Lentera news smart | beriman | inspiratif
LGBT?
Lentera news - ed Januari 2016 | 1
DAFTAR ISI
Lentera news Edisi #22 Maret 2016 Sapaan Redaksi
3
Telisik Pemred
4
Lentera Utama
7
Lentera Iman
10
Lentera Refleksi
12
Resensi Buku
14
Sastra
15
Lapo Aksara
18
Credit ilustrasi cover : 足 http://www.warrenphotographic.co.uk/39551-white-japanesespitz-dog-hiding-face-in-shame
Lentera news - ed Januari 2016 | 2
Sapaan Redaksi
Salam sejahtera! Sahabat pembaca majalah Lentera news, beberapa saat lalu dunia maya sungguh bising mengenai a rgumentasi LGBT. Mengapa bising? Sebab banyaknya adu pendapat mengenai kelompok insan di bawah komunitas bersimbol pelangi tersebut. Sungguh memprihatinkan, debat berlarut-larut tersebut banyak dijejali tanggapan yang kurang bernas. Terutama lemahnya kajian mendalam untuk memahami konteks permasalahan.
Wadah diskusi pun bagai ruang emantul gaung argumentasi masingp masing pihak. Semua menulis. Bersuara. Tanpa ada mendengar. Tantangan mendasar dalam kegaduhan ini adalah mudahnya kita diseret membahas LGBT ke dalam ranah kebencian. Dengan mengelompokkan, bahkan menyisihkan insan dipandang berbeda. Meskipun demikian, jangan lah terlupa memiliki pijakan. Bagai membangun rumah di atas dasar batu, bukannya pasir. Hendaknya pilihan hidup sebagai siapa kita, bukan karena ikut atau malu menentang arus besar (main stream).
Siapakah sejatinya saya, kita? Umat Kristiani tentu mendapat pijakannya dari Alkitab. Bahwanya Allah menciptakan manusia seturut rupa-Nya. Semenjak lahir, kita telah ditetapkan Sang Pencipta. Masihkah ada ruang gemas dalam relung hati bahwa diri ini belum menemukan sisi sejati-nya? Sahabat pembaca Lentera news, Edisi Lentera news bulan ini, mengetengahkan isu tersebut. Sila lirik tulisan Romo Magnis perihal LGBT, dan bagaimana hendaknya kita memandang. Kami senang pula bahwa m ajalah kesayangan kita ini dapat hadir kembali ke tengah anda. M elahirkan gagasan yang smart, beriman & inspiratif! Shalom,
Redaksi
3 | Lentera news - ed Januari 2016
Telisik Pemred
SEONGGOK DAGING MENTAH
H
RP Hubertus Lidi OSC Ketua Komsos KAM
Lentera news - ed Januari 2016 | 4
omo Homoni Lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain. Serigala, hewani, menerkam, menggigit, dan mencabik-cabik. Saling menghabiskan dan membunuh. Dunia hewani. Apapun motivasinya, kalau hal ini dilakukan manusia, tak bisa dibenarkan dengan akal dan budi yang sehat. Eksistensi manusia dan serigala berbeda. Serigala, tok animal. Manusia animal yang berratione. Apalagi motivasi membunuh sesamanya demi mencari ticket ke Surga, seperti yang lagi mode sekarang dengan bom bunuh diri. Manusia yang membunuh diri dan membunuh orang lain, aspek kemanusiaanya nihil, bahkan derajatnya lebih rendah dari pada hewan, karena Co Jito Ego Sumnya, ga main. Dia melalakukan tanpa berpikir.....kosong, bak robot yang dikendalikan dengan reemoot, atau wayang yang didalangi oleh Ki Dalang-nya. Dia yang berjalan itu, hanyalah seonggok daging mentah tanpa jiwa, dan kemudiaan menjadi jazad angus, yang tercabik-cabik bersama jazad manusia yang tak berdosa lainnya. Wong jiwanya ga ada ko, yang berjalan itukan hanya seongggok daging menta. Siapa yang masuk surga dengan jazadnya? Jiwanya diperalat, mengembara tak menentu, tanpa tujuan. Gentayangan bak hantu di siang bolong. Pikiran logis justru dia menghantar jiwa-jiwa manusia-manusia lain ke surga, karena
mereka yang meninggal ulahnya adalah manusia utuh. Kekerasan sedang m enandakan hilangnya sebuah p eradaban, sehingga biadab menjadi dominasi. Masih berada dalam jaman jahiliah atau kebodohan. Ada banyak faktor yang m enjadi pemicu, misalnya Faktor ekonomi, sosial, kemasyarakatan, bahkan politik. Apapun alasan yang bersifat ekstern alias faktor luar, tak akan terjadi bunuh diri dan membunuh orang, kalau ada pemaknaan dan penghayatan akan hidup ini di bumi ini sebagai sebuah anugerah Allah. Agama-agama monoteisme, dan agama-agama asli sangat menghargai hidup kehidupan ini, bahkan hidup ini harus berdaya dan berarti bagi diri dan bagi orang lain. Relasi, sahabat, bermasyarakat, dialog, meruapakan aspek-aspek sosial yang mendukung pemaknaan dan penghayatan akan hidup yang berimplikasi pada iman dan dokma(ajaran) agama. Dan hal ini ditegaskan melalui doa dan tafakur yang tak lain merupakan ungkapan berelasi dengan Allah dengan sesama. Agama selalu membuka wawasan dan perpekstif hidup ke depan yang lebih baik, baik di bumi maupun kelak beralih dari bumi ini, dalam kaitan manusia sebagai mahluk sosial Homo Socius. Agama berurusan dengan kebaikan di dunia nyata dan akhirat. Menarik apa yang diungkapkan oleh Ahmad Sahal@sahal_As dalam media sosial:“Jika mau
menguasai orang goblok, bungkuslah perkara-perkara busuk dengan baju agama.” Lahirianya sopan, saleh dan soleha, tapi itu sebenarnya ekspresi minder. Taat beribadah tapi sasaran puja-pujinya setan. Seyogianya kekerasan itu asosial. Terungkap bahwa orangorang semacam ini, relasi sosial dengan sesamanya;kurang pergaulan alias kuper tetangganya aja ga kenal, bahkan istri dan anakanaknya sendiri tak kenal. Pintu rumanya selalau tertutup. Dunianya ‘terbatas dan gelap.’ Tingkat kecurigan terhadap sesama manusia tinggi, bahkan mencurigai bayang-bayangnya sendiri. Hal itu sebagai ungkapan ketidak tenangan atau ketaknyamannya atas hidup ini. Tak nyaman, maka ia mencari jalan pintas, yang menurutnya ke Surga dengan membunuh diri dan orang lain. Asosial itu musuh kehidupan, karena memang manusia pada dasarnya makluk sosial, alias homo socius atau dibahasakan dalam perspektif negatio: No man is a land. Surga itu kebahagiaan dan kedamaian yang telah mengalami proses sempurna bersama jiwa-jiwa damai, jadi mustahil orang bunuh diri dengan bom, nimbrung disana.
Tempatnya yang pantas buat dia sang sahabat kekerasan itu, adalah neraka jahanam, biar dendamnya terus membara bersama baranya api neraka yang tak akan kunjung padam itu. Sang sahabat kekerasan itu....bukanlah manusia. Harga sosialnya sangat murah, sehingga bisa dibeli, dikibuli dengan harga janjian surga. Kasihan banget ibu yang melahirkannya, dan bapaknya yang menaburkan beni spermanya itu. Toh hasilnya hanya seonggok daging menta, mati sia-sia! Credit ilustrasi: www.myfamilylaw.net
5 | Lentera news - ed Januari 2016
Jeda
Lentera news - ed Januari 2016 | 6
Lentera Utama
Perkawinan Sejenis Tak Berdasar
A
khir-akhir ini kontroversi di negara kita tentang masalah homoseksualitas dan isu seputar LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) menghangat. Yang mengejutkan adalah penggunaan bahasa yang keras dan ancaman tersembunyi dalam banyak pernyataan. Amat perlu kontroversi ini disikapi sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu, sebaiknya kita membedakan tiga hal: fakta, sikap terhadap fakta itu, dan opsi kerangka hukum.
Franz Magnis-Suseno Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Homoseksualitas dimaksud sebagai ketertarikan seksual kepada orang yang sama jenisnya dan bukan yang lawan jenis, jadi laki-laki tertarik pada laki-laki dan bukan pada perempuan, dan perempuan tertarik pada perempuan. Pada 26 tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental. Kecenderungan homoseks (selanjutnya: homo), tidak dipilih, tetapi dialami oleh yang bersangkutan. Homoseksualitas adalah kecenderungan alami, ditemukan juga di antara binatang, dan kalau orang-seperti penulis ini-percaya bahwa alam diciptakan, maka homoseksualitas juga tidak di luar penciptaan. Kecuali dalam orientasi insting seksual ada perbedaan dengan orang lain. Mereka sama baik atau buruk, sama cakap atau tidak. Karena itu, mau “menyembuhkan” atau “membina” ke jalan
yang benar mereka yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal. MENYIKAPI FAKTA Bagaimana menyikapi fakta itu? Pertama, kita harus berhenti menstigmatisasi dan mendiskriminasi mereka. Orientasi seksual tidak relevan dalam kebanyakan t ransaksi kehidupan. Sebaiknya kita ingat: menghina orang karena kecenderungan seksualnya berarti menghina Dia yang m enciptakan kecenderungan itu. Kedua, orang berkecenderungan homo memiliki hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan yang sama dengan orang heteroseksual. Sebab, negara wajib melindungi segenap tumpah darah b angsa, maka negara wajib berat melindungi mereka. Ketiga, hak mereka untuk bersama- sama membicarakan keprihatinan mereka harus dihormati. Hak konstitusional mereka untuk berkumpul dan menyatakan pendapat mereka wajib dilindungi negara. Amat memalukan kalau polisi kita bisa didikte kelompok-kelompok tertentu. Orangorang itulah yang menyebarkan intoleransi dan kebencian dalam masyarakat. Keempat, tahun 1945 bangsa I ndonesia memilih menjadi negara hukum, bukan negara agama dan bukan negara adatistiadat. Dan itu berarti otonomi 7 | Lentera news - ed Januari 2016
seseorang dihormati selama ia tidak melanggar hukum. Moralitas pribadi bukan wewenang aparat, suatu prinsip yang amat penting dalam masyarakat majemuk. Apa yang dilakukan dua orang dewasa atas kemauan mereka sendiri di kamar tidur seharusnya bukan urusan negara. Namun, kelima: empat butir di atas tidak berimplikasi bahwa k ecenderungan homo sama kedudukannya dengan kecenderungan hetero. Dalam masyarakat kita-sampai 50 tahun lalu di seluruh dunia- kecenderungan homo oleh kebanyakan warga dianggap tidak biasa. Dan, tidak tanpa alasan. Seksualitas b erkembang selama evolusi demi untuk menjamin keturunan, tetapi untuk m endapatkan keturunan yang perlu bersatu (dan karena itu saling merasa tertarik) adalah laki-laki dan perempuan. Dalam arti itu heteroseksualitas bisa disebut normal. Homoseksualitas juga produk alam, tetapi produk sampingan. KERANGKA HUKUM Pertanyaan tentang kerangka hukum adalah pertanyaan apakah tuntutan legalisasi perkawinan antara dua orang sejenis-seperti sudah banyak terjadi di negaranegara Barat-sebaiknya dipenuhi? Mari kita kesampingkan pertimbangan atas dasar agama (yang tentu saja juga sah). Mari kita bertanya: mengapa semua masyarakat di dunia - sampai 20 tahun lalu - tidak p ernah menyamakan kedudukan pasangan sejenis dengan kedudukan pasangan laki-laki dan perempuan? Jawabannya jelas: evolusi mengajarkan bahwa spLentera news - ed Januari 2016 | 8
esies yang tidak memberi p rioritas tertinggi pada penjaminan keturunannya akan punah.
LGBT via johnlewis.house.gov
“
Betapa pun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi menjadi besar dalam “keluarga” dua ayah atau dua ibu bisa menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialan anak tersebut
Umat manusia sejak ribuan tahun memberikan p erlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan perempuan karena berkepentingan vital akan keturunannya. Tambahan pula, agar bayi bisa menjadi orang dewasa yang utuh, dia memerlukan suatu ruang sosial terlindung selama sekitar 20 tahun pertama hidupnya, dengan acuan baik pada manusia laki-laki maupun pada manusia perempuan. Ruang sosial itulah keluarga. Karena alasan yang sama, arapan banyak pasangan homo h agar diizinkan mengadopsi anak sebaiknya tidak dipenuhi. Betapa pun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi menjadi besar dalam “keluarga” dua ayah atau dua ibu bisa menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialan anak tersebut. Oleh karena itu, masyarakat amat berkepentingan terhadap keluarga dengan ayah dan ibu, tetapi tidak b erkepentingan terhadap persatuan dua manusia sejenis. Oleh karena itu pula, tuntutan penyamaan kedudukan legal pasangan sejenis d engan yang berbeda jenis tidak mempunyai dasar. Perkenankan saya mencoba enarik beberapa kesimpulan. m Yang pertama, kita mesti menyepakati bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi seksual tidak r elevan untuk kebanyakan bidang kehidupan. Dari seorang pejabat
tinggi dapat diharapkan bahwa ia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman kanakkanak dan wawasan universitas. Justru universitaslah tempat di mana diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan akademik. Dari mereka yang berorientasi homo diharapkan realisme dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan dalam orientasi
s eksual membuat mereka juga berbeda. Mendesakkan penyamaan perkawinan antar-sejenis dengan perkawinan tradisional hanya akan memperkuat prasangka-prasangka. Dorongan untuk coming out bisa tidak kondusif. Pengakuan sosial akan memerlukan kesabaran. Sudah waktunya kita menjadi dewasa secara etis dan intelektual. * Artikel ini terbit di Harian Kompas ed. 23 Februari 2016
Jeda
9 | Lentera news - ed Januari 2016
Lentera Iman
KENAPA DILAMBANGKAN DENGAN PINTU SUCI?
(credit foto: http://monroenews.com) Benediktus Diptyarsa Janardana Mahasiswa Psikologi di Universitas Negeri Malang
S
ekilas memang tidak ada yang spesial dari Pintu Suci. Sama seperti pintupintu gereja yang lain, Pintu Suci menghubungkan antara bagian luar dan dalam gereja. Secara fisik yang membedakan adalah Pintu Suci memiliki ukiran-ukiran khas yang berupa gambar-gambar sejarah keselamatan umat manusia, atau gambar Yesus, Maria, dan Para Kudus, biasanya disertai lambang keuskupan/kepausan. Kemudian apa yang membuat Pintu Suci ini begitu spesial? Secara simbolis, Pintu Suci menggambarkan Yesus Kristus sendiri. Ingatkah saat Yesus mengatakan kepada murid-murid-
Lentera news - ed Januari 2016 | 10
Nya bahwa Dialah “Sang Pintu” menuju Bapa? Dalam Yoh 10:9 Yesus bersabda, “Akulah PINTU; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput”. Padang rumput di sini digambarkan sebagai Surga atau sebagai Allah Bapa, sumber segala k eselamatan. Ayat ini mengingatkan kita akan sabda Yesus dalam Yoh 14:16, yaitu, “Akulah JALAN, dan KEBENARAN, dan KEHIDUPAN. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Pintu Suci juga melambangkan ‘pintu’ Kerahiman Allah yang selalu terbuka bagi seluruh umat manusia. Kenapa demikian? Sebab kita adalah manusia yang fana, rapuh, dan mudah
jatuh dalam dosa. Tanpa berkat dan bimbingan-Nya, tanpa kerahimanNya yang menyelamatkan, kita pasti tak berdaya melawan Iblis yang selalu mencoba menjerumuskan kita pada dosa dan maut. Sepanjang sejarah keselamatan umat manusia, Allah selalu menolong manusia untuk selamat dan t erhindar dari segala dosa karena Allah begitu mencintai kita dan tidak mau kita mengalami penderitaan kekal di Neraka. Maka dari itu, melalui kerahiman-Nya yang tidak dapat kita selami secara nalar manusia, Dia mengutus para nabi untuk menunjukkan jalan keselamatan, pertama-tama kepada bangsa Israel, bangsa pilihan-Nya. Hingga kemudian
Dia turun ke Dunia dan mengambil rupa manusia, yang kita kenal dengan nama Yesus Kristus. KedatanganNya ke Dunia menjadi penggenapan nubuat para nabi sekaligus bukti Cinta Kasih Allah yang luar biasa besar pada kita. Melalui Yesus lah, dosa-dosa kita ditebus dalam pengorbanan-Nya di Salib, dan di dalam nama Yesus lah, keselamatan umat manusia diperluas, tidak hanya bagi bangsa Israel, namun juga bagi seluruh Dunia. Tak heran jika Paus Fransiskus dalam Bulla Kepausan “Misericordiae Vultus” menegaskan Yesus sebagai wajah Kerahiman Bapa. Bukti Kerahiman Allah ini tergambar jelas dalam panel-panel logam yang terpasang di Pintu Suci Basilika St. Petrus, Vatikan, yang mana di sana terukir seluruh sejarah keselamatan umat manusia, mulai dari zaman Adam dan Hawa hingga kenaikan Yesus ke S urga. Selain sebagai Pintu Kerahiman, Pintu Suci juga digambarkan sebagai penghubung simbolis antara bagian luar gereja, yakni segala sesuatu yang bersifat duniawi, dengan bagian dalam gereja, yakni segala sesuatu yang ber-
sifat r ohaniah dan adikodrati, tempat Allah sendiri bersemayam. Ketika Pintu Suci dibuka secara meriah, hal ini mau melambangkan rahmat dan kerahiman Allah yang terbuka dan mengalir memenuhi seluruh umat beriman. Ini lah yang mendasari pemberian INDULGENSI PENUH k epada semua orang yang melewati Pintu Suci. Melalui indulgensi, Allah mau mencurahkan kerahimanNya yang besar untuk menyembuhkan luka-luka dan menghapuskan siksa-siksa dosa yang kita lakukan. Tentu saja supaya memperoleh indulgensi (terutama indulgensi penuh), kita harus menerima Sakramen Tobat dan menyambut Sakramen Ekaristi, sebab indulgensi menghapus siksasiksa dosa, bukan dosa nya sendiri. Selain itu, kita juga harus mendoakan intensi/ujud permohonan Bapa Suci yang tertera pada bulan kita akan menerima indulgensi.
yang terbuka setiap saat, sama seperti Pintu Suci yang dibiarkan terbuka selama 24 jam. Maka setiap mereka mau memasuki basilika melalui Pintu Suci, mereka berlutut di depan Pintu dan berdoa dalam iman dan syukur seraya memohon kerahiman, rahmat, dan berkat Allah yang melimpah bagi dirinya sendiri, keluarga, dan orangorang di sekitar mereka. Sehabis itu, biasanya para peziarah akan mencium palang Pintu Suci yang telah diberi ukiran Salib ataupun ukiran yang tertera di Pintu Suci sebagai wujud devosi mereka yang mendalam pada Kerahiman Allah, sekaligus sebuah harapan penuh iman bahwa kelak mereka akan diselamatkan dalam nama Kristus.
(bersambung di edisi berikutnya)
Nah, setiap kali para peziarah masuk ke dalam basilika melalui Pintu Suci, mereka selalu diingatkan akan sabda Yesus, bahwa melalui Yesus lah kita dapat memperoleh Kerahiman-Nya
11 | Lentera news - ed Januari 2016
Lentera Refleksi
HOMO ORAns: MAKHLUK (MAnUsIA) BERDOA Margaretha Ayu Bawaulu Peminat Sajak, umat di Paroki Helvetia - Medan
P
erserikatan BangsaBangsa (PBB) merayakan tahun 1986 s ebagai “Tahun Perdamaian”. Santo Yohanes Paulus II (saat masih menjadi Paus) mengundang 150 wakil dari 12 agama besar di dunia pada tanggal 27 Oktober 1986 untuk berkumpul di Kota Assisi, Italy dan berdoa bagi perdamaian dunia. Mereka berdoa bagi terwujudnya “satu dunia damai tanpa perang”. Bunda Teresa dari Calcuta, India, setiap hari s elalu berdoa begini: “Tuhan yang maha baik! S emoga aku melihat Engkau hari ini, dalam diri orangorang-Mu yang sakit. Semoga aku dapat melayani Engkau ketika aku melayani mereka”. Dua ilustrasi di atas sekedar ditampilkan untuk menekankan betapa pentingnya doa dalam hidup manusia. Prof. J. Huizinga dalam bukunya berjudul: “Homo Ludens”, menjelaskan Lentera news - ed Januari 2016 | 12
bahwa disamping sebagai homo ludens, manusia juga adalah homo laborans dan homo orans. Memang dari kodratnya, manusia adalah homo orans (dari kata orare), makhluk berdoa.
Doa dan Kerja: Saling Melengkapi Manusia adalah ciptaan uhan yang telah terbingkai T secara teratur sebagai makhluk yang paling menarik. Karena itu, hidup keseharian manusia a dalah hidup untuk dan bersama dengan kegiatan atau aktivitas (kerja). Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan selalu menuntut kita untuk melaksanakan d engan penuh kesadaran dan p enuh tanggung jawab. Dan kekuatan lain yang m emampukan kita u ntuk beraktivitas atau bekerja. Sebelum dan sesudah melaksanakan suatu kegiatan, harus dibingkai dengan
aktus doa. Ora et Labora adalah pepatah klasik yang masih merdu t erdengar memotivasi kita agar kita perlu menempatkan doa dan kerja sebagai bagian pokok untuk menghidupi hidupnya. Di mana orang harus memasuki dasar k edalaman sendiri dan k edalaman Allah s upaya Allah benar-benar menampakkan diri kepada kita dalam segala aktivitas kita. Orang harus menggali dalam-dalam untuk menemukan sumber yang cukup melimpah untuk mengairi seluruh eksistensinya. Kedua d imensi ini: doa dan kerja s elalu saling m elengkapi. Semua tindakan manusia mencerminkan sebuah doa. Setiap orang menyandang dua sebutan akrab, antara lain: • Sebagai homo orans (manusia pendoa) dan homo laborans (manusia pekerja). • Sebagai makhluk pen-
doa: berdoa merupakan satu bentuk aktivitas untuk memenuhi kebutuhan rohani. • Sebagai makhluk pekerja: bekerja merupakan satu bentuk aktivitas untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah. Dari kedua bentuk aktivitas ini, kita pasti mempunyai target tertentu untuk mencapai sesuatu dan itu idealitas setiap orang. Doa dan kerja memang tampak sebagai dua hal yang berbeda, tetapi keduanya merupakan unsur yang tak terpisahkan, sehingga muncul semboyan: ora et labora (Latin), bete und arbeite ( Jerman), berdoa dan bekerja. Bekerja tanpa berdoa adalah suatu kesombongan dan berdoa tanpa bekerja juga sia-sia. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang sukses dalam kerja dan berhasil mengumpulkan harta di dunia, kaya raya tanpa didasari dengan hidup doa. Namun, perlu dipertanyakan apakah kekayaan itu didapatkan dengan cara yang halal? Atau dengan menghalalkan segala cara? Tidak mengherankan jika di zaman ini kita menyaksikan dari berbagai media bahwa orang sukses atau pejabat negara yang setiap harinya hidup dalam kemewahan serba lux terpaksa meng-
habiskan sisa hidupnya di balik jeruji penjara. Hal ini benar-benar menunjukkan bahwa kerja tanpa didasari dengan doa sehingga keserakahan membawanya ke situasi maut. Suatu kebiasaan yang salah jika berdoa saja untuk m engharapkan berkat turun d icurahkan dari langit lewat serangkaian mukjizat spektakuler setiap saat, tanpa melakukan apa pun untuk mendapatkan berkat itu, selain hanya berdoa siang dan malam. Atau, sebaliknya, hanya bekerja terus dari pagi sampai larut malam tanpa m emperhatikan hidup rohaninya. Hanya fokus dalam bekerja atau meniti karier tanpa menjaga sisi rohani akan mengarahkan orang ke dalam keangkuhan, cinta harta, m engejar takhta, dan berbagai hal buruk lainnya. Itulah sebabnya perlu menjaga keseimbangan antara doa dan kerja sehingga tidak terjadi ketimpangan. Doa dan kerja harus balance, fifty fifty. Sebagai ilustrasi: bisakah Anda mengendarai sepeda motor sebelum melatih keseimbangan? Bisa dijamin Anda akan terjatuh jika tidak tahu bagaimana agar bisa berada seimbang di atasnya. Doa dan kerja juga merupakan
s ebuah keseimbangan yang dalam banyak hal sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Sebagai homo orans (manusia pendoa) dan homo laborans (manusia pekerja), kita perlu menyeimbangkan kedua hal tersebut sehingga tidak terjadi ketimpangan. Banyak orang yang selama masa jayanya dan masa keemasannya di dunia, tidak menghiraukan Tuhan, tidak beribadah, tidak bersyukur kepada Tuhannya, tidak berdoa mohon berkat dalam karya serta mohon pengampunan atas dosa, tetapi ketika berada dalam masa-masa sulit, masa kritis, masa ketakberdayaan, baru ingat Tuhannya dan berdoa. Apakah ini bukan sikap orang-orang munafik? Tentunya ini adalah urusan privat setiap manusia dengan penciptanya, tetapi bahwa mengabaikan doa atau ibadah k epada Tuhan, berarti manusia telah mengingkari diri sebagai makhluk rohani dan makhluk berdoa? (bersambung di edisi berikutnya)
Ingin membaca artikel inspiratif di atas secara lengkap? Sila beli dari Tokopedia!!! Ketikkan judul buku: “manusia mahluk beratribut” di kotak p encarian. Lalu, klik tombol ‘beli’.
13 | Lentera news - ed Januari 2016
Resensi Buku Terjungkir balik oleh temuan Gladwell Sekali waktu ada ‘kerikil kecil’ enjungkir balikkan kita. Terutama m tentang pemikiran terhadap satu hal yang lama dianggap lazim. Malcolm Gladwell, jurnalis The New Yorker, menggelindingkan ‘kerikil’ tersebut dalam satu buku. Setelah What the Dog Saw dan Outliers, Gladwell seperti tak kehabisan isu menarik untuk diselidiki dan ditulis ke dalam buku. Jurnalis yang dijuluki ‘detektif akan hal-hal tak lazim’ tersebut, mengakui sendiri awalnya tergelincir tentang ihwal lazim -- yang kemudian menjadi judul utama buku tersebut: David and Goliath. Adagium dua tokoh besar tersebut memang telah lama menjadi perumpaaman guna membanding situasi jomplang. Lemah vs Kuat. Kecil vs Besar. Temuan Gladwell dari sisi historis hingga kalangan medis, ternyata mendapati sebaliknya. Betapa si Daud merupakan sosok lebih digdaya dari si Goliath.
Lentera news - ed Januari 2016 | 14
Gladwell kemudian mencari i nspirasi-inspirasi dari insan lain. Sebagaimana Daud vs Goliath. Bagaimana mungkin? Apa saja yang dipaparkan sehingga Gladwell menentang kelaziman yang lama mengurat ini? Temukan dan bersiaplah terjungkir oleh ‘kerikil’ dalam buku bersampul putih dan coklat ini. [Ananta Bangun]
Sastra
Hanya punya Mama Sry Lestari Samosir Cerpenis “Rina…! Rina, bangun ! Sudah siang ini loh.. Ayo bangun Nak, nanti kamu
telat ke kampus .” Bagai suara peluit kereta api yang mendengung ke seluruh stasiun. Mimpi manis di dalam khayal Rina buyar seketika mendengar suara Mama. Dengan kelopak mata yang masih redup, dari sudut tempat tidur Rina melihat mama merapikan bajunya yang berantakan di samping lemari. “Santai ajalah ma.. hari ini kuliahnya Pak James. Pak James kan jarang masuk. Jadi enggak usah deh buru-buru kalau enggak jelas”, ketus Rina. “Iya, tapi kamu sebagai anak gadis harus terbiasa bangun pagi. Setelah itu membersihkan rumah. Mama sudah mulai tua, kamu harus belajar membantu mama.”, pinta Mama. “Iya-iya”. Sekoyong-koyongnya dengan mata tertutup, Rina bangkit meninggalkan singgasana peristirahatannya.“Ma, ambilin handuk dong!”, teriak Rina.
“Lho kok gak disiapin sebelum mandi sih?” kata mamanya, masih dengan sabar. “Lupa!” bentaknya. Mama segera menuruti permintaan puterinya. Tak pernah tampak di wajahnya guratan lelah. Ia melayani kebutuhan puterinya dengan tulus. Handuk sudah ada di tangannya, sepertinya dalam genggaman handuk itu ia berharap di usia Rina yang sudah beranjak dewasa, ia mampu mengurus dirinya sendiri. “Ini nak, handuknya”, sambil menyerahkan handuk merah jambu bergambar Winnie the pooh. Tanpa peduli, Rina masuk kamar mandi lalu bermain air dan sabun. “Kenapa sih mama selalu membuatku benci. Ia selalu mengaturku ini dan itu, padahal aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan”, gumamnya dalam hati. Seusai mandi dan salin pakaian, Rina menuju ruang tengah keluarga untuk bercermin, ia memoles wajahnya yang tirus dengan bedak, dan menggoreskan gincu merah jambu di bibirnya yang tipis. Rina sungguh tampak manis. Semanis Mamanya, di kala mama muda dulu. Memang tampak jelas kecantikan mama diwarisikan pada Rina. Di atas meja makan telah tersedia nasi goreng
telur favorit Rina lengkap dengan segelas susu. Dilahapnya sarapan itu tanpa jeda. “Emm.. masakan mama memang is the best”. Puji Rina dalam hati. Setelah sarapan Rina meninggalkan piring dan gelasnya yang kosong di atas meja begitu saja. Tak terbesit sedikitpun terbesit niatnya untuk membereskan piring dan gelas kotornya sendiri. Sambil bernyanyi kecil dan mengibaskan rambutnya Rina segera mengeluarkan motor merahnya dari garasi. Tampak mamanya duduk di kursi teras ditemani secangkir teh hangat. Dari sorot matanya, sepertinya mama berharap kalau Rina berpamitan mencium tangannya sebelum pergi ke kampus. “Aku pergi ya ma..”, teriak Rina sambil menggas sepeda motornya. “Nanti jangan pulang terlalu malam ya nak…”. Tanpa menoleh ataupun menjawab perkataan Mama, dengan segera Rina melaju dari rumah. Rina merasa lega sesampainya di kampus. Ia senang bisa bertemu dengan teman-temannya. “Ya, inilah yang aku cari, kesenangan dan kebebasan yang tidak bisa kudapatkan di rumah karena ada mama”, cetusnya dalam hati. ***
15 | Lentera news - ed Januari 2016
Mama Rina adalah single parent karena papanya telah meninggal dalam suatu kecelakaan setahun yang lalu. Mungkin karena peran sebagai single parent itu, mama jadi sangat menyebalkan. Walaupun maksudnya bukan begitu. Sesungguhnya mama ingin Rina tumbuh menjadi gadis yang baik walau tanpa kasih sayang seorang Ayah. Namun ternyata Rina tidak mengerti maksud mama. Rina merasa bahwa mamanya membuat peraturan-peraturan yang menurutnya tidak penting. *** Dua temannya yang bernama Della dan Susi adalah sahabat baik yang selalu ada buat Rina. Ketika Rina merasa tertekan di rumah, mereka bersedia memberikan Rina tumpangan di rumah mereka. Rina merasa sangat senang ketika bersama-sama dengan mereka. Krriiiiinngg. Perkuliahan berakhir. “Hei girls, sebelum pulang kita nongkrong yok”, ajak Della. Rina menjawab,”Ayok.. aku juga suntuk di rumah berdua sama mamaku melulu”. “Oke deh, kita ke café biasa yok.. Cuss..”, kata Susi. *** Pukul delapan malam. Rumah tampak kosong ketika Rina sampai. Untung Rina punya kunci rumah cadangan. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Dibukanya tudung saji di meja makan. Juga tak ada makanan satupun di sana. Kekesalan Rina pada mama muncul lagi. “Rina.. Mama pulang”, Mama menghampiri Rina. Rina langsung marah-marah. “Mama kalau ga bisa jadi ibu jangan begini donk! Apa gunanya punya mama kalau aku mau makan aja tersiksa.” Mama terkejut mendengar ucapan itu dan naik pitam. Sebungkus sop di genggamannya terjatuh dan tumpah. Kemudian terdengar’..’plak”.. Sebuah tamparan mendarat di pipi Rina. Sambil menangis mama pergi ke kamar
Lentera news - ed Januari 2016 | 16
meninggalkan Rina puterinya sendirian. Rina pun pergi ke kamarnya sambil mengelus pipinya seraya terisak lirih. Mama menyudut di kamarnya yang gelap. Seakan kehabisan daya sebagai orang tua. Sementara masih di satu atap yang sama Rina melelehkan bulirbulir airmata.. *** Dua hari sudah Rina minggat ke rumah Della. Di rumah Della ia tinggal dan sangat diperhatikan orang tua Della. “Rina, apa kamu tidak rindu pada ibumu?, kata Ibu Della lembut, pada satu sore. “Ah.. untuk apa rindu, Ibu juga tidak rindu padaku. Buktinya ia tidak mencari aku.,” ketus Rina. Ibu Della menggeleng dan berkata,”Tidak Rina, jangan pernah berpikir seperti itu. Bagaimanapun juga ia ibumu. Bayangkanlah dari lahir kamu sudah diasuh oleh ibumu. Saya bisa merasakan kesedihan yang dirasakan ibumu, karena saya juga seorang ibu. Semua yang terjadi diantara kalian pasti ada maksudnya. Tuhan memberikan masalah kepada kalian berdua, bukan untuk semakin menjauhkan, tetapi medekatkan. Ibu dan anak tak kan bisa terpisah.” Rina mulai meneteskan airmata. Ia merindukan masa-masa kecilnya ketika dirawat dan dibesarkan oleh ibunya. Ibu yang sabar menghadapi keras kepalanya. Ibu yang senantiasa berusaha membuatnya bahagia. “Aku salah, iya yang tante katakan benar. Aku sudah menjadi anak yang durhaka. Seharusnya aku berbakti pada ibuku. Apalagi ibu saat ini tidak bersama papa lagi. Ibu maaf aku…”, Rina terisak. Akhirnya Rina Pulang ke rumah dengan perasaan menyesal. Ketika masuk ke rumah, dilihatnya rumah kosong. Dia memanggil ibunya, namun tak jua ada suara. Terdengar ada suara motor datang. Rusman sepupu Rina masuk rumah
dengan terburu-buru, “Rin, Tante kecelakaan! Tante kecelakaan saat dia mencari kamu. Ia sekarang di rumah sakit!” Rusman bergegas masuk kamar mama dan mengemasi baju-baju mama yang akan dibawa ke rumah sakit, sementara Rina hanya bisa terdiam mendengarnya. Kaget. Terpukul. Rasanya tidak percaya. Sesampainya di rumah sakit Rina hanya bisa duduk dan termenung, sementara Rusman berbicara pada dokter. Rina tak mampu berpikir. Terdengar sekilas bahwa mama mengalami banyak pendarahan. Air mata Rina mengalir deras. Rina merasa sangat takut, takut kalau pada akhirnya nasib mama akan berakhir seperti papa. “Aku kecewa, tak mengerti apa maksud Tuhan membiarkan tragedi menimpa keluarga kami. Namun sekarang, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berdoa”, seru batin Rina “Tuhan Yesus, aku datang pada-Mu. Aku mohon supaya Engkau jangan mengambil mama. Sembuhkanlah mama, ya Tuhan. Aku berjanji untuk menuruti setiap perkataan mama. Aku mohon, ya Tuhan. Amin” Satu bulan setelah kecelakaan. Rina baru saja selesai bersaat teduh di teras rumah. Mama menghampirinya dengan kursi rodanya. Rina membuatkannya segelas teh hangat. Mama tersenyum. Hati Rina ikut terasa hangat. Rina mulai mengerti maksud dari semua yang Tuhan perkenankan terjadi dalam hidupnya. “Tuhan mau membentuk aku untuk menjadi anak yang lebih taat dan menyayangi mamaku. Dan yang lebih penting, Tuhan menarik aku kembali untuk membangun relasi yang erat denganNya”, suara hati Rina menggema. Lalu ke dua ibu dan anak itu berpelukan. Rina berbisik,”Aku sayang Mama”.
mengucapkan:
TERIMA KASIH UNTUK KERJASAMA BERUPA BANTUAN MATERIL & MORIL DALAM RANGKA MENSUKSESKAN
SARASEHAN NASIONAL SIGNIS INDONESIA | P PS C an inta Alam - Med
13
brua e F - 18
r i 2 016
kepada:
PANITIA PELAKSANA | PASTOR PAROKI & UMAT P AROKI ST. PERAWAN MARIA YANG DIKANDUNG TAK BERNODA ASAL, KATEDRAL MEDAN | PASTOR & UMAT PAROKI MEDAN KRISTUS RAJA | P ASTOR & UMAT PAROKI ST. ANTONIUS HAYAM W URUK MEDAN| PASTOR & UMAT PAROKI ST. MARIA RATU ROSARI, TANJUNG SELAMAT | PASTOR & UMAT STASI ST. STEFANUS BELAWAN (PAROKI ST. KONRAD, MARTUBUNG) | PASTOR & UMAT STASI ST. THERESIA DARI KANAK-KANAK YESUS, SIMALINGKAR (PAROKI PADANG BULAN MEDAN) | DAN SELURUH DONATUR 17 | Lentera news - ed Januari 2016
Lapo Aksara
Menulis di atas pasir
P Ananta Bangun Redaktur Tulis
Lentera news - ed Januari 2016 | 18
ernahkah Yesus menulis? Demikian menggelayut tanya di hatiku. Sebab Sang Putra Allah, kerap menyampaikan warta gembira melalui khotbah dan perumpamaan. Tak dinyana, aku menemukan dalam Kitab Yohanes (Yohanes 7:53, 8:11), bahwa Yesus pernah menulis di atas pasir, ketika dicobai untuk menghukum seorang insan yang berzinah. Menulis di atas pasir? Kalimat tersebut membalik kembali halaman kenangan sebuah cerita. Tulisan seorang Imam. “Dua perantau melintasi gurun gersang selama beberapa hari. Hari yang terik dan angin kering bagai mencabik keakraban mereka. Karena perasaan kesal atas kelalaian dan cekcok, seorang memukul teman merantaunya. Orang yang dipukul terperangah tak percaya. Perlahan dia beringsut, lalu berjongkok. Dan menulis di atas pasir: ‘Hari ini, sahabatku memukul aku hingga terjatuh.’ Selang beberapa lama, mereka pun lanjut berjalan dengan berdiamdiam. Perjalanan berlanjut hingga mereka mendapati wilayah teduh sarat pepohonan. Ternyata, tak jauh di depan mereka ada sungai yang mengalir tenang. Begitu senangnya perantau – yang sebelumnya sedih oleh sikap kasar temannya – sehingga tanpa fikir panjang melompat masuk ke arus sungai. Tanpa menyadari sungai tersebut teramat dalam. Kaget. Perantau yang kedua
kemudian bergegas menangkap kaki temannya, dan menyelamatkan nyawanya. Si perantau yang malang tadi pun terperangah tak percaya. Dengan pelan, ia beringsut mencari batu. Kemudian berlutut sembari menulis di batu tersebut: ‘Hari ini, sahabatku menyelamatkan nyawaku.’ “Mengapa kamu tadi menulis di atas pasir, dan kini menulis di atas batu?” tanya sang sahabat keheranan. “Karena aku tak ingin meninggalkan perasaan sedih dan amarah dalam diriku. Biarlah perasaan yang kutulis itu lenyap seiring ditiup angin. Sementara rasa bahagia karena diselamatkan seorang sahabat, hendaklah berdiam lama bagai tulisan yang kutoreh di batu ini,” katanya. *** Lamat-lamat tertambat pemahamanku akan makna cerita tersebut dengan perbincangan Yesus dengan insan yang dituduh berzinah tersebut: Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”