EDISI #12 MARET 2015
MENULIS BUKU, MERINTIS PEMBEBASAN
1
Bank Rakyat Indonesia Rek.No. 0336-01-068622-50-6 a.n. Hubertus Agustus Lidy | Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
daftar isi
Kunjungi kami di sini:
MAJALAHLENTERA.COM
/LENTERA-NEWS
3 Tajuk Redaksi 6
Telisik
8
Lentera khusus
16
Menulis Buku dan Dinamikanya
Kolom “Rumah Joss Paranoid da Keahlian Memanah
18 Ilham sehat
20 Opini
Maulana: Penulis Itu Tidak Ada Matinya
Kalau Bersih, Kenapa Risih?!?
22 Sastra Perempuan Yang Memahat
14 Embun katekese
S ebongkah Balok Es di Perempatan Jalan Jantung Kota
Perbedaan Liturgi Sabda dan Ibadat Sabda
24 Lapo Aksara
Diplomasi Cabai
REDAKSI RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Sr. Ursula Gultom, KSSY [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
2
tajuk redaksi
R
unut langkah waktu yang perlahan itu akhirnya membawa majalah online Lentera News pada edisi 12. Adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa yang m endampingi majalah ini mencapai tahapan menuju usia satu tahun tersebut. Segala dinamika dan tantangan tak ubahnya batu-batu. Tidak menjadi aral penghalang, melainkan fondasi yang membuatnya kian kokoh.
Pada edisi ini, Lentera News kembali menyajikan rubrik baru “Rumah Joss” yang diasuh oleh Wakil Ketua Komisi Kepemudaan KAM, Yoseph Tien (atau akrab disapa Bug Joss). Kesediaan Bung Joss untuk berbagai pengalaman dan pengetahuan di bidang pengembangan diri merupakan suatu anugerah. Mengingat pembaca majalah kita dari kalangan pemuda cukup besar. Sila lirik artikel perdananya tentang Paranoid. Rubrik Cerpen dan Lapo Aksara turut juga dihiasi wajah baru, yakni Indung Simanjuntak dan I Made Andi Arsana. Artikel dari kedua sahabat tersebut memberi warna tersendiri dalam edisi Lentera bulan ini. Dan jangan lewatkan artikel opini dari Ramen Purba tentang kisruh politik saat ini. Tentunya seluruh karya tulis seluruh insan-insan yang berkenan dimuat di Lentera News dapat menggugah para sahabat pembaca. Dan menghadirkan semangat baru seturut semangat kami yang: smart | inspiratif | beriman.
Dalam masa persiapan menyambut Paskah, Redaksi Lentera News coba menggali aspek baru dalam penghayatan. Utamanya yang bekenaan dengan makna pembebasan. Setelah m emilah beberapa bidang, kami menemukan karya ‘penulisan buku’ merupakan satu diantaranya. “Bukankah dengan menuliskan buku dapat membebaskan kita untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan? Atau sekedar menghibur dan mengilhami sesama insan?” Demikian kami berargumen.
Shalom,
Redaksi
Usai kesepakatan tema tersebut, Redaksi Lentera News menyajikan sosok Maulana Muhammad Hasan. Alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara ini menjadi profil dalam rubrik Lentera Khusus atas minatnya yang besar dalam dunia penulisan. Sejumlah buku telah ia lahirkan, baik secara tunggal maupun kolaboratif. Lentera News menyorot karya dan pemikiran Maulana sebagai tanda eksistensi majalah ini untuk lintas agama, etnis dan budaya. Walaupun, Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KAM sebagai pengusung majalah ini, berada di bawah naungan Keuskupan Agung Medan. Ketua Komsos KAM, Pastor Hubertus Lidi, OSC sendiri telah menyematkan tagline semangat baru Lentera News sebagai media yang inspiratif, smart, dan beriman sejak edisi Januari tahun ini.
33
petuah
44
advertorial
55
telisik
MENULIS BUKU DAN DINAMIKANYA
RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com
B
uku pada hakekatnya menghadirkan sebuah peristiwa. Peristiwa itu teruntai dalam gagasan, uraian, dan kisah dari sang penulis. Penulis buku memaparkan gagasan, uraian, dan kisahnya dalam bentuk Fiksi dan Non Fiksi. Secara prinsipil semua penulis koran, majalah, buletin, buku bertanggung jawab atas karya tulisannya. Pertimbangannya bahwa dibalik tulisan itu ada pemaparan akan hakekat dari sebuah kebenaran. Kebenaran itu harus dipertanggungjawabkan.
membuai anda sebagai pembaca ke alam fatamorgana pengarangnya. Bagaimanapun harus ada jarak antara pembaca dan buku itu. Anda tentu ingin menjadi pembaca yang kritis dan bertanggungjawab. Adalah sebuah adagium Verba volant, Scripta Manent: Katakata terbang menghilang, tulisan tinggal tetap. Sejak jaman Romawi telah ada kesadaran untuk mempermanenkan kata-kata alias verba. Kemampuan otak manusia untuk merekam dan mengingat kisah-kisah kehidupan t erbatas. Hidup manusia juga terbatas, maka penting ada warisan-warisan sehingga matarantai kehidupan itu tidak putus. Tantangannya adalah bagaimana mewariskannya secara benar atau sesuai dengan realitas.
Sisi lain buku, juga merupakan ‘momen ersekongkolan’ atau rekayasa atas peristiwa p baik secara pribadi atau rejim. Rekayasa atas gagasan, gerakan, o rientasinya. Buku, membuka tabir dari kisah yang sebenarnya, dan mengurai borok-boroknya. Pesan yang tersirat dari sebuah Adalah Pramoedya Ananta Toer dalam buku secara khusus bagi generasi yang akan b ukunya JEJAK LANGKAH ( Tetralogi Pulau Buru) datang agar kritis dan bijaksana. membeberkan, pertentangan antara realitas yang ia dengar, yang seharusnya terjadi, Daya magnet untaian kata-kata dari s ebuah dengan sebuah pengalaman kemanusiaan yang buku, tidak harus serta-merta menghantar/ jauh berbeda. Sebuah hidangan yang menarik
6
bahwa hasrat manusia itu suka gombal dan membual. Kalau toh tidak sampai pada tahap gombal, paling tidak yang dikatakan berbeda dengan falsafah hidup mahluk manusia di bumi Katulistiwa ini. Dalam hal ini Bang Pram turut berjasa, membuka jendela dunia dan menabur serta menyebar-luaskan kebenaran. Kebenaran utama bagi manusia sejak hadirnya manusia itu adalah kemerdekaan, perlakuaan manusiawi, keadilan dan kebebasan serta saling menghargai sebagai sesama mahkluk yang berakal budi harus ada di muka bumi ini.
buku. Padahal modal menulis itu ada. Semenjak SD, saya sudah menulis kecil-kecilan, juga suka masuk perpustakaan, bolak-balik halaman perhalaman, minimal melihat gambarnya. Semangat dan kemampuan menulisku tentu berkembang sesuai dengan jenjang pendidikan yang dijalani. Reaksi yang saya tetap pelihara dari SD sampai sekarang ini adalah mengagumi pengarangnya dan mengapresiasi karya tulisannya. Reaksi itu mendorong saya untuk menulis kecil-kecilan itu.
Pertanyaan yang mengusik, apakah hanya orang-orang terkenal seperti Pramoedya, NH Dini, HB Yassin, dll; apakah hanya mereka yang mempunyai gelar berlapis saja yang bisa menulis buku? Pak Budi dari Indonesia menulis membuka tabir baru. Siapa saja bisa menulis buku, dan menulis buku semata bukan bakat atau hoby. Tabir yang berikut adalah p eristiwa kehidupan ini merupakan bahan dasar untuk ditulis. Kita tak akan kehabisan bahan u ntuk menulis. Kalau mau menulis, tentu tidak harus jauh-jauh mencari bahannya. Persoalan utama kita adalah kemauan dan lalu mencoba menulis. Bukan kah ala bisa karena biasa?
Beberapa tahun lalu, saya ingin merealisasikan cita-cita semenjak SD, menulis sebuah buku. Lagi-lagi buruk sangka itu n ongol lagi. Semangat menulis buku itu terhenti kala saya mulai membandingkan diri dengan penulis-penulis kawakan. Apalah artinya saya dihadapan mereka, hanya memalukan diri saja. Pada bagian lain saya juga m enyaksikan penulis beken yang menghasikan karya tulisan dalam bentuk buku yang bisa dimenikmati oleh semua lapisan masyarakat; pemaparan masalah, jalan pikiran dan untaian kata-katanya simpel. Aku meneruskan rencana itu, dan b erhasil menembus kepicikan diriku. Cita-citaku terwujud. Lalu aku bisa menulis beberapa buku, dan lain masih dalam rencana. Poin yang ingin saya sampaikan menulis buku itu membebaskan buruk sangka yang tak adil terhadap diri.
Sekilas berbicara dari sedikit p engalaman. Sebelum saya menulis buku yang p ertama dengan judul: MEMBACA KONSTITUSI RELIGIUS, ada buruk sangka dalam diri bahwa orang semacam aku ini tak mungkin bisa menulis
petuah
7
lentera khusus
MAULANA:
PENULIS ITU TIDAK ADA MATINYA
A
da kalanya kata-kata (saja) tidak ampuh dalam 足menyampaikan pendapat ataupun kesan seseorang. Keadaan tersebut bukan hanya dikarenakan sejumlah kekurangan, semisal: waktu, jarak dan media tuturnya. Namun, memahami pendapat dari pengalaman ataupun rujuk pustaka, masih butuh perulangan. Mencetak pendapat tersebut ke media kertas maupun digital tentu saja menjadi pemecah permasalahan tersebut. 88
99
Media cetak berupa buku maupun e-book kini telah menjembatani celah-celah yang dihadirkan beberapa kekurangan di atas. Semenjak revolusi penerbitan buku oleh Guttenberg, kehadiran buku laiknya pembebas insan penulis dengan para pembaca. Sehingga wajar muncul adagium bijak: “Hidup akan lengkap bila Anda menanam s ebatang pohon, m enulis sebuah buku, dan memiliki keturunan.” Kiranya inspirasi ini juga yang melekat pada Maulana Muhammad Hasan, yang akrab Lana Molen. Sebelum larut dalam dunia penulisan buku, alumnus Jurusan Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara ini tidak memiliki latar belakang minat menulis. “Minat saya sebenarnya di karikatur atau komik. Saya lebih senang membaca komik dibandingkan novel atau kumpulan cerpen,” ujarnya kepada Lentera News.
“
Membaca sebenarnya budaya bangsa Indonesia. Namun kini menjadi budaya yang kian ditinggalkan
Maulana mengawali kiprah m enulis saat memilih bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika. “Ketika saya terjun di dunia pers mahasiswa, mau tidak mau saya harus membaca dan menulis tulisan non fiksi. Karena saya tidak terlalu suka menulis yang serius-serius, akhirnya kemampuan menulis, saya arahkan ke jenis tulisan non fiksi dengan u nsur komedi. Ya, tulisan saya mirip-mirip Raditya Dika gitu,” kata Molen yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi LPM Dinamika tersebut. Catatan 100 Hari Gagasan untuk buku pertama Maulana menyembul secara spontanitas. G emar merambah laman jejaring sosial Facebook membuatnya tergelitik membukukan kumpulan artikel dari Notes Facebook. “Awalnya berpikir pengen buat hal baru. Ya terpikirlah untuk nulis karena orang yang buat tulisan itukan tak pernah ada matinya, tak akan abis dimakan sejarah,” ujar Molen yang kemudian berkomitmen menulis di Notes Facebook selama 100 hari. “Yah tiap hari harus keluar duit membayar rental warnet sampai 2 jam, maklum belum punya laptop. Kebetulan Program Kerja di organisasi juga padat, jadi liburan juga harus ke kampus dan
10
sampai masuk kuliah, jadi kebiasaan ke warnet itu pada jam 21.00 WIB. Nah karena itu sering kemalaman pulang karena harus memposting tulisan baru, ngomen, dan menulis note untuk esok hari, jadi suka sembunyi-sembunyi. Maka gak heran kalau tulisan saya update jam 23.00 ke atas,” katanya. Bagi Maulana pengalaman menulis buku perdana sungguh mengharukan dan unik. Mengingat perjuangan bolakbalik ke warnet selama 126 hari demi merampungkan buku yang kemudian diberi judul : “Catatan 100 Hari.” “Buku yang diadaptasi dari kumpulan catatan facebook yang saya update setiap hari selama 126 hari. Pulang s elalu malam sampai-sampai saya dicurigai sama orang tua. Hahaha. Tapi syukurlah, akhirnya catatan tersebut menjadi sebuah buku utuh sehingga orang tua saya percaya apa yang saya kerjakan kemarin adalah demi sebuah karya,” ucapnya bangga sebab telah mendapati bukunya tersebut kembali naik cetak dengan perubahan judul menjadi : “Writing is a Journey.” Namun pengalaman menulis dua buku secara tunggal, dan lima buku secara kolaboratif dengan rekan sejawatnya belum membuat Maulana lekas puas. Ia masih memiliki impian lebih mendalam yang berkenaan dengan minat menulisnya itu. “Impian saya adalah tetap menjadi penulis yang produktif. Menjadi penulis itu mudah, menjadi p enulis yang produktif yang sulit. Saya punya impian satu saat nanti buku saya ada yang di filmkan. Hehehe,” tutur pendiri k omunitas literasi menulis Fastword Community ini. Menurut Maulana, telah saatnya lebih banyak g enerasi pemuda I ndonesia menulis buku. “Buku bukan hanya tentang sebuah karya yang layak untuk dibaca. Lebih dari itu buku adalah sumber inspirasi bagi manusia. Sejak SD hingga perguruan tinggi, kita hidup dengan buku. Membaca sebenarnya sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. (Namun kini) menjadi budaya yang kian d itinggalkan. Untuk itu perlu jutaan p enulis untuk melahirkan bukubuku baru yang berkualitas agar budaya
membaca dan menulis kembali lekat di keseharian anak-anak Indonesia,” kata pengagum kang Abik (penulis novel ‘Ayat-Ayat Cinta’). Ia mengakui, tantangan terberat dari menulis adalah ‘ketakutan’. Takut salah, takut di kritik dan takut tidak layak terbit. “Cara menghadapi ketakutan tersebut adalah dengan membangun keberanian. Percaya diri aja kalau tulisan kita keren. Karena pembaca itu relatif. Tulisan yang jelek menurut kita bisa jadi bagus menurut orang. Tulisan keren m enurut kita bisa jadi nggak bagus menurut orang. So, setiap tulisan atau buku punya fans-nya masing-masing.”
cover buku karya terbaru Maulana: ‘Writing is a Journey’
Di sela-sela kesibukannya menulis bersama rekan-rekan sejawat di Fastword Community, Maulana juga meleburkan diri dalam kegiatan sosial. “Saya membangun Rumah Cinta Yatim al Fairuz, karena melihat banyak anak yatim dan miskin hanya
11
endapat pendidikan seadanya. m Mau les nggak punya biaya. Melalui al Fairuz kita m embantu anak-anak tersebut dengan m emberikan les gratis, seperti : Matematika, Bahasa Inggris, Agama dan Keterampilan. Gurunya adalah relawan dari berbagai universitas di kota Medan. Saya merasa bertanggungjawab pada mereka karena saya adalah sarjana pendidikan. Malu rasanya kalau tidak bisa berkontribusi pada masyarakat lepas sarjana,” kata Maulana.
Liputan: Ananta Bangun Editor: RP Hubertus Lidi, OSC Sumber tambahan: Medan Magazine, Wordpress, LPM Dinamika (www.lpmdinamika.co) Photo: Koleksi pribadi
12 12
advertorial
13
embun katakese
PERBEDAAN LITURGI SABDA DAN IBADAT SABDA
dikutip dari:
Katolisitas.org
Lema Liturgi Sabda dan Ibadat sepintas terdengar sama. Namun, sebenarnya tidak demikian. Romo Emanuel Martasudjita, Pr menjernihkan perbedaan ini dalam artikel ringkasnya di Katolisitas. org 14
Perbedaan antara ibadat dan liturgi oleh Rm. Emanuel Martasudjita, Pr dengan gamblang dijelaskan dalam bukunya “Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011). Berikut pemaparannya: 1. Dari segi bahasa Dari sisi bahasa, pengertian ibadat lebih luas daripada liturgi. Ibadat mencakup tindakan ungkapan iman (doa) dan sekaligus perwujudannya dalam perbuatan kasih kepada sesama; sedangkan liturgi memang hanya merupakan tindakan untuk mengungkapkan iman. Maka liturgi berhubungan dengan doa ungkapan iman kita kepada Allah. 2. Dari segi teologis Dari sisi ini, pengertian liturgi justru lebih luas daripada ibadat. Liturgi merupakan komunikasi dua arah sekaligus yang langsung terkait; yaitu Allah yang menguduskan dan menyelamatkan manusia (‘katabatis‘= gerakan dari Allah ke manusia) dan sekaligus manusia yang menanggapi pengudusan Allah dengan memuliakan Dia (‘anabatis‘= gerakan dari manusia ke Allah). Komunikasi ini berlangsung melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Kedua gerakan ini merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan yang terjadi di dalam liturgi. Sedangkan dalam ibadat, penekanan lebih terletak kepada gerakan naik dari manusia ke Allah (‘anabatis‘) saja. 3. Dari segi liturgis Liturgi selalu merupakan tindakan komunal atau tindakan bersama,
“
yakni perayaan seluruh Gereja, bukan tindakan perayaan pribadi (lih. Sacrosanctum Concilium, 26). Liturgi merupakan perayaan yang bersifat resmi karena di dalamnya Gereja mengungkapkan hakekat dirinya secara resmi (lih. Sacrosanctum Concilium, 2). Sedangkan pengertian ibadat masih bisa mengacu kepada tindakan pribadi, dan ibadat tidak selalu pada tingkatan resmi. Contoh liturgi adalah liturgi sakramansakramen; sedangkan contoh ibadat adalah ibadat sakramentali seperti ibadat pertunangan dan bermacam ibadat berkat. Dengan memahami pengertian ini maka dapat diketahui bahwa Liturgi Sabda berbeda maknanya dengan Ibadat Sabda, sehingga persyaratannya-pun berbeda. Liturgi Sabda yang merupakan ungkapan iman Gereja secara resmi, mensyaratkan cara pengungkapannya yang sesuai dengan Tradisi Suci Gereja, yaitu dengan membacakan bacaan Kitab Suci sesuai dengan kalender liturgis G ereja, yang disertai dengan homili oleh para tertahbis (yaitu uskup, imam atau diakon tertahbis). Sedangkan Ibadat Sabda tidak mensyaratkan ketentuan ini, sehingga dapat merupakan pembacaan perikop Kitab Suci tertentu, yang tidak harus d iambil dari bacaan liturgis pada hari itu; dan dapat disertai oleh sharing iman ataupun pengajaran dari kaum awam (baik laki-laki maupuan perempuan) yang memang berkompeten untuk itu.
Dengan memahami pengertian ini maka dapat diketahui bahwa Liturgi Sabda berbeda maknanya dengan Ibadat Sabda, sehingga persyaratannya-pun berbeda 15
kolom Rumah Joss
PARANOID DAN KEAHLIAN MEMANAH
P
ada satu kesempatan, saya pernah melakukan satu sesi hipnoterapi pada seorang klien, yang sejak awal dengan sangat jelas dia mengaku sebagai orang yang paranoid. Bahkan dia juga tegas mengatakan bahwa gangguan paranoid yang dialaminya sudah sangat parah, bisa muncul di mana saja dan kapan saja serta dalam situasi apapun. Setelah melakukan ‘pre induction’ yang sangat dalam, lalu ‘induction’ dengan teknik ‘private place’ dan ‘age regression’, saya akhirnya menemukan akar masalah sesungguhnya yang sedang di alami klien tersebut. Selanjutnya saya melakukan teknik terapeutic tertentu kemudian memberi sugesti ‘post hypnotic’ dan mengakhiri rangkaian proses terapi dengan terminasi. Gangguan para-
noid terkonfirmasi, kemudian saya atasi termasuk me-release segenap emosi negatif yang melekat padanya. Chaplin (2007) menjelaskan arti paranoid sebagai berikut: 1) menyinggung, atau mirip dengan paranoia; 2) mencirikan seseorang dengan tingkah laku mirip dengan perilaku paranoiak; khususnya dikatakan tentang mereka yang selalu merasa disiksa dan dikejar-kejar oleh orang lain atau oleh keadaan sekitarnya. Paranoia sendiri merupakan suatu penyakit psikotik yang dicirikan dengan adanya delusi penyiksaan atau delusi kebesaran yang sangat tersistematisasi, dengan kemerosotan jiwani yang ringan. Pada masing-masing kasus, delusi ini sifatnya tegar, dipertahankan
16 16
“
Paranoia merupakan penyakit psikotik dengan ciri delusi penyiksaan atau delusi kebesaran yang sangat tersistematisasi, dengan kemerosotan jiwani yang ringan
secara mati-matian oleh pasien, dan membuat dirinya menjadi tidak mampu berbuat apaapa. Ciri-ciri yang khas dari psikosis adalah: disorganisasi proses pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan orang dan pada beberapa kasus disertai halusinasi dan delusi. Ada banyak jenis delusi, namun disini saya kemukan dua jenis yang dialami klien saya, 1) delusion of persecution (delusi dikejar-kejar), yaitu satu delusi yang menandai seseorang yang paranoid, yang mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya; 2) delusion of reference (delusi referensi), yaitu satu kepercayaan keliru yang meyakini bahwa tingkah laku orang lain itu pasti akan memfitnah, membahayakan atau akan menjahati dirinya. Hampir semua ciri di atas ada dalam diri klien saya ini. Menariknya, ada beberapa fakta yang terungkap, antara lain: klien saya ini adalah seseorang dengan latar belakang pendidikan yang baik (S2), memiliki pekerjaan yang mantap dengan jabatan/posisi yang strategis, orang yang sangat perfeksionis dalam bekerja, selalu berhati-hati dan penuh perhitungan dalam mengambil setiap keputusan, bahkan sudah teruji melewati beberapa problem pekerjaan yang cukup serius. Artinya, dia sangat ahli dan profesional dalam bekerja. Lalu mengapa dia bisa terjebak pada suatu s ituasi psikotik, mengalami disorganisasi pikiran dan ‘delusion of persecution’ serta ‘delusion of reference’? Dari proses terapi pada kasus ini, s impulan saya sederhana saja, klien saya ini sangat ahli dan profeisonal dalam bekerja, tetapi dia tidak mampu mengendalikan pikiran dan p erasaannya. Pikiran dan perasaannya
ibiarkan terus menerus mengalami keletihan, d liar tak terkendali merespon segala informasi dan pengalaman yang diterimanya, apakah itu dalam hidup pribadi, hidup berkeluarga, hidup berkarya dan hidup bermasyarakat. Semua informasi negatif masuk begitu saja, mengendap pada bawah sadarnya, seolah tanpa filter, tanpa RAS (reticular activating system), kemudian mempengaruhi dan mengatur perilakunya. Pertanyaan kecilnya begini: s esungguhnya siapakah pemilik dari pikiran dan perasaannya? Dan jawaban besarnya adalah, bahwa setiap kita adalah pengendali dan pengolah sejati dari pikiran dan perasaan kita! Bukan siapa-siapa! Karena itulah yang membedakan dan memuliakan manusia diantara segenap makhluk ciptaan Tuhan. Rupanya benar bahwa keahlian dan ketrampilan apapun yang kita miliki, t idaklah serta merta membuat kita mampu menjalani hidup dan memberi warna pada hidup dan kehidupan kita, tatkala kita tak mampu mengendalikan pikiran dan perasan kita. Pada titik inilah, pemberian ruang dan waktu bagi diri sendiri, untuk mulai m engendalikan dan mengolah pikiran dan perasaan, tampaknya menjadi satu-satunya pilihan untuk menghormati Sang Pencipta yang telah memberikan akal sehat dan kehendak bebas bagi kita. Langkah pertama yang boleh ditempuh adalah, hancurkan kesombongan dan keangkuhan diri, turunlah jauh pada kedalaman nurani dan batin. Di sana, ada ada kebahagiaan dan cinta yang kelak dapat dipakai untuk mengeksekusi keahlian dan ketrampilanmu secara cerdas dan bijak. bersambung ke edisi April 2015.
Kolom “Rumah Joss” diasuh oleh Yoseph Tien, S.Psi, MCH, CHt, CI, CTFL. Yoseph Tien, yang akrab disapa Bung Joss, aktif di Komisi Kepemudaan - Keuskupan Agung Medan sejak 2004. Sejak 2008 hingga sekarang, mengemban jabatan Wakil Ketua Komkep KAM. 17
ilham sehat
Ingin Khasiat Detoks Air Putih? Tambahkan Bahan-Bahan Ini
G
aya hidup dan lingkungan kota sarat Âpolusi rentan terhadap kondisi kesehatan kita. ÂBeberapa insan menjaga tubuhnya tetap Âbugar dengan berolah raga secara teratur dan minum air putih. Sudah banyak yang meyakini bahwa air putih tidak sekedar melepas dahaga yang haus, namun juga salah satu kiat detoksifikasi ataupun mengeluarkan racun dari tubuh. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan air dalam tubuh dapat mencegah timbulnya berbagai penyakit. Hal itu tentu saja akan membuat hidup Anda menjadi lebih sehat dan nyaman.
Beberapa manfaat vital air bagi tubuh kita, diantaranya: Pembentuk sel dan cairan tubuh, pengatur suhu tubuh, pelarut zat-zat gizi lain dan pembantu proses pencernaan makanan, pelumas dan bantalan dalam bentuk cairan sendi, membantu pertumbuhan dan regenerasi sel secara efektif, dan edia eliminasi sisa metabolisme tubuh. Dalam rubrik Ilham Sehat kali ini, pembaca Lentera News boleh menambahkan bahan-bahan tertentu dengan air putih untuk khasiat detoks yang lebih besar. Apa sajakah itu? Sila lirik infonya berikut ini.
Vinny Avilla Barus
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Diponegoro – Semarang
18 18
Tambahkan Daun Mint Daun mint bisa memberikan sentuhan segar dan manis ke air putih yang Anda minum. Air 足dengan campuran daun mint ini akan membuat perut merasa nyaman. Pencernaan pun jadi lebih lancar dengan minum air putih yang dicampur daun mint.
Tambahkan Potongan Jeruk Lemon Air lemon bisa jadi minuman detoks yang kaya manfaat. Tambahkan potongan jeruk lemon ke dalam air putih. Atau bisa juga ambil air perasan jeruk lemon dan campurkan ke dalam air putih yang akan Anda minum. Air lemon ini bisa membersihkan tubuh dan juga membantu menjaga keseimbangan asam alkali tubuh.
Tambahkan Potongan Buah Mentimun Buah mentimun sudah dikenal sebagai buah yang kaya dengan kandungan anti inflamasi (anti peradangan). Air putih yang dicampur dengan potongan buah mentimun ini pun sangat baik untuk mengembalikan cairan tubuh.
Tambahkan Potongan Jahe Jahe, rempah yang satu ini memang kaya manfaat. Selain bisa menjaga sistem pencernaan tubuh, jahe juga sangat bermanfaat untuk membuat perut terasa lebih nyaman. Dan ternyata jahe ini juga bisa jadi bahan untuk membuat minuman detoks, lho. Caranya sangat mudah sekali. Tambahkan beberapa potong jahe ke dalam air putih yang akan Anda minum. Potongan jahe juga bisa diganti dengan jahe yang sudah diparut.
19 19
opini
KALAU BERSIH, KENAPA HARUS RISIH?!?
“Kebersihan adalah sesuatu yang mudah dan murah. Tidak mahal jika ada kemauan, namun jika diabaikan akan berakibat fatal, mahal harga yang harus dibayarkan jika terabaikan”.“
Staf di Penelitian & Pengabdian Masyarakat Politeknik Unggul LP3M Medan. Ketua Bidang Diakonia Kaum Bapak GBKP Majelis Pokok Mangga - Medan
Kata bersih sangat mudah untuk diucapkan. Banyak orang yang mengatakan dirinya bersih, s eolah-olah dia tidak bernoda. Tetapi ucapan tidak bernoda ternyata tidak cukup saat ini, tanpa didasari dengan bukti dan perbuatan yang mempertegas makna kata bersih itu sendiri. Banyak manusia sekarang yang suka menggunakan topeng kebersihan dan menggunakan topeng tersebut untuk menutupi nodanoda yang melekat pada tubuhnya. Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas untuk memerangi korupsi di negeri ini. Sebuah tugas mulia yang diemban oleh komisi ini sehingga orang-orang yang bertugas juga seyogianya merupakan orang-orang yang mulia pula. Diawali dengan Antasari Azhar, Ketua KPK ini tiba-tiba seperti petir disiang bolong yang cerah digelandang oleh Bareskrim Kepolisian karena t erlibat kasus pembunuhan berencana dengan korban Direktur PT Putra R ajawali B anjaran Nasrudin Zulkarnain. Pembunuhan berencana ditenggarai terjadi karena perebutan seorang wanita (Cinta Segi Tiga). Aneh bin ajaib memang, sekelas Antasari Azhar bisa habis gara-gara seorang w anita. Banyak pihak yang mengganggap ada rekayasa tingkat tinggi dalam kasus Antasari ini, tetapi sampai saat ini belum ada keterangan dan perjalanan yang mengarah ke unsur rekayasa. Setelah Antasari, j uniornya juga mengikuti jejaknya. Abraham Samad yang juga merupakan Ketua KPK, terkena hal yang sama dengan pendahulunya. Abraham Samad dikaitkan dengan model cantik Feriyani Lim. Abraham Samad didera m elakukan pemalsuan dokumen di kampung asalnya M akassar.
20
anyak juga pihak yang menilai bahwa B Abraham Samad “dikerjai” dalam kasus ini. Abraham Samad dianggap membuat berang petinggi trunojoyo perihal penangkapan Budi Gunawan yang saat itu digadang sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Cerita dua tokoh diatas kembali menegaskan kata bersih yang di awal berulang kali tertulis. Banyak pihak yang tentu tidak menyangka apabila dibalik ketokohan seseorang dia juga memiliki sisi hitam. Terlepas apakah sisi tersebut sudah lama ditinggalkan atau dengan kata lain dia sudah bertobat, terlepas dari itu semua semakin jelas tergambar pelaksanaan kata-kata bersih ini mudah tetapi sedikit rumit ternyata melaksanakannya. Bisa jadi hanya sulit bagi sebagian kalangan saja. Bisa jadi juga b egitu mudah dilakukan bagi sebagian kalangan yang lain. Mengapa d emikian? Kembali berbicara tentang ranah perpolitikan Indonesia yang saat ini sedang m emasuki babak yang begitu panas, spektakuler, dan bombastis. Istilah kriminalisasi begitu sering kita dengar saat ini, setali tiga uang d engan istilah pra peradilan. Tahukah kita apabila k edua kata sebelumnya sangat erat kaitannya dengan kata bersih. Istilah kriminalisasi merupakan istilah yang banyak dipergunakan bagi orang-orang yang dipaksakan untuk memperoleh status bersalah, padahal s esungguhnya ia tidak bersalah (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah pra peradilan merupakan istilah yang digunakan bagi orang yang merasa dikriminalisasi untuk membatalkan status bersalahnya menjadi status tidak bersalah, sehingga yang tadinya dia tersangka menjadi tidak tersangka (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Kedua poin ini bisa dikatakan merupakan milik orang yang bersih yang di rekayasa menjadi bernoda. Anehnya kedua kata diatas sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk bersembunyi demi mendapatkan simpati dan respon positif, berikut dukungan dari masyarakat. Secara implisit bisa dikatakan bahwa mereka ingin memutar balikkan fakta. Sikap yang begitu banyak muncul pada saat ini, uniknya masyarakat dengan mudah terperdaya dengan permainan ini. Banyak masyarakat yang memberikan dukungan kepada jajaran pimpinan KPK yang dijerat sebagai tersangka. Dukungan moril, materil, bahkan d u k u n g a n p e r l i n d u n g a n hukum diberikan. Pertanyaannya, pernahkah kita berpikir dan menyelidiki yang sesungguhnya terjadi. Mereka b e n a r - b e n a r bersalah, atau hanya rekayasa. Ketika mereka b ersalah dan dengan pintarnya bersembunyi di balik kata kriminalisasi dan pra peradilan, maka kita telah dibohongi. Tentunya ini bisa menjadi perenungan bagi kita semua, agar cerdas dalam menyikapi isu yang beredar saat ini. Sebagai masyarakat yang bernaung persekutuan gereja, ini bisa menjadi sebuah refleksi dalam hidup bermasyarakat. Bagaimana kita bisa melihat d engan pintar dan m emutuskan sesuatu dengan bijaksana. M embijaksanai kata-kata b ersih tentu begitu mudah m engatakannya, tetapi yakinlah akan sangat sulit untuk menerapkannya. Filosofi yang juga harus dipahami adalah, para oknum yang tidak bersalah tidak akan pernah ketakutan dan berbuat yang aneh-aneh. Berbeda dengan mereka yang bersalah pasti tidak akan tenang, dan berusaha mencari “air” untuk membersihkan dirinya. Salah satunya berdiri tegak dan rapat dengan katakata bersih. Mengapa Harus Risih? Kebersihan timbul dari jiwa yang bersih, sehingga mampu melahirkan pikiran dan tingkah laku yang bersih yang akan mengantarkannya kepada kehidupan yang bersih dan jernih. Yang pada akhirnya akan menciptakan atmosper lingkungan yang segar dan indah dalam segala hal. Kehidupan yang seperti itulah yang idam-idamkan oleh semua manusia beriman. Indah benar ketika kita semua hidup dalam lingkungan dan kumpulan orang-orang yang bersih. Negara dan geraja sesungguhnya memiliki panggilan yang sama, yaitu menghasilkan orang-orang yang bersih. Bersih dalam sikap, bersih dalam tingkah laku, bersih dalam pemikiran, dan bersih dalam pekerjaan.
Tetapi kita sering melupakan poin bersih ini karena lebih mementingkan kehidupan dunia. Sifat manusia yang tidak pernah merasa cukup akan sesuatu membuat kata-kata bersih sering menjadi tertinggal. Ketika ini menjadi tujuan negara dan gereja tentunya tidak menyurutkan negara dan gereja untuk tetap serius mengupayakan berbagai usaha untuk menghasilkan orang-orang bersih. Ketika kita tidak bersih maka sudah pasti kita akan m enjadi risih. Kata risih dimaksudkan untuk menggambarkan sikap tidak tenang karena ada kesalahan yang sudah atau telah terlanjur dilakukan. Kata risih ini begitu banyak kita saksikan saat ini. Biasanya kata risih berdampingan erat tetapi t erpisah dengan kata bersih. Sebagai contoh, persiteruan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Anggota Dewan getar-getir menghadapi Ahok. Tetapi terlihat Ahok tidak risih dan gentar sedikitpun. Berbanding terbalik dengan anggota dewan yang terhormat yang kelihatan risih dan berusaha menghilangkan kerisihannya dengan berbagai cara dan upaya. Anggota dewan yang sejatinya bersih ingin melakukan hal yang ujung-ujungnya membuat mereka menjadi berkubang. Kotoran mereka yang bernilai Rp. 12,1 T ujung-ujungnya bakalan sulit untuk dibersihkan. Menyikapi situasi ini, segenap warga gereja juga harus cerdas dan jangan mudah terpancing emosi. Para politisi dewan yang terhormat terkadang gampang memainkan episode-episode drama yang sengaja memancing kita untuk keluar dari akal sehat kita. Tentunya kita harus cerdik menyikapi sikap tersebut, agar kita juga tidak terpancing dengan permainan yang ujungujungnya bisa membawa kita ke area kubangan yang tentunya akan membuat kita menjadi tidak bersih. Jadi kalau bersih kenapa harus risih. Penutup Negara dan Gereja yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, harus saling melengkapi. Tujuannya yaitu sebagai objek dari terlaksananya bersih itu sendiri. Politik dalam negara juga penting, asal politik itu bersih. Politik dalam gereja juga perlu, tetapi perlu menjadi catatan jangan sampai kebablasan dan menjadi lebih parah. Politik gereja tentu harus lebih bersih dan santun. Ketika semuanya bersih, maka tidak ada kesenjangan dan keributan yang terjadi. Semua akan lebih baik, tenang, dan terarah. * credit photo: www.rmol.co
21
sastra
Perempuan Yang Memahat Sebongkah Balok Es Di Perempatan Jalan Jantung Kota
Indung Simanjuntak penulis. kini masih mencari pekerjaan tetap. tinggal di Jakarta
D
ia memahat bongkahan balok es tepat diteriknya matahari. Di perempatan jalan, di bawah lampu merah ramainya jantung kota, dia terus menghantam es menggunakan pahat kayu. Mulanya orang yang lewat hanya memandangi sepintas. Orangorang yang duduk di mobil, entah itu sopir pribadi, sopir angkot, sopir bus. Bos yang duduk santai dalam kesejukan air conditioner memperhatikannya sebentar lalu kembali menunduk asyik dengan yang dipegangnya. Ibu yang mungkin hendak melahirkan terlupa sejenak oleh sakitnya dorongan bayi dalam kandungan kemudian mengerang kembali. Semua hanya memandang perempuan itu sekilas saja. Tak ada keingintahuan yang mendalam pada aktifitas persis di bawah lampu yang selalu dilihat pengguna jalan. Perempuan itu memahat es dari bagian atas bongkahan balok. Dibentuknya bagian es sebuah bulatan menyerupai kepala manusia. Kikisan es yang jatuh mencair membuat sekeliling kakinya basah ditambah lagi matahari mulai turut ambil bagian pada proses pemahatan. Perempuan itu tak peduli, dia terus menggerakan pahatnya dengan cepat, tangan kanannya konstan memukul-pukul pahat. Kecepatannya meningkat sejalan terik matahari. Leher kini telah menopang kepala. Tak berapa lama di dekatnya berdiri seorang laki-laki yang tampak tertarik. Laki-laki itu membawa kamera dan mulai memotret perempuan pemahat es. Dia potret wajah perempuan itu. Dilihatnya hasil jepretan di layar kameranya. Kemudian dia mulai memilih angle. Dia berjongkok, menungging, tiduran mengarahkan lensanya ke arah perempuan dan bongkahan balok es. Tangan sudah dibentuk.
Laki-laki itu merogoh kantongnya mengambil telepon seluler. “Bos, kamu lagi di mana? Mendingan kamu segera meluncur ketempatku!” “Emang ada peristiwa apa, bro?” Jawab laki-laki di seberang telepon. “Sudah, kamu datang aja dulu. Ini bakal jadi berita hebat!” Seru laki-laki penelepon. “Kirim dulu pengantarnya, bro, biar kunilai sehebat apa peristiwa yang menjumpaimu.” “Ok, bentar lagi kukirim fotonya, dan kau harus datang dengan perlengkapan penuh.” Laki-laki itu memutus sambungan telepon. Dia mengarahkan kamera selulernya ke arah si perempuan pemahat es. Kemudian dia memencet tombol selulernya. Tak berapa lama muncul foto perempuan pemahat es di seluler temannya. “What the hell is this!” Laki-laki itu segera menelepon si pengirim foto, “Bro, aku langsung meroket ke situ. Tahan, bro, biar kubikin esklusif!” Laki-laki itu bergegas ke ruangan bosnya. Dia menunjukkan foto kepada bosnya. “Ok, bikin livenya dan pastikan kita yang pertama. Lagian ga jauh dari kantor kita.” Sementara itu situasi perempatan itu telah ramai orang yang menyaksikan perempuan pemahat es. Laki-laki itu tak hanya mengirimkan foto kepada temannya, dia juga mengunggah ke akun twitternya. Dan dalam hitungan menit telah menjadi trending topik nasional. Dia memberi caption fotonya ‘Perempuan Es’. Kemaluan yang dibentuk oleh pahat gadis itu menyatakan jenis kelamin. Seorang laki-laki telanjang. Air membasahi jalan di perempatan menegaskan warna pekat aspal. Orang-orang yang berada di kantor dan perbelanjaan disekitaran perempatan itu berhamburan keluar. Mereka beramairamai mengitari ‘Perempuan Es’. Retweet foto itu kini mencapai ribuan dan terus bertambah. Perempatan itu lumpuh total. Kendaraan dari empat arah rapi berba-
22 22
ris. Semua orang di dalam mobil turun meninggalkan mobilnya demi menyaksikan ‘Perempuan Es’. Polisi tak kuasa menghentikan peristiwa spontan itu bahkan mereka turut berkerumun. Orang-orang seolah lupa atau sengaja melupakan aktifitas yang sedang dijalani. Yang beruntung adalah mereka yang datang awal karena dapat berselfie berlatar ‘Perempuan Es’ dan langsung mempostingnya disemua akun media sosial milik mereka. “Bos, kau di mana?” Tanya laki-laki pengunggah pertama foto ‘Perempuan Es’ “Aku sudah di lokasi tapi ga bisa nembus kerumunan massa. Bro, ambil videonya, trus kirim ke kantorku, aku sama sekali ga bisa bergerak, nanti kukirim alamatnya. Permisi.. Permisi.. Permisi..” Laki-laki itu menjawab telepon sembari berusaha menyusup keremunan tapi tak seorangpun mau membuka jalan. Yang dia dapat hanya tatapan jengkel sekelilingnya. Bahkan ada yang nyeletuk, “Mangkanya pake helikopter!” Beruntunglah dia yang percaya dan langsung bergerak karena akan beroleh peristiwa. Tapi, lebih beruntung dia yang terus memandangi media sosialnya karena tanpa bergerak memperoleh peristiwa. Di atas kerumunan itu helikopter berputar-putar. Seorang laki-laki terbangun dari tidur demi menyaksikan gambar di televisi, seorang perempuan mencakari sebongkah balok es. Suara di televisi mengabarkan, telah terjadi kerumunan massa di sebuah perempatan jalan jantung kota. Kerumunan itu bukanlah demonstrasi atas melemahnya rupiah atau demo kenaikan upah atau demo naiknya harga barang kebutuhan pokok atau demo kisruh politik. Massa kira-kira berjumlah ribuan itu tengah menyaksikan seorang perempuan memahat bongkahan balok es menyerupai tubuh manusia. Berdasarkan foto yang beredar di jejaring sosial, perempuan yang belum diketahui identitasnya, memahat es menjadi laki-laki tanpa busana.
Laki-laki di helikopter yang mengarahkan kameranya ke bawah terkesiap melihat pemandangan di lensa. Tiba-tiba selulernya berbunyi. Dia menyuruh teman yang terus menceritakan peristiawa itu dengan pengeras suara agar mengambilnya. “Ini dari bos.” Katanya. “Jawab aja, aku ga boleh melewatkan ini” “Cut..cuuuuut!” Seru sang penelepon. “Kenapa ga di cut dari kantor aja.” Keluhnya sambil mengembalikan telepon. “Ah, iklan sialan!” Seru laki-laki di depan televisi. “Bos, rekamannya udah kukirim ya” “Ok, bro, walau ga bisa live yang penting ga ketinggalan.” Jawab temannya yang terjebak di barisan belakang kerumunan. Matanya tersilaukan matahari ketika memandangi helikopter yang melaporkan secara live. “Rekaman apa ini! Isinya cuman kaki-kaki kerumunan dan aspal yang basah! Dasar ...” Suara laki-laki memaki-maki di telepon. Laki-laki di seberang telepon hanya menunduk mendengar sumpah serapah di telinganya. “Dasar absuuuuud!” Dia teriak sambil menonton video kiriman bosnya. Tak ada lagi mata yang menatap jengkel. Suaranya pun tiada artinya dibanding suara kerumunan yang berteriak “Sialan!” dengan kepalakepala menunduk menonton televisi dari selulernya. ‘Hawa dan laki-laki es’ menjadi trending topik dunia. Sejarah telah mencatatnya.
10 Maret 2015
Perempuan itu terus menggunakan kukunya membentuk mata, hidung, jari-jari tangan, pusar, kemaluan, jari-jari kaki. Untuk melembutkan bentuk tatahan dan cakarannya dia memakai lidahnya. Dia terus menjilati laki-laki es seperti anak kecil menikmati setangkai es krim. Matanya terkadang memejam seolah mendapatkan sensasi erotis dalam jilantannya. Tak seorangpun menanyakan nama perempuan itu atau alasan apa sehingga dia melakukan itu. Atau, bagaimana perempuan itu membawa bongkahan balok es tersebut. Tak satupun yang mengenalnya. Orang-orang di dekatnya asyik merekam dan memfoto ‘Perempuan Es’ itu dan terus memposting ke akun media sosialnya yang mengangkat derajat trending topik nasional menjadi trending topik dunia. Komentar-komentar di media sosialpun beragam. Ada yang mencemooh cari sensasi. Ada yang memberikan jempol. Ada yang salut atas kreatifitas ‘Perempuan Es’. Ada yang bilang gila. Laki-laki es terus dihisap matahari dan dijilat perempuan itu. Posturnya mulai menyusut dan genangan air mulai membasahi aspal yang diinjak kerumunan. Tiba-tiba dia berhenti menjilati laki-laki es buatannya. Sejenak dipandanginya air yang berjalan di tubuh laki-laki es. Perlahan dia membuka kancing bajunya dan ditutupinya badan laki-laki es. Dia buka roknya dan ditutupinya kemaluan laki-laki es. Dibuka celana dalamnya dan dipakaikan ke kepala laki-laki es. Dia berdiri tanpa suara di samping laki-laki es yang terus menyusut.
23 23
lapo aksara
DIPLOMASI CABAI Made Andi Arsana Dosen Geodesi dan Geometik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta http://madeandi.com
Ini cerita tentang cabai, bukan cabai cabaian. Cabai yang sebenarnya, cabai yang pedas. Sebagian orang menyebutnya cabe, sebagian lain mengatakan lombok. Berbeda nama tetapi toh rasanya sama: pedas. Pasalnya, tidak semua orang tahu bahwa cabai ini pedas. Itulah yang saya pahami dari interaksi saya dengan beberapa orang yang berasal dari luar Indonesia.
cabai yang seharusnya menemani gorengan. Lagipula, tidak pernah terbersit sedikitpun dalam pikiran saya bahwa untuk makan cabai dan gorengan saja ada orang yang memerlukan petunjuk khusus.
Kawan saya, seorang ahli hukum perikanan dari Australia, memberi saya pelajaran penting tetang cabai. Ketika itu, kami sama-sama berbicara di suatu forum di Bali. Panitia menyediakan gorengan dengan segala perlengkapannya. Tentu saja di dalam paket itu ada cabai hijau yang segar dan mengundang selera. Di antara gorengan itu ada tempe, ada bakwan, ada tahu dan segala rupa lainnya.
Karena sopan, kawan saya ini tidak membuang cabai yang sudah terlanjur di mulutnya dan dia memaksa diri menelan semuanya. Sopan santun yang begitu tinggi kadang membuat seseorang rela melakukan kekonyolan yang menyiksa diri. Alhasil, wajahnya terlihat seperti kepiting laut yang direbus: merah. Keringat tak hentihentinya mengucur. Itu berlangsung selama 30 menit dan membuatnya menjadi peserta konferensi paling pasif di ruangan itu selama hampir sejam. Begitulah, cabai bisa menjadi urusan yang serius jika kita tidak paham.
Tiba-tiba saja saya mendengar sedikit kegaduhan, kawan saya ini mengeluh setengah berteriak. Rupanya dia menggigit dan mengunyah lalu menelan setengah biji cabai. Pasalnya, cabai itu digigit secara mandiri, polos dan sendirian tanpa ditemani tahu atau gorengan atau bakwan yang seharusnya menjadi kawan karibnya. Kontan dia tersiksa karena menahan pedas yang teramat sangat. Kulit putih kaukasiannya sontak menjadi merah dan keringatnya bercucuran. Saya lalai untuk memberitahu bagaiamana tatacara makan
Lima tahun setelah kejadian itu, saya menyaksikan hal yang mirip. B eberapa hari lalu saya membuka sebuah acara yang melibatkan mahasiswa Jepang di UGM. Saat istirahat, saya mendengar kegaduhan. Seorang mahasiswa Jepang melakukan hal yang persis seperti yang dilakukan kawan Australia saya di Bali setengah dekade silam. Si mahasiswa berteriakteriak dan berlari serta melompat lompat karena menahan pedas. Berbeda dengan kawan saya di Bali dulu, mahasiswa ini lebih ekspresif, dia tidak sungkan memuntahkan sisa
24
cabai yang masih di mulutnya dan tak canggung membuat kegaduhan. Jiwa muda kadang membuat seseorang lebih jujur, meski kejujuran itu menimbulkan keributan. Tak berselang lama, kami menerima tamu beberapa professor dari Jepang. Di sela-sela diskusi serius tentang program pascasarjana yang bisa kami kolaborasikan, seorang professor asing menyantap penganan kecil yang kami sediakan. Insiden serupa terjadi. Sang professor dengan mantap menggigit dan mengunyah cabai yang seharusnya menemani risoles yang ada di kotak penganan. Menariknya, sang professor memutuskan untuk memisahkan si resoles dengan jodoh cabainya sehingga cabai meluncur sendiri tanpa temah ke mulut sang professor lalu mengobrak-abrik kerongkongan beliau dengan rasa pedas yang menggila. Dari wajahnya muncul senyum getir tetapi wajahnya yang memerah tak kuasa menyembunyikan penderitaannya. Beliau berusaha tidak menimbulkan kegaduhan tetapi kami paham apa yang sedang terjadi. Satu dari kami segera berlari ke luar r uang rapat mengambil air putih untuk menolong sang professor. Satu lagi jiwa malang yang telah menjadi korban cabai. Sesungguhnya bukan korban cabai tetapi korban k etidaktahuan dan korban
25
kegagalan komunikasi. Yang lebih penting, kecelakaan itu terjadi karena kegagalan mereka yang paham untuk memahami ketidakpahaman orang lain. Bagi kami, cabai bahkan tidak menarik didiskusikan karena merupakan keseharian tetapi bagi kawankawan saya dari Australia atau Jepang, cabai bisa menjadi insiden serius yang ‘mematikan’. Seperti bencana lainnya, cabai memerlukan early warning system alias sistem peringatan dini. Cabai, diketahui atau tidak, dipercaya atau tidak, tetap saja pedas. Dia tidak menuntut kepercayaan dari orang, tidak juga memerlukan pengakuan. Pedasnya niscaya. Di sisi lain, insiden cabai adalah pertanda sederhana pentingnya pemahanan lintas budaya. Hal-hal besar yang disajikan dengan tabel, rumus dan analisis mendalam tentang perbedaan dua budaya kadang mendominasi persiapan diplomasi antarbangsa. Kita mudah lupa hal-hal kecil yang menjadi keseharian. Kita lupa bahwa apa yang kita tahu dengan fasih, bisa jadi merupakan pengetahuan langka dan penting bagi kawan kita di seberang benua. Kita lupa mengingatkan pada kawan kita bahwa cabai itu pedas dan dia tidak semestinya diceraikan dari pasangan setianya: gorengan. Seringkali, diplomasi kita bersifat absrak, tinggi dan mengawang-awang. Kita lupa diplomasi cabai.