EDISI #16 JULI 2015
MUDIK
1
Sumber gambar: http://mungkopas.blogspot.com/
Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
daftar isi
Kunjungi kami di sini:
3
Tajuk Redaksi
4
Telisik
6
MAJALAHLENTERA.COM
/LENTERA-NEWS
16
Korupsi Kini Menjadi Mode
Opini Kepada Yang Terhormat, Calon Medan 1
19
Sastra
22
Ilham sehat
Lentera khusus
Sinta (bag. II)
Mudik ke Pohon Zaitun
24 Pollung
10 Embun katekese
Gereja & Global Warming (bag. II)
Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan E足 karisti (bag. II)
14
29 Lapo Aksara
Kapak Penebang Pohon
Rumah Joss Serangan Semut
REDAKSI RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], 足Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) 足Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | 足redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
2
TAJUK REDAKSI
Satu peristiwa besar dalam bulan ini ialah perayaan Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Tidak hanya bagi sahabat umat Muslim, Redaksi Lentera News juga tergerak menyerap inspirasi dalam momentum ini. Diantaranya ialah semangat mudik yang lazimberlangsung semenjak moyang kita dahulu.
Harapan Vinsensius untuk menemukan calon Pemimpin yang mumpuni bersih, seirama dengan keprihatinan Pemimpin Redaksi RP Hubertus Lidi, OSC. Tanpa tanggung, Romo Hubert mengupas isu korupsi di Medan dan Sumatera Utara. Isu yang kini menghangat seiring penangkapan Gubernur Sumut oleh KPK.
Redaksi Lentera News sungguh berterima kasih pada bapak Ahmad Kusaeni yang berkenan memberi sumbangsih gagasannya perihal mudik ini. Tentang bagaimana kita bisa menyelami ihwal dan semangat mudik dari kacamata eks Pemimpin Redaksi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA tersebut. Lebih dari sekedar sebuah tindak mengepak pakaian dan oleh-oleh saat hendak pulang ke kampung halaman.
Sahabat pembaca Lentera News, dalam edisi Juli 2015 ini, kami kembali mengetengahkan dua karya tulis Dian Purba. Baik dalam essay tentang permasalahan global warming, dan karya sastra-nya yang terbalut dalam cerpen berjudul ‘Sinta’. Jangan lupa sempatkan waktu melirik perenungan Bung Joss dalam artikelnya tentang serangan semut.
Berbicara tentang kampung halaman, tentu tak ada salahnya mengerjapkan pandang pada kota Medan. Tempat di mana sebagian besar awak redaksi dan para pembaca bercokol. Meskipun jarak waktu masih cukup lama, Vinsensius Sitepu telah menguak isi hatinya kepada para insan yang hendak mencalon di Pilkada Kota Medan.
Akhirul kata, kami Redaksi Lentera News juga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H bagi sahabat pembaca dan umat Muslim yang merayakannya.
Redaksi
33
TELISIK | KORUPSI
KORUPSI KINI MENJADI MODE
U RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com
ngkapan Korupsi <Perbuatannya> dan Koruptor <Pelakukannya> sudah s angat bersahabat dengan kita. Hampir setiap hari mediamedia sosial, baik cetak maupun elektronik menulis, memberitakan, dan mempertontonkannya. Bahkan korupsi itu telah menghantar koruptornya, bak selebritis. Ia dinanti dan dikerumuni oleh para kuli tinta dari dalam dan luar negeri. Sorotan lampu kamera serta kilapan blitz membuat aura ‘sang subyek’ menjadi makin indah saja. Seragam yang membalut raganya,yang seharusnya menjadi symbol aib malah menjadi atribut yang membuat bahu orang yang mengenakannya ‘terangkat.’ Laki m aupun perumpuan sama saja. Hal yang paling mengejutkan masyarakat Indonesia
4
adalah beberapa orang yang bekerja di bagian rana hukum justru menjadi subyek dan aktor utama korupsip. Beberapa saudara yang berkerja di Depertemen yang berurusan dengan ‘hal-hal Suci’ justru memanfaatkan pekerjaan yang ilahi itu untuk korupsi. Berkenaan dengan gencarnya korupsi di Indonesia, suatu waktu temanku berseloroh, “Wan sari-sari korupsi di negaramu, kayanya udah meresap ke semua orang dan semua lini k ehidupan ini, termasuk kepadamu.” “Ohya?” “Yalah….siapa tahu sumbangan, k olekte, dan ucapan-ucapapan t erimakasih yang kamu dapat, adalah dari hasil dari korupsi.” “Ah .. bisa-bisa saja kamu. Bagaimanapun masih ada orang baik di tanah Indonesia ini, wan, ” aku membantah kata-katanya, yang senang mengeneralisasikan hal itu.
“
Pertanyaan di balik ini semua adalah: apakah pemberitaan, seremoni pra Penahanan, uniform, dan hukuman penjara, dll itu mendatangkan efek jera?
Harian kota Medan, ‘Analisa’, Jumat 10 Januari 2014, memberitakan di halaman depan; “Hasil Iktisar Badan Pemeriksaan Keuangan 2013. Sumatera Utara Provinsi Terkorup di Indonesia. Potensi kerugiannya Rp. 400.100.810. 000,-, dengan jumlah kasus 278”. Wah….. luar biasa menjadi sebuah prestasi gemilang. Tentu kita bedecak dalam ketidak mengertian… ..’koh bisa ya!’ Gradasi paling atas. Koran yang sama, pada hari sama pula di rubrik kota, hal 6, menulis bahwa korupsi sudah menjadi masalah utama bangsa, bahkan sudah pada tahap darurat. Luar biasa seakan kita sedang hidup di dunia angkara murka yang buram durjana.
Para jemaat, berasumsi dalam iman, bahwa mentalitas menimbun rezeki yang berlebihan lawan dari secukupnya membuat sang penimbun menjadi rakus alias tamak dan tidak segan-segan mencaplok hak orang lain demi m emenuhi hasrat serakahnya. Korupsi yang dipertontonkan sekarang ini adalah mode penimbunan harta yang b erlebihan dengan cara mencaplok hak orang lain sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. Mentalitas yang dipertotonkan kepada kita adalah orang menjadi tidak mau tahu dan tidak perduli dengan orang lain, yang penting diri dan kroninya menikmati.
Pertanyaan di balik ini semua adalah: apakah pemberitaan, seremoni Pra Penahanan, uniform, dan hukuman penjara, dll itu mendatangkan efek jera? Kita tetap berharap upaya-upaya dari penegak hukum secara khusus dari KPK, bisa membantu mengurangi dan tidak menambah subyek yang baru, lebih jauh dari itu menyiapkan sebuah generasi yang bermental “say no to corruption”
Aspek lain membuat sang penimbun itu menjadi licik dan lihai. Licik dalam konteks ini ialah m emanfaatkan kuasa dan wewenang yang dipercayakan kepadanya demi kepentingannya. Lihai dalam konteks ini ialah ‘mengotak-ngatik’ aturan dan k ebijakan demi membenarkan dan memuluskan akal bulus alias akal gundulnya. Yang menarik para tersangka korupsi dan koruptor selalu berteriak hak azazi manusia, kala mereka ditangkap oleh pihak-pihak yang berwajib.
Secukupnya Vs Berlebihan Ada sebuah Doa Katolik ‘Bapa Kami’ yang selalu didoakan oleh orang-orang Katolik pada setiap kesempatan. Dari sekian permohonan yang termaktub dalam rumusan doa itu, ada satu permohonan yang berkaitan dengan Rezeki atau Nafkah. Menarik kalau kita refleksikan bersama, berkaitan dengan topik Korupsi. Para Jemaat Katolik bermohon: “Berilah Kami rezeki secukupnya pada hari ini.” Secukupnya dalam konteks ini adalah yang wajar dan pas, sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain menghindari mentalitas yang menimbun rezeki.
5
Tanpa sadar mereka sedang mempromosikan diri sebagai Pejuang hak azazi yang merusak hak azazi itu sendiri. Lagi-lagi temanku berkomentar: “Wan, kalau kepandaian berbohong, kelicikan dan kelihaian para koruptor itu diformulasikan untuk sebuah kebaikan, pasti bangsa ini maju dan rakyaknya sejahtera. Benar juga sih!” (bersambung) Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com
LENTERA KHUSUS | MUDIK
MUDIK N KE POHON ZAITU
oleh : Ahmad Kusaeni
M
udik adalah kata yang paling sering diucapkan pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orangorang membicarakan mudik dimana saja, di lobi, di lift, di tempat kerja, di mesjid atau m ushola, bahkan di dapur.
Sugianti yang sudah bekerja di rumah lebih 3 tahun itu cukup aktif di media sosial. Akun facebooknya dengan nama alter “AiCko BarbIe-cweett” ramai diisi postingan soal rencana mudik sesama asisten rumah tangga. “Tiap buka fb..ngliat sttus otw otw otw. Kampung halman muluk..... “Kok pda lbih awal ya pulangnya.. Ongkos.y msih murahh x..hahahaha,” begitu p ostingan Sugianti yang ramai di-likes dan dikomentari temantemannya yang juga semangat 45 untuk pulang ke kampung halaman di Kendal, Jawa Tengah.
Sugianti, asisten rumah tangga di rumah saya, sejak mempersiapkan sahur untuk puasa hari pertama sudah sibuk merencanakan mudiknya. Ia membelanjakan uang THR yang diberikan isteri saya untuk membeli android dan langganan paket internet.
Sugianti dan Tuyono, sopir saya, adalah bagian dari 20 juta orang yang akan mudik dari Jakarta ke berbagai daerah di Tanah Air. Saya sendiri yang asal Lebak, daerah di Banten yang hanya sekitar 80 km dari Jakarta, selalu merasa kikuk kalau ada yang nanya apakah saya lebaran ini mudik apa tidak.
“Biar di kampung nanti gampang upload facebook dan Instagram,” katanya dalam suatu obrolan dengan isteri saya di dapur sambil mempersiapkan kolak pembuka puasa.
6
“
Kita baru merasa komplit dan kaffah sebagai manusia bila ada manusia lain yang mengakui dan ikut menikmati apa yang kita miliki. Untuk itu kita membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa menjadi pohon zaitun kita
“Saya nggak mudik, cuma geser pantat ke Lebak,” begitu selalu jawaban saya. Orang Betawi tentunya lebih kikuk dari saya kalau ditanya soal mudik. Mengapa banyak orang, tak peduli pembantu rumah tangga, sopir atau direktur, selalu bersemangat untuk mudik lebaran? Jawabannya pasti beraneka ragam. Bisa dijawab dari berbagai macam segi baik itu agama, ekonomi, sosial dan budaya. Sudah banyak kajian dari ipoleksosbud hamkanas seperti itu. Yang akan saya sampaikan di tulisan ini adalah alasan yang dilatarbelakangi kajian dari buku Thomas L Friedman yang berjudul “The Lexus and the Olive Tree (Understanding Globalization)” terbitan Anchor Book tahun 1999. Friedman adalah kolumnis beken dari koran The New York Times. Ia menulis bahwa di zaman globalisasi sekarang ini, meskipun orang sudah maju dan hidup dalam teknologi tinggi, tetap saja memerlukan akar rumput budayanya dan asal mula dirinya. Lexus dan pohon zaitun adalah simbol yang pas untuk menggambarkan kondisi zaman globalisasi sekarang ini. Lexus yang merupakan merk mobil termahal dan tercanggih adalah simbol kemajuan. Sedangkan pohon zaitun yang banyak tumbuh di kawasan Israel dan Masjidil Aqsa adalah simbol kepurbaan atau asal muasal kemanusiaan. Modernisasi, privatisasi dan pertumbuhan ekonomi, serta perkembangan teknologi memungkinkan orang untuk menikmati kemajuan dan kehidupan yang tidak bisa lagi dibatasi oleh ruang dan perbatasan. Tapi, pohon zaitun tetap penting. Pohon zaitun memanifestasikan akar kita sebagai manusia, ia merupakan jangkar tempat berlabuh kita, yang bisa mengidentifikasi kita dan m enempatkan titik kita di dunia ini. Pohon zaitun bisa berbentuk keluarga, komunitas, suku bangsa, atau yang paling mendasar adalah tempat yang kita sebut sebagai “rumah”.
7
Kehangatan keluarga Pohon zaitun adalah apa yang bisa memberikan kita kehangatan keluarga, persahabatan, keintiman personal dan ritual, kedalaman hubungan antar pribadi, silaturahmi, dan juga keamanan dan k etentraman diri ketika berhubungan dengan “ayah, ibu, om, tante, kakek, nenek, cucu, sepupu, kawan-kawan masa kecil”. Kita berjuang keras dalam kehidupan kita, meniti karier, bekerja, mencari nafkah dan sesuap nasi. Sedikit demi sedikit kita mengumpulkan harta dan kekayaan. Kita berkelana, bermigrasi dan pindah kota. Di tempat baru kita menjadi sesuatu, memiliki pekerjaan, dan juga kekayaan. Tapi, sebagai manusia, kita tidak bisa menjadi manusia yang utuh seutuhnya sendirian. Kita tidak bisa menjadi kaya sendirian. Kita tidak bisa menjadi pintar sendirian. Kita tidak bisa menjadi orang terhormat sendirian. Kita baru merasa komplit dan kaffah sebagai manusia bila ada manusia lain yang mengakui dan ikut menikmati apa yang kita miliki. Untuk itu kita membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa m enjadi pohon zaitun kita. Setahun sekali pada saat lebaran orang merasa harus mudik. Ia kembali ke pohon zaitunnya, akar kehidupannya yang purba, dan menyiraminya dengan air yang mereka bawa, uang yang mereka bagikan ke sanak saudara, atau sekadar kisah suka dan duka menaklukan Jakarta. Kembali ke akar itulah makna mudik yang paling hakiki. Sejenak di kampung halaman kita isi baterai kehidupan kita yang kering kerontang untuk kembali ke tempat pengelanaan kita. Selamat mudik dan bersukacitalah kembali ke akar purbamu, wahai manusia. (Akhmad Kusaeni adalah mantan Direktur Pemberitaan LKBN Antara, mendapat Master of Arts dari Ateneo de Manila University, Filipina)
Copyright ilustrasi: Litbang.Depkes.go.id
EMBUN KATAKESE | LITURGI
PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI OLEH:
Katolisitas.org
10
“
Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat u ntuk meresapkan sabda Allah
Pada edisi Juni lalu, telah dipaparkan dua pelanggaran dalam bagian-bagian Misa Kudus. Berikutnya akan kembali dilanjutkan pada tiga pelanggaran lainnya yang umum terjadi. 3. Kurangnya saat hening. Seharusnya: PUMR 45 Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat h ening. Saat hening juga m erupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna b agian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat m awas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar.Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati. Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat. PUMR 56 Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh d ihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk m eresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili. 4. Diizinkannya seorang awam u ntuk berkhotbah/ m emberikan kesaksian di dalam homili (misalnya untuk mengisi homili Minggu P anggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya). Seharusnya:
11
RS 64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya d ibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….” RS 66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para s eminaris, untuk mahasiswa teologi dan u ntuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun. RS 74 Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang d emikian disampaikan setelah Doa s esudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud. RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh b erdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, b ertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang b agian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain….. 5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan p anjang, sampai imam turun dari panti imam. Seharusnya: RS 71 Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, u ntuk
saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini b ukanlah dimaksudkan sebagai r ekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, k hususnya dalam rumus pertama. RS 72 “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….” Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.
mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup… Pada hakekatnya Komuni adalah s esuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “ Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri. 2. Pengantin Komuni.
menerimakan
Seharusnya, tidak boleh: RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan. Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri. (bersambung...)
Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni: 1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur. Seharusnya: RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri– apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. RS 104 Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya….. PUMR 160
saling
Umat tidak diperkenankan
12
13
KOLOM “RUMAH JOSS” | SEMUT
SERANGAN SEMUT Pkl. 03.00 WIB, ketika saya baru saja tidur, tiba-tiba bagian punggung terasa nyeri, seperti disengat listrik. Terbangunlah saya secara spontan, rupanya ada banyak semut diatas tempat tidur, tepatnya dibawah b antal. Yoseph Tien Wakil Ketua KomIsi Kepemudaan di Keuskupan Agung Medan
Serangan semut yang serupa, pada malam minggu kemarin juga membuat istri saya harus terbangun tengah malam, bahkan mengungsi ke kamar anak-anak.
Akhirnya kami jadi terbiasa, bahkan sepertinya kami mulai mengakrabi mereka. Haha..! Kami tak pernah lagi melakukan operasi penghadangan atau operasi militer alias perang. Tapi dua hari ini, tampaknya mereka mulai menyerang ring satu, pusat kendali nuklir, markas komando alias tempat tidur pemilik rumah. Gawat!
Perang total tampaknya harus dimainkan! Semoga ada bantuan dari Pagi ini semut menyerang lagi. Dan kali para sahabat tentang strategi perang, ini, titik serangan dan targetnya adalah apakah perang gerilya atau strategi ala saya. Jitu! Hehehe... Sun Tzu. Memang beberapa bulan terakhir ini, semut sepertinya sedang ramairamainya mengunjungi rumah kami. Semut selalu ada pada hampir s emua penjuru rumah. Mungkin karena penghuni rumah kami manis-manis dan segala isi rumahnya juga manismanis. Hahaha...
*** Belajar dari semut
Pagi ini setelah terbangun, saya membaca status facebook seorang sahabat, tentang bagaimana caranya seekor yang gajah mati dapat dimakan semut dan jawaban tersuratnya Setelah melakukan prosedur ‘pulbaket’ semut makan secara perlahan-lahan atau pengumpulan bahan dan jawaban tersiratnya semut makan keterangan, saya melihat sendiri bersama-sama. bahwa rupanya satu-satunya jalan masuk semut-semut tersebut adalah Pesan dari status kawan saya tersebut, melalu lubang angin pada dinding bahwa sebesar apapun masalahnya, belakang dapur kami. selesaikan sedikit demi sedikit atau tahap demi tahap alias tak bisa Setelah mengetahui locus tersebut, sekaligus. berbagai cara kami lakukan untuk menghadang pasukan merah mungil Saya kemudian teringat dengan s emut ini. Mulai dari penggunaan baygon, yang masuk ke rumah kami, bahwa jeruk, kapur barus, dan entah apalagi. ternyata mereka melewati sebuah Setelah operasi kami lakukan, mereka tembok yang sangat tinggi, mungkin hilang dan tak muncul, namun ribuan kali panjang tubuhnya sendiri. beberapa jam kemudian atau besoknya mereka muncul lagi. Tiada jalan mundur dalam diri semut. Ketika mereka menghadapi masalah,
14 14
tembok tinggi, mereka memanjatnya, naik ke atas. Mereka maju terus, tidak meratapi tingginya tembok, apalagi balik kanan dan pulang. Bagi mereka pulang harus membawa hasil.
peroleh, selalu ada bagian orang lain di dalamnya.
4) Hidup bersama yang harmonis hanya terbangun dari komunikasi efektif dan penuh cinta, yang terdorong dari semangat membuka diri dan Perjuangan pasukan semut mengais atau m encari menerima kelebihan-kekurangan sesama apa makan, selalu dilakukan bersama-sama. Dan bila adanya. Dalam bekerja, semut selalu berbaris panen tiba, mereka panen bersama-sama, lalu dengan rapi dan tertib. menikmatinya juga bersama-sama. 5) Ketika menghadapi ‘musuh’, dan tak cukup Siapapun diantara pasukan semut tersebut, yang bertahan saja, terpaksa harus menyerang, pertama kali menemukan makanan, dia akan seranglah mereka secara bertahap, mulai dari memanggil teman-temannya, para saudaranya pinggir-pinggir kemudian masuk ke tengah pada dan memberitahu bahkan mengantar teman ‘pusat kendali nuklir’. atau saudaranya menuju ke sumber makanan itu, lalu bersama-sama mereka menikmati bahkan Para Sahabat Joss Terkasih,Semoga 5 pelajaran dari membawa pulang makanan tersebut. semut ini bermanfaat mengawali Senin Ceria kita masing-masing. Pada daerah-daerah dekat sumber makanan, semut membangun sarang atau rumah mereka. Di sana, SERANGAN SEMUT....Serangkai Ancaman dan Tanmereka tinggal dan hidup bersama, bekerja dan tangan....Selalu Engkau Mampu Untuk Teruji! Permakan bersama. Semut tahu, bahwa mereka tak cayalah..! bisa hidup sendiri, mereka harus hidup bersama dan bekerja sama. Semut tahu, bahwa mereka harus Salam Joss..! ‘dekat sumber makanan’! Dalam kehidupan sehari-hari, sedang dalam perjalanan apapun mereka, para semut akan selalu berhenti dan saling ‘berciuman’, saling menegur sapa satu sama lain. Semut juga tahu arti pentingnya komunikasi secara langsung! Kata demi kata, wajah berhadapan wajah! Jadi, kita bisa belajar tentang kehidupan dari perilaku semut: 1) Ketika menghadapi masalah, tetaplah maju terus menghadapi masalah tersebut dan per cayalah bahwa selalu ada jalan ke atas. Tembok tantangan adalah jalan naik mencapai puncak. Pantang menyerah dan selalu berusaha mencari ‘lubang’ penyelesaian, itu penting. Setiap masalah sebesar apapun, hendaknya diselesaikan tahapdemi tahap secara cermat dan pasti. 2) Dalam hidup bersama, kerjasama dan sama-sama kerja sungguh merupakan sesuatu yang mutlak dan mampu membuat kita melakukan banyak hal besar. 3) Dalam hal rejeki, apapun bentuk dan warnanya, semangat berbagi hendaknya selalu diperjuangkan terus menerus. Berapa banyakpun yang kita
15 15
OPINII | POLITIK
KEPADA YANG TERHORMAT, CALON MEDAN 1 Saya lahir di Bandung pada tahun 1982. Sekadar “menumpang lahir”, dari kota itu, setahun kemudian, saya dibesarkan di Medan, kota besar sarat hiruk pikuk. Hingga 32 tahun kemudian, saya adalah salah satu dari warga Medan lainnya sebagai saksi hidup pembangunan yang penuh dinamika. Maka, kepada para calon pemimpin Medan, tulisanku ini adalah lukisan luka di hati. Engkau jangan menghempasnya, jikalau tidak ingin kau sentuh. Saya tahu pasti hatimu tahu, walau tidak membacanya. Vinsensius G.K. Sitepu Founder Komunitas Mahapala be_web2001@yahoo.com
Tiga kalimat terakhir itu adalah plesetan atas syair lagu apik yang dibawakan oleh Hedi Yunus pada tahun 1990-an, tentang curahan isi hati seorang anak manusia yang sedang jatuh cinta. Ia in-
16
gin d iperhatikan dan ingin kasih sayang. Sebagai sebuah pesan komunikasi, tiga kalimat itu paling layak dikumandangkan menjelang perhelatan pemilihan Walikota Medan alias Medan 1, tentang beragam kegundahan banyak anak Medan hebat mengenai kota yang kian tidak ramah ini. Mengharapkan Medan berubah seperti yang tergambar dalam benak kita, mestilah dimulai dari mendorong calon pemimpin yang benar-benar memahami hasrat p aling hakiki orang Medan, serta tentu saja setiap individu warga yang harus kerap tertunduk bercermin, tidak berharap seratus persen kepada pemimpin. Mimpi idealnya adalah sifat kerjasama dan komunikasi yang efektif di antara
pemimpin dan warga kota.
“
Kami berharap hidup hari ini di Medan adalah mimpi buruk, tetapi kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami mencubit, ia tetap nyata. Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan tegas, calon Medan 1 akan tampak kerdil dan rendah di hadapan warga
Sekali peristiwa dan setiap pertemuan sebelumnya, termasuk beragam artikel di halaman ini, kalau membincangkan kota Medan, wacana yang selalu mengemuka adalah, pertama jalan kota yang rusak tidak terawat. Kedua, orang Medan masih bisa hidup tanpa walikota. Ketiga, orang Medan itu individualistis. Keempat, angkutan kota terlalu banyak dan tidak digantikan mass rapid transportation. Kelima,kok sok kali menyebut Medan Kota Metropolitan? Keenam, di atas semua itu, sebagian dari jajaran pemimpin kota ini tidak memiliki kepedulian yang tinggi, karena moralnya b obrok. Dan ketujuh, masalah itu semakin bertambah. Ketujuh masalah itu berlangsung selama lebih dari dua dekade. Bayangkan, 20 tahun! Tentu saja kita iri dengan Kota Bogor dan Bandung yang memiliki pemimpin yang berhasil membuat gebrakan signifikan, walaupun permasalahan mendasar kurang dalam tersentuh. Medan, seperti Bogor dan Bandung masih pening kepalanyamengurus kemacetan lalu lintas. Padahal kalau mau jujur, kalau pajak mobil sebagai kendaraan mewah dinaikkan tiga kali lipat, serta pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor roda dua dilakukan, kemacetan tidak akan muncul. Kenyamanan bertransportasi digantikan dengan bus dalam kota yang nyaman. Kepadatan tinggi lalu lintas Medan membawa preseden buruk dan berdampak negatif. Ambulans yang seharusnya lekas membawa pasien ke rumah sakit, harus pasrah “terjepit” di tengah jalan. Bunyi sirene yang meraung lebih terasa seperti suara orang bodoh yang memelas. Sebelum terjepit meraung, ambulans tentu saja sudah masuk ke lubang jalanan. Kalau saja pasiennya adalah seorang perempuan hamil, ia berisiko melahirkan di ambulan. Tetapi jujur, saya berharap ada sapi di jalan yang berkubang itu. Di masa depan, Medan harus bersolek kemuliaan dan kesejahteraan-
17
nya dan saya yakin ini, bagi sebagian orang adalah absurd. Di Medan kelak tidak ada lagi kemacetan kendaraan bermotor yang menambah polusi udara. Ia digantikan dengan budaya bersepeda atau pilihan kendaraan ramah lingkungan. Moda transportasi publik lebih banyak, termasuk kereta bawah tanah. Para pengusaha kecil menjadi lebih tertib, karena pindah dari trotoar ke tempat yang lebih layak, rapi dan bersih. Pusat bisnis ini tentu saja harus memiliki lahan parkir yang luas, tidak seperti kondisi di pasar-pasar tradisional saat ini. Dengan demikian pelebaran atas jalan kota yang sempit seperti sekarang ini dapat dapat dilakukan. Wacana kedua dan ketiga b erkorelasi erat, bahwa seseorang akan menilai dirinya berdikari, tatkala muncul pemimpin kota yang tidak berkompeten menata pembangunan yang merata dan berkeadilan. Perkataan, “Kami bisa hidup tanpa pemimpin.” adalah pseudo-entity, tampak nyata, tetapi rapuh dalam perjalanan. Benar orang Medan dapat hidup tanpa walikota, karena walikota tidak bekerja keras menghidupi kota. Walikota yang bekerja layaknya kapitalis-manajerial dan bukan kapitalis sejati menghasilkan Medan yang penuh tikus yang rakus uang. Kapitalis-manajerial mencari uang untuk dirinya, sedangkan kapitalis sejati mencetak uang sendiri bagi dirinya termasuk orang lain, karena tipe ini mengajak orang bekerja bersamanya, lalu menularkan semangat bekerja itu membentuk perusahaan lain. Itulah semangat menjadi kupu-kupu, bukan sekadar kepompong. Anggapan karakter individualistis adalah resultan kepemimpinan kota yang tidak akur dengan warganya. Alhasil secara konkret dalam membuka perusahaan rintisan misalnya, sulit mencari rekan yang bisa diajak kerjasamanya. Yang membuat miris, ide kita dicaplok lalu mendirikan perusahaan rintisan dengan karakter yang serupa bersama rekanan lain yang dipikirnya bisa dengan cepat mendulang laba. Mengapa tidak
isalnya, dengan satu ide serupa dipadum kan dengan tujuan menghasilkan profit besar, ketimbang terpecah-pecah bentuk usaha yang kurang solid berencana. Gambaran Medan tidak punya pemimpin adalah gambaran ketidaktegasan pemimpin, seperti misalnya menertibkan pedagang kaki lima dengan cara santun atau misalnya mendidik pengendara kendaraan bermotor agar disiplin berhenti di belakang garis zebra cross tatkala lampu merah menyala. Ketidaktegasan pemimpin adalah entitas nyata gagalnya pemimpin berkomunikasi dengan warga. Pemimpin gagal mengakomodir keinginan warga untuk maju lebih baik, hingga dengan soknyamemamerkan sebutan Medan Kota Metropolitan. Bukankah itu sangat menjijikkan? Tren dan pola pemimpin muda Mengambil contoh menggembirakan dari pemimpin kota Bima Arya Sugiarto dan Ridwan Kamil adalah gambaran tren dan pola kepemimpin publik yang paling mencolok di tengah perubahan dunia. Untuk menyebut yang lebih hebat adalah si muda kaya raya seperti Mark Zuckerberg, Sergey Brin dan Larry Page, dan Merry Riana. Pemimpin muda ternama dan kaya bukan tidak mungkin diusung oleh kemajuan teknologi informasi, di mana komunikasi berlangsung cair dan relatif terbuka. Percepatan era itu lebih cepat, sekitar 15 tahun perubahannya. Bandingkan dengan Era Revolusi Industri yang perlu waktu beberapa dekade untuk mencapai kebulatannya. Tren anak muda sebagai pemimpin adalah cerminan bahwa orang-orang kini lebih rasional memilih, bahwa orang-orang lama yang didominasi orang-orang tua yang lebih senior diasosiakan tak lagi berkompeten memimpin. Bahwa kondisi ini didorong pula oleh faktor bonus demografi, di mana orang-orang Indonesia berusia produktif sudah berjumlah 140 juta orang yang memiliki harapan lebih baik tentang masa depannya. Ini artinya orang-orang muda lebih kreatif menelurkan beragam gagasan segar dan punya tekad mewujudkannya. Namun demikian, mengusung para
18
emimpin muda naik menjadi p p emimpin Kota Medan masih menyimpan halangan. Sebut saja misalnya, anggapan bahwa orang muda Medan tidak memiliki pengalaman memimpin serumit memimpin kota yang sarat birokratik. Pemimpin muda kota Medan selanjutnya harus lahir dari kepemimpinan organisasi kepemudaan yang juga kompleks dan memiliki jam terbang tinggi pada program-program berkarakter penguatan yang pernah dijalankannya. Pengalaman memimpin organisasi di kampus, tentu saja menjadi nilai tambah. Harus diakui beragam organisasi kepemudaan di Medan, tetapi sepak terjangnya tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat luas. Kalau mau jujur organisasi kepemudaan di Medan masih banyak yang pragmatis dan hanya mengunggulkan kepentingan pribadi untuk naik ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Ya, pokoknya geraknya di situ-situ saja. Saya tidak m engatakan mereka jahat atau memiliki motif jangka pendek, namun karena didera bisikan anggota lain, alhasil program organisasi tidak menjadi besar. Ia sehausnya mengarah ke lembah, di mana masyarakat merasakannya demi tujuan jangka panjang. Contoh misalnya, belum ada program kerja organisasi kepemudaan yang mendorong secara total perihal pengembangan ekonomi kreatif di Medan. Orang-orang Medan yang kreatif, seperti penyanyi justru berangkat ke Jakarta untuk mengail rejeki, tidak mengembangkan bersama kawankawan di Medan untuk bersaing dengan kota lain. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh, potensi ekonomi kreatif tidak kalah dengan anak muda di kota lainnya di Indonesia. Organisasi kepemudaan ataupun komunitas lain harus mengembangkan program kerja mereka dalam wujud nyata yang memiliki nilai kewirausahaan, ada nilai tambah ekonomi. Jikalau seorang anak Medan memiliki bakat membuat komik strip misalnya, mereka jangan berhenti memamerkannya di media sosial. Organisasi kepemudaan bersama perusahaan swasta mendorong mereka menambah nilainya dalam bentuk visual lainnya, seperti film animasi dalam format iklan produk lokal atau dengan durasi yang
lebih panjang, tetapi berkonten budaya Medan yang beragam. Hal yang sama dapat diterapkan pada bakat membuat peranti lunak mobile, pembuat film dan lain-lain. Semuanya dipadukan pada lembaga inkubator yang menjembatani mereka dengan para calon investor dalam membuat startup company(perusahaan rintisan). Tanpa pemanfaatan konsep itu potensi kreatif akan menjadi sia-sia dan hanya berakhir di lemari. Pada pokoknya, mesti ada entitas kota ini yang mempunyai nyali besar untuk menyusun kerangka besar masa depan, tempat anak muda ini berkreasi dan memiliki sikap berwirausaha. Sekolah Wirausaha Satu lagi pekerjaan rumah organisasi kepemudaan dan komunitas di Medan, dan tentu saja ini didorong oleh pemimpin-pemimpin senior lainnya adalah menggagas sekolah wirausaha secara serius. Sekolah dalam hal ini ada kajian kurikulum yang tepat, bukan sekadar workshop sehari-dua hari yang ecek-ecek atau seminar yang terkadang lebih mirip kuliah daripada mendekatkan mereka kepada dunia nyata. Sekolah wirausaha bertujuan mendidik perihal uang, utang, aset, liabilitas dan investasi. Rentang waktunya bisa 6 bulan ataupun 2 tahun. Kelak jikalau sekolah ini berhasil, maka bisa diterapkan dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Peserta didik bukanlah kaum mahasiswa, tetapi ibu rumah tangga bahwa anak SD sekalipun. Saya mengungkapkan ini, sebab karakter bangsa kita ini masih bernyali pegawai, bukan pengusaha yang tidak berani mengambil resiko, yang tidak berani berutang untuk sejahtera. Mental orang Indonesia masih dihiasi pemikiran, bahwa dengan bersekolah setinggitingginya, maka mendapatkan gaji, tunjangan dan bonus sebesar-besarnya. Ketika gaji sudah tinggi pada perusahaan besar, ia merasa sudah menjadi kapitalis, padahal ia tidak lebih adalah kapitalis manajerial, bukan kapitalis sejati yang bersandarkan diri pada cara mengatasi resiko dan menghadapi rasa
19
takut dengan memiliki bisnis sendiri dan berinvestasi di perusahaan lain. Maaf pula kalau saya katakan masyarakat kita masih terlalu bergantung pada pemerintah, berharap menyediakan lapangan pekerjaan, mendapatkan insentif dan mendorong pemimpin kota menghadirkan investor asing masuk. Padahal sesungguhnya dengan menjadi pengusaha di negeri sendiri, nilai tambahnya lebih besar daripada mengajak perusahan asing di tanah sendiri. Kita kurang terdorong mengimbangi kinerja pemerintah yang sebenarnya sudah cukup kompleks. Mengapa tidak memulai membuang sampah pada tempatnya, misalnya. Bukankah perubahan sikap itu efektif menghindari banjir di rumah kita, daripada sekadar memaki-maki petugas kebersihan yang enggan menyapu pinggiran jalan kita? Akhir kata ini yang harus saya sampaikan kepada calon Medan 1. Saya dan segenap anak Medan memiliki harapan besar kepada pemimpin kota ini nantinya. Kami berharap hidup hari ini di Medan adalah mimpi buruk, tetapi kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami mencubit, ia tetap nyata. Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan tegas, calon Medan 1 akan tampak kerdil dan rendah di hadapan warga serta pasti akan tampak “sebelas dua belas” dengan para pemimpin kota ini sebelumnya yang berakhir dalam keterpurukan, membawa kota ini ke jalan yang tidak jelas.
SASTRA | SINTA
Sinta (bagian II) Toh setelah mencari-cari alasan yang membuatnya menyukainya, dia hanya menemukan kegantengan sematalah penyebabnya. “Tidak takut sendiri?” tanya Ganup. “Sudah biasa.” “Tadi sudah ke sopo yang itu,” sambung Ganup sembari menunjuk ke sebelah kanannya, “atapnya bocor.” Sinta mencoba memperhatikan lebih dalam tamu tiba-tibanya itu. Sedari tadi mereka nyaris tidak bertatapan. Ganup menghadap ke sebelah sungai. Sinta menghadap Ganup. Dengan begitu dia leluasa menata diri. Terbersit sekilas angan. Sesungguhnya bukan angan. Semester silam tertera beberapa nilai di rapornya yang mendatangkan amarah ibunya. Dia merasa sudah mengerahkan semua tenaga untuk belajar. Di titik inilah dia menemukan satu jalan terang. “Ganup,” bisiknya dalam hati. Tiba-tiba Ganup berpaling sempurna. “Semester depan kita akan satu sekolah.” Lama Sinta terdiam. Dia perhatikan lagi pria, yang entah kenapa, dia rasai telah mencubit satu sisi kecil hatinya. Cubitan kecil yang mendatangkan asa. Dia kemudian membayangkan bangku sekolah.
19 20
Dian Purba purbadian@gmail.com
Lalu teringat guru-gurunya. Melintaslintas pula beberapa teman-teman sekelas. Sekarang dia baru saja menambahkan satu teman baru di daftar teman-temannya: Ganup. “Aku akan dapat saingan baru.” Sinta mencoba mencairkan kebekuan. Ganup tidak membalas. “Maksudku, aku akan sangat beruntung berteman denganmu.” “Kita bahkan belum kenalan,” jawab Ganup sembari mengumbar senyum. Sinta mengulurkan tangan. Dia tidak menyadari senyum simpulnya membuat teman barunya itu tak segera menyambut tangannya. “Kenapa?” tanya Sinta. Agak-agaknya Ganup grogi. Sinta memang ayu. Semua ungkapan puja-puji ke bidadari kerap dialamatkan temantemannya kepadanya. Meski hidung tidak bisa disebut mancung, kedua mata itu sangat bening. Rambutnya menyapu-nyapu keningnya. Warna kulitnya yang tak begitu cerah berpadu dengan senyum renyah ditambah pula tutur kata yang anggun membuat siapa saja yang bersua dengannya serasa diawasi bidadari-bidadari sorgawi karena satu orang temannya sedang terdampar di bumi. Ganup tidak berencana sedikit pun untuk menyerangnya dengan rayuan.
Sesuatu yang sering dilakukan tiap kali bertemu gadis cantik. Bukan karena dia menggigil kedinginan, namun lebih-lebih karena sesuatu alasan yang dia sendiri pun tidak tahu. “Padi-padi itu sudah menguning,” Ganup mengalihkan suasana. “Belum bisa dipanen?” “Semestinya sudah. Tapi anak tulangku menikah hari ini.” “Besok aku bisa ke mari lagi?” “Besok hujan tidak akan turun lagi.” Ganup tertawa. “Tidak untuk hujan, tapi untuk padi itu,” seru Ganup. Sebelum Sinta berhasil menyimpulkan, Ganup kembali berujar, “Bapak sering cerita tentang hauma. Aku rela tak digaji membantu Sinta manggotil [v].” Sesingkat itu sesungguhnya perkenalan mereka. Sore itu mereka berjalan beriringan di jalan sempit ke kampung. Tentu saja hujan masih turun. Dua helai daun pisang mereka tebas dan dijadikan pengganti payung. Hampir-hampir mereka tidak bercakap sepanjang jalan. Pastilah Sinta terpeleset di jalan yang sesekali licin. Dan pasti pulalah Ganup bertindak semestinya melihat Sinta nyaris terjatuh. Setelah itu kemudian mereka tertawa bersama. Mereka kemudian mengambil ranting kayu dan memasukkan sandal mereka berdua ke sana. Memilih bertelanjang kaki di jalan licin sepertinya cukup ampuh. Parit di dekat desa mereka manfaatkan mencuci kaki dan membersihkan sandal mereka yang kotor. “Kalaupun besok tak mendapat ijin dari orangtuamu ikut manggotil, harapan terakhirku hanyalah pada hujan,” ujar Ganup sebelum jalan memisahkan mereka. Sebelum Sinta berpaling, tampak jelas wajahnya memerah. ***
20 21
Masa panen sudah usai. Emak-emak bahkan sudah menggiling gabah mereka dan menjualnya untuk keperluankeperluan sekolah anak-anak. Banyak orang kota yang berkunjung ke desa ini berpendapat warga desa sesungguhnya tidak mendapat untung apa-apa dari menanam padi. Terlebih-lebih, menurut mereka, pola bertani yang sekarang ini sudah sangat tradisional, tidak mengikuti jaman. Namun, warga desa tidak ambil pusing dengan pendapat mereka. Bagi mereka padi, sawah, dan hauma tidak sematamata perkara untung-rugi. Bagi mereka padi adalah bagian dari penghuni rumah. Kita akan menjumpai rumah-rumah warga tidak akan pernah kering dari padi. Mereka selalu meninggalkan paling tidak satu karung padi meski mereka mesti membeli beras untuk ditanak di dapur. Kepercayaan ini lebih-lebih untuk menggambarkan kesiapsiagaan untuk menangkal sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Inilah yang diterangkan Sinta ke Ganup suatu siang saat mereka pulang dari sekolah. Mereka cukup banyak waktu untuk berganti kisah tentang diri mereka masing-masing. Jarak dari desa ke sekolah enam kilometer. Saban pagi, pukul enam, mereka sudah mesti berjalan kaki. Demikian juga di selepas sekolah. Waktu sejam untuk menempuh yang enam kilometer itu terpakai sempurna. Sinta merasakan kakinya semakin ringan saja melangkah. Sinta selalu bertanya-tanya kenapa Ganup menganggurkan motornya di rumah oppungnya dan memilih berjalan kaki 12 kilometer setiap hari. Tapi dia selalu berusaha menutupinya dengan senyum sumringah. Dia tahu Ganup melakukan itu demi dia. Setiap kali memikirkan itu Sinta selalu mengakhirinya dengan senyuman. (bersambung ...)
ILHAM SEHAT | TIDUR SIANG
S
5 MANFAAT TIDUR SIANG
emasa kecil dahulu, kita tentu ingat, orangtua kita kerap mengingatkan untuk tidur siang. Anjuran tersebut tidak sekedar kiat ‘mengheningkan’ suasana rumah sejenak. Namun, ada sejumlah manfaat penting dalam jeda sementara bagi tubuh kita.
bekerja. Oleh karena itu bagi beberapa orang yang sibuk bekerja mungkin tidak memiliki waktu untuk tidur siang. Tidur m erupakan aktivitas penting, karena dapat m embantu memulikan tenaga s etelah kelelahan beraktivitas. Disamping juga bermanfaat bagi kesehatan otak dan tubuh kita. Sila lirik lima manfaat penting Tidur Siang, yang kami rangkum dalam edisi ini.
Kebanyakan orang menggunakan waktu malam hari untuk tidur dan siang hari u ntuk 22 22
Meningkatkan daya ingat Sebuah penelitian tahun 2008 menemukan b  ahwa tidur siang selama 45 menit bisa membantu meningkatkan daya ingat. Peningkatan ini terjadi  dalam fase slow-wave sleep atau tidur gelombang pendek sebagaimana biasa terjadi saat tidur siang.
Meningkatkan produktivitas Tidur siang dapat melindungi otak dari pengolahan informasi yang terjadi secara berlebihan dan membantu mengkonsolidasikan informasi yang baru dipelajari.
Manfaat Tidur Siang bagi Kesehatan
Mengobati insomnia Penelitian telah menemukan bahwa orang yang tidur siang selama 15 menit merasa lebih waspada dan kurang mengantuk, bahkan ketika malam hari sebelumnya kurang tidur.
Menurunkan stres Ingin memotong hormon stres kortisol sebanyak separuh? Penelitian menunjukkan bahwa hormon stres secara dramatis mengalami penurunan setelah tidur siang, terutama jika semalam tidurnya kurang begitu nyenyak.
Mencegah penyakit jantung Tidur siang yang pendek selama 20-40 menit bisa mengurangi risiko penyakit kardiovaskular seperti jantung dan stroke.
23
POLLUNG | GLOBAL WARMING
Dian Purba purbadian@gmail.com Mahasiswa 足Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM
24
Gereja dan Pemanasan Global Gereja (bagian II) dan Pemanasan Global (bagian II)
I
nilah yang kita namai dengan kamuflase hijau. Perubahan bentuk perusahaan-perusahaan perusak lingkungan menjadi laiknya penyelamat bumi dengan mengenakan topeng “hijau”. Salah satu topeng itu adalah dengan menggunakan media-media besar berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat berbahaya saat anak-anak tumbuh dengan pikiran bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jagoan pelestari lingkungan. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain pemerintah dan organisasi antarpemerintah dapat diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam
25
menuntut penuaian kewajiban dan pertanggungjawaban mereka karena telah merusak alam. Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan pangan Indonesia”, pemerintah lewat Departemen Pertanian menggulirkan megaproyek penggunaan lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup berarti andai lahan yang luasnya sama dengan setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100 persen ke swasta. Yang kita saksikan kemudian adalah berbondongnya para konglomerat Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru
“
Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatankekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri.
di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin Panigoro di bawah bendera Medco F oundation & Conservation Internasional mendapat jatah 35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo, PT Cemexindo Internasional, mendapat jatah 200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha Graha, mendapat jatah 2.500 hektar. Pemerintah memanjakan pengusaha kakap itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank Mandiri menggelar acara khusus yang mereka namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan ini untuk menyinergikan korporasi sebagai investor dengan pemerintah dan perbankan. Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati Merauke John Gluba Gebze, para investor takkan mendapat gangguan dari masyarakat adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun telah disiapkan guna membangun jalan dan pembangunan pelabuhan. Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga perut penduduk Indonesia tidak kekurangan makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan teramat penting ini diserahkan sepenuhnya kepada swasta? Di kemanakan rakyat Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah memberdayakan mereka? Para konglomerat itu mendapat tanah gratis, insentif pajak, serta upah buruh murah. Petani M erauke akan semakin terpinggirka karena lahan semakin sempit. Cara pandang pemerintah dengan cara pandang rakyat P apua dengan tanah itu b ertolak belakang. Rakyat Papua memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat, pemerintah memandangnya sebagai lahan produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani kecil akan diposisikan sebagai penonton di pinggiran saja. Dampak lain penggunaan lahan seluas itu tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan apa yang sudah disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim berlangsung di Kopenhagen, Denmark, beberapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Target itu hanya akan terjadi apabila pemerintah mengurangi alih fungsi lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6 persen. Selanjutnya kita akan menyaksikan penebangan besar-besaran pohon hutan tropis dan m enggantinya dengan tanaman satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna dan hayati akan terancam keberadaannya. Pemerintah memandangnya berbeda: “Itu lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, per gilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI
26
Bayu Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti ini dinamai pemerintah sebagai perwujudan “iklim bisnis yang k ondusif”. Iklim di mana: “kini pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun) yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarket dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional (dan juga hutan)”. Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar karbon dioksida: pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara. Untuk keperluan pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan besar lintasnegara (perusahaan transnasional: selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas, kampanye-kampanye raksasa mereka yang “memaksa” kita betapa mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita artikan sebagai penggunaan topeng kamuflase hijau semata. Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik saat revolusi industri abad ke-18 meletus. Saat itu batubara menjadi sumber energi dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak bumi menggeser posisi batubara. Abad ke20 penggunaan gas diperkenalkan. Pasca penemuan mesin uap, industri berkembang laiknya jamur di musim hujan. Dan kini, kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50 persen lebih dari semua gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh seluruh sektor industri. “Kita”menggali lebih dari enam miliar ton b ahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca terbanyak dari bumi setiap tahunnya. Dari ketiga bahan bakar fosil itu, batubara berbiaya paling rendah, harganya murah, berjumlah banyak, dan yang paling kotor dibandingkan koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri Tiongkok. Cina berencana membangun 762 pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang dihasilkan bagi lingkungan dari p embakaran 2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat serius dan luas cakupannya. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000 kematian premature setiap tahun di Cina. Dan kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia. Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970, jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200 juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta. Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin dikonsumsi setiap hari tahun 2004. Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar
fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan k esehatan manusia. SO2 menyebabkan problem saluran pernapasan; radang paru-paru menahun; hujan asam yang d apat merusak lingkungan danau, sungai, dan hutan; mengurangi jarak pandang. NOx menyebabkan sakit pada s aluran pernapasan; hujan asam; dan ozon m enipis yang m engakibatkan kerusakan hutan. Partikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata dan tenggorokan; bronkitis dan kerusakan saluran pernapasan; dan mengganggu jarak pandang. Emisi CO2 merupakan sumber t erbesar yang b ertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global dan kerusakan ekosistem. Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan. Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta 6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun waktu 30 tahun. Berdasarkan World Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari penggunaan energi maupun dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia mempunyai emisi sebesar 296 juta ton atau s ebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia. Pertobatan ekologis Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke sebelah mana? Di mana gereja m enempatkan posisinya? Atau pertanyaannya barangkali boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja menghadapi arus deras perusakan lingkungan tersebut? Deretan pertanyaan itu mengingatkan kita dengan kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran di Indonesia. Amerika Serikat dan Eropa Barat teramat kuatir paham komunisme menjamur di d unia ketiga. Berbagai cara yang mereka lakukan menghempang penyebaran paham yang bersebarangan dengan paham kapitalisme itu kita kenal d engan Perang D ingin. Amerika dan sekutunya menelurkan istilah “pembangunan” (developmentalism). Penerapan paham ini di lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan rezim-rezim korup dengan bantuan persenjataan dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak mendapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat. Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah rakyat saat m ereka mencoba berdiri berseberangan. Penolakan dengan kondisi inilah yang melahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah, gereja bangkit menggaungkan suara kenabian
27
menentang kezoliman ini. Teologi pembebasan diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan Marxisme. Di Indonesia kita mengenal Romo M angunwijaya yang dengan istilah berbeda, teologi pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan. Mengacu ke teologi pembebasan di Amerika Latin, Romo Mangun mengartikan teologi pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, penemuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada hakikatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan, dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu. Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua data-data di atas, dan semua data-data yang belum tercatum tentang betapa planet yang kita tempati ini sudah begitu rusak, mestilah menjadi pengetahuan wajib setiap anggota jemaat. Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata ke geraja secara institusional, melainkan wujud mendasar dari pertanggungjawaban iman. Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri, tetapi hidup bersama dan punya kepentingan dengan yang lain. Mata air di lembah sudah lama kering. Gununggunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan. Binatang-binatang di padang sudah lama punah. Siulan burung merdu di pepohonan di antara daun-daun sudah lama tidak bersenandung bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini menemukan kembali awal baru memulai sebuah pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni menyelamatkan bumi?
28
LAPO AKSARA
KAPAK PENEBANG POHON
S
eorang pria bertenaga kuat, pada satu hari, melamar pekerjaan di Usaha Perkayuan. Kepada si Pemilik usaha itu, ia memohon diterima sebagai penebang kayu. Menilik postur tubuh dan ototnya yang besar si pemilik usaha itu pun coba menguji pria tersebut. Sesuai posisinya, ia diuji berapa banyak pohon yang mampu ditebangnya dalam satu hari itu.
Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di Lentera News
Hasilnya memuaskan. Pria tersebut dapat menebang sebanyak 20 pohon dalam satu hari itu. Pemilik Usaha Perkayuan pun menerimanya, dan dapat mulai bekerja mulai esok hari. Pada lima hari pertama bekerja, tak ada yang berubah dari hasil kerja pria tersebut. Dengan bersemangat, ia kerap mampu menebang 20 pohon dalam satu hari. Keanehan terjadi di hari ke-6, hanya 19 pohon yang mampu ia tebas. VHatinya pun sedikit gusar. Perasaan heran dan gelisahnya semakin hari semakin m embubung. Tatkala cuma 15 pohon yang dapat ditebangnya pada hari ke-10. “Ada apa dengan diriku?” Ia bertanya dalam hati. Pada akhirnya sang penebang t ersebut tak kuasa menahan jengkel di hari ke-20. Musababnya, pada satu hari itu ia cuma menebang 2 pohon saja. Sembari menahan malu, ia kemudian mengadukan permasalahannya itu kepada si Pemilik Usaha Perkayuan. Perihal penurunan kinerjanya selama 20 hari tersebut. Sang Pemilik usaha pun menjawab anak buahnya dengan bertanya: “Apakah selama 20 hari tersebut, kamu pernah mengasah kapakmu?” “Tidak, Pak. Karena saya sungguh sibuk untuk bekerja memenuhi target, menebang banyak pohon,” aku pria itu. “Nah. Ini lah yang menjadi akar masalahmu. Kegigihan dalam bek-
29
29
erja tak dibarengi perhatian pada alat yang menopang pekerjaanmu,” terang si P emilik. “Tentu mustahil engkau mencapai targetmu, jika hanya mengandalkan tenaga fisikmu saja.” Kisah di atas bukanlah ihwal baru dalam perjalanan hidup kita. Namun, kerap saja kita terlupa bahwa setiap profesi yang kita tekuni membutuhkan ‘perkakas khusus’. Bila penebang pohon mengandalkan pohon, maka petani juga memberdayakan cangkul. Pun nelayan, polisi dan rupa profesi lainnya. Bagaimana dengan profesi yang mengandalkan kecerdasan semata. Terlebih bagi sosok pemimpin bagi banyak insan. Dengan apakah kita mengasahnya? Boleh jadi fikiran kita lalu mencuat pada kisah silam di Alkitab. Yakni ketika Raja Salomo memohon hikmat kebijaksanaan dari Allah; a lih-alih meminta kekayaan berlimpah. Maka Allah pun menjawab permohonan putra Daud itu: “Oleh karena itu yang kauingini dan engkau tidak meminta kekayaan, harta benda, kemuliaan atau nyawa pembencimu, dan juga tidak meminta umur panjang, tetapi sebaliknya engkau meminta kebijaksanaan dan pengertian untuk dapat menghakimi umat-Ku yang atasnya Aku telah m erajakan engkau, maka kebijaksanaan dan pengertian itu diberikan kepadamu ; selain itu Aku berikan kepadamu kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sebagaimana belum pernah ada pada raja-raja sebelum engkau dan tidak akan ada t pada rajaraja sesudah engkau.” (2 Tawarikh 1:8-12). Marilah kita tetap ‘mengasah’ hati dan ‘perkakas’ kita dengan tekun, rendah hati dan penuh syukur yang selalu ditengadahkan bagi-Nya.