LENTERA NEWS #18 September 2015

Page 1

EDISI #18 SEPTEMBER 2015

BIJAK KATA BIJAK BERBAGI Ilustrasi: http://penultimateword.com/

1


Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS

DENGAN DOA DAN DANA

daftar isi

Kunjungi kami di sini:

3

Tajuk Redaksi

4

Telisik

6

MAJALAHLENTERA.COM

/LENTERA-NEWS

14

Berbicara Tidak Sekedar Asbun

9

Embun katekese

13

Rumah Joss

Ini Indonesia?

18

Sastra

20

Ilham sehat

Lentera khusus

Awas, Pemakaman Karakter!!

Opini

Velangkanni

23 Lapo Aksara

Ranjang Prokrustes

Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan E足 karisti (IV)

Target & Fokus

REDAKSI RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], 足Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) 足Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | 足redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

2


TAJUK REDAKSI

Berkomunikasi merupakan satu k ­ eindahan. Disebut demikian, karena peran kasat ­mata-nya yang menjembatani gagasan dan perasaan. Tidak hanya di kalangan ­manusia saja. Bahkan sejumlah besar ­penelitian dan pengalaman menitinya hingga ­dengan m ­ ahluk hidup lain, s­ emisal hewan juga t­ anaman. Kesadaran akan ­penyelenggaraan Ilahi juga menuntun iman untuk ­berkomunikasi dengan Tuhan. Tentu saja melalui doa dan pengalaman spiritual lainnya.

Sahabat Pembaca. Kami dari Redaksi dengan hati terbuka dan bahagia menerima percikan ­ilham lainnya yang hendak dibagi bersama. Tidak hanya Pastor Irfantinus maupun Pastor Hubertus sahaja. Banyak dari kita tentu telah menuai buah pengalaman dan pembelajaran yang juga berharga untuk kita sharing bersama. Jangan lupa untuk menulusur pencerahan senada dari Eka Dalanta Tarigan yang ­mengupas sisi lain wilayah Indonesia. Desa terisolasi dari teknologi dan infrastruktur yang biasa kita kecap, khususnya di perkotaan. Tentu banyak nilai yang dapat kita petik dalam berbagai sudut pandang.

Pastor Irfantinus Tarigan, dalam edisi ini, ­berkenan membagi pencerahannya perihal laku komunikasi manusia. Terutama dalam ragam kehidupan sehari-hari. Dengan analogi ‘lebah & lalat’ yang sungguh mengena, ilham Imam ­Diosesan KAM ini menuntun dan ‘sedikit’ ­menohok tentang perilaku yang selama ini kita abaikan. Yakni karakter yang kian jauh ­menuturkan dan berbagi kata-kata positif.

Seluruh gagasan dan pencerahan di Lentera News edisi September ini, kami persembahkan bagi setiap kita. Termasuk sahabat Pembaca Lentera News. Terima kasih untuk doa dan ­motivasi yang dicurahkan bagi kami, ­sehingga tiada padam semangat kami untuk terus ­menerbitkan majalah online kesayangan kita ini. Shalom.

Bagaikan satu fikiran, Pastor Hubertus Lidi, OSC juga turut menyorot persoalan ini dalam ­tulisannya di kolom Telisik. Yang berjudul ­“Berbicara Tidak Sekedar Asbun”. Pandangan ­kritis beliau saling melengkapi dengan ilham dari Pastor Irfantinus. Tentu ini merupakan suguhan nilai yang berharga bagi sesama kita. Terutama bagi pembaca Lentera News yang kami cintai.

Redaksi

33


TELISIK | AKU DI ANTARA YANG LAIN

BERBICARA TIDAK SEKEDAR ‘ASBUN’ Prolog RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com

Kisah fiktif ini mengundang kita, secara sadar berefleksi tentang ­ “Julio berceritera kepada Grasianus berbicara. Dampak, kekuatan, dan bahwa ia bertemu dengan Rama komplesitasnya. dan Shinta di jalan. Grasianus berceritera kepada Laura, bahwa ­ Julio bertemu dengan Ramah Merekat dan Meretakan dan Shinta lagi asyik berceritera ­berduaan di jalan. Laura berceritera Berbicara atau berkomunikasi secara oral, bagi orang-orang kepada Prudensia, istrinya Rama, ­ beriman merupakan anugerah bahwa ia mendengar dari Grasianus, ­ bahwa Julio bertemu dengan Rama ­Tuhan. Pada hakekatnya ­manusia dan Shinta yang lagi asyik ­berdua sadar dan tahu akan hal yang dibicarakan. Pada ­ ­ bagian lain sambil bergandengan tangan. anugerah ­berbicara ­merupakan ­anusia Prudesia berceritera kepada bagian dari ekspresi m sebagai makhluk yang berakal Markus suaminya Shinta bahwa ­ ia ­ mendengar dari Laura, bahwa budi. Makhluk yang tahu dan sadar suaminya dan istrinya Markus, akan tindakan dan keberadaannya. ­ lagi asyik berdua di jalan sambil Konteks berbicara dalam refleksi ini s­ecara ­ eksistensial merupakan ­bergandengan tangan. bagian dari ­ ­ ungkapan ‘tahu dan Akhirnya ceritera yang b ­ erkembang ­sadar.’ itu. Toh aspek k­esadaran di masyarakat adalah Rama inilah yang ­membedakan manusia ­berselingkuh dengan Shinta. Rose dengan ciptaan Allah yang lainnya. memberitahukan ­Prudensia, bahwa ternyata Rama itu ­hobinya Pada saat berbicara, kita ­berperan berselingkuh. Paradigma sebagai komunikator atau ­subyek mengekspreskan dan ­bertuturnya berubah dari berjumpa yang m ­ engkomunikasikan, ide, gagasan, di jalan menjadi isyu ‘berselingkuh.” pendapat, dan perasaannya secara

4


oral. Tujuannya agar hal-hal yang Analogi Lidah ­diungkapkan itu didengar, ­dimengerti dan ditanggapi oleh audiens atau Lidah- tongue, merupakan salah satu pendengar. organ tubuh dalam mulut/oral. Dalam Konteks berbicara lidah ­ merupakan Pada saat yang sama orang yang salah satu organ yang berperan mendengar berperan sebagai ­ penting, mengartikulasikan setiap komunikan, yang menerima pesan. kata yang keluar dari ­mulut. Dalam ­ Tali persaudaraan, rasa solidaritas, dan kerjasama dengan organ m ­ ulut yang kesetiakawanan serta ­ persahabatan lain, maka setiap kata yang keluar dengan sesama bertumbuh dan ­ mulut selalu mempunyai makna. ­selanjutnya secara pelan serta ­pasti, Dari perspektif positif dan negatif, terajut menjadi sahabat, karena ­sebagaimana yang digambar dalam ­berbicara. Lebih jauh dari itu ­terjadi kisah fiktif itu. Lidah itu bak ­pedang keakraban dan intiminitas antar bermata dua; Tajam dua sisi. Sisi pribadi dalam komunitas-komunitas positif, berdampak mempererat tali ­ manusia. Hal ini tergantung intensitas, persaudaraan-silaturahmi, dan sisi kecocokan, dan tercapainya tujuan. negatif, mengurai bahkan memutusDr. A. Supratiknya dalam bukunya: kan tali silaturahmi itu. Pilihan ada ­KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI dalam pada kita yang mempunyai lidah. konteks kedalaman komunikasi, ­menyebutnya sebagai Taraf Pertama, Kaitan dengan dampak, maka ­subyek atau hubungan Puncak ­Komununikasi, yang berbicara alias komunikator yang ditandai dengan kejujuran, ­ perlu mempertangung jawabkan keterbukaan, dan saling percaya. ­ ­ setiap kata-kata atau ­ pembicaraan Dalam pandangan Jhon Powell yang yang k­ eluar dari m ­ulutnya. Ia dikutip ­ Supratiknya, bahwa dalam ­menghadapi dan menyikapinya ­secara konteks k­ edalaman ­komunikasi ada 5 positif dan negatif pula. Positif berarti taraf mulai dari taraf basa-basi s­ ampai akur atau s­ebaliknya negatif berarti pada ­ puncaknya tahap ­ pertama, ­bertentangan dengan ­pendengar saling ­percaya ­(Kanisius:2003) atau ­komunikan. Tindak lanjut akibat dari pertanggung j­awaban ini tentu Tak dapat dipungkiri....berbicara berjalan sebagaimana prosesnya pada tataran lain merupakan komu- menuju pada tahapan penyelesaian nikasi oral yang juga tidak ditandai atau endingnya. Happy ending atau ­dengan kejujuran, keterbukaan, bah- tragic ending. kan bearomakan kebenciaan dan balas dendam. Dalam konteks ini Ungkapan ‘Lidah Tak Bertulang’, berbicara m ­ erupakan media yang ber- ­lentur, dan fleksibel itu bukan b ­ erarti peran mengumbar emosi dan amarah. yang mempunyai lidah seenaknya ­Berbicara mempunyai ‘kekuatan’ yang mengerak-gerakan alias ‘memainmemecah bahkan menghancurkan kan’ dari segala sisi. Ia tidak boleh ­ relasi dan h ­ ubungan antar m ­ anusia. seenak bokongnya, bersembunyi di Berdampak pada permusuhan, balik ungkapanya, membenarkan ­perkelahian, perang dll. Untaian kata- diri; ­memanipulasi, memutar- balikan kata menjadi rangkaian‘kampanye fakta, serta mempelintir kebenaran. ­hitam’, ­mengkompor-kompori Lalu ia menghidangkan kebenaran ­sehingga menjadi panas dan mem- ­versinya, yang belum tentu benar, dan bara. Ibaratnya: penyulut yang ‘bersilat lidah.’ Aspek yang dipaparkan siap disentuhkan ke rumput yang ke permukaan merupakan ‘polesan’. tersiram bensin. Pasti terbakar dan Yang lapisan dalamnya adalah palsu. ­ ­menghanguskan segalanya. (bersambung)

5


LENTERA KHUSUS | KARAKTER POSITIF

AWAS, PEMAKAMAN KARAKTER!! “Mengapa LEBAH cepat ­menemukan bunga? Sedangkan LALAT cepat menemukan k ­ otoran? Karena naluri lebah hanya u ­ ntuk menemukan bunga, ­sedangkan naluri lalat hanya u ­ ntuk ­menemukan kotoran. LEBAH tidak tertarik pada kotoran. Sebaliknya, LALAT tidak tertarik pada harum dan keindahan bunga. RD Irfantinus Tarigan Formator di Seminari Menengah Pematangsiantar, dan sedang berjuang memproduksi katakata positif

Alhasil, LEBAH kaya akan madu ­sedangakan LALAT kaya kuman ­penyakit.” Demikian kata-kata seorang motivator yang menganut kepercayaan, “apa yang kamu pikirkan tentang orang lain atau sesuatu biasanya itu yang kamu dapatkan, sebab kamu memang selalu memandang mereka dengan kacamata pikiranmu itu. Kalau ­kacamata Lebah ya .. kamu dapat madu .. kalau kacamata Lalat ... ya kamu dapat ­kotoran.” Saya sedikit banyak ­mengamini juga cara pikirnya itu. Berawal dari seorang teman ... Pagi hari, ketika tahu seorang teman lagi sibuk-sibuknya, dengan sengaja saya kerjai dia. Saya kirim sms: “Lagi sibuk ya?” (Itu hanya basa-basi sebab saya tahu ritmenya) “Iya ... memang ada apa ya?” “Ada yang sangat penting mau ­kukatakan ...” “Oh ... tunggu ya ... nanti saya telepon balik ...” “Ok ..” (Dalam benak saya terbayang: dia buru-buru meninggalkan kerjanya, pasti dengan harap-harap cemas. Kemudian dia telepon saya ...) “Ada apa tadi, kok tumben bicara seperti tadi ..” “Gimana kabarnya? Baikkah?” “Oh ... baik-baik saja ... kamu kenapa ... lagi ada masalahkah?” “Endak juga, tetapi memang ada yang

66

sangat penting mau kukatakan untukmu ..” “Wah ... apa itu ya?” “Iya ... penting sekali ...” “Apa?” “AKU MENGASIHIMU ...” (Sengaja saya buat lambat-lambat. Saya tunggu ­reaksinya. Dalam benak sudah saya bayangkan reaksinya, dan benar saja perkiraan saya itulah yang terjadi ...) “Ihh ... itu aja pun... kukira tadi entah apa, ... iihhh ...” (Lalu dia mulai merepet sana-sini. Saya cengar-cengir saja, sebab sudah memperkirakan reaksi itu ­sebelumnya.) Saya katakan “kerjai”, tidak berarti saya main-main dengan kata AKU ­MENGASIHIMU itu. Konteks kerjai itu hanya dalam hal pemilihan waktu saja, yakni tepat saya pilih ketika dia sibuk. Soal “mengasihi” itu memang betul ­demikian. Saya sungguh-sungguh dengan kata itu. Pengakuan itu muncul setelah sekian lama mengenal dan bergaul dengannya; setelah ada ragam pengalaman yang terjadi. Cuplikan cerita tadi bukan ­bohong-bohongan, tetapi real t­ erjadi. Titik renung yang mau ­disasar: orang cenderung menganggap ­berita b ­ aik-agung-mulia seperti AKU ­MENGASIHIMU bukan berita penting, malah dianggap main-main. Sementara kalau saya mengatakan, “Kamu tahu enggak kalau Pastor IT itu tak pernah ibadat harian, dan lihat saja bentar lagi dia akan mengundurkan diri ...”, ini pasti dianggap berita penting. Karena begitu pentingnya, tidak lama kemudian akan menjadi menu percakapan tambahan di meja-meja makan. Tampaknya memang tiap orang memiliki “spirit” jurnalis: bad news is good news (berita buruk adalah berita baik).


Secara naluriah, berita negatif m ­ emang sering dianggap lebih penting, lebih ­menarik, dan tentu cenderung lebih lama diingat. Tetapi apakah lebih ­membangun, lebih ­menggembirakan? Rasanya tidak. Secara tak sadar, ­energi dari dalam diri akan dikuras saat mendengar berita-berita negatif, ­sebaliknya kabar sukacita justru akan menambah energi. Bisa dibuat tes ­sederhana: tontonlah video ­pemenggalan oleh ISIS lalu tonton juga cuplikan Kick Andy. Bandingkan ­perasaan yang muncul setelahnya! Saya telah coba: video ISIS itu membuat mual, muak dan anti-pati, sedangkan video kedua menyegarkan pikiran.

Saya amati, ­kecenderungan untuk ­ menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi ­daripada ­menyebarkan hal-hal positif. ..... tetapi haruskah ­tunduk pada kecenderungan?

Saya amat-amati, kecenderungan untuk menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi daripada menyebarkan halhal positif. Misalnya saja, berita tentang seorang suster yang keluar akan cepat tersebar/menyebar/disebarkan, ­daripada misalnya berita tentang seorang s­ uster yang kena malaria tropicana ­karena harus berjibaku di tanah misi. Itu ­kecenderungan, tetapi haruskah tunduk pada kecenderungan? Tidak rasanya.

air yang d ­ ihadapannya dirapalkan setiap hari kata-kata buruk, misalnya bodoh, ­pembunuh dst... memiliki bentuk s­ usunan kristal yang jelek dan ­menyeramkan. Ini menunjukkan bahwa kata-kata manusia itu punya daya yang menghidupkan tapi juga daya yang merusak. Model Problem Solving dan ­Appreciative Inquary Perbincangan sebelumnya, lebih ­menyangkut gerakan pribadi; ajakan untuk memakai kata-kata positif. Berikut coba kita lihat, dalam konteks g ­ erakan bersama dalam sebuah organisasi ­(Gereja). Ada ragam model yang digunakan untuk mengembangkan sebuah ­organisasi. Model Problem Solving (PS) dan A ­ ppreciative Inquary (AI) adalah dua diantaranya. Model AI dimulai pada 1987 oleh Cooperrider DL & Srivastva, S. (1987), pakar tentang organisasi.

Kalau ada orang yang mengatakan kepada saya, “Pastor aku mencintaimu,” atau “Pastor aku membencimu” saya tidak sekadar menerima informasi yang ­berguna bagi saya. Kata-kata itu mengerjakan sesuatu dalam diri saya. Kata-kata itu membuat darah saya bergerak, ­jantung saya berdetak, nafas saya menjadi lebih cepat. Kata-kata itu mempunyai daya untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan saya.

Ini merupakan semacam ­pemberontakan pada model PS, yang dianggap tak memadai lagi untuk membenahi sebuah organisasi. Hakekat AI dan PS sebenarnya sama yakni, ingin membuat organisasi berjalan lebih baik. Namun bagi Cooperrider dan S­ rivasti model PS tak lagi cocok. Model PS melulu menanyakan apa masalah, dan bagaimana mengatasinya. Model PS masih melandaskan pada asas insentif/ penghargaan (bagi yang berprestasi) dan punishment/hukuman (bagi yang tidak berprestasi). Model PS o ­ toritatif, dan bahkan dianggap jauh dari ­persuasif. Padahal tujuannya adalah, bagaimana membenahi organisasi.

Secara ilmiah, kekuatan kata-kata ­manusia itu sudah dibuktikan: Prof Emoto Masaru (http://www.masaruemoto.net/english/water-crystal.html) dari Jepang telah meneliti kristalkristal air selama bertahun-tahun. ­Kemudian dia menemukan bahwa air yang ­dihadapannya diucapkan kata-kata syukur, terimakasih, ganteng, cantik atau kata-kata positif lainnya ­kemudian memiliki kristal-kristal yang sungguh indah dan teratur. Sementara

Nampaknya, akhir-akhir ini sudah ­semakin banyak perusahaan yang ­menggunakan metode AI ketimbang PS. Mengapa AI? Model ini memaksa ­manajamen atau pimpinan p ­ erusahaan untuk mendengar, ketimbang ­menanyakan masalah semata. Model PS, ekstremnya demikian: ketika kita ­mencoba memecahkan sebuah masalah, sering terjadi masalah itu malah jadi dua (sebab sudah dipecah), lagi pula kemungkinan munculnya resistensi/

Aku mencintaimu atau Aku ­membencimu

77


perlawanan sangat besar dengan model PS. Efek psikologis yang ditimbulkan dari pendekatan ini adalah kita akan merasa bahwa ternyata masalahnya banyak sekali dan untuk memecahkannya akan sulit sekali. “Menurut kamu, apa yang terbaik, dan apa yang paling berkesan?” demikian kira-kira pesan model AI ini. Model AI ini, menurut dua pakar itu, menuntut kita untuk berkomunikasi langsung, bahkan sampai komunikasi “one on one”. Mendengar siapa saja yang dianggap bisa memberikan ide tentang perbaikan organisasi. Contoh konkret: Ada seorang ­bapak yang marah pada anaknya, dan ­bertanya, “kenapa kamu malas-malas saja?”, dengan nada tinggi. Model AI menuntut, si bapak ini harus menyelami betul apa yang membuat anaknya ­malas. Si bapak kemudian memilih untuk ­berkomunikasi dari hati ke hati. Ditemukanlah, si anak malas karena merasa dilecehkan rekan sekelasnya. Artinya, model AI membutuhkan afeksi, empati, understanding. ( info lain misalnya di http://www.academia.edu/3666487/ Mengenal_Appreciative_Inquiry) Kemana arah pembicaraan? Kalau diringkaskan, baik Prof ­Emoto Masaru maupun pendekatan ­pengembangan organisasi model ­Appreciatif Inquary, sama-sama ­menawarkan: penggunaan kata-kata positif meneguhkan ketimbang katakata negatif melelahkan; lebih melihat kemungkinan pengembangan daripada masalah-masalah. Paling tidak ada tiga titik refleksi yang menggugah saya: Pertama, hati-hati berkata-kata atau ­menyebarkan kata-kata, terutama ­dengan kata-kata negatif. Setiap kata yang lepas punya daya tertentu, entah

88

merusak entah membangun. Janganjangan komentar-komentar saya malah mematikan/memakamkan karakter orang lain. (Tapi juga saya harus hatihati dengan tulisan ini sendiri, sebab ­mungkin akan memancing komentar negatif juga hehe ...) Kedua, sebagai seorang P ­ engurus ­Gereja/Pastor yang sering ­menyampaikan kotbah boleh b ­ ertanya: Apakah aku lebih banyak bicara ­tentang dosa-dosa yang menakutnakuti (hal-hal negatif ) daripada r­ ahmat yang m ­ enyegarkan (hal-hal positif, ­kemungkinan-kemungkinan)? Apakah kotbahku menggugah semangat umat untuk berbuat baik atau malah berseru dalam hati sembuhkan dahulu dirimu tabib? Paus Fransiskus berpesan (saya perluas pesan itu), “hendaknya wajahwajah orang Katolik yang pulang dari Gereja (doa lingkungan/pernikahan/ tahbisan/kaul kekal dll) jangan s­ eperti wajah orang yang baru pulang dari ­pemakaman (bisa juga dibaca-direfleksikan: jangan jadikan Gereja Pemakaman Karakter dengan pintu mimbar kotbah)” Saya perhatikan, soal keceriaan itu sangat banyak dipengaruhi oleh kotbahkotbah yang disampaikan forhanger/ pastor/uskup. Kotbah yang baik biasanya membangkitkan karakter baik yang terpendam di dalam diri pendengar. Ketiga, lewat model AI, si Bapak/­ Pimpinan membuat anaknya m ­ erasa ­telah didengar, dimengerti dan ­dipahami. Dia tidak hanya menjadi ­sasaran pertanyaan atau kemarahan (apalagi di hadapan publik misalnya), “Mengapa kamu malas?” karena si anak sudah tahu bahwa ia sedang malas. Dia hanya ingin sesuatu agar k­ emalasannya, yang dia tahu turut mengganggu ­dirinya, bisa dia lepaskan.


EMBUN KATAKESE | LITURGI

PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI (IV) OLEH:

Katolisitas.org

9


Harus ­dibedakan bahwa ­untuk lagu-lagu ­liturgis, lagu bukan ­hanya ­sebagai ­ungkapan ­perasaan ­tetapi ­ungkapan iman (lex orandi lex ­credendi)

Sejumlah pelanggaran berkenaan dengan Penerimaan Komuni telah rampung diulas dalam edisi ­Agustus lalu. Dalam edisi ini, kita akan mengulas Pelanggaran dalam hal musik liturgis.

liturgi. Karena itu musik modern juga ­diterima Gereja, sebab musik ­tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan ­kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis.

Pelanggaran Dalam Hal Musik Namun karena musik modern t­ elah timbul kebanyakan untuk ­Liturgis 1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi Seharusnya: Tra le Sollecitudini 1 Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk m ­ elingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi p ­emahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah ­ untuk ­menambahkan ­dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih t­ erdorong kepada d ­ evosi dan lebih baik diarahkan ­ kepada penerimaan buah-buah ­ rahmat yang dihasilkan oleh ­ perayaan misteri-misteri yang p ­aling kudus ­tersebut.

­ m elayani penggunaan profan, maka ­perhatian yang khusus harus ­diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam ­bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan. Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan h ­ anya ­sebagai ungkapan perasaan ­tetapi ungkapan iman (lex orandi lex ­credendi). 2. Adanya tari-tarian yang ­ enyerupai m pertunjukan/ performance diadakan dalam ­ perayaan ­ Ekaristi, kemudian ­diikuti dengan tepuk tangan umat. Seharusnya: RS 78 … Perlu dihindarkan s­ uatu Perayaan Ekaristi yang hanya ­dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya ­upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara ­profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.

Tra le Sollecitudini 2 Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh Direktorium tentang ­Kesalehan Umat mereka yang memainkannya. dan Liturgi 17 …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara Tra le Sollecitudini 5 Gereja telah ­ naluriah terkait dengan tepuk ­selalu mengakui dan menyukai ke- ­ majuan dalam hal seni, dan men- tangan, gerak tubuh secara ritmis, ­ ahkan tarian. Ini semua adalah erima bagi pelayanan agama semua dan b bentuk lahiriah dari gejolak batin dan yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepan- merupakan bagian dari tradisi suku jang ­ sejarah — namun demikian, …. selalu sesuai dengan kaidah- kaidah

10


Jelas, itu hendaknya menjadi 3. Band masuk gereja dan d ­ igunakan ­ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sebagai alat musik liturgi. sekedar menjadi tontonan… Seharusnya: Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: ­Ignatius Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu alat musik piano tidak d ­ iperkenankan kekacauan untuk mencoba ­membuat di gereja, sebagaimana juga alat liturgi menjadi “menarik” dengan musik yang ribut atau berkesan tidak memperkenalkan tarian pantomim serius(frivolous), seperti drum, cymbals, (bahkan sedapat mungkin d ­ itarikan bells dan sejenisnya. oleh grop dansa ternama), yang s­ ering kali (dan benar, dari sudut p ­ andang Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras profesionalisme) berakhir dengan menggunakan alat musik band di dalam ­applause -tepuk tangan. gereja, dan hanya di dalam kondisikondisi khusus ­ dengan p ­ersetujuan Setiap kali tepuk tangan terjadi di Ordinaris dapat d ­ iizinkan ­penggunaan tengah liturgi yang disebabkan alat musik tiup, yang t­ erbatas oleh semacam prestasi manusia, itu ­jumlahnya, dengan p ­ enggunaan yang ­adalah tanda yang pasti bahwa esensi bijaksana, sesuai dengan ukuran temliturgi telah secara total hilang, dan pat yang tersedia dan komposisi dan telah ­ digantikan dengan semacam aransemen yang ditulis dengan gaya ­pertunjukan religius. yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan p ­ enggunaan organ. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing Maka diperlukan izin khusus untuk di arena pertunjukan untuk mencapai menggunakan alat-alat musik lain, kesenangan (leisure pursuits), dengan terutama jika alat tersebut dapat memasukkan tambahan berbagai memberikan efek ribut/ keras, dan bentuk gelitik religius.” berkesan profan/ tidak serius. Kardinal Arinze ­ menjelaskannya ­demikian: bahwa pada ­budaya-budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak ­ ­terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan t­ersebut dapat diadakan dalam ­ ­ prosesi perayaan Ekaristi, namun ­ ­ bukan ­sebagai ­pertunjukan. ­Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari ­penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) ­ maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak ­ ­relevan.

11


12


KOLOM “RUMAH JOSS” | TARGET & FOKUS

TARGET DAN FOKUS

S Yoseph Tien Wakil Ketua ­KomIsi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan

iang ini saya belajar lagi tentang target, sasaran yang ingin dicapai, melalui sebuah permainan ­ sederhana “Dart”. Untuk menuju sasaran ­secara tepat ­dengan ­perolehan angka tertinggi, s­ emuanya butuh perjuangan dan ­pengorbanan. Semuanya butuh waktu dan proses. Latihan dan latihan terus menerus, tampaknya akan menentukan anak panah meluncur mengenai ­sasaran secara tepat atau tidak. Disini dibutuhkan: arah dan titik sasaran, ­ sudut lemparan, kecepatan dan ketepatan lemparan. Sejatinya setiap kita harus punya target...dalam hal apa saja...dalam ­ hidup pribadi...pada aspek kognitif, afeksi, maupun konatif. Pada aspek spiritualitas, kesehatan, keuangan, relasi sosial, juga dibutuhkan target tertentu. Itulah pencapaian-pencapaian yang kita inginkan-yang kita harapkan-yang kita impikan. Kalaupun dalam proses ke arah ­sasaran, ada seonggok ketertundaan, target meleset, bangun lagi, berlatih lagi dan terus kejar target itu. Sesungguhnya target tak pernah bergeser, semangat kita yang bisa berubah setiap waktu. S­elanjutnya, problem pokoknya bukan pada saat engkau jatuh, tetapi ­ bagaimana engkau ­ bangkit dari setiap ­kejatuhanmu.

14 13

Jadi, mari tetapkan target kita dan berlatih mencapainya. Mulailah dari yang kecil dan sederhana, mulai dari diri sendiri, mulailah dari sekarang, semangat dan tetap fokus! Sementara itu, tentang fokus, mentor saya Bang Ikhwan Sopa, penulis buku “Manajemen Pikiran dan Perasaan”, pernah menulis demikian: “Fokus itu tentang tujuan. Fokus itu fleksibel dalam pendekatan, tetapi tetap teguh dalam prinsip. Fokus itu bukan hanya cupet seperti berkaca mata kuda. Agar semakin fokus, perluaslah wawasan. Fokus itu mengharuskan ­ adanya berbagai hal yang tidak j­elas sebagai nuansa lingkungan. Jika ­semuanya jelas di dalam frame, maka itu bukanlah fokus. Perluas ­bingkainya dan masukkan yang tidak terlalu jelas ke dalamnya. Dari situ, kita akan tahu perbedaannya dan tahu bagaimana harus berfokus. Fokus, tidak sama dengan katak dalam tempurung!”


OPINII | PENDIDIKAN

Eka Dalanta Tarigan Founder @ KemanaAja. com Owner @ BrandTalkID

14 14


INI INDONESIA?

D

ari mana ditakar nilai keindonesiaan kita? 足Apakah dari bahasa yang kita gunakan? Atau dari nama yang melekat di diri kita. Seperti nama saya 足misalnya, bagi masyarakat sesuku saya, sangat mudah menilai bahwa saya adalah bagian dari mereka hanya dengan m 足 engandalkan nama saja. Lalu apakah nilai keindonesiaan kita dinilai dari itu? Saya pikir tidak! Lalu apa keindonesiaan itu?

Ilustrasi: HipWee.com -- Herman Damar

15 15


Yang paling pantas disebut d ­ engan Keindonesiaan adalah sesuatu yang melekat dalam pikiran saat ­menyebutkan Indonesia. Sesuatu yang muncul dalam pikiran saat ­menyebut Indonesia. Buat saya, Indonesia selalu muncul sebagai negeri yang kaya raya bertanah subur dengan hasil alam yang ­melimpah. Seperti yang biasa saya terima s­ ejak di bangku ­sekolah dasar. ­Perjalanan saya ke beberapa bagian kecil Indonesia m ­ engukuhkannya. Dalam setiap perjalanan saya saya selalu bertemu dengan keindahan, pemandangan tropis yang selalu membuat saya ­berdecak kagum. ­Keanekaragaman budaya, ­keramahannya, ­kesediaannya ­menolong yang itu selalu ­bergandengan dengan ironi. Di dekatnya, kemiskinan selalu melekat. Saya memang tidak lahir ­sebagai anak orang kaya. Saya akrab ­dengan dunia pasar dan keseharian masyarakat awam. Tapi saya masih bisa bersekolah hingga tingkat universitas -walau untuk itu mesti membuat keluarga dan diri sendiri sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga kali sehari, bisa sesekali hang out dengan teman di kafe, bisa membaca buku dan mengoleksi buku kesukaan, bahkan sesekali bisa travelling. Dan perjalanan kali ini, membuat saya tersentak. Ini Indonesia? ­Benarkah ini masih Indonesia? Di belahan manakah ia dalam peta ­kesejahteraan yang digaung-gaungkan itu? Apa ini sudah ada yang tahu? Atau memang sengaja tutup mata? Kenapa ­pembangunan tidak merata. Kata-kata itu terus ­menghantui pikiran. Mencoba mencari k­ epastian, membangunkan diri dari mimpi ­buruk sebuah realitas tetang ­Indonesia. Hari itu, saya bertugas sebagai ­penulis skrip untuk video profil ­sebuah lembaga swadaya masyarakat

di Sumatera Utara. Bersama dengan dua orang pendamping dari yayasan, saya dan dua orang rekan kerja ­lainnya berangkat menuju sebuah desa kecil di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara. Desa Laja namanya “Di mana itu bang?” tanya saya pada salah satu staf. “Ah, kau juga belum pernah kemari,” kata teman yang lain protes pada saya karena tidak tahu tempatnya. “Orang Karo juga tidak semua tahu ya?” Sindirnya lagi. “Ah… tak usah dibahas lah, bang seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak selera berangkat dan mual sebelum sampai,” kata staf yayasan yang lain sambil bercanda. Dalam pikirian, saya hanya membayangkan rute ­perjalanan yang hanya jauh. “Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik motor trail,” lanjutnya lagi. ­Bayangan terburuk saya ternyata hanya ­separuh dari kenyataan perjalanan ­sesungguhnya. Berbekal 5 nasi bungkus, minuman botol, rasa percaya diri, ­mengendarai 3 sepeda motor kami menuju lokasi tujuan. Meninggalkan jalan b ­ esar ­Jamin Ginting kami memasuki perkampungan masyarakat Karo di Simpang Pasar Baru, ­Sibolangit. ­Melewati jalanan Desa Rumah ­Kinangkung. Jalanan beraspal ­sudah habis. Jalanan tanah sudah ­menyambut di depan. 300 meter kemudian, jalanan tanah sudah habis diganti jalanan tanah basah dan licin kemudian berganti dengan jalanan berlumpur. Walah… apa ini? ­Butuh tenaga ekstra agar motor tidak ­terhalang jalannya. Saya yang berada dalam boncengan harus selalu berpegangan erat. Gila… saya tidak akan berani mengendarai motor di jalanan seperti itu. Di kiri atau kanan jalan –bergantian- jurang dalam dan dangkal siap menampung. Sementara itu jalanan ber-

16


lumpur terkadang berbelok menurun dan menukik tajam ke atas diganti ­jalanan berbatu besar dan berserpih. Beberapa kali saya harus turun dan berjalan kaki demi keamanan. Celana jeans saya sudah digulung ke atas agar nyaman. Sepatu kets saya sudah tidak jelas lagi ­bentuknya. ­Bercampur tanah lembek dan rumput kering. Kepala saya panas didera angin gerah siang. Teman saya Anto dan Onny, harus merelakan sandal gunungnya yang tak kuat ­menarik gravitasi dari lumpur. Sesekali ­motor harus didorong atau diangkat. Sekali kami melihat ular melintas mencoba ­menyambut perjalanan kami. ­Sembari tak lupa juga kami menikmati keindahan alam. ­Pengobat lelah dan penat. ­Menghirup hijau klorofil dan ­keluasan ­semesta. Saya merasa kerdil di tengah alam begini. Kami melewati beberapa ­perkampungan. Kami telah masuk ke dalam hutan tropis. Saat beristirahat setelah setengah perjalanan sebuah pemandangan membuat saya tidak bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil berjalan akrab di tengah hutan itu. Mereka mengenakan seragam putih merah. Baru pulang sekolah. Sebuah kantong plastik menjadi wadah ­penyimpan buku-buku. Seragam putih itu telah terkena lumpur, rok dan celana merah itu telah berubah warna. Tidak ada alas kaki. Kakikaki mungil itu penuh lumpur dan ­bersisik. Perjalanan mereka ke sekolah ­membutuhkan waktu 2 jam ­berjalan kaki. Mereka telah melewati ­jalanan yang kami lalui tadi. Juga ­melewati sungai yang kami lalui atau ­jalan potong lain yang sama saja. Namun bagi mereka itu sudah menjadi ­keseharian dan tak perlu ­diperdebatkan apalagi dikeluhkan. Sambil berjalan mereka bisa mencari buah hutan, serangga hutan,

17

­ ermain rumput, mencari belalang b atau capung. Tapi hati kecil saya sulit menerima. “Ya… Tuhan… Terima kasih buat hari ini. Saya bisa melihat dari dekat, belajar banyak dari mereka, dan m ­ enjejakkan kaki pada bumi.” ­Kesadaran yang tumbuh. Dan hati kecil saya masih terus bertanya, “Di bagian mana Indonesia lagi yang seperti ini?” Setibanya di Desa Laja, kami ­disambut dengan suguhan buah durian dan duku. Rasa lelah masih tersisa. Tapi saya menyerap ­banyak hal, ­termasuk gotong-royong ­memperbaiki sumber air bersih di sungai yang terkena longsor, tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Inilah Indonesia yang sesungguhnya. Namun begitu tidak ­terbayangkan bila harus tinggal di sana. Lain ­ceritanya kawan jika saya memang sedang ingin trekking ke dalam ­hutan. Untuk tinggal di sebuah ­tempat seperti itu, saya berdoa, “­Tuhan, jangan, ku mohon!.” Satu hal lagi yang akan terus saya ingat, seberapa berjelagapun kemiskinan itu, miskin nurani adalah yang paling hina.


SASTRA | VELANGKANNI

VELANGKANNI P agi, seperti biasa. Surya menguak cahya dari ufuk Timur. Namun, aku ­mengistimewakan pagi ini ­untuk suatu tujuan. Sebuah ­rumah ibadah. Tak jauh dari kediaman pribadi dan yang ­terpenting ini: hening.

Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News

Sebuah keheningan bisa jadi ­teramat penting. Jika hiruk lalu-lintas di ­jantung kota bisa kalah bising dengan gemuruh kerja otak, ini menandakan sesuatu tidak ­beres. Coba mengutip nasihat orang ­bijak “menyeimbangkan”. Hmmm. ­Sebenarnya, aku lebih ingin ­bungkam saja swara-swara tersebut. Atau lebih asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit burung gereja taling-tarung berebut betina. Derak terali sepeda motor turut bersumbang swara menuju ‘syurga hening’. Aku sempatkan mengumpat debu kemarau yang berebut masuk ke lubang hidung. Sedikit nanar, di

18

mulut gang rumah, kulihat sesosok manusia. Tiada bertangan. Tak pernah kutahu namanya. Namun, lebih ­mudah dikenali karena ia cacat tangan, dan berjualan tape. Ia ­mencari-cari sinar mataku. Aku ­melihat bola matanya. Kami tak ubahnya dokter mata dan pasien. Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan pasien. “Mas, hendak pigi kemana?,” ia ­membuka cakap sembari senyum. “Velangkanni,” jawabku sekenanya. Aku kurang suka senyum pria ini. Setiap kali bersua dengan sepeda penjaja tape yang dikemudi ­dengan dadanya, ia selalu tersenyum. Acap kali seperti ejekan. Aku yang ­bertubuh lengkap, malas tersenyum. Berkebalikan dengannnya. “­Apakah aku harus tak bertangan untuk ­tersenyum,” rutuk dalam hatiku. “Saya minta tolong. Numpang ­diboncengin ke (Rumah Sakit) Adam Malik,” pintanya.


“Ndak ada becak?” “Ndak ada duit.” “Lho? Hmm. Ya, sudah. Pulang, sendiri ya.” Ia mengangguk. Aku masih belum tanya nama.

aku sedikit risih. Mungkin, ia kira hendak berfoto gaya dan pajang di Facebook segala. Tapi, dengan segala umpatan rutuk tadi sepertinya bukan awal tepat mengawali doa.

Derak terali sepeda motor dan swara pria di belakang kini berpadu ria. Pun, sebuah firasat ia berbicara ­sesenggukan. Ya, Tuhan. Jangan bilang ia sedang menitikkan air mata. “Saya baru mendapat surat BPJS, mas,” ia bertutur s­ endirian. “Untuk operasi mata anak saya. Saya ndak tega setiap kali dia minta dibeliin krayon warna untuk menggambar.”

Karenanya, aku sedikit kaget saat ia meminta: “Tolong doakan anak saya ya, Mas,” pintanya dengan lirih. Aku menatap wajahnya. Benar, ia sedang menitikkan air mata. ---Kini, aku bersimpuh di ­bantalan bangku Velangkanni. Hanya ­permintaan pria tiada bertangan itu tersisa sebagai ngiang. Cecuit-cecuit tak lagi menjepit relung jiwa. Hanya ngiang permintaan pria itu, dan kibas putaran kipas angin sedikit mengusik.

“Putri saya ini juga bilang bercitacita jadi penemu. Agar saya punya tangan utuh. Dan bisa ­menggambar ­bersama. Ekh”. Ban motorku ­terjerembab satu lubang p ­ eninggalan semenjak zaman penjajah. Dan Aku pun tenggelam dalam hening. ­menyela cakapnya. “Sayang, aku lupa tanya namanya,” aku membathin. Tak tahan bungkam, aku nyahut: “­Memang anak kam, sakit apa?” Aku pun merasa amat kecil kini. “Ndak tahu.” Kesal dan bising-bising itu tak lagi “Lho? Kok dioperasi.” memamah kewarasanku. Hanya “Kata dokter. Tapi, saya sudah syukur aku, mendekap punggung bangku. bisa dapat surat ini. Sudah 3 minggu ­Berdoa untuk seorang insan tak bolak-balik kantor pemerintah, baru kukenal namanya, agar matanya dapat sekarang.” ­sembuh. Berdoa untuk seorang ayah tak bertangan. Ia pun sedu sedan mengalami ­perlakuan tak adil selama proses Dalam doa, aku merasa tak bermata ­pengurusan tersebut. Terzolimi. dan bertangan. Hingga air mata “Yeahhh,” aku dengus nafas berat. ­berlinang sendiri. “Kalau yang begituan, musti ada duit dulu.” Memang pelik, fikirku, layanan “Puji syukur atas kemurahan-Mu, untuk orang kurang duit harus setor Tuhan,” aku membathin lagi. Dan, duit laiknya orang bergelimang beringsut perlahan keluar, menuruni duit. Dan cecuit-cecuit burung galak lekuk tangga berundak kerikil kecil. ­kembali riuh di kepalaku. Aku melap kerjap air mata teraKami tiba (akhirnya). “Terima kasih ya, khir. Senja memeluk pinggang Mas. Mau ke Velangkanni untuk apa?” ­Velangkanni kini. ia tak henti juga bercakap. “Berdoa,”

ilustrasi: Velangkanni.blogspot.com

19


ILHAM SEHAT | OLAH RAGA

OLAHRAGA DENGAN KURSI KERJA 20 20


J

am kerja yang tinggi membuat karyawan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk untuk bekerja. Secara tidak sadar, aktivitas itu malah mengurangi kegiatan fisik, yang justru berbahaya bagi kesehatan. Baiknya, selama di kantor kegiatan bekerja memang harus ­diselingi dengan aktivitas fisik yang bergerak. Para pakar ­kesehatan menganjurkan agar Anda berdiri dan berjalan-jalan setiap 30 menit sekali. Tidak mau berjalan karena pekerjaan Anda m ­ enuntut ­untuk selalu memantau pekerjaan secara online di k­ omputer? Denny Santoso, pakar olahraga, memberikan tip ­melakukan olahraga dengan memanfaatkan kursi kerja. Cat cow stretch. Caranya, duduk dengan posisi punggung tegak dan kedua tangan memegang lutut. Tarik napas dan condongkan pinggang ke depan. Tahan beberapa detik. Embuskan napas, dan lengkungkan punggung ke ­belakang. Lakukan masing-masing sebanyak 10 repetisi dalam tempo lambat. Chair dip. Latihan ini berguna untuk melatih tubuh ­bagian atas. Caranya, berdiri membelakangi kursi dan t­ umpukan berat badan Anda dengan kedua tangan m ­ emegang ujung kursi. Pastikan kursi yang Anda pergunakan cukup kuat dan stabil menopang berat tubuh Anda. Angkat tubuh Anda dengan memberikan kontraksi otot dada, bahu dan trisep secara bersamaan. Turunkan tubuh secara perlahan ke bawah dengan posisi punggung tetap lurus, kemudian ­angkat tubuh Anda kembali. Ulangi gerakan ini sebanyak 8-10 kali.

Sumber: http://www.readersdigest.co.id

21 21


22


LAPO AKSARA

RANJANG PROKRUSTES

Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News

Alkisah pada suatu masa di negeri Yunani, nama ‘Prokrustes’ menimbulkan kegegeran. Siapa Prokrustes? Dalam ­bukunya ­“Ranjang Prokrustes”, Nassim Nicholas Taleb coba menuturkan sosok tersebut memiliki nama asli Damastes. Ia dijuluki Prokrustes yang berarti ‘meregangkan’. Sang penjagal ini terkenal karena ­muslihatnya mengundang para musafir yang bertualang ke daerah Attica. Usai menjamu dengan suguhan nikmat. Ia mengajak tamunya untuk tidur di ranjang besi miliknya. Bila ukuran ranjang terlalu panjang, maka Prokrustes akan meregangkan tangan dan kaki tamunya hingga benar-benar pas. Acapkali hingga anggota tubuh tersebut lepas. Bila kaki tamunya terlalu panjang dari ukuran ranjang, ia akan memotongnya sesuai panjang ranjang tersebut. Prokrustes mungkin tak lebih dari satu cemooh yang dibungkus dalam sebuah epos. Perihal laku manusia menilai dan mengukur ­sesamanya. Terkotak-kotak dalam status, ­kepemilikan materi serta prestasinya. Tidak jarang pula ‘ukuran-ukuran’ ini menjagal keyakinan dan kehidupan banyak insan. Fanatisme Prokrustes untuk ­mendapatkan segala sesuatu ideal menurut egonya menjadi inspirasi Nassim Nicholas Taleb. Ia mencibir ego serupa yang mewabah pada masyarakat kita kini. Dalam aforisme

23 23

di bukunya “Ranjang Prokrustes” Taleb mendapati banyak manusia yang s­ ejatinya hendak mewujudkan sesuatu yang ideal terjebak dalam fanatisme Prokrustes. Ukuran ideal yang diterakan oleh sesama manusia, sayangnya, ­seolah ­tiada berkesudahan. ­Menilai ­kesalahan semasing laiknya ­pencaharian harta karun yang mesti ada. Karena kerasukan ruh Prokrustes ini, kita (juga saya) kerap lupa bahwa manusia itu lemah adanya. Kegusaran tersebut lah kiranya ­mendorong Rasul Paulus ­menorehkan pesannya, yang berlaku bagi kita. ­Yakni: “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri m ­ enurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” (Roma 12:3). Nasihat Paulus tersebut bukan ­sekedar berlaku bagi Jemaat di Roma. Sabda yang dicurahkan Allah dalam suratnya itu, telah memahami bahwa Prokrustes bukan sekedar legenda tentang satu pribadi. Ia ada s­ ebagai laku yang menjangkiti. Inilah s­ ebabnya, Firman Allah juga tiada henti menjadi rujukan. Sang Maha ­Rahim yang menilai kita bukan ­seturut ukuran manusia.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.