalam ekonomi sangat menguntungkan untuk mempertinggi prospek jangka panjang ekonomi keluarga. 8. Sarana dalam Pekerjaan dan Lingkungan Sebagai alat produksi keluarga, semangat yang kuat untuk produksi pedesaan. 9. Waktu luang Waktu yang terdapat pada keluarga dan merupakan waktu di atas waktu yang diperlukan untuk menambah nafkah pekerjaan. 2.6. Teknik Analisis Data Sejalan dengan desain penelitian yang digunakan, maka analisis data dilakukan secara simultan bersamaan dengan proses pengumpulan data (on going analysis), teknik analisis data lainnya yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Penarikan kesimpulan akan berproses dari temuan kesimpulan yang sifatnya longgar dan umum, lalu secara bertahap terfokus pada eksplanasi dan interpretasi masalah penelitian. Sedangkan untuk pendekatan kuantitatif digunakan analisis statistika deskriptif. Analisis
statistika
deskriptif
dugunakan
untuk
menganalisi
variabel-variabel
yang
dinyatakan dengan sebaran frekwensi, baik secara angka-angka mutlak maupun persentase.
2.7. Rencana dan Jadwal Kerja Pelaksanaan penelitian ini memakan waktu lebih kurang empat
bulan sejak
dibuatnya proposal sampai dengan laporan penelitian yang telah diperbaiki. Alokasi waktu berdasarkan aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
12
Laporan Penelitian 2006
TABEL 2.1 RENCANA DAN JADWAL KERJA No
Kegiatan Penelitian
1 2 3
Bulan I
Bulan II
Bulan III
Bulan IV
Ket
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
4
Proposal
minggu
Pengesahan
2
Proposal
minggu
Pengumpulan data
2 minggu
4
Pengolahan data
2 minggu
5 6
Pembuatan
2
laporan
minggu
Seminar
1 minggu
7
Perbaikan lap.
3
Penelitian
minggu
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
13
Laporan Penelitian 2006
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. GEOGRAFIS 3.1.1 Letak Wilayah .Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2º 57” Lintang Utara, 3º 16” Lintang Selatan, 98º 33” Bujur Timur, 99º 27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 Km² dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara dengan Selat Malaka
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun
Sebelah Timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun
Sebelah Barat dengan Kabupaten Deli Serdang Adapun ketinggian wilayah berkisar 0-500 meter permukaan laut. Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai
terdiri dari 11 Kecamatan dan 243
Desa/Kelurahan.
3.1.2. Iklim Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasium Sampali menunjukkan rata-rata kelembaban udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai 340 mm perbulan dengan periodeik tertinggi pada bulan Agustus –September 2004, hari hujan per bulan berkisar 8-26 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agustus-September 2004. Rata-rata kecepatan uidara berkisar 1,10 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,74 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 23,7°C dan maksimum 32,2 °C.
3.2. PEMERINTAHAN Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas wilayah 1.900,22 kilometer persegi, terbagi dalam 11 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan, di diami oleh penduduk dari beragam etnik suku bangsa,agama dan budaya. Suku-suku tersebut terdiri dari : Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain. Potensi sumberdaya alam di kabupaten ini yaang paling menonjol adalah pertanian, perkebunan dan perikanan, serta pariwisata. Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
14
Laporan Penelitian 2006
Sejak terbentuknya pemerintahan yang baru, Sei Rampah merupakan ibu kota Kabupaten sebagai pusat pemerintahan, jaraknya dengan kota-kota kecamatan sangat bervariasi antara 7 Km s/d 51 Km. Disamping Kecamatan Sei Rampah sebagai pusat kota, Kecamatan Perbaungan juga merupakan kota pusat perdanganan di Kab ini yang diandalkan
dimana
kecamatan
ini
menjadi
indikator
keberhasilan
pertumbuhan
pembangunan yang dilaksanakan. Kota-kota kecamatan yang terletak relatif jauh antara lain (diatas 50 kilometer) antara lain, Kecamatan Dolok Merawqan,. Kecamatan-kecamatan lain jaraknya berkisar 7 sampai
dengan
32
kilometer.
Adanya
wacana
pemekaran
wilayah
kecamatan,
dimungkinkan beberapa kecamatan yang masih memiliki wilayah cukup luas berpeluang untuk dimekarkan. Diantaranya Kecamatan Perbaungan, Sei Rampah dan Dolok Masihul. Hal ini sejalan dengan upaya untuk percepatan proses pelaksanaan pembangunan di daerah. 3.3. PENDUDUK DAN KETENAGA KERJAAN 3.3.1. Penduduk Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jumlah Penduduk Kabupaten ini pada tahun 2004 berjumlah 588.263 jiwa dengan komposisi jumlah penduduk laki laki 295.806 jiwa dan perempuan 292.457 jiwa. Sedangkan jumlah rumah tangganya mencapai 137.042 RT. Kepadatan penduduk Kabupaten ini pada tahun 2004 adalah sebesar 310 jiwa/Km². Kepadatan penduduk terbesar adalah di Kecamatan Perbaungan. Yaitu sebesar 120.193 jiwa atau sebesar 19,47% dari seluruh penduduk Kabupaten Serdang Bedagai. Kecamatan-kecamatan lain diantaranya Kecamatan Sei Rampah 102.766 jiwa, Kec. Tebing Tinggi 78.134 jiwa dan Kecamatan Dolok Masihul 71. 301 jiwa. 3.3.2. Ketenagakerjaan Dari sekitar 588.263 jiwa penduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang berusia 10 tahu keatas (penduduk usia Kerja) sebanyak 255.565 orang merupakan angkatan kerja. Mereka adalah yang berstatus bekerja 208.072 orang dan berstatus menganggur 47.493 orang. Mereka yang berstatus mencari pekerjaan ini sering disebut dengan pengangguran terbuka. Sedang mereka yang melalakukan kegiatan non ekonomis atau bukan angkatan kerja sebanyak 202.192 orang. Mereka adalah yang mempunyai kegiatan utama sekolah 94.662 orang, mengurus rumah tangga 80724 orang, dan melakukan kegiatan lainnya 26.806 orang.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
15
Laporan Penelitian 2006
Di tinjau menurut lapangan usaha penduduk yang bekerja, lebih dari 81.962 orang penduduk Kabupaten ini bekerja disektor pertanian, sektor perdagangan menyerap pekerja sebanyak 32.698 orang, sektor industri 32.253 orang dan sektor jasa mencapai 30.877. Sedangkan sektor terendah adalahsektor pertambangan/penggalian dan sektor jasa keuangan masing-masing sebesar 403 orang dan 538 orang. 3.4. SOSIAL Membentuk sumberdaya mausia yang berkualitas, tentunya harus di imbangi dengan peningkatan mutu pendidikan yang memadai. Ditingkat pendidikan dasar jumlah sekolah sebanyak 484 yang terdiri dari 438 SD Negeri / inpres dan sebanyak 26 SD Swasta. Jumlah SLTP Negeri sebanyak 32 Unit, SLTP Swasta sebanyak 47 unit. Jumlah SMU Negeri sebanyak 8 unit dan SMU Swasta sebanyak 20 unit. Sekolah Menengah Kejuruan Negeri sebanyak 1 unit sedangkan yang diselenggarakan oleh swasta sebanyak 24 unit.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
16
Laporan Penelitian 2006
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISIS 4.1. KARAKTERISTIK KOMUNITAS MISKIN PETANI, NELAYAN, DAN SEKTOR INFORMAL 4.1.1. Karateristik Identitas Responden Responden dalam penelitian berjumlah sebanyak 400 orang (kepala keluarga), yang terdiri dari 200 orang dari komunitas miskin petani, 100 orang dari komunitas miskin nelayan, dan 100 orang lagi dari komunitas miskin sektor informal. Adapun karakteristik identitas personal responden adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Usia Responden No
Kelompok Umur
1
21 – 30 tahun
2
31 – 40 tahun
3
41 – 50 tahun
4
51 – 60 tahun
5
61 tahun ke atas
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 7 (3,50) 45 (22,50) 65 (32,50) 58 (28,00) 25 (12,50)
Total
200 (100,00) Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Jumlah
F (%) 10 (10,00) 34 (34,00) 37 (37,00) 13 (13,00) 6 (6,00)
Sektor Informal F (%) 16 (16,00) 28 (28,00) 37 (37,00) 15 (15,00) 4 (4,00)
F (%) 33 (8,25) 107 (26,75) 139 (34,75) 86 (21,50) 35 (8,75)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Data pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa usia responden sangat bervariasi yaitu dari usia 21 tahun hingga 61 tahun ke atas. Sebagian besar (83%) responden berusia antara 31 tahun hingga 60 tahun. Kelompok usia ini termasuk ke dalam kategori kelompok usia produktif. Namun demikian, data pada Tabel 4.1 juga menunjukkan adanya perbedaan usia antara tiga kategori komunitas miskin (kategori petani; kategori nelayan; dan kategori sektor informal), dimana untuk komunitas miskin petani, sebagian besar usia responden adalah 31 – 60 tahun ( 83%), sementara untuk komunitas miskin nelayan dan sektor informal, sebagian besar usia responden berada pada usia 31 – 50 tahun (71% komunitas nelayan, dan 65% komunitas sektor informal). Gambaran ini menunjukkan
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
17
Laporan Penelitian 2006
bahwa usia juga berpengaruh terhadap karakteristik kemiskinan pada msing-masing komunitas. Artinya, seseorang yang telah lanjut usia masih dapat melakukan kegiatan di sektor pertanian, sementara untuk dua sektor lainnya (nelayan dan sektor
informal),
cenderung dilakukan olah seseorang yang masih tergolong dalam kelompok usia produktif yang lebih muda. Grafik 4.1 Jumlah Anak Responden
≼
6 orang
2123
7,5
5355 58,5
3 – 5 orang
22 26
1 – 2 orang 0
10
20
Petani (%)
34
30 Nelayan (%)
40
50
60
70
Sektor Informal (%)
Bila kita mengikuti cara berpikir yang logis, seharusnya semakin tinggi penghasilan diikuti pula oleh jumlah anak yang semakin banyak, dan sebaliknya, semakin rendah penghasilan maka jumlah anak hendaknya juga semakin sedikit. Namun kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya, keluarga miskin justru memiliki jumlah anak yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga kaya. Hal ini juga ditemui pada responden penelitian ini, yang terdiri dari keluarga-keluarga miskin. Seperti terlihat pada Grafik 4.1, sebagian besar responden memiliki anak lebih dari dua orang. Bahkan cukup banyak responden yang memiliki anak lebih dari 4 orang, bahkan masih ditemui responden yang memiliki jumlah anak lebih dari 6 orang. Persentase responden terbesar yang memiliki jumlah anak lebih dari 6 orang ditemui pada komunitas keluarga nelayan. Gambaran ini menunjukkan bahwa, pada batas-batas tertentu mungkin benar bahwa program KB (Keluarga Berencana) telah berhasil menyadarkan penduduk untuk memiliki cukup dua anak, namun bagi keluarga miskin, mereka masih percaya bahwa setiap anak akan membawa rejeki sendiri-sendiri, dan bagi mereka, nilai ekonomi anak sebagai asset dalam membantu perekonomian keluarga masih cukup kuat. Dengan kata lain, anak bagi keluarga miskin bukanlah merupakan cost (biaya), tetapi justru membantu ekonomi keluarga. Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
18
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.2 Suku Responden No
Suku Responden
1
Jawa
2
Batak
3
Melayu
4
Minang
5
Banjar
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 114 (57,00) 56 (28,00) 21 (10,50) 5 (2,50) 4 (2,00)
Total
200 (100,00) Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Jumlah
F (%) 38 (38,00) 5 (5,00) 34 (34,00) 1 (1,00) 22 (22,00)
Sektor Informal F (%) 35 (35,00) 19 (19,00) 14 (14,00) 23 (23,00) 9 (9,00)
F (%) 187 (46,75) 80 (20,00) 69 (17,25) 29 (7,25) 35 (8,75)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Masyarakat Sumatera Utara merupakan masyarakat yang multikultural, yang antara lain terlihat dari aneka suku (etnik) yang mendiami propinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Serdang Bedagei. Hal ini terlihat dari responden yang terjaring dalam penelitian ini yang juga terdiri dari beragam etnik. Data pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari Suku Jawa, yang diikuti oleh Suku Batak, Suku Melayu dan Suku Banjar. Data ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya melanda satu etnik tertentu, tetapi menyebar pada hampir semua etnik. Ini salah satu indikator yang dapat menjelaskan bahwa persoalan kemiskinan yang dialami oleh sebagian masyarakat di Kabupaten Deli Serdang bukanlah persolan budaya semata, tetapi lebih pada persoalan struktural. Kepala keluarga (Suami/Ayah) ternyata masih tetap menjadi andalan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Hal ini terlihat pada Tabel 4.3 dimana sebagian besar isteri responden (untuk semua kelompok komunitas miskin) tidak memiliki pekerjaan tambahan selain sebagai ibu rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa keluarga miskin belum mampu melakukan diversifikasi pekerjaan atas anggota rumah tangganya, khususnya bagi para isteri mereka, sehingga hanya mengandalkan pada satu sumber mata pencaharian dari suami mereka. Fenomena seperti ini merupakan gambaran dari perangkap kemiskinan (the trap of poverty) seperti yang dikemukakan oleh Robert Chambers. Hanya sebagian kecil saja dari isteri-isteri responden yang memiliki pekerjaan, seperti sebagai pembantu rumah tangga, bertani, berdagang, dan sebagai buruh tani. Dari
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
19
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.3 Pekerjaan Isteri Responden No
Pekerjaan Isteri
1
Ibu Rumah Tangga
2
Pembantu Rumah Tangga
3
Bertani
4
Pedagang
5
Buruh Tani Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 118 (59,00) 9 (4,50) 6 (3,00) 34 (17,00) 33 (16,50)
Jumlah
F (%) 79 (79,00) 4 (4,00) 7 (7,00) 4 (4,00) 6 (6,00)
Sektor Informal F (%) 63 (63,00) 18 (18,00) 19 (19,00) -
F (%) 260 (65,00) 31 (7,75) 13 (3,25) 57 (14,25) 39 (9,75)
200
100
100
400
(100,00)
(100,00)
(100,00)
(100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 sejumlah jenis pekerjaan yang dimasuki oleh sebagian kecil isteri responden, maka pekerjaan sebagai pedagang (pedagang kecil-kecilan dan pedagang bakul) merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dimasuki oleh para isteri responden, terutama untuk kelompok komunitas miskin petani dan sektor informal. Isteri-isteri dari kelompok miskin komunitas nelayan merupakan kelompok yang paling sedikit memasuki jenis-jenis pekerjaan tersebut. Dari hasil wawancara mendalam dapat diketahui bahwa para isteri dari kelompok komunitas miskin tersebut bukannya tidak ingin untuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, namun mereka tidak tau harus bekerja apa, khususnya bagi kelompok komunitas nelayan, karena sangat terbatasnya peluang kerja yang dapat dimasuki. Alasan lainnya adalah, tidak memiliki modal dan keterampilan untuk berusaha. Bagi kelompok komunitas miskin petani, khususnya yang berada di sekitar perkebunanperkebunan besar, peluang kerja bagi wanita (isteri) sesungguhnya cukup terbuka sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di perkebunan-perkebunan tersebut. Namun mereka tidak dapat bekerja menjadi BHL karena jam kerja yang panjang (mulai pagi hingga siang menjelang sore). Bila mereka memaksa diri untuk masuk BHL, mereka khawatir pekerjaan-rumah (pekerjaan domestik) menjadi terlantar. Bagi kelompok komunitas miskin sektor informal yang umumnya bertempat tinggal di daerah kota, sesungguhnya peluang isteri untuk
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
20
Laporan Penelitian 2006
berkerja lebih besar (misalnya sebagai pembantu rumah tangga lepas), namun kenyataannya belum dimanfaatkan oleh para isteri. Grafik 4.2 Pendidikan Responden 58
60 50 30 20
41 36,5 2827 19
27,525
SD
Tidak Sekolah 1
Petani F (%)
63
SLTP
10 0
15
12
2 Nelayan F (%)
SLTA
40
3
4
Sektor Informal F (%)
Dengan latar belakang tingkat pendidikan responden yang relatif rendah dan tidak mengusai keterampilan yang beraneka ragam, maka banyak responden yang akhirnya hanya bisa menerima nasib, bekerja sebagai petani, nelayan, dan sektor informal (berdagang kecil-kecilan) dan menerima hasil yang hanya cukup untuk hidup secara paspasan dari hari ke hari, dan itupun dalam kondisi yang normal. Bila ada gangguan sedikit saja, misalnya, sakit, cuaca yang buruk, kenaikan BBM, dan sebagainya, maka kehidupan sehari-hari mereka menjadi terancam. Dengan kata lain, krisis subsistensi kembali melanda mereka. Dan hal itulah yang terjadi pada mereka saat ini. Data pada Grafik 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden ternyata tidak sekolah atau hanya berpendidikan tingkat SD dan SLTP. Pendidikan yang rendah ditemukan pada semua responden dari ketiga kelompok komunitas miskin yang ada. Namun demikian, ada kecenderungan bahwa tingkat pendidikan pada kelompok komunitas miskin sektor informal lebih baik bila dibandingkan dengan dua kelompok komunitas miskin lainnya (petani dan nelayan). Informasi yang cukup mencemaskan
diperoleh melalui hasil FGD dengan
sekelompok masyarakat dari kelompok komunitas miskin nelayan terkait dengan persepsi mereka terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Sebagian dari peserta FGD menyebutkan bahwa saat ini tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, di samping mengeluarkan banyak biaya, sudah tamat pun menganggur juga. Menurut mereka lebih
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
21
Laporan Penelitian 2006
baik mengajak anak melaut, jelas hasilnya dapat membantu bagi perekonomian keluarga. Bila pandangan (persepsi) mereka tentang pendidikan anak-anak mereka masih seperti itu, maka ”lingkaran kemiskinan” dalam komunitas nelayan miskin khususnya, dan pada komunitas miskin umumnya menjadi sulit untuk dieliminir. Padahal tingkat pendidikan (akses terhadap pendidikan) menurut Bank Dunia (world Bank) merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah suatu masyarakat termasuk dalam kategori miskin atau tidak. Jika hanya mengandalkan modal tenaga otot, pendidikan dan keterampilan yang terbatas, serta ditambah lagi dengan tidak dimilikinya jaringan (koneksi) yang bisa diminati bantuan, apa yang dapat dilakukan oleh penduduk miskin tersebut.
Seperti yang
dikemukakan oleh sebagian besar responden, terutama dari kelompok komunitas miskin nelayan dan petani, bahwa berapa pun hasil yang mereka peroleh dari dari sektor pertanian dan nelayan, hal itu akan tetap mereka kerjakan karena kemungkinan untuk mencari pekerjaan alternatif sangat sulit. Sedikit berbeda dengan kelompok miskin sektor informal, tukar (alih) pekerjaan ke jenis pekerjaan yang lain (masih dalam sektor informal) bila dianggap akan memberikan hasil yang lebih baik merupakan hal yang biasa bagi mereka. Keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dan modallah yang ”memasung” mereka untuk tetap mempertahankan jenis pekerjaan sektor informal yang sekarang mereka tekuni. 4.1.2. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Sumber Keuangan Sumber keuangan merupakan sebuah jaringan pendapatan keuangan keluarga baik secara formal dan informal. Masyarakat miskin di Kabupaten Serdang Bedagai ini masih jauh di bawah garis kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari Grafik 4.3 berikut. Grafik 4.3 Pendapatan Rata-Rata Keluarga Responden Setiap Bulan
2328 21,5
Rp 550.000 – Rp 1.500.000
71 77 78,5
Rp 100.000 – Rp 500.000
1
> Rp 100.000 0 Petani F (%)
20
Nelayan F (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
40
60
80
100
Sektor Informal F (%)
22
Laporan Penelitian 2006
Bila dilihat dari pendapatan rata-rata keluarga responden per bulan, sebagian besar responden menyatakan berpenghasilan rata-rata antara Rp 100.000,- s/d Rp 500.000,- per bulan, dan hanya sebagian kecil responden saja yang menyatakan penghasilan rata-ratanya sebulan di atas Rp 500.000; bahkan seorang responden dari kelompok miskin sektor informal menyebutkan penghasilan rata-rata keluarga per bulannya di bawah Rp 100.000,-. Hal tersebut wajar, karena yang dijadikan sebagai responden penelitian ini adalah masyarakat yang termasuk dalam kategori miskin, yaitu penerima dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Gambaran penghasilan rata-rata keluarga responden sebagaimana tampak pada Grafik 4.3 menunjukkan bahwa fenomana komunitas miskin bila dilihat dari segi penghasilan cukup memprihatinkan. Apalagi bila penghasilan tersebut dikaitkan dengan jumlah anggota keluarga yang cukup besar, rata-rata memiliki 3 -5 orang anak dalam satu keluarga, maka penghasilan itu menjadi sangat minimal untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan keluarga (pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan). Rendahnya penghasilan keluarga mengakibatkan rendahnya kemampuan untuk mengakses berbagai kebutuhan lainnya, yang lebih lanjut membuat keluarga tersebut semakin tidak berdaya. Pada keluarga miskin sebenarnya ada semacam optimisme, keyakinan bawah sadar mereka bahwa seseorang tidak mungkin akan mati kelaparan asalkan mau bekerja untuk mendapatkan penghasilan bagi dirinya dan keluarganya. Tetapi apakah para orang tua bisa secara leluasa membesarkan anak-anak dengan penghasilan yang sangat minim seperti itu. Ketika anak-anak itu sudah besar dan mampu mencari penghasilan sendiri, mungkin benar bahwa para orang tua tidak merasa terbebani secara ekonomi, bahkan seringkali terbantu secara ekonomi. Tetapi bagi responden yang masih memiliki anak yang masih kecil-kecil, apalagi balita, niscaya mereka akan dibebani dengan tekanan ekonomi yang tak ringan. Jangankan memperhatikan gizi balita dan anak-anaknya, sekedar dapat memenuhi kebutuhan makan pun sudah sangat berat. Bila dilihat dari segi penghasilan tersebut dan dikaitkan dengan lima unsur kemiskinan seperti dikemukakan oleh Robert Chambers (1988) yang salah satunya adalah kekurangan materi, maka responden penelitian ini termasuk dalam kategori kekurangan materi. Kondisi kekurangan materi, terutama jika dilihat dari penghasilan keluarga
per
bulan
memang
bisa
dikategorikan
kepada
kondisi
rata-rata
yang
cukup
memperihatinkan terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Strategi yang dilakukan oleh keluarga miskin untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarga dengan persediaan keuangan keluarga yang minim adalah dengan terlebih dahulu mengutamakan kepada pemenuhan kebutuhan keluarga yang menyangkut keselamatan jiwa (nyawa). Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan selain makan seperti pendidikan anak atau
membeli pakaian anak, menjadi kebutuhan yang terpaksa harus
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
23
Laporan Penelitian 2006
ditinggalkan karena uang keluarga hanya cukup untuk makan bahkan untuk makan pun selalu kekurangan. Ketergantungan sumber penghasilan pada kepala keluarga (ayah) merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya penghasilan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebelumnya, dimana sebagian besar dari isteri responden hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga (mengerjakan pekerjaan domestik) yang tidak memberi kontribusi tambahan penghasilan bagi keluarga. Penelitian ini juga menemukan bahwa kontribuasi anggota keluarga lainnya (anak) terhadap penambahan penghasilan keluarga per bulan sangatlah minim. Dari sebanyak 400 orang responden yang diwawancarai, hanya sebagian kecil saja yang menyebutkan bahwa anak memberi kontribusi bagi penghasilan keluarga, yaitu 18 responden (9%) dari kategori komunitas miskin petani; 12 responden (12%) dari kategori komunitas miskin nelayan; dan hanya 5 responden (5%) dari kategori komunitas miskin sektor informal. Besar kontribusi anak untuk menambah penghasilan keluarga bervariasi dari Rp 100.000,- s/d Rp 500.000,per bulan. Anak yang memberi kontribusi bagi penghasilan keluarga tersebut umumnya bekerja di luar tempat tinggal mereka (merantau) ke kota, bahkan ada yang menjadi TKI ke luar negeri (Malaysia). Dari hasil wawancara mendalam terhadap informan dapat diketahui bahwa kontribusi anak terhadap penghasilan keluarga memang tidak diberikan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk bantuan tenaga terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua. Dan itu pun jumlahnya sangat sedikit. Lebih lanjut menurut informan, anak-anak sekarang, meskipun mereka berpenghasilan, tetapi jarang yang mau memberikan bantuan pada orang tuanya. Uangnya yang mereka peroleh biasanya mereka konsumsi sendiri. �Zaman sekarang ini, sudah syukur kalau anak tidak minta lagi sama orang tua�, ungkap salah seorang informan ketika diwawancarai. Bila kita melihat fenomena seperti temuan penelitian ini, maka nilai ekonomi anak bagi orang tua sesungguhnya tidaklah ada. Namun �romantisme� itu masih tetap hidup dalam keluarga miskin, sehingga anak yang banyak masih merupakan ciri keluarga miskin di Indonesia umumnya dan di daerah penelitian ini khususnya. Meskipun anak tidak memberi kontribusi ekonomi saat ini, sebagian orang tua tetap yakin, bahwa anak merupakan asset ekonomi di hari tua. Artinya, orang tua masih tetap menggantungkan harapan bahwa ketika mereka tua kelak dan tidak bisa lagi bekerja, maka kehidupan mereka sangat tergantung pada anak-anak mereka. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa penghasilan responden yang sangat rendah hanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Untuk lebih jelasnya tentang alokasi penghasilan keluarga responden dari tiga kategori komunitas miskin dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
24
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.4 Alokasi Penghasilan Keluarga Responden Tiap Bulan Yang Diperuntukkan Bagi Kebutuhan Pangan Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin No
Alokasi Untuk Pangan
1
> Rp 10.000
2
Rp 11.000 – Rp 50.000
3
Rp 51.000 – Rp 100.000
4
Rp 110.000 – Rp 300.000
5
> Rp 300.000 Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 1 (0,50) 3 (1,50) 18 (9,50) 167 (83,50) 11 (5,50)
F (%) 1 (1,00) -
200 (100,00)
Jumlah
3 (3,00) 79 (79,00) 17 (17,00)
Sektor Informal F (%) 1 (1,00) 6 (28,00) 72 (72,00) 21 (21,00)
F (%) 2 (0,25) 4 (1,00) 27 (6,75) 318 (79,50) 49 (12,25)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Data pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa besar alokasi penghasilan keluarga yang diperuntukkan bagi kebutuhan makan (pangan) cukup bervariasi. Sebagian besar responden untuk ketiga kategori komunitas miskin menyebutkan bahwa alokasi untuk kebutuhan makan berkisar antara Rp 110.000,- s/d Rp 300.000,-. Hanya sebagian kecil saja yang menyebutkan antara Rp 51.000,- s/d Rp 100.000,- dan di atas Rp 300.000,-. Data menunjukkan bahwa kategori komunitas miskin nelayan dan sektor informal menunjukkan persentase yang lebih besar untuk alokasi kebutuhan makan dibandingkan dengan kategori komunitas miskin petani. Ini menunjukkan bahwa alokasi untuk kebutuhan pangan pada dua kategori komunitas miskin tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan komunitas miskin petani. Temuan tersebut bisa dijelaskan bahwa bagi kategori komunitas miskin nelayan dan sektor informal, hampir semua kebutuhan untuk pangan harus mereka beli memalui pasar. Berbeda dengan kategori komunitas miskin petani, dimana masih ada kebutuhan pangan yang didapatkan tanpa harus membeli, seperti sayur-mayur dan berbagai macam jenis bahan pangan yang masih mungkin untuk ditanam di sekitar rumah mereka. Di samping itu, tradisi untuk makan yang lebih enak memang biasanya ditemui pada komunitas nelayan dibandingkan dengan komunitas petani. Ungkapan ”gulai balomak” yang hidup di kalangan nelayan merupakan gambaran bahwa komunitas nelayan memiliki kebiasaan (pola) makan yang lebih mewah dibandingkan dengan komunitas petani.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
25
Laporan Penelitian 2006
Sedangkan untuk kategori komunitas miskin sektor informal, relatif besarnya alokasi untuk kebutuhan pangan merupakan konsekwensi dari tempat tinggal mereka yang umumnya di daerah perkotaan, sehingga semua kebutuhan harus dibeli, dan harganya juga relatif lebih mahal. Meskipun bagian terbesar dari penghasilan keluarga responden dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan (makan), namun menurut sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut, alokasi yang seperti itu sesungguhnya masih kurang, dan hanya sebagian kecil saja dari responden yang mengatakan cukup (lihat Tabel 4.5 di bawah ini). Tabel 4.5 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pendapat ttg tingkat pemenuhan kebutuhan makan Golongan masyarakat
Cukup
kurang
tak ada alokasi
Total
masyarakat petani
17
183
-
200
masyarakat nelayan
13
83
4
100
6
93
1
100
36
359
5
400
masyarakat sektor informal Total Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Dari hasil wawancara mendalam terhadap beberapa responden diperoleh informasi bahwa alokasi penghasilan yang diperuntukkan bagi kebutuhan makan tersebut sesungguhnya masih jauh dari cukup apabila dikaitkan dengan kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh. Mereka umumnya belum terlalu memperhatikan
masalah
kecukupan gizi. Bagi mereka yang paling utama adalah perut kenyang. Sedikit berbeda dengan komunitas miskin nelayan, umumnya mereka mendapatkan gizi (protein) yang lebih baik bila dibanding dengan dua kategori komunitas miskin lainnya. Komunitas miskin nelayan, meskipun penghasilan mereka pas-pasan, namun mereka masih sering mengkonsumsi ikan dari hasil tangkapannya, walaupun seringkali ikan yang dikonsumsi mereka adalah ikan-ikan dari jenis yang kurang disukai oleh pasar dan yang kualitasnya kurang baik. Sementara hasil tangkapan ikan yang berkualitas baik dan laku di pasar pada umumnya mereka jual untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya. Responden yang menjawab alokasi tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga pada umumnya adalah responden yang memiliki jumlah anggota keluarga sedikit (kecil). Namun sesungguhnya masih saja belum dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan gizi yang baik.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
26
Laporan Penelitian 2006
Bila keadaan ini dikaitkan dengan teori yang dikemukakan Robert Chambers (1988) tentang ”Perangkap Kemiskinan” maka dengan gizi dan kecukupan makanan yang rendah akan berakibat pada unsur yang lain, seperti kelemahan jasmani. Apabila jasmani lemah, maka tingkat produktivitas menjadi rendah, tidak mampu menggarap lahan yang luas atau bekerja lebih lama, yang semua itu akan menggiring orang tersebut ke kemiskinan yang lebih parah. Tabel 4.6 Alokasi Penghasilan Keluarga Responden Tiap Bulan Yang Diperuntukkan Bagi Pendidikan Anak Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin No
Alokasi Untuk
Kategori Komunitas Miskin
Jumlah
Pendidikan Anak
1
> Rp 10.000
2
Rp 11.000 – Rp 50.000
3
Rp 51.000 – Rp 100.000
4
Rp 110.000 – Rp 300.000
5
Tidak ada alokasi Total
Petani
Nelayan F (%) 1 (1,00) 32 (32,00) 16 (16,00) 51 (51,00)
Sektor Informal F (%) 40 (40,00) 16 (16,00) 4 (4,00) 40 (40,00)
F (%) 3 (0,50) 71 (1,50) 59 (9,50) 27 (83,50) 40 (5,50)
F (%) 4 (1,00) 143 (35,75) 91 (22,75) 31 (7,75) 131 (32,75)
200 (100,00)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Jalur pendidikan oleh beberapa kalangan dipandang sebagai salah satu sarana untuk dapat melakukan mobilitas sosial vertikal ke atas, dan sebagai sarana mobilitas sosial antar generasi. Dengan kata lain, melalui pendidikanlah seseorang diharapkan akan mendapatkan
kehidupan
sosial
ekonomi
yang
lebih
baik,
baik
di
lingkungan
masyarakatnya, atau dibandingkan dengan kehidupan orang tuanya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi (berhubungan) dengan pekerjaan seseorang, dan pekerjaan seseorang berkorelasi (berhubungan) pula dengan tingkat penghasilan seseorang. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik jenis pekerjaan yang dimasuki dan akan semakin besar gaji (penghasilan) yang diperoleh.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
27
Laporan Penelitian 2006
Untuk dapat mencapai tingkat pendidikan yang tinggi dan berkualitas tentu diperlukan sejumlah biaya. Meskipun untuk jenjang pendidikan tertentu pemerintah mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis, namun dalam prakteknya, orang tua harus tetap mengeluarkan biaya buat anak-anaknya, apalagi untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas di sekolah-sekolah tertentu. Dengan kata lain, biaya pendidikan merupakan salah satu beban yang harus dipikirkan oleh orang tua. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui seberapa besar alokasi penghasilan keluarga diperuntukkan bagi pendidikan. Data pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut hanya mengalokasikan penghasilannya sebesar Rp 11.000,- s/d Rp 50.000,- per bulan untuk pendidikan anak-anaknya, dan diikuti oleh alokasi sebesar Rp 51.000,- s/d
Rp 100.000,-
per bulannya. Hanya sebagian kecil dari responden kategori komunitas miskin petani dan sektor informal yang menyisihkan penghasilan keluarga antara
Rp 110.000,- s/d
Rp 300.000,-; dan tak seorang responden pun dari kategori miskin nelayan yang mengalokasikan penghasilan sebesar itu untuk pendidikan anak-anaknya. Untuk dua kategori komunitas miskin, yaitu komunitas miskin nelayan dan komunitas miskin sektor informal, masing-masing 51% dan 40% responden yang mengatakan tidak membuat alokasi pendidikan buat anak-anak mereka, sedangkan responden dari kategori komunitas miskin petani hanya sebagian kecil (5,5%) saja yang tidak mengalokasikan penghasilannya untuk pendidikan. Alasan mereka untuk tidak mengalokasikan penghasilannya untuk pendidikan antara laian adalah: (1) penghasilan yang mereka peroleh per bulannya tidak mencukupi bila dialokasikan untuk pendidikan; (2) Anak tidak ada yang sekolah atau sudah tidak sekolah lagi (droup out); dan (3) uang sekolah gratis (dana BOS). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penghargaan terhadap arti penting pendidikan lebih tinggi pada komunitas miskin petani bila dibandingkan dengan komunitas miskin nelayan dan sektor informal. Persepsi yang kurang positif terhadap pendidikan dari komunitas miskin nelayan dan sektor informal antara lain dipengaruhi lingkungan, dimana pada lingkungan nelayan, anak-anak sudah dapat memperoleh penghasilan sendiri dengan bekerja sebagai nelayan, sedangkan anak-anak pekerja sektor informal juga sudah dapat membantu orang tua mereka mengerjakan pekerjaan orang tuanya. Temuan ini juga menggambarkan betapa �lingkaran kemiskinan� dan �perangkap kemiskinan� senantiasa menjadi bagian hidup komunitas miskin. Temuan ini memperkuat temuan sebelumnya tentang sikap pesimisme masyarakat nelayan terhadap manfaat pendidikan bagi anak-anaknya. Sikap (pandangan) yang tidak positip terhadap pendidikan bagi anak-anaknya ternyata berpengaruh terhadap alokasi pengahasilan keluarga responden bagi biaya pendidikan anak-anaknya.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
28
Laporan Penelitian 2006
Keprihatinan terhadap kondisi pendidikan anak-anak komunitas miskin ini semakin jelas terlihat pada Tabel 4.7 di bawah ini. Tabel 4.7 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Anak
Golongan masyarakat
Pendapat ttg tingkat pemenuhan kebutuhan pendidikan Cukup kurang tak ada alokasi
Total
masyarakat petani
7
153
40
200
masyarakat nelayan
6
43
51
100
masyarakat sektor informal
3
57
40
100
26
229
145
400
Total Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Kondisi tubuh yang sehat merupakan prasyarat untuk dapat melakukan berbagai aktivitas pekerjaan. Kondisi kesehatan yang buruk akan menggiring seseorang pada kondisi ketidakberdayaan yang akhirnya menjadi salah satu penyebab yang menghantarnya pada kemiskinan. Bagi sebagian masyarakat yang sedikit lebih beruntung, yang bekerja di sektor formal, maka jaminan kesehatan mereka di jamin oleh lembaga dimana mereka bekerja, yang investasi dananya diambil langsung oleh lembaga setiap bulannya melalui pemotongan gaji. Bagi sebagian masyarakat yang tidak memiliki asuransi (jaminan) kesehatan, seperti pada tiga kategori komunitas miskin yang dijadikan sebagai responden penelitian, maka persoalan biaya kesehatan menjadi sesuatu yang sangat menghantui kehidupan mereka. Apalagi biaya kesehatan (medis) yang sangat mahal dewasa ini. Karena itu, meskipun penghasilan mereka cukup minim, sebagian dari mereka tetap mengalokasikan penghasilan mereka tiap bulannya untuk biaya kesehatan. Mereka menyebutnya dengan istilah �berjaga-jaga�, meskipun alokasi itu tidak terlalu ketat mereka lakukan, dan cenderung lebih bersifat spontanitas. Artinya, mereka tidak khusus menabung untuk biaya kesehatan mereka, tetapi mereka akan mengupayakan untuk memiliki simpanan sedikit uang, yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk biaya pengobatan. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui (lihat tabel di atas) bahwa hanya sebagian kecil saja dari responden untuk ketiga kategori komunitas miskin tersebut yang sama sekali �tidak ada� mengalokasikan penghasilannya untuk biaya kesehatan. Sebagian besar responden menyatakan mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk biaya kesehatan meskipun jumlahnya cukup bervariasi.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
29
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.8 Alokasi Penghasilan Keluarga Responden Tiap Bulan Yang Diperuntukkan Bagi Kesehatan Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin No
Alokasi Untuk
Kategori Komunitas Miskin
Jumlah
Kesehatan
1
> Rp 10.000
2
Rp 11.000 – Rp 50.000
3
Rp 51.000 – Rp 100.000
4
Rp 110.000 – Rp 300.000
5
Tidak ada alokasi Total
Petani
Nelayan F (%) 33 (33,00) 32 (32,00) 6 (6,00) 2 (2,00) 27 (27,00)
Sektor Informal F (%) 16 (16,00) 47 (47,00) 5 (5,00) 1 (1,00) 31 (31,00)
F (%) 45 (22,50) 101 (50,50) 32 (16,00) 22 (11,00)
F (%) 94 (23,50) 180 (45,00) 43 (10,75) 3 (0,75) 80 (20,00)
200 (100,00)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Dari grafik 4.7 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa alokasi untuk biaya kesehatan per bulannya adalah antara Rp 11.000,s/d Rp 50.000,- diikuti oleh jumlah di bawah Rp 10.000,-; antara Rp 51.000,- s/d
Rp
100.000,-. Bila data pada Tabel 4.8 tersebut
dibandingkan dengan data pada alokasi
pendidikan, maka kesadaran masyarakat dari ketiga komunitas miskin lebih tinggi untuk kesehatan dibanding dengan pendidikan. Hal ini terlihat dari perbandingan responden yang tidak mengalokasikan penghasilannya untuk pendidikan dan kesehatan, dimana lebih banyak responden yang tidak mengalokasikan penghasilnnya untuk pendidikan dibanding untuk kesehatan. Namun kesadaran akan pentingnya kesehatan yang terlihat dari ada atau tidaknya alokasi penghasilan untuk kesehatan, ternyata ada kesamaannya, dimana kategori komunitas miskin petani lebih tinggi kesadarannya bila dibanding dengan kedua kategori miskin lainnya (nelayan dan sektor informal). Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada beberapa responden yang tidak ada mengalokasikan penghasilannya untuk kesehatan diperoleh informasi bahwa mereka umumnya tidak terlalu pusing (memikirkan) persolan kesehatan dan biaya kesehatan yang cukup mahal. Sikap pasrah yang dilandasi oleh keyakinan bahwa kesehatan, termasuk kematian, hanya Tuhan yang tau, maka mereka yakin bahwa kalau
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
30
Laporan Penelitian 2006
belum ajal tiba, bagaimanapun parah sakitnya, seseorang akan sembuh kembali. Sikap pasrah seperti itu dapat dipahami dari dua sisi, pertama, benar-benar sebagai perwujudan pasrah kepada takdir Allah; dan kedua, merupakan wujud dari sikap patalistik, karena ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu akibat himpitan kondisi ekonomi (kemiskinan). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila dilihat dari alokasi penghasilan untuk kesehatan, maka situasi yang sangat rawan juga senantiasa ada pada ketiga komunitas miskin tersebut. Dan hal inilah yang senantiasa memperkokoh kondisi kemiskinan mereka. Hal ini dapat dijelaskan melalui suatu kasus, dimana seorang nelayan yang sakit dan tidak mampu untuk melaut hingga beberapa hari, sementara tidak ada anggota keluarga yang mendapatkan penghasilan, maka sangat sulit bagi mereka untuk dapat keluar dari kemiskinannya tanpa ada upaya pemberdayaan secara ekonomi pada mereka. Sepanjang si nelayan sakit, maka keluarga tersebut tidak berpenghasilan sama sekali, kalau mereka memiliki simpanan maka itulah yang dijual, dan kalau mereka tidak punya maka hutanglah yang dicari, dan hutang inilah yang akhirnya membelenggu mereka dalam kemiskinan. Dan hal ini hampir pernah dialami oleh para nelayan miskin. Meskipun sandang termasuk dalam kategori kebutuhan primer, namun bagi responden penelitian hal itu tidaklah terlalu menjadi persoalan. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian dimana sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin ”tidak ada” megalokasikan penghasilannya untuk pembelian sandang. Hanya sebagian kecil saja dari responden yang mengalokasikan penghasilannya untuk kebutuhan sandang, dan jumlah alokasinya adalah di bawah Rp 10.000,- dan antara Rp 11.000,- s/d Rp 50.000,-. Sama halnya dengan alokasi untuk kesehatan, alokasi untuk kebutuhan sandang ini juga tidak mereka tabung per bulan, namun hanya dirata-ratakan saja. Pembelian sandang umumnya mereka lakukan pada hari-hari tertentu, seperti pada saat lebaran (Hari Raya Idul Fitri) bagi responden yang beragama Islam dan saat Tahun Baru bagi responden yang beragama kristen. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa saat ini untuk kebutuhan sandang mereka sangat terbantu dengan adanya pakaian ”Monja” yang harganya murah dan kualitasnya masih cukup bagus. Dan mereka mengatakan, kebutuhan pakain yang ”bagus” hanya mereka perlukan ketika sekali-kali mereka akan berkunjung ke rumah keluarga di tempat lain, atau pakaian saat ada undangan pesta. Selain itu, umumnya mereka hanya menggunakan pakaian sehari-hari, bahkan terkadang mereka tidak memakai baju dalam bekerja (untuk kaum pria).
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
31
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.4 Biaya Cadangan (Tabungan) Yang Dimiliki Responden Untuk Keperluan Mendadak Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin 120 95,592
100
100
80 60 40 20
4,5 8
0 Ya (ada) Petani F (%)
Tidak ada Nelayan F (%)
Sektor Informal F (%)
Kesiapan keluarga dalam mengahadapi situasi-situasi mendadak dan sulit terlihat sangat mengkhawatirkan sekali karena ketiadaan dana. Pada masyarakat petani dan nelayan terlihat masih terlalu banyak yang punya dana cadangan untuk hal-hal mendadak. Bahkan pada masyarakat sektor informal 100% tidak memiliki dana cadangan. Dalam menjalani kehidupan terkadang muncul peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan, seperti musibah kematian, sakit, gagal panen, rugi dalam berusaha, dan sebagainya yang memerlukan uang seketika. Dalam keadaan seperti itu, suatu keluarga akan merasa aman apabila mereka memiliki tabungan atau simpanan sehingga dapat dipergunakan bila sewaktu-waktu sangat dibutuhkan dalam keadaan mendadak. Terhadap fenomena tersebut, hasil penelitian ini menemukan (seperti terlihat pada Garfik 4.4) hanya sebagian kecil saja dari dua kategori komunitas miskin petani dan nelayan yang memiliki simpanan untuk keperluan mendadak, sedangkan untuk responden dari kategori komunitas miskin sektor informal, sama sekali tidak ada (0 %) responden yang memiliki simpanan untuk keperluan mendadak. Sebagian besar, bahkan seluruhnya untuk komunitas miskin sektor informal menyatakan tidak punya simpanan (biaya) untuk keperluan mendadak. Temuan penelitian ini menggambarkan situasi �kerentanan� komunitas miskin dalam terminologi Robert Chambers. Artinya, komunitas miskin berada dalam situasi yang sengat rentan untuk terus berada dalam kemiskinannya, karena mereka tidak memiliki tabungan sama sekali dalam situasi keperluan yang mendadak. Sementara situasi kerja yang penuh dengan resiko, baik resiko kecelakaan maupun resiko mengalami kerugian senantiasa selalu menhampiri mereka.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
32
Laporan Penelitian 2006
Kondisi-kondisi tersebut yang ikut berperan di dalam menciptakan suatu keluarga miskin menuju kekemelaratan karena kepemilikan sumber ekonomi seperti tanah atau sawah untuk petani, peralatan nelayan (sampan) bahkan rumah untuk nelayan, dan penggunaan modal usaha untuk sektor informal, yang awalnya dijadikan sebagai penopang ekonomi keluarga menjadi habis terjual guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak tersebut. Dampak dari peristiwa seperti itu yang memaksa keluarga miskin melakukan usaha untuk menutupi kekurangan uang yaitu meminjam. Kegiatan meminjam merupakan solusi utama keluarga miskin karena sudah tidak punya lagi sumber-sumber
pendapatan keluarga. Dari hasil wawancara dengan salah
seorang informan dari keluarga miskin diperoleh informasi, �Untuk menutupi kekurangan penghasilan akibat kejadian-kejadian yang tidak terduga seperti sakit, maka tidak ada pilihan kami kecuali mencari pinjaman, kalau kami masih memiliki barang yang dapat dijual kami akan menjual barang kami untuk menanggulanginya, tetapi berhubung keluarga saya tidak punya maka jalan satu-satunya adalah meminjam uang, dengan resiko terus-menerus terbebani dengan pembayaran hutang. Bila tidak ada kerabat dan tetangga yang bisa dipinjami, maka meminjam kepada koperasi kredit (tengkulak) tak dapat dihindari, meskipun resiko terbelit hutang sangat tinggi. Adanya masalah-masalah keluarga miskin yang terjadi di luar jangkauan mereka dan juga penyelesaian tidak ada cara lain kecuali dengan menggunakan uang itulah yang dapat menimbulkan kondisi ekonomi keluarga menjadi rentan kekurangan dan penyusutan sehingga kemelaratan menjadi masalah yang tidak bisa dihindari oleh keluarga miskin. Dengan kata lain, kondisi ekonomi keluarga miskin belum siap untuk menghadapi kenyataan-kenyataan
hidup
yang
terjadi
seperti
musibah,
malapetaka,
kerugian,
kegagalan, jatuh sakit, dan kejadian lainnya yang sudah pasti membutuhkan penggunaan uang keluarga dalam penanganannya. Untuk menanggulangi kekurangan penghasilan bagi kebutuhan hidup dan untuk keperluan mendadak, berbagai siasat atau strategi dilakukan oleh komunitas miskin, mulai dari pengurangan porsi dan menu makanan, pengurangan frekwensi makan nasi, mengirit pengeluaran, mencari pekerjaan tambahan, meninta bantuan saudara atau tetangga, menjual barang pribadi, hingga melakukan peminjaman uang. Mengirit pengeluaran merupakan strategi yang paling banyak dilakukan oleh responden untuk semua kategori komunitas miskin. Mengurangi makan merupakan strategi kedua terbanyak yang dilakukan oleh responden dari kategori komunitas petani dan sektor informal, dan strategi itu hanya sedikit dilakukan oleh kategori komunitas nelayan. Menurut responden nelayan, mengurangi makan tak mungkin bisa mereka lakukan untuk pekerjaan melaut, karena hal itu akan beresiko tinggi untuk kesehatan mereka.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
33
Laporan Penelitian 2006
Strategi apa pun yang mereka lakukan untuk mensiasati kekurangan penghasilan senantiasa akan berdampak pada semakin tidak berdayanya komunitas miskin tersebut. Dengan kata lain, strategi apapun yang mereka lakukan akan cenderung
menggiring
mereka pada kemelaratan yang lebih parah. Grafik 4.5 Aktivitas Yang Dilakukan Responden Ketika Penghasilan Dirasa Tak Cukup 1 1 1
tidak melakukan apa-apa
8 meminjam uang 0 4,5 6 mencari bantuan tetangga 0 2,5 47 9
mencari bantuan saudara
7 7,5
mencari kerja tambahan
17 29
mengirit pengeluaran mengurangi makan
7
jual barang pribadi
1
0 Petani (%)
4
17
57,5
80
22
12
20 Nelayan (%)
40 60 80 Sektor Informal (%)
100
Kondisi masyarakat miskin yang selalu kekurangan dana untuk menutupi biaya hidup, tidak banyak pilihan yang diambil guna menyambung hidup. Mencari kerja tambahan, mengirit pengeluaran, meminjam uang serta mengurangi makan adalah alternatif yang paling realistik bagi keluarga miskin untuk menutupi kurangnya penghasilan keluarga mereka. Berdasarkan Grafik 4.5 di atas terlihat bahwa masyarakat petani lebih giat untuk mencari kerja tambahan atau melakukan aktivitas di luar pekerjaan sehari-hari guna menambah pengahsailan dibandingkan dengan masyarakat nelayan dan masyarakat sektor informal. Masyarakat petani juga lebih mampu dalam mengirit dana dibandingkan dengan nelayan dan sektor informal. Namun kegiatan meminjam uang lebih banyak dilakukan justru oleh masyarakat petani dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Bagaimana kondisi hutang ketiga golongan masyarakat ini dapat kita lihat pada Grafik 4.6 berikut ini.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
34
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.6 Tingkat Keseringan Responden Meminjam Uang Dalam Sebulan 66,5
70
63
60
60 50 40 30 20
15,515
25
20
19
15,5
13
10
6
0
1-2 kali
3-5 kali
Petani (%)
4
lebih dari 5 kali tidak berutang
Nelayan (%)
Sektor Informal (%)
Sebagian besar keluarga miskin melakukan pinjaman (berhutang) untuk memenuhi kekurangan penghasilan. Hanya sedikit yang tidak berhutang. Kondisi ini dapat kita lihat pada tabel di atas. Dari Grafik 4.6 di atas dapat kita ketahui bahwa masyarakat petani cenderung sering berhutang dibandingkan dengan yang lain. Mereka adalah peluang bisnis yang sangat menarik dan akan terus diburu para rentenir dikarenakan tidak punya pilihan lain. Mereka tidak memiliki jaminan bila harus meminjam kepada lembaga keuangan seperti Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Grafik 4.7 Cara Responden dalam membayar hutang 70
61
60
56
61,5
50 40 30
21,5
24 22
20 10
1,5
6
14,5
10 1
4
1
5
6
0 cari pinjaman menggunakan pemunduran minta bantuan tidak berutang lain penghsilan waktu saudara sebulan pembayaran Petani (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
Nelayan (%)
Sektor Informal (%)
35
Laporan Penelitian 2006
Hutang memang tidak bisa lepas dari kehidupan bila dana yang tersedia untuk hidup terbatas. Banyak cara yang digunakan untuk membayar hutang yang telah dilakukan oleh masyarakat petani, nelayan ataupun sektor informal. Gali lubang tutup lubang merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat petani, nelayan dan sektor informal bila kita saksikan dari Grafik 4.7 di atas. Yang paling dominan adalah menggunakan penghasilan sebulan. Bila ini dilakukan, maka konsekuensinya adalah kurangnya alokasi dana untuk kebutuhan yang mendasar lainnya. Selain itu meminta penundaan pembayaran hutang adalah aktivitas yang biasa dilakukan mengingat belum tersedianya dana pada waktu yang telah ditetapkan. Disamping itu semua ternyata masih ada dari responden yang berasal dari masyarakat petani, nelayan dan sektor informal yang mencoba untuk bekerja sampingan guna menambah penghasilan walaupun kondisi lemah dan letih setelah bekerja. Garfik 4. 8 Kondisi Responden pada saat harga kebutuhan bahan pokok naik 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
79 56 60 37 35 15,5 5 tidak mampu beli
6 5
mampu beli simpanan berkurang
Petani (%)
1 0 mampu beli ada simpanan 0,5
mampu beli tidak ada simpanan
Nelayan (%)
Sektor Informal (%)
Kondisi yang agak berat bisa dirasakan oleh keluarga miskin bila terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Alokasi dana yang sudah sedikit hanya mampu membeli dalam jumlah kecil dan bahkan ada yang tidak mampu beli sama sekali. Pada Grafik 4.8 jelas terlihat bahwa masih banyak masyarakat miskin petani, nelayan dan sektor informal yang tidak mampu beli sama sekali barang kebutuhan pokok mereka disaat hargaharga naik. Namun pada umumnya mereka mampu membeli namun keuangan keluarga tidak ada sisa lagi untuk menutupi kebutuhan yang lainnya seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
36
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.9 Ketergantungan Ekonomi Keluarga Responden Terhadap Majikan
100
95
88
86,5
80 60 40 20 0
13,5
12
(%)
(%)
(%)
Petani
Nelayan
Sektor Informal
ya, selalu
5
tidak pernah
Bila kita perhatikan Grafik 4.9, sebagian besar petani dan nelayan serta sektor informal adalah pekerja bebas. Sebagian besar masyarakat miskin di Sergei memiliki tanah sendiri, kapal sendiri atau usaha sendiri tanpa tergantung dengan orang lain. Kondisi ini sebenarnya cukup kondusif untuk dikembangkan dan dibuat lebih maju.
Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dalam bekerja menjadi pilihan yang bisa dipakai untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Semangat untuk maju dan berkembang harus lebih sering lagi diberikan kepada mereka. Tugas memotivasi ini bisa dimulai aparat pemerintah dan program-program kerja pemerintah daerah yang digulirkan untuk masyarakat miskin. Untuk itu komunikasi dan interaksi yang baik harus sudah dijalin sejak dari dari sekarang antara masyarkat miskin dengan pemerintah dan aparatnya. Harus diakui bahwa masyarakat miskin petani, nelayan dan sektor informal selama ini belum merasa dekat dengan aparat pemerintahnya dan bahkan merasa sering dikecewakan dan dirugikan. Hal ini dapat kita buktikan dari Grafik 4.10 di bawah ini.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
37
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.10 Pihak-pihak Mana Yang Suka Merugikan Keluarga Menurut Responden tidak ada
61
33,5
tokoh pemuda
03 0,5
tokoh masyarakat
1 3
pedagang
5
77
12 13 18
0 2 0,5 0 0 1,5
pemilik lahan pertanian orang-orang kaya di desa pejabat pemerintah
11
2
0 Petani (%)
56
20 Nelayan (%)
40
60
80
100
Sektor Informal (%)
Melalui Grafik 4.10 di atas terlihat bahwa masih ada masyarakat yang menganggap aparat pemerintah desa belum berpihak dan tidak mendukung mereka. Padahal kedekatan antara mayarakat dan aparat pemerintah sangat dibutuhkan guna keberhasilan programprogram pengentasan kemiskina yang akan dilakukan. Golongan masyarakat yang merasa tertekan oleh aparat pemerintah adalah petani. Hal ini setidaknya menjadi perhatian penting mengingat masyarakat petani merupakan golongan masyarakat yang besar jumlahnya. Selain itu yang masih dianggap merugikan untuk keluarga miskin di kabupaten Sergei antara lain: pedagang, tokoh masyarakat dan orang-orang kaya didesa.
4.1.3. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Jaringan Sosial
(Social Networks)
Jaringan Sosial merupakan sebuah jaringan yang bersifat horizontal (keluarga, teman, tetangga) dan jaringan yang bersifat vertikal melewati tingkat sosial untuk memperbaiki adanya perubahan keluarga dengan kekuatan, tetapi disisi lain ada ketergantungan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
38
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.11 Kedekatan Tempat Tinggal Responden Dengan Famili 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
92
86 62 38 14
8
(%)
(%)
(%)
Petani
Nelayan
Sektor Informal
ya
tidak
Pada Garfik 4.11 di atas terlihat bahwa masyarakat petani, nelayan dan sektor informal memiliki famili atau sanak keluarga yang banyak dan tempat tinggalnya juga tidak terlalu jauh. Walaupun tempat tinggal mereka rata-rata dekat dengan famili namun tidak banyak membantu untuk mendongkrak pendapatan keluarga. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang nyaris sama dan tidak jauh berbeda diantara mereka dari segi ekonomi. Kondisi ini diperparah lagi dengan kurang eratnya silaturhmi atau hubungan sosial (bermasyarakat) dari keluarga miskin tersebut. Bukti selanjutnya dapat kita lihat pada Grafik 4.12, 4.13, 4.14 berikut ini: Grafik 4.12 Tingkat Keikutsertaan Responden Pada Perkumpulan Keluarga 70
60,5
60
55
52
50
42
39,5
40
45
30 20 10 0
0
3
3
rutin Petani (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
kadang-kadang Nelayan (%)
tidak pernah
Sektor Informal (%)
39
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.13 Tingkat Keikutsertaan Responden Pada Perkumpulan Suku/Marga
77
tidak pernah
99
68
kadang-kadang
1
rutin
1 0
22 26
6
0
20 Petani (%)
40
60
Nelayan (%)
80
100
120
Sektor Informal (%)
Grafik 4.14 Tingkat Keikutsertaa Responden Dalam Mengikuti Perkumpulan Arisan 89
tidak pernah
99 93,5
kadang-kadang
1
rutin
2 0 0
9 6,5
0
20 Petani (%)
40
60
Nelayan (%)
80
100
120
Sektor Informal (%)
Perkumpulan keluarga/suku/marga/arisan bisa menjadi tempat untuk tukar menukar informasi, saling tolong menolong dalam artian luas, dan lain sebagainya. Namun sarana ini belum termanfaatkan dengan maksimal oleh penduduk miskin di Kabupaten Sergei, baik itu pada komunitas miskin sektor informal, komunitas miskin petani maupun komunitas miskin nelayan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
40
Laporan Penelitian 2006
Dari ketiga Grafik di atas (4.12; 4.13; 4.14) jelas terlihat sebagian mereka tidak mengikuti perkumpulan keluarga/suku/marga/arisan dikarenakan alokasi waktu yang terbatas dan habis hanya untuk bekerja dan menambah penghasilan bila ada waktu luang. Grafik 4.15 Tingkat keikutsertaan Responden pada perkumpulan agama 48 49 50
44 46
38 30
40 30
21
18
20
6
10 0
rutin
kadang-kadang
Petani (%)
Nelayan (%)
tidak pernah
Sektor Informal (%)
Berdasarkan Grafik 4.15, secara ekonomis perkumpulan agama memang sangat jauh untuk bisa diharapkan membantu ekonomi keluarga. Perkumpulan agama seperti kelompok wirid dsb hanya berperan untuk sosialisasi dan ukhuwah islamiah diantara warga. Namun justru perkumpulan seperti inilah yang mendapat persentase cukup tinggi yang diikuti masyarakat miskin Kabupten Sergei di sektor informal, petani dan nelayan. Untuk program pembangunan pengentasan kemiskinan di masa mendatang akan sangat efektif bila menggunakan jalur perkumpulan agama ini. Bantuan pemerintah memang sangat dibutuhkan oleh mereka dalam kondisi seperti saat ini. Namun bantuan tanpa menumbuhkan semangat enterpreneurship mereka adalah suatu hal yang sangat berbahaya karena hanya akan menambah daftar pengemis semakin panjang. Penelitian ini menunjukkan tingginya peran pemerintah terhadap masyarakat miskin petani, nelayan dan sektor informal dimana 100% responden mengaku telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun menurut pengamatan peneliti, bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah selama ini belum banyak memberi perubahan bagi perbaikan kondisi sosial dan ekonomi komunitas miskin. Karena itu perlu dilakukan perubahan formula pemberian bantuan kepada komunitas miskin sehingga memberi efek pada pemberdayaan mereka.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
41
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.16 Jenis Bantuan Yang Diperoleh Responden tidak ada perbaikan rumah
3 0
7
0 0 0
bantuan sekolah
7,5
12
uang hibah pinjaman kredit
15 13 20
23,5
0 0 0
bahan makanan beras
60
0
10
20
Petani (%)
30
40
50
Nelayan (%)
60
70 69
70
80
Sektor Informal (%)
Menurut Grafik 4.31 Bantuan yang sering diperoleh oleh masyarakat miskin di Kabupaten Sergei selama ini berupa bahan makanan beras, uang hibah dan pendidikan sekolah anak-anak mereka. Bantuan Raskin dan BLT ternyata memang sampai kepada mereka dengan baik. Namun bantuan-bantuan ini semua hanya bersifat konsumtif dan sementara. Bantuan yang mengarah kepada peningkatan ekonomi keluarga dan skill jarang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Padahal bantuan yang bersifat peningkatan ekonomi keluarga dan skill bekerja akan mampu memberikan peningkatan kualitas hidup seiring dengan peningkatan pendapatan mereka.
4.1.4. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Akses Informasi Informasi yang tepat merupakan informasi yang akurat dan rasional dalam hubungannya
dengan
kemampuan
keluarga
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidup.
Kemampuan mengakses informasi merupakan salah ciri yang dapat menunjukkan apakah seseorang berada dalam posisi yang berdaya atau tidak berdaya. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan informasi juga dapat menjadi indikator ada tidaknya keinginan individu tersebut untuk merubah keadaan dirinya. Uraian berikut akan menggambarkan bagaimana responden penelitian dalam mengakses berbagai informasi yang ada.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
42
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.17
Sektor Informal
(%)
Nelayan
(%)
Petani
Mendapatkan Informasi Bantuan Dari Pemerintah
(%)
15 85 3 97 18 82 0
20
40 pernah
60
80
100
120
tidakpernah
Komunikasi memegang peranan yang sangat kuat dimasyarakat kita. Hal ini juga bisa kita lihat dari informasi yang dibangun dari komunikasi yang ada, sehingga bantuanbantuan yang diberikan pemerintah dapat diketahui dan sampai kepada mereka dengan kondisi baik dan tidak kurang sedikitpun. Hal ini hanya bisa terjadi bila komunikasi yang berisi informasi berharga dapat dibangun dengan baik. Berdasarkan Grafik 4.17, pola komunikasi yang lebih baik sudah terbangun pada masyarakat petani, nelayan dan sektor informal. Terbukti dari sebagian besar mereka sudah mendapatkan informasi yang baik tentang bantuan dari pemerintah. Peran aparat pemerintah masih sangat dominan dan penting bagi penyaluran bantuan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari Grafik 18 berikut ini:
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
43
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.18 Sumber Informasi Responden Terkait Bantuan teman
19 20
0
58
kepala desa surat kabar
0 0
televisi
74
81
2 21
1
18
2 3
radio
1
0
20
40
Petani (%)
60
Nelayan (%)
80
100
Sektor Informal (%)
Dari grafik 4.18 di atas dapat kita simak bahwa peran aparat pemerintah dan teman-teman responden sangat dominan dibandingkan dengan media massa dalam mendukung keberhasilan sebuah informasi bantuan agar dapat sampai dengan efektif kepada masyarakat miskin di Kabupaten Sergei. Peran kepala desa ini sama terlihat merata di ketiga sektor masyarakat seperti sektor informal, petani dnan nelayan. Namun pada masyarakat petani teman-teman responden tidak berperan sama sekali dibandingkan masyarakat nelayan dan sektor informal. Radio dan televisi yang rata-rata sudah dimiliki oleh mereka tidak banyak memberikan manfaat untuk memberikan informasi efektif bagi penyaluran bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin. Grafik 4.19 Aktivitas Responden Ketika Kondisi Dalam Keadaan Tidak Mampu 48
tidak melakukan apa-apa
71
53,5
mencari informasi bantuan
21 20
meminta bantuan pemerintah
21
3 3
menuntut gaji yang layak 0
28
20 5 6,5 10
20
Petani (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
30
40
Nelayan (%)
50
60
70
80
Sektor Informal (%)
44
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.19 menunjukkan bahwa membangkitkan semangat untuk maju dan membangun harus segera dimulai di kalangan masyarakat miskin, bila kita lihat masih banyak masyarakat miskin yang memiliki sikap tidak melakukan apa-apa bila kondisi kekurangan saat ini terus berlanjut. Mereka seakan tidak tahu harus berbuat apa, setidaknya dimasa mendatang peran pemerintah mengarahkan dan membangkitkan semangat enterpreneurship mereka harus lebih kuat lagi untuk dilakukan. Bila ternyata petugas pemerintah tidak sempat menemui mereka, setidaknya mereka mendatangai pemerintah, pusat-pusat informasi, perdagangan dan lain-lain yang sebenarnya tidak terlalu jauh lokasinya dari rumah mereka. Hal ini dapat kita simak dari grafik-grafik di bawah ini, diharapkan masyarakat miskin dapat mendatanginya dan mendapatkan informasi dari sana. Grafik 4.20 Jarak Rumah Responden Dari Pusat Keramaian tidak tahu
1 0 1,5 1
> 15 km 11-15 km
32
13 0 0
15
6-10 km
27
8 7,5
0-5 km
60
0
10
20
30
Petani (%)
40
50
Nelayan (%)
71 64
60
70
80
Sektor Informal (%)
Grafik 4.21 Jarak Rumah Responden Dari Pusat Perdagangan 80 70 60
71 61,560
50 40
32
27
30
18,5
20
10,5
7,5 8
10
0
0 0-5 km
6-10 km Petani (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
0
11-15 km Nelayan (%)
1 > 15 km
2
0
1
tidak tahu
Sektor Informal (%)
45
Laporan Penelitian 2006
Bila kita lihat kembali grafik 4.20 dan 4.21,
maka pusat informasi, pusat
perdagangan dan pusat keramaian tempatnya tidaklah jauh, terkecuali untuk sebagian komunitas miskin nelayan. Hal ini merupakan sebuah modal untuk keberhasilan programprogram pengentasan kemiskinan dimasa-masa yang akan datang. Tinggal bagaimana pemerintah dapat memanfaatkannya atau tidak. Bagaimanakah bentuk komunikasi yang terbangun sejak Serdang Bedagai memisahkan diri dari Deli Serdang dapat kita lihat dibawah ini. Grafik 4.22 Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Apa Yang Dilakukan Oleh Pejabat Pemerintah Setempat 120 100
98
96
80
76
60 40 24
20 0
4
2
(%)
(%)
(%)
Petani
Nelayan
Sektor Informal
tahu
tidak tahu
Pengetahuan masyarakat miskin terhadap aktivitas pejabat pemerintah desa sangat minim sekali. Pada masyarakat nelayan, ada sedikit lebih baik perhatian mereka terhadap aktivitas pejabat pemerintah desanya. Perhatian ini terjadi karena adanya komunikasi dan interaksi yang tejalin diantara mereka walaupun kecil.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
46
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.23 Berapakali Pejabat Pemerintah Setempat Mengundang 120
98
100
94
91
80 60 40 20
9
2
6
0 (%)
(%)
(%)
Petani
Nelayan
Sektor Informal
1-3 kali
tidak ada
Kurang dekatnya antara masyarakat dengan pejabat pemerintah setempat dapat terlihat dari Grafik 4.23 di atas. Pejabat pemerintah setempat harus lebih sering mengadakan pertemuan dengan masyarakatnya apalagi bila terkait dengan programprogram pengentasan kemiskinan dimasa yang akan datang. Grafik 4.24 Berapa Kali Responden Mengikuti Diskusi Desa 90 92,5
45
tidak pernah 1 1
di atas 3 kali
9
3 kali
2 6 1,5
2 kali
1 2
25 6
1 kali
15
3 0
20
40
Petani (%)
60
Nelayan (%)
80
100
Sektor Informal (%)
Dampak dari kurang dekatnya hubungan antara masyarakat
dengan aparatnya
adalah sedikitnya masyarakat yang menghadiri diskusi-diskusi desa yang diadakan.Grafik 4.24 di atas menunjukkan betapa kurang berminatnya masyarakat miskin untuk menghadiri
diskusi-diskusi
desa.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
Masyarakat
nmiskin
nelayan
sedikit
lebih
baik
47
Laporan Penelitian 2006
dibandingkan dengan masyarakat miskin petani dan sektor informal dalam hal kehadiran dalam diskusi-diskusi desa. Hal ini dimungkinkan karena mereka memiliki waktu luang yang cukup di siang hari karena melaut hanya pada malam hari. Grafik 4.25 Berapa kali mengunjungi teman di luar desa dalam sebulan ini
tidak pernah di atas 3 kali
58
38 0
2 2 2
3 kali
6 10 10
2 kali
14 31 17
1 kali
21 0
61
10
20
Petani (%)
28 30
Nelayan (%)
40
50
60
70
Sektor Informal (%)
Kurangnya silaturahmi dan hubungan antar keluarga dikalangan warga miskin jelas terlihat dari grafik-grafik di atas. Jika dilakukan dan sering akan menghasilkan informasiinformasi berharga untuk menciptakan peluang kerja dan penambah penghasilan seharisehari keluarga. Bila silaturahmi berjalan dengan baik maka perubahan kearah yang lebih baik akan cepat terjadi dibandingkan dengan tidak melakukan silaturahmi secara rutin dan teratur.
4.1.5. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Pertahanan Ruang Hidup Pertahanan Ruang Hidup merupakan dasar wilayah ekonomi keluarga yang mencakup ruang fisik dimana anggota keluarga memasak, makan, tidur, dan jaminan perlindungan terhadap barang-barang milik pribadi. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh gambaran karakteristik komunitas miskin dilihat dari kondisi pertahanan ruang hidup Kabupaten Serdang Bedagai sebagai berikut:
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
48
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.26 Kepemilikan Tanah Responden 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
77 59
53,5 46,5
41 23
(%)
(%)
(%)
Petani
Nelayan
Sektor Informal
punya
tidk punya
Tanah sesungguhnya merupakan salah satu asset dan sekaligus sebagai modal untuk berproduksi, khsusnya bagi kaum petani. Temuan penelitan ini menunjukkan bahwa tanah yang dimiliki sebagian masyarakat miskin petani dan nelayan menunjukkan bahwa mereka lebih baik nasibnya dibandingkan masyarakat sektor informal. Kepemilikan tanah mereka hanya sebatas tanah pekarangan rumah, sehingga tidak mampu sebagai asset yang dapat berproduksi. Kondisi inilah yang membuat mereka tetap miskin. Khusus petani, tanpa lahan, maka mereka tidak dapat berbuat banyak kecuali hanya sebagai buruh di tanah-tanah miliki para elit desa. Karena itu, kebijakan kepemilikan pertanahan di pedesaan seharusnya ditinjau ulang, sehingga lebih memihak kepada masyarakat miskin. Grafik 4.27
Sektor
Petani
Nelayan Informal
Kepemilikan Hewan Ternak
92 (%)
8
(%)
10
90
64,5
(%)
35,5 0
20
40 punya
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
60
80
100
tidak punya
49
Laporan Penelitian 2006
Dilihat dari kepemilikan hewan ternak, maka temuan penelitian ini sebagaimana terlihat pada Grafik menunjukkan bahwa komunitas miskin petani lebih baik dibandingkan komunitas miskin sektor informal dan nelayan. Ketersediaan lahan untuk pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang memungkinkan komunitas miskin petani melakukan pemeliharaan ternak. Ternak yang mereka pelihara umumnya adalah jenis unggas, seperti ayam dan bebek (itik). Menurut responden komunitas petani, kegiatan pemeliharaan ternak merupakan salah satu cara yang mereka lakukan untuk menambah penghasilan, sekaligus untuk perbaikan gizi keluarga. Pada komunitas miskin nelayan dan sektor informal kegiatan pemeliharaan ternak kurang berkemabang karena lahan yang tidak mendukung. Grafik 4.28 Kepemilikan Radio
69
64
59 tidak punya
36
41
31
punya
(%) Petani
(%) Nelayan
(%) Sektor Informal
Grafik 4.29 Kepemilikan Televisi
64
50,5
50 tidak punya
49,5
36
50 punya
(%) Petani
(%) Nelayan
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
(%) Sektor Informal
50
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.28 dan 4.29 menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan radio dan televisi masyarakat nelayan menunjukkan bahwa mereka kurang mapan dari segi ekonomi dan teknologi serta informasi dibandingkan dengan masyarakat sektor informal dan petani. Kebutuhan akan informasi dan hiburan memang terlihat dari pendapat responden di atas. Walaupun kondisi sulit, namun punya televisi menjadi sesuatu yang wajib bagi sebagian masyarakat sektor informal dan sektor petani. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan radio dan televisi bukan lagi sebagai sesuatu barang mewah, tetapi untuk sebagian responden sudah merupakan kebutuhan primer. Alasan sebagian responden untuk memiliki televisi adalah agar anak-anak tidak menonton ke rumah tetangga. Grafik 4.30
Sektor Informal
(%)
Nelayan
(%)
Petani
Kepemilikan Sepeda
(%)
54 46 29 71 31 69 0
20
40 punya
60
80
tidak punya
Sepeda adalah sarana angkutan utama pada masyarakat miskin sergei, baik itu masyarakat nelayan, petani dan sektor informal. Hanya sepeda yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan mereka saat ini disebabkan murah dan mempersingkat waktu tempuh dibandingkan dengan jalan kaki.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
51
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.31
100 (%)
0 96
(%)
Petani
Sektor
Nelayan Informal
Kepemilikan Cincin atau Kalung Emas
4 98
(%)
2 0
20
40 punya
60
80
100
tidak punya
Kalung, cincin dan barang-barang berharga dari emas lainnya sulit kita temukan kepemilikannya pada masyarakat sektor informal, nelayan dan petani. Hal ini mengingat kebutuhan yang sangat mendesak baru pada tingkat pemenuhan kebutuhan makan. Hanya sebagian kecil yang memiliki perhiasan emas, dan mereka umumnya mengatakan bahwa memiliki benda itu sebagai tabungan yang sewaktu-waktu ada keperluan mendesak dapat segera dijual dan harga jualnya tidak terlalu jauh berubah, yang menurut mereka berbeda dengan kepemilikan benda-benda lain seperti televisi yang kalau dijual sangat murah harganya. Grafik 4.32 Jumlah Pakaian Yang Dimiliki Keluarga 67
70 56
60 50
51 43
40 28
30 20 10 0
28,5
15,5 6
5
sangat sedikit Petani (%)
sedikit Nelayan (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
cukup Sektor Informal (%)
52
Laporan Penelitian 2006
Kebutuhan pakaian sudah terasa cukup oleh masyarakat miskin Sergei kecuali masyarakat petani yang merasa masih memerlukan sandang. Sandang memang merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dengan baik, namun kebutuhan utama seperti makan jauh lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan sandang. Grafik 4.33 Jenis Dinding Rumah Responden
57 60 39
50
42,5
41
38 31
40 21
18,5
30
12
20 10 0
tembok Petani (%)
kayu Nelayan (%)
bambu Sektor Informal (%)
Grafik 4.34 Jenis Atap Rumah Responden 46
34
rumbia
50 54
seng
genteng
64
49 0
2 1
0
10
20 Petani (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
30 Nelayan (%)
40
50
60
70
Sektor Informal (%)
53
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.35 Jenis Lantai Rumah Responden
100
93
85
80 61,5
60 40
26 20 0
14
8,5 5
4
1
papan
semen
Petani (%)
2
0 0
bambu
Nelayan (%)
tanah
Sektor Informal (%)
Jenis atap rumah yang terbuat dari seng dengan dinding rumah dari kayu dan lantainya semen menunjukkan kepada kita bahwa pola hidup sehat untuk sebuah rumah sudah dimiliki. Bangunan rumah yang baik sudah dipenuhi dengan baik, tinggal masalah perawatan saja lagi yang harus diperhatikan oleh mereka. Kondisi rumah yang ada menunjukkan mereka umumnya berada pada masyarakat sederhana. Grafik 4.36 Sumber penerangan keluarga 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
83
88
74,5
24 1,5 listrik PLN Petani (%)
5
12 1
listrik non PLN Nelayan (%)
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
11
pelita/obor
Sektor Informal (%)
54
Laporan Penelitian 2006
Masih ada petani, nelayan dan sektor informal yang belum memiliki penerangan listrik untuk mendukung kehidupan mereka. Sumber penerangan pelita dan obor menjadi pilihan terakhir bagi mereka disebabkan keterbatasan yang masih dimiliki.
4.1.5. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Pengetahuan dan Keterampilan Pengetahuan dan Ketrampilan merupakan tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan khusus dalam ekonomi sangat menguntungkan untuk mempertinggi prospek jangka panjang ekonomi keluarga. Menanamkan semangat untuk menganggap penting pendidikan dan ketrampilan perlu dilakukan pemerintah daerah bila melihat pernyataan keluarga miskin di daerah ini. Tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan khusus dalam ekonomi sangat menguntungkan untuk mempertinggi prospek jangka panjang ekonomi keluarga. Seseorang yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang memadai, tidak memiliki dan menguasai ragam keterampilan yang memadai, yang dapat dijadikan sebagai bekal untuk mencari pekerjaan alternatif, akan senantiasa berupaya untuk mempertahankan pekerjaan yang ditekuni saat ini, meskipun tidak cukup mampu untuk mengeluarkannya dari situasi kemiskinan. Seperti terungkap dari hasil wawancara mendalam terhadap beberapa kelompok masyarakat, bahwa berapa pun hasil yang mereka peroleh dari kegiatan pertanian, nelayan dan sektor informal yang mereka tekuni saat ini, itu semua akan tetap mereka kerjakan karena kemungkinan untuk mencari pekerjaan alternatif lain memang sangat sulit, karena mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki keterampilan khusus, dan lapangan pekerjaan selalu menuntut persyaratan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
55
Laporan Penelitian 2006
Grafik 4.37 Keinginan Responden Untuk Melanjutkan Pendidikan Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
167
91 83,591 74 74 82 1
25 25 25 12,57 7
4 2 1
Ya (ingin)
Tidak ingin
Petani F (%)
Nelayan F (%)
Ya (ingin) kalau ada yang bayar Sektor Informal F (%)
Hasil penelitian yang terkait dengan peningkatan pengetahuan melalui pendidikan, peningkatan keterampilan melalui pelatihan dan penyuluhan menurut pandangan responden sebagaimana terlihat pada Grafik 4.37, menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden dari ketiga kategori komunitas miskin sudah tidak ingin lagi untuk melanjutkan pendidikan. Hanya sebagaian kecil saja yang masih punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan sebagian kecil lainnya mengatakan punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan kalau ada yang memberikan biaya. Bagi yang masih punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan ini umumnya berasal dari responden yang memiliki tingkatkat pendidikan SLTA, dan yang masih berusia muda. Bagi yang tidak sekolah dan berusia tua umumnya sudah tidak punya keinginan lagi untuk melanjutkan pendidikan. Bila para orang tua responden umumnya sudah tidak berkeinginan lagi untuk melanjutkan pendidikannya, bagaimana pula harapan mereka terhadap pendidikan anakanak mereka. Tabel 4.9 akan memperlihatkan bagaimana harapan para orang tua responden tentang pendidikan anak-anak mereka sebagai generasi penerus mereka.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
56
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.9 Pandangan Orang Tua Responden Akan Pendidikan Anak-Anaknya Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin No
Pendidikan Anak Akan Dilanjutkan
1
Ya
2
Tidak
3
Tergantung ekonomi
4
Tergantung keinginan anak Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 61 (30,50) 74 (37,00) 52 (26,00) 13 (6,50) 200 (100,00)
F (%) 18 (18,00) 38 (38,00) 36 (36,00) 8 (8,00) 100 (100,00)
Sektor Informal F (%) 15 (15,00) 35 (35,00) 46 (46,00) 4 (4,00) 100 (100,00)
Jumlah
F (%) 94 (23,50) 147 (36,75) 134 (33,50) 25 (6,25) 400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Tabel 4.9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut menyatakan bahwa untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan pendidikan bagi anak-anaknya tergantung pada keadaan ekonomi, dan hanya sebagian kecil yang langsung menyatakan ”ya” akan melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Yang cukup memperihatinkan adalah bahwa terbesar kedua dari jawaban responden adalah ”tidak akan melanjutkan pendidikan anak-anak mereka”. Porsi terbesar yang menyatakan tidak akan melanjutkan pendidikan anak-anaknya datang dari responden kategori komunitas miskin nelayan, dan diikuti oleh responden dari kategori komunitas miskin sektor informal. Temuan ini memperkuat dan konsisten dengan temuan-temuan sebelumnya, bahwa responden dari kategori komunitas nelayan memiliki persepsi yang kurang baik akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Hal ini sedikit berbeda dengan responden kategori komunitas miskin petani yang masih memiliki persepsi lebih positip akan pentingnya pendidikan untuk dapat merubah kondisi kehidupan miskin yang saat ini sedang mereka hadapi. Rendahnya keinginan masyarakat nelayan untuk memberikan pendidikan yang tinggi bagi anak-anaknya diduga menjadi salah satu faktor yang turut melanggengkan fenomena kemiskinan bagi masyarakat nelayan. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada potensi kelautan (maritim) tersebut. Realitasnya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan sering diidentikkan dengan “kemiskinan”.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
57
Laporan Penelitian 2006
Menurut Dahuri (1999), tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor pertanian agraris. Menurut data BPS (1998), jumlah masyarakat miskin Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa, dari jumlah tersebut sekitar 60 % nya merupakan masyarakat pesisir (termasuk nelayan). Nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin diantara kelompok masyarakat lain di sektor pertanian (Winahayu dan Santiasih, 1993:137). Bila dikaitkan dengan teori Robert Chambers (1988) tentang �Perangkap Kemiskinan� maka pendorong ke arah rendahnya animo komunitas miskin adalah ketiadaan materi, sehingga sangat tidak memungkinkan bagi mereka untuk mampu membiayai pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi hingga perguruan tinggi. Bila keinginan responden untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat rendah, dan begitu pula dengan pendidikan anak-anaknya, namun sedikit berbeda dengan keinginan mereka untuk mendapatkan keterampilan atau skill. Data pada Grafik 4.60 akan memperlihatkan bagaimana keinginan responden untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan keterampilannya. Tabel 4.10 Keinginan Responden Untuk Meningkatkan dan Menambah Pengetahuan Keterampilan Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin No
Diajak Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan
1
Senang
2
Tidak Senang
3
Sudah Cukup Apa Adanya Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 159 (79,50) 15 (7,50) 26 (13,00) 200 (100,00)
Jumlah
F (%) 86 (86,00) 14 (14,00)
Sektor Informal F (%) 52 (52,00) 4 (4,00) 44 (44,00)
F (%) 297 (74,25) 19 (4,75) 57 (14,25)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
58
Laporan Penelitian 2006
Walaupun respon dan perhatian untuk pendidikan masih kurang, namun untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan sangat baik. Data pada Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin menyatakan �senang� bila diajak untuk menambah pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan, dengan persentase terbesar berasal dari kategori komunitas miskin nelayan, yang diikuti oleh masing-masing dari komunitas miskin petani dan komunitas miskin sektor informal. Hanya sebagin kecil saja yang menyatakan tidak senang untuk mendapat pelatihan, yaitu berasal dari kelompok responden kategori komunitas miskin petani dan sektor informal, dan tak seorang responden pun dari komunitas miskin nelayan yang menyatakan tidak senang. Sebagian kecil responden lainnya menyatakan sudah cukup dengan keterampilan yang sekarang mereka miliki. Bagi kelompok yang terakhir ini menyatakan bahwa yang penting bagi mereka saat ini adalah modal usaha dan pemasaran yang terjamin bagi hasil usaha (produksi) mereka. Temuan tersebut secara umum memperlihatkan bahwa komunitas miskin pada umumnya sangat menginginkan untuk menambah keterampilan mereka, dengan harapan akan dapat mengubah nasib mereka menjadi lebih baik lagi. Bagi mereka yang penting adalah keterampilan dengan langsung praktek, dan jangan banyak teori lagi, kecuali yang terkait dengan upaya memotivasi mereka untuk dapat bangkit dan bersemangat dalam merubah nasib. Sikap seperti ini memberikan secercah harapan bahwa komunitas miskin sesungguhnya masih sangat mungkin untuk diberdayakan sehingga dapat keluar dari �Perangkap Kemiskinan� seperti apa yang dikemukakan oleh Robert Chambers (1988). Peran berbagai pihak (Pemerintah, LSM, Swasta, Perguaruan Tinggi) dengan demikian menjadi sangat diharapkan dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan bagi komunitas miskin. Pemerintah (khususnya Pemerintah Daerah) yang diberi wewenang untuk memberdayakan masyarakatnya dan mengeliminir jumlah penduduk miskin di daerahnya sudah seharusnya menaruh perhatian yang serius terhadap hal tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belum semua responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut yang sudah pernah mendapatkan penyuluhan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Grafik 4.11 berikut.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
59
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.11 Pernah Atau Tidak Responden Mendapatkan Penyuluhan/Pelatihan Dari Pemerintah Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin
No
Mendapat Penyuluhan/Pelatihaan dari Pemerintah
1
Ya (pernah)
2
Tidak pernah Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 91 (45,50) 109 (54,50) 200 (100,00)
Jumlah
F (%) 67 (67,00) 33 (33,00)
Sektor Informal F (%) 47 (47,00) 53 (53,00)
F (%) 205 (51,25) 195 (48,75)
100 (100,00)
100 (100,00)
400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Data pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa total responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut, sebagian besar menyebutkan bahwa mereka �tidak pernah� mendapatkan penyuluhan yang terkait dengan peningkatan (penambahan) keterampilan mereka dari Pemerintah. Bagian terbesar yang belum pernah mendapatkan penyuluhan tersebut berasal dari kategori responden komunitas miskin petani dan disusul oleh responden dari komunitas sektor informal. Berbeda dengan responden dari kategori komunitas miskin nelayan yang sebagian besar menyatakan sudah pernah mendapatkan penyuluhan. Bila dikaitkan dengan pembahasan terdahulu, maka data pada tabel ini mendukung pernyataan responden pada tabel terdahulu tentang keinginan responden untuk meningkatkan (menambah) ketermpilan, dimana responden dari kategori miskin nelayan menduduki porsi terbesar yang menginginkan pelatihan, karena ternyata sebagian besar dari mereka sudah pernah mendapat penyuluhan dan pelatihan, sehingga mereka benar-benar dapat merasakan manfaatnya bagi kehidupan mereka. Hasil wawancara mendalam terhadap beberapa informan diperoleh informasi bahwa mereka sebenarnya sangat mengharapkan mendapat pelatihan dan penyuluhan yang terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka. Namun hendaknya, pelatihan dan penyuluhan tersebut harus terkait dengan suatu pekerjaan yang dapat mereka lakukan di tempat mereka dan kalau pelatihan tersebut adalah untuk menciptakan produksi suatu barang, maka hendaknya mereka diberibantuan bahan baku dan juga cara memasarkannya. Yang terjadi selama ini menurut salah seorang informan, bantuan diberikan kepada masyarakat miskin, namun masyarakat miskin itu tidak tau harus melakukan apa dengan bantuan yang diberikan untuk dapat berperoduksi. Akibat
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
60
Laporan Penelitian 2006
ketidaktahuan tersebut, akhirnya bantuan yang diterima hanya dimanfaatkan untuk membeli
barang-barang
yang
konsumtif
sifatnya,
sehingga
tidak
memberi
efek
pembelajaran bagi warga miskin tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam proses penghantaran sumberdaya ekonomi (modal) yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dibarengi oleh persiapan sosial yang cukup pada warga miskin yang akan menerima bantuan tersebut. Dalam konteks seperti itulah harus ada perubahan pandangan dari pemerintah dan stakeholder lainnya yang ingin memberikan bantuan modal pada warga miskin, harus terlebih dahulu melakukan persiapan sosial kepada mereka. Kegagalan berbagai program/proyek pengentasan kemiskinan dengan paradigma bottom up dengan mekanisme sistem bergulir seperti IDT, JPS (PDMDKE), hampir semua mengalami kegagalan. Ada beberapa jenis penyuluhan dari pemerintah yang pernah diperoleh oleh responden penelitian yang mengatakan pernah mendapat penyuluhan. Data pada Tabel 4.12
memberikan informasi tentang jenis-jenis penyuluhan yang pernah didapatkan
responden berdasarkan tiga kategori komunitas miskin. Tabel 4.12 Jenis Penyuluhan Yang Pernah Didapatkan Respenden Dari Pemerintah Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin No
Penyuluhan Yang Didapat dari Pemerintah
1
Kesehatan
2
Pendidikan
3
Pertanian
4
Perdagangan/industri
5
Perikanan Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 21 (23,10) 39 (42,90) 29 (31,80) 2 (2,20) 91 (100,00)
F (%) 18 (26,90) 17 (25,40) 32 (47,70) 67 (100,00)
Sektor Informal F (%) 15 (31,90) 12 (25,50) 20 (42,60) 47 (100,00)
Jumlah
F (%) 54 (26,30) 68 (33,20) 29 (14,10) 20 (9,80) 34 (16,60) 205 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Penyuluhan yang pernah didapat dari pemerintah hanya beberapa jenis saja. Tabel 4.12 memperlihatkan bahwa jenis penyuluhan yang pernah didapat oleh sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut adalah penyuluhan kesehatan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
61
Laporan Penelitian 2006
Untuk jenis penyuluhan yang lainnya, adalah pendidikan, perdagangan, pertanian, dan perikanan, dengan persentase responden yang mendapatkannya sangat kecil. Temuan ini menunjukkan bahwa jenis penyuluhan yang didapatkan oleh komunitas miskin dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut masih jauh dari apa yang mereka harapkan untuk dapat merubah kondisi perekonomian mereka ke arah yang lebih baik. Penyuluhan kesehatan yang paling banyak didapatkan oleh responden tidak dapat secara langsung memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, walaupun masalah kesehatan merupakan salah satu yang terkait dengan �Perangkap Kemiskinan� yang dikemukakan oleh Robert Chambers (1988) terutama yang terkait dengan unsur �kelemahan jasmani�. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi berbagai stakeholder, khususnya pemerintah
tentang
pentingnya
memberikan
penyuluhan
dan
pelatihan
untuk
meningkatkan dan menambah keterampilan dan keahlian mereka yang memberi peluang bagi peningkatan kesejahteraan mereka.
Hal ini diperkuat oleh temuan penelitian
selanjutnya, dimana sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas
miskin
merasa bahwa keterampilan yang mereka miliki saat ini belum cukup untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Hanya sebagian kecil saja dari responden yang merasa sudah cukup memiliki keterampilan yang dapat memenuhi kebutuhan kelurga mereka, namun mereka tidak dapat memanfaatkan keterampilan tersebut karena terbentur dengan ketiadaan modal. Temuan ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya memiliki keterampilan yang terkait dengan jenis pekerjaan mereka saat ini. Keadaan ini membuat mereka sangat rentan, dimana jika sewaktu-waktu pekerjaan mereka tidak memberi hasil, maka mereka tidak memiliki alternatif lain untuk dapat menghidupi keluarga mereka. Hanya sebagian kecil saja dari responden yang memiliki keterampilan di luar pekerjaan mereka saat ini, namun keterampilan tersebut juga belum memberikan prospek yang lebih baik dibanding dengan pekerjaan mereka saat ini, namun mereka masih memiliki kemungkinan untuk dapat sekedar memenuhi kebutuhannya jika sewaktu-waktu apa yang mereka kerjakan saat ini tidak berhasil. Dengan kata lain, mereka masih memiliki alternatif pekerjaan di luar pekerjaan yang mereka geluti saat ini, apakah sebagai petani, nelayan, atau sektor informal lainnya. 4.1.6. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Sarana Dalam Pekerjaan dan Lingkungan Sarana dalam Pekerjaan dan Lingkungan merupakan sebuah alat produksi keluarga, semangat yang kuat untuk produksi pedesaan. Alat-alat pendukung kerja yang dimiliki oleh keluarga miskin pun tergolong tidak lengkap dan memprihatinkan. Bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali. Seharusnya
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
62
Laporan Penelitian 2006
alat-alat ini menjadi penentu utama keberhasilan kerja dan kualitas kerja dari keluarga miskin tersebut. Sarana dalam pekerjaan dan lingkungan merupakan sebuah alat produksi keluarga, semangat yang kuat untuk berproduksi pada lapangan kerja masing-masing. Sarana (peralatan) bekerja merupakan modal utama untuk dapat melakukan suatu pekerjaan. Tanpa memiliki peralatan sesuai dengan bidang kerja masing-masing maka mustahil untuk bisa berproduksi. Sarana (peralatan) dalam bekerja tentu berbeda antara satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Pekerjaan sebagai petani misalnya, akan berbeda peralatan yang diperlukannya dengan seorang nelayan, dan demikian juga dengan seorang pekerja sektor informal. Bahkan untuk pekerjaan nelayan pun, berbeda peralatan yang dibutuhkan. Seperti jaring misalnya, berbeda-beda jenisnya, sesuai dengan jenis ikan apa yang ingin ditangkap dan sampai kedalaman berapa laut yang akan didatangi untuk menangkap ikan. Hal yang sama juga terjadi pada petani, peralatan yang dubutuhkan sesuai dengan bidang pekerjaan. Semakin beragam peralatan yang dimiliki, akan semakin beragam jenis pekerjaan yang bisa dimasuki (dikerjakan) untuk masing-masing jenis pekerjaan. Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan sarana (peralatan) dalam pekerjaan turut mempengaruhi produktivitas seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan kata lain, semakin lengkap sarana (peralatan) yang dimiliki, maka semaki besar peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga modal yang dimiliki seseorang tidak hanya mengandalkan modal tenaga (otot) semata. Temuan penelitian berikut akan menggambarkan bagaimana kepemilikan alat-alat pendukung kerja dari responden berdasarkan ketiga kategori komunitas miskin. Tabel 4.13 Kepemilikan Alat-Alat Pendukung Kerja Dari Responden Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin No
Kepemilikan Alat-alat Pendukung Kerja
1
Lengkap
2
Kurang Lengkap
3
Tidak Punya Total
Kategori Komunitas Miskin Petani
Nelayan
F (%) 103 (51,50) 84 (42,00) 13 (6,50) 200 (100,00)
F (%) 20 (20,00) 43 (43,00) 37 (37,00) 100 (100,00)
Sektor Informal F (%) 18 (18,00) 42 (42,00) 40 (40,00) 100 (100,00)
Jumlah
F (%) 141 (35,25) 169 (42,25) 90 (22,50) 400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
63
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.13 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari komunitas miskin petani menyatakan bahwa alat-lat pendukung kerja mereka relatif lengkap (51,50%), diikuti yang menyatakan kurang lengkap (42,50%), dan hanya 6,50% yang menyatakan tidak memiliki alat-lat pendukung kerja. Bagi responden yang terakhir ini, maka tenaga (otot) merupakan modal yang utama bagi mereka untuk dapat menghidupi kebutuhan keluarganya. Berbeda dengan komunitas miskin petani, bagi responden dari dua kategori komunitas miskin lainnya, yaitu komunitas miskin nelayan dan sektor informal, sebagian besar menyatakan bahwa alat-alat pendukung kerja yang mereka miliki kurang lengkap, dan diikuti oleh kelompok terbesar kedua yang menyatakan tidak memiliki alat-alat kelengkapan kerja, dan sekelompok kecil saja yang menyatakan memiliki alat-alat yang lengkap. Temuan ini juga memperkuat pandangan beberapa sarjana dan peneliti bahwa kehidupan ekonomi komunitas nelayan miskin merupakan kelompok masyarakat termiskin dari sektor pekerjaan di bidang pertanian dibanding dengan sektor pertanian tanaman pangan. Meskipun belum ada yang meneliti secara mendalam tentang keberadaan sektor informal, namun kelompok ini juga ternyata sangat rentan karena mereka berusaha tanpa didukung oleh peralatan yang lengkap. Perbedaan kepemilikan alat-alat pendukung kerja ini antara komunitas miskin petani dengan dua komunitas miskin lainnya antara lain disebabkan peralatan pendukung kerja petani pada umumnya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan peralatan pendukung kerja dari kedua komunitas miskin lainnya (nelayan dan sektor informal). Sehingga sangat sulit bagi komunitas miskin nelayan dan sektor informal untuk dapat memiliki sendiri peralatan pendukung tersebut. Ketiadaan peralatan pendukung ini juga menjadi andil bagi semakin melaratnya komunitas miskin tersebut. Bagi petani yang tidak memiliki peralatan pendukung kerja selain hanya modal tenaga, oleh Soekarno (Presiden Republik Indonesia Pertama) disebut sebagai kaum �Marhaen�. Dan orang seperti ini merupakan orang-orang yang termasuk dalam kategori sangat miskin. Dalam melakukan aktivitas pekerjaannya, para komunitas miskin tersebut, mau tidak mau harus memiliki alat-alat pendukung kerja tersebut. Bagi yang sudah memiliki sendiri alat-alat tersebut tentu tidak menjadi masalah, tetapi bagi yang tidak memiliki dan yang memiliki alat-alat kurang lengkap tentu harus berupaya untuk mendapatkannya dengan berbagai cara agar mereka dapat bekerja. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa status kepemilikan alat-alat yang kurang tersebut sebagian besar mereka pinjam dari orang lain (kerabat,tetangga, atau teman), sedangkan sebagian kecil responden menyatakan bahwa status alat-alat tersebut merupakan milik bersama. Namun secara umum, responden mengatakan bahwa status kepemilikan alat-alat itu adalah milik sendiri.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
64
Laporan Penelitian 2006
Temuan penelitian melalui wawancara mendalam terhadap informan dari komunitas miskin nelayan diperoleh informasi, bahwa peralatan untuk kegiatan melaut seperti sampan dan jaring merupakan peralatan utama mereka, disamping kebutuhan berupa es untuk menyimpan hasil tangkapan sehingga dapat bertahan lebih lama. Namun dewasa ini, sampan saja sudah kurang memadai kalau tidak memiliki mesinnya, karena tanpa bantuan mesin, wilayah tangkapan yang dapat dimasuki relatif terbatas, sementara untuk daerah laut yang dekat ke pantai, jumlah ikannya sudah sangat sedikit, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan ikan. Dengan bantuan mesin, maka daerah tangkapan bisa lebih jauh ke laut lepas dan peluang untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak lebih besar. Namun demikian, saat harga BBM naik dan terkadang sulit didapat, melaut dengan menggunakan mesin juga penuh resiko, karena bisa saja kalau nasib lagi tidak mujur, meski sudah jauh ke laut, tetapi ikan yang didapat tidak mencukupi untuk membeli BBM, sehingga beresiko untuk rugi. Kalau dengan sampan tanpa mesin, resiko rugi hampir tidak ada atau kalaupun ada tetapi relatif sangat kecil (paling untuk pembeli es). Informasi yang diperoleh dari informan tersebut memberi gambaran betapa sulitnya kehidupan komunitas nelayan saat ini bila tidak dicarikan jalan keluar yang dapat memberdayakan mereka. Menurut beberapa kalangan, salah satu faktor yang menyebabkan miskinnya seseorang adalah akibat etos kerja yang rendah. Pandangan yang seperti itu termasuk dalam paradigma kemiskinan kultural. Artinya, seseorang menjadi miskin karena malas, tidak tekun, dan sebagainya yang menggambarkan etos kerja yang rendah. Malas atau tidak seseorang untuk bekerja antara lain dapat dilihat dari curahan waktu yang digunakan untuk bekerja selama satu hari. Tabel 4.14 berikut akan memperlihatkan lama bekerja responden dalam sehari berdasarkan ketiga kategori komunitas miskin. Tabel 4.14 Lama Bekerja Responden Dalam Sehari Berdasarkan Ketiga Kategori Komunitas Miskin Lama Bekerja Sehari
No
1
1 – 5 jam
2
6 – 10 jam
3
>
4
Tidak ada jawaban
11 jam
Total
Kategori Komunitas Miskin Petani Nelayan Sektor Informal F F F (%) (%) (%) 20 11 10 (20,00) (11,00) (5,00) 64 56 121 (64,00) (56,00) (60,50) 14 21 55 (14,00) (21,00) (27,50) 2 12 14 (2,00) (12,00) (7,00) 200 100 100 (100,00) (100,00) (100,00)
Jumlah
F (%) 41 (10,25) 241 (60,25) 90 (22,50) 28 (7,00) 400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
65
Laporan Penelitian 2006
Data pada Tabel 4.14 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden dari ketiga komunitas miskin komunitas nelayan dan sektor informal menyatakan menghabiskan waktu 6 – 10 jam perhari untuk bekerja. Jam kerja yang seperti itu sesungguhnya sudah merupakan standard jam kerja perhari. Bila melihat jam kerja tersebut, maka sesungguhnya komunitas miskin tersebut tidak termasuk dalam kategori orang yang malas atau beretos kerja rendah. Bahkan data pada Tabel 4.14 tersebut menunjukan bahwa ada responden yang menghabiskan waktu di atas 10 jam perhari untuk ketiga komunitas miskin tersebut. Dengan demikian tidak cukup alasan untuk menyebut bahwa orang miskin hanya karena malas, tetapi perlu penjelasan lain. Hanya sebagian kecil saja yang mengatakan menghabiskan jam kerja 1 – 5 jam saja per hari. Dan kelompok terbesar yang menghabiskan jam kerja 1 – 5 jam perhari ini adalah dari komunitas miskin sektor informal, disusul masing-masing dari komunitas miskin nelayan dan petani. Pertanyaan lebih lanjut terhadap jam kerja ini, adalah apakah mereka mampu bekerja lebih keras lagi dan dalam jangka waktu yang lama. Atas pertanyaan tersebut, sebagian besar responden menyatakan tidak mampu, dan hanya sebagian kecil saja responden yang menyatakan mampu. Jawaban tersebut sebenarnya cukup logis mengingat sebagian besar responden yang sudah menghabiskan jam kerja yang cukup panjang dalam sehari. Apalagi bila dikaitkan dengan temuan penelitan pada bagian terdahulu yang terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk makan (pangan) yang relatif kecil sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi yang cukup untuk pekerjaan yang mereka jalankan. 4.1.7. Karakteristik Komunitas Miskin Dilihat Dari Aspek Pemanfaatan Waktu Luang Waktu luang adalah waktu yang terdapat pada keluarga dan merupakan waktu di atas waktu yang diperlukan untuk menambah nafkah pekerjaan.
Ternyata waktu luang
yang dimiliki oleh keluarga miskin ada. Namun tidak bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menambah penghasilan mereka. Waktu luang merupakan waktu yang terdapat pada keluarga dan merupakan waktu di atas waktu yang diperlukan untuk menambah nafkah pekerjaan. Pemanfaatan waktu luang umumnya dibicarakan bagi keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi cukup baik. Waktu luang bagi keluarga mampu biasanya dimanfaatkan untuk menikmati hidup dalam bentuk rekreasi, bersitirahat, dan sebagainya yang memberi kenikmatan hidup, atau biasa disebut dengan istilah refreshing (penyegaran). Dalam konteks seperti ini, waktu luang merupakan waktu yang digunakan untuk menghabiskan uang, bukan sebaliknya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu luang juga ternyata dimiliki oleh keluarga dari komunitas miskin. Tetapi yang berbeda adalah pemanfaatan waktu luang. Data pada
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
66
Laporan Penelitian 2006
Tabel 4.15 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden dari ketiga kategori komunitas miskin memiliki waktu luang. Hanya sebagian kecil saja dari responden yang menyatakan tidak memiliki waktu luang. Tabel 4.15 Waktu Luang Responden Setelah Bekerja Berdasarkan Kategori Komunitas Miskin No
Memiliki Waktu Luang
1
Ya
2
Tidak Total
Kategori Komunitas Miskin Petani Nelayan Sektor Informal F F F (%) (%) (%) 79 87 159 (79,00) (87,00) (79,50) 21 13 41 (21,00) (13,00) (20,50) 200 (100,00)
100 (100,00)
100 (100,00)
Jumlah
F (%) 325 (81,25) 75 (18,75) 400 (100,00)
Sumber: Kuesioner Penelitian, 2006 Pemanfaatan waktu luang oleh responden juga bervariasi. Sebagian besar dari responden mengemukakan bahwa pemanfaatan waktu luang digunakan untuk beritirahat. Sebagian kecil lainnya dimanfaatkan untuk menonton TV, dan hanya sebagian kecil responden dari kategori komunitas miskin nelayan dan sektor informal yang menggunakan waktu luang untuk minum di kedai kopi. Sedangkan responden dari kategori komunitas miskin petani, tak satupun yang mengatakan memanfaatkan waktu luang untuk minum di kedai kopi. Temuan ini menggambarkan bahwa tradisi minum kopi di warung tidak dimiliki oleh komunitas petani, namun masih eksis dikalangan nelayan dan pekerja sektor informal. Untuk sebagian responden lainnya, ternyata waktu luang justru dimanfaatkan untuk menambah penghasilan. Artinya, waktu luang yang ada digunakan untuk bekerja tambahan yang dapat memberi tambahan penghasilan ekonomi. Temuan ini sesungguhnya semakin memperkuat anggapan yang menolak pandangan bahwa orang miskin memiliki etos kerja yang rendah. Dengan demikian berarti ada persoalan lain yang membuat mereka menjadi miskin, dan ini dikenal dengan istilah persoalan struktural, yaitu ada struktur yang tidak memberi kesempatan yang sama kepada semua orang dan semua golongan dalam mengakses sumber daya ekonomi yang tersedia.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
67
Laporan Penelitian 2006
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Secara sosial demografis, kemiskinan di Kabupaten Serdang Bedagai dapat dipetakan menjadi tiga komunitas miskin, yaitu komunitas miskin petani; komunitas miskin nelayan; dan komunitas miskin sektor informal. Pemetaan tersebut
didasarkan
pada
temuan
kajian
literatur
dan
empirik
yang
memperlihatkan bahwa individu miskin dominan berada pada tiga komunitas tersebut. 2. Secara umum terlihat bahwa keadaan keluarga miskin untuk ketiga kategori komunitas miskin tidak saja dipersulit oleh masalah kekurangan materi semata, tetapi juga diikuti oleh permasalahan lain seperti keadaan keluarga ekonomi yang rentan, keadaan keluargaa yang tidak berdaya, kondisi tempat tinggal yang terisolasi, keadaan jasmani yang lemah, dengan derajat yang berbeda-beda. Secara nyata keadaan ini turut membawa kemiskinan menjadi akut,
yakni
kemisksinan yang telah berkembang menjadi perangkap bagi keluarga miskin itu sendiri
dan
mempersulit
keluarga
miskin
untuk
keluar
atau
lepas
dari
permasalahan kemiskinan yang secara alami. 3. Dari ketiga kategori komunitas miskin tersebut, karakteristik kemiskinan yang dialami oleh komunitas miskin nelayan relatif sama dengan karakteritik yang dimiliki oleh komunitas miskin sektor informal, dan relatif berbeda dengan komunitas miskin petani. 4. Dilihat dari kriteria identitas responden melalui jumlah anak yang dimiliki, ada kecenderungan bahwa jumlah anak komunitas miskin relatif banyak, namun jumlah terbesar ada pada komunitas nelayan. Bila dikaitkan dengan jumlah penghasilan rata-rata keluarga, maka kondisi ini akan mempersulit kondisi ekonomi kominitas nelayan miskin dibanding dengan dua komunitas miskin lainnya. Keadaan ini tentunya mempersulit posisi komunitas miskin nelayan bangkit dari ketidakberdayaannya. 5. Dilihat dari karakteristik keuangan keluarga dan dikaitkan dengan alokasi pengeluaran
untuk kebutuhan pangan, maka komunitas miskin sektor informal
merupakan kelompok miskin yang paling besar alokasi pengeluarannya, yang disusul oleh komunitas miskin nelayan dan komunitas miskin petani. Keadaan ini juga mempersulit posisi ekonomi komunitas miskik sektor informal. 6. Alokasi terbesar penghasilan keluarga untuk pendidikan anak-anak ditemui pada komunitas miskin petani, sedangkan untuk komunitas miskin nelayan dan sektor Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
68
Laporan Penelitian 2006
informal lebih kecil dan keduanya relatif sama. Bila diyakini bahwa tingkat pendidikan seseorang berhubungan tingkat kesejahteraannya, maka peluang generasi komunitas petani untuk keluar dari kemiskinannya akan lebih besar. 7. Minimnya penghasilan kepala keluarga (suami) seharusnya dapat diatasi jika para isteri mereka bekerja. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar isteri responden hanya sebagai ibu rumah tangga alias tidak memberikan sumbangan finansial secara langsung. Namun demikian, isteri komunitas petani miskin masih lebih banyak yang bekerja untuk membantu keuangan suami dibanding dengan isteri dua komunitas lainnya. Ketiadaan peluang kerja yang bisa dimasuki oleh para isteri-isteri ini meruapakan alasan mengapa mereka tidak bekerja. 8. Jaringan sosial, apakah yang bersifat horizonatal berbasis keluarga (famili), tetangga, teman, dan yang lainnya, atau yang bersifat vertikal, seperti hubungan dengan toke, elit desa, pemerintahan desa dan lainnya,
seharusnya dapat
dimanfaatkan sebagai strategi untuk mengatasi berbagai persoalan hidup khususnya ekonomi, kenyataannya itu belum atau tidak dapat dilakukan oleh ketiga kategori komunitas miskin. 9. Pemerintah (kepala desa) masih merupakan sumber informasi (termasuk informasi bantuan) yang paling dominan bagi warga komunitas miskin. Sedangkan sarana informasi lainnya adalah radio, dan televisi. 10. Asset kepemilikan barang yang dapat berproduksi juga minim dimiliki oleh ketiga kategori komunitas miskin. Tanah sebagai salah satu asset ternyata paling banyak dimiliki oleh komunitas miskin petani, diikuti oleh komunitas miskin nelayan, dan komunitas miskin sektor informal. Namun demikian, tanah yang dimiliki oleh komunitas miskin petani juga tidak untuk berproduksi, hanya sebagai lahan pekarangan tempat tinggal. Dilihat dari aspek kepemilikan asset tanah ini, maka sektor informal merupakan komunitas miskin yang paling rentan karena mereka umumnya tidak memiliki tanah, bahkan sebagian dari mereka harus mengeluarkan sejumlah uang sebagai sewa rumah. 11. Kepemilikan ternak sebagai asset yang dapat berkontribusi bagi penghasilan ternyata juga mayoritas dimiliki oleh komunitas miskin petani. Sedangkan dua komunitas miskin lainnya relatif lebih sedikit yang memiliki ternak, dengan alasan tidak memiliki lahan untuk pemeliharaannya. Dilihat dari indikator ini maka komunitas miskin nelayan dan sektor informal lebih rentan kehidupannya dibandingkan dengan komunitas miskin petani. 12. Responden dari ketiga kategori komunitas miskin umumnya sangat menginginkan mendapatkan keterampilan yang dapat berkontribusi bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka, namun kenyataannya, hanya sebagain kecil saja dari
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
69
Laporan Penelitian 2006
mereka yang pernah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan, dan itupun tidak berkontribusi langsung bagi perbaikan ekonomi, karena sebagian besar yang mereka dapatkan adalah penyuluhan tentang kesehatan dan pendidikan. 13. Sebagian besar responden sudah pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, antara lain berupa bantuan beras, hibah uang, dan biaya pendidikan. Kenyataan memperlihatkan bahwa bantuan-bantuan tersebut belum banyak kalau tidak dikatakan belum mampu mengeluarkan mereka dari “perangkap kemiskinan� seperti dikemukakan oleh Robert Chambers. Penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini masih sebatas pada charity (derma atau amal), sehingga untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang mereka derita belum bisa terselesaikan,
bahkan
kecenderungan
yang
terjadi
adalah
permasalahan
kemiskinan makin meluas, bukan hanya kekurangan uang dan makan tetapi juga sudah terjangkit masalah lemah jasmani, pengangguran, tidak berdaya, masalah kemelaratan ekonomi keluarga, dan tergantung akan bantuan. 14. Alat perlengkapan kerja sebagai salah satu asset untuk berproduksi sebagian besar dimiliki oleh komunitas miskin petani, sedangkan dua komunitas miskin laiinya hanya sebagain kecil yang memiliki peralatan perlengkapan kerja. Harga yang relatif lebih mahal untuk peralatan kerja kedua komunitas miskin ini dibanding dengan komunitas petani merupakan alasan utama minimnya kepemilikan alat perlengkapan kerja tersebut. 15. Hampi semua responden menyatakan memiliki waktu luang, namun waktu luang tersebut belum efektif dimanfaatkan untuk menambah penghasilan. Ketiadaan keterampilan atau skill lain selain pekerjaan utama merupakan alasan tidak dimanfaatkannya waktu luang tersebut, di samping waktu yang sudah cukup panjang untuk bekerja sehingga waktu luang sebagian besar dimanfaatkan untuk bersitirahat. 16. Dari karakteristik-karakteristik komunitas miskin tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan dua komunitas miskin, yaitu komunitas miskin nelayan dan komunitas miskin sektor informal menunjukkan kriteria kemiskinan yang lebih rentan bila dibandingkan dengan karakteristik komunitas miskin petani. 5.2. S a r a n Berdasarkan atas hasil penelitian yang diperoleh, maka ada beberapa saran yang diharapkan dapat membantu penyempurnaan program penanggulangan kemiskinan agar lebih efektif dan efisien serta berpihak kepada masyarakat terutama keluarga-keluarga
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
70
Laporan Penelitian 2006
miskin dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai dalam pembangunan untuk masyarakat miskin, yaitu: 1. Pendekatan kemiskinan yang selama ini dilaksanakan di kabupaten Serdang Bedagai, cenderung masih menganut pendekatan top–down
sehingga kurang
mengena pada persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Oleh karena itu, berbagai program
pengentasan
kemiskinan
di
pedesaan
perlu
dilandaskan
pada
pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada manusia, sehingga akan tercipta masyarakat yang perduli akan keberlangsungan pembangunan di wilayahnya secara khusus, dan secara umum mendukung program pembangunan daerah yang lain. Sebagai konsekuensi logis dari pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada manusia ini, pembangunan harus menekankan pada pendekatan pengelolaan sumber daya yang bertumpu pada komunitas (community-based resoures
management) dengan menggunakan metode aplikatif Participatory rural appraisal. Dari pendekatan ini diharapkan keuntungan relatif
dari masing–masing
pendekatan (top-down dan bottom-up) dapat dimunculkan. Agar pendekatan ini dapat dijalankan, maka perlu dilakukan penataan ulang perencanaan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang diawali dengan pembentukan institusi lokal yang kuat dan
kapabel,
sehingga masyarakat miskin
setempat memiliki
kemampuan dan kesempatan untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam proses kebijakan pembangunan desa, baik mulai penetuan masalah, pemilihan alternatif, pelaksanaan maupun pada tahap proses pengawasan. 2. Perlu diupayakan pendekatan perencanaan program yang mampu menciptakan keserasian dan kesesuaian antara tujuan-tujuan program dengan kebutuhankebutuhan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran, antara tugas-tugas yang harus dilakukan para pelaksana dengan kapasitas organisasi, serta adanya suatu mekanisme
pengambilan
keputusan
yang
mampu
menampung
artikulasi
kepentingan kelompok sasaran. Dengan dipenuhi persyaratan ini, maka resiko kegagalan pelaksanaan program atau penolakan dari kelompok sasaran dapat diminimalkan, sementara keberlangsungan program dapat dicapai. Proses penyesuaian dilakukan oleh masing-masing pihak, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. Dengan diberdayakannya masyarakat melalui suatu proses pembelajaran dengan menggunakan metode partisipatif, diharapkan masyarakat mampu menyesuaikan dengan berbagai program yang digulirkan pemerintah. Sementara di sisi lain, pemerintah juga harus membuka diri terhadap berbagai masukan dari bawah. Hal ini mempunyai implikasi bahwa program yang ditawarkan bukanlah harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, akan tetapi harus
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
71
Laporan Penelitian 2006
disesuaikan dengan melihat kemampuan dan organisasi pelaksana dan sejalan dengan artikulasi kepentingan keluarga-keluarga miskin sebagai kelompok sasaran. 3. Sebelum
berbagai
kebijakan,
terutama
program
pengentasan
digulirkan perlu dilakukan persiapan sosial (social preparing)
kemiskinan,
melalui upaya
pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat dengan memfasilitasi mereka agar mereka lebih termotivasi dan memiliki kemapuan, mengetahui bagaimana mengakses
sumber-sumber
pendapatan,
serta
terlibat
aktif
baik
dalam
perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan program. Persiapan sosial ini akan sangat
bermanfaat
untuk
membentuk
suatu
institusi
lokal
yang
kuat,
meningkatkan manfaat program serta menciptakan program yang berkelanjutan dan memiliki daya ungkit terhadap dampak program pembangunan pedesaan lainnya. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan Y. C. Yen, seperti plan with the
people, start whit what the people know dan build on the people have, bukan hanya sekedar slogan kosong, tetapi benar-benar dimenifestasikan dalam suatu proses perencanaan program aksi yang aplikatif. 4. “Aksi kolaboratif” antara berbagai pihak (Pemerintah – LSM – Swasta – Masyarakat) perlu digagas dan dicoba dalam upaya implementasi program/proyek pembangunan reduksi kemiskinan. Desa percontohan (pilot project) perlu dibuat untuk “aksi kolaborasi” ini dengan memanfaatkan dan mendayagunakan elemenelemen modal sosial (social capital). “Aksi kolaborasi” didasari pada asumsi bahwa tidak ada satu pihakpun yang mampu melakukan kegiatan reduksi kemiskinan secara sendirian, mulai dari kerja persiapan sosial hingga monitoring dan evaluasi. 5. Diharapkan penelitian ini bukan merupakan hasil final melainkan penemuan awal dari persoalan kemiskinan khususnya untuk kasus kemiskinan di Serdang Bedagai. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kasus kemiskinan ini terutama oleh kalangan akademisi sehingga dapat ditemukan hal-hal baru mengenai
kasus
kemiskinan.
Pada
akhirnya
dari
hasil
penelitian
yang
komprehensip dapat dijadikan pijakan bagi pembuat kebijakan sehingga menjadi lebih mudah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Bagaimanapun kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat mendesak untuk dituntaskan.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
72
Laporan Penelitian 2006
DAFTAR PUSTAKA
Andre Bayo Ala (ed.), 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty. Yogjakarta. BPS, Bappenas, dan UNDP, Indonesia Human Development Report, 2001. Chambers, Robert. 1996. PRA – Participatory Rural Appraisal – Memahami Desa Secara Partisifatif. Yogjakarta : Kanisius Chambers, Robert. 1988. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. (terj.) Oleh Pepep Sudradjat. Jakarta : LP3ES. Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Thousands Oaks, London: Sage. Dahuri, Rokhmin. 1999. “Reposisi Pembangunan Perikanan Indonesia Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Pesisir”. Makalah Seminar Kementrian Eksplorasi Laut. Medan: JALA-SNSU-FISIP USU. Djajanegara, Siti Oemijati dan Arifin, Haswinar. 1997. Program intervensi di dalam Komuniti dan Keluarga Miskin. Dalam Jurnal Sosiologi Indonesia, No 2/September. Ikatan Sosiologi Indonesia. Friedman, John. 1979. Urban Poverty in Latin amerika: Some Theoritical Considerations. Dalam: Development Dialogue. Uspala: Dag Hammarskjold Fondation. Gaitskeel, C. O., S. Hurwitz, dan M. Day. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia. Diterjemahkan Oeh S. Supomo. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. PT Jakarta: Gramedia. Korten, David C. 1993. Menuju abad 21 : Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan. Sayogyo. 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Puspa Swara Sen, Amartya. 1981. Poverty and Famines: an essay on entitlement and Deprivation. New York: Oxford University Press. Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yokjakarta: Philosophy Press. Suparlan, S. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
73
Laporan Penelitian 2006
IV. Rekomendasi Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut pertama, dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan diperlukan adanya penanganan secara sungguh-sungguh. Seiring dengan dinamika masyarakat pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan melalui pola pembangunan partisipasi, yaitu menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai subyek atau aktor pembangunan. Kedua, dalam rangka penanggulangan kemiskinan hal-hal yang perlu dipersiapkan dan dilakukan adalah: a. Pemahaman atau visi misi yang sama terhadap konsep penduduk miskin, b. Langkah pemecahan, yaitu ditempuh dengan pemberdayaan masyarakat, c. Peran pelaku penanggulangan kemiskinan adalah penduduk miskin itu sendiri. Pemerintah dan masyarakat yang sudah mampu hanya menjadi fasilitator (pendamping), d. Perlu adanya koordinasi yang baik, e. Adanya kelembagaan yang berfungsi sebagai penyaluran ( delivering), penerima ( receiving), pendampingan (fasilitator), pelestarian (berkelanjutan), dan f. Perlunya monitoring dan evaluasi.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
74
Laporan Penelitian 2006
DAFTAR PUSTAKA
V. Daftar Pustaka Agus Sutanto dan Puguh B. Iraman, Regional Dimentions of Poverty: Some Findings on the Nature of Poverty, Jakarta, Mei 2000. Arief R. Karseno, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Lokalitas Dalam Perspekti Ekonomi, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002. Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan, intern,2002. Gunawan Sumodiningrat; Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002. Konferensi Internasional Pengukuran Kemiskinan di Indonesia, 16 Mei 2000 di Jakarta. Makmun, Bantuan K edit untuk Rakyat Termiskin, dalam Majalah Pengembangan Perbankan dalam Edisi Januari-Februari 1992. Pandu Suharto dan Makmun, Sebuah Pengalaman Dalam Mengurangi Kemiskinan di daerah Pedesaan, dalam Majalah Pengembangan Perbankan Edisi Juli-Agustus 1992. Susetiawan, Pengembangan Lokalitas Dalam perspek if Sosial Budaya, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
75
Laporan Penelitian 2006
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
Judul : PEMETAAN SOSIAL DEMOGRAFI KEMISKINAN PADA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Peneliti : DR. Badaruddin, M.Si Bambang Satriawan, SE, M.Si Bakhrul Khoir Amal, M.Si Dedi Amrizal, M.Si
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
76
Laporan Penelitian 2006
Dilaporkan ke :
PEMERINTAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Pemetaan Sosial Demografi Kemiskinan di Kab. Serdang Bedagai
77