Lentera News #20 November 2015

Page 1

EDISI #20 NOVEMBER 2015

Juara III Lomba Narasi Foto - Worksop 足Fotografi oleh Komsos KAM & Pemko Medan

TAK SENDIRI LAGI 1


Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS

DENGAN DOA DAN DANA

daftar isi

Kunjungi kami di sini:

MAJALAHLENTERA.COM

/LENTERA-NEWS

3

Tajuk Redaksi

4

Telisik

6

Lentera khusus

12

Pollung Letusan Toba, Adam & Mi Gomak

Meng-agama-kan Ruang Publik (I)

14

Embun katekese

10

Rumah Joss

Harga Sebuah ­Senyuman (II)

17 Ilham sehat 19 Lapo Aksara

Tak Lagi Sendiri

8

Sastra

Mengapa Kamu Seorang Katolik?

Blindekuh

Dengan Memberi, ­Engkau Menerima

REDAKSI RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

2


TAJUK REDAKSI

S

alam sejahtera sahabat pembaca Lentera News,

Menapaki bulan November 2015, tentu sejumlah rencana indah tengah dirancang untuk menyambut akhir tahun ini. Tidak hanya sekedar hendak menikmati masa berlibur namun juga menyerap ­kesegaran inspirasi sebagai bekal energi menuju ­tahun 2016 mendatang.

Jangan lewatkan juga petikan pengalaman bung Dian Purba yang kembali ­mengulas keindahan Danau Toba. Tidak sekedar menjabarkan ringkas perihal ­dahsyatnya letusan Gunung Toba, namun juga ­menyelipkan perihal makanan khas daerah Tapanuli. Dan mungkin dilatari ­semangat senada, Redaktur Lentera News, ­ Ananta Bangun juga menyisipkan t­ ulisannya ­tentang restoran di Zurich, Swiss.

Berkenaan dengan bincang inspirasi tersebut, majalah online Lentera News ­ ­dengan senang menyajikan karya jawara ke-III narasi foto dari Workshop Fotografi yang diselenggarakan oleh Komisi K ­ omsos KAM pada 31 Oktober hingga 2 N ­ ovember 2015 lalu. Mengapa karya pemenang ke-III yang lebih dahulu ditampilkan? ­ ­Untuk menjawab rasa penarasan, sila lirik ­langsung ke halaman Lentera Khusus.

Segenap rajut aksara di dalam edisi ini ­dapat hadir di tengah-tengah sahabat pembaca adalah berkat doa dan ­dukungan dari kita semua. Redaksi berkutat di meja hanya seputaran penyuntingan kata. Tentu sebelum sampai di sana, semestinya haruslah terlebih dahulu lahir dari pemikiran ataupun pengalaman dari sahabat penulis/ pembaca Lentera News. Sila kirimkan tulisan sahabat, bila hendak turut dimuat di LN melalui email: beritalentera@gmail. Pada edisi bulan ini, Pemimpin ­ Redaksi com. Shalom! Lentera News mengupas satu sisi ­ keberagaman hidup di negeri kita. ­ Tidak sekedar beretorika, namun juga menyisipkan sebuah kisah yang tentu ­ pernah kita alami, lihat atau setidaknya ­ didengar dari sesama kita.

Redaksi

33


TELISIK | RUANG PUBLIK

MENG-AGAMA-KAN RUANG PUBLIK RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com

T

oleransi beragama di ­Indonesia ­merupakan hal yang vital, b ­ ersesuaian ­dengan semboyan hidup ­berbangsa; Bineka Tunggal Ika. Toleransi selalu ­mengedepankan saling menghargai dan ­menghormati antar pemeluk agama. ­Penekanannya bukan ada pada minoritas dan ­mayoritas tetapi pada saling ­menghargai dan ­menghormati satu sama lain sebagai warga bangsa tercintai ini. Refleksi: ­Mengagamakan Ruang Publik ­merupakan ­penghargaan akan toleransi b ­ eragama itu, dengan ­mengedepankan manusia sebagai ciptaan Allah yang universal serta berharkat dan bermatabat yang mendambakan kedamaian, ­keadilan dan kesejahteraan dalam spasial kehidupannya. “Apa, isi di karung itu pak?” Tanya

4

sopir angdes (angkutan desa) ­kepada Boni. “Oh itu, nangka pak.” “Ah yang benar saja,” sambil ­melajukan ­angdesnya itu. Sang sopir tetap memperlihatkan reaksi tak tenang, selalu melirik-lirik karungnya Boni. “Bang nagka ko bergerak-gerak,” usik sopir. Boni sudah merasa tak nyaman. “Pak yang benar saja, masa sih nangka ko bergerak-gerak.” “Ya nangka,” tanggap Boni, ketus. Sampai di pasar Boni menurunkan karungnya, dan sang sopir memeriksa isi karung itu, ternyata seekor babi, yang kaki dan mulutnya sudah diikat. “Wah tidak boleh membawa hewan, di angdesku ini.” “Ya tapi aku melihat yang lain membawa ­kambing.” “Ah itu beda.” “Apakah ­­kambing bukan hewan?” “Ah kamu ada-ada saja, membawa babi malah menyebutnya nangka,” gerutu sopir agak geram. “Ya pak, ini babi ­namanya nangka, makanya tadi saya


katakan membawa nagka ” tanggap Boni. Agama sang sopir dan ruang ­penumpang merupakan dua hal yang berbeda. Boni m ­ enggunakan ruang publik itu karena ia ­penumpang, dan memang angkot itu untuk ­penumpang. ­Persoalannya akan ­menjadi sangat berbeda kalau Sang sopir m ­ elarang Boni ­membawa ­barangnya itu ­karena ­secara ­sosial mengganggu ­kenyamanan ­penumpang lain enta karena ­bising atau jorok. Konteksnya ­bukan lagi ­agama tetapi etika soial ­kemasyarakatan. Boni membantah kalau angkot ini tidak boleh membawa binatang, karena ia melihat bahwa pernah orang membawa kambing, yang nota bene adalah binatang. Saat Agama Menjadi Label Substansi kisah pada pengantar ini adalah fiktif, alias rekaan ­pengarang. Pada tataran kehidupan soasial masyarakat , kita menyaksikan, ­kisah-kisah dikotomi yang mirip, ­melabelkan agama pada bendabenda atau fasilitas-fasilitas umum. Misalnya Rumah Sakit, Sekolah, rumah makan, tempat kos putra atau putri. Ruangan dan seluruh isinya, seakanakan “­dibabtis” dan “memeluk” agama tertentu. Spasial ruangan publiknya otomatis menjadi lebih terbatas. Upaya semacam itu bisa menjadi ajang

5

promosi, dalam arti mengajak agar ‘orang-orang yang sehaluan’ datang, bergabung, dan menikmati privasinya; fasilitas, irama, style, dll. Penggunanya tentu mengalami ‘athome’ dengan kondisi yang ada. Pada bagian lain menjadi ajang pembatas bagi para pengguna. Dalam arti bahwa ruangan publik itu khusus, ‘untuk kami’, yang sehaluan. Mereka lain adalah asing. Ruang publik seperti sekolah, ­rumah sakit, rumah makan, tempat kos ­selalu berurusan dengan manusia dan ­kehidupan sosialnya. ­Nimbrung, ­masuk rumah sakit dengan ­label agama tertentu, bukan karena ­penyakit atau virusnya harus dilawan dengan obat yang agama tertentu pula. Katakan saja, Si Goma masuk sekolah dengan label agama tertentu apakah pelajaran Fisikanya, beragama tertentu? Si Koi ingin menikmati sayur lode, dan ia menuju ke sebuah rumah makan dengan tulisan rumah makan agama tertentu itu bukan berarti lode kesukaannya beragama tertentu? Dalam konteks ini label itu sebenarnya sekilas sedang ‘memenjarahkan’ ruang publik itu dan kita terperangkap di dalamnya. Sekilas menciptakan jarak bagi yang membaca, kalau ­kebetulan orang yang membaca itu tidak ­seagama. Ruang gerak kemanusian menjadi terbatas dan lebih eksklusif. bersambung...


LENTERA KHUSUS | CATHOLIC CENTER KAM

TAK SENDIRI LAGI

S

ahabat pembaca Lentera News yang berbahagia. Kolom Lentera Khusus kali ini, Redaksi hendak berbagi inspirasi dari karya Peserta Workshop Fotografi yang lalu diselenggarakan pada 31 Oktober – 2 November 2015 di Gedung Catholic Center Keuskupan Agung Medan (KAM). Ada 2 hal yang menarik perhatian kami. Pertama, tulisan dan fotofoto dalam tulisan ini merupakan karya peserta dari SMP St. Ignatius Medan. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana mereka dapat memupuk rasa percaya diri di tengah-tengah peserta yang mayoritas merupakan mahasiswa. Bahkan mereka dapat menggondol juara ke-III dalam kontes Narasi Foto. Hal kedua ialah perspektif lugas, Dhea Abigail Yohana Munthe dan temannya Femi Agintsi Putri, menemukan sisi historis Gedung Catholic Center KAM untuk bahan narasi foto

6

mereka. Walaupun disemat beberapa kekurangan, namun pesan dan kesan dalam karya mereka sungguh kuat. Memperhatikan kedua daya ini, kami dengan bangga menampilkan karya tersebut dalam Lentera News edisi bulan November ini. Berikut rangkaian narasi foto tersebut: “Radio Maria merupakan media komunikasi milik Keuskupan Agung Medan (KAM) dan telah beberapa tahun menempati Gedung Chatolic Center di lantai 5. Awalnya, pembangunan Gedung Chatolic Center KAM sudah direncanakan sejak tahun 1987 oleh Paus Yohanes Paulus II, yakni saat beliau berkunjung ke Kota Medan. Rencana itu kemudian diterima oleh Uskup Mgr. AGP Datubara (saat itu). Meskipun sudah lama direncanakan, pembangunan gedung baru terealisasi pada tahun 2006 dan selesai pada tahun 2008. Selama tujuh tahun berdiri, gedung ini belum digunakan secara maksimal.


Universitas Katolik St. Thomas (UNIKA) merupakan pengguna pertama Chatolic Center KAM. Setelah UNIKA menggunakan gedung, kemudian disusul Radio Maria turut menempatinya. Sebelumnnya, stasiun mereka bertempat di Biara Emaus Helvetia. Selama beberapa tahun, Radio Maria sendiri menempati Gedung Chatolic Center. Baru pada awal tahun 2015, KOMSOS KAM menempatinya. Tepatnya di lantai 2 gedung. Kini Chatolic Center sudah lebih bermanfaat, karena banyak ruangan yang menempatinya dan hal itu ‘menemani Radio Maria dalam kesendiriannya yang panjang’. Pada lantai 1 gedung terdapat Canteen, Restaurant, dan Ford Court. Lantai 2 direncanakan sebagai kantor seluruh Komisi di bawah KAM. Lantai 3 dan 4 untuk sementara ini dijadikan sebagai sekolah dan rencananya akan dijadikan museum dan perpustakaan. Di lantai 5 terdapat Radio Maria, Kantor Chatolic Center, dan Kapel. Pada lantai 6 dan 7 digunakan sebagai penginapan. Lantai 8 dijadikan sebagai aula yang sering digunakan untuk berbagai pertemuan dan Lantai 9 digunakan untuk tempat olahraga.� (Dhea Abigail Yohana Munthe & Femi Agintsi Putri)

7


EMBUN KATAKESE | KATOLIK

MENGAPA KAMU SEORANG KATOLIK?

oleh : Pater William P. Saunders

Pertanyaan: Terkadang saya bertemu ­dengan orang-orang yang m ­ engatakan, “Oh, saya dulu seorang K ­ atolik.” Kemudian mereka bertanya, “Mengapakah kamu tetap ­tinggal dalam Gereja K ­ atolik?” Mohon jawaban yang baik ­untuk ­menanggapi pertanyaan ­“Mengapa kamu seorang Katolik?”

s­ ekedar menjawab, “Yah, karena orang tua membaptisku Katolik” atau “Aku dibesarkan secara Katolik” atau “Keluargaku semuanya Katolik.” Bukan. Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan.

Tanggapan:

Pertama-tama, saya akan ­mengatakan bahwa saya ­seorang Katolik karena inilah ­Gereja yang didirikan Yesus Kristus. ­Sejarawan paling ahli sekali pun akan harus mengakui bahwa Gereja ­Kristen pertama yang ada sejak jaman Kristus adalah Gereja ­Katolik Roma. Perpecahan besar ­pertama dalam kekristenan baru ­muncul pada tahun 1054, ketika ­Patriark ­Konstantinopel berselisih ­dengan paus atas siapa yang lebih ­berwenang; sang Patriark ­mengekskomunikasi paus,

S

etiap orang ­Katolik ­sepatutnya dapat ­memberikan suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?” Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu, ­jawabannya bersifat amat pribadi dan ­mungkin agak berbeda dari jawaban orang lain. Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah dewasa akan

88

Saya akan memberikan jawaban saya atas pertanyaan ini.


yang ganti mengekskomunikasi ­Patriark, dan lahirlah G ­ ereja-gereja ­“Orthodox”. Kemudian, pada ­tahun 1517, Martin Luther memicu ­gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin, Zwingli, dan Henry VIII. Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya. Namun demikian, satu-satunya Gereja dan Gereja Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah Gereja Katolik. Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya. Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen lainnya tidak dapat masuk surga. Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai Gereja Katolik. Konsili Vatican II dalam ­“Konstitusi ­Dogmatis tentang Gereja” ­memaklumkan bahwa KEPENUHAN dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus (No. 8). Alasan kedua mengapa saya ­seorang Katolik ialah karena Suksesi Apostolik. Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul. Ia memberikan otoritas khusus ­kepada Petrus, yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan kepada siapa Ia mempercayakan kunci ­Kerajaan A ­ llah. Sejak jaman para ­rasul, otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Imamat dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon.

99

Uskup kita ­sendiri, andai mau, dapat ­menelusuri kembali ­otoritasnya sebagai seorang uskup hingga ke jaman para rasul. Dalam tahbisan imamat yang suci, Bapa Uskup menumpangkan tangannya ke atas kepala calon imam yang akan ­ditahbiskan. Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik ­diwariskan. Dalam terang iman, orang ­dapat melihat bukan saja Bapa Uskup, melainkan St. Petrus dan St. Paulus, bahkan Yesus ­Sendiri, ­menyampaikan tahbisan suci. Tidak ada uskup, imam ­ataupun diakon dalam Gereja kita yang ­menahbiskan dirinya sendiri atau memproklamirkan dirinya sendiri; tetapi otoritas itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh Gereja. bersambung ... Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria. Sumber: “Straight Answers: ‘Why Are You A Catholic?’” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic H ­ erald, Inc; Copyright ©1997 ­Arlington Catholic Herald, Inc. All rights r­ eserved; www.catholicherald.com Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell. net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald. http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/ id139.htm


KOLOM “RUMAH JOSS” | ENDORFIN

DENGAN MEMBERI KAU MENERIMA

P

ekan lalu, pimpinan saya mengingatkan tentang level manusia, bahwa level paling rendah adalah menerima, level kedua ­adalah memberi dan level ketiga (­ paling tinggi) adalah ­menginspirasi.

Yoseph Tien Wakil Ketua ­Komisi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan

Hari Minggu ini, Pemimpin Agung saya mengingatkan untuk “Selalu memberi yang terbaik, sekalipun itu dari kekurangan dan keterbatasan. Berilah bahkan sampai engkau merasa sakit!” Jadi, jangan suka menerima, jangan suka berusaha ­supaya selalu menerima, jangan menghalalkan segala cara agar engkau selalu menerima. ­Semua ini adalah tindakan ­paling ­rendah dari seorang anak ­manusia! Tetapi, berusaha selalu untuk memberi, apapun yang kau

10 10

bisa, dalam aneka warna dan bentuk, dengan berbagai cara dari segenap keterbatasan dan kekuranganmu. Dengan ­demikian, perkara menginspirasi tinggal satu anak tangga lagi. Sesungguhnya apapun yang kau berikan itu, adalah berasal dari pemberian orang lain, dan semua itu adalah pemberian Yang Kuasa. Maka percayalah, ketika kau memberi, sebenarnya kau ­sedang menerima! Salam selah rencana Hidup tanpa memberi seperti jahtera indah tenperjalanan memasuki ruang sahabat pem- gah dirangelap cahaya! bacatanpa Lentera cang untuk News, Salam Joss..!

Menapaki bulan November 2015, tentu sejum-

menyambut akhir tahun ini. Tidak hanya sekedar hendak menikmati


11


POLLUNG | DANAU TOBA

Copyright photo: AnantaBangun.com

LETUSAN TOBA, ADAM, DAN MI GOMAK

K Dian Purba purbadian@gmail.com Mahasiswa ­Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

ory Silaban sudah ­memulainya saat di TB ­Silalahi Center. “Terangkan lagilah tentang letusan Gunung Toba itu,” pintanya. Aku tak begitu kesulitan menjelaskan karena kami sedang berdiri di depan kotak kaca yang di dalamnya tersimpan rapi klipingan ekspedisi cincin api Kompas. Gunung Toba: meletus terakhir kali 74.000 tahun silam dan menjadi ­letusan terkuat di bumi, luncuran awan panasnya menutupi area ­seluas 20.000 km persegi, menimbun ­daratan ­Sumatra dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur, ketebalan t­ imbunan ­material awan panas rata-rata 100 meter dan di beberapa tempat mencapai 400 meter, menyemburkan abu yang menutupi wilayah 4 juta km persegi, ­menciptakan kolom api setinggi lebih dari 40 km lalu jatuh ke tanah karena gravitasi dan ­menciptakan

12 12

­ elombang awan panas raksasa yang g ­menghanguskan. Hujan asam belerang selama enam tahun yang jejaknya terlacak di ­Greenland, badai debu selama 200 tahun, bumi kering, dingin, dan ­gelap selama enam tahun, menyisakan ­manusia sekitar 5.000 jiwa. Kory tampak bingung. Dia tak ­menyangka proses pembentukan ­Danau Toba sedahsyat itu. Dia yang melewatkan masa kecil hingga ­remajanya di Balige seakan-akan ­sudah menerima danau itu tanpa tanya ini dan itu. Kami kemudian beranjak ­meninggalkan museum dan lanjut ke Tarabunga. Memilih jalur ­menyusuri garis pantai Lumban Silintong, ­jalan kemudian mendaki tajam dan: inilah Tarabunga. Sanjaya Nababan ­memang pengemudi handal. Mobil berjalan santai seakan-akan sedang bernyanyi di jalan setanjakan itu. ­Selain melihat


matahari terbenam kami ingin sekali melihat lokasi ­pembuatan film Toba Dreams. D ­ engan demikian, juga, ­sekalian ­“ziarah” ke makam Ronggur. Teman-teman di Jawa yang ­belum pernah ke Danau Toba sering ­bertanya tentang keindahan danau besar ini. Dan selalu kujawab: danau ini ­indah dilihat dari sudut mana pun, dan tidak keliru mengatakan Bali itu ­seperduapuluhnya Danau Toba. Dan di Tarabunga kami membenarkan itu. Kami terpacak. Terpaku. Kekaguman dan kekaguman kami itu membawa kami ke bincang-bincang sore yang dahsyat. Melihat danau ini dari sini pasti sesaat mungkin membuat siapa pun akan menjadi seorang penanya tak berkesudahan. Ahhh...sudahlah. Hanya berkunjung ke sini sajalah yang ­mampu menjelaskan segala detailnya. Malam pun sudah turun. Kami ­bersepakat beristirahat di rumah Kory saja sebelum melanjutkan perjalanan besok hari. Di rumah Kory kami disajikan ­kejutan-kejutan Toba. Pertama, air di kamar mandi itu sangat segar dan ­dingin dan melimpah dan ­bersumber dari danau. Sungguh, aku ingin mandi dua kali malam itu. Kedua, ini dia: makan malam. Santapan kami sangat istimewa: ikan mujahir goreng ­dipadu dengan sambal Toba yang sangat khas itu. Yah, ­andaliman. ­­Sambal berandaliman. Kalau tak salah andaliman itu tanaman khas Toba. Aku teringat dengan Dee ­mengisahkan andaliman, ­“Amanguda pernah berpesan kepadaku, kalau sampai terjadi ­kebakaran atau ­bencana alam menimpa gedung kami, jangan lupa ­selamatkan ­andaliman.” Malam itu pun kami makan sembari menyelamatkan a­ ndaliman di perut kami sehingga akan menjadi kenangan nikmat bersantap. Malam yang indah sekali. Letih seharian hilang sempurna. Tiba waktunya berbaring. Tikar sudah digelar. Bantal dan selimut sudah sedia. Kory yang masih penasaran dengan letusan Gunung Toba itu membuatnya

13 13

mengajak diskusi lanjutan. Entah siapa yang memulai, malam itu kami memasukkan Alkitab ke ­pembahasan kami. Tepatnya ­tentang hubungan letusan itu dengan Adam/Hawa. Kuajukan pertanyaan ­menantang ini: Mana lebih dulu terjadi, letusan Toba atau Adam? Letusan Toba terakhir terjadi 74.000 tahum silam. Lalu kami mencoba ­melacak tahun penciptaan Adam ­melalui silsilah Yesus. Alkitab ­memulainya dari Abraham. Dari ­Abraham hingga ke Yusuf, ayah Yesus, terbentang 40 generasi. Kami ­mengira satu generasi 50 tahun. Artinya dari Abraham hingga Yesus berjarak sekitar 2000 tahun. Nah, berapa tahun dari Adam ke Abraham? Kami tak bisa memperkirakan. Namun, kami mencoba menyebut angka: 3000-4000 tahun. Dengan begitu, simpul kami, dari Adam hingga Yesus berselang 5000 hingga 6000 tahun. Kembali aku bertanya, “Apakah ini artinya Adan bukan manusia pertama?” Diskusi itu sangat menarik. Kami ­kemudian mencoba menghubungkan letusan Toba dengan Adam: Gunung Toba sudah meletus 70.000 tahun sebelum Adam “tercipta”. Benarkah ­demikian? Bila itu adanya, lantas siapakah Adam sesungguhnya? Bila kita mengetahui rentang waktu dari Abraham ke Adam, maka tahu pula kita tentang “yang mana yang pertama dan mana yang kemudian”. Letusan Gunung Toba boleh jadi pintu yang pas untuk memulai diskusi tentang itu. Cepat-cepat kami memutuskan untuk tidur sebelum pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” yang lain bermunculan. Sebelum tidur kami kembali disajikan Kory kejutan terakhir penutup hari penghantar mimpi, “Pengumuman: besok pagi sarapan kita adalah MI GOMAK.” Sangat sempurna.


SASTRA | SENYUMAN

Harga Sebuah Senyuman

Debora Tanujaya Entrepreneur, tingggal di Jakarta

Sepanjang perjalanan, air mataku tak hentinya menetes. Entah apa yang aku tangisi, tapi rasanya cukup sakit dan mampu membuat dadaku menjadi sangat sesak. Dion... Lakilaki yang aku cintai. Laki-laki yang selama ini selalu ada didalam harihariku. Mungkinkah kini ia akan pergi meninggalkanku, yang hanya sebatas sahabat dimatanya. Aku tidak rela, bahkan sangat-sangat tidak mampu untuk kehilangannya. Tapi apa yang dapat aku lakukan jika Dion lebih memilih Restu dibanding aku ?

“Kalo kakak mau nangis, nangis aja kak. Itu wajar kok, setidaknya air mata kakak bisa sedikit meringankan rasa sakit dihati kak Tara.” hibur Puput sambil memelukku.

Ya Allah... Segera akhiri perasaan ini. Aku ingin mencintainya kerna memang Engkau yang memberikan rasa itu untuk ada didalam hatiku. Tidak seperti ini yang hanya menjadi sebuah keegoisan didalam diriku sendiri.

***

*** “Kakak abis nangis ya ?” pertanyaan Puput cukup membuatku kaget. “Nangis... ? Ngga kok, mungkin kelilipan debu tadi dijalan.” sebisa mungkin aku mencoba menyembunyikan perasaanku didepan Puput. “Kakak ga usah bohong, Puput bukan anak kecil lagi kak. Puput tau kok, kakak cinta kan sama kak Dion ?” kembali Puput bertanya sambil merangkulku. Aku tak dapat menjawab pertanyaan Puput, rasanya bibir ini kelu dan tak dapat berucap sepatah kata pun. Hanya tetesan air mata yang menggambarkan betapa sesak dadaku saat ini.

14 14

Aku pun menangis sejadi-jadinya. Dalam isak tangisku, aku berdoa. Semoga setiap tetes air mata ini dapat menjadi kebahagiaan untuk Dion. Betapa besar rasa cintaku untuknya. Dan aku tak pernah berharap Dion dapat membalas perasaanku sebesar rasa yang ada didalam hatiku saat ini.

Sesampainya dirumah aku langsung bergegas memasuki kamarku. Menaruh tas diatas meja riasku, dan membuka lemariku untuk mengambil notebook kesayanganku. Disanalah kutulis semua perasaanku kepadan Dion. Kata demi kata aku rangkai menjadi beberapa kalimat, dengan lincah jemariku terus mengetik apa yang ada didalam pikiranku saat itu. Hatiku terasa sakit, terlebih lagi ketika melihat Dion bermesraan dengan Restu tadi. Tak dapat kugambarkan rasa perih yang kurasakan saat ini. Sempat aku menginginkan akulah yang menggantikan posisi Restu saat itu. Namun aku adalah wanita yang cukup tahu diri. Tak mungkin Dion mau bersamaku, apalagi menjadikanku sebagai kekasihnya. Mungkin inilah takdirku. Hanya dapat mencintai Dion didalam doa-doa yang setiap malam aku panjatkan kepadaNya. Sebab hanya kepadaNya lah aku dapat mengadu semua kegelisahanku. Kegelisahaan dan ketakutanku akan kehilangan


Dion.

berubah, tetap ramah dan penuh semangat.

*** Sebulan sudah waktu berlalu semenjak aku dikenalkan dengan Restu saat itu. Hubungan aku dan Dion pun semakin merenggang, entah karna mungkin Dion sibuk dengan aktivitasnya, atau mungkin Dion sibuk dengan Restu kekasihnya. Entahlah, aku tak ingin berburuk sangka dulu terhadap Dion. Yang aku tau, Dion bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya melupakan teman apalagi sahabatnya. Apapun yang sedang dilakukan Dion saat ini, aku selalu berharap dan berdoa agar Allah selalu memudahkan setiap urusannya dan memberikannya jalan keluar yang terbaik pada setiap masalah yang mungkin hadir saat itu. Kulihat kalender yang tergantung di kamarku. Kubuka-buka melihat bulatan diantara angka-angkanya. Sampai pada akhirnya mataku tertuju pada bulatan merah di tanggal 21 Maret. Mungkin hanya tanggal pengumpulan tugas saja, tapi setelah aku ingat-ingat kembali, dan kubuka lembaran kalender itu, tertulis jelas tanggal 21 Maret adalah tanggal dimana Dion dilahirkan. Itu artinya seminggu lagi Dion ulang tahun. Kucoba memberanikan diri menghubungi Dion. Kutekan no telepon nya dan kemudian terdengar nada sambung. Tidak lama ada suara yang sangat khas menyapa disebrang sana. “Halo...” suara itu sangat khas ditelingaku. Selama ini aku sangat merindukan suara itu. “Ha.. Halo Dion.” jawabku agak sedikit terbata-bata. “Hei Ra, apa kabar ?” dia tidak

15 15

“Kabar aku baik, kamu gimana ? Lagi sibuk apa sekarang ?” hanya pertanyaan standart sih, tapi memang saat itu aku benar-benar ingin mengetahui bagaimana keadaannya saat ini. “Kabar aku baik. Lagi di rumah sakit Ra, tumben telepon kamu.” masih saja Dion sempat menggodaku. Dia tidak tau, saat ini aku begitu mengkhawatirkannya. “Di rumah sakit ? Rumah sakit mana, kenapa ga bilang-bilang kamu masuk rumah sakit ?” tanyaku dengan sangat khawatir. “Ya udah kamu datang aja kesini, sekalian temenin aku yah. Nanti aku sms alamat rumah sakit dan kamarnya, ok ?” “Iya..” dan sambungan telepon pun terputus. Benakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Mengapa Dion tak memberitahuku bahwa saat ini ia sedang sakit ? Lalu mengapa aku yang dia suruh datang untuk menemaninya, kenapa tidak Restu ? Apa mungkin, mereka sudah berpisah ? Akh tidak mungkin, aku tau Dion, dia adalah laki-laki yang sangat setia dengan pasangannya. Setelah menerima sms dari Dion, aku pun bergegas merapihkan penampilanku. Ku sisir rambutku yang lurus, lalu ku ikat dengan sembarang. Ku ambil tas kesayanganku yang tergeletak di meja riasku, lalu bersiap pergi untuk segera meluncur ke rumah sakit dimana Dion saat ini sedang dirawat.


20 16


17 17


18


LAPO AKSARA

Ilustrasi: FashionForwardTrends.com

BLINDEKUH

K Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News

ota Zurich (Swiss), tidak sekedar dikenal dengan bank-bank besar. Di salah satu ruang kota termahal ­dunia tersebut, juga tumbuh i­ nspirasi dari satu konsep restorannya: Blindekuh! B ­ erseberangan dengan konsep rumah makan yang lazim, para ­penikmat kuliner di restoran Blindekuh menikmati makanan dan minuman dengan penutup mata. Blindekuh (yang berarti sapi buta) ­sengaja menggamit para ­pelanggannya untuk turut merasakan sensasi rasa dan aroma tanpa melihat sajian yang disuguhkan. Restoran yang dimiliki oleh Yayasan Blind-Liecht ­hendak menunjukkan pada banyak insan bagaimana dunia kebutaan itu. Serta mengetahui perjuangan yang diemban insan tuna netra setiap harinya. Restoran Blindekuh akhirnya merengkuh perhatian dan empati tidak hanya populer sebagai tempat mengenyangkan perut, namun lebih sebagai langkah memahami saudara-saudara kita yang ‘memanggul salib-nya’ sebagai penyandang tuna netra. Tentu saja, tak ada dari kita yang bersedia kehilangan salah satu peran indra tubuhnya. Tetapi hal ini bukan berarti mengesampingkan diri untuk memperhatikan sesama. Tak heran jika konsep restoran unik ini dipelopori oleh empat insan yang juga merupakan penyandang keterbatasan fisik dalam melihat, yakni Stefan Zappa (seorang psikolog), Juerg Spielmann, Andrea Blaser (seorang pekerja sosial)

19

dan Thomas Moser (seorang penyanyi). Pada 17 September 1999, restoran Blindekuh pertama resmi berdiri. Dan kini, konsep unik ini pun diadopsi di sejumlah negara di Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Terlepas dari perusahaan yang mengadopsinya, Blindekuh di Zurich masih teguh mempertahankan tujuan sebenarnya dari pembentukan restoran ini: membuka lahan karya seluasnya bagi para tuna netra. Selain terobosan baru dengan konsep gelap, restoran ini juga memperkerjakan tuna netra dan ­penderita rabun. Di bawah naungan Blind-Liecht Foundation, Blindekuh Zurich merekrut 30 pekerja paruh waktu. Selain memuaskan para pelanggan, kepuasan dari setiap karyawannya juga menjadi tujuan utama. Ini bisa diketahui dari situasi kerja yang mendukung dan upah yang di atas rata-rata bagi karyawan. Bagi para pelanggan, Blindekuh menjadi sebuah kesempatan sesi spiritual untuk mensyukuri kelebihan potensi fisik, dalam melihat. Tentunya, sembari menikmati suguhan penggugah selera dari restoran tadi. Ada benarnya sebuah pepatah yang berujar: “Dengan menutup mata, engkau akan melihat.” Penglihatan itu merupakan sisi lain dari menatap dengan mata fisik, yakni menerbitkan syukur dalam benak hati terdalam. Syukur atas karunia yang diperoleh seutuhnya dari Sang Pencipta. Juga syukur atas rezeki sehingga dapat berbagi bagi mereka yang tak lelah berjuang di tengah kekurangannya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.