Lentera news edisi april 2014

Page 1



tajuk redaksi SAUDARA/ I PEMBACA TERKASIH, Bila kita takzim membaca surat kabar ataupun memirsa televisi hari ini, kiranya wajar saja melahirkan rasa amat cemas. Bahkan di pagi sebelum beranjak menyentuh pekerjaan, gejolak sosial, misalkan: kriminalitas, korupsi, kerusuhan ataupun memburuknya keadaan lingkungan, saban mengisi ruang perhatian kita. Wajar bila seorang futuris seperti Richard Watson membuat ramalannya sendiri tentang kehidupan kita di masa 50 tahun mendatang. Terutama dalam bukunya “The Next 50 Years” menyorot rendahnya hasrat berinteraksi dengan sesama. Di masa tersebut, tak ada yang mengetahui apakah saya telah almarhum atau tengah sekarat. Watson mengutip satu kisah nyata sebagai pembuka buku bagus tersebut. Segera saja kita hendak menunjuk jari untuk sekedar mencari ‘kambing hitam’. Kita menuding teknologi Internet terlalu banyak disusupi konten dan konteks asusila. Dan sama gigihnya menyalahkan birokrasi dengan menjabar setiap kelemahannya. Contoh paling dekat, mungkin tindak pemadaman arus listrik oleh PLN belakangan ini. Berada di posisi tersebut adalah ihwal wajar. Namun, terlalu lama sepertinya lebih buruk. Semestinya sikap kritisi tersebut dibuntuti serangkaian tindak antisipasi. Kita bisa belajar dari etos dan kegigihan Jepang dalam menerapkan mitigasi bencana. Dan demikianlah Redaksi majalah online LENTERA News memilih dan menggubah sedikit tema ini: “Daripada Mengutuk Kegelapan, Lebih Baik Menyalakan Lentera”. Pater Hubertus Lidi, OSC memaparkan dengan jernih tentang ihwal ini dalam kolom Refleksi. Kegelapan dan Terang merupakan pasangan unsur yang bersisian. Kita tak mengenal terang tanpa adanya kegelapan. Demikian juga sebaliknya. Kita berada di tengah-tengah sifat oposisi biner ini. Dan perkaranya selanjutnya diserahkan pada sisi mana kita bakal lebih condong? Bila kita menekuni di sisi kegelapan, tentu ada

sisi terang yang diacuhkan. Sungguh mengena kiranya analisis Pater Herman Nainggolan, OFM Cap di kolom Sosial-Budaya menggambarkan surutnya jumlah jemaat Katolik (khususnya di lingkup Keuskupan Agung Medan). Para ‘domba-domba yang hilang’ ini bisa jadi kehilangan identitas dirinya sebagai jemaat Katolik. Disinilah pencerahan dari Albertus Hera Kwuta tentang jati diri Katolik dipaparkan jernih dalam kolom Katakese. Disamping itu, wacana Teknologi Informasi yang dipaparkan dalam edisi ini mengupas perkembangan printer. Mesin pencetak yang kerap kita berdayakan ternyata semakin cerdas. Bagaimana kecerdasan teknologi printer tersebut bakal mengubah pola hidup kita? Sila simak dalam tulisan oleh Vinsensius Sitepu. Edisi perdana ini tak lebih dari embrio gagasan untuk berbagi terang kasih Katolik pada sesama. Doa dan dukungan para pembaca yang turut mempengaruhi majalah ini menjalani aral terjal. Setidaknya ini menjadi wujud kecil tindak kami daripada mengutuki kegelapan. Karena, bila diminta memilih, tentu kami condong pada sisi terang. Salam damai,

RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Vinsensius Sitepu [Redaktur Tata Artistik], Sr. Ursula Gultom, KSSY [Keuangan] didukung MahapalaMultimedia [Konsultan Penerbitan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosialo Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 | www.majalahlentera.com | redaksi@majalahlentera.com

3


daftar isi 3

TAJUK REDAKSI

5

TELISIK Menyalakan Lentera Kehidupan Menyalakan lentera, tidak perlu tindakan berbelit-belit, mudah dikerjakan. Penting adalah kerelaan dan kemauan untuk datang, mendekat dan menyalahkan. Begitu dinyalakan sekejap saja gelap gulita, hengkang, menciut alias lari terbirit-birit.

6

SOSIAL BUDAYA Quo Vadis Umat Paroki St. Antonius dari Padua Hayam Wuruk Medan?

7

KABAR BAIK :: Wah, Kantongan Plastik Bisa Jadi BBM :: Sering Lambaikan Tangan, Seorang Nenek Disanjung Pelajar

8

EMBUN KATEKESE Mengapa Orang Katolik Mengawali dan Mengakhiri Doa Dengan Tanda Salib?

9

FIGUR Parlindungan Purba, SH, MM Senator Wakil Rakyat Sumut

10

WACANA TI Masa Depan Teknologi DTG

11 SASTRA Aku dan Pohon Itu 13 LAPO AKSARA Metamorfosis Retret

Dengan membuat tanda salib tubuh kita dimeteraikan dan di足 sucikan oleh Allah. Dalam segala kegiatan kita: sewaktu kita tidur, kita belajar, kita bekerja, kita melakukan pelayanan, kita makan, kita susah, kita senang, kita tertawa, kita menangis. Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melak kan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa.

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS

DENGAN DOA DAN DANA

4

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT

KIRIMKAN DONASI ANDA KE NOMOR REKENING BERIKUT INI:

Bank Rakyat Indonesia Rek.No. 0336-01-068622-50-6 a.n. Hubertus Agustus Lidy Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

/LENTERA-NEWS


telisik

MENYALAKAN

LENTERA KEHIDUPAN

RP HUBERTUS LIDI, OSC hubertuslidiosc@gmail.com

“DASAR PENIPU, KURANG NGAJAR, SETAN ALAS. Ini ­akibat ulah mereka, kita tinggal dalam gelapgulita. Sangat berbahaya karena sisi kiri kanan masih hutan. Dasar kita mesti hajar petugasnya,” kata-kata umpatan dan sumpah - serapah malam itu, berhamburan keluar dari ­ mulut sekelompok transmigran . Malam itu merupakan malam pertama, bagi kelompok perantau, ­menginap di lokasi pemukiman. Mereka datang dari daerah seberang. Rumah bagi para transmigran itu kecil, sangat sederhana, dan bangunannya asal - asalan. Dindingnya dari kayu kelas murahan, lantainya semen seadanya dan atapnya dari lembaran seng murahan. Itu semua tidak menjadi masalah, karena mereka sudah biasa hidup miskin dan sederhana. Pasal terjadi keributan pada malam itu, karena tak ada penerangan. Tak ada lampu pelita, lilin. Gelap mencekam menyelimuti daerah satuan pemukiman itu. Para bapak berkumpul di luar rumah sambil menyalakan api unggun dan para ibu dan anak-anak tak berani jauh dari jangkauan para suami. Mereka takut berada dalam rumah karena gelap. Sambil berdiang, melingkari api ungun itu, salah seorang bapak angkat bicara, “Ya bagaimanapun, besok siang kita meski mengupayakan agar ada lampu ­minyak sebagai penerangan malam hari dalam rumah kita masing-masing.” “Benar, saya usul masing-masing kita mengumpulkan uang ala kadarnya untuk membeli lentera saja!,” usul seorang warga, pak Thomas. “Ya saya setuju! Dari pada kita mengerutu dan menuding ­kegelapan lebih baik mari kita nyalakan lentera.” Pada malam berikutnya, nampak lah berkas berkas cahaya dari rumah para transmigran itu. Indah, adem, syahdu, bak gumpalan emas yang ­bertaburan dalam lautan hitam. Sepenggal kisah pengalaman nyata dari kelompok transmigran yang datang dari pulau Jawa ke Papua sekitar tahun 1985 silam, boleh menjadi sarana refleksi bagi kita semua. Bagaimanapun mengupayakan terang lebih bermanfaat dari pada mengerutu dan menuding serta mengutuk biang kegelapan itu. Kegelapan hanya bisa dilakalahkan dengan terang, bukan dengan kata-kata kotor. Sisi lain sumber terang (lentera) mereka menjaga dan merawatnya, agar sarana itu tetap memberikan terang yang mekasimal dan berkualitas. Lentera bagi masyarakat pedesaan yang belum dirambah listrik, mempunyai nilai yang sangat

berarti. Antik, kualitas terangnya lumayan bagi para penghuni rumah. Cahayanya terlindung dari tiupan angin. Terangnya adem, ruangan menjadi cerah dan romantik. Tak silau menusuk mata. Kualitasnya akan tetap bagus kalau setiap sore sang pemilik membersihkan dan mengisi minyak tanah secukupnya. Gampang dan aman untuk dibawa para penjalan kaki di kampung. Ringan dan radius bersitan sinaranya cukup untuk menerang jalan. Bagi penjalan kaki, terbebaskan dari antukan batu, gigitan ular dan serangga-serangga malam lainnya Menyalakan lentera, tidak perlu tindakan berbelit-belit, mudah dikerjakan. Penting adalah kerelaan dan kemauan untuk datang, mendekat dan menyalahkan. Begitu dinyalakan sekejap saja gelap gulita, hengkang, menciut alias lari terbirit-birit. Pada saat yang sama dalam radius cahayanya, siapa saja ­tersingkaplah wajah-wajah yang bernaung. Tak pandang dia tua - muda, kaya - miskin, laki - perumpuan bahkan banci. Tak peduli status sosial dan agamanya. Tak mengurang sedikitpun derajat sosialnya. Adalah nasehat para tramsmigran itu, lebih baik mari kita bicarakan, bagaimana menyalahkan lentera, mengusir gelap dan menjauhkan kunjungan-kunjungan binatang - binatang berbisa dan buas. Biarlah yang buas dan berbisa itu tahu bahwa rumah itu bukan rumah mereka, walaupun ada dalam kawasan hutan belantarawilayah kekkuasaannya. Konon katanya, mata hewan-hewan di hutan tak biasa dengan cahaya malam, jadi kalau mereka melihat cahaya pada malam hari mereka menjauh. Ajakan mari menyalahkan lentera adalah bijaksana jitu. Biarlah buas, racun, rakus, sembrono lari dari kita. Kita menjadi adem, nyaman dan romantis. Gelap selalu mengitari kita, persoalanpersoalan hidup sering membuat kita frustasi, marah, saling menuding dan mengejek. Suasana begitu membuat kita saling menyalahkan, mengumpat, bahkan adu jotos, yang berujung pada hancurnya persaudaran dan kebersamaan kita. Retak, kita menjadi orang-orang yang terpecah-pecah dan terpetak-petakan. Tentu anda dan saya tidak ingin kalau situasi gelap inilah yang mengitar kita. Kita menginginkan suasana adem.nyaman, indah. Hidup ini indah? Dari pada menuding orang yang ‘hidup’ dalam suasana gelap lebih baik kita membantu menyalakan lentera kehidupan.

5


sosial budaya 6 5

QUO VADIS UMAT PAROKI ST. ANTONIUS DARI PADUA HAYAM WURUK, MEDAN?

RP. HERMAN NAINGGOLAN, OFM Cap togarnai@hotmail.com

TULISAN INI SEJATINYA HASIL RISET PADA Seminar: “MEMAHAMI KEADAAN PAROKI ST. ANTONIUS DARI PADUA HAYAM WURUK SAAT INI DAN MENGAMBIL LANGKAH UNTUK PENGEMBANGANNYA. “ Dimana seminar tersebut diadakan dalam perayaan Pesta Pelindung Paroki St. Antonius dari Padua - Hayam Wuruk, Medan (15 Juni 2013). Ilham penelitian ini sendiri guna meneliti langsung berapa besar antusias umat Katolik di Paroki St. Antonius dari Padua - Hayam Wuruk menghadiri ibadah. Baik di gereja dan ­lingkungan. Hingga berujung pada pertanyaan lanjut: Upaya apa yang harus dilakukan agar umat sekarang berpaling ke keyakinan lain. Agar memperoleh pemahaman yang tepat, perlu ada data-data yang tepat untuk memberi gambaran bagaimana keadaan paroki ini. Data diperoleh dengan membuat penelitian sederhana. Berikut ini adalah hasil dari penelitian itu, yang kiranya dapat dipelajari bersama dan ditindaklanjuti untuk membuat rencana pengembangan paroki yang lebih pas. Latar Belakang Data statistik umat Paroki St. Antonius dari Padua Hayam Wuruk Medan per 31 Desember 2012 adalah sebagai berikut. • Stasi St. Antonius Jl. Hayam Wuruk = 798 KK= 2816 jiwa • Stasi St. Joseph Jl. Dr. Mansur = 174 KK = 629 jiwa • Stasi St. Maria Pintu Surga Sei Agul = 213 KK = 939 jiwa • Stasi St. Fransiskus Xaverius Sunggal = 182 KK = 802 jiwa

Padua terletak di antara pusat dan pinggiran kota Medan, antara Paroki Katedral dan Paroki Padre Pio. Menurut data statistik penduduk kota Medan pada tahun 2010 berjumlah sekitar 2.109.339 jiwa (BPS 2010), di mana sebagian dari antaranya adalah umat Paroki St. Antonius dari Padua. Umat paroki ini tersebar di tengah masyarakat dengan agama, suku, dan budaya yang berbeda. Umat itu sendiri terdiri dari berbagai suku dan budaya mereka masing-masing. Mereka hidup berdampingan dan relatif aman. Posisi diantara ini mengatakan beberapa hal tentang Paroki St. Antonius dari Padua. Pertama, umat di paroki ini adalah percampuran antara mereka yang sudah mampan status sosialnya dan mereka yang masih berjuang. Artinya semakin dekat ke pusat kota semakin mapan status sosialnya. Hal ini dapat kita bedakan antara umat Sunggal dengan umat Hayam Wuruk. Kedua, kesibukan orang pada posisi ­geografis ini adalah kesibukan orang yang b ­ ekerja keras untuk menggapai status sosial yang lebih baik. Mereka berusaha keras untuk masuk pada status yang mapan. Dalam situasi umat yang demikian itulah, Paroki St. Antonius dari Padua berkewajiban untuk memelihara keselamatan jiwa-jiwa umatnya. Maka dalam rangka pengembangan pastoral yang semakin berdaya guna, dalam arti efisien dan efektif, perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan pastoral di masa lalu dan merencanakan lebih baik program penggembalaan di masa yang akan datang. Untuk itu dibuat sebuah penelitian lapangan untuk mengukur bagaimana keadaan Paroki St. Antonius dari Padua Hayam Wuruik saat ini.

Jumlah 1.367 KK = 5.186 jiwa Secara geografis, Paroki St. Antonius dari

BERSAMBUNG KE EDISI BERIKUTNYA


kabar baik

WAH, KANTONGAN PLASTIK

BISA JADI BBM TEMUAN KELOMPOK PENELITI DI UNIVERSITAS Illinois mengubah pola fikir bagaimana menangani sampah kantongan plastik. Limbah yang menjengkelkan ini ternyata bisa diolah menjadi bahan bakar kendaraan bermotor. Tidak hanya menjadi solar, sampah kantongan plastik ternyata bisa juga diolah menjadi gas alam dan jenis bahan bakar berguna lainnya, jelas kepala penelitian Brajendra Kumar Sharma. Menurut tim peneliti yang tergabung dalam Illinois Sustainable Technology Center (ISTC), proses pengolahan yang disebut pyrolysis ini menggunakan teknologi bilik kedap udara untuk memanaskan kantongan plastik tersebut. “Bahkan proses penyulingan minyak

mentah saja hanya menghasilkan 50 hingga 55 persen untuk dijadikan bahan bakar,” kata Sharma. “Sementara penyulingan kantongan plastik, yang memang diproduksi dari material minyak, bisa menghasilkan 80 persen bahan bakar.” Di AS sendiri, hanya sekira 13 persen limbah kantongan plastik yang dapat di daur ulang. Sementara sisanya terserak di dataran, melayang di angkasa hingga bertebaran di area perairan negeri Paman Saman tersebut. Para peneliti cerdas ini sebelumnya mampu menghasilkan 30 persen bahan bakar solar dari sampah kantongan plastik. “Dan hasil penyulingan tersebut dapat dicampur dengan bahan bakar biodiesel,” imbuh Sharma. [GOOD NEWS NETWORK]

SERING LAMBAIKAN TANGAN, SEORANG NENEK DISANJUNG PELAJAR DITAKDIRKAN LUMPUH DAN HARUS DUDUK di sisa hidupnya, tak mematikan semangat berbagi kasih seorang nenek di Comax, Inggris Raya. Tinney Davidson punya cara unik memotivasi insan di sekitarnya. Si nenek kerap melambaikan tangan diiring seulas senyum bahagia kepada para pelajar yang melintasi rumahnya. Motivasi tulus Tinney selama bertahuntahun diganjar kejutan menarik dari para pelajar remaja yang pernah dan masih sering berpapasan di halaman rumahnya. Pada

hari Valentin lalu, Tinney dijamu dalam pesta meriah di satu sekolah, untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas ketulusan sang nenek. “Saya hanya senang memperhatikan para anak-anak in,” kata Tinney. Tinney mulai menjalani kegiatan ini semenjak tahun 2007. Awalnya Tinney melambai-lambaikan tangan ini didampingi suaminya. “Aku sungguh bahagia melakukannya,” ujarnya. “Dan, sepertinya para pelajar ini juga menyukai (interaksi kami) juga.”

7


embun katakese

Mengapa Orang Katolik Mengawali dan Mengakhiri Doa Dengan Tanda Salib?

ALBERTUS HERA KWUTA, S.Ag albertuskwuta@gmail.com

8

Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa.

PADA ABAD KEDUA, TANDA SALIB menjadi semacam bentuk devosi kepada Allah Tritunggal Mahakudus dan dilakukan sebagai tanda identitas khusus yang menjadi rahasia di antara orang-rang Kristen perdana yang pada waktu itu melakukan ibadat secara sembunyi-sembunyi karena dikejar-kejar oleh kelompok anti Kristus. Sekarang tanda salib bukan saja menjadi salah satu bentuk devosi; tetapi lebih dari itu, tanda salib selalu mengawali dan mengakhiri doa kita. Dengan membuat tanda salib tubuh kita dimeteraikan dan disucikan oleh Allah. Dalam segala kegiatan kita: sewaktu kita tidur, kita belajar, kita bekerja, kita melakukan pelayanan, kita makan, kita susah, kita senang, kita tertawa, kita menangis. Jika kita membuat tanda salib itu berarti kita mengundang Allah Tritunggal untuk menjaga, melindungi kita sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa. Sekaligus tanda salib itu menjadi ungkapan permohonan kita agar mendapat berkat dan rahmat-Nya. Tanda salib sekarang menjadi tanda kebanggaan dan identitas utama kita, ketika kita harus melakukannya di tempat publik yang nota bene tidak semuanya memahami identitas yang sangat khas Katholik. Tanda salib merupakan suatu rangkaian doa yang walaupun singkat tetapi sangat padat dan dalam maknanya. Berikut ini penjelasan dari masing-masing bagian tanda salib. “DEMI NAMA BAPA” Hal ini menandakan bahwa Allah

Bapa merencanakan, menciptakan dan menyelenggarakan segala sesuatunya. Otak adalah pusat segalanya. Otak tempat kita berpikir, tempat kita merencanakan. Bapa merencanakan Putra-Nya untuk datang ke dunia sebagai Penyelamat yang menyelamatkan umat manusia. Dan Bapalah yang menyelenggarakan segala karya dan hidup Yesus. Oleh karena itu kita melanjutkan dengan: “DAN PUTRA” Di sini sering terjadi kesalahan karena banyak yang melakukan di dada. Yang benar adalah di pusar, karena tali pusar adalah tali kehidupan, tali yang menyambung antara ibu dan anak, di sinilah janin mendapat makan dan mendapat curahan kehidupan. Dan Yesus lahir sebagai manusia untuk menyelamatkan manusia dan karya-Nya itu dimulai dari sejak kita masih berupa janin. Kita semua tahu bahwa Yesus kemudian harus meninggalkan dunia untuk kembali kepada Bapa-Nya. “DAN ROH KUDUS” Bapa sangat mencintai kita dan terus berusaha menyelenggarakan hidup kita sebaik-baiknya, maka Bapa mengirim Roh Kudus-Nya agar tetap mendampingi, melindungi, dan menjaga kita, sehingga kita akan senantiasa mengundang dan menghadirkan Allah Tritunggal kita dalam setiap kehidupan, untuk senantiasa menjagai kita sampai kedatangan Allah Putra kembali.


figur Parlindungan Purba, SH, MM.

Senator Wakil Rakyat Sumut

SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD, SOSOKNYA AKRAB DIKENAL PEMERHATI DAN PENCARI SOLUSI ATAS PROBLEMA MASYARAKAT. PARLINDUNGAN PURBA, SANG SENATOR, SEOLAH ADA HAMPIR PADA SETIAP MASALAH DI SUMUT. SEPERTI HARGA SEMEN YANG MELAMBUNG, PUNGUTAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL, KELANGKAAN PUPUK, BOCORNYA UJIAN NASIONAL, KRISIS LISTRIK, KRISIS GAS, ASURANSI KESEHATAN ORANG MISKIN, KONFLIK TANAH, HINGGA MEMBANTU WARGA YANG TERUSIR KARENA PEMBANGUNAN BANDARA KUALA NAMU. Cukup menelepon dirinya, menyerahkan buktibukti, ia akan meluncur. ”Sebagai anggota DPD saja saya menghadapi hambatan untuk menegakkan kebenaran, apalagi rakyat kecil yang tidak diadvokasi. Di situlah saya meletakkan diri saya, dengan seoptimal mungkin terlibat dan bermanfaat bagi orang lain,” tutur Parlindungan. Namun, ia tak mau terlibat dalam masalah korupsi. ”Itu tugas polisi,” jawabnya. Setiap hari Kamis ia sudah berada di Medan. Senin pagi ia bertolak ke Jakarta. Lain dengan kebiasaan sebagian anggota DPD yang dua bulan di Jakarta dan satu bulan di daerah. Untuk perjalanan itu ia keluarkan dana dari kocek sendiri. Ia merasa apa yang dia lakukan itu sudah sewajarnya dan memang tugas wakil rakyat demikian. ”Saya berusaha sebaik mungkin, hasilnya bukan urusan saya,” ujarnya. Para wakil rakyat yang lain pun ia yakini punya semangat untuk memperjuangkan nasib rakyat, meski sebagian masih berupa potensi, belum implementasi. Sebab, katanya, sebagai wakil rakyat, selain paham hukum, tata negara, dan perundangundangan, juga harus turun ke lapangan. Meskipun cita-cita masa kecilnya menjadi diplomat, ia masih harus belajar diplomasi untuk tidak emosional. Parlin lebih ingin menjadi motivator. Selama menjadi anggota DPD ia melihat rakyat butuh keteladanan. PNS bekerja malas-malasan, sementara pekerja swasta saat pertengahan bulan sudah berpikir gaji habis. ”Tak usah jauh-jauh, untuk mengajak orang membersihkan parit saja kini sangat sulit,” tuturnya.

9

Banyak orang yang sudah kehilangan idealisme. Mereka merasa tak bisa menjadi diri sendiri. Namun, selalu masih ada harapan untuk memperbaiki semuanya menjadi lebih baik, seperti ditunjukkan Parlindungan. Dalam kalangan Gereja Katolik, Parlindungan telah menanamkan benar semangat bonum commune sebagai inspirasi. Baik dalam organisasi maupun dalam karya kepedulian Gereja Katolik terhadap sesama. Petuah Mgr. Albertus Soegijapranata pun menjadi kutipan favoritnya: “100% Katolik, 100% Indonesia. Berkarya untuk Gereja dan Bangsa untuk melakukan Bonum Commune.” Telah genap lima tahun Parlindungan Purba mengemban amanah dari sosok Pemuda Pelopor Nasional (penghargaan yang ia terima pada tahun 1994) hingga kini menjadi Senator Kebanggan Sumut. Namun, baginya terobosan dan tindakan yang diperbuat masih belum cukup. Demi kebangkitan Sumut, dan kebangkitan Indonesia.


wacana TI

Masa Depan Teknologi DTG VINSENSIUS SITEPU be_web2001@yahoo.com

10

Selain memangkas ongkos produksi hingga 90 persen, pesanan dari pelanggan bisa dikerjakan dalam bilangan satuan.

BERKAT PENEMUAN REVOLUSIONER di bidang digitalisasi produk memungkinkan kita memotong beberapa tahap menuju hasil akhir. Contoh terbaik selain internet adalah sistem cetak digital atau kini lazim disebut digital printing. Teknologi ini diprediksi akan menggantikan teknologi half-digital machine atau robotik yang biaya produksinya terlalu tinggi. Karena ruang lingkup digital printing yang semakin luas, maka tidak dapat menggolongkan istilah ini pada hanya cetak media massa, seperti koran ataupun buku. Digital printing kini sudah merambah ke medium komunikasi popular lainnya seperti garmen, seperti kaos ataupun handuk yang berbahan katun. Dalam kasus yang satu ini teknologi digital memungkinkan gambar rancangan yang masih dalam bentuk berkas di komputer dapat langsung dipindahkan ke medium hasil akhir dengan menggunakan printer khusus yang kini lazim disebut direct to garment (DTG) printer dengan inkjet system. Ini berbeda dengan teknik sablon tradisional yang harus melewati tahap pemisahan warna, pembuatan screen, dan pencampuran warna. Keuntungannya banyak sekali. Selain memangkas ongkos produksi hingga 90 persen, pesanan dari pelanggan bisa dikerjakan dalam bilangan satuan. Ini berbeda dengan sablon tradisional yang mengharuskan memesan minimal 1 lusin kaos. Bagi pelanggan ini juga menjadi kelebihan, karena bisa mendapatkan kaos yang eksklusif sesuai dengan keinginan. Namun demikian tentu banyak pertanyaan, khususnya tentang kualitas. Banyak yang meyakini sablon manual dengan tinta rubber yang dikerjakan secara manual lebih tahan lama dibandingkan dengan teknik digital ini. Tetapi seiring dengan kemajuan inovasi tinta, seperti dye ink dan solvent, daya tahan hasil olahan sistem digital mulai meningkat menyamai. Permintaan kaos dengan teknik ini juga hampir menyamai teknik manual, utamanya bagi kaum muda yang sangat gemar berganti-ganti kaos. Sebelumnya sablon digital lazim

menggunakan transfer paper. Di atas kertas khusus ini gambar dicetak dengan printer biasa, lalu dipindahkan ke atas kaos dengan proses pemanasan. Biasanya menggunakan setrika. Printer DTG yang menjadi “aktor utama� teknik ini menjadi incaran para pendulang uang pembuat kaos. Merek-merek handal seperti DTGDigital (Australia), SummitDTG (Amerika Serikat), dan Kornit (Amerika Serikat), IEHIC (Hongkong) Epson (Amerika Serikat), Mimaki (Jepang), Brother (Amerika Serikat), dan Anajet (Inggris) adalah beberapa di antaranya yang terkenal. Merek-merek China seperti Sanyi juga tidak ketinggalan dengan daya tarik harganya yang miring. Saking populernya teknik DTG ini, beberapa vendor lokal Indonesia berinovasi membuat printer DTG sendiri. Merek Hobby Jet atau Magnus Jet di Jakarta misalnya bereksperimen dengan memodifikasi printer biasa menjadi printer DTG. Aspek penting di sini adalah mekanisme kepala catridge tinta dan kualitas tinta yang diimpor langsung dari luar negeri. Dari aspek harga printer DTG sangat bervariasi. Satu merek terkenal buatan Australia membanderol produknya hampir setengah miliar rupiah. Demikian juga merek dari Inggris dan Jerman. Sedangkan buatan lokal Indonesia ada yang berani menjual antara Rp. 4 juta-Rp. 40 juta. Harga ini bergantung pada fitur produk, kualitas hasil akhir dan purnajualnya. Ada pula yang menjual dengan sistem paket, seperti kaos, tinta cadangan, ketersediaan sukucadang, dan pelatihan bagi pembeli.


sastra

Aku dan Pohon Itu

Ananta Bangun

11 AKU DAN POHON ITU, SEOL AH MEMILIKI keterikatan. Yang seringkali tak biasa. Aku mengenal pohon itu. Dan dia, entahlah, sangat mungkin juga mengenaliku. Dalam hening dan teduh sikapnya. “Kamu lahir tepat di sisi pohon ini,” sebut Ibu satu waktu. “Hanya pohon ini dan ibu menyambut kehadiranmu ke perut bumi.” Setelah kepergian ibu, hanya kami berdua. Ya, hanya berdua tampak hidup di jagat raya ini. Mengesampingkan milyaran mahluk lainnya. Belum termasuk benda mati menyesakkan nafas hubungan kami. Seperti aspal yang kini menindih kaki pohon itu. Para lelaki berjas dan dasi pernah mengatai kami gila. “Maksudku kamu. Yang gila itu kamu. Pohon ini toh tak punya otak,” satu lelaki paling tua dari mereka coba membenarkan makiannya. Seorang wanita cantik yang membuntuti mereka, terlihat sesak. Ia mengambil sapu tangan sutra, bersin-bersin diselingi suara cairan keluar dari hidungnya. Selampai itu pun dilepas sekenanya dekat kami. “Kami hendak menebang ini pohon, pak!” sahut salah seorang lelaki lain. Entah kenapa baru berkata usai si wanita buang kotoran hidungnya. Sepintas saja kutanggapi: “Aku dan pohon ini hidup bersama. Seperti keterikatan.” “Sudahlah, Anto. Buat apa lah kau hidup seperti ini.

Seperti orang .... yang kurang perhatian saja,” satu suara baru lagi. Aku melirik cepat. Dia seperti mengenaliku. “Kau mau bilang ‘gila’ juga tak mengapa. Semenjak kecil, aku dan ibuku sering dikatai demikian,” kataku. “Kalian semua, apakah belum puas dengan menindih rumah kami dengan beton-beton padat dan kotak-kotak beroda.” “Lindas saja kami berdua dengan roda baja milik kalian. Kehidupan kami memang aneh, tapi tak mati.” Mereka pun melenguh pergi karena terik matahari lebih hebat, menandakan tengah hari. Aku pun belingsatan menahan gerah cuaca. Namun, seperti biasa, aku balik menikmati pendar larik surya menjelang senja. Tatkala pohon itu tak gundul seperti kini, aku bisa bermain jarum cahaya yang menembus dedaunan miliknya. Pun, seusai hujan, aku menciptakan pelangi-pelangi kecil saat sisa bulir-bulir air tersipu dicumbu surya. Aku dan pohon itu termangu lagi di penghujung senja. Gemerlap malam. Bintang. Dan sedikit sapuan angin sisa hari. Aku coba semakin mengenali pohon itu. Sepertinya kami pun mulai memiliki kesamaan, berkulit keriput. Perlahan bayangan tentang Ibu memangku tubuhku saat terjatuh dari dahan pohon itu, muncul. Melesat. Dan muncul kembali. “Pohon ini dan kita memi-


liki keterikatan. Tak apa jika kamu menangis, karena ia akan menangkupnya lagi dalam akarnya. Dan, lihatlah, ia memberi kita buahnya.” “Tapi, Ibu. Aku jatuh dan terluka. Apakah pohon ini mengerti?” “Dia mengerti dengan caranya. Dengan jalannya.” “Pohon ini hanya diam sepanjang hidupnya. Bagaimana dia mengerti?” “Bagaimana jika pohon ini yang menanyakan itu padamu?” “Maksud, Ibu?” aku mengerling heran. “Kamu tidur dalam pangkuan dahannya. Menyesap segarnya buah yang kita petik. Udara bersih yang kita hirup,” kata Ibu. “Pernahkah kamu mengatakan terima kasih pada pohon ini? Pernahkah kamu dengan sungguh menatap dan mendengarnya?” kata Ibu. Tetap saja hingga kini aku masih belum mengerti. Bukan aku tidak pernah melakukan itu. Namun, pohon itu hanya diam. Dalam benakku, ia hanya ingin memberi. Mendengarkan. Menopang punggungku yang terhenyak di antara juluran akar besar dan tubuhnya. Sepertinya ia

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT

12

ada untuk aku. Sebaliknya, aku tak merasa lahir untuk dia. Aku sungguh tak berdaya bila ingin menandingi pemberiannya. Ibu mungkin juga benar. Aku tak memahami pohon itu. Mendengarkan pohon itu. Tidak dengan daun telinga, tetapi kebersamaan seperti ini. Bagaimana jika aku dan para pria dan wanita tadi duduk bersisian dengan pohon itu. Hening saja. Dan bila sungguh-sungguh berani, melangkahkan praduga ke masa depan. Saat-saat dimana pohon itu lah yang terakhir hidup, dan tak lama lagi menyusul pohon-pohon lainnya menjadi penyangga bangunan-bangunan milik manusia. Juga saat-saat sungai terakhir pun mengering. Mungkin di saat itulah kami mulai menyadari lembaran atau kepingan uang tak bisa dimakan. Aih. Jiwaku teduh sekali pada dini hari. Telah kutemukan sedikit jawaban atas pencarian selama ini. Aku pun lunglai. Sekarat. Biarlah aku rebah dan mati tanpa melihat matahari lagi. Menyusul Ibu. Meninggalkan napaktilas hidup yang tak bisa mereka mengerti. Hubungan kami yang tak masuk akal mereka. Tentang aku dan pohon itu.


lapo aksara

Metamorfosis Retret ANANTA BANGUN anantabangun@gmail.com

Seperti metamorfosis kupu-kupu itu, keduanya mewariskan pesan yang akan terus kita pergulatkan dalam pertanyaan: “Mampukah saya melakukan (pengampunan) itu?”

ILHAM TULISAN INI BERMULA DI VICTOR Verster, Afrika Selatan. Tepatnya pada 11 Februari 1990. Nelson Mandela beranjak keluar dari komplek penjara tersebut. Ia menghirup udara kebebasan untuk kali pertama setelah dikurung selama 27 tahun. Tokoh anti apartheid ini melegenda dengan mewariskan pengampunan kepada penghukumnya. Penjara mengubah pemikirannya tentang memperjuangkan kebebasan. Jiwa mudanya dahulu bagai singa yang senang mengandalkan kekerasan, pada akhirnya ditentramkan jeruji besi. Sebagaimana ia sampaikan dalam kata bijaknya sendiri: “Saat saya melangkah keluar melalui pintu penjara menuju kebebasan saya, saya tahu bahwa jika saya tidak meninggalkan semua kemarahan, kebencian dan kepahitan itu di penjara ini, maka sama saja saya masih tetap dalam penjara!” Di belahan dunia dan waktu berbeda. Tepatnya hampir berdekatan dengan kita, nama Ade Sara muncul dalam perhatian karena ia dibunuh teman-teman dekatnya sendiri. Peristiwa ini, sebaliknya, memunculkan takjub haru. Yakni tatkala ibu kandung Ade, Elizabeth Diana, memaafkan kedua pembunuh putri semata wayangnya. Lebih dari itu, ia juga memohon maaf atas kekhilafan Ade di masa lalu yang mungkin melukai mereka. Pengampunan sepertinya menjadi benang merah dari peristiwa nadir yang dialami kedua sosok ini. Dan kita pun tenggelam dalam penghayatan sirat maknanya sebab bertepatan pula masa Prapaskah. Sebuah masa yang menjurus ke pengasingan ego untuk mencapai pencerahan jiwa. Dalam pengalaman sebagai seorang Katolik, hal ini dapat secara

sengaja dilakukan melalui retret. Karenanya, selain tema religius sebelumnya, retret kerap diingat sebagai tempat perenungan di lingkungan adem teduh untuk semedi iman. Ibu saya kerap mengisahkan metamorfosis kupu-kupu sebagai retret dalam napaktilas kehidupan. Baginya itu merupakan keajaiban. Menggapai keindahan seusai pengasingan dalam hitungan waktu lama. Kisah tersebut sedikit mencerahkan pemahaman saya tentang retret. Bahwa perenungan tak hanya berteduh iman ke lingkungan hening dan nyaman. Saya ingin juga belajar menyiratkan makna retret dari pengalaman berbeda insan lain. Mandela berhasil menumbuhkan jiwa pengampunan ini sebagai energi transisi Afrika Selatan dari kelam penjajahan. Pada sisi lain, jiwa mengampuni yang dilontarkan orang tua Ade Sara menggamit kembali sisi hati kita menatap hidup di titik nadir. Seperti metamorfosis kupu-kupu itu, keduanya mewariskan pesan yang akan terus kita pergulatkan dalam pertanyaan: “Mampukah saya ­melakukan (pengampunan) itu?” Mandela dan Ade telah berpulang. Mereka telah menjalani retret penting dalam caranya masing-masing. Adalah benar masih terdapat banyak Mandela dan Ade dalam insan-insan lain di luar sana. Tetapi satu contoh tersebut telah menjadi warisan penuh ilham. Ketika Mandela, Ade, atau bahkan tiap-tiap kita memiliki satu teladan inspiratif, maka satu bukanlah yang paling kesepian.

Medan, 12 Maret 2014

13





Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.