Lentera news #17 Agustus 2015

Page 1

EDISI #17 AGUSTUS 2015 Source: https://pendoasion.files.wordpress.com/2014/08/hut-indonesia.jpg

MERAYAKAN AGUSTUS 1


Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS

DENGAN DOA DAN DANA

daftar isi

3

Tajuk Redaksi

4

Telisik

7

MAJALAHLENTERA.COM

/LENTERA-NEWS

Kunjungi kami di sini:

14

Korupsi Kini Menjadi Mode (II)

Opini Celoteh Merdeka di Ruang Publik

18

Sastra

20

Ilham sehat

Lentera khusus

Sinta (bag. III)

23 Lapo Aksara

Merayakan Agustus

Menghalau Singa

10 Embun Katekese Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi (bag. III)

12

Rumah Joss ­Pengurbanan & Pelayanan

REDAKSI RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

2


TAJUK REDAKSI

Bulan Agustus merupakan momentum ­istimewa bagi Warga Negara Indonesia. Bulan dimana kita merayakan Hari Kemerdakaan Republik Indonesia. Sebab telah terlepas dari penjajahan di masa silam.

­ ntuk ­memuaskan rasa penasaran Anda, s­ ahabat u pembaca Lentera. Tidak hanya bung Dian Purba yang ­mengakhiri karya cerpennya dalam kolom ‘Sastra’, p­ermenungan akhir Pater Hubertus Lidi OSC­ t­entang korupsi juga dapat disingkap dalam kolom khususnya di ‘Telisik’. Namun, Pater ­ ­Hubert juga menyempatkan berbagi gagasannya ­tentang kemerdakan dalam edisi ini untuk kolom ‘Opini’.

Redaksi Lentera News juga hendak berbagi g­agasan dan ilham yang lekat dengan ­makna Hari Kemerdekaan ini. Untuk tidak melulu mengingatkan dendam penjajahan di masa ­ l­ampau. Namun, lebih kepada bagaimana kita menyapukan warna baru di kanvas bangsa kita ini. Tidak setiap insan dapat menemukan ­kemerdekaan-nya sendiri. Namun Redaksi ­Lentera Redaksi sungguh dilimpahi berkat, sebab News menyediakan wadah bagi setiap insan yang bung Dian Purba ikhlas kolom ‘Pollung’ - nya hendak berbagi gagasan dan kisah sebagaimana ­direlokasi ke ‘Lentera Khusus’. Kisah pelari n ­ ir-alas para penulis di Lentera News. dari ­ Pakkat, Reka Pane, sungguh mengena ­dengan ­semangat Lentera bahwa setiap cerita Kami yakin, setiap rajut aksara dari insan yang mewariskan pesan moralnya dengan bingkai merdeka, tentu memuat nilai-nilai yang tak ­ ­kisahnya masing-masing. ternilai harganya. Kita tidak mesti menjadi yang teratas untuk membuat perubahan, namun apa Siapa Reka? Mengapa kisahnya dalam yang kita beri sebagai pencerahan bagi sesama. merayakan Hari Kemerdekaan RI, juga bisa Merdeka!!! ­ menyampirkan nilai kehidupannya secara unik. Bergegaslah m ­ enelusur kolom Lentera Khusus

Redaksi

33


TELISIK | KORUPSI

KORUPSI KINI MENJADI MODE (II)

K RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com

ita harus akui bahwa Korupsi itu bak virus yang sudah lama berkembang, bahkan sebelum jaman Zakeus sang Pemungut Cukai. Virus itu siap menyerang siapa saja dan kapan saja. Ga peduli ­agamanya, kaum berjubah, ber jas, dan ­berjeans bahkan kaum jelata. Virus ini siap mengembangkan ­ sayapnya ke semua lini k ­ ­ehidupan. Korupsi tidak ­selamanya harus uang dan harta. Korupsi yang sering kita lakukan dan kemungkinan besar tidak disadari ­ ­sebagai korupsi, dan dilihat s­ebagai hal yang ‘biasa-biasa saja’ a­dalah berkaitan ­disiplin waktu. Misalnya ­telat, ­tarik-ulur, dan absensi kehadiran m ­erupakan bagian dari korupsi waktu. Secara ­ ­mentalitas menguntungkan ­secara negatif salah satu pihak dan tentu merugikan pihak yang lain. Kawanku

4

yang suka berseloro itu berkomentar: Ya itu sih wajar, ­ karena I­ndonesiakan ­penghasil Karet, jadi soal tarik-ulur w ­ aktu itu ­sudah pasti.” ­“Maksudnya?” “ Wan, soalnya, kala aku menggugatnya saat ia ­terlambat j­awabnya ialah: ‘ah kau ­seperti orang Barat saja!” “Ya….ya….repot, dan ­memprihatinkan, lagi-lagi ­Indonesia ­menjadi daerah ­endemi ­korupsi,” ­tanggapku serius. Satu sisi orang-orang Indonesia d ­ ikenal sebagai orang yang ­religiositasnya tinggi. Orang agamais, bumi yang ­dihuni oleh para alim-ulama. ­Sejak SD orang-orang ­Indonesia ­sudah ­biasa ­diperhadapkan ­dengan ­ungkapan: ­Beriman dan ­Bertaqwa. Iman kaitan d ­engan b ­agaimana ‘saya’ ­percaya akan Allah, dan Takwa ­bagaimana ‘saya’ ­ menjalankan ­ perintahNya dan ­menjauhi ­larangan-laranganNya. Anda tentu s­epakat, kalau saya mengatakan


Wan, ­sebelum duduk di kursi ­kekuasaan baiklah kamu ­terapi kembali rasa ­malumu, biar ada budaya malumu, ­kalau tidak nanti main hantam tanpa tata-kromo, alias main serobot saja

bahwa Korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh Agama.

tegur bahkan telinganya bisa ­dijewer oleh orang tuanya.

Realitas ­ bahwa Indonesia adalah daerah endemi ­korupsi, tentu hal ini sangat Paradoks, dalam arti: ­Ortodoksi tidak sesuai, atau belum menjadi ­bagian dari O ­ rtopraksis atau dengan kata lain ajaran tidak sesuai dengan perbuatan.

Jangan-jangan para Koruptor itu semenjak balita sudah biasa main rampas-rampasan bombon adik atau kakaknya dan berusaha kabur dari jeweran orang tuanya.

Kalau kita merujuk pada salah surat dalam Alkitab: Iman tanpa perbuatan adalah mati. Orang menjadi ­munafik, secara lahiria nampaknya baik, soleh, dan soleha tapi ‘mentalnya’ ­ busuk. Dalam hal ini ­Agama b ­ ukannya m ­ enjadi cermin tetapi s­ ebaliknya ­dimanfaatkan sebagai topeng. Ibaratnya negara ­ agraris yang m ­ engimpor beras dan kedele dari ­negara lain. Apakah kita yang ­ religiositasnya tinggi harus mengimpor etika dan moral dari ­ ­belahan dunia lain? Paradoks. Rumah: Tempat Belajar Tidak K ­ orupsi Korupsi itu pada prinsipnya merupakan perbuatan memperkaya diri dengan mengambil bagian yang bukan bagianya, mengambil hak orang lain. Dampak dari perbuatan itu menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi orang lain. Mari kita merunut kembali ke belakang, terutama saat-saat masih di rumah asal kita; bersama orang tua dan sank-saudara. Saya yakin bahwa Iklim menghargai hak orang, secara khusus terhadap saudara-saudari di dalam rumah, pada prinsipnya telah mendapat perhatian semenjak masih dalam usia balita. Pembinaan dasar agar menghormati dan menghargai bagian dari orang lain tentu sudah dilatih semenjak masih berusia dini. Umpamanya: Merampas ‘bombon <sweets candy>’ adik atau kakanya, baik secara langsung maupun tak langsung pasti langsung di

5

Nilai-nilai hidup yang ­berbarengan dengan pembaharuan mental di rumah, sejak dini diturun-alihkan ­ kepada penghuni rumah adalah ­ bersikap jujur mengakui kesalahan ­ dan mempunyai rasa malu atas ­sesuatu perbuatan yang tidak ­berkenan. Pembenaran diri, tidak ada ­ enyesalan, dan tidak ­­menunjukan p gelagat ­ malu merupakan pemandangan yang biasa yang ­ ditampilkan oleh para Koruptor yang nongol di Media massa, baik cetak maupun elektrik. Jangan-jangan ­sejak kecil rasa malunya sudah rontok. Kawanku mengusulkan: Wan, s­ ebelum duduk di kursi kekuasaan baiklah kamu terapi kembali rasa malumu, biar ada budaya malumu, kalau tidak nanti main hantam tanpa tata-kromo, alias main serobot saja.” “Benar juga!” Mari kita benahi mentalitas kita, mulai dari diri, rumah, paguyuban profan dan peribadatan. Yang pasti dampak perbaikan itu akan mempengaruhi baik atas kehidupan. Say no to Corruption sebagai iklan sudah banyak dipertontonkan secara visual yang penting adalah ­bagaimana iklan itu menjadi darah dan ­daging anak bangsa ini, dan melahirkan ­sebuah generasi yang tidak korup. Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com


Segenap Keluarga Besar

Majalah LENTERA News Turut Bangga Mengucapkan:

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE- 70 [ 17 Agustus 2015 ]

Ananta Bangun

RP Hubertus Lidi, OSC

Jansudin Shemy Saragih

Redaktur Tulis

Pemimpin Umum/ Redaksi

Redaktur Foto

6


LENTERA KHUSUS | HUT KEMERDEKAAN RI

MERAYAKAN AGUSTUS

B

ila Agustus sudah menghampiri, dia tahu dia akan kembali merinding. Bila Agustus sudah tiba, dia tahu dia akan membuat dirinya dan ­keluarganya dan sekolahnya dan satu k ­ampungnya dan bekas sekolahnya akan tersenyum bangga p ­ ­adanya. Bila Agustus sudah sampai dia tahu dia akan terharu. Bila Agustus sudah datang, dia tahu “takdir” akan ­memanggilnya. Takdir itu adalah berlari. Image: Blogspot.com

7


Namanya Reka Pane. Dia ­lahir di Merak, Lampung, 13 Juli 1997. Sebelum dia ­beranjak sekolah ­orangtuanya ­pindah ke ­kampung halaman, Purba Baringin ­Kecamatan ­Pakkat Humbang ­Hasundutan. Segera setelah dia sudah bisa ­memilih mata ­pelajaran ­favorit, dia m ­ enjatuhkan pilihan: ­matematika adalah musuhnya. Entah bagaimana ini bermula, saat dia kelas empat SD, dia ­mendapati dirinya ­berada di p ­ uncak kebosanan ­bermatematika di kelas. Dia lalu menemukan dirinya ­berada pada kebetulan yang akan ­membebaskannya—paling tidak untuk sementara—dari ­dunia hitung-menghitung itu. Dia ­memutuskan ikut seleksi pelari dari sekolahnya. Dan: dia ­menang. Dan, ternyata, ­kebetulan yang bersumber dari kebosanan itu mendatangkan kebanggaan bagi ­sekolahnya. Namanya dipanggil dari ­podium utama perayaan hari kemerdekaan di kota kecamatan Pakkat sebagai pemenang lari. Semenjak itu, saban tahun ­takkan dia biarkan Agustus berlalu tanpa namanya ­dipanggil di podium utama sebagai ­pemenang lari. Setelah dia tamat SMP, dua guru olahraga SMA di ­Pakkat ­berlomba memintanya ­mendaftar di sekolahnya. Dia ­memilih SMA Negeri 1 Pakkat. “Kalau di SMK letaknya terlalu jauh dari sini,” ujar ibunya. Selain itu, “Banyak sekali uang akan keluar. Uang PKL (praktek kerja lapangan), uang dinas.” Tahun 2014 silam boleh jadi akan tahun yang paling dikenang Reka. Ceritanya begini. ­Ibunya pergi ke pasar sudah agak

siang. Jarak dari rumah ke pasar ­tujuh kilometer. Baru saja tiba di pasar, ibunya terima telepon dari adik Reka. Sebelum telepon ditutup ibunya jatuh pingsan di ­tengah keramaian. Sontak orang berkerumun. Setelah dia sadar sembari menangis histeris dia berteriak, “Anakku ­meninggal. Reka meninggal.” Beberapa saat kemudian dia sudah di atas ­motor yang lajunya ­sangat ­kencang. Ibunya lupa siapa saat itu yang ­memboncengnya. Sepanjang perjalanan dia ­menangis histeris. Tiba di rumah, “Mana anakku? Mana anakku? Rekaaaa....!” Yang dia temui di sana bukanlah jasad Reka, ­namun wajah tetangga yang terheran-heran. Teriakannya mengundang keramaian. Dan keramaian itu tampak bingung. Siapa yang meninggal? Reka yang dianggapnya ­ eninggal itu pun muncul. Dia m tidak meninggal. Selidik punya selidik, saat adik Reka menelepon ­ibunya yang sedang di pasar yang sangat ramai, kalimat inilah yang didengar ibunya, “Si Reka mate (mati).” Sementara pesan aslinya, “Boan sate di si Reka ­(Belikan sate untuk Reka).” Reka yang sangat doyan sate itu ­meminta adiknya menghubungi ibunya untuk ­dibawakan sate dari pasar. Ibunya dengan ­cepatnya ­menganggap “sate” sebagai “mate” karena dia ­meninggalkan Reka sedang sakit di rumah. Cerita ini menyebar dengan sangat cepat ke seantero kampung dan selalu membuat orang tertawa. Dalam keadaan sakit itu pulalah Reka memutuskan tetap berlari untuk sekolahnya. Kesehatannya belum begitu pulih mulai

8


dari latihan jelang kejuaraan hingga di hari kejuaraan. Dia hanya memakan satu kuning telur saja penambah tenaga di malam hari jelang lomba. Dia berlari dan berlari. Jarak 10 kilometer ditempuhnya tak lebih dari setengah jam. Mari saya beritahu ke Anda: lintasan larinya bukanlah di dalam stadion, tapi di jalan raya Pakkat-Dolok Sanggul yang konturnya ­berlembah berbukit. Di beberapa ­titik ­tanjakannya hampir mendekati 50 ­derajat. Lagi-lagi dia ­membuktikan diri jadi penguasa ­lintasan. Dia ­mencatat rekor ­mengagumkan di tingkat kecamatan: ­pemegang lari 10 kilometer tujuh tahun ­berturut-turut. “Aku ­sangat bangga bisa membuat ­sekolahku terkenal. Itulah motivasi utamaku,” ujar Reka.

Reka Pane | Credit Photo: Dian Purba

Dia dicetak sempurna oleh alam Pakkat. Setelah pulang sekolah, dia akan berlari-lari ke ladang. Dari ladang dia akan membawa sekarung padi kering.” Ibunya sangat membanggakan Reka. “Dia pekerja hebat. Dia sangat ­rajin. Dia sangat suka nyuci, nyetrika, dan bekerja di sawah.” Tapi, lanjut ibunya, “dia tidak suka cuci piring.” Adakah faktor lain yang membuat kaki dan nafasnya sangat kuat? “Aku suka ­berenang. Aku juga jago ­menyelam,” terang Reka. Setelah namanya ­diumumkan ­sebagai ­pemenang, dan setelah dia ­mengantongi hadiah lomba itu, tanpa ragu dia berjalan di tengah keramaian ­perayaan

9

17-an sembari mencari tukang sate. Persis seperti Sukarno yang makan sate setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Reka memerdekakan ­dirinya di hari kemerdekaan itu menyantap sate sepuasnya. Apakah tahun ini dia kembali akan mendapatkan hadiah lomba dengan begitu akan menyantap sate lebih banyak lagi? Yahh... Tahun ini takdir kembali memanggilnya. Bila tahun lalu dia sedang sakit saat berlomba dan menjadi juara, tahun ini dia tetap menguasai lintasan namun dengan jarak antara dia dan pelari di belakangnya terpaut lebih jauh dari tahun silam.


EMBUN KATAKESE | LITURGI

PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI (III) OLEH:

Katolisitas.org

10


Adalah baik jika sesaat ­sebelum ­menyambut Komuni umat ­menundukkan kepala, tanda ­penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya

Pada edisi Juli lalu, telah ­dipaparkan beberapa pelanggaran dalam bagianbagian Misa Kudus. Dalam edisi bulan ini, Pembaca bisa mendapati kelanjutan dari sorotan tentang pelanggaran dalam penerimaan Komuni.

6. Petugas Pembagi Komuni Tak L­ azim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.

3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melaku­ kan s­ikap penghormatan sebelum ­menerimanya.

RS 154 Seperti sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus ­ ­dapat melaksanakan sakramen ­Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan ­secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya d ­ ­apat diterapkan pada seorang Imam. Di ­ samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….

Seharusnya: PUMR 160 ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni. Adalah baik jika sesaat ­ sebelum menyambut ­ Komuni umat menundukkan ­ kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan ­ yang hadir di dalamnya. 4. Patena sudah jarang digunakan. Seharusnya: RS 93 Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi ­menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya. 5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” ­sebelum menerima hosti. Seharusnya: PUMR 287 Kalau komuni dua rupa ­dilaksanakan dengan ­mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap p ­ enyambut, sambil memegang patena di bawah ­ dagu, menghadap imam yang memegang p ­ ­iala. Di samping imam berdiri ­pelayan yang ­memegang bejana kudus b ­ ­erisi ­ hosti. Imam mengambil ­hosti, m ­ encelupkan ­sebagian ke dalam piala, ­memperlihatkannya ­kepada ­penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah ­ Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu m ­ enerima hosti dengan mulut, dan ­kemudian kembali ke tempat duduk.

11

Seharusnya:

RS 151 Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan ­pelayan-pelayan tak ­ lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang ­ ­demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat….. RS 152 Jabatan- jabatan yang sematamata pelengkap ini jangan ­dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa….. RS 157 ….Tidak dapat dibenarkan ­kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.


KOLOM “RUMAH JOSS” | PENGURBANAN & PELAYANAN

Pengurbanan & Pelayanan

Yoseph Tien Wakil Ketua ­KomIsi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan

Pengurbanan dan pelayanan merupakan dua kata yang sangat ­ akrab dengan kehidupan kita seharihari. Kata-kata ini sering kita g ­ unakan, ­sering kita pakai. Hari ini, sejak b ­ angun tidur sampai saat saya membuat catatan ini, kata pengurbanan dan ­ pelayanan seperti terngiang-ngiang ­ di teliga saya. Sempat saya ­berpikir, apakah saya mengalami positive ­auditory halusination? Hehehe….

­ akna: mempersembahkan sesuatu m sebagai kurban: lembu, buah-buahan, dsb.

Mari kita cermati makna dari dua kata tersebut, menurut Kamus Besar ­ ­ Bahasa Indonesia, terbitan ­Departemen ­Pendidikan ­Nasional Balai Pustaka, 1990.

1) Membantu menyiapkan ­(mengurus) apa-apa yang d ­ iperlukan seseorang.

Kurban

3) Mengendalikan: melaksanakan penggunaannya (senjata, mesin, dsb).

Layan Pelayanan berasal dari kata ‘layan’. Berikut ini beberapa makna kata ‘layan’. ‘melayani’ mengandung makna:

2) Menerima (menyambut) ajakan (tantangan, serangan, dsb).

Pengurbanan berasal dari ‘kurban’. Berikut ini beberapa makna kata ‘melayankan’ mengandung ­ makna: ­‘kurban’. menghidangkan (menyajikan, ­menyuguhkan) santapan (minuman). 1) Persembahan kepada Tuhan (seperti biri-biri, sapi, unta yang ‘layanan’ mengandung makna: ­perihal ­ ­disembelih pada hari Lebaran Haji). atau cara melayani. Contoh kalimat: Mereka m ­ enyembelih kerbau untuk kurban. ‘pelayanan’ mengandung makna: 2) Pujaan atau persembahan 1) perihal atau cara melayani; ­kepada dewa-dewa. Contoh ­kalimat: Setahun sekali diadakan upacara 2) servis, jasa; ­ mempersembahkan kurban kepada ­ Batara Brahma. 3) kemudahan yang diberikan ­sehubungan dengan jual beli barang ‘kurban misa’ mengandung makna: atau jasa. upacara mempersembahkan roti suci dan air anggur. Dalam kehidupan kita sehari-hari, ‘berkurban’ mengandung makna: ­seringkali kita melakukan ­banyak salah mempersembahkan kurban. kaprah terkait dengan ­pengorbanan dan pelayanan. ‘mengurbankan’ mengandung

14 12


berbuatlah jujur. K ­ ebaikan yang terkait e ­ngkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang, tapi bagaimanapun berbuat ­baiklah. 1) Seorang gadis yang rela Bagaimanapun, berikan yang terbaik ­mengorbankan tubuhnya bagi sang dari dirimu. Pada akhirnya ­ engkau kekasih hanya karena cinta akan tahu, bahwa ini adalah ­urusan antara engkau dan Tuhanmu. Ini 2) Seorang professional rela ­ bukan urusan antara engkau dan mengorbankan keyakinannya demi mereka.” ­ profesi dan kehormatan Beberapa salah ­pengorbanan:

kaprah

3) Pengorbanan yang dilakukan Sahabat Joss Yang Terkasih… dengan motif demi uang, jabatan, ­ nama baik, penghormatan, pujian dan Mari tebarkanlah senyuman manis, penghargaan dengan pengorbanan dan pelayanan yang harmonis demi hidup yang berbuah manis. Semoga saya tidak ­ Beberapa salah kaprah terkait ­ sedang berhalusinasi dalam refleksi ­pelayanan: ini. Salam Joss...! 1) Orang yang tugas utamanya --------­memang melayani tetapi selalu minta dilayani. Credit Photo: Ananta Bangun 2) Orang yang melayani dengan ­memandang warna baju, warna bulu, warna kulit juga warna isi kantong; 3) Orang yang melakukan ­pelayanan dengan motif uang, jabatan, nama baik, penghormatan, pujian dan ­penghargaan Panggilan tugas kenabian ­siapapun, untuk melakukan pelayanan dan pengorbanan secara bertanggung ­ jawab, dewasa, pada tempatnya dalam tataran kehidupan sosial kita, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hemat saya memang sedang berada pada titik kritis. Inilah tantangan bagi kita sekalian. Saya jadi teringat dengan kata-kata Bunda Teresa berikut ini: “Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih. Tapi bagaimanapun, berbaik hatilah. Bila engkau jujur, mungkin saja orang lain akan menipumu, tapi b ­ agaimanapun

15 13


OPINII | POLITIK

Source: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/percakapan/indonesia/suharto/pasikom-20mei98.jpg

CELOTEH MERDEKA DI RUANG PUBLIK

M RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com

erdeka!……merde ka!……merdeka! Sambil berteriak ia mengacungkan bogemnya. Orang-orang yang di ­hadapinya, ribuan, diam seribuh bahasa, tertunduk, membisu. Ia berteriak lagi: “Merdeka… merdeka…merdeka,” suaranya membahana, membela jagat ­ mengejar angkasa. Lagi-lagi, tidak ada tanggapan. Diam. Merokok. Tak mau tahu. Ia geram : “Mengapa kalian, yang di arah mata angin sana, b ­ erteriak merdeka saja takut?” Suaranya ­lantang bergetar, sambil ­menunjuk ke arah salah satu mata angin. “Saudara-saudaraku, supaya kamu tahu, kamu sudah merdeka, sudah

14

merdeka,sudah merdeka; mengapa mengekspresikan melalaui katakata saja , kamu tidak bisa. Ini tanda apa ini….,” ia mengerutu. Massa yang di hadapnya senyum-senyum ­memperhatikannya, menikmati ­geramnya. “Apakah mereka takut b ­erteriak merdeka? Belum tentu! Apakah ­mereka segan ­mengekspresikan dengan ­ raut wajah yang ­berbinar-binar? Tidak juga! Lalu apa?” Ia bertanya dalam diri. Lalu Dari arah kerumunan massa itu, terdengar ­suara-suara, mmmmmmmmmm, seperti lebah. Samar-samar ­terdengar: “ah ­retorika…… panggung doang……… ko itu itu ­ saja, sandiwara saja. Dari ­panggung kehormatan ‘hatinya’ ­menangkap sesuatu dari gelagat massa itu.


Kalau kita melihat bahwa ­tantangan dan ­kesulitan itu ­adalah ­beban, maka kita ­menjadikan ­kemanusian ­sejajar dengan keledai. Kita ­‘mendudukan’ di atas bahu ­kemanusiaan kita, secara terpisah, bukan lagi bagian dari kemanusiaan itu.

Ia turun menuju alun-alun publik, ­menerobos jauh ke dalam; berdesak – desakan, ­berhimpit-himpitan, ­sambil menyendengkan telingahnya, ke mulut orang- orang itu. Ia m ­ engitari ­busana-busana kusam, yang t­ ercabik, di lenganya, bahunya. Tidak di pantatnya, karena bagaimanapun ­ sederhananya, mereka tetap ­ menjaga k­ehormatan. Ia membaur dalam aroma-aroma tubuh petani, kaum buru, pengemis ­ jalan dan jutaan para pencari sesuap nasi. Dari sana ia insaf. ­ Mereka belum merdeka, masih b ­erjuang dan ­berjuang, demi p ­ erutnya juga p ­ erut dan masa depan ­anak-anaknya. ­Terhimpit dalam ­ keniscayaan, ingin tapi tak berdaya. Dibungkam oleh sesama ­ warga ­kemerdekaan yang punya uang, kedudukan, dan bedil. “Sohib sohib sekarang saya m ­ engerti mengapa kalian tidak berminat berteriak merdeka, kata yang ­ ­ mahal dan mengandung sejuta makna itu. Aku mengerti…….aku mengerti!” ­“Alahhhhh, baru nongol, sok tahu tahu, pasti ada maunya,” kata mereka, agak mencibir! “Benarkan….benarkan!” mereka terus mendesak. Ia tetap berdiri dalam kerumunan itu, mengangukangguk. Serius mendengar, sekali-sekali ia menggoreskan kalimat-kalimat yang tidak jelas dalam note booknya. Sedang menampung aspirasi, bibirnya bergerak gerak. “Ya sohib-sohib saya mengerti, dan berusaha menampung keluh – kesah kalian.” “Walahhhhhhhhh, pake tampung segala, yang dibawanya pasti karung ­ kosong untuk menampung dan ­mengisi ­aspirasi kita. Dompetnya juga pasti ­ kosong, mana mau ‘barteran’ ­dengan ­suara kita,” tanggap massa agak ­mengejek. “Pak kami butuh karung yang ada isi, berassssssssssss. Kami butuh dompet yang ada isi, uanggggggggggg, massa melanjutkan celoteh ejekannya. “Semakin jelas, pasti ada maunya,” massa mulai berani mencercanya! “Ya tidak apa apa, boleh kamu marah saya, keluarkan unek-unekmu, aku akan memprosesnya dan menemukan jalan keluarnya, asal ………….” “Asal apa…… pak?” Tanya mereka. “Ah saya tidak akan ­memberitahukan sekarang, kamu lagi emosi, nalarmu tidak jalan. Kurang pas

15

kalau saya memberikan penjelasan ­kepada orang yang hanya m ­ empunyai naluri saja, tanpa nalar. Pada saat yang tepat, akan saya jelaskan,” ­ katannya dengan tenang. “Pak , biar pak tidak ­ memberitahukan alasannya, tetapi ­sebenarnya alasanya sudah jelas, agar kami memilihmu!” “Ah bukan soal itu, ngaco kamu. Saya tahu kamu berada dalam ‘kesesakan’ membutuhkan yang namanya kemerdekaan, biar hidup kamu lebih manusiawi. Mengapa saya katakan lebih manusiawi, sebenarnya saya bisa ­ mengunakan kata- kata, agar beban ­ hidupmu ­semakin ringan?” Ia bertanya kepada ­beberapa orang di ­sampingnya. “Tidak tahu, pak,” jawab mereka. Ia memberikan ­penjelasan: “Maksudku selama ini b ­ anyak bebanmu dipundak kehidupanmu, jadi kamu merasa mirip Keledai, keledai beban. Jadi kalau saya menggunakan istilah biar bebanmu ­ ­semakin berkurang, berarti ­orientasi saya kepadamu, terarah kepada ­ bebannya saja, tetapi ‘perspektif’ saya terahadap kamu, tetap keledai, yang siap m ­ emikul beban berikut. Ya singkatnya kamu jangan mengkeledaikan diri. Kalau saya menggunakan istilah ‘manusiawi’, ­berarti memang secara esensial, kamu manusia, sama dengan saya. Rintangan, tantangan, dan k­ esulitan itu wajar, dan merupakan bagian dari roda k­ ehidupan ini, bukan beban; biar kita lebih kreatif, inovatif, dan tegar meramunya. Setiap manusia dengan anugerah indra keenamnya, maksud saya intuisi, harus mampu melihat bahwa di balik tantangan dan kesulitan itu selalu ada peluang dan kesempatan. Bahasa teologisnya: Di balik Salib ada Kebangkitan. Tantangan dan kesulitan itu, sebagai pemicu agar kita bergerak maju, meraih peluang dan kesempatan itu. Kalau kita melihat bahwa tantangan dan kesulitan itu adalah beban, maka kita menjadikan kemanusian sejajar dengan keledai. Kita ‘mendudukan’ di atas bahu k­ emanusiaan kita, secara terpisah, bukan lagi bagian dari kemanusiaan itu. Tidak usah heran litani kehidupan yang kalian daraskan bernada keluh dan kesah saja, bukan upaya dan penemuan baru.”


Mereka, mengangguk-angguk, dan i­nsaf bahwa proses ‘Pemerdekaan’ mesti mulai dari pembebasan akan paham, ­ definsi, ­ penilaian, dan perspektif yang membelenggu diri. “Ya tapi bagaimana ­ dengan realitas k­ esulitan seperti: tidak tahu makan apa hari ini, ­biaya sekolah, adat, dan ­ sumbangan ini itu, ­ termasuk yang berkeliaran di jalan raya yang sudah menjadi bagian kehidupan kami.” Mereka bertanya. “Ya itu benar, lagi-lagi ini dampak dari ‘pemahaman kermerdaan’ yang keliru juga, dan celakanya terlanjur menjadi tabiat. Mahkluk manusia jenis ini, dengan ‘akal bulusnya’ merelativir ­segala-galanya. Dia yang seharusnya salah menjadi ­benar, dan sebaliknya yang benar ­disalahkan. Atribut-atribut ‘rasa malunya’ ­sudah ­rontok. Jumlah orang-orang macam ini terus b ­ ertambah, tampil di Koran atau di TV d ­ engan senyum ramah pembenaran diri,” sejenak Ia berhenti, untuk berdehem.

Source: http://pre15. deviantart.net/4c92/th/pre/ i/2010/308/b/7/the_puppet_master_by_mini_zillad325mdn.jpg

“Sohib-sohib saya mau melanjutkan lagi…….Manusia yang akal bulusnya ­ seperti itu, tadi pada dasarnya menafisirkan ­ ­ kemerdekaan berarti berbuat seenak bokongnya. Contohnya banyak dari ­ mereka yang ‘membuncitkan perutnya’ dengan ­jatah yang seharusnya menjadi hak orang lain. ­ Lebih heboh lagi ­‘buncitnya ­berjemaah’ ­sehingga proses ­untuk ­menangkap, ­mengadili dan ­ memenjarahkan ­ mereka menjadi lebih k­ompleks dan makan w ­ aktu yang lama. Seenak b ­okongnya kan? Ya kalau kita melihat dengan kaca mata kemanusiaan, kasihan juga! Mereka ­ ­belum merdeka, ­membiarkan harga diri kemanusiannya, dkuasai dan d ­ ­ikukung oleh ­ keinginan-keinginan yang b ­ukan haknya. Zat zat rasa malu mereka menjadi tawar oleh nikmat dan nafsu. M ­ ereka hanyalah ­seonggok daging menta yang tak punya rasa, yang menyebarkan ­aroma derita bagi dirinya dan orang lain. Manusia yang bernurani hewani, di jaman google ini.” “Bagaimana dengan saudara? Janganjangan saudara “melempar batu sembunyi tangan,” tanya beberapa orang. “Ya…… ya, aku….. masih belum terlalu parah, kategori baik. Aku akan mencoba tidak ­mengikuti arus orang-orang itu. Ah aku masih mau bicara tentang ada ada gagasan ­ untuk ­ mengembangkan kembali

16

budaya ‘rasa malu’ jadi kalian jangan bertanya dulu.” “Okey bercelotehlah! Para Sohib, kemerdekaan yang liar, alias menembus koridor etika, ­moral, dan tata krama bisa , membentuk watak dan kepribadian yang ‘tuna sosial’. Ia menjadi pribadi yang egois, dan tidak tahu malu. Ini sebenarnya musibah, yang sedang m ­ elanda bangsa kita. Sejak jaman Sriwijaya dan M ­ ajapahit, seantero jagat telah ­mengenal kita sebagai bangsa yang bertatakrama. Dari balita, boca-boca mereka dididik oleh orang tuanya yang bertatakrama juga.” Warisan yang tak ternilai harganya, kini ­ ulai hilang secara pelan dan pasti, denm gan penghayatan yang keliru terhadap‘life style’ post modern. Seiring dengan bertambahnya jumlah ‘asoi man –wati.’ Penting nikmat! Ya waktu mendengar bahwa ada upaya bangsa untuk mengembalikan budaya rasa malu, terutama kepada generasi penerus, baik juga gagasan itu. Pertanyannya adalah siapa yang mendidik mereka? Mari kita, para orator kawakan, politisipolitisi, pengkhotba ulung, dan sejuta ­penggerak massa, serta ­kawakan-kawakan lain, yang tidak pernah absen muncul di ­ media masa, baik main stream media ­ maupun new ­ media, kitalah orang ­pertama yang harus ­mengembalikan rasa malu dalam diri dan Keluarga serta family kita. Para p ­ endukung dan m ­ assa kita, akan b ­ erlajar dari gelagat kita yang baik, dan m ­ enyebarlah virus rasa malu itu sehingga kita kembali m ­ anusia ­ normal, tahu diri. Kita menjadi orang ­ merdeka, untuk berbuat baik, ­ ­ membebaskan diri dari ­ topeng k­epalsuan hidup. Merdeka ­berbuat baik ini juga m ­ erupakan ­arahan dasar agama kita. Mari kita wariskan, ­sekaligus ­mengembalikan ­jaman kejayaan tatakrama bangsa yang mau hilang dari peredaran n ­ egara kita. M ­ erdeka…… bebas ­ berekspresi, menampakan kebaikan kepada sesama.


17


SASTRA | SINTA

Sinta (bagian II)

Sinta selalu bersemangat menceritakan ladang ke Ganup. Itu semata karena di Tarutung, kata Ganup, dia hanya d ­ isibukkan melayani orang-orang yang makan di restoran mereka. “Bapak sudah ­mempekerjakan aku di sana semenjak kelas 2 SMP,” ujarnya ke Sinta. Seperti hari itu Sinta juga cerita tentang ­tahap-tahap mangordang[vi]. Sehari sebelum mangordang ibunya sudah menumbuk beras menjadi tepung. Pagi-pagi benar Sinta sudah dibanguni memaruti kelapa. Kelapa terparut itu kemudian dicampur dengan tepung. Kalau sudah selesai giliran bapaklah memainkan peran. Kepalan tangan bapak yang besar sangat cocok dijadikan cetakan pohul-pohul[vii]. Setiba di ladang sebelum memulai mangordang kue ini nanti akan dipecah dan disiramkan ke lahan yang hendak diordang. “Mama sering marah karena kue itu kami makan diam-diam tanpa sepengetahuannya,” kenang Sinta. Begitulah. Setiap kali mereka berjalan bersama setiap kali itu pula cerita-cerita mengalir deras diceritakan. Tak ada habis-habisnya. Di sepanjang jalan itu, di cerita sebanyak itu, tanpa mereka sadari telah tumbuh benih-benih rasa. Mereka menyadarinya ketika teman-teman mereka yang lain menyorak-nyoraki mereka. “Hei Romeo-Juliet, jalannya jangan seperti keong.” Saat itu mereka berdua berpandang-pandangan s­ ebelum bersama-sama tersipu malu. Bahkan pernah Togu membuat mereka tersentak seakan-akan tersengat arus listrik. “Kenapa kalian tidak ­memutuskan berpacaran saja? Cocok. Kalian dua ­sangat cocok.”

19 18

Dian Purba purbadian@gmail.com

Tidak lama setelah peristiwa itu mereka sudah berjalan bergandengan tangan. Mereka berpacaran. Sinta tak cukup kuat menolak ajakan Ganup. “Aku tak ingin sendiri saja memelihara bungabunga itu. Aku tak cukup kuat ­menyirami mereka setiap sore. Maukah kamu bekerja bersamaku dan menjadi pemilik bersama kebun itu?” Sinta sesungguhnya mengerti ajakan itu. Dia sudah pernah mendengar kalimat-kalimat itu di sebuah sinetron. “Aku tidak mengerti.” “Iya, kebun. Ummm…,” Ganup ­memain-mainkan jemarinya pertanda kegugupannya. “Ummm…,” “Ummm, pacar. Aku bersedia menjadi pacarmu,” seru Ganup memberanikan diri. *** Langkah-langkah Sinta sepanjang enam kilometer ke sekolah dibaluti perasaan tak menentu. Dia tahu pagi ini Ganup pasti tidak akan menemaninya jalan kaki. Tiap kali mereka bertengkar selalu saja kekasihnya itu menunggang kuda ­besinya. Sinta hapal betul tingkahnya. Dari jarak sekitar 20 meter, klakson motornya pasti sudah memekakkan. Hampir-hampir tanpa henti jempol kanannya memencet tombol klakson di stang kereta. Begitu tepat memapasi Sinta, Ganup akan memain-mainkan gasnya. “Kalian bertengkar lagi?” tanya Togu sahabatnya itu suatu pagi. Sinta tidak berani menyalahkan siapa pun, terlebih Ganup. Tapi dia ­sesungguhnya sangat berharap kekasihnya itu menyisakan sedikit pengertian di hatinya. Jalinan kisah


mereka barulah sebentar, belum lagi seumur jagung. Pengertian. Pengertian saja yang diharapkannya. “Pengertian seperti apa? Apa Tuhan sudah tidak begitu perkasa lagi di depan orangtuamu? Apa ibumu tidak mengerti itu?” bentak Ganup minggu lalu. Kisah demikian sudah berulang beberapa kali. Bagi Ganup tindakan ibu Sinta ­melarang mereka berpacaran sudah berlebihan. ­Sudah melewati keperkasaan Tuhan. “Jangan libatkan ibuku,” Sinta membela diri. “Sudah kubilang, inilah aku. Aku anak mamakku.” Sinta paham betul keluhan Ganup karena itu dia menunduk tak berani menantang mata Ganup. Ingin dia ­memecahkan dilema ini dengan menjalin asmara ­mereka secara ­sembunyi-sembunyi. Setiap kali dia ­memikirkan itu setiap kali pula ­kebingungannya ­memuncak. Dia tidak akan menyalahkan Rima yang telah ­melaporkan setiap detil kisahnya dengan Ganup ke ­ibunya. Dia tahu Rima takkan sudi melakukan itu tanpa dipaksa ibunya. Dan memang Rima sudah minta maaf berulang kali untuk itu. Tak paham dia kenapa cinta mesti ­ditunjukkan seterang-terangnya ke ­semua orang. Tidakkah hati itu tersembunyi, ­ pikirnya. Ketersembunyian cinta baginya tidak lebih dari wujud cinta itu sendiri. Dan pagi ini dia sudah memilih pasti: cinta yang pantas untuk diterang-terangkanlah yang mesti dimunculkan. Itulah cinta ibunya. “Cukuplah ibu yang menanggung begini. ­Bapakmu lebih mencintai tuaknya. Belum tiba waktumu menimbang cinta.” Ibunya menggerutu semalam. Selepas sekolah Sinta tidak berontak ­tangannya ditarik paksa ke belakang satu gedung. Inilah saat paling tepat baginya menguji cinta. Ganup yang sangat lembut di awal-awal pacaran mereka kini beralih rupa seperti apporik di ladangnya. Gelegar suara Ganup terbang bebas menghantam hati Sinta. “Aku menyerah. Sudah berakhir.” Sinta menghantam balik suara apporik itu. “Antar aku pulang.” Sinta memaksa. Hari sudah sore. Awan-awan merah sudah berarak. Sinar mentari tidak seganas tadi siang. Mereka melangkah perlahan melewati ruang-ruang kelas, kantor guru, lalu gerbang sekolah. Warung tempat Ganup ­menitipkan kereta sudah sepi. Tak sampai habis lima jari tangannya jumlah Sinta pernah ­diboncengnya. Sinta merasa

20 19

k­ eseimbangannya buyar di atas kereta. ­“Jangan, jangan goyang,” perintah Ganup tiap kali berboncengan. Ganup segera menancap gas. ­Dirasakannya jalan hot mix yang baru saja selesai ­diaspal bulan lalu itu lahan paling tepat ­melampiaskan amarah. Sinta tidak hanya hilang konsentrasinya lalu bergoyang, dia berteriak. Dia minta diturunkan. Tanpa Sinta Ganup kerap memacu ­tunggangannya itu di titik kecepatan ­tertinggi. Jalan yang melintasi kampung itu sesungguhnya jalan lintas provinsi. Namun, semenjak jaman kakeknya lalu ke ayahnya hingga ke generasi berikutnya selalu saja jalan itu digenangi air setelah hujan ­turun. Itulah pula yang membuat hampir ­semua kereta di kampung itu tidak lagi ada ­berwajah mulus. Dan hari-hari terakhir ini armada-armada itu dijual untuk diganti yang baru. Jalan sudah mulus seperti daun pisang. Sinta merasa dirinya sudah mau jatuh saja. Barangkali dia sudah setengah sadar. ­Sementara Ganup semakin beringas saja. Melintas di benaknya pertengkaran barusan. Dan dia tidak akan menyesali diri karena sudah berlaku kasar. “Ganuuupppp…..” teriak Sinta. Sangat keras. Di tikungan itu ­pertengkaran mereka selesai. Kereta itu terpelanting meninggalkan mereka berdua di ladang kakao yang lumayan jauh dari sudut jalan. Sinta meninggal seketika. Dahan kakao yang baru saja ditebas itu ­menyambut ­kepala Sinta yang tertancap. Ganup tidak bisa lagi mendengar keramaian orang. ­Nafasnya sudah di hujung hidung. Gelap. [i] Ladang darat | [ii] Burung kecil pemakan padi. Kepalanya berwarna putih dan bagian tubuh yang lain agak kemerah-merahan | [iii] Patung yang dibuat dari kayu dan dipakaikan baju sehingga sangat mirip dengan manusia. Patung yang satu dengan patung lainnya dihubungkan dengan tali. Biasanya di patung itu dipasangkan bunyi-bunyian yang menghasilkan suara bising sehingga ketika talinya ditarik serempaklah bunyi itu membahana | [iv] Pondok kecil di ladang | [v] Memetik padi menggunakan ari-ari | [vi] Menanam padi di hauma menggunakan kayu lurus yang diruncingkan di bagian bawahnya. | [vii] Kue beras mentah yang cara pembuatannya cukup dengan dimasukkan ke kepalan tangan lalu mengggemgamnya erat-erat untuk membentuk cetakan


ILHAM SEHAT | MATA SEHAT

http://healthierfoodscom.c.presscdn.com/wp-content/uploads/2013/09/healthy-vision.jpg

20


YUK, MILIKI MATA SEHAT IDAMAN

M

ata merupakan organ pada tubuh kita yang sangat berharga. Denga memiliki mata yang sehat, maka kita dapat melihat keindahan dunia beserta isinya. Untuk itulah, kita harus ­menjaga dan merawat ­kesehatan mata agar tidak mengalami ­berbagai penyakit atau masalah kesehatan lainnya seperti rabun jauh, presbiopi, miopi maupun hipermetropi. Banyak sekali penyakit mata yang mungkin tidak asing di telinga kita seperti miopi atau rabun jauh, ­presbiopi atau tidak dapat melihat benda yang berjarak jauh maupun dekat, katarak, hipermetropi atau rabun dekat, maupun buta warna yang tidak dapat membedakan aneka warna. Berbagai penyebab penyakit ­tersebut dapat menimpa mata anda. ­Seperti miopi yang banyak menimpa ­kalangan pelajar dan mereka yang sangat hobi dalam membaca buku. Untuk lebih memahami dan mengerti cara menjaga kesehatan mata yang benar. Berikut ini beberapa tips mudah menjaga kesehatan mata anda : Perhatikan Jarak Membaca Buku. ­Usahakan membaca buku pada jarak yang ideal. Jarak ideal yang dimaksud yaitu membaca buku pada jarak 30 cm dari buku ke mata. Hal ini untuk mencegah penyakit mata seperti miopi atau rabun dekat. Jangan Sambil Tiduran. Usahakan tidak membaca buku atau

21

teks apapun dalam kondisi sambil tiduran. Ini juga dapat membuat ­kesehatan mata ­terganggu seperti dapat terkena miopi. Pencahayaan Yang Cukup. Jangan menggunakan penerangan terlalu redup ketika belajar atau ­membaca apapun itu, karena ­penerangan yang kurang dapat ­menganggu kesehatan mata. Istirahatkan Mata. Usahakan ­mengistirahatkan mata, ketika sudah terlalu lama di depan layar komputer atau laptop saat ­mengerjakan tugas atau aktivitas apapun di komputer atau laptop. Ini juga sangat penting untuk menjaga kesehatan mata anda. Jangan Kucek Mata. Usahakan tidak mengucek mata, ­ketika tangan dalam keadaan ­kotor atau habis memegang sesuatu benda. Karena tangan yang kotor dapat menginfeksi organ mata yang akan berakibat sangat buruk untuk ­kesehatan mata anda. Kedipkan Mata. Usahakan mengedipkan mata dengan intensitas agak ditambah, pada saat fokus melihat sesuatu terlalu lama seperti komputer ataupun laptop. Makanan Untuk Mata. Usahakan memakan makanan yang sangat baik untuk kesehatan mata. Dalam hal ini, wortel merupakan jenis makanan yang paling baik ­untuk kesehatan mata, karena banyak ­mengandung vitamin A yang sangat baik untuk kesehatan mata.


22


LAPO AKSARA

MENGHALAU SINGA

S

inga. Bagi para penikmat Safari di Afrika adalah ­lumrah mendapati karnivora ganas ini. Umumnya tim penjelajah ­tersebut mengitari alam terbuka ­tersebut dengan ­menaiki mobil jip. K ­ eberadaan di atas ­kendaraan inilah yang membuat mereka tidak diterkam langsung oleh singa. Mengapa?

Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News

Dalam sudut pandang singa, insan pelintas alam dan mobil tersebut tampak sebagai satu badan. Tidak terpisah, sebagaimana manusia melihatnya. Namun, jika satu atau beberapa penikmat Safari turun dari mobil; maka singa melihatnya telah terpisah dari benda besi padat itu. Hewan itupun lalu tergerak untuk memangsa. Demikian ­Presiden Direktur Transjakarta, Steve ­Kosasih -- dalam satu terbitan Harian ­Kompas -- menuliskan pengalaman sahabatnya. Kisah tentang pandangan singa mengenai kesatuan mobil dengan turis Safari, menyiratkan ilham terkait kesatuan. Inspirasi ini bukan ihwal yang asing. Sedari kanakkanak dahulu, kita telah ­memahami benda lemah seperti lidi akan kuat bila disatukan dengan jumlah ­banyak. Bukankah pemahaman itu pula yang menyulut semangat bapak bangsa kita dahulu dalam melawan penjajah?

Image Source: http://hdwallpapersfit.com/wp-content/ uploads/2015/02/africanlion-hd-wallpapers.jpg

Rasa kesatuan uniknya tidak hanya dilatari kesamaan. Ia justru kokoh tatkala dirundung tekanan. Semakin hebat tekanan tersebut, semangat kesatuan itu pun kian bergelora. Ini

23

29

bisa kita dapati dalam pengalaman tengah terancam, sebagaimana menghadapi singa di atas. Ataupun tatkala bencana (alam) menerpa. Tidak sedikit insan yang ­turut ­berduka saat mengetahui para ­saudaranya tengah menghadapi bencana. Wujud kesatuan dan kepedulian tersebut bisa beragam. Baik memberi bantuan materiil, sumbangsih tenaga, atau ­bahkan berupa doa yang tulus untuk ­kebaikan para korban tersebut. Dalam kisah Alkitab, kita dapat ­meneladani semangat ­kesatuan para Jemaat Perdana yang ­dikungkung kekuasaan Kaisar Nero, kala itu. Walaupun menghadapi siksaan berat, gelombang jumlah Jemaat Perdana justru bertambah. Pedang, terkaman hewan buas dan api, bukan menghancurkan, justru menginspirasi lebih banyak orang pada masa itu untuk semakin yakin pada Gereja. Bagaikan emas, kesatuan mestinya menjadi nilai kehidupan mulia yang ingin ditempa terus-menerus. ­Tantangannya ialah wajah zaman yang diisi keegoisan, hidup nyaman, dan pola fikir dapat hidup tanpa ­insan lain, juga tanpa rasa takluk pada Allah Yang Maha Kuasa. Anti-tesis dari wajah zaman ini lah yang menjadi penyulut ­semangat dan kesatuan para Jemaat ­Perdana. Demikian juga hendaknya terus diwariskan pada kita untuk ­menghalau ‘singa-singa’ pemangsa kesatuan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.