Lentera News edisi #21 Januari 2016

Page 1

Lentera news smart | beriman | inspiratif

HILANGNYA RASA MALU!? Lentera news - ed Januari 2016 | 1


DAFTAR ISI

Lentera news

Edisi #21 Januari 2016 Sapaan Redaksi

3

Telisik Pemred

4

Lentera Khusus

7

Lentera Iman

10

Lentera Refleksi

12

Kolom Pollung

14

Sastra

17

Lapo Aksara

20

Credit ilustrasi cover : 足 http://www.warrenphotographic.co.uk/39551-white-japanesespitz-dog-hiding-face-in-shame

Lentera news - ed Januari 2016 | 2


Sapaan Redaksi

Salam sejahtera! Selamat Tahun Baru 2016, bagi s­ ahabat pembaca Lentera News. Kiranya Anda diberkahi kesehatan dan bahagia menapaki hari awal di ­tahun yang baru ini. Merupakan sebuah kebanggan bisa menapak tahun 2016 ini b ­ersama sahabat pembaca Lentera News. ­ ­Terutama sekali menjadikan majalah online kesayangan kita ini sebagai ilham ­ kehidupan yang beriman, smart dan inspiratif.

Sahabat pembaca Lentera News t­entu lekas mendapati perwajahan baru dalam edisi bulan ini. Komisi Komsos Keuskupan Agung Medan (KAM), pada Desember 2015, telah mendapat masukan untuk menyegarkan layout untuk kakak ­ majalah ini, Menjemaat yang rutin ­ ­terbit untuk lingkup wilayah KAM. Pastor Erwin dari Bina ­ Media Perintis ­ menganjurkan untuk konsultasi dengan desainer senior ­ Kompas, Lim Bun Chai.

Karena satu dan lain hal, upaya penyegaran wajah juga ­ berlanjut ke ­ majalah online ini. Seperti mengingatkan petuah kecipratan ­ getah nangka dari saudara sendiri. Namun getah ini, malah memberi kenikmatan. :) Dalam edisi ini, perubahan belum diterapkan dalam lingkup kolom. Sebab, Lentera News juga ditopang para penulis yang murah hati berbagi inspirasi dan pengetahuan-nya. Akhir kata, semoga wajah baru Lentera News turut menyalakan ­ semangat menjalani tahun baru ini. ­ Meskipun senang bergumul untuk pembaharuan, kami tetap b ­ erbahagia menyajikan nilai utama dalam ­menerbitkan majalah ini: smart, beriman & inspiratif. Shalom,

Redaksi

3 | Lentera news - ed Januari 2016


Telisik Pemred

BUDAYA MALU, LOGIKA TERBALIK Aurat sering disebut K ­ emaluan. Umumnya tertutup, dan ­memang seharusnya begitu. Dalam arti tidak untuk ­dipertontonkan. ­Manusia menjadi malu kalau ­sadar bahwa orang lain ­melihat auratnya. Bahkan menjadi aib berkepanjangan dalam ­kehidupannya.

RP Hubertus Lidi OSC Ketua Komsos KAM

Nalar sehat m ­ engatakan bahwa aurat itu disebut ­kemaluan, itu tidak tepat, dan salah ­kaprah Aurat adalah bagian vital, dan merupakan salah satu organ yang penting dalam ­sirkulasi ­kehidupan manusia. Logis bahwa yang ditutup itu bukan aib, k ­ eburukan, atau ­kehinaan. ­Ditutupi, bukan dalam d ­ itutup-tutupi. Ditutupi disini dalam pemahaman dijaga, dan ­dilindungi, bahkan kalau boleh nyawa menjadi taruhan karena kehormatan. Aurat itu ­Kehormatan, harga diri, bukan Kemaluan. Beberapa tahun yang lalu, budaya malu sempat m ­ enjadi perbincangan. Bahkan ­berujung menjadi gerakan kesadaran umum. Saat itu manusia menjadi tidak ­menjaga ­kehormatannya. ­Manusia memanfaatkan ­kepercayaan sesamanya, jabatan, peluang, dan kesempatan, untuk ­kepentingannya. Ia tidak malumalu alias menelanjang dirinya dan merasa nyaman ber-KKN (Kolusi,Korupsi, dan ­Nepotisme). Pada tatanan ini m ­ anusia ­melanggar aturan, norma, etika, dan kebiasaan.

Lentera news - ed Januari 2016 | 4

Kala manusia menjual atau lebih tepat melacurkan ­kehormatannya demi kenikmatan diri, keluarga, dan ­kroni-kroninya, maka manusia seharusnya malu. Tetapi aneh manusia menjadi tak tahu malu maka munculah g ­ erakan Budaya Malu. Pada ­intinya gerakan itu ingin menghanguskan mentalitas tak tahu malu itu alias mengumbar ­kehormatannya demi ­kenikmatan diri, keluarga, dan kroninya. ­Gerakan itu disebut reformasi bahkan sekaranga ditambah lagi kata mental. Dan sekarang ­berubah nama jadi revolusi ­mental. Seiring dengan bergulirnya masa, toh ternyata m ­ entalitas tak tahu malu tidak hilang juga. ­Bahkan berubah bentuk ­menjadi lebih moderen. ­Syukur pada ­jaman reformasi ­media-media sosial mengalami ­kebebasan yang berarti. T ­ erbuka dan ­kritis, ­bahkan ­menjadi ­kekuatan sosial yang p ­ antas ­diperhitungkan. M ­ edia inilah yang ­mempertontonkan mentalitas tak tahu malu yang s­ udah mengalami perubahan yang signifikan itu. ­Perubahannya adalah manusia merasa bebas mempertontonkan perilaku yang tidak elok. Adu jontos di ruang sidang yang terhormat. Senyum bak selebritis saat digadang polisi anti korupsi menuju mobil tahanan. Pembenaran diri juga ­menjadi lebih canggih, sehingga yang benar jadi salah dan sebaliknya


yang salah jadi benar. Di kalangan masyarakat umum, semangat untuk menegakan yang katanya hukum, juga mempertotonkan ­kebrutalan. Misalnya demi menghukum, maka orang yang kedapatan berbuat yang tak senono, diarak telanjang mengelilingi perkampungan. Anehnya yang mengarak tidak malu ­menotontonnya bahkan bersorak sorai. Dalam konteks ini, yang tertangkap sangat manusiawi, karena pada saat genting itu ia berupaya meraih apa saja menutupi auratnya dengan caranya sendiri. Bagaimana dengan yang mengarak dan menangkap? Malu pada dasarnya berkaitan dengan manusia yang berakal budi. Manusia seyogianya a ­ dalah makluk yang berakal budi. Ia ­sadar akan ­­keberadaannya, ­sehingga harkat dan m ­ artabatnya berbeda dengan Kuda dan ­Kambing. Hewan tidak sadar akan keberadaannya. Akal budi inilah yang menghantar manusia pada tatanan yang berbeda dengan makluk lain di muka bumi ini. ­Esensi kehormatan ada disana, akal dan budi. Ini merupakan kehormatan bagi diri dan sesamanya.

Pada bagian lain manusia dari dirinya bukan ­merupakan ­merupakan maklum yang ­sempurna. Ia membutuhkan orang lain; interaksi, relasi, dan persahabatan serta ­pengabdian sebagai bentuk untuk saling melengkapi dan menghargai satu dengan yang lain. Jabatan yang berujung pada pengabdian, merupakan bentuk apreasiasi dari manusia sebagai makluk yang tak sempurna itu. Saling membutuhkan dan melengkapi. Teman-teman di Papua ­ enyebut manusia yang tak m tahu malu dengan sebutan: urat ­malunya sudah putus. Kadang mereka menyebutnya Malu Picah (pecah) diantara kita. Manusia yang tidak menjaga ­kehormatanya entah jabatan, kapasitas, dan statusnya dengan seenaknya ­perutnya melanggar aturan, norma, etika, dan k ­ ebiasaaan baik adalah orang yang tak tahu malu. Kita sedang krisis, Tak Tahu Malu. Credit ilustrasi: ­ lavishgulatiblogs.wordpress.com

5 | Lentera news - ed Januari 2016


Jeda

Lentera news - ed Januari 2016 | 6


Lentera Utama

‘SetNov’: WAJAH BINGUNG KITA

Milda L. Pinem Dosen FISIPOL di UGM, Yogyakarta. Saat ini sedang ­melanjutkan studi S3 di University of Hull, Inggris.

Hari-hari ini sepertinya adalah sebuah masa yang tak terduga. Masa yang menjanjikan kebebasan namun pada saat yang sama memberikan kebingungan. Sejak berakhirnya rezim militer di Indonesia, ada beberapa hal yang mudah kita saksikan di negeri ini: perpecahan di kalangan elit politik, peningkatan politik agamis, pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, menguatnya budaya populer, serta revolusi komunikasi digital terutama di kalangan kelas menengah baru. Berakhirnya rezim represif yang berumur panjang ternyata pada satu sisi menghadirkan gegap gempita kebebasan, namun segera diikuti oleh berbagai peristiwa tak terduga dengan kebingungan arah dan sepertinya juga keputusasaan. Barangkali salah satu wujud “kebingungan” tersebut bisa kita temukan dalam kasus Setya Novanto. Ia adalah ketua DPR RI yang semakin populer sejak rekaman 120 menit percakapan dengan dua orang lainnya terkait PT Freeport, tersebar di berbagai media. Di dalam percakapan tersebut, Setya Novanto dikabarkan mencatut nama RI 1 untuk renegosiasi kontrak dengan korporasi asing tadi. Ia juga meminta saham perusahaan itu untuk Presiden dan Wakilnya, serta saham proyek listrik yang akan dibangun di Timika, Papua. Setya Novanto meminta PT Freeport menjadi pembeli (offtaker) sekaligus investor tenaga listrik yang akan dihasilkan di dalam proyek tersebut. Lantas, rekaman percakapan ini pun segera menjadi viral, massif, tersebar luas di berbagai media publik setelah, katanya, dibocorkan oleh

beberapa wartawan. Kasus ini pun segera menuai kecaman dan makian dari masyarakat luas yang mudah diketemukan di berbagai media sosial. Dengan kemunculan kasus tersebut, hadir suasana riuh, sekaligus tak terkontrolnya kekuasaan media yang bersilang dengan kekuatan pasar atau bisnis. Setiap hari, berbagai media berlomba menampilkan, mengulas, membahas, dan mengulang-ulang pemberitaan rekaman percakapan tadi. “Tidak etis-nya” seorang ketua legislatif segera menjelma sebagai lahan komodifikasi. Konstruksi penilaian publik atas “tidak tahu malunya” seorang pejabat publik ternyata menjadi “rejeki” dan “ladang uang” bagi industri media. Segera muncul para “pakar” dan “ahli” yang melakukan analisis terkait rekaman percakapan Setya Novanto. Tak hanya itu, berlimpahnya informasi menjadikan masyarakat tak kurang “tahu” dan tak kurang “pintar”. Barangkali yang jadi persoalan kita sekarang bukan lagi kurang pengetahuan melainkan kurang kedalaman saja. Beberapa orang yang menjadi lawan politik Setya Novanto pun berlomba untuk tampil bak seorang “penjaga moralitas”. Kasus ini bersegera mengalami “metamorfosis” menjadi semacam sinetron. Yang jahat dan brutal pasti selalu kalah. Di akhir kisah, penonton pun bertepuk tangan setelah pemeran antagonis (dalam hal ini Setya Novanto) mengundurkan diri. Kini, kisah itu pun menguap entah kemana dan berganti dengan cerita “sinetron” lainnya. Kita tak hendak mengatakan Setya Novanto tak salah, kita juga tak ingin mengatakan media publik adalah sesuatu yang salah. Tentu dari sisi

7 | Lentera news - ed Januari 2016


etika bagi seorang pejabat publik, apa yang telah dilakukan oleh Setya Novanto adalah sesuatu yang tak boleh dibenarkan. Namun, ada hal lain yang tak kalah penting namun genting yang perlu dicermati pasca kasus rekaman percakapan tersebut. Kasus Setya Novanto telah memantik refleksi atas realitas terdalam masyarakat kita yang sebenarnya sedang “­ kebingungan”. Kasus ini pada akhirnya menjadi semacam momen untuk menilai wajah diri dan masyarakat kita. Masyarakat pasca Orde Baru dan masyarakat era teknologi informasi yang gandrung dengan informasi tapi kurang kedalaman dan kurang kritis, haus akan moral religius tapi kurang rasional dan gemar menghakimi, tertarik dengan berita proses politik tapi seringkali apolitis dan amnesia tentang sejarahnya sendiri yang kompleks, cinta akan kebersamaan dan mengagungkan karakter komunalitas tapi tak jarang individualistis. Yang terjadi juga adalah tergerusnya rasa “malu” dan juga tumpulnya komitmen. Terjadi berbagai perdebatan berisik di berbagai tempat di ranah publik baik mengenai kepentingan umum dan juga urusan pribadi orang lain. Tersebar luas kepicikan wawasan historis dalam mendiskusikan masalah-masalah mutakhir, sebagai contoh penyerangan kepercayaan minoritas oleh kelompok agama mayoritas. Kita memang telah meninggalkan era supremasi militer dan kini memasuki zaman “supremasi sipil” yang ternyata tak kalah berbahaya. Jika kita cermati lebih jauh, salah satu wujud lain dari wajah “bingung” masyarakat adalah hadirnya kelompok kelas menengah baru di Indonesia. Mereka adalah kelompok muda yang sebagian besar tinggal di perkotaan, orang kaya baru, dan selalu menjadi sasaran pasar. Yang menarik di sini adalah transformasi makna ­kelas menengah. Pada zaman ­Revolusi Industri di Eropa, kelas menengah dipandang mampu membawa iklim

Lentera news - ed Januari 2016 | 8

Setya Novanto via Smeaker.com

Kasus ini pada akhirnya menjadi semacam momen untuk menilai wajah diri dan masyarakat kita. … Yang terjadi juga adalah tergerusnya rasa “malu” dan juga tumpulnya komitmen.

perubahan yang akan mengangkat derajat kaum bawah yang tertindas dan tereksploitasi. Pada masa itu, peran kelas menengah sangat politis dan “menarik”: membela kaum buruh dan kaum tertindas dari kekuasaan negara juga pasar yang dianggap tak sesuai dengan “kesadaran” mereka. Apa yang ditekankan adalah arti dari “kesadaran kelas”. Untuk konteks Indonesia, yang muncul dan berkembang justru kelas menengah baru yang sifatnya tak lagi politis melainkan kultural, bahkan sebenarnya sangat apolitis. Kelas ini memiliki tabiat, selera dan pandangan yang seragam. Tidak hanya karakter yang homogen, karakter paradoks dan “kebingungan” juga sering mewarnai kelas menengah baru ini. Kitalah ­wajah kelas menengah baru yang menjadi relawan penanam pohon sembari menjadi advokat di ­perusahaan tambang perusak lingkungan, kitalah yang menjadi pegawai sebuah lembaga perkreditan dan bank yang juga berlomba menyicil mobil mewah, kitalah yang yang ramai posting status di facebook dan berkicau nyaring di twitter tentang kemelaratan dan kesengsaraan orangorang di remote area sambil melirik tas-tas branded dengan harga selangit, kitalah yang berlomba beramal dan menyumbang ke rumah-rumah ibadah sembari nongkrong di pub dan cafe-cafe kelas atas. Kita jugalah yang konon sangat mendukung program “penggusuran” dari sebuah perkampungan di Jakarta. Sebuah kebijakan yang sangat dekat dengan market values dan kepentingan bisnis dengan mengabaikan konsep citizenship bahwa masyarakat miskin tidak berhak tinggal di kota besar tersebut karena tidak mampu berkompetisi dalam proses ekonomi. Praktik-praktik masyarakat dan situasi yang membingungkan seperti itu tak mudah lagi “dijinakkan” oleh negara, tak mudah ditertibkan oleh institusi agama. Kasus Setya Novanto


dan respon terhadapnya, hanyalah salah satu wujud dari kebingungan masyarakat. Setiap orang kini seolah-olah memegang otoritas yang semu namun pada saat yang sama ia tak bisa menjadi penentu dalam ­hidupnya. Krisis gagasan besar yang orisinil pun hadir di mana-mana, karena kita memang mewarisi kultur didaktis, “mem-beo” dan “latah”. Kita hidup di sebuah masa di mana manusia adalah mahluk yang penuh dengan kemungkinan yang tak teredam. Segala yang ganjil, gila-gilaan, yang memalukan, yang tak etis bisa

terjadi tanpa pernah dibayangkan ­sebelumnya. Lantas apakah ada solusi untuk “kebingungan” ini? Barangkali waktu bisa menjawab. Karena hanya waktu yang bisa membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, berubah dan mengantar kita pada peristiwa lain. Waktu selalu memiliki batas, tapi ia juga membuka pintu pada perubahan lainnya. Sementara kita hanya bisa terus mencoba.

Jeda

9 | Lentera news - ed Januari 2016


Lentera Iman

YUBILEUM DAN PINTU SUCI, APA MAKNANYA?

(credit foto: http://monroenews.com) Benediktus Diptyarsa Janardana Mahasiswa Psikologi di Universitas Negeri Malang

M

ulai 8 Desember 2015 sampai 20 N ­ovember 2016 ini, kita akan ­merayakan sebuah perayaan maha agung, yakni Tahun ­ Suci atau ­Tahun Yubileum. Melalui Bulla ­Kepausan “Misericordiae Vultus”, Paus Fransiskus mendeklarasikan ­Yubileum ini dalam rangka memperingati 50 ­tahun Penutupan Konsili Vatikan II (8 Desember 1965). Yubileum kali ini mau berpusat pada Kerahiman Allah yang Maha Besar, sehingga Yubileum ini dinamakan sebagai “YUBILEUM KERAHIMAN”. Namun, kita pasti bertanya-tanya, apa sih Yubileum itu? Kemudian jika kita mendengar kata “Yubileum” pasti menyangkut-pautkan “Pintu Suci”. Nah, apa sih Pintu Suci itu? Supaya

Lentera news - ed Januari 2016 | 10

kita bisa paham istilah-istilah tersebut sehingga dapat merayakan Tahun Yubileum Kerahiman dengan khidmat dan maksimal, mari kita bahas satupersatu. APA ITU YUBILEUM? Tradisi Yubileum berakar dari ­angsa Yahudi. Pertama-tama kita b harus tahu bahwa Gereja ­ Katolik memiliki kekayaan tradisi dan ­simbolisme iman yang berlimpah, sebagian dari antaranya berakar dari tradisi bangsa Yahudi, bangsa yang pertama dipilih Allah untuk menjadi sarana keselamatan seluruh umat manusia. Kata “yubileum” berasal dari bahasa Ibrani “yobel” yang berarti “tanduk domba jantan” atau “sang-

kakala”. Disebut Tahun Yobel atau Tahun Pembebasan adalah tahun ke-50 yang diatur dalam Kitab Imamat 25:122 sebagai tahun pembebasan bagi umat Israel. “..... Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu .....” (Im 25:10).

YUBILEUM DALAM GEREJA Sejarah mencatat Tahun Yubileum pertama kali diadakan dalam Gereja pada masa pontifikat Paus Bonifasius VIII (1294-1303). Pada masa itu perang dan wabah penyakit mengguncang hampir seluruh


kawasan Eropa sehingga banyak sekali ­ korban jiwa berjatuhan dan penderitaan di mana-mana. Alhasil, umat pun ­ berbondong-bondong ke Roma untuk berziarah memohon ­pengampunan Allah dengan melakukan silih dan t­obat di depan makam St. Petrus dan Paulus. Tren ­ziarah ke Roma ini ­mencapai puncaknya pada Natal 1299. Menanggapi hal itu, Paus ­Bonifasius memutuskan untuk menjadikan ­tahun berikutnya, yakni tahun 1300 menjadi “Tahun Pengampunan Segala Dosa”. Inilah awal dari Tahun ­Yubileum dalam Gereja Katolik. Sejak saat itu, Gereja mulai secara teratur mengadakan Tahun Yubileum, awalnya diadakan setiap 100 tahun sekali, kemudian 50 tahun sekali, dan kemudian 25 tahun sekali hingga sekarang. Yubileum 25 Tahunan ini disebut sebagai “Tahun Yubileum Biasa”. Tak jarang Tahun Yubileum ­ diadakan di luar jangka waktu 25 tahunan t­ ersebut, terutama ketika m ­ emperingati ­peristiwa Gereja yang amat penting. Nah, Yubileum yang diadakan di luar jangka waktu 25 tahunan ini disebut sebagai “Tahun Yubileum Luar Biasa”. Contohnya adalah tahun 1983. Paus St. Yohanes Paulus II mendeklarasikan

tahun 1983 sebagai Tahun Yubileum Luar Biasa guna merayakan 1950 tahun Wafat dan Kebangkitan Yesus Kristus. Kita merayakan Tahun Yubileum Biasa terakhir pada tahun 2000, pada saat Gereja memasuki Milenium baru, Milenium ke-3. APA SIH YANG TERJADI WAKTU ­YUBILEUM? Nah, yang menjadi pusat perhatian umat pada waktu pelaksanaan Tahun Yubileum (baik Biasa maupun Luar Biasa) adalah pembukaan Pintu Suci, atau dalam bahasa Latinnya disebut “Porta Sancta”. Jadi, pada saat Pembukaan Tahun Yubileum, Sri Paus akan membuka Pintu Suci yang terdapat di Basilika St. Petrus, Vatikan, dilanjutkan dengan pembukaan Pintu Suci di Basilika Agung St. Yohanes Lateran, Basilika St. Paulus di Luar Tembok, dan Basilika St. Maria Maggiore. Masing-masing Pintu Suci di basilikabasilika tersebut dibuka oleh seorang delegasi Sri Paus (tapi tidak menutup kemungkinan Sri Paus sendiri yang membuka Pintu Suci di keempat basilika ini seperti pada Tahun Yubileum 2000). Keempat basilika ini adalah

basilika paling utama dan paling penting dalam Gereja Katolik. Seiring perkembangan zaman, guna memperluas kerahiman Allah di negara-negara yang jauh dari basilika-basilika utama Roma, Pintu Suci juga diletakkan di basilika-basilika kecil yang ada di seluruh Dunia, sehingga pada saat Tahun Yubileum tiba, Pintu-Pintu Suci ini akan dibuka oleh uskup setempat. Selama Tahun Yubileum, Pintu Suci dibuka 24 jam, sehingga memudahkan umat untuk berziarah dan berdoa di depan Pintu Suci. Lalu Pada Penutupan Tahun Yubileum, Pintu Suci akan ditutup dan disegel dengan tembok. Biasanya di dalam tembok akan ditanam sebuah kotak logam yang berisi perkamen Kepausan, medali peringatan Yubileum, dan kunci untuk membuka Pintu Suci. Menjelang Tahun Yubileum selanjutnya, segel ini akan dibongkar dan kunci Pintu Suci akan diambil untuk disiapkan dalam Pembukaan Tahun Yubileum. (bersambung di edisi Februari 2016)

Penjebolan tembok yang menyegel Pintu Suci di mana di dalam nya ditanam kotak segel berlapis logam. Isi kotak segel dalam foto di atas ditampilkan medali-medali peringatan Tahun Yubileum, terdiri dari 1 medali emas yang dibuat ­menyambut Yubileum Agung 2000, 23 medali perak yang menandakan masa pontifikat Paus Yohanes Paulus II saat membuka Pintu Suci di tahun 2000, dan 17 medali perunggu yang dibuat sejak Yubileum sebelumnya di tahun 1983.

11 | Lentera news - ed Januari 2016


Lentera Refleksi

HIDUPKAN PRIBADI BERSYUKUR Margaretha Ayu Bawaulu

H

Peminat Sajak, umat di Paroki Helvetia - Medan

ujan mengguyur kota saya ­sepanjang hari ini. Membuat kaki enggan beranjak kemana saja karena bangku atau kasur yang didiami lebih hangat dari semilir angin yang berhembus. Dalam menikmati hujan, saya menemukan kembali alasan u ­ ntuk bertahan dalam menjalani hidup ini. Dengan tetap bersyukur saya m ­ enjalani semuanya. Yeah, ­BERSYUKUR. Bersyukur berarti menerima segala yang terjadi dan memetik hal positif dari masalah yang ada. Dengan bersyukur, kita menemukan hal baru. Bahwa ternyata pribadi kita lebih tegar dari masalah yang dihadapkan. Bahwa masih ada yang lebih buruk atau lebih baik dari apa yang kita alami. Tangan Tuhan sedang merenda hidup kita. Menguji pribadi tentang iman yang kita miliki kepada-Nya, hingga seberapa besar hati mampu mensyukuri pergolakan dalam hidup ini. Setiap pribadi diberikan batasan

Lentera news - ed Januari 2016 | 12

dalam masalahnya. Maka percayalah, tak ada alasan bagi kita untuk membenci situasi yang terjadi dilingkaran hidup ini dan seberat apapun itu. Seharusnya tidak akan sulit bagi tiap pribadi untuk mengucap syukur.

berbagai rupa karakternya. Hingga hidup pantas dihargai, diperjuangkan dan disyukuri. Dan yang paling penting untuk membuat rasa syukur diam di hati kita adalah berusaha dan berbagi.

Menurutku, ada beberapa cara untuk bersyukur. Pertama, berdoalah dengan teduh dan kesungguhan hati. Curahkan segala penatmu, berendah hatilah. Serahkan segala amarah, luka, dendam dan kebencian serta dosamu padaNya agar diubahkan dalam tangan pengasihNya. ­Mintalah pada Bapa untuk dituntun tiap ­langkahmu, agar Dia membawamu kehal yang baik. Agar rencanamu adalah ­rencana-Nya juga.

Berusahalah memahami hal yang terjadi tidak hanya dari kacamata kita sendiri. Berusahalah dalam tindakan – tindakan nyata. Lalu berbagilah hal – hal yang baik disekitar hidup kita dengan tulus. Niscaya, segala yang terjadi mampu membuat kita untuk selalu bersyukur.

Lalu percayalah bahwa hidup itu indah begini adanya. Selama kita masih ingin hidup, Tuhan akan membuat semesta membantu kita bertahan dan melaluinya. Akan disediakannya makan, minum, tempat dan tentunya sepaket dengan orang – orang yang

Jadi, sudahkah anda bersyukur hari ini? Jawabnya ada dalam hati. Selamat mengagumi semesta dan cintailah Nirwana di hatimu. Binjai KM 10.5 |3-4 Desember 2015

(credit foto: http://anokhimedia.com)


Resensi Buku Inspirasi Jurnalistik dari Wadah Cuitan Evaluasi merupakan hal ­penting bagi lembaga pers. Seluruh awak redaksi mengoreksi kekeliruan, ­sembari berbagi pengetahuan. ­Demikian digambarkan ­wartawan Tempo, Bagja Hidayat dalam ­buku-nya berjudul #kelaSelasa. Judul yang terilhami nama kegiatan ­evaluasi, Kelas Selasa, wartawan Tempo. Berseberangan dengan yang lazim, tulisan di buku #kelaSelasa merupakan kumpulan cuitan atau posting teks di akun Twitter milik Hidayat, tentang koreksi dari wartawan senior Tempo. Kajian yang paling banyak diposting dari Amarzan Loebis. Buku #kelaSelasa memaparkan pengetahuan dan etika jurnalistik secara ringkas dan lugas. Yang ­merupakan karakter publikasi di Twittter. Sehingga pembaca, yang berminat maupun berprofesi di dunia pers, jarang mengernyitan dahi untuk memahami satu pemaparan.

Hidayat memilah seluruh cuitan dalam tagar #kelaSelasa, dalam kurun 2011 hingga 2014, dalam empat bagian utama. Yakni: Liputan, Menulis, Lainlain, Epilog. Beberapa p ­ engetahuan baru tentang jurnalistik dapat ditemukan dalam buku ini. Sebab kajiannya berkenaan dengan studi kasus yang dialami para pewarta di Tempo. Kekurangan kecil dalam buku ini ialah pengulangan beberapa poin. Meskipun tidak fatal, hanya saja sedikit mengurangi kenyamanan dalam membaca. #kelaSelasa merupakan rujukan bagus bagi peminat maupun pelaku dunia jurnalistik. Terutama mereka yang haus pengetahuan tentang karya jurnalistik layak muat, dan bebas dari bias. [Ananta Bangun]

13 | Lentera news - ed Januari 2016


Kolom Pollung

Perang dan Danau Toba

J

epang tiba di Porsea pada Jumat malam, 13 Maret 1942. Mereka mengejutkan barisan pertahanan Belanda. Barangkali saja Jepang sudah memata-matai ­kekokohan bertahan serdadu ­Belanda sebelum mereka memutuskan memulai serangan.

Dian Purba Anggota HIMAPA (Himpunan ­Mahasiswa Pakkat)

Belanda memusatkan ­pertahanan dengan membelakangi danau. Mereka memilih darat sebagai pusat penyambutan serdadu Jepang yang memang sudah mereka prediksi ­kedatangannya. Begitu mereka mendengar tentara Jepang sudah mendarat di Pantai Timur, G ­ ubernur mengirim satu kompi ke Balige ­memperkuat pertahanan. Mereka berasal dari para buruh kebun dan pegawai kantor yang diwajibkan menjadi pasukan perang. Mereka kemudian bergabung dengan orangorang Belanda di Balige. Beberapa hari sebelum kejutan dari Jepang itu, beberapa serdadu ditugaskan ­pemerintah ­Belanda memasang peledak di jembatan penghubung Porsea dan Balige. Selain itu Gubernur di Medan juga memerintahkan kontrolirnya

Lentera news - ed Januari 2016 | 14

di ­Balige mengamankan aneka ­minuman yang dikirim dua truk dari Medan. Minuman itu kepunyaan Witte Societeit Medan. Gubernur tidak ingin botol-botol berisi jenewer, whisky, gin, bir, sampanye, chianti, dan beragam jenis anggur itu jatuh ke tangan orang Jepang. Nantinya semua minuman ini dihancurkan di depan gudang penyimpanannya di Laguboti karena kontrolir harus menghancurkannya tatkala Jepang sudah semakin tercium aromanya. Karena akan terasa aneh dan janggal mengutamakan menjaga minuman ketimbang memperkuat barikade. Serdadu Jepang merampas perahu motor dari Parapat serta membawa seorang Batak sebagai pemandu jalan. Bergerak dalam kegelapan malam, mereka tiba di Porsea. ­Kemudian segera mereka ­menguasai ­jembatan yang tak sempat ­diledakkan itu ­dengan menembaki para serdadu yang tampak gagap karena tak ­menduga kedatangan mereka. ­Beberapa orang selamat dengan m ­ emanfaatkan arus sungai Asahan. Bagi yang tertangkap, Jepang mengikat kaki dan tangan mereka lalu membunuh mereka dengan


­ ayonet kemudian melemparkannya b ke sungai. Keesokan harinya Jepang bergerak ke Balige. Sementara itu beberapa rumah orang Belanda dirampok oleh penduduk. Itu menunjukkan zaman akan berganti. Tanah jajahan akan menyambut tuan baru. Sesungguhnya Jepang datang ke Toba tidak dengan perlengkapan senjata canggih dan lengkap. Mereka “hanya” bermodalkan senapan. Penampilan para serdadu itu ­tampak kumal, tidak rapi, dan kelihatan ­sangat letih. Namun, jumlah mereka yang sangat banyak itu mengecilkan hati orang Belanda. Tak terlalu lama mereka berhasil menjadikan orang Belanda ­menjadi barisan kalah perang. Mereka digiring berjalan kaki dari Balige ke ­Tanggabatu. Di beberapa titik mereka rehat menghilangkan lelah sembari menabung tenaga.

berubah dan mereka rasakan ­begitu mengerikan menjadikan Danau Toba yang indah itu dirasakan orang Belanda sebagai siksaan sekaligus kekaguman yang takkan pernah ­tuntas. Siksaan karena udara ­sejuk dan keindahannya akan segera ­ditinggalkan. Kekaguman yang t­ akkan pernah tuntas itu sendiri sangat terkait dengan siksaan yang tadi itu. Sehingga ketika mereka berhenti di satu titik sebelum tiba di Tanggabatu, sambil melihat danau di sebelah kanan mereka, seorang dari mereka bergumam, “Bagaimana mungkin ­semua ini bisa terjadi, sedangkan alam begitu indah tak ­terlukiskan, begitu damai dan tenang.” Beberapa bulan setelah itu, orangorang Belanda itu sudah menjadi penghuni penjara Jepang di bekas hong kuli di Belawan.

(credit foto: ­ http://paradiseintheworld.com)

Dalam situasi yang begitu cepat

15 | Lentera news - ed Januari 2016


Lentera news - ed Januari 2016 | 16


Sastra Untuk sebuah nama :

Alleysia

Angela Siallagan, FCJM

A

Penulis, cerpenis

ndai suatu hari menjauh dari tempat ini, masihkah ada waktu bagiku untuk ­­bertemu dengan cinta sejatiku? Itulah hatiku yang galau ­ mengisi malam sepi, dingin dan tak berdaya dalam rintikan hujan.

Suatu saat yang tak k­ uduga, saya bertemu dengan s­ eorang gadis, dan dari keterus terangannya dia menceritakan kisahnya itu kepadaku. Saya hampir tidak tahu bagaimana awalnya bertemu d­ engannya dan lalu berkenalan… s­ angat dalam dengannya. Ya…. Sedalam hatiku yang tak pernah juga kumengerti… dan dia pun memulai ceriteranya saat itu. Gadis muda.. masih belia… dan aku melihatnya dalam kegalauan yang besar…. Entah apa sesungguhnya

yang ada di benaknya… tak bisa k­ umengerti… tak bisa ­kupahami dengan akal sehatku yang sederhana. Lalu ia berkisah bahwa ia tidak pernah persis ingat bagaimana dirinya mengenali orang itu. Sampai akhirnya dia tidak berani mengatakan banyak hal lagi dan si gadis belia memutuskan untuk tidak terlalu banyak mengatakan apa-apa. Menurutnya kisah itu mengandung sejuta rasa yang tersibak di dalam hatinya yang tidak juga bisa dijawabnya sendiri. Namun semakin ia diam, semakin ia merenung, semakin juga kebingungan melanda k­ eseluruhan diri dan batinnya… dan saat ia t­ersadar lalu bertanya b­ ergumam, “Mengapa pada musim ini kenangan p­ erjumpaan itu m ­ enjadi penentu cerita ­hidupku?” Sang gadis terlihat galau membuat pilihan. Dia tahu

pasti bahwa setiap p­ ilihan ­memiliki resiko. Dan s­ uatu saat batin, pikiran dan ­pandangannya menjadi ­gelap, ada yang m ­ engganggu ­pikirannya sehingga lupa arah jalan yang ingin ia tempuh. Si gadis pun berhenti ­beberapa detik. Ia benar-benar mengajukan pertanyaan k­ epada dirinya. Inikah jalan yang harus ku tempuh? Jalan yang ­hampir tertutup oleh pikiran dan ­perasaan yang kabut. Seketika itu, teringatlah ia akan ­Alleysia. Seorang teman karib di bangku SMK. Dia yang menunjukkan jalan ini padanya. Ia harus mengakui, Alleysia memang tidak hanya sahabat karib yang setia ­menemaninya di hari-hari yang penuh tanya tetapi juga membantu untuk mengetahui dan memahami tradisi-tradisi, visi dan misi yang harus di lakukan saat menjalani pilihan 17 | Lentera news - ed Januari 2016


hidup. Dan mestilah dia akui bahwa ­Alleysia telah berjasa ­menemaninya dalam setiap langkah hidupnya. Ternyata di suatu w ­ aktu yang sunyi, Alleysia ­pernah bertanya, “Jawab ­pertanyaan ini dengan segenap ­kejujuranmu: Apakah ­mutiara yang telah kamu temukan dengan segenap tenagamu akan kamu korbankan dan kamu akan melepaskan semua kenangan kehidupan bersama Sang cinta sejatimu?” Gadis belia itu hanya bisa menarik nafas dalamdalam mengumpulkan ­keberanian dan perlahan-lahan ­mendapatkan sedikit ­ketenanan hingga ­perlahan-lahan ­kalbunya ­merasa normal. Gadis belia itu tak mau ­menjawab ­karena dorongan sesaat dan akan terlambat ­memperbaikinya. Mungkin menjadi suatu k­ ebodohan bagi sang pencari mutiara yang ­dengan susah payah untuk ­menemukannya dan dengan gampang m ­ elepaskan dan ­membuangnya. Tapi ­mungkinkah ada satu a­ lasan yang cukup kuat yang ­melampaui kekuatan yang ­dihabiskan dalam ­menggapai mutiara itu?. Yang pasti ia harus mengambil sebuah ­kesimpulan seperti yang ia yakini sudah berada di telapak tangannya.

Lentera news - ed Januari 2016 | 18

Si gadis yang ­kujumpai di hari itu merasakan d­ orongan yang luar biasa untuk ­menangis. Ia bahkan tidak ­memahami pergulatan itu. Itulah pilihan yang p­ aling sulit yang pernah dialami dalam hidupnya. Pilihan yang s­ ulit namun harus diambilnya. Meskipun pilihan itu telah sejuta kali direnungkannya, ­namun tetaplah sedikit sulit saat memulainya. Kusadarilah kini bahwa bukan saat mutiara yang kutemukan menjadi titik akhir perjuangan dalam hidup ini, tetapi saat diri ini sanggup setia hingga bertemu dengan Sang cinta sejati, yaitu pemberi ­mutiara yang berharga ini. Sang gadis mulai ­mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk dan tak memandangku meski hanya ­sedetik pun. B ­ eberapa orang telah melakukan yang ­demikian, ­melepaskan ­mutiara itu kemudian m ­ encari ­jalan lain. Kuharap kamu tidak ­pernah ­menyesali hari p­ ertemuan dengan ­Alleysia, yang membawa dan ­mengajarimu seluk beluk jalan ini. Malam kelam yang baru TELAH terhampar di depan, tetapi SELANJUT-nya akan jauh lebih m ­ enyenangkan dan ceria. Ia akan lebih mirip d­ engan apa yang kamu ­impikan. Tuhan mendengar semua ceritamu. Bertanyalah

dengan dirimu apa yang kau cari dalam kehidupan ini?. Suatu perjalanan jiwa menyatu dengan kepenuhan diri dan cahaya yang senantiasa menyinari jalanmu untuk setia hingga bertemu dengan Sang Pecinta Sejati dalam suka yang tak terkira bersama Alleysia, sahabatmu. Gadis belia… setialah ­dengan mutiara pilihanmu… tak banyak anak manusia mendapat kekuatan seperti dirimu… dan tak banyak putriputri Yerusalem mensyukuri kerikil tajam yang dipijaknya… dan kamu adalah manusia yang beruntung…. Ketika semua batu wadas itu kamu pijak hingga sampai di ujung…. Dan kamu pasti mampu untuk itu… Itu gumamku ketika aku beranjak meninggalkannya yang semakin ceria… dan aku pun berlalu…… (credit foto: wordpress.com)

http://peacefulwife.


Redaksi

Menjemaat mengucapkan:

Selamat Natal 2015 & Tahun Baru 2016 kepada:

Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap Mgr. A.G.P. Datubara, OFM Cap Biarawan/ Biarawati, Mitra Kerja, Pelanggan/ Pembaca majalah Menjemaat, serta Seluruh Umat Katolik se-Keuskupan Agung Medan Kami mohon doa dan dukungan 足bagi penyelenggaraan Sarasehan Signis I足 ndonesia di PPS Cinta Alam - Deli Serdang pada 13 - 17 Februari 2016

19 | Lentera news - ed Januari 2016


Lapo Aksara

Ananta Bangun Redaktur Tulis

Lentera news - ed Januari 2016 | 20

Muller & Secangkir Mantra

K

arin Muller, seorang ­produser film dan ­penulis, pada 1987 hingga 1989, menggali sumur dan ­membangun sekolah di sebuah desa di Filipina. Suatu malam, tujuh belas Anggota New ­People’s Army (NPA) atau pasukan ­bersenjata Partai Komunis ­Filipina, datang ke gubuk-nya untuk ­interogasi. Sebelum hari itu, orang-orang desa sudah m ­ emperingatkannya bahwa hal itu akan terjadi. ­Bukannya panik, Muller malah mencari dua benda ajaib: gula dan kopi. Dan mendapatkannya. Ketika NPA datang, ia berseru,”Syukurlah kalian ­datang juga. Aku sudah ­seharian ­menunggu. Silakan minum kopi. ­Tinggalkan senjata kalian di ­pintu.” Pasukan bersenjata tersebut bisa saja membalas ­undangan ­Muller dengan rentetetan ­tembakan atau penyiksaan. Namun ­sebaliknya, reaksi M ­ uller membuat bingung kelompok itu. Orang-orang itu ­meletakkan ­senjata-nya dan duduk minum

kopi. Apa yang s­ ebenarnya ­terjadi? Karen berhasil menghindari ­interogasi atau hal yang lebih buruk, karena menurutnya,”Anda tidak bisa menginterogasi teman Anda minum kopi.” Petuah itu bukan s­ embarang mantra. Muller paham betul bahwa kekerasan tak dapat ­dihentikan dengan kekerasan. Sebaliknya, sang wanita petualang membuat senang pemimpin itu dengan keramahannya yang tak terduga dan mengubah ­hatinya, pikirannya, juga t­ indakannya. ­Sisanya, mantra Muller pun ­menjadi legenda. (credit foto: http://media.salon.com)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.