Review : Journal of Urban Technology: “Planning the Unplannable: How local authorities integrate ur

Page 1

UJIAN AKHIR SEMESTER PL 4201 TEORI PERENCANAAN

Ringkasan, Critical Review dan Kaitan Materi Bahasan dengan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia

Jurnal: Journal of Urban Technology: “Planning the Unplannable: How local authorities integrate urban and ICT policy making” - Rodrigo Jose Firmino

disusun oleh: Meta Indriyani Kurniasari

15412016

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2016


1. Ringkasan Sumber Bacaan Information and Communication Technologies (ICTs) telah menjadi fenomena perubahan berbagai aspek kehidupan pada masyarakat saat ini. Pengaruh ICTs pada kehidupan sehari – hari juga merubah cara kita memahami dan menggunakan ruang, waktu, jarak, wilayah, lanskap, secara virtual, fisik dan nyata. Hal tersebut mengundang para ahli di bidang studi perkotaan untuk mencoba mengonsep kembali kota terkait dengan revolusi informasi. Fenomena urban ini melahirkan nama – nama kota seperti “The networked city”, “The galactic metropolis”, “The informational city”, “The post-Fordist city”, “A territorial city”, “The post-industrial city” dan “The post-modern city”. Sistem Informasi membuat kombinasi baru antara manusia, alat dan tempat yang menghasilkan perubahan besar pada aktivitas keruangan antara kota dengan wilayah metropolitan yang lebih luas (Moss dan Townsend). Kehadiran ICTs dan pembangunan jaringan transportasi adalah perubahan teknologi yang meminimalisasi efek hambatan dari jarak dan dislokasi fisik. ICTs membuat kita merasakan keterhubungan antar tempat secara cepat dan membuktikan bahwa lokasi fisik bukan faktor utama yang menentukan keterhubungan antar tempat. Muncul beberapa pertanyaan terkait dengan urban technology development: a. Apabila contemporary city adalah sesuatu yang berbeda dengan industrial city, apakah pengertian modernis ruang dan waktu terkait dengan “virtual urbanization” dan “augmented urban reality”? b. Dalam hal perencanaan dan pembuatan keputusan apakah yang dapat dilakukan untuk menyertakan perkembangan terakhir dalam agenda perkotaan? c. Bagaimana kota berhadapan dengan tantangan untuk mengintegrasikan ICTs dan perkembangan perkotaan? Dalam menangani pertanyaan – pertanyaan di atas, jurnal ini menganalisa beberapa cara dimana ICTs memproduksi konflik yang kompleks mengenai ruang, waktu dan teknologi antara tradisional dan paradigm baru dan menciptakan dilema konseptual untuk pengembangan integratif teknologi dan kota - kota. Lebih spesifiknya, jurnal ini membahas mengenai tindakan pemerintah local terhadap interasi perkotaan dan strategi teknologikal dalam ranah urban technology. Pendekatan yang dipergunakan oleh penulis dalam jurnal ini didukung oleh teori social construction of technologies (SCOT) yang dipercaya dapat memahami beberapa dilema yang disajikan kepada pemerintah lokal ketika mencari integrasi antara pembangunan perkotaan dan perencanaan inisiatif ICT. Praktik mengenai pembangunan sosial teknologi perkotaan ini dibagi menjadi 3 bagian: a. Berkonsentrasi pada deskripsi dari strategi yang diterapkan di 2 kasus negara Eropa yaitu Newcastle dan Antwerp. b. Dua perbedaan pendekatan terhadap ICTs dari 2 kasus negara poin A dibandingkan berdasarkan kepada kemungkinan dilema dan kesulitan yang 1


dihadapi oleh pemerintah local dalam mengintegrasikan kota dan pembuatan kebijakan ICTs. c. Melihat pada 3 tahap sebelumnya untuk membandingkan kedua kasus “strategi” dan menunjukan keuntungan dan kerugian terhadap beberapa rekomendasi yang mungkin.

A. Understanding ICTs as an Urban Development Issue

Untuk memahami cara ICTs mempengaruhi organisasi ruang kota kontemporer, maka kita harus melihat cara pemerintah lokal menggunakan, mengimplementasikan dan mengelola perkembangan ICTs. Selain itu kita juga harus memahami strategi perkotaanICTs (dan untuk membedakan tingkatan pengimplementasian di lokal, regional dan nasional). Mengidentifikasi dilema – dilema dan hambatan dapat berguna untuk pengimplementasian kebijakan lebih lanjut yang dapat lebih terintegrasi (kebijakan ICT dengan kebijakan lokal), lebih efisien dan lebih mengakomodasi untuk kekhasan dari daerah yang berbeda-beda. Perencanaan kota masih terlihat sebagai special discipline yang sedikit/tidak relevan dengan perkembangan perkotaan. Banyak departemen perencanaan masih melihat kota seolah – olah sama dengan kota industry pada abad 19 dan 20. Pada banyak kasus, metode pengendalian ruang dan pembangunan dahulu masih diterapkan dengan hanya sedikit mempertimbangkan faktor – faktor yang terjadi saat ini. Urban technology diperkanalkan oleh Stephen Graham dan Simon Marvin dalam Telecomunications and the City. Tujuan dari jurnal ini yaitu ingin melihat sejauh mana SCOT berdampak pada sosial. Ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu konsep yang ada dalam SCOT yaitu “interpretative flexibility” yang menjelaskan perbedaan respon aktor – aktor dalam peristiwa proses sosio-teknis terhadap “permasalahan” dan “solusi” sehingga memiliki interpretasi yang berbeda – beda.

Beberapa pertanyaan terkait “interpretative flexibility” diantaranya: a. Apa arti strategi ini untuk para aktor sosial berbeda yang terlibat? Apakah beda artinya untuk pegawai dan departemen, untuk politikus, warga, pihak ketiga dll? b. Apa permasalahan dan solusi yang dapat ditangani oleh aktor yang berbeda? c. Bagaimana kelompok sosial dominan dapat mengatasi dengan berbagai visi untuk mengadopsi strategi tunggal? Pada akhirnya, apakah stategi yang digunakan dapat memuaskan semua sector yang terlibat? Apakah itu menunjukan berbagai macam interpretasi?

2


Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis menggunakan pembangunan sosial strategi perkotaan-ICT pada 2 kota di Eropa.

contoh

analisa

a. Re-imaging the City with a Fragmented Structure: The Case of Newcastle Newcastle sejak dahulu mengalami kesulitan baik pada pihak berwenang setempat, badan – badan pembangunan, kependudukan dan kualitas hidup masyarakat. Ekonomi kota Newcastle didominasi oleh industry berat, terutama tambang batubara dan pembuatan kapal. Ketergantungan tersebut telah memberikan efek jangka panjang pada citra kota dan kepercayaan diri masyarakat pada pemerintah lokal untuk memulihkan krisis ekonomi yang ada. Newcastle berusaha menarik orang untuk tingal di wilayahnya dengan penekanan khusus pada penawaran insentif yaitu industry berteknologi tinggi. Insentif ini befokus pada mempekerjaan ICTs pada regenerasi proyek dan inisiatif untuk membangun citra kota. Hal ini merepresntasikan kota Eropa yang berusaha keras menarik perhatian alternative sumberdaya untuk meraih citra kota sebagai “Innovative City”, kaya lapangan kerja, kenyamanan, budaya, pengetahuan, kewirausahaan dan kualitas hidup. Usaha Newcastle yang terus menerus untuk membangun citra kota melalui motivasi keras untuk pengimplementasian ICTs. Kemajuan teknologi mempengaruhi regenerasi perkotaan. ICTs adalah motivator proyek regenerasi dan men-trigger ekonomi lokal serta berfungsi sebagai “booster”. Pengembangan ekonomi okal melalui regenerasi selalui menjadi perhatian khusus pemerintah kota. Oleh sebab itu, secara natural ICTs harus memainkan peran besar dalam “local boosterism”. Projek yang berlaku di Newcastle dilakukan secara terfragmentasi, begitu juga dengan projek ICT. Projek dikembangkan tanpa memperhatikan interaksi antar pihak, artinya biaya, manfaat, dan dana untuk ICTs sangat sulit untuk ditentukan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah kota mengeluarkan E-service panel untuk memfasilitasi diskusi dan penyetujuan projek ICT. Namun ternyata, diskusi yang terjadi lebih cenderung mengikuti kepentingan ekonomi disbanding sosial,budaya atau keruangan. Pada akhirnya, hasil diskusi bergantung pada prioritas departemen dan terikat pada struktur manajemen kotanya sendiri. Semua aspek sejarah dan lokal yang dibahas di atas — terutama dari relevansi ekonomi — berpengaruh pada bentuk pembangunan sosial ICT di kota Newcastle. Proses pencitraan kembali kota sangat penting dalam menghubungkan ICT terhadap keharusan kewirausahaan, strategi tempat-pemasaran, dan masa depan bisnis kota. Kondisi ini umum erat terkait dengan fakta bahwa "selain perhatian pada kompetisi antara tempat di dalam kota, wilayah perkotaan sendiri berada dalam posisi persaingan satu sama lain untuk peluang ekonomi level nasinal, makro regional dan global”.

3


b. The Integration and Political Decentralization of ICTs: The Case of Antwerp Antwerp adalah salah satu kota terbesar di Belgia. Kota ini erkenal dengan inovasi dan keberhasilannya dalam menerapkan ICTs di Eropa dan menjadi anggita pendiri Komite Pengarah dari TeleCities. Antwrep merupakan kota termaju di Belgia pada penggunaan ICT untuk administrasi publik. Otoritas lokal Antwrep menganggap ICTs sebagai hal penting bagi masa depan kota sehingga menciptakan sebuah badan khusus untuk ICT yang disebut Telepolis. Badan semi independen ini bertanggung jawab untuk koordinasi, penggunaan dan pelaksanaan inisiatif ICT dalam kota, modernsiasi administrasi kota, pengelolaan infrastruktur dan kontrak yang berhubungan dengan ICT dan untuk pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan ICT. Pemerintah Belgia pada 1970s melakukan pengurangan jumlah pemerintahan lokal dari 2.359 menjadi 596, namun Antwerp menundanya hingga 1983. Anwerp melakukan otoritas lokal untuk mendesentralisasikan pelayanan public dan administrasi terhadap 9 kota distrik. Hal tersebut menimbulkan peningkatan pada partai ekstrim kanan yaitu Vlaams Blok. Hal ini juga mendorong partai demokrasi untuk berkoalisi di pemerintahan kota dan distrik untuk menjamin oposisi kuat melawan Vlaams Blok (cordon sanitaire). Tanpa ICT Antwerp tidak akan pernah mampu mencapai reformasi politik dan administrative. Ada hubungan antara desentralisasi politik di Belgia (terutama Antwerp) dan adopsi dari strategi yang lebih proaktif terhadap penerapan dan penggunaan ICT oleh otoritas lokal. Struktur politik baru membutuhkan sistem informasi dan komunikasi yang memungkinkan integrase lebih luas pada pemerintah. ICT berkerja untuk Antwerp sebagai instrument integrative karena kemampuannya untuk meningkatkan komunikasi antara berbagai departemen kota dan antara distrik. Telepolis adalah bukti fisik dan kelembagaan dari evolusi pendekatan perkotaan ICT-Antwerp dan Telepolis membedakan strategi Antwerp. Oleh karena itu, beberapa kelompok sosial cenderung melihat fungsi ICT sebagai sarana untuk melanjutkan reformasi politik yang sedang berlangsung dari wilayah dan negara. Strategi ICT dan Telepolis sebagai perantara dan memfasilitasi penerapan dan penyerapan dari struktur politik yang baru. Secara internal, Teknopolis juga menghasilkan rencana tahunan operasional yang dimaksudkan sesuai persyaratan yang disepakati oleh para pemimpin politik. Proses ini menggambarkan praktik penggabungan antara pembuatan kebijakan tradisional dan kebijakan ICT. Dalam pengertian ini, rencana operasional tahunan Telepolis dan perjanjian politik dengan administrasi kota mewakili bukti bahwa fokus Antwerp pada strategi terpadu dan kebijakan ICT menjadikannya elemen penting bagi Antwerpen dalam pendekatan proaktif untuk strategi perkotaan ICT. Bukti – bukti

4


penting ini memainkan peran signifikan dalam konstitusi dalam strategi integratif saat ini.

B. Dilemmas and Obstacles or Urban-ICT Strategies Kasus Newcastle dan Antwerp menyajikan perbedaan dalam hal manajemen dan pengembangan dari penerapan ICT oleh otoritas lokal. Hal ini penting untuk ditambahkan bahwa meskipun perbedaan pendekatan meraka terhadap pengembangan ICT namun memiliki karakteristik tertentu. Persamaannya meliputi wacana antara aktor utama di kedua kota tersebut yang jelas bahwa mereka cenderung “technological determinism�. Dilema dan hambatan yang dialami oleh pemerintah lokal mengintegrasikan kebijakan perkotaan dengan ICT terbagi menjadi 3 bagian:

dalam

a. Terdapat kompleksitas konseptual yang stimulant dan keterlibatan yang tidak jelas dalam penerapan ICT untuk isu perkotaan. b. Berbagai interpretasi yang diwakili aspek dominan adalah tantangan untuk pemerintah lokal dalam mengembangkan strategi perkotaan ICT c. Latar belakang sejarah dan kondisi teknis mewakili kemunngkinan dan hambatan dalam membentuk dasar bagi hubungan sosial dan politik yang saat ini membentuk strategi perkotaan berbasis ICT. Tabel 1 Perbandingan Newcastle dan Antwerp Case Struktur politik dan administratif

Motivasi Strategi ICTs

Keterlibatan Perencanaan

Newcastle Nasional/regional: Sentralisasi

Antwerp Nasional/regional: desenralisasi

Lokal : Terfragmentasi dan tersebar

Lokal : terbagi ke dalam unit bisnis (desentralisasi)

Menggunakan struktur “silo� direktrokat dan divisi Dikendalikan oleh ekonomi Inisiatif tersebar pada struktur administrasi, didukung oleh panel Institusi supervisor untuk ICTs: Eservice Panel Perencana jauh dari ICTs. Tidak ada keterlibatan dengan strategi

Dikendalikan oleh politik Sangat tersentralisasi, didukung oleh badan ICT public Badan semi-independen publik: Telepolis Perencana jauh dari ICTs. Sedikit keterlibatan dengan strategi (kebanyakan pada GIS) 5


Case Dilema

Newcastle Fleksibilitas interpretatif Pengaruh endogen dan eksogen

Fleksibilitas interpretative

Tidak diperhitungkan dalam strategi Adanya berbagai interpretasi tidak mencegah projek untuk diterapkan Sumber: Firmino, 2004

Antwerp Fleksibilitas interpretative Pendekatan kewirausahaan terhadap projek dan inisiatif Menekankan pada mengelola hubungan dengan pelanggan Visi berbeda dimasukan ke dalam strategi tunggal oleh Telepolis Adanya berbagai interpretasi tidak mencegah projek untuk diterapkan

C. Conclusion: Planning the Unplannable Akhir – akhir ini terdapat minat dalam menerapkan strategi untuk regenerai dan pengembangan perkotaan yang merangkul integrasi inisiatif virtual dan fisik. Otoritas lokal yang tidak mengerti sepenuhnya mengenai dinamika sosial terlibat dalam perkembangan teknologi yang kadang – kadang membatasi kemampuan mereka untuk menerapkan ICT pada kebijakan perkotaan. Obervasi ini konsisten dengan literature yang muncul pada hubungan antara keruangan fisik dan elektronik. Pelajaran yang dapat diambil dari perbandingan kasus kedua kota Newcastle dan Antwerp dapat dilihat dari keuntungan dan kekurangan dari setiap model. Setelah menganalisa dan membandingkan kasus diantara Newcastle dan Antwerp maka keuntungan dari ICT bagi kedua kota tersebut: a. Integrasi dan koordinasi meningkatkan kesempatan mengambil pertimbangan berbagai visi, permasalahan dan solusi b. Integrasi yang baik diantara seluruh administrasi kota dan institusi lain yang terkait memungkinkan pemanfaatan yang lebih baik dari investasi ICT c. Kordinasi sentral oleh professional yang spesialis memberikan otonomi dan control yang lebih pada kebijakan terkait ICT d. Kepentingan politis dan masyarakat pada ICT pada umumnya lebih besar di Antwerp daripada di Newcastle e. Telepolis menawarkan Antwerp berbagai kebijakan baru dibandingkan Newcastle dan pemahaman tentang efek jangka panjang dari kebijakan – kebijakan tersebut f. Pengamanan dan penggunaan yang bertanggung jawab dari sumberdaya public serta anggaran untuk ICT merupakan konsekuensi alami dari model yang terpadu dan terpusat Namun, terlepas dari keuntungan dari penerapan ICT masih terdapat permasalahan, diantaranya:

6


a. Antwerp masih menghadapi dilema dan kesulitan dalam konstruksi sosial dari ICTs secara keseluruhan b. Penerapan strategi ICT tidak dengan sendirinya berhasil begitu saja. Kondisi lokal dan latar belakang sejarah juga mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan atau kegagalan penerapan kebijakan ICT Berikut adalah rekomendasi kebijakan untuk memperkenalkan strategi ICT perkotaan yang terpadu dan terkordinasi ke pemerintah kota dan masyarakat setempat: a. Pertama sangat penting untuk menciptakan kesadaran dan sikap komprehensif terhadap semua isu terkait strategi dan kebijakan ICT b. Konsep dan dampak yang terkait dengan implementasi dari inisiatif ICT perkotaan harus dianalisis basis dari strategi dan struktur yang relevan daripada dugaan dan efek langsungnya c. Setiap aspek dari konstruksi sosial dari ICT harus diketahui, hindari parsial dan aksi yang terbatas d. Badan public khusus harus dibuat untuk menginspeksi dan mengordinasikan penerapan dari seluruh strategi sesuai dengan prinsip kepentingan public e. Menjaga integrasi yang tinggi antar departemen dan badan ICT yang berdedikasi f. Perbedaan yang jelas terhadap area dari dampak ICT harus dibuat g. Pembagian internal divisi ICT didedikasikan untuk bias membantu mengevaluasi dan memberikan nasihat tentang dampak jangka panjang projek h. Audit dan penilaian harus dilakukan dan diskusikan dengan masyarakat, pemerintah, pembuat keputusan agar mengindari pegurangan interpretative yang dominan yang tidak mewakili pemerintah daerah dan kota

2. Kaitan dengan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia

Setelah meringkas jurnal “Planning the unplannable: How local authorities integrate urban and ICT policy making�, saya ingin mengaitkan konten perkembangan ICT dan dampaknya terhadap pemerintah kota di Indonesia dan masyarakat terutama dalam hal e-governance. Penggunaan komunikasi daring (online) dan media sosial telah merubah cara persebaran informasi dan cara berkomunikasi penduduk dunia dalam beberapa tahun ini. Penggunaan komunikasi daring bukan hanya berkembang di negara maju, namun juga di negara berkembang termasuk Indonesia. Tingginya penggunaan komunikasi daring dapat ditunjukan dengan angka pengguna internet di Indonesia. Jumlah 7


pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 yaitu sebanyak 88,1 juta dari 252,4 juta penduduk Indonesia. Provinsi dengan jumlah pengguna tertinggi adalah Jawa Barat, yaitu 16.4 juta penduduk. Tingginya angka pengguna internet tersebut mengindikasikan bahwa teknologi dan infomasi telah merubah cara masyarakat menerima dan menyebar informasi serta berkomunikasi menggunakan komunikasi digital. Masyarakat Indonesia berada di era digital. Era digital adalah masa dimana teknologi digital menjadi infrastruktur yang melayani komunikasi sehari – hari. Keberadaan gawai / alat canggih (gadget) dan akses bebas terhadap internet menyebabkan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap akses pada informasi dan komunikasi yang cepat dan mudah. Teknologi, informasi dan komunikasi mempengaruhi segala aspek kehidupan termasuk dalam bidang pemerintahan. Munculnya berbagai keinginan dari pemerintah untuk menerapkan teknologi, informasi dan komunikasi dalam bidang pemerintahan merupakan salah satu bentuk respon untuk memfasilitasi pergeseran pola komunikasi masyarakat yang berubah dari jalur komunikasi tradisional ke jalur komunikasi interaktif berbasis internet dan nirkabel. E-Government adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI) untuk memberikan layanan kepada masyarakat (Heeks, 1999). Selain itu, e-government bertujuan untuk membuat interaksi antara pemerintah dan masyarakat (Government to Citizen – G2C) serta pemerintah dan kalangan bisnis (Government to Business) dan antar instansi pemerintah (Government to Government – G2G) lebih bersahabat, nyaman, transparan dan murah. Tingkatan awal dari e-government adalah menunjukan wajah pemerintah dalam bentuk official website. Official website sangat penting bagi suatu kota/kabupaten. Fungsi dari official website adalah sebagai mass communication, institutional communication dan community communication (Jeffres, 2010). Fungsi official website tersebut dapat meningkatkan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses perencanaan kota. Berdasarkan UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, penyediaan informasi pelayanan publik belum dilaksanakan secara maksimal. Berdasarkan hasil

8


penelitian PKP2A II LAN (2010), menunjukan bahwa masih rendahnya pemanfaatan official website pemerintah dalam menginformasikan aspek – aspek pelayanan publik pada masyarakat, padahal pemanfaatan official website adalah tolak ukur dasar dan termudah dalam melihat kemampuan daerah dalam penyediaan informasi secara elektronik. Apabila dikaitkan dengan elemen Kota Komunikatif, Official Website dapat membantu mendorong terciptanya Kota Komunikatif dalam hal optimalisasi peran dan partisipasi

masyarakat,

penciptaan

lingkungan

kondusif dalam

pembangunan,

penyediaan sistem dan saluran komunikasi serta persebaran informasi dan keadilan dalam pembangunan (development equity). Setiap kota/kabupaten di Indonesia harus mulai mempersiapkan diri untuk bersaing di era digital, terutama setelah peresmian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Selain itu, semenjak UU No 32 Tahun 2004 tentang desentralasi diberlakukan, setiap kabupaten/kota diharuskan aktif dan kreatif untuk memperoleh pendapatan daerah guna meningkatkan pembangunan ekonomi. Beberapa daerah beraglomerasi membentuk metropolitan. Metropolitan merupakan tempat terjadinya suatu gaya – gaya hidup baru seperti fenomena new civic responsibilities, and new interrelationship, juga terdapat konsep tentang new lines of communication karena di metropolitan terdapat new sources of social and political power (Hutchison,2010 dalam Ridwan Sutriadi, 2015). Jurnal mengenai ICT perkotaan memiliki beberapa poin terkait dengan perencanaan wilayah dan kota di Indonesia. Pada tahun 2005 Indonesia ikut meratifikasi kesepakatan dalam pertemuan internasional WSIS (World Summit on Information Society) di Jenewa, Swiss. Terdapat 10 indikator yang disepakati untuk menjadi tolak ukur pembangunan dan kesiapan Indonesia memasuki era digital. Dari 10 indikator terdapat komponen yang perlu diperhatikan sebagai domain pengguna teknologi dan komunikasi seperti fasilitas publik. Ketersediaan infrastruktur ICT menjadi sangat penting dalam memasuki era digital. Kinerja perkotaan tidak hanya diukur dari tersedianya infrastruktur dasar fisik, tetapi juga dilihat dari ketersediaan infrasrtuktur social yang mendukung daya saing kota. Daya saing kota yang didukung oleh ICT sebagai bahan bakar infrastruktur 9


komunikasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan manajemen yang bijaksana. Dalam perkembangan era digital, pemerintah kota mau tidak mau harus bisa memanfaatkan ICT untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik kepada publik, transparansi, keterbukaan informasi dan akses terhadap informasi yang akan meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap perencanaan kebijakan kota/wilayah. Perkembangan ICT juga harus bisa dimanfaatkan sebagai alat yang dapat membantu pemerintah dalam menciptakan kota yang cerdas, melek informasi dan teknologi dan membantu dalam manajemen dan administrasi publik kota.

10


Referensi:

Firmino, Rodrigo. 2011. Planning the unplannable: How local authorities integrate urban and ICT policy making. Journal of Urban Technology, Volume 12, Number 12, Pages 49-69 Jeffres, Leo.2013. Auditing Communication Systems to Help Urban Policy Makers. Jeffres, Leo.2006. Metropolitan Website as Urban Communication. Journal of ComputerMediated Communication, Volume 11 (2006) 957-980 Indrajif, Richardus. 2012. Kerangka Merancang dan Membangun Kota Cerdas di Seantero Nusantara. EKOJI999 Nomor 001, 9 September 2012

11


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.