Hidup adalah bergerak
Narasi
Lebaran Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015 @vokal_institute
Daftar Isi Memahami Keadaan menjadi Kunci Bahagia –
4
Hernawan Puisi Setia Naka Andrean Pemaknaan Berlebaran – M. Muhajir Lebaran, Kupat-an, dan Sungkeman - Adefira Lestari Lebaran dan Panggung Sosial - Widyanuari Eko Putra Lebaran dan “Ajang ke-Aku-an” - Moh. Aniq Kh.B. Jejak Lebaran dalam Sastra Kita - Muhajir Arrosyid
7
9
12 15 18 21
Penjual bunga di depan pasar Bintoro Demak (16/7). Sehari menjelang lebaran banyak penjual bunga di depan pasar. Hari itu dinamakan Pasar Kembang atau Pasar Bunga. Bunga ditaburkan dimakam para sanak saudara pada sore harinya. (foto Hjr) Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
2
pengantar
Narasi Lebaran
L
ebaran adalah peristiwa budaya yang menggerakkan semua sisi kehidupan manusia; agama, ekonomi, tradisi. Menjelang hari itu toko-toko pakian penuh, tiba-tiba orang-orang merasa punya uang. Tidak keting galan televisi, menyajikan program dan iklan bertema 'berbagi' berkasih-kasihan di bulan lebaran.
Melihat iklan-iklan di televisi tentang puasa-lebaran kita akan melihat narasi seragam yang kontras sekaligus harmoni antara si miskin dan si kaya atau si gagal dan si sukses. Persis seperti lirik lagu berjudul Lebaran karya Ismail Marzuki yang menjadi lagu wajib selain takbir dan dikumandangkan setiap lebaran. Dalam lagu yang bersuasana ceria tersebut ditutup dengan kalimat selamat para pemimpin rakyatnya makmur terjamin. Lirik tersebut bisa jadi sindiran atas keinginan sang penulis mengatakan yang sebaliknya. Relasi antara si kaya yang gemar berbagi kepada si miskin itu tampak pada iklan lebaran Bank Mandiri. Di sana digambarkan si kaya berbaju rapi di dalam mobil melihat seorang anak pengamen payung yang
berkeinginan membeli sajadah untuk sholad Idul Fitri tetapi uangnya kurang. Turunlah si orang kaya tadi dari mobil dan membelikan sehelai sajadah untuk anak tersebut. Kemudian ada suasana haru seiring adegan sholat Ied anak menggunakan sajadah tersebut. Warna lain pada iklan lebaran adalah gambaran ketulusan hati orang tua kepada anak seperti dalam iklan Djarum 2014, dan Djarum 2007. Di Malaysia ternyata juga tidak jauh berbeda, iklan lebaran Petronas menggambarkan seorang anak muda yang mudik membawa koper yang banyak kemudian naik becak, pada akhirnya anak muda tersebut malah yang membecak dan mengantar si bapak ke rumah karena si bapak tibatiba sakit di tengah jalan. Tulisan yang akan ada baca pada lembar-lembar berikut adalah sekumpulan tulisan bertemakan lebaran. Saya ucapkan terimakasih bagi para penulis yang telah mensodakohkan tulisannya untuk URBANOLOGI edisi ini. Terimakasih. (Muhajir Arrosyid).
URBANOLOGI diterbitkan oleh Forum Budaya Urban, salah satu forum yang dikelola Vokal Institute. Redaksi: Twetter: @Vokal_Institute, Fb:vokalinstitute, Hp. 085712465744, Email: vokalinstitute@gmail.com. Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
3
Refleksi Idul Fitri 1436 H
Memahami Keadaan menjadi Kunci Bahagia
R
foto oleh: Hernawan
Hernawan (Guru di kalimantan)
asanya judul di atas dapat mewakili suasana kebatinan dan non-kebatinan. Bagaimana tidak, setiap perayaan Idul Fitri jalanan menjadi ramai oleh rombongan sepeda motor dengan suara knalpot yang meraung-raung. Awalnya geram mendengar dan melihat pemandangan seperti itu.
Namun setelah dilihat dari sudut pandang yang lain, saya memahami dan mengikhlaskan. Tentu ada alasan yang mengarahkan untuk bisa paham dan ikhlas. Alasan pertama karena jalan Trans Kalimantan di desa tempat tinggal saya baru saja jadi. Wajarlah jika peng guna jalan sangat bergembira menikmati jalan yang
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
4
terjadi dimana saya bertempat tinggal. Mudah-mudahan dengan memahami cara berbahagianya orang lain menjadi kebahagiaan saya dan keluarga kecil perantau di pulau terbesar di Indonesia ini. Selain konvoi iring-iringan sepeda motor, kemeriahan malam Idul Fitri di desa kami diwarnai oleh perlombaan mobil hias. Terdapat 15 Musholla dari masing-masing RT menampilkan kreasi mobil hias. Barangkali perasaan senasib sesama warg a eks-transmig rasi yang menyatukan warga untuk memeriahkan malam kemenangan. Saya pun merasakan kebersamaan dengan warga mulai dari menyiapkan bahan dan peralatan untuk membuat mobil hias. Sampai tiba waktunya foto oleh: Hernawan
layak lintas. Apalagi jalan beraspal. Jangan dibandingkan dengan jalanan di pulau Jawa. Ruas jalan di Desa Purwareja Kecamatan Sematu Jaya Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah, sebelumnya hanyalah jalan bekas jalur lalu lintas kayu gelondong. Istilah yang biasa digunakan orang Kalimantan jalan logging. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana tebalnya debu saat musim kemarau dan bagaimana beceknya saat musim hujan? Alasan kedua yakni tidak adanya jalan lingkar dalam kota seperti – lagilagi – di kota-kota di pulau Jawa. Maka satu-satunya jalur berkonvoi dan bertakbir keliling adalah jalan Trans itu. Jadi kedua alasan itu menjadi jalan untuk memahami keadaan yang
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
5
menggemakan takbir ke seluruh penjuru desa. Perihal menang atau kalah dalam lomba mobil hias bukanlah yang utama. Kebersamaan dan kemeriahan itulah kemenangan yang berharga. Kalau dirunut ke belakang berawal dari berlangsungnya sholat 'Isya dan Tarawih berjama'ah. Kebersamaan sangat saya rasakan. Sama-sama dapat jadwal membuat makanan untuk ta'jil. Sama-sama mendapat jadwal menjadi imam sholat. Untuk jadwal menjadi imam sholat, inilah pengalaman berharga yang saya peroleh dari lingkungan tempat tinggal. Sebagai imam yang paling muda, saya mendapat giliran di hari ke-5 dan kelipatannya. Kesempatan pertama sedikit grogi. Namun yang ke-2 dan seterusnya lebih santai. Pertimbangan Takmir Musholla membuat jadwal imam sholat adalah demi kaderisasi dan regenarasi. Demikian sekelumit pengalaman yang saya peroleh dari lingkungan tempat tinggal. Bahwasanya belajar tidak mengenal batas usia. Tidak pula terbatas oleh ruang. Belajar bagaimana memahami ruang gerak kebahagiaan orang lain sebagai kebahagiaan kita juga. Belajar bagaimana menjadi pemimpin mulai dari Musholla kecil di lingkup terkecil di desa. Tentu Anda semua setuju, bukan?
Penjual dan pembuat selongsong kupat, di pasar-pasar tradisional sehari menjelang lebaran banyak dijual selongsong kupat. Para pembili tinggal mengisinya dengan beras dan memasaknya. (foto Hjr)
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
6
PUISI SETIA NAKA ANDREAN Pesta Pesta inilah yang kau tunggu. Kau sering bilang, ini pesta setahun sekali. Semua harus dijatuhkan di sini. Saban hari dalam sebulan, kau mengabarkan pesta ini kepada siapa saja. Kepada tetangga, teman dekat, segenap sanak saudara, pohon-pohon, tumbuhtumbuhan, bahkan kepada tulang-tulang di tubuhmu sendiri. Agar ketika pesta nanti, kau menjadi kuat. Kaki-kakimu lantang mengantarmu mengunjungi rumah-rumah. Tangan-tanganmu tak pernah kelelahan menjabatkan cerita-cerita kebaikan. Hingga akan banyak teman bersamamu. Mereka semua bahagia. Kau pasang tubuhmu dengan makanan paling enak, minuman paling segar, buah-buahan paling vitamin. Katamu, pada pesta nanti, orang-orang akan lahir kembali dari pintu-pintu ajaib. Pintu-pintu maaf, pintu-pintu kerelaan, dan bahkan pintupintu doa untuk masa depan yang panjang. Sungguh, pesta ini yang sangat kau tunggu. Semua telah kau kenakan dan kau persiapkan dengan sangat matang. Katamu, pada malam pesta nanti, petasan akan kau ledakkan di hatimu. Kecurigaan, kekecewaan, kesombongan, semua akan terpecah-belah. Katamu, itu pertanda pesta telah dimulai. Dan pada malam itu pula, juga bisa jadi pesta telah diakhiri. Ketika kau masih nampak cemas. Ketika tangan-tanganmu begitu dingin. Ketika kau masih memburu pesta-pesta lain yang hendak kau tuju. Jika masih begitu, pesta akan hancur. Di tubuhmu, kain-kain merobek kulitmu. Hatimu akan pecah. Berantakan. Darah mengucur ke mana-mana. Membasahi matamu. Sanggargema, Juli 2015
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
7
Manusia Alarm Alarm telah dibunyikan. Diam-diam kau menyumbat telingamu sendiri. Orang-orang dilarang masuk. Mereka berlari-lari mengantri. Memburu suara-suara. Alarm semakin dibunyikan. Tanda bahaya tiba-tiba dimatikan. Sanggargema, Juli 2015 Awal Mula Kemanusiaan Barangkali di sinilah awal mula kemanusiaan. Barang-barang dijual tanpa uang. Kebaikan-kebaikan bergelimang dari tangantangan di atas tengadah. Orang-orang berlarian meniti kehidupan tanpa diam-diam. Mereka tak pernah bersembunyi. Muncul dari gang-gang yang biasa sepi. Dari jalan-jalan yang tak terbiasa dilalui orang-orang. Tubuh mereka transparan. Berisi kabar-kabar yang selalu dijatuhkan dengan sangat pelan. Mereka berbahagia sebagai manusia seutuhnya. Senyum-senyum lebar beterbangan di jalan-jalan. Anak-anak berlarian. Menyalakan kemenangan. Dalam genggaman, orang-orang mengisi rindu yang panjang-panjang. Dalam doa-doa yang tak lagi berseberangan. Sanggargema, Juli 2015 Kereta Kereta akan segera berangkat, Kawan. Kau masih saja tenang dalam gerbong-gerbong yang kosong. Di tubuhmu masih banyak lubang-lubang yang sepi. Lalu mau kau kemanakan lagi tubuhmu. Akankah sanggup sepenuh itu kau tinggalkan jiwamu yang belum matang. Sudahkah kau siap. Kereta akan segera berangkat. Kau masih saja menggigil. Memandangi lantai-lantai. Dibanjiri keringat. Di matamu. Di dadamu. Di lubang-lubang yang masih sepi itu. Sanggargema, Juli 2015
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
8
Pemaknaan BERLEBARAN
Muhamad Muhajir (Mahasiswa pascasarjana Lingustik UNDIP)
S
yukur Alhamdulillah Lebaran masih kita jumpai. Momentum Idul Fitri ditandai dengan adanya gemur uh takbir yang dilantunkan di beberapa musholla, masjid, rumah, dan berbagai tempat. Setiap manusia khususnya umat Islam mengagungkan nama Tuhan dengan bacaan Allahu Akbar sebanyakbanyaknya. Pembacaan takbir merupakan bentuk pernyataan sekaligus penghayatan hamba kepada cinta dan keagungan Allah. Bacaan takbir jangan hanya sekadar bacaan yang diucapkan dari bibir saja tanpa ada pemaknaan. Tibanya hari raya merupakan momen yang ditunggu oleh umat Islam setelah menjalankan ibadah puasa, yakni tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menanamkan sikap toleransi dan berbagi kebahagiaan terhadap sesama. Kewajiban ber puasa mempunyai tujuan agar umat Islam yang beriman mencapai derajat takwa. Secara sederhana, salah satu indikator ketakwaan manusia adalah kesadaran
bersosial, yakni memperhatikan orang tidak mampu dan berbagi kebahagiaan terhadap liyan. Hari raya merupakan hari umat Islam untuk merayakan kemerdekaan dan kegembiraan. Meskipun terkadang berbeda penetapannya antara ormas satu dengan lainnya, semoga hasil ijtihad dari keduanya diterima di sisi-Nya. Berbagai tradisi di hari tersebut dilakukan oleh umat Islam khususnya Jawa, mulai dari shalat id, bersedekah di musholla, ke makbaroh (kuburan), dan silaturrahim atau sungkem. Inilah tradisi kebudayaan yang terjadi dalam setiap tahun. Keberadaan tradisi tersebut kiranya perlu dipahami bukan dijalankan sekedar ritual. Tentunya, beberapa tradisi Lebaran di atas mengandung makna tertentu. Misalnya, salat sebagai kewajiban hamba terhadap Sang Khaliq yang termasuk rukun Islam ke-2. Bersedekah merupakan bentuk amalan supaya kita berbagi terhadap sesama. Berkunjung ke makbaroh
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
9
supaya manusia ingat bahwa mereka tidak kekal dan akan meninggal. Selanjutnya, sungkem berar ti pernyataan khilaf terhadap sesama sebagai makhluk sosial baik tutur maupun laku. Berdasarkan rangkaian tradisi di atas, apakah substansi Idul Fitri sudah tertanam pada diri kita ataukah hanya dianggap sebagai rutinitas tahunan? Secara harfiah, Idul fitri berasal dari kata Id bermakna kembali dan fitri bermakna asli atau orisinil. Jadi, Idul Fitri merupakan hari kembali ke fitrah, suci. Seperti bayi saat dilahirkan. Momen Lebaran demi Lebaran telah dilewati oleh manusia, semestinya bisa menjadi introspeksi tentang keberadaan manusia sekaligus sebagai titik awal dalam memulai lembaran baru dalam hidup. Identitas manusia layaknya bayi yang baru dilahirkan tidak menyandang apapun, baik busana maupun status sosial. Manusia tetaplah hamba yang bertugas mengabdi kepada Sang Khaliq. Berbagai status yang dijabat jangan sampai mengabaikan jati dirinya sebagai manusia. Misalnya, presiden, menteri, ketua parpol, pengusaha, rakyat, buruh, rektor, dosen, seniman dan lain sebagainya. Apakah jabatan tersebut dapat menjadikan pembeda di sisih-Nya? Tentunya takwalah penentunya. Status yang diperoleh manusia hanyalah bersifat sementara dan sehar usnya digunakan untuk
mencapai derajat takwa. Tugas dan peran manusia hanya melakukan hablun min Allah dan hablun min annas dengan benar sebenarnya. Maka, di hari yang fitri ini diharapkan semua elemen masyarakat bisa menanggalkan status sosial dan kepentingan dan saatnya kembali ke fitri serta meraih kemenangan dalam rangka saling memaafkan yang benar memaafkan satu sama lain. Sikap memaafkan merupakan sifat terpuji. Dengan sikap tersebut, perbuatan khilaf yang pernah kita perbuat bisa terhapus dan fitri kembali secara sosial. Kita patut berbahagia karena masih diberi kesempatan ber-Idul Fitri. Namun perlu dipahami bahwa nuansa Idul Fitri bisa dirasakan tiap umat Islam, tetapi substansinya hanya dapat diperoleh orang tertentu. Hal itu dikarenakan makna Lebaran terletak pada kejiwaan, yakni bagaimana kita bisa merubah diri dalam berperilaku dan bertutur pada hari-hari berikutnya ke arah yang berkualitas. Perubahan pada diri manusia berarti orang tersebut memaknai arti puasa karena kualitas akan tercermin pada spiritual, intelektual, mental, dan moral pelaku puasa. Pelaksanaan rukun Islam ke-2 bukanlah sebatas ritual mengosongkan perut secara fisik, tetapi rohani, mentalitas, dan moralitas kita harus dilatih sehingga bisa tercermin dalam perilaku sosial. Meskipun setelah ber-Idul Fitri, bersih diri, kita pun bisa kotor lagi
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
10
karena kelalaian bersikap dan kekurangpahaman dalam menyikapi kondisi lingkungan yang dinamis. Kelalaian dan kesalahan tidak bisa lepas pada manusia karena kedua hal tersebut terkadang sulit dihindari, tetapi janganlah dijadikan alasan dalam bertindak yang tidak sebenarya. Meskipun terdapat kaidah Al insan mkhallul khoto' wan nisyan, manusia tempat salah dan lalai. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen diri dan review terhadap amalan puasa sup aya sesua tu ya n g ti d a k bermanfaat terminimalisir. Dalam pelaksanaan puasa mengandung nilainilai luhur yang perlu diterapkan dalam kehidupan nyata. Selain itu, puasa juga menjadi pemicu dan pemacu dalam meningkatkan religiusitas. Bagaimanapun juga ajaran puasa harus dimaknai dan memberi output yang tertanam pada diri kita sebagai metode untuk meningkatan ubudiyah terhadap Sang Khaliq (vertikal) dan hubungan dengan sesama (horisontal). Ber-Lebaran semestinya diikuti dengan kejernihan jiwa sekaligus upaya peningkatan kualitas hidup kembali menuju hari berikutnya supaya kita termasuk kelompok orang yang bahagia baik di dunia maupun akhirat. Peningkatan tentunya harus diikuti dengan pengurangan kuantitas akan kebutuhan dunia sehingga keimanan kita dapat bertambah karena Nabi Muhammad bersabda: Hari raya
bukanlah milik orang yang baru pakaiannya, melainkan milik mereka yang bertambah kepatuhannya. Semoga kita bisa merasakan nuansa Lebaran dengan keberkahan. Minal 'aidin wal faizin, fi kulli 'amin wa antum bi khoir wa 'afiyah.
Sebuah papan berisi pitutu di depan masjid Asisia Ala taqwa Cabean, Sidorejo, Demak.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
11
Lebaran, Kupat-an, dan Sungkeman Adefira Lestari (Penulis Cerita dan Guru)
L
ayaknya kado yang dinantikan, masa-masa Lebaran senantiasa menjadi momentum paling mengesankan bagi umat Islam. Beragam tradisi, kue, makanan, minuman, hingga pakaian terbaik telah mereka persiapkan jauhjauh hari untuk menyambut perayaan hari tersebut. Tak jarang, masyarakat harus pandai mengatur waktu agar segala hal yang hanya terdapat pada masa Lebaran dapat dijalankan semaksimal mungkin. Di antaranya ialah tradisi kupat-an dan sungkeman. Tr a d i s i k u p a t - a n d a n sungkeman yang berkembang di kalangan masyarakat dalam merayakan Idul Fitri, sebenarnya sudah terjadi sejak masuknya agama Islam ke tanah Jawa tahun 1400-an. Kupat atau yang sering disebut ketupat, berasal dari bahasa Jawa suku kata ku (ngaku: mengakui) dan pat (lepat: salah). Dengan demikian, kupat berarti mengakui kesalahan. Hal ini berbeda dengan pengertian kupat atau ketupat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Kupat atau ketupat merupakan nasi yang dibungkus dengan anyaman nyiur berbentuk k a n t u n g s e g i e m p a t . N a mu n , pengertian kupat dalam konteks tersebut memiliki makna yang saling berkaitan. Secara implisit, nasi yang terbungkus nyiur atau janur kuning ini memiliki makna tersendiri. Sebut saja nasi sebagai lambang kehidupan dan j a nu r k u n i n g s e b a g a i r u a n g kehidupan. Pemilihan janur kuning sebagai ruang kehidupan diibaratkan bahwa setiap kehidupan memiliki tunas (berupa janur) yang akan terus tumbuh dan berkembang. Janur kuning ini kemudian dianyam dengan pola tertentu hingga membentuk kantung segiempat sempurna. Peng anyaman yang dilakukan memberi kesan bahwa r uang kehidupan sesungguhnya terbentuk melalui pola-pola rumit. Pola-pola rumit yang dilalui ini diharapkan dapat membentuk ruang kehidupan terbaik bagi roh yang menempatinya.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
12
Begitu pula dengan bakal nasi (beras) yang mengalami perkembangan selama terbungkus janur kuning saat dimasak di atas tungku hingga menjadi ketupat. Saat roh kehidupan ditiupkan Allah ke dalam ruang kehidupan berbentuk tubuh, ia akan selalu mengalami perkembangan. Mulai dari setetes air, segumpal darah, sepotong daging, hingga membentuk sesosok tubuh. Tubuh yang sudah diberi roh ini merupakan modal utama umat guna menjalankan kehidupan manusia hakiki sesuai perintah Allah. Akan tetapi, dalam menjalani kehidupan tersebut, manusia kadang kala melakukan kesalahan atau kelepatan. Entah kesalahan terhadap sesama manusia ataupun kesalahan kepada Allah. Untuk menebus kesalahan itulah, Allah menurunkan bulan Ramadan sebagai waktu yang tepat untuk bertaubat . Para manusia diperintahkan untuk menjalaninya dengan kidmat, agar kelak memperoleh kemuliaan dan diangkat derajatnya oleh Allah. Pada masa itu, Allah telah menunjukkan kuasanya sebagai Al Ghafaar (Maha Peng ampun) deng an mengistimewakan bulan Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan berlimpah pahala. Akan tetapi, keberkahan dan keberlimpahan yang dijanjikan Allah itu tidak mudah diperoleh. Mereka har us rela menahan lapar, dahaga, dan nafsu
selama satu bulan sebagai usaha untuk menanggalkan kebiasaan buruk yang sering dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadan. Harapannya, manusia yang telah menjalani ibadah puasa akan membawa kebiasaan baik itu meski bulan Ramadan telah usai. Maka bagi sebagian manusia, tutupnya bulan Ramadan selalu memberikan kesan kehilangan. Sebab, bulan Ramadan merupakan bulan yang sangat mulia dan waktu yang banyak dinantikan dibandingkan bulan-bulan lain. Tutupnya bulan Ramadan selalu ditandai dengan gema takbir, tahlil, dan tahmid yang berkumandang di masjid dan surau-surau. Seruan takbir, tahlil, dan tahmid ini merupakan ungkapan rasa syukur manusia yang hendak menjadi suci kembali seperti bayi baru lahir. Saat Idul Fitri atau Lebaran tiba, adat di Indonesia mengajarkan tradisi sungkeman sebagai bentuk pengakuan dosa dari yang lebih muda kepada yang lebih tua dengan melakukan sembah sungkem. Sebagian besar, sungkeman dilakukan antara orang tua dan anak serta kerabat setelah salat Id diikuti mengunjungi tetangga dan teman. Tradisi sungkeman yang berkembang di Indonesia hingga sekarang merupakan peninggalan tradisi Jawa pada masa kerajaan Hindu dan Budha. Saking sulitnya menghilangkan kebiasaan itu (contoh lain ialah penyediaan sesaji dalam ritual keagamaan), penyebar agama
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
13
Islam di Indonesia (walisongo) memperbolehkan tradisi itu dilakukan asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Alhasil, cara yang dilakukan walisongo untuk menyebarkan agama Islam mendapat respon positif. Namun seiring perkembangan zaman, makna Lebaran mulai bergeser. Dari yang awalnya berfungsi sebagai pemelihara tali silaturahim, melebar sebagai pesta hura-hura. Misalnya, dengan mengunjungi tempat wisata atau mengundang orkes dangdut. Bahkan, pada pesta orkes dangdut kerap menimbulkan ker usuhan akibat perilaku mengonsumsi minuman keras.
Kebiasaan ini sudah terjadi sejak lama dan belum diketahui awal mula kemunculannya. Memang, tidak semua umat merayakan Lebaran dengan cara yang sama. Mereka berhak memilih cara untuk mengungkapkan rasa bahagia dengan catatan tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun. Akan tetapi, semua hal dilakukan untuk merayakan Idul Fitri semata karena rasa bahagia dan menikmati karunia. Lebaran memang kado nyata yang ditunggu-tunggu umat Islam setelah melalui puasa selama bulan Ramadan. Selamat Lebaran.
Penjual Bunga di pasar Kembang, sehari sebelum Lebaran.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
14
Lebaran dan Panggung Sosial Widyanuari Eko Putra (Bergiat di Kelab Buku Semarang) “Biarpun harus berebut saat membeli tiket, saya tetap mudik. Biarpun untuk mendapatkan tiket harus antri sejak sehabis subuh, saya tetap mudik. Biarpun harus berdesak-desakan di semua moda transportasi, saya tetap mudik. Biarpun harus menghadapi kemacetan yang parah bahkan di jalan tol, saya tetap mudik. Walaupun kesal dan jengkel atas ketidakmampuan negara memberikan pelayanan yang baik bagi para pemudik, saya tetap mudik,� (Jamal D Rahman, 2013: 288).
K
utipan di atas bukan sebuah puisi. Namun, bagi sebagian orang, terutama di kalangan umat Islam di Jawa, pernyataan Jamal D Rahman, sang penyair dari tanah Madura, di atas tentu bukan sesuatu yang berlebihan. Justru dari kutipan itu, kita bakal tahu apakah perspektif Jamal D Rahman tentang keharusan mudik diyakini pula oleh jutaan umat muslim di Indonesia. Begitulah ar us mudik menandai waktu Lebaran sudah semakin dekat. Dalam konteks sosial, pulang ke kampung kelahiran untuk berlebaran seperti sudah menjadi sebuah keharusan. Lebaran adalah pertemuan kembali antara manusia dengan sesuatu yang konon bersifat keruhanian. Tradisi sungkeman memunculkan pengalaman spiritual yang begitu membekas dalam
perjalanan ruhani manusia. Setelah menjalani puasa sebulan lamanya, serta saling meminta maaf dan memaafkan saat Lebaran, manusia seperti terbebas dari dinding dosa di masa lalu. Lebaran juga dimaknai sebagai momentum peziarahan tanah leluhur. Biasanya, selepas shalat Ied, masyarakat berbondong-bondong datang ke pesarean, melafalkan doa bagi leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Orang Jawa menyebutnya nyekar. Ritual ini menunjukan ada kerinduan kepada mereka yang pernah mengisi kenangan hidup di masa lalu. Kerinduan yang kadang bersifat mistik dan sulit dijelaskan secara nalar. Nurcholish Madjid (2000:137) menganggap Lebaran sebagai puncak pengalaman hidup manusia dalam daur waktu selama
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
15
setahun. Lebaran jadi sentral atas segala kegembiraan, kebahagiaan, serta kedirian manusia yang paling mendalam. Dengan demikian, tentu bisa dimaklumi adanya fenomena pergerakan manusia dari kota/tanah rantau menuju tanah kelahiran, menempuh segala risiko demi bersua dengan sanak saudara: mudik. Jalan dipenuhi gelombang manusia bermudik. Mereka bersedia menanggung jarak ratusan, bahkan ribuan kilometer, di atas kendaraan. Ada yang rela berdesakan di dalam bis. Ada pula yang mengantri berjam-jam lamanya demi sebuah tiket keretaapi. Bahkan tak sedikit dari mereka rela menyabung nyawa dengan berboncengan, berdua, kadang sampai bertiga, menggunakan sepeda motor. Debu dan jalan rusak bukan masalah yang pantas diributkan. Kebahagiaan bertemu keluarga mesti dibayar dengan sekian pengorbanan. Lebaran pada akhirnya pantas dimaknai sebagai panggung sosial bagi masyarakat. Lebaran menjadi semacam ajang pembuktian bagi mereka yang telah melakoni hidup dengan mengadu nasib di kota. Seolah-olah, setahun bekerja memang dipersiapkan hanya untuk menantikan Lebaran. Lebaran pada akhirnya menjelma peristiwa yang berekses luas di luar nilai keagamaan semata, tetapi juga sosial. Kita bisa mengajukan serangkaian amatan untuk membuktikan dugaan ini. Mereka
yang setahun hidup di kota, pada umumnya punya ambisi untuk mementaskan kesuksesan di hadapan keluarga dan kerabat saat Lebaran tiba. Mereka punya gelagat untuk menunjukan apa-apa saja yang telah mereka peroleh di tanah rantau. Taruhlah semisal, membawa pulang kendaraan baru, berpakaian baru, memamerkan sekian aksesoris mewah yang melekat pada tubuh, bisa berupa perhiasan ataupun gawai canggih. Dalam bentuk lain, panggung sosial itu bisa berupa selebrasi kuliner, pelesiran, dan bagi-bagi uang kepada sanak saudara. Tak sedikit pula yang menjadikan Lebaran, terutama mereka yang belum berpendamping, sebagai momentum mengenalkan calon pasangan hidup yang mereka temukan di tanah rantau. Hasrat untuk dipandang sebagai manusia kota (baca: orang sukses) tampak dalam perubahan penggunaan bahasa. Mereka tak hanya menuai penghasilan materi dari kota, tetapi juga identitas baru. Tak sedikit dari mereka enggan untuk berbicara dalam bahasa asal (daerah). Menggunakan bahasa kota dianggap sebagai identitas kesuksesan. Mereka ingin dianggap sebagai manusia kota dengan segenap citra kesuksesan meski identitas kultural sebagai manusia kampung/desa tetap saja melekat. Penampilan boleh ala orang kota, tetapi pola pikir tetap saja tak berubah.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
16
Padahal, kita pun mafhum, tak semua orang yang mengadu nasib di kota mendapati apa yang mereka cita-citakan. Di kota, kenyataan tak pernah sama dengan harapan. Tuntutan kerja yang kelewat melelahkan, mahalnya biaya kebutuhan, semua itu memaksa mereka berjuang mati-matian. Segala jerih payah penderitaan hidup di tanah rantau dibayar lunas ketika bisa merayakan Lebaran dengan segenap kelimpahan materi. Dimensi sosial ini telah menempatkan Lebaran sebagai sebuah panggung sosial yang selalu dinantikan oleh segenap umat Islam. Terutama sekali oleh mereka yang merantau di kota, mereka yang mempertaruhkan nasib sebagai manusia urban.
Sehari sebelum lebaran, para muslim berkunjung ke makam sanak saudara yang terlebih dahulu di panggil. Foto diambil di pemakaman desa Sidorejo, Karangawen, Demak pada Kamis, 16 juli 2015.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
17
Lebaran dan “Ajang ke-Aku-an” Moh. Aniq Kh.B. (Esais, Kontributor Jurnal Urbanologi, Pengasuh Pesantren Rumah Kegiatan Singosari Sembilan (RKSS) Semarang)
D
alam tradisi Jawa, lebaran sering dikatakan sebagai “Riyaya” atau “Bada” untuk merepresentasikan epistemologi Hari Raya Idul fitri. Dibandingkan dengan hari raya islam yang lain, kata Riyaya memunyai kepemilikan khusus yang dipakai dalam mengisyaratkan budaya merayakan. Riyaya, sebagaimana dikramakan dalam bahasa Jawa Riyadin, merupakan canon budaya islam Jawa yang merujuk pada perayaan Idul Fitri, sedangkan Riyaya Besar disebut dalam perayaan Hari Raya Idul Adha. Sebagian kalangan orang Jawa juga menyebut Riyaya Besar dengan Grebeg Besar. Terkadang orang Jawa memakai istilah penyebutan Riyaya Idul Fitri dengan Riyaya Bada – yakni Hari Raya Ba'da (sesudah) puasa ramadlan. Sebab, pengalaman berpuasa selama satu bulan seolah usai dan dihadirkan dengan pesta makan sebagai wujud pengakhiran bulan puasa. Sehingga satu Syawwal atau Hari Raya Idul Fitri sangatlah bermakna dan menjelma menjadi Hari Raya par excellence. Pesta makan bukanlah sebuah resepsi hidangan seperti yang ada di setiap acara pernikahan ataupun ulang tahun. Namun, ia adalah bentuk ifthorkolektif yang menunjukkan gaung satu syawwal. Kemasannya pun ditandai dengan hidangan khas, yaitu ketupat, lontong dan opor ayam. Inilah yang membedakan menu bada fitri dengan bada besar. Ketupat dalam pemaknaan Jawa identik dengan kupat – ngaKu lePat (mengakui kesalahan). Kupat sebagai petanda relasi sosial dan relasi humanistik menunjukkan simbol hubungan (hablun) yang kuat sebelum manusia melanjutkan relasi transendental kepada Tuhan. Artinya, hubungan manusia dengan manusia menjadi prioritas utama lebih daripada hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun pada puncaknya hubungan kepada manusia menyatu pada Tuhan. Selain pengakuan kesalahan manusia kepada Tuhan dimulai dulu dari pengakuan kesalahan manusia kepada manusia yang lain. Dengan demikian, keridloan Tuhan terletak pada keridloan manusia, seperti halnya ridlo Tuhan ada pada ridlo orang tua. Begitu juga laknat Tuhan Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
18
ada pada laknat orang tua (kutipan: alHadits). Kesalahan manusia kepada Tuhan mampu ditebus melalui ibadah dan membaca istighfar setiap saat, tetapi belum tentu manusia mampu meminta maaf kepada yang lain di hari itu pula, sehingga bada menjadi momentum horizontal paling penting bagi manusia kepada manusia. Maka, tradisi “badan” (berkunjung dari rumah ke rumah) sedemikian rupa menempati adagium paling penting dalam hari raya Idul Fitri sebagai pembuktian khidzmah insaniyyah. Masing-masing berusaha saling mencurahkan segala kesalahankesalahannya di hadapan yang lain. Hanya dengan mengatakan minal'aidin walfaizin, seseorang dianggap sudah menuangkan rasa keluputannya dan menjadi fitrah kembali. Akan tetapi, di tiap lini daerah di Jawa memiliki nuansa khusus dalam atur badan (ucapan Idul Fitri), yakni meng gunakan ekspresi “Ngaturaken sedaya kalepatan”. Hal tersebut tentu saja didasari dengan kelegaan hati dan penciptaan rasa sesal yang dalam atas dosa-dosa ke p a d a s e s a m a . Je l a s, b a d a n merupakan sarana ajang pengakuan komunal untuk persembahan fitrah bagi setiap insan. Kembali ke “Aku” Untuk melahirkan keridlaan tiap individu, sebuah pengakuan haruslah terpaparkan secara urut dan gamblang. Pengakuan berasal dari
akar “aku” yang melahirkan arti kembali ke jatidiri “ke-wong-an” (manusia) seutuhnya. Oleh karena itu, sifat aku setidaknya dilontarkan dengan wujud penyebutan kesalahankesalahan yang pernah dilakukan, tidak hanya cukup terwakili oleh sekedar ekspresi “sedaya kalepatan”. Pelbagai kemungkinan yang tampak maupun tidak, seperti pernah melukai hati seseorang, tentu seseorang harus menyebutkan apa saja yang pernah dia lakukan. Misalnya, “mbak, ngaturaken kalepatan kula. Kula nate ngarasani jenengan a, b, c, dan seterusnya”. Barulah pada tahapan berikutnya disertakan “minal 'aidin walfaizin” (lebih lengkap: Ja'alanallahu minal 'aidin walfaiz in) sebagai ungkapan do'a semoga kita kembali fitrah tanpa ada noktah kesalahan yang menempel di dalam diri kita. Sikap keterbukaan itulah yang seharusnya tertancap dalam diri kita untuk menggambarkan kualitas mental yang benar-benar “wal'afina 'aninnas”. Namun, disadari atau tidak, sifat “aku” masih menempati ruang hedonis. Rasa euforia masih berlanjut tanpa ada aku dalam ruang divinitas. Kita tentu diingatkan dengan lagu anak yang sederhana. //baju baru alhamdulillah/'tuk dipakai di hari raya/Tak punya pun tak apa-apa/Masih ada baju yang lama// Ada sebuah kehadiran baju sebagai representasi aku dalam diri anak. Seolah-olah ada keharusan
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
19
seorang anak untuk mengenakan baju baru. Memang tidak salah memiliki baju baru dalam perayaan Idul Fitri. Tetapi, jika dipandang sebagai sebuah keharusan, maka identitas aku terjebak dalam hedonisme universal. Selain itu, penempatan aku dalam tradisi mudik dan pulang kampung – penyebutan lain dari desa – masih menyisakan rotasi kepameran. Lihat, bagaimana adat mudik dan pulang kampung yang begitu prestige memperlihatkan sisi ke pameran seseorang. Sebisa mungkin pertemuan dengan sanak keluarga dan handai tolan diperlihatkan bagaimana bentuk kemapanan seseorang dari kota menuju ke kampungnya. Kemapanan dan kekayaan seolah harus diceritakan kepada mereka di kampung. Aku dalam ritus kota dan kampung sangat menunjukkan batasan perbedaan keberadaannya. Kota dianggap mewakili kemapanan sedangkan kampung merupakan b e n t u k ke r i n d u a n . S e h i n g g a dimungkinkan banyak sisi kemunafikan dalam diri aku entah sebagai pe-Kota atau pe-Kampung. Bila aku dalam kampung, aku menjadi ko t a d a l a m ke m a p a n a n a k u . Sebaliknya, aku dalam kota, aku menjadi kampung dalam keluguan aku. Jadi, kampung merupakan ajang yang paling strategis untuk memamerkan sisi keakuan yang angkuh. Dalam dinamika sosial seperti sekarang ini, semua itu bukan
salah siapa-siapa. Sistem materialisme menempatkan aku pada tatanan di luar ketuhanan. Hampir-hampir sentuhan rasa kemanusiaan yang ada saat ini hanyalah proses semu belaka yang acapkali membutakan mata hati untuk momentum sesaat. Kalau dicermati, tampaklah bahwa Idul Fitri itu sebenarnya lebih dari sekadar sebuah ritus untuk mensyukuri hidup yang berlandaskan keimanan. Ia merupakan suatu fenomena keterbukaan dan kesetiakawanan sosial tanpa ada pihak yang merekayasanya (Mukhtar Saman, Kompas 02/03/1995). Penanaman nilai humanis tercipta dari tajalli takbir, tahmid dan tasbih. Ketiganya adalah manifestasi primer dalam membentuk keakuan yang didasari nilai divinitas dengan memahami bahwa diri aku adalah kecil, tempat salah, mudah binasa dan kotor. Dengan demikian, sikap merasa besar, benar, mapan, arogan dan bersih bukanlah cerminan aku yang sebenarnya. Ajang pengakuan di hari raya Idul Fitri ini harus tertanam dalam hati kita sebagai upaya membuang keakuan destruktif. Dengan kata lain, aku adalah momen kembali menampung keakuan humanis tanpa memandang aku kota dan aku kampung. Sehingga ajang untuk menampung keakuan, tidak hanya dipakai sesaat tapi selamanya. Selamat Hari Raya Idul Fitri, minal 'aidin wal faizin, semoga kembali pada keakuan.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
20
Jejak Lebaran dalam Sastra Kita
Muhajir Arrosyid ( Dosen Universitas PGRI Semarang)
M
embaca cerita pendek bertema lebaran kita dipertontonkan relasi antara orang tua dan anak, pembantu dan majikan, desa dan kota, dan kontes kesuksesan. Namun dari semua dinamika lebaran dalam cerita pendek memiliki benang merah yaitu 'pulang'. Tafsir Pulang bisa berarti pulang berupa fisik atau batin. Mungkin ini terkait deng an pemahaman masyarakat tentang agama dan budaya. Menurut Prof. Dr H Abdul Majid MA, pulang atau dalam konteks ini mudik adalah ekpresi kerinduan seseorang terhadap suasana yang pernah dialaminya. Pertama, relasi pembantu dan majikan. Lebaran bagi relasi antara pembantu dan majikan adalah memisahkan. Karena lebaran pembantu meninggalkan majikannya. Membaca cerpencerpen tersebut menunjukkan betapa pembantu memiliki peran yang sangat penting dalam rumah tangga. Para majikan akan kelabakan saat pebamtu pamit pulang. Adalah Umar Kayam, seorang pengarang
yang banyak mengarang cerita pendek dengan tema lebaran. Ia menulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Lebaran di Karet, di Karet (2002) yang sebagian besar bercerita tentang lebaran. Salah satu cerpennya “Menjelang Lebaran” juga masuk dalam Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa–Lebaran Kompas (2002). Sebagian besar cerpennya bercerita tentang relasi antara pembantu rumah tangga dengan majikannya, pembantu rumah tangga dengan kampung halamannya. Dalam cerpen “Ke Solo, Ke Njati” diceritakan seorang pembantu yang berencana pulang ke kampung halamannya dengan mengajak dua anaknya tetapi gagal. Ia tidak dapat bus. Sementara majikannya malah senang dia tidak jadi pulang. “To, saya biang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bus kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur.” (Lebaran di karet-di karet hal 7). Dalam cerpen “Lebaran Ini Saya Har us Pulang” juga menceritakan tentang relasi antara Nem, seorang pembantu dengan
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
21
majikannya. Nem berencana pulang pada lebaran kali ini. Betapa berat majikan saat dipamiti oleh pembantunya untuk pulang sekedar menengok kampung halamannya saat lebaran. Mereka yang biasanya dilayani dalam pekerjaan rumah tangga seperti mengepel, mencuci pakian, mencuci piring harus mengerjakannya sendiri. Cerpen “Mbok Jah” juga demikian, bercerita tentang seorang pembantu yang telah mengabdi puluhan tahun. Di usia senjanya dia berpamitan pulang dan tidak kembali lagi. Dalam cerita ini terungkap kenapa Mbok Jah ingin pulang dan tinggal di kampung halaman. Ia ingin mati dan dikubur di kampung halamannya. Ingin mati di kampung halamannya adalah salah satu alasan seseorang pulang. Orang boleh pergi sejauh mungkin tetapi saat mati ia ingin kembali dan dikuburkan di tempat ia dilahirkan di tengah-tengah sanak saudaranya. Dalam cerpen lain berjudul “Ziarah Lebaran” Umar Kayam menjawabnya dengan lebih lugas. Bahwa alasan pulang tidak hanya menjenguk saudara yang masih hidup tetapi juga yang sudah meninggal. Orang walaupun sudah meninggal dalam khasanah kebudayaan kita ternyata mendapat tempat yang cukup dihormati. Kedua, relasi antara anak dan orang tua. Lebaran bagi relasi antara orang tua dan anak atau sebaliknya
adalah mempertemukan. Dalam “Lebaran di Karet-di Karet” Umar K ayam menceritakan seorang pensiunan diplomat yang telah setahun ditinggal mati oleh isterinya dan tinggal bersama dua pembantunya. Sedangkan anakanaknya bekerja dan belajar di luar negeri. Cerpen ini menceritkan betapa kesepiannya seorang bapak tanpa anak di hari raya. Ia hanya membolak-balik kartu lebaran yang dikirim oleh anak-anaknya. Cerpen serupa juga dibuat oleh AA Navis berjudul “Tamu yang Datang di hari Lebaan”. Diceritakan sepasang suami-istri yang sudah renta. Ia adalah mantan gubernur. Pada hari lebaran ia menunggu anak-anaknya yang tinggal di luar kota dan menjadi orang-orang sukses untuk datang berkunjung. Akan tetapi makna pulang bagi anak-anaknya rupanya bukan lagi rumah orang tuanya, tetapi rumah atasannya di kantor. Cerpen “Menjelang lebaran” bercerita tentang seorang anak yang ingin pulang bertemu dengan orang tuanya. Ketiga, lebaran adalah kontes kesuksesan. Salah satu alasan seorang perantau pulang adalah mempertontonkan kesuksesannya di kota. Tokoh Sardi dalam cerpen “Sardi” sampai mencuri demi membelikan oleh-oleh untuk keponakan dan tetang gatetangganya. Sardi tidak ingin dikenal oleh tetangga-tetangganya sebagai orang yang sukses di kota tetapi kikir.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
22
Hal serupa dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang merintis karir dari bawah kemudian menjadi pejabat penting rela korupsi hanya ingin membagikan sesautu kepada sanak sudara. Pengakuan para tetangga akan kesuksesan rupanya sangat penting. Dalam “Lebaran� karya Taufik Ikram Jamil, diceritakan sepasang suami istri yang mulanya melarat dan sekarang telah sukses pada lebaran kali ini bermaksud menunjukkan kesuksesaannya dengan barang dan perabot baru. Cerpen itu menunjukkan bahwa lebaran adalah puncak-puncak, hari yang spesial
dimana barang-barang yang pada hari biasanya tidak ada harus diadaadakan walaupun dengan berhutang. Lebaran selayak kontes kesuksesan, sanak saudara akan berkunjung ke rumah menyaksikan karpet baru, korden baru, cat rumah baru, dan barang-barang baru lainnya. Lalu apakah makna lebaran yang paling hakiki? Lebaran adalah kembali, batin dan hati yang kembali bersih. Dalam lebaran ada takbir, meng aguungkan Asma Allah, mengingatkan kepadanya kita makhluk akan kembali kepada sang kholik. Selamat berlebaran!
Boneka-boneka sejinis ini ada juga yang berbentuk hewan dibuat oleh warga dan diiring saat malam takbiran.
Urbanologi Edisi Lebaran - Juli 2015
23